makalah tempe
TRANSCRIPT
MAKALAH FERMENTASI
FERMENTASI TEMPE
oleh:
Kelompok VII
KELAS A
Fydel Setiadi (1107135665)
Monica Shecilia (1107114283)
Aidil Akbar (1107114606)
Putri Arini (1107114122)
Bonita Esther (1107114169)
JURUSAN TEKNIK KIMIAFAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS RIAU
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau
beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti
Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus.
Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai "ragi tempe".
Kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa
kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe
kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan
dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi
dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif.
Secara umum, tempe berwarna putih karena pertumbuhan miselia kapang
yang merekatkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat.
Degradasi komponen-komponen kedelai pada fermentasi membuat tempe memiliki
rasa dan aroma khas. Berbeda dengan tahu, tempe terasa agak masam.
Tempe banyak dikonsumsi di Indonesia, tetapi sekarang telah mendunia.
Kaum vegetarian di seluruh dunia banyak yang telah menggunakan tempe sebagai
pengganti daging. Akibatnya sekarang tempe diproduksi di banyak tempat di dunia,
tidak hanya di Indonesia. Berbagai penelitian di sejumlah negara, seperti Jerman,
Jepang, dan Amerika Serikat. Indonesia juga sekarang berusaha mengembangkan
galur (strain) unggul Rhizopus untuk menghasilkan tempe yang lebih cepat,
berkualitas, atau memperbaiki kandungan gizi tempe. Beberapa pihak
mengkhawatirkan kegiatan ini dapat mengancam keberadaan tempe sebagai bahan
pangan milik umum karena galur-galur ragi tempe unggul dapat didaftarkan hak
patennya sehingga penggunaannya dilindungi undang-undang (memerlukan lisensi
dari pemegang hak paten).
BAB II
ISI
2.1 Sejarah dan Perkembangan Tempe
2.1.1 Asal-usul
Gambar 2.1 Tempe
Tempe berwarna keputih-putihan akibat hifa kapang yang melekatkan biji-biji
kedelai. Tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari
Cina atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Tidak jelas kapan pembuatan tempe
dimulai. Namun demikian, makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad
lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di
Yogyakarta dan Surakarta. Dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip Serat Centhini dengan
seting Jawa abad ke-16 (Serat Centhini sendiri ditulis pada awal abad ke-19) telah
ditemukan kata "tempe", misalnya dengan penyebutan nama hidangan jae santen
tempe (sejenis masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan. Hal ini
dan catatan sejarah yang tersedia lainnya menunjukkan bahwa mungkin pada
mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan
tradisional Jawa—mungkin dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan
berkembang sebelum abad ke-16.
Kata "tempe" diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno
terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe
segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi
tersebut.
Selain itu terdapat rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah
kamus bahasa Jawa-Belanda. Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe
diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa
menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber
pangan. Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin
diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu
koji1 kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Selanjutnya,
teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran
masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.
2.1.2 Tempe di Indonesia
Gambar 2.2. Tempe goreng
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi
pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia
dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti
tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di
Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg.
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, para tawanan perang yang
diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Sejumlah penelitian
yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai dengan 1960-an juga menyimpulkan
bahwa banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat karena tempe. Menurut
Onghokham, tempe yang kaya protein telah menyelamatkan kesehatan penduduk
Indonesia yang padat dan berpenghasilan relatif rendah.
Namun, nama 'tempe' pernah digunakan di daerah perkotaan Jawa, terutama
Jawa tengah, untuk mengacu pada sesuatu yang bermutu rendah. Istilah seperti
'mental tempe' atau 'kelas tempe' digunakan untuk merendahkan dengan arti bahwa
hal yang dibicarakan bermutu rendah karena murah seperti tempe. Soekarno, Presiden
Indonesia pertama, sering memperingatkan rakyat Indonesia dengan mengatakan,
"Jangan menjadi bangsa tempe". Baru pada pertengahan 1960-an pandangan
mengenai tempe ini mulai berubah.
Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an terjadi sejumlah perubahan dalam
pembuatan tempe di Indonesia. Plastik (polietilena) mulai menggantikan daun pisang
untuk membungkus tempe, ragi berbasis tepung (diproduksi mulai 1976 oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan banyak digunakan oleh Koperasi Produsen
Tempe Tahu Indonesia, Kopti) mulai menggantikan laru tradisional, dan kedelai
impor mulai menggantikan kedelai lokal. Produksi tempe meningkat dan industrinya
mulai dimodernisasi pada tahun 1980-an, sebagian berkat peran serta Kopti yang
berdiri pada 11 Maret 1979 di Jakarta dan pada tahun 1983 telah beranggotakan lebih
dari 28.000 produsen tempe dan tahu.
