makalahrespirasikel7difteri

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di masa ini teknologi, pendidikan, dan penyakit telah berkembang dengan pesat. penyakit yang berkembang bermacam-macam penyebabnya. Tidak hanya disebabkan oleh bakteri namun disebabkan oleh infeksi juga. Salah satunya adalah penyakit difteri yang banyak menyerang anak-anak. Difteri adalah penyakit menular yang menyerang hidung dan tenggorokan, biasa menyerang anak- anak yang belum diimunisasi DPT. Penyakit ini sangat berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orangyang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dankemudian menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 199311994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun ke atas. Pada kedua KLB tersebut dapatdiatasi dengan cara melakukan imunisasi massal Gangguan pernapasan termasuk penyakit yang telah sering didengar. Namun tidak semua orang Mengetahui dan memahami sebab dan akibat dari gangguan pernapasan. Sebagai perawat, kita harus Mengetahui dan memahami tentang penyebab akibat dan asuhan yang tepat saat memberikan perawatan kepada pasien dengan gangguan pernapasan. Difteri merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Difteri adalah jenis penyakit akut yang menyerang saluran pernapasan bagian atas. Penyakit ini dominan menyerang anak-anak. Penyakit ini biasanya menyerang bagian tubuh tonsil, laring , dan faring yang merupakan saluran pernapasan atas. Difteri disebabkan 1

Upload: fanny-chie-vierrania

Post on 17-Feb-2015

21 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: makalahrespirasikel7difteri

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di masa ini teknologi, pendidikan, dan penyakit telah berkembang dengan pesat. penyakit yang berkembang bermacam-macam penyebabnya. Tidak hanya disebabkan oleh bakteri namun disebabkan oleh infeksi juga. Salah satunya adalah penyakit difteri yang banyak menyerang anak-anak. Difteri adalah penyakit menular yang menyerang hidung dan tenggorokan, biasa menyerang anak-anak yang belum diimunisasi DPT. Penyakit ini sangat berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).

Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orangyang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dankemudian menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 199311994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun ke atas. Pada kedua KLB tersebut dapatdiatasi dengan cara melakukan imunisasi massal

Gangguan pernapasan termasuk penyakit yang telah sering didengar. Namun tidak semua orang Mengetahui dan memahami sebab dan akibat dari gangguan pernapasan. Sebagai perawat, kita harus Mengetahui dan memahami tentang penyebab akibat dan asuhan yang tepat saat memberikan perawatan kepada pasien dengan gangguan pernapasan.

Difteri merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Difteri adalah jenis penyakit akut yang menyerang saluran pernapasan bagian atas. Penyakit ini dominan menyerang anak-anak. Penyakit ini biasanya menyerang bagian tubuh tonsil, laring , dan faring yang merupakan saluran pernapasan atas. Difteri disebabkan oleh bakteri gram positif atau Corynebacterium diphteriae. Ciri khusus pada difteri ialah terbentuknya lapisan yang khas yaitu selaput lendir pada saluran nafas, serta adanya kerusakan otot jantung dan saraf. Cara penularan difteri umumnya melalui percikan air ludah dari penderita difteri dan melalui benda-benda atau makanan yang terkontaminasi.

Apabila seorang anak teleh terjangkit difteri maka harus segera ditangani dengan segera karena komplikasi yang ditimbulkan sangat berbahaya. Komplikasi difteri pada fase awal atau beberapa minggu, penderita akan mempunyai detak jantung yang abnormal, yang dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa penderita dapat mengalami radang otot dan katup jantung, sehingga menyebabkan penyakit jantung yang kronik dan gagal jantung. Kebanyakan komplikasi menyebabkan kesulitan bernapas yang diikuti dengan kematian.

1

Page 2: makalahrespirasikel7difteri

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah mekanisme dan proses keperawatan pada penyakit difteri pada anak-anak.?

