prosiding seminar nasional -...

499

Upload: hadat

Post on 03-Mar-2019

601 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah
Page 2: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

INOVASI PESTISIDA RAMAH LINGKUNGAN MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

Pati, 6-7 September 2017

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2017

Page 3: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah
Page 4: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

INOVASI PESTISIDA RAMAH LINGKUNGAN MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

Pati, 6-7 September 2017

PELINDUNG: Kepala Badan Litbang Pertanian PENGARAH: Sekretaris Badan Litbang Pertanian PENANGGUNGJAWAB: Prof. Dr. Ir. Dedi Nursyamsi, M.Agr

PENYUNTING: Asep Nugraha Ardiwinata, A. Wihardjaka, Ai Dariah, E. Srihayu Harsanti, Helena Lina Susilowati, Ashol Hasyim

REDAKSI PELAKSANA: Widya Adhy, Ina Zulaehah, Fitra Purnariyanto, Yono Diterbitkan pada Oktober 2017, oleh: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12, Kampus Penelitian Pertanian, Cimanggu, Bogor 16114 Telp (0251) 8323012 Email : [email protected] http://bbsdlp.litbang.pertanian.go.id

ISBN 978-602-459-013-0

Page 5: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah
Page 6: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, taufiq dan

hidayah-Nya, sehingga Prosiding Seminar yang bertema: “Inovasi Pestisida Ramah

Lingkungan Mendukung Swasembada Pangan” ini dapat terselesaikan.

Kegiatan workshop dan seminar ini merupakan salah satu wujud komitmen dan

kepedulian Balingtan dalam mendukung pencapaian swasembada pangan tanpa

meninggalkan aspek ramah lingkungan. Isu-isu strategis dan terkini yang berkaitan dengan

pemanfaatan pestisida yang ramah lingkungan penting untuk diketahui oleh peneliti,

akademisi, petani dan stakeholders lainnya untuk mendukung penyediaan pangan yang

ramah lingkungan. Melalui kegiatan ini, teknologi terkini yang telah ada dapat segera

diaplikasikan oleh petani dan stakeholders lainnya, sedangkan permasalahan-permasalahan

yang muncul dapat dijadikan dasar bagi peneliti dan akademisi untuk menyusun research

plan yang dapat menjawab persoalan-persoalan tersebut.

Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

diselenggarakan pada tanggal 6-7 September 2017 oleh Balai Penelitian Lingkungan

Pertanian. Dalam kesempatan ini dihadirkan pula narasumber dari luar negeri yaitu dari

Queensland University. Pemakalah Utama terdiri dari Dr. M. Prama Yufdy (Sekretaris

Badan Litbang Pertanian), Dr. Errol Hasan (Queensland university), Dr. Muhrizal Sarwani

(Direktur Pupuk dan Pestisida, Kementan), Dr. Agung Kurniawan (CropLife Indonesia),

Lasiyo Syaifudin (Petani Bantul), dan Ulus Primawan (Petani Lembang).Makalah

pendamping berasal dari pemakalah para peneliti, staf pengajar perguruan tinggi baik

negeri maupun swasta, Instansi pemerintah, dan stakeholder lainnya. Makalah dari peserta

seminar dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok/tema seminar yaitu: 1. Residu

Pestisida; 2. Biopestisida; 3. Teknologi Pengendalian Residu Agrokimia; 4. Lain-lain; dan

5. Poster.

Akhirnya, semoga prosiding workshop dan seminar ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak dan memberi manfaat bagi kemajuan pertanian Indonesia.

Pati, 18 Oktober 2017

Kepala Balai Besar

Prof. Dr. Ir. Dedi Nursyamsi, M.Agr

NIP 19640623 198903 1 002

Page 7: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

vi

Page 8: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

vii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................................................................... v

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... vii

SAMBUTAN KETUA PANITIA ....................................................................................... xi

SAMBUTAN STAF AHLI MENTERI BIDANG LINGKUNGAN .............................. xiii

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL ................................................................................ xv

1. Status Pencemaran Pestisida dan Inovasi Teknologi Penanggulangannya

di Lahan Pertanian

M. Syakir, M. Prama Yufdy, Dedi Nursyamsi, dan Asep Nugraha Ardiwinata ....................................... 1

2. Produksi, Peredaran, dan Pengawasan Biopestisida di Indonesia

Muhrizal Sarwani ......................................................................................................................................................... 11

3. Praktek Pertanian dan Praktek Penggunaan Produk Perlindungan Tanaman dalam

Mendukung Program Swasembada dan Ketahanan Pangan

Agung Kurniawan ....................................................................................................................................................... 23

4. The Effect of Botanical Pesticides on Safe Food Production

Errol Hassan ................................................................................................................................................................... 33

5. Penggunaan Pestisida Nabati

Lasiyo ................................................................................................................................................................................. 37

6. Bertani Ramah Lingkungan untuk Terciptanya Lingkup Pertanian yang Sehat

Ulus Primawan .............................................................................................................................................................. 51

7. Evaluasi Ekstrak Tumbuhan Sebagai Insektisida Botani untuk Mengendalikan

Ulat Bawang (Spodoptera Exigua) di Laboratorium

Hasyim A., W.Setiawati, Liferdi L, Nusyirwan H, Dan L. Sutji Marhaeni ............................................. 63

8. Effect of Border Cultural Systems for Maize on Production and Pesticides

Residues in Watermelon Fruit, Soil and Water

Sutardi, Heni Purwaningsih, Nugroho Siswanto, dan Sugeng Widodo ................................................. 83

9. Aplikasi Antifidan Ekstrak Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees)

dan Insektisida Sintetis dalam Pengendalian Penyakit Tungro Pada Padi

Wasis Senoaji, R. Heru Praptana, Ahmad Muliadi, dan Any Mugiasih .................................................. 93

10. Residu Paraquat di Lahan Hortikultura di Provinsi Jawa Tengah

Anik Hidayah, Wahyu Purbalisa, dan Dolty Mellyga Wangga Paputri ............................................. 105

11. Residu Insektisida Klorpirifos dan Diazinon Pada Tanah dan Sayuran Kubis

(Brassica oleracea) di Jawa Barat

E. Sulaeman dan A.N. Ardiwinata. ...................................................................................................................... 113

12. Identifikasi Residu Glifosat pada Lahan Hortikultura di Provinsi Jawa Tengah

Ria Fauriah, Ukhwatul Muanisah, dan Anik Hidayah................................................................................ 121

13. Kontaminasi Residu Organofosfat dalam Darah Petani Padi

di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

Sri Wahyuni, Indratin, dan Asep Nugraha Ardiwinata ............................................................................. 129

Page 9: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

viii

14. Sebaran Residu Insektisida Klordan, Diazinon, dan Klorpirifos di Lahan Sayuran

Provinsi Sulawesi Selatan

Triyani Dewi, C.O. Handayani, dan A. Faisal Sudin ................................................................................. 139

15. Efektivitas Ekstrak Daun Zodia (Evodia suaveolens, Scheff,) untuk Menurunkan

Palatabilitas Larva Plutella xylostella, L

Martina Sri Lestari dan Abdul Wahid Rauf ................................................................................................ 145

16. Efikasi Agensia Hayati Terhadap Perkembangan Populasi Hama Wereng Coklat

di Lokasi Pemanfaatan Pupuk Organik In–Situ pada Budidaya Padi Ramah

Lingkungan di Lahan Sawah Irigasi Kabupaten Kendal

Hairil Anwar, Y. Hindarwati, dan Forita, D.A ........................................................................................... 155

17. Efek Ekstrak Daun Mahkota Dewa (Phaleria Papuena Werb) Terhadap Mortalitas

Plutella Xylostella pada Selada Merah

Isna Tustiyani, Sumiyati, Dadi Nurdiana, dan Toto Siswancipto...................................................... 165

18. Efektivitas Ekstrak Beberapa Tanaman Mangrove Sebagai Insektisida Nabati

Terhadap Hama Krop Kubis di Lahan Rawa Pasang Surut

Nur Wakhid, Maulia Aries Susanti, dan Syaiful Asikin .......................................................................... 171

19. Treatment of Three Fractionation of Suren Plant Extracts on Mortality of Spodoptera

Litura F. Larvae

Ita Tarigan................................................................................................................................................................ 183

20. Insektisida Nabati Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura) dari Beberapa Tumbuhan

Rawa di Kalimantan Selatan

Syaiful Asikin, Nur Wakhid, dan Maulia Aries Susanti .......................................................................... 191

21. Potensi Pestisida Nabati dalam Meningkatkan Produksi Tanaman Padi

Indratin dan Sri Wahyuni .................................................................................................................................. 203

22. Evaluasi Adopsi Petani Bojonegoro Dalam Menerapkan Beauveria Bassiana

untuk Mengendalikan Hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens, Stål)

Wahyunindyawati ................................................................................................................................................ 209

23. Joint Action of Leaf Water Extract of Breadfruit, Redcedar, Mahogany

and Neems Against on Sweet Potato Weevil (Cylas formicarius, F.) in Laboratory

Syarif H, Yuliana Y. M., Nenet S, Yadi S, and Fitri W ............................................................................... 217

24. The Effectiveness of Metarhizium Anisopliae and Formulation of Neem 50 Ec

for Suppress The Aphis Gossypii Glover Population

Neneng Sri W, Rika M, Lindung Tri P, Yusuf H, Danar D, and Rani M ............................................ 229

25. Study of Reduction Pesticide Application and Their Residue in Farmers

Yogi Purna Rahardjo, Sukarjo, Tina Febrianti and Abdi Negara ..................................................... 239

26. Degradation of Dieldrin Using Consorsia Microbes and Compost Manure in Soil

Asep Kurnia, E.S. Harsanti and A.N. Ardiwinata ...................................................................................... 251

27. Biodegradasi Senyawa Pestisida Organoklorin oleh Mikroba Konsorsia

di Lahan Sayuran

Asep Nugraha Ardiwinata ................................................................................................................................ 261

Page 10: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

ix

28. Evaluation of Activated Charcoal Coated Urea for In Situ Remediation

of Vegetable Land

E. S. Harsanti, A.N. Ardiwinata, dan Indratin ............................................................................................ 275

29. Potensi Pemanfaatan Limbah Biogas dan Urine Sapi sebagai Pupuk

dan Pestisida Untuk Meningkatkan Produksi Padi di Lahan Sawah Tadah Hujan

Mulyadi, Duri dan W. Purbalisa ...................................................................................................................... 289

30. Penurunan Residu Endrin Pada Pemberian Urea Arang Aktif dan Urea Biochar

di Lahan Pertanian Padi Intensif

Poniman, A.N. Ardiwinata, dan Aji M.Tohir ............................................................................................... 297

31. Bioprospecting of Ahl-Lactonase-Producing Bacillus spp. For Biocontrol

Agents of Phytopathogenic Bacteria

Alina Akhdiya, Deden Sukmadjaja, dan Iman Rusmana ....................................................................... 307

32. Keanekaragaman dan Kelimpahan Arthropoda Tanah Pada Perbedaan Residu

Insektisida Organoklorin di Lahan Sayuran Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi

Araz Meilin, Ratna Rubiana, dan Sri Wahyuni ........................................................................................ 319

33. Pemanfaatan Agensia Hayati Untuk Peningkatan Produksi dan Keuntungan

Usahatani Bawang Merah

Dewi Sahara dan Bambang Prayudi ..…………………………………............................................…………..327

34. Penggunaan Pestisida Nabati Lebih Tepat di lahan Pembukaan Sawah Baru

Wahid Erawan ........................................................................................................................................................ 337

35. Control Introduction of Biological Agents Into Indonesia’s Territory

Ihsan Nugroho, Antarjo Dikin, and Fujio Lamtarida ............................................................................ 341

36. Potensi Genetik Sumberdaya Lahan Rawa untuk Mendukung Pertanian Ramah

Lingkungan

Maulia A. Susanti, dan Masganti ..................................................................................................................... 349

37. Field Evaluation of Neem Oil Formulation Against Aphids and Fruit Flies

of Chilli Pepper

Yusup H, Ahmad Danny H, Lindung Tri P, Rika M, Rani M, and Danar D ...................................... 363

38. Ekspresi Hasil Gabah dan Kelayakan Finansial Tujuh Varietas Unggul Padi

yang ditanam Dengan Metode SRI (System of Rice Intensification)

di Sleman,Yogyakarta

Sugeng Widodo dan Joko Pramono .............................................................................................................. 369

39. Residu Logam Berat Pb,Cd, Cu dan Residu Pestisida dalam Umbi Bawang Putih

Melalui Penerapan Budidaya Ramah Lingkungan di Kabupaten Karanganyar

Ridha Nurlaily, Samijan, Tri Cahyo M, dan Slamet ................................................................................ 381

40. Paket Teknologi Ramah Lingkungan untuk Mengurangi Residu Pestisida

Golongan Organofosfat Pada Budidaya Bawang Merah

Sutardi ....................................................................................................................................................................... 393

Page 11: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

x

41. Pengendalian Terpadu Penyakit Tungro dengan Komponen Ramah Lingkungan

di Kebun Percobaan Lolittungro Lanrang Sidrap MK 2016

Elisurya Ibrahim, Nur Rosida, Ani Mugiasih, dan Ria Fauriah .......................................................... 407

42. Minimalisasi Penggunaan Pestisida Kimia dalam Budidaya Krisan dengan

Menggunakan Varietas Tahan Penyakit Karat

Yayuk A. Bety dan Indratin ................................................................................................................................ 415

43. Penggunaan Pestisida Nabati Untuk Mendukung Budidaya Padi Berkelanjutan

di Lahan Tadah Hujan

Ali Pramono, Edi Supraptomo dan Prihasto Setyanto........................................................................... 423

44. Kandungan Residu Endosulfan Pada Lahan Sawah di Kabupaten Banjarnegara,

Jawa Tengah

C.O. Handayani, Sukarjo, dan W. Purbalisa ................................................................................................ 431

45. Deteksi Residu Pestisida Endosulfan dan Heptaklor dalam Air di Aliran Sungai

Serayu

Ina Zulaehah, dan Sukarjo ................................................................................................................................. 439

46. Sebaran Organoklorin Klordan dan DDT di Tanah Sawah DAS Serayu Hulu

Kabupaten Wonosobo

Mulyadi, Sarwoto dan Sukarjo ......................................................................................................................... 447

47. Konsentrasi Residu Pestisida Organoklorin pada Tanah di Sentra Sayuran,

Nusa Tenggara Barat

Sri Wahyuni, Sudjudi, dan Mulyadi ................................................................................................................ 457

48. Sebaran Penggunaan Fungisida Berbahan Aktif Mankozeb dan Propineb

di Lahan Sayur Dataran Rendah Kabupaten Tuban

Wahyu Purbalisa dan Dolty Mellyga Wangga Paputri ......................................................................... 465

49. DAFTAR PESERTA................................................................................................ 471

50. JADUAL ACARA .................................................................................................... 477

Page 12: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

xi

SAMBUTAN KETUA PANITIA Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Selamat pagi dan Salam sejahtera bagi kita semua

Yang saya hormati,

- Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian Dr. Ir. Muhammad Syakir M.S.

- Ir. Mukti Sardjono, MSc. (SAM Bidang Lingkungan Pertanian)

- Yang saya hormati Bapak Sekretaris Badan Litbang Pertanian Dr. Ir. Prama Yufdy M.S.

- Yang saya hormati Bapak Direktur Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian Dr. Ir.

Muhrizal Sarwani.

- Yang saya hormati Executive Director CropLife Indonesia Bapak Agung Kurniawan,

S.S Ing.

- Yang saya hormati Bapak Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian

Prof. Dr. Ir. Dedi Nursyamsi M.Agr.

- Whom I respect Professor Errol Hasan, From Queensland University, Australia

- Dan yang saya banggakan seluruh peserta workshop dan seminar.

Pertama dan yang paling utama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah

SWT bahwa atas ridho-Nya kita dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat

walafiat. Kami ucapkan selamat datang kepada para peserta workshop and seminar

International, para Pembicara Utama, dan para tamu undangan.

I would like to convey a warmest welcome to (all) the distinguished guests and participants

of the International seminar.

Hadirin yang berbahagia,

Tujuan workshop dan seminar ini adalah pertama inventarisasi pencemaran dan dampak

pestisida, serta menjaring inovasi teknologi pengendaliannya di lahan pertanian, kedua

inventarisasi pemanfaatan sumberdaya lokal untuk pestisida alami dan menjaring Inovasi

teknologi pestisida ramah lingkungan di lahan pertanian, ketiga memformulasikan bahan

kebijakan pemerintah dalam memposisikan pestisida untuk pencapaian swasembada pangan

(Pajale Babe), dan solusi permasalahannya, keempat ajang koordinasi antar UK/UPT

lingkup Balitbangtan dalam penanganan masalah pestisida.

Workshop dan Seminar ini bertema “Inovasi Pestisida Ramah Lingkungan Mendukung

Swasembada Pangan”.

Program Nawacita Presiden melalui Kementerian Pertanian berupaya mempertahankan

swasembada pangan : padi, bawang merah dan cabe pada tahun 2016, dan tercapainya

swasembada jagung pada tahun 2017, serta kedelai pada tahun 2020. Upaya mencapai dan

Page 13: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

xii

mempertahankan swasembada tersebut memerlukan sarana produksi yang mendukung,

diantaranya benih, pupuk dan pestisida. Penggunaan pestisida yang tidak terkendali dan

maraknya pestisida bermutu rendah dapat meningkatkan terjadinya resistensi dan resurjensi

hama, berdampak pada kesehatan petani itu sendiri dan lingkungan pertanian pada

umumnya. Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dan mewujudkan visi

Kementerian Pertanian Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia maka sudah saatnya

pertanian Indonesia mengarah pada Pertanian Ramah Lingkungan. Dalam konsep tersebut,

pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) mengutamakan penggunaan

pestisida yang aman untuk lingkungan seperti biopestisida atau pestisida hayati.

Bapak Kepala Balitbangtan,

Berikut kami laporkan bahwa Peserta Workshop dan Seminar Internasional ini diikuti

sekitar peserta 161 (46 makalah oral dan 17 makalah poster) antara lain dari Balai

Penelitian (Balit, 19 UPT) dan BPTP (33 UPT) Lingkup Badan Litbang Pertanian,

Kementerian Pertanian, Perguruan Tinggi, Praktisi Bawang, Praktisi Bisnis, Stakeholders

terkait dan Umum.

Kepada Rekan rekan Panitia saya selaku Ketua Panitia Pelaksana Workshop dan Seminar

Internasional, mengucapkan terima-kasih atas kerja-sama yang sangat baik ini, semoga

Allah SWT memberi balasan yang berlipat ganda dan dimasukkan dalam amal shaleh.

Amin.

Pada kesempatan ini Kami juga mengucapkan terima-kasih kepada para peserta seminar

sekalian. Mohon maaf apabila dalam pelaksanaan seminar ini banyak terdapat kekurangan.

Semoga workshop dan seminar internasional ini dapat terlaksana dengan lancar tiada

kurang suatu apapun. Seusai seminar para peserta pulang ke rumah masing masing dengan

selamat, berjumpa dengan keluarga, semoga selalu dalam bimbingan, lindungan, ridho dan

rahmat Allah SWT, Kami berharap semoga silaturahim ini bisa terus berlangsung. Amin.

Selanjutnya, kepada Bapak Kepala Balitbangtan atau yang mewakili, mohon kiranya

berkenan untuk memberikan arahan sekaligus membuka acara Workshop dan Seminar

Internasional ini secara resmi.

Sebagai penutup Pintas jalan ke tanjung intan, disana petani tanam selasih, Atas perhatian

dan kehadiran, kami ucapkan terima kasih.

OC is giving the best to assist you in everyway, therefore please enjoy our hospitality and

have a delightful experience in the workshop and seminar.

Wabillahi taufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pati, 6 September 2017

Dr. Asep Nugraha Ardiwinata, M.Si.

Page 14: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

xiii

SAMBUTAN STAF AHLI MENTERI BIDANG LINGKUNGAN

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Selamat pagi dan Salam sejahtera bagi kita semua

Yang saya.hormati:

- Dr. Prama Yufdy (Sekretaris Badan Litbang Pertanian)

- Prof. Errol Hassan (Queensland University, Australia)

- Dr. Muhrizal Sarwani (Direktur Pupuk dan Pestisida, Kementan),

- Agung Kurniawan, S.S Ing. (Direktur CropLife, Indonesia),

- Tamu undangan (Rektor Universitas UGM, UNS, UNDIP, UMK, UMUS, BPTP, Dinas

Pertanian, dll.

- Sdr. Kepala BBSDLP beserta jajarannya,

- Sdr. Kepala Balingtan beserta jajarannya

- Sdr. Ulus Primawan (Model Farmer Ramah Lingkungan dari Lembang, Jabar)

- Bp. Lasiyo Syaifuddin (petani pengguna pestisida ramah lingkungan dari Bantul DIY)

dan Bapak Ulus Primawan (Petani Lembang, Jabar)

- Teman-teman peneliti, panitia, dan seluruh hadirin yang berbahagia

Hadirin yang berbahagia,

Nawacita Presiden Jokowi-JK, mengamanatkan peningkatan produktivitas rakyat dan daya

saing terhadap pasar intenasional dengan cara mewujudkan kemandirian ekonomi dan

menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Meningkatnya daya saing di pasar

internasional tetap berbasis kerakyatan.

Pertanian masa depan adalah pertanian berkelanjutan, berlanjut untuk saat ini, saat yang

akan datang, dan untuk selamanya. Ke depan pembangunan pertanian dihadapkan berbagai

tantangan yang semakin berat. Ketahanan pangan dan keamanan pangan menjadi isu global

yang terus mengemuka, sehingga perlu mendapat perhatian serius dari kita semua.

Perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini sulit diprediksi, sehingga berimplikasi kurang

baik terhadap tata kelola pembangunan pertanian. Perubahan suhu misalnya dapat memicu

mewabahnya serangan OPT tanaman yang pada gilirannya dapat menurunkan produksi

tanaman. Kondisi ini diperkirakan akan sering terjadi, sehingga diperlukan inovasi-inovasi

teknologi tata kelola pembangunan pertanian yang terus dinamis.

Timbulnya serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) di tingkat lapangan

menjadikan alasan petani terus menggunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida sudah

menjadi mentalitas petani akibat pemahaman petani yang keliru, dan menyebabkan

penggunaannya kurang bijaksana. Penggunaan pestisida secara dioplos, melebihi dosis

anjuran, tidak tepat sasaran, dan lain-lain merupakan sisi buruk penggunaan pestisida di

tingkat petani. Cara-cara penggunaan pestisida yang demikian dapat berdampak terhadap

menurunnya kualitas lingkungan pertanian dan produk yang dihasilkan.

Page 15: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

xiv

Cara-cara tata kelola pertanian dengan eksploitasi SDA seperti penggunaan pestisida dan

pupuk kimia secara berlebihan yang diterapkan dalam revolusi hijau dan menghasilkan

ekonomi hijau (green economic). Era green economic harus sudah mulai ditinggalkan dan

memasuki era modern berupa ekonomi biru (blue economic). Era ini mengedepankan

keseimbangan kerja secara alamiah sehingga tidak merusak lingkungan dan langit tetap

biru. Trend ini akan terus mengemuka dimana pasar global (WTO, tahun 2020) mulai

diberlakukan. Artinya semua produk yang diperdagangkan harus memenuhi kriteria dan

standar yang ditentukan. Suka tidak suka ketentuan WTO tersebut harus menjadi acuan

tata kelola pembangunan pertanian, apabila Indonesia tidak ingin dikucilkan dari percaturan

perdagangan dunia.

Hadirin yang berbahagia,

Di sisi yang berbeda kebutuhan pangan dalam negeri juga terus meningkat. Sebagai

ilustrasi permintaan bahan pangan domestik pada tahun 2020 adalah sebagai berikut: beras

sekitar 40 juta ton, jagung 20 juta ton, kedelai 5 juta ton, ubi kayu 15 juta ton, gula 3 juta

ton, cabai 1,8 juta ton, bawang merah 1,0 juta ton, kentang 1,5 juta ton, tomat 1 juta ton,

jeruk 2 juta ton, dan pisang 6 juta ton. Pemenuhan bahan pangan tersebut tidaklah mudah,

apabila tidak dilakukan secara benar dan komplementer.

Pembangunan sistem pertanian melalui pendekatan yang komplementer antara

teknofarming dan ekofarming (eco-techno farming) dianggap sebagai skenario yang tepat

untuk mencapai pembangunan pertanian ber-visikan pertanian berkelanjutan yang berbasis

ilmu pengetahuan dan sumber daya. Balitbangtan memiliki kepentingan untuk terus ikut

mengawal tata kelola pembangunan pertanian.

Untuk mendukung arah tata kelola pembangunan pertanian menuju pasar bebas dunia di

satu pihak dan memenuhi kebutuhan bahan pangan dalam negeri di pihak lain, kita coba

menghimpun gagasan dan pemikiran oleh pakar dan peneliti untuk selanjutnya dapat

digunakan sebagai bahan masukan. Apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya

saya sampaikan kepada Sdr. Kepala BBSDLP, Sdr. Kepala Balingtan, serta seluruh panitia

yang telah bekerja atas terselenggaranya acara ini.

Hadirin yang berbahagia,

Kepada para nara sumber, para peneliti, dan segenap hadirin saya ucapkan selamat untuk

ber-workshop dan berseminar. Saya berharap dari kota kecil Pati ini, dapat melahirkan

gagasan pemikiran baru dalam tata kelola pembangunan pertanian ke depan.

Akhirnya dengan mengucap Bismillahirohmanirohim workshop dan seminar internasional

dengan tema “Inovasi Pestisida Ramah Lingkungan Mendukung Swasembada Pangan”

dibuka secara resmi. Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa membimbing kita semua.

Wabillahi taufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pati, 6 September 2017

Page 16: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

xv

RUMUSAN WORKSHOP DAN SEMINAR INTERNASIONAL

“INOVASI PESTISIDA RAMAH LINGKUNGAN MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN”

Workshop dan Seminar Internasional dengan tema “Inovasi Pestisida Ramah

Lingkungan Mendukung Swasembada Pangan (Innovation of Friendly-Environmental

Pesticides to support food Self sufficiency)” dilaksanakan di Pati pada tanggal 6-7

September 2017, dihadiri oleh 170 orang peserta, terdiri dari peneliti, akademisi dari

berbagai perguruan tinggi, praktisi (pengusaha dan petani), dan stakeholder (Dinas

Pertanian dan Ditjen Teknis lingkup Kementerian Pertanian). Workshop dan seminar

bertujuan untuk (1) menginventarisasi pencemaran dan dampak pestisida, serta menjaring

inovasi teknologi pengendaliannya di lahan pertanian, (2) menginventarisasi pemanfaatan

sumberdaya lokal untuk pestisida alami dan menjaring Inovasi teknologi pestisida ramah

lingkungan di lahan pertanian, (3) memformulasikan bahan kebijakan pemerintah dalam

memposisikan pestisida untuk pencapaian swasembada pangan (Padi, jagung, kedelai,

bawang merah, cabai), solusi permasalahannya, dan (4)ajang koordinasi antar UK/UPT

lingkup Balitbangtan dalam penanganan masalah pestisida.

Acara ini dibuka oleh Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan, Ir. Mukti

Sardjono, MSc. Bertindak sebagai pembicara utama adalah: Dr. Muhammad Prama Yufdi

(Sekretaris Balitbang Pertanian), Prof. Errol Hasan (Queensland University, Australia), Dr.

Ir. Muhrizal Sarwani (Direktur Pupuk dan Pestisida), Agung Kurniawan, S.Si (PT.

CropLife Indonesia), Lasiyo Syaifuddin (Petani dari Bantul) dan Ulus Primawan

(Pengusaha tani dari Lembang). Workshop dan seminar ini menghasilkan beberapa

rumusan sebagai berikut.

1. Telah teridentifikasi berbagai dampak negatif dari penggunaan pestisida sintetis

(konvensional) yang tidak terkontrol dan maraknya pestisida bermutu rendah

menyebabkan terjadi resistensi hama tehadap insektisida, resurgensi hama, ledakan

hama sekunder, matinya serangga non target (musuh alami seperti parasitoid. predator

dan serangga polinasi), mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan manusia

serta memerlukan biaya yang mahal. Misal residu organoklorin lindan melebihi batas

maksimum residu (BMR) yang diperbolehkan di beberapa lahan sawah intensif tanah

sawah di Jawa Barat dan di sentra bawang merah di DIY, residu DDT melebihi

konsentrasi BMR di sentra sayuran Brastagi Sumatera Utara, Dieng Jawa Tengah, Batu

Jawa Timur, dan residu endosulfan melebihi konsentrasi BMR di beberapa lahan sawah

di DAS Citarum tengah, Jawa Barat.

2. Perlu adanya suatu strategi atau metode dalam upaya untuk mencegah kerusakan

sumber daya alam dan lingkungan dengan memperhatikan ekologis, mempunyai nilai

ekonomis, efisien, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan standar

hidup petani. Kondisi seperti ini yang memunculkan gagasan dan konsep sistem

pertanian berkelanjutan (Sustainable agricultural systems).

Page 17: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

xvi

3. Indonesia sudah melakukan banyak tindakan untuk mengubah penggunaan pestisida

konvensional ke arah yang lebih ramah lingkungan. Namun demikian penggunaan

pestisida sintetis (konvensional) belum dapat dikendalikan. Formulasi pestisida yang

beredar di pasaran juga semakin banyak, hal ini menyebabkan petani kesulitan dalam

menjatuhkan pilihan. Oleh karena itu diperlukan edukasi dan penyadaran tentang

bahaya pestisida terhadap semua kalangan secara kontinue sehingga petani bisa lebih

selektif dan tepat dalam memilih pestisida. Perusahaan juga perlu diberi tanggung jawab

untuk memberikan edukasi penggunaan pestisida kimia secara bertanggung jawab

dalam mendukung pengembangan dan pemasyarakatan pestisida yang bersifat ramah

lingkungan.

4. CropLife sebagai mitra Pemerintah diharapkan dapat membantu memberikan edukasi

peningkatan pemahaman masyarakat tani tentang keamanan penggunaan produk

perlindungan tanaman (pestisida) diantaranya pemahaman label, bekerja dengan hati-

hati, merawat sprayer dengan baik, alat perlindungan diri, teknik aplikasi, teknik

penyemprotan, pengelolaan resistensi tanaman dan menanggulangi serta memberantas

produk palsu.

5. Pestisida hayati merupakan altenatif yang menjanjikan untuk mendukung sistem

pertanian ramah lingkungan karena bersifat biodegradable, selektif, dan tidak

mengandung bahan-bahan yang berbahaya. Namun demikian pestisida ini juga

mempunyai beberapa kelemahan, yaitu (1) tidak bereaksi cepat (knockdown) atau relatif

lambat membunuh hama, (2) Membanjirnya produk pestisida ke Indonesia, salah

satunya dari China, yang harganya lebih murah (3) Bahan baku pestisida nabati relatif

masih terbatas karena kurangnya dukungan pemerintah (Political Will) dan kesadaran

petani terhadap penggunaan pestisida nabati masih rendah, (4) peraturan perizinan

pestisida nabati yang disamakan dengan pestisida kimia sintetik membuat pestisida

nabati sulit mendapatkan izin edar dan diperjualbelikan.

6. Dalam rangka menyusun strengthening and refocussing program penelitian

biopestisida/pestisida nabati, perlu dilakukan inventarisasi terhadap produksi pestisida

ramah lingkungan (essensial oil, crude extracts, vegetable oils) yang dihasilkan oleh

inventor (peneliti/akademisi/petani) melalui institusi lingkup Badan Litbang Pertanian

(misal sinergi Balingtan-Balittro-Balitsa). Tantangan Badan Litbang Pertanian ke depan

menemukan pestisida hayati yang mempunyai efektivitas dan kemanjuran relatif

samadengan pestisida kimia.

7. Perlu disepakati untuk saat ini masih sulit untuk menghilangkan penggunaan pestisida

kimia (konvensional), namun berbagai cara yang dapat menekan dampak negatif

pestisida terhadap lingkungan telah mengarah pada penggunaan produk hayati ramah

lingkungan dan pendekatan pengelolaan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara

terpadu.

8. Teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah suatu konsep yang lebih

diarahkan pada cara pendekatan yang mengandalkan peran agroekosistem terutama

sumberdaya hayati domestik seperti musuh alami, pestisida botani, biopestisida,

penggunaan varietas tahan, sistem tanam tumpangsari, penggunaan componion planting,

Page 18: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

xvii

pengelolaan ekosistem dengan cara bercocok tanam, feromenoid seks dan atraktan

sintetis guna mendukung teknologi pengendalian OPT ramah lingkungan dan

berkelanjutan.

9. Pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida sintetik sampai saat ini masih

diperlukan namun harus diletakkan sebagai alternatif terakhir, bilamana teknologi

pengendalian ramah lingkungan tidak mampu mengatasi peningkatan populasi OPT

yang telah melampau ambang kendali. Penggunaan pestisida sintetik dapat digunakan

untuk menurunkan populasi OPT sampai batas keseimbangan namun harus selektif dan

tidak membunuh serangga non target seperti musuh alami.

10. Dengan mengelola lingkungan pertanian secara tepat melalui perpaduan berbagai

teknologi pengendalian yang bukan pestisida, maka populasi hama selama satu musim

tanam dapat diupayakan untuk selalu berada pada aras yang tidak mendatangkan

kerugian ekonomik bagi petani. Dalam keadaan demikian tentunya petani tidak perlu

lagi menggunakan pestisida dan cukup mempercayakan pengendalian hama kepada

pengendalian hama yang ramah lingkungan.

11. Ke depan perlu dikembangkan sistem pertanian ramah lingkungan yang kuat dan

terpadu, namun sebelum melakukan langkah-langkah tersebut perlu dibuat state of the

art sistem pengembangan pertanian ramah lingkungan.

12. Dukungan terhadap kegiatan penelitian dan pengembangan konsep pengendalian OPT

ramah lingkungan harus ditingkatkan. Berbagai regulasi dan kebijakan

terhadap pelaksanaan pertanian berkelanjutan berwawasan lingkungan, sosialisasi

dan implementasinya di lapangan harus diperkuat dengan dukungan sistem informasi

yang mudah diakses pengguna.

13. Teknologi pengendalian OPT ramah lingkungan dapat diterapkan bila pemerintah

berfungsi sebagai fasilitator melalui kebijakan yang dapat memberikan insentif bagi

produsen untuk mengadopsi cara pengendalian OPT ramah lingkungan dan insentif bagi

konsumen yang mengkonsumsi produk bersih.

14. Perdagangan herbisida parakuat dan karbosulfan di sebagian besar negara sudah

dilarang, kecuali di Indonesia. Usulan pelarangan perdagangan herbisida tersebut harus

disertai bukti dampak negatif yang kuat dan didukung data scientific.

Pati, September 2017

Tim Perumus:

A. Wihardjaka

Ai Dariah

Ahsol Hasyim

E. Srihayu Harsanti

H. Lina Susilowati

Sukarjo

Miranti Ariani

Page 19: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

xviii

Page 20: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

1

STATUS PENCEMARAN PESTISIDA DAN INOVASI TEKNOLOGI PENANGGULANGANNYA DI LAHAN PERTANIAN

M. Syakir, M. Prama Yufdy, Dedi Nursyamsi, A.N. Ardiwinata

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jl. Ragunan Raya

PENDAHULUAN

Pasar bebas dunia tahun 2020 sudah tinggal menghitung waktu dan sekarang

Indonesia sudah masuk pasar bebas Asean (MEA) sejak 2015. Persyaratan ecolabeling

terhadap suatu produk termasuk produk pertanian menjadi syarat utama perdagangan bebas.

Ini berarti hanya produk-produk yang memiliki kualitas yang dipersyaratkan saja yang

nantinya dapat bersaing di pasar bebas tersebut.Untuk menyikapi hal tersebut Indonesia

telah melakukan antisipasi dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012

tentang pangan, yang dijabarkan dalam RPJMN 2015-2019, dan ditindaklanjuti dalam

Strategi Pembangunan Pertanian Kementerian Pertanian 2015-2019. Pada tanggal 14-17

Agustus 2017 telah dilaksanakan pertemuan Special Senior Official Meeting of ASEAN

Ministers on Agriculture and Forestry (SSOM AMAF) ke 38 di Singapura yang diantaranya

membahas tentang ketahanan dan keamanan pangan.

Teknologi pertanian modern nyata memacu produktivitas komoditas pertanian

strategis, antara lain dengan penggunaan bahan agrokimia (pupuk dan pestisida). Namun

disisi lain penggunaan pestisida secara berlebihan dapat menimbulkan residu pada lahan

dan lingkungan sekitarnya. Penghentian subsidi pestisida oleh pemerintah dan pelaksanaan

sekolah lapang (SL) PTT belum mampu mengurangi laju peningkatan penggunaan pestisida

di sektor pertanian. Bahkan pestisida telah digunakan secara masif dan cenderung

menjadikan sebagai mentalitas petani (Poniman dan Indratin, 2014).

Perubahan iklim diperkirakan turut menyumbangkan peningkatan penggunaan

pestisida sekitar 60 % hingga tahun 2100 (Koleva et al., 2009). Perubahan iklim

menyebabkan ledakan hama penyakit tanaman yang tak terkendali. Hal ini akan berdampak

timbulnya residu pestisida di lahan pertanian terutama yang bersifat persisten dan

akumulatif. Menurut Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan Pertanian, diperlukan langkah

strategis untuk mengantisipasi perubahan iklim sehingga upaya swasembada pangan tidak

terkendala. Antisipasi perubahan iklim tersebut berupa inovasi paket teknologi yang mudah

diakses petani seperti KATAM Terpadu, varietas unggul baru yang adaptif dan paket

teknologi ramah lingkungan yang sudah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian.

Sebagai konsekuensi intensifnya penggunaan pestisida, kebutuhan bahan agrokimia

terutama pestisida juga semakin bertambah tiap tahunnya. Hal ini terbukti dengan

peredaran pestisida di Indonesia, berdasarkan data dari Direktorat Pupuk dan Pestisida

jumlah formula pestisida terdaftar dan beredar di Indonesia pada tahun 2006 sekitar 1336

dan pada tahun 2016 telah mencapai 3207 formula (Direktur Pupuk dan Pestisida, 2016).

Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian diwakili oleh Direktorat Pupuk dan

Pestisida pada bulan Maret 2017 telah melakukan kerjasama dengan Food and Agriculture

Organization (FAO) dan Rotterdam Convention (RC) untuk melakukan pengawasan ekspor

1

Page 21: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

2

impor pestisida sesuai Annex III Rotterdam Convention tentang daftar pestisida yang

dilarang dan diawasi secara ketat peredarannya.

Perkembangan formulasi pestisida di Indonesia menunjukkan peningkatan dari

tahun ke tahun. Namun demikian data penggunaan pestisida khususnya insektisida di

Indonesia tidak tersedia dibandingkan negara lain (Tabel 1.1). Tidak tersedianya data

penggunaan insektisida di Indonesia menunjukkan bahwa pengawasan pestisida khususnya

insektisida belum optimal sehingga dapat berakibat penggunaan yang berlebihan di lapang

dan tidak terkontrol.

Tabel 1. Penggunaan insektisida di Indonesia dan negara pengguna pestisida lainnya

tahun1990-2011

Sumber: FAOSTAT, update 2013

Pestisida disamping membantu manusia untuk memberantas OPT, namun disisi lain

berbahaya pada semua makhluk yang bukan targetnya bahkan sangat berbahaya bagi

kesehatan manusia. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh residu pestisida terhadap

kesehatan manusia antara lain: kanker (carcinogenic), cacat lahir (teratogenic), kerusakan

syaraf (neurotoxic), mutasi genetik (mutagenic), gangguan sistem kekebalan, perusakan

sistem reproduksi dan endokrin (EDs, Endocrine Disrupting Pesticides), (Riza dan Gayatri,

1994).

Salah satu upaya untuk memulihkan lahan pertanian yang tercemar dan

mendapatkan produk-produk pertanian yang sehat dan berkualitas adalah melalui inovasi

teknologi remediasi dan penggunaan pestisida ramah lingkungan/pestisida nabati.

Page 22: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

3

Pencemaran Pestisida di Lahan Sawah

Senyawa organoklorin ditemukan di dalam contoh tanah dan tanaman padi di

seluruh Kabupaten sentra produksi padi di Jawa Tengah (Kabupaten Grobogan, Demak,

Pemalang, Brebes, Tegal Cilacap, Kebumen, Sragen, dan Klaten). Senyawa organofosfat

juga ditemukan di dalam contoh tanah dan tanaman padi di seluruh Kabupaten sentra

produksi padi di Jawa Tengah. (Ardiwinata dan Nursyamsi, 2012)

Dalam penerapan di bidang pertanian, ternyata waktu aplikasi (penyemprotan) tidak

semua pestisida mengenai sasaran. Kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai

sasaransedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut

mengakibatkan pencemaran lahan pertanian (Lunkes 1989; Sa’id 1994). Pestisida di dalam

tanah akan mengalami dekomposisi baik secara fisik, kimia maupun biologis, tetapi untuk

senyawa yang persiten akan terakumulasi dalam tanah (Wahyuni, 2010).

Identifikasi residu pestisida di lahan-lahan sawah intensif telah dilakukan Balai

Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) sejak tahun 1996 hingga kini. Hasil

identifikasi lahan sawah beberapa wilayah di Indonesia telah tercemar residu pestisida

tertentu. Residu organoklorin berbahan aktif lindan ditemukan dalam tanah dan air di

beberapa wilayah di Jawa Barat dan telah melebihi BMR (Munarso et al., 2006). Residu

lindan juga ditemukan di Desa Srigading kabupaten Bantul Yoyakarta dengan kisaran

konsentrasi dalam tanah 5,6 - 38,8 ppb (Narwanti, 2008).

Penggunaan residu insektisida golongan organoklorin sejak tahun 90an telah

dilarang.Namun, karena harganya murah, mudah digunakan, dan efektif memberantas

hama, maka beberapa jenis organoklorin seperti DDT masih digunakan di Indonesia, serta

kurangnya ketegasan hukum dan peraturan yang berlaku (Sudaryanto et al., 2007).

Meskipun telah dilarang residu yang tertinggal di tanah masih tertinggal dan berpotensi

mengganggu kelestarian lingkungan. Residu organoklorin dan organofosfat ditemukan

dalam contoh tanaman padi, tanah dan air di lahan sawah sentra produksi padi di Jawa

Tengah yaitu di Kabupaten Grobogan, Demak, Pemalang, Brebes, Tegal, Cilacap,

Kebumen, Sragen dan Klaten, sedangkan residu karbamat hanya ditemukan di Kabupaten

Klaten, Demak, Cilacap dan Pati (Ardiwinata et al., 2012).

Hasil identifikasi lahan sawah DAS Brantas Hilir di Kabupaten Jombang, beberapa

lahan sawah telah tercemar residu pestisida POPs (berbahan aktif DDT, deldrin,

endosulfan, endrin, heptaklor, klordan, toxaphen dan mirex) dengan persentase luasan

masing-masing 1,58%; 1,01%; 16,40%; 3,33%; 4,85%; 27,44%; 0,13% dan 0,08% dari

total luasan lahan sawah (Balingtan, 2013). Lahan sawah di DAS Citarum Tengah

Kabupaten Cianjur terdeteksi insektisida endosulfan dan aldrin masing-masing 0,001-0,027

dan 0,004-0,039 ppm, 43% dari 21 lokasi pengambilan contoh kadar endosulfan sudah

diatas Batas Maksium Residu (BMR) sedangkan aldrin sebesar 14% > BMR (Mulyadi et

al., 2014). Padahal endosulfan sudah dilarang penggunaannya berdasarkan konvensi

Stockholm 2011.

Delineasi pestisida senyawa POPs di DAS Serayu telah dilakukan Balingtan tahun

2015 yaitu di Kabupaten Wonosobo 319 titik, Banjarnegara 320 tititk dan 62 titik di

Kabupaten Cilacap, lahan sawah terdeteksi lindan, heptaklor, aldrin, klordan, endosulfan,

Page 23: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

4

toxapen, dieldrin, endrin, DDT dan Mirex. Lahan sawah kabupaten Wonosobo selain aldrin

dan mirex semua senyawa POPs sudah >BMR pada kisaran 0,6 mg/kg - 7,8 mg/kg.

Sedangkan di kabupaten Banjarnegara selain mirex semua senyawa POPs sudah >BMR,

cemaran tertinggi adalah endosulfan 23,4 mg/kg dan endrin 34,1 mg/kg, untuk kabupaten

Cilacap terdapat 5 senayawa POPs yang sudah >BMR yaitu lindan, klordan, endosulfan,

endrin dan DDT masing-masing sebesar 6,5; 1,6; 25,8; 27,4 dan 3,2 mg/kg (Balingtan,

2015).

Pencemaran Pestisida di Lahan Hortikultura

Pemantauan kualitas lingkungan pada lahan pertanian kandungan pestisida DDT dan

turunananya dalam tanah sentra sayuran di Brastagi Medan, Dieng dan perkebunan Batu

masing-masing adalah <0,001-5,3 ppb; <0,001-14,6 ppb <0,001-54,9 ppb (Rokhwani dan

Ratnaningsih, 2010).

Lahan sayuran di DAS Brantas Hulu kota Batu terdeteksi pestisida POPs: lindan,

heptaklor, klordan, endosulfan, toxapen, dieldrin, endrin, DDT dan Mirex. Beberapa lahan

sudah tercemar khlordan, DDT, dieldrin, endrin, endosulfan, heptaklor, lindan dan mirex

dengan luasan masing-masing 83; 88; 9966; 778; 4121; 18; 42; dan 10 ha (Balingtan,

2014).

Hasil identifikasi residu pestisida pada lahan pertanian sentral sayuran di 8 provinsi

(Balingtan, 2015b), sebagian lahan sayuran di provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa

Tengah dan Sumatera Barat terdeteksi residu pestisida organoklorin, organofosfat, herbisida

dan fungisida. Residu insektisida organoklorin berbahan aktif endosulfan sudah mencemari

sebagian lahan sayuran di provinsi Jambi, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Jawa

Tengah, sedangkan dieldrin mencemari sebagian lahan di provinsi Jawa Barat, Jawa

Tengah dan Jawa Timur.

Residu pestisida organofosfat bahan aktif diazinon sudah mencemari sebagian lahan

sayuran di provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, sedangkan

organofosfat bahan aktif klorpirifos sudah mencemari sebagian lahan di Nusa Tenggara

Barat. Lahan sayuran di provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagian

sudah tercemar residu herbisida bahan aktif glyfosat dan paraquat. Residu fungisida bahan

aktif mankozeb sudah mencemari sebagian lahan sayuran di provinsi Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan fungisida bahan aktif propineb

sudah mencemari sebagian lahan sayuran di propinsi Jawa Tengah (Balingtan, 2015b)

Pencemaran Pestisida di Air

Perairan bertindak sebagai suatu tempat penampungan utama bagi residu pestisida.

Masuknya residu pestisida ke dalam perairan melalui berbagai jalur, antara lain: akibat

pemakaian langsung untuk membasmi hama tanaman, limpasan dari air persawahan,

pencucian melalui tanah, curah hujan dan penyerapan dari fase uap pada antara fase udara

dan air, serta pemakaian langsung di sungai untuk meracun ikan.

Air sungai di Hulu DAS Brantas terdeteksi profenofos pada musim hujan sebesar

10.71µg/L dan musim kemarau 6.79 µg/L; sedangkan pada air sumur sebesar 1.37 µg/L

pada musim hujan dan 0.61 µg/L pada musim kemarau (Kusuma, 2009). Hasil identifikasi

Page 24: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

5

Balingtan (2013), prosentase jumlah sampel terdeteksi POPs lindan sebesar 1,4% dan

endosulfan 8,5% dari 71 lokasi pengambilan sampel, namun kadar pestisida tersebut masih

di bawah BMR. Sedangkan senyawa POPs yang lain heptaklor, aldrin, dieldrin, DDT dan

endrin tidak ditemukan di dalam air.

Air sungai dan saluran Sub DAS Brantas Hulu kota Batu terdeteksi pestisida lindan,

endosulfan, khlordan, toxaphen, endrin, heptaklor dan mirex masing-masing sebesar 9; 8; 8;

7; 4; 2; dan 2 titik dari 9 titik pengambilan contoh (Balingtan, 2014). Teluk Banten juga

terkontaminasi senyawa organik polyaromatic hydrocarbon (PAH) sebesar 70 ng/g, diikuti

6 DDT 0,4 ng/g, polychlorinated byphenil (PCB) 0,2 ng/g, hexachlorobenzene (HCB) 0,1

ng/g (Booij et al., 2012).

Pencemaran Pestisida Pada Produk Pertanian

Insektisida yang disemprotkan pada tanaman tentu akan meninggalkan residu.

Residu insektisida terdapat pada semua tanaman seperti batang, daun, buah dan juga akar.

Khusus pada buah, residu ini terdapat pada permukaan maupun daging buah tersebut.

Walaupun sudah dicuci, atau di masak residu pestisida ini masih terdapat pada bahan

makanan (Oginawati, 2003).

Hasil kajian Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Selatan

(2012) di Pasar Sentral Pinrang menemukan adanya residu pestisida golongan organoklorin

dengan bahan aktif lindan pada sampel tomat dengan konsentrasi 0,00112 mg/kg. Residu

lindan juga ditemukan dalam wortel di kawasan sentra produksi sayuran Kabupaten Karo

Sumatera Utara sebesar 0,0292 ppm (Sinulingga, 2016).

Beras dibeberapa wilayah di Jombang juga tercemar pestisida organoklorin dimana

persentase jumlah sampel yang tercemar lindan 7,4%; heptaklor 72,1%; aldrin 48,5%;

dieldrin 4,4%; endosulfan 13,2%; DDT 8,8% dan endrin 10,3% dari 68 sampel (Balingtan,

2013). Sedangkan di kota Batu sayuran wortel terdeteksi pestisida lindan, heptaklor,

endosulfan, endrin dan DDT, demikian pula sayuran kentang juga terdeteksi lindan,

endosulfan dan endrin dan terdapat beberapa sampel kadar pestisida sudah melebihi BMR

(Balingtan, 2014).

Keracunan Pestisida Pada Petani

Penggunaan pestisida tanpa diimbangi dengan perlindungan akan berbahaya pada

kesehatan penggunanya. Kecelakaan akbat pestisida pada manusia sering terjadi terutama

terjadi pada orang yang langung melaksanakan penyemprotan. Dalam beberapa kasus

keracunan pestisida, petani dan pekerja terkontaminasi (terpapar) pestisida pada waktu

proses mencampur dan menyemprotkan pestisida (pan AP,2001). Di samping itu

masyarakat sekitar lokasi pertanian sangat beresiko terkontaminasi pestisida melalui udara,

tanah dan air yang ikut tercemar, bahkan konsumen melalui produk pertanian yang

menggunakan pestisida juga beresiko terkontaminasi pestisida.

Kasus keracunan pestisida pada petani di sentra hortikultura kabupaten Magelang

sudah mengkhawatirkan. Berdasarkan pemeriksaan sampel cholinesterase darah petani

tahun 2006, dari 550 sampel darah petani yang selama ini menggarap ladang sayuran 99,8%

di antaranya telah tercemar zat kimia pembasmi hama. Dari 99,8% petani yang telah

Page 25: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

6

keracunan pestisida tersebut, 18,2% termasuk dalam kategori keracunan berat, 72,73%

kategori sedang, 8,9% kategori ringan, dan hanya 0,1% kategori normal (Anonim, 2006).

Petani terkontaminasi pestisida juga terjadi di desa Candi Kecamatan Bandungan

Semarang. Petani penyemprot tanaman cabe mengalami keracunan berat dengan kadar

kholinesterase dalam darah < 5100 U/l sebanyak 13 (26%) orang petani, petani yang

memiliki kadar kholinesterase berpotensi keracunan ringan 5100 – 11700 U/l sebanyak 37

orang (74%). Kandungan kholinesterase dalam darah normal > 11700 U/l tidak ditemukan

(Afriyantono, 2008).

Hasil pemeriksaan enzim kolinesterase pada darah petani di Kota Batu desa Sumber

Brantas dari 48 petani yang mengalami keracunan berat sebesar 4,2%, keracunan sedang

70,8%, keracunan ringan 22,9%, dan tidak keracunan 2,1%. Sedangkan di desa Pendem

dari 22 petani tidak ditemukan petani yang mengalami keracunan berat (0%), 50% petani

keracunan sedang, 40,9% keracunan ringan dan 9,1% tidak keracunan(Balingtan, 2015a).

Selanjutnya petani di DAS Serayu di Desa Jengkol kabupaten Wonosobo dari 35

petani yang mengalami keracunan ringan 14% dan keracunan sedang 29%, sedangkan

petani Desa Kayugiyang dari 30 petani, 20% mengalami keracunan ringan dan keracunan

tingkat sedang 27%. Tidak ditemukan petani yang mengalami keracunan tingkat berat di

desa Jengkol maupun desa Kayugiyang, bahkan lebih dari 50% petani tidak mengalami

keracunan pestisida, artinya kadar enzim kholinesterase dalam serum darahnya termasuk

kategori normal (Balingtan, 2016). Rendahnya tingkat keracunan pestisida pada petani

merupakan kemajuan dari program penyuluhan mengenai good agricultural practices

(GAP) yang diberikan oleh petugas penyuluh Dinas Pertanian dan juga penyuluhan

mengenai pentingnya penggunaan APD pada penggunaan pestisida dalam sistem budidaya

pertanian yang beberapa tahun terakhir ini cukup intensif dilakukan oleh petugas dari Dinas

Kesehatan.

Inovasi Teknologi Penanggulangan Lahan Pertanian Tercemar

Pemulihan atau remediasi lahan pertanian tercemar pestisida terus diupayakan secara

bertahap agar menjadi lahan yangdapat menghasilkan produk berkualitas dan aman

dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan konsep Stategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP)

2013-2045 sebagai upaya memberikan acuan dan arah pembangunan khususnya di sektor

pertanian ke depan yaitu terwujudnya sistem pertanian bioindustri berkelanjutan yang

menghasilkan beragam pangan yang sehat dan produk bernilai tambah tinggi dari

sumberdaya hayati pertanian dan kelautan tropika.

Upaya untuk menanggulangi lahan yang sudah tercemar residu pestisida diantaranya

dengan teknologi remediasi yaitu perbaikan tanah dan air permukaan dari residu pestisida

atau senyawa rekalsitran lainnya. Inovasi teknologi telah dilakukan, antara lain yaitu:

1. Ameliorasi

Ameliorasi pemberian bahan organik untuk menyerap (adsorpsi) senyawa-senyawa

beracun dalam tanah, kandungan karrbon yang tinggi dalam bahan amelioran dapat

mengurangi residu pestisida dalam tanah maupun air. Bokashi kering, Kompos kering,

Arang aktif sekam dan Arang aktif tempurung kelapa memiliki daya serap Iodium yang

tinggi, masing-masing adalah 222,7; 312,3 ; 405,5; dan 1191,8 mg/g, dan mampu

Page 26: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

7

mengadsorpsi residu insektisida aldrin, lindan, heptaklor, dieldrin, dan klorpirifos dalam

air, sehingga residu insektisida aldrin, lindan, heptaklor, dieldrin, dan klorpirifos tidak

ditemukan kembali di dalam air limpasan (Ardiwinata et al., 2005).

2. Bioremediasi

Bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan

aktivitas mikroba untuk mendegradasi kontaminan berbahaya menjadi bahan toksisitasnya

berkurang atau tidak toksik menjadi karbon dioksida dan air (Vidali, 2001). Bioremediasi

akan efektif jika kondisi lingkungan mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba.

Penggunaan mikroba tertentu dalam remediasi efektif menurunkan konsentrasi residu

pestisida di lahan sawan. Bakteri pelarut fosfat (BPF) mampu menurunkan karbofuran

dalam tanah sawah hingga 99,6% (Artanti, 2010). Pseudomonas mallei dan Trichoderma,

sp mempunyai kemampuan menurunkan residu insektisida organoklorin berbahan aktif

dieldrin, endosulfan, DDT, dan heptaklor (Harsanti et al., 2011).

Teknologi urea berlapis arang aktif maupun biochar dapat meningkatkan efisiensi

penggunaan pupuk nitrogen dan sekaligus menurunkan residu pestisida. Urea berlapis arang

aktif atau biochar bersifat lambat urai sehingga efektif diserap tanaman sesuai

kebutuhannya, dan arang aktif maupun biochar dapat mengikat kuat residu pestisida dalam

tanah maupun air. Keberadaan pori-pori pada arang aktif atau biochar memberikan

kenyaman bagi mikroba yang berperan dalam mendegradasi dan mengurai residu pestisida.

Apabila konsentrasi residu pestisida dalam tanah dapat ditekan maka konsentrasi pada

produk pertanian dapat diminimalisasi.

Urea berlapis arang aktif tongkol jagung yang diperkaya dengan

mikrobapendegradasi insektisida POPsyang diaplikasikan pada lahan sayuran sawi mampu

menurunkan residu dieldrin pada tanah sebesar 55.6% dan residu aldrin 49,3 % (Wahyuni

et al., 2015). Dengan teknologi yang sama urea berlapis arang aktif tongkol jagung

diperkaya dengan mikroba yang diaplikasikan pada lahan padi mampu menurunkan residu

insektisida senyawa POPs heptachlor pada tanah sebesar 71% dan residu DDT dalam tanah

sebesar 94% (Indratin dan Wahyuni, 2013).

STRATEGI KEBIJAKAN

1. Regulasi

Pemerintah akan meninjau kembali regulasi-regulasi pestisida, pembaharuan/perubahan

akan dilakukan terhadap regulasi yang sudah tidak relevan lagi untuk mendukung

pembangunan pertanian saat ini terwujudnya Good Agricultural Practices (GPA). PP

nomor 7 tahun 1973 Tentang Pengawasan Atas Pengadaan, Peredaran dan Penggunaan

Pestisida yang sudah berusia 42 tahun dirasa tidak sesuai lagi dengan perkembangan

saat ini dan akan segera segera direvisi. Pengawasan terkait peredaran, penyimpanan

dan penggunaan pestisida terutama yang tak memiliki izin edar bukan cuma tanggung

jawab pemerintah, namun juga masyarakat luas, serta pihak swasta.

Permentan No.107/ /SR.140/9/2014 tentang Pengawasan Pestisida masih lemah di

lapangan, hal ini disebabkan terbatasnya jumlah dan kemampuan pengawas. Untuk itu

perlu ditingkatkan jumlah dan kemampuan pengawas untuk melakukan monitoring

Page 27: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

8

secara rutin peredaran pestisida di kios-kios saprodi secara berjenjang mulai di tingkat

kecamatan, kabupaten/kota hingga di provinsi. Faktor lain adalah kurangnya sosialisasi

peraturan di bidang pestisida dan lemahnya penerapan sanksi terhadap pelanggaran

penyimpangan menjadi masalah yang sering terjadi di lapangan.

2. Implementasi Pengelolaan Hama Terpadu

Penguatan program dan konsep PHT dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produk

pertanian, didukung dengan kemajuan pengembangan pestisida hayati secara luas,

termasuk pemanfaatan agens hayati, pestisida nabati. Oleh karena itu konsep PHT yang

sudah ada perlu direvitalisasi, ditingkatkan kemampuannya, dan didukung dengan

sistem kelembagaan yang tangguh.

3. Pengembangan Pertanian Organik

Peran pemerintah dalam pengembangan pertanian organik, pertanian organik

membutuhkan investasi dalam pengembangan kapasitas, skill petani, penguatan

kelembagaan dan pengembangan infrastruktur. Selain itu perangkat peraturan dan

insentif yang dikeluarkan pemerintah dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan

produksi pertanian organik. Dengan adanya kebijakan pemerintah pusat maupun daerah,

akan menumbuhkan kemandirian petani organik dengan pengembangan

sarana/prasarana dan pengembangan lembaga sertifikasi produk organik juga penguatan

lembaga–lembaga pendukung seperti kelompok tani, penyuluh,dan lembaga

pemasarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanto, 2008. Kajian Keracunan Pestisida pada Petani Penyemprot Cabe di desa Candi

Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Thesis Magister Kesehatan

Lingkungan. Universitas Diponegoro.

Anonim, 2006. Laboratorium Kesehatan Masyarakat. Kabupaten Magelang, Hasil

Pemeriksaan sampel cholinesterase di Kabupaten Magelang, Magelang 2006.

Ardiwinata, A.N. dan D. Nursyamsi. 2012. Residu Pestisida di Sentra Produksi Padi di

Jawa Tengah. Jurnal Pangan Vol. 21 No.1.

Ardiwinata, A.N., Juwarsih., S.Y. Jatmiko dan E.S. Harsanti. 2005. Kemampuan Adsorpsi

Amelioran terhadap Residu Insektisida Aldrin, Lindan, Heptaklor, Dieldrin dan

Klorpirifos di dalam Tanah. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional

Pengendalian Pencemaran Lingkungan Pertanian Melalui Pendekatan Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai (DAS) Secara Terpadu. Surakarta Maret 2005. p 14

Ardiwinata. 2007. Evaluasi Penggunaan Insektisida Organoklorin di Persawahan di Pantai

Utara Jawa.

Balingtan, 2013. Penelitian Delineasi Sebaran Residu Senyawa POPs dan Logam Berat di

Lahan Sawah DAS Brantas. Laporan Akhir Tahun 2013. Balai Penelitian

Lingkungan Pertanian.

Balingtan, 2014. Penelitian Delineasi Sebaran Residu Senyawa POPs dan Logam Berat di

Lahan Pertanian DAS Brantas Jawa Timur. Laporan Akhir Tahun 2014. Balai

Penelitian Lingkungan Pertanian.

Page 28: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

9

Balingtan, 2015a. Asessment Residu Pestisida di DAS Bantas Hulu, Jawa Timur. Laporan

Akhir Tahun Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 2015.

Balingtan, 2015b. Identifikasi Status Pencemaran Residu Pestisida pada Lahan Pertanian di

Indonesia. Laporan Akhir Tahun 2015. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian.

Balingtan, 2016. Penelitian Teknologi Remediasi Cemaran Pestisida dan Logam Berat di

Lahan Sawah dan Hortikultura.. Laporan Akhir Tahun Balai Penelitian Lingkungan

Pertanian 2016

Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2016. Pestisida Terdaftar dan Diizinkan untuk Pertanian

dan Kehutanan. Direktorat Jendral Sarana dan Prasarana Pertanian. Kemeterian

Pertanian 2016.

Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko, R. Artanti, A. Kurnia, S. Wahyuni, Mulyadi, A. Hidayah,

A.N. Ardiwinata, dan R. Hindersah. 2011. Teknologi bioremediasi untuk

mendegradasi residu insektisida POPs melalui pemanfaatan bakteri dan jamur

Laporan Akhir Penelitian APBN 2011. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian.

BBSDLP. Bogor

Indratin dan Sri Wahyuni. 2013. Teknologi Pelapisan Pupuk Urea dengan Arang Aktif yang

diperkaya mikroba untuk Menurunkan Residu Heptaklor dan DDT. Jurnal

Lingkungan Tropis, vol. 6, no. 2, September 2012: 139-148

Kees Booij, Zainal Arifin dan Triyoni Purbonegoro. 2012. Perylene dominates the organic

contaminat profile in the Berau delta, East Kalimantan, Indonesia. Marine Pollution

Bulletin 64 : 1049-1054.

Koleva, N.G. and U.A. Schneider. 2009. The impact of climate change on the external cost

of pesticide applications in US agriculture. International Journal of Agricultural

Sustainability, volume 7 No. 3 P: 203-216.

Kusuma, Z. 2009. Dampak Pencemaran Pestisida di DAS brantas Hulu. Agritek Vol.17,

No.3. Mei 2009.

Lunkes, 1989. Report on A Consultancy on Spraying Techniques and Farm Mechanization.

Balai Penelitian Hortikultura Lembang – ATA-395, Belanda.

Mulyadi, Poniman, dan Sukarjo. 2014. Aldrin and Endosulfan Residues in River Water and

Agricultural Land of The Middle Citarum Watershed, Cianjur District. Jurnal

Lingkungan Tropis Vol.8, No.2, September 2014: 115-123

Munarso, S. J., Miskiyah, dan Wisnu, B. 2006. Studi kandungan residu pestisida pada

kubis, tomat, dan wortel di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Pascapanen

Pertanian, 2.

Narwanti, Iin. 2008. Residu pertisida pada tanah, air dan bawang merah di Desa Srigading

Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. Thesis. Sekolah Pascasarjana, UGM.

Unpublish. 87p.

Oginawati K. 2005. Analisis Risiko Penggunaan Insektisida Organofosfat Terhadap

Kesehatan Petani Penyemprot. Universitas Sumatera Utara. http:/www.usu.ac.id.9

9April 2013

Poniman dan Indratin. 2014. Residues of Organochlorine and Organophosphate in

Vegetables and Soil on Andisols of Magelang Regency. Jurnal Tanah dan Iklim

Page 29: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

10

Riza, V.T. dan Gayatri. 1994. Ingatlah bahaya pestisida bunga rampai residu pestisida dan

alternatifnya. Pesticide Action Network, Indonesia.

Rokhwani, H.P dan YS. Ratnaningsih, 2010. Persistent Organic Pollutants (POPs) di

Beberapa Lokasi Pertanian di Indonesia. Ecolab Jurnal Pemantauan Kualitas

Lingkungan Vol.4 No. 2 2010.

Sa’id, E.G., 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua. Agrotek,

Vol. 2(1). IPB, Bogor, hal 71-72

Sudaryanto A., Monirith I., Kajiwara N., Takahashi S., Hartono P., Muawanah, Tanabe S.

2007. Levels and Distribution of Organochlorine In Fish from Indonesia.

Environmental International, 33(6) :750-758.

Vidali, M. 2001. Bioremediation: an overview. Pure Applied Chem. 73 (7) : 63-172

Wahyuni. 2010. Perilaku Petani Bawang Merah dalam Penggunaan dan Penanganan

Pestisida serta Dampaknya Terhadap Lingkungan (Studi Kasus di Desa Kemukten,

Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes). Universitas Diponegoro.2010.

Wahyuni, S., Indratin, dan E.S. Harsanti, 2015. Efektifitas Urea Berlapis Arang Aktif yang

Diperkaya Mikroba untuk Menurunkan Residu Aldrin dan Dieldrin di Lahan

Sayuran. Jurnal Lingkungan Tropis, vol 8, no. 2, September 2014: 125-134

Page 30: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

11

PRODUKSI, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN BIOPESTISIDA DI INDONESIA

Muhrizal Sarwani Direktur Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian

2

Page 31: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

12

Page 32: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

13

Page 33: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

14

Page 34: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

15

Page 35: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

16

Page 36: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

17

Page 37: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

18

Page 38: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

19

Page 39: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

20

Page 40: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

21

Page 41: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

22

Page 42: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

23

PRAKTEK PERTANIAN DAN PRAKTEK PENGGUNAAN PRODUK PERLINDUNGAN TANAMAN DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAN KETAHANAN PANGAN

Agung Kurniawan

CropLife Indonesia

3

Page 43: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

24

Page 44: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

25

Page 45: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

26

Page 46: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

27

Page 47: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

28

Page 48: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

29

Page 49: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

30

Page 50: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

31

Page 51: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

32

Page 52: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

33

THE EFFECT OF BOTANICAL PESTICIDES ON SAFE FOOD PRODUCTION

Errol Hassan The University of Queensland, Gatton, Queensland, Australia

Abstract. With a world population expected to grow in the coming years, there is an

increased demand on food production. The challenge to produce plentiful supplies of fresh,

high quality produce is vital for a healthy population. Agricultural productivity is key to

ensuring that this demand can be met, and botanical pesticide products and applications can

help increase productivity. The botanical pesticides compounds are as varied as the plants

from which they have been isolated, and their protective effects range from repellency,

feeding deterrence, and oviposition deterrence to acute toxicity and interference with

growth and development. Botanical pesticides in general are very specific and

environmentally friendly.

INTRODUCTION

With a world population expected to increase in the coming years, comes the

increased demand for food. The United Nations estimates there are 7.3 billion people – and

that figure may rise of 9.7 billion by 2050 (Harvard Business Review, 2016). This growth,

together with rising disposable incomes, especially in developing countries are driving up

global food demand.

By 2050, it is expected that food demand will increase anywhere between 60-95%.

Consequently, such growth influences and shapes agricultural markets. Farmers worldwide

will need to focus on increasing crop production, either by increasing the amount of

agricultural land to grow crops, or by enhancing crop productivity through plant genetic

modification, improved pest control and adopting new methods in crop management. All

with the aim to increase crop yields – the amount of crops harvested per unit of land

cultivated – and livestock. Tied into this issue, is the importance of food security. That is,

food security is the ability of human populations to access food of sufficient quality and

quantity.

Sustainable Food Production

Some people suggest that the current food production levels are growing too slow

and quantities are too low to meet the forecasted demand for food. Food production must be

sustainable and not have a negative impact on the eco-system and natural resources.

Agricultural regions need to produce more food in the same area of land, and therefore,

increased plant productivity and manipulation of genetic diversity will be required in order

to maintain a sustainable food supply.

Agricultural Production

The production of plants and animals for food, ultimately depends on the factors that

control plant growth – light availability, soil nutrients and water supply. The land available

to grow crops is limited. Simply growing more crops is not the answer. Increasing food

4

Page 53: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

34

production can only be achieved by improving efficiency. This may be achieved by one or

more of the following practices:

1. Control of limiting factors. For example, if growing crops in an area short of minerals

and organic matter, these can be provided by using green manure or by using fertilizers.

2. Planting strains of crops that have higher yield.

3. Removing competition from weeds by using synthetic or bio-herbicides.

4. Controlling diseases and insect pests by using conventional pesticides or botanical

pesticides.

5. Developing pest-resistant crops and using integrated pest management (IPM).

Working towards a sustainable global food balance is seen as essential in developing

countries. Employing these strategies can help produce more crops, as well as reduce the

negative environmental impacts from over-stressing resources – preventing groundwater

depletion and the destruction of fertile lands through over-use of fertilization.

Modern technologies such as bio- and nano-technologies can contribute to food

growth, production and security. Nano-pesticides nano-fungicides and nano-herbicides are

being used in agriculture (Owolade et al.2008). Many companies make formulations that

contain nanoparticles within the 100-250 nm size range that are able to dissolve in water

more effectively. Some other companies employ suspensions of nanoscale particles (nano-

emulsions), which can be either water or oilbased and contain uniform suspensions of

pesticidal or herbicidal nanoparticles in the range of 200-400 nm, which have multiple

applications for preventive measures, treatment or preservation of the harvested product

(Goswami et al. 2010).

Conventional Pesticides versus Botanical Pesticides

Conventional pesticides possess inherent toxicities that endanger the health of farm

operators, consumers, and the environment. Today, conventional chemical usage such as

insecticides, fungicides and herbicides is the fastest and cheapest way to control insect

pests, diseases, and weeds. Uncontrolled use of those pesticides has caused many problems,

such as:

adverse effects on non-target insect species;

adverse effects on beneficial organisms;

adverse effects on pollinating insects; and

contaminating underground water and soil.

Higher plants contain a wide variety of secondary metabolites with a high structural

diversity. The main groups of plant secondary metabolites are phenylpropanoids,

terpenoids, and alkaloids (Burt, 2004; Bakkali et al, 2008). Botanical products have their

own advantages. They are biodegradable, induce insecticidal activities, and repel pests,

antifeedant effects, insect growth regulation, toxicity to nematodes, mites and other pests,

as well as antifungal, antiviral and antibacterial properties against pathogens (Prakash and

Rao, 1986, 1997).

Essential Oils

Page 54: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

35

Essential oils are complex mixtures of volatile organic compounds produced as

secondary metabolites in plants. Steam distillation of aromatic plants yields essential oils,

long used asfragrances and flavouring in the perfume and food industries.

Biological Activities

Essential oils have been widely used for bacterial, fungicidal, insecticidal, medicinal

and cosmetic applications. Nowadays, essential oils can be found in the pharmaceutical,

sanitary, cosmetic and agricultural and food industries.

Some essential oils have been recognized as an important natural source of

pesticides. Aromatic plants produce many compounds that are insect repellents or act to

change insect feeding behaviour, growth and development, moulting and behaviour during

the mating and oviposition stages. Recently, researchers have demonstrated such

compounds showing larvicidal and antifeedant activity, capacity to delay development,

adult emergence and fertility deterrent effects on oviposition and repellent action. Plants

with strong smells, such as French marigold and coriander, act as repellents and can protect

crops (Khater, 2011).

Essential oils cause direct toxicity to insects, oviposition and feeding deterrence.

Traditionally, essential oils were used for protection of stored commodities, especially in

the tropical and Mediterranean regions and in South Asia. There is a growing interest in

essential oils as fumigant ad contact insecticidal activities to a wide range of pests (Hidayat

et al, 2013).

Mode of Action Essential oils interfere with basic metabolic, biochemical,

physiological and behavioural functions of insects. Insects inhale, ingest or skin absorb

essential oils. The rapid action against some pests is indicative of a neurotoxic mode of

action and there is evidence for interference with the neuromodulator octopamine (Emom,

2005) or GABA-gated chloride channels (Priestly et al, 2003;Khater, 2011).

Some essential oils have larvicidal effect on the capacity to delay development and

suppressemergence of adult insects of medical and veterinary importance (Khater et al,

2009, Khater,2011). Citronellal, citronellyl or a mixture of these have been patented as pest

treatment composition again human louse (Ping, 2007).

CONCLUSION

1. Chemical pesticides induces development of pest resistance to applied insects and non-

targetedenvironmental impacts.

2. Botanicals are safer to the user and the environment because they are biodegradable and

break down into harmless compounds within hours or days in the presence of UV light.

3. Botanical pesticides are promising alternatives to conventional insecticides in the

developed world. There is wide scope for the use of plant-based pesticides in the

integrated management of different insect pests.

Page 55: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

36

REFERENCES

Bakkali, F; Averbeck S; Averbeck, D, and Idaomare, M. (2008). Biological effects of

essentialoils: A review. Food and Chemical Toxicology 46; pp 446-475.

Burt, S. (2004). Essential oils their antibacterial properties and potential applications in

foods: A review. International Journals of Food Microbiology 94; pp 223-253.

Enan, E. E. (2005). Molecular and pharmacological analysis of an octoparmine receptor

fromAmerican cockroach and fruit fly in response to plant essential oils. Arch.

Insect. Biochem.Physiol. 59:161-171.

Goswami, A; Roy, I; Sengupta, S, Debmath, N. (2010). Novel applications of solid and

liquidformulations of nanoparticles against insect pests and pathogens. Thin Solid

Films 519:1252-1257. Harvard Business Review, 2016.

Hidayat, Y; Heather, N; Hassan, E. (2013). Repellency and oviposition deterrence effects of

plant essential and vegetable oils against female Queensland fruit fly Bactrocera

tryoni (Froggatt)(Diptera: Tephritidae), The Australian Journal of Entomology, Vol

52, Issue 4, pp 379-386.

Khater, H.F. (2011). Ecosmart biorational insecticides: Alternative insect control

strategies. In: Insecticides. Perveen, E. (Ed). In Tech Rijeka, Croatia. ISBN: 979

953-307-667-5.

Khater, H.F.; Ramadan, M.Y.; El-Madawy, R.S. (2009). The lousicidal, ovicidal and

repellentefficacy of some essential oils against lice and flies infesting water

buffaloes in Egypt. Vet.Parasitol. 164: 257-266.

Owolade, O. F., Ogunleti, D.O. and Adenekan, M.O. (2008). Titanium Dioxide affects

diseasedevelopment and yield of edible cowpea. Electron. J. Environ. Agric. Food

Chem., 7: 2942-2947.

Ping, J.H. (2007). Pest treatment composition. US Patent no 7,282,211.

Prakash, A and J. Rao. (1997). Botanical pesticides in Agriculture 1st Edn. CRC Press Inc.,

Baton Rouge, Florida pp.461.

Prakash, A and J. Rao. (1986). Evaluation of plant products as antifeedants against the rice

storage insects. Proceedings from the Symposium on Residues and Environmental

Pollution. October 2, 1986, Muzaffarnagar, pp. 201-205.

Priestley, C.M.; Williamson, E.M.; Wafford, K.A.; and Sattelle, D.B. (2003). Thymol,

aconstituent of thyme essential oil, is a positive allosteric modulator of human

GABA receptors and a homo-obigomeric GABA receptors from Drosophila

melanogaster. Br. J. Pharmacol., 140: 1363-1372.

Page 56: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

37

PENGGUNAAN PESTISIDA NABATI

Lasiyo Daerah Istimewa Yogyakarta

5

Page 57: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

38

Page 58: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

39

Page 59: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

40

Page 60: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

41

Page 61: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

42

Page 62: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

43

Page 63: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

44

Page 64: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

45

Page 65: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

46

Page 66: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

47

Page 67: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

48

Page 68: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

49

Page 69: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

50

Page 70: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

51

BERTANI RAMAH LINGKUNGAN UNTUK TERCIPTANYA LINGKUP PERTANIAN YANG SEHAT

Ulus Primawan Lembang, Jawa Barat

6

Page 71: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

52

Page 72: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

53

Page 73: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

54

Page 74: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

55

Page 75: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

56

Page 76: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

57

Page 77: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

58

Page 78: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

59

Page 79: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

60

Page 80: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

61

Page 81: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

62

Page 82: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

63

EVALUASI EKSTRAK TUMBUHAN SEBAGAI INSEKTISIDA BOTANI UNTUK MENGENDALIKAN ULAT BAWANG (SPODOPTERA EXIGUA) DI LABORATORIUM

Hasyim A.1, W. Setiawati1, Liferdi Lukman2 , Nusyirwan Hasan3, dan L. Sutji Marhaeni4

1Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu 517, Lembang – Bandung 40391 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat (BPTP Jabar), Jl. Kayuambon No. 80, Kotak 3Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat (BPTP Sumbar), Jl. Padang-Solok KM 40, 4 Fakultas Pertanian, Universitas Borobudur Jakarta,Jl. Cipinang Melayu, Makasar, Kota Jakarta

Timur

Abstrak. Evaluasi ekstrak tumbuhan sebagai insektisida botani terhadap hama ulat bawang

(Spodoptera exigua) di labotarorium. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi

potensi ekstrak tumbuhan sebagai insektisida botani terhadap larva instar ketiga

Spodoptera exiguadi laboratorium. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Entomologi

Balai Penelitian Tanaman Sayuran di Lembang ( ± 1.250 m dpl.), mulai bulan Mei sampai

Desember 2015. Penelitian menggunakan metode pencelupan. Mortalitas larva S. exigua

diamati mulai 1, 3, 6, 12 jam dan diulang setiap 24 jam sampai 96 jam setelahperlakuan.

Data mortalitas larva diolah menggunakan analisis probit untuk menetapkan nilai

LC50.Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas paling tinggi larva S. exigua pada

saat 96 jam setelah perlakuan diperoleh dari ekstak bintaro (85,0%), diikuti oleh ekstrak

akar tuba (82,5%%), dan yang terendah diperoleh dari ekstrak huni yang hanya dapat

mematikan larva S. exigua sebesar 57%. Dari lima ekstrak insektisida botani,nilai LC50

terendah diperoleh dari ekstrak daun bintaro (1002,67 ppm), diikuti oleh ekstrak tuba

(1256,07 ppm), ekstrak kirenyuh (1304,37 ppm), ekstrak suren (1307,37 ppm), dan

tertinggi diperoleh dari ekstrak huni (3316,06 ppm). Waktu kematian 50% (LT50) untuk

Spodoptera exigua berkisar antara 33,50 jam dengan fisidual limit 23,24 - 48,42 untuk

ekstrak akar tuba, kemudian diikuti berturut-turut oleh ekstrak daun suren 37,08 jam

dengan fisidual limit 20,67-66,21 jam, ekstrak daun bintaro 46,98 jam dengan fisidual limit

26,94 - 81,94, ekstrak daun kirinyuh 69,54 jam dengan ficidual limit 31,49-153,74 dan

ekstrak daun huni yaitu 136,52 dengan fisidual limit 76,47 - 234,51. Ekstrak bintaro dapat

digunakan sebagai kandidat insektisida botani yang berpotensi menggantikan insektisida

sintetis untuk mengendalikan hama ulat grayak pada pertanaman bawang merah.

Kata kunci: mortalitas, larva, evaluasi, insektisida botani, Spodoptera exigua

Abstract. Evaluation of plants extract as botanical insecticide against beet armyworm

(Spodoptera exigua) in laboratory. The objectives of this study was to evaluate of plants

extract as botanical insecticide against third instar larva of Beet armyworm, Spodoptera

exigua under laboratory condition. Theexperiment was conducted at Indonesian Vegetables

Research Institute at Lembang (±1,250 m asl.), from May to December 2015. Dipping

method was used in this research. Mortality of S. exigua larvae wasobserved at 1, 3, 6, 12

hours after exposures and repeated every 24 hours up to 96 hours of exposures. The results

of the experiments showed that at 96 hours post treatment, the highest mortality (85.0%) of

the S.exigua larvae was caused by bintaro extract followed by tuba root extract (82.5%)

and the lowest mortality of S. exigua larvae (57%) was obtained from huni extract. The

lowest LC50 from five of the extracts of botanical insecticide derived from bintaro leaf

extract (1002.67 ppm) followed by tuba root leaf extract (1256.07 ppm), kirenyuh leaf

extract (1304.37 ppm), suren leaf extract (1307.37 ppm), and the highest LC 50 derived

from huni leaf extract (3316.06 ppm). The mean lethal time 50 (LT50) values of Spodoptera

exigua range from 33.50 hour with ficidual limit 23.24 - 48.42 for tuba root leaf extract,

7

Page 83: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

64

followed by suren leaf extract 37.08 hours with ficidual limit 20.67-66.21, bintaro leaf

extract 46.98 hours with ficidual limit 26.94 - 81.94, kirenyuh leaf extract 69.54 hours with

ficidual limit 31.49-153.74 dan huni leaf extract 136.52 hours with ficidual limit 76.47-

234.51 hours, respectively. Some plant extracts may be promising candidates for botanical

insecticides that could potentially substitute synthetic insecticide for controlling beet

armyworm.

Keywords: mortality, Larva, evaluation, botanical insecticide, Spodoptera exigua

PENDAHULUAN

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran

unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Penggunaan input

produksi berupa pestisida kimia pada usahatani bawang merah sampai saat ini sangat

intensif, tetapi kurang peduli terhadap keseimbangan alami. Penggunaan pestisida kimia

yang berlebihan bersifat tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Pertanian ramah

lingkungan adalah sistem usahatani yang lebih bersinergi dengan alam melalui

pengurangan input bahan agrokimia (pupuk dan pestisida) sehingga mampu

mempertahankan sifat fisik, kimia dan biologi tanah, mempertahankan keberlanjutan

usahatani, dan mampu mengurangi polusi dan menghasilkan produk bersih.

Pertanian berkelanjutan pada abad 21 akan lebih mengedepankan upaya alternatif

pengendalian serangga hama yang ramah lingkungan dan meminimalkan kontak antara

manusia dengan insektisida kimia. Di Indonesia, Spodoptera exigua Hubner merupakan

salah satu hama yang paling merusak pada tanaman keluarga bawang-bawangan seperti

bawang merah dan bawang daun. Hama S. exigua dapat menyerang tanaman bawang sejak

awal pertumbuhan dan mengakibatkan kehilangan hasil yang nyata. Larva menimbulkan

kerusakan dengan cara memakan daun tanaman. Serangan S. exigua pada fase pertumbuhan

vegetatif bisa mengakibatkan kehilangan hasil 57-100% (Putrasamedja et al., 2012;

Setiawati et al., 2014). Serangan berat dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 100%,

karena daun yang ada habis dimakan oleh larva sehingga kegagalan panen tidak bisa

dihindari (Supyani et al., 2014). Serangan berat ini biasanya terjadi pada musim kemarau

yang mengakibatkan produksi tanaman menurun (Hasyim et al., 2016).

Pengendalian hama ulat bawang umumnya menggunakan insektisida kimia sintetik

secara intensif dengan frekuensi dan konsentrasi tinggi. Lebih dari 90 % petani di daerah

Brebes mengaplikasikan insektisida di lapangan dengan dosis dan volume semprot yang

tidak sesuai anjuran. Disamping itu untuk mengendalikan hama S. exigua tersebut petani

juga menggunakan campuran 2-5 jenis insektisida yang berbeda dengan interval

penyemprotan yang relatif singkat yaitu 2-3 kali seminggu (Setiawati et al., 2014; Hasyim

et al., 2016). Biaya yang dikeluarkan petani bawang merah di daerah Brebes, Jawa Tengah

berkisar antara 30-50% dari total biaya produksi. Penggunaan pestisida yang berlebihan

pada bawang merah akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak

negatif penggunaan pestisida kimia sintetik antara lain terjadinya resistensi hama S. exigua

tehadap insektisida kimia (Ueno, 2015; Abdullah et al., 2000; Lai & Su, 2011; Su & Sun,

2014; Saeed et al., 2012; Che et al., 2013; Ahmad & Arif, 2010), resurgensi hama

(Ueno,2015), terjadinya ledakan hama sekunder (Gross & Rosenheim, 2011 ), polusi

Page 84: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

65

lingkungan (Starner & Goh, 2012; Guruprasad & Pash, 2014), matinya serangga non target

seperti musuh alami seperti parasitoid dan predator serta serangga polinasi (Mallinger et al.,

2015 ; Martinou et al., 2014 ; Burkle et al., 2013) mencemari lingkungan dan gangguan

kesehatan bagi manusia (Mokhtar et al., 2015; Strong et al., 2004), dan memerlukan biaya

yang mahal. Oleh karena itu diperlukan pengendalian alternatif lain yang lebih ramah

lingkungan, baik menggunakan agensia hayati, predator, parasitoid dan patogen serangga

ataupun dengan insektisida botani yang berasal dari ekstrak nabati tumbuhan.

Salah satu alternatif untuk men-substitusi insektisida kimia yang mempunyai

prospek untuk dikembangkan ialah dengan memanfaatkan berbagai senyawa kimia alami

yang berasal dari tumbuhan (Sarwar, 2015; Musabyimana et al., 2001).Tumbuhan yang

potensial sebagai sumber insektisida umumnya mempunyai karakteristik rasa pahit

(mengandung alkaloid dan terpen), berbau busuk, berasa agak pedas (Hasyim et al., 2010).

Penggunaan insektisida nabati yang berasal dari tumbuhan merupakan salah satu pestisida

yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit tanaman. Lebih

dari 1000 spesies tumbuhan di alam mengandung bahan insektisida yang dapat digunakan

untuk mengendalikan hama, di antaranya mengandung zat pencegah makan (antifeedant)

(Mariapackiam et al., 2005; Arivoli & Tennyson, 2013a; Arivoli & Tennyson, 2013b),

pembunuh hama atau mengandung insektisida (Mariapackian et al., 2007; Jeyasankar et

al., 2014) mengandung zat penolak (repellent), membunuh telur atau ovicidal (Packiam et

al., 2012) mencegah aktivitas serangga untuk meletakkan telurnya atau oviposition

deterrent activities (Dehghani & Ahmadi, 2013; Valsala & Gokuldas, 2015) mengganggu

sistem reproduksi serangga (Gokce et al., 2010; Koshiya & Ghelani, 1993).

Sifat-sifat dari insektisida nabati antara lain adalah mudah terurai di alam

(biodegradable), relatif aman terhadap musuh alami hama (selectivity), dapat dipadukan

dengan komponen pengendalian hama lain (compatibility), dapat memperlambat laju

resistensi, dan menjamin ketahanan dan keberlanjutan dalam berusaha tani (sustainability).

Tumbuhan memproduksi berbagai jenis metabolit sekunder seperti flavonoid, terpenoid,

alkaloid, dan lain-lain yang berguna sebagai pertahanan diri sehingga metabolit sekunder

tumbuhan berpotensi untuk digunakan sebagai agens pelindung tanaman (Adeniyi et al.,

2010).

Di antara tumbuhan yang telah banyak diteliti sebagai bahan insektisida untuk

mengendalikan hama adalah mimba Azadirachta indica, Meliaceae). Tumbuhan ini

merupakan jenis tumbuhan yang paling intensif diteliti di beberapa negara seperti India,

Thailand dan USA telah beredar produk komersial berbahan baku ekstrak biji mimba

(Sidhu et al., 2003; Lee & Mix, 2012; Radhika & Sahayaraj, 2014; Travis & Mix, 2012).

