makalah stereotip

32
I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri atas berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang berbeda beda. Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan survei mengenai jumlah suku bangsa, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai wilayah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai kebiasaan hidup yang berbeda beda. Kebiasaan hidup itu menjadi budaya serta ciri khas suku bangsa tertentu. Keragaman tersebut di satu sisi, kita mengakuinya sebagai khazanah budaya yang bernilai tinggi. Akan tetapi di sisi lain, ketika dua karakter sosial dan budaya bertemu, primordialisme seakan menjadi satu sekat yang membuat mereka benar-benar menjadi dua suku berbeda, menjadi air dan minyak. Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya. Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap 1

Upload: dwirintani2299

Post on 29-Jun-2015

3.880 views

Category:

Documents


35 download

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk karena terdiri atas

berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama yang berbeda

beda. Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan survei mengenai jumlah suku

bangsa, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa.

Keanekaragaman tersebut terdapat di berbagai wilayah yang tersebar dari

Sabang sampai Merauke. Setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai kebiasaan

hidup yang berbeda beda. Kebiasaan hidup itu menjadi budaya serta ciri khas

suku bangsa tertentu.

Keragaman tersebut di satu sisi, kita mengakuinya sebagai khazanah budaya

yang bernilai tinggi. Akan tetapi di sisi lain, ketika dua karakter sosial dan budaya

bertemu, primordialisme seakan menjadi satu sekat yang membuat mereka

benar-benar menjadi dua suku berbeda, menjadi air dan minyak.

Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang

teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat,

kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan

pertamanya. Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai

yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap

primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan

budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau

kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung

bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu

memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena

nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah

daging dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila

nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.

Rasa primordial dan etnosentrisme terus berkembang hingga sekarang,

bahkan tak dapat disangkal bahwa paham ini juga menjadi penyebab masalah di

1

dalam perkawinan. Banyak kasus-kasus dalam kehidupan kita sehari-hari,

dimana terdapat penolakan untuk terjadinya perkawinan antar suku, atau

perkawinan yang dilangsungkan oleh dua suku berbeda, walaupun banyak orang

yang mewakili tersebut tak lagi terang-terangan untuk menyatakan dirinya

adalah penganut paham tersebut.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, terkumpulah beberapa

permasalah yang menarik untuk dibahas dalam makalah ini

a. Apa definisi perkawinan, sistem kekeluargaan dan perkawinan di berberapa

suku di Indonesia?

b. Adakah mitos-mitos yang mengiringi pertentangan perkawinan antar suku?

c. Apa saja faktor yang menyebabkan bertahannya stigma negatif perkawinan

antar suku di Indonesia?

d. Bagaimanakah cara untuk mengatasi masalah pertentangan perkawinan

antar suku?

I.3 Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui penyebab dari adanya pertentangan dalam suatu suku

untuk melakukan pernikahan antar suku

b. Untuk mengetahui cara-cara untuk menoleransi keberadaan dari

pemahaman pernikahan antar suku

c. Untuk memenuhi tugas matakuliah antropologi

2

II. PEMBAHASAN

II.1 Definisi Perkawinan, Sistem Kekeluargaan Dan Perkawinan Di Berbagai Suku

Di Indonesia

2.1.1. Definisi Perkawinan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan

masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang

berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga

oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk

membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan

memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin

adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.

Dalam administrasi perkawinan di Indonesia, sesungguhnya sama sekali

tidak dipermasalahkan asal-usul suku atau etnis dari kedua mempelai.

2.1.2. Sistem Kekeluargaan

Terdapat 3 bentuk sistem kekeluargaan yang berkembang di Indonesia :

1. Unilateral : sistem kekeluargaan dimana masyarakatnya hanya menarik

satu garis keturunan. Ada 2 macam yaitu :

a. Patrilineal

Hubungan kekeluargaan ditarik dari garis keturunan Ayah saja (satu klan-

satu keluarga) contoh : masyarakat Tapanuli, Nias, Maluku Utara, Maluku Selatan.

