makalah seminar umum 2 - tika
DESCRIPTION
ab monoclonalTRANSCRIPT
1
TEKNIK-TEKNIK PRODUKSI ANTIBODI MONOKLONAL DAN POLIKLONAL
SEMINAR UMUM II
Disusun oleh :
Tika Widayanti, S.Si
Pembimbing :
Dra. Beti Ernawati Dewi, Ph.D
Pembahas :
1. dr. Heidy (Imunologi)
2. dr. Dodik Nursanto (Anatomi)
PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
2
DAFTAR ISI
Daftar isi …………………………………………………………………………………………………………………………………… 2
Abstrak …………………………………………………………………………………………………………………………………… 3
I. ANTIBODI DAN ANTIGEN …………………………………………………………………………………………………… 4
a. Antibodi ………………………………………………………………………………………………………………………. 4
b. Struktur antibodi ………………………………………………………………………………………………………….. 4
c. Antigen ………………………………………………………………………………………………………………………… 7
II. ANTIBODI POLIKLONAL ……………………………………………………………………………………………………….. 8
a. Pemilihan hewan coba …………………………………………………………………………………………………. 8
b. Produksi antigen …………………………………………………………………………………………………………… 8
c. Pemilihan adjuvant ………………………………………………………………………………………………………. 9
d. Imunisasi …………………………………………………………………………………………………………………..…. 10
e. Pengambilan darah …………………………………………………………………………………………………….. 12
f. Pengujian serum sampel ……………………………………………………………………………………………… 12
g. Purifikasi pasca produksi ……………………………………………………………………………………………… 12
III. ANTIBODI MONOKLONAL …………………………………………………………………………………………………… 13
A. Teknik Hibridoma ………………………………………………………………………………………………………… 13
B. Phage Display ………………………………………………………………………………………………………………. 14
IV. APLIKASI DAN KEGUNAAN ANTIBODI POLIKLONAL DAN MONOKLONAL ……………………………. 14
V. DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………………………………………. 15
3
ABSTRAK
Antibodi merupakan molekul protein yang menjadi mediator utama dalam imunitas humoral
sebagai respon imun adaptif terhadap pajanan molekul antigen. Antibodi dapat mengenali berbagai
macam struktur antigen dikarenakan memiliki karakteristik unik pada struktur dasar yang dapat
menampilkan daerah variabilitas yang mengikat antigen.
Berdasarkan kemampuan dan spesifisitasnya dalam mengikat epitop spesifik pada suatu antigen,
antibodi diketahui terbagi menjadi antibodi poliklonal dan antibodi monoklonal. Antibodi poliklonal
merupakan campuran tipe imunoglobulin yang berbeda yang mengikat banyak situs epitop pada antigen
yang digunakan pada imunisasi. Antibodi poliklonal juga biasanya memiliki berbagai jenis tipe
imunoglobulin dan afinitas dengan kisaran yang luas untuk setiap epitop yang berbeda. Sedangkan
antibodi monoklonal merupakan antibodi monovalent yang mengikat epitop yang sama dan diproduksi
klona tunggal limfosit B.
Teknik produksi antibodi poliklonal dilakukan dengan koleksi serum hewan coba yang diimunisasi
dengan antigen target. Produksi antibodi monoklonal dapat dilakukan dengan beberapa teknik, di
antaranya adalah teknik hibridoma dan phage display.
Dari segi aplikasi, pengembangan antibodi monoklonal merepresentasikan cara baru untuk
memanfaatkannya dalam riset sekuensing genetik dan translasi ilmu pengetahuan medik dasar yang
berkembang menjadi suatu praktek klinis, yaitu antibodi monoklonal humanisasi. Antibodi monoklonal ini
digunakan untuk terapi berbagai macam penyakit dan kondisi, seperti kanker, inflamasi kronis, penyakit
infeksi, dan kardiovaskuler.
4
I. ANTIBODI DAN ANTIGEN
a. Antibodi
Antibodi merupakan protein yang bersirkulasi yang diproduksi pada vertebrata dalam merespon
pajanan terhadap struktur asing yang disebut antigen. Kemampuan antibodi dalam mengenali
struktur molekular asing sangat beragam dan spesifik, dan merupakan mediator utama dalam
imunitas humoral terhadap semua jenis mikroba.1
Sel limfosit B adalah satu-satunya sel yang mensintesis antibodi. Di dalam tubuh, antibodi dapat
berada dalam dua bentuk, yaitu antibodi yang terikat membran (membrane-bound antibodies) pada
permukaan limfosit B yang berfungsi sebagai reseptor antigen, dan antibodi yang disekresikan
(secreted-antibodies) yang terdapat dalam sirkulasi, jaringan, dan mukosa tempat netralisasi toksin.
