makalah seminar umum 2 - tika

16
TEKNIK-TEKNIK PRODUKSI ANTIBODI MONOKLONAL DAN POLIKLONAL SEMINAR UMUM II Disusun oleh : Tika Widayanti, S.Si Pembimbing : Dra. Beti Ernawati Dewi, Ph.D Pembahas : 1. dr. Heidy (Imunologi) 2. dr. Dodik Nursanto (Anatomi) PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA 2015

Upload: dodnur

Post on 10-Dec-2015

261 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

ab monoclonal

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

1

TEKNIK-TEKNIK PRODUKSI ANTIBODI MONOKLONAL DAN POLIKLONAL

SEMINAR UMUM II

Disusun oleh :

Tika Widayanti, S.Si

Pembimbing :

Dra. Beti Ernawati Dewi, Ph.D

Pembahas :

1. dr. Heidy (Imunologi)

2. dr. Dodik Nursanto (Anatomi)

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2015

Page 2: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

2

DAFTAR ISI

Daftar isi …………………………………………………………………………………………………………………………………… 2

Abstrak …………………………………………………………………………………………………………………………………… 3

I. ANTIBODI DAN ANTIGEN …………………………………………………………………………………………………… 4

a. Antibodi ………………………………………………………………………………………………………………………. 4

b. Struktur antibodi ………………………………………………………………………………………………………….. 4

c. Antigen ………………………………………………………………………………………………………………………… 7

II. ANTIBODI POLIKLONAL ……………………………………………………………………………………………………….. 8

a. Pemilihan hewan coba …………………………………………………………………………………………………. 8

b. Produksi antigen …………………………………………………………………………………………………………… 8

c. Pemilihan adjuvant ………………………………………………………………………………………………………. 9

d. Imunisasi …………………………………………………………………………………………………………………..…. 10

e. Pengambilan darah …………………………………………………………………………………………………….. 12

f. Pengujian serum sampel ……………………………………………………………………………………………… 12

g. Purifikasi pasca produksi ……………………………………………………………………………………………… 12

III. ANTIBODI MONOKLONAL …………………………………………………………………………………………………… 13

A. Teknik Hibridoma ………………………………………………………………………………………………………… 13

B. Phage Display ………………………………………………………………………………………………………………. 14

IV. APLIKASI DAN KEGUNAAN ANTIBODI POLIKLONAL DAN MONOKLONAL ……………………………. 14

V. DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………………………………………. 15

Page 3: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

3

ABSTRAK

Antibodi merupakan molekul protein yang menjadi mediator utama dalam imunitas humoral

sebagai respon imun adaptif terhadap pajanan molekul antigen. Antibodi dapat mengenali berbagai

macam struktur antigen dikarenakan memiliki karakteristik unik pada struktur dasar yang dapat

menampilkan daerah variabilitas yang mengikat antigen.

Berdasarkan kemampuan dan spesifisitasnya dalam mengikat epitop spesifik pada suatu antigen,

antibodi diketahui terbagi menjadi antibodi poliklonal dan antibodi monoklonal. Antibodi poliklonal

merupakan campuran tipe imunoglobulin yang berbeda yang mengikat banyak situs epitop pada antigen

yang digunakan pada imunisasi. Antibodi poliklonal juga biasanya memiliki berbagai jenis tipe

imunoglobulin dan afinitas dengan kisaran yang luas untuk setiap epitop yang berbeda. Sedangkan

antibodi monoklonal merupakan antibodi monovalent yang mengikat epitop yang sama dan diproduksi

klona tunggal limfosit B.

Teknik produksi antibodi poliklonal dilakukan dengan koleksi serum hewan coba yang diimunisasi

dengan antigen target. Produksi antibodi monoklonal dapat dilakukan dengan beberapa teknik, di

antaranya adalah teknik hibridoma dan phage display.

