makalah seminar hasil
TRANSCRIPT
PENGARUH PENGATURAN EC (Electro-conductivity) TERHADAP
HASIL BEBERAPA MACAM TANAMAN SAYUR
PADA SISTEM AEROPONIK 1)
INDAH ERMINAWATI 2)
H0102080
ABSTRAK
Elektrokonduktivitas atau disingkat EC merupakan suatu nilai yang menunjukkan kepekatan larutan nutrisi yang dapat diketahui dengan mengukur kemampuan larutan untuk menghantarkan arus listrik. Penelitian tentang pengaruh EC dilakukan terhadap beberapa macam sayuran yaitu Kangkung, Selada, dan Kailan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengaruh pengaturan EC (Electro-conductivity) larutan nutrisi terhadap berbagai macam sayuran semusim pada sistem Aeroponik. Penelitian dilakukan pada screen house Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta mulai September 2007 sampai dengan April 2008.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian split plot dengan 2 faktor perlakuan yang disusun dalam petak utama terdiri dari taraf perlakuan EC larutan nutrisi yaitu 3,0 mS/cm; 3,5 mS/cm; 4,0 mS/cm dan anak petak yang terdiri dari macam sayuran yaitu Kangkung, Selada dan Kailan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perlakuan EC larutan nutrisi 3,5 mS/cm memberikan hasil terbaik pada variabel luas daun, berat segar tajuk dan berat segar akar untuk semua tanaman; dan memberikan hasil jumlah daun terbanyak pada tanaman kangkung; tinggi tanaman, berat kering tajuk dan berat kering akar tertinggi pada tanaman selada serta menghasilkan tinggi tanaman, jumlah daun, berat kering tajuk, berat kering akar terbaik pada tanaman kailan.
Kata kunci : Aeroponik, EC (Electro-conductivity) , Kangkung, Kailan, Selada.
1
1)Disampaikan pada seminar hasil penelitian tingkat sarjana program studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2)Peneliti adalah mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dibawah bimbingan Ir. Dwi Hardjoko, MP., dan Ir. Wartoyo SP, MS., dengan dosen pembahas Ir. Eddy Tri Haryanto, MP.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun semakin meningkat diiringi pula
pada peningkatan kebutuhan akan pangan. Sejalan dengan meningkatnya
kesejahteraan dan kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi, permintaan sayuran
yang berkualitas baik dari segi rasa, penampilan dan kebersihan semakin tinggi.
Oleh karena itu diperlukan suatu metode budidaya yang dapat memproduksi
sayuran berkualitas.
Hidroponik merupakan suatu metode budidaya tanaman yang tidak
mengandalkan tanah sebagai media tanam. Salah satu modifikasi hidroponik yang
saat ini sedang berkembang adalah sistem aeroponik. Aeroponik adalah metode
penanaman yang menumbuhkan tanaman di dalam suatu bak dengan akar tampak
menggantung dan larutan nutrisi diberikan dengan cara pengabutan secara merata
di daerah perakaran.
Penanaman dengan teknik aeroponik terbukti dapat memberikan hasil yang
lebih baik dibanding dengan teknik penanaman konvensional. Menurut Pandana
(2005), dengan aeroponik kita dapat memetik sayuran segar, nirpestisida dan
eksklusif. Dari segi pemasaran, sayuran aeroponik dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat tingkat menengah keatas.
Peranan unsur hara dalam budidaya tanaman secara aeroponik sangat
penting. Dalam pemberian larutan nutrisi harus diperhatikan kepekatannya.
Kepekatan larutan nutrisi dapat diketahui dengan mengukur kemampuan larutan
untuk menghantarkan arus listrik. Penghantaran arus listrik ini disebut
konduktivitas atau lazim disebut elektrokonduktivitas (EC, Electro-conductivity).
Nilai EC dipengaruhi oleh kandungan garam total dan akumulasi ion-ion yang ada
di dlam larutan nutrisi. Makin pekat kandungan garam dalam larutan berarti
makin tinggi konsentrasi larutan tersebut. Menurut Sutiyoso (2003b), semakin
pekat larutan, semakin besar angka yang tertera pada EC-meter. Bila nilai EC
terlalu tinggi, maka efisiensi penyerapan unsur hara oleh akar akan turun.
Jenis sayuran yang banyak di budidayakan secara aeroponik sangat beragam.