Ekstrak biji Swietenia mahogani dapat menghambat makan larva S.litura (Hamzah et al.,

2013). Ekstrak daun akar tuba dapat mengendalikan hama ulat kubis P. xylostella (Visetson

& Milne, 2001). Tepung biji Annona sp. (Annonaceae) telah digunakan untuk pengendalian

hama gudang (Anita et al., 2012). Tumbuhan Thitonia diversifolia, Cymbopogon citrates

dan mimba, Azadiracta indica untuk mengendalikan hama tungau (Hanifah et al., 2011;

Maciel et al., 2015). Senyawa bioaktif yang berasal dari tumbuhan sudah diuji

kemampuannya diluar negeri untuk mengendalikan hama Sprodoptera spp. (Raja et al.,

2004; Baskar et al., 2011; Jeyasankar et al., 2011; Jeyasankar et al., 2013; Arivoli &

Page 85: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

66

Samuel, 2013a; Arivoli & Samuel, 2013b; Packiam et al., 2012; Krishnappa et al., 2013).

Di Indonesia beberapa ekstrak tanaman dari daun mahkota dewa, daun widuri, mimba

sudah digunakan untuk mengendalikan hama ulat bawang, S. exigua (Shahabuddin &

Khasanah, 2013; Shahabuddin & Pasaru, 2009; Lee & Mix, 2012).

Ekstrak bahan nabati yang mengandung senyawa bioaktif dapat menyebabkan

kematian pada serangga dan sebenarnya merupakan titik awal dari perkembangan

insektisida nabati. Pada awal pemanfaatannya hanya faktor mortalitas yang digunakan

sebagai tolok ukur bahwa tanaman tersebut dapat berfungsi sebagai insektisida (Koshiya &

Ghelani, 1993). Tumbuhan mengandung senyawa bioaktif yang dapat membunuh serangga

phitopahagous dan aman terhadap serangga non target (Sarwar, 2015).

Perkiraan keuntungan yang akan diperoleh dengan adanya alternatif pengendalian

hama dengan insektisida botani dan agensia hayati antara lain : (1) Pengurangan penggunaan

pestisida sintetik (2) Perbaikan efisiensi penggunaan sumberdaya melalui pengelolaan hama

berbasis ramah lingkungan (3) Peningkatan kesadaran akan kebutuhan untuk menata sistem

usahatani bawang merah, yang sejalan dengan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan; (4)

Mengurangi pencemaran lingkungan dan peningkatan populasi organisme berguna (5)

menyediakan bahan baku bawang merah yang aman dikonsumsi.

Sampai saat ini ketersediaan pestisida yang berbahan baku tumbuhan (pestisida

nabati) untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) bawang merah yang

telah diuji khasiat dan keamanannya secara ilmiah masih terbatas. Saat ini petani kerapkali

membuat ramuan yang terdiri dari berbagai jenis tanaman yang secara empiris dikatakan

efektif untuk suatu OPT namun belum ditunjang dengan data ilmiah agar produk tersebut

dapat dipertanggungjawabkan mutu dan keamanannya.

Berbagai jenis tumbuhan potensial digunakan sebagai insektisida botani karena

mengandung senyawa bioaktif seperti fenilpropan, terpenoid, alkaloid, asetogenin, steroid

dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida dan repelen. Indonesia memiliki flora

yang sangat beragam, memiliki cukup banyak jenis tumbuh-tumbuhan yang merupakan

sumber bahan insektisida yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama.

Insektisida botani adalah suatu produk alami yang berasal dari tumbuhan dan

bersifat ramah terhadap lingkungan dibandingkan dengan insektisida sintetik. Penapisan

ekstrak tanaman untuk mengendalikan hama yang merusak tanaman terus dicari dan

diupayakan serta diuji kemampuannya sebagai insektisida botani (Sarwar, 2015). Oleh

karena itu penelitian terhadap insektisida botani sebagai alternatif untuk men-substitusi atau

mengganti beberapa insektisida yang sudah resisten terhadap hama S. Exigua perlu

diiakukan terutama insektisida yang bersifat membunuh hama target, menghambat

pertumbuhan serangga dan antifeedant (Hamzah et al., 2013; Arivoli & Tennyson, 2013b;

Arivoli & Tennyson, 2013b).

Penggunaan insektisida botani memiliki beberapa keunggulan antara lain adalah

mudah terurai di lingkungan ( Sarwar, 2015; Isman et al., 2011 ), dapat diterapkan dalam

pengendalian hama terpadu, relatif kurang beracun terhadap serangga bukan sasaran

(musuh alami) sehingga tidak dikuatirkan akan meninggalkan efek residu yang beracun

(Ahmad et al., 2011; Sarwar et al., 2012; Sarwar & Satar, 2012: Sarwar, 2015) dan relatif

Page 86: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

67

lebih murah serta mudah diperoleh sehingga diharapkan dapat menutupi kelemahan

penggunaan insektisida sintetik.

Para peneliti ini telah berhasil menunjukan adanya berbagai macam senyawa

tanaman yang memiliki aktivitas sebagai anti makan (antifeedant) dan yang bersifat

menghambat pertumbuhan serangga (Sarwar, 2015; Kabaru & Gichia, 2001; Sarwar et al.,

2012). Idealnya suatu senyawa anti makan dapat diserap dan diedarkan ke dalam sistem

tumbuhan, sehingga tumbuhan dapat terlindung dari serangan serangga hama.

Dalam upaya untuk mengendalikan hama Spodoptera exigua,penelitian pencarian

sumber insektisida dari beberapa tumbuhan banyak dijumpai di sekitar lahan pertanian

maupun di hutan. Produk insektisida botani yang selektif dan bersifat spesifik diharapkan

dapat menggantikan insektisida sintetik sehingga ketergantungan petani terhadap

insektisida sintetik dapat ditekan. Insektisida botani diharapkan dapat mengurangi dampak

negatif dari penggunaan insektisida sintetik seperti terjadinya resistensi, resurjensi,

munculnya hama sekunder, terbunuhnya musuh alami, bahaya bagi kesehatan pengguna

dan residu pada tanaman (Ahmad et al., 2011, Sarwar et al., 2013; Sarwar et al., 2005).

Insektisida botani dapat menggunakan bagian tanaman tertentu, seperti akar, daun, batang

atau buah. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi sumber bahan insektisida (Sarwar, 2015;

Pavela2009; Arivoli & Tennyson 2013a).

Penggunaan insektisida botani dapat diterapkan dalam pengendalian hama terpadu

(PHT) karena insektisida ini umumnya cukup aman bagi musuh alami hama, kompatibel

dengan pengendalian lainnya, mudah terurai dilingkungan sehingga tidak meninggalkan

efek residu yang beracun. Sebagai pengendali hama S. exigua, maka informasi tentang

informasi jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai insektisida botani, cara ekstraksi

insektisida botani, uji toksisitas ektrak daun hasil ekstraksi maserasi bertingkat, bobot

ekstrak dan rendemen hasil ekstraksi dengan cara ekstraksi cair perlu diketahui dan diteliti.

Hipotesis Ekstrak yang terkandung dalam tumbuhan mengandung senyawa yang berpotensi

sebagai insektisida yang dapat menyebabkan mortalitas terhadap larva S.exigua. Penelitian

bertujuan mengevaluasi potensi ekstrak tumbuhan sebagai insektisida botani terhadap

larva instar ketiga S. exigua di laboratorium.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu.

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Balai Penelitian

Tanaman Sayuran dari bulan Mei sampai Desember 2015.Tumbuhan yang akan digunakan

sebagai ekstrak tanaman dilakukan di beberapa daerah di Provinsi Jawa Barat. Materi yang

akan diambil adalah bahan tanaman (akar, daun, bunga, buah dan biji) untuk pembuatan

bio–pestisida.

a. Jenis tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun bintaro (Cerbera

manghas L), daun akar tuba dan batangnya (Derris elliptica Bth), daun suren (Toona

sureni Merr), kirinyuh (Eupatorium inulifolium Kunth) dan huni (Antidesma bunius (L)

Spreng). Daun, bunga, ranting, dipotong-potong/dihancurkan, dikeringudarakan tanpa

terkena cahaya matahari langsung (Gambar 1 A). Setelah kering masing-masing bagian

Page 87: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

68

tanaman tersebut digiling dengan menggunakan alat grinder (Gambar 1 B). Bahan

tumbuhan yang sudah menjadi serbuk siap untuk diekstrak dan disimpan dalam kantong

plastik (Gambar 1C).

(A) (B) (C)

Gambar 1.Proses pengeringan daun tanaman, penggilingan daun sampai menjadi halus

(serbuk) dan penyimpanan serbuk daun tanaman (The process of drying the leaves of the

plant, grinding the leaves until it becomes smooth (powder) and storage of plant powders in

plastic bag)

b. Ekstraksi daun tanaman dengan pelarut metanol. Ekstraksi dilakukan dengan

menggunakan pelarut metanol (polar). Pada tahap pertama, 500 g serbuk masing-masing

tanaman dimasukkan ke dalam baker glass dan direndam dalam 2500 ml larutan

metanol selama sekurang-kurangnya 24 jam dan ditutup dengan kertas berwarna hitam.

Cairan ekstrak disaring menggunakan corong kaca (diameter 9 cm) beralaskan kertas

saring. Hasil saringan ditampung dalam labu penguap, kemudian diuapkan dengan

rotary evaporator pada suhu 45° C dan tekanan 337 mbar (Gambar 2)

Gambar 2.Perendaman ektrak tanaman dalam larutan methanol dan penguapan ektraks

dengan menggunakan rotary evaporator (Soaking of plant extract in methanol solution and

extract evaporation using rotary evaporator)

c. Ekstrak yang sudah dievaporasi dipanaskan dalam waterbath dengan suhu 50 °C,

hingga semua pelarut hilang dan ektrak yang diperoleh dalam bentuk gell (Gambar 3).

Page 88: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

69

Gambar 3. Ekstrak tanaman dalam bentuk Gell (Plant extract in Gell form).

Ekstrak dalam bentuk gel yang diperoleh disimpan di dalam lemari es pada suhu

±4°C sampai digunakan untuk pengujian.

Efikasi ekstrak tumbuhan terhadap hama ulat daun bawang, S. exigua

a. Perlakuan untuk masing-masing ekstrak tanaman menggunakan lima taraf konsentrasi,

yaitu 5,0 %, 2,50%, 1,25%, 0,63%, 0,31% (Radha & Susheela, 2014) dan kontrol serta

diulang empat kali. Sebelum membuat larutan uji, larutan induk dengan konsentrasi 5%

dibuat terlebih dahulu, dengan cara melarutkan 5 gram ekstrak ke dalam campuran

deterjen dan aceton dengan konsentrasi masing-masing 0,2% dan 1%. Campuran

ekstrak dengan deterjen dan aceton dimasukkan dalam gelas ukur, kemudian

ditambahkan air hingga mencapai tera 100 ml. Larutan induk kemudian diambil 25,

12,5, 6,25 dan 3,12 ml dimasukkan ke dalam gelas ukur sehingga konsentrasi menjadi

2,50%, 1,25%, 0,625% dan 0,315% setelah ditambahkan air hingga 50 ml. Pada

perlakuan kontrol hanya menggunakan campuran air dengan pengemulsi deterjen dan

aceton tanpa ekstrak, dengan konsentrasi masing-masing 0,2% dan 1%.

b. Pengujian dilakukan dengan metode kontak. Serangga uji (larva instar ke tiga)

sebanyak 10 ekor dicelupkan dalam sediaan ekstrak uji dengan konsentrasi tertentu

selama 10 detik untuk setiap perlakuan. Serangga uji dipindahkan dalam wadah plastik

berdiameter 5,5 cm satu per satu, kemudian diberi pakan daun bawang. Pergantian

pakan yang segar dilakukan setiap hari hingga larva mencapai stadia pupa. Pengamatan

dilakukan setiap hari terhadap jumlah larva yang mati, selama empat hari. Rata-rata

persentase kematian serangga dikoreksi dengan menggunakan rumus Abbot (Busvine,

1971) sebagai berikut :

Po – Pc

P = ------------x 100%

100 – Pc

Keterangan :

Pc = Persentase banyaknya serangga yang mati setelah dikoreksi

Po = Persentase banyaknya serangga yang mati karena perlakuan ekstrak

Pc = Persentase banyaknya serangga yang mati pada kontrol (mortalitas alami).

Page 89: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

70

Hubungan antara konsentrasi ekstrak dengan mortalitas serangga uji diolah dengan

analisis korelasi. Nilai LC50 dihitung berdasarkan data kematian yang diperoleh dengan

menggunakan analisis probit (Busvine, 1971).

Analisis GC-MS ini dilakukan di laboratorium kimia Balai Penelitian Tanaman

Sayuran. Ekstrak tanaman huni tidak dilakukan analisis GC-MS-nya karena sample ekstrak

kurang baik. Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah

sebagai uap. Gas pembawa yang digunakan dalam kromatografi gas ini adalah gas helium

(He). Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam

berupa cairan ekstrak akar tuba. Kromatografi gas ini digunakan untuk analisis kualitatif

dan analisis kuantitatif senyawa organik. Alat GC yang digunakan adalah Agilent 6890 N,

sedangkan MS digunakan Agilent 5972 Iner

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis menunjukkan bahwa mortalitas hama S. exigua yang disebabkan oleh

5 jenis ekstrak tanaman dapat dilihat pada Tabel 1.

Mortalitas larva S. exigua sudah mulai terlihat pada saat 1 jam setelah aplikasi

ekstrak insektisida botani yaitu pada perlakuan ekstrak bintaro dan ekstrak suren. Secara

umum perlakuan semua ekstrak insektisida botani yang diuji baru dapat menyebabkan

mortalitas S. exigua pada saat 6 jam setelah aplikasi terutama pada konsentrasi tinggi 5 %

(50.000 ppm). Mortalitas larva S. exigua akan meningkat terus sampai pada hari keempat

setelah perlakuan ekstrak insektisida botani. Mortalitas larva S. exigua tertinggi (85%)

diperoleh dari perlakuan ekstrak tanaman bintaro dan yang terendah (57%) diperoleh dari

ekstrak tanaman huni. Ekstrak dari tanaman bintaro, daun akar tuba, daun suren dan daun

kirinyuh efektif mengendalikan hama S. exigua karena dapat menyebabkan mortalitas larva

S. exigua>70 % setelah 96 jam perlakuan, sedangkan ekstrak yang berasal dari tanaman

huni kurang efektif karena hanya dapat menyebabkan mortalitas larva S. exigua sebesar

57%. Hasil penelitian Purwani et al. (2014) menunjukkan bahwa ekstrak bintaro dapat

mematikan 75% hama S. litura setelah 8 hari perlakuan. Selanjutnya Utami (2010)

menyatakan bahwa ekstrak bintaro dapat menyebabkan mortalitas S. litura sebesar 80%

setelah lima hari perlakuan.

Pendugaan nilai toksisitas beberapa insektisida botani terhadap serangga hama

dilakukan dengan cara melihat nilai LC50 atau nilai LT95. Nilai LC50 adalah konsentrasi

yang dapat menyebabkan kematian 50% dari serangga hama yang diuji pada pengamatan

tertentu (Hasyim et al., 2016) sedangkan nilai LT 50 adalah waktu (jam) yang dibutuhkan

untuk mematikan 50% serangga uji. Berdasarkan hasil analisis terlihat nilai LC50

insektisida botani dari ekstrak daun bintaro, huni, kirinyuh, suren dan akar tuba terhadap

larva S. exigua pada 96 jam setelah perlakuan disajikan pada Tabel 2. Nilai LC50 terendah

diperoleh pada perlakuan Bintaro (1002,67 ppm dengan fisidual limit 660,06-1523,12

ppm), kemudian diikuti oleh perlakuan ekstrak akar tuba (1256,07 ppm dengan fisidual

limit 944,19-2045,45), perlakuan ekstrak kirinyuh (1304,35 ppm dengan fisidual limit

859,12-2072,47), perlakuan ekstrak suren (1307,37 ppm dengan fisidual limit 949,03 –

2087,00).

Page 90: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

71

Tabel 1. Mortalitas larva S. exigua pada 1, 3, 6, 12, 24, 48, 72, 96 jam setelah perlakuan 6

jenis ekstrak tanaman (Mortality of larvae of S. exiguaat 1, 3, 6, 12, 24, 48, 72

hours after exposure of six plant extracts). Lembang, 2015.

Ekstrak

tanaman

(Plant

extracts)

Konsentrasi (ppm) Concentration

(ppm)

Mortalitas S. exigua (%) pada…JSP (Mortality of S. exigua).....HAE

1 3 6 12 24 48 72 96

Bintaro

5.000 10,00 17,5

0 32,50 35,00 40,00 40,00 45,00 85,00

2500 2,50 5,00 20,00 20,00 20,00 20,00 35,00 70,00

1250 12,50 12,5

0 20,00 20,00 22,50 22,50 30,00 50,00

625 0,00 2,50 15,00 15,00 17,50 20,00 25,00 40,00

312,5 0,00 0,00 20,00 20,00 20,00 20,00 20,00 32,50

Kontrol 0 (0%) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Huni

5.000 0,00 0,00 10,00 10,00 15,00 15,00 30,00 57,50

2500 0,00 0,00 0,00 0,00 5,00 10,00 20,00 45,00

1250 0,00 0,00 7,50 7,50 10,00 17,50 25,00 35,00

625 0,00 0,00 0,00 0,00 2,50 5,00 12,50 32,50

312,5 0,00 0,00 0,00 0,00 5,00 7,50 7,50 25,00

Kontrol 0 (0%) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Kirinyuh

5.000 0,00 0,00 27,50 27,50 27,50 27,50 40,00 72,50

2500 0,00 0,00 5,00 7,50 15,00 15,00 25,00 57,50

1250 0,00 0,00 5,00 5,00 7,50 7,50 25,00 47,50

625 0,00 0,00 5,00 5,00 25,00 25,00 32,50 40,00

312,5 0,00 0,00 7,50 7,50 7,50 7,50 22,50 27,50

Kontrol 0 (0%) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Suren

5.000 20,00 22,5

0 25,00 40,00 42,50 47,50 50,00 75,00

2500 12,50 12,5

0 17,50 17,50 22,50 22,50 37,50 55,00

1250 5,00 5,00 5,00 12,50 12,50 20,00 25,00 50,00

625 7,50 7,50 7,50 7,50 7,50 12,50 22,50 35,00

312,5 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 7,50 20,00 25,00

0 (0%) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Akar Tuba

5.000 0,00 0,00 22,50 27,50 47,50 47,50 50,00 82,50

2500 0,00 2,50 17,50 17,50 25,00 30,00 30,00 47,50

1250 0,00 0,00 2,50 5,00 17,50 22,50 22,50 37,50

625 0,00 0,00 10,00 12,50 17,50 30,00 32,50 37,50

312,5 0,00 0,00 10,00 10,00 20,00 20,00 27,50 32,50

Kontrol 0 (0%) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

* JSP (HAE) = Jam setelah pemaparan, HAE (Hours after exposure). Kontrol dengan air (Control

with water)

Page 91: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

72

Tabel 2. Nilai LC50 dan LC95 dari lima jenis ekstrak tanaman terhadap larva S. exigua di

laboratorium (LC50 dan LC95value of fiveplant extract against S. exigua larvae

under labotory condition) Lembang 2015

No Ektrak tanaman

(Plant extract)

Parameter

yang dianalisis

(Parameters

analyzed)

Jam setelah Perlakuan(JSP) Hour after treatment (HAT)*

24 JSP 48 JSP 72 JSP 96 JSP

1 Bintaro

(Cerbera

manghas L.)

LC50 48875,47 58185,06 9659,21 1002,67

Fid Limit 1183,89 -

2017760,59

906,42 -

3734998,01

1842,12 -

50648,30

660,06 -

1523,12

LC95 214912960,43 477335693,57 7017768,77 42649,88

Chi Square 2,82 2,63 0,10 0,74

Slope 0,45 ± 0,23 0,42 ± 0,23 0,57 ± 0,22 1,01 ± 0,22

2

Huni

(Antidesma bunius (L)

Spreng)

LC50 695417,29 3359738,63 28269,15 3316,06

Fid Limit 498,58 -

969959107,15

22,94 -

492065319010,61

3001,20 -

266274,77

1450,94 -

7578,70

LC95 794291221,43 118024341689,21 7727337,74 827030,16

Chi Square 2,49 2,95 1,82 0,43

Slope 0,53 ± 0,32 0,36 ± 0,28 0,67 ± 0,25 0,68 ± 0,21

3

Kirinyuh

(Eupatorium

inulifolium Kunth)

LC50 161139,86 352032,68 153853,11 1304,35

Fid Limit 1139,69 -

22783379,57

265,83 -

466178557,12

55,89 -

423469263

859,12 -

2072,47

LC95 358307983,2 4206722670,69 2,30086E+11 76176,60

Chi Square 5,3 8,34 2,48 0,3

Slope 0,49 ± 0,25 0,40 ± 0,25 0,26 ± 0,22 0,93 ± 0,21

4

Suren

(Toona sureni Merr)

LC50 8310,86 7627,65 6542,70 1307,37

Fid Limit 3843,93 -

17968,66

3318,18 -

17534,01

2145,71 -

19950,02 949,03 – 2087

LC95 163046,63 249209,63 1248634,49 50309,52

Chi Square 0,82 1,60 0,96 0,75

Slope 1,27 ± 0,28 1,08 ± 0,25 0,72 ± 0,22 1,05 ± 0,22

5 Akar Tuba

(Derris

elliptica Bth)

LC50 14208,05 12919,98 18840,33 1256,07

Fid Limit 2450,77 -

82369,40

1710,16 -

97608,40

845,57 -

419782,11

944,19 -

2045,45

LC95 4974025,96 16487778,69 310792758,8 74840,94

Chi Square 4,41 2,77 4,38 7,76

Slope 0,64±0,23 0,53±0,22 0,39±0,21 0,96±0,21

Nilai LC50 tertinggi diperoleh dari ekstrak daun huni yaitu 3316,06 ppm dengan

fisidual limit 1450,94 - 7578,70. Semakin kecil nilai LC50 bahan insektisida botani maka

bahan tersebut semakin beracun. Ekstrak bintaro, ekstrak akar tuba, ekstrak kirinyuh dan

ekstrak suren sudah dapat mematikan 50% larva S. exiguapada konsentrasi berkisar

1002,67 -1307,37 ppm atau 0,1-0,13%. Nilai LC50 dari semua jenis ekstrak baik bintaro,

Page 92: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

73

akar tuba, kirinyuh, suren dan huni lebih rendah dari hasil penelitian Utami et al. (2010)

yang menyatakan bahwa nilai LC50 ekstrak bintaro terhadap larva S. litura adalah 6000

ppm atau 0,6 %.

Waktu yang dibutuhkan untuk mematikan 50% serangga uji dari enam ekstrak

tanaman dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai LT50 yang terendah diperoleh berturut-turut dari

ekstrak daun akar tuba (33,50 jam dengan fisidual limit 23,24 - 48,42), ekstrak daun suren

(37,08 jam dengan fisidual limit 20,67-66,21 jam), ekstrak daun bintaro (46,98 jam dengan

fisidual limit 26,94 - 81,94 jam), ekstrak kirinyuh (69,59 jam dengan fiducial limit 31,49-

153,75 jam), sedangkan nilai LT50 yang terpanjang diperoleh dari ekstrak daun huni yaitu

136,52 jam dengan fisidual limit 76,47 - 234,51 jam. Apabila dihubungkan dengan

konsentrasi ekstrak dan jenis ekstrak tanaman yang digunakan, maka semakin tinggi

konsentrasi ekstrak akan semakin mempercepat nilai LT50. Rusli et al. (2010) menyatakan

bahwa nilai LT50 larva S. exigua yang diperlakukan dengan ekstrak bunga kipat Tithonia

diversifolia berkisar antara 0,93 hari dengan rentang waktu 0,92 – 1,58) hari.

Tabel 3. Nilai LT 50 dari lima ektrak tumbuhan terhadap hama S. exigua (LT50 values of

several leaf extract against S. exigua)

Ekstrak tanaman

(plant extract) LT50 (jam) Fid Limit Chi Square Slope

Bintaro 46,98 26,94 - 81,94 8,87 0,73 ± 0.12

Huni 136,52 76,47 - 234,51 12,31 1,28 ± 0,20

Kirinyuh 69,59 31,49 - 153,74 23,89 1,08 ± 0,15

Suren 37,08 20,76 - 66,21 6,31 0,65 ± 0,11

Akar Tuba 33,50 23,24 - 48,42 9,64 1,01 ± 0,13

Keterangan:

LT 50 = Lethal time 50 (waktu yang dibutuhkan untuk mematikan 50 serangga uji)

Analisis GC-MS beberapa tanaman yang mempunyai nilai LC terendah yaitu ekstrak

akar tuba, Kirinyuh, Bintaro, suren, dan huni. Analisis GC-MS bertujuan untuk mengetahui

kelimpahan relatif dan kemungkinan senyawa yang terdapat dalam ekstrak sample

tanaman.Pemakaian kromatografi secara kualitatif digunakan untuk mengungkapkan ada

atau tidak adanya suatu senyawa tertentu dalam sampel. Pemakaian kromatografi secara

kuantitatif dapat menunjukkan banyaknya masing-masing komponen senyawa yang

terdapat dalam campuran. Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa ekstrak akar tuba

mengandung 7-isopropenyil-1, 4 a dimethyl-4, 4 a, 5,6, 7, 8 – hexahydro-3 H-naphthalen-2-

0 ne, squalen2, ergost-5-en-3-ol, compestrerol, stigmasterol, rotenone, gamma-sitosterol,

stigmastanol, rotenone , 2,3,6- trimethoxy-5-methylphenol dan n-hexadeconoic acid.

Berdasarkan kromatogram sampel ekstrak akar tuba diperoleh data interpretasi dari

puncak-puncak yang terdeteksi (Gambar 4). Dari puncak-puncak terlihat bahwa rotenon

terdeteksi pada dua puncak yaitu pada waktu retensi 17,3 min. dan 18,34 min (Khan et al.

2006). Selanjutnya Yun et al. (2006) menyatakan bahwa periode rentensi rotenon standar

adalah 16,6 min. Terjadinya perbedaan waktu rentensi senyawa rotenon mungkin

disebabkan oleh karena cara mengektraksi tanaman, zat kimia yang digunakan untuk proses

Page 93: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

74

maserasi dan spesifikasi model alat GC-MS yang digunakan. Rotenon merupakan

penghambat respirasi sel, berdampak pada jaringan saraf dan sel otot yang menyebabkan

serangga berhenti makan. Kematian larva S. exigua terjadi beberapa jam sampai beberapa

hari setelah terkena rotenon yang terkandung pada ekstrak akar tuba (Suganya &

Thangaraj, 2014). Adapun gejala umum kematian larva, diawali dengan

paralisis/kelumpuhan. Gejala keracunan demikian biasa dikenal sebagai efek knock down.

Tubuh larva yang mati berwarna hijau kehitaman dan lama kelamaan menghitam dan lunak.

Gejala kematian akan terlihat nyata setelah 24 jam perlakuan.

Gambar 4. Hasil kromatogram GC-MS ekstrak metanol dari akar tuba, D. elliptica(The GC

MS result of methanol extract from D. Elliptica)

Kandungan utama ekstrak daun kirenyuh adalah germacrene, isocaryophyllene,

2,6,6,9-tetramethyl-1,4,8-cycloundecatriene, 1- methyl-5-methylene-8-(1-methylethyl)-1,7-

cyclodecadiene, 1,2,4a,5,8,8a-hexahydro-4,7- dimethyl-1-(1-methylethyl) naphthalene,

1,12- dodecanediol, octahydro-1-(2-octyldecyl) pentalene, 3,7,11,15-tetramethyl-2-

hexadecen-1-ol, methyl (12-acetyloxy)-9-octadecanoic, bis (2-ethylhexyl) phthalat,

farnesol, 4,22-cholestadien-3-one and 1,2,3,5,6,7,8,8aoctahydro-1,4-dimethyl-7-(1-

methylethenyl) azulene (Gambar 5). Sifat toksik ini kemungkinan disebabkan oleh senyawa

bioaktif yang terkandung dalam ekstrak daun kiriyuh seperti, terpenoid, tannin, saponin dan

sesquiterpene. Senyawa ini menyebabkan adanya aktivitas biologi yang khas seperti toksik,

menghambat makan, antiparasit, dan pestisida (Isman et al., 2011). Terdapatnya senyawa

toksik dalam ekstrak daun kiriyuh akan memberikan respon dengan cara menurunkan laju

konsumsi dan efisiensi pencernaan serta metabolismenya. Yunita et al. (2009) melaporkan

bahwa ekstrak daun teklan (Eupatorium riparium) mengandung senyawa metabolit

sekunder diantaranya steroid yang mempunyai efek menghambat perkembangan nyamuk

Aedes aegypti. Adapun tannin bersifat antimikroba. Tannin memiliki rasa yang pahit

sehingga dapat menyebabkan mekanisme penghambatan makan pada serangga (Yunita et

al., 2009). Dadang dan Prijono (2008) melaporkan bahwa saponin merupakan salah satu

senyawa yang sangat toksik terhadap serangga.

Page 94: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

75

Gambar 5. Hasil khromatogram GC-MS ekstrak metanol dari daun kirinyuh (The GC MS

result of methanol extract from kirinyuh(Eupatorium inulifolium Kunth)

Kandungan utama ekstrak buah bintaro adalah 2-Hydroxypyridine, 1H-Indazole,

cerberin (monoacetyl neriifolin), phenol, p-hydroxybenzaldehyde, benzamide, n-

hexadecane acid monoglyceride, loliolide, β-sitosterol, saponin, neriifolin, cerleaside A,

steroid, dan daucosterol (Gambar 6).Ekstrak kasar daun bintaro memiliki aktivitas

insektisida yang cukup kuat terhadap larva S. litura. Pada konsentrasi tertinggi, ekstrak

mampu mengakibatkan mortalitas larva S. exigua sebesar 85%. Menurut Mumford &

Norton (1984), suatu insektisida dikatakan efektif apabila mampu mematikan >70 %

serangga uji. Berdasarkan observasi menunjukkan bahwa setelah aplikasi ekstrak buah

bintaro, larva bergerak lamban dan menjauhi daun perlakuan. Kemudian tubuh larva

berubah warna dan ukuran tubuhnya menyusut kemudian lama kelamaan larva mati.

Kematian larva sudah mulai terjadi sehari setelah perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa

ekstrak bekerja relatif cepat untuk mengakibatkan kematian larva. Utami et al. (2010)

melaporkan bahwa ekstrak metanol daun bintaro mampu menyebabkan mortalitas ulat S.

litura instar 2 sebesar 80 %. Senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak bintaro adalah

Cerberrin yang merupakan golongan alkaloid/glikosida yang diduga berperan terhadap

mortalitas serangga hama. Cerberine merupakan glikosida bebas N, yang bekerja sebagai

racun jantung yang sangat kuat. Cerberrin yang tertelan serangga menyebabkan denyut

jantung serangga berhenti. Cerberine dapat menghambat saluran ion kalsium dalam otot

jantung sehingga dapat mengakibatkan kematian serangga. Kandungan saponin yang

terdapat pada biji bintaro juga bersifat toksik pada serangga dan dapat menghambat

aktivitas makan serangga (Utami, 2010). Aktivitas makan dapat dihambat karena saponin

menyebabkan penurunan enzim pencernaan serta menghambat absorbsi makanan. Selain

itu, saponin dapat menyebabkan kutikula pada kulit larva hilang yang menyebabkan larva

kehilangan cairan (Kuddus et al., 2011). Saponin juga mengganggu pertumbuhan larva

dengan cara menghambat pengelupasan eksoskeleton larva sehingga tidak dapat

berkembang ke fase selanjutnya (Chaieb, 2010). Steroid juga dikenal sebagai senyawa yang

mempunyai efek toksik.

Page 95: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

76

Gambar 6. Kromatogram GC-MS ekstrak metanol buah bintaro (The GC MS result of

methanol extract from C. manghas fruits)

Komponen utama ekstrak daun suren adalah Diethyl Phthalate, Octane, 1-chloro-,

Palmitic acid ethyl ester, Undecanoic acid 2-methyl-, methyl ester, Caryophyllene,

Linolenic acid dan triterpenoid yang dibagi menjadi empat golongan yaitu: triterpen,

saponin, steroid, dan glikosida (Gambar 7). Senyawa triterpenoid bersifat sebagai repellent

yang memiliki bau menyengat dan rasa sepat yang menyebabkan larva tidak mau makan.

Senyawa terpenoid mempunyai aktivitas sebagai racun syaraf, penghambat makan, dan

penghambat oviposisi, sedangkan aktivitas dari saponin yang merupakan kelompok

triterpenoid adalah menurunkan enzim protease dalam saluran makanan serangga serta

mengganggu penyerapan makanan (Ambarningrum, 2007). Masuknya senyawa tersebut

mengakibatkan terganggunya sekresi enzim pencernaan, dengan tidak adanya enzim

pencernaan maka metabolisme pencernaan akan terganggu. Jika hal ini terjadi terus

menerus mengakibatkan larva mati karena kekurangan nutrisi untuk kelangsungan

hidupnya.

Gambar 7. Analisis GC- MS ekstrak metanol daun Suren, T. sureni (The GC MS result of

methanol extract from T. Sureni leaf)

Page 96: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

77

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa mortalitas tertinggi hama S. exigua

pada saat 96 jam setelah perlakuan diperoleh dari ekstak bintaro (85,0%), diikuti oleh

ekstrak akar tuba (82,5%%), dan yang terendah diperoleh dari ekstrak huni yang hanya

dapat mematikan larva S. exigua sebesar 57%. LC50 terendah diperoleh dari ekstrak daun

bintaro (1002,67 ppm) diikuti oleh ekstrak akar tuba (1256,07 ppm), ekstrak kirinyuh

(1304,35 ppm), ekstrak suren (1307,37 ppm) dan tertinggi diperoleh dari ekstrak huni

(3316,06 ppm).Nilai LT50 terendah diperoleh berturut-turut dari ekstrak daun akar tuba

(33,50 jam dengan fisidual limit 23,24 - 48,42), ekstrak daun suren (37,08 jam dengan

fisidual limit 20,67-66,21 jam), ekstrak daun bintaro (46,98 jam dengan fisidual limit 26,94

- 81,94), sedangkan nilai LT50 yang terpanjang diperoleh dari ekstrak daun huni yaitu

136,52 dengan fisidual limit 76,47 - 234,51.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.D., Q. Sarnthoy, S. Tantakom, S. Isichaikul, & S. Chaeychomsri. 2000.

Monitoring insecticide resistance development in beet armyworm, Spodoptera

exigua (Hübner) (Lepidoptera: Noctuidae). Kasetsart J. (Nat. Sci.) 34: 450–457.

Adeniyi, C.A.,C.L. Orjiekwe, J.E. Ehiagbonare, & B.D. Arimah. 2010. Preliminary

phytochemical analysis and insecticidal activity of ethanolic extracts of four tropical

plants (Vernonia amygdalina, Sida acuta, Ocimum gratissimum and Telfaria

occidentalis) against beans weevil (Acanthscelides obtectus). International Journal

of the Physical Sciences 5(6): 753-762.

Ahmad, M., & M.I. Arif. 2010. Resistance of beet armyworm Spodoptera exigua

(Lepidoptera: Noctuidae) to endosulfan, organophosphorus and pyrethroid

insecticides in Pakistan. 29: 1428–1433.Crop Protection

Ahmad, N., M. Sarwar, G.Z. Khan, M. Tofique, & A. Salam. 2011. Efficacy of some plant

products and synthetic chemicals to manage the outbreak of mealy bug

(Maconellicoccus hirsutus) in cotton. Journal of Agriculture and Biological

Sciences 3 (1): 16-21.

Ambarningrum, T.B., H. Arthadi, S. Pratiknyo, & Priyanto. 2007. Ekstrak kulit jengkol

(Pithecellobium lobatum): Pengaruhnya sebagai anti makan dan terhadap efisiensi

pemanfaatan makanan larva instar 5 Heliothis armigera. J. Sains MIPA 13(3):65–

170.

Anita, S., P. Sujatha, & P. Prabhudas. 2012. Efficacy of pulverised leaves of Annona

squamosa (L.), Moringa oleifera (Lam.) and Eucalyptus globulus (Labill.) against

the stored grain pest, Tribolium castaneum (Herbst.). Recent Research in Science

and Technology 4(2): 19-23.

Arivoli, S., & S. Tennnyson. 2013a. Screening of plant extracts for oviposition activity

against Spodoptera litura (Fab). (Lepidoptera: Noctuidae). International Journal of

Fauna and Biological Studies 1(1): 20-24.

Arivoli, S., & S. Tennyson. 2013b. Antifeedant activity, developmental indices and

morphogenetic variations of plant extracts against Spodoptera litura (Fab)

(Lepidoptera: Noctuidae). Journal of Entomology and Zoology Studies. 1(4): 87-96.

Page 97: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

78

Baskar, K., S. Sasikumar, C. Muthu, S. Kingsley, & S. Ignacimuthu. 2011. Bioefficacy of

Aristolochia tagala Cham. against Spodoptera litura Fab. (Lepidoptera: Noctuidae).

Saudi Journal of Biological Sciences 18: 23–27.

Burkle, L.A., J.C. Marlin, & T.M. Knight. 2013. Plant-pollinator interactions over 120

years: loss of species, co-occurrence, and function. Science 339:1611–1615.

Busvine, J.R.A. 1971. Critical Review of The Techniques for Testing Insecticides. 2nd ed.

England: Commonwealth Agricultural Fanham Roya pp. 263-276.

Chaieb, I. 2010. Saponins as insecticides: a review.Tunisian Journal of Plant Protection,

39-50.

Che, W., T. Shi, Y. Wu, & Y. Yang. 2013. Insecticide resistence status of field populations

of Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) from China. J. Econ.

Entomol.106(4):1855–1862.

Dadang & Prijono D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan.

Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Dehghani, M., & A. Ahmadi. 2013. Anti-oviposition and repellence activities of essential

oils and aqueous extracts from five aromatic plants against greenhouse whitefly

Trialeurodes vaporariorum Westwood (Homoptera: Aleyrodidae). Bulgarian

Journal of Agricultural Science19(4): 691-696.

Gokce, A., L.L. Stelinski, M.E. Whalon, & L.J. Gut. 2010. Toxicity and antifeedant

activity of selected plant extracts against larval oblique banded leafroller,

Choristoneura rosaceana (Harris). Entomology Journal 4: 18-24.

Gross, K., & J.A. Rosenheim. 2011. Quantifying secondary pest outbreaks in cotton and

their monetary cost with causal-inference statistics. Ecological Applications 21(7):

2770–2780.

Guruprasad, B.R., & A. Pash. 2014. Assessment of repellency and insecticidal activity of

Ajuga parviflora (Benth) and Trichilia connaroides (W&A) leaf extracts against

stored product insects. Journal of Entomology and Zoology Studies 2(4): 221-226.

Hamzah, M.F., B. Yanuwiadi, & A.S. Leksono. 2013. The effectiveness of combination

Mahogany (Swietenia mahagoni) seed and Sour Sup (Annona muricata) leaf

pesticide to the time of stop feeding and LC50 Mortality on Armyworm (Spodoptera

litura F.). Journal of Biodiversity and Environmental Sciences3(11):71-77.

Hanifah, A.L., S.H. Awang, H.T. Ming, S.Z. Abidin, & M.H. Omar. 2011.Acaricidal

activity of Cymbopogon citrates and A.indica against house dust mites. Asian Pac.

J. Trop. Biomed. 1(5): 365-369.

Hasyim A., W. Setiawati, A. Hudayya, & Luthfy. 2016. Sinergisme Jamur entomopatogen

Metarhizium anisopliae dengan insektisida kimia untuk meningkatkan mortalitas

ulat bawang Spodoptera exigua. J. Hort. 26(2): 257-266.

Hasyim, A., W. Setiawati, R. Murtiningsih, & E. Sofiari. 2010. Efikasi dan persistensi

minyak serai sebagai biopestisida terhadap Helicoverpa armigera Hubner.

(Lepidoptera : Noctuidae). J. Hort. 20(4):377-386.

Isman, M.B., S. Miresmailli, & C. Machial. 2011. Commercial opportunities for pesticides

based on plant essential oils in agriculture, industry and consumer products.

Phytochem. Rev. 10: 197-204.

Page 98: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

79

Jeyasankar, A., S. Premalatha, & K. Elumalai. 2014. Antifeedant and insecticidal activities

of selected plant extracts against Epilachna beetle, Henosepilachna

vigintioctopunctata (Coleoptera: Coccinellidae). J. Advances in Entomology (2): 14-

19.

Jeyasankar, A., K. Elumalai, N. Raja, & S. Ignacimuthu. 2013. Effect of plant chemicals

on oviposition deterrent and ovicidal activities against female moth, Spodoptera

litura (Fab.) (Lepidoptera: Noctuidae). International Journal of Agricultural

Science Research 2(6): 206-213.

Jeyasankar, A., N. Raja, & S. Ignacimuthu. 2011. Insecticidal compound isolated from

Syzygium lineare Wall. (Myrtaceae) against Spodoptera litura (Lepidoptera:

Noctuidae). Saudi Journal of Biological Sciences 18: 329–332.

Kabaru, J.M., & L. Gichia. 2001. Insecticidal activity of extracts derived from different

parts of the mangrove tree Rhizophora mucronata (Rhizophoraceae) Lam. against

three arthropods.African Journal of Science and Technology (AJST), Science and

Engineering Series 2(2): 44–49.

Khan, M.R., A.D. Omoloso, &I. Barewai. 2006. Antimicrobial activity of Derris elliptica,

Derris indica and Derris trifoliata extraction. Fitoterapia 327- 330.

Koshiya, D.J., & D. Ghelani. 1993. Antifeedant activity of different plant derivatives

against Spodoptera litura on groundnut. In: Botanical Pesticides in IPM. Symposium

Proceedings. pp. 175-182.

Krishnappa, K., K. Elumalai, A. Anandan, M. Govindarajan, & T. Mathivanan. 2013.

Insecticidal properties of Thymus persicus essential oil and their chemical

composition against armyworm, Spodoptera litura (Fab.) (Lepidoptera: Noctuidae).

International J. Rec. Sci. Res. 8: 170-176.

Kuddus, M.R., F. Rumi, & M.M. Masud. 2011. Phytochemical screening and antioxidant

activity Studies of Cerbera odollam Gaetrn. Int. J. Pharm. Bio. Sci. 2(1):413-p418.

Lai, T., & J. Su. 2011. Assessment of resistance risk in Spodoptera exigua (Hubner)

(Lepidoptera: Noctuidae) to chlorantraniliprole. Pest Management Science 67:

1468–1472.

Lee, T.M., & K. Mix. 2012. Evaluation of Melia azedarach as a botanical pesticide against

beet armyworm (Spodoptera exigua). ARPN Journal of Agricultural and Biological

Science 7(11): 962-967.

Maciel, A.G.S, J.S. Rodrigues, R.C.P. Trindade, E.S. Silva, A.G.E. Sant’Ana, & E.E.P.

Lemos. 2015. Effect of Annona muricata L. (1753) (Annonaceae) seeds extracts on

Tetranychus urticae (Koch, 1836) (Acari: Tetranychidae). Afr. J. Agric. Res. 4370-

4375.

Mallinger, R.E., P. Werts, & C. Gratton. 2015. Pesticide use within a pollinator-dependent

crop has negative effects on the abundance and species richness of sweat bees,

Lasioglossum spp., and on bumble bee colony growth. J. Insect Conserv. 19:999–

1010.

Mariapackiam, S., F.X. Elizabeth, & S. Ignacimuthu. 2007.Bioefficacy of Artemisia

nilagirica (Clarke) Pamp. against armyworm, Spodoptera litura Fab. (Lepidoptera:

Noctuidae), Entomon. 32: 245-247.

Page 99: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

80

Mariapackiam, S., N. Raja, & S. Ignacimuthu. 2005. Botanical pesticides – A safer

alternative to chemical pesticide to protect the crops against insect pests.Poll. Res.

24: 241-244.

Martinou, A.F., N. Seraphides, & M.C. Stavrinides. 2014. Lethal and behavioral effects of

pesticides on the insect predator Macrolophus pygmaeus. Chemosphere 96: 167–

173.

Mokhtar, S., N.E. Agroudy, F.A. Shafiq, & H.Y.A. Fatah. 2015. The Effects of the

environmental pollution in Egypt. International Journal of Environment 04(1): 21-

26.

Mumford, J.D., & G.A. Norton. 1984. Economics of decision making in pest management.

Ann. Rev. Entomol. 29: 157-74.

Musabyimana, T., R.C. Saxena, E.W. Kairu, C.P.K.O. Ogol, & Z.R. Khan. 2001. Effects of

neem seed derivatives on behavioral and physiological responses of the

Cosmopolites sordidus (Coleoptera: Curculioni-dae). Hort. Entom. 94:449-454.

Packiam, S.M., V. Anbalagan, S. Ignacimuthu, & S.E. Vendan. 2012. Formulation of a

novel phytopesticide Ponneem and its potentiality to control generalist herbivorous

Lepidopteran insect pests, Spodoptera litura (Fabricius) and Helicoverpa armigera

(Hubner) (Lipidoptera: Noctuidae). Asian Pacific Journal of Tropical DiseaseS2:

720-723.

Pavela, R. 2009. Effectiveness of some botanical insecticides against Spodoptera littoralis

Boisduvala (Lepidoptera: Noctudiae), Myzus persicae Sulzer (Hemiptera:

Aphididae) and Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae). Plant Protect.

Sci.45(4): 161–167.

Purwani, K.I., L. Wijayawati, S. Nurhatika, N.A. Sa’ Diyah, & A. Arifiyanto. 2014.

Bintaro (Cerbera odollam ) leaf extract as a potential biological pest control toward

Spodopteralitura F. mortality. J. Appl. Environ. Biol. Sci. 4(4): 18-23.

Putrasamedja, S., W. Setiawati, L. Lukman, & A. Hasyim A. 2012. Penampilan beberapa

klon Bawang merah dan hubungannya dengan intensitas serangan organisme

pengganggu tumbuhan. J. Hort. 22(4):349-359.

Radhika, S.A., & K. Sahayaraj. 2014. Synergistic effects of monocrotophos with botanical

oils and commercial neem formulation on Spodoptera litura (Fab.) (Lepidoptera:

Noctuidae).Journal Biopest. 7: 152-159.

Raja, N., M. Jayakumar, K. Elumalai, A. Jeyasankar, C. Muthu, & S. Ignacimuthu. 2004.

Oviposition deterrent and ovicidal activity of solvent extracts of 50 plants against

armyworm Spodoptera litura, Fab. (Lepidoptera: Noctuidae). Malaysian Applied

Biology Journal 33(2): 73-81.

Radha, R., & P. Susheela. 2014. Efficacy of plant extracts on the toxicity, ovipositional

deterrence and damage assessment of the cowpea weevil, Callosobruchus maculatus

(Coleoptera: Bruchidae). Journal of Entomology and Zoology Studies 2 (3): 16-20.

Rusli, R., Arneti, & S.P. Sari. 2010. Pengujian ekstrak metanol bunga kipat (Tithonia

diversifolia A. Gray) (Asteraceae) untuk mengendalikan Spodoptera exigua Hubner

(Lepidoptera: Noctuidae). Manggaro 11(1):25-32.

Page 100: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

81

Saeed, Q., M.A. Saleem, & M. Ahmad. 2012. Toxycity of some commonly used synthetic

insecticides against Spodoptera exigua (Fab) (Lepidoptera: Noctuidae). Pakistan J.

Zool. 44(5):1197–1201.

Sarwar, M. 2015. The killer chemicals for control of agriculture insect pests: The Botanical

insecticides. International Journal of Chemical and Biomolecular Science 1(3):

123-128.

Sarwar, M., & M. Sattar. 2012. Appraisal of different plant products against Trogoderma

granarium Everts to protect stored wheat a laboratory comparison. The Nucleus

49(1): 65-69.

Sarwar, M., N. Ahmad, M. Bux, & M. Tofique. 2012. Potential of plant materials for the

management of cowpea bruchid Callosobruchus analis (Coleoptera: Bruchidae) in

gram Cicer arietinum during storage. The Nucleus 49(1): 61-64.

Sarwar, M., A. Ali, N. Ahmad, & M. Tofique. 2005. Expediency of different botanical

products intended for managing the population of rice stem borers. Proceeding. 25th

Pakistan Conger. of Zoology, March 1-3, Sindh Agriculture University, Tandojam,

25: 15-23.

Sarwar, M., M. Ashfaq, A. Ahmad, & M.A.M. Randhawa. 2013. Assessing the potential of

assorted plant powders on survival of Caloglyphus grain mite (Acari: Acaridae) in

wheat grain. International Journal of Agricultural Science and Bioresource

Engineering Research 2(1): 1-6.

Setiawati, W.A., A. Hasyim, Hudayya, & B.M. Shepard. 2014. Evaluation of shade nets

and nuclear polyhedrosis virus (SeNPV) to control Spodoptera exigua (Lepidoptera:

Noctuidae) on shallot in Indonesia. AAB Bioflux 6: 88-97.

Shahabuddin & N. Khasanah. 2013. Efektivitas ekstrak biji mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa) dalam mengendalikan hama Spodoptera exigua hubner (lepidoptera:

noctuidae)pada pertanaman bawang merah. J. Agroland 20(1): 21-27.

Shahabuddin & F. Pasaru. 2009. Pengujian efek penghambatan ekstrak daun widuri

terhadap pertumbuhan larva Spodoptera exigua dengan menggunakan indeks

pertumbuhan relatif. J. Agroland 16(2):148-154.

Sidhu, O.P., V. Kumar, & H.M. Behl. 2003. Variability in neem (Azadirachta indica A.

Juss.) with respect to azadirachtin content. Journal of Agriculture and Food

Chemistry 51(4): 910- 915.

Starner ,K., & K.S. Goh. 2012. Detections of the neonicotinoid insecticide imidacloprid in

surface waters of three agricultural regions of California, USA, 2010–2011. Bull.

Environ. Contamin. Toxicol.88: 316–321.

Strong, L., B. Thompson, G. Coronado, W. Griffith, E. Vigoren, & I. Islas. 2004.

Health symptoms and exposure to organophosphate pesticides in farmworkers’.

American Journal of Industrial Medicine 46(1): 599–606.

Su, J.Y., & X.X. Sun. 2014. High level of metaflumizone resistance and multiple

insecticide resistance in field populations of Spodoptera exigua (Lepidoptera:

Noctuidae) in Guangdong Province, China. Crop Protection 61: 58–63.

Suganya, R., & M. Thangaraj. 2014. Isolation and characterization of leaf extract of

Derris trifoliate . International Journal of ChemTech Research6(9): 4115-4122.

Page 101: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

82

Supyani, P. Noviayanti, & R. Wijayanti. 2014.Insecticidal properties of Spodoptera exigua

nuclear polihedarosis virus local isolate against Spodoptera exigua on shallot’. J.

Entomol. Res. 02(03):175-180.

Travis, L.M., & K. Mix. 2012. Evaluation of Melia azedarach as a botanical pesticide

against beet armyworm (Spodoptera exigua). ARPN Journal of Agricultural and

Biological Science 7(11): 962-967.

Ueno, T. 2015. Beet armyworm Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae): a major pest

of welsh onion in Vietnam. Journal of Agriculture and Environmental Sciences 4(2):

181-185.

Utami, S. 2010. Aktivitas insektisida bintaro ( Cerbera adollam Gaertn.) terhadap hama

Eurema spp. pada skala laboratorium. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7(4): 211-

220.

Utami, S., L. Syaufina, & N.F. Haneda. 2010. Daya racun ekstrak kasar daun bintaro

( Cerbera odollam Gaertn.) terhadap larva Spodoptera litura Fabricius. Jurnal llmu

Pertanian Indonesia, Hal. 96-100.

Valsala, K.K., & M. Gokuldas. 2015. Repellent and oviposition deterrent effects of

Clerodendrum infortunatum on the pulse beetle Callosobruchus chinensis L.

(Coleoptera: Bruchidae). Journal of Entomology and Zoology Studies 3(4): 250-

253.

Visetson, S., & M. Milne. 2001. Effects of root extract from Derris (Derris elliptica Benth)

on mortality and detoxification enzyme levels in the diamondback moth larvae

(Plutella xylostella Linn.). Kasetsart J. (Nat. Sci.) 35: 157- 63.

Yun, A.S., C. Ovatlarnporn, A. Itharat, & R. Wiwattanapatapee. 2006. Extraction of

rotenone from Derris elliptica and Derris malaccensis by pressurized liquid

extraction compared with maceration.J. Chromatogr. A. 1125(2): 172-176.

Yunita, E., A. Nanik & W.H. Jafron. 2009. Pengaruh ekstrak daun teklan (Eupatorium

riportum) terhadap mortalitas dan perkembangan larva Aedes aegypti. Bioma 11 (1):

11-17.

Page 102: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

83

EFFECT OF BORDER CULTURAL SYSTEMS FOR MAIZE ON PRODUCTION AND PESTICIDES RESIDUES IN WATERMELON FRUIT, SOIL AND WATER

Sutardi, Heni Purwaningsih, Nugroho Siswanto and Sugeng Widodo

Researchers at IAARD Yogyakarta, Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Karangsari, Wedomartani,

Ngemplak, Sleman,Yogyakarta Telp. : (0274) 884662, 514959, 4477053Fax. : (0274) 4477052

Abstrak. Sistem budidaya ramah lingkungan berbasis agroekologi diterapkan pada berbegai

tanaman pertanian termasuk juga tanaman hortikultura. Penelitan bertujuan untuk

mengetahui kandungan residu pestisida golongan organofosfat, tanah dan air. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2012 di lahan pasir pantai di Kabupaten

Kulon Progo. Pengkajian menggunakan metode rancangan acak kelompok (RAK) faktor

tunggal. Perlakuan meliputi Tanaman border jagung 2 baris keliling(B2) , Tanaman

border jagung 4 baris dikeliling (B4), Tanaman border jagung 2 baris di tengah (BT) dan

kontrol tanpa tanaman border jagung (TB), yang diulang 4 kali. Luas plot adalah 5 x 10

m2. Peubah pengamatan meliputi data agronomi dan residu pestisida golongan organofosfat

pada buah semangka, air dan tanah secara komposit. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa

berat buah dan total soluble solid berbeda nyata dibandingkan kontrol. Residu pestisida

golongan organofosfat pada buah semangka dan air lebih rendah daripada batas deteksi

(<LD) 0,0150 – 0,02 mg/kg. Namun, residu pestisida dalam tanah terdeteksi Diazinon,

Fenitrotion, Malation, Profenofos, klorpirfos yang lebih tinggi daripada batas deteksi

(0,0020 -0,0034 mg/kg). Oleh karena itu introduksi border jagung dapat digunakan sebagai

acuan paket teknologi teknologi sistem budidaya semangka ramah lingkungan di Indonesia.

Kata kunci:Border jagung, Residu Organofosfat, Air. Tanah, produksi

Abstract. Food production is considered with applying farming system-based friendly-

environment, including on horticultural crops. The research aimed to determine effect of

border corn crop to increase watermelon production and to suppress residue of

organophosphate pesticide levels. The study was conducted in August - September 2012

with cropping system that used dual row system at coastal areas in Kulon Progo Distric.

Experiment was arranged using a complete randomized block design (RCBD) with 4

replicates. The treatment was consisted of three kinds of border and a control system,

namely B2 (2 rows border of corn), B4 (4 rows border of corn), BT (border of two middle

rows (tajarwo) of corn) and TB (without border corn). The experimental unit of 5 x 10 m2

in farmers was used as replicate. Parameter observed was plant length, number of stems,

stover weight, weight of fruit, sugar content, yield, pesticide residues in water melon fruit,

soil and water. The results showed that plant length, stover weight, weight of fruit and

sugar contents were significantly different. Introduction of border of 2 lines and 4 lines

gave average fruit weight was better than 2 lines middle and no border, namely 2.068,

1.819, 1.751, and 2.173 kg, respectively. Without border (TB) gave the best of sugar levels,

although there was no additional corn production. The residue of organophosphate pesticide

in fruit of water melon was detected below limit of detection (0.0150 - 0.02 mg/kg),

however some residues were detected in soils as diazinon, fenitrotion, malation, profenofos,

and chlorpyrifos which consentration >LD (0.0020 -0.0034 mg/kg). Therefore, the

introduction of corn border is used as reference technology technology package of

environmentally friendly watermelon cultivation system in Indonesia.

Keywords : Border corn, organophosphate residue,watermelon, soil, water, yield

8

Page 103: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

84

INTRODUCTION

Pesticides are an important component which used farmers to control major pests

and diseases in their farming systems. There is estimation that 45% of the world’s crops are

destroyed by pests and plant diseases. In order to meet the global food demand, the use of

plant protection strategies is essential based on various approaches including the use of

commercial pesticides (Bhanti and Taneja, 2007) such as done in Kulonprogo Regency and

Bantul province. Yogyakarta province.

Organophosphate group pesticideswidely used in Indonesia reached 22.29%

(Oginawati, 2016). The continous useof organophosphates pesticide onthe plant will remain

its residue in agricultural products, even for certain pesticidescan still detected in

agricultural products that are processed for subsequent or current utilization consumed

(Pasek, 2015). The presence of pesticide residues in food, included in vegetables and fruit is

a major issue for public health. Food containing pesticide residues which consumed in

longterm will cause health problemswhich is indicated by the presence of acute symptoms

such as headache, nausea, and vomiting as wellchronic symptoms such as loss of lusteating,

muscle spasms, and others (Isnawati, 2005).

Bantul and Kulonproga districts have a wide area of watermelon plants in several

sub-districts, and have high productivity but pesticide residue above the threshold is

allowed. Watermelon (Citrullus vulgaris L) is one of horticultural commodities that has

special attention. The fruit contains a lot of water as much as 92%. The nutritional value is

low and only contains 7% carbohydrates in the form of sugar, and low content of vitamin

and mineral. Watermelon fruit is attractive because of the attractive flesh color (red or

yellow) and its consistency are crumbs, watery lot, and sweet is very favored by the fruit

consumers. Other advantages are as vegetables when fruit is still young, but are not fully

utilized in the level of farmers, so it has not felt the value of its economy. In addition, the

skin of watermelon fruit can be made pickle and seeds for snack that tastes savory and salty

(kuaci) (Kalie, 1993).

The consumption of watermelon fruit increases along with the growth rate of

population and the increase in the diet of the community to be good nutrition. The volume

of watermelon demand is relatively high while domestic market demand is often not met

(Prajnanta, 2001). The efforts to increase watermelon productivity in order to meet market

demand both quantitatively and qualitatively are needed such as intensification and

extensification of agriculture with considering friendly-environment. During this time

watermelon is being developed on marginal land such as sandy lands at Kulon Progo,

Jogjakarya province. Nuryanti et al. (1998) mentions that agricultural production in

marginal lands is very low to low. The marginal soils along coastal areas is characterized

by sandy in soil texture, low nutrient content, and water as main limiting factor.

Based on a review by Machfudz (1997), the role of inputs such as the use of organic

fertilizer (manure) accelerate decomposition results or organic compound fertilizer which

receives additional inorganic fertilizers N, P, and K that can increase growth and crop

yields. One effort to increase productivity of coastal marginal land is addition of organic

fertilizer that is more dominant than inorganic fertilizers, but the use of pesticides is also

Page 104: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

85

high. Southern sandy areas of Kulonprogo Regency belong moderate to high wind speed, so

that border plants are required to break wind flowing in cultivation of plants. Another

impact is reduction of spread of vectors and pests, and reduction of pesticides use because

vectors and other pests are sheltered in corn crops. The main pest control with spraying is

done on corn crops that are usually pests gathered in the afternoon. Pest control should be

done in the afternoon or in the morning because of more effective and agin calmer than

during the day. Decomposition of pesticides takes a long time, causing pesticide residues

every season will increase significantly every year.

Pesticides belonging to the group of organophosphates include: azinophosmethyl,

chloryfos, demeton methyl, dichlorovos, dimethoat, disulfoton, ethion, palathion,

malathion, parathion, diazinon, chlorpyrifos. The magnitude of pesticide residues in fruits,

soil and water is necessary analyzed. So it is important to study the effect of corn border

plants on watermelon cultivation and its effect on presentation of pesticide residues in fruit,

soil and water. The purpose of this research is to determine effect of corn border in

suppressing residues of organophosphate group pesticide on watermelon, soil and water

cultivation and supporting production of watermelon.

METHODOLOGY

This research was conducted at Sindutan Village, Temon sub-District, Kulon Progo

Regency, Yogyakarta and started in August until October 2012. The necessary materials

were watermelon seeds of local varieties, straw, ZA fertilizer, SP-36, KCl, cured manure

and corn seeds. While the tools used are scales, meter, paper labels, hoes, small hoe, small

reservoirr, stationery and sugar testers and others.

The experimental design used randomized completely block design (RCBD) with

four replicates. Experimental unit size was 5 x 10 m2. The treatment consisted of three

kinds of borders and a control system, namely B2 (2 lines border of corn), B4 (4 lines

border of corn), BT (corn border of two middle rows /tajarwo), and TB (without corn

border).

B2. Border 2 rows of

corn circumference

B4. Border 4 rows of

corn circumference

BT. Border 2

middle row

(tajarwo) corn

TB. Without

border corn

Figure 1. Treatment of corn border system in watermelon plants

Page 105: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

86

Land preparation was done by minimun tillage, corn planted 2 weeks before planting

melon. Fertilization of maize was given 100% dose at planting time (400 kg Urea /ha, 100

kg SP-36/ha and 100 kg KCl/ha. Technology components that were applied in field was

presented in Table 1.

Table 1. Package of technology components

Component of technology Application

a) Watermelon variety Hybrid Duta Varieties

b) Transfer of seedlings 9 days after seedling

c) Amelioration (organic fertilizer) 10 t/ha (mineral clay) + 30 t/ha(Organic

fertilizer from cow) + 10 t/ha (sandy) ,

mixed, then applied for watermelon

fertilization.

d) Phonska fertilizer 400 kg/ha or 40 gr / plant (leakage system)

10 times the application

e) Spacing 40 x 50 cm x 300 cm

f) Spacing of corn 20 cm x 20 cm

g) Planting corn as a border 14 days before watermelon planting

h) Harvest of first and second corn 45 and 110 days after planting

Observation parameters included production and yield quality, total soluble solute

(TSS) measured by hand refractometer 0x32% Brix, organophosphate pesticide residues in

fruit, soil and water. The observed data were analyzed statistic using analysis of variance

(anova). If there is a significant difference, the examination variance is done further by

Duncan's Multiple Range Test (DMRT) at 5% level.

RESULT AND DISCUSSION

Quality and Production of Watermelon

Table 2 showed that the border of corn had a significant effect on the fruit weight

even though the amount of fruit was not significantly different. The soluble solids was

influenced significantly by border of 2 lines (B2) and no Border (TB) compared with

border of 4 lines (B4) and border of 2 middle rows (BT) which was shown by sweeter due

to > 12 brix.

Table 3 shows that border of corn had significant effect on fruit weight and

watermelon yield. Border of 4 and 2 rows yielded lower than treatment of border of 2

middle rows and without border of corn because border of 4 rows and 2 middle rows

caused shading which affected less good quality of TSS and yield.

Page 106: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

87

Table 2. Average number of fruits, weight and total dissolved solids at harvest

Treatments Amount of

fruits/plant

Weight

of fruit

Total soluble solid

(TSS)(Brix)

B2 2 lines border of corn 1.0 2069ab 12.2a

B4 4 lines border of corn 1.0 1819bc 10.7b

BT Border of 2 middle rows of corn

/tajarwo

1.1 1751c 10.5b

TB No/without border 1.0 2172a 12.4a

Note: The number followed by the same letter in the same column shows no significant difference

based on the DMRT at 5% level

Table 3. Average number of fruit, fruit weight and watermelon yield

Treatments Amount

of fruits/plot

Weight of

fruits/plot (kg) Yield (ton/ha)

B2 2 lines border of corn 13.33a 27.56ab 5.512 ab

B4 4 lines border of corn 12.98a 23.61bc 4.722 bc

BT Border of 2 middle rows of

corn /tajarwo

12.48a 21.85c 4.370 c

TB No/without border 13.45a 29.22a 5.844 a

Note: The number followed by the same letter in the same column shows no significant difference

based on the DMRT at 5% level

Agronomic Performance of Corn Border Plant

Yield of corn as border was is quite influenced by number of plant populations per

plot. The population of corn in 2 rows border (B2) was equal to 2 middle rows (BT) as

much as 300 plants while 4 rows border (B4) had more 600 plants per plot. Border of 4

rows (B4) gave the highest productivity as much as 933 kg/ha, followed by border of 2

rows (B2) and 2 middle rows (BT) with productivity of 547,5 kg/ha and 393 kg/ha,

recpectively (Table 4).

Pesticide Residues

Farmers always use most organophosphate insecticides to control pests in

horticultural crops including watermelon. Organophosphates (OPs) are chemical

compounds that are widely used in the world for various activities, i.e. as insecticides. Its

inappropriate application can reduce environment quality and kill non-target organisms.

The increase of insecticides use causes some problems in maintaining biodiversity in

agricultural areas (Permatasari, 2007). Insecticides can be divided into organic and

inorganic groups. Organic insecticides contain carbon elements whereas inorganic

insecticides do not contain carbon elements. Organic insecticides are ease to be obtained

from living things, so they are called biological insecticides (Heller, 2010). In order to

protect the community on the possibility of pesticide residues exposure, it is necessary to

monitor the pesticide residues in soil, water, agricultural product and dynamics of pests in

Page 107: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

88

cultural lands. Table 5 showed concentration of organophosphate residues maximum limits

(RMLs) which is allowed for watermelon fruits. Based on residual analysis in fruit, soil and

water, some active ingredient were detected, i.e. naled, diklofention, disulfoton, etion,

famfur. Some active ingredients of organophosphate were detected in soil, i.e. malation,

profenofos, chlorpyrifos, dan diazinon (Table 6).

Table 4. The average of plant height, yield of cobs and corn kernels

Treat

ment

Plant

height

(cm)

Production of corn cobs Production of kernels

Weight

of

kernels/p

lant (g)

Weight of

corn

cobs/plot

(kg)

Weight of

corn

cobs/ha

(kg)

Weight

of

kernels/p

lant (g)

Weight

of

kernels/p

lot(kg)

Weight

of

kernels

kg/ha

B2 214 137 4.12 823 91.3 2.74 547

B4 216 128 7.69 1539 77.8 4.66 933

BT 178 79 2.37 474 65.5 1.96 393

TB - = - - - - -

Note: B2 = 2 lines border of corn, B4 = 4 lines border of corn, BT = Border of 2 middle rows of corn

/tajarwo, TB = No/without border

Table 5. Maximum Limits of organophosphate residues in watermelon

No Element RMLs (mg/kg)

1 Naled -

2 Dichlofention -

3 Diazation 0.01

4 Disulfoton -

5 Etion 2

6 Famfur -

7 Fention -

8 Fosdrin -

9 Imidan -

10 Leptofos -

11 Tetraetil ditiopir -

12 Tucotion -

Note: - = no maximum limit residue according to SNI 01-6366-2000

The presence of pesticide residues in watermelon cropping indicates that pesticides

are often used and translocated into agricultural products. Organophosphate residues are not

found in watermelon fruit, however some active ingredients were detected in soils and

water (Table 6 and 7).

When compared with the residual maximum limit (RML) value, their residues in

fruit, soil and water were belowthan RML (0.1 - 0.5 mg/ kg). For example chlorpyrifos was

under RML, profenofos was lower than RML, but diazinon was higher than RML. Table 6

and 7 show that pesticides presentation is related to the frequency of pesticides application

which farmers always apply routinely 2-3 times a week by mixing several types of

pesticides without considering the presence or absence of pest attacks in the field. The

Page 108: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

89

residues pesticide in the plant may be from pesticides when are applied directly to plants, or

applied through soil and water.

Table 6. Organophosphate pesticide residues in soil at watermelon cropping

Active

ingredient

Concentration (mg/kg)

Limit detection

(mg/kg) Border of 2

lines of corn

Border of 4

lines of corn

Corn border

of 2 middle

rows

(tajarwo)

Diazinon 0.0028 - - 0.0027

Fenitrotion - - - 0.0020

Malation 0.1200 0.0852 0.0516 0.0029

Profenofos 0.1128 0.0716 0.0436 0.0034

Chlorpyrifos - 0.0072 - 0.0014

Paration - - - -

Metidation - - - -

Description: - = Not detected; <LD = below the Detection Limit

Source: Integrated Laboratory of Indonesian Agricultural Environment Research Institute at Jakenan,

Pati, Centra Jawa (2012)

Apart of residues can occured from contamination through wind, rain-borne dust

from other spraying areas, as well as planting on soils containing persistent pesticides

(Nugrohati and Untung, 1986). A study conducted by EPA (Environmental Protection

Agency) in 1999 profenofos has a 7-8 day degradation time, while the applied diazinon will

disappear inside two weeks. Degradation of phenitotrion is 10 days in nature, due to

hydrolysis and factors microorganisms. Malation and metidation are degraded within three

days, whereas paration on condition will be directly hydrolyzed in a matter of hours

(Ekadewi, 2007).

Table 7. Pesticide residues in water (mg/liter)

Active

ingredient

Concentration (mg/L)

LimitDetection Border of 2 lines

of corn

Border of 4 lines

of corn

Corn border of 2

middle rows

(tajarwo)

Diazinon 0.0072 - - 0.0027

Fenitrotion - 0.0320 0.0270 0.0020

Malation 0.0144 0.0144 0.0160 0.0029

Profenofos 0.0784 0.0992 0.0696 0.0034

Paration - - - -

Metidation - - - -

Description: - = Not detected; <LD = below the Detection Limit

Source: Integrated Laboratory of Indonesian Agricultural Environment Research Institute at Jakenan,

Pati, Centra Jawa (2012)

Page 109: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

90

Based on analysis results, some active ingredients were not detected or lower than

limit detection such as fention, fosdrin, imidan, leptofos and tetraet in fruit, soil and water

(Table 8). The magnitude of pesticide residues in plants are determined by pesticide type,

dose and frequency of application, and application time. The effect of pesticide types on the

residual level depends on their physical and chemical properties. For example, chlorpyrifos

active ingredient contains hydroxyl functional groups that could be active ingredient 2 days

before harvest. This situation which is not in accordance with the recommended appropriate

pesticides (type, time, manner, target, dose / concentration / volume) is also not economic

(Djojosumarto, 2008).

In terms of food safety, this is not justified because the pesticides residue can

endanger consumers especially for pesticides that are categorized as having high

persistence, where the degradation rate of residues is longer and even more than 100 days

(Dadang, 2005). According to the Decree of the Minister of Agriculture No. 434.1 / Kpts /

TP.270 / 7/2001, there are 37 types of pesticide that are prohibited to be circulated and

used, such as aldrin, heptachlor, diazinon, lindan, endosulfan, fention, kuinalfos and

trichlorfos. However, in reality, farmers still use several types of pesticides that have been

banned and withdrawn from the market by the government for example diazinon in 1997.

Table 8. Pesticide residues in watermelon

Active ingredient

Concentration (mg/kg) Limit

detection

(<LD) Border of 2 lines

of corn

Border of 4

lines of corn

Corn border of 2

middle rows

(tajarwo)

Chlorvenpifos - - - 0.0032

Chlorpyrifos* - - - 0.0014

Chlorpyrifos methyl - - 0.0784 0.0232

Chrotoksifos - - - 0.0120

Demeton - - - 0.0049

Naled - - - 0.0150

Dichlofention - - - 0.0340

Dioxation <LD 0.0352 - 0.052

Disulfoton - - - 0.0089

Etion <LD 0.0648 0.0592 0.0224

Famfur 0.0402 0.0064

Fention - - 0.0621 0.0212

Fosdrin <LD <LD 0.0200 0.0049

Imidan - - 0.0200 0.0049

Leptofos - - - 0.0056

Tetraethyl

ditiopirophosphate

- - - 0.0022

Tucotion - - - 0.0017

Description: - = Not detected; <LD = below the Detection Limit

Source: Integrated Laboratory of Indonesian Agricultural Environment Research Institute at Jakenan,

Pati, Centra Jawa (2012)

Page 110: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

91

Taufik et al. (2003) reported that, watersponds and irrigation channels in Central

Java have been polluted by pesticides originatingof agricultural waste. The negative effects

of pesticide use have been widely reported invarious studies. The impacts can be ecosystem

instability, residualson yields and processed materials, environmental pollution and

poisoning and even deathin humans (Wahyuni, 2010). According to the results of his

research Nugroho et al. (2015) in Mlonggo Waters, Jepara reported that the detected

remain residues of organophosphate pesticide was chlorpyrifos. Chlorpyrifos concentration

are 0,0027; 0,0028; 0,0024; 0,0023 and 0,0020 ppm. Concentration of profenofos, diazinon,

fenitotrion, malathion, metidathion, and parathion in limit of detection.

CONCLUSION

1. The introduction of border of 2 rows of corn had positive effect on total dissolved

soluble solid and watermelon production. Border of 4 rows of corn and 2 rows in center

(BT) gave negative effect on weight of fruit growth, total dissolved solid and

production.

2. Border of 2 rows of corn gave positive effect in suppressing organophosphate pesticide

residue till their concentration of undetectable or lower than limited detection (<LD) in

watermelon.

3. The assessment in different locations or agro-ecosystems should be required to result

confident and more accountable study in supporting food security and safety.

SUGGESTION

To prove widely that assessment results are still required in some seasons or years to

be replicated to different locations or agro-ecosystems so that their results will be more

accountable in maintaining food security

REFERENCES

Bhanti, M., and A. Taneja. 2007. Contamination of vegetables of different seasons with

organophosphorous pesticides and related health risk assessment in Northern India.

Chemosphere69: 63-68.http://dx.doi.org/10.1016/j.chemosphere.2017.04.014

Dadang. 2005. Strategi pengurangan residu pestisida pada budidaya tanaman sayuran.

Prosiding Simposium Nasional Ketahanan dan Keamanan Pangan Pada era

Otonom dan Globalisasi. Bogor. pp. 54-61.

Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura Departemen Pertanian RI. 1997. Keputusan

Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian tentang Batas Maksimum Residu

Pestisida pada Hasil Pertanian, Departemen Pertanian RI, Jakarta.

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Ekadewi, P. 2007. Bioindikator Pencemaran Insektisida Organofosfat pada Tanah

Pertanian. Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan

Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Heller, J.L. 2010. Insecticide Poisoning. Medline Plus . Diakses pada 6 Juli 2011.

Isnawati, A. 2005. Penetapan kadar residu organoklorin dan taksiran resiko kesehatan

masyarakat terhadap residu pestisida organoklorin pada 10 komoditi pangan,Juornal

15(2): 51-52.

Kalie, M.B. 1993. Bertanam Semangka. Panebar Swadaya. Jakarta. 72p.

Page 111: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

92

Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor

881/MENKES/SKB/VIII/1996 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida pada

Hasil Pertanian.

http://perundangan.deptan.go.id/admin/km_terkait/KepmenTerkait-711-96.pdf. Sitasi

tanggal 15 Maret 2012.

Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor

881/MENKES/SKB/VIII/1996 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida pada

Hasil Pertanian.

http://perundangan.deptan.go.id/admin/km_terkait/KepmenTerkait-711-96.pdf. Sitasi

tanggal 15 Maret 2012.

Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor

881/MENKES/SKB/VIII/1996 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida pada

Hasil Pertanian. http://perundangan.deptan.go.id/admin/km_terkait/KepmenTerkait-

711-96.pdf. Sitasi tanggal 15 Maret 2012.

Machfudz. 1997. Penggunaan bahan pupuk majemuk organik (OCF) pada lahan usaha tani

tembakau Madura. Edisi Khusus Balitkabi. No. 10: 256-264

Nugrohati, S dan K. Untung. 1986. Pestisida dalam Sayuran. Prosiding Seminar Kemanan

Pangan dalam Pengolahan dan Penyajian, PAU Pangan dan Gizi, UGM, 1 – 3

September 1986.

Nugroho, B.Y., H. Sri Yulina Wulandari, dan A. Ridlo. 2015. Analysis of organophosphate

pesticide residue in Mlonggo Waters, Jepara. Jurnal Oseanografi 4(3): 541-544

Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose. PP 541-544

Nuryanti, I., N. Supriyanto, dan A. Nugroho. 1998. Pengaruh macam dan takaran pupuk

kandang terhadap pertumbuhan dan hasil bawang daun (Allium fisstulossum) di

lahan pantai. Agr. UMY. VI(2): 23 – 27.

Oginawati, K. 2006. Analisis Risiko Pengguna Insektisida Organofosfat terhadap

Kesehatan Petani Penyemprot. Disertasi, Institut Teknologi Bandung.

Pasek. 2015. Analisis Residu Pestisida Organofosfat dalam Kubis (Brassica Oleracea) dan

Tomat (Lycopersicum Esculentum Mill). Tesis. Fakultas Pertanian Universitas

Udayana, Bali.

Permatasari, E. 2007. Indikator Pencemaran Insektisida Organofosfat pada Tanah

Pertanian. Tesis. JBTITBPP/2011-05-1117:25:31. Environmental Engineering Study

Programme 2007-09-25

Prajnanta, F. 2001. Kiat Sukses Bertanam Semangka Berbiji. Penebar Swadaya. Jakarta.

70p.

Raihan, H.S., dan Nurtitayani. 2003. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap N dan P-

tersedia tanah serta hasil beberapa varietas jagung di lahan pasang surut sulfat

masam. Agrivita 23(1): 13-19.

Sakung, J. 2004. Kadar Residu Pestisida Golongan Organofosfat pada Beberapa Jenis

Sayuran. JurnalIlmiah Santina1: 520-525.

Taufik, I., S. Eddy, dan K. Nirmala. 2009. The effect of endosulfan bioaccumulation on the

ground of the camp. Linn JAI. 8(1): 59-65.

Wahyuni, S. 2010. Perilaku petani bawang merah dalam penggunaan dan penanganan

pestisida serta dampaknya terhadap lingkungan. Universitas Diponegoro, Semarang.

.

Page 112: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

93

APLIKASI ANTIFIDAN EKSTRAK SAMBILOTO (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES) DAN INSEKTISIDA SINTETIS DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO PADA PADI

Wasis Senoaji1, R. Heru Praptana2, Ahmad Muliadi1, dan Any Mugiasih1 1 Loka Penelitian Penyakit Tungro, Jl. Bulo No 101, Lanrang Sulawesi Selatan; Email: [email protected] 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Jl Tentara Pelajar No 1, Bogor;

Email: [email protected]

Abstrak.Pengendalian hama terpadu (PHT) mengutamakan peran pengendalian secara

alami, dan penggunaan pestisida secara rasional berdasarkan hasil pengamatan. Ekstrak

sambiloto mempunyai sifat antifidan terhadap wereng hijau dan mempengaruhi tingkat

penularan virus tungro. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh bahan aktif antifidan

terhadap populasi wereng hijau dan insidensi tungro, kemampuan kendali dan karakter

antifidan terhadap individu wereng hijau dan penularan tungro. Percobaan dilakukan di

rumah kaca dan kebun percobaan Loka Penelitian Penyakit Tungro pada musim hujan

(MH) 2015 (Januari- April) dan musim kering (MK) 2015 (Juni-September). Rancangan

percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan

yang diulang 3 kali. Parameter yang diamati adalah populasi wereng hijau dan persentase

insidensi tungro. Persentase kemampuan kendali dari 8 bahan aktif antifidan mengunakan

metode dan rumus Abbott, dan dilakukan di rumah kaca. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kepadatan populasi wereng hijau pada pola tanam padi-padi-bera yang dilakukan

secara serempak cenderung rendah, dan aplikasi insektisida tidak diperlukan. Aplikasi

insektisida di persemaian dengan cara kerja sistemik dan antifidan mampu mengurangi

penularan tungro, sehingga infeksi sekunder tidak terjadi. Fase kritis penularan tungro pada

persemaian, 2, dan 4 MST, diperlukan aplikasi insektisida dengan tujuan preventif. Masa

kritis penularan tungro oleh vektor wereng hijau perlu dimonitoring sejak keberadaan di

persemaian, 2, dan 4 MST. Aplikasi insektisida dalam pengendalian tungro dapat dilakukan

saat kepadatan populasi wereng hijau ditemukan lebih dari 2 ekor per 10 ayunan ganda

dengan mengunakan jaring (sweepnet).

Kata kunci:Ekstrak sambiloto, insektisida sintetis, wereng hijau, penularan tungro.

Abstract.Integrated pest management (IPM) prioritizes the role of natural control, and

rational use of pesticides based on observations. Sambiloto extract has antifeedant

properties against green leafhoppers and affects the level of tungro virus transmission. The

purpose of this research is to determine the effect of antifeedan active ingredient on green

leafhoppers population and tungro incidence, control ability and antifeedant character to

individual green leafhoppers and tungro transmission. The experiments were conducted in

greenhouses and experimental field of Tungro Disease Research Station in the rainy season

(January-April) and dry season (June-September) 2015. The experimental design used was

a randomized block design (RCBD) with 8 treatments repeated 3 times. The parameters

observed were population of green leafhopper, and percentage of tungro incidence.

Percentage control capability of 8 antifeedant active ingredients was observed using

Abbott's method and formula, which was performed in a greenhouse. The results showed

that the density of green leafhoppers population on rice-rice- cultivation pattern was

simultaneously low, and insecticide application was not needed. The application of

insecticides in the seedbed by systemic and antifeedant could reduce tungro transmission,

9

Page 113: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

94

so secondary infection was not occured. Critical phase of tungro transmission in seedbed, 2,

and 4 weeks after transplanting (WAT), application of insecticides with preventive

purposes was needed. The critical period of tungro transmission by vector of green

leafhopper should be monitored since its existence in the seedbed, 2, and 4 WAT.

Application of insecticides in tungro control can be done when the population density of

green leafhoppers found more than 2 individuals per 10 double swing by using the net

(sweepnet).

Keywords: Sambiloto extract, synthetic insecticide, green leafhoppers, tungro transmission.

PENDAHULUAN

Dampak penggunaan insektisida secara intensif dapat menggangu keseimbangan

ekosistem, bahkan pada saat tertentu dapat menimbulkan potensi ledakan atau outbreak

hama sekunder. Potensi outbreak hama sekunder disebabkan oleh dampak insektisida

terhadap musuh alami yang merupakan bagian dari tingkat rantai makanan di dalam

ekosistem dengan mekanisme keracunan kontak akut (lethal) maupun keracunan residual

(sub-lethal). Misalnya pada parasitoid Anagrusnilaparvatae, yang merupakan musuh alami

utama wereng cokelat Nilaparvata lugens pada tanaman padi dapat mengalami dampak

keracunan kontak akut dan residual terhadap 14 bahan aktif insektisida (Wang et al., 2008).

Dampak penggunaan insektisida seiring dengan berjalannya waktu dapat menimbulkan

polusi insektisida kimia (Wan et al., 2015). Masalah polusi insektisida kimia yang serius

mendorong kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Di China, telah ditetapkan indeks

indikator ekologi menggunakan metode integrasi R model dan Shannon entropy untuk

membatasi penggunaan insektisida pada ekosistem tertentu di suatu wilayah.

Konsekuensi pengendalian hama secara intensif dengan insektisida, selain

menimbulkan outbreak hama sekunder, sekaligus menimbulkan masalah resistensi

insektisida pada organisme tertentu. Berdasarkan studi sejak tahun 1910 hingga 2010, telah

terjadi peningkatan jumlah spesies resisten, 550 spesies serangga hama dinyatakan telah

resisten terhadap satu bahkan beberapa bahan aktif insektisida yang beredar (Sparks, 2013).

Insecticide Resistance Action Committee (IRAC) telah mengklasifikasikan kelas bahan

aktif yang telah beredar, dan terdapat 25 bentuk cara kerja (modes of action) suatu bahan

aktif insektisida dari 55 kelas/group bahan aktif. Pengembangan berbagai macam cara kerja

bahan aktif dimaksudkan untuk mengelola resistensi insektisida dengan mekanisme

alternatif rotasi bahan aktif yang didasarkan pada cara kerja yang berbeda (Sparks dan Ralf,

2015). Meskipun pengendalian hama dapat efektif melalui pengelolaan bahan aktif, resiko

dampak lingkungan masih dapat terjadi, dan diperlukan upaya pemahaman secara intensif

tentang pengelolaan bahan aktif insektisida pada wilayah ekosistem tertentu.Pengendalian

hama terpadu (PHT) yang terintegrasi dalam pengelolaan tanaman terpadu (PTT)

merupakan upaya pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan mengacu pada

budidaya tanaman sehat dalam peningkatan produksi padi. PHT mengutamakan peran

pengendalian secara alami dan penggunaan pestisida secara rasional berdasarkan pada hasil

pengamatan (Widiarta et al., 2006). Modul praktik PHT yang dikelola dengan

mengkombinasikan beberapa taktik komponen pengendalian baik secara kultur teknis,

biologi, dan kimia yang didasarkan dari studi kebiasaan budidaya secara spesifik lokasi

diterapkan dalam upaya menekan populasi hama dan penyakit dibawah ambang ekonomi

Page 114: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

95

(Ahuja et al., 2015). Kombinasi taktik tersebut dinilai lebih baik dalam menekan hama

secara berkelanjutan dibandingkan taktik secara tunggal mengunakan pestisida, meskipun

banyak penelitian menunjukkan antara insektisida dan pemanfaatan peran musuh alami

adalah komponen pengendalian yang tidak saling sinergis (Roubos et al., 2014).

Contoh penerapan PHT melalui program diseminasi yaitu sekolah lapang pada

petani bawang merah di Filipina yang memberikan dampak mengurangi pengeluaran biaya

insektisida lebih rendah dibandingkan pada kelompok petani yang belum mendapatkan

program pelatihan sekolah lapang, meskipun dampak mengurangi pengeluaran biaya

insektisida belum jelas diketahui (Yorobe et al., 2011). Indikasi mengurangi biaya

pengeluaran untuk insektisida dapat dipahami mengurangi intensitas aplikasi insektisida

yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan, mengurangi volume paparan bahan aktif di

lingkungan, serta penggunaan insektisida selektif. PHT pada padi yang teritegrasi dalam

PTT dengan teknis penggunaan bahan kimia secara rasional dapat meningkatkan

kelimpahan musuh alami terutama predator. Sebaliknya, penggunaan bahan kimia (pupuk

dan pestisida) yang intensif dalam budidaya tanaman dapat menekan populasi musuh alami

(Widiarta et al., 2006). Penggunaan insektisida secara rasional adalah mengaplikasikan

insektisida pada saat fase kritis terjadi serangan hama di persemaian, dan aplikasi di

pertanaman berdasarkan tingkat populasi hama atau meminimalkan intensitas penggunaan

insektisida.

Setiap komponen pengendalian hama dan penyakit padi perlu didasarkan pada

eko-biologi hama dan penyakit. Kejadian penyakit tungro pada padi memiliki mekanisme

interaksi yang unik dan kompleks. Penyakit tungro disebabkan oleh interaksi dua virus

yang berbeda yaitu Rice tungrobaciliform virus (RTBV) dan Rice tungro spherical virus

(RTSV) yang ditularkan oleh wereng hijau. Wereng hijau merupakan vektor virus tungro

yang memiliki karakter berbeda-beda tergantung pada jenis dan ekosistem tertentu (koloni)

dan mempengaruhi kejadian tungro di lapangan (Azzam dan Chancellor, 2002). Hal ini

yang menjadi pertimbangan dalam menentukan strategi pengendaliannya.

Pengendalian tungro melalui PHT yang terintegrasi dalam PTT telah dilakukan

sebagai upaya pengendalian secara efektif dan berkelanjutan. Beberapa komponen-

komponen dalam PTT di antaranya: pengunaan varietas tahan (Praptana dan Muliadi, 2013;

Ladja dan Widiarta, 2012; Manzila et al., 2013), penerapan waktu tanam tepat

(Burhanuddin et al., 2006), strategi dalam teknik budidaya (Widiarta, 2005), penggunaan

insektisida nabati (Kusdiaman dan Widiarta, 2008), dan pengelolaan pemupukan (Senoaji

dan Praptana, 2013). Integrasi komponen-komponen pengendalian tersebut dikelola secara

spesifik lokasi di daerah endemis. Meski demikian, penerapan pengendalian tungro masih

bersinggungan dengan pengendalian secara kimiawi yang dilakukan secara intensif.

Pemahaman petani bahwa pengendalian dengan kimia lebih nyata secara visual pada

pertanaman. Alternatif bahan aktif nabati yang berasal dari ekstrak sambiloto memiliki cara

kerja unik mempengaruhi wereng hijau sebagai vektor penyakit tungro yang dapat

disinergikan dalam upaya pengendalian tungro terpadu. Tujuan penelitian ini adalah

mempelajari beberapa teknik pengendalian tungro dengan aplikasi insektisida nabati dan

insektisida sintetis pada fase kritis penularan tungro saat periode fluktuasi populasi wereng

hijau di pertanaman pada musim yang berbeda.