Dari segi aplikasi, pengembangan antibodi monoklonal merepresentasikan cara baru untuk

memanfaatkannya dalam riset sekuensing genetik dan translasi ilmu pengetahuan medik dasar yang

berkembang menjadi suatu praktek klinis, yaitu antibodi monoklonal humanisasi. Antibodi monoklonal ini

digunakan untuk terapi berbagai macam penyakit dan kondisi, seperti kanker, inflamasi kronis, penyakit

infeksi, dan kardiovaskuler.

Page 4: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

4

I. ANTIBODI DAN ANTIGEN

a. Antibodi

Antibodi merupakan protein yang bersirkulasi yang diproduksi pada vertebrata dalam merespon

pajanan terhadap struktur asing yang disebut antigen. Kemampuan antibodi dalam mengenali

struktur molekular asing sangat beragam dan spesifik, dan merupakan mediator utama dalam

imunitas humoral terhadap semua jenis mikroba.1

Sel limfosit B adalah satu-satunya sel yang mensintesis antibodi. Di dalam tubuh, antibodi dapat

berada dalam dua bentuk, yaitu antibodi yang terikat membran (membrane-bound antibodies) pada

permukaan limfosit B yang berfungsi sebagai reseptor antigen, dan antibodi yang disekresikan

(secreted-antibodies) yang terdapat dalam sirkulasi, jaringan, dan mukosa tempat netralisasi toksin.

Pengenalan antigen oleh antibodi terikat membran pada sel B naif mengaktivasi sel limfosit tersebut

dan menginisiasi terjadinya respon imun humoral.

Antibodi juga diproduksi dalam bentuk yang disekresikan oleh sel B yang distimulasi antigen

(antigen-stimulated B cells). Pada fase efektor imunitas humoral, antibodi yang disekresikan ini

mengikat antigen dan memicu sejumlah mekanisme efektor yang mampu mengeliminasi antigen.

Eliminasi antigen ini seringkali membutuhkan interaksi antara antibodi dengan komponen sistem

imun, termasuk molekul seperti protein komplemen, dan sel termasuk fagosit dan eosinofil. Fungsi

efektor lain yang dimediasi antibodi adalah netralisasi mikroba atau produk toksik mikroba, aktivasi

sistem komplemen, opsonisasi patogen pada fagositosis, antibody-dependent cell-mediated

cytotoxicity, dan aktivasi sel mast pada infeksi cacing.

b. Struktur antibodi

Antibodi bila dimigrasikan dengan elektroforesis, maka sebagian besar akan ditemukan dalam

kelompok protein globulin yang bermigrasi paling cepat, yang disebut gamma globulin. Nama lain

yang umum digunakan untuk antibodi adalah imunoglobulin (Ig), artinya bagian imunitas dari fraksi

gamma globulin.1

Semua molekul antibodi memiliki karakteristik struktur dasar yang sama, tetapi menunjukkan

variabilitas yang sangat tinggi pada daerah yang mengikat antigen. Variabi litas daerah pengikatan

antigen ini berkontribusi dalam kapasitas antibodi yang berbeda untuk mengikat berbagai macam

struktur antigen yang sangat beragam. Fungsi efektor dan sifat fisikokmia antibodi berhubungan

Page 5: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

5

dengan bagian non pengikatan antigen yang memiliki variasi relatif rendah pada antibodi yang

berbeda.

Suatu molekul antibodi memiliki struktur inti simetris dari dua rantai ringan identik ( light chains/L)

dan dua rantai berat identik (heavy chains/H). Kedua rantai ringan dan berat tersebut terdiri atas unit

homologi berulang, dengan panjang kurang lebih 110 residu asam amino. Residu asam amino ini

terlipat secara independen dalam suatu motif globular yang disebut domain Ig. Satu domain Ig terdiri

dari dua lapis lembar lipatan beta (β-pleated sheet), dan setiap lapisannya mengandung 3-5 untai

rantai polipeptida antiparallel. Kedua lapisan dihubungkan oleh jembatan disulfida, dan untai yang

berdekatan dari setiap β-sheet dihubungkan dengan lup pendek. Pada lup-lup inilah terdapat asam

amino-asam amino yang sangat bervariasi dan penting untuk pengenalan antigen.

