makalah+kasus+1+tutor+8+dsp+6
DESCRIPTION
nTRANSCRIPT
MAKALAH
KASUS I
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas blok Dental Science Program 6
(Examination of Stomatognathic System)
Disusun oleh:
Tutor 8 DSP 6
Dosen Pembimbing:
Kartika Indah Sari, drg., M.Kes.
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015
i
Daftar Nama Anggota Tutor 8 DSP 6
1. Benazir Amriza Dini 160110130117
2. Ester Vioni Merdiana S. 160110130118
3. Dhea Ferrani Permatasari 160110130119
4. Khodijah Syukriyah 160110130120
5. Annisa Putri Jania 160110130121
6. Nadia Amanda N. 160110130122
7. Ghinda Nevithya Kono 160110130123
8. Amira Pradsnya P. 160110130124
9. Valencia Ignes 160110130125
10. Dikea Feradilla 160110130126
11. Cleverys Qisthi Phienna 160110130127
12. Riri Werdhany 160110130128
13. Silmi Azhari Armadiani 160110130129
14. Zahra Najmi Afifah 160110130130
15. Ridha Widyastuti 160110130131
16. Salma Nadiyah Ridho 160110130133
i
DAFTAR ISI
Daftar Nama Anggota Tutorial 8 DSP 6..................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................ii
Kata Pengantar....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................2
1.3 Tujuan dan Manfaat...........................................................................2
BAB II ANALISIS KASUS
2.1 Identitas Pasien..................................................................................4
2.2 Hasil Anamnesis................................................................................4
2.3 Pemeriksaan Klinis............................................................................4
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Fraktur Mahkota................................................................................6
3.2 Gangren Radix...................................................................................15
3.3 Pulpitis Reversible.............................................................................22
3.4 Maloklusi.............................................................................................33
3.5 Tahap Anamnesis..............................................................................46
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................55
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Kasus I tepat
pada waktunya.
Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Dental Science Program 6 (DSP 6) di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, serta seluruh pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan
makalah ini, baik langsung maupun tidak langsung.
Penulis sudah berusaha mewujudkan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Apabila masih terdapat kesalahan, penulis bersedia menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya.
Bandung, 11 Oktober 2015
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Mempelajari ilmu pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi pada
manusia merupakan salah satu hal penting yang harus dipelajari oleh siapa
saja terutama dokter gigi. Karena ilmu ini dapat menentukan kesehatan gigi
dan mulut secara keseluruhan.
Pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi pada manusia, umumnya
dibedakan menjadi 2 yaitu, pada periode gigi sulung dan periode gigi
permanen. Karena setiap gigi berbeda waktu erupsi dan tanggal, maka diantara
pergantian gigi sulung dengan gigi permanen disebut dengan periode gigi
campuran (mix dentition). Periode gigi campuran dimulai ketika anak berusia
7 sampai 12 tahun. Pada periode ini diharapkan para dokter gigi maupun
orang tua menguasai ilmu tentang waktu pertumbuhan dan perkembangan gigi
pada anak. Karena pada periode ini sangatlah penting untuk menentukan
oklusi, posisi, maupun relasi dari gigi permanen. Bila gigi anak tanggal
sebelum waktunya atau disebut juga premature loss, hal ini akan
mengakibatkan hilangnya panduan arah tumbuh gigi permanen dan
mengecilnya ruang yang akan ditempati gigi permanen. Namun, bila gigi anak
sudah waktunya tanggal tetapi masih tetap ada disertai dengan kegoyahan
maupun tidak, maka hal ini akan mengakibatkan terhalangnya gigi permanen
untuk erupsi, sehingga mengakibatkan gigi dewasa tumbuh malposisi (tidak
2
teratur). Selain itu keadaan oral hygiene perlu diperhatikan agar gigi tetap
sehat dan kuat agar terhindar dari karies dan penyakit mulut lainnya.
Keadaan malposisi, maloklusi, dan karies pada gigi geligi dapat
menyebabkan kelainan sistem stomatognatik. Sistem stomatognatik adalah
suatu unit fungsional rongga mulut dalam proses pengunyahan, penelanan,
dan bicara. Apabila sistem stomatognatik ini terganggu akan menimbulkan
kelainan ketika proses pengunyahan, penelanan, atau bicara. Sehingga, hal ini
perlu mendapatkan perawatan dan prognosis yang baik berdasarkan diagnosa
yang tepat untuk mengembalikan fungsi sistem stomatognatik dalam keadaan
normal.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara pemeriksaan, gambaran radiografi, perawatan, dan
prognosis fraktur mahkota?
2. Bagaimana cara pemeriksaan, gambaran radiografi, perawatan, dan
prognosis gangren radix?
3. Bagaimana cara pemeriksaan, gambaran radiografi, perawatan, dan
prognosis pulpitis reversible?
4. Bagaimana cara pemeriksaan, gambaran radiografi, perawatan, dan
prognosis maloklusi?
5. Bagaimana anamnesis dilakukan?
1.3.Tujuan Penulisan
1. Cara pemeriksaan, gambaran radiografi, perawatan, dan prognosis fraktur mahkota.
3
2. Cara pemeriksaan, gambaran radiografi, perawatan, dan prognosis gangren radix.
3. Cara pemeriksaan, gambaran radiografi, perawatan, dan prognosis pulpitis reversible.
4. Cara pemeriksaan, gambaran radiografi, perawatan, dan prognosis maloklusi.
5. Proses melakukan anamnesis.
4
BAB II
ANALISIS KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : -
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : -
Pekerjaan : Pelajar Sekolah Dasar
2.2 Hasil Anamnesis
Pasien memiliki masalah pada gigi depan rahang atas yang patah
karena jatuh saat naik sepeda, dan juga gigi geraham belakang bawah
kanan berlubang, sakit bila sedang minum, ingin ditambal. Sedangkan gigi
geraham rahang bawah kiri dan kanan tinggal sisa akar yang terasa goyang
dan ingin dicabut. Selain itu, gigi depan rahang atas dan bawah tampak
tumbuh renggang sehingga ingin dirapihkan, karena merasa malu dan
sering terdapat sisa makanan pada daerah tersebut.
2.3 Pemeriksaan Klinis
2.3.1 Pemeriksaan Ekstra Oral
Tidak ada kelainan sistemik, tidak ada keluhan TMJ, dan kondisi
Oral Hygiene sedang.
2.3.2 Pemeriksaan Intra Oral
1) Gigi 11 dan 21 patah pada 1/3 incisal, pada bagian dentin
tampak berwarna merah muda, vitalitas positif, perkusi
negatif, tekan negatif, mobilitas negatif
5
2) Gigi 75 dan 85 sisa akar, mobilitas positif grade 2
3) Gigi 46 terdapat karies media, vitalitas positif, perkusi dan
tekan negatif
4) Hubungan puncak bonjol mesiobukal M1 rahang atas
berada pada buccal groove M1 rahang bawah
5) ALD RA = +4 mm, ALD RB = +2 mm, overjet = 4 mm,
overbite = 2 mm
6) Diastema gigi RA = 13//12//11 & 21//22//23
7) Diastema gigi RB = 33/32/31 & 41//42//43
2.3.3 Pemeriksaan Radiografis
1) Data Radiografis
a. Gambaran radiografis segi 11 dan 21 terlihat fraktur
1/3 incisal, tidak mencapai pulpa
b. Membrana periodontal gigi 11 dan 21 normal
c. Tidak ada kelainan periapikal
d. Lamina dura normal
2) Gambaran Gigi 46
a. Terlihat karies media dan belum mencapai pulpa
b. Membran periodontal normal
c. Tidak ada kelainan periapikal
3) Gambaran gigi 75 dan 85 terlihat tinggal sisa akar
4) Ada diastema gigi 11, 12, 13 dan 21, 22, 23 serta 31, 32, 33
dan 41, 42, 43
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Fraktur Dentoalveolar
3.1.1 Definisi
Fraktur yang mengenai gigi-geligi dan alveolus. (Dorland, 2007)
3.1.2 Etiologi
Trauma dentoalveolar, termasuk fraktur, biasanya terjadi akibat
jatuh, kecelakaan di taman bermain, penyiksaan dan domestic violence,
kecelakaan saat bersepeda, kecelakaan bermotor, serangan, perkelahian,
dan cedera olahraga. (Fonseca, 2013)
3.1.3 Klasifikasi Ellis
Klasifikasi Ellis merupakan klasifikasi mengenai fraktur mahkota
(crown fracture). (Abu Samra, 2014)
3.1.3.1 Kelas I
Fraktur Kelas I Ellis hanya melibatkan enamel. Umumnya
terjadi pada sudut mesial atau distal incisive central rahang atas.