Pada penelitian ini menggunakan tanaman selada, kalian dan kangkung. Ketiga
2
jenis tanaman tersebut cocok dibudidayakan secara aeroponik karena memiliki
waktu panen sekitar satu bulan setelah pindah tanam dan merupakan komoditas
sayuran yang dapat memberikan keuntungan maksimal. Disamping rasanya yang
enak dan memiliki nilai gizi yang tinggi, jenis sayuran tersebut memiliki biomass
yang tidak terlalu besar sehingga dapat disangga dengan baik oleh styrofoam.
Berbeda jenis sayuran, berbeda pula respon yang diberikan terhadap
perlakuan EC. Dengan demikian, penelitian untuk mengkaji pengaruh pengaturan
EC terhadap pertumbuhan berbagai jenis sayuran menjadi penting untuk
dilakukan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca (Serra) Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta mulai bulan Agustus 2007 sampai dengan
bulan April 2008.
Bahan yang digunakan adalah benih kangkung, selada dan kailan ; nutrisi
AB mix produksi joro.
Alat yang digunakan antara lain rangka besi sebagai penyangga dan
biasanya disebut bed (singkatan dari bedengan), styrofoam, pipa PVC, nozzle,
pH-meter, penggaris, klorofil meter, timbangan analitik, oven dan bak
perkecambahan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian split
plot dengan 2 faktor perlakuan yang terdiri dari faktor pertama atau petak utama
yaitu pengaturan EC (Electro-conductivity) larutan nutrisi dengan 3 taraf yaitu: E1
(EC 3,0 mS/cm), E2 (EC 3,5 mS/cm) dan E3 (EC 4,0 mS/cm) ; dan faktor kedua
atau anak petak yaitu macam sayuran antara lain: S1 (Kangkung), S2 (Selada) dan
S3 (Kailan). Berdasarkan kedua faktor perlakuan tersebut maka diperoleh 9
kombinasi perlakuan dan masing – masing perlakuan diulang 4 kali.
Persiapan penelitian meliputi persiapan bed aeroponik, membuat nutrisi AB
Mix, penyemaian, penanaman atau transplanting, pemeliharaan tanaman,
pengendalian hama dan penyakit dan pemanenan. Variabel pengamatan meliputi
3
tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, kadar klorofil, berat segar tajuk, berat
segar akar, berat kering tajuk dan berat kering akar.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan uji F pada
taraf 5%. Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh beda nyata, dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil analisis ragam pada lampiran dapat diketahui bahwa perlakuan EC
larutan nutrisi berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman Kangkung,
Selada dan Kailan khususnya pada variabel tinggi tanaman, luas daun, kadar
klorofil, berat segar akar, berat segar tajuk dan berat kering tajuk.
1. Tinggi Tanaman
Menurut Sitompul dan Guritno (1995), tinggi tanaman merupakan
ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan
maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh
lingkungan atau perlakuan yang diterapkan.
Tabel 1. Uji DMRT 5 % Perlakuan EC terhadap Tinggi Tanaman
Perlakuan Rata-rata Tinggi Tanaman (cm)
EC 3.0 38,9 aEC 3.5 43,9 cEC 4.0 41,7 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang beda menunjukkan berbeda nyata pada DMRT 5%
Hasil DMRT 5 % terhadap perlakuan EC larutan nutrisi menunjukkan
bahwa pada EC larutan nutrisi 4 mS/cm berbeda nyata dan memberikan tinggi
tanaman paling baik dibandingkan perlakuan EC larutan nutrisi 3 mS/cm dan
3,5 mS/cm terhadap tinggi tanaman.
4
Gambar 1. Grafik Tinggi Tanaman Kangkung pada Berbagai Perlakuan EC
Gambar 1 menunjukkan kurva perlakuan EC terhadap nutrisi tanaman
Kangkung. Pada gambar tersebut dapat diketahui tinggi tanaman yang paling
baik diperoleh pada perlakuan EC 4 mS/cm dengan selisih tinggi tanaman
yang tidak jauh berbeda dengan perlakuan EC 3 mS/cm dan 3,5 mS/cm. Nilai
EC terkait dengan kepekatan larutan nutrisi. Semakin tinggi nilai EC berarti
semakin pekat larutan nutrisi sehingga ketersediaan unsur hara dalam larutan
pun semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutiyoso (2003b), yaitu
dengan meningkatkan EC larutan nutrisi makan tanaman akan memberikan
respon positif terhadap peningkatan EC tersebut.