Page 115: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

96

METODOLOGI

Penyiapan Ekstrak Sambiloto dengan Metode Maserasi

Daun dan batang sambiloto yang telah kering (simplisia) dihancurkan dengan cara

diblender dalam kondisi kering. Hasil potongan diblender lagi dengan menambahkan

metanol sebagai pelarut dengan perbandingan 140 g sambiloto :100 ml metanol. Untuk

mendapatkan ekstrak sambiloto atau kandungan zat aktif lebih tinggi ditambahkan lagi

200ml metanol dan didiamkan selama 24 jam. Hasil rendaman disaring untuk menghasilkan

maserat. Maserat diuapkan menggunakan penguap vakum (evaporator) hingga diperoleh

ekstrak kental atau bentuk pasta (Rivai et al., 2014).

Aplikasi di Lapangan

Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Loka Penelitian Penyakit Tungro

(Lolittungro) pada MH 2015 (Januari- April) dan MK 2015 (Juni-September). Varietas

yang digunakan adalah Ciherang. Pestisida yang digunakan adalah insektisida nabati dari

ekstrak sambiloto berbahan aktif andrografolid, dan insektisida sintetis dengan bahan aktif

karbofuran dan tiametoksam. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak

kelompok (RAK) terdiri dari 8 perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan terdiri

atas A) aplikasi karbofuran pada persemaian dan di pertanaman bersamaan dengan

pemupukan; B) aplikasi karbofuran pada persemaian dan tiametoksam di pertanaman pada

2, 4, 6 dan 8 MST; C) aplikasi tiametoksam pada persemaian dan pertanaman pada 2, 4, 6

dan 8 MST; D) aplikasi karbofuran pada persemaian dan tiametoksam di pertanaman pada

2, 4, 6 dan 8 MST berdasarkan kepadatan populasi wereng hijau; E) aplikasi tiametoksam

pada persemaian dan pertanaman pada 2, 4, 6 dan 8 MST berdasarkan kepadatan populasi

wereng hijau; F) aplikasi karbofuran pada persemaian dan tiametoksam di pertanaman

berdasarkan kepadatan populasi wereng hijau serta eradikasi rumpun bergejala tungro dan

G) aplikasi ekstrak sambiloto di persemaian dan pertanaman pada 2, 4, 6 dan 8 MST; H)

aplikasi tanpa perlakuan karbofuran, tiametoksam, eradikasi rumpun bergejala, ekstrak

sambiloto (kontrol). Petak penelitian berukuran 10m x 10m dengan jarak antar petak 0,5m.

Persemaian dilakukan di luar petak penelitian. Waktu penanaman dilakukan 45 hari

setelah waktu tanam petani. Bibit padi berumur 20 hari dipindah tanam pada setiap petak

penelitian dengan sistem tanam legowo 4:1. Aplikasi karbofuran dilakukan sehari sebelum

hambur benih. Perlakuan tiametoksam di persemaian dilakukan setelah bibit berumur 10

hari setelah semai (HSS). Perlakuan karbofuran di pertanaman bersamaan dengan

pemupukan sebanyak 2 kali pada umur 20 dan 40 HST. Dosis insektisida yang digunakan

sesuai dengan anjuran masing-masing yaitu andrografolid 1000 ppm, karbofuran 20 kg/ha,

dan tiametoksam 200 g/ha. Dosis pupuk yang digunakan adalah 250 kg/ha urea dan 250

kg/ha NPK 15:15:15. Pengamatan populasi wereng hijau dilakukan sehari sebelum 2, 4, 6

dan 8 MST sebagai dasar aplikasi tiametoksam. Aplikasi tiametoksam dilakukan jika

populasi wereng hijau 2 ekor per rumpun dan terdapat 2% rumpun bergejala tungro pada 2

dan 4 MST serta 5 ekor wereng hijau per rumpun dan terdapat 8% rumpun bergejala tungro

pada 6 dan 8 MST. Pengamatan persentase insidensi tungro di semua petak penelitian pada

2, 4, 6 dan 8 MST kecuali pada perlakuan F. Eradikasi rumpun bergejala dilakukan dengan

cara dicabut dan dibenamkan dalam tanah. Pemeliharaan pertanaman dilakukan dengan

mengatur ketersediaan air dan penyiangan gulma.

Page 116: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

97

Perbanyakan Wereng Hijau

Koloni wereng hijau yang digunakan berasal dari Lanrang (Sulsel). Sepuluh pasang

wereng hijau dewasa yang telah ditangkap dengan jaring serangga dari lapangan dimasukan

dalam kotak kurungan pemeliharaan dengan ukuran 60 cm x 60 cm x 80 cm yang telah ada

bibit padi umur 2 minggu dalam wadah. Bibit varietas Thaicung Native 1 (TN1) digunakan

sebagai pakan dan tempat peletakan telur. Hal yang sama dilakukan untuk beberapa

kurungan lagi untuk memenuhi jumlah individu wereng hijau yang dibutuhkan.

Penambahan dan penggantian bibit secara berkala dilakukan selama pemeliharaan.

Pemeliharaan dilakukan dengan menjaga kelembaban dengan cara membasahi kurungan

dan lingkungan di rumah kaca secara rutin. Perkiraan sekitar 30-40 hari kemudian individu

wereng hijau siap digunakan untuk pengujian.

Pengujian Kemampuan Kendali dan Sifat Bahan Aktif

Kegiatan dilakukan di rumah kaca dengan menguji kemampuan kendali dan sifat

bahan aktif terhadap wereng hijau dan penularan tungro. Rancangan yang digunakan adalah

RAL dengan 8 perlakuan bahan aktif dari golongan yang berbeda dan diulang sebanyak 3

kali. 8 perlakuan tersebut yaitu: karbosulfan (karbamat), klorpirifos (organofosfat),

imidakloprid (neonikotinoid), alfa-sipermetrin (piretroid), fipronil (phenylpyrazoles),

dimehipo (ungroup), sufloxaflor (sulfoximines), andrografolid (nabati), tanpa bahan aktif

(kontrol). Konsentrasi larutan uji yang digunakan adalah konversi dari dosis anjuran

masing-masing bahan aktif.

Sebanyak 10 tanaman umur 14 hari dalam wadah khusus (pot) dicelupkan posisi

terbalik secara penuh hingga permukaan tanah pada larutan sesuai perlakuan selama 10

detik. Selanjutnya tanaman dikeringkan selama 15 menit, kemudian tanaman disungkup

dengan tabung transparan. Larutan 0,03% non-ionic water (ajuvan/perekat/perata) dalam air

digunakan sebagai kontrol. Wereng hijau yang digunakan adalah nimfa instar 4 atau imago.

Setiap pot yang telah diberi perlakuan insektisida diinfestasikan 10 individu wereng hijau

viruliferous (mengandung virus tungro). Dua hari sebelum infestasi, wereng hijau telah

diberi makan (akuisisi) untuk mengambil virus tungro dari sumber inokulum (tanaman

sakit).

Parameter yang dimati adalah jumlah wereng hijau mati dan hidup. Indikasi wereng

hijau mati adalah tidak bergerak (posisi terlentang) atau gemetaran (pergerakan tidak

normal). Sedangkan wereng hijau hidup dicirikan pergerakan normal dan terjadi ganti kulit.

Durasi pengamatan koreksi kematian diamati pada 1, 2, 6, 12, 24, 48 Jam setelah

infestasi.Persentase kematian wereng hijau dinyatakan dalam rumus Abbott:

% koreksi kematian = % kematian pada perlakuan - % kematian pada kontrol

100% - % kematian pada kontrol x 100

Setelah pengamatan koreksi kematian wereng hijau, tanaman dipindah tanam pada

media tanah yang lebih besar untuk mengetahui kemampuan penularan tungro. Data

persentase penularan tungro pada setiap perlakuan diperoleh dengan rumus:

Page 117: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

98

% Penularan Tungro = jumlah tanaman bergejala tungro

jumlah keseluruhan tanamanx 100

Data-data yang diperoleh dianalisis sidik ragam. Apabila antar perlakuan terindikasi

beda nyata, maka dilanjutkan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%. Data dianalisis

menggunakan bantuan program SAS 9.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh terhadap Populasi Wereng Hijau

Pengaruh aplikasi ekstrak sambiloto terhadap populasi wereng hijau menunjukkan

adanya beda nyata dibandingkan dengan aplikasi insektisida sintetis pada 8 MST di MH

dan 4 MST di MK (Tabel 1). Populasi wereng hijau yang diaplikasi dengan insektisida

sintetis (A, B, C) dengan berbagai cara aplikasi dan bahan aktif pada masa kritis penularan

di persemaian dan di pertanaman pada 2, 4, 6, 8 MST secara signifikan lebih rendah

dibanding dengan aplikasi ekstrak sambiloto (G). Populasi wereng hijau paling rendah

ditunjukkan pada perlakuan insektisida sintetis karbofuran pada persemaian dan

tiametoksam di pertanaman pada 2, 4, 6 dan 8 MST (B) pada MH, demikian juga pada

aplikasi karbofuran pada persemaian dan di pertanaman bersamaan dengan pemupukan 20

HST (A) pada MK. Insektisida sintetis ini mempengaruhi populasi wereng hijau terkait sifat

efikasi atau daya kendali bahan aktif karbofuran dan tiametoksamyang bersifat insektisidal

(Saglam et al., 2013). Berbeda dengan ekstrak sambiloto, cara kerja bahan aktif

andrografolid bersifat antifidan (Kusdiaman dan Widiarta, 2008).

Tabel 1. Pengaruh perlakuan insektisida nabati dan sintetis yang diaplikasikan saat tahap

persemaian, 2, 4, 6, 8 MST terhadap populasi wereng hijau pada MH dan MK

2015

Efikasi di lapangan insektisida sintetis terhadap populasi wereng hijau menunjukkan

hasil yang signifikan selama masa kritis penularan tungro pada saat persemaian, 2, 4, 6, 8

MST hanya terjadi pada 8 MST di MH dan 4 MST di MK. Hal ini disebabkan oleh karakter

wereng hijau yang mudah berpindah-pindah dan pola migrasi yang cukup tinggi, sehingga

fluktuasi populasi terjadi di lapangan (Widiarta, 2005). Fluktuasi populasi wereng hijau

pada MH relatif stabil, meskipun tingkat kepadatannya rendah dibanding pada MK.

A 6,7 a 2,0 a 2,3 a 2,3 ab 1,7 a 7,7 b 7,3 a 12,3 a

B 7,3 a 1,3 a 1,3 a 0,7 b 2,7 a 10,7 ab 8,0 a 10,0 a

C 5,0 a 1,3 a 4,7 a 1,7 ab 7,7 a 20,3 a 8,0 a 8,7 a

D 5,0 a 1,7 a 4,0 a 4,0 a 5,7 a 17,3 ab 10,7 a 7,3 a

E 6,7 a 1,0 a 3,3 a 4,0 a 2,7 a 13,0 ab 11,0 a 10,0 a

F 6,0 a 3,3 a 5,0 a 3,3 a 5,3 a 21,0 a 11,3 a 14,3 a

G 6,3 a 2,3 a 7,3 a 3,7 a 6,0 a 12,7 ab 9,0 a 11,7 a

H 5,0 a 3,0 a 6,7 a 4,0 a 3,7 a 13,3 ab 11,7 a 10,7 a

BNT 0,05

KK (%)

Ket: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05 ; tn (tidak berbeda nyata)

25,27

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST

0,09

49,27

Populasi wereng hijau

MH 2015 MK 2015Perlakuan

tn tn tn tn 0,33 tn tn

Page 118: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

99

Sedangkan fluktuasi populasi wereng hijau pada MK mengalami peningkatan atau terjadi

kurva puncak yang curam, artinya terdapat kepadatan populasi yang sangat tinggi pada

waktu tertentu. Tahun 2013, fluktuasi keberadaan wereng hijau dewasa dikategorikan stabil

terjadi pada Januari hingga awal Mei dengan rata-rata 20 ekor per 10 ayunan ganda. Awal

Juli populasi mulai meningkat hingga puncak populasi pada awal Agustus mencapai 190

ekor, dan berangsur-angsur menurun hingga awal September (Senoaji, 2014).

Pengaruh terhadap Penularan Tungro

Penularan tungro terjadi apabila ada interaksi antara vektor yaitu wereng hijau

dengan virus tungro yang terdapat pada tanaman terinfeksi (tanaman sakit). Vektor telah

memperoleh virus dari tanaman terinfeksi, kemudian berpindah dan menghisap tanaman

sehat tanpa periode laten (Calleja, 2010). Gejala penularan tungro mulai muncul pada 4

MST baik di MH maupun MK. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi terjadi diperkirakan

sekitar 1-2 MST. Tersedianya tanaman terinfeksi pada 4 MST akan mempengaruhi tingkat

penularan sekunder yang terjadi pada minggu-minggu berikutnya. Jumlah rumpun tanaman

terinfeksi yang menunjukkan gejala penularan tungro sejak 4 MST mengalami peningkatan

pada 6 dan 8 MST di MH, sedangkan di MK tidak berkembang (Tabel 2). Proses penularan

tungro dipengaruhi oleh pola fluktuasi populasi wereng hijau dan kemampuan individu

wereng hijau memperoleh virus (viruliferous), sehingga infeksi sekunder dapat terjadi

(Hibino dan Cabauatan, 1986).

Tabel 2. Jumlah rumpun terinfeksi tungro pada perlakuan aplikasi insektisida di MH dan

MK 2015

Gejala penularan tungro pada 4 MST berbeda nyata antar perlakuan. Aplikasi

insektisida sintetis pada waktu di persemaian dilanjutkan pada 2 MST (B, C) berbeda nyata

lebih rendah (0,7 rumpun), meskipun tidak berbeda nyata dengan tanpa perlakuan dan

aplikasi ekstrak sambiloto. Terkait dengan populasi wereng hijau terhadap penularan

tungro, populasi wereng hijau pada 2 dan 4 MST tidak berbeda nyata antar perlakuan,

namun terdapat beda nyata pada kejadian tungro pada 4 MST. Hal ini disebabkan oleh

aktivitas individu wereng hijau penular aktif (active transmitters) (Supriyadi dan Wijayanti,

2014). Pengaruh aplikasi insektisida terhadap wereng hijau ditunjukkan pada rumpun

terinfeksi tungro pada 8 MST di MH. Jumlah rumpun terinfeksi tungro paling rendah

hingga tinggi berturut-turut pada perlakuan B, G, C, H, F, E, D, dan A. Aplikasi ekstrak

8 MST

A 0 a 2,3 ab 3,0 a 29,0 a 0 a 0,3 a 0,3 a 0,3 a

B 0 a 0,7 b 8,0 a 3,7 b 0 a 0,3 a 0,3 a 0,3 a

C 0 a 0,7 b 3,7 a 12,3 ab 0 a 1,0 a 1,0 a 1,0 a

D 0 a 0,7 b 5,3 a 20,0 a 0 a 0,3 a 0,3 a 0,3 a

E 0 a 2,3 ab 5,7 a 17,0 a 0 a 0,3 a 0,3 a 0,3 a

F 0 a 4,7 a 4,7 a 16,3 ab 0 a 0,7 a 0,7 a 0,7 a

G 0 a 1,7 b 5,3 a 9,0 ab 0 a 0,7 a 0,7 a 0,7 a

H 0 a 2,0 b 5,7 a 12,0 ab 0 a 0,3 a 0,3 a 0,3 a

BNT 0,05

KK (%)

angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05; tn (tidak berbeda nyata);

MST (minggu setelah tanam)

tn tn0,13

31,52

tn tntn 0,55

22,53

tn

Perlakuan

Jumlah rumpun terinfeksi tungro

MH 2015 MK 2015

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 2 MST 4 MST 6 MST

Page 119: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

100

sambiloto (G) meskipun tidak berbeda nyata dengan tanpa aplikasi insektisida (H), namun

jumlah rumpun terinfeksinya lebih rendah.

Daya Kendali Sifat Bahan Aktif Insektisida

Aplikasi ekstrak sambiloto mempengaruhi populasi wereng hijau cenderung sama

dengan perlakuan tanpa diaplikasikan insektisida, baik di MH maupun MK. Hal ini terkait

dengan sifat bahan aktif andrografolid. Daya kendali sifat antifidan dari bahan aktif

andrografolid terhadap individu wereng hijau di laboratorium menunjukkan bahwa

kematian individu wereng hijau paling rendah dibandingkan dengan bahan aktif dari

beberapa insektisida sintetis (Gambar 1). Selama 6 tahap pengamatan dalam 48 jam,

kematian individu wereng hijau yang disebabkan oleh paparan bahan aktif andrografolid

sebesar 1000 ppm hanya 13,3%. Secara umum cara kerja antifidan adalah menghambat

rangsangan makan sebagai akibat terganggunya sistem saraf dan sistem pencernaan

serangga, sehingga individu serangga mengkonsumsi makanan dalam jumlah lebih sedikit,

namun tidak mempengaruhi mortalitas (Hermawan et al., 2010; Balfas dan Mahrita, 2009).

Produk pestisida berasal dari tumbuhan efektif dalam bentuk antifidan, repelen/penolak,

dan hormon pertumbuhan dengan sifat kimia mudah terurai di alam (biodegradable) dan

tidak beracun untuk organisme non-target (Saxena et al., 2014). Ekstrak terpurifikasi

sambiloto mengandung senyawa golongan terpenoid dan flavonoid (Warditiani et al.,

2014). Terpenoid memiliki efek menolak pada kebiasaan makan hama penghisap Aphids

dalam uji preferensi di laboratorium (Gupta et al., 2017).

Gambar 1.Kemampuan kendali beberapa bahan aktif insektisida terhadap populasi wereng

hijau di laboratorium

Dibandingkan dengan sifat insektisidal yang dimiliki pada beberapa insektisida

sintetis terhadap populasi wereng hijau ditunjukkan pada pengujian daya kendali di

laboratorium, bahwa insektisida dengan daya kendali tinggi (90%) dan daya knockdown

tinggi (kurang dari 1 jam), yaitu bahan aktif sulfoxaflor (sulfoximines) dan imidakloprid

(neonikotinoid). Hal ini terkait dengan perkembangan insektisida sintetis setelah generasi

piretroid, yaitu termasuk golongan neonikotinoid dan sulfoximines memiliki profil yang

lebih selektif. Resiko toksikologi terhadap mamalia sangat rendah, namun efikasinya

Page 120: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

101

meningkat terhadap hama sasaran (Sparks, 2013). Sulfoxaflor menunjukkan tingkat efikasi

yang tinggi terhadap berbagai hama dengan tipe menusuk-menghisap (Sparks et al., 2013).

Tabel 3. Pengaruh beberapa insektisida terhadap penularan tungro di laboratorium

Pengaruh bahan aktif insektisida terhadap persentase penularan tungro di rumah

kaca menunjukkan bahwa bahan aktif andrografolid 1000 ppm mampu menurunkan

persentase penularan sebesar 8,7%. Meskipun ekstrak sambiloto bukan yang terbaik dari

beberapa insektisida yang diuji terhadap penularan tungro dan wereng hijau sebagai vektor

virus tungro, namun pertimbangan prioritas yang lebih besar, yaitu menciptakan ekosistem

sehat sebagai upaya pengelolaan hama yang berkelanjutan. Maka ekstrak sambiloto dapat

menjadi komponen dalam pengendalian tungro terpadu.

KESIMPULAN

1. Kepadatan populasi wereng hijau pada pola tanam padi-padi-bera yang dilakukan secara

serempak cenderung rendah, dan aplikasi insektisida tidak diperlukan.

2. Aplikasi insektisida di persemaian dengan cara kerja sistemik dan antifidan mampu

mengurangi penularan tungro, sehingga infeksi sekunder tidak terjadi.

3. Pada fase kritis penularan tungro pada persemaian, 2 dan 4 MST diperlukan aplikasi

insektisida dengan tujuan preventif.

4. Masa kritis penularan tungro oleh vektor wereng hijau perlu dimonitoring sejak

keberadaan di persemaian, 2 dan 4 MST. Aplikasi insektisida dalam pengendalian

tungro dapat dilakukan saat kepadatan populasi wereng hijau ditemukan lebih dari 2

ekor per 10 ayunan ganda menggunakan jaring sweepnet.

Perlakuan insektisida

Karbosulfan 2ml/l 76,67 ab

klorpiripos 2ml/l 76,67 ab

Imidakloprid 0,5ml/l 66,67 ab

Alfa-sipermetrin 1ml/l 83,33 a

Fipronil 0,06g/l 73,33 ab

Dimehipo 3ml/l 73,33 ab

Sulfoxaflor 0,03g/l 63,33 b

Adrografolid 1000ppm 70,0 ab

Tanpa insektisida 76,67 ab

BNT 0,05

KK

angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05

0,47

14,19

0

4,3

4,3

17,4

8,7

tingkat penurunan

penularan (%) Penularan tungro (%)

0

0

13,0

Page 121: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

102

DAFTAR PUSTAKA

Ahuja, D.B., U.R. Ahuja, S.K. Singh, and N. Singh. 2015. Comparison of integrated pest

management approaches and conventional (non-IPM) practices in late-winter-season

cauliflower in Northern India. Crop Protection 78: 232-238.

Azzam, O., and T.C.B. Chancellor. 2002. The biology, epidemiology, and management of

rice tungro disease. Plant Disease 86: 88-100.

Balfas, R., and M. Willis. 2009. Pengaruh ekstrak tanaman obat terhadap mortalitas dan

kelangsungan hidup Spodopteralitura F. (Lepidoptera, Noctuidae). Bul. Littro 20(2):

148-156.

Burhanuddin, I.N. Widiarta, dan A. Hasanuddin. 2006. Penyempurnaan pengendalian

terpadu penyakit tungro dengan strategi menghidari infeksi dan pergiliran varietas

tahan. J. HPT Tropika.6: 92 – 99.

Calleja, D.O. 2010. Water shortage due to El Niño breeds‘tungro’ in rice plantations.

http://balita.ph/2010/02/17/tungro-rice-disease-alert-up-in-bicol/. Diunduh 1

September 2017.

Choi. I.R., P.Q. Cabauatan, and R.C. Cabunagan. 2009. Rice tungro disease. Rice Fact

Sheet. IRRI, Sep. 2009: 1-4.

Gupta, G., U. Agarwal, H. Kaur, N.R. Kumar, and P. Gupta. 2017. Aphicidal effects of

terpenoids present in citrus limon on Macrosiphumroseiformis and two generalist

insect predators. Journal of Asia-Pacific Entomology 20: 1087-1095.

Hermawan, W., E.S. Erawan, dan C. Hadiansyah. 2010. Efek AntifidanAndrografolid

terhadap aktivitas Kelenjar Pencernaan larva Plutellaxylostella L. Bionatura-Jurnal

Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik 12(1): 50-56.

Hibino, H., and P.Q. Cabauatan. 1987. Infectivity neutralization of rice tungro-associated

viruses acquired by vector leafhopper. Phytopathology 77(3):473-476.

Kim, Y.H., S.I. Moustapha, M.W.C. Anastasia, and Y.Z. Kun. 2015. RNA interference:

Applications and advances in insect toxicology and insect pest management,

Pesticide Biochemistry and Physiologyy 120: 109–117.

Kusdiaman, D., dan I.N. Widiarta. 2008. Efikasi lapang efek sambilata terhadap wereng

hijau vektor virus untuk mengendalikan penyakit tungro padi. Jurnal Agrikultura

19: 26-36.

Ladja, F.T., dan I. N. Widiarta. 2012. Varietas unggul baru padi untuk mengantisipasi

ledakan penyakit tungro. IPTEK Tanaman Pangan7: 18-24.

Manzila, I., T.P. Priyatno, dan I. Hanarida. 2013. Ketahanan galur padi hibrida potensi hasil

tinggi terhadap penyakit tungro. Jurnal Fitopatologi Indonesia 9: 77–83.

Praptana, R.H., dan A. Muliadi .2013. Durabilitas ketahanan varietas padi terhadap

penyakit tungro. IPTEK Tanaman Pangan 8: 15-21.

Rivai, H., G. Febrikesari, dan H. Fadhilah. 2014. Pembuatan dan karakterisasi ekstrak

kering herba sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Jurnal Farmasi Higea 6

(1): 19-28.

Page 122: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

103

Roubos, C.R., R.S. Cesar, and I. Rufus. 2014. Mitigating the effects of insecticides on

arthropod biological control at field and landscape scales. Biological Control 75:28–

38.

Saglam, O., C.G. Athanassiou, and T.N. Vassilakos. 2013. Comparison of Spinetoram,

Imidacloprid, Thiamethoxam and Chlorantraniliprole Against Life Stages of

TriboliumconfusumJacquelin du Val (Coleoptera: Tenebrionidae) on Concrete. Crop

Protection 53: 85-95.

Saxena, H.O., Y.C. Tripathi, G. Pawar, A. Kakkar, and N. Mohammad. 2014. Familiarizing

with local biodiversity: notes on systematics of plants and insects. Edited by P.K.

Khatri, P.B.Meshram.Tropical Forest Research Institute. PO. RFRC, Mandla Road

Jabalpur. Page 219-240. diunduh di

https://www.researchgate.net/publication/271073676

Senoaji, W., dan R.H. Praptana. 2013. Interaksi nitrogen dengan insidensi penyakit tungro

dan pengendaliannya secara terpadu pada tanaman padi. IPTEK Tanaman Pangan 8:

80-89.

Senoaji, W., R.H. Praptana, dan E. Komalasari. 2014. Dinamika populasi wereng hijau dan

insidensi penyakit tungro pada pertanaman padi. In: Jantje G. Kindangen, et al.

(Eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Mendukung Bio-Industri.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Manado. Hal. 353-

361.

Sparks, T.C. 2013, Insecticide discovery: An evaluation and analysis, Pesticide

Biochemistry and Physiology 107: 8–17.

Sparks, T.C., B.W. Gerald, R.L. Michael, G. Chaoxian, M.B. Jon, and D.T. James. 2013.

Sulfoxaflor and the sulfoximine insecticides: Chemistry, mode of action and basis

for efficacy on resistant insects.Pesticide Biochemistry and Physiology 107: 1–7.

Sparks, T.C., and N. Ralf. 2015. IRAC: Mode of action classification and insecticide

resistance management. Pesticide Biochemistry and Physiology 121: 122-128.

Supriyadi, dan R. Wijayanti. 2014. Genetic variation of leafhopper Nephotettix virescens

Distant active transmitters from endemic and nonendemic areas of rice tungro

disease based on RAPD marker. J. HPT Tropika 14(1): 25-31.

Wan, N.F., Y.J. Xiang, X.J. Jie, M.Z. Yi, H.L. Jing, and Bo Li. 2015. An ecological

indicator to evaluate the effect of chemical insecticide pollution management on

complex ecosystems. Ecological Indicators 53 :11–17.

Wang, H.Y., Y. Yang, Y.S. Jian, L.S. Jin, F.G. Cong, and C.Z. Yu. 2008. Assessment of

the impact of insecticides on Anagrusnilaparvatae (Pang et Wang) (Hymenoptera:

Mymanidae), an egg parasitoid of the rice planthopper, Nilaparvata lugens

(Hemiptera: Delphacidae). Crop Protection 27: 514–522.

Warditiani, N.K., L.P.F.Larasanty, I.N.K.Widjaja, N.P.M.Juniari, A.E.Nugroho, dan S.

Pramono. 2014. Identifikasi kandungan kimia ekstrak terpurifikasi herba sambiloto.

Jurnal farmasi Udayana 3(1): 22-25.

Widiarta I.N., D. Kusdiaman, dan Suprihanto. 2006, Keragaman Arthropoda pada padi

sawah dengan pengelolaan tanaman terpadu. J. HPT Tropika 6: 6–69.

Page 123: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

104

Widiarta, I.N. 2005. Wereng hijau (Nephotettix virescens Distant): dinamika populasi dan

strategi pengendaliannya sebagai vektor penyakit tungro. Jurnal Litbang Pertanian

24: 85-92.

Widiarta, I.N., dan D. Kusdiaman. 2008. Pengaruh dosis subletal ekstrak sambilata

(Andrographis paniculata Nees) terhadap aktivitas musuh alami dan keperidian

wereng hijau (Nephotettix virescens Distant). J. HPT Tropika 8(2): 75-81.

Yorobe Jr., J.M., R.M. Rejesus, and M.D. Hammig, 2011, Insecticide use impacts of

Integrated pest management (IPM) farmer field schools: Evidence from onion

farmers in the Philippines, Agricultural Systems 104: 580–587.

Page 124: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

105

RESIDU PARAQUAT DI LAHAN HORTIKULTURA DI PROVINSI JAWA TENGAH

Anik Hidayah, Wahyu Purbalisa, dan Dolty Mellyga Wangga Paputri

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km. 5 Jaken-Pati, Jawa Tengah, Indonesia

59182

Abstrak.Paraquat merupakan herbisida yang paling beracun dan bersifat akut selama 60

tahun terakhir. Penggunaan paraquat dalam jangka lama menyebabkan akumulasi residu

dalam tanah yang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan. Paraquat terikat kuat oleh

partikel tanah dalam waktu yang lama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

kandungan residu paraquat dalam tanah di lahan hortikultura di Provinsi Jawa Tengah dan

pola sebaran spasialnya. Penelitian dengan metode survey dilakukan dengan mengambil

contoh tanah di 7 kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Brebes, Semarang, Boyolali, Magelang,

Temanggung, Banjarnegara, dan Wonosobo. Preparasi contoh menggunakan metode

quechers. Residu paraquat diukur dengan Kromatografi Cair Kinerja Tingkat Tinggi

(KCKT). Pola sebaran spasial dari residu paraquat ditentukan dengan analisis statistik

deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu paraquat terendah terdeteksi dalam

contoh tanah dari Kabupaten Wonosobo (0,054 mg kg-1) dan yang tertinggi di Kabupaten

Temanggung (9,437 mg kg-1). Konsentrasi rata-rata dari residu paraquat adalah di

Wonosobo < Brebes < Banjarnegara < Magelang < Temanggung < Boyolali < Semarang.

Sebaran spasial residu paraquat di Brebes, Semarang, Boyolali, Magelang dan Temanggung

memiliki pola mengumpul, sedangkan di Banjarnegara dan Wonosobo memiliki pola

menyebar. Residu paraquat dalam tanah dapat dihilangkan dengan bioremediasi sebagai

upaya untuk pemulihan lahan dan keseimbangan lingkungan.

Kata kunci: residu paraquat, tanah, lahan hortikultura, Jawa Tengah

Abstract.Paraquat is the most highly acutely toxic herbicide over the last 60 years. The

long-term use of paraquat causes the accumulation of residues in the soil that can disrupt

the environmental balance. Paraquat binds strongly to soil particles for a long time. This

study aims to determine paraquat residues in the soil on horticultural land in Central Java

and its spatial distribution pattern. This research using survey methods, soil sampling was

conducted in 7 district in Central Java, ie Brebes, Semarang, Boyolali, Magelang,

Temanggung, Banjarnegara and Wonosobo. Sampel preparation was done by quechers

method. The residue of paraquat is measured by high performance liquid chromatography

(HPLC). Spatial distribution pattern of paraquat was determined by descriptive statistical

analysis. The Results show that the lowest paraquat residue was found in soil sample from

Wonosobo (0.054 mg kg-1) and the highest was detected in Temanggung (9.437 mg kg-1).

The average of paraquat concentration in Wonosobo < Brebes < Banjarnegara < Magelang

< Temanggung < Boyolali < Semarang. Spatial distribution pattern of paraquat residu in

Brebes, Semarang, Boyolali, Magelang and Temanggung is clustered, while in

Banjarnegara and Wonosobo is spread off. Paraquat residues in the soil can be removed by

bioremediation as an effort to restore land and environmental balance.

Key words: paraquat residue, soil, horticultural land, Central Java.

10

Page 125: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

106

PENDAHULUAN

Paraquat (1,1-dimethyl-4,4’-bipyridylium chloride) merupakan salah satu herbisida

golongan bipyridylium (memiliki ikatan bipyridyl) yang dikembangkan dalam sistem

budidaya pertanian. Komposisi kimia dari paraquat adalah C12H14N2 (Ginting et al., 2012).

Paraquat merupakan herbisida kontak (Sudarmo, 1988) dan bersifat non selectif (Bangun

dan Pane, 1984). Bromillow (2003) menggambarkan paraquat sebagai senyawa kimia yang

dapat membakar bagian permukaan tanaman tetapi tidak membahayakan perakaran.

Aplikasi paraquat hanya akan mematikan tumbuhan dengan akar pendek, sehingga

tumbuhan dengan sistem perakaran dalam tidak akan terganggu.

Gramoxone merupakan salah satu jenis formulasi herbisida berbahan aktif

paraquat yang banyak diproduksi dan dipasarkan di Indonesia (Wogo et al., 2010).

Gramoxone yang diproduksi Syngenta merupakan merk dagang yang paling umum

digunakan paraquat dan telah dipasarkan selama 60 tahun terakhir. Penggunaan paraquat

telah dilarang di 32 negara, termasuk uni eropa, dengan alasan paraquat merupakan

herbisida yang paling beracun dan bersifat akut (Watts, 2011).

Penggunaan paraquat harus dikendalikan mempertimbangkan dampak negatif pada

mikroorganisme non-target. Hasil penelitian Martani et al. (2001) menunjukkan bahwa

paraquat menghambat pertumbuhan Rhizobium sp. Paraquat terikat kuat oleh partikel tanah

dalam jangka lama termasuk pada kondisi inactive, yang dapat diuraikan kembali menjadi

bentuk aktif. Waktu paruh paraquat didalam tanah mencapai 20 tahun. Paraquat bersifat

racun pada beberapa jamur dan mikroba tanah, tetapi juga dapat meningkatkan populasi

patogen tanah (Watts, 2011). Kondisi ini menimbulkan ketidakseimbangan lingkungan

dalam tanah.

Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang memiliki potensi pertanian

hortikultura (BPS Jawa Tengah, 2016). Komoditas yang paling mendominasi adalah

bawang merah di kab. Brebes, jamur di kab. Semarang, kobis, kentang dan wortel di kab.

Banjarnegara, cabe di kab. Temanggung, labu dan bawang daun di kab. Wonosobo, pepaya

di kab. Boyolali dan bunga potong di kab. Magelang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan residu paraquat dalam tanah

di tujuh kabupaten penghasil komoditas hortikultura unggulan, dan pola sebaran spasial

dari residu paraquat sebagai bahan pertimbangan penerapan teknologi remediasi yang tepat.

METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus – Desember 2015 menggunakan

metode survey. Pengambilan contoh tanah dilakukan di tujuh kabupaten di Provinsi Jawa

Tengah, yang merupakan sentra hortikultura, yaitu Brebes, Semarang, Boyolali, Magelang,

Temanggung, Banjarnegara, dan Wonosobo. Titik pengambilan contoh tanah ditentukan

dengan program ArcGIS secara grid pada satuan (unit) pada peta Rupa Bumi Indonesia

digital. Contoh tanah diambil pada lapisan olah (kedalaman 0-20 cm). Satu titik sampling

terdiri dari 10-15 contoh individual (subcontoh), dengan jarak pengambilan tiap subcontoh

Page 126: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

107

25-50 m. Contoh tanah dianalisis kandungan residu paraquat di Laboratorium Balai

Penelitian Lingkungan Pertanian di Pati, Jawa Tengah.

Analisis residu paraquat dilakukan dengan metode Quechers. Sebanyak 10 g

contoh tanah dilarutkan dengan 10 ml acetonitril p.a., dikocok dengan cepat selama 1

menit. Sebanyak 1 g NaCl dan 4 g NaSO4 ditambahkan pada larutan tersebut dan dikocok

cepat selama 1 menit. Suspensi tanah disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm pada suhu

29°C selama 4 menit. Cairan supernatan diambil dan diukur konsentrasi residu paraquatnya

dengan instrumen High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Instrumen diatur

pada suhu 25-30°C, menggunakan kolom C18 dan detektor DAD dan FLD, kecepatan alir

0,3 ml menit-1, dengan fasa gerak campuran acetonitril:akuabides (85:15). Konsentrasi

residu paraquat dihitung dengan membandingan kurva kalibrasi larutan standar dengan

persamaan sebagai berikut:

C = (a-b)

c ×

v

w

Keterangan :

C : Konsentrasi residu paraquat pada contoh tanah

a : luas area puncak contoh

b: nilai intercept pada kurva kalibrasi larutan standar

c : nilai slope pada kurva kalibrasi larutan standar

v: volume akhir supernatan (ml)

w: berat contoh tanah (gram)

Analisis pola sebaran spasial kosentrasi residu paraquat di lahan pertanian di

masing-masing kabupaten di Jawa Tengah dilakukan dengan metode analisis statistik

deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Provinsi Jawa Tengah secara geografis terletak antara 5°40' dan 8°30' Lintang

Selatan dan antara 108°30' dan 111°30' Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Batas-

batas wilayah provinsi Jawa Tengah adalah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa,

sebelah Selatan dengan Samudera Hindia dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,

sebelah Barat dengan Provinsi Jawa Barat dan sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi

Jawa Timur (BPS Jawa Tengah, 2016).

Topografi tingkat kemiringan lahan di Jawa Tengah terdiri dari 38% lahan memiliki

kemiringan 0-2%, 31% lahan memiliki kemiringan 2-15%, 19% lahan memiliki kemiringan

15-40%, dan sisanya 12% lahan memiliki kemiringan lebih dari 40%. Ditinjau dari

topografinya, wilayah Jawa Tengah bagian utara, sebagian besar berupa dataran rendah,

sedangkan bagian tengah didominasi oleh topografi berbukit dan bergunung. Topografi

semacam ini disebabkan oleh kondisi geologi wilayah Jawa Tengah bagian tengah

didominasi oleh gunung api dan pegunungan struktural (Departemen Kehutanan, 2012).

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu penyangga pangan nasional, baik padi

maupun produk hortikultura. Luas lahan sawah di provinsi Jawa Tengah 952.525 hektar

Page 127: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

108

(ha) terdiri dari sawah irigasi seluas 683.735 ha, non irigasi 268.790 ha, lahan

tegalan/kebun seluas 738.271 ha, (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014). Di

Jawa Tengah terdapat beberapa jenis tanah yang berbeda-beda. Di Daerah lereng gunung

jenis tanahnya adalah tanah vulkanis jenis andosol yang terkenal sangat subur cocok untuk

pertanian hortikultura.

Herbisida di lahan kering seperti lahan sayuran dan perkebunan sangat membantu

petani dalam mengatasi gulma. Di lahan kering, penggunaan herbisida dapat dilakukan

sampai dua kali dalam satu musim tanam. Pemberian herbisida yang pertama sebagai

herbisida pratumbuh untuk membunuh biji-biji gulma dan gulma yang baru berkecambah,

dan yang kedua sebagai herbisida purna tumbuh untuk membunuh gulma dewasa melalui

penyemprotan pada daun dan batang. Semakin sering dan tinggi dosis herbisida semakin

meningkatkan residu pada tanah.

Residu paraquat terdeteksi pada tanah di tujuh kabupaten sentra hortikultura.

Konsentrasi residu terendah terdeteksi di kabupaten Wonosobo (0,054 mgkg-1) dan yang

tertinggi di kabupaten Temanggung (9,437 mgkg-1) seperti terlihat pada Gambar 1. Ini

menunjukkan bahwa penggunaan herbisida paraquat di kabupaten Temanggung lebih

intensif dibandingkan di kabupaten Wonosobo. Perbedaan komoditas dimungkinkan

menjadi penyebab utama, dimana Temanggung yang memiliki komoditas unggulan cabe

lebih rentan terhadap gangguan gulma dibandingkan labu dan bawang daun yang menjadi

komoditas utama di kabupaten Wonosobo.

Gambar 1. Konsentrasi Residu paraquat di lahan hortikultura Provinsi Jawa Tengah

Dari keseluruhan contoh tanah yang diambil (n = 216), sebanyak 47 contoh

terdeteksi mengandung residu paraquat (21,76%) dimana 9 contoh telah melebihi batas

maksimum residu paraquat menurut EPA (2012) yaitu 1,4 mg kg-1. Jumlah contoh pada

masing-masing kabupaten tidak sama karena dipengaruhi oleh luas lahan hortikultura pada

masing-masing kabupaten.Namun demikian jumlah titik sampling tidak mempengaruhi

keberadaan residu paraquat di dalam tanah. Residu paraquat paling banyak terdeteksi di

kabupaten Banjarnegara yang merupakan sentra kentang di Jawa Tengah.

Page 128: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

109

Kentang membutuhkan lingkungan tumbuh yang bersih dari tanaman pengganggu

atau gulma agar dapat berproduksi dengan optimal. Sehingga herbisida pratumbuh sangat

penting untuk diaplikasikan. Hasil penelitian Mubarak et al. (2014) menunjukkan bahwa

pemberian herbisida pratumbuh berbahan aktif oksifluorfen efektif menurunkan

pertumbuhan gulma dari 0-49 hst sebanyak 74,28% dan meningkatkan produksi hingga 110

kg perhektar dibandingkan tanpa pemberian herbisida pratumbuh.

Apabila dirata-rata maka kandungan residu paraquat di kabupaten Wonosobo <

Brebes < Banjarnegara < Magelang < Temanggung < Boyolali < Semarang (Gambar 2).

Keberadaan residu paraquat dipengaruhi oleh komoditas tanaman yang dibudidayakan pada

suatu lahan hortikultura. Produksi komoditas unggulan hortikultura di Jawa Tengah pada

tahun 2015 meliputi bawang merah (4,71 juta kuintal) di Brebes, jamur (4,10 juta kuintal)

di Semarang, kobis (3,91 juta kuintal), kentang (2,79 juta kuintal) di Banjarnegara, cabe

besar (1,68 juta kuintal) di Temanggung, labu siam (1,62 juta kuintal) di Wonosobo, wortel

(1,42 juta kuintal) di Karang Anyar, dan bawang daun (1,21 juta kuintal) di Wonosobo.

Gambar 2. Konsentrasi rata-rata residu paraquat pada lahan hortikultura di Jawa Tengah

Pola sebaran spasial residu paraquat di lahan hortikultura pada masing-masing

kabupaten di Jawa Tengah tidak sama. Melalui analisis statistik deskriptif diketahui apabila

varian mean ratio (VMR) > 1 maka pola sebaran spasial dari suatu bahan dalam tanah

adalah mengumpul. Jika nilai VMR < 1, maka pola sebaran spasial adalah menyebar. Dari

tabel 1 diketahui bahwa sebaran spasial residu paraquat di Brebes, Semarang, Boyolali,

Magelang and Temanggung memiliki pola mengumpul (clustered), sedangkan di

Banjarnegara dan Wonosobo memiliki pola yang menyebar (spread out).

Dengan diketahuinya pola sebaran spasial dari bahan pencemar seperti paraquat,

maka perbaikan kualitas lahan dapat direncanakan. Residu paraquat dalam tanah dapat

ditekan dengan beberapa teknologi remediasi misal bioremediasi untuk pemulihan lahan

dan keseimbangan lingkungan.

Page 129: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

110

Tabel 1. Hasil analisis statistik deskriptif konsentrasi residu paraquat di lahan hortikultura

Provinsi Jawa Tengah

Parameter 1 2 3 4 5 6 7

Jumlah titik sampel 54 11 23 22 42 40 24

Jumlah titik

terdeteksi 10 2 3 3 10 13 6

Rata-rata 1,00 3,32 1,79 1,31 1,48 1,01 0,97

Standar deviasi (SD) 1,27 4,61 2,07 1,74 2,81 0,81 0,85

Nilai minimum

(mg.kg-1) 0,0916 0,0552 0,5657 0,2334 0,1474 0,1623 0,0549

Nilai maksimum

(mg.kg-1) 4,5310 6,5807 4,1722 3,3155 9,4379 3,0678 2,3731

CV (%) 127,80 139,07 115,60 133,45 189,30 80,09 87,45

Varian 1,6 21,3 4,3 3,0 7,9 0,6 0,7

VMR 1,6 6,4 2,4 2,3 5,3 0,6 0,7

Keterangan: 1. Brebes, 2. Semarang, 3. Boyolali, 4. Magelang, 5. Temanggung, 6. Banjarnegara,

7. Wonosobo

KESIMPULAN

1. Residu paraquat terdeteksi di lahan hortikultura yang terdapat di tujuh kabupaten di

Jawa Tengah. Konsentrasi residu paraquat terendah dalam tanah ditemukan di

Kabupaten Wonosobo (0,054 mgkg-1) dan tertinggi di Kabupaten Temanggung (9,437

mgkg-1).

2. Konsentrasi rata-rata dari residu paraquat dalam tanah adalah Wonosobo < Brebes <

Banjarnegara < Magelang < Temanggung < Boyolali < Semarang. Sebaran spasial

residu paraquat di Brebes, Semarang, Boyolali, Magelang and Temanggung memiliki

pola mengumpul (clustered), sedangkan di Banjarnegara dan Wonosobo memiliki pola

yang menyebar (spread off).

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kepada Sukarjo, S.TP., MP yang telah memberikan bimbingan

dalam penulisan karya ilmiah ini dan Slamet Rianto, yang telah membantu dalam proses

analisis residu paraquat dalam contoh tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. 2016. Provinsi Jawa Tengah dalam Angka 2016. BPS.

Semarang

Bangun, P., dan H. Pane,1984. Pengantar penggunaan herbisida pada tanaman pangan.

Buletin Teknik No. 7. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor

Bromillow, R.H. 2003. Paraquat and Sustainable Agriculture. Pest Management Science.

60: 340-349. Online : 2003. DOI: 10.1002/PS.823

Page 130: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

111

Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2012. Profil Kehutanan di Indonesia. Jakarta

EPA (Environmental Protection Agency). 2012. Paraquat Dichloride, Request to Add Uses

on Perennial Tropical and Sub-Tropical Fruit trees. Barcode: 381971.USA

Ginting, A.W., S. Endang, S. Marpaung, F. Ginting, T. Kembaren, A. Rahimi, dan J.

Ginting. 2012. Intoksikasi Herbisida (Paraquat).

http://ikaapda.com/resources/PTI/Reading-Assignment/Intoksikasi-Herbisida.pdf

Martani, E., K. Wibowo, B. Radjagukguk, dan S. Margino. 2001. Influence of paraquat

herbicide on soil bacteria, Rhizobium sp. Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol. VIII

No. 2. Hal 82-90. Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Mubarak, A.M., E. Widaryanto, dan H.T. Sebayang. 2104. Pengendalian gulma pada

berbagai taraf pemupukan nitrogen terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman

kentang (Solanum tuberosum L.). Jurnal Produksi Tanaman 2(7): 542-551.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014. Statistik Lahan Pertanian 2014

Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian.

Sudarmo, S. 1988. Pestisida Tanaman. Kanisius. Yogyakarta

Watts, M. 2011. Paraquat. Pesticide Action Network Asia and The Pasific.

Wogo, H.E., S.M.F. Ledoh, dan P. de Rozari. 2010. Studi kinetika degradasi paraquat (1,1-

Dimetil 4-4-Bipiridylum) dalam lingkungan tanah pertanian Kabupaten Kupang.

Media Exacta Vol.10 No. 2. Juli 2010.

Page 131: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

112

Page 132: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

113

RESIDU INSEKTISIDA KLORPIRIFOS DAN DIAZINON PADA TANAH DAN SAYURAN KUBIS (BRASSICA OLERACEA) DI JAWA BARAT

E. Sulaeman dan A.N. Ardiwinata

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Jaken Pati 59182 Jawa Tengah

Abstrak.Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai penggunaan

insektisida klorpirifos dan diazinon di lahan pertanian kubis di Jawa Barat, dan

pengaruhnya terhadap kandungan residu klorpirifos dan diazinon pada tanah dan sayuran

kubis. Penelitian dilakukan dengan cara mendata jenis insektisida yang digunakan petani,

pengambilan contoh tanah dan kubis di Kabupaten Cipanas, Cianjur dan Lembang Jawa

Barat. Pada setiap kabupaten diwakili oleh empat desa, dan masing-masing desa diambil

sebanyak lima titik sampling. Contoh tanah dan kubis yang telah dipreparasi diekstraksi

dengan pelarut aseton, n-heksan dan diklorometan dan dianalisis kandungan residu

klorpirifos dan diazinon dengan menggunakan alat gas kromatografi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa, petani dari Kabupaten Cipanas, Cianjur dan Lembang sebagian besar

menggunakan sebelas jenis insektisida termasuk juga insektisida klorpirifos dan diazinon.

Konsentrasi residu insektisida klorpirifos tertinggi terdeteksi pada tanah dari Cidokom.

Kopo Kecamatan Cisarua sebesar 0,1028 mg/kg, dan konsentrasi residu insektisida

diazinon dalam tanah dari Cidokom Wates Desa Kopo Kecamatan Cisarua sebesar 0,2023

mg/kg. Pada tanaman kubis, konsentrasi residu insektisida klorpirifos tertinggi ditemukan

di Desa Sukatani Kecamatan Pacet sebesar 0,1174 mg/kg, dan konsentrasi residu

insektisida diazinon tertinggi ditemukan di Desa Ciherang Kecamatan Pacet sebesar

0,2771 mg/kg.

Kata kunci: klorpirifos, diazinon, kubis

Abstract. The study aimed to obtain information on the use of chlorpyrifos and diazinon

insecticides in cabbage farms in West Java. The research was conducted by collecting the

type of insecticide used by farmers, then sampling of soil and cabbage in Cipanas, Cianjur

and Lembang, West Java. In each district is represented by four villages, and each Village

is taken by five sampling points. Samples of prepared soil and cabbage were extracted with

acetone solvent, n-hexane and dichloromethane and analyzed by residual content of

chlorpyrifos and diazinon using by gas chromatography. The results showed that, farmers

from Cipanas, Cianjur and Lembang mostly use eleven types of insecticides including

chlorpyrifos and diazinon insecticides. The highest concentration of chlorpyrifos residue on

soil in Cidokom, Kopo, Cisarua, of 0.1028 mg/kg, and concentration of diazinon residue

Cidokom Wates Village, Kopo, Cisarua of 0.2023 mg/kg. In cabbage plants, the highest

concentration of chlorpyrifos residue was found in Sukatani Village, Pacet of 0.1174

mg/kg, and the highest concentration diazinon residue was found in Ciherang Village, Pacet

of 0,2771 mg/kg.

Keywords: chlorpyrifos, diazinon, cabbage

11

Page 133: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

114

PENDAHULUAN

Kubis merupakan sayuran daun utama di dataran tinggi bahkan merupakan salah

satu sayuran prioritas di Indonesia (Adiyoga & Ameriana 2008). Dalam pemanfaatannya,

kubis dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan (Permentan

No.88 Tahun 2011). Hasil analisis residu pestisida pada daun kubis di daerah Lembang

mengandung residu profenofos sebesar 0,41 mg/kg, dimana batas toleransi yang

diperbolehkan sebesar 0,10 mg/kg (Ameriana et al., 2000). Kandungan residu insektisida

pada kubis dengan bahan aktif dominan ditemukan pada kubis baik yang berasal dari

Malang maupun Cianjur dengan kandungan residu pestisida tertinggi 7,4 ppb, dan residu

insektisida lainnya klorpirifos, metidation, malation, dan karbaril (Munarso et al., 2009).

Tanaman kubis yang berasal dari Pacet Jawa Barat pada musim kemarau dan musim

penghujan mengandung residu insektisida karbaril, metidation, aldikarb dan fentoat dan

melampaui ambang batas yang ditetapkan oleh WHO (Ilyas et al., 1986).

Klorpirifos merupakan senyawa yang cukup beracun, memiliki LD50 oral ; 135-163

mg/kg untuk tikus dan 500 mg/kg untuk marmot. Toksisitas klorpirifos terhadap mamalia

secara oral (termakan) akan berefek akut terhadap tikus dengan LD50= 135-163 mg/kg,

terhadap guinea pigsdengan LD50= 504 mg/kg dan terhadap kelinci dengan LD50= 1000 –

2000 mg/kg. Kontak pada kulit dan mata akan berefek akut terhadap tikus dengan LD50>

2000 mg/kg dan terhadap kelinci dengan LD50= 2000 mg/kg. Jika terinhalasi akan berefek

akut terhadap tikus dengan LD50(4 – 6 jam) > 0,2 mg/L teratogenik terhadap tikus dengan

konsentrasi paparan 0,03 mg/kg.hari dan terhadap anjing 0,01 mg/kg.hari. Insektisida ini

tidak diketahui memiliki efek teratogenik terhadap mamalia yang lain (Extoxnet 1996).

Penerapan klorpirifos pada bibit dan tumbuhan dilakukan dengan penyemprotan langsung

atau tidak langsung. Penggunaan utama klorpirifos adalah mengontrol lalat, nyamuk (dalam

bentuk larva dan dewasa), berbagai jenis hama pertanian, hama rumah tangga (Blattellidae,

Muscidae, Isoptera), dan larva dalam air (WHO 2001). Diazinon merupakan jenis

insektisida organofosfat yang digunakan untuk pertanian dan non pertanian (rumah dan

taman). Diazinon adalah insektisida non-sistemik yang diaplikasikan pada buah-buahan,

tanaman hortikultura, kentang, padi, tebu, tembakau dan lain-lain. Sifat fisik dan kimia

diazinon disajikan pada Tabel 3. Diazinon merupakan senyawa organofosfat yang relatif

tidak persisten di dalam tanah. Diazinon yang diaplikasikan akan hilang dari tanah melalui

degradasi secara kimiawi dan biologi. Sekitar 46 % dari diazinon yang ditambahkan ke

tanah akan hilang dalam 2 minggu. Jika diazinon dilepaskan ke dalam tanah, tidak akan

terikat secara kuat dengan tanah dan diharapkan akan menunjukkan mobilitas yang cukup

(Tomlin, 1997). Beberapa penelitian tentang residu pestisida pada sayuran didapatkan

residu insektisida klorpirifos pada bawang merah 0,565–1,167 mg/kg, cabe merah 0,024–

1,713 mg/kg dan pada kentang 0,125–4,333 mg/kg. Sedangkan berdasarkan batas

maksimum residu (BMR) untuk pestisida klorpirifos dan profenofos yaitu sebesar 0,1

mg/kg (Afriyanto 2008). Hasil analisis residu pestisida pada kubis menunjukkan bahwa

bahan aktif endosulfan dominan ditemukan pada sampel kubis baik yang berasal dari

Malang maupun Cianjur, dengan kandungan residu pestisida tertinggi 7,4 ppb yang

dianalisis dari sampel yang diambil dari petani di Cianjur. Residu lain yang terdeteksi

Page 134: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

115

antara lain pestisida yang mengandung bahan aktif klorpirifos, metidation, malation, dan

karbaril (Munarso et al., 2009)

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di laboratorium di Laboratorium Residu Bahan Agrokimia,

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Laladon Bogor. Waktu pelaksanaan mulai bulan

September 2014 hingga Oktober 2015. Pengambilan contoh tanaman kubis dan tanah

dilakukan di tiga Kecamatan,yaitu Kecamatan Cisarua, Pacet dan Lembang. Masing-

masing kecamatan ditentukan 4-5 Desa dan tiap-tiap Desa diambil lima titik pengambilan

contoh, untuk kecamatan Cisarua pengambilan contoh dilakukan di Kampung Cidokom 5

Desa Kopo, Kampung Cidokom Wates Desa Kopo, Kampung Citeko Desa Citeko dan

Kampung Joglo Desa Cibeuruem (Tabel 1). Pengambilan sayuran kubis dan tanah

dilakukan secara acak di masing-masing lokasi. Pengambilan contoh dilakukan dengan

menggunakan skop tanah di area perakaran tanaman kubis, sedangkan untuk sampel

tanaman kubis dilakukan dengan cara mengambil memotong crop tanaman tersebut. Tanah

dan kubis hasil sampling dari tiap-tiap titik tersebut kemudian dikomposit dan diambil

sebanyak 1 kg yang kemudian ditempatkan dalam kantung plastik (Saraswati et al. 2007).

Tabel 1. Lokasi pengambilan contoh tanah

No Lokasi Kode

lokasi Titik koordinat

1 Cidokom 5 Ds. Kopo Kec. Cisarua C1 S 06o40’08,7” E 106o54’37,5”

2

Cidokom Wates Ds. Kopo Kec.

Cisarua C2 S 06o40’53,2” E 106o55’11,5”

3 Citeko Ds. Citeko Kec. Cisarua C3 S 06o41’28,6” E 106o55’43.0”

4 Joglo Ds. Cibeureum Kec. Cisarua C4 S 06o42’53,7” E 106o56’41.5”

5 Desa Ciloto kecamatan Pacet P1 S 06o42’49.0” E 107o00’10.9”

6 Golendang Ds. Sukatani Kec. Pacet P2 S 06o44’19,1” E 107o01’44,0”

7 Ds. Cipendawa Kec. Pacet P2 S 06o45’06,5” E 107o02’46.5”

8 Ds Ciherang Kecamatan Pacet P4 S 06o46’02,5” E 107o03’23.6”

9 Ds. Ciputri Pasir Sarongge Kec. Pacet P5 S 06o46’03.6” E 107o02’58.2”

10

Gandok Ds. Sunten Jaya Kec.

Lembang L1 S 06o49'10.0" E 107o41'35.0"

11

Cipanengah Ds. Cibodas Kec.

Lembang L2 S 06o48'51.0" E 107o41'33.0"

12

Angling Ds. Santen Jaya Kec.

Lembang L3 S 06o49'17.0" E 107o42'35.0"

13 Asrama Desa Sunten Kec. Lembang L4 S 06o49'48.0" E 107o42'35.0"

Metode Analisis Residu Insektisida Klorpirifos dan Diazinon

Analisis pada contoh tanah dilakukan dengan mengekstrak 25 g tanah, tanah

dimasukkan ke dalam labu bundar 250 mL, kemudian ditambahkan aseton sebanyak 100

Page 135: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

116

mL. Tanah yang sudah ditambah aseton dikocok dengan menggunakan shaker vertical

selama 30 menit. Hasil ekstrak didiamkan beberapa saat sampai terjadi pengendapan.

Larutan ekstrak ditampung dalam labu bundar dan dipekatkan menggunakan rotary

evavorator sampai volume sampel mendekati 1 mL. Setelah dilakukan pemekatan, labu

bundar kemudian dibilas dengan menggunakan aseton sebanyak 10 mL, hasil bilasan lalu

ditampung dalam tabung uji. Pengukuran konsentrasi insektisida klorpirifos dan diazinon

dilakukan dengan menyuntikkan 2 µL hasil ekstrak kealat gas kromatografi (GC) (Komisi

Pestisida 1997).

Analisis pada contoh kubis dilakukan dengan merajang halus kubis dan setelah

halus dilakukan pengadukan agar homogen. Kemudian dilakukan penimbangan sebanyak

25 g lalu dimasukkan ke dalam cup ice homogenizer. Tambahkan aseton sebanyak 100 mL,

kemudian dihomogenkan selama 30 menit. Hasil ekstrak disaring dan larutan ekstrak

ditampung dalam labu bundar dan dipekatkan menggunakan rotary evavorator sampai

volume sampel mendekati 1 mL. Setelah dilakukan pemekatan, labu bundar kemudian

dibilas dengan menggunakan aseton sebanyak 10 mL, hasil bilasan lalu ditampung dalam

tabung uji. Pengukuran konsentrasi insektisida klorpirifos dan diazinon dilakukan dengan

menyuntikkan 2 µL hasil ekstrak kealat gas kromatografi (GC). Konsentrasi residu

klorpirifos dan diazinon dihitung dengan cara membandingkan tinggi puncak kromatogram

contoh dan tinggi puncak kromatogram standar, kemudian dimasukkan dalam persamaan

(Komisi Pestisida, 1997).

Konsentrasi Residu: R = Ac

As x Ks x

Fc

Bc

Keterangan :

R = Residu (ppm)

Ac = Area contoh (µV.min)

As = Area standar (µV.min)

Ks = Konsentrasi standar (mg/g)

Vc = Volume contoh (mL)

Fc = Faktor Pengenceran (mL)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Pestisida di Lokasi Pengambilan Contoh Tanah

Penggunaan insektisida di empat lokasi Kecamatan Cisarua, yaitu Cidokom 5,

Cidokom Wates, Citeko dan Joglo, ditemukan sebanyak sembilan jenis yaitu diazinon,

deltametrin, klorfenapir, imidakloprid, klorpirifos, propenofos, karbofuran dan karbosulfan.

Dari ke sembilan jenis insektisida tersebut, insektisida klorpirifos merupakan insektisida

yang paling banyak digunakan oleh petani di semua lokasi di Kecamatan Cisarua. Di

Kecamatan Pacet, lokasi pengambilan contoh dilakukan di desa Ciloto, Golendang,

Cipendawa, Ciherang dan Ciputri. Dari semua lokasi tersebut insektisida yang digunakan

sebanyak enam jenis insektisida, alfametrin, deltametrin, diazinon, imidakloprid,

klorpirifos, karbofuran dan propenofos. Penggunaan insektisida di Kabupaten Lembang

terdiri dari enam jenis yaitu betasiflutrin, deltametrin, diazinon, imidakloprid, klorpirifos,

propenofos dan karbofuran, seperti halnya di lokasi lain, insektisida klorpirifos paling

banyak digunakan oleh petani disemua lokasi di Kecamatan Lembang (Tabel 2).

Page 136: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

117

Penggunaan pestisida oleh petani dilakukan dengan cara mencampur beberapa jenis,

berupa insektisida, fungisida, zat pengatur tumbuh, maupun pupuk daun. Alasan petani

mencampur berbagai jenis pestisida tersebut agar mudah dan praktis, sekali semprot bisa

digunakan beberapa jenis pestisida. Padahal hal tersebut tidak efektif karena ada beberapa

pestisida dengan bahan aktif yang sama dan mengendalikan hama dan penyakit yang sama

diaplikasikan secara bersamaan, sehingga terjadi pemborosan. Selain itu dosis yang

digunakan cenderung melebihi aturan, dengan alasan supaya hama dan penyakit lebih cepat

mati. Padahal dengan penggunaan berlebih tersebut selain terjadi pemborosan juga akan

berdampak terhadap kerusakan lingkungan.

Tabel 2. Jenis-jenis insektisida yang digunakan oleh petani di lokasi pengambilan contoh.

Kode 1)

lokasi

Dia

zin

on

Del

tam

etri

n

Klo

rfen

apir

Klo

rpir

ifo

s

Pro

feno

fos

Tio

dik

arb

amat

Kab

ofu

ran

Imid

aklo

pri

d

Kar

bo

sulf

an

Alf

amet

rin

Bet

asif

lutr

in

C1 √ √ √ √ √ √

C2 √ √ √ √ √ √

C3 √ ˅ √ √ √ √

C4 √ ˅ √ √ √ √

P1 √ √ √ √ √ √

P2 √ √ √ √ √

P3 √ √ √ √ √

P4 √ √ √ √ √

P5 √ √ √ √ √

L1 √ √ ˅ √ √

L2 √ √ √ √ √

L3 √ √ √ √ √

L4 √ √ √ √

Keterangan : 1) Tercantum di Tabel 1

Konsentrasi Residu Insektisida Klorpirifos dan Diazinon pada Tanah

Hasil analisis residu insektisida pada tanah Cisarua dan Pacet masih ditemukan

residu insektisida klorpirifos dan diazinon, sedangkan pada tanah Lembang hanya

ditemukan residu insektisida diazinon. Di Kecamatan Cisarua, konsentrasi residu

klorpirifos berkisar antara 0,0095-0,1028 mg/kg, konsentrasi tertinggi klorpirifos

ditemukan di Cidokom 5 Desa Kopo dengan konsentrasi sebesar 0,1028 mg/kg, sedangkan

konsentrasi residu insektisida diazinon berkisar antara 0,0329-0,2023 mg/kg, dengan

konsentrasi tertinggi ditemukan di Cidokom Wates Desa Kopo sebesar 0,2023 mg/kg. Di

Kecamatan Pacet konsentrasi residu klorpirifos berkisar antara 0,0107-0,0274 mg/kg

dengan konsentrasi tertinggi sebesar 0,0274 mg/kg ditemukan di Desa Ciloto (Tabel 3).

Masih ditemukannya residu dari kedua jenis insektisida tersebut dapat disebabkan oleh

Page 137: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

118

dosis dan intensitas penggunaan yang tidak tepat oleh petani, selain itu insektisida

klorpirifos mempunyai kelarutan yang rendah di dalam air (2 mg/L), tetapi mudah larut

dalam sebagian besar pelarut organik, memiliki co-efisien penyerapan tanah yang tinggi

dan penyimpanan pada kondisi normal relatif stabil (Racke 1993).

Residu insektisida pada tanah di Kecamatan Lembang konsentrasinya dibawah

0,0020 mg/Kg. Rendahnya konsentrasi residu insektisida di Kecamatan Lembang tersebut

disebabkan karena tingkat curah hujan yang tinggi pada saat pengambilan contoh tanah,

sehingga memungkinkan residu insektisida klorpirifos yang ada didalam tanah tercuci oleh

air hujan. Selain itu kondisi tanaman kubis sudah mendekati masa panen, mungkin petani

tidak lagi melakukan penyemprotan insektisida klorpirifos.

Tabel 3. Konsentrasi residu beberapa insektisida klorpirifos dan diazinon pada contoh tanah

Konsentrasi Residu Insektisida Klorpirifos dan Diazinon pada Kubis

Hasil analisis residu insektisida klorpirifos dan diazinon pada sayuran kubis di

Kecamatan Cisarua, Pacet dan Lembang menunjukkan bahwa, kubis disemua lokasi positif

mengandung residu insektisida klorpirifos dan diazinon. Residu klorpirifos di Kecamatan

Cisarua berkisar antara 0,0179-0,1183 mg/kg, sedangkan residu diazinon berkisar antara

0,0177-0,0613 mg/kg, dengan konsentrasi tertinggi terdapat di Joglo Desa Cibeureum

sebesar 0,1183 mg/kg. Konsentrasi residu insektisida klorpirifos di Kecamatan Pacet

berkisar antara 0,0225-0,1180 mg/kg, dengan konsentrasi tertinggi terdapat di Desa

Ciherang sebesar 0,1180 mg/kg, sedangkan residu insektisida diazinon sebesar 0,0682-

0,2771 mg/kg, dengan konsentrasi tertinggi di Desa Ciherang sebesar 0,2771 mg/kg. Residu

insektisida klorpirifos pada contoh sayuran kubis di Kecamatan Lembang ditemukan

sebesar 0,0117-0,0925 mg/kg, dan residu insektisida diazinon sebesar 0,0307-0,1118 mg/kg

( Tabel 4).

Lokasi Konsentrasi residu insektisida (mg/kg)

Klorpirifos Diazinon

Cidokom 5 Ds. Kopo Kec. Cisarua 0,1028 0,0329

Cidokom Wates Ds. Kopo Kec. Cisarua 0,0364 0,2023

Citeko Ds. Citeko Kec. Cisarua 0,0095 0,0884

Joglo Ds. Cibeureum Kec. Cisarua 0,0195 0,0438

Desa Ciloto kecamatan Pacet 0,0274 0,0650

Golendang Ds. Sukatani Kec. Pacet 0,0250 0,0489

Ds. Cipendawa Kec. Pacet < 0,0020 0,0411

Ds Ciherang Kecamatan Pacet 0,0107 0,0745

Ds. Ciputri Pasir Sarongge Kec. Pacet 0,0146 0,0262

Gandok Ds. Sunten Jaya Kec. Lembang < 0,0020 < 0,0180

Cipanengah Ds. Cibodas Kec. Lembang < 0,0020 <0,0180

Angling Ds. Sunten Jaya Kec. Lembang < 0,0020 0,0199

Asrama Desa Sunten Kec. Lembang < 0,0020 0,0175

Page 138: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

119

Masih ditemukannya residu insektisida di semua lokasi penelitian dapat disebabkan

oleh penggunaan insektisida klorpirifos dan diazinon dilakukan secara intensif dalam

mengendalikan hama pengganggu tanaman pada tanaman kubis. Penggunaan pestisida

terutama jenis organofosfat yang intensif di bidang pertanian telah meninggalkan residu

pestisida pada tanaman dan menjadi masalah baik terhadap lingkungan maupun manusia.

Syahbirin (2001) menjelaskan ada tiga jenis organofosfat yang sering digunakan dalam

sayuran maupun buah-buahan yaitu diazinon, dimetoat dan klorpirifos. Berdasarkan hasil

penelitian Munarso et al. (2009), pada kubis menunjukkan bahwa bahan aktif endosulfan

dominan ditemukan pada sampel kubis baik yang berasal dari Malang maupun Cianjur,

dengan kandungan residu pestisida tertinggi 7,4 ppb yang dianalisis dari sampel yang

diambil dari petani di Cianjur. Residu lain yang terdeteksi antara lain pestisida yang

mengandung bahan aktif klorpirifos, metidation, malation, dan karbaril.

Tabel 4. Konsentrasi residu beberapa insektisida klorpirifos dan diazinon pada contoh kubis

Lokasi Konsentasi mg/kg

Klorpirifos Diazinon

Cidokom 5 Ds. Kopo Kec. Cisarua 0,0372 0,0915

Cidokom Wates Ds. Kopo Kec. Cisarua 0,0529 0,0337

Citeko Ds. Citeko Kec. Cisarua 0,0177 0,0179

Joglo Ds. Cibeureum Kec. Cisarua 0,0613 0,1183

Desa Ciloto kecamatan Pacet 0,0225 0,0682

Desa Sukatani Kec. Pacet 0,1174 0,0825

Desa Cipendawa Kec. Pacet 0,0615 0,1207

Desa Ciherang Kecamatan Pacet 0,1180 0,2771

Desa. Ciputri Pasir Sarongge Kec. Pacet 0,0724 0,0925

Gandok Ds. Sunten Jaya Kec. Lembang 0,0307 0,0620

Cipanengah Ds. Cibodas Kec. Lembang 0,1113 0,0421

Angling Ds. Santen Jaya Kec. Lembang 0,1118 0,0117

Asrama Desa Sunten Kec. Lembang 0,0910 0,0293

KESIMPULAN

1. Tanah pertanian sayuran kubis di Kecamatan Cisarua dan Pacet masih mengandung

residu klorpirifos dan diazinon. Konsentrasi klorpirifos tertinggi di Cidokom 5 Desa

Kopo Kecamatan Cisarua sebesar 0,1028 mg/kg,sedangkan residu tertinggi insektisida

diazinon di Cidokom Wates Desa Kopo Kecamatan Cisarua sebesar 0,2023 mg/kg.

2. Kubis di semua lokasi sampling mengandung residu insektisida klorpirifos dan

diazinon. Konsentrasi tertinggi residu insektisida klorpirifos dan diazinon di Desa

Ciherang Kecamatan Pacet masing-masing sebesar 0,1180 dan 0,2771 mg/kg.

Page 139: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

120

DAFTAR PUSTAKA

[Extoxnet] Extension Toxicology Network. 1996. Pesticide information profile [internet].

Tersedia pada extoxnet.orst.edu/chlorpur.htm (diakses 14 Januari 2016)

[WHO] World Health Organization. 2001. Inventory of IPCS and other pesticide

evaluations and summary of toxicological evaluations performed by the Joint

Meeting on Pesticide Residues (JMPR). Evaluations through 2000., Geneva.

2001.text at: http://www.who.int/pcs/jmpr/jmpr.htm(diunggah 15 Juli 2014)

Adiyoga, W., & M. Ameriana. 2008. Segmentasi Pasar dan Pemetaan Persepsi Atribut

Produk Beberapa Jenis Sayuran Minor (Under-utilized). J. Hort. 18(4):466-476.

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang.

Afriyanto. 2008. Kajian keracunan pestisida pada petani penyemprot cabe di Desa Candi

Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang.Tesis. Program Pasca Sarjana.

Universitas Diponegoro, Semarang. [online]

http://eprints.undip.ac.id/16405/1/AFRIYANTO.pdf. (diunggah 13 September 2014)

Ameriana, M., R.S. Basuki, E. Suryaningsih, & W. Adiyoga. 2000. Kepedulian Konsumen

Terhadap Sayuran Bebas Residu Pestisida (Kasus pada Sayuran Tomat dan Kubis).

Jurnal Hortikultura 9 (4): 366-377.

Ilyas, J., K. Widodo, I. Pranata, & R. Suparno.1986. Penelitian Residu Pestisida Dalam

Kubis dari Daerah Pacet Kecamatan Cianjur Propinsi Jawa Barat.Dalam

Pemantapan Peranan Penelitian Terhadap Sumberdaya Alam untuk Mencapai

Masyarakat Sehat dan Sejahtera. Padang (ID): Laboratorium Biokimia Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas.

Komisi Pestisida. 1997. Metode pengujian residu pestisida dalam hasil pertanian. Jakarta

(ID): Direktorat Perlindungan Tanaman. p 130-153.

Munarso, S.J., Miskiyah, & Wisnubroto. 2009. Studi kandungan residu pestisida pada

kubis, tomat dan wortel di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Pascapanen

Pertanian 2: 27-31

Peraturan Menteri PertanianNomor : 88/Permentan/PP.340/12/2011Tentang Pengawasan

Keamanan Pangan terhadap Pemasukan dan pengeluaran pangan segar 9 asal

Tumbuhan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Racke, K.D. 1993. Environmental fate of chlorpyrifos. Reviews: Environ Contam

Toxicolgy. New York inc (USA): Springer 131: 1–154.

Saraswati, R., E. Husen, & R.D.M. Simanungkalit. 2007. Metode Analisis Biologi Tanah.

Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan. Bogor. Hal 2-9

Syahbirin, G. 2001. Residu Pestisida pada Tiga Jenis Buah

Impor.http://www.pdfqueen.com (diunggah 16 Juli 2014).

Tomlin, C.D.S. 1997. The Pesticide Manual.British Crop Protection Council, Eleventh

Edition 235- 236

Page 140: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

121

IDENTIFIKASI RESIDU GLIFOSAT PADA LAHAN HORTIKULTURA DI PROVINSI JAWA TENGAH

Ria Fauriah, Ukhwatul Muanisah, dan Anik Hidayah

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km. 5, Pati Jawa Tengah 59182

Abstrak. Kehadiran gulma dalam budidaya tanaman hortikultura mampu menurunkan

produktivitas tanaman utama. Petani umumnya mengendalikan gulma dengan

menggunakan herbisida sintetik. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kandungan residu

glifosat dan pola sebaran spasialnya pada lahan hortikultura di Jawa Tengah. Pengambilan

contoh tanah dilakukan di beberapa sentra hortikultura di Provinsi Jawa Tengah yaitu Kab.

Semarang, Boyolali, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara, Brebes dan Kota

Salatiga. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Penentuan titik

pengambilan contoh tanah dilakukan secara grid pada satuan (unit) peta Rupa Bumi

Indonesia digital. Batas satuan peta didelineasi dengan program ArcGIS yang didasarkan

pada kemiringan lahan. Kandungan residu glifosat dalam contoh tanah diukur dengan

menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC), preparasi contoh tanah

dengan metode Quecher. Penentuan pola sebaran spasial dilakukan dengan analisis statistik

deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan residu glifosat paling banyak ditemukan di Kab.

Temanggung sebanyak 4 titik, Boyolali dan Banjarnegara masing-masing 3 titik, Magelang

sebanyak 2 titik, Brebes, Semarang dan Wonosobo masing-masing 1 titik. Residu glofosat

tidak terdeteksi di sentra hortikultura di kota Salatiga. Konsentrasi residu glifosat yang

terdeteksi berkisar 0,18 – 7,09 mg kg-1. Konsentrasi terendah ditemukan Kab. Temanggung

dan yang tertinggi ditemukan di Kab. Brebes. Pola sebaran spasial residu glifosat pada

lahan hortikultura di Jawa Tengah adalah mengelompok dengan nilai VMR=2,7.

Kata Kunci:residu glifosat, lahan hortikultura, pola sebaran spasial

Abstract.Weeds existence in horticultural crops could reduce productivity of main crops.

Farmers generally use synthetic herbicides to control weeds. The high of herbicides

application causes contamination in soil at horticultural lands so that can threaten food

safety and environment. This study was aimed to identify the residual content of glyphosate

and spatial distribution pattern in horticultural lands at Central Java province. Soil sampling

was done in some horticulture centers of Central Java Province namely Semarang,

Boyolali, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara, Brebes and Salatiga districts.

The research used survey method. The point soil sampling was done by grid on unit of

Indonesian digital map. The unit boundary of the map was delineated using an ArcGIS

program based on land sloping. The residual content of glyphosate was measured using

High Performance Liquid Chromatography (HPLC), and preparation of soil samples used

procedure from Quecher method. Determination of spatial distribution pattern was done

with descriptive statistical analysis. The results showed that glyphosate residues was

detected as muc as 4 points in Temanggung, 3 points in Boyolali and Banjarnegara,

respectively, 2 points in Magelang, and only 1 point in Brebes, Semarang and Wonosobo,

respectively. Glyphosate residue was not detected in Salatiga. The concentrations of

glyphosate residue ranged 0.18 -7.09 mg kg-1. The lowest concentration was found in

Temanggung, while the highest was in Brebes regency. The spatial distribution pattern of

glyphosate residues in horticultural land at Central Java was clustered with VMR = 2.7.

Keywords:glyphosate residue, horticultural land, spatial distribution pattern

12

Page 141: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

122

PENDAHULUAN

Pengendalian gulma pada lahan pertanian khususnya lahan hortikultura merupakan

salah satu hal penting dalam peningkatan produktivitas tanaman. Dalam proses produksi,

pengendalian gulma selalu menjadi aspek penting yang dapat mendukung keberhasilan

suatu proses produksi pada produk-produk hasil pertanian.

Berbagai upaya sering dilakukan para petani untuk menekan populasi gulma di

pertanaman, seperti dengan cara fisik/mekanik maupun dengan cara kimiawi. Salah satu

upaya yang sering menjadi pilihan utama petani adalah penggunaan herbisida

kimiawi/sintetik. Penggunaan herbisida dianggap sebagai langkah yang paling efektif dan

efisien dalam pengendalian gulma pada pertanaman dibandingkan dengan cara lainnya

terutama pada kawasan pertanaman yang luas. Hal ini karena gulma dapat dikendalikan

dalam waktu yang relatif singkat dan mencakup wilayah yang luas. Selain itu, bahaya erosi

dan kerusakan perakaran tanaman dapat dihindari karena gulma yang mati akibat herbisida

hanya akan menutupi permukaan tanah dan tidak mengganggu perakaran tanaman.

Pengendalian gulma dengan herbisida sintetik secara terus menerus dapat

berdampak negatif pada pertanaman dan lahan. Penggunaan herbisida berlebihan dan terus

menerus dapat menjadi sumber pencemaran pada produk hasil pertanian, air, tanah, dan

lingkungan hidup, serta membahayakan kesehatan manusia.Teknik pengendalian secara

kimiawi dengan menggunakan herbisida cenderung mengalami peningkatan baik kualitas

maupun kuantitas dari tahun ke tahun di banyak negara di dunia, dengan volume pemakaian

herbisida yang jauh lebih tinggi (70%) di negara-negara maju dibanding dengan di negara-

negara sedang berkembang. World Health Organization (WHO) dan Program Lingkungan

PBB memperkirakan ada sekitar 3 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian di negara-

negara berkembang terkena racun pestisida dan sekitar 18.000 orang di antaranya

meninggal setiap tahun (Claudia, 2012).

Salah satu jenis herbisida yang banyak digunakan di lahan pertanian yaitu glifosat.

Glifosat merupakan jenis herbisida sistemik yang bersifat mobil, artinya dapat bergerak dari

tempat kontak pertama ke bagian lain dalam tanaman seperti pada titik tumbuh tanaman.

Glifosat juga tergolong herbisida nonselektif yang dapat meracun semua spesies tumbuhan.

Glifosat merupakan herbisida pasca tumbuh yang diaplikasikan saat gulma telah tumbuh di

pertanaman, yang di aplikasikan pada daun ataupun tajuk tanaman (Sembodo, 2010).

Residu herbisida glifosat terdeteksi di areal pertanaman dan tertranslokasi ke dalam

produkhasil panen merupakan residu yang terkonsumsi oleh konsumen, dan terakumulasi

dalam tanah, serta potensial terserap akan tanaman berikutnya. Residu herbisida inilah yang

dalam jangka panjang akan menyebabkan gangguan kesehatan yaitu pada syaraf maupun

metabolisme enzim. Residu pestisida terbawa nelalui rantai makanan akan terakumulasi

dalamjaringan tubuh yang mengandung lemak. Akumulasi residu pestisida ini pada

manusia dapat merusak fungsi hati, ginjal, sistem syaraf, menurunkan kekebalan tubuh,

menimbulkan cacat bawaan, alergi dan kanker (Munarso, 2016).

Komoditas hortikultura unggulan di provinsi Jawa Tengah adalah bawang merah,

cabai merah, kentang, cabai rawit, dan sawi. Produktivitas bawang merah cukup fluktuatif

karena sangat bergantung dengan iklim. Produksi bawang merah dari tahun 2008-2012 di

Page 142: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

123

Jawa Tengah antara 3 juta sampai 5 juta kuintal per tahun. Komoditas unggul lainnya yaitu

cabai merah dan kentang. Kabupaten Brebes merupakan sentra tanaman bawang merah.

Cabai merah diproduksi di Kabupaten Temanggung, Magelang, Brebes, dan Banjarnegara,

sedangkan kentang di produksi di Kabupaten Wonosobo, Temanggungdan Karanganyar.

Produksi cabai merah di Jawa Tengah berfluktuasi di sekitar 1 juta sampai 1,3 juta kuintal

per tahunnya, demikian pula dengan kentang (Dinas Pertanian Jawa Tengah, 2014).

Dari hasil penelitian sebelumnya oleh Adi (2003), residu glifosat berkisar 0,0009 -

0,0012 mg kg-1 ditemukan di Jawa Barat seperti di kabupaten Ciamis, Majalengka, dan

Serang. Residu glifosat juga ditemukan di Jawa Tengah (Rembang, Klaten, Bantul, Cilacap,

Kebumen, Banyumas, Brebes, dan Pemalang) dengan kisaran 0,0004-0,0125 mg kg-1. Di

Jawa Timur, yaitu di Ngawi, Magetan, Madiun, Nganjuk, Malang, dan Pasuruan ditemukan

glifosat pada beras dan lahan sawah pada konsentrasi lebih rendah daripada BMR = 1,02

mg kg-1 (Adi, 2003). Sebagai informasi untuk prioritas remediasi residu pestisida

khususnya glifosat, maka diperlukan penetian dengan tujuan untuk mengidentifikasi

kandungan residu glifosat dan pola sebaran spasialnya pada lahan di beberapa sentra

hortikultura di provinsi Jawa Tengah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di beberapa sentra hortikultura Provinsi Jawa Tengah yaitu

Kab. Semarang, Boyolali, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara, Brebes dan

Kota Salatiga. Analisis kandungan glifosat dalam contoh tanah dilakukan di Laboratorium

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli hingga

November 2015.

Bahan yang digunakan yaitu aseton, n-heksan, sodium klorida, sodium sulfat

anhidrat, bahan standar glifosat. Alat yang digunakan yaitu HPLC(High Performance

Liquid Chromatography), kolom kromatografi, homogenator, rotary evaporator, corong

pisah, corong buchner, tabung digestion & blok digestion, pengocok tabung mekanik,

dispenser, tabung sentrifuse, micro syringe, neraca analitik 3 desimal, perangkat lunak

ArcGIS ver. 10.1, bor tanah, kompas, dan GPS.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Penentuan titik

pengambilan contoh tanah dilakukan secara grid pada satuan (unit) peta Rupa Bumi

Indonesia digital. Batas satuan peta didelineasi dengan bantuan program ArcGIS yang

didasarkan pada kemiringan lahan. Analisis kandungan residu glifosat menggunakan High

Performance Liquid Chromatography (HPLC), preparasi contoh tanah dengan metode

Quicher. Penentuan pola sebaran spasial dilakukan dengan analisis statistik deskriptif.

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:

(1) Eksplorasi data sekunder berupa informasi dari dinas terkait meliputi luas lahan, jenis

pertanaman, intensitas penggunaan herbisida, lokasi hunian, sistem drainase, kemiringan

lereng, tingkat cekungan lahan,

(2) Penentuan lokasi pengambilan contoh berdasarkan peta satuan tingkat kerentanan lahan

sawah terhadap residu pestisida dari overlay faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

Page 143: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

124

kerentanan tersebut.Intensitas pengamatan lapangan adalah tiap 50-100 km2 bergantung

tingkat kerentanan lahan sawah.

(3) Survey pengambilan contoh tanah. Satu titik sampling terdiri atas 10-15 contoh

individual (sub contoh), dengan jarak pengambilan tiap sub contoh 25-50 m di lapang. Alat

yang digunakan untuk pengambilan sub contoh tanah adalah bor tanah, yang diambil pada

lapisan olah dengan kedalaman 20 cm. Contoh-contoh individual tersebut dimasukkan ke

dalam ember dan dicampur sampai homogen, kemudian diambil secara komposit seberat

0,5-1 kg dan dimasukkan ke dalam kantong plastik ukuran 15×25 cm dan diberi label.

Penulisan label dalam dan label luar terdiri dari tanggal pengambilan, kode pengambil

dan nomor contoh serta nama lokasi (desa, dan kecamatan) dan jenis contoh. Contoh

tersebut merupakan satu contoh komposit.

(4) Analisis contoh di laboratorium menggunakan metode QuEChERS. Contoh(tanah,

tanaman) sebanyak 10 gramdimasukkan kedalam botol teflon atau botol kaca volume 50

ml). Lalu ditambahkan 10 ml aceton p.a atau dapat juga menggunakan acetonitrile p.a.

larutan dikocok selama satu menit hingga homogen, kemudian ditambahkan 4 gram bubuk

magnesium sulfat (MgSO4) anhidrat atau dapat diganti dengan sodium sulfat (NaSO4)

anhidrat dan 1 gram sodium klorida (NaCl). Larutan disentrifugasi selama 2 menit pada

kecepatan 3000 rpm. Hasilnya disaring dengan kertas saring yang telah dilapisi bubuk

MgSO4 atau NaSO4 anhidrat, tamping ekstraktan pada tabung reaksi berskala volume 10 ml.

Bilas kertas saring dengan aseton p.a hingga volume ekstraktan mencapai 5 ml dan

dianalisis dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography(HPLC).

Penentuan nilai konsentrasi glifosat dengan membandingkan hasil peak kromatogram yang

terbaca dengan peak kromatogram dari larutan standar senyawa glifosat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari delapan Kabupaten/Kota sentra hortikultura, tujuh diantaranya terdeteksi residu

glifosat, yaitu Kab. Semarang, Boyolali, Magelang, Temanggung, Wonosobo,

Banjarnegara, dan Brebes. Ini mengindikasikan bahwa penggunaan herbisida glifosat di

tingkat petani dilakukan secara intensif untuk mengendalikan gulma.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu glifosat paling banyak ditemukan di

Kab. Temanggung (4 titik), diikuti Boyolali dan Banjarnegara masing-masing 3 titik,

Magelang sebanyak 2 titik, Brebes, Semarang dan Wonosobo masing-masing 1 titik.

Residu glifosat tidak terdeteksi di sentra hortikultura di kota Salatiga. Lokasi sebaran residu

herbisida di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari total 217 titik pengambilan contoh di 8

kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, 15 titik terdeteksi mengandung residu glifosat

dalam tanah, kecuali di Kota Salatiga yang tidak terdeteksi residu glifosat dalam tanah.

Konsentrasi residu glifosat terideteksi berkisar 0,1822 – 7,0857 mg kg-1. Konsentrasi

terendah (0,1822 mg kg-1) terdeteksi di Kabupaten Temanggung, sedangkan tertinggi di

Kab. Brebes (7,0857 mg kg-1).

Page 144: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

125

Tabel 1. Residu glifosat di Lahan Hortikultura pada setiap Kabupaten di Provinsi Jawa

Tengah.

No Kabupaten Jumlah titik sampling Jumlah titik

terdeteksi Nilai residu (mg kg-1)

1 Brebes 54 1 7,0857

2 Semarang 11 1 1,4271

3 Boyolali 23 3 0,3467-5,7071

4 Magelang 22 2 0,2660-4,5966

5 Temanggung 42 4 0,1822-1,9886

6 Banjarnegara 40 3 0,1920-2,0921

7 Wonosobo 24 1 0,2911

8 Kota Salatiga 1 0 TTD

Sumber: Data primer setelah diolah, 2017

Keterangan: TTD=Tidak Terdeteksi, BMR Glifosat = 1,02 mg kg-1

Dari 15 titik yang terdeteksi, terdapat 7 titik yang konsentrasi residunya melebihi

BMR = 1,02 mg kg-1 (Gambar 1), yaitu Kabupaten Brebes (1 titik), Semarang (1 titik),

Boyolali (2 titik), Temanggung (1 titik), Magelang (1 titik), dan Banjarnegara (1 titik).