Kehilangan central portion pada incisive central rahang atas juga
sering terjadi. (Abu Samra, 2014)
7
Gambar Fraktur Kelas I Ellis pada gigi incisive central kanan rahang atas.
(Abu Samra, 2014)
1) Gambaran Radiografi
Gambaran radiografi memberikan informasi mengenai
lokasi dan keparahan fraktur.
Gambar Fraktur Kelas I Ellis pada incisal edge gigi incisive lateral kanan
rahang atas. (White dan Pharoah, 2000)
3.1.3.2 Kelas II
Fraktur Kelas II mengenai mahkota tanpa melibatkan
pulpa, melainkan hanya melibatkan enamel dan dentin. (Abu
Samra, 2014)
8
Gambar Fraktur Kelas II Ellis pada gigi incisive kanan rahang atas. (Abu Samra,
2014)
1) Gambaran Radiografi
Gambar radiografi Fraktur Kelas II Ellis pada gigi incisive kanan rahang
atas.(Andreasen, 2003)
3.1.3.3 Kelas III
Fraktur mahkota yang melibatkan enamel, dentin, dan
pulpa. (Abu, Samra, 2014)
9
Gambar Fraktur Ellis kelas 3 pada gigi incisive kanan rahang atas.
(Abu Samra, 2014)
Gambar Fraktur Ellis Kelas III pada gigi incisive kiri rahang atas. (Thomas,
2014)
1) Gambaran Radiografi
Foto rontgen penting sebelum membuat diagnosis pada
pasien, dan dari foto tersebut kita dapat melihat batas fraktur
sampai mana. Dari foto tersebut, lokasi yang mengalami fraktur
akan muncul gambaran garis yang radiolusen.
1
Gambaran radiologi fraktur mahkota dengan terbukanya pulpa. (Andreasen,
2003)
3.1.3.4 Kelas IV
Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non
vital dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota. (Miloro,
2004)
3.1.3.1 Kelas V
Kelas V klasifikasi Ellis merupakan trauma pada gigi yang
menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi. Avulsi gigi biasanya tidak
terlihat dalam pemeriksaan radiografi. (Abu Samra, 2014)
1
Gambar Avulsi Gigi (Klasifikasi Ellis Kelas V) (Abu Samra, 2014)
1) Gambaran Radiografi
Gambar Klasifikasi Ellis Kelas VI. (White dan Pharoah, 2000)
3.1.3.2 Kelas VI
Pada Kelas VI Ellis terjadi fraktur akar, dengan atau tanpa
fraktur mahkota. (Miloro, 2004)
1) Gambaran Radiografi
Fraktur pada akar gigi dapat terjadi dimana saja dan dapat
melibatkan satu atau lebih akar. Umumnya, fraktur terjadi pada
sepertiga tengah akar.
1
Gambar Fraktur Kelas VI Ellis (horizontal) pada incisive central kiri rahang atas.
(Miloro, 2004)
3.1.4 Fraktur Mahkota Kelas II Ellis
3.1.4.1 Definisi
Fraktur pada mahkota gigi yang melibatkan enamel dan
dentin, tanpa melibatkan pulpa.
3.1.4.2 Tanda dan gejala klinis
Gigi yang fraktur terasa sedikit sakit, diakibatkan fraktur
mencapai dentin yang menyebabkan tubuli dentin terbuka sehingga
sensitive terhadap iritasi termal dan kimia. Warnanya juga tampak
kuning ke pink dibanding gigi lainnya. (Ministry of health, 2010)
3.1.4.3 Radiologi
Untuk menegakkan diagnose dan rencana perawatan, perlu
dilakukan pemeriksaan radiologi terlebih dahulu.Gambaran
translusen yang berada di antara segmen gigi menandakan adanya
fraktur, sehingga dapat diketahui letak pastinya. (Zubaidah, 2011).
1
3.1.4.4 Tata Laksana
Penangaanan Kelas II Ellis adalah dengan cara melapisi
dentin yang terbuka dengan Calcium Hydroxide untuk
menginduksi pembentukan dentin reparatif. Pada kasus yang
memiliki sensitivitas panas atau dingin dapat digunakan calcium
hydroxide dan teknik sandwich pada penggunaan glass ionomer
cement. Selanjutnya temporary restorative resin restoration harus
menutupi seluruh permukaan fraktur. Setelah mengalami
penyembuhan (kurang lebih 4 minggu) dapad digunakan restorasi
resin yang estetik dengan atau tanpa menghilangkan seluruh resin
material. (Loomba, 2010)
Apabila terjadi pelepasan fragmen incisal sepenuhnya dapat
dilakukan pemasangan kembali fragmen yang lepas atau dapat
digunakan composite build up (Loomba., 2010)
3.1.4.5 Prognosis
Prognosisnya baik apabila tanpa terjadi luksasi (Abu
Samra, 2014)
1
(a)
(b)
(c)
Gambar Fraktur Kelas II Ellis gigi incisive kanan rahang atas, (a) tampak labial,
(b) tampak incisal, (c) gambaran klinis. (Abu Samra, 2014)
1
3.2 Gangren radix
3.2.1 Etiologi
Pencabutan tidak sempurna yang ditandai dengan
tertinggalnya sebagian akar bahkan mahkota, seringkali terjadi
apabila saat pencabutan mahkota gigi sudah sangat rapuh. Ditandai
dengan bentuk lubang gigi yang sudah sangat besar atau adanya
kelainan bentuk akar yang menyebabkan kesulitan saat pencabutan.
Sisa akar gigi ini dapat disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain:
1. Sisa akar gigi yang disebabkan oleh karies gigi
Karies gigi terjadi karena ada bakteri didalam mulut dan
karbohidrat yang menempel di gigi yang dalam waktu tertentu
tidak dibersihkan. Bakteri di dalam mulut akan mengeluarkan
toksin yang akan mengubah karbohidrat menjadi suatu zat yang
bersifat asam yang mengakibatkan demineralisasi email.
Karies yang pada proses awalnya hanya terlihat bercak putih
pada email lama kelamaan akan berubah jadi coklat dan
berlubang. Jika kebersihan mulut tidak dipelihara lubang bisa
menjadi luas dan dalam menembus lapisan dentin. Pada tahap
ini jika tidak ada perawatan gigi lubang bertambah luas dan
dalam sampai daerah pulpa gigi yang banyak berisi pembuluh
darah, limfe dan syaraf. Pada akhirnya gigi akan mati,giginya
1
kropos,gripis sedikit demi sedikit sampai mahkotanya habis dan
tinggal sisa akar gigi.
2. Sisa akar gigi yang disebabkan karena trauma
Mahkota gigi bisa patah karena gigi terbentur sesuatu
akibat kecelakaan, jatuh, berkelahi atau sebab lainnya.
Seringkali mahkota gigi patah semua dan menyisakan akar gigi
saja. Trauma ini membuat pulpa gigi menjadi mati.
3. Sisa akar gigi disebabkan oleh pencabutan yang tidak
sempurna.