1.3 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Menjelaskan pengertian dan mekanisme penyakit difteri dan proses keperawatan dari penyakit difteri.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami definisi dari penyakit difteri

2. Mengetahui dan memahami etiologi dari penyakit difteri

3. Mengetahui dan memahami patofisiologi dan Web of Caution penyakit difteri

4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis penyakit difteri

5. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik penyakit difteri

6. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari penyakit difteri

7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari penyakit difteri

8. Mengethaui prognosis dari penyakit difteri

9. Megetahui proses keperawatan dari penyakit difteri

2

Page 3: makalahrespirasikel7difteri

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Difteri merupakan penyakit menular yang akut , spesifik dan mencolok yang menyerang pada saluran pernafasan dan disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae . Ditandai oleh pseudo membran yang melekat , berwarna abu – abu dan tumbuh pada permukaan mukosa, yaitu biasanya ada dalam saluran pernafasan atas. Secara local infeksi ini dapat menimbulkan nyeri, pembengkakan dan mungkin pula sufokasi ( gejala tercekik ). Secara sistemik, toksin difteri menyerang otot jantung dan syaraf diphtheritic. (Hinchliff : 1999)

Difteri biasanya lebih sering menyerang anak – anak dan proses penularannya melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman dan juga melalui benda atau makanan yang sudah terkontaminasi.

Pembawa kuman ini adalah manusia sendiri dan amat sensitif pada faktor-faktor alam sekitar seperti kekeringan, kepanasan dan sinar matahari. Difteri disebarkan dari kulit, saluran pernapasan dan sentuhan dengan penderita difteri itu sendiri.

Gejala utama dari penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran sendiri merupakan lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran, kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.

2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Macam-macam Difteri:

a. Difteri Tonsil

Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis / periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan bullneck (limfadenitis disertai edema jaringan

3

Page 4: makalahrespirasikel7difteri

lunak leher). Suhu dapat normal atau sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat. Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari dan penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan gejala-gajala toksemia berubah lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat disertai komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.

b. Difteri Faring

Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat

c. Difteri laring

Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke percabangan tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai perluasan daripada diphtheria faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia (pediatrik.com).

d. Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva, telinga

Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

2.2 Etiologi

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman ini tidak bersifat invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yang disebut exotoxin. Toxin difteri ini mempunyai efek patoligik sehingga dapat menyebabkan orang sakit.

Ada 3 type varian dari Corynebacterium diphtheriae, yaitu type mitis ,type intermedius dan type gravis.

4

Page 5: makalahrespirasikel7difteri

Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.

Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak.

Sifat bakteri Corynebacterium diphteriae:

1. Gram positif2. Aerob3. Polimorf4. Tidak bergerak5. Tidak berspora

Disamping itu bakteri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10 menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu, dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam perkembangbiakan agar darah yang mengandung kalium telurit.

Basil Difteria mempunyai sifat:

1. Membentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena. Terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.

2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. (Buku kuliah ilmu keseatan anak FKUI:1958)

2.3 Patofisiologi

Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja

5

Page 6: makalahrespirasikel7difteri

selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)

2.4 Manifestasi Klinis

6

Corynebacterium diphteriae

Kontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau barang-barang yang terkontaminasi

Masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernafasan

Aliran Sistemik

Masa inkubasi 2-5 hari

Mengeluarkan toksin (eksotoksin)

Pemenuhan nutrisi berkurang, sehingga berat badan menurun

Nasal

Tenggorokan sakit, demam, anoreksia, lemah membran berwarna putih atau abu-abu, linfadenitis (bull’s neck),

toxemia, syok septik

Peradangan mukosa hidung (flu, sekret hidung serosa)

Bersihan jalan nafas tidak efektif dan ansietas terhadap adanya sekret

Laring

Demam, suara serak, batuk, obstruksi saluran nafas, sesak nafas,

sianosis

RR tidak efektif

Tonsil/faringeal

Page 7: makalahrespirasikel7difteri

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.

 

                        Gambar: pseudomembran

Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. (Ditjen P2PL Depkes,2003) 

Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan saraf atau nefritis.

a. Pencegahan:

7

Page 8: makalahrespirasikel7difteri

1. Umum. kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.

2. Khusus. Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.

b. Imunisasi

Tindakan pencegahan yang paling efektif terhadap difteri adalah imunisasi aktif. Agen yang lebih disukai untuk anak-anak berusia kurang dari 6 tahun adalah toksoid difteri, yang diberikan kombinasi dengan tetanus toksoid dan antigen pertusis (DPT). Imunisasi DPT biasanya diberikan pada usia 2,4,6, dan 18 bulan, dan 4-6 tahun. Imunisasi primer pada anak-anak berusia lebih dari 6 tahun dapat dilakukan dengan mempergunakan vaksin difteri tipe dewasa dan toksoid-serap tetanus (Td). Pemberian toksoid-serap (Td) tidak diikuti insiden reaksi yang tinggi yang berhubungan dengan penggunaan DTP atau DT pediatrik. Oleh karena itu, Td dapat diberikan dengan aman tanpa didahului tes kulit. Dosis booster selanjut nya yang diberikan dalam selang waktu 10 tahun dapat mempertahankan kadar antibodi pada banyak orang.