Persentase kabupaten yang memiliki nilai residu lebih tinggi daripada BMR yaitu sebesar

46,66%, atau dengan kata lain dari titik-titik yang terdeteksi residu glifosat hampir

separuhnya melebihi nilai BMR.

Hal ini menunjukkan bahwa herbisida glifosat pada lokasi tersebut digunakan secara

intensif, baik dalam dosis penggunaan maupun dari waktu penggunaannya. Pemberian

herbisida glifosat pada dosis tertentu dalam periode yang lama menyebabkan munculnya

gulma yang resisten terhadap herbisida glifosat. Selain itu, muncul pula gulma-gulma yang

toleran terhadap glifosat pada dosis tersebut. Sehingga hal inilah yang menimbulkan

perilaku penambahan dosis herbisida ataupun waktu pemberian yang dibuat lebih sering

lagi pada pertanaman selanjutnya. Penggunaan herbisida glifosat dengan dosis berlebihan

dan frekuensi pemberian yang tinggi menyebabkan akumulasi residu glifosat dalam tanah

dan tanaman. Hal ini disebabkan karena glifosat bersifat sistemik dan non selektif

mendorong residu masuk ke dalam jaringan tanaman, bagian tanaman yang dikembalikan

ke lahan sebagai bahan organik ataupun gulma yang mati yang kemudian terdekomposisi

menyebabkan residu glifosat di lahan secara tidak langsung akan meningkat. Hal ini sesuai

dengan pendapat Purba (2011) yang menyatakan residu glifosat mampu bertahan dalam

tanah. Penggunaan herbisida (terutama dengan bahan aktif dan cara kerja yang sama) secara

berulang-ulang dalam periode yang lama pada suatu areal dapat menimbulkan dua

kemungkinan, yaitu terjadinya dominasipopulasi gulma resisten herbisida atau dominasi

gulma toleran herbisida.

Page 145: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

126

Gambar 1. Nilai residu pada setiap Kabupaten di Jawa Tengah

Hal ini juga didukung oleh pendapat Srikandi (2010) dalam Faqihhudin et al.

(2014), di lapangan, tidak semua pestisida mengenai sasaran, kurang lebih hanya 20%

pestisida yang mengenai sasaran, sedangkan 8% lainnya jatuh, terakumulasi dan

meninggalkan residu di dalam tanah dan sekitar 78% yang tepat mengenai sasaran.

Akumulasi tersebut mengakibatkan potensi cemaran di lahan pertanian. Apabila masuk ke

dalam rantai makanan, sifat beracun dari bahan pestisida ini dapat menimbulkan berbagai

penyakit pada manusia.

Menurut Faqihhudin et al. (2014) bahwa penambahan herbisida tidak meningkatkan

pertumbuhan namun penggunaan herbisida dapat mengendalikan gulma pada lahan

penelitian sehingga pertumbuhan meningkat. Gulma yang mati akibat perlakuan herbisida

glifosat secara tidak langsung dapat menambah kandungan unsur hara dan bahan organik

tanah. Penambahan dosis glifosat menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman. Hal

ini disebabkan karena glifosat yang terjerap oleh liat sudah melebihi kapasitas serapan

glifosat, sehingga glifosat aktif didalam larutan tanah meningkat.

Berdasarkan hasil perhitungan, pola sebaran spasial residu glifosat di lahan

hortikultura di Jawa Tengah adalah mengelompok (Cluster) dengan nilai VMR=2,7 yang

berarti beberapa nilai residu terkonsentrasi berdekatan satu sama lain. Adanya perbedaan

nilai tersebut disebabkan variasi dari kondisi lingkungan dan geografi wilayah. Perbedaan

penggunaan glifosat pada lahan baik dari segi dosis pemberian, lamanya penggunaan, dan

rentan waktu pemberian glifosat di lahan menyebabkan perbedaan nilai residu yang

teridentifikasi. Selain dilihat dari faktor lingkungan, seperti jenis tanah, pola sebaran data

yang mengelompok dapat menunjukkan adanya perbedaan persepsi dan perilaku petani

pada setiap kabupaten sehingga menyebabkan nilai residu pada satu kabupaten lebih tinggi

dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Persepsi petani terhadap resiko ganggunan pada

saat pertumbuhan tanaman akibat kompetisi dengan gulma, penurunan hasil yang

signifikan, tingginya serangan OPT menyebabkan semakin tingginya dosis ataupun waktu

pengaplikasian herbisida. Hal ini sesuai dengan pendapat Ameriana (2008) yang

menyatakan bahwa persepsi petani terhadap risiko, semakin tinggi persepsi petani terhadap

BMR

BMR BMR

BMR

Page 146: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

127

risiko maka semakin tinggi kuantitas pestisida kimia yang digunakan. Persepsi petani

tentang ketahanan kultivar terhadap OPT, semakin rendah ketahanan suatu kultivar

terhadap serangan OPT, semakin tinggi kuantitas pestisida kimia yang digunakan oleh

petani. Pengetahuan petani tentang bahaya pestisida, semakin rendah pengetahuan petani,

semakin tinggi kuantitas pestisida yang digunakan oleh petani.

Jika dilihat dari segi kondisi lingkungan, perbedaan nilai residu dalam tanah

disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Sodiq (2012) ada berbagai faktor yang

mempengaruhi nilai residu herbisida dalam tanah, antara lain: (1) kemampuan adsorbsi

pestisida oleh partikel tanah dan bahan organik, dimana kandungan bahan organik dalam

tanah yang tinggi menurunkan mobilitas pestisida sehingga residu pestisida makin

meningkat akibat rendahnya pengaruh limpasan permukaan dan perkolasi; (2) pencucian

oleh air hujan, dimana curah hujan yang tinggi dapat memperpendek umur residu pestisida,

mempercepat metabolisme dan pencucian yang menyebabkan residu pestisida lebih cepat

terbawa air sungai dan masuk ke laut; (3) penguapan, dimana air berperan sebagai media

transportasi pestisida. Pindahnya pestisida dapat bersama partikel air atau debu, disamping

itu dapat menguap karena suhu tinggi; (4) degradasi atau aktivitas mikroorganisme tanah;

(5) pengolahan tanah, sistem pengolahan tanah konservasi dapat menurunkan residu

pestisida dalam limpasan permukaan dan erosi.

Pengendalian gulma pada sistem tanpa olah tanah mengandalkan penggunaan

herbisida glifosat (Kesuma, 2015). Sistem tanpa olah tanah umumnya memperbesar dosis

penggunaan glifosat. Glifosat lebih banyak digunakan karena membunuh gulma secara

menyeluruh. Dalam tanah, glifosat tidak mudah terdegradasi dan terakumulasi dengan

mengikat kation tanah. Persistensi dan akumulasi glifosat di dalam tanah tergantung pada

komposisi tanah, kondisi iklim dan aktivitas mikroba. Proses tersebut terjadi dalam jaringan

meristem akar dalam tanah yang terbukti secara signifikan mengurangi pertumbuhan dan

perkembangan akar tanaman dalam menyerap nutrisi. Gangguan terhadap serapan nutrisi

pada akar, juga mempengaruhi kemampuan alami tanaman dalam mengimbangi

kekurangan nutrisi dalam jumlah sedikit. Glifosat dapat mengurangi serapan unsur hara

melalui toksisitasnya terhadap mikroorganisme tanah yang berperan penting dalam

meningkatkan ketersediaan nutrisi melalui proses mineralisasi dan simbiosis.

Penggunaan herbisida glifosat yang berlebihan menimbulkan berbagai dampak

negatif, baik pada manusia maupun lingkungan. Oleh karena itu, saat ini perlu adanya

peningkatan edukasi/pengetahuan untuk petani terkait bahaya dan dampak negatif dari

penggunaannya yang berlebihan dalam kurun waktu yang lama. Pemberian informasi

terkait hal tersebut dapat ditingkatkan dengan penyampaian yang lebih intensif dan

disampaikan oleh sumber yang dapat dipercaya oleh petani. Saat ini berbagai temuan terkait

teknik pengendalian gulma yang ramah lingkungan telah banyak dilakukan, baik dari segi

pengolahan tanah, perawatan, penggunaan alat, dan penggunaan tanaman sebagai

bioherbisida. Hal inilah yang dapat mendukung pertanian berkelanjutan yang ramah

lingkungan khususnya pada komoditas hortikultura yang dinilai lebih intensif dalam

penggunaan herbisida.

Page 147: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

128

KESIMPULAN

Sebagian besar sentra hortikultura di Jawa Tengah terdeteksi mengandung residu

herbisida glifosat. Residu glifosat terbanyak ditemukan di Kab. Temanggung (4 titik),

diikuti Boyolali dan Banjarnegara masing-masing 3 titik, Magelang sebanyak 2 titik,

Brebes, Semarang dan Wonosobo masing-masing 1 titik. Konsentrasi residu glifosat

terendah ditemukan di Kab. Temanggung (0,1822 mg kg-1) dan yang tertinggi ditemukan di

Kab. Brebes (7,0857 mg kg-1). Dari 15 titik yang terdeteksi, 46,66% telah melebihi

konsentrasi BMR glifosat, yaitu Kabupaten Brebes, Semarang, Boyolali, Temanggung,

Magelang, dan Banjarnegara. Pola sebaran spasial residu glifosat pada lahan hortikultura di

Jawa Tengah adalah mengelompok dengan nilai VMR=2,7.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, A. 2003. Degradasi tanah pertanian Indonesia tanggung jawab siapa. Tabloid Sinar

Tani Terbitan 11 Juni 2003. Diakses dari

http://syekhfanismd.lecture.ub.ac.id/files/2012/11/Degradasi-Tanah-Pertanian-

Indonesia.pdf.

Ameriana, M. 2008. Perilaku petani sayuran dalam menggunakan pestisida kimia. Jurnal

Hortikultura18(1): 95-106. Diakses dari

http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jhort/article/view/800

Claudia, L. 2012. Analisis Aplikasi dan Residu Herbisida pada Pengelolaan Perkebunan

Tebu Berdasarkan Aspek Sosioekologis. Tesis.Institut Pertanian Bogor. Diakses

dari http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/58734

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah. 2014. Potensi Pertanian

Jawa Tengah Menuju Pertanian yang Unggul.

Faqihhudin, M. Danang, Haryadi, dan H. Purnamawati. 2014. Penggunaan herbisida IPA-

Glifosat terhadap pertumbuhan, hasil dan residu pada jagung. Jurnal Ilmu Pertanian

17(1): 1-12. Diakses dari https://journal.ugm.ac.id/jip/article/view/4920

Kesuma, S. Dharma, and S. Anwar. 2015. Dampak aplikasi herbisida IPA-glifosat dalam

sistem tanpa olah tanah (TOT) terhadap tanah dan tanaman padi sawah. Jurnal

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and

Environmental Management)5(1): 61. Diakses dari

http://jagb.journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl/article/view/10197

Munarso, S.J., dan W. Broto. 2016. Studi kandungan residu pestisida pada kubis, tomat dan

wortel di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Pasca Panen 5(1): 27-32. Diakses

dari http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/bpasca/article/view/5393

Purba, E. 2011. Intergrated weed management pada tanaman biotek resisten-herbisida.

Seminar Lustrum XI Fakultas Pertanian bekerja sama dengan Monsanto Indonesia

Tanaman Transgenik Hasil Teknologi Canggih Rekayasa Genetik untuk Pemenuhan

Kebutuhan Pangan Dunia.

Sembodo, D.R.J. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu166.

Sodiq, M. 2012. Pengaruh pestisida terhadap kehidupan organisme tanah. MAPETA 2(5):

20. Diakses dari

http://ejournal.upnjatim.ac.id/index.php/mapeta/article/viewFile/221/180

Page 148: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

129

KONTAMINASI RESIDU ORGANOFOSFAT DALAM DARAH PETANI PADI DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

Sri Wahyuni, Indratin, and Asep Nugraha Ardiwinata

Indonesian Agricultural Environment Research Institute (IAERI); Jl. Raya Jakenan-Jaken Km 05,

Jakenan, Pati, Jawa Tengah; Email: [email protected]

Abstrak. Persaingan global produk pertanian harus memperhatikan kualitas yang terjamin

dan keberlanjutan produksi, yang didukung oleh beberapa faktor seperti peningkatan

efisiensi, produktivitas, dan mutu produk pertanian. Sistem penerapan usahatani yang

menunjang peningkatan produktivitas tidak terlepas dari penggunaan pestisida. Disisi lain

penggunaan pestisida dapat berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Paparan

pestisida dapat masuk kedalam darah manusia melalui mulut, pernafasan maupun pori-pori

kulit. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data residu organofosfat dalam darah

petani di sentra produksi padi di Kabupaten Indramayu. Penelitian dilaksanakan pada petani

padi di Kabupaten Indramayu selama bulan Maret-April 2017. Pengambilan contoh darah

dilakukan oleh petugas dari Dinas Kesehatan (Puskesmas) Kecamatan Juntinyuat.

Selanjutnya contoh darah langsung dibawa ke laboratorium bahan agrokimia di Laladon

Bogor untuk analisis kandungan residu organofosfat. Hasil analisis contoh darah dari 18

petani menunjukkan bahwa residu pestisida golongan organofosfat yang terdeteksi dari

konsentrasi tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah malation (0,004-0,44 mg/L) >

profenofos (0,015-0,186 mg/L) > diazinon (0,003-0,085 mg/L) > paration (0,085-0,189

mg/L) > fenitrotion (0,034- 0,141 mg/L) > difekonazole (0,05 – 0,302 mg/L) > klorpirifos

(0,012 – 0,132 mg/L) > metidation (0,005-0,017 mg/L).

Kata kunci: darah, petani padi, organofosfat

Abstract.Global competition of agricultural products should expect guaranteed good quality

and sustainable productions which is supported by some factors such as increase of

efficiency, productivity, and quality of agricultural products. The application of farming

system that support productivity improvement cannot be separated from pesticides use. The

longterm of pesticides use can impact negatively on human’s health. The exposure of

pesticides in human blood can be occurred through the mouth, respiration, and skin pores.

This study aimed to obtain the organophosphate residue data on the farmers blood in center

of rice production centers at Indramayu Regency. This study was conducted on the rice

farmers in Indramayu Regency from March to April 2017. The blood sampling was

conducted by officers from the Department of Health (Community Health Center) at

Juntinyuat Sub-district. Furthermore, the blood samples were analized directly in laboratory

of agrochemical materials at Laladon, Bogor to determine organophosphate residues

content. Based on analysis result of blood samples from 18 farmers, some organophosphate

pesticides were detected in farmers blood with concentration from highest to lowest,

namely malation (0.004-0.44 mg / L)>profenofos (0.015-0.186 mg/L)> diazinon (0.003-

0.085 mg/L)>paration (0.085-0.189 mg/L)>fenitrotion (0.034- 0.141 mg/L)>dipheconazole

(0.05 - 0.302 mg/L)> chlorpyrifos (0.012 - 0.132 mg/L)>metidation (0.005- 0.017 mg/L).

Keywords: blood, rice farmers, organophosphates

13

Page 149: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

130

PENDAHULUAN

Pestisida golongan organofosfat adalah pestisida yang mempunyai pengaruh efektif

sesaat saja dan cepat terdegradasi dalam tanah, contohnya disulfoton, parathion, diazinon,

azodrin, gophacide dan lain-lain (Sudarmo, 1991). Insektisida organofosfat digunakan di

bidang pertanian, rumah tangga, perkebunan, dan kedokteran hewan. Komoditas pertanian

yang menggunakan insektisida organofosfat adalah jagung, kapas, gandum, dan padi.

Penggunaan insektisida organofosfat dalam bidang pertanian bertujuan untuk

mengendalikan hama pengganggu dengan cara merusak sistem saraf serangga. Ada tiga

jenis cara insektisida yang merusak sistem saraf serangga yaitu melalui kontak dengan

kulit, makanan (saluran pencernaan), dan pernapasan (inhalasi).

Pestisida secara umum diartikan sebagai bahan kimia beracun untuk

mengendalikan jasad penganggu yang merugikan kepentingan manusia. Dalam sejarah

peradaban manusia, pestisida telah cukup lama digunakan terutama dalam bidang kesehatan

dan bidang pertanian. Di bidang kesehatan, pestisida merupakan sarana yang penting,

terutama untuk melindungi manusia dari gangguan secara langsung oleh jasad tertentu

maupun tidak langsung oleh berbagai vektor penyakit menular. Berbagai serangga vektor

yang menularkan penyakit berbahaya bagi manusia telah berhasil dikendalikan dengan

bantuan pestisida. Berkat pestisida, manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman berbagai

penyakit berbahaya seperti penyakit malaria, demam berdarah, penyakit kaki gajah, tifus

dan lain-lain.

Pestisida juga diartikan sebagai substansi kimia dan bahan lain yang mengatur dan

atau menstimulisasi pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman. Keberhasilan

Revolusi Hijau harus dibayar mahal karena munculnya dampak negatif penggunaan

pestisida terhadap lingkungan. Semakin intensifnya penggunaan pestisida di tingkat petani

menyebabkan tingginya residu pestisida pada tanaman, tanah, air dan juga

pengguna/petani. Permasalahan akibat penggunaan pestisida terhadap kesehatan

masyarakat/petani perlu perhatian serius dan berkesinambungan untuk mengetahui dampak

negatif dari bahan pencemar khususnya pestisida (Mulyadi, 2015). Dampak negatif yang

dapat ditimbulkan oleh senyawa pestisida terhadap kesehatan manusia antara lain: kanker

(carcinogenic), cacat lahir (teratogenic), kerusakan syaraf (neurotoxic), mutasi genetik

(mutagenic), gangguan sistem kekebalan, perusakan sistem reproduksi dan endokrin (Eds,

Endocrine Disrupting Pesticides) (Tarumingkeng, 1992). Antisipasi dampak negatif

penggunaan pestisida dilakukan dengan strategi pengendalian hama terpadu (PHT). Dalam

kaidah PHT, pestisida harus digunakan secara selektif dan bijaksana berdasarkan populasi

hama dan penyakit dilapangan (Mulyadi et al., 2014).

Penggunaan pestisida dan pupuk intensif berdampak juga pada efek komulatif yang

menjadi penyebab kerusakan lingkungan dalam jangka waktu yang relatif agak lama

(Palmer, 2008). Dampak negatif pestisida terhadap lingkungan adalah adanya residu

pestisida di dalam tanah yang dapat meracuni organisme non target, terbawa sampai ke

sumber-sumber air dan meracuni lingkungan bahkan terbawa pada mata rantai makanan

sehingga dapat meracuni konsumen, bahkan ke hewan dan manusia (Prabowo, 2008).

Page 150: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

131

Keracunan pestisida menyebabkan terjadinya keluhan seperti muntah-muntah, ludah

terasa lebih banyak, diare, gejala ini dianggap oleh petani sebagai sakit biasa. Beberapa

efek kronis akibat dari keracunan pestisida adalah berat badan menurun, anorexia, anemia,

tremor, sakit kepala, pusing, gelisah, gangguan psikologis, sakit dada dan lekas marah.

Pestisida terutama dari golongan organofosfat yang masuk ke dalam tubuh manusia

mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan menghambat kerja enzim kholinesterase, suatu

bahan kimia esensial dalam menghantarkan impuls sepanjang serabut syaraf (Achmadi,

2005; Syarief, 2007).

Pestisida organofosfat masuk ke dalam tubuh, melalui alat pencernaan atau digesti,

saluran pernafasan atau inhalasi dan melalui permukaan kulit yang tidak terlindungi atau

penetrasi. Dari jumlah contoh 69 orang Istri petani desa Sumberejo, sebanyak

71,02%mengalami keracunan pestisida organofosfat. Petani tersebut umumnya berumur

lebih dari 39 tahun (31,89%), tingkat pengetahuan tentang pestisida kurang (75,36%),

berstatus gizi tidak normal (39,13%), cara penyimpanan pestisida buruk (60,87%) (Teguh

et al., 2009).

Indratin et al. (2012) melaporkan bahwa insektisida organofosfat mempunyai sifat

menghambat asetilkolinesterase (AchE) sehingga bisa terjadi akumulasi asetilkolin (Ach)

yang berkorelasi dengan penghambatan cholinesterase dalam darah. Cholinesterase adalah

enzim dalam darah yang berfungsi mengatur kerja syaraf. Dalam batas tertentu paparan

pestisida akan mengkontaminasi darah penggunanya dimana paparan melebihi batas asupan

harian (ADI-Acceptable Daily Intake) sebagai batasan baku yang telah ditetapkan oleh

badan dunia WHO, FAO (ARSAP/CIRAD, 1998). Pestisida yang telah masuk dalam tubuh

manusia akan terakumulasi dalam darah dan sulit terdegradasi secara alami.

Rustia et al. (2010) juga meneliti keracunan organofosfat dan melaporkan bahwa

keseluruhan responden/petani (56 orang) yang diambil contoh darahnya mengalami

keracunan organofosfat baik keracunan ringan hingga sedang. Tingkat keracunan pestisida

golongan organofosfat pada petani penyemprot sayuran di Kelurahan Campang merupakan

masalah yang serius. Untuk itu perlu adanya upaya peningkatan kepedulian petani terhadap

kesadaran bahaya penggunaan pestisida. Usaha dapat dilakukan melalui penyuluhan yang

bersifat intensif, komprehensif, dan terus menerus, serta pelatihan cara aplikasi yang baik,

dan pentingnya penggunaan alat pelindung diri (APD).

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data residu organofosfat dalam

darah petani di sentra produksi padi di Kabupaten Indramayu.

METODOLOGI

Penelitian paparan residu organofosfat dalam darah petani padi dilaksanakan bulan

Maret-April 2017 di Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu.

Metode yang digunakan adalah (1) wawancara dengan petani tentang penggunaan Alat

Pelindung Diri (APD) dalam penyemprotan, jenis pestisida yang digunakan, umur petani,

cara penyemprotan, dan lain-lain. (2) pengambilan contohdarah sebanyak 15 petani.

Kriteria petani yang dijadikan responden adalah petani penyemprot, tekanan darah normal,

tidak menderita TBC, glikoma, dan tidak dalam pengobatan. Metode pengambilan contoh

darah mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI dengan

Page 151: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

132

bantuan tenaga kesehatan (Puskesmas) terdekat. Pengambilan contoh darah dilakukan oleh

Kepala Puskesmas Juntinyuat Kabupaten Indramayu beserta timnya. Sebelum pengambilan

contoh darah, petugas melakukan pemeriksaan tekanan darah para petani contoh.

Selanjutnya contoh darah dibawa ke laboratorium bahan agrokimia Balai Penelitian

Lingkungan Pertanian di Laladon - Bogor.

Konsentrasi residu organofosfat diukur dengan menggunakan alat kromatografi

gas cair yang dilengkapi dengan detector penangkap electron (DPE) (Mann, 1978).

Detector yang digunakan adalah Flame Photometric Detector (FPD). Contoh darah diambil

dengan pipet sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung uji, kemudian ditambahkan 6

ml larutan (heksan+diklorometan = 85 + 15) dengan bantuan pipet volumetrik, lalu tutup

rapat. Tabung uji diletakkan pada rotary mixer, dan dihidupkan dengan kecepatan 55 rpm

selama 2 jam. Lalu sampel disentrifus pada kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Sebanyak

5 ml pada lapisan heksan + diklorometan dimasukkan dalam tabung konsentrator dan

konsentrator ditempatkan dalam water bath. Selanjutnya evaporasi dilakukan sampai

pelarut heksan dan diklorometan menguap. Sebanyak 2 µL diinjeksikan ke GC untuk

mengetahui jenis residu organofosfat. Kandungan residu yang terdapat dalam contoh darah

dihitung berdasarkan rumus dari Komisi Pestisida (2006):

Residu = Ac x Vis x Ks x Vfc

As x Vic x B x R

Keterangan:

Ac = area contoh

As = area standar

Vic = volume injeksi contoh (µL)

Vis = volume injeksi standar (µL)

Ks = konsentrasi standar (ml/L)

B = bobot awal/volume awal (mg atau ml)

R = recovery (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki lahan sekitar

0,5-1 hektar (50%), 22% memiliki kurang dari 0,5 ha, 17% petani memiliki lahan seluas 1-

1,5 ha, dan 11% dengan kepemilikan lahannya lebih dari 1,5 ha. Ini menunjukkan petani di

Desa Limbangan Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu termasuk petani yang

kepemilikan lahannya relatif luas. Luas kepemilikan lahan sawah disajikan pada Gambar 1.

Petani responden yang diwawancarai adalah petani aktif dan produktif. Petani aktif

di lokasi kajian terbesar berusia 30-40 tahun (39%), usia 51-60 tahun (33%) dan 41-50

tahun (20%). Kesadaran menggunakan APD (alat pelindung diri) secara lengkap masih

sekitar 39%, umumnya petani hanya menggunakan masker (44%) dan bahkan masih ada

yang tanpa APD sekitar 5% seperti terlihat pada Gambar 2.

Page 152: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

133

Gambar 1. Persentase kepemilikan lahan di Juntinyuat, Kabupaten Indramayu

Sumber: Data diolah, 2017

Gambar 2. Penggolongan umur petani aktif di Juntinyuat, Kabupaten Indramayu

Sumber: Data diolah, 2017

Aplikasi pestisida sebelum penyemprotan meliputi pencampuran pestisida dengan

menggunakan air sebagai pelarut serta penggunaan alat pelindung diri (APD) pada saat

pencampuan berupa masker, sarung tangan, maupun pengaduk larutan pestisida. Banyak

dijumpai petani dalam melakukan pencampuran mulai dari membuka kemasan pestisida,

menuangkan ke dalam ember atau tempat mencampur sampai dengan mengaduk pestisida

tidak menggunakan APD dengan alasan membuat pekerjaan tidak cepat selesai.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, sebanyak 44% petani telah menggunakan

masker berupa kaos untuk tutup hidung, 39% menggunakan kaos panjang, topi dan masker,

6% hanya menggunakan kaos panjang dan topi, 6% menggunakan kaos panjang saja, dan

5% tanpa pelindung diri (Gambar 3). Kesadaran petani akan penggunaan APD yang

lengkap belum membudaya, sehingga kegiatan penyemprotan sangat membayakan bagi

petani, masyarakat dan lingkungan sekitar.

Page 153: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

134

Gambar 3. Kesadaran petani dalam penggunaan APD di Juntinyuat, Kabupaten Indramayu

Sumber: Data wawancara

Pengambilan Contoh Darah Responden/Manusia.

Sebelum pengambilancontoh darah, penyuluhan tentang bahaya pestisida dan

pentingnya penggunaan alat pelindung diri (APD) dilakukan. Hasil wawancara dengan

petani, pestisida mempunyai manfaat yang cukup besar bagi masyarakat untuk menjaga

kesehatan tanaman dari serangan hama. Kegiatan penyuluhan, pemeriksaan sebelum

pengambilan contoh darah dilakukan pemeriksaan tekanan darah terlebih dahulu (Gambar

4).

Gambar 4. Penyuluhan tentang penggunaan APD dan 5 Tepat penggunaan pestisida dan

pengambilan sampel darah petani di Balai Desa Limbangan Kecamatan Juntinyuat

Kabupaten Indramayu.

Hasil analisis contoh darah petani yang diambil tanggal 31 Maret 2017,

menunjukkan bahwa 88,89% petani yang diambil contoh darahnya mengandung pestisida

jenis organofosfat dengan bahan aktif yang berbeda-beda. Dampak negatif pestisida

tersebut terhadap manusia yaitu dapat menimbulkan keracunan sehingga dapat mengancam

jiwa manusia atau menimbulkan penyakit/cacat. Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh

manusia dengan berbagai cara antara lain: kulit, tertelan, inhalasi/pernafasan. Dari hasil

analisiscontoh darah konsentrasi pestisida dari yang tertinggi hingga terendah berturut-turut

adalah malation > profenofos > diazinon > paration > fenitrotion/difekonazole >

klorpirifos > metidation. Dari 18 petani yang diambil contoh darahnya prosentase paparan

Page 154: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

135

masing-masing dari yang tertinggi hingga terendah adalah malation (55,56%), profenofos

(50%), diazinon (44,44%), paration (38,89%), fenitrotion/difekonazole (27,78%),

klorpirifos (16,67%), metidation (11,11%). Konsentrasi paparan dalam darah petani

masing-masing bahan aktif dari yang tertinggi hingga terendah adalah malation (0,085-

1,089 mg/L), profenofos (0,012-0,132 mg/L), diazinon (0,046-0,44 mg/L), paration (0,05-

0,302 mg/L), fenitrotion/difekonazole (0,15-0,186 mg/L), klorpirifos (0,034-0,014 mg/L),

metidation (0,003-0,085 mg/L). Konsentrasi pestisida organofosfat dalam darah petani

kabupaten Indramayu disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Konsentrasi pestisida organofosfat dalam darah petani, Indramayu 2017.

Petani

No.

Jumlah

Terdete

ksi

Konsentrasi (mg/L)

Diazinon Fenitrotion Metidation Malation Klorpirifos Paration Profenofos Difekonazol

1 3 ttd ttd 0,003 0,133 ttd ttd 0,02 ttd

2 4 0,104 ttd ttd 0,085 0,042 ttd 0,037 ttd

3 4 0,44 ttd ttd ttd ttd 0,302 0,013 0,005

4 6 ttd 0,186 0,085 1,089 0,141 ttd 0,078 0,006

5 4 0,094 0,028 ttd 0,786 ttd ttd 0,132 ttd

6 5 0,046 ttd ttd 0,426 ttd 0,083 0,073 0,017

7 4 ttd 0,015 ttd 0,086 ttd 0,15 0,02 ttd

8 2 0,072 ttd ttd 0,164 ttd ttd ttd ttd

9 2 ttd ttd ttd 0,31 ttd 0,072 ttd ttd

10 3 ttd ttd ttd ttd ttd 0,089 0,012 0,006

11 2 0,061 ttd ttd ttd 0,034 ttd ttd ttd

12 - ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd

13 - ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd

14 3 ttd ttd ttd 0,161 ttd 0,05 ttd 0,006

15 3 0,075 0,015 ttd ttd ttd ttd 0,026 ttd

16 1 ttd 0,022 ttd ttd ttd ttd ttd ttd

17 2 0,064 ttd ttd 0,128 ttd ttd ttd ttd

18 1 ttd ttd ttd ttd ttd 0,076 ttd ttd

Min

0,046 0,015 0,003 0,085 0,034 0,05 0,012 0,005

Max

0,44 0,186 0,085 1,089 0,141 0,302 0,132 0,017

ttd

10 13 16 8 15 11 9 13

J. Terdeteksi 8 5 2 10 3 7 9 5

Prosentas (%) 44,44 27,78 11,11 55,56 16,67 38,89 50 27,78

ADI (ml/L) 0,002 * 0,005 0,02 0,01 0.005 0,01 *

ADI -Acceptable Daily Intake ttd = tidak terdeteksi

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 18 petani yang diambil contoh

darahnya 16 petani contoh darahnya mengandung 1-6 jenis bahan aktif. Jumlah petani

contoh yang terdeteksi pestisida organofosfat adalah 1 jenis bahan aktif (2 orang), 2-4 jenis

bahan aktif (4 orang), dan 5-6 jenis bahan aktif (1 orang). Seorang petani terpapar 6 jenis

bahan aktif pestisida organofosfat (fenitrotion, metidation, malation, klorpirifos,

profenofos, dan difekonazol) dan telah melebihi nilai ADI.

Page 155: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

136

Tabel 2. Jumlah bahan aktif yang terdeteksi dalam darah responden, 2017

Jumlah bahan aktif Jumlah yang terdeteksi (orang) Prosentase (%)

0 2 11

1 2 11

2 4 22

3 4 22

4 4 22

5 1 6

6 1 6

Sumber: Data analisis yang sudah di olah, 2017

Rata-rata petani contohterdeteksi 2-4 jenis bahan aktif golongan organofosfat,

dimana 11% tidak terdeteksi pestisida organofosfat, 11% terdeteksi 1 jenis bahan aktif ,

22% terdeteksi 2 jenis bahan aktif, 22% terdeteksi 3 jenis bahan aktif, 22%, terdeteksi 4

jenis bahan aktif , 6% terdeteksi 5 jenis bahan aktif, dan 6%, terdeteksi 6 jenis bahan aktif.

Hal ini perlu diwaspadai, dan perlu antisipasi penggunaan pestisida yang lebih bijaksana.

KESIMPULAN

Kesadaran petani di Juntinyuat, Kabupaten Indramayu terhadap penggunaan APD

masih kurang yang dapat berdampak terhadap tingginya paparan residu pestisida

organofosfat dalam darah. Dari 18 petani contoh, sebanyak 88,89% petani terdeteksi

pestisida jenis organofosfat. Konsentrasi organofosfat yang terdeksi dalam darah petani

dari yang tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah malation (0,004-0,44 mg/L) >

profenofos (0,015-0,186 mg/L) > diazinon (0,003-0,085 mg/L) > paration (0,085-0,189

mg/L) > fenitrotion (0,034- 0,141 mg/L) > difekonazole (0,05 – 0,302 mg/L) > klorpirifos

(0,012 – 0,132 mg/L) > metidation (0,005-0,017 mg/L).

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Penelitian Lingkungan Pertanian

yang telah mendanai penelitian tahun 2017. Kepada Cahyadi, Aji M. Tohir, Eman

Sulaeman, yang telah membantu dalam analisis residu pestisida di Laboratorium Bahan

Agrokimia Laladon-Balingtan. Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, dr. Nurdin dan

perawat Puskesmas Kecamatan Juntinyuat, koordinator UPT Kec. Juntinyuat bpk H.

Ikhwan dan POPT Kecamatan Juntinyuat Sub Unit Pelayanan dan Perlindungan Tanaman

Pangan dan Hortikultura Wilayah III Indramayuyang telah membantu kelancaran

pelaksanaan penelitian dan pengambilan sampel darah petani.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Kompas. Jakarta.

ARSAP/CIRAD. 1988. Regional Agro-Pesticide Index Asia and the Pasific. Bangkok:

Thailand, pp. 43-109.

Page 156: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

137

Indratin, S. Wahyuni, dan A.N. Ardiwinata. 2012. Kontaminasi residu organofosfat pada

darah petani sayuran di Pati dan Brebes. Prosiding Penelitian Masalah Lingkungan

di Indonesia. Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada.

Jogjakarta.

Komisi Pestisida. 2006. Metode Pengujian Residu Pestisida pada Hasil Pertanian.

Kementerian Pertanian, Jakarta.

Mann, J.B. 1978. Manual for Training Pesticide Analysis. University of Miami School of

Medicine. Departement of Epidemiologi and Public Health.

Mulyadi. 2015. Identifikasi status pencemaran residu pestisida pada lahan pertanian di

Indonesia. Laporan Akhir Kerjasama Kemitraan Pengkajian Dan Pengembangan

Pertanian Strategis. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian.Jakarta.

Mulyadi, A. Pramono, T. Dewi, M. Ariani, Poniman, S. Wahyuni, Sukarjo, dan A.

Wihardjaka. 2014. Kemajuan Upaya Pengelolaan Pertanian Ramah Lingkungan.

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati. Jawa Tengah.

Palmer, C. 2008. Greening Agriculture in the developping world.Rural 21. The

International Journal for Rural Development.www.peipfikomdasulsel.org

Prabowo. 2008. Atasi hama belalang secara organik.

http://www.metamorfosa.magz.blogspot.com

Rustia, N.R., B. Wispriyono, D. Susanna, dan F.N. Luthfiah. 2010. Lama pajanan

organofosfat terhadap penurunan aktivitas enzim kolinesterase dalam darah petani

sayuran. Jurnal Makara. Kesehatan. 14(2): 95-101.

Sudarmo, S. 1991. Pestisida. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Syarief, D.S. 2007. Pemeriksaan Cholinesterase Darah dengan Tinto Meterkit. Dinkes

Propinsi Jawa Barat, Bandung.

Tarumingkeng, C. 1992. Insektisida: Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak

Penggunaannya. UKRIDA Press. 250 p.

Teguh, B.P., Nurjazuli, dan Sulistiyani. 2009. Analisa faktor risiko keracunan pestisida

organofosfat pada keluarga petani hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten

Magelang.

Page 157: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

138

Page 158: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

139

SEBARAN RESIDU INSEKTISIDA KLORDAN, DIAZINON, DAN KLORPIRIFOS DI LAHAN SAYURAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

Triyani Dewi1), C.O. Handayani1), dan A. Faisal Sudin2)

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken KM 5, Jakenan, Pati, 59182 Jawa Tengah

BPTP Sulawesi Selatan, Jl Perintis Kemerdekaan, Km. 17, 5, Sudiang, Tamalanrea, Makassar, Kota

Makassar, Sulawesi Selatan 90245

Abstrak.Pestisida merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian di

Indonesia. Penggunaan pestisida khususnya insektisida meningkat dari waktu ke waktu dan

aplikasi tertinggi pada lahan hortikultura diikuti pada lahan tanaman pangan. Pemakaian

insektisida yang berlebihan dapat menjadi sumber pencemar bagi tanah, air, tanaman, dan

lingkungan. Berdasarkan adanya indikasi meningkatnya kadar residu insektisida di lahan

pertanian khususnya lahan sayuran, maka diperlukan adanya informasi mengenai sebaran

residu insektisida pada lahan sayuran di Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Agustus-Desember 2015 dengan metode survei. Contoh tanah

diambil dari lahan sayuran di Provinsi Sulawesi Selatan, kemudian contoh tanah dianalisis

kandungan residu insektisida klordan, diazinon, dan klorpirifos di Laboratorium Terpadu,

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dengan metode Quechers. Lahan sayuran di Provinsi

Sulawesi Selatan terdeteksi mengandung klordan dengan konsentrasi 0,0050-0,0016 mg/kg

atau sekitar 42% dari 36 titik lokasi pengambilan contoh tanah. Residu diazinon dan

klorpirifos dari golongan pestisida organofosfat dalam tanah masing-masing 14% (0,0032-

0,0817 mg/kg) dan 80,5% (0,0018-0,0693 mg/kg) pada 36 titik lokasi pengambilan contoh

tanah di lahan sayuran Provinsi Sulawesi Selatan.

Kata kunci: diazinon, klordan, klorpirifos, lahan sayuran

Abstract. Pesticides are an integral part of the agricultural system in Indonesia. The use of

pesticides especially insecticides increases over time and the highest application in

horticultural land is followed on the land of food crops. Excessive use of insecticides can

be a source of pollutants for soil, water, plants, and the environment. Based on the

indication of the increase of residual insectiside level in agricultural land, especially

vegetable land, it is necessary information about the distribution of insecticide residues on

vegetable land in South Sulawesi Province. The soil samples were taken from the vegetable

land in South Sulawesi Province, then the soil samples were analyzed the insecticide

residue content of chlordan, diazinon, and chlorpirifos in Integrated Laboratory,

Agricultural Environment Research Center by Quechers method. Vegetable land in South

Sulawesi Province was detected of chlordane 0.0050-0.0016 mg / kg or 42% of the 36

points of soil sampling sites. The diazinone and chlorpyrifos residues of the

organophosphate pesticides group in the soil were 14% (0.0032-0.0817 mg / kg) and 80.5%

(0.0018-0.0693 mg / kg) respectively at 36 sampling point locations land in vegetable land

of South Sulawesi Province.

Keywords : diazinon, chlordane, chlorpirifos, vegetables land

14

Page 159: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

140

PENDAHULUAN

Pestisida merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian di

Indonesia. Penggunaan pestisida khususnya insektisida meningkat dari waktu ke waktu dan

aplikasi tertinggi pada lahan hortikultura diikuti pada lahan tanaman pangan. Sampai

dengan tahun 2015 jumlah pestisida terdaftar sebanyak 3.541 formulasi, dimana insektisida

menduduki ranking terbanyak (1.198 merek), disusul kemudian herbisida (944 merek) dan

fungisida (599 merek) (Dirjen PSP, 2015).Pemakaian insektisida yang berlebihan dapat

menjadi sumber pencemar bagi tanah, air, tanaman, dan lingkungan.

Penggunaan pestisida sekarang ini semakin intensif dan cenderung tidak terkontrol,

sehingga ditengarai akan berdampak terhadap agroekologi pertanian dalam bentuk residu

pestisida, penggunaannya dengan cara yang tepat dan aman adalah hak mutlak yang harus

dilakukan mengingat walau bagaimanapun, pestisida adalah bahan yang beracun.

Penggunaan pestisida yang salah atau pengelolaannya yang tidak bijaksana akan dapat

menimbulkan dampak negatif, baik langsung maupun tidak langsung, bagi kesehatan

manusia dan lingkungan.

Pengendalian pencemaran lingkungan harus dilaksanakan untuk mewujudkan

program keamanan pangan nasional. Produk-produk pertanian sebagai bahan pangan utama

dituntut bermutu tinggi dan aman untuk dikonsumsi. Petani yang cenderung menggunakan

pupuk dan pestisida secara berlebihan sebagai upaya meningkatkan hasil pertanian memacu

terjadinya pencemaran di lahan pertanian sehingga dapat menyebabkan penurunan mutu

lingkungan hidup. Berdasarkan adanya indikasi meningkatnya kadar residu insektisida di

lahan pertanian khususnya lahan sayuran, maka diperlukan adanya informasi mengenai

sebaran residu insektisida pada lahan sayuran di Provinsi Sulawesi Selatan.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di lahan sayuran di Provinsi Sulawesi Selatan dari bulan

Agustus-Desember 2015. Pengambilan contoh tanah menggunakan metode survei tanah

dengan sistem stratigrafi atau purposive sampling. Penentuan lokasi sampel tanah didekati

dengan mengindentifikasi faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi keberadaan residu

pestisida di dalam tanah.

Penelitian dilakukan melalui empat tahap, yaitu : (i) eksplorasi data

sekunder/dukung, (ii) pembuatan peta kerja, (iii) survai pengambilan contoh tanah, dan (iv)

analisis contoh tanah.

Penelitian diawali dengan eksplorasi data dukung penelitian berupa informasi dari

dinas terkait. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi 1) luas lahan, 2) intensitas tanam,

3) intensitas penggunaan pestisida, 4) lokasi pabrik/perumahan, 5) sistem drainase, 6)

lokasi pertambangan, 7) kemiringan lereng, 8) tingkat kecekungan lahan, 9) indek

kebasahan lahan. Selain itu penyiapan peta dasar dan peta penunjang lainnya.

Peta kerja dibuat untuk menentukan jumlah dan posisi sampel tanah, air dan

tanaman yang akan diambil berdasarkan peta satuan tingkat kerentanan lahan sawah

terhadap residu pestisida dan logam berat dari overlay faktor-faktor yang mempengaruhi

Page 160: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

141

tingkat kerentanan tersebut. Intensitas pengamatan lapangan adalah tiap 50-100 km2

bergantung tingkat kerentanan lahan sawah.

Satu titik sampling terdiri atas 10-15 contoh individual (sub contoh), dengan jarak

pengambilan tiap sub contoh 25-50 m di lapang dan diambil pada lapisan olah dengan

kedalaman 20 cm. Contoh-contoh individual tersebut dimasukkan ke dalam ember dan

dicampur sampai homogen, kemudian diambil secara komposit seberat 0,5-1 kg dan

dimasukkan ke dalam kantong plastik ukuran 15×25 cm dan diberi label, diikat dengan

benang wol. Pengisian/penulisan label dalam dan label luar terdiri dari tanggal

pengambilan, kode pengambil dan nomor contoh serta nama lokasi (desa, dan kecamatan)

dan jenis sampel. Contoh tersebut merupakan satu contoh komposit, tanah kemudian

dipreparasi untuk dianalisis kandungan residu pestisidanya.

Metode analisis residu pestisida menggunakan QuEChERS Metode ini

mengutamakan prinsip analisa yang cepat (Quick), mudah (Easy), murah (Cheap), efektif

(Effective), handal (Rugged), dan aman (Save). Analisis contoh tanah dilakukan di

laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian yang sudah terakreditasi oleh KAN

dengan nomor LP-556-IDN.

Residu diazinon, klordan, dan klorpirifos dalam contoh tanah dihitung berdasarkan

rumus:

Residu = Ks x Ac x Vic x Vfc

As x Vis x B x R

Residu : Residu dalam contoh tanah yang dianalisis (mg/kg)

Ks : Konsentrasi standar Vis : Volume injeksi standar

Ac : Area contoh B : Bobot contoh (g)/ volume contoh (ml)

As : Area standar Vfc : Volume akhir contoh (ml)

Vic : Volume injeksi contoh R : Recovery

Data yang diperoleh dianalisis statistik secara deskriptif untuk menentukan tingkat

sebaran residu diazinon, klordan, dan klorpirifos dengan menggunakan Minitab ver.16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan contoh tanah di lahan sayuran Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan di

empat kabupaten yaitu : Gowa, Bantaeng, Jeneponto,dan Enrekang. Total contoh tanah

yang diambil sebanyak 36 yang tersebar di beberapa lokasi di empat kabupaten di Provinsi

Sulawesi Selatan sepert terlihat pada Tabel 1.

Ketinggian lokasi pengambilan contoh tanah antara 400-1550 mdpl. Sentra sayuran

di Provinsi Sulawesi Selatan ada di Kecamatan Tinggimoncong dan Bungaya, Kabupaten

Gowa dan Kecamatan Uluere, Bantaeng dengan komoditas kubis, tomat, bawang merah,

wortel, cabai merah, dan kentang. Sedangkan di Kabupaten Enrekang, lokasi pengambilan

contoh tanah di Kecamatan Alla, Anggeraja dan Baraka. Enrekang merupakan daerah lahan

kering karena terlihat pada saat pengambilan contoh tanah di lapang bahwa lapisan tanah

tergolong dangkal (daerah berbatu) dan tanahnya banyak di dominasi fraksi pasir.

Komoditas sayuran yang diusahakan di Anggeraja dan Baraka selain bawang merah yang

menjadi unggulan adalah tomat dan cabai merah.

Page 161: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

142

Tabel 1. Lokasi pengambilan contoh tanah di lahan sayuran Provinsi Sulawesi Selatan

Lokasi Jumlah titik

sampling Komoditas

Kecamatan Kabupaten

Tinggimoncong Gowa 7 Kentang, wortel, kubis, bawang

merah

Wortel, kentang, daun bawang

Bungaya

Gowa

1

Uluere Bantaeng 6 Kubis, tomat, bawang merah,

wortel, cabai merah, dan kentang

Kelara Jeneponto 4 Bawang merah, cabai merah,

kubis

Alla Enrekang 6 Bawang merah, tomat, cabai

merah

Bawang merah, cabai merah

Bawnang merah, cabai merah

Anggeraja

Enrekang

9

Baraka Enrekang 3

Jumlah 36

Analisis kandungan residu klordan dari golongan organoklorin pada contoh tanah

yang diambil dari 36 titik lokasi pengambilan. Pada Tabel 2 terlihat bahwa tanah terdeteksi

mengandung klordan terhadap contoh tanah yang diambil. Pada 36 titik lokasi yang diambil

42% titik mengandung klordan dengan konsentrasi 0,0050 - 0,0016 ppm.

Tabel 2. Analisis statistik deskriptif sebaran residu klordan, diazinon, dan klorpirifos

dalam tanah di Provinsi Sulawesi Selatan

Parameter Klordan Diazinon Klorpirifos

....................... mg/kg ...................

Jumlah titik sampling 36 36 36

Jumlah terdeteksi 17 5 29

Minimal (mg/kg) 0,002 0,003 0,002

Maksimal (mg/kg) 0,005 0,082 0,069

Rata-rata (mg/kg) 0,003 0,029 0,012

BMR*(mg/kg) 0,051 0,042 0,32

Sumber : 1) EPA Canada (2009) 2) Alan et al. (2013)

Analisis statistik deskriptif residu pestisida pada contoh tanah lahan sayuran di

Provinsi Sulawesi Selatan memperlihatkan bahwa presentasi terdeteksi untuk masing-

masing senyawa residu pestisida berurutan dari yang tinggi yaitu klorpirifos > klordan >

diazinon.Lahan sayuran yang terdeteksi senyawa diazinon dan klorpirifos dari golongan

organofosfat dalam tanah masing-masing 14% (0,0032 - 0,0817 ppm) dan 80,5% (0,0018 -

0,0693) pada 36 titik lokasi pengambilan contoh tanah di Sulawesi Selatan (Tabel 2).

Hampir seluruhnya mengandung senyawa klorpirifos tersebar di wilayah Gowa, Bantaeng,

dan Enrekang. Klorpirifos dan diazinon efektif untuk mengendalikan serangan hama trips

dan ulat pada tanaman sayuran.Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan klorpirifos di

tingkat petani masih tinggi dan memerlukan penanganan khusus.

Page 162: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

143

Salah satu masalah yang menyebabkan penolakan pasar internasional terhadap

produk sayuran dan buah-buahan Indonesia adalah tingginya kandungan pestisida

(Tisnadjaja et al., 2001). Munculnya cemaran residu pestisida disebabkan oleh penggunaan

pestisida secara terus-menerus dan mengabaikan kepatuhan dalam penggunaan dosis, serta

penggunaan pestisida diluar pengawasan resmi (Rahmansyah dan Sulistinah, 2009).

Residu pestisida klorpirifos dan diazinon di Kabupaten Jeneponto dan Enrekang

lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sayuran di Kabupaten Gowa dan Bantaeng

(Gambar 1). Di wilayah Jeneponto dan Enrekang, komoditas bawang merah menjadi

unggulan dan penggunaan pestisida di kedua wilayah tersebut tergolong tinggi

dibandingkan dengan wilayah yang lain. Masa paruh klorpirifos sekitar 60-120 hari dan

diazinon 21-80 hari (Ritter et al., 2007).

Residu diazinon di lahan sayuran di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan

tergolong tinggi dibandingkan dengan wilayah yang lain yaitu sampai 0,02 mg/kg. Nilai

tersebut masih di bawah batas maksimum residu (BMR) menurut Alan et al. (2013) yang

menyebutkan bahwa BMR diazinon pada tanah adalah sebesar 0,04 mg/kg.Diazinon

merupakan senyawa organofosfat yang relatif tidak persisten di dalam tanah. Diazinon yang

diaplikasikan akan hilang dari tanah melalui degradasi baik secara kimia maupun biologi.

Sekitar 46% dari diazinon yang ditambahkan ke tanah akan hilang dalam dua minggu. Jika

diazinon dilepaskan ke dalam tanah, tidak akan terikat kuat dengan tanah.

Gambar 1. Residu klordan, diazinon, dan klorpirifos di lahan sayuran

Provinsi Sulawesi Selatan

Petani-petani lahan sayuran di Sulawesi Selatan sendiri masih banyak menggunakan

pestisida tidak sesuai kaidah, dimana petani tidak memperhatikan dosis, waktu aplikasi dan

jenis pestisida yang digunakan sehingga kondisi lahan dan tanaman semakin tidak sehat.

Sebagian petani masih memikirkan produksi dibandingkan dengan keamanan produk yang

dihasilkan. Padahal persyaratan produk bisa diekspor adalah salah satunya bebas cemaran

residu pestisida. Sehingga perlu diupayakan pendekatan yang dilakukan pada petani untuk

membiasakan penggunaan pestisida yang bijak sesuai dengan konsep pengendalian hama

terpadu (PHT) yang menerapkan lima kaidah yakni: tepat sasaran, tepat jenis, tepat waktu,

tepat dosis, dan tepat cara penggunaan.

0.000

0.005

0.010

0.015

0.020

0.025

Gowa Bantaeng Jeneponto Enrekang

Re

sid

u p

est

isid

a p

ad

ata

na

h (

mg

/k

g)

Klordan Diazinon Klorpirifos

Page 163: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

144

KESIMPULAN

1. Lahan sayuran di Provinsi Sulawesi Selatan terdeteksi mengandung klordan sekitar 42%

dari 36 titik lokasi pengambilan contoh tanah dengan konsentrasi 0,0050-0,0016

mg/kg.

2. Residu diazinon dari golongan pestisida organofosfat dalam tanah masing-masing 14%

dengan konsnetrasi 0,0032-0,0817 mg/kg.

3. Residu klorpirifos terdeteksi sebanyak 80,5% daeri 36 titik lokasi pengambilan contoh

tanah di lahan sayuran Provinsi Sulawesi Selatan dengan konsentrasi 0,0018-0,0693

mg/kg.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kepada analis Laboratorium Terpadu, Balai Penelitian

Lingkungan yang sudah banyak membantu analisis residu pestisida pada contoh tanah dan

SMART-D Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang sudah mendanai penelitian

ini.

DAFTAR PUSTAKA

Akan, J.C., L. Jafiya, Z. Mohammed, and F.I. Abdulrahman. 2013. Organophosphorus

Pesticide Residues In Vegetable and Soil Samples from Alau Dam and Gongulong

Agricultural Areas, Borno State, Nigeria. Ecosystems.

Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2015. Pestisida Pertanian dan Kehutanan tahun 2015.

Dirjen PSP. Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

EPA Canada. 2009. Soil, Ground Water and Sediment Standards for Use Under Part XV 1

of The Environmental Protection Act Ministry Of The Environment, Ontario,

Canada, 27 Juli 2009

Rahmansyah, M., dan N. Sulistinah. 2009. Performa Bakteri Pada Tanah Tercemar

Pestisida. Berita Biologi 9(5)-Desember 2009. 657-664p

Ritter, L., K.R. Solomon, and J. Forget. 2007. Persistent Organic Pollutant : An Assessment

Report on DDT, Aldrin, Endrin, Chlordane, Heptachlor, Hexachlorobenzene, Mirex,

Toxaphene, Polychlorinated Biphenyls, Dioxins, and Furans. Canadian Network of

Toxicology Centres.

Tisnadjaja, D., A. Purnama, E. Yudiadi, R. Pujihastuti, C.S. Ibrahim, A. Soeksmanto, D.R.

Dermana, Suyamto, S.J. Rijadi, Supriatna, dan T. Sumardiman. 2001 Mikroba

Indigenus. Laporan Teknik Proyek Penelitian Bioteknologi

Page 164: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

145

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN ZODIA (EVODIA SUAVEOLENS SCHEFF) UNTUK MENURUNKAN PALATABILITAS LARVA PLUTELLA XYLOSTELLA, L.

Martina Sri Lestari1 dan Abdul Wahid Rauf2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Jln. Yahim 49 Sentani Jayapura Papua 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Sudiang

Makassar Sulawesi Selatan

Abstrak.Hama utama tanaman Brassicaceae, terutama kubis, sawi, dan caisin adalah

Plutella xylostella L, yang bersifat polyfag atau tidak hanya menyerang pada satu tanaman

spesifik. Ada beberapa cara untuk mengendalikan hama ini di antaranya dengan

menggunakan insektisida botani. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari

efektivitas ekstrak daun zodia Evodia suaveolens terhadap aktivitas makan hama P.

xylostella L. pada berbagai tingkat konsentrasi. Ekstraksi bahan tanaman dilakukan dengan

metode perendaman (maserasi) dengan menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat, dietil

eter dan n-butanol berdasarkan tingkat kepolaran non polar sampai polar. Pengujian

dilakukan dengan metode residu pada daun kubis. P. xylostella diberi pakan daun kubis

yang sudah dicelupkan pada ekstrak E. suaveolens, kemudian diamati aktivitas makan larva

P. xylostella selama 7 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun zodia E.

suaveolens dapat menurunkan jumlah pakan yang dimakan larva dan menurunkan

palatabilitas larva P. xylostella sebesar 96,80%. Pelarut yang baik untuk mengekstrak

bahan nabati E. suaveolensadalah n-heksana dan dietil eter dengan penurunan aktivitas

makan rata-rata 76,72% dan 82,92%. Ekstrak daun E. suaveolens dapat dijadikan sebagai

alternatif insektisida botani untuk mengendalikan hama P. xylostella.

Kata Kunci: Insektisida botani, Palatabilitas, Evodia suaveolens, Plutellaxylostella.

Abstract.The main pests of Brassicaceae, especially cabbage, mustard, and caisin are

Plutella xylostella L, which is polyfag or not only attack on a specific plant. There are

several ways to control this pest, i.e. using botanical insecticides. The purpose of this study

was to study the effectiveness of zodia leaf extract of Evodia suaveolens on feeding activity

of P. xylostella L. at various concentration levels. The extraction of plant material was

carried out by a method of immersion (maceration) using n-hexane, ethyl acetate, diethyl

ether and n-butanol solvent based on polar non polar polarity. The test was conducted by

residue method on cabbage leaf. P. xylostella was fed the leaves of cabbage that had been

dipped in E. suaveolens extract, then observed the activity of eating P. xylostella larvae for

7 days. The results showed that zodia E. suaveolens leaf extract could decrease the amount

of feed eaten by larvae, thus decreasing the palatability of P. xylostella larva by 96,80%. A

good solvent for extracting vegetable ingredients E. suaveolens is n-hexane and diethyl

ether which could decrease feeding activity averaged 76.72% and 82.92% respectively.

Leaf extract of E. suaveolens can be used as an alternative botanical insecticide to control

P. xylostella pest.

Keywords: Botanical insecticides, palatability, Evodia suaveolens, Plutella xylostella.

15

Page 165: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

146

PENDAHULUAN

Kubis adalah salah satu tanaman hortikultura yang banyak dibutuhkan masyarakat

dan mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi, karena tanaman kubis sebagai sumber vitamin,

mineral, karbohidrat, protein, dan lemak. Faktor penghambat dalam usaha meningkatkan

produksi kubis antara lain adalah gangguan hama Plutella xylostella L. (Lepidoptera:

Plutellidae) dan Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyrallidae). Kedua hama

tersebut aktif merusak tanaman kubis terutama pada musim kemarau.

P. xylostella merupakan hama kubis yang menyerang tanaman dengan memakan

daun dan pucuk sehingga tidak dapat membentuk krop. Hama ini menyerang pada saat fase

larva yaitu memakan permukaan daun bagian bawah. Pengendalian hama yang dilakukan

petani umumnya dengan mengandalkan pestisida sintetik. Penggunaan pestisida sintetik

dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, menimbulkan residu pada bahan tanaman dan

resistensi pestisida sehingga menyebabkan hama P. xylostella menjadi kebal terhadap

insektisida. Udiarto dan Setiawati (2007) melaporkan bahwa P. xylostella asal Pengalengan

telah mengalami resistensi terhadap insetisida fipronil, abamektin dan B, thuringiensis.

Demikian pula Prabaningrum et al. (2013) yang melaporkan bahwa P. xylostella asal

Sulawesi Selatan telah resisten terhadap semua insektisida sintetik yang umum digunakan

oleh petani kubis. Penggunaan pestisida kimia telah memberikan dampak yang serius,

termasuk resistensi spesies hama, residu beracun di produk disimpan, meningkatkan biaya

aplikasi, bahaya dari penanganan, pencemaran lingkungan dan sebagainya (Rembold, 1994;

FAO, 2009). Upaya untuk mengatasi masalah resistensi yaitu dengan menghentikan

penggunaan insektisida sintetik atau alternatif lain dengan insektisida botani/nabati yang

lebih aman dan ramah lingkungan. Insektisida nabati umumnya digunakan untuk hama-

spesifik dan relatif tidak berbahaya bagi organisme non-target termasuk manusia dan

bersifat biodegradable dan tidak berbahaya bagi lingkungan.

Upaya menekan serangan hama P. xylostella terus dilakukan melalui pencarian

strategi-strategi pengendalian dengan menggunakan senyawa-senyawa kimia yang lebih

aman terhadap produk tanaman, lingkungan, dan serangga hama itu sendiri. Penggunaan

senyawa-senyawa kimia dari tumbuhan yang dapat menghambat aktivitas makan serangga

sebagai agen pengendalian serangga hama telah menarik banyak perhatian para peneliti

(Isman, 2002). Metabolit sekunder dalam tanaman berfungsi sebagai pertahanan (beracun),

yang menghambat reproduksi dan proses lainnya (Rattan, 2010). Efek antifeedant dari

ekstrak tumbuhan telah dipelajari oleh banyak penulis (Zapata et al., 2009; Roman, 2010;

Jeyasankar, 2012) dalam beberapa tahun terakhir. Tanaman yang berpotensi sebagai

insektisida nabati adalah zodia (Evodia suaveolens). Tanaman Zodia Evodia suaveolens

(Rutacea: Rutales) merupakan tanaman asal Papua yang banyak digunakan oleh masyarakat

Desa Maribu Sentani Barat Kabupaten Jayapura Papua sebagai tanaman mengusir serangga

khususnya nyamuk dan sebagai obat tradisional. Daun zodia mengandung beberapa

senyawa metabolik sekunder, yaitu tannin, flavonoid, alkaloid, saponin dan terpenoid

(Lestari et al., 2015). Senyawa metabolit sekunder digunakan untuk mempertahankan

eksistensinya terhadap tantangan ekosistem dan pengendalian serangga yaitu sebagai alat

pemikat (attractant), alat penolak (reppellent) dan alat pelindung (protectant) (Remoser dan

Stoffolano, 1994). E. suaveolens, mengandung bahan aktif evodiamine dan rutaecarpine

Page 166: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

147

termasuk senyawa alkaloid, sehingga tanaman bersifat insektisidal untuk serangga aphids,

pengerek, larva lalat, dan larva nyamuk (Yang dan Tang, 1988 cit Liu dan Ho, 1999;

Grainge dan Ahmed, 1988; Widawati dan Santi, 2013; Marina dan Lavoine-Hanneguelle,

2013). E. suaveolens mengandung senyawa terpenoid yaitu triterpenoid yang merupakan

salah satu senyawa yang bersifat sebagai antimakan (antifedant) karena rasanya yang pahit

sehingga serangga menolak untuk makan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efektivitas ekstrak E. Suaveolens

terhadap aktivitas makan larva P. xylostella. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

menambah informasi yang dapat digunakan untuk mendukung pengembangan dan

pemasyarakatan insektisida botani.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik Fakultas MIPA dan di

Laboratorium Toksikologi Jurusan Hama Penyakit Tanaman (HPT) Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya,

Ekstraksi Bahan Tanaman Uji

Bahan tanaman Evodia suaveolens yang dikumpulkan kebun rakyat di Desa Maribu

di Kabupaten Jayapura Papua, dan dikeringkan dengan cara dioven pada 40°C selama 3

hari atau sampai bahan tanaman mencapai berat konstan, Bahan tanaman yang telah kering

dihaluskan dengan blender sampai menjadi serbuk halus ukuran 50 mesh, Contoh tanaman

yang telah dihaluskan diambil 500 g dan ditambahkan 2 liter metanol dengan perbandingan

1:4 (berat/volume). Ekstraksi dilakukan dengan metode perendaman (maserasi) selama 3 x

24 jam. Ekstrak disaring dengan kertas saring, dan diuapkan dengan rotary evaporatorpada

suhu 55–60°C pada tekanan 580–600 mmHg hingga kental menjadi crude extract dengan

berat konstan. Ekstrak methanol kasar yang dihasilkan difraksinasi menggunakan pelarut n-

hexane etil asetat, dietil eter dan n-butanol dan menghasilkan empat fraksi yaitu fraksi n-

hexane etil asetat, dietil eter dan n-butanol. Ekstrak fraksinasi yang dihasilkan disimpan

dalam lemari pendingin (pada suhu ± 4ºC) hingga saat digunakan,

Tiap-tiap fraksi diuji efektivitasnya, Larva P. xylostellayang digunakan adalah larva

instar II hasil rearing dengan pakan tanaman kubis bebas pestisida. Kubis ditanam dalam

polybag yang diisi dengan tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1, Kubis

ditanam dua biji per polybag, Pemeliharaan yaitu penyiraman, pemupukan, pencabutan

gulma dan pengendalian hama dan penyakit tanpa perlakuan pestisida.

Pengujian efektivitas insektisidal ekstrak n-hexane, etil asetat, dietil eter dan n-

butanol daun E. Suaveolens dilakukan dengan metode celup daun (Abizar dan Prijono,

2010). Setiap ekstrak diuji pada tujuh taraf konsentrasi yang diharapkan dapat

mengakibatkan kematian serangga uji antara 15% dan 95%, yang ditentukan berdasarkan

uji pendahuluan. Taraf konsentrasi uji ekstrak n-hexane adalah 0; 6,25; 125; 250;

500;1000; 1500; dan 2000 ppm dan ektrak etil asetat, dietil eter dan n-butanaol adalah 0;

250; 500; 1000; 2000, 3000; 4000; 5000 dan 6000 ppm. Campuran konsentrasi pada

perlakuan ditambah agristik sebagai perekat dan Tween-80 sebagai mengemulsi masing-

Page 167: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

148

masing 1 ml/liter, Campuran perlakuan kontrol (0%) diberi akuades yang ditambahkan

perekat dan pengemulsi.

Uji Efektivitas Hambatan Makan

Uji Palatabilitas dilakukan untuk mengetahui persentase efektivitas makan yang

diamati berdasarkan tingkat penurunan persentase bobot pakan (kubis) yang habis dimakan

serangga uji pada periode 1-7 hari setelah aplikasi. Pengujian dilakukan dengan metode

residu pada daun kubis. Ekstrak diuji pada 7-5 taraf konsentrasi yang ditentukan

berdasarkan hasil uji pendahuluan mulai dari 6,25 – 2000 ppm dilengkapi dengan kontrol

(tanpa ekstrak). Sediaan ekstrak perlakuan dicelupkan secara merata pada permukaan daun

kubis sebagai pakan larva yang di potong berbentuk segi empat ukuran 6 x 6 cm kemudian

dikeringanginkan dan sebelumnya telah ditimbang terlebih dahulu, Setelah kering

dimasukan toples plastik berukuran tinggi 5 cm dan diameter 7 cm kemudian dinfestasikan

20 larva P, xylostella instar II, toples ditutup dan diberi ventilasi dengan kain kasa.

Keesokan harinya daun tersebut ditimbang, kemudian diganti dengan daun baru yang sudah

ditimbang, begitu seterusnya sampai 7 hari. Masing-masing perlakuan diulang 4 kali.

Parameter yang diamati adalah tingkat palatabilitas larva P. xylostella yang diamati

berdasarkan tingkat penurunan persentase makan, bobot pakan (daun kubis) yang habis

dimakan serangga uji pada periode 1-7 hari setelah aplikasi. Persentase penurunan aktivitas

makan dihitung dengan rumus sebagai berikut (Prijono, 1988):

P=1- (T

C) ×100%

Dimana :

P = persentase penurunan aktivitas makan

T = bobot pakan yang dimakan dari perlakuan

C = bobot pakan yang dimakan dari kontrol

Data bobot daun yang dimakan selama 7 hari dan persentase penurunan aktivitas

makan dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutan Uji selang berganda Duncan (DMRT)

pada taraf nyata 5%,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh aplikasi bahan nabati ekstrak E. suaveolens terhadap bobot pakan yang

habis dikonsumsi larva P. xylostella selama 7 hari pengamatan disajikan pada Gambar 1.

Pada pengamatan hari pertama setelah aplikasi (1 HSA), bobot pakan yang di konsumsi

larva P. xylostella dari masing-masing crude ekstrak perlakuan berbeda dengan kontrol.

Makin tinggi konsentrasi makin rendah jumlah pakan yang dikonsumsi larva P. Xylostella

pada masing-masing crude ekstrak. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi bahan nabati

ekstrak E. suaveolens berpengaruh terhadap jumlah pakan yang dikonsumsi larva P.

xylostella selama 7 hari pengamatan.

Page 168: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

149

Gambar 1. Bobot pakan yang habis dikonsumsi larva P. xylostella pada berbagai ekstrak E.

suaveolens

Larva pada awalnya mencoba untuk memakan daun-daun kubis yang diberikan

ekstrak namun kemudian menghindar kembali dan memilih tidak memakan daun hingga

akhir pemaparan. Serangga dapat mengenali senyawa-senyawa asing dalam makanannya

walaupun dalam konsentrasi rendah dan akan merespon atas kehadiran senyawa tersebut

dalam makanannya dengan meninggalkan daun-daun kubis yang telah diberi perlakuan

ekstrak E. suaveolens.

Palatabilitas menggambarkan aktivitas makan hama setelah perlakuan, ditandai

dengan bobot daun yang habis dimakan larva P. xylostella, untuk selanjutnya dibandingkan

dengan bobot daun kontrol. Perubahan bobot pakan ditimbang setiap harinya, rentang 1-7

hari setelah aplikasi. Data bobot pakan harian yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk

menghitung dan mengamati palatabilitas larva P. xylostella berdasarkan tingkat penurunan

persentase aktivitas makan serangga harian. Tabel 2 memberikan gambaran besarnya

persentase penurunan aktivitas makan hama selama pengamatan pada 1-7 hari setelah

aplikasi.

Page 169: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

150

Tabel 2. Penurunan aktivitas makan larva P. xylostella setelah perlakuan ekstrak daun E,

suaveolens.

Crude Ekstrak Konsentrasi

(ppm) Bobot daun dimakan

(mg ± SD a)

Palatabilitas

(% ± SD a)

n-Hexane

Rata-rata

0

6,25

125

250

500

1000

1500

2000

55,10 ± 1,28 g

28,10 ± 1,61 f

21,80 ± 4,42 e

15,13 ± 3,45 d

10,30 ± 2,93 c

7,57 ± 1,12 bc

4,87 ± 0,81 ab

2,03 ± 0,35 a

-

49,00 ± 2,92 a

60,44 ± 8,02 b

72,54 ± 6,27 c

81,31 ± 5,32 d

86,26 ± 2,04 de

91,17 ± 1,48 ef

96,31 ± 0,64 f

76,72

Etil Asetat

Rata-rata

0

250

500

1000

2000

3000

4000

5000

6000

56,90 ± 8,53 f

34,00 ± 3,36 e

21,50 ± 3,38 d

15,57 ± 3,95 cd

7,17 ± 2,67 ab

10,50 ± 1,70 bc

5,50 ± 1,90 ab

4,13 ± 2,56 ab

1,80 ± 0,36 a

-

40,25 ± 5,91 a

62,21 ± 5,94 b

72,64 ± 6,94 c

81,55 ± 2,99 d

87,41 ± 4,70 de

90,33 ± 3,34 ef

92,74 ± 4,50 ef

96,84 ± 0,63 f

78,00

Dietil Eter

Rata-rata

0

250

500

1000

2000

3000

4000

5000

6000

35.40 ± 2.02 f

15.50 ± 3.70 e

10.60 ± 2.17 d

6.60 ± 1.77 c

4.93 ± 1.42 bc

3.93 ± 1.02 abc

3.60 ± 2.11 abc

2.08 ± 0.47 ab

1.13 ± 0.64 a

-

56,22 ± 10,46 a

70,06 ± 6,12 b

81,36 ± 5,00 c

86,06 ± 4,00 cd

88,89 ± 2,83 cde

89,83 ± 5,95 cde

94,12 ± 1,31 de

96,80 ± 1,82 e

82,92

n-Butanol

Rata-rata

0

250

500

1000

2000

3000

4000

5000

6000

56.00 ± 8.15 e

43.43 ± 1.82 d

36.40 ± 8.35 cd

31.13 ± 3.75 bc

25.30 ± 9.38 b

21.33 ± 3.79 b

10.37 ± 3.16 a

5.07 ± 3.56 a

4.60 ± 3.76 a

-

22.44 ± 3,25 a

35.00 ± 14,92 ab

44.41 ± 6,70 bc

54.82 ± 16,75 cd

61.91 ± 6,76 d

81.49 ± 5,64 e

90.95 ± 6,35 e

91.79 ± 6,72 e

60,35

n = Jumlah larva yang digunakan dalam pengujian 60 larva tiap perlakuan

a SD = Standar Deviasi, Rataan pada perlakuan dan kontrol yang diikuti huruf yang sama tidak

berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0,05),

Page 170: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

151

Uji ekstrak E. suaveolens fraksi n-hexane ber pengaruh nyata terhadap aktivitas

makan larva P. xylostella dan berbeda setiap konsentrasi (Tabel 2). Penurunan aktivitas

makan larva P. xylostella sebesar 49% mulai terlihat pada konsentrasi 6,25 ppm, dan makin

tinggi konsentrsi (2000 ppm) makin tinggi pula penurunan aktivitas makan larva yang

mencapai 96,31%. Demikian pula untuk konsntrasi yang lain. Hambatan makan ekstrak E,

suaveolens fraksi n-hexane dari konsentrasi 6,25 sampai 2000 ppm berturut-turut adalah

32,49; 43,63; 57,15; 68,73; 75,89; dan 92,89%. Hambatan makan ekstrak E, suaveolens

fraksi etil asetat dari konsentrasi 250 sampai 6000 ppm berkisar antara 25,31 – 93,87%,

hambatan makan dari fraksi dietil eter berkisar 39,61 – 93,84% dan dari fraksi n-butanol

hambatan makan berkisar antara 12,66 – 85,30%,

Perlakuan paparan ekstrak E. suaveolens dari beberapa pelarut pada selang

konsentrasi yang diuji menyebabkan penurunan aktivitas makansecara nyata yaitu sebesar

22,44 – 96,94% (Tabel 2). Semakin tinggi konsentrasi semakin kuat penurunan aktivitas

makan. Penurunan aktivitas makan atau palatabilitas larva mulai terlihat mulai dari

konsentrasi terendah sampai konsentrasi tertinggi yaitu konsentrasi 250 – 6000 ppm yaitu

sebesar 49,02 – 96,31% dari ekstrak n-hexane, 40,25 – 96,84% dari esktrak etil asetat,

36,22 – 96,80% dari ekstrak dietil eter dan 22,44 – 91,79% dari esktrak n-butanol. Besarnya

penurunan aktivitas makan larva pada konsentrasi terendah berbeda nyata dengan

penurunan aktivitas makan yang ditunjukan oleh konsentrasi dibawahnya. Senyawa bioaktif

yang terkandung dalam tanaman E. suaveolens mempengaruhi aktivitas makan larva

sehingga terjadi penurunan jumlah bobot pakan yang makan larva sampai lebih dari 95%.

Perlakuan paparan ekstrak E. suaveolens dari beberapa pelarut pada selang

konsentrasi yang diuji menyebabkan penurunan aktivitas makan secara nyata dan secara

signifikan pula mempengaruhi hambatan berat larva yaitu sebesar 24,33 – 95,80%.

Semakin tinggi konsentrasi semakin kuat penurunan aktivitas makan. Penurunan aktivitas

makan atau palatabilitas larva mulai terlihat mulai dari konsentrasi terendah sampai

konsentrasi tertinggi yaitu konsentrasi 250 – 6000 ppm yaitu sebesar 24,33 – 91,70% dari

ekstrak n-hexane, 25,18 – 91,83% dari esktrak etil asetat. Semakin tinggi konsentrasi yang

diujikan maka semakin kuat efek palatabilitas ekstrak karena semakin banyak senyawa

allelopati yang terkandung didalamnya sehingga mengakibatkan penekanan akitivitas

makan larva, penurunan aktivitas makan dan terjadi hambatan penambahan berat larva.

Senyawa bioaktif yang terkandung didalam tanaman E. suaveolens mempengaruhi aktivitas

makan larva sehingga terjadi penurunan aktivitas larva sampai lebih dari 90%.

Suatu senyawa allelokimia dikatakan mempunyai aktivitas sebagai anti makan bila

dapat menghambat makan hingga 50% (Bernays dan Chapman, 1978). Namun beberapa

peneliti lainnya mengatakan bahwa senyawa anti makan efektif bila dapat menghambat

makan sekitar 80-100% (Schoonhoven, 1982). Senyawa metabolit sekunder yang terdapat

di daun E, suaveolens berdasarkan penelitian Lestari et al. (2015) adalah alkaloid, tanin,

flavonoid, dan saponin. Penolakan larva uji terhadap pakan yang mengandung ekstrak

daun E. suaveolens mungkin disebabkan kandungan terpenoid, alkaloid, dan tannin.

Senyawa allelokimia yang berfungsi sebagai anti makan umumnya berupa alkaloid dan

terpenoid (Scoonhoven, 1982).

Page 171: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

152

Efek penghambatan aktivitas makan dapat mengakibatkan serangga sasaran

menjadi lemah dan perkembangan tertunda sehingga meningkatkan risiko diserang oleh

musuh alami. Dengan demikian efek penghambatan makan dapat memberikan sumbangan

yang cukup nyata dalam penurunan populasi hama secara keseluruhan bila ekstrak tersebut

digunakan di lapangan. Serangga akan menghadapi dua hal untuk memulai aktivitas

makannya, yaitu 1) rangsanganuntuk inisiasi aktivitas makan (feeding stimulant), 2)

pendeteksian kehadiran senyawa-senyawa asing (foreign compound) yang dapat

menghambat aktivitas makan sehingga dapat memperpendek bahkan menghentikan

aktivitas makan. Senyawa antimakan didefinisikan sebagai zat yang apabila diujikan pada

serangga akan menghentikan aktivitas makan secara sementara atau permanen tergantung

potensi zat tersebut (Reddy et al., 2009) atau menghambat makan tanpa membunuh

serangga secara langsung, sementara serangga tetap berada di dekat dedaunan sumber

pakannya dan mati karena kelaparan. Senyawa yang bersifat sebagai antimakan sebagian

besar ditemukan pada golongan metabolit sekunder alkaloid, terpenoid, dan fenolik

(Budianto dan Tukiran, 2012).

Tanaman memiliki kandungan zat seperti fenol, alkaloid, flavanoid, terpen, quinone,

coumarin dan lain-lain, yang berperan defensif terhadap hama serangga. Zat ini memiliki

berbagai aktivitas biologis termasuk antifeedant, penghambat oviposisi, insektisidal,

ovumidal dan insect growth regulators (IGRs) (Isman et al., 1997). Antifeedant serangga

yang paling kuat adalah quinoline, alkaloid indole, sesquiterpene lactones, diterpinoids, dan

triterpinoids (Yasui et al., 1998; Krishnappa et al., 2010). Beberapa hasil penelitian

(Roman, 2010) mengatakan bahwa aktivitas antifeedant dapat memberikan efek biologis

terhadap serangga, seperti: penghambatan pertumbuhan larva, chronictoxicity, dan

antioviposition. Efek dari penghambatan aktivitas makan larva dapat mengakibatkan

serangga sasaran menjadi lemah dan perkembangan tertunda sehingga meningkatkan risiko

diserang oleh musuh alami. Dengan demikian efek penghambatan makan dapat

memberikan sumbangan yang cukup nyata dalam penurunan populasi hama secara

keseluruhan bila ekstrak tersebut digunakan di lapangan.

KESIMPULAN

1. Ekstrak daun zodiaEvodia suaveolens dapat menurunkan jumlah pakan larva dan

menurunkan palatabilitas larva P. xylostella sebesar 96,80%.

2. Pelarut yang baik untuk mengekstrak bahan nabati E. Suaveolens adalah n-heksana dan

dietil eter dengan penurunan aktivitas makan rata-rata 76,72% dan 82,92%.

3. Ekstrak daun E. suaveolens dapat sebagai alternatif insektisida botani untuk

mengendalikan hama P. xylostella.

DAFTAR PUSTAKA

Abizar, M., dan D. Prijono. 2010. Aktivitas insektisida ekstrak daun dan biji

Tephrosiavogelii J.D. Hooker (Leguminosae) dan ekstrak buah Piper cubeba L.

(Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae).

JHPT Trop. 10: 1-12.

Page 172: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

153

Bernays, E.D., and R.F. Chapman. 1994. Host Plant Selection by Phytophagous Insects.

New York: Chapman & Hall.

Budianto, F., dan Tukiran. 2012. Bioinsektisida dari tumbuhan bakau merah (Rhizhopora

stylosa. Griff) (Rhizophoraceae). http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/unesajournal-

of-chemistry/article/view/122/59. Diunduh tanggal 6 Juli 2016.

FAO. 2009. Pesticide residues in Food 2008. Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide

Residues. Report of The Joint Meeting of The FAO Panel of Experts on Pesticide

Residues in Food and The Environment and The WHO Core Assessment Group on

Pesticide Residues. Rome, Italy, 9–18 September 2008. World Health Organization

Food and Agriculture Organization of The United Nations Rome, 2009. Diakses dari

www.fao.org/fileadmin/templates/agphome/.../Pests_Pesticides/.../JMPRReport08.p

df

Grainge, M., and S. Ahmed. 1988. Hand Book of Plants with Pest Control Properties. John

Willey and Sons. NY. Chichester. Singapore.

Isman, M.B, P.J. Gunning, and K.M. Spollen. 1997. Tropical timber species as sources of

botanical insecticides. In: Phytochemicals for Pest Control. (Hedin, P.A., R.M.

Hollingworth, E.P. Masler, J. Miyamoto, D.G. Thomson (eds.). Amer. Chem. Soc.

Symp. Ser. 658: 27-37.

Isman, M. 2002. Insect antifeedants. Pesticide Outlook: 152–157.

Krishnappa, K., A. Anandan, T. Mathivanan, K. Elumalai, and M. Govindarajan. 2010.

Antifeedant activity of volatile oil of Tagetes patula against armyworm, Spodoptera

litura(Fab.) (Lepidoptera: Noctuidae). International Journal of Current Research 4:

109-112.

Lestari, M.S., T. Himawan, A.L. Abadi, and R. Retnowati. 2015. Toxicity and

phytochemistry test of methanol extract of several plants from Papua using Brine

Shrimp Lethality Test(BSLT). Journal of Chemical and Pharmaceutical Research

7(4): 866-872.

Liu, Z.I., and S.H. Ho. 1999. Bioactivity of The Esasential Oil Extracted from Evodia

rutaecarpan Hook f. et Thomas Against the Grain Storage Insect, Sitophilus zeamais

Motsch. and Tribolium castaneum (Herbst). Journal of Stored Products Research

35:317-328.

Marina, H., and S. Lavoine-Hanneguelle. 2013. Extract of Euodia suaveolens Scheff,

repellent compositions and use thereof.

http://patentimages.storage.googleapis.com/pdfs/US20130274326.pdf diakses tgl 28

Maret 2011.

Prabaningrum L., T.S. Uhan, U. Nurwahidah, Karmin, dan A. Hendra. 2013. Resistensi

Plutella xylostella terhadap insektisida yang umum digunakan oleh petani kubis di

Sulawesi Selatan. Jurnal Hortikultura 23(2): 164-173.

Prijono, D. 1988. Pengujian Insektisida: Penuntun Praktikum. Jurusan Hama dan Penyakit

Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 144 hlm.

Rattan, R.S. 2010. Mechanism of action of insecticidal secondary metabolites of plant

origin. Crop Protect. 29(9): 913-920.

Reddy, B.K., M. Balaji, P.U. Reddy, G. Salaja, K. Vaidyanath, and G. Narasimha, 2009.

Antifeedantv and antimicrobial activity of Tylophora indica.

Page 173: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

154

http://www.academicjournals.org/ajbr/pdf/Pdf2009/Dec/Reddy%20et%20al.pdf.

Diunduh tanggal 15 Desember 2014.

Rembold, H. 1994. Secondary plant compounds in insect control with special reference to

azadirachtin. Adv. Invertebrate Reprod. 3: 481-491.

Roman, P. 2010. Antifeedant activity of plant extracts on Leptinotarsa decemlineataSay.

and Spodoptera littoralis Bois. larvae. Industrial Crops and Products 32: 213–219.

Romoser, W.S., dan J.G. Stoffolano, Jr. 1994. The Science of Entomology (fourth edition).

McGraw-Hill Companies.

Schoonhoven, L.M. 1982. Biological aspect of antifeedants. Entomologia Experimentails et

Applicata 31: 57-69.

Udiarto, B.K., dan W. Setiawati. 2007. Suseptibilitas dan kuantifikasi resistensi 4 strain

Plutella xylostella L. terhadap beberapa insektisida. J.Hort. 17(3): 277-284.

Widawati, M., M. Santi. 2013 The effectiveness of fixative addition on Zodia (Evodia

suaveolens S.) and rosemary (Rosmarinus officinalis l.) gel against Aedes aegypti.

Health Science Journal of Indonesia 4(2): 103-106.

Yasui, H., Kato, and M. Yazawa. 1998. Antifeedants to armyworm, Spodoptera litura and

Pseudaletia separata, from bitter gourd leaves Momordica charantia. J. Chem. Eco.

24: 803-813.

Zapata, N., F. Budia, E. Vinuela, and P. Medina. 2009. Antifeedant and growth inhibitory

effects of extracts and drimanes of Drimys winteri stem bark against Spodoptera

littoralis(Lep., Noctuidae). Ind. Crop Prod. 30: 119–125.

Page 174: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

155

EFIKASI AGENSIA HAYATI TERHADAP PERKEMBANGAN POPULASI HAMA WERENG COKLAT DI LOKASI PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK IN–SITU PADA BUDIDAYA PADI RAMAH LINGKUNGAN DI LAHAN SAWAH IRIGASI KABUPATEN KENDAL

Hairil Anwar, Y. Hindarwati, dan Forita, D.A.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Kotak Pos 101,

Ungaran

Abstrak. Program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dan pencapaian target

surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014 memerlukan dukungan tersedianya inovasi

teknologi padi unggulan spesifik lokasi yang dapat diadopsi oleh petani dan para pengguna

umumnya. Di Provinsi Jawa Tengah program tersebut, telah dicanangkan sejak tahun 2007

dengan target peningkatan produksi beras sebesar 5% setiap tahun. Salah satu strategi yang

diterapkan untuk mendukung program tersebut adalah meningkatkan produktivitas padi

melalui implementasi inovasi teknologi pengendalian serangan hama utama pada tanaman

padi. Secara umum kehilangan hasil akibat serangan hama utama pada tanaman padi relatif

tinggi bisa mencapai lebih dari 21%. Penelitian bertujuan untuk memperoleh agensia hayati

yang efektif menekan serangan hama wereng coklat. Penelitian dilakukan pada musim

tanam tahun 2014, di Kabupaten Kendal. Metode penelitian menggunakan rancangan acak

kelompok (RAK) yaitu tiga perlakuan agensia hayati yaitu Metharisium anisopleae, EM5,

Beuveria basiana, dan cara petani sebagai kontrol menggunakan Ferinsa dengan jumlah

ulangan sebanyak empat ulangan. Benih padi yang digunakan varietas Ciherang ditanam

pada petak berukuran 50 m x 10 m, dengan sistem jajar legowo 2:1, jarak tanam 20 cm x 20

cm x 40 cm. Pengaplikasian agensia hayati dilakukan sejak tanaman berumur 10 hari

setelah tanam (HST) dengan interval 7 hari sekali. Intensitas serangan hama wereng coklat

diamati pada saat tanaman mulai berumur 14 HST hingga seminggu menjelang panen

dengan interval seminggu sekali. Pengamatan populasi musuh alami dilakukan secara

visual dengan menghitung langsung populasi yang ditemukan. Sedangkan produksi

dihitung berdasarkan berat hasil ubinan gabah kering panen (GKP). Hasil penelitian

menujukkan bahwa perlakuan Metarisium anisopleae merupakan agensia hayati yang

paling efektif terhadap serangan hama wereng coklat dibanding kedua agensia hayati

lainnya, karena dapat menekan intensitas serangan hingga mencapai 24 % sedangkan

Beuveria basiana cukup efektif mencapai 20% dan EM5 mencapai 10%, sedang cara

petani/Ferinsa hanya mencapai 6%. Penyemprotan agensia hayati dilakukan bila intensitas

serangan sudah mencapai 5%. Hasil produksi GKP lebih banyak bila dibandingkan dengan

cara petani (kontrol) berkisar antara 15 % sampai 26%.

Kata Kunci: padi, hama wereng coklat, agensia hayati

Abtract. National rice Production enhancement programme (P2BN) and the achievement of

the target surplus of 10 million tons of rice in the year 2014 need support for availability of

technological innovation the flagship location of specific rice that can be adopted by

farmers and user in general. In central java province, it had been proclaimed since 2007

with the target of increasing rice production by 5 % every year. One of the strategies

adopted to support the program is to increase rice productivity through the implementation

of rice plant main pests attac control technological innovations. In general, yield loss due to

16

Page 175: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

156

major pest attaacks on relatively high rice crop bias reached more than 21 %. The research

aim to get biological agents that effectively suppress brown plnt hopper attack. The study

was conducted in the planting season of 2014, in Kendal District. The reseach method used

randomized block design (RAK), there were three treatment as biological agent :

Metharisium anisopleae, EM5, Beuveria basiana and traditional treatment as control using

Ferinsa with four replications. Rice seed used in Ciherang varieties were planted in 50 m x

10 m plot, with legowo : 2 :1 row system, plant spacing of 20 cm x 20 m x 40 cm.