Pada tindakan pencabutan gigi terkadang tidak berhasil
mencabut gigi secara utuh. Mahkotanya patah dan akar didalam
gusi masih tertinggal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal
antara lain struktur gigi yang rapuh, akar gigi yang bengkok,
akar gigi yang menyebar, kalsifikasi gigi, dan tekanan yang
berlebihan pada waktu tindakan pencabutan. Sisa akar gigi
tertinggal ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar
gigi sampai akar gigi sebatas gusi. Sisa akar gigi yang hanya
dibiarkan saja kemungkinan bisa muncul keluar gusi setelah
beberapa waktu, hilang sendiri karena teresorbsi oleh tubuh
bahkan bisa berkembang jadi kista
3.2.2 Komplikasi
Masyarakat masih banyak yang tidak memperhatikan
kesehatan gigi dan mulutnya. Sisa akar gigi yang tertinggal dalam
1
rongga mulut dibiarkan saja. Padahal akibat yang ditimbulkan sisa
akar gigi banyak sekali. Sisa akar gigi bisa mengakibatkan nyeri
kepala berkepanjangan, bau mulut tidak enak dan trigger
pertumbuhan kista bahkan neoplasma.
Sisa akar gigi biasanya sudah tidak vital lagi, pulpanya
mati. Gigi mengalami kerusakan yang parah dan setiap sisa akar
gigi berpotensi untuk terjadi infeksi akar gigi dan infeksi jaringan
penyangga gigi. Infeksi ini menimbulkan rasa sakit dari ringan
sampai hebat, gusi mengalami pembesaran, terjadi pernanahan,
bengkak di wajah sampai sukar membuka mulut (trismus). Pasien
terkadang menjadi lemas karena susah makan. Pembengkakan
yang terjadi di bawah rahang, kulit memerah, teraba keras
bagaikan kayu, lidah terangkat keatas dan rasa sakit yang
menghebat sangat berbahaya dan jika terlambat penanganan dapat
merenggut jiwa (Ludwig’s angina).
Infeksi pada akar gigi maupun jaringan penyangga gigi
dapat mengakibatkan migrasinya bakteri ke organ yang lain lewat
pembuluh darah. Teori ini dikenal dengan Fokal infeksi. Bakteri
yang berasal dari infeksi gigi masuk ke organ vital lain dan
memperbesar resiko penyakit jantung, ginjal, lambung, persendian,
dan lain sebagainya. Jadi, gigi yang terinfeksi menjadi pintu masuk
bagi bakteri untuk menyebar ke seluruh tubuh.
1
Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk
proses pengunyahan yang sempurna. Gangguan pengunyahan
menjadi alasan masyararakat untuk membuat gigi tiruan.
Masalahnya, sampai sekarang banyak yang masih membuat gigi
tiruan diatas sisa akar gigi. Keadaan ini bisa memicu terjadinya
infeksi gigi dan jaringan penyangga gigi.
3.2.3 Diagnosis
Faktor-faktor yang menentukan diagnosis status pulpa terdiri dari:
1. Pemeriksaan visual-tactile
2. Pemeriksaan Radiografi
a. Daerah furkasi dan periradikuler
b. Saluran akar
c. Membran periodontal
d. Perkembangan benih gigi permanen
3. Riwayat sakit spontan
4. Sakit saat diperkusi
5. Sakit saat fungsi mastikasi
6. Derajat mobilitas
7. Palpasi pada jaringan sekitar
8. Ukuran, gambaran, dan jumlah perdarahan terkait
eksponansi pulpa
1
Faktor
Diagnostik
Status Pulpa
Pulpitis
Reversible
Pulpitis
Irreversible
Nekrosis
Pulpa
Peningkatan
mobilitasTidak Ya Ya
Terasa lunak
saat perkusiTidak Ya Sering
Sensitivitas Ya Ya Tidak selalu
Perubahan
patologis atau
radiografis
(penebalan
ligamen
priodontal atau
penyakit
radikuler)
Tidak Sering Ya
Perdarahan Tidak Sering Tidak
Nyeri
Kadang,
tergantung
stimulan
Ya Sering
Sinus Tidak Tidak Bisa jadi
Pembengkakan Tidak Bisa jadi Bisa jadi
Tabel 1. Faktor diagnostik yang menentukan status pulpa
2
(Mohammad, G., dkk, 2012)
3.2.4 Perawatan
Sisa akar gigi yang tertinggal dalam rongga mulut tidak
boleh dibiarkan begitu saja. Akar gigi yang masih utuh dengan
jaringan penyangga yang masih baik masih bisa dirawat. Jaringan
pulpanya dihilangkan, diganti dengan pulpa tiruan, kemudian
dibuatkan mahkota gigi. Akar gigi yang sudah tidak bisa dirawat
perlu dicabut. Pencabutan sisa akar gigi umumnya mudah. Gigi
sudah mengalami kerusakan yang parah sehingga jaringan
penyangganya sudah tidak kuat lagi. Untuk kasus yang berat
dibutuhkan pembedahan ringan.
Perawatan gangren radix pada anak-anak sebaiknya dengan
ekstraksi karena jika mempertahankan gigi, mengganggu
pertumbuhan benih gigi. Setelah dilakukan ekstraksi diberi space
maintainer agar ruang untuk gigi berikutnya erupsi tetap terjaga
dan mencegah crowding.
3.2.5 Prognosis
Gangrene radix yang diberi perawatan berupa ekstraksi
gigi memiliki prognosis baik, karena sisa akar gigi yang sudah
goyah dan tidak dimungkinkan dirawat jaringan penyangganya
perlu dilakukan pencabutan. Pencabutan sisa akar gigi ini
umumnya mudah, karena gigi sudah mengalami kerusakan yang
2
parah sehingga jaringan penyangga giginya sudah tidak kuat lagi.
Untuk kasus yang sulit dibutuhkan tindakan bedah ringan.
Sedangkan akar gigi yang dirawat dengan menghilangkan
jaringan pulpanya kemudian diganti dengan pulpa tiruan dan
dibuatkan mahkota gigi tiruan berupa pin crown prognosisnya
tergantung dari kondisi sisa akar dan jaringan penyangganya,
namun umumnya memiliki prognosis yang buruk karena sisa akar
secara umum tidak cukup dapat memberikan retensi yang baik bagi
gigi tiruan yang berpegang pada pasak atau berupa pin yang
ditanamkan ke dalam saluran pulpa yang telah di rawat pada sisa
akar.
3.2.6 Radiografi
Untuk menangani gangrene radix dengan ekstraksi gigi,
diperlukan pula pemeriksaaan penunjang seperti rontgen foto guna
memperjelas posisi akar tertinggal tersebut. Rontgen foto ini
berfungsi sebagai panduan dan penentuan prosedur pengangkatan
sisa akar gigi tersebut baik saat pencabutan maupun pembedahan.
Jika gambaran foto rontgen menunjukkan akar hanya dibatasi oleh
tulang yang tipis, akar harus dikeluarkan dengan membuat flap dan
mengambil atau memotong bagian dari tulang bukal. Hal ini
dilakukan oleh dokter spesialis bedah mulut.
2
Hasil foto rontgent periapikal pada gangrene radix dapat
menunjukkan radiolusen pada 1/3 akar, lebih dari 1/3, ataupun
seluruhnya mulai dari cervical sampai ke apical seperti pada
Gambar 2.2.7, dan sudah tidak terdapat gambaran struktur
mahkota. Terdapat gambaran radiolusen pada sepanjang saluran
akar yang menandakan nekrosis pulpa dan gigi nonvital. Jaringan
penyangga menunjukkan abnormalitas dengan gambaran
membrane periodontal menghilang sebagian dan terputus-putusnya
lamina dura. Kesan radiografi menyimpulkan adanya kelainan pada
mahkota, akar, lamina dura, dan membrane periodontal. Suspek
radiografi yang dapat ditegakkan adalah nekrosis et causa karies
pulpa.