Standar teknis untuk tempe telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia
dan yang berlaku sejak 9 Oktober 2009 ialah SNI 3144:2009. Dalam standar tersebut,
tempe kedelai didefinisikan sebagai "produk yang diperoleh dari fermentasi biji
kedelai dengan menggunakan kapang Rhizopus sp., berbentuk padatan kompak,
berwarna putih sedikit keabu-abuan dan berbau khas tempe".
2.1.3 Tempe di Luar Indonesia
Tempe dikenal oleh masyarakat Eropa melalui orang-orang Belanda. Pada
tahun 1895, Prinsen Geerlings (ahli kimia dan mikrobiologi dari Belanda) melakukan
usaha yang pertama kali untuk mengidentifikasi kapang tempe. Perusahaan-
perusahaan tempe yang pertama di Eropa dimulai di Belanda oleh para imigran dari
Indonesia.
Melalui Belanda, tempe telah populer di Eropa sejak tahun 1946. Sementara
itu, tempe populer di Amerika Serikat setelah pertama kali dibuat di sana pada tahun
1958 oleh Yap Bwee Hwa, orang Indonesia yang pertama kali melakukan penelitian
ilmiah mengenai tempe. Di Jepang, tempe diteliti sejak tahun 1926 tetapi baru mulai
diproduksi secara komersial sekitar tahun 1983. Pada tahun 1984 sudah tercatat 18
perusahaan tempe di Eropa, 53 di Amerika, dan 8 di Jepang. Di beberapa negara lain,
seperti Republik Rakyat Cina, India, Taiwan, Sri Lanka, Kanada, Australia, Amerika
Latin, dan Afrika, tempe sudah mulai dikenal di kalangan terbatas.
2.2 Khasiat dan Kandungan Gizi
Gambar 2.3. Masakan Tempe
Tempe dapat diolah menjadi berbagai jenis masakan, misalnya tumis tempe
dan buncis ini. Tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga
dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif
(aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain). Selain itu
tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah,
pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain.
Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak
banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim
pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat
pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat
dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala
kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga bisa disebut sebagai makanan
semua umur.
Dibandingkan dengan kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada
tempe. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut,
nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi
protein, serta skor proteinnya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna,
diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai. Ini
telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita gizi buruk dan diare kronis.
Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk akan
meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat. Pengolahan kedelai
menjadi tempe akan menurunkan kadar raffinosa dan stakiosa, yaitu suatu senyawa
penyebab timbulnya gejala flatulensi (kembung perut).
Mutu gizi tempe yang tinggi memungkinkan penambahan tempe untuk
meningkatkan mutu serealia dan umbi-umbian. Hidangan makanan sehari-hari yang
terdiri dari nasi, jagung, atau tiwul akan meningkat mutu gizinya bila ditambah
tempe.
Sepotong tempe goreng (50 gram) sudah cukup untuk meningkatkan mutu
gizi 200 g nasi. Bahan makanan campuran beras-tempe, jagung-tempe, gaplek-tempe,
dalam perbandingan 7:3, sudah cukup baik untuk diberikan kepada anak balita.
1. Asam Lemak
Selama proses fermentasi tempe, terdapat tendensi adanya peningkatan derajat
ketidakjenuhan terhadap lemak. Dengan demikian, asam lemak tidak jenuh majemuk
(polyunsaturated fatty acids, PUFA) meningkat jumlahnya.
Dalam proses itu asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami
penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat dan linolenat (asam linolenat
tidak terdapat pada kedelai). Asam lemak tidak jenuh mempunyai efek penurunan
terhadap kandungan kolesterol serum, sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol
di dalam tubuh.
2. Vitamin
Dua kelompok vitamin terdapat pada tempe, yaitu larut air (vitamin B
kompleks) dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe merupakan sumber
vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang terkandung dalam tempe antara
lain vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin),
vitamin B6 (piridoksin), dan B12 (sianokobalamin).