Gambar 1. Struktur dari domain Ig. Setiap domain terdiri dari dua utas β antiparallel yang ditunjukkan

dengan warna merah dan kuning. Kedua β-sheets dihubungkan oleh ikatan disulfida. Tiga lup

pada daerah variabel berkontribusi untuk pengikatan antigen, disebut complementarity

determining regions (CDR). Sumber: Abbas et al. Cellular and molecular immunology 7th ed.

Kedua rantai ringan dan berat terdiri dari daerah variabel/variable region amino-terminal (V) yang

berperan dalam pengenalan antigen, dan daerah konstan/constant region carboxyl-terminal (C) yang

mana daerah konstan pada rantai berat memediasi fungsi efektor dari antibodi. Daerah variabel

Page 6: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

6

mengandung bagian yang memiliki keragaman sekuen asam amino yang membedakan antibodi yang

dihasilkan oleh klona sel B yang satu dengan antibodi dari klona sel B lainnya.

Gambar 2. Struktur antibodi. A. Diagram skematik dari molekul IgG yang disekresikan. Situs

pengikatan antigen (antigen-binding sites) terbentuk oleh penyejajaran domain VL

dan VH. Daerah C pada rantai berat (CH) memiliki ujung berbentuk seperti ekor; B.

Diagram skematik dari molekul IgM pada permukaan sel limfosit B. Molekul IgM

memiliki satu lagi domain CH dibanding IgG. IgM memiliki jung karboksil pada rantai

Page 7: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

7

berat yang transmembran dan bagian sitoplasmik yang tertambat pada membran

plasma sel B; C. Struktur molekul IgG manusia yang dianalisis dengan kristalografi X-

ray. Pada diagram ini, rantai berat ditunjukkan dengan warna biru dan merah,

sedangkan rantai ringan dengan warna hijau, dan karbohidrat dengan warna abu-abu.

Sumber: Abbas et al. Cellular and molecular immunology 7th ed.

Daerah V dari satu rantai berat (VH) dan V dari rantai ringan (VL) yang saling berdampingan

membentuk satu situs pengikatan antigen (antigen-binding site), sehingga setiap molekul antibodi

memiliki dua situs pengikatan antigen. Daerah C pada rantai berat (CH) berinteraksi dengan sel dan

molekul efektor lain dalam sistem imun, serta memediasi hampir semua fungsi biologis antibodi.

Ujung karboksil dari rantai berat (CH) terdapat dalam dua bentuk, yaitu tertambat pada membran

plasma sel limfosit B untuk antibodi terikat membran, dan bentuk yang disekresikan ketika terhubung

dengan rantai ringan Ig. Sedangkan daerah C dari rantai ringan (CL) tidak berpartisipasi dalam fungsi

efektor, dan tidak menempel pada membran sel secara langsung.1

Antibodi merupakan molekul yang sangat banyak kegunaannya. Aktivitas antibodi yang dapat

mengikat secara spesifik terhadap berbagai molekul lain, termasuk peptida, karbohidrat, asam

nukleat, dan kemampuannya dalam mengidentifikasi determinan antigenic menjadikannya sangat

penting dalam riset di bidang biomedik.2

c. Antigen

Antigen didefinisikan sebagai suatu agen/molekul yang dapat berinteraksi dengan antibodi atau

sel T reseptor yang membentuk kompleks dengan MHC.1 Sedangkan imunogen adalah antigen yang

dapat menginduksi terjadinya respon imun spesifik. Sebagian besar antigen memiliki struktur yang