c. Para kontak

Pencegahan difteri juga tergantung pada isolasi penderita untuk memperkecil penyebaran penyakit dan pada penatalaksanaan para kontak yang telah diketahui. Penderita tetap bersifat menular hingga basil-basil bakteri tidak berhasil dibiakkan dari tempat infeksi; diperlukan 3 kali biakan berturut-turut dengan hasil negatif sebelum penderita dibebaskan dari isolasi.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Penentuan kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody tecnique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo (marmut) dan in-vitro (tes Elek). 1

Kultur bakteriologik penting dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis difteri.

1. Dilakukan pada seluruh pasien suspek difteria dan mereka yang beresiko untuk berkontak dengan pasien difteria. Spesimen diambil dari hidung dan tenggorokan (swab nasofaring dan faring).

8

Page 9: makalahrespirasikel7difteri

2. Pengambilan spesimen untuk kultur sebaiknya secepatnya ketika difteria (pada lokasi mana saja) telah dicurigai ada, walaupun antibiotik telah diberikan dalam dosis inisial.

3. Pengambilan spesimen dari membran memberikan hasil yang sama baiknya dari hidung dan tenggorokan. Jika bisa, swab sebaiknya juga diambil dari balik membran.

4. Peringatkan laboratorium pada kecurigaan adanya difteria karena isolasi C. diphtheriae membutuhkan media kultur khusus termasuk tellurite. C. diphtheria dapat tumbuh pada berbagai selektif media, termasuk agar telurite atau khususnya media Loeffle, Hoyle, Mueller, dan Tinsdale.

5. Isolasi C. diphtheriae pada orang yang cenderung berkontak dengan pasien difteri dapat mengkonfirmasi diagnosis, walaupun jika hasil kulturnya negatif.

6. Setelah C. diphtheriae diisolasi, ditentukan juga biotipenya: gravis, mitis, atau intermedius (substrain).

Tes toksigenisitas juga dilakukan.

1. Menggunakan tes Elek untuk menentukan C. diphtheriae yang diisolasi memproduksi toksin.

2. Tes toksigenitas jarang tersedia di laboratorium mikrobiologi klini yang ada; bahan dikirim ke laboratorium tertentu yang menyediakan tes tersebut dan mempunyai ahli laboratorium yang dapat mengerjakan tes tersebut dengan baik.

3. Pengukuran kadar serum antibody pasien terhadap toksin difteria perlu dilakukan sebelum pemberian antitoksin untuk menilai kemungkinan diagnosis difteria.

4. Jika kadar antibodinya rendah, diagnosis difteria tidak dapat ditegakkan, tapi jika kadarnya tinggi, C. diphtheria kemungkinan telah menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan sakit yang berat.

Tes lain

Tes PCR dapat mendeteksi organisme C. diphtheriae nonviable. Tes Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode yang akurat untuk mendeteksi adanya virus yang menyerang organisme budidaya Spesimennya diambil setelah pemberian terapi antibiotik inisial.

·        Saat ini, diagnosis kemungkinan difteria harus diklasifikasikan pada pasien dengan hasil tes PCR positif tapi pada organisme yang tidak diisolasi, diagnosis histopatologi tidak dibuat, dan tidak ada kaitan epidemiologi yang

9

Page 10: makalahrespirasikel7difteri

dapat dibuat pada pasien dengan laboratorium yang mengkonfirmasi difteria. PCR assay juga mendeteksi gen toksin difteria. 2

Pemeriksaan EKG

EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.

Diagnosis Banding

Difteria Hidung. Penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital).

Difteria Faring. Harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh Streptokokkus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.

Difteria Laring.  Gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotik edema pada laring, dan benda asing dalam laring.

Difteria Kulit. Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokkus atau stafilokokkus.