Pengenalan antigen oleh antibodi terikat membran pada sel B naif mengaktivasi sel limfosit tersebut
dan menginisiasi terjadinya respon imun humoral.
Antibodi juga diproduksi dalam bentuk yang disekresikan oleh sel B yang distimulasi antigen
(antigen-stimulated B cells). Pada fase efektor imunitas humoral, antibodi yang disekresikan ini
mengikat antigen dan memicu sejumlah mekanisme efektor yang mampu mengeliminasi antigen.
Eliminasi antigen ini seringkali membutuhkan interaksi antara antibodi dengan komponen sistem
imun, termasuk molekul seperti protein komplemen, dan sel termasuk fagosit dan eosinofil. Fungsi
efektor lain yang dimediasi antibodi adalah netralisasi mikroba atau produk toksik mikroba, aktivasi
sistem komplemen, opsonisasi patogen pada fagositosis, antibody-dependent cell-mediated
cytotoxicity, dan aktivasi sel mast pada infeksi cacing.
b. Struktur antibodi
Antibodi bila dimigrasikan dengan elektroforesis, maka sebagian besar akan ditemukan dalam
kelompok protein globulin yang bermigrasi paling cepat, yang disebut gamma globulin. Nama lain
yang umum digunakan untuk antibodi adalah imunoglobulin (Ig), artinya bagian imunitas dari fraksi
gamma globulin.1
Semua molekul antibodi memiliki karakteristik struktur dasar yang sama, tetapi menunjukkan
variabilitas yang sangat tinggi pada daerah yang mengikat antigen. Variabi litas daerah pengikatan
antigen ini berkontribusi dalam kapasitas antibodi yang berbeda untuk mengikat berbagai macam
struktur antigen yang sangat beragam. Fungsi efektor dan sifat fisikokmia antibodi berhubungan
5
dengan bagian non pengikatan antigen yang memiliki variasi relatif rendah pada antibodi yang
berbeda.
Suatu molekul antibodi memiliki struktur inti simetris dari dua rantai ringan identik ( light chains/L)
dan dua rantai berat identik (heavy chains/H). Kedua rantai ringan dan berat tersebut terdiri atas unit
homologi berulang, dengan panjang kurang lebih 110 residu asam amino. Residu asam amino ini
terlipat secara independen dalam suatu motif globular yang disebut domain Ig. Satu domain Ig terdiri
dari dua lapis lembar lipatan beta (β-pleated sheet), dan setiap lapisannya mengandung 3-5 untai
rantai polipeptida antiparallel. Kedua lapisan dihubungkan oleh jembatan disulfida, dan untai yang
berdekatan dari setiap β-sheet dihubungkan dengan lup pendek. Pada lup-lup inilah terdapat asam
amino-asam amino yang sangat bervariasi dan penting untuk pengenalan antigen.
Gambar 1. Struktur dari domain Ig. Setiap domain terdiri dari dua utas β antiparallel yang ditunjukkan
dengan warna merah dan kuning. Kedua β-sheets dihubungkan oleh ikatan disulfida. Tiga lup
pada daerah variabel berkontribusi untuk pengikatan antigen, disebut complementarity
determining regions (CDR). Sumber: Abbas et al. Cellular and molecular immunology 7th ed.
Kedua rantai ringan dan berat terdiri dari daerah variabel/variable region amino-terminal (V) yang
berperan dalam pengenalan antigen, dan daerah konstan/constant region carboxyl-terminal (C) yang
mana daerah konstan pada rantai berat memediasi fungsi efektor dari antibodi. Daerah variabel
6
mengandung bagian yang memiliki keragaman sekuen asam amino yang membedakan antibodi yang
dihasilkan oleh klona sel B yang satu dengan antibodi dari klona sel B lainnya.