Vitamin B12 umumnya terdapat pada produk-produk hewani dan tidak
dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian), namun tempe
mengandung vitamin B12 sehingga tempe menjadi satu-satunya sumber vitamin yang
potensial dari bahan pangan nabati. Kenaikan kadar vitamin B12 paling mencolok
pada pembuatan tempe; vitamin B12 aktivitasnya meningkat sampai 33 kali selama
fermentasi dari kedelai, riboflavin naik sekitar 8-47 kali, piridoksin 4-14 kali, niasin
2-5 kali, biotin 2-3 kali, asam folat 4-5 kali, dan asam pantotenat 2 kali lipat. Vitamin
ini tidak diproduksi oleh kapang tempe, tetapi oleh bakteri kontaminan seperti
Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter freundii.
Kadar vitamin B12 dalam tempe berkisar antara 1,5 sampai 6,3 mikrogram
per 100 gram tempe kering. Jumlah ini telah dapat mencukupi kebutuhan vitamin B12
seseorang per hari. Dengan adanya vitamin B12 pada tempe, para vegetarian tidak
perlu merasa khawatir akan kekurangan vitamin B12, sepanjang mereka melibatkan
tempe dalam menu hariannya.
3. Mineral
Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup.
Jumlah mineral besi, tembaga, dan zink berturut-turut adalah 9,39; 2,87; dan 8,05 mg
setiap 100 g tempe.
Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam
fitat (yang mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan
terurainya asam fitat, mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium, magnesium, dan
zink) menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh.
4. Antioksidan
Di dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk isoflavon.
Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan
yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal
bebas.
Dalam kedelai terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan
genistein. Pada tempe, di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat
antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan
paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis
pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri
Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium.
Penuaan (aging) dapat dihambat bila dalam makanan yang dikonsumsi sehari-
hari mengandung antioksidan yang cukup. Karena tempe merupakan sumber
antioksidan yang baik, konsumsinya dalam jumlah cukup secara teratur dapat
mencegah terjadinya proses penuaan dini.
Penelitian yang dilakukan di Universitas North Carolina, Amerika Serikat,
menemukan bahwa genestein dan fitoestrogen yang terdapat pada tempe ternyata
dapat mencegah kanker prostat dan payudara.
5. Protein
Kandungan protein pada tempe sebanyak 35-45%
6. Karbohidrat
Kandungan karbohidrat pada tempe sebesar 12-30%
7. Air
Kandungan air pada tempe sebesar 7 %.
2.3 Tempe bukan kedelai
Selain tempe berbahan dasar kacang kedelai, terdapat pula berbagai jenis
makanan berbahan bukan kedelai yang juga disebut tempe. Terdapat dua golongan
besar tempe menurut bahan dasarnya, yaitu tempe berbahan dasar legum dan tempe
berbahan dasar non-legum.
Tempe bukan kedelai yang berbahan dasar legum mencakup tempe koro
benguk (dari biji kara benguk, Mucuna pruriens L.D.C. var. utilis, berasal dari sekitar
Waduk Kedungombo), tempe gude (dari kacang gude, Cajanus cajan), tempe gembus
(dari ampas kacang gude pada pembuatan pati, populer di Lombok dan Bali bagian
timur), tempe kacang hijau (dari kacang hijau, terkenal di daerah Yogyakarta), tempe
kacang kecipir (dari kecipir, Psophocarpus tetragonolobus), tempe kara pedang (dari
biji kara pedang Canavalia ensiformis), tempe lupin (dari lupin, Lupinus
angustifolius), tempe kacang merah (dari kacang merah, Phaseolus vulgaris), tempe
kacang tunggak (dari kacang tunggak, Vigna unguiculata), tempe kara wedus (dari
biji kara wedus Lablab purpures), tempe kara (dari kara kratok, Phaseolus lunatus,
banyak ditemukan di Amerika Utara), dan tempe menjes (dari kacang tanah dan
kelapa, terkenal di sekitar Malang).
Tempe berbahan dasar non-legum mencakup tempe mungur (dari biji mungur,
Enterolobium samon), tempe bongkrek (dari bungkil kapuk atau ampas kelapa,
terkenal di daerah Banyumas), tempe garbanzo (dari ampas kacang atau ampas
kelapa, banyak ditemukan di Jawa Tengah), tempe biji karet (dari biji karet,
ditemukan di daerah Sragen, jarang digunakan untuk makanan), dan tempe jamur
merang (dari jamur merang).