3

Patrilineal terbagi menjadi :

- Patrilineal murni , contoh : batak, Nias

Apabila tidak ada keturunan laki-laki maka kewarisan jatuh pada generasi

yang berada diatasnya (orangtua, kakek)

- Patrilineal beralih alih, contoh : Bali, Lampung, Bengkulu

Penghubungnya tidak selalu menarik garis keturunan dari laki-laki, pada saat

tertentu misalnya ada masalah darurat seperti kewarisan maka garis keturunan

dari laki-laki dapat beralih ke perempuan tergantung pada perkawinan orangtua

(mis. Tanah semendo, lampung, bali, rejang). Contoh : di daerah Lampung .

b. Matrilineal

Hubungan kekeluargaan ditarik dari garis keturunan Ibu. Contoh :

masyarakat adat Minangkabau (sumatra barat).

2. Bilateral : sistem kekeluargaan dimana masyarakatnya dapat menarik garis

keturunan baik dari garis Ayah (laki-laki) maupun garis Ibu (perempuan).

Ciri-ciri bilateral :

Menarik garis keturunan dari pihak laki-laki maupun perempuan

Kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan sama

Tidak mengenal klan.

Dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Contoh : masyarakat Jawa, Kalimantan.

- Jawa, bilateral yang bersifat batih yaitu apabila anak-anak telah kawin, maka

mereka akan mencar (hidup terpisah dari orangtua atau keluarga batih).

Masyarakat Jawa tidak mengenal Klan, tapi mengenal kesamaan adat yang

ditentukan oleh wilayah teritorial (dalam satu wilayah teritorial biasanya

memiliki adat yang sama).

4

- Dayak, bilateral yang berumpun yaitu apabila anak-anak telah kawin mereka

tetap hidup berkumpul dan mereka akan sedapat mungkin akan mencari

pasangan yang masih memiliki hubungan darah serumpun.

3. Double unilateral : sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari satu

garis keturunan saja untuk hal2 tertentu (ayah) dan satu garis keturunan

lainnya (ibu) untuk hal lainnya. (unilateral tidak murni). Contoh Masyarakat

adat Timor dimana sebagian anak menarik garis keturunan dari pihak ayah dan

beberap anak lagi menarik keturunan dari garis Ibu.

2.1.3. Perkawinan Dalam Suku Di Indonesia :

Pengertian dalam masyarakat adat perkawinan bukan hanya merupakan

urusan yang sifatnya pribadi tetapi juga melibatkan dan mengkat keluarga

lainnya.

Tujuan :

memperoleh keturunan.

Pengertian tentang anak tidak sama dalam setiap masyarakat adat.

Misalnya dalam masyarakat batak ada satu keluarga yang telah

memiliki 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki, maka

yang dikatakan sebagai anak adalah hanya 1 orang yaitu anak laki-

laki, karena garis keturunan ditarik dari garis ayah (laki-laki).

Untuk mempertahankan sistem kekeluargaan (klan).

Untuk memberikan status pada anak (misalnya pada masyarakat

Jawa ada nikah darurat tambelan dimana apabila seorang wanita

yang hamil tanpa adanya suami, maka ia akan menikan dengan

suami sukarelawan).

Tahapan/prosedur sebelum adanya perkawinan :

5

Melalui peminangan atau lamaran. Dalam masyarakat matrilineal yang

melamar adalah pihak perempuan. Sedangkan dalam masyarakat patrilineal

yang meminang adalah pihak laki-laki.

Tidak melalui peminangan :

o Kawin lari : dalam hukum adat diperbolehkan. Contoh dalam

masyarakat Bugis. Biasanya pihak laki-laki akan meninggalkan

surat kepada pihak keluarga perempuan yang disebut surat

tangepik yang didalam surat itu ditulis mereka akan kawin lari ke

daerah mana, dll. Keduanya setuju untuk kawin lari.

o Kawin bawa lari : dalam kawin bawa lari ini sebenarnya pihak

perempuan tidak setuju dengan kawin lari tsb, tapi pihak laki-

laki membawa kabur perempuan. tidak meninggalkan surat.

Bentuk Perkawinan:

1. Jujur (Patrilineal) :

Ciri-cirinya :

Eksogami klan, menikah dengan orang luar atau diluar klan.

Patrilokal, isteri wajib mengikuti tempat kediaman suami

Ada barang jujur, barang yang berfungsi mengembalikan

kesimbangan magis dan melepaskan perempuan dari ikatan hak dan

kewajiban keluarga asal. Mempunyai nilai magis (sekarang sudah

berangsur-angsur diganti dengan uang).