Gambar 2. Struktur antibodi. A. Diagram skematik dari molekul IgG yang disekresikan. Situs
pengikatan antigen (antigen-binding sites) terbentuk oleh penyejajaran domain VL
dan VH. Daerah C pada rantai berat (CH) memiliki ujung berbentuk seperti ekor; B.
Diagram skematik dari molekul IgM pada permukaan sel limfosit B. Molekul IgM
memiliki satu lagi domain CH dibanding IgG. IgM memiliki jung karboksil pada rantai
7
berat yang transmembran dan bagian sitoplasmik yang tertambat pada membran
plasma sel B; C. Struktur molekul IgG manusia yang dianalisis dengan kristalografi X-
ray. Pada diagram ini, rantai berat ditunjukkan dengan warna biru dan merah,
sedangkan rantai ringan dengan warna hijau, dan karbohidrat dengan warna abu-abu.
Sumber: Abbas et al. Cellular and molecular immunology 7th ed.
Daerah V dari satu rantai berat (VH) dan V dari rantai ringan (VL) yang saling berdampingan
membentuk satu situs pengikatan antigen (antigen-binding site), sehingga setiap molekul antibodi
memiliki dua situs pengikatan antigen. Daerah C pada rantai berat (CH) berinteraksi dengan sel dan
molekul efektor lain dalam sistem imun, serta memediasi hampir semua fungsi biologis antibodi.
Ujung karboksil dari rantai berat (CH) terdapat dalam dua bentuk, yaitu tertambat pada membran
plasma sel limfosit B untuk antibodi terikat membran, dan bentuk yang disekresikan ketika terhubung
dengan rantai ringan Ig. Sedangkan daerah C dari rantai ringan (CL) tidak berpartisipasi dalam fungsi
efektor, dan tidak menempel pada membran sel secara langsung.1
Antibodi merupakan molekul yang sangat banyak kegunaannya. Aktivitas antibodi yang dapat
mengikat secara spesifik terhadap berbagai molekul lain, termasuk peptida, karbohidrat, asam
nukleat, dan kemampuannya dalam mengidentifikasi determinan antigenic menjadikannya sangat
penting dalam riset di bidang biomedik.2
c. Antigen
Antigen didefinisikan sebagai suatu agen/molekul yang dapat berinteraksi dengan antibodi atau
sel T reseptor yang membentuk kompleks dengan MHC.1 Sedangkan imunogen adalah antigen yang
dapat menginduksi terjadinya respon imun spesifik. Sebagian besar antigen memiliki struktur yang
kompleks, terdiri dari banyak epitop berbeda, dan sistem imun biasanya bekerja merespon dengan
memproduksi antibodi-antibodi terhadap beberapa epitop pada antigen. Dengan kata lain, beberapa
klona sel B yang berbeda dapat terstimulasi dan berproliferasi.2
Epitop adalah daerah yang aktif secara imunologi dari suatu imunogen yang terikat pada reseptor
membran spesifik antigen pada limfosit atau pada antibodi yang disekresikan. Sel plasma dari klona
sel B tunggal merupakan antibodi monoklonal yang secara spesifik mengikat satu determinan
antigenik. Kemudian, produk yang dihasilkan dari semua klona sel B yang terstimulasi, yang
merupakan sekumpulan monoklonal antibodi, membentuk respon antibodi serum heterogenus dan
poliklonal terhadap pajanan antigen.2
8
II. ANTIBODI POLIKLONAL
Antibodi dapat diperoleh dari berbagai sumber, salah satunya dari serum hewan yang diimunisasi.