2.6 Penatalaksanaan

A. Penatalaksanaan umum/mandiri

1. Saat telah timbul gejala segera pergi ke dokter.

2. Perawatan yang baik

3. Istirahat yang cukup di tempat tidur.

4. Pemerikasaaan SWAP (Hidung atau tenggorokan)

5. Isolasi penderita dengan pengawasan yang ketat agar tidak menularkan dan kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan ECG tiap minggu.

B. Penatalaksanaan medis

Pengobatan yang dapat dipakai (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)

1. Anti Diphteri Serum (ADS) dapat diberikan sebanyak 20.000U/hari selama dua hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.

10

Page 11: makalahrespirasikel7difteri

2. Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai tiga hari bebas panas. Pada penderita yang melakukan trakeostomi maka ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari yang dibagi 4 dosis

3. Kortikosteroid, diberikan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara berharap.

4. Antitoksin, termasuk terapi utama yang diberikan atas dasar diagnosis klinis. Antitoksin diberikan sekali dengan dosis empiris berdasarkan pada derajat toksisita, tempat dan ukuran membran, serta lama sakit (lihat Tabel: Antitoksin)

no

Dasar dosis Dosis Antitoksi U

1. Hanya tesi kulit 20.000-40.0002. Penyakit faring/laring, lamanya 48 jam 20.000-40.0003. Lesi nasofaring 40.000-60.0004. Penyakit meluas lama 72 jam 80.000-100.0005. Pembengkakan leher difusi 80.000-100.000

(Tabel: Antitoksin [Behman, 1999 : 958])

5. Terapi Antimikroba, terapi ini diberikan untuk menghentikan produksi toksin, mengobati infeksi yang terlokalisasi, dan mencegah penularan organism pada kontak. Terapi yang dapat diberikan,

1. Eritromisin, diberikan secara oral atau parenteral sebanyak 40-50 mg/kg/hari

2. Penisilin G Kristal aqua, dapat diberikan secara intramuskuler atau intravena sebanyak 100.000-150.000 U/kg/hari yang dibagi dalam empat dosis.

3. Penisilin prokain, diberikan 25.000-50.000 U/kg/hari yang dibagi dua dosis secara intramuskuler.

2.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul pada pendrita difteri menurut Rampengan (1993):

1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain

Menurut Rampengan (1993) infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman Streptococus dan staphylococcus. Pasien dengan kondisi terinfeksi tumpangan kuman Streptococus sering megalami panas tinggi.

2. Lokal (obstruksi jalan napas)

11

Page 12: makalahrespirasikel7difteri

Komplikasi lokal terjadi karena pseudomembran yang meluas ke hipofaring-laring menutup rima glottis sehingga terjadi obstruksi jalan naps. Pada komplikasi ini maka perlu dilakukan tindakan trakeostomi yaitu membuat lubang jalan napas di trakea.

3. Sistemik

Kelumpuhan sistemik terjadi karena efek dari toksin.

a) Miokarditis

Komplikasi difteri sering menyebabkan terjadinya miokarditis. Komplikasi terhadap penyakit jatung yang terjadi pada anak diperkirakan mencapai 10-20%. Makin luas lesi lokal dan makin lambat pemberian oksitosin, miokarditis makin sering terjadi. Melmahnya jantung pertama atau adnya aitmia adalah gejala yang timbul pada miokarditis.

b) Neuritis

Dapat terjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan komplikasi difteri berat. Manifestasi klinisnya yaitu timbul setelah masa laten, lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominan daripada sensorik, dan kelainan ini biasanya sembuh sempurna.

4. Susunan Saraf

Pada penderita difteri sekitar 10% akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama pada sistem motorik. Kelumpuhan saraf terjadi di:

a) Palatum mole, menyebabkan keluhan suara sengau (rinolalia aperta), penderita sering tersedak minuman lalu keluar dari hidung. Jika diperikasa tampak palatum mole tidak bergerak;

b) Kelumpuhan otot-otot mata menyebabkan kerusakan akomodasi dan oftalmoplegia sehingga terjadi strabismus;

c) Kelumpuhan otot ekstermitas; difteri yang terus berlangsung dapat menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot tertentu. Orang yang biasanya selamat dari penyakit ini akan mendapatkan kelumpuhan pada otot ekstermitas, biasanya terjadi pada otot ekstermitas bawah.

12

Page 13: makalahrespirasikel7difteri

d) Dan kelumpuhan otot pernapasan difteri yang tidak disembuhkan atau berjalan dengan lama dapat menimbulkan kelumpuhan pada otot penapasan yang mengakibatkan pernapasan melambat hingga berhenti.