Bersifat asimetris.

Ada larangan kawin timbal balik antara 2 klan yang sudah mempunyai

hubungan perkawinan – saling bertukar (khusus masyarakat batak).

6

Akibat hukum : putusnya hubungan hukum dengan keluarga biologis. Isteri

masuk ke dalam keluarga suami, anak-anak yang lahir menarik garis keturunan

dari garis ayah sehingga ia se-klan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

Variasi kawin jujur :

Perkawinan mengabdi (Dien Huwelijk), Ter Haar.

o Yaitu perkawinan dimana pihak laki-laki tidak sanggup untuk

membayar jujur. Sepanjang jujur tersebut belum dibayar lunas, maka

si laki-laki belum boleh membawa isterinya keluar dari keluarganya.

Pihak laki-laki dapat melunasi dengan cara bekerja pada keluarga

perempuan sampai jujurnya lunas (mengabdi pada keluarga

perempuan).

Perkawinan Levirat (janda turun ranjang).

o Yaitu perkawinan antara Janda yang menikah dengan saudara

almarhum suaminya.

Perkawinan Sororat (Duda turun ranjang)

o Yaitu perkawinan antara Duda yang menikah dengan saudara

almarhum isterinya.

2. Semendo (Matrilineal) :

Ciri-cirinya :

Eksogami klan, larangan kawin 1 klan.

Matrilokal, isteri tidak wajib mengikuti tempat tinggal suami.

Dijumpai pada setiap masyarakat adat (terutama minangkabau)

Masyarakat Minangkabau :

- Laki-laki pada masyarakat Minangkabau tetap menjadi ahli waris (walaupun

bagian warisannya tidak diambil, seandainya diambil dianggap tidak sopan),

namun ia bukan penerus garis keturunan keluarga.

7

- Suami tidak pindah ke keluarga isteri demikian juga sebaliknya isteri tidak

pindah ke keluarga suami, maka hubungan hukum antara si suami dan si

isteri dengan keluarganya masing-masing tidak putus.

- Sebagai suami ia hanya datang ke tempat isterinya pada malam hari untuk

melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai suami, kemudian pada

subuhnya ia kembali kerumah keluarganya (semendo bertandang.) Jadi si

suami di dalam keluarga isteri hanya dianggap sebagai tamu, ia tidak

memiliki hak apa-apa tetapi hanya berkewajiban mengurus isterinya.

Begitu juga di dalam keluarganya sendiri, si suami tidak mempunyai hak,

hanya kewajiban untuk mengurus keponakan dan harta keluarga

matrilinealnya. Apabila si suami meninggal, maka warisan tidak jatuh pada

isteri dan anak-anaknya, tetapi pada keluarga matrilinealnya. Ia juga tidak

mempunyai kewajiban untuk memelihara anak-anaknya, yang berkewajiban

mengurus anak-anaknya adalah saudara laki-laki dari isterinya

(mamak/paman anak-anaknya) dengan menggunakan harta matrilineal sang

isteri (adiknya). Kedudukan Suami dan isteri sederajat.

Perkembangan perkawinan semendo :

Mulai adanya semendo menetap, dalam perkembangannya misalnya dalam

masyarakat Minangkabau keluarga yang sebelumnya bertempat tinggal di

rumah gadang (rumah keluarga besar dimana ada beberapa keluarga tinggal

bersama) sekarang ini sudah memisahkan diri menjadi satu keluarga yang

terpisah. Suami sudah tinggal bersama isteri dan anak-anaknya di kampung si

isteri. Namun kehidupan mereka sehari-hari masih banyak dipengaruhi oleh

keluarga si isteri. Sehingga kedudukan suami masih belum setara dengan

isterinya.

Suami, isteri dan anak-anak sekarang sudah mulai tinggal di kota (terpisah dari

kampung isteri). Kehidupan mereka sudah tidak tergantung pada harta

matrliineal pihak keluarga isteri walaupun masih terpengaruh oleh keluarga

isteri. Timbul harta bersama, kedudukan sederajat antara suami dan isteri.