Antibodi ini adalah antibodi poliklonal yang merupakan campuran tipe imunoglobulin yang berbeda
yang mengikat banyak situs pada antigen yang digunakan pada imunisasi. Sesuai dengan namanya,
antibodi poliklonal dari antisera dapat mengikat lebih dari satu epitop. Antibodi poliklonal secara
khusus memiliki ribuan antibodi yang berbeda yang bereaksi dengan sejumlah epitop. Antibodi
poliklonal juga biasanya memiliki berbagai jenis tipe imunoglobulin dan afinitas dengan kisaran yang
luas untuk setiap epitop yang berbeda. Namun dalam penerapan tertentu, hal ini menjadi keuntungan
untuk menggunakan antibodi poliklonal dibandingkan antibodi monoklonal yang hanya mengenali
satu epitop pada suatu antigen.3
Teknik produksi antibodi poliklonal yang relatif mudah dan cepat menjadikannya sebagai reagen
yang sangat bernilai bagi komunitas riset. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pengembangan antibodi poliklonal, yaitu pemilihan inang/hewan coba, imunisasi dengan antigen,
dosis antigen, pemilihan adjuvant, rute injeksi, pengambilan darah, pengujian serum sampel, dan
purifikasi pasca produksi. Berikut adalah tahapan teknik produksi antibodi poliklonal yang umum
dilakukan:
a. Pemilihan hewan coba
Antibodi poliklonal telah dikembangkan menggunakan banyak spesies hewan coba,
termasuk mencit, tikus, hamster, marmot, kelinci, kambing, domba, ayam, kuda, keledai, dan lain-
lain. Pemilihan spesies hewan yang akan digunakan didasarkan pada jumlah antibodi yang
diinginkan, tujuan penggunaan antibodi yang diproduksi, dan karakteristik antigen yang
digunakan. Kelinci merupakan hewan yang paling umum digunakan untuk produksi antibodi
poliklonal. Mencit dan tikus juga dapat digunakan untuk volume antibodi yang lebih sedikit,
sementara untuk skala produksi yang lebih besar digunakan spesies hewan yang lebih besar pula,
misalnya domba, kambing, atau kuda.4
b. Produksi antigen
Antigen harus dipersiapkan dengan baik agar respon antibodi sesuai dengan yang
diharapkan. Antigen harus steril, mengandung kontaminan toksik seminimal mungkin, dan pH
sesuai dengan batas fisiologis hewan coba. Jumlah antigen yang diinjeksikan harus ditentukan
berdasarkan spesies dan strain hewan yang digunakan, adjuvant yang digunakan, rute dan
9
frekuensi injeksi, serta tingkat imunogenisitas antigen itu sendiri. Dosis imunogen yang
dibutuhkan untuk memicu respon antibodi yang baik tergantung pada banyak faktor. Tetapi
faktor jumlah antigen yang dibutuhkan dalam menginduksi sistem imun yang tepat, menjadi
faktor yang paling utama.5
c. Pemilihan adjuvant
Penggunaan adjuvant harus dilakukan dan dipertimbangkan dengan cermat karena
adjuvant berpotensi menyebabkan sakit dan/atau penderitaan pada hewan. Jika memang
diperlukan, harus dicari adjuvant yang benar-benar sesuai. Ketika adjuvant digunakan, campuran
antigen/adjuvant harus dapat disuntikkan dengan mudah dan tingkat toksisitasnya rendah.
Umumnya adjuvant dicampur dengan volume yang sama dengan antigen (perbandingan 1:1).
Kategori adjuvant berdasarkan komponen penyusunnya ditunjukkan pada Tabel 1. 4
Tabel 1. Kategori adjuvant yang dapat digunakan untuk prosedur rutin produksi antibodi
poliklonal
Complete Freund’s adjuvant (CFA) merupakan salah satu adjuvant yang paling efektif,
namun juga berpotensi menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan sehingga sebaiknya
hanya digunakan jika tidak ada adjuvant lain yang dapat bekerja. Penggunaan CFA
direkomendasikan hanya pada imunisasi primer.6
10
d. Imunisasi
Protokol imunisasi yang digunakan harus melalui evaluasi dan disetujui komite etik
berdasarkan pedoman standar yang berlaku. Beberapa variabel yang mempengaruhi tahap
imunisasi adalah dosis antigen, rute imunisasi, frekuensi injeksi, dan adjuvant. Setelah
menentukan hewan coba yang akan digunakan sebagai inang, dilakukan imunisasi dengan antigen
target. Imunisasi dibagi menjadi: 1) imunisasi primer, 2) periode istirahat agar respon imun
mereda dan terbentuk sel memori. 3) injeksi antigen untuk booster satu atau beberapa kali, 4)
koleksi sampel pada hari ke-10 atau ke-14 setelah booster terakhir. Di bawah ini adalah contoh
protokol imunisasi untuk produksi antibodi yang rutin dilakukan, jumlah serta jarak waktu injeksi
booster dengan injeksi primer dapat disesuaikan.6
Hari ke-0 : Injeksi primer (25-300 µg antigen), complete Freund’s adjuvant (CFA)
Hari ke-21 : Injeksi booster (25-300 µg antigen), incomplete Freund’s adjuvant (IFA)
Hari ke-42 : Injeksi booster (25-300 µg antigen), IFA
Hari ke-56 : koleksi serum
Protokol umum di atas dapat digunakan untuk hampir semua spesies hewan coba dan
dapat dipakai untuk menghasilkan respon imun yang efektif untuk sebagian besar antigen. Jika
antigen diketahui kurang imunogenik, maka ditambahkan CFA pada injeksi booster pertama
setelah injeksi primer. Imunisasi booster dan koleksi sampel dapat dibuat dengan interval yang
lebih pendek untuk meningkatkan jumlah serum.