Gambar 2.2.7 Gangrene Radix pada gigi 15
3.3 Pulpitis reversible
Pulpitis reversible merupakan proses inflamasi ringan yang apabila
penyebabnya dihilangkan maka inflamasi menghilang dan pulpa akan
2
kembali normal. Faktor-faktor yang menyebabkan pulpitis reversible,
antara lain stimulus ringan atau faktor irritant seperti karies, scaling
jaringan periodontal yang dalam, root planning, dan restorasi yang tidak
diberikan base. Faktor lainnya juga dapat berupa erosi servikal, atau atrisi
oklusal, sebagian besar prosedur operatif, dan fraktur email yang
menyebabkan tubulus dentin terbuka.
3.3.1 Tanda dan Gejala
1) Sakit dengan durasi yang singkat
2) Rasa sakit tidak spontan (biasa sakit akibat diberi rangsangan)
3) Biasa akibat suhu yang ekstrim dan kadang-kadang dapat akibat
makanan yang terlalu manis
4) Rasa sakit berasal dari dentin
5) Tidak ada pembesaran dari ligament periodontal pada pemeriksaan
radiografi
3.3.2 Gambaran Radiografi
1. Pulpa normal
Pulpa normal merupakan kategori diagnostic klinis dimana pulpa
bebas gejala (symptom-free) dan merespon tes pulpa secara normal. Meskipun
pulpa mungkin secara histologis tidak normal. Pulpa yang normal secara klinis
merespon tes suhu dingin secara ringan dan sementara, bertahan tidak lebih
dari satu atau dua detik setelah stimulus dihilangkan. Sebaiknya dalam
melakukan tes pulpa, gigi yang berdekatan dan contralateral dites terlebih
2
dahulu sehingga pasien mengenali (familiar dengan) respon normal terhadap
tes dingin. (Garg, 2013)
Gambar 3.3.1 Gambar radiografi dari gigi normal memperlihatkan lamina dura yang utuh dan
tidak adanya patologi pulpa. (Garg, 2013)
2. Pulpitis reversible
Pulpitis reversible berdasar pada temuan subjektif dan objektif yang
mengindikasikan bahwa inflamasi harus berhenti dan pulpa kembali ke
keadaan normal setelah etiologi diberikan tatalaksana yang tepat.
Ketidaknyamanan (discomfort) dirasakan ketika stimulus seperti suhu dingin
atau rasa manis diaplikasikan dan ketidaknyamanan tersebut hilang dalam
beberapa detik setelah stimulus dihilangkan. Etiologi yang khas mencakup
dentin yang terpapar (sensitivitas dentin), karies, atau restorasi yang dalam.
Tidak terdapat perubahan radiografis yang signifikan pada region periapikal
dari gigi yang dicurigai. Pada tahap ini tidak terdapat bukti radiologi dari
penyakit. Periodontal ligament space (PLD), lamina dura, dan tulang
disekelilingnya tidak terkena. dan rasa sakit tidak timbul secara spontan.
Setelah dilakukan tatalaksana dari etiologi (misalnya pembersihan karies dan
2
restorasi; melindungi dentin), gigi tersebut memerlukan evaluasi lebih lanjut
untuk memutuskan apabila pulpitis reversible kembali normal. (Garg, 2013)
Gambar 3.3.2.1 Penempatan restorasi yang dalam menyebabkan inflamasi pulpa. (Garg, 2013)
Gambar 3.3.2.2 Radiografi memperlihatkan restorasi yang dalam kira-kira telah mencapai pulpa
pada molar mandibula.(Garg, 2013)
Gambar 3.3.2.3 Molar pertama maksila memiliki karies pada mesial-occlusal dan pasien
mengeluhkan sensitivitas terhadap rasa manis dan cairan dingin. Tidak terdapat ketidaknyamanan
pada saat menggigit dan tes perkusi. Gigi tersebut merespon secara berlebihan terhadap Endo-
Ice® tanpa rasa sakit yang berlama-lama (lingering pain). Diagnosis: pulpitis reversible; jaringan
apical normal. (www.aae.org/colleagues)
2
3.3.3 Diagnosis Banding: Pulpitis Irreversible
3.3.3.1 Gejala Klinis:
1) Rasa sakit yang berlangsung selama beberapa menit sampai
beberapa jam tanpa ada stimulus eksternal
2) Rasa sakit berdenyut yang mampu membangunkan pasien di
malam hari
3) Rasa sakit spontan sepanjang hari dan malam
4) Rasa sakit yang berlangsung lama ketika makan makanan panas
atau dingin. Pada tahap selanjutnya, panas akan lebih sifnigikan;
dingin akan meredakan rasa sakit.
5) Rasa sakit ketik amakan makanan manis atau asam
6) Rasa sakit pada saat menggigit dan pengisapan yang dilakukan
oleh lidah atau pipi
7) Rasa sakit pada saat sikap berbaring yang menyebabkan
kongesti pembuluh darah pulpa
8) Rasa sakit awalnya dapat menyebar, tetapi setelah ligament
periodontal terlibat, pasien akan dapat menunjukkan gigi yang
terkena
9) Pada gambaran radiografi dapat terlihat penebalan ligament
periodontal.
2
3.3.3.2 Gambaran Radiografi Pulpitis irreversible:
Merupakan kondisi inflamasi persisten dari pulpa,
simptomatik atau asimptomatik, yang disebabkan oleh stimulus
noxious. Gambaran radiografi mungkin memperlihatkan karies
yang dalam dan luas. Area periapikal memperlihatkan penampilan
yang normal tetapi pelebaran yang sedikit mungkin ditemukan
pada tahap yang lebih lanjut dari pulpitis. (Garg, 2013)
Gambar 3.3.3.1 Karies gigi yang menyebabkan pulpitis. (Garg, 2013)
Gambar 3.3.3.2 Radiografi memperlihatkan pulpa yang terpapar pada premolar
kedua dan molar pertama mandibula. (Garg, 2013)
2
Gambar 3.3.3.3 Karies sekunder di bawah restorasi. (Garg, 2013)
Gambar 3.3.3.4 Radiografi memperlihatkan karies sekunder di bawah restorasi
gigi molar pertama. (Garg, 2013)
1) Pulpitis irreversible simptomatik
Pulpitis irreversible simptomatik berdasarkan temuan
subjektif dan objektif dimana pulpa vital yang terinflamasi
tidak dapat sembuh dan perawatan saluran pulpa diindikasikan.
Karakteristiknya termasuk rasa sakit tajam terhadap stimulus
suhu, rasa sakit yang berkepanjangan (seringkali tiga puluh
detik atau lebih setelah stimulus dihilangkan), rasa sakit yang
muncul secara spontan, dan rasa sakit yang menyebar (referred
pain). Kadang-kadang rasa sakit dapat diperparah dengan
perubahan posisi seperti pada saat berbaring dan menunduk
dan analgesic yang dijual di pasaran biasanya tidak efektif.
Etiologi umum termasuk karies yang dalam, restorasi yang
luas, dan fraktur yang membuat jaringan pulpa terpapar. Gigi
dengan pulpitis irreversible simptomatik mungkin sulit untuk
didiagnosis karena inflamasi belum mencapai jaringan
periapikal, sehingga tidak menghasilkan rasa sakit atau
2
ketidaknyamanan terhadap perkusi. Dalam kasus ini, riwayat
dental dan tes suhu merupakan alat yang utama dalam menilai
status pulpa. (www.aae.org/colleagues, 2013)
Gambar 3.3.2 Setelah penempatan mahkota emas penuh pada molar kedua
maksila, pasien mengeluhkan sensitivitas terhadap cairan dingin dan panas;
sekarang rasa sakitnya timbul secara spontan. Setelah aplikasi Endo-Ice®
pada gigi ini, pasien mengeluhkan rasa sakit dan setelah stimulus
dihilangkan, rasa sakit tersebut tetap bertahan selama dua belas detik.