8

Semendo Bebas, kehidupan keluarga sudah tidak dipengaruhi oleh keluarga

isteri. Mereka mengatur kehidupan keluarga secara mandiri dan si suami tidak

bertanggung jawab lagi sebagai mamak, hanya sekedar pemberi nasehat apabila

diperlukan oleh anggota keluarga matrilineal suami. Dalam semendo bebas ini

suami/isteri bebas untuk menentukan tempat tinggal bersama dan ada harta

bersama.

Dalam masyarakat patrilineal beralih-alih seperti halnya di Lampung, apabila

terdapat keadaan memaksa (misalnya anak-anaknya perempuan semua dalam

kaitannya dengan masalah warisan-seharusnya yang menjadi ahli waris adalah anak

laki-laki tertua) maka diperbolehkan kawin semendo. Karena adanya masalah

kewarisan ini maka anak perempuan yang ada tidak boleh kawin jujur melainkan

harus kawin semendo. Dengan demikian si anak perempuan akan tetap di

keluarganya dan tidak akan pindah ke keluarga laki-laki seperti apabila dilakukan

kawin jujur. Kemudian anak-anak yang lahir akan mengikuti garis keturunan dari

ibunya.

-Semendo amani manuk (Tapanuli), laki-laki tidak bisa men-jujur perempuan

biasanya gadis tua dengan laki-laki miskin yang tidak sama derajatnya. (ada

kehidupan bersama tetapi tidak ada harta bersama.)

Macam-macam perkawinan semendo dalam Patrilineal beralih-alih :

Kawin semendo tegak tegi (untuk masyarakat Lampung keturunan bangsawan)

:

o Menantu akan menjadi ahli waris bagi pewaris, namun terhadap

keluarga biologisnya sendiri ia tidak akan menjadi ahli waris. Hal

tersebut terjadi karena ahli waris tidak boleh beda klan (endogami klan).

Jadi setelah kawin dengan si perempuan sang menantu seakan-akan

menjadi satu klan dengan pewaris. (yang diwariskan adalah harta

warisan beserta gelar kebangsawanan.)

Semendo Jeng Mirul :

9

o Menantu hanya mengelola/menjaga harta warisan pewaris (sebagai

trustee) sampai lahirnya anak laki-laki. anak laki-laki dari menantu

tersebut nantinya yang akan menjadi ahli waris dari pewaris.

o Kedudukan menantu dan isterinya sederajat.

Semendo Nginjam Jago :

o Suami hanya berfungsi untuk mendapatkan keturunan.

o Suami (menantu) tidak mendapatkan apa (tidak mendapat warisan),

dalam masyarakat kedudukannya lebih rendah dari si isteri.

-dalam masyarakat Batak disebut semendo amani manuk, hal ini terjadi

karena suami tidak mampu untuk membayar jujur dan isteri tidak keluar

dari keluarga biologisnya. Berbeda dengan perkawinan mengabdi

dimana suami masih mampu membayar jujur.

Semendo ambil anak : sama dengan semendo Tegak Tegi, tetapi berlaku bagi

masyarakat biasa bukan bangsawan (menantu menjadi ahli waris tetapi tidak

menjadi ahli waris dalam keluarga biologisnya.)

Di Bali :

Dikenal semendo Nyeburin yaitu menantu laki-laki menjadi seakan-akan anak

perempuan (sentana tarikan) sementara anak perempuan menjadi seakan-akan

anak laki (sentana). Upacara perkawinan antara laki dan perempuan tersebut

dinamakan upacara ngentanayang. Hubungan biologis laki menjadi putus dengan

keluarga asalnya karena ia akan menjadi ahli waris dari keluarga isterinya. secara

sosial kedudukannya lebih rendah karena seharusnya dia lah yang membawa

isterinya keluar tetapi ia malah masuk kedalam keluarga isterinya.

Di Bengkulu/ Rejang :

a) Semendo Rajo :

10

Kedudukannya sama dengan perkawinan jujur hanya akibat hukumnya

berbeda.

Garis keturunan ditarik dari garis ayah dan ibu.