Application of biological agents was done since 10 days after planting (HST) with 7 days

interval. Intesity of brown planthopper attack was observed at the time the plants start at 14

HST until a week before harvest with interval once a week.The observation of the natural

enemy population was done visually by directly counting the population found. While the

population was calculated based on the yield weight of dry grain harvest (GKP). The results

showed that Metharisium anisopleae treatment was the most effective biological agent

against brown planhopper attack compared to the other two biological agents, because it

can reduce the intensity of the attack up to 24% while Beuveria basiana was effective

enough to reach 20% and EM5 reached 10%, while the traditional Treatment only reached

6%. Biodiversity spraying was done when the intensity of the attack had reached 5%, The

production of GKP was higher than traditional treatment (control) ranging from 15% to

26%.

Keywords : rice, brown platnhopper, biological agent

PENDAHULUAN

Ketersediaan beras yang cukup bagi kebutuhan konsumsi masyarakat sangat

berpengaruh terhadap tingkat asupan gizi masyarakat dan merupakan hak azasi manusia

yang paling mendasar untuk memperolehnya secara cukup dan berkesinambungan. Secara

tidak langsung sektor pertanian telah menyumbangkan lebih dari 55 persen terhadap

konsumsi energi dan protein bagi masyarakat. Untuk mempertahankan stabilitas dan

ketahanan pangan, padi berperan penting sebagai bahan makanan pokok hampir seluruh

masyarakat Indonesia.

Disisi lain, mandat sektor pertanian sebagai penyedia pangan yang cukup bagi

penduduknya dan pendukung perkembangan sektor-sektor lainnya menghadapi tantangan

yang semakin kompleks, diantaranya adalah dampak fenomena iklim, semakin

berkurangnya ketersediaan lahan produktif untuk tanaman pangan akibat alih fungsi lahan,

berkurangnya ketersediaan air irigasi karena sumber-sumber air yang semakin berkurang

serta laju pertumbuhan penduduk. Keadaan tersebut akan lebih diperburuk lagi dengan

adanya penduduk miskin atau kantong kemiskinan di suatu wilayah (Suryana, 2003).

Namun demikian, pemerintah bertekad untuk mewujudkan swasembada beras

berkelanjutan. Untuk itu, salah satu alternatifnya adalah diperlukan antisipasi kendala

serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti hama wereng coklat yang dapat

mempengaurhi stabilitas dan ketahanan nasional.

Menurut Harahap et al. (1992) bahwa di Indonesia serangan wereng coklat dapat

menimbulkan kerusakan dari ringan sampai puso, mulai dari stadia bibit di persemaian

sampai menjelang panen. Sehingga akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar baik

Page 176: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

157

berupa kehilangan hasil, penurunan mutu, terganggunya kontinuitas produksi, serta

penurunan pendapatan petani bila tidak dilakukan tindakan pengendalian. Kepadatan

populasi serangga termasuk wereng coklat sebagian besar dipengaruhi secara mudah oleh

faktor lingkungan/habitat, selain faktor-faktor simpang lainnya (Sunjaya, 1970; Hairil et al.,

2011).

Salah satu upaya antisipasi pengendalian perkembangan populasi hama wereng

coklat adalah dengan penerapan pengelolaan hama tanaman secara tepadu (PHT).

Implementasi PHT lebih memprioritaskan pemecahan masalah setempat (petani dan

lahan), optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal, pemanfaatan sinergisme dan efek

berantai dari komponen produksi, efisiesi penggunaan input, pemeliharaan dan peningkatan

kesuburan tanah, serta partisipasi petani dan kerjasama antar institusi/ kelembagaan.

Pengelolaan tanaman untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik dan hasil yang tinggi

(Kartaatmadja dan Fagi, 2000), sehingga diperlukan teknologi yang sesuai dan aplicable.

Pengendalian hama wereng coklat pada dasarnya adalah upaya menekan

populasinya serendah mungkin di bawah ambang kendali melalui berbagai cara

pengendalian. Salah satu model pengendalian yang berwawasan lingkungan dapat

dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, lestari dan

menguntungkan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan

generasi sekarang dan generasi mendatang (Forita et al., 2015).

Secara umum usaha pertanian diartikan sebagai pertanian ramah lingkungan yang

bertujuan untuk memperoleh produksi optimal tanpa merusak lingkungan, baik secara fisik,

kimia, biologi, maupun ekologi. Penerapan pengendalian hama wereng coklat secara

terpadu merupakan bagian dari alternatif pengendalian yang didasarkan pada pemahaman

biologi dan ekologi wereng coklat, dilakukan secara dini (dimulai pra-tanam), intensif, dan

terus menerus dengan memanfaatkan teknologi pengendalian secara tepat waktu untuk

menurunkan populasinya. Menurut Marheni (2004), hal tersebut merupakan upaya

pengendalian hama secara umum yang berwawasan ramah lingkungan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada lahan petani kooperator di desa Bulugede, Kecamatan

Patebon, Kabupaten Kendal, pada musim tanam 2014. Rancangan percobaan yang

digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Perlakuan terdiri dari

beberapa jenis Agensia hayatiyaitu (1) Metharisium anisopleae, (2) Beuveria basiana, (3)

Efektif Mikro organisme atau EM5, (4) Fermentasi Urin Sapi (Ferinsa)/cara petani

sebagai kontrol. Varietas padi VUB yang digunakan untuk menguji agensia hayati

tersebut adalah varietas Ciherang, sedangkan pupuk yang digunakan meliputi : Pupuk

organik berupa kandang in-situ sebanyak 2 ton per hektarnya dan pupuk anorganik

sesuai kebutuhan tanaman di lokasi pengujian yaitu,: Urea (150 kg/ha), SP-36 (100 kg/ha)

dan (KCl 100 kg/ha).

Kemudian ditanam pada petak berukuran 50 m x 10 m, dengan sistem tanam jajar

legowo 2:1, jarak tanam 20 cm x 20 cm x 40 cm. Aplikasi agensia hayati dilakukan sejak

tanaman berumur 10 hari setelah tanam (HST) dengan interval setiap 7 hari sekali. Volume

agensia hayati yang diaplikasikan selama penelitian sebanyak 500 liter larutan/ha (Tabel 1).

Page 177: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

158

Tabel 1. Perlakuan Agensia hayati terhadap Perkembangan Populasi Hama Wereng

coklat di Kabupaten Kendal , Musim tanam 2014

No Agensia Hayati Dosis Keterangan

1. Metarisiun anisopleae 1,0 liter/ha Banyaknya larutan per plot 0,5 liter

2. Beuveria basiana 1,0 liter/ha

3. EM5 1,0 liter/ha

4. Ferinsa/cara petani 1,0 liter/ha

Intensitas serangan hama wereng coklat diamati pada saat tanaman berumur 14 HST

hingga seminggu menjelang panen untuk menilai efektifitas jenis biopestisida yang diuji

dengan interval pengamatan seminggu sekali menggunakan rumus sebagai berikut :

P=a

N ×100%

Dimana :

P : Tingkat serangan dan atau tanaman (%)

a : jumlah daun atau tanaman yang terserang

N : jumlah daun atau tanaman total yang diamati

Pengamatan intensitas serangan dilakukan sejak pertanaman padi berumur 10 HST

pada petak contoh sebanyak 10 rumpun, dan diambil secara acak di masing-masing

perlakuan. Pengamatan tersebut dilakukan dengan interval 7 hari sekali sebelum aplikasi

agensia hayati. Pengamatan populasi musuh alami dilakukan secara visual pada masing-

masing perlakuan. Untuk keragaan komponen produksi dilakukan penghitungan dan

penimbangan hasil panen dan komponen lainnya, berupa panjang malai, jumlah

malai/rumpun, jumlah gabah isi dan hampa, persentase gabah isi, kadar air, dan berat 1000

butir, dan produksi (t/ha).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum aplikasi perkembangan populasi hama wereng coklat yang terjadi pada dua

minggu setelah tanam (MST) relatif rendah rerata mencapai berkisar 1 hingga 2 ekor per

rumpun. Hal tersebut karena dipengaruhi oleh faktor iklim pada saat itu kurang mendukung

perkembangan populasi wereng coklat. Selanjutnya tingkat serangan pada semua perlakuan

baru meningkat pada tiga minggu setelah aplikasi (MSA) ke 3 (Tabel 2). Menurut

Baehaki et al. (1991) bahwa hama wereng coklat datang pada dua minggu pertama setelah

tanam, sedangkan Kisimoto (1977) melaporkan bahwa serangga hama tertarik terhadap

tanaman padi berumur 10 – 20 hari setelah tanam. Disisi lain, pengaruh daya kerja agensia

hayati yang diujikan baru bekerja efektif setelah dilakukan pengaplikasian pada umur

tanaman padi 24 hari setelah tanam.

Pada aplikasi (3 MSA3) semua perlakuan agensia hayati dapat mengurangi

populasi hama wereng coklat, baik pada saat tingkat serangan sedang maupun pada

saat tingkat serangan ringan dan sebelum panen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa

Page 178: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

159

pada pengaplikasian 3 MSA3 dapat digolongkan paling efektif dalam menekan

perkembangan populasi hama wereng coklat. Menurut Baehaki (1987), bahwa di

pertanaman padi, populasi hama wereng coklat terbentuk karena adanya kopulasi acak

antara bentuk sayap. Biasanya hama wereng coklat yang muncul pertama kali di

pertanaman adalah bentuk makroptera sebagai wereng coklat migran. Walaupun secara

alami permulaan hama wereng coklat ada di pertanaman padi yang sudah lilir (Baehaki et

al, 1991). Sedangkan di daerah beriklim sedang, pada awalnya kepadatan populasi wereng

coklat perkembangannya masih rendah, kemudian populasi tersebut semakin bertambah

umur tanaman padi perkembangan populasinya naik semakin cepat. (Kuno, 1973), dan

(Hokyo et al.. 1975). Sebagai contoh berdasarkan hasil penelitian di Sukamandi bahwa

perkembangan populasi hama wereng coklat pada generasi ke 2 populasinya akan

berkembang mencapai 868 kali populasi generasi awal, dan pada generasi ke 3 mencapai

7.844 kali populasi awal (Baehaki, 1984).

Tabel 2. Pengaruh Agensia hayati terhadap perkembangan Populasi Hama wereng coklat

di Kabupaten Kendal, Musim tanam 2014

Agensia hayati Intensitas serangan hama wereng coklat (%)

SA 2 MSA1 2 MSA2 2 MSA3 SBP

M. anisopleae 5,18 b 0,26 a 0,27 b 1,76 a 1,18 a

B. basiana 5,94 b 0,29 a 1,31 a 1,86 a 1,20 b

EM5 5,53 b 0,59 a 0,15 b 1,20 a 1,28 b

Ferinsa 5,98 b 0,55 a 0,35 b 1,25 a 1,28 b

Keterangan : SA = Sebelum aplikasi; MSA = Minggu setelah aplikasi; SBP = Sebelum panen

Angka yang diikuti huruf sama pada satu kolom menunjukkan perbedaan tidak Nyata dengan LSD 5%

Pada aplikasi agensia hayati M. anosopleae dapat menambah hasil panen antara 15

% sampai 30 % dibanding agensia hayati lainnya (Tabel 3). Sedangkan agensia hayati B.

basiana, EM5 dan Ferinsa masing-masing menghasilkan panen rata-rata meliputi : B.

basiana (15 % hingga 27 %), EM5 (14 % hingga 20 %), dan EM5 (14 % hingga15 %).

Hal ini mengindikasikan bahwa dengan mengaplikasikan agensia hayati dapat menekan

kehilangan hasil berupa akibat serangan hama dan penyakit (Soemardi et al., 1991).

Tabel 3. Pengaruh aplikasi agensia hayati terhadap hasil panen padi, di Kabupaten Kendal,

musim tanam 2014

Agensia hayati Hasil Panen

Ubinan (t/ha) Ratio : petani

M. anisopleae 8,39 a 130 : 100

B. basiana 8,39 a 127 : 100

EM5 8,31 a 122 : 100

Ferinsa 8,14 a 120 : 100

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada satu kolom menunjukkan perbedaan tidak nyata

dengan LSD 5%

Page 179: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

160

Untuk komponrn produksi, seperti panjang malai, jumlah malai/rumpun, jumlah

gabah isi dan hampa, persentase gabah isi, kadar air, dan berat 1000 butir, tidak mengalami

perubahan yang signifikan terhadap pengaplikasian beberapa agensia hayati yang diuji,

masing-masing perlakuan agensia hayati tidak memberikan reaksi atau sama dengan

deskripsi varietas padi, sehingga dalam pengkajian ini tidak dibahas secara mendetil.

Namun demikian, pemberian pupuk kandang pada pertanaman padi yang diuji dapat

berdampak positif sekitar 3% sampai 5% pada pertumbuhan tanaman padi, termasuk pada

komponen produksinya.

Agensia hayati M. anisopleae dan B. basiana pada dosis anjuran cukup efektif

didalam menekan laju serangan dengan cara menyelimuti seluruh tubuh hama wereng

coklat dengan intensitas serangan 24 % untuk perlakuan agensia hayati M. anisopleae, dan

B. basiana intensitas serangannya mencapai 20 %, sedang perlakuan agensia hayati EM5

mencapai 10 % dan agensia hayati Ferinsa sebangai kontrol cara petani mencapai 6 %.

Agensia hayati tersebut merupakan yang memiliki spektrum cukup luas dan selektif dalam

mengendalikan hama pada tanaman padi. Sedangkan agensia hayati EM5 dan Ferinsa dapat

menekan laju perkembangan polulasi hama wereng coklat dengan cara mengusir (atractan)

serangga tersebut disebabkan aroma kurang menarik.

Populasi musuh alami sebelum aplikasi pola sebaran populasinya termasuk rendah

dan terus meningkat pada 2 minggu setelah aplikasi kedua. Hal tersebut terjadikarena

adanya pengaruh faktor lingkungan yang sesuai seperti tersedianya faktor makanan dan

kesesuaian iklim. Apabila makanan yang cocok tersedia dalam jumlah cukup banyak, maka

serangga/hama akan berkembang dengan baik (Soejitno, 2001).

Tabel 4. Pengaruh agensia hayati terhadap perkembangan predator Laba-laba, di Kabupaten

Kendal, musim tanam 2014

Agensia hayati Populasi predator Laba-laba (ekor/rumpun)

SA 2 MSA1 2 MSA2 2 MSA3

M. anisopleae 18,25 a 33,00 b 81,75 ab 67,75 a

B. basiana 19,25 a 45,20 a 82,25 b 70,00 a

EM5 16,75 a 36,50 ab 72,00 a 66,00 a

Ferinsa 16,75 a 35,20 ab 72,00 a 66,00 a

Keterangan : SA = Sebelum aplikasi; MSA = Minggu setelah aplikasi; Angka yang diikuti hruf sama

pada satu kolom menunjukkan perbedaan tidak Nyata dengan LSD 5%

Pada dua minggu setelah aplikasi kesatu, aplikasi agensia hayati dapat menekan

populasi predator laba-laba maupun Paederus sp dan paling nyata tekanannya pada

aplikasi agensia hayati M. anisopleae, dan B. basiana terhadap laba-laba dengan

persentase rata-rata mencapai 15% untuk agensia hayati M. anisopleae dan B. basiana

mencapai 12% seperti terseji pada Tabel 4. Sedangkan pada perlakuan agensia hayati

lainnya juga dapat menekan populasi predator tersebut di atas, dengan persentase cukup

rendah sekitar 2% sampai 4%. Hal ini menurut Baehaki (1992), karena perkembangan

populasinya banyak dipengaruhi faktor lingkungan maupun faktor makanan yang

Page 180: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

161

merupakan kebutuhan hidup sehingga predator ini cenderung memangsa hama wereng

coklat

Pada 2 minggu setelah aplikasi kedua, kondisi masing-masing perlakuan

agensiahayati M. anisopleae dan B. basiana dapat mengurangi populasi laba-laba,

sedangkan pada dua minggu aplikasi ketiga populasinya turun dan tidak bebeda nyata antar

perlakuan. Hal ini diasumsikan volume larutan kurang sesuai atau terlalu sedikit sehingga

perlu dilakukan penambahan dosisnya.

Untuk populasi predator Paederus sp sangat rendah sampai dua minggu setelah

aplikasi kesatu dan meningkat pada dua minggu setelah aplikasi kedua dan aplikasi ketiga.

Dari semua pengamatan pengaruh aplikasi agensia hayati terhadap predator Paederus sp

tidak nyata seperti pada Tabel 5. Hal ini disebabkan populasi wereng coklat mengalami

penurunan akibat dimangsa predator lain diantaranya laba-laba, sehingga terkesan daya

mangsa predator Paederus sp kurang dari biasanya yaitu seekor Paederus sp dapat

memangsa dalam sehari 1,4 wereng coklat (Arifin et al., 1987).

Faktor lingkungan, juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasi

serangga, baik berupa hama seperti wereng coklat maupun predator, hal tersebut tergantung

pada keseimbangan lingkunagan itu sendiri (Hairil et al., 2014). Dalam keadaan tertentu

keseimbangan dapat terganggu, sehingga dapat mengakibatkan populasi hama seperti

wereng coklat jauh melampaui populasi musuh alaminya (Untung, 1980). Beberapa faktor

lingkungan pada pertanaman padi dapat berpengaruh terhadap perkembangan populasi

musuh alami baik secara langsung atau tidak, sehingga perlu dilestarikan keberadaannya

pada ekosistem pertanaman padi, karena mengingat besarnya peranan musuh alami dalam

memangsa hama wereng coklat. (Arifin et al., 1985) dan (Handa et al., 1986).

Tabel 5. Pengaruh agensia hayati terhadap predator Paederus sp, di Kabupaten

Kendal, musim tanam 2014

Agensia hayati Populasi predator Paederus sp (ekor/rumpun)

SA 2 MSA1 2 MSA2 2 MSA3

M. anisopleae 0,00a 1,25a 15,50a 18,75b

B. basiana 0,25a 3,50a 16,75a 21,00b

EM5 0,25a 4,00a 15,35a 14,25a

Ferinsa 0,25a 4,00a 15,37a 14,25a

Keterangan : SA = Sebelum aplikasi; MSA = Minggu setelah aplikasi

Angka yang diikuti hruf sama pada satu kolom menunjukkan perbedaan tidak Nyata dengan LSD 5%

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Agensia hayati M. anisopleae dan B. basiana dengan dosis 1,0 liter per hektar cukup

efektif menekan tingkat serangan hama wereng coklat, sedang jenis lainnya termasuk

kurang efektif dengan dosis 1,0 liter per hektar.

2. Agensia hayati M. anisopleae dan B. basiana dengan dosis 1,0 liter per hektar tidak

berpengaruh buruk terhadap predator laba-laba maupun Paederus sp, dan tergolong

Page 181: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

162

lebih efektif menekan populasi wereng coklat, juga dapat menyebabkan hasil panen

yang lebih banyak dibanding jenis lainnya sekitar 30%.

3. Aplikasi agensia hayati hendaknya lebih baik dipadukan dengan pemberian zat perekat,

agar daya kerjanya (mode action) lebih efisien.

4. Penggunaan agensia hayati hendaknya dijadikan momentum melestarikan lingkungan

secara berkelanjutan dan lebih diutamakan dari pada pestisida kimia.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M., S. Wirjosuhardjo, S. Mangundihardjo, dan K. Untung. 1985. Kemampuan

Lycosa pseudoannulata Boes et, Str. Memangsa wereng coklat pada berbagai tingkat

ketahanan padi. Pen. Pertanian Vol. 5 no.1.

Arifin, K., dan J. Soejitno. 1987. Musuh alami wereng coklat Nilaparvata lugens Stal pada

tanaman padi. Edisi Khusus No.1. Puslitbang Tanaman Pangan, Balai Penelitian

Tanaman Pangan Bogor.

Baehaki, S.E. 1984. Studi Perkembangan populasi wereng coklat (Nilaparvata lugens

Stal) asal migran dan pemencarannya di pertanaman. Disertasi IPB.

Baehaki, S.E. 1987. Dinamika populasi wereng coklat Nilaparvata lugens Stal. (Buku)

Wereng coklat, Edisi Khusus No.1. Puslitbang Tanaman Pangan, Balai Penelitian

Tanaman Pangan Bogor.

Baehaki, S.E. 1992. Monitoring hama wereng coklat biotipe Sumatera Utara. Balai

Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan, Bogor, Jawa Barat.

Baehaki, S.E., dan M. Iman. 1991. Status Hama Wereng pada Tanaman Padi dan

Pengendaliannya. Puslitbang tanaman pangan. Bogor.

Forita D. Arianti., J. Pramono, Hairil Anwar, Y. Hindarwati, Nur Fitriana, D. Untung, S.

Murtiati, Warsito, dan Zamawi. 2015. Pemanfaatan pupuk organik in–situ pada

budidaya padi ramah lingkungan pada lahan sawah irigasi di Jawa Tengah. Laporan

Tahunan 2014. Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian, Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Jawa Tengah.

Hairil Anwar, A.Rifai, dan S. Basuki. 2011. Dinamika populasi wereng batang coklat ada

beberapa varietas unggul baru padi selama MK 2009 di Kabupaten Kudus. Hasil

Pengkajian (Prosiding), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.

Hairil Anwar dan Meinarti Norma., 2014. Dinamika populasi wereng coklat Nilaparvata

lugens Stall. Pada Lahan Sawah Mendukung Bioindustri di Jawa Tengah.

Handa, M., M. Thamrin, A. Budiman, S. Asikin and H. Baduriddin. 1986. Pest

management of food cops in the tidal and monotonous swamps of South

Kalimantan. Banjarbaru Res. Inst. for Food Crops (Barif).

Harahap, I.Sahi., dan S. Harnoto. 1992. Perbaikan varietas padi tahan wereng coklat. Dalam

Penelitian Padi. Puslitbangtan Bogor.

Hokyo N, M.H. Lee, and J.S. Park. 1975. Some aspects of population dymanic of rice

leaphopper in Korea. Korean J.Plant Prot.

Page 182: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

163

Kartaatmadja, S., dan A.M. Fagi, 2000. Pengelolaan tanaman terpadu: Konsep dan

penerapan. Badan Litbang Pertanian., Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Kuno, E. 1973. Population ecology of rice leafhopper in Japan. Rev. Plant Protec.

Kismoto, R. 1977. Bionomic, forcasting of outbreaks and injury caused by the rice brown

planthopper. The rice brown planthopper. ASPAC.

Marheni. 2004. Kemampuan beberapa prodator pada pengendalian Hama tanaman

pangan secara terpadu. Jurnal Natur Indonesia 6 (2).

Soemardi dan R. Thahir. 1991. Penanganan Pascapanen padi. Puslitbang tanaman pangan.

Bogor.

Soejitno, J. 2001. Pengendalian Hama Terpadu dalam mendukung pengelolaan tanaman

terpadu (PTT). Makalah Pelatihan Pengendalian Hama Terpadu angkatan pertama,

Puslibangtan, Bogor

Suryana. 2003. Kapita selekta evolusi pemikiran kebijakan ketahanan pangan. BPFE

Yogyakarta.Yogyakarta.

Sunjaya. 1970. Ekologi Serangga di Indonesia. Penerbit Fakultas Pertanian,

Universitas Gajah Mada. Jogyakarta.

Untung, K. 1980. Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu. Direktorat Jendral Pertanian

Tanaman Pangan. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta.

Page 183: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

164

Page 184: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

165

EFEK EKSTRAK DAUN MAHKOTA DEWA (PHALERIA PAPUENA WERB) TERHADAP MORTALITAS PLUTELLA XYLOSTELLA PADA SELADA MERAH

Isna Tustiyani1*, Sumiyati1, Dadi Nurdiana1, Toto Siswancipto1 1Faculty of Agriculture Garut University, Jl. Raya Samarang No. 52 A Garut

Abstrak.Selada merupakan salah satu tanaman sayuran penting di Indonesia. Penurunan

produksi selada akhir-akhir ini disebabkan oleh serangan ulat daun. Penggunaan pestisida

nabati merupakan salah satu cara untuk mengendalikan serangan ulat daun. Penelitian ini

bertujuan untuk mempelajari efek ekstrak daun mahkota dewa terhadap mortalitas Plutella

xylostella pada tanaman selada merah. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Benih

Hortikultura Cisurupan Garut, Jawa Barat. Penelitian menggunakan Rancangan Acak

Kelompok dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari 0, 5, 10, 15, 25 %

ekstrak daun mahkota dewa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas terbesar pada

perlakuan 25 % ekstrak mahkota dewa, sedangkan mortalitas terkecil pada perlakuan 0 %

ekstrak mahkota dewa. Perlakuan 25 % ekstrak mahkota dewa efektif mengurangi larva P.

xylostella dan menekan intensitas kerusakan tanaman selada merah.

Kata kunci: biopestisida, ekstrak daun, lepidoptera, ulat daun

Abstract.Lettuce is one of the important vegetable crops in Indonesia. The reduction of

lettuce production is caused by leaf caterpillar pests attack.The use of botanical pesticides is

an alternative effort to control caterpillar. The purpose of this study was to verify the

efficacy of Crown God leaf extract to mortality of Plutella xylostella in red lettuce. The

study was conducted in the Horticulture Seed Center Cisurupan, Garut, West Java,

Indonesia. The design used was a completely randomized design with 6 treatments and 4

replications. The treatment consisted of 0, 5, 10, 15, 20, 25 % Phaleria papuena leaf

extract. The results showed that the highest mortality in the treatment was occured at 25 %

Crown God leaf extract, while the lowest mortality at 0 % Crown God extract. Treatment

25 % Crown God leaf extract effectively reduce P. xylostella and decrese crop damage

intensity of red lettuce.

Keywords: biopesticide, caterpillar, leaf extract, lepidoptera.

PENDAHULUAN

Tanaman selada merupakan tanaman sayuran yang sangat digemari masyarakat.

Salah satu hama penting yang menyerang tanaman ini adalah ulat Plutella xylostella. Hama

ini termasuk ordo Lepidoptera. Stadia P. xylostella yang merusak pada tanaman selada

adalah stadia larva. Larva P. xylostella mulai menyerang tanaman selada pada saat tanaman

berdaun 3 sampai 4 helai dan berlanjut sampai panen.

Dewasa ini, permintaan konsumen akan kualitas hasil pertanian semakin meningkat.

Kualitas hasil pertanian dapat ditingkatkan melalui good agriculture practices (Kardinan,

2011). Salah satu permintaan konsumen akan kualitas hasil pertanian adalah pengurangan

residu pestisida kimia. Efek negatif pestisida kimia antara lain mencemari lingkungan,

hama menjadi resisten, dan efek negatif terhadap kesehatan. Alternatif penggantian

17

Page 185: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

166

pestisida kimia adalah dengan pestisida nabati yang bahan bakunya tersedia melimpah di

sekitarnya. Pestisida nabati adalah pestisida yang dibuat dari bagian tanaman yang

bertujuan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (Irfan, 2010).

Telah banyak penelitian yang dilakukan tentang pestisida nabati antara lain: daun

tembakau pada hama tanaman kopi (Wiryadiputra, 2006); daun pepaya pada hama ulat

(Siahaya dan Rumthe, 2014); daun sirsak pada kutu beras (Isnaini et al., 2015); daun

tembakau pada hama walang sangit (Afifah et al., 2015); minyak atsiri tanaman tropis pada

ulat bulu (Adyana et al., 2016).

Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati adalah mahkota

dewa (Phaleria papuena Werb). Tanaman mahkota dewa mengandung zat aktif antara lain

alkaloid, terpenoid, saponin, resin, dan lignan. Kandungan alkaloid ini dapat menghambat

perkembangan serangga pada stadia larva. Senyawa yang diduga berfungsi sebagai

larvasida adalah saponin, flavonoid, alkaloid dan minak atsiri (Mutmainah, 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek ekstrak daun mahkota dewa terhadap

mortalitas Plutella xylostella pada tanaman selada merah.

METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan di balai benih Hortikultur (BBH) desa Baleangi

kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut pada bulan Agustus hingga Oktober 2016.

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan enam

perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan terdiri atas 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25 %

ekstrak daun mahkota dewa. Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yaitu:

1. Percobaan pendahuluan

Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mengetahui mortalitas P. xylostela.

Pengujian menggunakan metode celup daun (Leaf Deep Bio Essay). Jumlah larva yang diuji

adalah 10 ekor. Mortalitas dihitung jumlah larva yang mati dengan menggunakan rumus

berikut:

M=Lm

L x 100%

Keterangan:

M : Mortalitas

Lm : jumlah larva yang mati

L : jumlah larva yang diujikan

2. Percobaan di lapangan (uji fitotoksisitas)

Percobaan ini dilakukan dengan cara mengamati kerusakan tanaman yang

diakibatkan oleh aktivitas larva yaitu daun yang berlubang selama 7 hari, dan dihitung

dengan rumus berikut:

Page 186: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

167

M = ∑(n . v)

N . V x 100%

Keterangan:

IK: intensitas kerusakan tanaman

n: jumlah kerusakan tanaman pada skor tertentu

v: skor kerusakan tanaman

N: jumlah tanaman yang diamati

V: skor terbesar yang digunakan

Tabel 1. Skoring kerusakan tanaman

Skoring Tingkat Kerusakan (%)

0 Semua tanaman atau bagian tanaman tidak mengalami kerusakan

1 1-25 % tanaman atau bagian tanaman mengalami kerusakan

2 26-50 % tanaman atau bagian tanaman mengalami kerusakan

3 51-75 % tanaman atau bagian tanaman mengalami kerusakan

4 Lebih dari 75 % tanaman atau bagian tanaman mengalami kerusakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji pengaruh konsentrasi ekstrak mahkota dewa terhadap mortalitas P.

xylostella dapat dilihat pada Tabel 2. Pemberian ekstrak daun mahkota dewa yang semakin

tinggi konsentrasinya akan meningkatkan persentase mortalitas P. xylostella. Konsentrasi

25 % ekstrak daun mahkota dewa menyebabkan kematian P. xylostella tetinggi yakni

sebesar 57,5 %. Pada konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20 % ekstrak daun mahkota dewa terjadi

mortalitas larva P. xylostella berturut-turut sebesar 0; 17,5; 37,5; 45; dan 55%.

Tabel 2. Pengaruh ekstrak mahkota dewa terhadap persentase mortalitas larva P. xylostella

Perlakuan

Mortalitas (%) Total

(%) Hari

ke-1

Hari

ke-2

Hari

ke-3

Hari

ke-4

Hari

ke-5

Hari

ke-6

Hari

ke-7

0 % MD 0 0 0 0 0 0 0 0

5 % MD 7,5 5 2,5 2,5 0 0 0 17,5

10 % MD 20 5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 37,5

15 % MD 20 7,5 5 2,5 5 2,5 2,5 45

20 % MD 25 7,5 7,5 5 2,5 5 2,5 55

25 % MD 27,5 10 5 5 5 2,5 2,5 57,5

Keterangan: MD: ekstrak mahkota dewa

Rata-rata mortalitas larva tertinggi terjadi pada hari pertama dan kedua setelah

aplikasi ekstrak daun mahkota dewa. Hal ini diduga bahwa efek racun ekstrak mahkota

dewa bersifat kontak sehingga langsung menyebabkan kematian pada sebagian besar larva.

Page 187: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

168

Racun kontak masuk dalam tubuh larva melalui kulit atau bagian lain yang bersinggungan

langsung dengan ekstrak mahkota dewa. Kematian larva masih terus berlanjut sampai hari

ketujuh. Hal ini selain memiliki efek kontak, ekstrak daun mahkota dewa juga memiliki

peran sebagai racun perut. Daun selada merah terlebih dahulu dicelup ke dalam larutan

ekstrak mahkota dewa, kemudian daun tersebut diberikan kepada ulat P. xylostella sebagai

pakan. Larva P. xylostella tersebut akan memakan daun selada merah sehingga akan

mengganggu sistem pencernaan larva P. xylostella.

Ekstra daun mahkota dewa mengandung senyawa alkaloid. Senyawa ini akan

bertindak sebagai racun perut pada serangga. Racun tersebut akan masuk ke organ saluran

pencernaan dan diserap oleh dinding saluran pencernaan, yang kemudian dibawa ke

susunan saraf pusat sehingga larva akan mengalami kematian pada hari berikutnya.

Pestisida nabati selain mampu meningkatkan mortalitas hama, juga sebagai pencegah nafsu

makan dan menolak seranggga (Irfan, 2016) serta sebagai racun perut (Djojosumarto,

2000).

Gambar 1 terlihat bahwa aplikasi ekstrak daun pada konsentrasi 0, 5, 10, 15 %

menyebabkan intensitas kerusakan berturut-turut sebesar 55,36; 53,57; 42,86 %; dan 35,71

%. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas kerusakan tanaman berbanding terbalik dengan

konsentrasi ekstrak mahkota dewa yang diberikan (tambahkan nilai korelasinya r= -1,19).

Semakin besar konsentrasi ekstrak mahkota dewa yang diberikan, semakin kecil intensitas

kerusakan tanaman yang terjadi.

Gambar 1. Pengaruh perlakuan konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa terhadap intensitas

kerusakan tanaman. (Keterangan: MD = Mahkota dewa)

Pemberian ekstrak mahkota dewa dengan konsentrasi yang kecil menyebabkan

terjadinya kerusakan tanaman yang lebih besar. Hal ini dikarenakan pada konsentrasi

0

10

20

30

40

50

60

0 % MD 5 % MD 10 % MD 15 % MD 20 % MD 25 % MD

Inte

nsi

tas

Ker

usa

ka

n T

an

am

an

(%

)

Perlakuan

Page 188: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

169

ekstrak mahkota dewa yang lebih rendah, mortalitas larva lebih rendah, sehingga larva yang

hidup lebih banyak dan aktivitas larva untuk makan semakin besar seiring dengan

bertambahnya umur larva. Pemberian ekstrak mahkota dewa yang lebih besar menyebabkan

mortalitas larva lebih tinggi, sehingga larva yang hidup lebih rendah dan aktivitas larva

untuk makan dan merusak tanaman lebih rendah.

KESIMPULAN

1. Pemberian ekstrak mahkota dewa berpengaruh terhadap mortalitas P. xylostella dan

intensitas kerusakan tanaman selada merah. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak mahkota

dewa menyebabkan mortalitas larva P. xylostella semakin tinggi dan kerusakan

tanaman selada merah semakin rendah.

2. Konsentrasi 25 % ekstrak mahkota dewa efektif mengurangi larva P. xylostella dan

menekan intensitas kerusakan tanaman selada merah.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I.G.S., K. Sumiartha, dan I.P. Sudiarta. 2012. Efikasi pestisida nabati minyak

atsiri tanaman tropis terhadap mortalitas ulat bulu gempinis. Jurnal

Agroekoteknologi Tropika 1(1): 7-11.

Afifah, F., Y.S. Rahayu, dan S.R. Faizah. 2015.Efekivitas kombinasi filtrat daun tembakau

(Nicotiana tabacum) filtrat daun paitan (Thitonia diversifolia) sebagai pestisida

nabati hama walang sangit (Leptocorisa oratorius) pada tanaman padi. Lentera Bio.

4(1): 25-31.

Djojosumarto, P. 2000. Teknik aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta

Irfan, M. 2016. Uji pestisida nabati terhadap hama dan penyakit tanaman. Jurnal

Agroteknologi 6(2): 39-45.

Isnaini, M., E.R. Pane, dan Wiridianti. 2015. Pengujian beberapa jenis insektisida nabati

terhadap kutu beras (Siophilus oryzae L). Jurnal Biota 1(1): 1-8.

Kandiran, A. 2011. Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal dalam pengendalian

hama tanaman menuju sistem pertanian organik. Pengembangan Inovasi Pertanian

4(4): 262-278.

Mutmainah, S. 2010. Pengaruh ekstrak mahkota dewa (Phaleria papuena Warb) terhadap

kemampuan hidup ulat daun kubis (Plutella xylostella) pada tanaman Caisin.

Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Siahaya, V.G., dan R.Y. Rumthe. 2014. Uji ekstrak daun pepaya (Carica papaya) terhadap

larva Plutella xylostella (Lepidoptera: Plutellidae). Agrolgia 3(2): 112-116.

Wiryadiputra, S. 2006. Keefektivan pestisida nabati daun ramayana (Cassia spectabilis)

dan tembakau (Nicotia tabacum) terhadap hama utama tanaman kopi dan

pengaruhnya terhadap arthropoda lainnya. Pelita Perkebunan 22(1): 25-39.

Page 189: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

170

Page 190: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

171

EFEKTIVITAS EKSTRAK BEBERAPA TANAMAN MANGROVE SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI TERHADAP HAMA KROP KUBIS DI LAHAN RAWA PASANG SURUT

Nur Wakhid, Maulia Aries Susanti, dan Syaiful Asikin

Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru

Abstrak. Tanaman mangrove di lahan rawa, selain sebagai penyimpan air dan penahan

gelombang, juga al dikembangkan sebagai salah satu sumber insektisida nabati.

Penggunaan insektisida nabati merupakan salah satu cara bijak untuk mengurangi

pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstraksi beberapa jenis tumbuhan

mangrove yang potensial dijadikan insektisida nabati terhadap hama krop kubis di lahan

rawa pasang surut. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap,

dengan 4 perlakuan dan 3 kontrol (yaitu pestisida kimia, pestisida nabati dan tanpa

pengendalian), dan diulang 5 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak tanaman

mangrove jenis buta-buta, bakau, api-api dan jeruju berpotensi untuk dijadikan pestisida

nabati terhadap hama krop kubis, dengan rata-rata tingkat kematian larva ulat krop kubis

berkisar 84,00-90,67%.

Kata kunci:Ekstraksi, buta-buta, bakau, api-api dan jeruju

Abstract. Mangrove plants that usually grow on tidal swampland are very important as

water storage as well as wave retention. Also, these kinds of plants are developed

potentially as one source of natural insecticides. The use of natural insecticides will reduce

environmental pollution due to excessive use of chemical pesticides. The study purpose is

to determine the effectiveness of extraction from several species of mangrove plants that act

potentially as natural insecticides to control cabbage pests in tidal swamplands. The study

was carried out using a complete randomized design, 4 treatments and 3 controls (i.e.

chemical pesticides, botanical pesticide, and without pesticides), with 5 replications. The

results showed that the mangrove species extract of buta-buta, bakau, api-api and jeruju as

botanical pesticides was effective against cabbage crop pest, with value of average death of

caterpillar larvae in range from 84.00 to 90.67%.

Keywords:Extraction, buta-buta, bakau, api-api, jeruju

PENDAHULUAN

Peran pestisida untuk meningkatkan kualitas dan produksi komoditas pertanian di

berbagai negara agraris masih dominan, termasuk Indonesia. Cooper dan Dobson (2007)

menyatakan bahwa penggunaan pestisida yang bijaksana banyak menguntungkan manusia,

seperti meningkatnya produksi tanaman dan ternak karena menurunnya gangguan hama dan

penyakit pada tanaman (OPT), terjaminnya kesinambungan pasokan makanan dan pakan

karena hasil panen meningkat, dan meningkatnya kesehatan, kualitas dan harapan hidup

manusia akibat tersedianya bahan makanan bermutu dan perbaikan lingkungan. Namun,

penggunaan pestisida yang tidak bijaksana terhadapberdampak negatif terhadap kesehatan

dan lingkungan. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk meminimalkan dampak negatifnya

perlu dilakukan.

18

Page 191: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

172

Penggunaan pestisida dengan bahan aktif yang sangat toksik dan sulit terdegradasi

mengakibatkan hilangnya keragaman hayati, menurunnya populasi organisme berguna

seperti musuh alami, dan mencemari lingkungan (Isenring, 2010). Munculnya OPT yang

resisten terhadap pestisida sintetis sudah lama diketahui. Menurut Bellinger (1996), ada

lebih dari 500 spesies serangga dan tungau, 270 spesies gulma, 150 patogen tanaman, dan

beberapa spesies tikus yang tahan terhadap pestisida. Di antaranya, terdapat lebih dari 1.000

kombinasi serangga/insektisida yang tahan (multiple resistan) dan 17 spesies serangga yang

tahan terhadap hampir sebagian besar kelompok insektisida. Matsumura et al. (2009)

menyatakan bahwa resistensi wereng batang coklat terhadap insektisida imidakloprid dan

tiametoksam umum terjadi di Asia Timur dan Indochina, kecuali Filipina, sedangkan

wereng batang coklat yang tahan terhadap insektisida fipronil ditemukan di Asia dan Asia

Tenggara.

Petani sebagaian besar menggunakan pestisida sangat intensif, bahkan melebihi

batas aman. Petani sayuran sudah biasa menggunakan dua atau lebih jenis pestisida yang

tidak diketahui kompatibilitasnya. Hasil penelitian Basuki (2009) menunjukkan bahwa

petani bawang merah di Brebes dan Cirebon sudah terbiasa mencampur 2−3 jenis

insektisida untuk mengendalikan ulat bawang (Spodoptera exigua). Sebagian petani tanpa

sadar mencampurkan insektisida yang bersifat sinergis. Namun, banyak juga yang

menggunakan campuran insektisida yang berlawanan cara kerjanya (antagonis). Praktik

seperti ini amat berbahaya karena jumlah insektisida yang digunakan menjadi berlipat

ganda. Dikhawatirkan bilamana dosisnya berlebihan, hama sasarannya tetap tidak

terkendali, sehingga perlakuan pestisida akan merusak lingkungan dan menimbulkan

resistensi hama. Untuk meminimalkan dampak negatif penggunaan pestisida sintetis,

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 24/Permentan/SR.140/4/2011 tanggal

8 April 2011 melarang penggunaan 42 jenis bahan aktif pestisida sintetis, termasuk

dieldrin, endosulfan, dan klordan (Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, 2012).

Pengendalian OPT harus dilakukan secara terpadu (PHT) berdasarkan konsep

pengendalian secara ekologis dan teknologis dengan memanfaatkan berbagai komponen

pengendalian yang kompatibel dalam satu kesatuan koordinasi sistem pengendalian yang

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Laba, 2010). Salah satu upaya untuk

meminimalkan penggunaan pestisida sintetis adalah mengoptimalkan penggunaan pestisida

alternatif yang lebih ramah lingkungan, seperti pestisida nabati, agensia hayati, dan

meningkatkan penggunaan beberapa jenis pestisida tersebut yang kompatibel secara

bersamaan.Di lahan rawa, beragam jenis tumbuhan dari tumbuhan liar/gulma, pohon dan

semak serta tumbuhan mangrove mempunyai fungsi sebagai bahan obat-obatan, pupuk

organik, pestisida botani, biofilter dan tanaman sebagai penyerap unsur beracun (Asikin,

2014).

Habitat mangrove seringkali ditemukan pada pertemuan antara muara sungai dan

air laut yang berfungsi sebagai pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai

mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi

oleh air garam atau air payau (Irwanto, 2006). Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai,

hutan payau atau hutan bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan pantai adalah pohon-

pohonan yang tumbuh di daerah pantai (pesisir), baik daerah yang dipengaruhi oleh pasang

Page 192: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

173

surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir.

Sedangkan pengertian mangrove sebagai hutan payau atau hutan bakau adalah pohon-

pohonan yang tumbuh di daerah payau pada tanah aluvial atau pertemuan air laut dan air

tawar di sekitar muara sungai. Pada umumnya formasi tanaman di dominasi oleh tanaman

bakau. Oleh karena itu istilah bakau digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan dari

genus Rhizophora. Sedangkan istilah mangrove digunakan untuk semua tumbuhan yang

hidup di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Dengan demikian pada suatu kawasan hutan yang terdiri dari berbagai ragam tumbuhan

atau hutan tersebut bukan hanya jenis bakau yang ada, maka istilah hutan mangrove lebih

tepat digunakan (Harahap, 2010).

Menurut Dahuri (2003), kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara merupakan pusat

penyebaran hutan mangrove dunia. Kawasan ini mewakili 25% dari luas mangrove dunia,

dan 75% dari luas mangrove di Asia Tenggara. Sampai saat ini wilayah Indonesia masih

diakui sebagai wilayah yang memiliki habitat mangrove terluas di dunia. Purnobasuki

(2005) menjelaskan, luas hutan mangrove di Indonesiaberdasarkan penafsiran potret udara

dan citra satelit serta inventarisasi yang telah dilakukan mencapai ±4,251 juta hektar (ha)

dengan daerah penyebaran utama adalah pantai timur Pulau Sumatra (Aceh, Riau, Sumatra

Utara, Jambi, Sumatra Selatan, dan Lampung), muara-muara sungai di Kalimantan Barat,

Kalimantan timur, pantai timur dan tenggara Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah,

Maluku, dan Papua. Luas hutan mangrove yang telah ditunjuk sebagai kawasan konservasi

adalah 738.175 ha atau hanya 17,3 % dari luas seluruh hutan mangrove di Indonesia.

Indonesia memiliki 202 jenis tumbuhan mangrove, yang meliputi 89 jenis pohon,

5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari

202 jenis tersebut, 43 jenis (di antaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu)

ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan di

sekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (associate asociate), meliputi:

Acanthaceae, Pteridaceae, Plumbaginaceae, Myrsinaceae, Loranthaceae, Avicenniaceae,

Rhizophoraceae, Bombacaceae, Euphorbiaceae, Asclepiadaceae, Sterculiaceae,

Combretaceae, Arecaceae, Myrtaceae, Lythraceae, Rubiaceae, Sonneratiaceae, Meliaceae.

Sedangkan untuk mangrove tiruan meliputi : Lecythidaceae, Guttiferae, Apocynaceae,

Verbenaceae, Leguminosae, Malvaceae, Convolvulaceae, Melastomataceae (Noor et al.,

2006). Penelitian bertujuan untuk memperoleh ekstrak dari tumbuhan mangrove yang

efektif dalam mengendalikan hama krop kubis (Crodolomia pavartata F).

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama Penyakit Balai Penelitian Pertanian

Lahan Rawa pada musim tanam 2015/2016 (Okt 2015-Mei 2016).

Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan sebagai sumber senyawa sekunder tumbuhan yang

berfungsi sebagai bahan aktif pestisida nabati adalah: Api-Api (Avicennia sp L), Buta-Buta

(Excoecaria agallocha L), Bakau (Rhizophora sp), Jeruju (Acanthus ilicifolius). Dan

sebagai kontrol pestisida Mimba (Pestisida nabati) yang banyak dijual di pasaran dan

Page 193: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

174

pestisida kimiawi (Landa sihalotrin) dan kontrol tanpa pestisida. Parameter yang diamati

adalah mortalitas hama, larva menjadi pupa dan imago. Jumlah larva ulat grayak yang

dimasukkan sebanyak 15 ekor/pot percobaan.

Bahan-bahan lainnya yang digunakan adalah pelarut aseton 70%, Tween 40 atau 80,

water bath, gelas kaca, alat pengaduk dan Serang uji yang dipergunakan adalah larva ulat

krop kubis (Crocidolomia papartata). Serangga Krop kubis (Crocidolomia papartata) hasil

pembiakan di rumah kasa. Alat yang digunakan pisau, parang, kantongan, karung, ember,

tikar dan water bat (untuk pemadatan), pelarut Aceton dan bahan pencampur Twen 40.

Rancangan Percobaan

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan eksktrak

tumbuhan dan ditambah dengan 3 kontrol yaitu Kontrol tanpa pengendalian. Kontrol

pestisida nabati dan Kontrol pestisida kimiawi diulang sebanyak 5 kali. Setiap perlakuan

diujikan kepada 15 ekor larva instrar 2 atau 3 pada makanan (daun sawi segar) yang diberi

masing-masing perlakuan dengan cara dicelupkan selama 2-3 menit. Pestisida nabati

diformulasikan dengan melarutkan ekstrak padat. Mencampur ekstrak padat dengan Tween

dilakukan pada plat kaca hingga merata kemudian dimasukkan air sedikit demi sedikit ke

dalam gelas dan dicampur dengan air sebanyak 1000 ml untuk setiap 1,5 g ekstrak padat

(Wiratno, 2011; wiratno dan Siswanto, 2012; Ariyadi, 2012; Bahi et al., 2014). Perlakuan

dilaksanakan dengan cara mencelupkan selama 2-3 menit dan kemudiandikeringanginkan.

Setelah kering angin, serangga uji dimasukkan. Pengamatan dilakukan terhadap kematian

serangga uji pada 24, 36, 48, 60 dan 72 jam setelah infestasi serangga, pengatan terhadap

gejala keracunan, sifat racun, LD 50 dan LD 95 (dengan probit) program POLO plus.

Pengamatan terhadap gejala keracunan, mortalitas hama dilakukan pada setiap kali

pengamatan dengan membandingkan jumlah hama yang mati dengan jumlah seluruh hama

yang ada pada setiap perlakuan, dinyatakan dalam persen (%). Untuk menghitung

presentase mortalitas larva digunakan rumus dari Kudra (1981); Leatemia dan Rumthe

(2011); sebagai berikut:

M=a

b x 100%

Keterangan:

M: Persentase mortalitas

a : Jumlah serangga/larva uji yang mati

b : Jumlah serangga/larva uji yang diinvestasi

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji beda

nyata jujur (BNJ) pada taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan dan pengumpulan ulat krop kubis dilapang atau pada tanaman sawi

atau kubis. Ulat krop kubis ini dikumpulkan dalam satu wadah (kotak plastik) sebagai

tempat untuk menyimpannya, sebelum dibawa ke laboratorium. Setibanya di laboratorium

ulat krop kubis itu dipelihara selama dua hari dengan pemberian makan yang rutin sehingga

hama ulat krop kubis bisa beradaptasi dengan lingkungan laboratorium, sebagai tempat

Page 194: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

175

tinggalnya yang baru. Ulat krop kubis diberi daun sawi (sebagai makanan) agar ulat krop

kubis ini tidak mati sebelum penelitian ini dilaksanakan. Adapun perbanyakan larva sebagai

berikut:

Benih sawi ditanam dalam pot ember berukuran 8 liter di rumah kasa sebanyak 20

pot/bak plastik. Tiap pot/bak plastik terdiri 2 - 5 tanaman sawi sehingga tersedia tanaman

sebagai bahan makanan bagi ulat krop kubis. Pada saat tanaman berumur 2 - 3 minggu

tanaman disungkup dengan kurungan kasa untuk memelihara serangga dewasa jantan dan

betina (hama ulat krop kubis) agar meletakkan telurnya pada tanaman tersebut. Kelompok

telur yang telah diletakkan oleh serangga betina pada tanaman sawi tersebut dibiarkan

sampai menetas menjadi larva. Larva yang baru menetas tersebut dipelihara di

laboratorium sampai tersedia instar larva 2 atau 3. Sumber makanan larva yang dipelihara

di laboratorium tersebut adalah berasal dari pertanaman sawi yang telah disiapkan di

lapangan pada lahan berukuran 10 m x 10 m.

Penyediaan Ekstrak

Sebagai langkah awal dari serangkaian tahapan kegiatan tersebut adalah pembuatan

Insektisida nabati yaitu dibuat dalam bentuk ekstrak padat (paste) dengan cara merendam

bahan tumbuhan segar ke dalam pelarut (aseton) dengan perbandingan setiap 1000 gram

bahan tumbuhan direndam dengan 3 – 5 liter pelarut. Setelah direndam selama 48 jam,

kemudian disaring dan hasil saringan dievaporasi dengan vacum untuk menghasilkan

residu. Hasil residu dimasukkan ke dalam cawan terbuka dan dipanaskan pada waterbath

dengan suhu 40-50oC. Untuk membentuk ekstrak padat, pemanasan harus dilakukan

selama kurang lebih 6-12 jam.

Sebelum aplikasi, terlebih dahulu ekstrak padat dicampur dengan minyak Tween 40

atau 80 dengan perbandingan 10 : 1 agar daya rekatnya pada tanaman lebih kuat dan

penyebarannya merata pada permukaan tanaman. Pencampuran ekstrak padat dengan tween

dilakukan pada plat kaca hingga merata kemudian dimasukkan air sedikit demi sedikit ke

dalam gelas dan dicampur dengan air sebanyak 1000 ml untuk setiap 1,5 g ekstrak padat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Keracunan

Pada pengamatan pertama pada 24 jam setelah infestasi terhadap gejala keracunan,

hampir semua ekstrak tanaman mangrove menunjukkan perbedaan yang sangat nyata

dengan perlakuan kontrol tanpa pengendalian (Tabel 1). Menurut Utami et al. (2010),

gejala umum kematian larva diawali dengan paralisis/kelumpuhan. Gejala keracunan

demikian biasa dikenal sebagai efek knock down. Tubuh larva yang mati berwarna hijau

kehitaman dan lama kelamaan menghitam dan lunak. Gejala kematian ini tampak pada

larva yang memakan ekstrak daun tanaman hutan mangrove, yang terjadi pada 24 jam

setelah infestasi.

Tanda-tanda gejala keracunan dari ekstrak tumbuhan mangrove tersebut adala pada

pengamatan kedua yaitu 24 jam setelah infestasi, mula-mula larva yang diuji belum

memperlihatkan gejala keracunan karena larva uji belum memakan pakan yang diberi

ekstrak tanaman hutan mangrove tersebut. Larva uji tersebut masih mencari

Page 195: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

176

makanan/pakan yang tidak mengandung ekstrak tanaman hutan mangrove tersebut. Namun

pada perlakuan kontrol tanpa pengendalianpestisida larva sudah mulai memakan. Hal yang

demikian menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan atau tanaman hutan mangrove ini

mungkin diduga mengandung zat yang bersifat penolak makan bagi larva ulat krop kubis,

kalau dilihat dari prelaku dari ulat krops kubis tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian Nur Alindatus et al. (2013), bahwa ekstrak daun tanaman hutan mangrove

mampu menghambat aktivitas makan dari larva ordo Lepidoptera, selain dapat

menghambat aktivitas makan, juga mampu menghambat peneluran, menghambat

pertumbuhan dan perkembangan serangga serta dapat menimbulkan efek kematian

(Prijono, 1999; Aldywaridha, 2010).

Pengamatan 36 jam setelah infestasi larva terlihat larva uji sudah mulai memakan

pakan tersebut akibatterpaksa akibat kelaparan, dan padalarva yang memakan pakan yang

diberi ekstrak tersebut memperlihatkan gejala keracunan dimana larva berjalam lambat dan

tidak aktif lagi, dan ada juga larva yang diam menggulung. Larva yang mengalami

keracunan, tubuhnya kaku, lunak, lemas (pergerakan menjadi lambat), terjadi perubahan

warna pada tubuh larva, dan mengerut serta mengecil dan akhirnya mati. Llarva yang mati

tidak tampak adanya gejala gangguan yang berkaitan dengan sistem hormon perkembangan

serangga karena tidak terjadi bentuk yang menyimpang. Kematian larva pada perlakuan

ekstrak tumbuhan rawa diawali dengan paralisis (tungkai sudah tidak mampu lagi

menopang tubuh). Hal ini diduga karena tumbuhan/tanaman hutan mangrove ini

mengandung minyak sehingga minyak tersebut menempel pada tubuh larva dan

mengakibatkan spirakel larva tersumbat. Gejala yang ditimbulkan setelah larva memakan

daun sawi, setelah diaplikasikan dengan ekstrak daun tumbuhan-tumbuhan tersebut.

Tabel 1. Tanaman mangrove yang diujikan pada hama krop kubis pada musim tanam

2015/2016

No. Jenis Tumbuhan Pengamatan (%)/Jam

24 36 42 60 72

1. Api-Api 20,00b 78,67b 84,00b 85,33b 85,33a

2. Buta-Buta 22,67b 80,00b 85,33b 90,67b 90,67a

3. Bakau 22,67b 80,00b 82,67b 84,00b 84,00a

4. Jeruju 21,55b 82,67b 86,67b 90,67b 90,67a

5. Kontrol

(Pestisida kimia)

100,00a 100,00a 100,00a 100,00a 100,00a

6. Mimba (Pestisida

nabati)

17,33b 45,33c 80,00b 80,00b 80,00b

7. Tanpa Pestisida 0,00c 0,00d 0,00c 0,00b 0,00c

Rerata dalam kolom diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji BNJ 5%

Menurut Gionar (2004), bahwa larva yang telah memakan daun yang diberi ekstrak

tumbuhan mengalami gejala tampak lemas, pergerakan menjadi lambat, terjadi perubahan

warna pada tubuh larva, kaku, dan mengerut dan lama-kelamaan akan mati. Pengaruh

simultan dari toksisitas ekstrak menyebabkan gagal menjadi larva, terlihat larva mengecil,

mengeluarkan cairan dan berwarna gelap (hitam). Menurut Asikin (2012), hampir seluruh

Page 196: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

177

ekstrak tumbuhan rawa yang pernah diteliti belum pernah ditemukan adanya racun kontak,

tetapi yang paling umum adalah racun perut.

Sifat racun dari ekstrak tumbuhan ini bersifat racun perut, seperti ditnjukkan pada

pengamatan 12 jam setelah infestasi, dimana larva uji belum memperlihatkan adanya

gejala keracunan larva. Tetapi pada pengamatan 24 jam setelah infestasi, larva mulai

makan pakan yang diberi ekstrak daun tumbuhan/tanaman mangrove tersebut yang terlihat

dari bekas kotoran dan sisa daun atau bekas daun yang dimakan, dan ini mengindkasikan

adanya gejala keracunan, dankstrak tersebut bersifat racun perut. Menurut Asikin, (2014),

tubuh larva yang diolesi cairan ekstrak daun tanaman hutan mangrove tidak

memperlihatkan adanya gejala keracunan. Tetapi setelah larva memakan pakan yang diberi

ekstrak daun hutan mangrove baru memperlihatkan adanya gejala keracunan. Pada

pengamatan 12 jam setelah infestasi, serangga yang diuji belum memperlihatkan adanya

gejala keracunan, tetapi setelah 24 jam atau lebih dimana larva uji mulai memakan pakan

yang diberi ekstrak daun tumbuhan hutan mangrove, baru mulai memperlihatkan adanya

gejala keracunan. Berpijak dari hal tersebut maka ekstrak yang digunakan tersebut adalah

bersifat racun perut. Menurut Asikin (2014), perbandingan antara larva yang diberi pakan

dicampur dengan ekstrak tumbuhan rawa, bentuk atau ukuran tubuhnya lebih kecil jika

dibandingkan dengan larva tanpa campuran ekstrak tanaman. Dengan demikian, bentuk

ukuran larva yang diberi ekstrak lebih kecil dibandingkan dengan larva tanpa ekstrak.

Mortalitas Larva dan Letal Dosis 50 dan 95.

Secara umum dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi, semakin tinggi

pula toksisitas racun kandungan ekstrak daun tanaman hutan mangrove, yang ditunjukkan

dengan banyaknya jumlah larva yang mati. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

tingkat instar, semakin tinggi pula daya tahan hidupnya. Hal ini ditandai dengan semakin

rendahnya jumlah larva yang mati. Semakin dewasa larva maka daya tahan tubuhnya pun

semakin tinggi. Hal ini disebabkan lapisan kulit larva instar empat jauh lebih tebal daripada

larva instar satu (Christophers, 1960), sehingga pada konsentrasi racun yang sama, larva

instar satu lebih cepat menyerap racun ke dalam tubuhnya dan mati. Semakin dewasa larva

ulat krop kubis memerlukan konsentrasi racun tinggi dalam ekstrak tanaman hutan

mangrove yang diperlukan.

Banyaknya racun yang masuk ke dalam tubuh serangga akan mempercepat racun

tersebut memparalisis tubuh serangga. Racun secara umum terbagi menjadi eurotoksin dan

nekrotoksin. Wostmann dan Liebezeid (2008), menemukan bahwa Jeruju banyak

mengandung komponen senyawa fenolik, seperti alkaloid dan flavonoid. Huoab et al.

(2003) melaporkan jeruju mempunyai komponen glukosida yaitu 5, 11-epoxymegastigmane

glukosida. Menurut Citarasu (2009), herbal yang mengandung komponen seperti fenolat,

polifenol, alkaloid, kuinon, terpenoid, lektin, dan polipeptida sangat efektif sebagai

antibiotik. Namun demikian, ekstrak tumbuhan menunjukkan efek anti mikroba yang

berbeda terhadap setiap jenis mikroorganisme (Kirbag et al., 2009). Menurut Mayer (2011),

suatu bahan dapat dikategorikan antibiotik karena bersifat bakteriostatik, jika mampu

menghambat pertumbuhan bakteri, atau bakterisid jika mampu membunuh bakteri. Jika

antibiotik yang bersifat bakteriostatik digunakan untuk terapi, maka harus cukup

menimbulkan mekanisme immunitas seluler dan humoral untuk membasmi bakteri.

Page 197: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

178

Pada penelitian ini terbukti ekstrak dan fraksi daun jeruju mempunyai potensi

antibakteri terhadap V. harveyi, sehingga dapat dikembangkan sebagai bahan antibakteri

pada usaha penanggulangan serangan vibriosis di lingkungan budidaya udang maupun ikan,

baik dihatchery ataupun budidaya di tambak. Menurut Saptiani et al. (2012), ekstrak A.

Ilicifolius dapat menghambat pertumbuhan V.harveyi pada udang, dan dapat menurunkan

prevalensi serangan serta meningkatkan kelangsungan hidup. Citarasu (2009) mengatakan

,bahwa produk bio-medisinal herbal merupakan bahan alternatif yang dapat digunakan pada

sistem budidaya, karena memiliki karakter sebagai pemacu pertumbuhan (growth

promoting ability) dan tonikum untuk memperbaiki sistem imunitas, berperan sebagai

perangsang nafsu makan, meningkatkan konsumsi, memacu maturasi,dan mempunyai

kapasitas sebagai antibakteri dan juga antistres tanpa menimbulkan gangguan lingkungan.

Identifikasi kandungan kimia Uji kualitatif kandungan kimia dalam fraksi n-heksana:

kloroform dari ekstrak metanol kulit batang R. mucronata dilakukan dengan pereaksi kimia

untuk golongan flavonoid, terpenoid, dan alkaloid Ekstrak daun tanaman hutan mangrove

bakau (Harwoko dan Utami, 2010).

Jeruju (Acanthus ilicifolius) adalah tumbuhan golongan mangrove yang mempunyai

senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai bahan antibakterial (Manilal et al., 2009). Jeruju

banyak dijumpai di wilayah pesisir Kalimantan Timur, biasanya di daerah yang salinitasnya

agak rendah, membentuk perdu di sekitar tumbuhan nipah di areal pertambakan (Saptiani et

al., 2012a). Tumbuhan ini mengandung senyawa glukosida, alkaloid, flavonoid, asam

lemak, steroid, lignan,dan komponen fenol dan terpenoid (Kanchanapoom et al., 2001).

Menurut Mayer (2007), jika dibandingkan dengan antibiotik trimethoprim, diameter zona

hambat tersebut termasuk kategori intermediate. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

bioaktif jeruju bersifat vibrosidal. Menurut Saptiani et al. (2012b), ekstrak etanol tumbuhan

jeruju dapat menghambat pertumbuhan V.harveyi secara in vitro. Manilal et al. (2009),

mengatakan daun jeruju secara in vitro bersifat vibriosidal dengan daya hambat terhadap

tiga spesies vibrio, yaitu V. alcaligenes (8mm), V. vulnificus (9 mm), dan V. alginolyticus

(10 mm).

Secara biologis flavonoida memainkan peranan penting dalam kaitan penyerbukan

tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoida mempunyai rasa pahit sehingga dapat bersifat

menolak sejenis ulat tertentu. Selain senyawa-senyawa tersebut ada juga senyawa alkaloid

yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Ekstrak jeruju mempunyai aktivitas

menghambat pertumbuhan bakteri V. Harveyi in vitro. Ekstrak dan fraksi daun ini,

kemungkinan banyak mengandung senyawa fenolik yang mempunyai potensi anti bakteri,

seperti yang dikemukakan oleh Kanchanapoom et al. (2001) dan Wostmann dan Liebezeid

(2008), bahwa jeruju banyak mengandung komponen senyawa fenolik, seperti alkaloid dan

flavonoid, sedangkan Huoab et al. (2003), melaporkan jeruju mempunyai komponen

glukosida yaitu 5, 11-epoxymegastigmane glukosida. Menurut Citarasu (2009), herbal yang

mengandung komponen seperti fenolat, polifenol, alkaloid, kuinon, terpenoid, lektin, dan

polipeptida sangat efektif sebagai antibiotik. Namun demikian, ekstrak tumbuhan

menunjukkan efek anti mikroba yang berbeda terhadap setiap jenis mikroorganisme

(Kirbag et al., 2009). Menurut Mayer (2011), suatu bahan dapat dikategorikan antibiotik

atau bersifat bakteriostatik, jika mampu menghambat pertumbuhan bakteri, atau bakterisid

jika mampu membunuh bakteri. Jika antibiotik yang bersifat bakteriostatik digunakan untuk

Page 198: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

179

terapi, maka harus cukup menimbulkan mekanisme immunitas seluler dan humoral untuk

membasmi bakteri. Tingginya mortalitas pada perlakuan ekstrak tumbuhan jeruju

disebabkan oleh kandungan metabolisme sekunder yang terkandung dalam ekstrak

tumbuhan jeruju tersebut. Senyawa-senyawa yang tergolong ke dalam kelompok metabolit

sekunder ini antara lain: alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, saponin dan lain-lain.

Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai

kemampuan biokaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan (Firdiyani et al.,

2015).

Sejumlah tumbuhan mangrove dan tumbuhan asosiasinya digunakan pula sebagai

bahan tradisional insektisida dan pestisida (Purnobasuki, 2004). Mangrove kaya akan

senyawa steroid, saponin, flavonoid dan tannin. Penggunaan saponin sebagai deterjen alam

dan racun ikan telah dikenal oleh masyarakat tradisional (Correl et al., 1955). Manfaat lain

dari saponin adalah sebagai spermisida (obat kontrasepsi laki-laki); anti mikroba, anti

peradangan, dan aktivitas sitotoksik (Mahato et al., 1988). Salah satu tumbuhan mangrove

penghasil saponin steroid dan sapogenin adalah Avicennia officinalis yang banyak tumbuh

di pesisir Indonesia (Purnobasuki, 2004). Untuk kepentingan analgesik (pembiusan),

senyawa dari Acanthus illicifolius, Avicennia marina, dan Excoecarcia agallhocha

mempunyai khasiat bius namun efektivitasnya masih sedikit di bawah khasiat morfin.

Senyawa yang berhasil diisolasi ditentukan struktur molekulnya melalui pengukuran

spektroskopi IR, NMRdan MS. Senyawa yang berhasil diisolasi adalah tarakseron, &#946;-

sitosterol dan 3-O- &#946; -glukopiranosil- &#946; -sitosterol.

Larva menjadi Pupa dan Imago

Hasil pengamatan larva menjadi pupa dan imago dapat dilihat 72 jam setelah

infestasi dimana pada perlakuan ekstrak tumbuhan hutan mangrove yang tertinggi yaitu

pada perlakuan ekstrak buta-buta dan ekstrak jeruru yaitu 90,67% yaitu sekitar 68 ekor mati

keracunan akibat perlakuan ekstrak buta-buta dan jeruju. Bentuk larva yang diberi

perlakuan ekstrak tersebut umumnya ukuran larvanya lebih kecil dibanding larva pada

perlakuan kontrol tanpa perlakuan. Larva menjadi pupa dari 68 ekor mati sehingga larva

menjadi pupa sekitar 7 ekor menjadi pupa, tetapi ukuran pupanya lebih kecil dibandingkan

dengan pupa pada perlakuan kontrol tanpa pengendalian. Dari pupa menjadi imago dari

kedua peraluan ekstrak tersebut yaitu ekstrak buta-buta hanya ada 2 imago yang tumbuh

sempurna tetapi agak kecil dibanding pupa pada perlakuan kontrol tanpa pengendalian dan

5 pupa lainnya kecil dan pertumbuhannya tidak sempurna. Begitu pula pada perlakuan

ekstrak pada jeruju hanya saja imago sempurnanya 3 ekor dan tidak sempurna 4 ekor.

Pertumbuhan terhambat dari pupa menjadi imago ini disebankan oleh pengaruh yang

dikandung kedua jenis ekstrak tumbuhan hutan mangrove tersebut.

Rendahnya persentase larva menjadi pupa dan imago disebabkan oleh folatel-folatel

yang terkandung dalam ekstrak tumbuhan mangrove yang dapat mempengaruhi

pembentukan dari larva menjadi pupa dan serangga imago. Menurut Alindatus et al.

(2013), bahwa ekstrak mangrove dapat menghambat pembentukan dari larva menjadi pupa

serta imago. Ekstrak yang diuji memberikan respon positif terhadap flavonoid, steroid,

saponin, dan tanin. Diduga senyawa kimia yang terkandung dalam daun bintaro

memberikan efek terhadap mortalitas larva S. litura. Senyawa flavonoid adalah suatu

Page 199: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

180

kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Flavonoid mempunyai

efek toksik, antimikroba/sebagai pelindung tanaman dari patogen dan antifeedant.

Hollingworth (2001) melaporkan bahwa rotenon merupakan senyawa golongan flavonoid

yang mempunyai efek mematikan pada serangga. Menurutnya rotenon bekerja sebagai

racun respirasi sel, yaitu menghambat transfer elektron dalam NADH-koenzim ubiquinon

reduktase (kompleks I) dari sistem transpor elektron di dalam mitokondria. Yunita et al.

(2009), melaporkan bahwa steroid juga dikenal sebagai senyawa yang mempunyai efek

toksik pada ekstrak daun teklan (Eupatoriumriparium) mengandung senyawa metabolit

sekunder diantaranya steroid yang mempunyai efek menghambat perkembangan nyamuk

Aedes aegypti. Adapun tanin bersifat antimikroba. Tanin memiliki rasa yang pahit sehingga

dapat menyebabkan mekanisme penghambatan makan pada serangga.

Di dalam kedua ekstrak tanaman hutan mangrove diduga juga mengandung

metabolit sekunder yaitu senyawa fenol yang mana beberapa senyawa fenol memilki fungsi

sebagai penolak makan serangga namun bisa juga berperan sebagai penstimuli makan pada

serangga lain (Yunita et al., 2009). Akibatnya senyawa yang bersifat toksik yang

terkandung di dalam ekstrak daun tumbuhan mangrove dapat terakumulasi kedalam tubuh

larva dalam jumlah yang besar, makin banyak menyerap senyawa – senyawa yang bersifat

toksik tersebut sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan pengaruh pada metabolisme

tubuh larva dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian. Serangga yang

mengkonsumsi sumber makanan yang sesuai akan dapat tumbuh berkembang dengan baik.

Sebaliknya serangga yang mengkonsumsi sumber makanan yang miskin zat – zat nutrisi

yang diperlukan akan mengalami penghambatan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya (Fadlillah, 2012).

Selain saponin, steroid juga memiliki efek menghambat perkembangan serangga.

Berdasarkan Yunita et al. (2009), steroid dapat menghambat perkembangan nyamuk

Aedes aegypti dan memiliki fungsi protektif, misalnya fitoekdison sehingga steroid dapat

menghambat proses pergantian kulit larva. Mengenai LD 50 adalah pada taraf kepercayaan

95% adalah LD 50 adalah 0,370 gr/liter air dengan batas bawah 0,27 gr/liter dan batas atas

adalah 0,576 grm/liter. LD 95 adalah 2,035 grm/liter dengan taraf kepercayaan 95% pada

batas bawah adalah 1,166 g/l dan batas atas adalah 12,432 g/l dengan waktunya 72 jam

setelah infestasi.

Tumbuhan bakau, beberapa senyawa metabolit baru-baru ini dengan struktur

kimia dan tergolong salah satu diversitas dari ‘kelas-kelas kimia’ telah dikarakterisasi dari

tumbuhan mangrove dan tumbuhan asosiasinya. Di antara yang terbaru ditemukan adalah

gugus substansi dari getah dan perekat sampai senyawa alkaloid dan saponin dan beberapa

senyawa lainnya yang terkait dengan industri obat-obatan, seperti halnya: derivat

benzoquinone, naphthoquinone, naphthofurans, flavonoid, polyfenol, rotenone, flavoglican,

sesquiterpene, di-dan triterpene,limonoid, minyak esensial, sterols, karbohidrat, o-metil-

inositol, gula, iridoid glikosida, alkaloid dan asam amino bebas, feromon, gibberellin,

forbol ester, keterosiklik oksigen, senyawa sulfur, lemak dan hidrokarbon, alkohol alipatik

rantai panjang dan lemak jenuh, asam lemak bebas termasuk PUFAs (asam lemak tak jenuh

ganda). Selain itu mangrove kaya akan senyawa steroid, saponin, flavonoid dan tannin.

Senyawa saponin dari tumbuhan adalah glikosida dari triterpene dan steroid, yang larut

Page 200: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

181

dalam air dan mempunyai kemampuan membentuk buih sabun bila dikocok di air.

Penggunaan saponin sebagai deterjen alam dan racun ikan telah dikenal oleh masyarakat

tradisional. Sifat farmatikal yang berhubungan dengan obat Cina ‘ginseng’ merupakan

atribut dari senyawa saponin. Saponin tumbuhan seperti halnya dioscin, bernilai komersial

setelah ditemukan sebagai bahan untuk hormone steroid sintetis (Correl et al., 1955).

KESIMPULAN

Empat jenis ekstrak tumbuhan mangrove potensial digunakan sebagai pestisida

botani/nabati untuk mengendalikan hama ulat krop kubis. Ekstrak buta-buta dan jeruju

merupakan bahan pestisida nabati terbaik yang mempunyai mortalitas tertinggi adalah yaitu

dapat mematikan ulat sampai 90%, sedangkan ekstrak tanaman api-api dan bakau hanya

sekitar 85%. Keempat jenis tanaman mangrove tersebut juga mempengaruhi pembentukan

pupa dan imago dari hama krobis.

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, R.S. 2009. Pengetahuan petani dan keefektifan penggunaan insektisida oleh petani

dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua Hubn pada tanaman bawang merah di

Brebes dan Cirebon. Jurnal Hortikultura 19(4): 459−474.

Bellinger, R.G. 1996. Pest Resistance to Pesticides. Department of Entomology, Clemson

University. ipm.ncsu.edu/safety/factsheets/resistan.pdf.

Citarasu, T. 2009. Herbal biomedicines: A new oppor tunity for aquaculture industry.

Aquaculture International 18(3): 403-414.

Cooper, J., and H. Dobson. 2007. The benefits of pesticides to mankind and the

environment. Crop Prot. 26: 1337–1348.

Correll, D.S., B.G.Schubert, H.S. Gentry, and W.D. Hawley. 1955. The search for plant

precursors of cortisone. Economic Botany 52: 307-375.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2012. Bahan aktif yang dilarang untuk semua

bidang penggunaan pestisida. Pedoman Teknis Kajian Pestisida Terdaftar dan

Beredar TA 2012. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Jakarta. 23

hlm.

Harahap, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam

Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Hollingworth, R.M. 2001. Inhibitors and uncouplers of mitochondrial oxydative

phosphorylation. In: Krieger R., J. Doull, D. Ecobichon, D. Gammon, E. Hoyson, L.

Reiter, J. Ross. Editor. Handbook of Pesticide Toxycology Vol 2. Academic Press.

San Diego.

Harwoko dan E.D. Utami. 2010. Aktivitas sitotoksin fraksi n-heksan: kloroform dari

ekstrak metanol kulit batang mangrove (Rhizopora mucronata) pada sel kanker

myeloma. Majalah Obat Tradisional 15(2): 51 – 55.

Page 201: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

182

Huoab, C., H. Lianga, G. Tuc, Y. Zhaoa, and W. Lina. 2003. A new 5, 11-

epoxymegastigmane glucoside from Acanthus ilicifolius. Phytochemistry 63(4):

491-495.

Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove, Yogyakarta.

Isenring, R. 2010. Pesticides and the loss of biodiversity. How intensive pesticide use

affects wildlife population and species diversity. Pesticide Action Network, Europe.

26 pp. Development House 56−64 Leonard Street, London EC2A 4LT. www.pan-

europe.info.

Kirbag,S., F. Zengin, and M. Kursat. 2009. Antimicrobial activities of extracts of some

plants. Pak.J.Bot. 41(4): 2067-2070.

Laba, I.W. 2010. Analisis empiris penggunaan insektisida menuju pertanian berkelanjutan.

Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2): 120−137

Matsumura, M.H. Takeuchi, M. Satoh, S. Sanada-Morimura, A. Otuka, T. Watanabe, and

D.V. Thanh. 2009. Current status of insecticide resistance in rice planthoppers in

Asia. pp. 233−244. In: K.L. Heong and B. Hardy (Eds.). Planthoppers: new threats

to the sustainability of intensive rice production systems in Asia. International Rice

Research Institute, Los Baños, Philippines.

Mayer, G. 2011. Bacteriology. Antibiotics Protein Synthesis, Nucleic Acid synthesis and

Metabolism. Microbiology and immunology Online. University of South Carolina

School of Medicine, Carolina.

Manilal, A., I.S. , G.S. Kiran, J. Selvin, and C. Shakir. 2009. Biopotentials of mangroves

collected from the Southwest Coast of India. Glo. J.Biotechnol. 4(1): 59-65.

Noor, Y.R., M. Khazali, and I.N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di

Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.

Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. Penerbit Airlangga University

Press. Surabaya.

Saptiani, G., S.B. Prayitno, dan S. Anggoro. 2012a. The effectiveness of Acanthus

ilicifolius in protecting tiger prawn (Penaeus monodon F.) from Vibrio harveyi

infection. J. Coast. Dev. 15(2): 217-224.

Saptiani, G., S.B. Prayitno, dan S. Anggoro. 2012b. Aktivitas antibakteri ekstrak jeruju

(Acanthus ilicifolius) terhadap pertumbuhan Vibrio harveyi secara in vitro.J.

Veteriner. 13(3): -262.

Wostmann, R., and G. Liebezeid. 2008. Chemical composition of the mangrove holly

Acanthus ilicifolius (Acanthaceae) – Review and additional data. Senckenbergiana

Maritima 38(1): 31-37.

Page 202: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

183

TREATMENT OF THREE FRACTIONATION OF SUREN PLANT EXTRACTS ON MORTALITY OF SPODOPTERA LITURA, F. LARVAE

Ita Tarigan

Faculty of Science and Technology Christian University of Wira Wacana Sumba Jl R. Soeprapto

No.35 Waingapu, Provinsi Nusa Tenggara, Indonesia

Abstrak. Toona sureni is a species of tree in the mahogany family, with various medicinal

and economic use however, its potential to be used as biopesticide has not been widely

explored. Thus the aim of this study is to explore the efficacy and bioactivity of the three

Toona sureni extracts (methanol, n-hexane and ethyl acetate) from the leaf, twigs, barks

and seeds against Spodoptera litura F larvae. The residual method was performed to test the

bioactivity of Toona sureni (leaf, bark and twigs extracts against S. litura larvae at different

concentrations of 0, 3, 5, 10, 15, and 20% (w/v) for leaf, twig and bark extract. While, the

seed extract was used with concentration 0, 1, 3, 5.7, and 10% (w/v) with 5 replicates each

10 second instar larvae were used. Probit Analysis (Finney 1971) using the Polo Plus

Program was then used to analyse the mortality rate. The results showed the highest

mortality in 1 DAT (day after treatment) reached 42% while for the lowest mortality

achieved 2% in 3 DAT. It was discovered that etyl acetate was more toxic on larvae

compared for methanol and n-hexane seed extract against S. litura F (LC50 of 7.62%, 95%

confidence interval of 3.97- 19.06% and the LC30 of 1.91%; 95% confidence interval of

0.62-3.67%). In conclusion, the present study demonstrate most active ingredients from

Toona sureni can be extracted from leaves as compared with bark, stalk, and seeds extracts

Keywords: extraction, fractionation, mortality,T. sinensisMerr,S. litura

Abstract. Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan

insektisida nabati dalam pengendalian hama daun adalah genus Toona (suren) yang

termasuk famili Meliaceae dan belum banyak dimanfaatkan. Tujuan dari penelitian ini

adalah menguji bioaktivitas dari hasil ketiga fraksinasi (methanol, n-heksan dan etyl asetat)

dari ekstrak daun, ranting, kulit batang, dan biji tanaman suren terhadap mortalitas larva

Spodoptera litura F, menentukan konsentrasi dan lethal konsentrasi (LC), serta

menganalisa kandungan bahan aktif. Uji hayati dilakukan dengan metode residu pada daun

terhadap larva S. litura dengan konsentrasi yang digunakan 0, 3.5, 10, 15, dan 20 % (w/v)

untuk perlakuan ekstrak daun, ranting, dan kulit batang sedangkan ekstrak biji digunakan

dengan konsentrasi 0, 1.3, 5, 7, dan 10% (w/v) dengan 5 kali ulangan dan 10 larva instar

dua yang digunakan. Data kematian dari serangga uji tersebut sampai pada hari ketiga dan

diolah dengan Analisis Probit (Finney 1971) dengan menggunakan Program Polo Plus

(Robertson et al. 2003). Hasil penelitian menunjukkan mortalitas tertinggi pada 1 HSP (hari

setelah perlakuan) mencapai 42% sedangkan untuk mortalitas terendah dicapai 2% pada 3

HSP. Dari hasil fraksinasi perlakuan fraksi etyl asetat paling efektif dibanding fraksi yang

lain dan ekstrak biji tanaman suren paling toksik karena mempunyai sifat racun kontak,

LC50 ekstrak biji pada mortalitas larva S. litura F sebesar 7.62% dengan SK (selang

kepercayaan 95%) sebesar 3.97-19.06%, sedangkan hasil LC30 sebesar 1.91% dengan SK

95% antara (0.62-3.67%). Hasil analisa Gas Chromatografi mass spektofotometer

kandungan bahan aktif dari tanaman suren banyak didapat dari bagian daun, kemudian

diikuti dari perlakuan dari bagian kulit batang, ranting, dan biji.

Kata kunci: ekstraksi, fraksinasi, mortalitas, T. sinensis Merr, S. litura F.

19

Page 203: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

184

INTRODUCTION

In Indonesia, about 30,000-40,000 species of plants spread throughout the

archipelago of which less than 1,100 plant species have the potential of medicinal use

(Heyne, 1987). This indicates Indonesia's tropical forests have high potential to contain

various bioactive compounds that in small levels can affect the function of living cell

physiology. Plants produce active compounds such as flavanoids, terpenoids, alkaloids and

limonoid known as secondary compounds of inestimable quantities. These compounds can

be utilized as a medicine to overcome various diseases and even modern medicine on the

market is the result of exploration of plant extractive substances contained in tropical

forests and can protect plants from pests and diseases (Benner, 1993).

Generally, plant chemical research produces many active compounds focused on the

genera Melia and Azidirachta, while other types that are still underemployment are in the

genus Trichilia, Toona and Aglaia (Isman et al., 1995). Among groups of Meliaceae plants

such asAzidirachta indica, Aglaia odorata and Swietenia mahogany, Toona sinensis Merr.,

also have potential as potential pest control and potential vegetable insecticides sources.

Many terpenoids isolated from the family may inhibit insect feeding activities such as

cedrelone, aphanin and toosendanin each isolated from Cedrella odorata, Aphanamixis

sinensis and Melia toosedan (Dadang, 1998). The genus of Toona includes forest plants in

the tropics and is known as a useful plant in Indonesia. The suren plant has an erect stem

with branches pointing upwards and the leaves are compounded, pinnate and the leaves are

serrated. In nature, suren reproduce itself with winged seeds and disseminated with wind.

At the farmer level in the West Java area, this suren plant has been widely used for the

control of the pest in rice cultivation and the results are quite good (Prijono 1999). Leaves

and bark of suren trees have long been used by the general public as mules, fever, diabetes

and mumps (Very et al., 2002). Previous research conducted by Kardono et al. (2002)

showed that this suren bark methanol extract contains bioactive antidiabetic compounds.

This study aims to (i) test the bioactivity of methanol, n-hexane and ethyl acetate

fractions from leaf extracts, twigs, bark and Toona sinensis Merr seeds. (ii) Determining the

concentration and LC (Lethal concentration) of the three fractions as well as (iii) analyzing

the active ingredients contained in leaf extracts from twigs, stem bark and suren seeds.

MATERIALS AND METHODS

Materials and Tools

The material used is a five year old suren plant obtained from community gardens

Laladon Karya Bakti location, Parakan Village, Ciomas Subdistrict, Kab. Bogor with sandy

soil conditions. Insect S. litura insect rearing obtained from Laboratory of Toxicology,

Faculty of Agriculture IPB-University. The tools used are a set of extraction tools (sokslet

method), rotary vacuum evaporator, and others.

The leaves, twigs, bark and seeds preparation

The leaves, twigs, bark and seeds of suren plants are dried until they reach a

moisture content of about 15% then cut or chopped to match matchstick and then blended

until smooth and obtained powder with a uniform size.

Page 204: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

185

Extraction

Extraction can be considered as a first step in a series of activities testing the

biological activity of plants. Pollen leaves, twigs, bark and seeds are extracted with

methanol solvent using an extraction tool for 48 hours. After that the methanol solvent was

evaporated using a rotary vacuum evaporator at a low pressure which eventually produced a

crude extract. Then partitioned by counter-counter distribution method to produce

methanol, n-hexane and ethylacetate fractions.

Bioactivity test against S. litura F. larvae

Bioactivity test was performed on all three fractions to determine the concentration

level and LC from leaf extract, twig, bark and seed of suren plant on the contact effect of

larvae of S. litura larva. Testing is done with 6 levels of concentration that is 0; 3; 5; 10; 15;

and 20% (w/v), while for seed extract treatment used 0; 1; 3; 5; 7 and 10% (w/v).

All test extract treatments were mixed with methanol solvent and 0.1ml acetone, 0.2

ml tween emulsifier and sterile aquadest amount were adjusted to the concentration to

obtain a 10 ml test solution. Each treatment was tested on 10 instar larvae with 5

replications. Total of each fraction per section of plant used 300 larvae. For bioactivity test

of S. litura (F) pest, this pest was not treated but the edible leaves feed was immersed in the

test solution and then dried. It is then placed into a petridish containing the S. litura larvae

(F). The extract was considered to be active when it resulted in> 90% of death from insect

test population on day 3 after treatment, then calculated mortality by using the formula:

Mortality Observes = Mortality

Total Number of Larvae (N) ×100

In this study the mortality data for the three days were processed by probit analysis

(Finney 1971) using PoloPlus program (Robertsob et al., 2003) to determine Lethal

Concentration (LC) with 95% confidence interval (CI)

RESULT AND DISCUSSION

A. Effect of methanol fraction on mortality of S. litura F.

According to Figure 1 mortality only reached 30% in 1 DAT for 10% seed extract,

followed by 20% leaf extract 26% mortality. In the treatment of skin extract 20% and seed

extract 7% of mortality reached 24% on 1 DAT, then decreased at 2 and 3 DAT up to 4%.

The probit analysis using PoloPlus program showed that the methanol fraction of

larvae S. litura F extract treatment from the suren plant part was not effective enough in

suppressing the pest development because the result of analysis with LC50 result was very

high and greater than the concentration given so it was lowered to LC30 where the results

of the analysis according to the concentration used as shown in Table 1 LC30 for seed

extract is only required 2.62% with the confidence interval used 1.66-4.52%, then followed

by the treatment of leaf extract, skin and twigs.

Page 205: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

186

Description: DAT: Day After Treatment

Figure 1. The effect of methanol fraction with S. litura F on mortality

Table 1. Effect of methanol fraction concentration of various T. sinensis parts against of

S. litura F larvae

Methanol

fraction a±SE b±SE LC30 CI95(%) LC50 CI95(%)

leaves 2.88±0.52 1.29±0.47 16.87 11.53-45.89 42.78 24.45-319.63

Stems 3.26±0.44 0.86±0.41 24.88 13.81-59.25 96.61 43.94-437.45

Bark 3.22±0.37 0.99±0.36 18.07 11.39-88.29 75.21 37.14-294.25

Seeds 4.18±0.18 0.69±0.26 2.62 1.66-4.52 11.38 24.70-37.14

a: Intercept the regression line; b:The slope of the regression line (slope)

SE: Standard error; LC: Lethal concentration for mortality response

B. Effect of n-hexane fraction on mortality of S. litura F.

Furthermore, the analysis showed that the fraction of n-hexane to S. litura larvae of

extract treatment from suren plant part was not effective enough to suppress the pest

development because the result of analysis with LC50 result was very high and greater than

the concentration given for treatment of leaf extracts, twigs and barks are reduced to LC30

where the analysis results are in accordance with the concentrations used, as shown in

Table 2. The yield of LC30 for seed extract is only required 2.79% with the confidence

interval used 1.41-3.32% but when used LC50 for seed extract can still be used because the

result of its LC reaches 4.46 with the concentration range used between the values of 2.68-

5.75.