Respon terhadap perkusi dan palpasi normal; secara radiografi tidak
terdapat perubahan tulang (osseus changes). Diagnosis: pulpitis irreversible
simptomatik; jaringan apical normal. (www.aae.org/colleagues, 2013)
2) Pulpitis irreversible asimptomatik
Pulpitis irreversible asimptomatik merupakan diagnosis
klinis yang berdasar pada temuan subjektif dan objektif yang
mengindikasikan bahwa pulpa tidak dapat sembuh dan
perawatan saluran akar diindikasikan. Kasus ini tidak memiliki
3
gejala klinis dan biasanya merespon secara normal terhadap tes
suhu tetapi mungkin memiliki trauma atau karies yang dalam
yang apabila karies tersebut dibersihkan akan menghasilkan
pulpa yang terpapar. (www.aae.org/colleagues, 2013)
3.3.4 Tes vitalitas
Pada pulpa
1. Dengan tes vitalitas, stimulasi langsung pada dentin dengan sondasi,
tes dingin, panas listrik
1) Termal Test/ Tes Panas
- Daerah yang akan dites diisolasi dan dikeringkan.
- Udara hangat dikenakan pada permukaan gigi yang
terbuka.
- Catat respon pasien. Untuk mendapatkan subuah respon
bisa dengan temperatur yang lebih tinggi, dengan
menggunakan air panas, gula perca panas atau komponen
panas atau instrumen yang dapat menghantarkan
temperatur yang terkontrol pada gigi.
2) Tes Dingin
3
- Semprotkan etil klorida pada gulungan kapas penguapan
cepat dapat menimbulkan sensasi dingin. Gulungan
kapas dikenakan pada mahkota gigi.
- Air yang dibekukan pada kapsul anestotik kosong
menghasilkan suatu batang es untuk tes dingin.
- Gulungan kapas disemprotkan dengan Frigident (insert),
untuk dikenakan pada permukaan mahkota; Frigident
dengan temperatur kira-kira -50o C, bila disemprotkan
pada email/ permukaan mahkota gigi yang direstorasi
merupakan test yang paling teliti untuk mengetahui
vitalitas pulpa.
3) Tes Electric
Electric pulp tester banyak dipakai untuk membedakan
antara lesi endodontik dan lesi-lesi yang tidak terlihat pada
radiografi. Alat ini dirancang untuk memberikan arus listik
untuk menstimulasi serabut-serabut A-delta bermyelin
(myelinated A-delta fibers) yang paling dekat; alat ini
biasanya tidak menstimulasi serabut-serabut C tak
bermyelin disebabkan ambangnya yang lebih tinggi.3
Electric pulp tester menunjukkan transmisi neural dan
keberadaan serabut syaraf vital, tapi tidak mengukur
kesehatan atau integritas pulpa
4) Tes Anastesis
3
- Menggunakan injeksi infiltrasi atas intraligamen.
- Lakukan pada gigi paling belakang (pada daerah yang
dicurigai sakit).
- Bila rasa sakit masih ada setelah dianastesi, lakukan
anstesi di sebelah mesial (lakukan sampai sakit hilang).
5) Tes kavitas / pembuangan jaringan karies.
- Cara: mengebur melalui pertemuan dentin-email sebuah
gigi yang tidak di anastesi, suatu sensasi rasa sakit
menunjukkan adanya vitalitas pada pulpa.
Tes dingin Respon hebat dan lama
Tes panas Respon bertambah hebat dan menetap
Perawatan pulpitis irreversible
Pulpektomi ->Membuang semua jaringan di kamar pulpa dan di saluran
akar kemudian dilakukan pengisian saluran akar
3.3.5 Perawatan Pulpitis Reversibel
Menghilangkan penyebab iritan (perbaikan restorasi,
menghilangkan karies; sedative dressing misal: cavit, menutup serta
melindungi dentin yang terbuka; desensitisasi) dan memulihkan proses
inflamasi jaringan pulpa. Bila, iritasi pulpa berlanjut atau intensitasnya
meningkat, inflamasi akan berkembang menjadi sedang bahkan parah yang
3
akhirnya akan menjadi pulpitis ireversibel dan bahkan nekrosis. Bila pulpa
tereksponasi, lakukan perawatan pulpa (indirect pulp capping).
3.3.6 Prognosis
Prognosis untuk pulpa baik bila iritan ditangani sedari dini; bila
tidak akan berkembang menjadi pulpitis ireversibel.
3.4 Maloklusi
Maloklusi merupakan oklusi abnormal yang ditandai dengan tidak
harmonisnya hubungan antar lengkung di setiap bidang spasial atau
anomali abnormal dalam posisi gigi.13 Maloklusi menunjukkan kondisi
oklusi intercuspal dalam pertumbuhan gigi yang tidak reguler. Penentuan
maloklusi dapat didasarkan pada kunci oklusi normal. Angle membuat
pernyataan key of occlusion artinya molar pertama merupakan kunci
oklusi.
3.2.1 Klasifikasi Maloklusi
Terdapat berbagai macam klasifikasi maloklusi yaitu
klasifikasi Angle, Achkerman dan Profit, klasifikasi Deway
modifikasi Angle, klasifikasi Lischer modifikasi Angle.
3.2.1.1 Klasifikasi Angle
Angle mendasarkan klasifikasinya atas
asumsi bahwa gigi molar pertama hampir tidak
pernah berubah posisinya. Klasifikasi Angle
merupakan klasifikasi yang paling banyak
digunakan dalam penentuan maloklusi.
3
Angle menggambarkan tujuh malposisi individu
gigi yaitu bukal atau labial, lingual, mesial, distal,
rotasi, infraposisi, supraposisi. Malposisi gigi ini
dapat digunakan untuk menggambarkan maloklusi
secara lebih lengkap.
Klasifikasi maloklusi Angle :
Maloklusi Kelas I
Relasi lengkung anteroposterior yang normal
dilihat dari relasi molar pertama permanen
meskipun mesiobukal cusp molar pertama
permanen atas berada pada bucal groove molar
pertama permanen mandibula. Maloklusi kelas I
dapat disertai dengan openbite, protrusi
bimaksila dan kelainan yang paling banyak
adalah disertai dengan crowded, sedangkan
diastema multiple yang menyeluruh jarang
dijumpai.
Gambar Oklusi normal
3
Maloklusi Kelas II
Relasi posterior dari mandibula terhadap
maksila. Mesiobukal cusp molar pertama
permanen atas berada lebih mesial dari bucal
groove gigi molar pertama permanen
mandibula.Karakteristik maloklusi kelas II
adalah protrusive gigi anterior atas dengan
overjet yang besar dan kadang disertai
retroklinasi gigi insisivus.
Divisi I :Insisivus gigi rahang atas letakya
labioversio (protrusi bilateral)
Subdivisi :Insisivus rahang atas letaknya
labioversio (protrusi unilateral)
Menurut Moyers yang dikutip oleh Karin
dan Yuniar pada penderita maloklusi kelas II
divisi I biasanya ditandai dengan profil muka
yang konveks, overjet, yang besar dan kadang-
kadang disertai dengan deep bite. Pada keadaan
demikian, tekanan otot-otot muka tidak normal,
sehingga sering dijumpai sulcus mentolabial yang
dalam atau disebut lip trap.
Selain itu menurut Staley maloklusi kelas II
divisi I digambarkan dengan maksila yang sempit,
3
gigi insisivus atas yang terlihat lebih panjang dan
protrusiv, fungsi bibir yang tidak normal dan
kadang-kadang dijumpai beberapa obstruksi nasal
serta bernafas melalui mulut.