2.8 Prognosis

Difteri adalah toksiko infeksi mendadak yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae (Sarah S Long, 2003). Diagnosis segera dan terapi yang benar memastikan penyembuhan total penyakit gonokokus tidak berkomplikasi. Komplikasi dan sekuele permanen dapat terjadi akibat dari penundaan pengobatan, infeksi berulang, tempat-tempat metastasis, infeksi (meningen, katup aorta), dan penundaan atau terapi topikal oftalmia gonokokus.

Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :

1. Umur, semakin muda usianya makin buruk prognosisnya.2. Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk

keadaannya.3. Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan.4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, prognosisnya juga

buruk.5. Apabila terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.

6. Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk

13

Page 14: makalahrespirasikel7difteri

BAB III

PROSES KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Anamnesa

1. Identitas pasien

a. Nama

b. Usia

c. Jenis Kelamin

2. Keluhan utama

Sesak napas

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Demam, sesak napas, tidak mau makan.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

5. Riwayat Penyakit Terdahulu

Pemeriksaan Fisik

B1               : Breathing (Respiratory System)

                          RR tak efektif (Sesak nafas)

B2               : Blood (Cardiovascular system)

                         tachicardi

B3                : Brain (Nervous system)

                      Normal

B4               : Bladder (Genitourinary system)

                      Normal

B5               : Bowel (Gastrointestinal System)

                      Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi

14

Page 15: makalahrespirasikel7difteri

B6               : Bone (Bone-Muscle-Integument)

                       Lemah pada lengan terkait dengan peradangan pada saraf lengan akibat toksin yang menyebar dalam darah, turgor kulit

Menurut Doenges (1994), pengkajian pada pasien difteri meliputi:

A. Aktivitas / istirahat

1. Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari

2. Kurang tidur, penurunan kemampuan beraktivitas, pusing

3. Fatigue

4. Insomnia

5. Berat badan menurun

6. Mempengaruhi sirkulasi;

a. Nadi meningkat, takikardi

b. Aritmia

c. Nutrisi

7. Anoreksia

8. Sulit menelan

9. Turgor kulit menurun

10. Edema laring, faring

11. Pernapsan :

a. Sulit bernapas

b. Produksi sputum meningkat

c. Dyspneu

d. Pada tenggorokan ada luka

e. Edema mukosa larinng, faring

f. Pembesaran kelenjar getah bening leher

g. Pernapasan cepat dan dangkal

15

Page 16: makalahrespirasikel7difteri

h. Dada: penggunaan otot bantu pernapasan

Auskultasi : akan terdengar wheezing

B. Interaksi sosial

1. Merasa tergantung

2. Pembatasan mobilitas fisik

3. Data Penunjang

a. Laboratorium : apusan tenggoro terdapat kuman Corynebacterium difteri.

b. EKG: low voltage, depresi segment ST, gelombang T terbalik.

3.2 Diagnosis Keperawatan

1. Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan dampak sekunder reaksi inflamasi tonsil.

3. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan proses batuk dan virulensi organisme.

4. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan nyeri telan, anoreksia.

5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan hipertermia dan anoreksia.

3.3 Intervensi

1. Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.’

Tujuan : bersihan jalan nafas menjadi efektif setelah secret dikeluarkan.

Kriteria hasil :

Respiratory Rate: anak: >20 dan <40x/menit, bayi 40-60x/ menit.

Suara napas tambahan tidak ada

Ronkhi (-)

Dapat melakukan batuk efektif

Intervensi :

a. Kaji penumpukan secret yang ada

b. Observasi tanda-tanda vital.

c. Ajarkan batuk efektif

16

Page 17: makalahrespirasikel7difteri

d. Kolaborasi nebulizing dengan tim medis untuk pembersihan secret

e. Kerjasama untuk menghilangkan penumpukan secret.

f. Ronkhi (-) mengindikasikan tidak ada cairan/sekret pada paru, jumlah, konsistensi, warna sekret dikaji untuk tindakan selanjutnya

2. Mengurangi rasa nyeri yang dirasakan terkait reaksi inflamasi tonsil.

Tujuan : Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien

Kriteria hasil :

- Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi

- Klien tidak merasa kesakitan.

- Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi.