kompleks, terdiri dari banyak epitop berbeda, dan sistem imun biasanya bekerja merespon dengan

memproduksi antibodi-antibodi terhadap beberapa epitop pada antigen. Dengan kata lain, beberapa

klona sel B yang berbeda dapat terstimulasi dan berproliferasi.2

Epitop adalah daerah yang aktif secara imunologi dari suatu imunogen yang terikat pada reseptor

membran spesifik antigen pada limfosit atau pada antibodi yang disekresikan. Sel plasma dari klona

sel B tunggal merupakan antibodi monoklonal yang secara spesifik mengikat satu determinan

antigenik. Kemudian, produk yang dihasilkan dari semua klona sel B yang terstimulasi, yang

merupakan sekumpulan monoklonal antibodi, membentuk respon antibodi serum heterogenus dan

poliklonal terhadap pajanan antigen.2

Page 8: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

8

II. ANTIBODI POLIKLONAL

Antibodi dapat diperoleh dari berbagai sumber, salah satunya dari serum hewan yang diimunisasi.

Antibodi ini adalah antibodi poliklonal yang merupakan campuran tipe imunoglobulin yang berbeda

yang mengikat banyak situs pada antigen yang digunakan pada imunisasi. Sesuai dengan namanya,

antibodi poliklonal dari antisera dapat mengikat lebih dari satu epitop. Antibodi poliklonal secara

khusus memiliki ribuan antibodi yang berbeda yang bereaksi dengan sejumlah epitop. Antibodi

poliklonal juga biasanya memiliki berbagai jenis tipe imunoglobulin dan afinitas dengan kisaran yang

luas untuk setiap epitop yang berbeda. Namun dalam penerapan tertentu, hal ini menjadi keuntungan

untuk menggunakan antibodi poliklonal dibandingkan antibodi monoklonal yang hanya mengenali

satu epitop pada suatu antigen.3

Teknik produksi antibodi poliklonal yang relatif mudah dan cepat menjadikannya sebagai reagen

yang sangat bernilai bagi komunitas riset. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

pengembangan antibodi poliklonal, yaitu pemilihan inang/hewan coba, imunisasi dengan antigen,

dosis antigen, pemilihan adjuvant, rute injeksi, pengambilan darah, pengujian serum sampel, dan

purifikasi pasca produksi. Berikut adalah tahapan teknik produksi antibodi poliklonal yang umum

dilakukan:

a. Pemilihan hewan coba

Antibodi poliklonal telah dikembangkan menggunakan banyak spesies hewan coba,

termasuk mencit, tikus, hamster, marmot, kelinci, kambing, domba, ayam, kuda, keledai, dan lain-

lain. Pemilihan spesies hewan yang akan digunakan didasarkan pada jumlah antibodi yang

diinginkan, tujuan penggunaan antibodi yang diproduksi, dan karakteristik antigen yang

digunakan. Kelinci merupakan hewan yang paling umum digunakan untuk produksi antibodi

poliklonal. Mencit dan tikus juga dapat digunakan untuk volume antibodi yang lebih sedikit,

sementara untuk skala produksi yang lebih besar digunakan spesies hewan yang lebih besar pula,

misalnya domba, kambing, atau kuda.4

b. Produksi antigen

Antigen harus dipersiapkan dengan baik agar respon antibodi sesuai dengan yang

diharapkan. Antigen harus steril, mengandung kontaminan toksik seminimal mungkin, dan pH

sesuai dengan batas fisiologis hewan coba. Jumlah antigen yang diinjeksikan harus ditentukan

berdasarkan spesies dan strain hewan yang digunakan, adjuvant yang digunakan, rute dan

Page 9: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

9

frekuensi injeksi, serta tingkat imunogenisitas antigen itu sendiri. Dosis imunogen yang

dibutuhkan untuk memicu respon antibodi yang baik tergantung pada banyak faktor. Tetapi

faktor jumlah antigen yang dibutuhkan dalam menginduksi sistem imun yang tepat, menjadi

faktor yang paling utama.5

c. Pemilihan adjuvant

Penggunaan adjuvant harus dilakukan dan dipertimbangkan dengan cermat karena

adjuvant berpotensi menyebabkan sakit dan/atau penderitaan pada hewan. Jika memang

diperlukan, harus dicari adjuvant yang benar-benar sesuai. Ketika adjuvant digunakan, campuran

antigen/adjuvant harus dapat disuntikkan dengan mudah dan tingkat toksisitasnya rendah.