Gambar Maloklsi kelas II
Divisi II : insisivus sentral rahang atas
letakya palatoversi.
Maloklusi Kelas III
Relasi anterior dari mandibula terhadap
maksila. mesiobukal cusp molar pertama
permanen atas berada lebih distal dari bukal
groove gigi molar pertama permanen
mandibula.
Gambar Maloklusi kelas III
3
Klasifiksi Angle memiliki kekurangan.
Beberapa kekurangan klasifikasi Angle sebagai
berikut : Klasifikasi Angle didasarkan atas
relasi molar pertama permanen. Bila molar
pertama permanen bergeser karena prematur
ekstraksi molar sulung, maka relasi molar yang
ada bukan relasi molar yang sebenarnya
sebelum terjadi pergeseran. Bila molar pertama
permanen telah dicabut berarti tidak ada relasi
molar.
Bila terjadi pergeseran molar pertama
permanen ke mesial maka perlu dibayangkan
letak molar pertama permanen sebelum terjadi
pergeseran, baru ditetapkan klasifikasinya,
demikian juga jika molar permanen telah
dicabut.
Ada kemungkinan relasi molar permanen
kanan tidak sama dengan relasi molar pertama
permanen kiri. Angle memperbolehkan hal ini
dan disebut subdivisi pada kelas II dan kelas
III. Angle berpendapat letak molar pertama
permanen tetap stabil dalam perkembangan
pada rahag sehingga dengan melihat relasi
3
molar dapat juga dil;ihat relasi rahang.Hal ini
tidak selamanya benar karena letak gigi dalam
perkembangannya tidak sama dengan letak
rahang.
Dari kekurangan klasifikasi Angle maka
beberapa penyempurnaan klasifikasi dilakukan
yaitu:Ackerman dan Profit yang dikutip oleh
Bisara meresmikan sistem tambahan informal
pada metode Angle dengan mengidentifikasi
karakteristik utama dari maloklusi untuk
digambarkan secara sistematis pada klasifikasi
Pendekatan tersebut menutupi kelemahan
utama skema Angle.
Menurut Ackerman dan Profit yang dikutip
oleh Binasa membagi maloklusi dalami 9
kategori antara lain:
1. Alignment (spacing,crowding)
2. Profil (convex, straight, concave)
3. Deviasi sagital (crossbite)
4. Deviasi vertikal (Kelas Angle)
5. Deviasi vertical (deep bite dan open bite)
6. Deviasi transsagital (kombinasi crossbite
dan kelas Angle)
3
7. Sagitovertikal( kombinasi Angle dan deep
over bite atau open bite)
8. Deviasi vertikotransver (kombinasi deep
over bite atau open bite dengan crossbite)
9. Deviasi transsagitovertikal
3.2.1.2 Klasifikasi Dewey Modifikasi Angle
Klasifikasi dewey yang dikutip oleh
Dewanto, yaitu modifikasi dari Angle kelas I dan
kelas III.
Modifikasi Angle’s kelas I.
Maloklusi Klas 1: relasi lengkung anteroposterior
normal dilihat dari relasi molar pertama permanen
(netroklusi)
Tipe 1 : kelas I dengan gigi anterior
letaknya berdesakan atau crowded atau gigi C
ektostem.
Tipe 2 : kelas I dengan gigi anterior letaknya
labioversi atau protrusi
Tipe 3 : kelas I dengan gigi anterior palatoversi
sehingga terjadi gigitan terbalik ( anterior
crossbite).
Tipe 4 : kelas I dengan gigi posterior yang
crossbite.
4
Tipe 5 : kelas I dimana terjadi pegeseran gigi molar
permanen ke arah mesial akibat premtur ekstraksi.
Modifikasi Angle’s kelas III.
1) Tipe 1 : oklusi di anterior terjadi edge to
edge.
2) Tipe2 : insisivus mandibula crowding
akibat insisivus maksila yang terletak ke
arah lingual.
3) Tipe3 : lengkung maksila kurang
berkembang, gigi insisivus crowding
sedangkan lengkung mandibula berkembang
normal.
3.2.2 Definisi ALD
Metode arch length discrepancy (ALD) merupakan salah
satu cara penetapan kebutuhan ruang untuk pengaturan gigi dalam
perawatan ortodontik, metode ini merupakan penyederhanaan dari
metode analisis set up model yang dikemukakan oleh Kesling.
Dengan menggunakan metode ALD perencanaan perawatan akan
lebih mudah dilakukan karena tidak perlu menggunakan model
khusus, jadi langsung bisa dilakukan pada model studi.
Dalam menentukan ruang yang dibutuhkan pada analisis
ALD diperlukan ukuran lengkung gigi yang ideal dengan lengkung
rahang. Lengkung gigi adalah lengkung yang dibentuk oleh
4
mahkota gigi geligi. Lengkung gigi merupakan refleksi dari
gabungan ukuran mahkota gigi, posisi dan inklinasi gigi, bibir,
pipih dan lidah. Terjadinya disharmoni antara lebar mesiodistal
gigi geligi dengan ukuran rahang sering dikaitkan dengan
maloklusi. Lundstrum menemukan bahwa keberjejalan gigi sering
ditemukan pada gigi geligi yang besar ukurannya. Pendapat ini
didukung oleh Doris dkk. Lavelle yang meneliti perbedaan lebar
mesiodistal gigi berdasarkan maloklusi menyatakan bahwa lebar
mesiodistal gigi permanen paling besar pada kelas I, terkecil pada
kelas III, dan yang berada diantaranya adalah kelas II. Gerard dkk
juga menyatakan bahwa perbedaan ukuran gigi terjadi pada kelas II
divisi 1 maloklusi dengan kelas III maloklusi. Arya dkk
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan lebar mesiodistal gigi
dalam kategori maloklusi. Howe dkk juga menyatakan bahwa tidak
ada perbedaan antara lebar mesiodistal pada kelompok gigi berjejal
dan tidak berjejal.
Analisis ALD menggambarkan adanya hubungan jumlah
ukuran lebar mesiodistal gigi-gigi (lengkung gigi) dengan
lengkung rahang dalam menentukan rencana perawatan. Hal ini
juga telah banyak dilaporkan bahwa estetik yang baik akan tercipta
bila terjadi harmonisasi antara lengkung geligi dengan morfologi
ukuran gigi begitupun sebaliknya jika terjadi disharmoni antaranya
maka akan menyebabkan terjadinya maloklusi.
4
3.2.3 Analisis Arch Length Discrepancy (ALD)
Analisis ALD merupakan salah satu cara penetapan kebutuhan
ruang untuk pengaturan gigi-gigi dalam perawatan ortodontik. Analisis
ini juga merupakan penyederhanaan dari metode analisis Set up model
yang dikemukakan oleh Kesling (1956). Tujuan analisis ini adalah untuk
mengetahui perbedaan panjang lengkung rahang dengan panjang
lengkung gigi sehingga diketahui berapa selisihnya agar dapat ditentukan
indikasi perawatannya.
Metode ini mempunyai prinsip dasar yang sama dengan metode
Kesling, yaitu menetapkan diskrepansi antara lengkung gigi yang
direncanakan dengan besar gigi yang akan ditempatkan pada lengkung
tersebut pada saat melakukan koreksi maloklusi. Perbedaannya adalah,
pada metode Kesling dilakukan langsung pada model dengan
memisahkan gigi - gigi yang akan dikoreksi dengan cara menggergaji
masing - masing mahkota gigi dari bagian processus alveolarisnya
setinggi 3 mm dari marginal gingiva, kemudian menyusun kembali pada
posisi yang benar. Diskrepansi ruang dapat diketahui dari sisa ruang
untuk penempatan gigi Premolar pertama dengan lebar mesiodistal gigi
tersebut untuk masing - masing sisi rahang.