5
0
10
20
30
40
50
60
70
6 HST 13 HST 18 HST 23 HST 28 HST
Umur Tanaman
Tin
ggi T
anam
an
EC 3
EC 3,5
EC 4
Gambar 2. Grafik Tinggi Tanaman Selada pada Berbagai Perlakuan EC
Pada Gambar 2 terlihat bahwa tinggi tanaman selada meningkat seiring
dengan bertambahnya umur tanaman. Tinggi tanaman tertinggi diperoleh pada
perlakuan pemberian EC 3,5 mS/cm. dari grafik tersebut juga dapat diketahui
penggunaan EC yang lebih tinggi (dalam hal ini adalah EC 4 mS/cm) tidak
selalu menghasilkan tinggi tanaman yang lebih baik, karena peningkatan nilai
EC tidak bersifat linier dimana pemberian larutan nutrisi dengan kepekatan
yang tinggi jika melebihi batas toleransi akan menyebabkan penurunan hasil.
Selada yang ditanam pada screen house di areal Fakultas Pertanian UNS
umumnya memiliki batang yang lebih panjang dibandingkan selada yang
ditanam di daerah pegunungan. Menurut Gardner et al. dalam Sulistyaningsih
et al (2005), tinggi tanaman dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas
cahaya yang tinggi menyebabkan tanaman pendek. Sedangkan wilayah
dataran rendah umumnya memiliki intensitas cahaya yang rendah, sehingga
pertumbuhan batang lebih panjang.
6
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
6 HST 13 HST 18 HST 23 HST 28 HST 35 HST
Waktu Tanam
Tin
ggi T
anam
an (c
m) EC 3
EC 3,5
EC 4
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
7 HST 14 HST 21 HST 28 HST 35 HST 42 HST
Waktu Tanam
Tin
gg
i T
an
am
an
(cm
)
EC 3EC 3,5EC 4
Gambar 3. Grafik Tinggi Tanaman Kailan pada Berbagai Perlakuan EC
Tinggi tanaman Kailan pada awal-awal pemindahan dari persemaian
tidak mengalami peningkatan yang berarti dengan grafik yang cenderung
meningkat sedikit. Tetapi setelah tanaman berumur lebih dari 21 HST terjadi
peningkatan yang tajam dengan pertumbuhan batang yang semakin tinggi
pada tiap-tiap perlakuan EC.
Dari grafik tersebut diperoleh tinggi tanaman terbaik dengan perlakuan
EC 3,5 mS/cm, diikuti dengan perlakuan EC 4 mS/cm kemudian EC 3 mS/cm.
Peningkatan nilai EC yang lebih tinggi dalam hal ini juga tidak selalu
memberikan hasil positif. Hal ini dikarenakan peningkatan nilai EC ada
batasnya, jika besarnya EC lebih tinggi dari batas toleransi dari suatu tanaman,
efisiensi penyerapan hara oleh akar akan menurun karena mulai jenuh dalam
menyerap (Sutiyoso, 2004).
2. Jumlah Daun
Daun merupakan organ utama berlangsungnya fotosintesis. Menurut
Harhadi (1991), metabolisme karbohidrat akan menghasilkan energi yang
selanjutnya mendorong pembelahan sel dan membentuk sel baru dalam
jaringan sebagai awal pertumbuhan. Dengan demikian semakin banyak energi
yang terbentuk, pembentukan organ-organ tanaman seperti daun pun akan
semakin cepat.
7
Dari hasil analisis ragam (pada lampiran), dapat diketahui bahwa
perlakuan EC tidak memberikan pengaruh nyata pada jumlah daun. Diduga
karena jumlah daun pada suatu tanaman banyak dipengaruhi oleh faktor
genetik. Dijelaskan oleh Harahap et al (1992), bahwa jumlah daun setiap
tanaman merupakan sifat genetik dan bawaan mendasar.
Gambar 4. Grafik Jumlah Daun Kangkung pada Berbagai Perlakuan EC.
Pada gambar 4 terlihat bahwa jumlah daun meningkat seiring dengan
bertambahnya umur tanaman. Jumlah daun terbanyak tanaman kangkung pada
umur panen diperoleh pada taraf perlakuan EC 3,5 mS/cm.