Page 206: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

187

Figure 2 The Effect n-hexane fraction with S. litura F mortality

Table 2. Effect of n-hexane fraction concentration of various T. sinensis against S. litura F

larvae

n-hexane

fraction a±SE b±SE LC30 CI95(%) LC50 CI95(%)

leaves 2.26±0.39 2.79±0.38 6.21 3.37-7.23 9.55 6.80-13.54

Stems 3.26±0.29 1.55±0.28 6.11 4.17-7.86 13.3 10.40-18.98

Bark 3.46±0.31 1.39±0.30 5.37 3.11-7.26 12.77 9.63-19.42

Seeds 3.33±0.43 2.58±0.56 2.79 1.41-3.32 4.46 2.68-5.75

a: Intercept the regression line; b: The slope of the regression line (slope)

SE: Standard error; LC: Lethal concentration for mortality response

C. Effect of ethyl acetate fraction on mortality of S. litura F.

The result showed that the fraction of ethyl acetate to larvae of S. litura extract

treatment from the suren plant part was not effective enough in suppressing the

development of the pest because the result with LC50 result was very high and greater than

the concentration given so it was lowered to LC30 where the results of the analysis in

accordance with the concentration used. As shown in Table 3, LC30 for seed extract is only

required 1.91% with confidence interval used 0.62-3.67% then followed by treatment of

skin extracts, leaves and twigs (Table 3).

Page 207: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

188

Figure 3. Effect of ethyl acetate fraction with S. litura F. mortality

Table 3. Effect of ethyl acetate fraction concentration of various parts of T. sinensis Merr

plant to S. litura F. larvae

Ethyl acetate

fraction a±SE b±SE LC30

CI95(%) LC50 SK95(%)

leaves 3.53±0.31 1.18±0.30 6.37 2.29-10.44 11.77 11.83-67.60

Stems 3.11±0.36 1.38±0.34 9.88 4.78-20.86 23.73 19.05-174.78

Bark 5.85±0.29 1.08±0.29 3.42 1.02-5.38 10.49 7.16-17.41

Seeds 4.71±0.18 0.11±0.06 1.91 0.62-3.67 7.62 3.97-19.06

a: Intercept the regression line; b: The slope of the regression line (slope)

SE: Standard error; LC: Lethal concentration for mortality response

DISCUSSION

Botanical insecticides inedible with sufficient numbers of insects can directly cause

mortality, whereas in non-lethal concentrations (sublethal), insecticides may affect the

behavior and physiology of insects. Feeding inhibition (antifeedant) is one example of

behavioral disorders, whereas physiological disorders may include growth inhibitory

activity through impairment of digestive enzyme activity, eg protease enzymes and

invertase. Miller and Strickler (1984) explain that the toxic properties of plant compounds

to insects can be a disturbance to the development of insects directly (intrinsically) and

indirectly (extrinsic), whereas the antifeedant effects contained in plants can be detected by

the sensory system (primary antifeedant effect) , or affect the central nervous insect that

regulates the feeding process (secondary antifeedant effect). Based on the graph of

mortality relationship in S. litura F of the three fractions in the first day of exposure has

shown high mortality both at low and high concentrations in all extracts of suren plants this

shows the interaction of test insects with vegetable pesticides and is " knockdown "whereas

at 2 and 3 HSP there was a decrease in mortality but not all test insects died, still using life

but the activity of test insects was weak.

Insect death on seed extract treatment begins with paralysis (legs are no longer able

to support the body), it is suspected seed extract contains toxins that can interfere with

insect breathing. In addition, the oil-containing suren seed attaches to the body part of the

Page 208: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

189

insect during exposure so that the spiraling insect is blocked. Another possibility that the

active compound of seed extract penetrates the insect cuticle and seeps into the body then

accumulates resulting in paralysis and subsequent death.

From the analysis with GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrophotometer)

there are several types of active ingredients found in suren plant extract and good ability in

the control of pests are from class of phenol, ethyl benzene, aceno phenon and 1,2,3

benzenetriol.

CONCLUSION

In conclusion, this study revealed that ethyl acetate fraction and seed extract is more

effective than other fraction for controlling the S. litura F and the highest mortality (42%)

was recorded in day one after treatment ( 1 DAT) for S. litura F and the lowest was

achieved at 3 DAT of 2%. In addition, the of seed extract and ethyl acetate fraction for S.

litura recorded LC50 of 7.62 at CI 95% (3.97-19.06), while LC30 was 1.91 with CI 95%

(0.62-3.67). Therefore, this study recommend leaves, twigs and bark from Suren plant

forest resources to be adopted as raw materials for vegetable pesticides.

REFERENCES

Benner, J.P. 1993. Pesticidal Compounds from Higher Plant. Pesticides Sci. 39: 95-102.

Finney, D.J.1971. Probit analysis. 3rd ed. Cambridge. Cambridge University Press.

Isman, M.B., J.T. Arnason, and G.H.N. Towers. 1995. Chemistry and Biology Activity of

Ingredients of Others species of Meliaceae. In H. Schumutterer (ed): The neem

Azadiracht indica A. juss and others Meliaceous Plant: Sources Onique Natural

Product for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other purposes.

VCH. Weinheim, Germany. pp.657-659.

Heyne, K. 1987. Indonesia's herbs. Volume 2. Jakarta: Agency for Forestry Research and

Development.

Miller, J.R., and K.L. Strickler. 1984. Finding and Accepting host plants. Inside: Bell WJ.

Carde RT,editor. Chemical Ecology of Insects. Massachussets: Sinauer, Sunderland.

Page 127-157.

Prijono, D. 1999. Practical Guide for Insecticide Testing. Department of Plant Pest and

Disease.Faculty of Agriculture IPB. Bogor.

Very, H.M., E.A.M. Zuhud, and E.K. Damayanti. 2002. Indonesian Dictionary of Disease

and Medicinal Plant (Etnofitomedika). Jakarta: Popular Torch Library.

Page 209: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

190

Page 210: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

191

INSEKTISIDA NABATI HAMA ULAT GRAYAK (SPODOPTERA LITURA) DARI BEBERAPA TUMBUHAN RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

Syaiful Asikin, Nur Wakhid, dan Maulia Aries Susanti

Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru

Abstrak. Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang kaya akan berbagai jenis

tumbuhan rawa yang di antaranya mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi

insektisida nabati. Salah satu hama yang menyerang tanaman budidaya dan meresahkan

petani adalah hama ulat grayak. Hama ini merupakan hama daun yang bisa menyerang

beberapa tanaman meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, cabe dan lain-

lain. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh informasi potensi dari beberapa tanaman

rawa yang dapat dikembangkan sebagai insektisida nabati dalam mengendalikan hama ulat

grayak. Penelitian dilakukan di laboratorium Balittra tahun 2015, menggunakan rancangan

acak lengkap, dengan 7 perlakuan ekstrak tanaman dan 5 ulangan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan Bidara, Melinjo, Sungkai, Sawi Laut dan

Kumandrah berpotensi untuk digunakan sebagai insektisida nabati dengan mortalitas larva

masing-masing secara berurutan yaitu 84,44%, 80,00%, 82,22%, 82,22%, 84,44%. Dengan

demikian pestisida nabati tersebut dapat digunakan sebagai penyela pestisida sintetik

sehingga penggunaan pestisida sintitis dapat dikurangi penggunaannya.

Kata kunci: tanaman budidaya, potensi, ekstrak, mortalitas larva

Abstract. Swampland is a swamp ecosystem that is rich with various types of plant,

including plants which could be developed as botanical pesticides. One of famous pests that

attacks the cultivated plants and considered as an important agricultural pest is

orientalleafworm moth/taro caterpillar. This pest is one of leaf pests that can attack some

plants include soybeans, peanuts, cabbage, sweet potatoes, potatoes, chilies and others. The

research objective is to get information about the potentiality of some swampland plants

that can be developed as natural insecticides to control oriental leafworm moth. The study

was conducted in laboratory of Indonesian Swampland Agricultural Research Institute

(ISARI) on 2015, using completely randomized design, 7 treatments of plant extract and 5

replications. Results showed that extracts of Bidara, Melinjo, Sungkai, Sawi Laut and

Kumandrah plant were potential to be used as natural insecticides with larvae respective

mortality of 84.4%, 80.0%, 82.2%, 82.2%, 84.4% respectively.

Keywords:cultivated plants, potentiality, extract, larvae mortality.

PENDAHULUAN

Petani umumnya menggunakan pestisida kimiawi untuk mengendalikan hama dan

penyakit tanaman. Padahal dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), penggunaan

pestisida kimiawi merupakan alternatif terakhir apabila komponen-komponen lainnya tidak

mampu lagi, baru penggunaan pestisida kimiawi dapat dilakukan dengam cara bijaksana.

Penggendalian dengan pestisida kimiawi yang kurang bijak akan menimbulkan masalah

lingkungan pertanian. Penggunaan yang kurang bijak dapat menyebabkan terjadinya

resurgensi dan resistensi hama, ledakan hama, terbunuhnya hama bukan sasaran,

20

Page 211: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

192

terbunuhnya serangga musuh alami (parasitoid dan predator) dan dapat menyebabkan

keracunan bagi pengguna maupun binatang peliharaan (Prijono, 1999; Candra et al., 2010;

Pandu et al., 2013; Hestian et al., 2014; Zulfahmi et al., 2015; Kirana et al., 2014;

Damayanti et al., 2015).

Menurut Adiyoga dan Soetarso (1999), penggunaan pestisida sintetik/ kimiawi

dianggap praktis, mudah diperoleh, dan memberikan efek yang cepat. Padahal penggunaan

insektisida tersebut jika dilakukan secara terjadual tanpa memperhatikan kepadatan

populasi hama dan dosis terlalu tinggi, dapat menimbulkan dampak negatif dengan

meninggalkan residu yang berbahaya (Soeriaatmaja et al., 1993). Hal itu akan sangat

berbahaya bagi tanaman segar yang dimakandikonsumsi langsung tanpa pemasakan seperti

cabai. Dampak negatif lainnya adalah timbulnya strain hama baru yang resisten terhadap

insektisida tersebut (Sastrosiswojo et al., 1989). Di bidang ekonomi, adanya residu

insektisida sintetik juga menimbulkan dampak seperti penolakan ekspor oleh banyak negara

tujuan karena kandungan residu pestisida yang tidak memenuhi persyaratan.

Efek residu dari penggunaan pestisida dapat mencemari tanah yang ditandai dengan

matinya beberapa mikroorganisme perombak tanah, serangga dan binatang lain yang

bermanfaat, sehingga terputusnya rantai makanan bagi populasi makhluk hidup di

lingkungan tersebut. Selain itu, bisa menimbulkan efek negatif yang berkepanjangan pada

suatu areal pertanian, seperti menurunnya produktivitas lahan. Pada manusia, residu

tersebut lama-kelamaan dapat menjadi racun yang akan menimbulkan berbagai penyakit

berkepanjangan. Tujuan yang semula untuk meningkatkan produktivitas, justru akan

menjadi bumerang bagi kehidupan manusia (Kardiman, 2000; Iskarlia et al., 2014).

Berpijak dari masalah-masalah tersebut maka perlu dicari alternatif pengendalian

ramah lingkungan yaitu dengan memanfaatkan tumbuhan sebagai pestisida nabati.

Menurut Lakitan (1993), ratusan jenis senyawa dibentuk sebagai bahan penyusun struktur

organel atau bagian-bagian dari sel lainnya. Tumbuhan juga menghasilkan senyawa

metabolit sekunder (secondary metabolite) yang berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari

serangga, bakteri, jamur dan jenis patogen lainnya. Begitu juga dengan beberapa jenis

tanaman yang tumbuh di lahan rawa, yang sangat berpotensi untuk dijadikan pestisida

nabati. Penelitian bertujuan untuk memperoleh insektisida nabati dari beberapa ekstrak

tumbuhan untuk mengendalikan hama ulat grayak (Spodoptera litura).

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama Penyakit, Balai Penelitian

Pertanian Lahan Rawa pada bulan Oktober 2015-Mei 2016.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan sebagai sumber senyawa sekunder / bahan aktif

pestisida nabati adalah tumbuhan liar rawa sebagai seperti: Bidara (Ziziphus mauritiana

Lam), Melinjo (Gnetum gnemonL.), Sungkai (Peronema canescens), Kumandrah (Croton

tiglium) dan Sawi Laut (Belun didapatkan). Sebagai pembanding, pestisida berbahan

mimba yang telah banyak beredar di pasaran, dan pestisida kimiawi Landa sihalotrin.

Page 212: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

193

Bahan dan peralatan lainnya adalah pelarut aseton 70%, bahan pencampur Tween 40 atau

80, water bath, gelas kaca, dan alat pengaduk. Serangga uji yang dipakai adalah serangga

ulat grayak (Spodoptera litura) hasil pembiakan di rumah kasa.

Rancangan Percobaan

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan eksktrak

tumbuhan rawa dan ditambah dengan 3 kontrol yaitu kontrol / tanpa pestisida. pestisida

nabati komersial dan pestisida kimiawi diulang sebanyak 5 kali. Setiap perlakuan diujikan

kepada 15 ekor larva instrar 2 atau makanan (daun sawi segar) yang diberi masing-masing

perlakuan. Pestisida nabati diformulasikan menggunakan larutan ekstrak padat.

Pencampuran ekstrak padat dengan tween dilakukan menggunakan plat kaca hingga merata,

kemudian dimasukkan air sedikit demi sedikit ke dalam gelas, dan dicampur dengan air

sebanyak 1000 ml untuk setiap 1,5 g ekstrak padat (Wiratno, 2011; Waratno dan Siswanto,

2012; Ariyadi, 2012; Bahi et al., 2014). Perlakuan dilaksanakan dengan cara mencelupkan

selama 1-2 menit dan dikering anginkan. Serangga uji dimasukkan setelah kondisi kering

angin .

Parameter yang diamati adalah mortalitas hama, larva menjadi pupa dan imago.

Jumlah larva ulat grayak yang dimasukkan sebanyak 15 ekor/pot percobaan. Pengamatan

dilakukan terhadap kematian serangga uji pada 12, 24, 36, 48, 60 dan 72 jam setelah

infestasi serangga, pengamatan terhadap gejala keracunan, sifat racun, LD 50 dan LD 95

(dengan probit) program POLO plus. Persentase larva menjadi pupa dan pupa menjadi

imago. Pengamatan terhadap gejala keracunan, mortalitas hama dilakukan pada setiap kali

pengamatan dengan membandingkan jumlah hama yang mati dengan jumlah seluruh hama

yang ada pada setiap perlakuan, dinyatakan dalam persen (%). Untuk menghitung

presentase mortalitas larva digunakan rumus yang digunakan Kudra (1981); Leatemia dan

Rumthe (2011); sebagai berikut:

M=a

b ×100%

Keterangan:

M : Persentase mortalitas

a : Jumlah serangga/larva uji yang mati

b : Jumlah serangga/larva uji yang diinvestasi

Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur

(BNJ) pada taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan dan pengumpulan ulat ulat grayak dilakukan langsung di lapangan

pada tanaman sawi atau kubis. Ulat krop kubis itu di ambil secara langsung dengan tangan,

lalu dikumpulkan dalam satu wadah (kotak plastik) sebagai tempat penyimpanan, sebelum

dibawa ke laboratorium. Setibanya di laboratorium ulat grayak itu dipelihara selama dua

hari dengan pemberian makan yang rutin sehingga ulat grayak bisa beradaptasi dengan

lingkungan laboratorium, sebagai tempat tinggalnya yang baru. Ulat krop kubis diberi daun

sawi (sebagai makanan) agar ulat grayak ini tidak mati sebelum penelitian ini dilaksanakan.

Page 213: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

194

Perbanyakan larva diawali dengan tahap penanaman benih sawi dalam pot ember

berukuran 8 liter di rumah kasa sebanyak 20 pot/bak plastik. Tiap pot/bak plastik terdiri 2 -

5 tanaman sawi sehingga tersedia tanaman sebagai bahan makanan bagi ulat grayak. Pada

saat berumur 2-3 minggu, tanaman disungkup dengan kurungan kasa untuk memelihara

serangga dewasa jantan dan betina (hama ulat grayak) yang meletakkan telurnya pada

tanaman tersebut. Kelompok telur yang telah diletakkan oleh serangga betina pada

tanaman sawi tersebut dibiarkan sampai menetas menjadi larva. Larva yang baru menetas

tersebut dipelihara di laboratorium sampai tersedia instar larva 2 atau 3. Sumber makanan

larva yang dipelihara di laboratorium tersebut berasal dari pertanaman sawi yang telah

disiapkan di lapangan pada lahan berukuran 10 m x 10 m.

Penyediaan ekstrak

Langkah awal pembuatan insektisida nabati dalam bentuk ekstrak padat adalah

dengan cara merendam bahan tumbuhan segar kedalam pelarut (aseton), dengan

perbandingan setiap 1000 gram bahan tumbuhan direndam dengan 3-5 liter pelarut. Setelah

direndam selama 48 jam, disaring dan hasil saringan dievaporasi dengan vacuum untuk

menghasilkan residu. Hasil residu dimasukkan ke dalam cawan terbuka dan dipanaskan

pada waterbath dengan suhu 40-50 oC. Untuk membentuk ekstrak padat, pemanasan harus

dilakukan selama kurang lebih 6-12 jam. Sebelum aplikasi, ekstrak padat tersebut

dicampur dengan minyak Tween 40 atau 80 dengan perbandingan 10 : 1 agar daya rekatnya

pada tanaman lebih kuat dan penyebarannya merata pada permukaan tanaman.

Pencampuran ekstrak padat dengan tween dilakukan pada plat kaca hingga merata

kemudian dimasukkan air sedikit demi sedikit ke dalam gelas dan dicampur dengan air

sebanyak 1000 ml untuk setiap 1,5 g ekstrak padat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Keracunan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstra daun tumbuhan rawa mempunyai

perbedaan yang sangat nyata dibanding perlakuan kontrol tanpa pestisida. Perlakuan

ekstrak tanaman umumnya mulai menunjukkan adanya gejala keracunan setelah larva uji

memakan pakan yang diberi masing-masing ekstrak tersebut. Hal ini dikarenakan

insektisida nabati belum sepenuhnya bekerja. Mutiah et al. (2013) menemukan bahwa

ekstrak tumbuhan selalu bereaksi dengan lambat dibandingkan dengan insektisida kimiawi.

Pada 24 jam setelah infestasi, semua perlakuan ekstrak menunjukkan perbedaan

yang sangat nyata terutama dengan kontrol tanpa pestisida, hal ini menunjukkan bahwa

perlakuan ekstrak tumbuhan tersebut mempunyai nilai mortalitas tertinggi dibandingkan

dengan perlakuan ekstrak tumbuhan lainnya. Setelah terjadi proses di dalam perutnya baru

larva uji tersebut memperlihatkan gejala keracunan. Berarti ekstrak tumbuhan rawa

tersebut bersifat racun perut. Menurut Asikin (2015), pada umumnya ekstrak tumbuhan

rawa bersifat racun perut, karena setelah larva mulai memakan pakan yang diperlakukan

dengan ekstrak tumbuhan tersebut baru larva memperlihatkan adanya gejala keracunan.

Mungkin juga diduga ekstrak tumbuhan rawa tersebut juga mengandung zat antimakan.

Menurut Haji et al. (2003), ekstrak daun Vitex trifolia Linn mengandung senyawa golongan

flavonoid yang berfungsi sebagai anti feedant terhadap larva Epilachna sparsa pada

Page 214: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

195

konsentrasi larutan uji 1%. Menurut Baskar et al. (2011), larutan 5% ekstrak etil asetat dari

tumbuhan Hygrophila auriculata menunjukkan aktivitas anti feedant yang sangat tinggi

(68,48%) terhadap Spodoptera litura dengan nilai LC50 adalah 3,34%. Narasimhan et al.

(2005) melaporkan bahwa senyawa salanobutirolakton aktif sebagai anti feedant,

sedangkan senyawa desasetilsalano-butirolakton aktif sebagai insektisida dan pertumbuhan

regulasinya. Senyawa ã-lakton berperan sebagai antifeedant bagi serangga (Frackowiak et

al., 2006). Pada saat ini senyawa bioaktif antifeedant mulai digunakan sebagai pengendali

hama alternatif, karena mekanisme kerjanya dinilai lebih aman terhadap lingkungan

maupun terhadap manusia atau hewan, ikan dan organisme lain. Pencarian senyawa bioaktif

antifeedant dari belum dilakukan pada bahan baku sampah perkotaan, padahal sebahagian

besar sampah perkotaan di Indonesia merupakan limbah hasil pertanian. Wijaya (1996)

mengklasifikasikan senyawa-senyawa yang bersifat antioksidan di antaranya berupa asam

fenol, flavonoid, polifenol, vitamin C, vitamin E, beta caroten dan likopen.

Mortalitas

Pada pengamatan pertama 12 jam setelah infestasi, hampir semua perlkuanekstrak

termasuk kontrol pestisida nabati dari mimba belum memperlihatkan adanya gejala

keracunan. Tetapi pada pengamatan selanjutnya kedua, ketiga dan selanjutnya terlihat

gejala keracunan dari perlakuan ekstreak tanaman tersebut. Pada pengamatan selanjutnya

yaitu 48, sampai 72 jam, pada perlakuan ekstrak tanaman terjadi peningkatan kematian

larva, tetapi pada pengamatan 60 dan 72 jam, tidak ada lagi peningkatan keracunan dari

perlakuan ekstrak tanaman tersebut. Tingkat kematian larva pada perlakuan ekstrak

tanaman dapat mencapai 82 hingga 90% (Tabel 1). Tingginya kematian larva disebabkan

oleh kandungan volatel-volatel atau bahan aktif dari ekstrak-ekstrak tumbuhan tersebut.

Tabel 1. Tanaman yang diujikan pada hama ulat grayak pada musim tanam 2015

No Jenis Tumbuhan Pengamatan mortalitas larva (%)

12 24 36 48 60 72

1. Bidara 0,00 22,67b 56,00b 78,67b 90,67b 90,67b

2. Melinjo 0,00 21,33b 54,67b 74,67b 81,33b 81,33b

3. Sungkai 0,00 20,00b 56,00b 76,00b 82,67b 82,67b

4. Kumandrah 0,00 22,67b 57,33b 78,67b 90,67b 90,67b

5. Sawi laut 0,00 21,33b 57,33b 80,00b 90,67b 90,67b

6. Kontrol

(Pestisida.kimia) 100,00a 100,00a 100,00a 100,00a 100,00a 100,00a

7.

Mimba

(Pestisida nabati

komersial)

0,00 18,67b 53,33c 70,67c 78,67c 78,67c

8. Tanpa pestisida 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata

menurut uji BNJ pada taraf 5%.

Page 215: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

196

Komposisi kimia dari minyak daun bidara (Zizyphus spina-christi) diperoleh

dengan menggunakan metode destilasi yang memiliki komponen utama: geranyl aseton

(14,0%), metil hexadecanoate (10,0%), metil octadecanoate (9,9%), farnesyl aseton C

(9,9%), hexadecanol (9,7%) dan etil octadecanoate (8,0%). Tanaman Z. Mauritiana

mengandung berbagai senyawa seperti pektin A, glikosida, alkaloid, asam triterpenoat dan

lipid. Z. mauritiana mengandung asam triterpenoat seperti asam kolubrinat, asam

alpitolat,asam 3-O-cis-p-kumaroilapitolat , asam 3-O-trans-p-kumaroilapitolat, 3-O-cis-p-

kumaroilmaslinat, 3-O-trans-p-kumaroilmaslinat, asam oleanolat, asam betulonat, asam

oleanonat, asam zizyberenalat dan asam betulinat. Saponin diisolasi dari biji Z. mauritiana

termasuk jujubosida A, B, A1, B1, C dan asetiljujubosida B. Protojujubosida A, B, B1 dan

ziziphin terdapat dalam daun Z. mauritiana. Biji Z. Mauritiana mengandung fosfatidikolin,

fosfatidilgliserol dan asam lemak seperti asam linoleat, oleat dan stearat (Roni Taradipta,

2015).

Tumbuhan melinjo mengandung saponin, tanin,dan flavonoid, dimana kandungan

tanin dalam daun melinjo sebesar 4,55% (Lestari et al.,2013). Menurut Ummah (2010),

secara umum kandungan tanin tertinggi terdapat pada daun muda. Tanin yang terdapat

dalam daun melinjo dapat dijadikan sebagai pengawet alami untuk industri pengolahan

makanan. Daun melinjo memberikan efek yang baik sebagai pengawet makanan, dari

inhibitor rasa dan peningkat rasa (Santoso, 2008). Hambatan makan tertinggi larva S. litura

Fab. pada konsentrasi 20%, dimana hambatan makan mencapai 80,50% dibanding

perlakuan yang lain. Sesuai dengan pernyataan Schoonhoven (1982), bahwa senyawa

antimakan dikatakan efektif bila tingkatan hambatannya mencapai 80-100%. Penelitian

yang dilakukan Tohir (2010) menunjukan ekstrak metanol daun melinjo dapat menurunkan

aktivitas makan larva S. litura Fab. sebesar 33,5 % pada konsentrasi 5%. Hal ini berbeda

dengan penelitian ini dimana konsentrasi 5% ekstrak etanol daun melinjo hanya

menyebabkan hambatan makan sebesar 27,03%.

Tumbuhan melinjo mengandung senyawa kimia yang befungsi sebagai antifeedant.

menurut Asikin dan Thamrin (2002), kandungan bahan kimia pada tumbuhan melinjo

secara umum adalah saponin, flavonoid dan tanin. Rosyidah (2007) menyatakan bahwa

senyawa flavonoid dan saponin dapat menimbulkan kelemahan pada saraf serta kerusakan

pada spirakel yang mengakibatkan serangga tidak dapat bernafas dan akhirnya mati.

Flavonoid merupakan senyawa aktif yang memiliki aktivitas penghambat makan terhadap

berbagai jenis hama (Schmutterer, 1995). Saponin bersifat sebagai racun dan antifeedant

pada kutu, larva, kumbang dan berbagai serangga lain. Menurut Vincent (1995), saponin

juga dapat menghambat pernafasan serangga. Robinson (1995) menyatakan bahwa senyawa

alkaloid yang dihasilkan dari ekstrak tumbuhan merupakan salah satu jenis saponin yang

mengandung nitrogen. Menurut Untung (1993), pestisida nabati dapat masuk ke dalam

tubuh serangga melalui berbagai cara antara lain: sebagai racun perut (stomach poison)

yang masuk ke dalam tubuh serangga melalui alat pencernaan serangga, racun kontak

(contact poisoining) yang masuk melalui kulit atau dinding tubuh, dan yang terakhir

fumigant atau pernafasan yang masuk ke dalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan.

Pada sistem saraf serangga antara sel saraf dengan sel otot terdapat celah yang

disebut sinaps. Sinaps akan menghantarkan impuls dari sel saraf ke sel otot dengan bantuan

Page 216: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

197

neurotransmitter, yaitu asetilkolin. Asetilkolin di celah sinaps akan berdifusi ke membran

sel otot, dan berikatan dengan reseptor pada membran sel otot dan membentuk kompleks

reseptor neuro transmitter. Selanjutnya, neuro transmitter (asetilkolin) akan dihidrolisis

oleh enzim asetilkolinterase (AchE) menjadi asetil, koenzim-A dan kolin. Hidrolisis

asetilkolin membuatnya terlepas dari reseptor sehingga tidak dapat mempengaruhi

membran sel otot (Isnaeni, 2006). Tumbuhan melinjo mengandung senyawa bioaktif

resveratol yang dapat bersifat insektisidal dan penghambat makan (antifeedant) yang

berupa racun kontak dan racun perut (Herviandri, 1989).

Tanaman sungkai atau jati sebrang (Peronema canescens Jack) merupakan tanaman

tumbuh cepat yang direkomendasikan untuk memenuhi program Hutan Tanaman Industri

(HTI). Jenis ini merupakan tumbuhan asli Indonesia yang banyak dijumpai di Sumatera

Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat dan seluruh Kalimantan

(Anonim, 1992; Maria et al., 2007; Yani, 2013). Kayunya menyerupai kayu jati dan

mempunyai alur yang artistik, warnanya cerah bergarisgaris coklat tua, karenanya banyak

digunakan untuk industri mebel dan kerajinan. Menurut Ningsih et al. (2013), hasil isolasi

n-Heksan daun P. canescens diperoleh satu senyawa, yaitu isolat B1, berdasarkan data

pereaksi kimia isolat B1 positif golongan senyawa terpenoid dan memiliki aktifitas anti

bakteri. Daun muda sungkai juga mengandung zat flavonoid, yang berperan besar sebagai

pigmen merah, biru dan ungu yang terdapat pada sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi.

Flavonoid memiliki efek antipiretik. Menurut Owoyele (2008), bahan aktif dari ekstrak

Chromolaena odorata mengandung flavonoid yang berfungsi untuk aktivitas analgesik,

anti-inflamasi, dan antipiretik. Jati sebrang atau sungkai mengandung minyak atsiri, sineol,

terpineol, borneol, protein, gula, lemak, silikat, betakamfer, sebinena, mirkena, mirtenal,

karvona, terpinil asetat, dan kersik (Hidayat et al., 2012). Dalam ekstrak etanol terdapat

senyawa metabolit sekunder seperti: tanin, saponin,alkaloida dan lain-lain. Senyawa-

senyawa tersebut akan mempengaruhi hasil respon. Pada konsentrasi kecil, senyawa-

senyawa sampingan tersebut masih terdapat dalam jumlah yang kecil dan belum

mempengaruhi atau mengganggu hasil yang diharapkan.

Tanaman Kamandrah merupakan tanaman obat yang banyak ditemukan di daerah

Kalimantan dan berdasarkan kearifan lokal masyarakatnya banyak menggunakan bijinya

untuk membunuh jentik-jentik nyamuk, sedangkan batang dan daunnya dibakar untuk

mengusir nyamuk (Iswantini et al., 2007). Thamrin (2002) menyatakan bahwa ekstrak biji

kamandrah cukup ampuh membunuh jentik nyamuk A. aegypti hingga 84% dengan LD50

sebesar 0,06%. Senyawa 12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) hasil isolasi dari C.

tiglium dapat membunuh 100% larva Culex pipiens instar 2 pada konsentrasi 0,6 ppm

(Marshall et al., 2005). Identifikasi komponen minyak kamandrah dengan GC-MS

diperoleh senyawa (Z)-13-Octadecenal dan cis-9-Hexadecenal berfungsi sebagai feromon,

serta piperine yang merupakan suatu golongan alkaloid sejenis piperidin yang diduga

sebagai larvasida/insektisida (Iswantini et al., 2007). Senyawa golongan piperidine dapat

membunuh nyamuk A. aegypti dan menunjukkan aktivitas sebagai larvasida adalah 2-ethyl-

piperidine (Pridgeon et al., 2007) dan pipernonaline ekstrak Piper longum (Yang et al.,

2002). Iswantini et al. (2009) menunjukkan bahwa minyak kamandrah mempunyai potensi

tinggi sebagai larvasida dengan nilai LC50 dan LC90 berturut-turut 25,98 ppm dan 164,80

ppm. Penggunaan konsentrasi minyak kamandrah 0,3-0,5% dapat menghambat penetasan

Page 217: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

198

telur (ovisida) dan menurunkan jumlah peletakan telur pada ovitrap (anti-oviposisi) nyamuk

A. aegypty dan A. albopictus (Iswantini et al., 2007; Astuti, 2008). Antonio et al. (2007),

melaporkan bahwa tanaman dari genus Croton memiliki bioaktivitas anti hipertensi, anti

inflamasi, anti malaria, antimikroba, dan anti virus. Penelitian mengenai potensi tinggi dari

tanaman kamandrah sebagai larvasida ini sudah dilakukan (Thamrin, 2002; Iswantini et al.,

2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak biji kamandah cukup ampuh

membunuh jentik dan telur nyamuk Aedes aegypti hingga 84 persen dengan LD50 untuk

larva nyamuk adalah 0,06 persen bahan, dan LD50 untuk tikus sebesar 9,11 mg/tikus, tetapi

ekstrak ini dapat menyebabkan iritasi kulit manusia dan menimbulkan sakit perut dan

hewan mamalia. Walaupun ekstrak biji kamandrah ini berpotensi tinggi dan efektif sebagai

larvasida hayati Aedes aegypti karena hanya memerlukan konsentrasi yang sangat rendah,

tetapi karena berdampak tidak baik terhadap manusia dan hewan, maka sangat perlu untuk

meneliti potensi bagian lain tanaman ini sebagai larvasida, seperti batang dan daun yang

sudah biasa digunakan sebagai obat nyamuk oleh masyarakat Kalimantan.

Minyak biji kamandrah dapat diekstrak dengan cara rendering, mekanis, atau

menggunakan pelarut (Hui, 1996). Saputera et al. (2008) melakukan optimasi proses

ekstraksi biji kamandrah dengan pelarut etanol menghasilkan rendemen 18,6% yang

diperoleh pada nisbah bahan/pelarut 1:6,91 g/mL, waktu maserasi 6,21 hari. Ying et al.

(2002) melakukan ekstraksi dengan maserasi biji Croton tiglium L. dengan petrolium eter

menghasilkan rendemen 11,2%, sedangkan menggunakan etanol menghasilkan rendemen

12,67% (Wu et al., 2007). Menurut Duke (1983) dan Marshal dan Kinghorn, 1984, ekstrak

tumbuhan Kumandrah (Croton tiglium), mengandung adalah phorbol 13-decanoate, juga

phorbol ester; lainnya yaitu 4deoxy-4ᾳ-phorbol diester. Senyawa phorbol ester yang

ditemukan paling tinggi konsentrasinya adalah phorbol 12 tiglate 13- decanote dan terdapat

bentuk (minyak kroton, MK), akan dikatakan efektif dalam penggunaan sebagai pestisida.

Bahan kandungan pada tumbuhan kumandrah tersebut dapat membunuh/mematikan nimpa

wereng coklat, dimana kematian nimpa wereng coklat dapat mencapai 100,00%. Karena

kandungan bahan aktif pada tumbuhan kumandrah tersebut bersifat racun bagi serangga

hama.

Menurut Achmadi et al. (2011), di Indonesia terkenal kaya akan keanekaragaman

hayati, termasuk jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif insektisida. Tanaman

kamandrah (Croton tiglium L.) merupakan salah satu tanaman obat yang banyak terdapat di

wilayah Indonesia dan telah dimanfaatkan sebagai insektisida nabati. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui arakteristik fisiko-kimia minyak kamandrah pada berbagai

tingkat kematangan sebagai larvasida nabati terhadap larva nyamuk demam berdarah

dengue (A.aegypti). Tumbuhan kumandrah (Croton tiglium) mengandung bahan aktif

phorbol 13-decanoatre, juga phorbol ester lainnya yaitu 4-deoxy-4 alpa-phorbol diester,

phorbol monoester dan 4-deoxy-4alpa-phorbol monoester (Marshall dan Kinghorn, 1984).

Senyawa phorbol ester yang ditemukan paling tinggi konsentrasinya adalah phorbol 12

tiglate 13 – decanoate dan terdapat dalam bentuk minyak kroton, MK), dan dikatakan

efektif dalam penggunaan sebagai pestisida (Duke, 1983). Deshmukh dan Borle (1975),

menyatakan bahwa MK mengandung 0,125% yang bersifat seperti racun nikotin sulfat

(insektisida). Kemudian mempunyai sifat lebih efektif dari ekstrak Derris yang merupakan

insektisida (List dan Horhammer, 1979) dan bersifat aktif sebagai moluskisida terhadap

Page 218: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

199

jenis keong kecil Omcomelania quadrasi (Mashiguchi et al., 1977). Tingginya mortalitas

pada perlakuan ekstrak tumbuhan kumandrah disebabkan oleh kandungan metabolisme

sekunder yang terkandung dalam ekstrak tumbuhan tersebut.

Senyawa-senyawa yang tergolong ke dalam kelompok metabolit sekunder ini antara

lain: alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, saponin dan lain-lain. Senyawa metabolit

sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan biokaktifitas

dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan (Firdiyani et al., 2015). Tumbuhan sawi laut,

termasuk gulma berdaun lebar dan kebanyakan tumbuhnya dipesisir pantai. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa ekstrak dari tumbuhan sawi laut tersebut dapat mematikan

larva ulat grayak mencapai 90,67% (Tabel 1). Menurut Asikin (2012), adapun kandungan

dari tumbuhan tersebut adalah unsur saponin, karena bahannya banyak

membentuk/mengeluarkan busa. Karena kalau banyak mengluarkan busa berarti ekstrak

tersebut mengandung saponin.

Larva menjadi Pupa dan Imago

Hasil pengamatan larva menjadi pupa dan imago dapat dilihat pada setelah 72 jam

setelah infestasi dimana pada perlakuan ekstrak tumbuhan rawa tersebut yang tertinggi

kematian larva ulat grayak yaitu pada ekstrak tumbuhan bidara, kumandrah dan ekstrak

tumbuhan sawi laut yaitu masing-masing 90,67 %, sedangkan pada tumbuhan sungkai dan

melinjo yaitu 82,67% dan 81,33%. Pengamatan terhadap pembentukan pupa pada ekstrak

bidara yaitu 7 ekor menjadi pupa (9,33%). Dari 7 ekor menjadi pupa, dan yang menjadi

imago 2 ekor imago normal (2,67%) dan 5 ekor imago tidak normal atau kecil (6,67%)

dibandingkan dengan perlakuan kontrol tanpa pengendalian. Proses pembentukan dari pupa

menjadi imago ini dipengaruhi oleh kandungan dari zat yang terkandung dalam ekstrak

tumbuhan tersebut. Menurut Elimam et al. (2009), bahwa senyawa seperti phenolic,

terpenoid, flavonoid, dan alkaloid memilki aktivitas juvenil hormone sehingga memiliki

pengaruh pada perkembangan serangga.

Aktivitas saponin ini di dalam tubuh serangga adalah mengikat sterol bebas dalam

saluran pencernaan makanan dimana sterol itu sendiri adalah zat yang berfungsi sebagai

prekursor hormon ekdison, sehingga dengan menurunnya jumlah sterol bebas dalam tubuh

serangga akan mengakibatkan terganggunya proses pergantian kulit (moulting) pada

serangga. Saponin yang terdapat pada pakan jika dikonsumsi oleh serangga dapat

menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan (Applebaum et al.,

1979). Saponin juga dapat menurunkan tegangan permukaan selaput kulit larva serta

mampu mengikat sterol bebas dalam pencernaan makanan (Gershenzon dan Croteau,

1991). Sterol merupakan prekursor dari hormon ekdison sehingga dengan menurunnya

persediaan sterol akan mengganggu proses ganti kulit pada serangga (Siahaya dan Rumthe,

2014).

KESIMPULAN

Kelima jenis tumbuhan bidara, melimjo, sungkai, kumandrah dan sawi laut memiliki

zat racun yang dapat mematikan hama ulat grayak. Tumbuhan bidara, kumandrah dan sawi

laut dapat mematikan hama ulat grayak masing-masing 90,67%, dan tumbuhan melinjo

81,33% dan sungkai 82,67%. Dengan demikian kelima jenis tumbuhan tersebut dapat

Page 219: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

200

digunakan sebagai pestisida/insektisida nabati dalam mengendalikan hama ulat grayak.

Pestisida nabati ini dapat digunakan sebagai pestisida penyela, sehingga penggunaan

pestisida kimiawi dapat dikurangi penggunaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, N.R, D. Mangunwidjaja. O. Suparno, dan D. Iswantini. 2011. Pengaruh tingkat

kematangan buah terhadap aktivitas larvasida dan sifat fisiko-kimia minyak

kamandrah (Croton tiglium L.). Jurnal LITRI 17(4): 163-168.

Applebaum, S.W., S. Marco, and Y. Birk. 1969. Saponins as possible factors of resistance

of legume seeds to the attack of insects. Journal of Agriculture Food Chemistry 17:

618–622.

Asikin, S., dan M. Thamrin. 2002. Bahan tumbuhan sebagai pengendali hama ramah

lingkungan. Disampaikan pada Seminar Nasional Lahan Kering dan Lahan Rawa

18-19 Desember 2002. BPTP Kalimantan Selatan dan Balittra. Banjarbaru.

Asikin, S. 2015. Efektivitas Ekstrak Tumbuhan Sebagai Insektisida Nabati Terhadap

Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura F.). Jurnal Agroscientiae 22(1), April 2015.

Hal. 22-29.

Elimam, A.M., K.H. Elmalik, dan F.S. Ali. 2009. Larvicidal, adult emergence inhibition

and oviposition deterrent effects of fol iage extract from Ricinus communis L.

against Anopheles arabiensis and Culex quinquefasciatus in Sudan. Tropical

Biomedicine 26(2): 130–139.

Firdiyani, T., W. Agustini, dan W. Farid Ma’ruf . 2015. Ekstraksi Senyawa Bioaktif

Sebagai Antioksidan alami Spirulina platensis Segar Dengan Pelarut yang

Berbeda.Jurnal PHPI 18 (1), 28-37.

Gershenzon, J., and R. Croteau. 1991.Terpenoids. In: Rosenthal, G.A. and M.R. Berenbaum

(Eds.). Herbivore: Their Interaction with Secondary Plant Metabolies. 2nd edition.

Volume II: Ecological and Evolutionary Processes. London: Academy Press.

Hidayat, M., S. Soeng, and S. Prahastuti. 2012. Characteristics of combination of ethanol

extract Detam 1 soybean (Glycine max L.merr) and ethanol extract Jati Belanda

leaves (Guazuma ulmifolia) in potential inhibition of pancreas lipase enzyme. Poster

in International Seminar on Natural Products Medicines (ISNPM), School of

Pharmacy, Bandung Institute of Technology.

Heviandri, R. 1989. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Melinjo (Gnetum gnemon L.) pada

Kangkung terhadap Perkembangan Larva Spodoptera litura F. Skripsi. Fakultas

Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hui, Y.H. 1996. Baileys industial oil and fat products Vol 4. Edible Oil and Fat Products :

Processing Technology. New York : John Willey and Sons.

Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius. Yogyakarta. Iswantini, D., U.K. Hadi, M.

Rahminiwati, R. Rosman, dan A.S. Tjokrowardojo. 2007. Bioprospeksi tanaman

obat kamandrah (Croton tiglium L.) : Budidaya dan pemanfaatannya sebagai

larvasida hayati pencegah demam berdarah dengue. Laporan Hasil Penelitian

KKP3T. Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Jakarta.125p. (Tidak dipublikasi)

Lakitan, B. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Press. Padang.

Page 220: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

201

Lestari, S., R. Malaka, dan S. Garantjang. 2013. Pengawetan Telur dengan Perendaman

Ekstrak Daun Melinjo (Gnetum gnemon Linn). Tesis Pasca Sarjana Universitas

Hasanuddin, Makassar.

Marshal dan Kinghorn, 1984. Short chain phorbol ester constituents of croton oil. JAOCS

61(7), 1220-1225.

Murashige, T., and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with

tobacco tissue culture. Physiol. Plant 15 : 473-497.

Ningsih, A.P. 2013. Uji aktivitas antibakteri ekstrak kental tanaman pisang kepok kuning

(Musa paradisiaca Linn.) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

Jurnal Biologi Universtas Andalas.

Owoyele.B.VO.S. Orguntuye. K. Dare, B.K. Orgunbiye, E.A. Aruboula, and A.O.

Soladoye. 2008. Analgesic, anti inflammatory and antipyretic activities from

flavonoid fraction of Chromolaena odorata. J. Med. Plant Research 2(9):219-25.

Pridgeon, J.W., K.M. Meepagala, J.J. Becnel, G.G. Clark, R.M. Pereira, and K.J.

Linthicum. 2007. Structure-activity relationships of 33 piperidines as toxicants

against female adults of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). J. Medical Ento. 44 (2):

263-269.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: ITB

Rosyidah, A. 2007. Pengaruh Ekstrak Biji Mahoni (Swietenia macrophylla King) Terhadap

Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Program Studi Pendidikan Biologi,

Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan. Universitas

Jember.

Roni Taradipta. I.D.M. 2015. Uji Aktivitas Adaptogenik Ekstrak Etanol Daun Bidara

(Ziziphus mauritiana Auct.non Lamk.) Dengan Metode Swimming Endorance Test

Pada Mencit Galur Bal B/C. Skripsi. Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. Bali

Schoonhoven, L.M. 1982. Biological aspects of antifeedants. Entomol. Exp. Appl. 37: 57-

69.

Saputera, M. Djumali, R. Sapta, L.B.S. Kardono, and I.P. Dyah. 2008. Characteristics,

efficacy and safety testing of standardized extract of Croton tiglium seed from

Indonesia as laxative material. Pakistan J. Biological Sci. 11 (4): 618-622.

Santoso, M. 2008. Inhibition of Fish Lipid Oxidation by the Extract of Indonesia Edible

Plant Seed `Melinjo`.Japanese Society for Food Science and Technology. Kyoto,

Jepang.

Siahaya, V.G., dan R.Y. Rumthe. 2014. Uji ekstrak daun pepaya (Carica papaya) terhadap

larva Plutella xylostella (Lepidoptera: Plutellidae). Agrologia 3(2): 112-116.

Thamrin, U. 2002. Tanaman Kemandah pembunuh jentik nyamuk demam berdarah, Sinar

Harapan 6 Februari 2002. [terhubung berkala] www.terranet.co.id. [3 Maret 2007].

Tohir, M.A. 2010. Teknik ekstraksi dan aplikasi pestisida nabati untuk menurunkan

palatabilitas ulat grayak. Buletin Teknik Pertanian 15: 37-40.

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Cetakan ke-2. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Page 221: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

202

Ummah, M.K. 2010. Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa tanin pada

Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)(Kajian Variasi Pelarut), Skripsi,

Kimia UIN Malang, Malang.

Vincent, E. 1995. Sayuran Dunia I : Prinsip Produksi dan Gizi. Edisi II. ITB. Bandung.

Wijaya, A. 1996.Radikal Bebas dan Paramater Status Antioksidan.Forum Diagnostikum

No.1. Lab. Klinik Prodia, Jakarta.pp.1–12.

Wu, X. Y. Zhao, and N. Yu. 2007. A novel analgesic pyrazine derivative from the leaves of

Croton tiglium L. J. Asian Natural Products Res. 9(5) : 451-455.

Yang, Y.C., S.G. Lee, H.K. Lee. M.K. Kim, S.H. Lee, and H.S. Lee . 2002. A piperidine

amide extracted from Piper longum L. Fruit shows activity against Aedes aegypti

mosquito larvae. J. Agric. Food Chem. 50 (13): 3765–3767.

Ying, L., P. Yingming, H. Zuhong, W. Pingying, and L. Aihong. 2002. Extracting the

pesticide components from Croton tiglium and prelimnary study of its biological

activity. China Acad J. Elect. Publishing House. No 3.

Page 222: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

203

POTENSI PESTISIDA NABATI DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI TANAMAN PADI

Indratin dan Sri Wahyuni

Indonesian Agricultural Environment Research Institute (IAERI), Jl. Raya Jakenan-Jaken KM 05,

Pati

Abstrak. Peningkatan produksi padi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain

penggunaan varietas dan pemanfaatan pestisida nabati. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui peningkatan produksi padi pada berbagai varietas dan penggunaan pestisida

nabati. Penelitian dilaksanakan di lahan petani padi Kecamatan Batangan Kabupaten Pati

pada bulan Nopember 2016 - Maret 2017. Penelitian ini menggunakan lahan petani

sejumlah 6 tempat dan masing-masing tempat seluas 0,15 - 0,5 ha. Rancangan penelitian

menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Perlakuannya adalah 1) varietas

Ciherang dengan pestisida nabati/pesnab, 2) varietas Situbagendit dengan pesnab, 3)

varietas mekongga dengan pesnab, 4) varietas Ciherang tanpa pesnab, 5) Situbagendit

tanpa pesnab, 6) Mekongga tanpa pesnab. Pupuk yang digunakan urea 250 kg/ha dan NPK

Ponska 300 kg/ha, dan menggunakan jarak tanam jajar legowo 2:1. Hasil penelitian

menunjukkan varietas Ciherang dengan penyemprotan pestisida nabati 2 minggu sekali

dapat meningkatkan produksi padi dari 6,76 t/ha menjadi 10 t/ha gabah kering panen

(GKP).

Kata kunci: pestisida nabati, varietas padi, produktivitas.

Abstract. The increase of rice production can be done by some means, i.e. using varieties

and utilization of botanical pesticides. This research is aimed to determine the increase in

rice productivity in various varieties and the use of botanical pesticides. This research was

conducted at farmer's land in Batangan sub-district of Pati Regency from September 2016

to March 2017. This research used farmers’ land of 6 places with each place width of 0.15-

0.5 ha. The research design used a randomized block design with 3 replications. The

treatments were 1) Ciherang variety with botanical pesticide, 2) Situbagendit variety with

botanical pesticide, 3) Mekongga variety with botanical pesticide, 4) Ciherang variety

without botanical pesticide, 5) Situbagendit variety without botanical pesticide, 6)

Mekongga variety without botanical pesticide. The fertilizers used were 250 kg.ha-1 Urea,

300 kg.ha-1 NPK Ponska, and the system of rice planting of Jajar Legowo 2: 1. The results

showed that Ciherang variety with botanical pesticide spraying once in two weeks can

increase the rice production from 6.76 t.ha-1 to 10 t.ha-1of dried unhulled rice harvest.

Keywords: botanical pesticide, rice variety, productivity

PENDAHULUAN

Undang-undang No.18 tahun 2012 tentang pangan mengatur mengenai keamanan

pangan bahwa setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi,

penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan

21

Page 223: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

204

sanitasi, dan menjamin keamanan pangan dan/atau keselamatan manusia, jika melanggar

peraturan tersebut maka di kenakan sanksi administrasi. Dalam usaha tani tanaman pangan

di Indonesia terdapat beberapa hambatan, antara lain serangan hama dan patogen penyebab

penyakit atau sering disebut organisme pengganggu tanaman (OPT). Peningkatan produksi

padi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain penggunaan varietas dan

pemanfaatan pestisida nabati.

Solusi untuk pencegahan hama tersebut salah satunya dengan menggunakan

biopestisida. Solusi terbaik adalah kembali menerapkan prinsip-prinsip PHT secara benar

dan tepat seperti diamanatkan oleh Inpres 3/1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama

Wereng Coklat pada Tanaman Padi, UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya

Tanaman dan PP No 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Agar proses

pengendalian WBC secara alami dapat berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis,

penanaman varietas tahan WBC biotipe lokal, pergiliran tanaman, penanaman serentak,

serta pembatasan penggunaan pestisida kimia merupakan strategi utama pengendalian

WBC. Pestisida kimia alternatif terakhir dilakukan karena populasi WBC telah melampaui

ambang kendali maka aplikasi harus dilakukan secara tepat guna yaitu tepat jenis, tepat

dosis, tepat cara, tepat sasaran, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat tempat.

Biopestisida adalah bahan alami, seperti tumbuh-tumbuhan yang potensial

digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) atau disebut juga

dengan pestisida nabati. Biopestisida merupakan solusi ramah lingkungan dalam rangka

menekan dampak negatif akibat penggunaan pestisida non hayati yang berlebihan. Bahan

pestisida nabati pada dasarnya bersifat menarik dan menolak serangga (Wahyuni, 2014).

Sumartini (2016), mengatakan dalam pertanian modern, hama dan penyakit tanaman

harus dikendalikan secara terpadu. Biopestisida merupakan salah satu komponen dalam

pengelolaan hama dan penyakit. Penggunaan biopestisida kurang disukai petani karena

efektivitasnya relatif tidak secepat pestisida kimia. Biopestisida cocok untuk pencegahan

sebelum terjadi serangan hama dan penyakit (preventif bukan kuratif) pada tanaman. Petani

di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama menggunakan biopestisida, sebelum mengenal

pestisida sintetik. Namun keterbatasan publikasi maka laporan tentang hal tersebut tidak

diketahui. Akhir-akhir ini banyak dipraktekkan pertanian organik oleh beberapa kelompok

tani di Indonesia, biopestisida termasuk di dalamnya. Pertanian organik umumnya

menggunakan pupuk kompos atau humus dan pestisida nabati atau hayati.

Keuntungan penggunaan biopestisida adalah ramah lingkungan karena senyawa-

senyawa yang terkandung di dalamnya mudah luruh di alam (Schumann and D’Arcy,

2012).

Senyawa dalam biopestisida tidak bersifat racunpada manusia, sehingga tidak

menggangggu kesehatan pengguna (petani) dan konsumen. Biopestisida tidak menimbulkan

resistensi atau resurgensi sehingga tidak menimbulkan rasras baru pada mikroorganisme

penyebab penyakit (Kardinan, 2004).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan produksi padi pada

berbagai varietas dan penggunaan pestisida nabati.

Page 224: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

205

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di lahan petani padi Kecamatan Batangan Kabupaten Pati

pada bulan Nopember 2016 - Maret 2017. Penelitian ini menggunakan lahan petani

sejumlah 6 tempat dan masing-masing tempat seluas 0,15 - 0,5 ha. Rancangan penelitian

menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Perlakuannya adalah sebagai

berikut:

1. Ciherang dengan pestisida nabati,

2. Situbagendit dengan pestisida nabati,

3. Mekongga dengan pestisida nabati,

4. Ciherang tanpa pestisida nabati,

5. Situbagendit tanpa pestisida nabati,

6. Mekongga tanpa pestisida nabati.

Aplikasi penggunaan pestisida nabati 2 minggu sekali, dan dimulai saat tanaman

umur 2 minggu hingga 2 minggu menjelang panen. Bahan-bahan yang digunakan berasal

dari urine sapi, rebusan daun mimba, dan rebusan daun mahoni dicampur jadi satu. Urin

yang dicampurkan berasal dari urin sapi yang sudah difermentasi selama 21 hari, sehingga

gas metananya berkurang. Dosis aplikasi pestisida nabati adalah 250 ml untuk 1 tangki

semprot volume 14 liter. Dosis pupuk an organik yang digunakan adalah urea 250 kg/ha

dan NPK Ponska 300 kg/ha. Pemupukan dilakukan 3 kali yaitu pada saat tanam, umur 25

hari setelah tanam (HST), 45 HST. Jarak tanam yang digunakan adalah jajar legowo 2:1

dengan dengan cara sistem tanam pindah 3 bibit per rumpun. Tanaman dipindah saat bibit

umur 21 hari setelah sebar. Parameter yang diamati meliputi hasil gabah dan pH tanah.

Analisis statistik dengan dengan uji LSD pada taraf 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanaman padi yang tidak menggunakan pestisida nabati dalam budidayanya,

produksi yang dihasilkan rendah karena kena serangan hama wereng coklat. Penggunaan

biopestisida dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit

sehingga tanaman menjadi lebih subur dan produksinya meningkat. Hal ini disajikan dalam

Gambar 1. Tanaman pagi gambar a. Tenaman yang dalam budidayanya tidak menggunakan

pestisida nabati kelihatan tanaman kena sewrangan hama wereng, sedangkan Gambar 1b.

yang dalam budidayanya menggunakan pestisida nabati tanaman lebih sehat dan berisi.

a b

Gambar 1. Tanaman padi tanpa menggunakan pesnab (a) dan padi menggunakan pesnab (b)

Page 225: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

206

Wahyuni (2014) mengatakan penggunaan biopestisida mempunyai keuntungan

diantaranya, menjaga daya tahan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian yang disajikan dalam gambar 1. Pestisida nabati tidak

terlalu beracun seperti pestisida kimia sehingga aman untuk lingkungan. Produksi tanaman

padi dan pH tanah pada berbagai perlakuan disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Produktivitas padi dan pH tanah

No. Perlakuan Hasil gabah (t/ha) pH tanah (%)

1 Ciherang Pesnab 10,05 a 6,70 a

2 Situbagendit dengan Pesnab 9,32 b 6,60 a

3 Mekongga dengan pesnab 7,90 c 6,67 a

4 Ciherang tanpa pesnab 6,76 e 6,63 a

5 Situbagendit tanpa Pesnab 7,47 cd 6,60 a

6 Mekongga tanpa pesnab 7,13 de 6,63 a

Angka dalam lajur diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji LSD pada taraf 5%.

Hasil penelitian menunjukkan pada berbagai macam perlakuan, menunjukkan

perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan. Perlakuan dari yang tertinggi produksinya

hingga terendah berturut turut adalah padi varietas Ciherang yang disemprot dengan pesnab

2 minggu sekali dalam budidayanya menghasilkan produksi yang paling tinggi yaitu

sebesar 10,05 t/ha GKP < varietas Situbagendit dengan pesnab sebesar 9,32 t/ha GKP <

Varietas mekongga dengan pesnab produksinya sebesar 7,90 t/ha GKP < Situbagendit tanpa

pesnab produksinya sebesar 7,47 t/ha GKP < varietas Mekongga tanpa pesnab produksinya

sebesar 7,13 t/ha GKP < Ciherang tanpa pesnab produksinya sebesar 6,67 t/ha GKP. Hal ini

juga disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Berat gabah kering panen pada berbagai perlakuan

Ciherang

Pesnab

Situ Bagendit

Pesnab

Mekongga

Pesnab

Ciherang

tanpa Pesnab

Situ Bagendit

tanpa Pesnab

Mekongga

tanpa Pesnab

Series1 10.05 9.32 7.90 6.76 7.47 7.13

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

t/h

a

Berat Gabah Kering Panen

Page 226: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

207

Dari hasil penelitian pH tanah pada berbagai perlakuan tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata, sehingga pH tanah tidak mempengaruhi produksi pada dari berbagai

macam perlakuan yang ada. pH tanah dari berbagai perlakuan berkisar antara 6, 63 – 6,70.

Hal ini disajikan dalam Gambar 3. Ini artinya berdasarka kriteria penilaian hasil analisa

tanah menunjukkan pH tanah yang digunakan penelitian pada saat panen menunjukkan pH

agak masam sampai netral menurut (Evi dan Sulaeman, 2009). pH agak masam kisarannya

antara 5,5 – 6,5 dan pH netral berkisar antara 6,6 -7,5.

Gambar 3. pH tanah menjelang panen pada berbagai perlakuan

KESIMPULAN

Penyemprotan pestisida nabati meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan

wereng coklat dan efektif meningkatkan produksi tanaman padi varietas Ciherang,

Situbagendit, maupum Mekongga. Hasil penelitian menunjukkan varietas Ciherang dengan

penyemprotan pestisida nabati 2 minggu sekali dapat meningkatkan produksi padi dari

6,76 t/ha menjadi 10 t/ha gabah kering panen (GKP).

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada bpk Cholis, pak Dani, pak Jumadi, pak

Ramijan, pak Karsono, yang mengadop teknologi Balingtan berupa penggunaan pestisida

nabati yang Ramah Lingkungan hingga penelitian ini selesai, dan telah membantu biaya

produksi tanamannya.

DAFTAR PUSTAKA

Eviati, dan Sulaeman. 2009. Petunjuk Teknis. Analisa Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan

Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

Ciherang

Pesnab

Situ

Bagendit

Pesnab

Mekongga

Pesnab

Ciherang

tanpa Pesnab

Situ

Bagendit

tanpa Pesnab

Mekongga

tanpa Pesnab

pH 6.70 6.60 6.67 6.63 6.60 6.63

6.54

6.56

6.58

6.60

6.62

6.64

6.66

6.68

6.70

6.72

pH Tanah Menjelang Panen

Page 227: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

208

Hatta, M., C.N. Ichsan, & Salman (2010). Respon Beberapa Varietas Padi Terhadap Waktu

Pemberian Bahan Organik Pada Metode SRI. Jurnal Floratek 5: 43 – 53

Kementerian Pertanian. 2014. Statistik Lahan Pertanian Tahun 2009 - 2013. Jakarta:

PusatData dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jendral - Kementerian

Pertanian.

Kardinan, A. 2004. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta, 80p.

Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.

Sumartini. 2016. Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan penyakit Tanaman Aneka

Kacang dan Umbi. Jurnal Iptek Tanaman Pangan vol. 11 No. 2.

Schumann, G.L. and G.J. D’ Arcy. 2012. Hungry planet, stories of plantd. The American

Phytopathological Society. St Paul, Minnesota, USA. 294 p.

Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Undang-undang No.18 tahun 2012. Tentang Pangan. https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU18-

2012Pangan.pdf. diakses tanggal 2 Agustus 2017.

Wahyuni, S. 2014. Biopestisida. Pestisida Ramah Lingkungan. Leaflet. Balai Penelitian

Lingkungan Pertanian. Jakenan-Pati.

Page 228: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

209

EVALUASI ADOPSI PETANI BOJONEGORO DALAM MENERAPKAN BEAUVERIA BASSIANA UNTUK MENGENDALIKAN HAMA WERENG COKLAT (NILAPARVATA LUGENS STÅL)

Wahyunindyawati

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Balitbang Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km 4 Malang

65102

Abstrak. Hama wereng coklat (WBC), Nilaparvata lugens Stålmerupakan salah satu hama

utama pada tanaman padi di Indonesia. Hama ini dapat menyebabkan kegagalan

berproduksi. Penelitian penanggulangan hama wereng telah dilaksanakan di kecamatan

Sukosewu, kabupaten Bojonegoro, pada 2016. Agensia hayati berupa Beuvaria bassiana

yang telah diperkenalkan kepada 50 petani padi. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap penggunaan Bauveria

dalam pengendalian wereng coklat pada tanaman padi di lahan sawah. Penelitian

dilaksanakan di Kecamatan Sukosewu Kabupaten Bojonegoro pada musim hujan

2015/2016. Pengambilan contoh ditentukan sebanyak 50 petani. Metode pencatatan

usahatani (“farm record keeping method”) digunakan dalam pengumpulan data. Model

fungsi logit digunakan dalam analisa data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

probabilitas kesediaan petani menggunakan agensia hayati Beauvaria lebih tinggi dari pada

menggunakan pestisida kimia, apabila lamanya pengalaman usahatani padi dan

meningkatnya keuntungan. Probabilitas seorang petani menjadi pengadopsi adalah sebesar

0,498. Ini berarti peluang petani untuk mengadopsi teknologi alat petik sebesar 49,80

persen.

Kata kunci : adopsi, beauveria, wereng coklat, petani

Abstract. Brown planthopper (BPH), Nilaparvata lugens Stål, is an economically

important pest of rice in Indonesia . This pest can cause the failure of production. Research

on pest control has been done in Sukosewu Subdistrict, Bojonegoro district, in 2016.

Biological agent of B. bassiana has been introduced to 50 paddy farmers. The aim of the

research is to identify the factors that influence the adoption of farmers on the use of

Bauveria for the control ofpaddy fields from pest. The research was conducted in

Sukosewu Sub-District, Bojonegoro District, in the rainy season 2015/2016. Sampling was

determined as many as 50 paddy farmers. The farm record keeping method is used in data

collection. The logit function model is utilized in data analysis. The results showed that the

probability of farmers' willingness to use Beavaria biodiversity is higher than using

chemical pesticide in the group of farmers who have had long time experience of rice

farming and if the profit will increase. The probability of a farmer to be an adopter is 0.498.

This means farmers' opportunities to adopt the technology is 49.80 percent.

Keywords : adoption, beauveria, brown planthopper, farmer

PENDAHULUAN

Selama 40 tahun (1973-2013) penggunaan pestisida di Indonesia terus meningkat.

Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran per satuan luas lebih tinggi daripada tanaman

pangan (Sastrosiswojo & Oka, 1997; Purnama et al., 2003). Meskipun sistem perlindungan

22

Page 229: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

210

tanaman telah menganut konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), namun dalam

prakteknya banyak petani menggunakan pestisida terutama insektisida secara tidak benar.

Bahkan banyak petani yang masih menggunakan insektisida yang telah dilarang (Arfian et

al., 2000; Karwan, 2003). Di Asia, Indonesia termasuk negara yang banyak menggunakan

pestisida setelah Cina dan India (Marsoedi et al., 1997).

Bojonegoro dalam kurun waktu 5 tahun (2009-2014) hama wereng coklat termasuk

penyebab turunnya produksi padi (Dinas Pertanian Bojonegoro, 2015), pengendaliannya

masih menggunakan insektisida kimia. Program pertanian dimulai dari pengelolaan

tanaman padi terpadu di lahan sawah irigasi (PTT padi) hingga Sekolah Lapang

Pengelolaan Terpadu (SLPP) dalam pengendalian hama penyakit menggunakan pestisida

kimia. Pengendalian serangga hama dengan pestisida kimia banyak menimbulkan masalah,

antara lain: meningkatnya resistensi hama terhadap insektisida kimia, terjadinya ledakan

populasi serangga hama sekunder, meningkatnya risiko keracunan pada manusia dan hewan

ternak, terkontaminasinya air tanah, menurunnya biodiversitas, dan bahaya-bahaya lain

yang berkaitan dengan lingkungan (Soetopo & Indrayani, 2007).

Pertanian berkelanjutan memiliki konsep dasar yaitu mempertahankan ekosistem

alami lahan pertanian yang sehat, bebas dari bahan-bahan kimia yang meracuni

lingkungan.. Salah satu alternatif pengendalian yang cukup potensial adalah penggunaan

patogen serangga, khususnya cendawan B. bassiana (Soetopo & Indrayani, 2007).

Beauveria bassiana merupakan jamur entomopatogen yaitu jamur yang dapat menimbulkan

penyakit pada serangga, lebih dari 175 jenis serangga hama menjadi inang jamur ini,

terutama efektif mengendalikan hama walang sangit (Leptocorisa oratorius) dan wereng

batang coklat (Nilaparvata lugens) pada tanaman padi serta hama kutu (Aphis sp.) pada

tanaman sayuran dan buah (Haryono et al., 1993). Jamur entomopatogen ini merupakan

agen pengendali organisme pengganggu tanaman (OPT) berbasis mahluk hidup yang

mempunyai keunggulan ramah lingkungan dan tidak menimbulkan resistensi (Prayogo,

2006).

B. bassiana merupakan salah satu spesies jamur patogen pada serangga yang telah

memperoleh perhatian besar dan telah dimanfaatkan untuk pengendalian serangga hama

pada berbagai komoditas tanaman, karena cendawan ini mempunyai daya bunuh yang

tinggi terhadap berbagai jenis serangga hama, mudah diperbanyak dan tidak bersifat toksik

terhadap vertebrata (Wraight et al., 2000).

Salah satu cara memasyarakatkan pengendalian hama wereng dengan B. bassiana

adalah mengadakan pelatihan penggunaan B. Bassiana kepada anggota kelompok tani.

Harapan kedepan agar petani sadar akan bahaya penggunaan insektisida kimia dalam

jangka panjang dan mengurangi penggunaan insektisida kimia. Cara memprediksi

keberhasilan pelatihan dilakukan evaluasi kepada peserta pelatihan. Evaluasi pelatihan

adalah proses untuk menentukan nilai pelatihan yang dilaksanakan, melalui kegiatan

pengukuran dan penilaian pelatihan pengukuran. Ukuran keberhasilan pelatihan ditentukan

secara kuantitatif. Dalam melakukan evaluasi akan mempunyai dampak sosial yaitu

hubungan antara materi yang dilatihkan dengan perilaku peserta (Wahyunindyawati, 2014).

Dampak pelatihan menyangkut sosial petani tersebut yaitu bagaimana hubungan antara

materi yang dilatihkan ikut mempengaruhi sikap petani dalam mengambil keputusan untuk

Page 230: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

211

mengadopsi penggunaanB. bassiana. Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi

pertanian pada tingkat pendidikan dan luas lahan (Burhansyah, 2014). Untuk tercapainya

perilaku petani demi terwujudnya penggunaan B. bassiana perlu secara

berkesinambunagan melalui kegiatan penyuluhan. Karena itu, pesan-pesan yang disuluhkan

dalam pelatihan harus mampu mendorong atau mengakibatkan terjadinya perubahan-

perubahan kepada peserta pelatihan. Peserta pelatihan selaku individu mempunyai

kemampuan untuk merubah kebiasaan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

menerima hal hal baru (Soetriono et al., 2006). Cepatnya proses adopsi inovasi juga sangat

tergantung dari faktor intern dari adopter itu sendiri, antara lain: a) umur, b) pendidikan, c)

keberanian mengambil resiko, d) pola hubungan, e) sikap terhadap perubahan, f) motivasi

berkarya, g) aspirasi, h) fatalisme, i) sistem kepercayaan tertentu dan j) karakteristik

psikologi (Soekartawi, 1988)

Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahuifaktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat adopsi petani terhadap penggunaan B. bassiana dalam pengendalian wereng coklat

pada tanaman padi di lahan sawah.

METODOLOGI PENELITIAN

Pengkajian evaluasi penerapan B. bassiana dilakukan pada MH 2015/2016 di

kelompok tani Sukosari, Muktisari, Putra Bakti desa Sukosewu, kecamatan Sukosewu,

kabupaten Bojonegoro. Penentuan lokasi di dasarkan : lokasi tersebut terserang hama

wereng coklat dengan pola tanam setahun : padi – padi – palawija.

Pengambilan petani sampel dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan adalah

sebagai berikut : Petani yang mengikuti pelatihan pembuatan B. bassiana sebanyak 50

petani anggota sebagai anggota kelompok tani. Pelatihan dilakukan oleh Dinas Pertanian

Bojonegoro.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara Farm Record Keeping pada kelompok

tani beserta anggotanya. Data yang dikumpulkan meliputi : umur petani, penentuan paket

teknologi usahatani padi dan pemasaran hasil beserta pelaksanaannya.

Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dengan peserta pelatihan dengan

berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disediakan sebelumnya.

Evaluasi peserta latihan terhadap penggunaan B. bassiana diuji menggunakan

panelis dari peserta. Peubah dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan,

luaspemlikan lahan, lama usahatani peserta, dan pendapatan usahatani. Peubah ini dijawab

disusun secara berjenjang dan diberi skor dari satu hingga lima. Jumlah skor yang diperoleh

dikelaskan kedalam kategori baik, cukup dan rendah. Peubah komponen pendukung dan

penghambat adopsi dituangkan dalam 10 pernyataan yang bersifat positif dan negatif. Cara

penhururan pernyataan tersebut dikelompokkan secara skor. Kriteria pernyataan terdiri atas

(1) sangat setuju, (2) setuju, (3) tidak tahu, (4) tidak setuju dan (5) sangat tidak setuju.

Faktor–faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi penggunaan B. bassiana

digunakan dengan model logit (Pyndeck dan Rubinfield, 1998).

Page 231: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

212

untuk :

: bernilai satu bagi petani yang menggunakan B. bassiana sesuai dan nilai nol yang

tidak menggunakan B. bassiana

: umur petani, dalam tahun

: tingkat pendidikan formal, dalam tahun

: luas pemilikan lahan usahatani, dalam hektar

: lama pengalaman petani dalam usahatani padi, dalam tahun.

: pendapatan atau keuntungan yang diperoleh petani dinyatakan dalam rupiah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi Pelatihan Penggunaan B. bassiana Pada Tanaman Padi

Peragaan dalam pelatihan penggunaan B. bassiana diberikan dua acara yaitu (a)

dengan metode penyemprotan 2-3 gr B. bassianadisuspensikan dalam 1 liter air

ditambahkan 3 sendok gula pasir per tangki aduk rata dan siap disemprotkan dengan

volume 500 lt/ha. Aplikasi B. bassiana dilakukan pada saat populasi 1 ekor/ tunas.

Aplikasi penyemprotan suspensi B. Bassiana dilakukan pada sore hari berkisar pk. 15.00 –

18.00, agensia hayati B. bassiana tidak tahan terhadap sengatan terik matahari dan dapat

menyebabkan kematian. Aplikasi akan lebih efektif jika kelembaban udara tinggi pada

lingkungan lahan. Penggunaan perekat, perata, dan pembasah dianjurkan mengingat jika

usai penyemprotan turun hujan akan menyebabkan efektivitas agensia hayati B. bassiana

menurun. Jangan mencampur aplikasi ini dengan fungisida khususnya yang berbahan

alkalis. Cara ini disetujui sebanyak 31 orang (61,33 %) dan (b) metode dengan

memasukkan B. bassiana beserta alat pemikat berupa aroma yang diminati serangga

(feromon) ke dalam botol mineral. Serangga akan masuk ke dalam botol dan terkena spora.

Akhirnya menyebabkan serangga tersebut terinfeksi, cara ini banyak yang tidak setuju

(69,56%).

Petani yang sering berkomunikasi dengan media elektronik (radio pertanian) dan

menuju klinik pertanian serta membaca dalam media cetak, sudah meninggalkan insektisida

kimia beralih ke B. bassiana. Di Bojonegoro setiap hari rabu malam di radio malopati

selalu menyiarkan yang berkaitan pertanian.

Macam Insektisida yang digunakan untuk pengendalian hama Wereng Coklat

Berdasarkan wawancara peserta latihan, pengendalian hama wereng dikendalikan

dengan insektisida kimia, pengendaliannya dilakukan sudah parah sehingga sering

terlambat hama wereng sudah menyebar. Dari hasil wawancara yang terbanyak

menggunakan Plenum sebanyak 96 % (Tabel 2). Hal ini diduga formulator dari sebuah

perusahaan pestisida pandai dalam mempromosikan produknya.

m

j

ijj

n

i

iii DXZ11

^

^

iZ

1X

2X

3X

4X

5X

Page 232: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

213

Tabel 1. Sikap Petani Terhadap Metode Penggunaan B. bassiana

No Uraian Kegiatan Persentase

(%)

Jumlah Peserta

(orang)

1. Menggunakan botol mineral dengan alat

pemikat serangga

(a) Sangat setuju

(b) Setuju

(c) Tidak tahu

(d) Tidak setuju

(e) Sangat tidak setuju

-

30,44

-

69,56

-

-

15

-

35

-

2. Metode penyemprotan

(a) Sangat setuju

(b) Setuju

(c) Tidak tahu

(d) Tidak setuju

(e) Sangat tidak setuju

-

61,33

-

38,67

-

-

31

-

19

-

Tabel 2. Jenis insektisida yang terekam digunakan petani di desa Sukosewu, Bojonegoro,

2017

No Jenis Insektisida Jumlah yang menggunakan

(orang) Persentase(%)

1 Abukti 50 SL 25 50

2 Marshal 200 EC 28 56

3 Marshal 5 20 40

4 Bassa 500 EC 14 28

5 Baycarb 500 EC 6 12

6 Confidor 5 WP 9 18

7 Sidabas 500 EC 12 24

8 Sanet 7 SP 3 6

9 Applaud 10 WP 24 48

10 Mipcin 50 WP 10 20

11 Kiltop 500 EC 5 10

12 Sidafur 3 GR 8 16

13 Spartan 290 SL 4 8

14 Matador 250 EC 11 22

15 Plenum 50 WG 48 96

16 Actara 25 WG 21 42

17 Indobas 500 EC 5 10

18 Applaud 400 F 19 38

19 Spontan 400 EC 2 4

20 Vista 400 WSC 7 14

Page 233: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

214

Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi Penggunaan B. bassiana

Hasil estimasi parameter sosial ekonomi untuk petani dalam menggunakan B.

bassiana yang terdapat di dalam fungsi logit disajikan pada Tabel 3. Nilai koefisien 1, 2,

dan 5 (umur petani, tingkat pendidikan,pengalaman usahatani dan tingkat keuntungan

nyata sama dengan nol (= 0) sedangkan yang tidak sama dengan nol (≠ 0) 3 dan 4.

Kondisi ini memberi implikasi bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi penggunaan

B. bassiana adalah tingkat pendidikan, keuntungan usahatani padi, luas lahan dan umur

petani, sedangkan yang tidak berpengaruh terhadap penggunaan B. bassiana adalah

pengalaman petani.

Tingkat pendidikan akan meningkatkan adopsi penggunaan B. bassiana sebesar

8,3111 odd ratio (signifikasi pada = 0,000-0,001) dan luas lahan akan meningkatkan

adopsi penggunaan B. bassiana sebesar 1,4299 odd ratio (signifikasi pada = 0,06).

Variabel yang menurunkan adopsi pemilihan agensia hayati B. bassiana adalah tingkat

keuntungan. Probabilitas seorang petani menjadi pengadopsi penggunaan B. bassiana

adalah sebesar 0,498. Ini berarti bahwa peluang petani untuk mengadopsi pilihan

penggunaan B. bassiana sebesar 31,80 persen.

Tabel 3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Penggunaan B. bassiana, 2017

Variabel

Simbol Statistik Logit regresi

Koefisien

estimasi Simpangan baku

Prob

Konstanta -1,6236 0,4807 0,0007

Umur petani 1 0,006244 0,002424 0,0100

Tingkat pendidikan 2 8,3111 1,3253 0,0000

Luas lahan 3 0,0285 0,00870 0,0023

Pengalaman usahatani 4 1,4299 3,0513 0,6393

Keuntungan 5 - 0,008023 0,005021 0,0000

Likelihood Ratio 1015,51 0,0000

Total probabilitas

adopsi 0,498

KESIMPULAN

1. Metode penyemprotan paling diminati oleh peserta pelatihan

2. Probabilitas kesediaan petani menggunakan agensia hayati B. bassiana lebih tinggi dari

pada menggunakan pestisida kimia, apabila lamanya pengalaman usahatani padi dan

meningkatnya keuntungan. Probabilitas seorang petani menjadi pengadopsi adalah

sebesar 0,498. Ini berarti peluang petani untuk mengadopsi teknologi B. bassiana

sebesar 49,80 persen.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kepada Bapak Joko, SP yang telah memberikan materi

penggunaan B. bassiana dan Qomarudin, SP, MM selaku UPTD Sukosewu dan Balen

Page 234: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

215

yang telah bersedia menjembatani dan berdiskusi dengan peserta latihan sehingga kegiatan

pelatihan berjalan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Arfian, M. &A. Wijonarko. 2000. Kondisi Dan Tantangan Ke Depan Sub Sektor Tanaman

Pangan Di Indonesia. Proceedings of the Fourth Symposium on Agri-Bioche 2000.

pp. 247-251.

Arsih, D.W., S. Agustin & M. Muliati. 2010. Pemberdayaan Kelompk tani Dalam

Memantapkan Produktivitas Bawang Merah Lembah Palu Melalui Pemberian

Biokultur dan Bio insektisida Beauveria Bassiana. Diakses http://

artikel.dikti.go.id/index.php/PKMM/article/download/456/456.

Burhansyah, R. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi Pertanian pada

Gapoktan Puap dan non Puap di Kalimantan Barat (Studi Kasus: Kabupaten

Pontianak dan Landak). Informatika Pertanian Vol. 23 No.1, Juni 2014 : 65 – 74.

Dinas Pertanian Bojonegoro. 2015. Laporan Tahunan 2015

Haryono, H., S. Nuraini, & Riyatno. 1993. Prospek penggunaan B. bassiana untuk

pengendalian hama tanaman perkebunan. Di dalam: Simposium Patologi Serangga

I. Prosiding Makalah Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12-13 Oktober

1993. Yogyakarta; Persatuan Entomologi Indonesia. hlm. 75-81.

Karwan, A.S. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Marsoedi, D.S., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, S.W.P. Darul, S. Hardjowigeno, & J.H.E.R.

Jorden. 1997. Pedoman Klasifikasi Landform. Laporan Teknis No. 5 Versi 3.

LREP II Project, CSAR, Bogor.

Prayogo, Y. 2006. Upaya mempertahankan keefektifan cendawan entomopatogen untuk

mengendalikan hama tanaman pangan. Jurnal Libang Pertanian 25(2): 47-54.

Purnama P.C., S. J. Nastti & J. Situmorang. 2003. Uji Patogenisitas Jamur Beauveria

bassiana (Bals.) Vuill. Isolat Magelang Terhadap Aphis craccivora Kock. Biosmart

Volume 5, Nomor 2 Hal : 81-88.

Sastrosiswoyo, S. & I.N. Oka. 1997. Implementasi pengelolaan serangga secara

berkelanjutan. Makalah Kongres ke V dan Simposium Entomologi. PEI. Bandung

24-26 Juni 1997. 14 hlmn.

Soekartawi. 1988. Prinsip dasar Komunikasi Pertanian. UI, Jakarta.

Soetriono, & A. Suwandari. 2006, Pengantar Ilmu Pertanian, Bayu Media, Jakarta.

Soetopo, D. & I.G.A.A. Indrayani. 2007. Status Teknologi dan Prospek B. bassiana Untuk

Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan.

Perpektif. Volume 6 nomer 1. Juni 2007: 29-46

Wahyunindyawati & Sri Harwanti. 2012. Evaluation of Picking Tool Application

Assessment on Three

Arumanis/Gadung Mango Plantations.ISNAR C2FS PROCEEDING. Natural Resources

Climate Change and Food Security in Developing Countries Surabaya, Indonesia,

June 27-28. 2011. ISBN: 978-602-8915-93-9.

Page 235: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

216

Wraight, S.P., M.A. Jackson,& S.L. de Kock. 2001. Production, stabilization and

formulation of fungal biocontrol agents. Di dalam: Butt TM, Jackson C dan Magan

N, editor. Fungi as Biocontrol Agents. United Kingdom: CABI Publishing. hlm.

253-287.

Page 236: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

217

JOINT ACTION OF LEAF WATER EXTRACT OF BREADFRUIT, REDCEDAR, MAHOGANY AND NEEMS AGAINST ON SWEET POTATO WEEVIL (CYLAS FORMICARIUS F.) IN LABORATORY

Syarif Hidayat, Yuliana Yudistri Mubarokah, Nenet Susniahti, Yadi Supriadi, and Fitri

Widiantini Departement of Plant Pest and Diseases Faculty of Agriculture , Universitas Padjadjaran

Abstract. The sweetpotato weevil, Cylas formicarius F., is one of the most destructive pests

ofthe sweetpotato. The objective of this research was to test the joint effect of mixtured of

leaf water extract of breadfruit, redcedar, mahogany and neems against C. formicarius. The

experiment was exeuted by using Randomized Block Design. The tested treatments were

single extracts with concentrations of 25%, the mixtured of two single extracts with

concentrations mixed of 12.5% and 6.25%, and control (without extract). The results

showed that all the mixture of water extract of breadfruit leaves with redcedar or mahogany

or neemswere antagonistictic. The mahogany mixture with other extracts is also

antagonistictic, except the mixtured of mahogany 6.25% and redcedar12.5%. The redcedar

mixture with other extracts is additive or synergistic. The best mixture was achieved by a

mixture of redcedar 12.5% with neems 6.25%. This mixture showed the consistenceof

synergistic effect, either compare to single leaf water extracs of or neems and caused

36.67% adults mortality . All water extracts tested, either single or mixed, can significantly

reduce the number of larvae produced, the loss of tuber dry weight, and the appetite of C.

formicarius. However, these results still did not show a high effectiveness level, because

the highest adults mortality produced only 36.67%.

Keywords:leaf water extract, synergism, Cylas formicarius, sweet potato

Abstrak. Hama lanas, Cylas formicarius F, merupakan slah satu hama utama pada ubi jalar.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efek gabungan campuran ekstrak air daun

sukun, suren, mahoni dan mindi terhadap C. formicarius. Percobaan dilakukan dengan

menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan yang diuji adalah ekstrak

tunggal dengan konsentrasi 25%, campuran dua ekstrak tunggal dengan konsentrasi maing-

masing ekstrak 12,5% dan 6,25%, dan kontrol (tanpa ekstrak). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa semua campuran ekstrak daun sukun dengan suren atau mahoni atau

mindi bersifat antagonis. Campuran mahoni dengan ekstrak lainnya juga antagonis, kecuali

campuran mahoni 6,25% dan redcedar 12,5%. campuran suren dengan ekstrak lain bersifat

aditif atau sinergis. Campuran terbaik dicapai oleh campuran suren 12,5% dengan mindi

6,25%. Campuran ini menunjukkan konsistensi efek sinergis, dibandingkan dengan

ekstraksi air daun surenl maupunmindi dan mortalitas tertinggi, yaitu 36,67%.. Semua

ekstrak air yang diuji, baik tunggal maupun campuran, dapat secara signifikan mengurangi

jumlah larva yang dihasilkan, kehilangan berat kering ubi, dan nafsu makan C formicarius.

Namun demikian hasil ini masih belum menunjukkan tingkat keefektifan yang tinggi,

karena mortalitas imago yang dihasilkan paling tinggi hanya 36,67%.

Kata kunci: ekstrak air, sinergistik, Cylas formicarius, ubi jalar

23

Page 237: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

218

INTRODUCTION

Sweet potato (Ipomoea batatas Lam.) is .a widely grown important crop whose large

storage roots are of multiple use; as food, animal feed or industrial raw material (Pardales

Jr. & Cerna, 1987). Indonesia is a fourth sweet potato producing country in the world after

China, Nigeria and Tanzania. However, the productivity is still far below the country of

Ethiopia which is 45.483 tons/ha (FAO, 2014). The sweet potato productivity in Indonesia

only 16.82 tons/ha (Pusdatin Pertanian, 2016).A major constraint to sweet potato

production in both tropical and temperate areas is the sweet potato weevil (Cylas sp.),

which causes substantial losses both in the field and during post-harvest storage

(Nottingham et al., 1988; ). Swet potato weevil or lanas is an importan pest in the world

(Sutherland 1986), and widely dispersed, either in tropic area or subtropic area (Wolfe

1991).They are capable of causing crop losses ranging up to 98% (Anyanga et al., 2013).

According to Sorensen (2009), this pest caused yield loss, either in field or storage, until

100%. In Indonesia, this pest can result in 10-90% yield loss (Nonci, 2005). During one

month storage in Laboratory, this pest was caused total damage (Hidayat & Zaelani, 2015).

Controlling of these pestby farmes largely relies on synthetic insecticides

intensively (Capinera, 2014). In Indonesia there is only one syntethic insecticide

recomended to use in this pest control (Dirjen PSP Kementerian Pertanian, 2017).

Therefore, almost of all sweet potato farmers ussually used an illegal insecticide, such as

carbofuran. However, the use of synthetic insecticides may result in undesirable

consequences such as resistance development by the pest, secondary pest outbreaks, wide

spread environmental hazards and risk to spray operators (Tamiru et al., 2016). It’s also

adverse environment and health effect, threat of persistence and biomagnifications through

the food chain (Kumar, 2012 cit. Zibaee & Khorram, 2015)

The better alternative to synthetic. insecticide is the use of botanicals insecticide.

Biopesticide is the best alternative to synthetic chemical pesticides based on living micro-

organisms or natural products.Botanical insecticides have environmentally friendly

characteristics such as volatile nature, low environmental risk compared to current synthetic

pesticides (Nawaz et al., 2016). Botanical insecticides relatively have lower negative

impactthan synthetic insecticides, because they are more easilydegraded in the environment

and are compatible with otherintegrated pest management techniques as well (Zibaee &

Khorram, 2015).

Morethan 2400 species of plants belonging to 235 families reportedpesticide-

containing materials (Grainge & Ahmed, 1988).According to Korada et al. (2012)

inventory, the crude ethanol extract of the leaves and stems of Bontia daphnoides and is

found to have insecticidal activities to C. formicarius. The 72 h LC50 for the furan was

20.80 μg insect-1, while those for a nicotine rich extract of tobacco and a commercial

organophosphate insecticide, dimethoate, were 32.00 and 9.54 μg insect-1, respectively.

Rhizophora mangle (Rhizophoraceae) crude extract and was found most toxic to C.

formicarius(LC50 of 70 μg insect-1) and the extract is reported to contain triterpenoids.

Foliage of Croton linearis contain diterpene which showed insecticidal activity to adult C.

f. elegantulus (72 h LD50was 0.32 μg insect-1). The aerial parts (leaves and stems) of

Capraria biflora were found to exhibit insecticidal activity against adult C. f. elegantulus.

Page 238: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

219

Plant insecticide materials can be obtained from local resources around sweet potato

field. One of sweet potato center in Indonesia is located in Cilembu Village, Pamulihan

Subdistrict, Sumedang Regency. In around Cilembu sweet potatoes field there are many

plants that can potentially used asbotanicals insecticide. Some of them are breadfruit

(Artocarpus altilis), mahogany (Swietenia mahagoni) and redcedar (Tonna sinensis), and

neem (Melia azedarach). Breadfruit (Artocarpus altilis) has already tested effective to

control fruit fly (Bactrocera spp.) (Sadewo, 2015), mahogany and redcedar in controlling

diamondback moth (Plutella xylostella) (Kurniawan et al ., 2013; Kuswanti et al., 2013),

and neem (Melia azedarach) to control the caterpillar pests (Setothosea asigna)(Harahap,

2009). Untill now, the insecticide activity of those plant to C. frmicarius is still not yet

known.

Dependence on one type of raw material wouldaffect pest control as well as interfere

in ecosystems balance.To minimize the problems, a combination of extracts fromseveral

plant species can be tried. The use of a mixture ofinsecticides is recommented as it would

delay the pest resistance to certain insecticides. It would control sometypes of pests,

improve the efficiency of the applicationbecause mixture often used at lower doses than the

doses ofeach component separately, and also reduce the side effectsof non target organism

and environment (Prijono, 1992 cit. Tamiro et al., 2016).