2.4 Fermentasi Tempe
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik
(tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi
anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan
fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor
elektron eksternal.
Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang
digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang
merupakan gula paling sederhana , melalui fermentasi akan menghasilkan etanol
(2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi
makanan.
Persamaan Reaksi Kimia:
C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)
Dijabarkan sebagai:
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) → Alkohol (etanol) + Karbon dioksida +
Energi (ATP)
Jalur biokimia yang terjadi, sebenarnya bervariasi tergantung jenis gula yang
terlibat, tetapi umumnya melibatkan jalur glikolisis, yang merupakan bagian dari
tahap awal respirasi aerobik pada sebagian besar organisme. Jalur terakhir akan
bervariasi tergantung produk akhir yang dihasilkan.
Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau
beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti
Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus,
sehingga membentuk padatan kompak berwarna putih. Sediaan fermentasi ini secara
umum dikenal sebagai “ragi tempe”.
Warna putih pada tempe disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada
permukaan biji kedelai. Tekstur kompak juga disebabkan oleh mise1ia jamur yang
menghubungkan biji-biji kedelai tersebut. Banyak sekali jamur yang aktif selama
fermentasi, tetapi umumnya para peneliti menganggap bahwa Rhizopus sp
merupakanjamur yang paling dominan. Jamur yang tumbuh pada kedelai tersebut
menghasilkan enzim-enzim yang mampu merombak senyawa organik kompleks
menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga senyawa tersebut dengan cepat dapat
dipergunakan oleh tubuh.
Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp tumbuh baik pada
kisaran pH 3,4-6. Pada penelitian semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin
meningkat sampai pH 8,4, sehinggajamur semakin menurun karena pH tinggi kurang
sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum jamur juga membutuhkan air untuk
pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air jamur lebih sedikit dibandingkan dengan
bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur,
jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh jamur.
Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim-enzim protease. Perombakan
senyawa kompleks protein menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana adalah penting
dalam fermentasi tempe, dan merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas
tempe, yaitu sebagai sumber protein nabati yang memiliki nilai cerna amat tinggi.
Kandungan protein yang dinyatakan sebagai kadar total nitrogen memang tidak
berubah selama fermentasi. Perubahan terjadi atas kadar protein terlarut dan kadar
asam amino bebas.
Berdasarkan suatu penelitian, pada tahap fermentasi tempe ditemukan adanya
bakteri Micrococcus sp. Bakteri Micrococcus sp. adalah bakteri berbentuk kokus,
gram positif, berpasangan tetrad atau kelompok kecil, aerob dan tidak berspora, bisa
tumbuh baik pada medium nutrien agar pada suhu 30°C dibawah kondisi aerob.
Bakteri ini menghasilkan senyawa isoflavon (sebagai antioksidan).
Adanya bakteri Micrococcus sp. pada proses fermentasi tempe tidak terlepas
dari tahapan pembuatan tempe, yang meliputi: penyortiran, pencucian biji kedelai
diruang preparasi, pengupasan kulit, perebusan kedelai, perendaman kedelai,
penirisan, peragian, pembungkusan, dan pemeraman. Selain itu faktor lingkungan
juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain, waktu, suhu, air, pH, suplai
makanan dan ketersediaan oksigen.
2.5 Pembuatan
Gambar 2.4 Tempe Hasil Fermentasi
Tempe berbungkus daun pisang yang dijual di pasar tradisional Indonesia.
Terdapat berbagai metode pembuatan tempe. Namun, teknik pembuatan tempe di
Indonesia secara umum terdiri dari tahapan perebusan, pengupasan, perendaman dan
pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi, pembungkusan, dan fermentasi.
Pada tahap awal pembuatan tempe, biji kedelai direbus. Tahap perebusan ini
berfungsi sebagai proses hidrasi, yaitu agar biji kedelai menyerap air sebanyak
mungkin. Perebusan juga dimaksudkan untuk melunakkan biji kedelai supaya
nantinya dapat menyerap asam pada tahap perendaman.
Kulit biji kedelai dikupas pada tahap pengupasan agar miselium fungi dapat
menembus biji kedelai selama proses fermentasi. Pengupasan dapat dilakukan dengan
tangan, diinjak-injak dengan kaki, atau dengan alat pengupas kulit biji.