Pada larutan nutrisi yang lebih pekat, ketersediaan unsur hara semakin
bertambah sehingga dimungkinkan kandungan unsur-unsur penyusun dasar
tubuh tanaman lebih banyak. Selain itu nutrisi juga berperan penting pada
proses fisiologis khususnya fotosintesis yang menghasilkan karbohidrat.
Apabila tanaman menyerap nutrisi lebih banyak maka proses fotosintesis yang
berlangsung dapat lebih baik karena karbohidrat yang dihasilkan lebih banyak.
Tetapi disamping kuantitas, larutan nutrisi juga harus memperhatikan kualitas.
Peningkatan EC terbukti mampu meningkatkan hasil dengan catatan tidak
melebihi batas maksimum dari EC tanaman sayuran. Dalam hal ini, EC 3,5
mS/cm merupakan EC optimum tanaman kangkung untuk menghasilkan
jumlah daun yang maksimal. Untuk itu jika tanaman diberikan larutan nutrisi
8
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
6 HST 13 HST 18 HST 23 HST 28 HST
Umur Tanaman
Jum
lah
Dau
n
EC 3
EC 3,5
EC 4
dengan kepekatan yang menghasilkan nila EC lebih dari 3,5 mS/cm akan
menyebabkan tanaman mengalami penurunan hasil.
Gambar 5. Grafik Jumlah Daun Selada pada berbagai perlakuan EC
Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa taraf perlakuan EC 4 mS/cm
memberikan hasil jumlah daun tertinggi dibandingkan perlakuan EC 3 dan 3,5
mS/cm. Meskipun jumlah daun pada EC 4 mS/cm merupakan yang tertinggi,
tetapi selain taraf EC banyak hal yang mempengaruhi pertumbuhan daun.
Faktor yang banyak mempengaruhi pertumbuhan daun adalah faktor
lingkungan khususnya cahaya dan suhu.
Tanaman selada merupakan jenis sayuran yang biasa di budidayakan
pada dataran tinggi dengan suhu sekitar 10 – 20o C. Selada yang
dibudidayakan pada dataran rendah umumnya memerlukan pemeliharaan
optimal untuk memperoleh suhu yang optimal pula dengan cara penyaringan
cahaya matahari sehingga tanaman tidak mengalami kekeringan. Jika terjadi
kekeringan tanaman akan berbunga awal sebelum mencapai ukuran maksimal
dan terjadi nekrosis/kering pada pucuk daun bagian dalam. Dalam penelitian
ini suhu sangat berpengaruh. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan daun-
daun mengalami kekeringan yang menyebabkan jumlah daun berkurang.
9
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
6 HST 13 HST 18 HST 23 HST 28 HST 35 HST
Umur Tanaman
Jum
lah
Dau
n
EC 3
EC 3,5
EC 4
Gambar 6. Grafik Jumlah Daun Kailan pada berbagai Perlakuan EC.
Kailan merupakan jenis sayuran berdaun tebal, datar dan mengkilap.
Meskipun merupakan jenis kubis-kubisan, kailan tidak membentuk krop dan
bagian yang dikonsumsi dari sayuran kailan adalah batang dan daun muda
yang masih renyah. Daun pada tanaman kailan umumnya lebih tahan terhadap
suhu tinggi dan kekeringan untuk itu sayuran kailan banyak dibudidayakan di
dataran rendah.
Pada grafik tersebut (Gambar 6) perlakuan EC 3,5 mS/cm memberikan
hasil jumlah daun yang paling banyak dan paling baik.
3. Luas Daun
Daun merupakan penghasil fotosintat yang sangat diperlukan tanaman
sebagai sumber energi dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini
sesuai dengan Sitompul dan Guritno (1995), pengamatan daun dapat
didasarkan atas fungsinya sebagai penerima cahaya dan alat fotosintesis. Atas
dasar ini, luas daun akan menjadi pilihan parameter utama karena laju
fotosintesis per satuan tanaman pada kebanyakan kasus ditentukan sebagian
besar oleh Luas Daun.
10
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
6 HST 13 HST 18 HST 23 HST 28 HST 35 HST
Umur Tanaman
Jum
lah
Dau
n
EC 3
EC 3,5
EC 4
Tabel 2. Uji DMRT 5 % Perlakuan EC terhadap Luas Daun
Perlakuan Rata-rata Luas Daun (cm2)
EC 3.0 68,55 aEC 3.5 96,95 bEC 4.0 81,35 ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang beda menunjukkan berbeda nyata pada DMRT 5%
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengaturan EC
berpengaruh nyata terhadap luas daun tanaman kangkung, selada dan kailan.