Umumnya adjuvant dicampur dengan volume yang sama dengan antigen (perbandingan 1:1).

Kategori adjuvant berdasarkan komponen penyusunnya ditunjukkan pada Tabel 1. 4

Tabel 1. Kategori adjuvant yang dapat digunakan untuk prosedur rutin produksi antibodi

poliklonal

Complete Freund’s adjuvant (CFA) merupakan salah satu adjuvant yang paling efektif,

namun juga berpotensi menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan sehingga sebaiknya

hanya digunakan jika tidak ada adjuvant lain yang dapat bekerja. Penggunaan CFA

direkomendasikan hanya pada imunisasi primer.6

Page 10: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

10

d. Imunisasi

Protokol imunisasi yang digunakan harus melalui evaluasi dan disetujui komite etik

berdasarkan pedoman standar yang berlaku. Beberapa variabel yang mempengaruhi tahap

imunisasi adalah dosis antigen, rute imunisasi, frekuensi injeksi, dan adjuvant. Setelah

menentukan hewan coba yang akan digunakan sebagai inang, dilakukan imunisasi dengan antigen

target. Imunisasi dibagi menjadi: 1) imunisasi primer, 2) periode istirahat agar respon imun

mereda dan terbentuk sel memori. 3) injeksi antigen untuk booster satu atau beberapa kali, 4)

koleksi sampel pada hari ke-10 atau ke-14 setelah booster terakhir. Di bawah ini adalah contoh

protokol imunisasi untuk produksi antibodi yang rutin dilakukan, jumlah serta jarak waktu injeksi

booster dengan injeksi primer dapat disesuaikan.6

Hari ke-0 : Injeksi primer (25-300 µg antigen), complete Freund’s adjuvant (CFA)

Hari ke-21 : Injeksi booster (25-300 µg antigen), incomplete Freund’s adjuvant (IFA)

Hari ke-42 : Injeksi booster (25-300 µg antigen), IFA

Hari ke-56 : koleksi serum

Protokol umum di atas dapat digunakan untuk hampir semua spesies hewan coba dan

dapat dipakai untuk menghasilkan respon imun yang efektif untuk sebagian besar antigen. Jika

antigen diketahui kurang imunogenik, maka ditambahkan CFA pada injeksi booster pertama

setelah injeksi primer. Imunisasi booster dan koleksi sampel dapat dibuat dengan interval yang

lebih pendek untuk meningkatkan jumlah serum.

Pemilihan rute injeksi tergantung dari bentuk dan jumlah antigen yang akan diinjeksikan,

tetapi dalam beberapa kasus rute tertentu dipilih untuk memfasilitasi interaksi antigen target

dengan perangkat sel pemroses antigen spesifik sehingga sistem imun membentuk respon yang

tepat (misalnya pemberian rute oral untuk menghasilkan antibodi terkait saluran pencernaan).

Sebagian besar antigen yang dipreparasi dengan adjuvant dalam bentuk terlarut, rute subkutan

baik digunakan pada kelinci dan kambing, sementara rute intraperitoneal lebih praktis digunakan

untuk mencit dan rodentia lain. Antigen yang dimasukkan melalui rute intravena akan

dimetabolisme sangat cepat, sedangkan imunisasi melalui intradermal dan intramuscular akan

memperlambat presentasi antigen pada sistem imun.4

Penting untuk diketahui bahwa karakteristik respon imun berubah pada fase awal injeksi.