Akibat hukumnya sama dengan perkawinan bebas.

b) Semendo :

Beradat :

o beradat penuh : misalkan uang adat yang harus dibayar adalah 100,

apabila si suami mampu membayar sepenuhnya (100) maka anak-

anak yang lahir nantinya separuhnya ikut garis ayah dan

separuhnya lagi ikut garis Ibu. apabila jumlah anaknya ganjil maka

sisanya ikut garis ibu.

o Setengah beradat : bila si suami hanya mampu membayar

setengahnya saja dari uang adat. Karenanya ia hanya berhak atas

seorang anak saja, tetapi kewajibannya tetap terhadap semua

anak-anaknya yang ada.

o Kurang beradat : misalnya si suami hanya mampu membayar

kurang dari setengahnya. Jadi dalam hal ini seorang ayah tidak

berhak atas seorang anak pun. Tetapi kalau menginginkan anak,

maka si suami harus membayar uang pedout.

Tak beradat : si suami sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk

membayar uang adat sehingga tidak berhak sama sekali terhadap anak-

anaknya.

c) Perkawinan Bebas (tidak berklan).

II.2 Mitos Dibalik Pertentangan Perkawinan Antar Suku Di Indonesia

Sampai saat ini masih mudah ditemui adanya keengganan orangtua bila

anak-anaknya menikah dengan orang yang berbeda sukunya. Masih mudah pula

ditemui orangtua yang membatasi pilihan anak-anaknya hanya boleh menikah

11

dengan suku sendiri atau beberapa suku tertentu saja, sementara beberapa

suku yang lain dilarang. Kenyataan seperti itu merupakan cerminan dari adanya

prasangka antar suku

Terdapat banyak mitos tentang pekawinan antar suku di indonesia, bahkan

beberapa suku telah dianggap tidak berjodoh dengan salah satu suku,

contohnya adalah pendapat bahwa ras Jawa tidak cocok menikah dengan ras

Sunda dan Minang, lalu ras Minang tidak cocok menikah dengan Ras batak, Ras

Budis tidak cocok dengan ras Madura, dan beberapa suku lain

Contohnya yang terjadi pada mitos pernikahan antara ras Jawa dan ras

Sunda, kedua ras ini dianggap tidak berjodoh. Terdapat beberapa pendapat,

apabila kedua suku ini melangsungkan ikatan perkawinan maka tidak akan

bahagia, akan terus mendapat musibah serta kemudian tidak akan pernah

langgeng. Alasan-alasan tersebut menguat mungkin lebih diakibatkan dari adat-

istiadat yang berbeda, Namur selain perbedaan adat dan istiadat ternyata faktor

yang menjegal kedua ras ini adalah adanya faktor sejarah yang kurang

mengenakan. Salah satunya adalah Perang Bubat yang terjadi sekitar 7 abad

yang lalu (tepatnya tahun 1279 M). Peristiwa yang membawa trauma yang

mendalam bagi keluarga kerajaan Galuh, karena seluruh anggota keluarga

kerajaan, mulai dari Prabu Linggabuana dan permaisuri Lara Linsing, serta

putrinya yang cantik jelita (khas tanah Parahiyangan) Dyah Pitaloka Citraresmi,

terbantai di Palagan Bubat. Peristiwa yang telah lama berlalu sebenarnya, tetapi

melahirkan banyak mitos seputar hubungan Sunda dan Jawa, sampai saat ini.

Banyak pendapat yang sudah membantah bahwa peristiwa itu sudah tidak

banyak memberikan dampak pada hubungan Jawa dan Sunda dewasa ini. Tetapi

beberapa indikasi masih menunjukkan ketegangan hubungan ini, seperti

misalnya tiadanya nama-nama yang berbau Jawa (Majapahit) yang digunakan

sebagai nama jalan di tanah Parahiyangan/Pasundan (baru-baru ini ada

informasi bahwa di Cimahi ada Jl. Gadjah Mada), atau adanya mitos yang

melarang laki-laki/perempuan Sunda untuk menikah dengan orang Jawa. Dalam

suatu seminar di Universitas Padjajaran belum lama ini, yang membahas novel

Gajah Mada: Perang Bubat karangan Langit Kresna Hariadi, ketegangan yang

12

sama kembali muncul. Ini membuktikan bahwa ketegangan itu masih belum

dapat cair seutuhnya

Lain lagi halnya dengan ras minang. Pada umumnya orang minang, terutama

ibu selalu ingin anaknya menikah dengan orang minang juga. Apalagi si Ibu ini

hidup dan besar, bahkan tua di ranah minang. Tidak pernah merantau ke tanah

Jawa, dan selalu berdomisili di Ranah Minang. Sehingga pola pikirnya biasanya

selalu terkungkung dengan keyakinan bahwa ia harus memiliki menantu suku

minang pula. Apalagi jika memiliki anak laki-laki yang notabene harus keluar dari

rumah apabila sudah menikah.