Dan dari tabel DMRT (tabel 2) dapat diketahui bahwa perlakuan EC 3,5
mS/cm berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan EC larutan nutrisi 3,0
mS/cm dan 4 mS/cm.
Makin meningkatnya pertumbuhan tanaman makan asupan haranya juga
makin besar. Asupan hara yang tinggi memacu penambahan luas daun sampai
batas tertentu. Hal ini juga ditunjukkan pada tanaman Selada.
Selada yang ditanam pada penelitian ini merupakan tipe selada telur atau
kepala yang biasanya membentuk krop dengan daun yang salin merapat.
Namun, karena selada ini dibudidayakan di dataran rendah seperti lokasi pada
screen house Fakultas Pertanian UNS maka selada tidak dapat membentuk
krop. Daun pada tanaman selada berbentuk keriting dan berwarna hijau
kekuningan. Rata-rata luas daun selada tertinggi diperoleh pada perlakuan EC
3,5 mS/cm. Taraf perlakuan pada EC tersebut memberikan luas daun paling
baik jika dibandingkan dengan perlakuan EC 3 dan 4 mS/cm.
Besarnya kandungan unsur hara dapat tercermin dalam tingginya EC
larutan nutrisi. EC larutan nutrisi yang meningkat dapat meningkatkan luas
daun sedangkan EC larutan nutrisi yang rendah dapat menghambat
pertumbuhan karena asupan nutrisi yang sedikit. Untuk itu sebaiknya
pemberian larutan nutrisi dengan nilai EC harus memperhatikan batas
toleransi yang dimiliki tiap tanaman terhadap kepekatan nutrisi atau nilai EC.
Dalam hal ini tanaman selada mempunyai mempunyai batas toleransi nilai EC
yang dapat memberikan hasil luas daun maksimal yaitu pada EC 3,5 mS/cm.
11
jika diberikan EC lebih dari nilai tersebut akan menurunkan hasil luas daun.
Tidak berbeda dengan tanaman kangkung dan selada, kailan juga
memiliki batas toleransi yang sama terhadap nilai EC yang dapat memberikan
luas daun terbaik yaitu pada perlakuan EC 3,5 mS/cm. Kailan memiliki daun
yang berbentuk bundar dengan tepi daun bergelombang dan ujung daun yang
membulat.
4. Kadar Klorofil
Salah satu pendekatan untuk mengetahui jumlah klorofil daun adalah
dengan mengukur tingkat kehijauan daun. Daun yang lebih hijau umumnya
memiliki kandungan klorofil yang tinggi (Sulistyaningsih et al, 2005). Kadar
klorofil diukur dengan menggunakan klorofilmeter yang dilakukan pada
beberapa helai daun (3 daun) yang dipilih secara acak untuk masing-masing
sampel tanaman.
Tabel 3. Uji DMRT 5 % Perlakuan EC terhadap kadar klorofil
Perlakuan Rata-rata
EC 3.0 32,59 aEC 3.5 35,06 bEC 4.0 37,67 c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang beda menunjukkan berbeda nyata pada DMRT 5%
Berdasarkan hasil DMRT pada taraf 5 % (Tabel 3), taraf perlakuan EC
4.0 mS/cm menunjukkan berbeda nyata terhadap kadar klorofil pada tanaman
kangkung, selada dan kailan. Dengan ini dapat diasumsikan bahwa kadar
klorofil meningkat seiring dengan peningkatan taraf EC.
Klorofil sebagai zat hijau daun sangat berperan dalam fotosintesis.
Tingginya jumlah klorofil mengakibatkan tingginya fotosintesis sehingga
fotosintat yang dihasilkan juga tinggi. Hal ini akan terlihat pada berat tajuk
tanaman. Tanaman yang memiliki jumlah klorofil lebih tinggi akan
memperlihatkan pertumbuhan berat tajuk yang juga lebih tinggi.
12
Perlakuan yang menghasilkan jumlah klorofil paling banyak adalah
perlakuan EC pada taraf 4 mS/cm.