Pada metode determinasi lengkung dilakukan dengan cara tidak
langsung yaitu dengan mengukur panjang lengkung ideal yang
direncanakan pada plastik transparan di atas plat gelas, kemudian
membandingkan dengan jumlah lebar mesiodistal gigi yang akan
ditempatkan pada lengkung tersebut. Dengan metode ini perencanaan
perawatan akan lebih mudah dilakukan karena tidak perlu membuat
4
model khusus (Set up model), jadi langsung bisa dilakukan pada model
studi.
Langkah pertama dalam analisis ini adalah mengukur lebar
mesial distal terbesar gigi menggunakan jangka berujung runcing atau
jangka sorong. Analisis Nance mengukur mesial distal setiap gigi yang
berada di mesial gigi molar pertama permanen atau ukuran lebar
mesiodistal gigi geligi ditentukan dengan mengukur jarak maksimal dari
titik kontak mesial dan distal gigi pada permukaan interproksimalnya
ataupun diukur pada titik kontak gigi yang bersinggungan dengan titik
kontak gigi tetangganya. Jumlah lebar total menunjukkan ruangan yang
dibutuhkan untuk lengkung gigi yang ideal. Pengukuran dilakukan
pada gigi molar pertama kiri sampai molar kedua kanan pada setiap
rahang.7,12,13
Gambar 1. Cara pengukuran lebar mesiodistal gigi dengan menggunakan caliper menurut
Nance. Sumber: Laviana, Avi. Analisis model studi, sumber informasi penting bagi diagnosis
ortodontik. Bandung: FKG Universitas Padjadjaran. 2009.
4
Selanjutnya panjang lengkung rahang diukur
menggunakan kawat lunak seperti brass wire atau kawat
kuningan. Kawat ini dibentuk melalui setiap gigi, pada geligi
posterior melalui permukaan oklusalnya sedangkan pada geligi
anterior melalui tepi insisalnya. Jarak diukur mulai mesial
kontak molar pertama permanen kiri hingga kanan. Penilaian
dilakukan dengan cara membandingkan ukuran panjang lengkung
gigi ideal dengan panjang lengkung rahang. Jika hasilnya
negatif berarti kekurangan ruangan, jika hasilnya positif berarti
terdapat kelebihan ruangan.4,5
Gambar 2. Pengukuruan panjang lengkung menurut Nance menggunakan brass wire
melibatkan gigi geligi di mesial molar pertama. A. Rahang atas, B. Rahang bawah. Sumber: Laviana,
Avi. Analisis model studi, sumber informasi penting bagi diagnosis ortodontik. Bandung: FKG
Universitas Padjadjaran. 2009.
Teknik lain untuk mengukur panjang lengkung rahang
diperkenalkan oleh Lundstrom, yaitu dengan cara membagi lengkung
gigi menjadi enam segmen berupa garis lurus untuk setiap dua gigi
termasuk gigi molar pertama permanen. Setelah dilakukan
4
pengukuran dan pencatatan pada keenam segmen selanjutnya
dijumlahkan. Nilai ini dibandingkan dengan ukuran mesial distal 12
gigi mulai molar pertama permanen kiri hingga kanan. Selisih
keduanya menunjukkan keadaan ruangan yang tersisa. 4,5
Gambar 3. Teknik pengukuran panjang lengkung rahang secara segmental menurut Lundstrom.
Sumber: Laviana, Avi. Analisis model studi, sumber informasi penting bagi diagnosis ortodontik.
Bandung: FKG Universitas Padjadjaran. 2009.
Teknik pengukuranpanjang rahang lain secara segmental
juga dikemukakan oleh Hovda (1987), dengan membagi menjadi
enam segmen. Pengukuran ini berada tepat dibawah titik kontak
gigi dan diatas papilla gingiva. Keenam segmen tersebut adalah (1)
papilla diantara molar pertama dan premolar kedua sampai papilla
diantara caninus dan premolar pertama (2) papilla diantara canine
dan premolar pertama sampai papilla diantara caninus dan
insisivus lateral (3) Papilla di antara caninus dan insisivus lateral
sampai papilla diantara insisivus lateral dengan insisivus sentral.
4
Pengkuran lengkung panjang rahang menunrut Hovda dibagi menjadi enam segmen.
Sumber : Essential of Orthodontis Diagnosis and Treatment. 2010
ALD didapatkan melalui selisih antara panjang lengkung
rahang dengan panjang mesio-distal gigi (biasanya untuk rahang
atas gigi 16 sampai 26, untuk rahang bawah 36 sampai 46). Jika
ALD bernilai -1 sampai dengan -2 mm maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat pro-slicing atau adanya diestema diantara gigi.
Apabila ALD bernilai -2 sampai dengan -4 mm maka gigi harus
dilakukan pro ekspansi. Apabila ALD bernilai lebih dari -4 mm
maka harus dilakukan ekstraksi gigi/ pro-ekstraksi.
3.5 Tahap anamnesis
Anamnesis merupakan pemeriksaan tahap awal yang dilakukan
dengan wawancara yang dapat menegakkan diagnosis ± 80%. Tujuan dari
dilakukannya anamnesis yaitu untuk mendapatkan gambaran kesehatan
pasien secara umum & memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang
penyakit pasien. Ada dua jenis anamnesis yaitu, autoanamnesis
4
(wawancara terhadap pasien) dan hetero/alloanamnesis (terhadap keluarga/
relasi terdekat pasien, dan sumber lainnya).
3.5.1 Data Anamnesis
3.5.1.1 Anamnesis Identitas
1) Nama lengkap untuk menghindari tertukar dengan
orang lain
2) Umur pasien untuk mengetahui kecendrungan
penyakit pada usia tersebut
3) Jenis kelamin untuk mengetahui penyakit
tertentu,misal pada wanita (haid dan kehamilan)
atau laki-laki (prostat)
4) Alamat + nomor telefon untuk mengetahui
gambaran lingkungan tempat tinggal
5) Pekerjaan untuk mengetahui status ekonomi sosial
pasien, tingkat pendidikan atau jenis penyakit yang
berhubungan dengan pekerjaan
6) Status perkawinan untuk mengetahui penyakit yang
berhubungan dengan sistem reproduksi
7) Suku, Agama, RAS
3.5.1.2 Anamnesis Penyakit
1) Keluhan Utama
Keluhan yang menyebabkan pasien datang berobat (panas,
batuk, dll)
4
2) Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
(1) Onset : kapan pertama kali muncul keluhan
(2) Frekuensi : berapa sering keluhan muncul
(3) Sifat munculnya : mendadak? kronis? Intermitten
(hilang timbul)?
(4) Waktu : pagi/siang/sore
(5) Durasi : berapa lama
(6) Sifat sakit : terus-menerus, hilang timbul, waktu
menunduk/tidur, dll
(7) Lokasi : tetap, menjalar, berpindah, menyebar
(8) Berat ringannya : bertambah, berkurang, tetap
(9) Hubungan dengan fungsi fisiologis lain : apakah
mengganggu
(10) Akibat yang timbul terhadap aktivitas
sehari-hari
(11) Upaya yang dilakukan utk mengurangi
keluhan
3) Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
(1) Apakah pasien menderita penyakit/ gejala yang
sama?
(2) Apakah pernah rawat inap? Karena apa? Berapa
lama?
4
(3) Apakah pernah operasi?
(4) Apakah pernah menjalani pengobatan?
(5) Apakah pernah sakit sistem kardiovaskular,
pernafasan, pencernaan, kulit, atau infeksi?
(6) Pada wanita → Apakah pernah hamil atau
keguguran?
4) Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Apakah ada keluarga yang mempunyai penyakit serupa?