Respon umun primer dapat dideteksi dengan reaksi serologi dalam 5-7 hari setelah pajanan

Page 11: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

11

antigen. Titer antibodi meningkat secara bertahap dalam beberapa hari hingga 2 minggu ke

depan, dan setelah itu menurun. Grafik titer antibodi umumnya berbentuk seperti digambarkan

pada Gambar 3, namun hal ini juga dipengaruhi oleh variabel-variabel yang telah disebutkan

sebelumnya.

Gambar 3. Pembentukan imunoglobulin pada respon primer dan sekuder. Antibodi

terdeteksi dalam serum pada hari ke-5 setelah imunisasi primer. Injeksi kedua

pada hari ke-28 memicu pembentukan antibodi dengan titer yang jauh lebih

tinggi daripada respon primer.6

Ketika injeksi booster diberikan, respon imun menghasilkan titer antibodi yang lebih tinggi

dibanding respon imun pertama pada periode hari ke-10 sampai ke-14. Respon imun primer

ditandai dengan tingginya level antibodi IgM, yang dapat bertahan 8-10 hari. Sedangkan pada

respon imun sekunder kelas antibodi yang paling banyak dihasilkan adalah IgG, yang dapat

bertahan 25-35 hari. Grafik kontribusi relatif antara IgM dan IgG pada respon imun primer dan

sekunder ditunjukkan pada Gambar 4.

Page 12: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

12

Gambar 4. Titer IgM dan IgG relatif pada respon imun primer dan sekunder. Injeksi berulang akan

mengurangi level IgM dan meningkatkan respon igG untuk hampir semua jenis

antigen.6

e. Pengambilan darah

Pengambilan darah dapat dilakukan dengan memasukkan jarum pada vena. Penggunaan

syringe dapat beresiko terjadinya hemolisis yang akan mempengaruhi kualitas antibodi. Dalam

aplikasi tertentu dapat digunakan antikoagulan seperti EDTA atau sodium sitrat untuk preparasi

plasma. Untuk produksi serum paling baik menggunakan kaca boroslicate yang dapat

meminimalkan hemolisis.

f. Pengujian serum sampel

Serum sampel yang telah dikoleksi diuji untuk aktivitasnya menggunakan ELISA,

imunodifusi, atau analisis western blot. Serum yang terkonfirmasi mengandung antibodi

poliklonal terhadap antigen target dapat dipurifikasi lebih lanjut.

g. Purifikasi pasca produksi

Antiserum poliklonal dapat mengikat antigen yang berbeda. Pada sistem uji tertentu, hal

ini tidak menjadi masalah karena titer antibodi spesifik cukup tinggi dan dilusi sederhana mampu

mengeliminasi interferensi atau adanya antibodi non spesifik yang juga mampu mengenali

antigen. Namun, beberapa teknik purifikasi dapat dilakukan untuk menghasilkan poliklonal yang

lebih murni dan spesifik, misalnya dengan kromatografi afinitas.

Page 13: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

13

III. ANTIBODI MONOKLONAL

Antibodi monoklonal merupakan antibodi monovalent yang mengikat epitop yang sama dan

diproduksi klona tunggal limfosit B.7 Antibodi monoklonal pertama kali dikembangkan pada tahun

1975 oleh Georges Kohler dan Cesar Milstein menggunakan teknik hibridoma.