5. Berat Segar Tajuk
Biomassa tanaman merupakan ukuran yang paling sering digunakan
untuk menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan tanaman. Ini didasarkan
atas kenyataan bahwa taksiran biomassa (berat tanaman) relatif mudah diukur
dan merupakan integrasi dari hampir semua peristiwa yang dialami tanaman
sebelumnya. Sehingga parameter ini merupakan indikator pertumbuhan yang
paling representatif apabila tujuan utama adalah untuk mendapatkan
penampilan keseluruhan pertumbuhan tanaman atau suatu organ tertentu.
Tabel 4. Uji DMRT 5 % Perlakuan EC terhadap Berat Segar Tajuk
Perlakuan Rata-rata Berat Segar Tajuk (gr)
EC 3.0 43,37 aEC 3.5 68,19 bEC 4.0 48,89 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang beda menunjukkan berbeda nyata pada DMRT 5%
Dari tabel DMRT pada taraf 5 % dapat diketahui bahwa perlakuan EC
3,5 mS/cm berbeda nyata pada hasil berat segar tajuk dibandingkan perlakuan
EC 3,0 dan 4,0 mS/cm.
Pada tanaman kangkung, berat segar tajuk tertinggi diperoleh pada
perlakuan EC 3,5 mS/cm. hasil tersebut bahwa pemberian larutan nutrisi yang
semakin pekat tidak selalu menghasilkan berat segar tajuk yang semakin baik.
Hal ini disebabkan EC yang tinggi mencerminkan kepekatan larutan nutrisi
dimana jika diberikan dalam jumlah banyak melebihi EC optimum dari
tanaman tersebut akan menimbulkan toksisitas yang berakibat penurunan
hasil.
Berat segar tajuk merupakan akumulasi fotosintat yang dihasilkan
selama pertumbuhan. Hal ini mencerminkan tingginya serapan nutrisi yang
diserap tanaman untuk proses pertumbuhan. Dalam hal ini kuantitas dan
13
kualitas nutrisi berpengaruh besar. Peningkatan nilai EC memberikan dampak
peningkatan hasil berat segar tajuk.
Berat segar tajuk tertinggi diperoleh pada perlakuan EC 3,5 mS/cm.
dengan ini dapat dikatakan EC 3,5 mS/cm merupakan batas toleransi tertinggi
bagi tanaman kangkung, selada maupun kailan untuk menghasilkan berat
segar tajuk tertinggi.
6. Berat Segar Akar
Berat segar akar dapat menggambarkan besarnya kuantitas akar yang
dimiliki tanaman. Dalam sistem aeroponik, akar tanaman dibiarkan
menggantung tanpa media apapun. Nutrisi diberikan dalam bentuk kabut
butiran halus dan akan mengambang lama di udara sehingga dapat mengenai
seluruh permukaan akar.
Tabel 5. Uji DMRT 5 % Perlakuan EC terhadap Berat Segar Akar
Perlakuan Rata-rata Berat Segar Akar (gr)
EC 3.0 6,12 aEC 3.5 8,85 bEC 4.0 6,77 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang beda menunjukkan berbeda nyata pada DMRT 5%
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa perlakuan
pengaturan EC berpengaruh nyata terhadap berat segar akar. Demikian pula
pada tabel DMRT taraf 5 % Perlakuan EC terhadap berat segar akar (Tabel 5)
yang menunjukkan bahwa perlakuan EC 3,5 mS/cm menunjukkan berbeda
nyata jika dibandingkan dengan kedua perlakuan yaitu 3,0 dan 4,0 mS/cm.
Menurut Gardner et al (1991) akar juga memerlukan nutrisi mineral
yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangannya seperti bagian-bagian
tanaman yang lain. Karena salah satu fungsi nutrisi adalah sebagai struktur
dasar tubuh tanaman. Pada tanaman dengan perlakuan EC 3,5 mS/cm, nutrisi
dan hara dapat diserap secara optimum dibandingkan pada EC 3,0 dan 4,0
14
mS/cm sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman termasuk
pembentukan akar dapat lebih baik.
Baik tanaman Kangkung, Selada dan Kailan memiliki EC Optimum
yang tidak jauh berbeda dan berkisar pada nilai EC 3,5 mS/cm. jika besarnya
EC lebih tinggi dari angka itu, efisiensi penyerapan hara oleh akar akan
menurun karena tingginya nilai EC menyebabkan kejenuhan (Sutiyoso et al,
2004).