Several studies have shown that the mixutred of two botanical insecticide provides a

synergistic effect. Abizar & Prijono (2010) cit. Tamiru et al. (2016) reported that leaf ethyl

acetate extracts of T.vogeliiwas toxic to C. pavonanalarvae and a mixture of leafextract of

purple-flowered T. vogelii and fruit extract of Pcubeba (5:9 w/w) was more toxic to C.

Pavonana larvae thaneach extract tested separately.

MATERIAL AND METHODS

The experimen was caried out in Laboratory of Pesticide and Environmental

Toxicology Departement of Plant Pests and Diseases, Faculty of Agriculture Universitas

Padjadjaran. Four single leaf water extract, i.e., breadfruit (Artocarpus altilis), mahogany

(Swietenia mahagoni) and (Tonna sinensis), and Neem (Melia azedarach) which

concentration of 25% (w/v) and the mixtured of two single extracts with concentrations

mixed of 12.5% and 6.25%, and control (without extract) was tested in this study.

A simple extraction method was used to make the leaf water extract of bread fruit,

mahogany, red cedar, and neem. Fresh leaf of bread fruit, mahogany, red cedar, and neem

were drying in air, during 3 - 5 days. All plant materials were dried, ground into powder in

amill, The concentration of 25% was obtain from 24 hours maceration of dry powder of

leaf in hot water. As much as 250 g dry leaf powder was mixed with 750 ml hot water with

initial temperature of 75o C. After 24 hours maceration, the solution was filtered with

muslin cloth and Watman Filter No.1. Leaf water extract with conentration of 12.5% and

6,25% was obtained by dilution method of leaf water extract with concentration of 25% and

12.5% respectively.

The experiment was conducted in Randomized Block Design (RBD) with three

replications. A feed dipping bioassay method was adapted to evaluate the activity of

different leaf water extract against to C. Formicarius (Busvine, 1971). Approximately 250

Page 239: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

220

g of sweet potato tuber (Cilembu variety) was dipped in a solution of leaf water extract of

bread fruit, mahogany, and neem (single or mixed of two single extract) for 5 minutes. In

the control treatment, the sweet potato tuber was dipped in water (without extract). The

soaking sweet potato tuber, then dried in air before being used as a feed in the test.After

dried, the tuber was infested with 10 F6 adults of C. formicarius (5 pairs).

The observation was done to adults mortality at 1, 2, 3, 4, and 5 days after treatment,

number of progeny F1, and dry weight loss of tuber and feeding inhibiton was observed at

one month after treatment. Percent insect mortality was calculated using Abbott’s formula

by counting cummulative number of dead insects in each jar 24 hrs, 48 hrs, 72 hrs, 96 hrs

and 120 hrs after treatment application/adult introduction.

Abbot’s formula: Pt=Pt-Po

100-Ptx 100%

Where Pt=percent (%) mortality; Po= percent of observed mortality; Pc= percent of

control mortality

Adults were considered dead when no response was observed after probing them

with forceps. At the end of each assessment, dead insects were removed (Tamiru et al.,

2016).

Joint effect of the mixtured was compared to component of the mixtured. Joint

effect of leaf water extract mixtured was calculated by the formula of Synergism Ratio

(SR) Bhan, et al. (2015), as follows:

SR=percent mortality on mixed extract

percent mortality on single extract

Where,

SR> 1: there is a synergistic effect

SR<1: there is antagonistic effect

SR = 1: there is an additive effect

Following Tamiru et al. (2016), after toxicity assessment of leaf water extract,

remaining C. formicariusadults on treated and untreated jars were kept for additional 25

days. The infested jars were further maintained under laboratory condition, and effect of

treatments on the F1 progeny were assessed by emergence of larvae, pupae, and adults.

Percentage reduction in progeny emergence or inhibition rate (% IR) was calculated using

the following formula:

Where Cn=number of newly emerged insects in the untreated (control) jar,

Tn=number of insects in the treated jar

Dry weight loss (DWL) of tuber was calculated using formula:

Page 240: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

221

DWL=initial dry weight-end dry weight

initial dry weight x 100%

Statistical package SAM-Agri was used to analyze the data. Statistical significance

was assessed by Scott=Knot at 5% significant level.

RESULT AND DISCUSION

The effect of leaf water extract of , neem, mahogany, and breadfruit toC.

formicariusadults mortality can be seen in Table 1.

Table 1. Effect of lef water extract on adults mortality of C. formicarius (5 days after

treatment)

Leaf Water extract treatment Mortality (%)

Red cedar 25% 23.33 a

Neem 25% 26.67 a

Mahogany 25% 30,00 a

Bread fruit 25% 33.33 a

Neem 12.5% + Red cedar 6.25% 23.33 a

Neem 12.5% + Mahogany 6.25% 26.67 a

Neem 12.5% + Bread fruit 6.25% 20,00 a

Red cedar 12.5% + Neem 6.25% 36.67 a

Red cedar 12.5% + Mahogany 6.25% 30,00 a

Red cedar 12.5% + Bread fruit 6.25% 23.33 a

Mahogany 12.5% + Neem 6.25% 20,00 a

Mahogany 12.5% + Red cedar 12.5% 23.33 a

Mahogany 12.5% + Bread fruit 6.25% 13.33 b

Bread fruit 12.5% + Mahogany 6.25% 16.67 b

Bread fruit 12.5% + Red cedar 6.25% 26.67 a

Bread fruit 12.5% + Neem 6.25% 23.33 a

Water (without extract) 0.000 c Mean mortalities followed by the same letter within the same column are not significantly different at

P>0.05 by Scott-Knott

In Table 1, stand out that All leaf water extract treatments, either single or mixed,

have a significant effect on mortality of adultsC. formicarius. All leaf water extract

treatments had a significant differences with control treatment (wihtout extract). It’s mean

that all of plant leaf tested have an insecticide activiy to adults of C. formicarius and have a

potency to develop as botanical insecticide for C. formicarius adults control.

The lowest effect was shown by mixed treatment of 12.5% mahogany leaf extract

with 6.25% bread fruit which caused mortality of C. formicarius at the rate of 13,33% and

mixed treatment of Bread fruit 12,5% + Mahogany 6,25% which caused mortality of C.

formicarius at the rate of 16,67%. Both of treatment were non significantly different.

Page 241: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

222

Those treatment were significantly different with other leaf wather extract treatment.

Although there were not significantly different with other leaf water extract treatment, leaf

water extract mixture of 12,5% + Neem 6,25% showed the more high mortality effect, i.e

36.67%.

The result of this research was not fully congruent with the results of Tamiru et al.

(2016) which showed that the combination of plant flour could produce the highest imago

mortality, reduced the number of offspring, reduced the hole, and lost weight. This result

aslo showed the interesting fenomena. No one leaf water extract mixture combination

ofleaf wate extract caused the highest adut mortality. Although combination of 12,5% +

Neem 6,25% showed the more high mortality effect, i.e 36.67%, but not significant with

other treatment, aither single or combination treatment.

Between single of leaf water extract, the single leaf water exract of bread fruit

showed more high mortality, but in cimbination wiht other leaf water extract caused the

antagonistic effect (Tabel 2) Based on the calculation of sinergistic ratio (SR), only leaf

water extract mixtured of 12,5% + neem 6,25%) which showed the consisten the good

joint effect of the mixture. this mixtured showed the synergictic effect, either compare to

25% or neem 25%.

The mixtured of leaf water extract of red cedar with other leaf extract, resulting the

synegictic effect or additive effect. Different result were obtained from leaf water extract of

bread fruit. Almost of mixtured with leaf water extract of bread fruit showed the

antagonistic effect, except the mixtured of bread fruit 6.25% + red cedar 12.5%. Those

mixtured showed the additive effect. The same result also showed by the mixtured of eaf

water extract of mahogany and other leaf water extracts. The more variation result of joint

effect was showed by the mixtured of leaf water extract of neem. The mixtured beetwen

leaf water extract and other leaf water extract showed antagonistic, additive, and synergistic

effect. This result was anaogously with the results of Dadang & Prijono (2008) which

shows that the effect of the mixture of two active ingredients of insecticides can be

synergistic, additive, or antagonistic.

Based on that result, it was obtained that bread fruit leaf water extract was not

compatilble with three other leaf water extract (red cedar, neem, and mahogany), except on

the mixturef of bread fruit 12.5% with red cedar in concentration of 6.25%. Generally, leaf

water extract of red cedar was almost compatible with other leaf water extract tested. Leaf

water extract of red cedar showed the best joint effect (synergistic) if its mixed with neem,

mahogany, and sukun. The additive effect was achieved by the mixtured of red cedar 6.25%

with neem 12.5% or mahogany 12.5% or bread fruit 12.5%. In this case, leaf water extract

of red cedar in concentration of 6.25% showed the function as synergist.

Page 242: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

223

Table 2. Joint effect of leaf water extract toxicity againts on C. formicarius

nd: not determined

Compare to the highest mortality of compiler part of the mixtured, generally, only

two leaf water extract mixtured produced the positive effects, i.e one mixtured prduced the

synetgistic effect and one mixtured produce the addtivie effect. The mixtured of leaft

water extract which produced the synergistci effect was red cedar 12.5% + neem 6.25%.

While, the mixtured which produced the additive effect was red cedar 12.5% + mahogany

6.25%. Based on that result, its can concluded that leaf water extract of red cedar is

compatible with leaf water extract of neem and mahogany, while with bead fruit is not

compatible. Red cedar also dit not compatible with other leaf water extract, either in

concentration of 12.5% or 6.25%.

One month after treatment, all of leaf water extract did not effect to adult population

remain, there were not adult death, either in leaft water extract treatment or control

treatment. In all treatment also there were not increasedthe adults population (Table 3).

Biside that, in observation at one month after treatment, either in leaf water extract or

control treatment, there were not emerged the pupa or new adult. This result was in line

with Capinera (2014) which showed that larvae of C. formucirius can lastedfrom 10-56

days, depending on temperature. Capinera (2014) explained further that temperature is the

principal factor which affecting larval development rate. Larval development (not

including the prepupal period) occurring in about 10 and 35 days at 30o and 24o C,

respectively.

The result of this research strengthen the opinion that the weakness of botancials

insecticides is easy to decomposed. Therefore, the effects of leaf water extract will not last

long (Dadang & Prijono, 2008 ). In addition, the average length of life of imago C.

formicarius is relatively long. Imago C. formicarius can survive for 200 days if food is

available and 30 days if no food (Capinera, 2014). Therefore, on observation at 30 days

after treatment, the number of adults in all treatment were not decrease or increase.

Page 243: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

224

The data in Table 3 showed that all leaf water extract treatment can reduced

significantly the number C. formicarius larvae. The higest reduce number larva emerged

showed by the mixetured of neem 12.5% + bread fruit 6.25%, red cedar 12.5% + neem

6.25%, and bread fruit 12.5% + neem 6.25% with progeny inhibition rate value were

66.95, 66.10, 65.29, and 61.99% respectively. In this point of parameter, the result was

congruent with Tamiru et al. (2016).

These results indicate that the toxic properties of extra-leaf suren, mindi, mahogany,

and acute slain shelf are also chronic. Chronically, as are synthetic insecticide, botanical

insecticides can also affect the physiology and metabolism of insects.

Table 3. Effect of leaf water etract of progeny F1 of C. formicrius (one month after

treatment)

Leaf water extract treatment Population density Progeny F1

Inhibition (%) Larvae Adults Total

Red cedar 25% 19.33 b 7.67 a 27.000 b 33.05

Neem 25% 11.00 c 7.00 a 18.000 b 55.37

Mahogany 25% 16.00 b 6.67 a 22.667 b 43.79

Bread fruit 25% 13.67 b 5.67 a 19.333 b 52.05

Neem 12.5% + Red cedar 6.25% 9.33 c 7.00 a 16.333 b 59.51

Neem 12.5% + Mahogany 6.25% 13.00 b 6.67 a 19.667 b 51.23

Neem 12.5% + Bread fruit 6.25% 6.33 c 7.00 a 13.333 b 66.95

Red cedar 12.5% + Neem 6.25% 7.67 c 6.00 a 13.667 b 66.10

Red cedar 12.5% + Mahogany 6.25% 15.67 b 6.33 a 22.000 b 45.45

Red cedar 12.5% + Bread fruit 6.25% 8.00 c 7.33 a 15.333 b 61.99

Mahogany 12.5% + Neem 6.25% 16.00 b 7.67 a 23.667 b 41.31

Mahogany 12.5% + Red cedar 12.5% 15.00 b 6.67 a 21.667 b 46.27

Mahogany 12.5% + Bread fruit 6.25% 13.33 b 7.00 a 20.333 b 49.59

Bread fruit 12.5% + Mahogany 6.25% 10.67 c 8.00 a 18.667 b 53.71

Bread fruit 12.5% + Red cedar 6.25% 17.67 b 7.00 a 24.667 b 38.83

Bread fruit 12.5% + Neem 6.25% 7.33 c 6.67 a 14.000 b 65.29

Water (without extract) 31.00 a 9.33 a 40.333 a - Mean mortalities followed by the same letter within the same column are not significantly different are at P>0.05 by Scott-Knott

The lowest percentage of weight loss is present in the same treatment with the low

larval population average.Treatments that showed a low percentage of low dry weight loss

on average contain neem leaf water extract, either singly or mixed. Azadirachtin contained

in neemcan acts as an antifeedant. Azadirachtin works by producing specific feeding

reactions that are chemical receptors (chemoreceptor) in the insect's mouth that can

interfere with the stimulation to eat (Mordue et al., 1998).

Page 244: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

225

Generally, the use of leaf extract red cedar, neem, mahogany, and breadfruit can

suppres the C. Fomicarius attact. This can be seen from the significant differences with

control treatment on adults mortality, number of progey F1 (larvae),and tuber dry weight

loss. But, this result is still not effective. The remain adults population on leaf water extract

is still high and did not show the siognificant differences. The are only to combinationf

leaft water extract showed the positive joint action, i.e. combination of red cedar 12.5%

with neem 6.25% (synergistic effect) and combination of red cedar 12.5% with mahogany

6.25% (additivie effect). This result also showed that although leaf water extract of red

cedar showed the relatively low adults mortality, but in combination with neem and

mahogany, the adult mortality was inrease. This result also showed that water isn’t effetive

to use as a solvent.

Table 4. Effect of leaf water extract of , neem, mahogany and bread fruit on dry weight

loss of swet potato tuber (one month after treatment or application)

Leaf water extract and concentration Dry weight loss (%)

Red cedar 25% 5.79 b

Neem 25% 3.51 c

Mahogany 25% 5.18 b

Bread fruit 25% 4.47 b

Neem 12.5% + Red cedar 6.25% 2.98 c

Neem 12.5% + Mahogany 6.25% 4.12 b

Neem 12.5% + Bread fruit 6.25% 1.93 c

Red cedar 12.5% + Neem 6.25% 2.46 c

Red cedar 12.5% + Mahogany 6.25% 4.91 b

Red cedar 12.5% + Bread fruit 6.25% 2.54 c

Mahogany 12.5% + Neem 6.25% 4.91 b

Mahogany 12.5% + Red cedar 12.5% 4.91 b

Mahogany 12.5% + Bread fruit 6.25% 4.21 b

Bread fruit 12.5% + Mahogany 6.25% 3.51 c

Bread fruit 12.5% + Red cedar 6.25% 5.53 b

Bread fruit 12.5% + Neem 6.25% 2.37 c

Control (water, without extract) 9.74 a Mean mortalities followed by the same letter within the same column are not significantly different are at P>0.05 by Scott-Knott

CONCLUSION

All of leaf water extracts tested, either single or mixed, can suppress significantly

the attact cylas foricarius, inrease the of number of larvae produced, the loss of tuber dry

weight, and the appetite of C. formicarius. Generally, the cobination of leaf water extract

causing negative joint action of insecticidal activity, i.e. antagonistic effect which cause the

decreasing the cobination of leaf water extract toxicity. Only the mixtured of red cedar

Page 245: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

226

12.5% + neem 6.25% and red cedar 12.5% + mahogany 6.25% causing the positive joint

action. The mixtured red cedar 12.5% + neem 6.25% resulting the synetgistic effect.

While, the mixtured of red cedar 12.5% + mahogany 6.25% resulting the additive effect.

Leaf water extract, single or cimbination, have a low effectivenee to suppress the C.

formicarius attact. Therefore, hot water was not effective to use as solven for botanicals

insecticide.

ACKNOWLEDGMENTS

Thank Rector of Universitas Padjadjaran and Director of Directorate of Research,

Community Services and Innovation Universitas Padjadjaran for the financing of this

project.

REFERENCES

Anyanga, M.O., H. Muyinza, H. Talwana, D.R. Hall, D.I. Farman, D.N. Ssemakula,

R.O.M. Mwanga, and P.C. Stevenson. 2013. Resistance to the Weevils Cylas

puncticollis and Cylas brunneus Conferred by Sweetpotato Root Surface

Compounds. J. Agric. Food Chem. 2013, 61, 8141−8147

Bhan, S., L. Mohan, and C.N. Srivastava. 2015. Synergistic larvicidal potential of

Temephos and entomopathogenic fungus, Aspergillus flavus against filarial vector,

Culex quinquefaciatus (Say). International Journal of Mosquito Research 2015; 2

(2): 33-37.

Busvine, J.R. 1971. A Critical Review ot The Techniques for esting Insecticide.

Commonwealt of Agrigultural Bureaux. London.

Dadang dan D. Prijono. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan

Pengembangan. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian

Bogor.

Dirjen PSP Kementerian Pertanian. 2017. Pestisida Untuk Pertanian dan Kehutanan 2016.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

FAO. 2014. Production Quantities by Country. FAOSTAT.

Grainge, M. and S. Ahmed. 1988.Handbook of Plants With Pest-Control Properties 1st

Edition. Wiley-Interscience. Pp. 470.

Hassanali, I and M. Bentley. 1987. Comparison of the Insect Antifeedant Activities of

Some Limonoids. Di dalam: Schmutterer H & Ascher KRS (eds.), Natural Pesticides

fromThe Neem Tree (Azadirachta indica A. Juss) and Other Tropical Plants.

roceeding of The Third International Neem Conference Nairobi, 10 – 15 July 1986.

Eschborn: GTZ. p. 683 – 689.

Hidayat, S. and Y.M. Zaelani. 2015. Identifikasi potensi ketahanan 36 klon baru Ubi Jalar

(Ipomoea batatas (L.) Lamb) terhadap hama Lanas (Cylas formicarius F)

(Coleoptera: Curculionidae) di laboratorium. Prosiding Seminar Nasional

Entomologi. PEI Cabang Bandung. Uniersitas IslamNnegeri Sunan Gunung Jati

Bandung. 15 Oktober 2015.

Hidayati, N., N. Yuliani, dan N. Kuswanti. 2013. Pengaruh ekstrak daun dan daun

Mahogany terhadap mortalitas dan aktivitas makan ulat daun (Plutella xylostella)

pada tanaman kubis. Lentera Bio. Vol. 2 No. 1: 95–99

Page 246: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

227

Juanda, D., dan B. Cahyono. 2000. Ubi Jalar Budidaya dan Analisis Usaha Tani.

Yogyakarta: Kanisius

Korada, R.R., S.K. Naskar, A. Mukherjee, and C.A. Jayaprakas. 2012. Management of

Sweet Potato Weevil, Cylas formicarius: A World Review. Invited Review. Fruit,

Vegetable and Cereal Science and Biotechnology 6 (Special Issue 1), 79-92.

Kurniawan, N., Yuliani, dan F. Rachmadiarti. 2013. Uji bioaktivitas daun (Toona sinensis)

terhadap mortalitas larva Plutella xylostella pada tanaman sawi hijau. Lentera Bio.

Vol 2. No. 3.

Leng, P.H., V. Gadi, and P. Reddy. 2012. Bioactivity Of Selected Eco-Friendly

Pesticides Against Cylas formicarius (Coleoptera: Brentidae). Florida Entomologist

95(4) December 2012

Mordue (Luntz), A. J. and A. J. Nisbet. 2000. Azadirachtin from the Neem Tree

Azadirachta indica: it’s action against insets. An. Soc. Entomol. Brasil 29:615-632.

Nawaz, M., J.I. Mabubu, and H. Hongxia. 2016 Current status and advancement of

biopesticides: Microbial and botanical pesticides. Journal of Entomology and

Zoology Studies 4(2): 241-24.6

Nonci, N. 2005. Bioekologi dan pengendalian kumbang Cylas formicarius Fabricius

(Coleoptera: Curculionidae). Balai Penelitian Tanaman Serealia.

Nottingham, S.F., K.C. Son, D.D. Wilson, R.E. Severson, and S.J. Kays. .... Feeding by

adult sweet potato weevils, Cylas formicarius elegantulus, on sweet potato leaves.

Pardales Jr., J.R. and A.F. Cerna. 1987. An agronomic approach to the control of

sweetpotato weevil (Cylas formicarius elegantulusF.). Tropical Pest Management,

1987, 33(1), 32-34

Pusdatin Pertanian. 2016. Statistik Pertanian 2016. Pusat Data dan Sistem Informasi

Pertanian Kementerian Pertanain Indonesia. Jakarta.

Sadewo, V.D. 2015. Uji potensi ekstrak daun Bread fruit Artocarpus altilis sebagai

pestisida nabati terhadap hama lalat buah Bactrocera spp.

Sorensen, K.A. 2009. Sweetpotato Insects: Identification, Biology and Management. In

'The Sweetpotato.' (Eds G Loebenstein and G Thottappilly) pp. 161-188. (Springer

Netherlands)

Sutherland, 1986. A Review of the Biology and Control of the Sweetpotato Weevil Cylas

Formicarius (Fab). Tropical Pest Management, 32(4), 304-315

Tamiru, A., T. Bayih, and M. Chimdessa. 2016. Synergistic Bioefficacy of Botanical

Insecticides against Zabrotes subfasciatus (Coleoptera: Bruchidae) a Major Storage

Pest of Common Bean. J. Fertil. Pestic. 2016, 7:2:1-8

Zibae, I. and P. Khorram. 2015. Synergistic effect of some essential oils on toxicity and

knockdowneffects, against mosquitos, cockroaches and housefly Arthropods, 2015,

4(4): 107-123

Page 247: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

228

Page 248: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

229

THE EFFECTIVENESS OF METARHIZIUM ANISOPLIAE AND FORMULATION OF NEEM 50 EC FOR SUPPRESS THE APHIS GOSSYPII GLOVER POPULATION

Neneng Sri Widayani1, Rika Meliansyah1, Lindung Tri Puspasari1, Yusuf Hidayat1, Danar Dono1, Rani Maharani2

1Department of Plant Pests and Diseases, Agriculture Faculty, Universitas Padjadjaran, Jl. Raya

Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor 40600 2Departemen of Chemistry, Faculty of Mathematic and Natural Science, Universitas Padjadajran, Jl.

Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor 40600

Abstract. Aphis gossypii Glover is a destructive pest of many kind of crop. Damage to a

few of these crops is due to direct feeding, but for most of these crops its impact is through

its role as a virus vector. This research aimed to determine the potency of Formulation of

neem 50 EC and Metarhizium anisopliae for suppress Aphis gossypii population on red

chilli plant. The experiment used a randomized block design consisting 10 treatments and 3

replications. The adults of A. gossypii as many as 30 individuals were introduced to a red

chilli plant and after two days, the red chilli plant was treated. The results showed that the

aplications of neem formulation 50 EC (1,5%, 2%, and 2,5%) and its combination with M.

anisopliae was effective in suppressing populations of A. gossypii. The combination

treatment of M. anisopliae and formulation of neem 50 EC was found to be synergistic.

Keyword: Aphids, Botanical pesticide, Effectiveness, Entomopathogen

Abstrak. Aphis gossypii Glover adalah hama yang merusak banyak tanaman. Kerusakan

pada tanaman disebabkan aktivitas makan langsung, namun peran yang paling penting

adalah sebagai vektor virus. Penelitian bertujuan mengetahui kemampuan M. anisopliae

dan Formula Mimba 50 EC untuk menekan populasi A. gossypii pada tanaman cabai merah.

Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 10 perlakuan dan 3

ulangan. Imago A. gossypii sebanyak 30 ekor diinvestasikan pada tanaman cabai merah dan

setelah dua hari diberikan perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan aplikasi formula mimba

50 EC (1,5%, 2%, dan 2,5%) dan kombinasinya dengan M. anisopliae efektif menekan

populasi A. gossypii. Kombinasi antara M. anisopliae dan Formula Mimba 50 EC bersifat

sinergis.

Kata kunci: Entomopatogen, Keefektifan, Kutudaun, Pestisida nabati

INTRODUCTION

Chili is an important cash crop in Indonesia. The low production of red chili pepper

can be caused by some factors. One of these is the attack of Aphis gossypii. This insect

attack by sucking of sap plant while transmit of plant virus pathogens. The insect can

survive on many kind of plant (polyphagous) so can make wild plant as an alternative host

which supports the build up of A. gossypii population (Perng, 2002). Therefore, a right

technique is needed to control this pest population to prevent economic loss. Practically,

farmer uses synthetic pesticide to control the population of the pest. Synthetic pesticide

gives faster effect, but excessive use of it cause a negative effect on human health and

another organism that live in same environment (Al Zaidi et al.,2011).

24

Page 249: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

230

The negative impacts of synthetic pesticides have led to the need for eco-friendly

alternative control techniques. Based on the integrated pest management (IPM) principle,

pest control is carried out using combined control techniques to reduce pest status to

tolerant level (Alyokhin et al., 2014). The combined control techniques is a means of

compatible control and control management is intended to prevent pest resistance and the

creation of sustainable agriculture systems due to increased public awareness about the

safety of agricultural products. In example, a combination of the control techniques that is

by using entomopathogenic fungi such as Metarhizium anisopliae and botanical pesticides

such as the neem (Azadirachta indica).

The objective of this research was to study the compatibility of entomopatogenic

fungi M. anisopliae and the formulation of neem 50 EC to suppress the population of A.

gossypii on red chili pepper.

MATERIAL AND METHOD

This research was carried out in a green house of Department of Plant Pests and

Diseases, Faculty of Agriculture, Universitas Padjadjaran, West Java, Indonesia using a

randomized block design. The study consisted of 10 treatments and 3 replications. M.

anisopliae used only one concentration of 108 spores ml-1, while the concentration of

formulation of neem 50 EC were 1.5%, 2%, and 2.5%. Synthetic insecticide with active

ingredient methomyl was used as a comparison. The treatments were: A) M. anisopliae, B)

M. anisopliae& Formulation of Neem 50 EC 1.5%, C) M. anisopliae & Formulation of

Neem 50 EC 2%, D) M. anisopliae& Formulation of Neem 50 EC 2.5%, E) Formulation of

Neem 50 EC 1.5%, F) Formulation of Neem 50 EC 2%, Formulation of Neem 50 EC 2.5%,

H) M. anisopliae& Insecticides methomyl with a dose of 1,2 kg/ha and spray volume 500

ml/ha (0.025 g/21 ml/plant), I) Insecticide Methomyl, and J) Control.

Aphis gossypii was collected from red chili plants in the field. Aphid samples were

identified by using the identification book "Aphids on the World's Crops" from Blackman

& Eastop (1984). Aphid8s that have been identified were reared and used for research.

Aphid were reared in a green house of Department of Plant Pests and Diseases to achieve

uniformity adult and selected body size, normal, and healthy to maintain the homogeneous

of insect.

Metarhizium anisopliae isolates were obtained from Indonesian Vegetable Research

Institute (Ivegri) Lembang. Fungi of Metarhizium anisopliae were cultured on the media

Potato Dextrose Agar (PDA). For the application, M. anisopliae from PDA is mixed on

maize as carrier media. Spore densities were calculated using the hemocytometer.

The adult of A. gossypii as many as 30 individuals were introduced to a red chili

plant six weeks after planting and after two days, chili plants were treated. Applications that

combine M. anisopliae and formulation of neem 50 EC, the first application begins with the

treatment of M. anisopliae and subsequently the application of insecticide with active

ingredient methomyl or formulation of neem 50 EC (according to treatment) in the second

week and so on alternately. Application at 15:00 to 17:00 pm and applications as much as 6

times with an interval of 7 days.

Page 250: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

231

The parameters observed in this study were A. gossypii population after application

and confirmation of M. anisopliae infection to A. gossypii. The population of A. gossypii

was observed at 4 days after application by counting the number of living A. gossypii. A.

gossypii infected by M. anisopliae was confirmed by isolating 5 dead A. gossypiifrom each

treatment. Observations were made by looking at the growth of M. anisopliae that grew

from the A. gossypii body. A. gossypii sterilized by soaking in 1% chloroc for 30 seconds

and sterile water for 5 minutes, then dried with filter paper, then placed on the petri dish

containing PDA. The A. gossypii was incubated for 7 days to see the growth of the fungus

and the number of infected insect.

The data were analyzed by analysis of variance to know the effect of treatments, if

there were significant differences then the data will be tested using Schot-Knott test at 5%

real level.

RESULT AND DISCUSSION

Population of A. gosyypii

The formulation of neem 50 EC application and its combination with M. anisopliae

can suppress the population of A. gossypii > 90% of the population. A single M. anisopliae

application is less effective in suppressing the A. gossypii population, which is capable of

suppressing only 40-60% of the population. Population A. gossypii after the application is

presented in Table 1.

Application of neem 50 EC formulation at concentration of 1.5%, 2%, and 2.5%

caused the population of A. gossypii observed verry low (0-2 aphid per plant) after the 6th

application. The Death of A. gossypii is caused by treatment of neem 50 EC formulation,

indicated by hormonal growth disorder. (Mardiningsih et al. 2014).

Table 1. The average population of aphids after aplications.

Treatment The average population after application number

1 2 3 4 5 6 A (M. a) 169.33 b 402.67 b 568.33 b 717.33 b 664.00 b 279.33 b

B (M. a & FN 1,5%) 147.33 b 116.00 c 64.67 c 58.00 c 34.67 c 28.67 c

C (M. a & FN 2 %) 162.00 b 85.00 c 33.67 c 23.00 c 9.67 c 3.33 d

D (M. a& FN 2,5%) 158.00 b 71.33 c 19.33 d 27.00 c 11.33 c 0.33 d

E (FN 1.5%) 118.33 b 44.00 c 53.33 c 16.33 c 23.67 c 2.00 d

F (FN 2%) 66.33 b 11.00 d 4.00 d 3.67 c 0.00 c 0.00 d

G (FN 2,5%) 60.00 c 10.67 d 4.33 d 0.67 c 1.00 c 1.33 d

H (M. a &Methomyl) 150.67 c 2.33 d 0.00 d 0.00 c 7.67 c 0.00 d

I (Methomyl) 0.00 d 0.00 d 0.00 d 0.00 c 0.00 c 0.00 d

J (Control) 447.00 a 1059.33 a 1324.67 a 1629.33

a

1204.33 a 685.67 a

Explanation: Number that followed by same alphabet in same columns, has not really different

according to Schott-knott test at 5% rate.

FN: Formulation of neem 50 EC; M.a : M. anisopliae

The life cycle of A. gossypii is parthenogenetic (reproduction without fertilization)

(Margaritopoulus et al., 2009). So, the population of A. gossypii will increase rapidly

especially if supported by favorable environmental. The research of Satar et al., (2008)

Page 251: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

232

showed that the population of A. gossypii at warm temperatures (25-30 0C) had higher

growth rates than low temperature (15-10 0C). The warm temperature in the greenhouse

where the research was conducted, caused the population of A.gossypii increase.

In the treatment of single M. anisopliae, the population of A. gossypii continues to

increase with a population of 717.33 aphids after the 4th application. Applications

formulation of neem 50 EC and their combinations with M. anisopliae may suppress the A.

gossypii population continues to decrease with 23-58 aphid after the 4th application. The

number of such populations is very low when compared to the population in controls that

reach 1629.33 aphids. In the 5th and 6th applications, there is a population decline in

control. The population decline is due to the overcrowded population of A. gossypii. Dense

populations cause nutritional seizures and lack of food sources. It can cause aphids to die or

migrate. More clearly the population graph of A. gossypii can be seen in Figure 1.

Figure 1. Trend of A. gossypii population at 1st until 6th aplication Explanation : M.a : M. Anisopliae; FN: Formulation of neem 50 EC

The low population decline of A. gossypii in a single application of M. anisopliae

may be due to M. anisopliae takes more than 48 hours for the target insect to die, whereas

the aphid has a rapid reproductive ability. The viability of conidia can be affected by

sunlight. The viability of conidia can be maintained by adding additives or combinations

with other synergistic agents (Kim et al., 2010). This is necessary because conidia must

germinate first when attached to the host's integument (Effendy et al., 2010). Prayogo

(2009) states that the addition of vegetable oils can increase the persistence of fungi in the

field, the viability of conidia suspension without additional vegetable oil compounds is one

day, while viability with the addition of vegetable oil compounds can last up to 7 days in

open field.

The Population is due by treatment combination of M. anisopliae and formulation of

neem 50 EC was higher after the applied formulation of neem 50 EC compared to the

single treatment of M. anisopliae. This is because there are chemical compounds of

formulation of neem 50 EC vegetable oil that affect the viability of conidia so that it can

0.00

200.00

400.00

600.00

800.00

1000.00

1200.00

1400.00

1600.00

1800.00

1 2 3 4 5 6

Po

pu

lati

on

s

Aplication number

A (M. a) B (M. a & FN 1,5%) C (M. a & FN 2 %) D (M. a& FN 2,5%)

E (FN 1.5%) F (FN 2%) G (FN 2,5%) H (M. a & Methomyl)

I (Methomyl) J (Control)

Page 252: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

233

survive and cause target insect mortality. The vegetable oil acts as an additive substrate and

as a coating agent. This can improve shelf life for entomopathogenic fungi and provide

greater tolerance for less favorable environmental factors such as high temperatures (Kim et

al., 2010) and the mimba acts as an emulsion oil that facilitates the adhesion of spores to

the insect cuticle (Seye et al., 2011).

The formulation of neem 50 EC (azadirachtin as main active ingredient) cause

development dearragement of immature stages of insect. This pesticides also had effect

antifeedant and repellent (Sarwar, 2015). The inhibitory effect of feeding was demonstrated

by Mizus persicae on the decreased spread of potato leaf roll virus (Mordue & Niesbet,

2000).The Neem 50 EC had a slow effect in causing death of target insects after application

so that the insects take several days to died (Dewati et al., 2009). Synthetic insecticides

give a rapid effect same as at first treatment (insecticide with a.i. methomyl) with the

population immediately to zero, whereas in the treatment of formulation of neem 50 EC is

still found around 60-118,33 aphid. So the use of formulation of neem 50 EC and its

combination with M. anisopliae require more applications to obtain results such as

synthetic insecticides.

Each treatment has a different effect to suppress the population of A. gossypii. From

the data it can be concluded that the use of M. anisopliae in combination with the

formulation of neem 50 EC is preferable to use given the limitations of the neem seeds as

the source of the active ingredient and the nature of M. anisopliae as biological agents that

can survive in the rhizosphere and the infection process can occur even without re-

application because the source of the inoculum has spread in the field. Based on this study,

we recommended that treatment of neem 50 EC formulation 1.5% combined with M.

anisopliae.

Percentage of A. gossypii Infected with M. anisopliae

On observation after the 1st, 3rd, and 5th applications with M. anisopliae showed

that A. gossypii death was caused by M. ansiopliae, although the percentage of A. gossypii

with growth of M. anisopliae was low (Table 2).

Table 2. Percentage of A. gossypii that infected by M. anisopliae

Treatments

Average of A. gossypii infected by M. anisopliae in number of

application (%)

1 2 3 4 5 6

A (M. a) 40,00 60,00 46,67 80,00 80,00 40,00

B (M. a & FN 1,5%) 6,67 66,67 33,33 26,67 40,00 30,00

C (M. a & FN 2 %) 20,00 93,33 33,33 30,00 60,00 60,00

D (M. a & FN 2,5%) 40,00 40,00 60,00 20,00 60,00 60,00

H (M. a&Methomyl) 13,33 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00

Explanation : M.a : M. anisopliae; FN: Formulation of neem 50 EC

The death of aphid may be due to an infection of the fungus, althought occured a

latent infection. Effendi et al., (2010) reported that the occurrence of mycelium sometimes

only found on the tip of the body and not clearly visible. This was caused by temperature

Page 253: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

234

and humidity that ware not suitable for mold growth. The types of infections that occur can

also be categorized in latent, chronic, and acute infections. Latent infection occurs because

the fungus was dormant and symptoms do not appear. In acute infection, symptoms appear

very clearly while chronic infection, symptoms appear unclear and difficult to observed.

Confirmation of aphid infection by the M. anisopliae treatment only reach 80%.

This was indicated that possibility some foctors caused the mortality of the aphid, beside by

the fungus, such as environment (wind), and the adult have been exhausted (Effendi et al.,

2010)

In the treatment of H (M. anisopliae& Methomyl), M. anisopliae did not grow after

application with methomyl insecticides, in contras M. anisopliae still isolated/grow after

application with Formulation of neem 50 EC. This was indicated that the Formulation of

neem 50 EC and M. anisopliae has a synergistic action in controlling aphid.

According to Prayogo (2011), the oil content of the neem extract will enrich the

growing media with nutrients. so that the fungus grows better. In addition, the addition of

vegetable insecticides can increase the number of conidia and positive correlation with

conidia germination. The fungi isolated form aphid shown in Figure 2.

Figure 2. The fungi isolated from the aphid after the second application.

(A). M. ansiopliae, (B). M. anisopliae and formulation of neem 50 EC

1,5%, (C). M. ansiopliae and formulation of neem 50 EC 2%, (D). M.

anisopliae and formulation of neem 50 EC 2,5%, and (H). M. anisopliae

and methomyl insecticide.

Insects that die from the attack of entomopathogenic fungi M. anisopliae showed the

externalization of dark green colour of conidia masses covering the insect (Dorin et al.,

2015). Conidia will be spread by the wind and infect other insects, or if there was a healthy

insect that approaches the infected insect then the healthy insects will also be infected. As

in the study of Dimbi et al., (2013), that there was a horizontal transmission of M.

anisopliae in fruit flies. The horizontal transmission was the transmission of M. anisopliae

spores from flies that have been infected to a healthy fly. A. gossypii infected with M.

anisopliae was presented in Figure 3.

Page 254: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

235

Figure 3. A. gossypii that covered M. anisopliae look like in stereo microscope at

450x zoom.

From the observation also did not see the occurrence of phytotoxicity at the time of

trial both for the treatment of M. anisopliae, Formulation of neem 50 EC, and methomyl

insecticide. In phytotoxic symptoms can be observed by looking at the symptoms that

appear on the leaves. The symptoms are like the leaves look like burning (Kardinan &

Suriarti, 2012). Phytotoxic symptoms will appear within a relatively short period of time of

application. In the first observation after application, there were no symptoms such as burnt

leaves and uniform spots only on application-treated plants. As for the symptoms of

chlorosis, necrotic occurring on the leaves has been confirmed by isolating and

identification that it is caused by pathogens.

The experimental site has an average daily temperature between 27-32 0C with an

average temperature of 26.84 °C in the morning, 34.16 0C at day, and afternoon 28.12 0C.

The highest temperature occurs during the day with a temperature range of 29-42 0C.

Average daily humidity in greenhouses ranged between 62% -75%, with average moisture

in the morning 78.92%, 52.6% at day, and afternoon 73.32%. Highest humidity occurs in

the morning with 67%-90% humidity and lowest humidity occurs during the day with 40%

-63% humidity.

CONCLUSIONS

The aplications of M. anisopliae and formulation of neem 50 EC at concentration of

1,5%, 2%, and 2,5% and its combination with M. anisopliae was effective to suppressing

populations of A. gossypii. The combination of M. anisopliae and formulation of neem 50

EC was found to be synergistic.

ACKNOWLEDGEMENT

Acknowledgment of the authors convey to Program Penelitian Riset Andalan

Perguruan Tinggi (RAPID) DP2M DIKTI 2016 which has financed this research and to the

Department of Pest and Disease, Faculty of Agriculture, Universitas Padjadjaran who has

helped a lot in this research.

Page 255: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

236

REFERENCES

Al-Zaidi AA, Elhag EA, Al-Otaibi SH, & Baiq MB. 2011. Negative of pesticides on the

environment and the farmers awarness in Saudi Arabia: a case study. The Jurnal f

Animal & Plant Science. 21(3): 605-611.

Alyokhin A., Mota-Sanchez D , .Baker M, Snyder WE , Menasha S, Whalon M, Dively G,

& Moarsi WF. 2014. The red queen in a potato field: integrated pest management

versus chemical dependency in colorado potato beetle control. Journal Pest

Management Science. 71:343-356.

Blackman, RL & Eastop VF. 1984. Aphids on The Word’s Crops. An Identification and

Information Guide. Second edition. Cromwell Road, London. The natural history

museum. 466 hal.

Dewati, R., I. Amryah, & N. Machhillah. 2009. Pengaruh volume pelarut, waktu, dan suhu

ekstraksi terhadap penentuan kadar Azadirachtin pada biji mimba. Chemical

Enginering Seminar Soebardjo Brotohardjono VI. Surabaya, 18 Juni 2009.

Dimbi S, Maniania NK, & Ekesi S. 2013. Horizontal transmission of Metarhizium

anisopliae in fruit flies and effect of fungal infection on egg laying dan fertility.

Insect. 4(2): 206-216.

Dorin J, Debourgogne A, Zaidi M, Bazard MC, & Machouart M. 2015. First unusual case

of keratitis in Europe due to the rare fungus Metahizium anisopliae. International

Journal of Medical Microbiology. 305(3):408-412.

Effendy TA, Septiadi R, Salim A, & Mazid A. 2010. Jamur entomopatogen asal lebak di

Sumatera Selatan dan potensinya sebagai agensia hayati walang sangit (Leptocorisa

oratorius F.). Jurnal Hama dan Penyakit Tropika. 10(2): 154-161.

Kardinan A & Suriarti S. 2012. Efektivitas Pestsida nabati terhadap serangan hama pada

teh (Camelia sinensis L.). Bul. Litro. 23(2): 148-152.

Kim JS, Skinner M, & Parker BL. 2010. Plant oil for improving thermotolerance of

Beuveria bassiana. Journal of Microbiology Biotechnology. 20(9): 1348-1350.

Kim JS, Je YH, & Rob JY. 2010. Production of thermotolerant entomopatogenic Isaria

fumosorosea SFP-198 conidia in corn-corn oil mixture. Journal of industrial

Microbiology & Biotechnology. 37:419-423.

Mardiningsih TL, Sukmana C, Tarigan N, & Suriarti S. 2010. Efektivitas insektisida nabati

berbahan aktif azadirachtin dan saponin terhadap mortalitas dan intensitas serangan

Aphis gossypii Glover. Bogor. Bul. Litro. 21(2): 171-183.

Margaritopoulos JT, Tzortzi M, Zarpas KD, Tsitsipis JA. 2009. Bulletin of insectology

62(1):15-20.

Mordue AJ & Niesbet AJ. 2000. Azadirachtin from the neem tree Azadirachta indica: its

action againts insects. An. Soc. Entomol. Bras. 29(4): 615-632.

Perng JJ. 2002. Life history of APhis gossypii Glover (Hom., APhididae) reared on four

widely distributed weeds. Journal of Applied Entomology. 126:97-100.

Prayogo Y. 2009. Kajian cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas)

Zare & Gams unutk menekan perkembangan telur hama pengisap polong kedelai

Riptortus linearis (F.) (hemiptera:alydidae). Disertasi. Sekolah pascasarjana Intitut

Pertanian Bogor: 135 hal.

Page 256: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

237

Prayogo Y. 2011. Sinergisme cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii dengan

insektisida nabati untuk meningkatkan efikasi pengendalian telur kepik cokelat

Riptortus Linearis pada kedelai. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika.

11(2): 166-177.

Sarwar M. 2015. The killer chemicals for control of agriculture insect pests: the botanical

insecticides. International Journal of Chemical and Biomolecular Science. 1(3):123-

128. Source at http://www.aiscience.org/journal/ijcbs

Satar S, Kersting U, & Uygun N. 2008. Effect of temperature on population parameter of

Aphis gossypii Glover and Myzus persicae (Sulzer) (Homoptera: Aphididae) on

pepper. Journal of Plant Disease and Protection. 115(2):69-74.

Seye F, Ndiaye M, Faye O, & Afoutou JM. 2012. Evaluation of entomopathogenic fungus

Metahizium anisopliae formulated with suneem (neem oil) againts Anopheles

gambiae S.l and Culex quinquefasciatus Adults. Malaria Chemothorapy, Control &

Elimination. 1: 1-6.

Wang, C. 2005. Differential gene expression by Metarhizium anisopliae growing in root

exudate and host (Manduca sexta) cuticule or hemolymph reveals mechanism of

physiological adaption. Fungal genetik and Biology. 42(8): 704-18.

Page 257: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

238

Page 258: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

239

STUDY OF REDUCTION PESTICIDE APPLICATION AND THEIR RESIDUE IN FARMERS

Yogi Purna Rahardjo1) , Sukarjo2) , Tina Febrianti1) dan Abdi Negara1) 1) Center Sulawesi Assessment Institute of Agriculture Technology, Jl. Lasoso, No. 2, Biromaru, Palu,

Sulawesi Tengah 94111, email: [email protected] 2) Indonesian Agricultural Environment Research Center, Pati, Jl. Raya Jakenan-Jaken km 05,

Sidomulti, Jakenan, Pati, Jawa Tengah 59182

Abstract. The Food Security Agency of Central Sulawesi reported some fresh samples of

agricultural products containing pesticide residues above the maximum residue limits. This

is presumably due to improper use of pesticides and tends to be excessive so that decrease

the quality of agricultural products. This study aimed to obtain information on the quality of

rice and pesticide residues in soils and the reduction application of pesticides by farmers.

The Pesticide residue research was conducted in three sub districts in the province of

Central Sulawesi and reduction pesticide application was carried out in the Purwosari

village, subdistrict of Torue, Parigi Moutong district conducted in February 2012-

September 2012. The results showed that lindane, chlorpyrifos and profenofos residues

were detected in soil while klorpirofos and profenofos residues were detected in rice. In

application of pest control procedures have not been able to change the beliefs of farmers to

reduce pesticide use. The financial calculation of reduction pesticide application has a value

of MBCR 0.04 indicating feasible technology. The rice varieties Inpari 13 and Beauveria

bassiana was able to suppress leafhoppers attack, although only done for one month.

Keywords: pesticide, residue, food security

Abstrak. Badan Ketahanan Pangan Sulawesi Tengah melaporkan beberapa contoh segar

produk pertanian yang mengandung residu pestisida di atas batas maksimum residu. Hal ini

diduga karena penggunaan pestisida yang tidak tepat dan cenderung berlebihan sehingga

menurunkan kualitas hasil pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi

tentang kualitas residu beras dan pestisida dalam tanah dan pengurangan penerapan aplikasi

pestisida di petani. Penelitian residu pestisida dilakukan di tiga kecamatan di provinsi

Sulawesi Tengah dan aplikasi pengurangan pestisida dilakukan di Desa Purwosari,

Kecamatan Torue, Kabupaten Parigi Moutong yang dilakukan pada bulan Februari 2012-

September 2012. Hasilnya menunjukkan bahwa lindane, klorpirifos dan residu profenofos

terdeteksi di tanah sedangkan klorpirofos dan residu profenofos terdeteksi pada padi.

Dalam penerapan prosedur pengendalian hama belum dapat mengubah kepercayaan petani

untuk mengurangi penggunaan pestisida. Perhitungan keuangan reduksi aplikasi pestisida

memiliki nilai MBCR 0,04 yang menunjukkan teknologi layak. Varietas padi Inpari 13 dan

Beauveria bassiana mampu menekan serangan wereng, meski hanya dilakukan selama satu

bulan aplikasinya.

Kata kunci: pestisida, residu, ketahanan pangan

25

Page 259: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

240

INTRODUCTION

Continuous rice intensification causes ecological changes and the creation of

monoculture agricultural ecosystems. This is a factor driving the appearance of certain

insects that can damage the plant. Agroecosystems in rice systems have low biotic and

genetic diversity and tend to be even less diverse (Untung, 1993) so it is very easy to

increase pest populations if a pesticide application is not as recommended (Mahfudin,

1995).

The use of pesticides requires adaptation (experience) and skill. There are numerous

factors that must be considered, such as pest indications, during spraying pests, dosage,

spraying techniques, and others (Djojosumartono, 2000). Ironically, this technology

potentially poses a danger, especially at critical moments of the mixing. In addition to

causing poisoning by direct contact with pesticides, the use of pesticides can pollute the

environment by allowing residues in the soil and parts of plants such as fruits, leaves, and

tubers. Monitoring of rice production centers in Java Island during 1996-2000 was detected

pesticide residues of organochlorine, organophosphate and carbamate groups in rice, soil,

irrigation water and reservoirs (Ardiwinata et al., 1999; Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al.,

1999). The existence of pesticide residues of organochlorine, organophosphate, and

carbamate groups was also found in vegetable farms in Wonosobo regency and

organochlorine with the active ingredient in carrots in North Sumatra (Sinulingga, 2006;

Wahyuni et al., 2008). Rahmawati et al. (2013) found residues of organochlorines in water

and river sediments, sprays, fish, and vegetables in the upper Citarum watershed region.

In Indonesia, since 1989 farmers and farmer groups have been trained to control

pests and diseases by joining Integrated Pest Field School/ IPFS (Untung, 1993). Beginning

in 2007, the Government raised the budget allocated for IPFS activities for food crops,

plantations, and horticulture. However, the success of the IPFS program has not been

correlated with the reduced use of pesticides (Trisyono, 2006). The fact that happened in

Indonesia is still far from expectations because the number of registered pesticides is

increasing from year to year. Increasing the number of pesticide formulations from 1336

formulation (2006) increased in 2008 to 1702 and 2475 formulations in 2012 (PPI, 2008:

Directorate of Fertilizers and Pesticides, 2012)

The increasing number of pesticides is caused by the number of registered generic

pesticides. There is even one active ingredient listed, with more than 10 trade names.

Increasing the number of trademarks of pesticides without been followed by an increase in

a number of active ingredients does not provide added value, especially in efforts to

minimize the risk of pesticide user. In certain cases, it will increase the risk (Trisyono,

2006).

Apart from the various laws and regulations, Law No.5 / 1990, Law No.5 / 1994 and

RI Law No.21 / 2004 on the Conservation of Biological Resources and Ecosystems have

been published, but the approach of using pesticides to control insect pests has limited. An

alternative approach is needed, one of which is based on ecological principles to maximize

biodiversity in agricultural ecosystems. Therefore, it is necessary to examine how the

application of pesticides at farmer level and pest control with ecological principles,

Page 260: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

241

approaches consisting of organic matter, activated charcoal, planting of plant at home of

natural enemies around the rice field, the use of pesticide according to economic threshold

and the use of the rat trap system.

Sunihardi (2007) also reported that removing weeds and tillers would reduce the

source of inoculums early in rice growing. Farmers are advised to make nurseries after the

land is cleared or to plant rice by sowing directly (tabela). On the road to plant rice with

tabela, the soil is cleaned and trimmed before the seeds are sown. Thus tungro inoculums,

in particular, has been reduced at the beginning of plant growth. Tabela will more

effectively reduce tungro attack when planting simultaneously at least 20 ha. If tabela

doesn’t plant simultaneously, so it will make last rice, which planted will have accumulated

vector and tungro inoculums.

This study aimed to obtain information on the condition of rice quality and pesticide

residues in paddy fields and reduce pesticides by farmers by providing several alternative

controls.

RESEARCH METHODS

The research was carried out in rice production center in Central Sulawesi in Kulawi

District, Sigi Biromaru Subdistrict, and Torue Subdistrict while reduction pesticide

application in Purwosari Village, Torue Subdistrict, Parigi Moutong, Central Sulawesi was

conducted on February 2012-September 2012.

1. Survey and interview method to identify pesticide use at farmer level. Collected soil

and rice sample in a farmer.

2. Reduction pesticide application was used one hectare of land in the planting season

(MT) I 2012 (around April-July 2012). The technology that used in Purwosari

Village, Torue District was presented in Table 1.

Table 1. Technology Applied In Reduction Pestice Application And Farmer Method

Technology Farmer Method Reduction Pesticide Technology

Fertilizer in one Hectare phonska 100 kg, urea 200 kg, Za

50 kg.

Phonska 300 kg, urea 200 kg and

petroganik 200

Disease-resistant

varieties

Ciherang and Inpari 13 Inpari 13

Trap lights - Trap lights used motorcycle battery

(accu); 3 unit/ha

Mice Control - TBS unit (10 x 10m

Bird net - Yes

Pesticide applications Preventive (time schedule) and

farmer observation

Depend on requirement

Non Pesticide

applications

- Bauveria bassina Application

Repetition 4 farmer 4 farmer (0.25 ha each)

Parameters observed include (a) plant height before harvest (b) a maximum number

of tillers during the pregnancy phase and the number of productive tillers before harvest.

(C) Grain yield based on tile 2.75 x 2.75 m and conversion on dry milled grain (ton / ha).

Growth data and results were analyzed statistically using variation analysis. Analysis of

Page 261: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

242

pesticide residues refers to SNI 06-6991.1-2004 and theirs modified (Dirjentan, 2006).

Pesticide residues were measured using Gas Chromatography (GC) and performed at the

Agrochemical Residual Materials Laboratory (Laladon-Bogor), Indonesian Agricultural

Environment Research Institute.

RESULTS AND DISCUSSION

Identification Of Pesticide Residues In Paddy Field

Identification of pesticide residues in a paddy field is intended to know the intensity

of pesticide use, pesticide variability, and suitability of its use. From the results of field,

search obtained that Kulawi subdistrict is identical with the use of the lowest intensity

pesticide, whereas Torue subdistrict is the highest intensity of pesticide use. In addition, the

type of active ingredients used in the Torue subdistrict also more varied. Farmers also do

pesticide application not only as a curative action but have shifted to preventive action. This

is, of course, a form of farmers mindset error in using pesticides. The use of pesticides in

the field is no longer dependent on the presence or absence of pest attack. Pesticides are

used on a scheduled basis rather than on the condition of the existing pests. Characteristics

of pesticide use based on active ingredients, dosage and type in Kulawi, Sigi Biromaru and

Torue subdistrict were presented in Table 2.

Table 2. Characteristics of the use of pesticides in the Subdistrict of Kulawi, Sigi Biromaru

and subdistrict of Torue.

Active ingredient Recommendations Kulawi Biromaru Torue Explanation

----------------------------cc/ha; g/ha-----------------------

2,4 Dimetil Amina 750-1500

1600 1000

BPMC 800-2000 2000

1000

Deltametrin 500

500 200

Not suitable for rice

(Horticulture

application)

synthetic pyrethroid

Difenolionazae 150-600

500

Dimehypo 750-1500

1000 1000

Fipronil 250-500

500

Imidakloprid ** 100

200

Isopropil Amina

Glifosat 3000 2000 1000

Used before planting

(systemic type)

Carbofuran 17000 15000 1700 42000

Klorpirifos ** -

Klorntraniliprol 480-720

400

Lambda-cyhalothrin 150-300 -

250

Mankozeb 1500-2250

1500

Metil metsulfuron 20 50

30

Oksadiargil 1000-1500

1500

Paraquat 1500-2000

1000

Page 262: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

243

Active ingredient Recommendations Kulawi Biromaru Torue Explanation

----------------------------cc/ha; g/ha-----------------------

Paraquat diklorida 1000-2000

1000

penoksulam 400-800 500

600

Permethrin 750

1000

Not suitable for rice

(Horticulture

application)

synthetic pyrethroid

Profoksidim 400-800

125 800

Saponin ** 400

Sipermetrin 250 200

Tiametoksam 100-150

100 3000

Triasulfuron 15 15 18 15

Farmers in Biromaru subdistrict generally use active herbicide triasulfuron and 2-4

dimethyl amine, which has the function of inhibiting weed growth. Types of carbamic

pesticides which contain carbofuran active ingredients were also commonly used by all

farmers, but the duration of pesticide of carbofuran had long enough; 26-110 days (WHO,

2003). This will lead to an increase in carbofuran residue in the soil.

Table 3. Pesticide residues in soil

Sample from

Administration area

Organoklorin*) group Organofosfat**) group Carbamat***) Group

Lindan Klorpirifos Profenofos Karbofuran

---------- mg/kg----------

Torue Sub district

Purwosari Village < LOD 0.751 0.186 0.044

Tolai Village 0.018 1.663 0.177 0.014

Tolai Induk Village 0.031 0.57 0.312 <LOD

Sigi Biromaru Sub

district

Sidondo 3 Village 0.056 0.582 0.46 0.014

Maranatha Village <LOD 0.612 0.16 <LOD

Budi Karawana

Village 0.011 1.329 0.103 0.045

Kulawi Sub District

Do Parase Village 0.028 0.389 0.216 0.014

Watukilo Village 0.02 0.785 0.217 0.058

Lawua Village 0.014 0.884 0.122 0.068

Description: LOD – limit of detection

*) Organochlorine groups: aldrin, dieldrin, DDT and endosulfan are not detected

**) Group of organophosphates: diazinon, metidation and malation are undetectable

***) Carbamate: carbamate and BPMC are not detected

Page 263: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

244

Few farmers used pesticides as recommended. The use of synthetic pyrethroid

(permethrin and deltamethrin) in rice is suspected to cause pest explosions, especially

brown planthopper due to an excessive and continuous application. The use of pesticides

from wide-spectrum synthetic pyrethroid groups will kill all insects such as caterpillars,

butterflies, beetles, lice, grasshoppers, and easily enter the various lines of plants and pests.

Synthetic pyrethroid has a relatively cheap price that is very affordable farmers. In addition,

synthetic pyrethroid provides a rapid effect, so favored by farmers. In Table 3, there is not

only carbofuran as active pesticides and found in the soil, but also there are types of

pesticides derived from the class of organophosphate and organochlorine like lindane

(organochlorine), chlorpyrifos and profenofos.

Table 4. Pesticide residues in rice

Sample from

Administration area

Organoklorin*) group Organofosfat**) group

Aldrin Dieldrin Metidation Klorpirifos Profenofos

------ mg/kg ------

Torue Sub district Purwosari Village <LOD <LOD 0.037 <LOD <LOD

Tolai Village <LOD <LOD <LOD 0.0031 <LOD

Tolai Induk Village 0.0037 <LOD <LOD <LOD <LOD

Sigi Biromaru Sub district

Sidondo 3 Village <LOD <LOD <LOD <LOD <LOD

Maranatha Village <LOD <LOD <LOD 0.0061 <LOD

Budi Karawana Village <LOD 0.0048 <LOD <LOD 0.0052

Kulawi Sub District

Do Parase Village <LOD <LOD <LOD 0.0043 0.0058

Watukilo Village <LOD <LOD <LOD 0.0054 <LOD

Lawua Village 0.0066 <LOD <LOD <LOD <LOD

Description: LOD – limit of detection

*) Organochlorine groups: aldrin, dieldrin, DDT and endosulfan are not detected

**) Group of organophosphates: diazinon, metidation and malation are undetectable

***) Carbamate: carbamate and BPMC are not detected

Lindane or Gamma group (-HCH) is a pesticide that has been banned in Indonesia

based on Agriculture Ministry Rules no 24/Permentan/SR.144/2011. Lindane which is a

group of organochlorines is very persistent, not easy to decompose and tend to accumulate

in the end chain of animal fat tissue. Farmers from Torue, Sigi Biromaru and Kulawi sub-

districts do not use any kind of pesticide with lindane as an active ingredient, so it is

probably lindane which found in the soil are the remaining residual pesticides in soil.

Lindane as active ingredients were also detected in rice with concentrations of 0.0037

mg/kg in Tolai Induk Village, Torue Sub-district, 0.0066 mg/kg in Lawua Village, Kulawi

District. The concentration of lindane residues in the rice has exceeded the standard ADI

(Acceptable daily intake) of 0.001 mg/kg (IPCS, 1998).

Chlorpyrifos is organophosphorus pesticides/insecticides that can inhibit

cholinesterase (CHE) enzymes in targeted insects. Organo-phosphoric pesticides are

generally more rapidly decomposed than organo-chlorines which are not bio-accumulative

Page 264: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

245

(accumulating chains of last food) (Galt, 2014). Chlorpyrifos are toxic with oral LD50

(rats) of 135-163 mg/kg body weight (Meister, 1989 cit Guo-Ross, 2007). Tables 3 showed

that all soils are contaminated with chlorpyrifos, and most of the rice (Table 4) had

chlorpyrifos with a concentration lower than the ADI concentration (0.010 mg/kg). The

high residual chlorpyrifos in the soil may be due to a half-life in a soil in relatively long;

60-120 days (U.S. Department of Health and Human Services, 1997) so it is reasonable that

the amount is relatively high in a soil.

Reduction Pesticide Application

Table 5. Rice growth parameters

Description Improvement

Application Farmers

Plant Height (cm) 117.7 105.5

Number of maximum tillers 20.3 17

Number of productive tillers 14.45 11

Prediction yield from square (kg) 3.95 3.45

Yield (ton/ha, GKG) 6.32 5.52

In Table 5, it is shown that the treatment of increased quantity NPK/phonska

fertilizer, TBS rat-trap, nest bird and required pesticide application had impact to higher

yield and growth indicator of paddy compared to the farmer’s method. The use of resistant

varieties Inpari 13 and Beauveria bassiana able to suppress the aphid attack. During the

growth until harvest the rate of attack of aphis very small. Research Ladja et al. (2011) by

using Beauveria bassiana can suppress the growth of green leafhoppers and tungro disease.

Supported by Inpari 13 varieties that are resistant to tungro then both can minimize the

attack of aphis and tungro. This of course also results in reduced use of pesticides. In

planting on the demplot plot it was reported that the lack of attack on the brown plant

hopper is quite low or 3% (pest observers officer’s analysis), whereas in the previous

planting season the attack was high enough for 20%.

Financial Analysis Of Reduce Pesticide Application

In principle, this study does not require excessive use of pesticides, especially at the

end of the approaching harvest (14 days before harvest) and reducing synthetic pyrethroid

pesticides. Farmers also still have decided on the use of pesticides if it should be spraying

it. Table 6 shows the use of pesticides prior to the study and demonstration plots based on

time stages.

Page 265: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

246

Table 6. Comparison of pesticide application before and after the study

Growth Stage Pesticide/ Non

Pesticide

Before Study In Study Purpose

Dosage Dosage

Land

Preparation

Gramoxone 1000 ml 2000 ml Herbicide

Logran 10 sachet

@1,5gram -

Pre grown herbicide

(weed seed control)

Raft 1500 ml 1000 ml Herbicide

DMA 6 800 ml Herbicide full grown

7-12 Day after

planting

(DAP)

Tetris 800 ml - Herbicide full grown

Kliper 60 ml - Selective Herbicide

Win 10 sachet - Herbicide full grown

Medzul - 18 sachet Herbicide full grown

Abolisi - 1000 ml Selective Herbicide

(systemic)

15 DAP Virtako 100 ml - Insecticide

20 DAP Bauveria bassina - 1 package Bio-Insecticide

26 DAP Manuver 200 ml Insecticide

Kardan 2 sachet Insecticide

29 DAP Virtako 100 ml - Insecticide

30 DAP Bauveria bassina - 1 package Bio-Insecticide

42 DAP Virtako 100 ml - Insecticide

45 DAP Bauveria bassina 1 package Bio-Insecticide

57 DAP

Regent 200 ml - Insecticide

Score 150 ml - Fungicide

Virtako 100 ml Insecticide

60 DAP Bauveria bassina 1 package Bio-Insecticide

65 DAP Darmabas 400 ml Insecticide

Starmek 1000 ml Insecticide

67 DAP

Regent 200 ml - Insecticide

Score 150 ml 150 ml Fungicide

Furadan 20 kg 15 kg Systemic Insecticide

70 DAP Spontan 1000 ml Insecticide

Darmabas 400 ml Insecticide

77 DAP Decis 200 ml - Insecticide

The technology which is applied in a study should have a financial benefit, the

calculation of income compared with the cost of the application of technology will

encourage farmers to apply. Comparison of R/C application of reduced pesticide

technology is presented in Table 7.

In Table 7 showed that the R/C ratio of reducing pesticide applied is 2.06 better

than the R/C calculation before the study (2.02). This means that the value of MBCR 0.04

(the positive value indicates a feasible technology if it is applied).

Page 266: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

247

Table 7. Comparing cost and income analysis in the study (1 ha)

Analysis Before

Study* In Study Explanation

A. Cost/Spending (Rp)

Input item

- Seed 440.000 440,000

- Fertilizer 683.000 1,220,000 Addition NPK 200 kg in

study application

- Pesticide 2.086.000 1,684,050 Cost reduction 19,29% in

study application

Labor 5.103.400 5,448,400

- Land Preparation 1.200.000 1,200,000

- Seedling/ seed

treatment 100.000 100,000 tabela (direct planting used

equipment) - Planting 125.000 125,000

- Fertilizer 100.000 100,000

- Spraying

Pesticide/BB 600.000 600,000

- Harvest 1.200.000 1,200,000

Transportation 150.000 150,000

Milling 1.628.000 1,973,400 Milling cost (1:9)

TBS-Rat Trap 177,350 TBS Cost divides by 25. (1

TBS for 25 Ha)

Light Traps 220,000 2 unit Light Traps

Beauveria bassiana 400,000

Bird Nest 250,000

- Charcoal in fertilizer

mix 200,000

Total Cost 10.091.400 12,163,200

B. Revenue

- Yield Rice (kg) 2.950 3.575

- Price 6.900 7.000

- Total Revenue 20.355.000 25.025.000

R/C ratio 2,02 2,06

MBCR 0,04

The value of MBCR is

positive, technology is

feasible

* One planting season before (previous 3 month)

CONCLUSION

1. The soil of rice fields in Torue and Kulawi subdistrict detected lindane residues with

concentrations 0.0037 mg/kg and 0.0066 mg/kg and in Sigi Biromaru subdistrict

detected aldrin compounds with concentrations of 0.0048 mg/kg. It also detected

compound metidation (0.037 mg/kg) and Chlorpyrifos compound 0.0031 mg/kg in

Torue sub district, 0.0061 mg/kg Chlorpyrifos in Sigi Biromaru sub district, 0.0043-

0.0054 mg/kg Chlorpyrifos in Kulawi subdistrict 0.0052 mg/kg in Sigi Biromaru

subdistrict and 0.0058 mg/kg in Kulawi subdistrict also found Profenofos as an active

agent.

Page 267: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

248

2. Reduction pesticide application by using Inpari 13 as varieties and Beauveria bassiana

able to hold out aphids attack and based on the calculation of financial analysis that is

known value of MBCR 0.04.

REFERENCES

Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring Residu Insektisida Di

Jawa Barat. Hal 91-105 Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah

Kaca Dan Peningkatan Produktivitas Padi Di Lahan Sawah. Bogor 24 April 1999.

Puslittanak, Badan Litbang, Deptan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pupuk Dan Pestisida. 2012. Pestisida Untuk Pertanian Dan Kehutanan.

Direktorat Pupuk Dan Pestisida. Departemen Pertanian. Jakarta. Hal : 879.

Djojosumartono, P. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Jogjakarta. 211

Hal.

Galt, R.E. 2014. Food Systems in an Unequal World: Pesticides, Vegetables, and Agrarian

Capitalism in Costa Rica. University of Arizona Press, 27 Mar 2014 - 304 page

Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu Insektisida Pada

Ekosistem Lahan Sawah Irigasi Di Jawa Timur. Hal 119-128 Dalam Risalah

Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca Dan Peningkatan Produktivitas

Padi Di Lahan Sawah. Bogor 24 April 1999. Puslittanak, Badan Litbang, Deptan.

Jakarta.

IPCS (International Program On Chemical Safety), 1998. Inventory Of Ipcs And Other

Who Pesticide Evaluations And Summary Of Toxicological Evaluation Performed

By The Joint Committee On Pesticide Residues (Jmpr). Who,Ipcs, 99.1. Geneva :

World Health Organization.

Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran Pestisida Pada

Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi Dan Tadah Hujan Di Jawa Tengah. Hal 106-

118 Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca Dan

Peningkatan Produktivitas Padi Di Lahan Sawah. Bogor 24 April 1999. Puslittanak,

Badan Litbang, Deptan. Jakarta.

Ladja, F.T., T. Santoso, dan E. Nurhayati. 2011. Potensi Cendawan Entomopatogen

Verticillium Lecanii Dan Beauveria Bassiana Dalam Mengendalikan Wereng Hijau

Dan Menekan Intensitas Penyakit Tungro. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman

Pangan 30(2): 114-120.

Mahfudin. 1995. Pelestarian Sumberdaya Alam Dan Pertanian Berwawasan Lingkungan.

Badan Agribisnis Departemen Pertanian/Tim Teknis Koinisi Amdal Pusat

Departemen Pertanian. Jakarta.

Meister, R.T. 1989. Farm Chemicals Handbook, pp. C1–C326. Meister Publishing Co,

Willoughby, OH in SX.Guo-Ross, JE. Chambers, E C. Meek, R L. Carr. 2007.

Altered Muscarinic Acetylcholine Receptor Subtype Binding in Neonatal Rat Brain

following Exposure to Chlorpyrifos or Methyl Parathion. Toxicological Sciences

100(1), 118–127, doi:10.1093/toxsci/kfm195

Muktamar, Z., S. Faryani, dan N. Setyowati, 2003. Adsorpsi Paraquat Oleh Bahan Mineral

Ultisol Dan Entisol Pada Berbagai Konsentrasi. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian

Indonesia 5(2): 40-47.

Page 268: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

249

Pertiwi, E.N., G. Mudjiono, dan R. Rachmawati. 2013. Hubungan Populasi Ngengat

Penggerek Batang Padi Yang Tertangkap Perangkap Lampu Dengan Intensitas

Serangan Penggerek Batang Padi Di Sekitarnya. Jurnal HPT 1(2): 88-95.

PPI Deptan. 2008. Pestisida Pertanian Dan Kehutanan. Pusat Perijinan Dan Investasi.

Departemen Pertanian. Jakarta.

Rahmawati, S., G. Margana, M. Yoneda, dan K. Oginawati. 2013. Organochlorine Pesticide

In Catfish (Clarias Sp.) Collected From Local Fish Cultivation At Citarum

Watershed, West Java Province, Indonesia. Procedia Environmental Science 17P: 3-

10.

Sinulingga. 2006. Telaah Residu Organoklorin Pada Wortel Daucus Carota L. Di Kawasan

Sentra Produksi Kab. Karo Sumut. Jurnal Sistem Teknik Industri 7(1): 92-97

[Online].

Sudarmaji dan A.W. Anggoro. 2006. Pengendalian Tikus Sawah Dengan Sistem Bubu

Perangkap Di Ekosistem Sawah Irigasi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman

Pangan. 25(1): 57-65.

Sunihardi. 2007. Pengendalian Penyakit Tungro. Http://Pangan.Litbang.Deptan.Go.Id/

Access 2012

Trisyono, Y.A. 2006. Refleksi dan Tuntutan Perlunya Manajemen Pestisida. Pidato

Pengukuhan Guru Besar Ugm Yogyakarta.

Untung, K. 1993. Konsep Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset. Yogyakarta.

U.S. Department Of Health And Human Services, 1997. Toxicological Profile For

Chlorpyrifos. U.S. Department Of Health And Human Services, Agency For Toxic

Substances And Disease Registry, Public Health Service: Atlanta.

Wahyuni, S., Indratin, dan Asep Kurnia. 2008. Residu Pestisida di Sentra Produksi Kentang

di Wonosobo. Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008. Puslitbanghorti.

Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Hal 276-284.

Wahyuni, S., Indratin dan Poniman. 2014. Pengkayaan Mikroba Konsorsia pada Urea

Berlapis Arang Aktif dapat Mempercepat Penurunan Insektisida Aldrin di Lahan

Sawah. Jurnal Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya. 11(1): 402-407.

WHO. 2003. Guidelines For Drinking-Water Quality, 3rd Ed. [Online]

Http://Www.Who.Int/Docstore/Water_Sanitation_Health/Gdwq/Draftchmicals/Carb

o-Furan2003.Pdf Access 2014.

Page 269: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

250

Page 270: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

251

DEGRADATION OF DIELDRIN USING CONSORSIA MICROBES AND COMPOST MANURE IN SOIL

Asep Kurnia, E.S. Harsanti and A.N. Ardiwinata

Indonesian Agricultural Environment Research Institute, Jl. Raya Jakenan- Jaken Km 05 Pati Jawa

Tengah 59182, Telp. 0295-381592; e-mail : [email protected]

Abstract. Dieldrin is one of organochlorine pesticides that has high toxicity and persistent

in the environment. Nowadays, the use of this pesticide has restricted for agriculture.

However, residue of dieldrin is still detected in several agricultural areas in Indonesia.

Some efforts to eliminate dieldrin residue in the environment are needed, i.e. using

degrading microbes and organic matter. The aim of experiment was to determine effect of

consorsia microbes and compost manure on dieldrine degradation in soil. The experiment

was carried out at screen house of IAERI using andisol as media. The experiment was

arranged in factorial randomized complete block design with 3 replicates. First factor was 4

treatments of manure that is B0 = without compost, B1= compost of chicken manure, B2=

compost of cow manure, B3= Commercial Compost. Second factor was 2 treatments of

microbe that is M0 = without microbe, M1= consorsia microbes. The observed variables

included (1) Initial soil chemical properties, organic C, pH of final soils (2) pesticide

residues on initial, final soils and crop uptake. The research result showed all treatments

had effect on degradation dieldrin whereas the degradation index value was in range 0.1-

1.4. The treatment also had effect on decrease of dieldrin hazard whereas the hazard index

was 0.09-1. According to the first-order kinetic parameters of degradation, the half life

(LT50) in this experiment was in range 8.7-14.5 day.

Keywords : Dieldrin, Microbe, Compost Manure

Abstrak. Dieldrin merupakan insektisida golongan organoklorin yang mempunyai toksisitas

dan persistensi yang tinggi di lingkungan. Saat ini, penggunaan dieldrin untuk pertanian

telah dilarang. Akan tetapi, residu dieldrin masih terdeteksi di beberapa area pertanian di

Indonesia. Oleh karena itu perlu usaha untuk menurunkan residu dieldrin di lingkungan

antara lain dengan menggunakan mikroba dan bahan organik. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh dari mikroba konsorsia dan kompos terhadap degradasi

dieldrin dalam tanah. Penelitian dilaksanakan di rumah kasa Balingtan menggunakan tanah

andisol sebagai media. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan

2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah 4 perlakuan kompos yaitu tanpa kompos

(B0), kompos pupuk kandang ayam (B1), kompos pupuk kandang sapi (B2), kompos

komersial (B3). Faktor kedua adalah 2 perlakuan mikroba yaitu tanpa mikroba (M0) dan

mikroba konsorsia (M1). Parameter pengamatan meliputi analisis kimia tanah awal dan

residu dieldrin di awal, akhir dan terserap tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

semua perlakuan mempunyai pengaruh terhadap degradasi dieldrin dengan indeks

degradasi berkisar 0,1 sampai 0,4. Perlakuan juga dapat menurunkan indeks bahaya dari

dieldrin yang berkisar 0,09 sampai 1. Berdasarkan parameter orde kinetic pertama, waktu

paruh dieldrin pada berbagai perlakuan berkisar antara 8,7 sampai 14,5 hari.

Kata kunci : Dieldrin, mikroba, kompos

26

Page 271: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

252

INTRODUCTION

Dieldrin is one of organochlorine pesticides with high toxicity that widely used in

the past for agricultural pest control (Chiu et al., 2005). It was become an effective

insecticide to control insect in agriculture and was widely used since 1950 until 1970 as

substitutes of DDT (Buser et al., 2009; Matsumotoet al., 2008). In long term exposure it is

very toxic to several animal including human and causing some health problems such

as parkinson's, breast cancer, and immune, reproductive, and nervous system damage. It is

also an endocrine disruptor, acting as an estrogen and antiandrogen, and can adversely

affect testicular descent in the fetus if a pregnant woman is exposed it (Andersen et al,

2002). This insecticides was extremely persistent organic pollutant that difficult to be

degraded and tend to biomagnified as it is pass long on food chain. The dieldrin use in past

decades caused anaccumulation of residue in part of manyecosystems including in water,

soil and plants. Dieldrin is still found in the environment even morethan 30 years since its

prohibition(Derelanko and Hollinger, 2002; Buser et al., 2009; Hashimoto, 2005).

Some researchers reported that the most successful of degradation of diedrin were

microbes utilization, although some researches also stated that dieldrin can be slowly

degraded using mammals and insects. Studies showed that anaerobic microbial degradation

of diedrin were the most executed research than using aerobic microbial (Matsumura and

Boush, 1967). Some fungies were effective in degrading diedrin such as Trichoderma

viride, Phanerochaetechrysosporium and Trametes versicolor (Kamei et al., 2010) in which

Trichoderma spisolated from soil was able to degrade dieldrin as much as 19.7% after 14

days of incubation (Kataoka et al., 2010).

Some researchers reported that residue of dieldrin is still detected in several

agricultural areas in Indonesia. Some efforts to eliminate dieldrin residue in the

environment are needed, i.e. using degrading microbes and organic matter. The aim of

experiment was to determine effect of consortia microbes and compost manure on dieldrin

degradation in soil.

MATERIAL AND METHODS

Soil

Soil sample was collected from vegetables arable land in Citarum watershed area.

This location is intensively area on using pesticides in last four decades. Previous research

by Bandung Technology Universityin 2009 and Indonesian Agricultural Environment

Research Institute in 2008 on upstream area of Citarum watershed were detected some

organochlorine pesticides such as endosulfan, dieldrin, DDT, heptachlor, endrin, aldrin, and

lindane.

Chemicals and Microbe

Dieldrin standard with purity 99,4% was obtained from chemservice, USA. Acetone,

n-hexane, alcohol, dichloromethane, anhydrous sodium sulphate, potassium hydroxide were

analytical grade obtained from Merck, Germany. Cellite 545 was obtained from Sigma

Aldrich, Japan. 1000 ppm standard stock solution was diluted used aceton.

Page 272: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

253

Isolate of bacteria and fungi is an isolate of Soil Biology Laboratory of Soil

Science Department of Agricultural Faculty, Padjadjaran University. Bacterial isolates of

Bacillus mycoides and Pseudomonas mallei were isolated from corn rhizosphere whereas

the fungal isolates of Aspergillus oryzae and Trichoderma sp. isolated from oil palm empty

bunches.Selected screening results were Pseudomonas mallei and Trichoderma sp.

Apparatus

The apparatus for soil sampling were consisted of drill ground, the Global

Positioning System (GPS), plastic bags, plastic tube, small spray equipment. The apparatus

for the physical and chemical soil analysis were consisted of pH meter, soil

temperaturemeter, nitrogen Kjeldahl system, oven, spectrophotometer. The apparatus for

dieldrin residue analysis were consisted of a gas chromatograph Shimadzu 2014 equipped

with electron capture detector (ECD), shaker, and rotating vacuum evaporator.

Biodegradation of Dieldrin in Soil

As initial preparation step, soil and compost were sterilized, and mustard greens

were seeded. The study was arranged in a factorial randomized completeblock design with

2 factors and 3 replications. The first factor is 4 treatments that is B0 = no compost, B1 =

chicken compost, B2 = cow compost, B3 = Commercial compost. The second factor is 2

treatments that is M0 = without microbe, M1 = consorsia microbes. Soil of andisol 2 kg was

inserted into the polybag and added compost: 20 t / ha, mixed well then added the liquid

inoculant microbe: density 107 cfu (spore) / ml with volume 200 ml and stirred back evenly.

After 3 days incubation, the soil media was contaminated with 10 mL of dieldrin compound

at 5 ppm concentration. After a day incubation, the mustard plant was ready to be planted.

Fertilization of N, P, and K were done as recommended. Plants were kept until one month.

The observed variables included (1) Initial soil chemical properties, organic C, pH of final

soils (2) pesticide residues on initial and final soils.

Data Analysis

The dieldrin degradation index (DI) was determined using formula DI= (Cw-

Cwt)/Cwt, where Cw is treatment concentration, and Cwt is non treatment concentration.

The total exposure was calculated by means of estimated dailyintake (EDI) (World

Health Organization, 1997) as follows:EDI =Σ(Fi x RLi)/bw, where EDI is estimated daily

intake; Fi, consumption of foodcommodity; RLi , median of the residue level in the

vegetable; andbw, body weight of 65 kg.The long-term risk assessment of vegetable intake

compared tothe pesticide toxicological data was estimated by means of theHazard Quotient

(HQ) by dividing the estimated daily intakes bythe acceptable daily intake (ADI), HQ

=(EDI/ADI) x 100. HI (Hazard Index) = (HQw-HQwt)/HQwt, where HQw is treatment

concentration, and HQwt is non treatment concentration

The dieldrin degradation rate constants (k) was determinedusing the kinetic model

Ct = C0x e-kt, where C0 isthe initial concentration at time zero, Ct is the concentrationat time

t, t is the degradation period in days, and k is the rateconstant (d-1). The half life (T1/2) of

dieldrin wasdetermined using the algorithm T1/2 = ln2/k. Regression Equation were

calculatedfrom linear equation between ln(Ct /C0 ) of chemical data andtime (Zhao et al.,

2012).

Page 273: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

254

Chemical Analysis

Residual analysis of dieldrin in soil sampleswas performed according to SNI 06-

6991.1-2004. Residual pesticide was extracted by adding either 25 g soil sample to 100 ml

of acetone in a flask.The mixture was filtered using Buchner funnel aftershaking for 1 h and

the obtained residue was evaporated using rotary vacuum evaporator, after that clean up

using anhydrate sodium sulphate and florisil in chromatography tube with 50 ml n-hexane

as elution solvent, after that evaporated again until 1 ml and adding thoroughly with 10 ml

acetone.

Gas Chromatography Analysis

Dieldrin concentration was measured using GC Shimadzu 2014 equipped with an

electron capture detector (ECD), Nitrogen as mobile phase, and PEG as stationary phase.

GC was installed with injector temperature of 250oC, column temperature of 230oC, and

detector temperature of 250oC. Data was processed using GC solution system. Volume

injection was 10 μL with analysis time 20 min at a flow rate of 1 mL min-1.The calibration

curves of dieldrin was made from the serial dilutions of the samplesdissolved in 100 %

acetone. The linear range and theequation of linear regression were obtained sequentially

at0-1 mg/L at interval of 0.2. Mean areas generated fromthe standard solution were plotted

against concentration toestablish the calibration equation. The concentration of dieldrin was

determined on the basis of thepeak areas in the chromatograms.

RESULTS AND DISCUSSION

Soil properties

According to USDA (2005), soil was characteristed by clay loam texture in which

comparison of sand, silt and clay were 32:30:38, respectively. Table 1 showed that cation

exchange capacity (CEC) was high category, organic carbon and total nitrogen were

medium, phosphor was high and potassium was very high (ISRI, 2005), while dieldrin

residue was not detected. Pesticides behavior in soil is affected by some factor such as soil

physic, biology and chemistry include sorption and desorption, volatilization, chemo and

biodegradation, crop uptake, run off, and leaching. Itis related to characteristic of pesticides

chemistry and soil chemistry, particularly on degradation process. Degradation is

fundamental factor on determination pesticides residue in soil. Degradation is affected by

biotic and abiotic factor, include enzymatic catalysis by microorganism. Degradation is

affected by soil organic matter content, and pesticides are bond covalently with soil humic

and become part of soil humic. Sorption energy depends on soil pH, clay, and Fe2O3 oxide

level (Estevez et al., 2008).

pH of treated soils were 6.34-6.51 in range, while organic carbon 3.00-3.52 in range.

There were increase of organic carbon content after adding of organic matter, while pH

near to netral pH (Table 2). According to Dyson et al. (2002) that adsorption and

degradation of pesticides are affected by pH and organic matter. This condition could

increase microorganism activity in soil so it could increase degradation activity of dieldrin.

There were no significant different pH and organic carbon between each treatments on 30

days after planting.

Page 274: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

255

Tabel 1. Initial soil properties

*ND= NO Detection, Limit of detection DDT = 0,0032 mg/kg, Limit of detection Dieldrin = 0,0045

mg/kg

Table 2. Average of soil pH dan C-organic on 30 days after planting (DAP)

No. Treatment pH Organic carbon

%

1 M0B0 6.49 3.00

2 M0B1 6.51 3.52

3 M0B2 6.40 3.07

4 M0B3 6.34 3.09

5 M1B0 6.41 3.33

6 M1B1 6.50 3.52

7 M1B2 6.42 3.09

8 M1B3 6.54 3.16

Table 3 showed that initial concentration of each treatments ranged 0.059-0.116

μg/g, while final concentration ranged 0.009-0.018 μg/g. In Final, some treatments had

bigger dieldrin residue than M0B0 non treatment. This is attributed that soil organic matter

can compete with target compounds for hydroxyl radicals, thusslowing down the

degradation of target compounds(Kanel et al., 2003). The smallest percentage dieldrin

concentration at the final was 9.2% (M0B2), while the biggest was 23.7% (M0B1). In

without treatment (M0B0), Dieldrin concentration in crop uptaked from 0-0.004

No. Properties Unit Value

1 Water content

%

11.02

2 Texture Sand 32

Silt 30

Clay 38

3 CEC cmol(+)/Kg 25.99

4 Organic carbon %

2.80

5 Total nitrogen 0.39

6 P-Olsen ppm 107

7 K-HCl mg/100 g 41

8 Pesticides residue DDT

mg/kg

ND*

Endosulfan 0.013

Dieldrin ND*

Heptaklor 0.017

Page 275: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

256

μg/gbecome 0.004 μg/g (~6.2%). According to final and uptaked concentration, the

decreasing of residue in the soil were in range 0.044-0.105 μg/g (74-90.8 %). Degradation

effect of each treatment was indicated by value of degradation index that obtained 0.1-1.4

in which the biggest is 1.4 (M0B2), it means degradation power of M0B2 1.4 time bigger

than M0B0. Concentration of dieldrine residue decreased in all condition include without

microbe and compost, because pesticides behavior in soil is affected not only one factor,

but many such as soil physic, biology and chemistry include sorption and desorption,

volatilization, chemo and biodegradation, crop uptake, run off, and leaching in which all

processing is related to characteristic of pesticides chemistry and soil chemistry, but

degradation is fundamental factor on determination pesticides residue level in soil (Estevez

et al., 2008). Naturally, dieldrin residue in soil was decrease in which only a little part of

dieldrin was uptake to the crop (0-6.2%) and large number of pesticide was loss that could

causing by volatilization, degradation, or leaching (74-90.8%). While another research

showed that only 10% of dieldrin was observed after 14 days (Birolli et al., 2015).

Table 3. Concentration of dieldrin residue in soil, crop and its degradation

Treatment

Code

Initial Final Uptaked Decreasing Degradation

Index μg/g μg/g % μg/g % μg/g %

M0B0 0.059 0.012 19.8 0.004 6.2 0.044 74.0

M0B1 0.066 0.016 23.7 0.001 2.0 0.049 74.2 0.1

M0B2 0.116 0.011 9.2 0.000 0.0 0.105 90.8 1.4

M0B3 0.082 0.016 19.1 0.002 2.0 0.065 78.9 0.5

M1B0 0.065 0.009 13.9 0.003 5.2 0.052 80.9 0.2

M1B1 0.101 0.012 12.2 0.000 0.0 0.089 87.8 1.0

M1B2 0.059 0.010 16.3 0.003 5.1 0.047 78.7 0.1

M1B3 0.103 0.018 17.2 0.000 0.0 0.085 82.8 0.9

The risk assessment from vegetable intake was estimated inorder to plot the degree

of pesticides present in the diet (Lemos et al, 2016). To do this, the average of the uptaked

concentrations was used.The long-term risk was estimated in adults by means of the hazard

quotient (HQ). For this, the estimated daily intake (EDI), together with the acceptable daily

intake (ADI), was taken into account. Effect of treatments to HQ was estimated by hazard

index (HI). The data was showed that application of the consortia microbes and compost

manure individually or mixed gave the effect on decrease of HI which mean it has a

significant function to depress the effect of pesticides residue on human health. The value

of HI ranged from -0.18 to – 1.00 (Table 4), in which negative sign means there was

decreases and -1.00 means absolute value or without hazard at all.

Page 276: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

257

Table. 4. Long term risk assessment of vegetable intake

Treatment

Code

Uptaked

(μg/g)

EDI (x10-7 )

(mg/Kg/bw/day)

ADI

(mg/Kg/bw/day)

HQ

(%) HI

M0B0 0.004 9.22 0.0001 0.92

M0B1 0.001 3.35 0.0001 0.34 -0.64

M0B2 0.000 0.00 0.0001 0.00 -1.00

M0B3 0.002 4.19 0.0001 0.42 -0.55

M1B0 0.003 8.38 0.0001 0.84 -0.09

M1B1 0.000 0.00 0.0001 0.00 -1.00

M1B2 0.003 7.54 0.0001 0.75 -0.18

M1B3 0.000 0.00 0.0001 0.00 -1.00

Degradation kinetics of dieldrine is a first order reaction (Zhao et al., 2012). Based

on the first-order reaction model, degradation rate constant, and half-life period of the

dieldrin were calculated from the Table 3 and are listed in Table 5. The data showed that

dieldrin degradation in soil were increased by microbe and compost treatment except

M0B1. The rate constant (k) ranged 0.0479 to 0.0795 in which the biggest rate was M0B2.