5) Keluhan Penyerta (Berdasarkan Sistem)
(1) Sistem kulit
(2) Sistem respirasi
(3) Sistem pencernaan
(4) Sistem kardiovaskular
(5) Sistem otot, tulang dan sendi
(6) Sistem urogenital
(7) Sistem saraf dan indera
(8) Sistem endokrin
6) Riwayat Pribadi, Sosial Ekonomi dan Budaya
Keterangan kelahiran
Keterangan pendidikan, pekerjaan, perumahan, perkawinan,
tanggungan
Kesulitan yang dihadapi sekarang
5
7) Hal – hal yang harus diperhatikan saat melakukan
anamnesis :
(1) Bersikap sebagai dokter professional.
(2) Adanya rasa percaya diri, tapi jangan berlebihan.
(3) Ciptakan suasana kondusif, ramah dan bersahabat.
(4) Mengucapkan salam saat pasien masuk (“selamat
pagi”, dll).
(5) Memperkenalkan diri kepada pasien (”Saya dokter
kiki”).
(6) Mendengarkan secara aktif dengan respon verbal
(”ooo, begitu” atau ”ya, saya mengerti”) atau non
verbal (anggukan kepala).
(7) Memberi kesempatan pasien menyampaikan
keluhan dan tidak memotong pembicaraan, kecuali
sampai pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan
penyakit.
(8) Menggunakan bahasa yang bisa dipahami (mis,
jangan pake bahasa kedokteran).
(9) Mempertahankan kontak mata dengan pasien, tp jg
jangan terus-menurus krn pasien akan merasa
terganggu.
(10) Mencatat hal-hal yang penting dari pasien.
5
(11) Mengulang resume kepada pasien
(menunjukkan kita mendengarkan dan
memperhatikan saat dia ngomong).
3.5.1.3 Pemeriksaan Klinis
Pada tahap ini jaringan intraoral dan ekstraoral
diperiksa, dites dan dibandingkan secara bilateral kedua sisi
untuk membedakan ada tidaknya pathosis.
1) Pemeriksaan Ekstra Oral
(1) Visual
Pemeriksaan ekstra oral dilakukan untuk melihat
kelainan diluar rongga mulut . Indikator status fisik
meliputi penampilan secara umum, kesimetrisan
wajah, bembengkakan, perubahan warna,
kemerahan, luka, sinus tracts, pembengkakan
kelenjar lymph.
(2) Palpasi
Setelah melakukan pemeriksaan ekstraoral pada
regio kepala dan leher, kita harus melakukan palpasi
ekstraoral. Jika ada pembengkakan terlokalisasi
pada pasien, maka kita harus melihat:
Peningkatan temperatur secara lokal
(1) Tenderness
(2) Perluasan lesi
5
(3) Indurasi
(4) Fiksasi pada jaringan di bawahnya
Palpasi kelenjar saliva juga harus dilakukan secara
ekstraoral. Kelenjar submandibula harus bisa
dibedakan dari lymph nodes pada regio
submandibula melalui palpasi bimanual.
Palpasi TMJ dapat dilakukan dengan berdiri di
depan pasien dan menempatkan ibu jari pada regio
preaurikular. Pasien lalu diminta untuk membuka
mulut dan melakukan lateral ekskursi, lalu
perhatikan:
(1) Adanya pergerakan yang terbatas
(2) Deviasi gerakan
(3) Clicking
(4) Locking atau krepitasi
Palpasi lymph nodes harus dilakukan untuk melihat
adanya pembesaran kelenjar limfe, tenderness,
mobilitas, dan konsistensi. Lymph nodes yang sering
dipalpasi adalah pada area preauricular,
submandibular, submental dan servikal.
2) Pemeriksaan intraoral
(1) Jaringan Lunak
5
Pemeriksaan jaringan lunak meliputi
pemeriksaan visual, digital, dan pemeriksan
probing pada bibir, mukosa oral, pipi, lidah,
periodontium, palatum dan jaringan otot .
Mukosa alveolar dan gusi cekat diperiksa untuk
melihat apabila adanya perubahan warna,
inflamasi, ulserasi, dan pembentukan sinus
tract. Stoma (parulis) merupakan indikasi
nekrotik pulp atau chronic apical abses dan
kadang periodontal abses. Probing test diakukan
untuk mentukan kedalaman defek periodontal.
(2) Kondisi Gigi Geligi
Setelah memeriksa keadaan jaringan lunak, kita
dapat memeriksa keadaan gigi-geligi secara
umum:
(1) Status OH
(2) Jumlah dan kualitas bahan restorasi
(3) Prevalensi karies
(4) Gigi yang hilang
(5) Adanya pembengkakan lunak atau keras
(6) Status periodontal
(7) Adanya sinus tracts
(8) Diskolorasi gigi
(9) Tooth wear
5
DAFTAR PUSTAKA
American Association of Endodontists. 2013. ENDODONTICS Colleagues for
Excellence: Endodontic Diagnosis. www.aae.org/colleagues
Andreasen, J.O., Andreasen F. M., dan Bakland L.K., Flores M. T. 2003.
Traumatic Dental Injuries. A Manual. Oxford: Blackwell/Munksgaard
Publishing Company.
Barrat M., Sam Lee. 2008. Principles of Clinical Medicine for Space Flight. New
York: Springer Science+Business Media
Bisara, SE. 2001. Textbook of Orthodontics. WB Saunders: Philadelphia.
"dentoalveolar." Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers. 2007.
Saunders, an imprint of Elsevier, Inc 18 Oct. 2015 http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/dentoalveolar
Ford, TR Pitt. 2002. Endodontics Problem-Solving in Clinical Practice. United
Kingdom
Garg, Nisha and Amit Garg. 2013. Textbook of Endodontics. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) LTD.
Ghom, Anil G.. 2008. Textbook of Oral Radiology. New Delhi: Elsevier India.
Grossman, Louis et al. 1988. Ilmu Endodontik dalam Praktek edisi 11. Jakarta:
EGC
https://luv2dentisha.wordpress.com/2010/05/08/pulpitis-reversibel-ireversibel-
nekrosis-pulpa/
5
Loomba, K., Loomba, A., Bains, R., Bains, V. K. 2010. A proposal for
classification of tooth fractures based on treatment need. Journal of Oral
Science. 52 (4). 522
Miloro, Michael. 2007. Peterson’s Principles of Oral and Maxillofacial Surgery
3rd. Elsevier: USA.
Ministry of health. 2010. Management of Dental Trauma. National Dental Health.
5.
Mohammad, G., dkk. 2012. Pulpal Diagnosis of Primary Teeth: Guidelines for
Clinical Practice. Bangladesh Journal of Dental Research & Education
Vol. 02, No. 02, July 2012: Bangladesh.
Proffit, W.R., dkk. Contemporary Orthodontic. Edisi III. St. Louis :
Mosby, Inc. 2000. hal. 163-170.
Rakosi, T., dkk. Color Atlas of Dental Medicine, Orthodontic-
Diagnosis. Edisi I. Germany: Thieme Medical Publishers. 1993. hal. 3-4,
207-235
Samra, Firas Mahmoud Abu. 2014. Dentoalveolar Injuries Classification-
Management-Biological Consequences. Medcrave. Volume 1 Issue 4-
2014.
Smith H., 2009. Current Therapy in Pain. Philadelphia: Saunders Elseviers.
Staley, R.N. Textbook f Orthodntic. Edisi I. Philadelphia : W.B.
Saunders. 2001. hal 134-145.
5
Thomas, Jarred Jeremy. 2014. Fractured Teeth. Medscape. 82755.
http://emedicine.medscape.com/article/82755-overview. 18 Oktober 2015.
Walton, R., Mahmoud T. 2003. Prinsip & Praktik Ilmu Endodonsia edisi 3,
Jakarta: EGC
White, Stuart C. dan Michael J. Pharoah. 2008. Oral Radiologi: Principles and
Interpretation. Elsevier: USA.
Zubaidah, Nanik. 2011. Management of Horizontal Crown Fracture Caused by
Traumatic Injury with Endorestoration. Dental Journal. 44 (3). 155