7. Berat Kering Tajuk
EC larutan nutrisi memberikan kontribusi terhadap berat kering tajuk.
Berat kering tanaman semakin bertambah atau fotosintat dalam tajuk semakin
meningkat seiring bertambahnya umur tanaman. Berat kering yang tinggi
mencerminkan tingginya hasil serapan hara selama proses pertumbuhan
sehingga dapat memberbesar akumulasi fotosintat dalam hal ini besarnya berta
kering tajuk.
Tabel 6. Uji DMRT 5 % Perlakuan EC terhadap Berat Kering Tajuk
Perlakuan Rata-rata Berat Kering Tajuk (gr)
EC 3.0 3,12 aEC 3.5 5,99 bEC 4.0 4,23 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang beda menunjukkan berbeda nyata pada DMRT 5%
Berdasarkan uji DMRT (Tabel 6) perlakuan EC terhadap berat kering
tajuk menunjukkan bahwa EC 3,5 mS/cm berbeda nyata dibandingkan
perlakuan EC yang lain. Hal ini diduga karena pada EC tersebut selama
pertumbuhan, penyerapan unsur hara terutama nitrogen berjalan dengan
efektif. Nitrogen berperan sebagai bahan pembangun dan sintesis asam amino,
asam nukleat, klorofil, alkaloid dan protein (Sutiyoso, 2003).
Pada tanaman kangkung perlakuan EC yang memberikan berat kering
tajuk paling baik adalah perlakuan EC 4,0 mS/cm. sedangkan pada tanaman
selada dan kailan EC 3,5 mS/cm memberikan berat kering tajuk paling
15
maksimal. Perbedaan respon tersebut menunjukkan bahwa di antara ketiga
sayuran yang dibudidayakan, tanaman kangkung yang paling mudah
dibudidayakan dalam kondisi apapun. Selain proses pertumbuhan lebih cepat
dan umur panen lebih singkat, kangkung juga lebih tahan terhadap perlakuan
EC yang lebih tinggi yakni EC 4,0 mS/cm dibandingkan sayuran daun yang
lain.
8. Berat Kering Akar
Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan EC terhadap berat kering akar
tidak menunjukkan pengaruh nyata. Gardner et al (1991) menyatakan bahwa
karena letaknya yang lebih dekat dengan terhadap sumber unsur hara bila
dibandingkan dengan pucuk, akar mempunyai kesempatan pertama untuk
mendapatkan mineral dan air, walaupun akar mempunyai kesempatan terakhir
untuk mendapatkan hasil asimilasi yang terbentuk di pucuk. Sehingga
pertumbuhan akar antara perlakuan EC tidak menunjukkan perbedaan yang
berarti.
Hal ini juga dipengaruhi oleh kesempatan tanaman memperoleh unsur
hara yang mana pada penelitian aeroponik ini menunjukkan bahwa semua
tanaman memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh hara karena
pada prinsipnya, sistem pertanaman aeropinik adalah penyemprotan larutan
nutrisi ke dalam bentuk kabut atau butiran halus yang mudah diserap oleh
akar, sehingga akar akan terus-menerus terpapar larutan nutrisi dengan
interval pengabutan yang sama.
Pada tanaman kangkung EC yang menghasilkan berat kering akar paling
baik adalah EC 4,0 mS/cm. Sedangkan nilai EC yang memberikan berat
kering akar selada dan kailan paling baik adalah EC 3,5 mS/cm. Hal ini
disebabkan pada tanaman selada dan kailan, EC yang tinggi dalam hal ini
adalah EC 4,0 mS/cm menyebabkan kejenuhan akar dalam penyerapan hara
sehingga pembentukan fotosintat pada akar akan terhambat yang berpengaruh
pada rendahnya berat kering akar.
16
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan yaitu :
1. Perlakuan EC pada penelitian ini mampu meningkatkan hasil pada
variabel tinggi tanaman, luas daun, kadar klorofil, berat segar tajuk, berat
segar akar, berat kering tajuk dan sebaliknya tidak menunjukkan
peningkatan terhadap jumlah daun dan berat kering akar.