A. Teknik Hibridoma

Pembentukan hibridoma melibatkan spesies hewan tertentu yang diimunisasi dengan

suatu antigen dengan epitop spesifik sehingga diperoleh sel limfosit B dari limpa hewan coba.8

Limfosit B difusikan (dengan bahan kimia atau metode induksi virus) dengan lini sel myeloma

immortal yang tidak memiliki gen hypoxanthine-guanine-phosphoribosyltransferase (HGPRT) dan

tidak mengandung sel apapun yang dapat menghasilkan imunoglobulin.9 Sel hibridoma kemudian

dikulturkan secara in vitro pada medium selektif (misalnya medium yang mengandung

hypoxanthine-aminopterin-thymidine/HAT), yang mana hanya sel hibridoma saja, yang

merupakan fusi dari limfosit B primer dan sel myeloma, yang dapat bertahan hidup. Sel myeloma

tidak memiliki HGPRT sehingga sel ini tidak dapat mensintesis nukleotida de novo, dikarenakan

penghambatan oleh aminopterin pada media, sementara sel primer limfosit B dapat tumbuh

dalam medium HAT.

Kultur awal hibridoma mengantung campuran antibodi yang diturunkan dari klona

limfosit B yang berbeda-beda. Masing-masing klona mensekresikan antibodi spesifiknya sendiri

pada media kultur (antibodi masih berupa antibodi poliklonal). Setiap satu klona hibridoma dapat

dipisahkan dengan metode dilusi ke dalam sumur yang berbeda. Medium sel kultur dapat dipindai

dari ratusan sumur berbeda dan untuk aktivitas antibodi spesifik yang diinginkan. Limfosit B yang

tumbuh dengan hasil uji positif dapat disubkultur dan diuji kembali aktivitasnya. Hibridoma positif

dan antibodi monoklonal yang terbentuk dapat disimpan dalam nitrogen cair.

Page 14: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

14

Gambar 5. Prosedur skematik produksi antibodi monoklonal dengan teknik hibridoma dan

proses seleksi menggunakan medium HAT 10

B. Phage Display

Metode lain dalam mengembangkan antibodi monoklonal adalah dengan menggunakan

phaga display.11 Teknik ini melibatkan sel limfosit B yang diisolasi dari darah manusia, kemudian

dilakukan isolasi mRNA dan dikonversi menjadi cDNA menggunakan PCR untuk mengamplifikasi

segmen gen VH dan VL. Segmen tersebut kemudian diklon ke dalam vektor (biasanya sebagai

single-chain variable fragment/scFv) berdekatan dengan protein PIII dari bakteriofaga sehingga

diperoleh suatu pustaka kombinatorial dari scFv VH dan VL. Bakteriofaga yang membawa segmen

VH dan VL ini digunakan untuk menginfeksi sel E. coli. Sel E. coli terinfeksi akan mensekresikan

bakteriofaga yang mengandung segmen VH dan VL sebagai bagian dari selubungnya. Segmen

spesfik VH dan VL yang berinteraksi dengan antigen dapat diseleksi dan digunakan untuk

menginokulasikan kembali E. coli dengan bakteriofaga. Sel yang mengandung plasmid dapat

diisolasi dan disekuens.12

Keuntungan teknik ini adalah jika suatu pustaka kombinasi telah terbentuk, maka pustaka

yang sama dapat digunakan untuk membentuk antibodi baru dan pustaka tidak perlu dibuat

Page 15: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

15

ulang. Proses ini juga tidak membutuhkan imunisasi karena keseluruhan dilakukan in vitro.

Antibodi dapat diperoleh lebih cepat dibanding teknik hibridoma. Teknik ini juga dapat digunakan

untuk mengembangkan antibodi terhadap antigen toksik yang tidak dapat diinjeksikan pada

hewan.13

IV. APLIKASI DAN KEGUNAAN ANTIBODI POLIKLONAL DAN MONOKLONAL

Poliklonal antibodi diisolasi dari serum hewan yang diimunisasi. Di dalamnya, terdapat sekitar

ribuan antibodi yang berbeda yang bereaksi dengan sejumlah epitop pada antigen. Antisera poliklonal

biasanya mengandung sebagian besar tipe imunoglobulin dan berbagai macam afinitas untuk epitop-