Setelah dikupas, biji kedelai direndam. Tujuan tahap perendaman ialah untuk
hidrasi biji kedelai dan membiarkan terjadinya fermentasi asam laktat secara alami
agar diperoleh keasaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fungi. Fermentasi
asam laktat terjadi dicirikan oleh munculnya bau asam dan buih pada air rendaman
akibat pertumbuhan bakteri Lactobacillus. Bila pertumbuhan bakteri asam laktat tidak
optimum (misalnya di negara-negara subtropis, asam perlu ditambahkan pada air
rendaman. Fermentasi asam laktat dan pengasaman ini ternyata juga bermanfaat
meningkatkan nilai gizi dan menghilangkan bakteri-bakteri beracun.
Proses pencucian akhir dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang
mungkin dibentuk oleh bakteri asam laktat dan agar biji kedelai tidak terlalu asam.
Bakteri dan kotorannya dapat menghambat pertumbuhan fungi.
Inokulasi dilakukan dengan penambahan inokulum, yaitu ragi tempe atau
laru. Inokulum dapat berupa kapang yang tumbuh dan dikeringkan pada daun waru
atau daun jati (disebut usar; digunakan secara tradisional), spora kapang tempe dalam
medium tepung (terigu, beras, atau tapioka; banyak dijual di pasaran), ataupun kultur
R. oligosporus murni (umum digunakan oleh pembuat tempe di luar Indonesia).
Inokulasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) penebaran inokulum pada
permukaan kacang kedelai yang sudah dingin dan dikeringkan, lalu dicampur merata
sebelum pembungkusan; atau (2) inokulum dapat dicampurkan langsung pada saat
perendaman, dibiarkan beberapa lama, lalu dikeringkan.
Setelah diinokulasi, biji-biji kedelai dibungkus atau ditempatkan dalam wadah
untuk fermentasi. Berbagai bahan pembungkus atau wadah dapat digunakan
(misalnya daun pisang, daun waru, daun jati, plastik, gelas, kayu, dan baja), asalkan
memungkinkan masuknya udara karena kapang tempe membutuhkan oksigen untuk
tumbuh. Bahan pembungkus dari daun atau plastik biasanya diberi lubang-lubang
dengan cara ditusuk-tusuk.
Biji-biji kedelai yang sudah dibungkus dibiarkan untuk mengalami proses
fermentasi. Pada proses ini kapang tumbuh pada permukaan dan menembus biji-biji
kedelai, menyatukannya menjadi tempe. Fermentasi dapat dilakukan pada suhu
20 °C–37 °C selama 18–36 jam. Waktu fermentasi yang lebih singkat biasanya untuk
tempe yang menggunakan banyak inokulum dan suhu yang lebih tinggi, sementara
proses tradisional menggunakan laru dari daun biasanya membutuhkan waktu
fermentasi sampai 36 jam.
2.5.1 Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Pembuatan Tempe
1. Oksigen
Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Aliran udara yang terlalu
cepat menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat sehingga dihasilkan
panas yang dapat merusak pertumbuhan kapang. Oleh karena itu apabila digunakan
kantong plastik sebagai bahan pembungkusnya maka sebaiknya pada kantong
tersebut diberi lubang dengan jarak antara lubang yang satu dengan lubang lainnya
sekitar 2 cm.
2. Uap Air
Uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini
disebabkan karena setiap jenis kapang mempunyai Aw optimum untuk
pertumbuhannya.
3. Suhu
Kapang tempe dapat digolongkan kedalam mikroba yang bersifat mesofilik,
yaitu dapat tumbuh baik pada suhu ruang (25-27oC). Oleh karena itu, maka pada
waktu pemeraman, suhu ruangan tempat pemeraman perlu diperhatikan.
4. Keaktifan Laru
Laru yang disimpan pada suatu periode tertentu akan berkurang keaktifannya.
Karena itu pada pembuatan tempe sebaiknya digunakan laru yang belum terlalu lama
disimpan agar dalam pembuatan tempe tidak mengalami kegagalan.
2.5.2 Perubahan yang Terjadi Selama Fermentasi
Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan fisik maupun
kimianya. Perubahan-perubahan tersebut diantaranya:
1. Peningkatan kadar nitrogen terlarut
Peningkatan ini disebabkan karena adanya aktivitas proteolitik kapang, yang
menguraikan protein kedelai menjadi asam-asam amino, sehingga nitrogen
terlarutnya akan mengalami peningkatan.