Dalam keluarga minang, garis keturunan di tentukan oleh pihak perempuan,

sehingga apabila anak laki-lakinya menikah dengan perempuan non minang,

artinya adalah cucu yang dilahirkan dari pernikahan nanti bukan orang minang

lagi, karena lahir dari rahim seorang ibu yang bukan minang. Istilahnya dalam

bahasa minang adalah "anak ndak basuku". Hal inilah yang memberatkan

seorang laki-laki minang untuk menikah dengan perempuan yang bukan berasal

dari ras minang.

Kemudian suku lainnya yang mengalami konflik dalam urusan perkawinan

adalah antara suku Dayak dan suku Madura, kedua suku ini memang pernah

berseteru, bahkan beberapa kalangan menganggap kedua suku ini adalah

musuh dimana untuk menjalin hubungan sosial secara umum saja sudah sulit,

apalagi jika harus menjalin hubungan dalam hal yang lebih erat, seperti

pernikahan.

Selain faktor perbedaan adat istiadat, sejarah, serta pertimbangan

keturunan, faktor agama serta kebiasaan yang di generalisir di sebuah suku

dapat pula menimbulkan pertimbangan bagi keluarga-keluarga didalam suatu

suku agar tidak menikahkan anak-anaknya dengan suku tertentu. Misalnya saja

pertentangan antara suku minang dan suku Batak, pasangan suami-istri dengan

komposisi kedua suku ini sangat jarang ditemui, namun untuk kedua suku ini

mungkin lebih didasarkan pada perbedaan agama. Seperti yang selama ini

diketahui, bahwa mayoritas suku Minang menganut agalam islam, sedangkan

suku Batak non islam.

13

Kemudian pertimbangan lain adalah ”cap” yang diberikan kepada suatu suku

tertentu, seperti suku minang pelit, suku sunda materialistis, suku madura kasar,

suku batak keras, suku jawa perhitungan, dan lain-lain. Hal ini mungkin lebih

diberatkan pada faktor pengalaman pribadi dari masing-masing keluarga dalam

menjalin hubungan dengan orang-orang dari suku diluar suku keluarga tersebut.

II.3 Faktor Penyebab Bertahannya Stigma Negatif Perkawinan Antar Suku Di

Indonesia

Masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya,

karena adanya berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur

merupakan sumber nilai yang memungkinkan terpeliharanya kondisi

kemapanan dalam kehidupan masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat

pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan

kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi perikehidupannya yang sekaligus

untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas.

Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya

persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan

kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Diantara hubungan-

hubungan ini yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku

bangsa dan umum local di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain.

Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau upaya penyeragaman budaya

seringkali dapat memperkuat penolakan dari budaya-budaya daerah, atau yang

lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut, justru disertai dengan

semakin menguatnya Etnosentrime .

Etnosentrime

Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa

kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu

dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelmok sendiri. Etnosentrisme

membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya,

14

atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi

kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat

dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan

prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain.

Menurut Budiono Kusumohamodjojo, Orang-orang yang berkepribadian

etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai

banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun

komunikasi, sehingga sangat mudah terprofokasi. Sebagian besar masyarakat

Indonesia masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut.

Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling

mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat.

Kegiatan yang dibayangkan, bahkan dipercayai, sebagai perwujudan ideal

hubungan cinta antara dua individu belaka telah menjadi urusan banyak orang

atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai

negara. Namun, pandangan pribadi ini pada saatnya akan terpangkas oleh

batas-batas yang ditetapkan keluarga, masyarakat, maupun ajaran agama dan

hukum negara sehingga niat tulus menjalin ikatan hati, membangun kedirian

masing-masing dalam ruang bersama, seringkali terkalahkan.