Pemilihan rute injeksi tergantung dari bentuk dan jumlah antigen yang akan diinjeksikan,
tetapi dalam beberapa kasus rute tertentu dipilih untuk memfasilitasi interaksi antigen target
dengan perangkat sel pemroses antigen spesifik sehingga sistem imun membentuk respon yang
tepat (misalnya pemberian rute oral untuk menghasilkan antibodi terkait saluran pencernaan).
Sebagian besar antigen yang dipreparasi dengan adjuvant dalam bentuk terlarut, rute subkutan
baik digunakan pada kelinci dan kambing, sementara rute intraperitoneal lebih praktis digunakan
untuk mencit dan rodentia lain. Antigen yang dimasukkan melalui rute intravena akan
dimetabolisme sangat cepat, sedangkan imunisasi melalui intradermal dan intramuscular akan
memperlambat presentasi antigen pada sistem imun.4
Penting untuk diketahui bahwa karakteristik respon imun berubah pada fase awal injeksi.
Respon umun primer dapat dideteksi dengan reaksi serologi dalam 5-7 hari setelah pajanan
11
antigen. Titer antibodi meningkat secara bertahap dalam beberapa hari hingga 2 minggu ke
depan, dan setelah itu menurun. Grafik titer antibodi umumnya berbentuk seperti digambarkan
pada Gambar 3, namun hal ini juga dipengaruhi oleh variabel-variabel yang telah disebutkan
sebelumnya.
Gambar 3. Pembentukan imunoglobulin pada respon primer dan sekuder. Antibodi
terdeteksi dalam serum pada hari ke-5 setelah imunisasi primer. Injeksi kedua
pada hari ke-28 memicu pembentukan antibodi dengan titer yang jauh lebih
tinggi daripada respon primer.6
Ketika injeksi booster diberikan, respon imun menghasilkan titer antibodi yang lebih tinggi
dibanding respon imun pertama pada periode hari ke-10 sampai ke-14. Respon imun primer
ditandai dengan tingginya level antibodi IgM, yang dapat bertahan 8-10 hari. Sedangkan pada
respon imun sekunder kelas antibodi yang paling banyak dihasilkan adalah IgG, yang dapat
bertahan 25-35 hari. Grafik kontribusi relatif antara IgM dan IgG pada respon imun primer dan
sekunder ditunjukkan pada Gambar 4.
12
Gambar 4. Titer IgM dan IgG relatif pada respon imun primer dan sekunder. Injeksi berulang akan
mengurangi level IgM dan meningkatkan respon igG untuk hampir semua jenis
antigen.6
e. Pengambilan darah
Pengambilan darah dapat dilakukan dengan memasukkan jarum pada vena. Penggunaan
syringe dapat beresiko terjadinya hemolisis yang akan mempengaruhi kualitas antibodi. Dalam
aplikasi tertentu dapat digunakan antikoagulan seperti EDTA atau sodium sitrat untuk preparasi
plasma. Untuk produksi serum paling baik menggunakan kaca boroslicate yang dapat
meminimalkan hemolisis.
f. Pengujian serum sampel
Serum sampel yang telah dikoleksi diuji untuk aktivitasnya menggunakan ELISA,
imunodifusi, atau analisis western blot. Serum yang terkonfirmasi mengandung antibodi
poliklonal terhadap antigen target dapat dipurifikasi lebih lanjut.
g. Purifikasi pasca produksi
Antiserum poliklonal dapat mengikat antigen yang berbeda. Pada sistem uji tertentu, hal
ini tidak menjadi masalah karena titer antibodi spesifik cukup tinggi dan dilusi sederhana mampu
mengeliminasi interferensi atau adanya antibodi non spesifik yang juga mampu mengenali
antigen. Namun, beberapa teknik purifikasi dapat dilakukan untuk menghasilkan poliklonal yang
lebih murni dan spesifik, misalnya dengan kromatografi afinitas.