2. Peningkatan pH
Dengan adanya peningkatan nitrogen terlarut maka pH juga akan mengalami
peningkatan. Nilai pH untuk tempe yang baik berkisar antara 6,3-6,5.
3. Kedelai menjadi mudah dicerna
Kedelai yang telah difermentasi menjadi tempe akan lebih mudah dicerna.
Selama proses fermentasi karbohidrat dan protein akan dipecah oleh kapang menjadi
bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan bau langu dari kedelai juga
akan hilang.
4. Perubahan kadar air pada kedelai
Kadar air kedelai pada saat sebelum fermentasi mempengaruhi pertumbuhan
kapang. Selam proses fermentasi akan terjadi perubahan pada kadar air dimana
setelah 24 jam fermentasi, kadar air kedelai akan mengalami penurunan menjadi
sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64%.
(Sudarmadji dan Markakis, 1977)
5. Berkurangnya kandungan oligosakarida
Selama fermentasi tempe terjadi pengurangan kandungan oligosakarida
penyebab “flatulence”. Penurunan tersebut akan terus berlangsung sampai fermentasi
72 jam.
6. Peningkatan kadar amino bebas
Selama fermentasi, asam amino bebas juga akan mengalami peningkatan dan
peningkatannya akan mengalami jumlah terbesar pada waktu fermentasi 72 jam
(Murata et al., 1967)
7. Peningkatan serat kasar dan vitamin
Kandungan serat kasar dan vitamin akan meningkat pula selama fermentasi
kecuali vitamin B1 atau yang lebih dikenal dengan thiamin (Shurtleff dan Aoyagi,
1979).
8. Pengurangan disakarida
Pengurangan disakarida terjadi pada senyawa stakhiosa, rafinosa, dan sukrosa.
Penurunan tersebut lebih diakibatkan oleh perendaman dan perebusan kedelai jika
dibandingkan dengan fermentasi. Menurut Kasmidjo (1989) perendaman dan
perebusan menyebabkan penurunan stakhiosa, rafinosa, dan sukrosa masing-masing
menjadi 51%, 48%, dan 41% dari bahan awalnya, selanjutnya stakhiosa akan
berkurang menjadi 7% saja setelah 72 jam fermentasi dan sukrosa akan berkurang
menjadi sepertiganya.
9. Penurunan lemak
Fermentasi tempe juga mengakibatkan penurunan lemak. Hasil penelitian
Sudarmadji dan Markakis (1978) menunjukkan bahwa setelah fermentasi 48 jam
menggunakan inokulum Rhizopus sp, 20% lemak akan terhidrolisis oleh enzim
lipase. Sedangkan komponen utama lemak kedelai, yaitu asam linoleat akan habis
termetabolisasikan pada fermentasi hari ketiga (Kasmidjo, 1989)
2.5.3 Kriteria Hasil Akhir
Berikut adalah kriteria hasil akhir dari proses fermentasi tempe yang benar:
1. Berwarna putih atau putih keabu-abuan
Warna putih pada tempe disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada
permukaan biji kedelai. Miselia jamur ini biasanya tumbuh merata di sepanjang
permukaan tempe.
2. Tekstur kompak, padat dan lunak
Tekstur yang kompak dan padat juga disebabkan oleh miselia-miselia jamur
yang menghubungkan antara biji-biji kedelai tersebut.
3. Aroma khas tempe
Biasanya aroma pada tempe agak berbau asam. Terjadinya degradasi
komponen-komponen dalam kedelai dapat menyebabkan terbentuknya flavor yang
spesifik setelah fermentasi
4. Tempe tidak hancur
Terutama pada saat dipotong. Artinya tempe tidak terlalu lembek dan
berbentuk padat.
2.5.4 Ciri- Ciri Tempe yang Tidak Jadi
Pada pembuatan tempe terutama pada saat proses fermentasinya, kondisinya
harus higienis dan bersih sehingga pembuatan tempe akan berhasil, karena fermentasi
tempe hanya terjadi pada lingkungan yang higienis. Berikut adalah ciri-ciri tempe
yang tidak jadi (fermentasinya tidak berhasil):
1. Tempe tetap basah
2. Jamur tumbuh kurang baik
3. Tempe berbau busuk
4. Ada bercak hitam dipermukaan tempe
5. Jamur hanya tumbuh baik di salah satu tempat
2.6 Bakteri Rhizopus Oryzae
2.6.1 Rhizopus Oryzae meningkatkan gizi pangan
Pada tempe terdapat jamur Rhizopus oryzae yang mengalami fermentasi.