Pertentangan didalam suatu keluarga dari etnis tertentu untuk menjalin

hubungan perkawinan dengan etnis lain tak terlepas dari :

A. Prasangka

Prasangka adalah sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok

tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam

kelompok. Sementara itu, Daft (1999) memberikan definisi prasangka

lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang

yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras,

etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik. Sebagai

sebuah sikap, prasangka mengandung tiga komponen dasar sikap yakni

perasaan (feeling), kecenderungan untuk melakukan tindakan

(Behavioral tendention), dan adanya suatu pengetahuan yang diyakini

mengenai objek prasangka (beliefs). Perasaan yang umumnya

15

terkandung dalam prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka

bahkan kadangkala cenderung benci. Kecenderungan tindakan yang

menyertai prasangka biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi,

melakukan pelecehan verbal seperti menggunjing, dan berbagai tindakan

negatif lainnya. Sedangkan pengetahuan mengenai objek prasangka

biasanya berupa informasi-informasi, yang seringkali tidak berdasar,

mengenai latar belakang objek yang diprasangkai. Misalnya bila latar

belakang kelompoknya adalah etnik A, maka seseorang yang

berprasangka terhadapnya mesti memiliki pengetahuan yang diyakini

benar mengenai etnik A, terlepas pengetahuan itu benar atau tidak.

Prasangka merupakan salah satu penghambat terbesar dalam

membangun hubungan antar individu yang baik apalagi dalam hal ikatan

perkawinan. Bisa dibayangkan bagaimana hubungan interpersonal yang

terjadi jika satu sama lain saling memiliki prasangka, tentu yang terjadi

adalah ketegangan terus menerus. Padahal sebuah hubungan antar

pribadi yang baik hanya bisa dibangun dengan adanya kepercayaan, dan

dengan adanya prasangka tidak mungkin timbul kepercayaan. Sehingga

adalah muskil suatu hubungan interpersonal yang baik bisa terbangun.

Dalam konteks lebih luas, kegagalan membangun hubungan antar

individu yang baik sama artinya dengan kegagalan membangun

masyarakat yang damai.

Menurut Poortinga, prasangka memiliki tiga faktor utama yakni

stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Ketiga faktor itu tidak

terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu

karena prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang

berprasangka cenderung melakukan diskriminasi. Sementara itu Sears,

Freedman & Peplau, menggolongkan prasangka, stereotip dan

diskriminasi sebagai komponen dari antagonisme kelompok, yaitu suatu

bentuk oposan terhadap kelompok lain. Stereotip adalah komponen

kognitif dimana kita memiliki keyakinan akan suatu kelompok. Prasangka

sebagai komponen afektif dimana kita memiliki perasaan tidak suka.

Dan, diskriminasi adalah komponen perilaku.

16

B. Stereotip

Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan

oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang

kepada orang lain. Secara lebih tegas Matsumoto mendefinisikan

stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang

terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. Beberapa contoh

stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang

melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip etnis

Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang

Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan

pekerja keras.

Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok,

mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk

imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan,

merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan

perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam

hubungan itu. Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang

sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. Misalnya etnis jawa memiliki

stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan

bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-

lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang

diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi

kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak.

Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki

kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang

suka berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualian-

pengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang.

Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa

verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip.

Misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh

seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun

17

dengan etnis Cina. Stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah,

koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson &

Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat

cara,:

a. Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat

berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.

b. Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan

pada anggota kelompok lain. ndividu cenderung untuk begitu saja

menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal

sama.

c. Stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman.

d. Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup

tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada

stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada

orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. Apabila

kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap

etnik itu biasanya akan menghilang.

C. Jarak Sosial

Jarak sosial adalah suatu jarak psikologis yang terdapat diantara dua

orang atau lebih yang berpengaruh terhadap keinginan untuk melakukan

kontak sosial yang akrab. Jauh dekatnya jarak sosial seseorang dengan

orang lain bisa dilihat dari ada atau tidaknya keinginan-keinginan

berikut :

1. Keinginan untuk saling berbagi,

2. Keinginan untuk tinggal dalam pertetanggaan,

3. Keinginan untuk bekerja bersama,

4. Keinginan yang berhubungan dengan pernikahan.

Pada umumnya prasangka terlahir dalam kondisi dimana jarak sosial

yang ada diantara berbagai kelompok cukup rendah. Apabila dua etnis

dalam suatu wilayah tidak berbaur secara akrab, maka kemungkinan

terdapat prasangka dalam wilayah tersebut cukup besar. Sebaliknya

18

prasangka juga melahirkan adanya jarak sosial. Semakin besar prasangka

yang timbul maka semakin besar jarak sosial yang terjadi. Jadi antara

prasangka dan jarak sosial terjadi lingkaran setan.