Intervensi :

a. Tentukan karakteristik nyeri, misal tajam, konstan, ditusuk. Dapat digunakan skala intensitas nyeri 0-4

b. Selidiki perubahan karakteristik/lokasi/intensitas nyeri.

c. Pantau tanda-tanda vital

d. Berikan tindakan nyaman, misal pijatan punggung, perubahan posisi, musik tenang, relaksasi/latihan nafas.

e. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.

f. Kolaborasi : Analgesik dan Antitusif sesuai indikasi

3. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan proses batuk dan virulensi organisme.

Tujuan : Perluasan infeksi tidak terjadi

a. Tempatkan anak pada ruangan khusus.

b. Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit

c. Gunakan prosedur perlindumgan infeksi jika melakukan kontak dengan anak.

d. Berikan antibiotik sesuai order.

4. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan nyeri telan, anoreksia.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan adekuat

Kriteria hasil :

- Antropometri: berat badan tidak turun (stabil), tinggi badan, lingkar lengan

- Biokimia: albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dl, anak (1,34-3,50 g/dL)

17

Page 18: makalahrespirasikel7difteri

Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl, perempuan 12-16 g/dl)

- Klinis: tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah

- Diet: klien menghabiskan porsi makannya dan nafsu makan bertambah

Intervensi :

a. Kaji kemampuan pasien untuk makan.

b. Memasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak.

c. Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral.

d. Menilai indicator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lengan, membran mukosa) yang adekuat.

5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan hipertermia dan anoreksia.

Tujuan : suhu tubuh kembali dalam keadaan normal

Kriteria hasil :

- suhu tubuh 36,5-37,5 C

- kulit hangat dan lembab, membran mukosa lembab

Intervensi :

a. Monitoring perubahan suhu tubuh

b. Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan pemasangan infuse

c. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna mengurangi proses peradangan (inflamasi)

d. Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga metabolisme dalam tubuh dapat berjalan lancar.

18

Page 19: makalahrespirasikel7difteri

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Difteri merupakan penyakit menular yang akut , spesifik dan mencolok yang menyerang pada saluran pernafasan dan disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae . Ditandai oleh pseudo membran yang melekat , berwarna abu – abu dan tumbuh pada permukaan mukosa, yaitu biasanya ada dalam saluran pernafasan atas. Secara local infeksi ini dapat menimbulkan nyeri, pembengkakan dan mungkin pula sufokasi ( gejala tercekik ). Secara sistemik, toksin difteri menyerang otot jantung dan syaraf diphtheritic adj.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.

Tindakan pencegahan yang paling efektif terhadap difteri adalah imunisasi aktif dengan DPT. Penatalaksanaan yang dapat diberikan dapat berupa mandiri yaitu peeriksaaan SWAP, erawatan yang baik, dan isolasi anak dengan penjagaan yang ketat. maupun medis yaitu antitoksin, ADS, antimikriba, antibiotic, dan kortikosteroid. .

4.2 Saran

Sebaiknya vaksinasi atau imunisasi diberikan pada usia dini untuk menambah kekebalan tubuh terhadap penyakit. Sehinga seiring berjalannya waktu tidak terjadi gangguan atau penyakit yang amat serius terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Agen yang lebih disukai untuk anak-anak berusia kurang dari 6 tahun adalah toksoid difteri, yang diberikan kombinasi dengan tetanus toksoid dan antigen pertusis (DPT). Imunisasi DPT biasanya diberikan pada usia 2,4,6, dan 18 bulan, dan 4-6 tahun. Imunisasi primer pada anak-anak berusia lebih dari 6 tahun dapat dilakukan dengan mempergunakan vaksin difteri tipe dewasa dan toksoid-serap tetanus (Td)

19

Page 20: makalahrespirasikel7difteri

Daftar Pustaka

Suryanah. 1996. Keperawatan anak untuk siswa SPK. Jakarta :EGC

Richard E, Behman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. 1999. Ilmu kesehatan anak Nelson vol.2. Jakarta : EGC

Rampengan, H.T, dkk. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC

Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu Kesehalan Anak. Jakarta : Info Medika.

Hinchliff, Sue. 1999. Kamus Keperawatan Edisi 17. Jakarta : EGC

Anonim. 2011. Kumpulan0Askep: Askep Difteri. Diakses 22 Mei 2012. http://kumpulan0askep.wordpress.com/2011/06/02/askep-difteri/.

20