13
III. ANTIBODI MONOKLONAL
Antibodi monoklonal merupakan antibodi monovalent yang mengikat epitop yang sama dan
diproduksi klona tunggal limfosit B.7 Antibodi monoklonal pertama kali dikembangkan pada tahun
1975 oleh Georges Kohler dan Cesar Milstein menggunakan teknik hibridoma.
A. Teknik Hibridoma
Pembentukan hibridoma melibatkan spesies hewan tertentu yang diimunisasi dengan
suatu antigen dengan epitop spesifik sehingga diperoleh sel limfosit B dari limpa hewan coba.8
Limfosit B difusikan (dengan bahan kimia atau metode induksi virus) dengan lini sel myeloma
immortal yang tidak memiliki gen hypoxanthine-guanine-phosphoribosyltransferase (HGPRT) dan
tidak mengandung sel apapun yang dapat menghasilkan imunoglobulin.9 Sel hibridoma kemudian
dikulturkan secara in vitro pada medium selektif (misalnya medium yang mengandung
hypoxanthine-aminopterin-thymidine/HAT), yang mana hanya sel hibridoma saja, yang
merupakan fusi dari limfosit B primer dan sel myeloma, yang dapat bertahan hidup. Sel myeloma
tidak memiliki HGPRT sehingga sel ini tidak dapat mensintesis nukleotida de novo, dikarenakan
penghambatan oleh aminopterin pada media, sementara sel primer limfosit B dapat tumbuh
dalam medium HAT.
Kultur awal hibridoma mengantung campuran antibodi yang diturunkan dari klona
limfosit B yang berbeda-beda. Masing-masing klona mensekresikan antibodi spesifiknya sendiri
pada media kultur (antibodi masih berupa antibodi poliklonal). Setiap satu klona hibridoma dapat
dipisahkan dengan metode dilusi ke dalam sumur yang berbeda. Medium sel kultur dapat dipindai
dari ratusan sumur berbeda dan untuk aktivitas antibodi spesifik yang diinginkan. Limfosit B yang
tumbuh dengan hasil uji positif dapat disubkultur dan diuji kembali aktivitasnya. Hibridoma positif
dan antibodi monoklonal yang terbentuk dapat disimpan dalam nitrogen cair.
14
Gambar 5. Prosedur skematik produksi antibodi monoklonal dengan teknik hibridoma dan
proses seleksi menggunakan medium HAT 10
B. Phage Display
Metode lain dalam mengembangkan antibodi monoklonal adalah dengan menggunakan
phaga display.11 Teknik ini melibatkan sel limfosit B yang diisolasi dari darah manusia, kemudian
dilakukan isolasi mRNA dan dikonversi menjadi cDNA menggunakan PCR untuk mengamplifikasi
segmen gen VH dan VL. Segmen tersebut kemudian diklon ke dalam vektor (biasanya sebagai
single-chain variable fragment/scFv) berdekatan dengan protein PIII dari bakteriofaga sehingga
diperoleh suatu pustaka kombinatorial dari scFv VH dan VL. Bakteriofaga yang membawa segmen
VH dan VL ini digunakan untuk menginfeksi sel E. coli. Sel E. coli terinfeksi akan mensekresikan
bakteriofaga yang mengandung segmen VH dan VL sebagai bagian dari selubungnya. Segmen
spesfik VH dan VL yang berinteraksi dengan antigen dapat diseleksi dan digunakan untuk
menginokulasikan kembali E. coli dengan bakteriofaga. Sel yang mengandung plasmid dapat
diisolasi dan disekuens.12
Keuntungan teknik ini adalah jika suatu pustaka kombinasi telah terbentuk, maka pustaka
yang sama dapat digunakan untuk membentuk antibodi baru dan pustaka tidak perlu dibuat
15
ulang. Proses ini juga tidak membutuhkan imunisasi karena keseluruhan dilakukan in vitro.