D. Diskriminasi

Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang

semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok .

Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya

seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan

mendiskriminasikan. Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan kuat

bahwa prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi sebab

diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi.

Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi

alasan untuk mendiskriminasikan kelompok tersebut.

II.4 Cara Mengatasi Pertentangan Perkawinan Antar Suku

Berbagai macam alasan yang menyeruak dan mengakibatkan pertentangan

dalam perkawinan antar suku adalah sebuah fakta sosial yang terus mendarah

daging di dalam setiap otak bangsa Indonesia, tak perlu dipungkiri sebuah

keluarga yang mengatakan dirinya keluarga yang demokratis, yang tidak

memandang suku dalam bergaul, suatu saat jika akan mengadakan perkawinan,

hal utama yang ditanyakan kepada anaknya adalah darimana calon pasangan

anaknya itu berasal?, apa agamanya?, apa pekerjaannya? Apa status

pendidikannya?, bagaimana kondisi keluarganya?

Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa orang-orang yang masih

memandang orang lain dengan mengutamakan perbedaan suku dan budaya nya

dalah termasuk orang yang memiliki kepribadian etnosentris dan orang-orang

yang berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat

yang mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman,

maupun komunikasi. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada pada

berbagai keterbatasan tersebut.

Hal yang perlu dilakukan adalah belajar menerima kekurangan dan

menghargai setiap orang, sama seperti kita menerima kelebihan orang itu.

19

Karena di mata Tuhan semua manusia sama. Pemikiran-pemikiran yang

menyudutkan dan terlalu general, harus mulai dirubah, karena permasalahan ini

adalah menyangkut pemikiran-pemikiran yang diturunkan antar generasi. Untuk

itu perubahan pemikiran etnosentrisme, prasangka, stereotip harus secara

bertahap juga di rubah dalam tiap generasi.

20

III. PENUTUP

III.1 Simpulan

Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri atas 1.128 suku bangsa

yang memiliki pola hidup dan adat istiadat yang berbeda, begitu pula dengan sudut

pandang mereka terhadap perkawinan.

Hingga saat ini masih banyak ditemukan keluarga-keluarga yang membatasi

pilihan keluarganya hanya untuk menikah atau mengadakan perkawinan dengan

suku tertentu saja atau bahkan masih ada yang bertahan agar mengadakan

perkawinan dengan suku mereka saja. Sehingga banyak terjadi pertentangan jika

salah satu keluarga mereka berniat mengadakan perkawinan di luar suku yang

disetujui.

Tak hanya alasan perbedaan adat budaya, bahkan landasan historikal di

antara suku pun di beberapa kasus turut memperkeruh pertentangan perkawinan

lintas suku.

Latar belakang yang membuat budaya seperti ini masih kokoh hingga

sekarang adalah tak lain dari mudahnya berprasangka, sehingga menimbulkan

stereotip yang terus melekat dalam pikiran mereka, yang lama kelamaan dapat saja

berkembang menjadi sikap diskriminatif serta rasis.

III.2 Saran

Pandangan negatif perkawinan antar suku di awali dari bagaimana kita

mindset kita terhadap suatu suku tertentu. Hal inilah yang sebaiknya dirubah

agar pada hari kedepannya pertentangan yang dapat menjadi celah dari

perpisahan dapat kita hindari.

21

Daftar Acuan

http://id.shvoong.com/books/1692841-definisi-perkawinan/

http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-perkawinan-pernikahan-dan-dasar-tujuan-nikah-kawin-manusia

http://psikologi-online.com/etnosentrisme

http://eprints.undip.ac.id/17786/

http://at1k.wordpress.com/2009/01/30/mitos-pernikahan-jawa-%E2%80%93- sunda/

http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg24970.html

22