2. Perlakuan EC 3,5 mS/cm memberikan hasil terbaik pada variabel luas
daun, berat segar tajuk dan berat segar akar untuk semua tanaman; dan
memberikan hasil jumlah daun terbanyak pada tanaman kangkung; tinggi
tanaman, berat kering tajuk dan berat kering akar tertinggi pada tanaman
selada serta menghasilkan tinggi tanaman, jumlah daun, berat kering tajuk,
berat kering akar terbaik pada tanaman kailan.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai EC yang sesuai untuk
tanaman pada sayuran yang lebih bervariasi, tidak hanya sayuran daun tetapi
juga sayuran batang atau buah. Diduga untuk sayuran batang atau buah akan
lebih meningkatkan hasil dengan EC yang relatif tinggi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. Teknologi Budidaya Tanaman Pangan. http://www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?id=2. Diakses pada tanggal 17 Mei 2007.
Erina, Y. 2007. Pengaruh Pengaturan EC (Electro-conductivity) dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Caisim (Brassica juncea L.) pada Sistem Aeroponik. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Farida, N.F. 2006. Pengaruh Pengaturan EC (Electrical Conductivity) dan Pemberian Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea.L) secara Hidroponik NFT. Skripsi Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta.
Ginting, C., Tohari, D. Sidiq dan D. Indradewa. 2006. Pengaruh Suhu Zona Perakaran terhadap Hasil Tanaman Selada Sistem Aeroponik. Agrosains. 8 (2) : 75 – 81
Harjadi, S.S. 1991. Pengantar Agronomi. PT Gramedia. Jakarta. 195 Hal.
Karsono, S.; Sudarmodjo, Yos Sutiyoso. 2004. Hidroponik Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka. Jakarta. 64 hal.
Musa, N. H. 2006. Teknologi Aeroponik. http://161.139.39.251/akhbar/agriculture/1999/um99727.htm. Diakses tanggal 21 Juni 2007.
Nichols, M. 2002. Aeroponik-production system and research tool. http://www.growingedge.com/magazine/back_issues/view_article.php3?A ID=130530. Diakses pada tanggal 23 Juni 2007.
Nurmawati, L. 2001. Studi Komposisi Nutrisi dan Media Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) secara Hidroponik. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS.
Pandana, O. S. 2005. Rakit Sendiri Aeroponik Anda. Trubus 425. April 2005/XXXVI. Hal 58.
Pituati. G., D. Indradewa, dan E. Sulistyaningsih. 2006. Pengaruh Nisbah Nitrat dan Amonium terhadap Aktivitas Nitrat Reduktase, Kandungan Nitrogen,
18
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Pak Choi (Brassica chinensis L.). Agrosains. 19 (1) : 1 - 11
Rukmana, R. 1994a. Bertanam Kangkung. Kanisius. Yogyakarta.
_______________. 1994b. Bertanam Selada & Andewi. Kanisius. Yogyakarta.
Savvas, D. 2003. Hydroponics : A modern Technology Supporting The Aplication of Integrated Crop Management in Green House. Food, Agriculture and Environment Vol 1 (1) : 80 – 86.
Sitompul, S.M. dan B. Guritno.1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Suhardiyanto, H. 2002. Teknologi Hidroponik. Modul Pelatihan Aplikasi Teknologi Hidroponik Untuk Pengembangan Agribisnis Perkotaan. Bogor : 28 Mei – 7 Juni 2002. Kerjasama CREATA – IPB dan Depdiknas.
Susanto, S. 2002. Budidaya Tanaman Hidroponik. Modul Pelatihan Aplikasi Teknologi Hidroponik Untuk Pengembangan Agribisnis Perkotaan. Bogor : 28 Mei – 7 Juni 2002. Kerjasama CREATA – IPB dan Depdiknas.
Sulistyaningsih, E., B. Kurniasih, E. Kurniasih. 2005. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Caisim Pada Berbagai Warna Sungkup Plastik. Ilmu Pertanian. 12 (1) : 65 – 76.
Sutiyoso, Y. 2003a. Aeroponik Sayuran. Penebar Swadaya. Jakarta. 71 hal.
_________ . 2003b. Meramu Pupuk Hidroponik. Penebar Swadaya. Jakarta. 121
hal
_________ . 2004. Hidroponik Ala Yos. Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hal
Tadesse, T ; Nichols, M.A ; Fisher, K.J. 1999. Nutrient Conductivity Effect on Sweet Pepper Plant Grown Using a Nutrient Film Technique. New Zealand Journal of Crop and Horticultural Science. 27 (229 – 237).
19