Antibodi dapat diperoleh lebih cepat dibanding teknik hibridoma. Teknik ini juga dapat digunakan
untuk mengembangkan antibodi terhadap antigen toksik yang tidak dapat diinjeksikan pada
hewan.13
IV. APLIKASI DAN KEGUNAAN ANTIBODI POLIKLONAL DAN MONOKLONAL
Poliklonal antibodi diisolasi dari serum hewan yang diimunisasi. Di dalamnya, terdapat sekitar
ribuan antibodi yang berbeda yang bereaksi dengan sejumlah epitop pada antigen. Antisera poliklonal
biasanya mengandung sebagian besar tipe imunoglobulin dan berbagai macam afinitas untuk epitop-
epitop berbeda. Dalam aplikasi tertentu, misalnya mikroskop elektron, antibodi poliklonal memiliki
keuntungan penting dibandingkan antibodi monoklonal. Sebagai contoh, untuk deteksi suatu antigen
dengan multipel epitop, satu antibodi poliklonal mampu meraih banyak situs pengikatan sehingga
dapat meningkatkan sensitivitas deteksi.6
Pengembangan antibodi monoklonal merepresentasikan cara baru untuk menarget mutasi
spesifik dan kerusakan ekspresi dan struktur protein pada berbagai jenis penyakit dan kondisi
tertentu. Saat ini, bioteknologi dalam riset sekuensing genetic dan translasi ilmu pengetahuan medis
dasar yang berkembang menjadi praktek klinis, berupa antibodi monoklonal humanisasi telah berada
pada tahap uji klinis. Sekitar 30 antibodi monoklonal telah disetujui FDA untuk penggunaan pada
manusia untuk pengobatan berbagai penyakit dan kondisi, termasuk kanker, penyakit inflamasi
kronis, transplantasi, penyakit infeksi dan kardiovaskuler.15
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S, editors. Cellular and Molecular Immunology. 7th ed.
Philadelphia: Elsevier Inc; 2012. doi: 10.1084/jem.20090209.
2. Kindt TJ, Goldsby RA, Osborne BA, editors. Kuby Immunology. 6th ed. New York: WH Freeman
& Co; 2007.
3. The University of Melbourne Animal Welfare Committee. 2005. Guidelines on polycolonal
antibody production.
16
4. Lewis DH. Antigens. In: Howard GC, Bethell DR. Basic Methods In Antibody Production And
Characterization. Florida: CRC Press; 2001.
5. Baldridge JR, Lacy MJ. Adjuvants. In: Howard GC, Bethell DR. Basic Methods In Antibody
Production And Characterization. Florida: CRC Press; 2001.
6. Bean ES. Polyclonal Anitbodies. In: Howard GC, Bethell DR. Basic Methods In Antibody
Production And Characterization. Florida: CRC Press; 2001.
7. Little M, Kipriyanov SM, Le Gall F, Moldenhauer G. Of mice and men: hybridoma and
recombinant antibodies. Immunol Today 2000;21(8):364e70.
8. Kohler G, Milstein C. Continuous cultures of fused cells secreting antibody of predefined
specificity. Nature 1975;256(5517):495e7.
9. Li F, Vijayasankaran N, Shen AY, Kiss R, Amanullah A. Cell culture processes for monoclonal
antibody production. mAbs 2010;2(5):466e79.
10. Stewart SJ. Monoclonal Antibody Production. In: Howard GC, Bethell DR. Basic Methods In
Antibody Production And Characterization. Florida: CRC Press; 2001.
11. Clementi N, Mancini N, Solforosi L, Castelli M, Clementi M, Burioni R. Phage display-based
strategies for cloning and optimisation of monoclonal antibodies directed against human
pathogens. Int J Mol Sci 2012;13(7):8273e92.
12. Schofield DJ, Pope AR, Clementel V, Buckell J, Chapple SDJ, Clarke KF, et al. Application of phage
display to high throughput antibody generation and characterisation. Genome Biol
2007;8(11):R254.
13. Schirrmann T, Meyer T, Schütte M, Frenzel A, Hust M. Phage display for the generation of
antibodies for proteome research, diagnostics and therapy. Molecules 2011;16(1):412e26.
14. Hoogenboom HR, de Bruïne AP, Hufton SE, Hoet RM, Arends J, Roovers RC. Antibody phage
display technology and its applications. Immunotechnology 1998;4(1):1e20.
15. Liu JKH. Review: The history of monoclonal antibody development e Progress, remaining
challenges and future innovations. Annals of Medicine and Surgery 2014(3): 113e116