epitop berbeda. Dalam aplikasi tertentu, misalnya mikroskop elektron, antibodi poliklonal memiliki

keuntungan penting dibandingkan antibodi monoklonal. Sebagai contoh, untuk deteksi suatu antigen

dengan multipel epitop, satu antibodi poliklonal mampu meraih banyak situs pengikatan sehingga

dapat meningkatkan sensitivitas deteksi.6

Pengembangan antibodi monoklonal merepresentasikan cara baru untuk menarget mutasi

spesifik dan kerusakan ekspresi dan struktur protein pada berbagai jenis penyakit dan kondisi

tertentu. Saat ini, bioteknologi dalam riset sekuensing genetic dan translasi ilmu pengetahuan medis

dasar yang berkembang menjadi praktek klinis, berupa antibodi monoklonal humanisasi telah berada

pada tahap uji klinis. Sekitar 30 antibodi monoklonal telah disetujui FDA untuk penggunaan pada

manusia untuk pengobatan berbagai penyakit dan kondisi, termasuk kanker, penyakit inflamasi

kronis, transplantasi, penyakit infeksi dan kardiovaskuler.15

V. DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S, editors. Cellular and Molecular Immunology. 7th ed.

Philadelphia: Elsevier Inc; 2012. doi: 10.1084/jem.20090209.

2. Kindt TJ, Goldsby RA, Osborne BA, editors. Kuby Immunology. 6th ed. New York: WH Freeman

& Co; 2007.

3. The University of Melbourne Animal Welfare Committee. 2005. Guidelines on polycolonal

antibody production.

Page 16: Makalah Seminar Umum 2 - Tika

16

4. Lewis DH. Antigens. In: Howard GC, Bethell DR. Basic Methods In Antibody Production And

Characterization. Florida: CRC Press; 2001.

5. Baldridge JR, Lacy MJ. Adjuvants. In: Howard GC, Bethell DR. Basic Methods In Antibody

Production And Characterization. Florida: CRC Press; 2001.

6. Bean ES. Polyclonal Anitbodies. In: Howard GC, Bethell DR. Basic Methods In Antibody

Production And Characterization. Florida: CRC Press; 2001.

7. Little M, Kipriyanov SM, Le Gall F, Moldenhauer G. Of mice and men: hybridoma and

recombinant antibodies. Immunol Today 2000;21(8):364e70.

8. Kohler G, Milstein C. Continuous cultures of fused cells secreting antibody of predefined

specificity. Nature 1975;256(5517):495e7.

9. Li F, Vijayasankaran N, Shen AY, Kiss R, Amanullah A. Cell culture processes for monoclonal

antibody production. mAbs 2010;2(5):466e79.

10. Stewart SJ. Monoclonal Antibody Production. In: Howard GC, Bethell DR. Basic Methods In

Antibody Production And Characterization. Florida: CRC Press; 2001.

11. Clementi N, Mancini N, Solforosi L, Castelli M, Clementi M, Burioni R. Phage display-based

strategies for cloning and optimisation of monoclonal antibodies directed against human

pathogens. Int J Mol Sci 2012;13(7):8273e92.

12. Schofield DJ, Pope AR, Clementel V, Buckell J, Chapple SDJ, Clarke KF, et al. Application of phage

display to high throughput antibody generation and characterisation. Genome Biol

2007;8(11):R254.

13. Schirrmann T, Meyer T, Schütte M, Frenzel A, Hust M. Phage display for the generation of

antibodies for proteome research, diagnostics and therapy. Molecules 2011;16(1):412e26.

14. Hoogenboom HR, de Bruïne AP, Hufton SE, Hoet RM, Arends J, Roovers RC. Antibody phage

display technology and its applications. Immunotechnology 1998;4(1):1e20.

15. Liu JKH. Review: The history of monoclonal antibody development e Progress, remaining

challenges and future innovations. Annals of Medicine and Surgery 2014(3): 113e116