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa
oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan
tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai
respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang
digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang
merupakan gula paling sederhana , melalui fermentasi akan menghasilkan etanol
(2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi
makanan.
2.6.2 Peranan Rhizopus Oryzae dalam meningkatkan gizi tempe
Kedelai merupakan bahan baku tempe. Kandungan Kedelai (100 gr.) – Protein
34,9 gram – Kalori 331 kal – Lemak 18,1 gram – Hidrat Arang 34,8 gram – Kalsium
227 mg – Fosfor 585 mg – Besi 8 mg – Vitamin A 110 SI – Vitamin B1 1,07 mg –
Air 7,5 gram. Pada pembuatan tempe selama proses fermentasi, kedelai akan
mengalami perubahan baik fisik maupun kimianya. Protein kedelai dengan adanya
aktivitas proteolitik kapang akan diuraikan menjadi asan-asam amino, sehingga
nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan. Dengan adanya peningkatan dari
nitrogen terlarut maka pH juga akan mengalami peningkatan. Nilai pH untuk tempe
yang baik berkisar antara 6,3 sampai 6,5. Kedelai yang telah difermentasi menjadi
tempe akan lebih mudah dicerna. Selama proses fermentasi karbohidrat dan protein
akan dipecah oleh kapang menjadi bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah
dicerna dan ternyata bau langu dari kedelai juga akan hilang.
Kadar air kedelai pada saat sebelum fermentasi mempengaruhi pertumbuhan
kapang. Selama proses fermentasi akan terjadi perubahan pada kadar air dimana
setelah 24 jam fermentasi, kadar air kedelai akan mengalami penurunan menjadi
sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64%
(Sudarmaji dan Markakis, 1977).
Perubahan-perubahan lain yang terjadi selama fermentasi tempe adalah
berkurangnya kandungan oligosakarida penyebab flatulence. Penurunan tersebut akan
terus berlangsung sampai fermentasi 72 jam.
Selama fermentasi, asam amino bebas juga akan mengalami peningkatan dan
peningkatannya akan mencapai jumlah terbesar pada waktu fermentasi 72 jam
(Murata et al., 1967). Kandungan serat kasar dan vitamin akan meningkat pula selama
fermentasi kecuali vitamin B1 atau yang lebih dikenal dengan thiamin.
KESIMPULAN
Fermentasi tempe merupakan fermentasi dengan bahan baku kacang kedelai
atau bahan lainnya seperti legum dan non legum dengan bantuan kapang Rhizopus
sp. Tahapan pembuatan tempe meliputi perebusan, pengupasan, perendaman,
pencucian, inokulasi, pembungkusan (pengemasan). Komposisi tempe meliputi :
asam lemak, vitamin, mineral, antioksidan, protein, karbohidrat dan asir. Sedangkan
factor-faktor penting dalam pembuatan tempe yaitu oksigen, uap air, suhu dan
keaktifan laru.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2010. Pembuatan Tempe. http://wong168.wordpress.com. Diakses 26 Desember 2012
Anonymous,2008. Kedelai Wikipedia Indonesia. http://hidupsehatonline.blogspot .com. Diakses 26 Desember 2012
Anonymous, 2010. Kedelai Tempe Jangan dianggap Sepele. http://www.loperkoran. com. Diakses 26 Desember 2012
Kasmidjo, RB. 1989. Tempe. Kumpulan Handout Kursus Singkat Fermentasi Pangan. Yogyakarta : PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada.
Murata, K., H. Ikera dan T. Miyamoto 19.67 Studies on the nutricional value of tempeh. J. Foodsci. 32 :580
Pupus, Hestining. 1996. Proses Pembuatan Tempe. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehata Deparatemen Kesehatan RI
Sudarmadji, S. dan P. Markakis. 1977. The phytate and phytaseof soybean tempeh. J.
Sci. Food Agric. 28:38.
Shurtleff, W. & A. Aoyagi. 1979 hlm. 148
Sutikno. 2009. Fermentasi tempe. http://sutikno.blog.uns.ac.id/2009/04/28/fermentasi -tempe/ Diakses 26 Desember 20012