This means that cow compost was more accelerated the degradation of dieldrin than other

treatment. Rate of half-life period ranged 8.7-14.5 day. According to rate of half-life

period, the treatment of cow compost was the shortest with value 8.7 day.

Table. 5. The first-order kinetic parameters of degradation of dieldrin

Treatment Code Regression Equation k (d-1) t1/2 (d)

M0B0 Ct=0.059e-0.0540t 0.0540 12.8

M0B1 Ct=0.066e-0.0479t 0.0479 14.5

M0B2 Ct=0.116e-0.0795t 0.0795 8.7

M0B3 Ct=0.082e-0.0552t 0.0552 12.6

M1B0 Ct=0.065e-0.0657t 0.0657 10.5

M1B1 Ct=0.101e-0.0701t 0.0701 9.9

M1B2 Ct=0.059e-0.0605t 0.0605 11.5

M1B3 Ct=0.103e-0.0587t 0.0587 11.8

CONCLUSION

The all treatments had effect on degradation dieldrin with the degradation index

value ranged 0.1-1.4.The treatments also had effect on decrease of dieldrin hazard whereas

the hazard index was 0.09-1. According to the first-order kinetic parameters of degradation,

Page 277: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

258

the half life (LT50) in this experiment was in range 8.7-14.5 day. Cow compost was became

the most effective treatment on degradation dieldrin.

SUGGESTION

It is important to find out more the mechanism of relation compost and microbe on

degradation dieldrin, it is antagonism or mutual effect.

AKNOWLEDGEMENT

Our gratitude goes to all member of research team, integrated laboratory team, and

EP3 team for cooperation and support during our research. Also special gratitude goes to

IAARD who has available funding for our research.

REFERENCES

Andersen, R.H., A.M. Vinggaard, T.H. Rasmussen, I.M. Gjermandsen, and E.C. Bonefeld-

Jørgensen. 2002. Effects of currently used pesticides in assays for estrogenicity,

androgenicity, and aromatase activity in vitro. Toxicology and Applied

Pharmacology 179 (1): 1–12. doi:10.1006/taap.2001.9347. ISSN 0041-008X.

Birolli, W.G., K.Y. Yamamoto, J.R. de Oliveira, M. Nitschke, M.H.R. Seleghim, and

A.L.M. Porto. 2015. Biotransformation of dieldrin by the marine fungus Penicillium

miczynskii CBMAI 930. Biocatalysis and Agricultural Biotechnology 4: 39–43.

Buser, H.R., M.D. Mueller, I.J. Buerge, and T. Poiger. 2009. composition of aldrin,

dieldrin, and photo dieldrin enantiomers in technical and environmental samples. J.

Agric. Food Chem. 57: 7445–7452.

Chiu, T.C., J.H. Yen, Y.N. Hsieh, and Y.S. Wang. 2005. Reductive transformation of

dieldrin under anaerobic sediment culture. Chemosphere 60: 1182–1189.

Derelanko, M.J., and M.A. Hollinger. 2002. Handbook of Toxicology. Taylor &

Francis,New Jersey.

Dyson J.S. , S. Beulke, C.D. Brown, and M.C.G. Lane. 2002. Adsorption and degradation

of theweak acid mesotrione in soil and environmental fate implications. J. Environ.

Qual. 31:613–618.

Estevez M.A, E. Lopez-Periago, E. Martınez-Carballo, J. Simal-Gandara, J. Mejuto, and L.

Garcıa-Rıo. 2008. The mobility and degradation of pesticides in soils andthe

pollution of groundwater resources. Agriculture, Ecosystemsand Environment123:

247–260.

Hashimoto, Y. 2005. Dieldrin residue in the soil and cucumber from agricultural field in

Tokyo. J. Pestic. Sci. 30: 397–402.

Kamei, I., K. Takagi, and R. Kondo. 2010. Bioconversion of dieldrin by wood-rotting

fungi and metabolite detection. Pest Manag. Sci. 66: 888–891.

Kanel, S.R., et al. 2003. Heterogenous catalyc oxidation of phenanthrene by hydrogen

peroxide in soil slurry: Kinetics, mechanism, and implication. Soil Sediment

Contam.12: 101-107.

Page 278: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

259

Kataoka, R., K. Takagi, I. Kamei, H. Kiyota, and Y. Sato. 2010. Biodegradation of dieldrin

by a soil fungus isolated from a soil with annual endosulfan applications. Environ.

Sci. Technol. 44:6343–6349.

Lemos J., M. Carmen Sampedro, A. de Ariño, A.Ortiz, and R.J. Barrio. 2016. Risk

assessment of exposure to pesticides through dietary intake ofvegetables typical of

the Mediterranean diet in the Basque Country. Journal of Food Composition and

Analysis 49: 35–41.

Matsumoto, E., Y. Kawanaka, S.J. Yun, and H. Oyaizu. 2008. Isolation of dieldrin- and

endrin-degrading bacteria using 1,2-epoxycyclohexane as a structural analog of

both compounds. Appl. Microbiol. Biotechnol.80: 1095–1103.

Matsumura, F., and G.M. Boush. 1967. Dieldrin: degradation by soil microorganism.

Science 156: 959–961.

World Health Organization.1997. Guidelines for predicting dietary intake ofpesticides

residues (revided). In: Programme of Food Safety and Food Aid (Ed.),Prepared by

the Global Environment Monitoring System—Food ContaminationMonitoring and

Assessment Programme (GEMS/Food) in Collaboration withCodex Committee on

Pesticide Residues. WHO/FSF/FOS, Switzerland.

Zhao, X.H., and J. Wang. 2012. A brief study on the degradation kinetics of

sevenorganophosphorus pesticidesin skimmed milk cultured with Lactobacillus spp.

at 42oC. Food Chemistry 131: 300–304.

Page 279: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

260

Page 280: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

261

BIODEGRADASI SENYAWA PESTISIDA ORGANOKLORIN OLEH MIKROBA KONSORSIA DI LAHAN SAYURAN

Asep Nugraha Ardiwinata

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian di Pati, Jawa Tengah

Abstrak. Penggunaan pestisida organoklorin berkembang pesat sejah era revolusi hijau dan

sebelum digalakkan program pengendalian hama terpadu. Residu insektisida organoklorin

di beberapa lahan sayuran masih banyak terdeteksi meskipun penggunaan insektisida

tersebut telah dilarang. Insektisida organoklorin merupakan senyawa persistent organic

pollutants (POPs) yang bersifat sangat toksik dan persisten. Terdapat 12 jenis POPs

(Persistent Organic Pollutants) yang telah diakui UU No. 19 tahun 2009 beberapa

diantaranya merupakan insektisida organoklorin antara lain lindan, aldrin, dieldrin, DDT,

heptaklor, toksafen, klordan, mirex. Sifatnya yang persisten berpotensi mencemari

lingkungan pertanian dan terbawa pada produk pertanian sehingga berbahaya bagi

kesehatan manusia. Upaya penanggulangan residu insektisida POPs perlu dilakukan.

Mikroba tanah memegang peran penting dalam degradasi senaywa persisisten. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan mikroba tanah dalam biodegradasi senyawa

hidroklorin. Mikroba yang didapat digunakan untuk bioremediasi tanah tercemar

organoklorin. Penelitian difokuskan kepada isolasi mikroba berpotensi mendegradasi

residu insektisda POPs terutama organoklorin. Karakteristik biodegradasi ditentukan

berdasarkan tiga paramater yaitu pertumbuhan biomasa sel, aktivitas enzim FDA yang

berperan dalam hidrolisis, dan persentase degradasi pestisida. Didapatkan konsortia

mikroba pendegradsi pestisida yang terdiri 3 strain yaitu POCl-1, POCl-2, dan POCl-3

Kemampuan mikroba konsorsia dalam mendegradasi residu POPs setelah 20 hari yaitu

sebesar 94,56-100% pada konsentrasi 5 ppm, 91,14-99,66% pada konsentrasi POPs 10

ppm, 91,06-99,55% pada konsentrasi 20 ppm.

Kata kunci : mikroba konsorsia, insektisida POPs, lahan sayuran

Abstract. Organochlorine pesticide has been used intensively since introduction of green

revolution and while integrated pesticide management system has not yet been practised.

Though application organoclorine pesticide has been banned, however, residual

organoclorine have been detected in various agricultural land including in the fresh

vegetable. Organochlorine insecticides are persistent organic pollutant (POPs) and

suspected carcerogenic. Based on the National Act No. 19, 2009, there are several

allowable with precautions organochlorine pesticide including namely lindan, aldrin,

dieldrin, DDT, heptaklor, toxaphene, chlordane, and mirex. Soil microbes play important

role in biodegradation of POPs in soil. The objective of this study was to evaluate the

ability of consortia microbes to degrade organochlorine insectisides. The obtained microbes

will be used for bioremedition of organochlorine contaminated soil. The work was focussed

on the isolation of microbes that are able to degrade POPs especially organochlorine

pesticide. The ability of microbes to degrade organochlorine pesticide was evaluated by

observation of growth characters, hydrolises enzyme analyses (FDA) and analyses of

27

Page 281: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

262

residual pesticide. Microbial consortia that were able to degrade organochlorine composed

of 3 strain namely POCl-1, POCl-2, and POCl-3. Allmost all pesticide in the media was

completly degraded after 20 days. Namely 94.56-100% at the concentration of 5 ppm,

about 91.14-99.66% at the concentration of 10 ppm, and about 91.06-99.55% at the

concentration of 20 ppm.

Keywords : consortia microbes, organochlorine POPs, vegetable land and insecticide

PENDAHULUAN

Penggunaan pestisda berkembang pesat sejak dimulainya era revolusi hijau tahun

1970-an. Sebagai salah satu upaya pengendalian organisme pengganggu tanaman, pestisida

memberikan kontribusi nyata terhadap keberhasilan produksi tanaman pertanian, namun

penggunaan yang berlebihan dan tidak bijaksana justeru memberikan dampak negatif

terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Di Asia, Indonesia termasuk negara

yang banyak menggunakan pestisida setelah Cina dan India (Soerjani, 1990).

Penggunaan insektisida organoklorin lebih tinggi terjadi sebelum digalakkannya

program pengendalian hama terpadu (PHT). Residu organoklorin masih terdeteksi di

beberapa daerah saat ini dimungkinkan merupakan akumulasi dari penggunaan di masa

lampau yang sebagian besar merupakan senyawa POPs. Insektisida organoklorin umumnya

memilki toksisitas tinggi dan persistensi lama dalam tanah sehingga berpotensi mencemari

lingkungan (Alexander, 1977).

Persistent organic pollutants (POPs) adalah suatu senyawa organik yang tahan

terhadap berbagai proses degradasi baik degradasi fotolitik, biologis maupun kimiawi.

POPs merupakan senyawa yang mengandung gugus halogen (Cl, Br), umumnya sulit larut

dalam air tetapi mudah larut dalam lemak, bersifat semi volatil, dan dapat berpindah jauh di

atmosfer sebelum proses deposisi terjadi. Terdapat 12 jenis POPs (Persistent Organic

Pollutants) yang telah diakui UU No. 19 tahun 2009 beberapa diantaranya merupakan

insektisida organoklorin antara lain lindan, aldrin, dieldrin, DDT, heptaklor, toksafen,

klordan, mirex. Senyawa POPs mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama

berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh, sistem hormon, sistem reproduksi dan dapat

menstimulus munculnya kanker (Oh, 2001).

Residu insektisida organoklorin (BHC, aldrin, dieldrin, heptaklor, DDT, DDE)

ditemukan dalam tanah pada pertanaman tembakau, kentang, kubis, hutan jati di dataran

tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah (Ohsawa et al., 1985). Murtado et al. (1996)

melaporkan bahwa tanah sawah di beberapa daerah Jawa Barat mengandung residu lindan

dan heptaklor yang kadarnya lebih rendah daripada kadar BMR. Ardiwinata et al. (2007)

melaporkan bahwa residu beberapa insektisida organoklorin (BHC, endosulfan, aldrin)

ditemukan dalam tanah sawah di beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur

dengan kadar kurang dari 0,1 ppm.

Salah satu upaya penanggulangan residu senyawa POPs dalam ekosistem lahan

pertanian khususnya sayuran adalah dengan menggunakan mikroba pendegrasi POPs.

Selama ini penelitian lebih banyak ditujukan kepada kapasitas individu mikroba, belum

banyak peneliti yang mengkaji kemampuan degradasi POp oleh konsorsium mikroba. Oleh

Page 282: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

263

karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui isolat mikroba

berpotensi mendegradasi residu insektisda POPs.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan sampel tanah

Tempat pengambilan sampel tanah ditentukan berdasarkan atas hasil survey pada

areal tanaman sayur yang intensif menggunakan insektisida yaitu di Desa Marongan Kec.

Kajoran, Kab. Magelang Jawa Tengah. Kegiatan dilaksananakan pada bulan Juni 2010.

Contoh tanah sumber mikroba fungsional pendegradasi organoklorin diambil secara

komposit dari permukaan tanah sampai kedalaman 15 cm. Tanah memiliki pH 7,0, dengan

kandungan bahan organic 2,0 % dan dan mengandung sekitar 0,1 ppm POP).

Isolasi mikroba pendegradasi POP

Isolasi dan karakterisasi mikroba pendegradasi POP dilakukan di Laboratorium

Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong melalui tiga tahap. (1) Isolasi dan

identifikasi mikroba pendegradasi POPs, (2) pengukuran aktivitas total enzim hidrolisis,

dan (3) Penetapan residu insektisida POPs hasil kultur. Sebelum dilakukan isolasi mikroba,

tanah sumber mikroba potensial pendengradasi POP di tumbuhkan pada berbagai jenis

media cair yaitu:

1) Media mineral + media ekstrak tanah ( 10:1; v/v) tanpa POP

2) Media mineral + media ekstrak tanah ( 10:1; v/v) dengan 5 ppm POP

3) Media mineral + media ekstrak tanah ( 10:1; v/v) dengan 10 ppm POP

4) Media mineral tanpa POP

5) Media mineral dengan 5 ppm POP

6) Media mineral dengan 10 ppm POP

7) Media mineral dengan 20 ppm

Pengayaan mikroba potensial dilakukan melalui: 0,5 gr tanah diencerkan dengan

akuadest steril sebanyak 9,5 ml, kemudian digoyang pada rotary shaker (175 rpm) selama 1

jam pada suhu 28° C. Selanjutnya dilakukan pengenceran berseri sampai 10-3, kemudian

pengenceran yang terkahir tersebut sebanyak 200 µl dimasukkan kedalam 4,8 ml masing-

masing media tersebut diatas. Media mineral mengandung: 10 g NaNO3, 2,5 g NH4Cl, 2,6 g

KH2PO4, 7,4 g K2HPO4, 1 g MgSO47H2O, 2 g CaCl2, 0,01 g CuSO4 , 0,05 g Fe sitrat, 0,1 g

EDTA, 10 ml larutan trace element , dan media yang mengandung : 10 g NaNO3, 2,5 g

NH4Cl, 2,6 g KH2PO4, 7,4 g K2HPO4, 1 g MgSO47H2O, 2 g CaCl2, 0,01 g CuSO4 , 0,05 g Fe

sitrat, 0,1 g EDTA, 10 ml larutan trace element dan ekstrak tanah sebanyak 10 ml. Ekstrak

tanah dibuat dengan: 10 gr tanah dilarutkan dalam 90 ml aquadest, digojok pada rotary

shaker (175 rpm) selama 30 menit pada suhu 28°C, kemudian disaring dengan whatman

kertas saring No.1. Semua larutan yang digunakan disterilkan. Konsentrasi insektisida

campuran dibuat sebagai berikut: 0, 5, dan 10 ppm insektisida POPs. Contoh diinkubasi di

bioshaker dengan suhu ruang (± 280 C) selama beberapa hari. Pertumbuhan mikroba

diamati dengan menggunakan metode turbidimetri yang diukur pada panjang gelombang

600 nm. Reaksi positif ditunjukkan dengan perubahan kekeruhan pada media. Percobaan

pengkayaan dilakukan dengan 3 kali ulangan.

Page 283: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

264

Isolasi dan identifikasi mikroba pendegradasi POP

Sampel diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung inkubasi berisi 5 ml medium

mineral yang mengandung: 10 g NaNO3, 2,5 g NH4Cl, 2,6 g KH2PO4, 7,4 g K2HPO4, 1 g

MgSO47H2O, 2 g CaCl2, 0,01 g CuSO4 , 0,05 g Fe sitrat, 0,1 g EDTA, 10 ml larutan trace

element . Selain itu juga dilakukan pula pada media enrichment soil extract yang

mengandung: 10 g NaNO3, 2,5 g NH4Cl, 2,6 g KH2PO4, 7,4 g K2HPO4, 1 g MgSO47H2O, 2

g CaCl2, 0,01 g CuSO4 , 0,05 g Fe sitrat, 0,1 g EDTA, 10 ml larutan trace element dan

ekstrak tanah sebanyak 10 ml. Ekstrak tanah dibuat dengan: 10 gr tanah dilarutkan dalam

90 ml aquadest, digojok pada rotary shaker (175 rpm) selama 30 menit pada suhu 28°C),

kemudian disaring dengan whatman kertas saring No.1. Semua larutan yang digunakan

disterilkan. Konsentrasi insektisida campuran dibuat sebagai berikut: 0, 5, dan 10 ppm

insektisida POPs. Contoh diinkubasi di bioshaker dengan suhu ruang (± 280 C) selama

beberapa hari. Pertumbuhan mikroba diamati dengan menggunakan metode turbidimetri

yang diukur pada panjang gelombang 600 nm. Reaksi positif ditunjukkan dengan

perubahan kekeruhan pada media. Percobaan isolasi pengkayaan pertama dilakukan dengan

3 perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali.

Kultur yang tumbuh pada pengayaan tingkat pertama selanjutnya ditransfer ke

media yang mengandung 20 ppm pestisida POPs. Reaksi positif ditunjukkan dengan

perubahan kekeruhan pada media.

Pengukuran aktivitas total enzim hidrolisis

Pengukuran aktivitas enzim hidrolisis dilakukan pada medium mineral + soil extract

(0,5,10 ppm) dan medium mineral + pestisida dengan konsentrasi 0, 5, 10, 20 ppm.

Senbanyak 2 ml kultur dari masing-masing perlakuan ditambah dengan 15 ml 60 mM

potassium phosphate buffer pH 7.6 dalam 50 ml konical flask. Kemudian ditambah dengan

0,2 ml 1000 ppm FDA. Sebagai blanko digunakan akuades. Konical flask selanjutnya

ditutup dan diinkubasi dalam Orbital Incubator, 100 rpm pada suhu 30 C selama 20 menit.

Setelah 20 menit reaksi distop dengan penambahan 15 ml kloroform/methanol (2:1 v/v).

Kemudian flask dikocok dengan seksama. Kemudian larutan dipindahkan kedalam 50 ml

tabung sentrifus, kemudian disentrifus pada kecepatan 2000 rpm selama 5 menit.

Supernatan dari larutan kemudian difilter dengan whatman paper No. 2. Kemudian filtrate

diukur pada panjang gelombang 490 nm. Konsentrasi fluorecein yang dilepaskan selama 20

menit, dihitung dengan kurva kalibrasi (0-5 ppm).

Penetapan residu insektisida POPs

Pengukuran residu insektisida POPs dilakukan pada hasil kultur mikroba

pendegradasi residu insektisida POPs 20 hari setelah pembuatan kultur. Analisis residu

pestisida POPs dilakukan di Laboratorium Balingtan (Lab. Residu Bahan Agrokimia) di

Bogor dengan menggunakan GC Varian Type 450. Konsentrasi residu insektisida POPs

dalam contoh dihitung berdasarkan rumus dari Ohsawa et al. (1985) sebagai berikut :

[Organoklorin Pops] = AA = B

C ×

D

E ×

F

G .ppm

Page 284: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

265

Keterangan:

A = konsentrasi standar (g/mL larutan),

B = area puncak sampel,

C = area puncak standar,

D = volume larutan standar yang disuntikkan (L),

E = volume larutan sampel yang disuntikkan (L),

F = volume ekstrak heksana-eter (mL),

G = volume supernatan (mL),

F/G = faktor pengenceran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan insektisida secara intensif dilakukan petani sayuran di daerah sentra

sayuran di kecamatan Kajoran, Magelang. Ichwan et al. (2007) melaporkan bahwa darah

petani sayuran Kec. Kajoran telah terpapar residu insektisida organoklorin yang termasuk

golongan POPs seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Residu POPs pada areal pertanian sayur di sentra sayuran Magelang, tahun 2007

Jenis POPs Konsentrasi (ppm) Nilai ADI (ppm)

(Acceptable Daily Intake)

Lindan 0,0263-0,7732 0,0080

Aldrin 0,0273-0,0922 0,0001

Heptaklor 0,0087-0,0412 0,0001

Endosulfan 0,0083-0,0498 0,0060

Sumber : Ardiwinata et al.(2007)

Tingkat keracunan berat : 38,5 %, keracunan sedang 61,4 % dan keracunan ringan 0,1%. Uji darah

pada 47 petani di Desa Sukamakmur, Kajoran Magelang

Residu organoklorin POPs yang ditemukan di lahan sayuran yang berjenis tanah

Andisol antara lain endosulfan dengan kisaran 0,0011 – 0,0040 ppm, lindan 0,0033 ppm,

heptaklor 0,0019-0,0033 ppm, dieldrin 0,0097-0,0121 ppm, DDT 0,0034 ppm, endrin

0,0019-0,0032 ppm. Insektisida yang terdeteksi termasuk golongan POPs kecuali

endosulfan belum digolongkan sebagai POPs namun pestisida tersebut termasuk persisten

di tanah sehingga dapat kategorikan sebagai POPs. Selain itu, tanah sayuran di Magelang

terdapat beberapa jenis mikroba tanah seperti terlihat dalam Tabel 2. Di antara jenis

mikroba yang terdeteksi, kelimpahan tinggi terjadi pada Bacillus sp, Citrobacter sp,

Azotobacter sp, Azospirrillum sp. Jenis-jenis mikroba tersebut dapat bersifat sebagai

pendegradasi residu insektisida dalam tanah. Beberapa mikroorganisme yang dapat

mendegradasi insektisida antara lain Pseudomonas sp., Arthrobacter, Flavobacterium spp.,

Actinomycetes,Bacillus sp dan Nocardia sp (Matten et al.,1994; Kennedy & Gewin, 1997;

Karpouzas et al., 2000).

Mikroba mampu hidup pada kadar pestisida 5, 10, 20 ppm dalam kultur enrichment.

Komunitas mikroba tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk uji degradasi

pestisida pada tahapan berikutnya. Menurut Alexander (1977), banyak genus heterotrof

Page 285: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

266

menggunakan pestisida sebagai substrat dalam kometabolisme molekul atau sebagai

sumber nutrient. Pestisida aldrin dan DDT dengan kadar 100 ppm tidak toksik terhadap

beberapa genus bakteri dan jamur.

Tabel 2. Kelimpahan mikroba dominan di lahan sayuran Magelang, 2010

Jenis mikroba tanah Populasi (cfu/g)

Bacillus, sp. 3,8 x 109

Citrobacter, sp. 9,6 x 109

Azotobacter, sp. 7,0 x 105- 6,75 x 108

Azospirrillum, sp. 3,7 x 109

Sphaerotillus natans 4,2 x 104

Pseudomonas, sp 2.5 x 105

BPF 4,75 x 105

Hasil isolasi dari lahan sayuran di Magelang di temukan komunitas mikroba

pendengradasi insektisida POPs (aldrin, dieldrin, endrin, DDT, endosulfan, toksafen, mirex,

B-HCH, lindan) dalam tanah sayuran, dengan populasi sekitar 2 x 106 per gram tanah.

Insektisida mulai digunakan pada 96 jam setelah waktu kultivasi (Gambar 1). Pertumbuhan

mikroba dalam media mineral terlihat lebih tinggi pada kadar pestisida 10 ppm dan

mengalami puncaknya saat inkubasi 6 hari (Gambar 1). Pada awal kultivasi komunitas

mikroba cenderung menggunakan sumber karbon dan nutrisi yang berasal dari tanah, akan

tetapi setelah 96 jam, mikroba mulai mampu menggunakan insektisida. Pertumbuhan

mikroba dalam media minerak + ekstak tanah dan media mineral terlihat pada Gambar 2.

Ini menunjukkan mikroba dapat menggunakan residu POPs sebagai sumber karbon dan

nutrient (Alexander, 1977). Pada media ekstrak tanah, pada awalnya mikroba cenderung

menggunakan ekstrak tanah saat awal inkubasi dan setelah 4 hari mulai menggunakan

insektisida. Pada awal kultivasi insektisida bersifat toksik terhadap mikroba.

Pada kadar insektisida 20 ppm, mikroba mampu tumbuh yang ditunjukkan dengan

peningkatan nilai OD 600 nm selama beberapa diinkubasi dengan grafik Y = -0,012 X2 +

0,109 X + 0,262 (R2 = 0,944) seperti terlihat pada Gambar 3. Ini menunjukkan bahwa

mikroba dapat memanfaatkan insektisida POPs dengan kadar 20 ppm sebagai sumber

karbon.

Page 286: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

267

Gambar 1. Pertumbuhan mikroba pada media mineral dan media ekstrak tanah

Gambar 2. Komunitas kultur tahan insektisida 0-10 ppm pada medium mineral+ soil extract

(A), medium mineral (B), kultur yang tumbuh pada medium mineral, dan medium

mineral + soil ekstrak dan D kultur yang tumbuh pada medium mineral. Kultur umur 4 hari

Pertumbuhan Komunitas Mikroba

pada Medium Mineral

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0 1 3 4 5 6 7

Hari

OD

60

0 n

m0 ppm

5 ppm

10 ppm

Pertumbuhan Komunitas Mikroba

pada Medium Soil Extract

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0 1 3 4 5 6 7

Hari

OD

60

0 n

m

0 ppm

5 ppm

10 ppm

Page 287: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

268

Gambar 3. Pertumbuhan mikrobia pada pengayaan tingkat dua dalam media mineral

Pada konsentrasi yang lebih tinggi dari 5 ppm insektisida POPs menghambat

aktivitas enzim hidrolisis (protease, lipase, dan esterase) yang ditunjukkan oleh Nilai FDA

yang lebih besar daripada tanpa ekstrak tanah. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tanah

berpengaruh terhadap pertumbuhan biomassa (Tabel 3). Mikroba tumbuh optimal pada

kadar insektisida POPs sebesar 5 ppm. Pada tanah tergenang (flooded), insektisida

dimineralisasi sempurna sebagai sumber-C tunggal lewat reaksi orde pertama oleh

Pseudomonas sp. (misalnya Pseudomonas cepacia). Penguraian insektisida secara

signifikan juga ditunjukkan oleh Bacillus sp., Anthrobacter sp., Micrococcus sp., dan

Azospirillum sp. (misalnya Azospirillum lipoferum) dalam medium garam-garam mineral

dengan atau tanpa sumber N tambahan (NH4+) (Hubbellet al., 1973). Penguraian agak lebih

cepat jika insektisida menjadi sumber tunggal C dan N. Pseudomonas stutzeri dan Bacillus

pumilis dapat menguraikan lebih dari 98% karbofuran dalam 30 hari (Mohapatra & wasthi,

1997). Watanabe (1973) dan Matten et al. (1994) melaporkan bahwa penguraian insektisida

di tanah disebabkan oleh peranan mikroba Pseudomonas sp. Jalur penguraian dimulai

dengan terbentuknya senyawa 3-hidroksi (insektisida) dan insektisida fenol dan selanjutnya

diikuti oleh senyawa hidroksi (insektisida) fenol dan CO2. Pendapat senada juga

disampaikan oleh Chaudhry & Ali (1988) bahwa diantara 15 genera bakteri yang diisolasi,

ternyata bakteri Pseudomonas dan Flavobacterium mempunyai kemampuan dominan untuk

mendegradasi insektsida.

y = -0.012x2 + 0.1093x + 0.2621

R² = 0.9447

20 ppm

20 ppm

Poly. (20 ppm)

Waktu Inkubasi

(hari)

OD 600 nm

Page 288: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

269

Tabel 3. Aktivitas enzim hidrolisis (protease, lipase, dan esterase) dari mikrobia konsorsia

pendegradasi insektisida

Kadar insektisida POPs dalam media FDA (OD)

Medium mineral + ekstrak tanah

0 ppm (ekstrak tanah + mineral), 0,328

5 ppm (ekstrak tanah) + mineral 0,213

10 ppm (ekstrak tanah) + mineral 0,206

Medium hanya dengan mineral dan insektisida

0 ppm tanpa ekstrak tanah 0,177

5 ppm tanpa ekstrak tanah 0,190

10 ppm tanpa ekstrak tanah 0,168

20 ppm tanpa ekstrak tanah 0,126

Tabel 4. Hasil identifikasi pengamatan bakteri pendegradasi insektisida POPs dengan media

NA pada Soil Extract dan Non Soil Extract

Kultur mikroba

tanah dengan

media Soil

Extract

Bentuk Warna Jumlah

(±)

Tepian

Koloni Elevasi

1. Tak

beraturan

Putih

kekuningan 17 berserabut Datar

seperti kapas

Bundar/bulat Putih

kekuningan 47 Rata Datar

Bundar/bulat Putih

kekuningan 82 bergelombang Datar

2. Takberaturan Putih

kekuningan 27 berserabut Datar

(seperti

serabut)

Bundar/bulat Putih

kekuningan 62 Rata Datar

Bundar/bulat Putih

kekuningan 75 bergelombang Datar

Page 289: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

270

Tabel 5. Hasil identifikasi pengamatan bakteri pendegradasi insektisida POPs dengan media

NA pada Non Soil Extract

Kultur media

tanah dengan

media Non

Soil Extract

Bentuk Warna Jumlah Tepian

Koloni Elevasi

1. Tak beraturan Putih kekuningan 20 berserabut Datar

Bundar/bulat Putih kekuningan 71 Rata Datar

Bundar/bulat Putih kekuningan 53 bergelombang Datar

2. Tak beraturan Putih kekuningan 34 berserabut Datar

(sperti

serabut)

Bundar/bulat Putih kekuningan 35 Rata Datar

Bundar/bulat Putih kekuningan 35 bergelombang Datar

Karakteristik fisiologis kenampakan mikroba pendegradasi terlihat pada Tabel 4

dan Gambar 4. Kelompok utama mikroorganisme tanah (actinomycetes, jamur dan bakteri)

dapat secara mudah menyesuaikan diri atau mendegradasi insektisida melalui oksidasi,

dealkilasi, hidroksilasi, dehidrohalogenasi, epoksidasi, dehalogenasi reduktif, dan

dealkilasi-N (Matsumura, 1973). Dehidrohalogenasi merupakan proses utama karena

sebagian besar pestisida mengandung halogen. Goring et al. (1975) menyimpulkan bahwa

proses degradasi insektisida di dalam tanah mencakup reaksi kimia, pengkayaan mikrobial

dan kometabolisme. Transformasi kimia dan mikrobiologis secara serentak dalam tanah

sulit untuk dibedakan. Penguraian hayati dilakukan oleh mikroorganisme, terutama pada

tanah yang gembur (muck) (Rajagopalet al., 1984), dan jika kandungan bahan organik

rendah (Zhonget al., 1995; Bachman & Patterson, 1999).

Kemampuan mikrobia konsortia dalam degradasi POPs

Kemampuan mikroba konsorsia dalam mendegradasi residu POPs setelah 20 hari

yaitu sebesar 94,56-100% pada konsentrasi 5 ppm; 91,14-99,66% pada konsentrasi POPs

10 ppm; dan 91,06-99,55% pada konsentrasi 20 ppm. Mikroba konsorsia menunjukkan

kemampuan yang paling tinggi pada konsentrasi POPs 5 ppm, namun pada konsentrasi 10-

20 ppm masih mampu mendegradasi hingga 91-99% pada skala laboratorium.

Page 290: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

271

Tabel 6. Kenampakan mikroba pendegradasi POPs pada 2 medium Soil Extract dan Non

Soil Extract

No

Media NA

(5 ppm insektisida, mineral solution + soil ekstract)

Media NA

(5 ppm insektisida + mineral solution)

1. Bakteri

2. Fungi

KESIMPULAN

1. Beberapa mikroba ditemukan dalam tanah sayuran di Magelang dengan populasi tinggi,

yaitu kelimpahan Bacillus sp, Citrobacter sp, Azotobacter sp, Azospirrillum sp dan

Pseudomonas sp dengan populasi rendah yang berpotensi sebagai pendegradasi residu

insektisida POPs.

2. Pertumbuhan komunitas mikroba konsorsia pendegradasi residu insektisida terjadi

paling optimum pada konsentrasi POPs 5 ppm.

3. Kemampuan mikroba konsorsia dalam mendegradasi residu POPs setelah 20 hari yaitu

sebesar 94,56-100% pada konsentrasi 5 ppm 91,14-99,66% pada konsentrasi POPs 10

ppm, 91,06-99,55% pada konsentrasi 20 ppm.

Page 291: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

272

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi yang

telah menyediakan dana penelitian dalam Program Insentip Ristek Tahun 2010.

Penghargaan yang tulus disampaikan kepada Bp. Ali Ichwan, SP., para teknisi Lab. RBA

Bogor (Bp. Nanang; Cahyadi, A.Md; dan Aji M Tohir, SP) dan teknisi di Laboratorium

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Slamet Riyanto) yang telah membantu dalam

pelaksanaan di lapang dan analisis di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. Second Edition. John Wiley &

Sons, Inc. New York, Santa Barbara, Toronto.

Ardiwinata, A.N., A. Ichwan, S. Wahyuni, Indratin, A. Kurnia, Poniman, dan E. Sulaeman.

2007. Identifikasi dan delineasi tingkat penggunaan dan pencemaran residu bahan

agrokimia di sentra produksi tanaman pangan dan sayuran di Jawa. Laporan Hasil

Penelitian Balingtan 2007.

Bachman, J. & H.H. Patterson. 1999. Photodecomposition of the carbamate pesticide

carbofuran: kinetics and the influence of dissolved organic matter. Environ. Sci.

Technol. 33 : 874-881.

Chaudhry, G.R., and A.N. Ali. 1988. Bacterial metabolish of carbofuran. Applied and

Environmental Microbiology 54(6): 1414-1419.

Choma, J., & M. Jaroniec. 2006. Characterization of nanoporous carbons by using gas

adsorption isotherms. p. 107-158 in Bandosz, T.J. (ed.). Activated Carbon

Surfaces in Environmental Remediation. Elsevier.

Goring, C.A., D.A. Laskowski, J.W. Hamaker and R.W. Meikle. 1975. Principles of

pesticide degradation in soil. In R. Haque dan V.H. Freed (Eds.), Environmental

Dynamics of Pesticides, Plenum Press, New York. p 135.

Harrad, S. 2010. Persistent Organic Pollutants. United Kingdom: John Willey & Sons

Hubbell, D.H., D.F. Rothwell, W.B. Wheeler, W.B. Tappan, and F.M. Rhoads. 1973.

Microbiological effect and persistence of some pesticide combination in soil. J.

Environ. Quality 2(1): 96-99.

Ichwan, A., A.N. Ardiwinata, Poniman, S. Wahyuni, Indratin, dan A. Kurnia. 2007.

Dampak negatif residu bahan agrokimia di sentra produksi sayuran di Jawa.

Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. BBSDLP.

Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Indratin dan Sri Wahyuni. 2012. Teknologi pelapisan pupuk urea dengan arang aktif yang

diperkaya dengan mikroba untuk menurunkan residu DDT dan heptaklor.

Lingkungan Tropis 6(2), 139-148.

Karpouzas, D.G., J.A.W. Morgan, and A. Walker. 2000. Isolation and Characterization of

23 Carbofuran Degrading Bacteria from Soils from Distant Geographical Areas. 6p.

(http://www.blackwell-synergy.com/links/doi/10.1046/j.1472-

765x.2000.00823.x/full/

Kennedy, A.C. and V.L. Gewin. 1997. Soil microbial diversity: present and future

considerations. Soil Science 162(9): 607-617.

Page 292: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

273

Matsumura, F. 1973. Degradation of pesticides residues in the environment. In C.A.

Edward (Ed.), Environmental Pollution by Pesticides, Plenum Press, London. p

494.

Matten, A., S. Chapalamadugu, B. Kaskar, A.R. Bhatti, and G.R. Chaudhry. 1994.

Microbial metabolism of carbamate and organophosphate pesticides. In G.R.

Chaudry (Ed.), Biological Degradation and Bioremediation of Toxic Chemicals.

First Eds. Chapman & Hall. p.198-233.

Mohapatra, S. & M.D. Awasthi. 1997. Enhancement of carbofuran degradation by soil

enrichment cultures, bacterial cultures and by synergistic interaction among bacterial

Cultures. Pestic. Sci. 49 : 146-148.

Murtado, A. Nugraha, I. Nasution, I.M. Samudra, P. Lestina, & Ismiyatun. 1996. Status

residu pestisida pada sentra produksi padi sawah. Laporan Hasil Penelitian Balitbio,

Bogor. 15 p.

Oh, B.Y. 2001. Pesticide residues for food safety and environment protection. National

Institute of Agricultural Science and Technology RDA. Suwon, Korea, .Ext.

Bulletin 495: 1-13.

Ogawa, M. 1994. Symbiosis of people and nature in the tropics: Tropical agriculture using

charcoal. Farming Japan 28(5): 21-30.

Ohsawa, K., S. Hartati, S. Nugrahati, H. Sastrohamidjoyo, K. Untung, N. Arya. K.

Sumiartha dan S. Kuwatsuka. 1985. Residue analysis of organochlorin and

organophosphorus pesticides in soil, water and vegetables from central Java and

Bali, ecol./impact of IPM in Indoensia. p. 59-70.

Rahmawati, S., G. Margana, M. Yoneda, and K. Oginawati. (2013). Organochlorine

pesticide residue in Catfish (Clarias sp.) collected from local fish cultivation at

Citarum watershed, West Java Province, Indonesia. Procedia Environmental

Sciences 17 (3–10). Elsevier B.V.doi: 10.1016/j.proenv.2013.02.005

Rajagopal, B.S., G.P. Brahmaprakash, B.R. Reddy, U.D. Singh & N. Sethunathan. 1984.

Effect and persistence of selected carbamate pesticides in soil. In : Gunther F.A.

&J.D. Gunther (Eds.), Residu Reviews: Reviews of Environmental Contamination

and Toxicology, Volume 93. Springer-Verlag, New York.

Septiningrum, K dan Apriana,C.P. 2011. Produksi xilanase dari tongkol jagung dengan

sistem bioproses menggunakan Bacillus circulans untuk pra-pemutihan pulp .

Jurnal Riset Industri Vol V No. 1. 2011. Hal. 87-97

Shi, T., and R. Gill. 2005. Developing effective policies for the sustainable development of

ecological agriculture in China: The case study of Jinshan County with a systems

dynamics model. Ecological Economics 53(2005) 223-246

Soejitno, J. dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu pestisida pada agroekosistem tanaman

pangan. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan

Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Bogor. hal 72-90.

Soerjani, M. 1990. Kecenderungan penggunaan pestisida di Indonesia dan berbagai Negara

Asia serta dampaknya terhadap lingkungan . Perlindungan Tanaman Menuju

Terwujudnya Pertanian Tangguh dan Kelestarian Lingkungan. PT Agricon, Bogor.

p. 719-745.

Page 293: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

274

Watanabe, I. 1973. Decomposition of pesticides by soil microorganism-Special emphasis

on the flooded soil condition. JARQ. 7: 15-18.

Zhong, H., F.L. Hastings, F.P. Hain, and J.F. Monahan. 1995. Carbaryl degradation on tree

bark as influenced by temperature and humidity. J. Econ. Entomol. 88(3): 558-563.

Page 294: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

275

EVALUATION OF ACTIVATED CHARCOAL COATED UREA FOR IN SITU REMEDIATION OF VEGETABLE LAND

E.S. Harsanti, A.N. Ardiwinata, and Indratin

Indonesian Agricultural Environment Research Institute (IAERI)

Jl. Raya Jakenan Km 5 Pati 59182, Central Java, Indonesia

Abstract. Organochlorine (OC) insecticide residue, especially lindane and endosulfan still

found in vegetables area, that have high toxicity and persistency in soil.Itsinclude

asPersistent Organic Pollutants (POPs) and pollutes potentially environment. Remediation

using activated charcoal is one of several mitigation options of OC insecticides residue. The

multifunction of activated charcoal could be used to remediate insecticide pollution and as

coating of N inorganic fertilizer. The objective was to evaluate urea coated activated

charcoal to reduce OC (lindan, endosulfan) residue and increase N efficiency in vegetables

areal. The field experiment was conducted in vegetables areal in Magelang, Central Java,

Indonesia during 2010 Wet Season (WS). The experiment was arranged using randomized

block design with three replicates and seven treatment. Parameters measured were soil

properties, crop biomass weight, lindan and endosulfan insecticide residues, loss of N,

agronomic parameters. The results showed high bacterial population of Bacillus sp,

Citrobacter sp, and Azospirilum sp reduced potentially organochlorine insecticide residue

in soils. Activated charcoal as urea coating reduced OC residue (lindane, endosulfan)in soil

effectively more than 50% at 7 days of green mustard growth time. Fortification of

activated charcoal as a coating of urea significantly increased N uptake mustard for 6-25 kg

N-ha and urea fertilizer efficiency by 5-24%. Urea-coated activated charcoal from coconut

shell and corncob without or with enriched microbial can use in situ remediation on

vegetable land espescially green mustard.

Keywords : urea coating, activated charcoal, lindane, endosulfan, mustard, remediation

Abstrak. Residu insektisida organoklorin (OK) masih ditemukan di lahan sayuran.

Pestisida lindan dan endosulfan adalahgolongan organoklorin yang termasuk Persistent

Organic Pollutants (POPs).Insektisida tersebut memiliki toksisitas dan persistensi yang

tinggi dalam tanah, sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Salah satu mitigasi residu

insektisida OK (lindan dan endosulfan) dalam tanah adalah melalui remediasi dengan

menggunakan arang aktif. Arang aktif bersifat multifungsi, antara lain dapat dimanfaatkan

untuk remediasi cemaran insektisida dalam tanah dan digunakan sebagai pelapis pupuk

nitrogen anorganik. Percobaan lapang dilaksanakan di lahan sayuran di Magelang selama

musim penghujan 2010. Tujuan penelitian adalah melakukan evaluasi kemampuan arang

aktif pelapis urea terhadap residu OK (lindan, endosulfan) dan serapan N di lahan sayuran.

Percobaan lapang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan.

Parameter yang diukur yaitu karakteristik tanah, residu insektisida OK (lindan dan

endosulfan), serapan N, dan parameter agronomik. Kelimpahan Bacillus sp, Citrobacter sp,

dan Azospirilum sp yang tinggi berpotensi mereduksi residu insektisida OK (lindan,

endosulfan) dalam tanah. Arang aktif sebagai pelapis pupuk urea dapat menurunkan residu

28

Page 295: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

276

lindan dan endosulfan dalam tanah lebih dari 50 % saat tanaman sawi berumur 7 hari.

Arang aktif sebagai pelapis urea meningkatkan N uptake sawi secara signifikan 6-25 kg N-

ha and efisiensi pupuk N 5-24%. Urea berlapis urea dari tempurung kelapa dan tongkol

jagung yang tanpa atau diperkaya mikroba konsorsia dari sumber tanah tercemar dapat

digunakan untuk remediasi pada lahan sayuran setempat khususnya sawi.

Kata kunci : pelapisan urea, arang aktif, mikroba konsorsia, lindan, endosulfan, remediasi

sawi

INTRODUCTION

At present, agrochemical matter use is almost always related with food safety and

environmental maintenance. Pesticides use has been increased greatly since green

revolution occurred in 1970, including organochlorin pesticides. The intensive pesticides

use tends uncontrolled in vegetables culture so that it impacts negatively on agroecological

systems and human healthy (Soejitno and Ardiwinata, 1999). Before adopting integrated

pests management (IPM), most farmers used highly organochlorin pesticides that were high

toxicity and longer persistence in soil, so that they potentially pollute environment (Indratin

and Wahyuni, 2012). Organochlorin pesticides are generally persistent and known as

Persistent Organic Pollutants (Harrad, 2010).

Lindane (∂-BHC) and endosulfan are organochlorine insecticide that commonly

used in vegetable land in the past, however organochlorines still found at present. Lindane

is neurotoxicant that its effect normally is seen within hours and results in increased

activity, tremors, prostration, carcinogenic and mutagenic effect. Endosulfan is odorless

high degree volatization, persistent, bio-accumulates in fatty tissues, neurotoxicant,

reproductive effect, and has the potential to migrate over long distances (Harrad, 2010).

According Rahmawati et al. (2013), concentration of organochlorine residues (heptachlor,

endosulfan, DDT, aldrin, dieldrin, dan lindane) were detected in local cultivation catfish of

Citarum (West Java Indonesia) watershed upstream of agriculture land in 2012 that higher

1-17 fold than organochlorine residues in 2010.

Magelang is one of vegetable production center in Central Java, Indonesia. Based on

interviews with selected farmers and agriculture agencies, Magelang is considered as center

for intensive vegetable and vegetable growers that use pesticides including Sukomakmur

Village, Kajoran district, Central Java. According to the research results of Ichwan et al.

(2007), blood of vegetable famers (47 farmers) at Sukapura village Kajoran district have

been exposed organochlorine insecticide residues that was including POPs group. Some

organochlorine include : lindane (0.0263 to 0.7732 ppm), aldrin (0.0273 to 0.0922 ppm),

heptachlor (0.0087 to 0.0412 ppm), and endosulfan (0.0083 to 0, 0498ppm). Therefore, a

study of organochlorines contaminated for agricultural land improvement was conducted.

A mitigation required to remediate theagricultural land that contaminated with

organochlorines. Agricultural land remediation technology with ecological, economic, and

social oriented, is needed. Farmer can exploit the potential of the natural resources available

in the local site. Agricultural land management required to maintain the ecological-based

sustainable agriculture. Agricultural based on ecological for the environment than chemical

practices and the potential to produce food continuously and maintain ecological agriculture

Page 296: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

277

(Shi, 2002). The limited information, the risk of failure, and the high cost are limiting

factors in the adoption of agricultural technology based on ecological sustainable (Shi and

Gill, 2005).

Mitigation effort to reduce insecticide residue of organochlorine compounds could

be done with amelioration, i.e. by using activated charcoal of agricultural waste. In the

surroundings, there are some agricultural wastes that have not been utilized optimally as for

coconut shell, rice husk, corncob, peanut shells, empty fruit bunch, etc. These materials are

available in abundance in each its area source (Rahayu et al., 2012;). According Rohaeni cit

Septiningrum and Apriana (2011), One hectare of corn can produce 1 ton corn cob waste,

but not economic value utilization yet. This potential can be used by farmersin cultivation

systems to increase productivity and value-added agricultural products. Agricultural wastes

can be made of activated charcoal which can be used as ameliorant for coating urea.

Activated charcoal is carboneous matter that has best porous structure with large

internal specific surface so that it retains various molecules on inner surface and could

adsorps several matters in neither gas phase nor liquid phase. Activated charcoal consists of

87-97% C and other elements such as oxigen, hydrogen, sulfur, and nitrogen (Choma and

Jaroniec, 2006). Activated charcoal from agricultural waste is ideal and favourable sites for

soil microbes, i.e. insecticide degradable microbes. Activated charcoal application into soil

increases microbial population that plays a role in pesticide residue degradation (Ogawa,

1994).

Nitrogen fertilizer use in agricultural land is generally less efficient because only

30-40% of N fertilizer that absorbed by agricultural crops and N loss more than 60-70%

(De Datta, 1987). Nitrogen losses in urea application could be as much as 60% (Kompas,

1997). Nitrogen losses occurred via ammonia volatilization, nitrification-denitrification, run

off, and leaching (De Datta et al., 1991). The major mechanism of N losses in agricultural

land is via denitrification that could be as much as 22-95% for all soil types (Chew and

Pushparajah, 1995), whereas N losses via ammonia volatilization from urea fertilization

could be as much as 30-47% (Fagi and Adiningsih, 1989). The objective of this study was

to evaluate effect of urea coated by activated charcoal on residue of lindane and endosulfan

and nitrogen uptake in vegetables cropping.

Ardiwinata (2004) reported that AC could adsorbed carbofuran drinking water

99,9% from initial concentration 2250 mg/L. Jatmiko et al., (2004) reported, AC compress

profenofos residue 16-49% in water effectively and increase soil fixation capability of

profenofos residue by 100-200% and chlorpirifos by 29-30%. Hilber et al. (2009) reported

that activated charcoal (AC) amendments have been suggested as a promising, cost method

to immobilize organic contaminant in soil such as dieldrin that could reduced by 800 mg/kg

of AC significantly from 0.012 to an average 0.004 mg/kg and total uptake from 2 to 1 µg.

AC amendment reduced dieldrin amount by 12-50% without reducing nutrients availability

in pot experiment. Ardiwinata et al. (2009), reported that AC of coconut shell can reduce

chlorpirifos residue in water of cabbage cropping about 50% as well as AC of rice husk,

AC coconut shell, AC coated urea, and zeolit could reduced lindan residue in water of

cabbage cropping up to 50%.

Page 297: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

278

Based on previous research, the AC potential as ameliorant to reduce pesticide

residue need developed as remediation technology agricultural soil in farmers level.

Decreasing of insecticide residue in environment can reduce negative impact to food and

environment quality. A research remediation in situ by AC of agriculture waste as urea

coating with microbial enrichment needed for its development in agriculture land especially

vegetable land with pesticide application intensively.

MATERIALS AND METHOD

Magelang is one of the vegetables centre that applied insecticide intensively for

long time in the past. Based on a survey result of identified insecticide residue, the present

organochlorine found in the soil at vegetables land. Therefore, the field experiment was

conducted in vegetables centre at Magelang, Central Java, Indonesia during 2010 WS.

Materials to be used in the research presented as follows. Soil type in experimental site was

Andisols with textural class of clay loamy (37% sand, 32% silt, 31% clay, moderately acid

(pH_H2O 5.43), pH_NaF value > 10, low available P (8.03 ppm P), high CEC (30.3

cmolkg-1), moderately organic C (2.12%). In addition are mustard seed, fertilizer (Urea

Coated AC) and urea prill, P and K fertilizer, concortia microbes, field tools: piezometer for

water leaching, soil sampler, bag sample, label, etc.

The experiment was arranged using randomized block design with three replicates

and seven treatments as follow :

U0 = Prill urea without activated charcoal coating as control

U1 =Urea coated with activated charcoal of coconut shell

U2 =Urea coated with activated charcoal of corncob

U3 =Urea coated with activated charcoal of coconut shell enriched consortia microbial

U4 =Urea coated with activated charcoal of corncob enriched consortia microbial

U5 =Urea coated with activated charcoal of coconut shell + spray of consortia microbial

U6 =Urea coated with activated charcoal of corncob + spray of consortia microbial

Green mustard was planted with spacing of 40 cm x 20 cm in each plot of 2m x 4m.

In treatment that enriched with consortia microbes, organochlorine degradable microbes

were used. Combination formula of coating used ratio of urea and activated charcoal was

80 : 20 and tapioca was used as glue in coating. Fertilizer rates used were 100 kg N, 100 kg

P2O5, 60 kg K2O per hectar. Nitrogen fertilizer was applied twice, 1/2N at planting time and

1/2N at cropping growth phase. Fertilizers of P and K were applied at planting time.

Organochlorin insecticide was applied into each plot with concentration of 5 ppm in aceton

dissolved in 1 liter of water for application. Plastic coated each plot in depth of50cm.

Parameters observed were total N uptake, crop biomass weight, and organochlorine

residue in soil, water, and crop. Organochlorin residue concentration was measured three

times, namely before planting time, after planting time, harvesting time. Analysis of

organochlorin residue measured was lindane and endosulfan.

Organochlorine insecticide residue of lindane and endosulfan in soil and water was

determined using SNI 06-6991.1-2004 and SNI 06-6990.1-2004 method. Concentration of

organochlorine insecticide residue was calculated based on the following formula :

Page 298: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

279

[Organochlorin of residue in ppm] = A × B

C ×

D

E ×

F

G

A = standard concentration (g/mL solution)

B = sample peak area (cm2)

C = standard peak area (cm2)

D = volume of standard solution injected (L)

E = volume of sample solution injected (L)

F = volume of heksane-eter extract (mL)

G = volume of supernatan (mL)

F/G = dilution factor

Data collected was analyzed using Statistical Analysis System (SAS) program

version 8.0 to test significant difference among treatments using analysis of variance and

duncan’s multiple range test.

RESULTS AND DICUSSIONS

Organochlorine Insecticide Residue

Table 1 showed that some organochlorine insecticides was detected in vegetable

land with Andisols soil at Kajoran, Magelang, namely endosulfan (0.004 ppm), lindane

(0.003 ppm), heptachlor (0.002-0.003 ppm), DDT (0.003 ppm), endrin (0.002-0.003 ppm),

dieldrin (0.010-0.012 ppm). Concentration residues of dieldrin, heptachlor, and DDT have

been higher than value of Aceptable Daily Intake (ADI).

Table 1. Concentration of organochlorine insecticide residue detected in vegetable land at

Kajoran, Magelang in 2010

Kind of organochlorine

insecticide

Range of concentration

(ppm)

Value

ofAceptable

Daily Intake*)

Endosulfan

Lindane

Heptachlor

DDT

Endrin

Dieldrin

nd–0.004

nd–0.003

0.002-0.003

nd–0.003

0002-0.003

0.010-0.012

0.008

0.008

0.0005

0.002

-

0.0001

Note :*)FAO and WHO (1998); - no available data; nd not detected; Base on research result,

2010

Figure 1 showed fluctuation of organochlorine residues in soil and water in green

mustard cropping during 2010 Wet Season. At 7 days after planting, organochlorine residue

in soil on treatments of U3, U4, U5, U6 generally declined compared than treatment of U0,

whereas organochlorine residue on U1 and U2 increased. Reduction of organochlorine

residues in soil was more than 50% which was found in certain organochlorine, such as 54-

73.5 % in lindane and 42.1-56.6 % in endosulfan, respectively. The organochlorine residue

Page 299: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

280

decrease in soil on U6 treatment was generally higher than U4 treatment. The U5 treatment

decreased organochlorine residue higher than the U3 treatment. Microbial inoculation into

activated charcoal which was used as urea coating appears to reduce organochlorine residue

in soil.

Application of urea coated activated charcoal reduced generally organochlorine

residues in water compared with control (Figure 1). The decrease of lindane and endosulfan

residue in water was 25-50% and 33.6-91.7 %, respectively. Residues of lindane and

endosulfan in water at 7 days after planting (DAP) were generally higher than at a day after

application (DAA). At 7 DAP, lindane residue in soil reduced 25.7-90.6% while endosulfan

residue in soil reduced as much as 33.6-91.7 %.

Figure 1. Effect of AC used as urea coating on residues of lindane in soil and water during

green mustard growth in WS 2010, (Harsanti et al., 2013)

TANAH

-100

0

100

200

300

400

500

600

700

U0 U1 U2 U3 U4 U5 U6

Ka

da

r L

ind

an

(p

pb

)

T0 T7 Tpanen

0

2

4

6

8

10

12

U0 U1 U2 U3 U4 U5 U6

Lin

dan

e co

nce

ntr

atio

n (

pp

b) WATER

1 days after application

7 days after application

SOIL

Lin

dan

e co

nce

ntr

atio

n (

pp

b)

Page 300: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

281

Figure 2. Effect of AC used as urea coating on residues of endosulfan in soil and water

during green mustard growth in WS 2010, (Harsanti et al., 2013)

Figure 1 and 2 showed that residues of lindane and endosulfan in soil at harvesting

time ranged 0-21 and 4-130 ppb, respectively. Residue concentration of lindane and

endosulfan under activated charcoal of corncob treatment was lower than under activated

charcoal of coconut shell treatment. According Ardiwinata and Harsanti (2014), activated

charcoal of corncob is the best for microbe population growth than coconut shell, rice husk,

and palm oil empty fruit bunches because corncob have high nutrition content.

Figure 3 showed that lindane residue in green mustard biomass was more than 0.1

ppm, while endosulfan content in green mustard biomass was less than 0.1 ppm. The

concentration of lindane and endosulfan in green mustard biomass ranged 21-582 ppb and

5-42 ppb, recpectively. Activated charcoal used as urea coating tend reduced insecticide

uptake by crop roots except in treatment of activated charcoal of coconut shell. Treatment

of urea coated by activated charcoal enriched microbes tend reduced residues of lindane

and endosulfan in crop higher than in treatment of urea coated by activated charcoal +

microbe spray in soil. Through microbial inoculation and enrichment in activated charcoal

for coating urea, residues of lindane and endosulfan in soil could be reduced because AC

can used as home of microbial (Ogawa, 1994).AC can used as carrier of microbes. The use

of indigenous microbes effect on growing plant ecological (Verma et al., 2014).

TANAH

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

U0 U1 U2 U3 U4 U5 U6

Kad

ar

En

do

su

lfan

(p

pb

)

T0 T7 Tpanen

0

2

4

6

8

10

U0 U1 U2 U3 U4 U5 U6

En

dosu

lfan

con

cen

trat

ion

(p

pb

) WATER1 days after application

7 days after application

SOIL

Endosu

lfan

conce

ntr

atio

n (

ppb

)

Page 301: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

282

Figure 3. Content of organochlorine insecticide residue (lindane and endosulfan) in green

mustard to some treatments of activated charcoal as urea coating in vegetables land at

Magelang, Wet Season 2010

Mustard plant biomass contains lindane in high levels especially in U0 and U5.

According to Przepiorski (2006), activated charcoal effectively adsorb compounds

organochlorine pesticides such compounds chlorinated pesticides (aldrin, DDT, PCBs, etc.)

but when the capacity adsorption on the surface of activated charcoal to the organochlorine

pesticide have saturated the organochlorine compounds dissolved in the soil solution

adsorbed can be lost through volatilization and leaching and absorbed by plant roots and

translocated into plant tissue, so that the plant was detected to contain high organochlorine

pesticide.

Organochlorine detection of pesticide residues in agricultural land indicates the

presence of very persistent pesticides in the soil so it can be carried on top of the plant at

harvest and ultimately will impact to human health. The existence of pesticide endosulfan

(organochlorine) also detected in blood samples of farmers earlier studies. Therefore, the

presence of organochlorine in the soil needs to be minimized. Capacity and absorption

through the large active charcoal pore structure and the presence of chemical groups on the

surface of activated charcoal (C = O, ions and ion C2H- C2) could play a role in minimizing

of pollution pesticide residues. In addition, the use of activated charcoal may enhance the

activity of soil microorganisms, thereby increasing degradation of contamination in soil

(Ardiwinata, 2004). The results of the analysis of microbial abundance in the soil in

vegetable land Sukomakmur Village Kajoran district, Magelang Citrobacter sp., Bacillus

sp., Azospirrilum sp., Azotobacter sp. And Sphaerotillusnatans., Pseudomonas, sp, and

BPF. Based on the abundance of microbial isolation while it is known that Bacillus sp. and

Azospirrilum sp., Pseudomonas sp., including degrading microbial insecticide with a

population of 109 that can be isolated for testing the ability of microbes to degrade POPs

(Matten et al., 1994). According Mohapatra and Awasthi (1997), Bacillus pumilis can

decipher more than 98% of carbofuran in 30 days.

0

100

200

300

400

500

600

700

U0 U1 U2 U3 U4 U5 U6

Co

nce

ntr

ati

on

(p

pb

)

Insecticide Residue in Green Mustard

Lindane Endosulfan

Page 302: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

283

Some organochlorine in soil can be fastened, so it accumulates in a relatively long

and somewhat difficult degraded organochlorine accumulate and tightly bound in a

relatively non-toxic soil. Chlorinated pesticides are generally easy and ready activated

charcoal sequestered as DDT, aldrin, atrazine, PCB, klorobensen, and other chlorinated

aromatic compounds, whereas other types of pesticides can also be adsorbed carbon active

medium (Przepiorski, 2006). According to Cornejo and Celis (2008), the behavior of

organochlorine in soil is influenced by soil among other essential component % organic C%

clay, soil pH, CEC, and soil moisture content. Decreased levels of organochlorine residues

in the soil is influenced by the nature or characteristics of organochlorine, solubility in

water, soil organic matter content and clay. Some organochlorine are fastened to the high

organic soil material, such as DDT, chlordane, lindane, and aldrin (Koumanova, 2008).

Tethered DDT in soil and soil or clay fraction with a higher proportion of soil organic

matter, than the level is relatively low solubility in water causes the degradation process

typically runs very slow.

Enrichment of microbial degradation of pesticides into activated charcoal is used as

the coating of urea in mustard vegetable crops tend to degrade organochlorine residues

greater than without consortia microbial inoculation. The role of microbes in the lower

levels of organochlorine carried through detoxification and degradation processes.

Degradation is a complex substrate transformation into a simple product that is often known

as mineralization. Detoxsity is a consequence of intense microbial degradation involving

enzymes in detoxification (Alexander, 1977). The rate of pesticide degradation by microbes

or microbial metabolism is accelerated by an increase in temperature or increase in dry soil

moisture and the rate of decomposition is often greater in the soil relatively rich in organic

matter such as soil Andisol (Cornejo and Celis, 2008). Without the role of microbes,

pesticides and degradation results will be transported into the plant tissue is consumed by

humans in a number of relatively higher than involving microbes that degrade pesticides

(Alexander, 1977).

Growth and Production of Green Mustard

Aplication of activated charcoal coated urea significantly affect plant height and

canopy width mustard plants while 7 day after fertilizer application, but did not

significantly affect the number of leaves (Table 4). In the early phase of the crop formation,

activated charcoal coated urea significantly affect the number of leaves (p <0.5), plant

height (p <0.0001), and the width of the canopy (p<0.0004). U2 and U3 treatment gives the

best plant growth while 7 day after the application of fertilizers and when 23 day after

transplanting (DAT). Activated charcoal from corncobs effective yield the highest plant

growth, but when enriched with microbial consortia provide plant growth is lower than not

enriched with consortia microbes, while the use of urea-coated coconut shell activated

charcoal enriched with microbes increased plant height and width of the canopy while 7

days after the initial application of fertilizer and cropping generation.

Page 303: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

284

Table 4. Conditions mustard plant growth while 7 day after fertilizer application and the

beginning of mustard cropping

Treatment Total of leaf Height of plant (cm) Width of canopy (cm)

7 DAP 21 DAP 7 DAP 21 DAP 7 DAP 21 DAP

U0

U1

U2

U3

U4

U5

U6

3,4 a

3,1 a

3,1 a

3,6 a

3,2 a

3,2 a

3,0 a

6,4 b

7,1 ab

8,2 a

7,5 ab

6,9 ab

6,2 b

6,3 b

4,8 b

4,3 c

5,6 a

5,2 ab

4,2 c

4,2 c

4,7 b

10,5 bc

10,3 bc

12,9 a

11,9 ab

9,1 cd

8,8 cd

7,8 d

6,4 ab

5,3 b

6,4 ab

6,9 a

6,0 ab

5,9 ab

5,4 b

17,2 abc

17,1 abc

21,5 a

18,8 ab

14,0 bcd

12,5 cd

11,9 d

Numbers in columns followed by the same letter are not significantly different means according to

the level of 5% DMRT; Based on research result, 2010

Note : U0 = Control (Urea uncoated by activated charcoal), U1 = Urea coated by coconut shell

activated charcoal; U2 = Urea coated by corncob activated charcoal, U3 = Urea coated by coconut

shell activated charcoal with microbial enrichment; U4 = Urea coated by corncob activated

charcoal with microbial concortia enrichment; U5 = Urea coated by coconut shell activated charcoal

+ spray concortia microbial in soil; U6 = Urea coated by corncob activated charcoal + spray

concortia microbial in soil; dap (day after planting)

Dry biomass yield mustard vegetables significantly affected by treatment of

activated charcoal as the coating of urea (p <0.0132). Low biomass yield indicated in the

treatment of U0, U4, U6 with biomass yield 0.86 respectively; 0.84; 0.77 t/ha. Treatment

U1, U2, U3, U5 each can produce dry biomass at 1.24; 1.49; 1.38; 1.49t/ha (Figure 4). Urea

coated with coconut shell activated charcoal enriched microbial consortia increased dry

biomass mustard.

Figure 5. Productivity of biomass dry mustard-treated urea coated by activated charcoal in

Magelang, Wet Season 2010 bar followed by the same letter are not significantly different

means according to Duncan's multiple range test 5%. (Harsanti et al., 2013)

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

2

U0 U1 U2 U3 U4 U5 U6

Bo

bo

t b

iom

as

sa

ke

rin

g

(t/h

a)

p < 0,0132

KK = 22,74%

b

ab

aa

b

a

b

Wei

gh

t o

f d

ry b

iom

ass

(t/h

a)

Page 304: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

285

Table 5 shows that treatment of activated charcoalas a coating of urea significantly

affect the mustard plant N up take and efficiency of urea(p <0.01). Activated charcoal

significantly increased N up take by 6-25kg N/ha. The highest N uptakes hown in the

activated charcoal treatment of corncobs (30.93 kg N/ha) followed by treatment of activated

charcoal from coconut shell+microbes (23.64 kgN/ha), while the lowest N up take indicated

in the treatment of urea without charcoal active (5.93 kg N/ha). Activated charcoal as a

coating of urea significantly increased the efficiency of urea by 5-24%. The highest N

fertilizer efficiency is shown on the treatment and the lowest U2 U1 treatment. The use of

urea-coated coconut shell activated charcoal enriched microbial N improve efficiency by

24.

Tabel 5. Nitrogen up take and physiological efficiency of urea fertilizer at mustard planting

in Magelang vegetable land in Wet Season 2010

Treatment Uptake of N

(kg N/ha)

Physiological

Efficiency

(kg/kg)

U0 (Pril urea)

U1 (Urea coated AC-coconut shell)

U2 (Urea coated AC-cobcorn)

U3 (Urea coated AC-coconut shell enriched

microbial)

U4 (Urea coated AC-cobcorn enriched microbial)

U5 (Urea coated AC-coconut Shell + spray microbial

in soil)

U6 (Urea coated AC-cobcorn + spray microbial in

soil)

5,93 e

11,96 d

30,93 a

14,81 c

11,67 d

23,64 b

13,10 cd

-

0,058 d

0,242 a

0,086 c

0,067 d

0,171 b

0,069 cd

KK (%) 7,16 10,41

Numbers in columns followed by the same letter are not significantly different means according to the

level of 5% DMRT; Based on research result, 2010.

Adding of activated charcoal as a coating of urea significantly increased N uptake

and physiological efficiency of urea fertilizer, so that nitrogen mustard plants can be used

as needed in the growth of plants. Activated charcoal as a habitat for a variety of microbes,

including microbes beneficial to plant growth such as Azotobacter, fastening nitrogen from

the air, nitrification bacteria that affect the dynamics of N in plant roots. The results of the

study in Japan stated that there has been an increase in the frequency of bacterial nitrogen

fixation on land use activated charcoal that is, 10-15% in Hokkaido and Tohoku (northern

Honshu), 36-48% in the Kanto to Chugoku (Honshu East-West) and Shikoku, 59-66% in

Kyushu (Ogawa, 1994).

When production exceeds the soil NO3 N uptake by plants, the N-NO3 will be

leached by water percolation because NO3 can be weakly bound to the surface of the soil

and the nature of the car. As a result, the amount of N-NO3 leached will be greater.

According Bandosz and Ania (2006), activated charcoal adsorption in addition to providing

Page 305: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

286

a high-power footprint comprising both micro pores and functional groups, can also

catalyze the surface, for example in the oxidation of SO2 H2SO4, complex catalysis

reaction of oxidation of NOx N2 reduction reaction N2 in environmental remediation. So

it is possible also active role in catalyzing carbon oxidation reaction NH4+ NO3

-.

Availability of N in the soil as indicated by levels of NH4+>15 mg / 100 g at the

beginning of plant growth and the formation of the crop showed that immersion of urea into

the soil can reduce N losses greater. Immersion time and urea is the prospect of improving

agronomic efficiency by reducing the loss of N and N supply more in line with the needs of

the plant, especially in the critical phases of plant growth. Incorporation of urea into the soil

aerobic aims to reduce N losses from volatilization of NH3 (De Datta and Buresh, 1989).

CONCLUSION

Activated charcoal as a coating of urea can reduce organochlorine residues in the

soil more than 50% during the 7-day-old mustard plants. Fortification of activated charcoal

as a coating urea decrease organochlorine residues in plants is higher than that of urea

treatment without activated charcoal. Activated charcoal enriched microbial decrease tends

to degrade organochlorine residues higher than activated charcoal without degrading

microbes enriched. Urea-coated activated charcoal from coconut shell and corncob with

microbial inoculation can reduce organochlorine (lindane and endosulfan) residue and give

low physiological efficiency (kg/kg) value .

Fortification of activated charcoal as a coating urea tends to be higher in biomass

mustard plants. Fortification of activated charcoal as a coating of urea significantly

increased N up take mustard for 6-25 kg N / ha and urea fertilizer efficiency by 5-24%.

ACKNOWLEDGEMENTS

Acknowledgements to the Ministry of Research and Technology for providing

research funding incentives Research and Technology Program in 2010. Sincere

appreciation presented to the technician (Slamet Rianto, Nana, Cahyadi, A.Md, Sarwoto,

BSc., And Aji M Tohir) and laboratory assistant at the Laboratory of Environmental

Research Institute of Agriculture which has helped in the implementation of field trials and

laboratory analysis, agriculture agency and local government of Magelang. The authors also

wish to thank to Prof. Raldi Hendro Koestoer, Ph.D of Universitas Indonesia for his helpful

comment on the first draft of this paper. However, possibly mistakes are born to the writers.

REFERENCES

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. Second Edition. John Wiley &

Sons, Inc. New York, Santa Barbara, Toronto.

Ardiwinata, A.N. 2004. Pengaruh Penambahan Karbon Aktif Tempurung Kelapa dan

Sekam Padi di Tanah Terhadap Residu Karbofuran (2,3-dihidro-dimetil-7-

benzofuranil-N-metil karbamat) di dalam Tanah, Air, dan Tanaman Padi. Disertasi

Doktoral Universitas Indonesia. Jakarta.

Ardiwinata, A.N., E.S. Harsanti, S. Wahyuni, Poniman, Indratin, Ali Ichwan, A. Kurnia,

dan E. Sulaeman. 2009. Pengembangan teknologi penanggulangan pencemaran

Page 306: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

287

untuk menurunkan residu insektisida (organoklorin dan organofosfat) hingga 50%

pada pertanaman padi dan kubis. Laporan Penelitian Badan Litbang Pertanian. 85

p.

Ardiwinata, A.N., E.S. Harsanti, S. Wahyuni dan E. Sulaeman. 2010. Aplikasi urea berlapis

arang aktif pada lahan padi untuk mendukung P2BN. Laporan Penelitian Badan

Litbang Pertanian. 110 p.

Ardiwinata, A.N. and E.S. Harsanti. 2014. Remediation of insecticide residues in soil using

activated carbon. Lingkungan Tropis 8(2): 69-79.

Bandosz, T.J., and C.O. Ania. 2006. Surface chemistry of activated carbons and its

characterization. pp. 159-229 in Bandosz, T.J. (ed.). Activated Carbon Surfaces in

Environmental Remediation.Elsevier.

Chew, P.S., and E. Pushparajah. 1995. Nitrogen management and fertilization of tropical

plantation tree crops. Page 225-293 in Nitrogen fertilization in the environment.

P.E. Bacon Eds. Marcel Dekker, Inc., New York-Basel-Hongkong.

Choma, J., and M. Jaroniec. 2006. Characterization of nanoporous carbons by using gas

adsorption isotherms. p. 107-158 in Bandosz, T.J. (ed.). Activated Carbon

Surfaces in Environmental Remediation.Elsevier.

Cornejo, J., and R. Celis. 2008. Remediation of contaminanted soils and water with organic

chemicals by means of natural, anionic and organic clays. pp. 355-368 in

Mehmethi, E., & B. Koumanova (eds.). The Fate of Persistent Organic Pollutants

in The Environment. Springer, Netherlands.

De Datta, S.K. 1987. Nitrogen transformation processes in relation to improved cultural

practices for low land rice. Plant and Soil 100: 47-69.

De Datta, S.K., R.J. Buresh, R.J. Samson, M.N. Obecemea, and J.G. Real. 1991. Direct

measurement of ammonia and denitrification fluxes from urea applied to rice. Soil

Sci. Soc. Am. J. 55: 543-548.

Fagi, A.M., and J. Sri Adiningsih. 1989. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada padi

sawah irigasi dan tadah hujan. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi

Penggunaan Pupuk, Cipayung, 21 November 1988. hal. 19-35.

FAO. 1998. Regional Meeting on Herbicides Resistancwe. Teagu, Korea 29 June – 3 July

1998. Plant Production and Protection Division Food and Agric. Org. of United

Nation, Roma.

Granli, T., and O.C. Bockman. 1994. Nitrous oxide from agriculture. Norwegian Journal of

Agricultural Sciences Supplement No. 12.

Hilber, I., G.S. Wyss, P. Mader, T.D. Bucheli, I. Meier, L. Vogt, and R. Schulin. 2009.

Influence of activated charcoal amendment to contaminated soil dieldrin and

nutrient uptake by cucumbers. Environmental Pollution 157:2224-22230

Ichwan, A., A.N. Ardiwinata, Poniman, S. Wahyuni, Indratin, dan A. Kurnia. 2007.

Dampak negatif residu bahan agrokimia di sentra produksi sayuran di Jawa.

Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. BBSDLP.

Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Indratin and S. Wahyuni. 2013. Coating technology of urea fertilizer with activated

charcoal fortified with microbial to reduce residual heptachlor and DDT.

Lingkungan Tropis. 6(2): 139-148.

Page 307: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

288

Jatmiko, S.Y. ,Harsanti, E.S., dan A.N. Ardiwinata. 2004. Teknologi remediasi lahan dan

tanaman bawang merah akibat residu pestisida. Laporan Akhir Tahun. Unpublish

Koumanova, B. 2008. Distribution of POPs in aquatic ecosystems and processes for their

removal. pp. 239-249 in Mehmethi, E., & B. Koumanova (eds.). The Fate of

Persistent Organic Pollutants in The Environment. Springer, Netherlands.

Matten, A., S. Chapalamadugu, B. Kaskar, A.R. Bhatti, and G.R. Chaudhry. 1994.

Microbial metabolism of carbamate and organophosphate pesticides. In G.R.

Chaudry (Ed.), Biological Degradation and Bioremediation of Toxic Chemicals.

First Eds. Chapman & Hall. p198-233

Mohapatra, S. and M. D. Awasthi. 1997. Enhancement of carbofuran degradation by soil

enrichment cultures, bacterial cultures and by synergistic interaction among

bacterial Cultures. Pestic. Sci. 49 : 146-148.

Ogawa, M. 1994. Symbiosis of people and nature in the tropics: Tropical agriculture using

charcoal. Farming Japan 28(5) : 21-30.

Przepiorski, J. 2006. Activated carbon filters and their industrial applications. pp. 421-474

pp. 107-158 in Bandosz, T.J. (ed.). Activated Carbon Surfaces in Environmental

Remediation. Elsevier.

Rahmawati, S., G. Margana, M. Yoneda, and K. Oginawati. 2013. Organochlorine pesticide

residue in Catfish (Clarias sp.) collected from local fish cultivation at Citarum

watershed, West Java Province, Indonesia. Procedia Environmental Sciences 17

(3–10). Elsevier B.V.doi: 10.1016/j.proenv.2013.02.005

Septiningrum, K dan Apriana,C.P. 2011. Produksi xilanase dari tongkol jagung dengan

sistem bioproses menggunakan Bacillus circulans untuk pra-pemutihan pulp .

Jurnal Riset Industri Vol V No. 1. 2011. Hal. 87-97.

Shi, T. 2002. Ecological agriculture in China: bridging the gap between rhetoric and

practice of sustainability. Ecological Economics 42:359-368.

Shi, T and Gill, R. 2005. Developing effective policies for the sustainable development of

ecological agriculture in China: The case study of jinshan county with a systems

dynamics model. Ecological Economics 53: 223-246.

SNI 01-1682-1996. Standar Arang Tempurung Kelapa. Badan Standarisasi Nasional.

Jakarta

SNI 06-6991.1-2004 tentang Analisis Residu Organoklorin dalam Tanah. Badan

Standarisasi Nasional. Jakarta

SNI 06-6990.1-2004 tentang Analisis Residu Organoklorin dalam Air. Badan Standarisasi

Nasional. Jakarta

Soejitno, J., dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu pestisida pada agroekosistem tanaman

pangan. Hal. 72-90 dalam Partohardjono, S., j. Soejitno, Hermanto (Eds.). Menuju

Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Verma, J.P., D.K. Jaiswal, and R. Sagar. 2014. Pesticide relevance and their microbial

degradation: A state of art. Review Environmental Science Biotechnology. DOI

10.1007/s11157-014-9341-7.

Page 308: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

289

POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH BIOGAS DAN URINE SAPI SEBAGAI PUPUK DAN PESTISIDA UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI PADI DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN

Mulyadi, Duri dan W. Purbalisa

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km. 5 Jaken-Pati, Central Java, Indonesia

59182

Abstrak. Limbah kotoran sapi sebagai pupuk dan pestisida pada pertanaman padi

gogorancah di lahan sawah tadah hujan. Penelitian dilaksanakan pada musim tanam

pertama (gogo rancah MH. 2012-2013) di Kebun Percobaan Jakenan, Balai Penelitian

Lingkungan Pertanian. Menggunakan rancangan acak kelompok diulang 3 (tiga) kali,

ukuran plot = 3,6m x 8m. Varietas yang ditanam meliputi Situ Bagendit, Ciboga, Ciherang,

IR 64, Inpari 13, 14, 15, 17, 18, 20 dan Inpari Sidenuh. Cara tanam jajar legowo (5x1) jarak

tanam 20cm x 20cmx 50cm, jumlah gabah 3-4 biji per lubang tanam. Pemupukan 5 t/ha

kompos Balingtan, 5 t/ha sludge, 30000 l/ha slurry dan tanpa pemberian pupuk kimia.

Pengendalian HPT menggunakan pestisida dari urine sapi dan ekstrak daun mimba. Hasil

penelitian adalah berat gabah kering tertinggi diperoleh dari varietas Inpari Sidenuh

kemudian diikuti oleh varietas Inpari 20, 14, 17, 18 dan Ciherang masing-masing adalah

6,5; 5,8; 5,8; 5,7; 5,6; dan 5,2 t/ha, atau meningkat masing-masing sebesar 26,5; 12,9;

12,9; 11,0; dan 9,0% dibandingkan Ciherang, sedangkan 5 varietas lainnya lebih rendah

dari Ciherang. Demikian pula jumlah gabah per malai tertinggi varietas Inpari Sidenuh 186

butir/malai dan meningkat 24,0 % dari Ciherang.

Kata kunci : Ampas biogas, kompos, urine sapi, padi

Abstract. The purpose of this study was to find out the response of some rice varieties from

the provision of cow dung waste as fertilizer and pesticide in the cultivation of rice

gogorancah in rainfed lowland. The research was conducted on the first season (gogo

rancah in WS. 2012-2013) at Jakenan Experimental Station, Indonesian Agricultural

Environment Research Insttitute. Experimental design by randomized completely block

design, replicated 3 (three) times, plot size = 3.6m x 8m. Planted varieties included Situ

Bagendit, Ciboga, Ciherang, IR 64, Inpari 13, 14, 15, 17, 18, 20 and Inpari Sidenuh. How

to plant row legowo (5x1) spacing 20 cm x 20 cmx 50 cm, the number of grains 3-4 seeds

per hole. Fertilization 5 t / ha compost Balingtan, 5 t / ha sludge, 30000 l / ha slurry and

without the application of chemical fertilizers. Control of HPT using pesticides from cow

urine and mimba leaf extract.The results of the research were the highest dry weight of the

varieties of Inpari Sidenuh followed by Inpari 20, 14, 17, 18 and Ciherang respectively 6.5;

5.8; 5.8; 5.7; 5.6; and 5.2 t / ha, or an increase of 26.5 each; 12.9; 12.9; 11.0; and 9.0%

compared to Ciherang, while the other 5 varieties are lower than Ciherang. Similarly, the

highest number of grains per panicle of Inpari Sidenuh varieties was 186 seeds / panicle and

increased by 24.0% from Ciherang.

Keywords: biogas, compost, cow urine, paddy

29

Page 309: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

290

PENDAHULUAN

Lahan tadah hujan berpotensi untuk digunakan sebagai areal peningkatan produksi

padi. Sesuai dengan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2009 mengenai perlindungan lahan

pertanian pangan berkelanjutan, bahwa lahan tidak beririgasi (lahan tadah hujan) termasuk

dalam lahan pertanian pangan berkelanjutan. Luas lahan tadah hujan di Indonesia mencapai

3.292.578 ha (Kementerian Pertanian, 2014).

Permasalahan lahansawah tadah hujan adalah produksi padi rendah, kesuburan

tanahnya rendah dan rentan terhadap cekaman kekeringan. Peningkatan produksi dari segi

budidaya dilakukan dengan pemberian pupuk anorganik terutama pupuk unsur makro.

Penggunaan pupuk kimia yang secara terus menerus tanpa diikuti pemberian pupuk organik

dapat menurunkan kualitas sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Penambahan bahan organik

khususnya pada tanah sawah sangat diperlukan karena, 95% lahan-lahan pertanian di

Indonesia mengandung bahan organik kurang dari 1%, padahal batas minimal kandungan

bahan organik yang dianggap layak untuk lahan pertanian adalah 4 - 5% (Musnamar, 2006).

Kompos hasil fermentasi pupuk kandang dan bakteri pengurai dapat menggantikan

pupuk kimia untuk meningkatkan kesuburan tanah sekaligus memperbaiki kerusakan sifat-

sifat tanah akibat pemakaian pupuk anorganik (kimia) secara berlebihan dan dapat

meningkatkan dan menjaga kestabilan produksi (Tola et al., 2007).

Limbah (ampas) biogas berasal dari kotoran sapi yang diproses dalam reaktor

biogasmerupakan pupuk organik yang potensial. Terdapat dua macam pupuk dari ampas

biogas yaitu dalam bentuk cair adalah slurry sedangkan sludge adalah slurry yang sudah

dikeringkan. Slurry dan sludge mengandung berbagai nutrisi yang sangat penting untuk

pertumbuhan tanaman. Nutrisi makro seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K),

Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan Sulfur (S), dan nutrisi mikro seperti Besi (Fe),

Mangan (Mn), Tembaga (Cu), dan Seng (Zn). Selain unsur hara, pupuk bio-slurry cair

mengandung asam amino, hormon auksin dan sitokinin (Tim Biru, 2013). Penelitian di luar

negeri memperlihatkan pemakaian Bio-slurry pada padi, gandum, dan jagung dapat

meningkatkan produksi masing-masing sebesar 10%, 17%, dan 19%.

Respons varietas padi terhadap waktu pemberian pupuk organik bisa tidak sama satu

dengan yang lainnya. Adisarwanto (2006) menyatakan bahwa keunggulan suatu varietas

dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik varietas dengan kondisi lingkungan

tumbuh. Pengelolaan lingkungan tumbuh yang tidak sesuai dapat menyebabkan potensi

hasil yang tinggi dari suatu varietas tidak akan muncul.

Varietas unggul padi adaptif dan pupuk organik merupakan komponen penting

teknologi spesifik agroekologi pada budi daya padi sawah tadah hujan. Untuk itu penelitian

ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui respon beberapa varietas padi dengan

pemberian pupuk kompos dan limbah biogas serta pestisida urine sapi.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Jakenan padi padi gogo rancah (gora)

MH. 2012/2013 menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), diulang 3 kali, perlakuan

11 varietas padi (Situ Bagendit, Ciboga, Ciherang, IR 64, Inpari 13, 14, 15, 17, 18, 20 dan

Page 310: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

291

Inpari Sidenuh). Varietas Ciherang yang merupakan varietas paling luas ditanam petani,

dipakai sebagai pembanding. Benih padi ditanam jajar legowo (5x1) jarak tanam 20 cm x

20 cm x 50 cm pada petak ukuran 3,6 m x 6 m, jumlah gabah 3-4 biji/lubang tanam.

Jenis pupuk yang digunakan adalah kompos Balingtan, sludge, dan slurry, kompos

dan sludge masing-masing dosis adalah 5 t/ha, sedangkan slurry 30000 l/ha, tanpa

pemberian pupuk kimia. Sludge adalah ampas biogas yang sudah ditiris/dikering anginkan

dan tidak dibawah sinar matahari langsung, sedangkan slurry limbah cair hasil proses

fermentasi anaerob pada instalasi biogas.

Teknik pemupukan, kompos diaplikasikan setelah tanam dengan cara ditabur pada

barisan tanaman sekaligus untuk menutup lubang tanam, sedangkan sludge diberikan 14

hari setelah tanam dengan ditabur pada berisan tanaman. Slurry diberikan 3 kali yaitu pada

21, 35 dan 50 hari setelah tanam dosis 10.000 l/ha setiap aplikasi dengan dialirkan antar

barisan tanaman.

Pengendalian HPT menggunakan pestisida yang berasal dari bahan urine sapi dan

ekstrak daun mimba dengan perbandingan 2 l urine sapi, ½ kg ekstrak daun mimba

ditambah 10 liter air dicampur dan diinkubasi selama 2 minggu. Dosis aplikasi adalah 500

ml pestisida untuk 1 tangki semprot volume 14 liter. Aplikasi pestisida dimulai setelah

tanaman berumur 21 hari dengan interval aplikasi 10 minggu sampai tanaman berumur 71

hari.

Parameter meliputi analisa tanah awal, kompos balingtan, sludge dan slurry,

pertumbuhan tanaman saat panen, hasil gabah dan komponen hasil. Analisis statistic

dengan uji Duncan's multiple range test (DMRT) pada taraf 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisa tanah awal lokasi penelitian kandungan C organik, demikian pula N, P

dak K total, bahkan KTK (cmol(+)/kg) dan K-dd sangat rendah, sedangkan Ca dan Mg

dapat ditukar termasuk sedang. Tanah kebun percobaan Jakenan pada lapisan olah

kedalaman 0-20 cm bertekstur lempung berpasir (Tabel 1). Kandungan bahan organik tanah

yang rendah berakibat tanah menjadi sakit, mampat, dan produksi tidak berkelanjutan

(Sutanto, 2002). Nurwadjadi et al (2010) menyatakan kandungan C organik tanah yang

rendah menjadi penghambat dan mengancam keberlanjutan produksi. upaya untuk

meningkatkan produktivitas lahan dan keberlanjutan produksi padi di sawah tadah hujan

diantaranya adalah dengan pemberian berbagai pupuk organik.

Page 311: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

292

Tabel 1. Karakteristik kimia tanah

Karakteristik tanah Nilai

C organik (%) 1,95

N total (%) 0,19

P total (%) 0,07

K total (%) 5,27

KTK (cmol(+)/kg) 4,48

Kation dapat ditukar

K-dd (cmol(+)/kg) 0,08

Na-dd (cmol(+)/kg) 1,22

Ca-dd (cmol(+)/kg) 8,01

Mg-dd (cmol(+)/kg) 1,60

Tekstur : Pasir (%) 38,8

Debu (%) 50,5

Liat (%) 10,7

Komposisi hara makro-mikro pupuk organik :

Kompos Balingtan dibuat dari bahan utama ledok atau blotong dari limbah padat

pabrik gula dari pemurnian nira dan kotoran hewan (kohe) sapi perbandingan 2 : 1

ditambah dedak dan gamping masing masing 1 dan 0,2 % dari campuran ledok dan kohe

dan untuk mempercepat proses fermentasi ditambahkan biofektan. Sludge atau ampas

biogas padat adalah ampas bioagasbasah diangin anginkan atau kering udara selama ±30

hari, dan dilakukan pembalikan secara merata setiap seminggu akan diperoleh sludge yang

berkualitas. Slurry atau ampas biogas basah yang keluar dari outlet reactor biogas

diendapkan atau didiamkan di lubang penampungan minimal selama 1 minggu untuk

mengurangi atau menghilangkan gas yang tidak baik bagi tanaman dan dapat digunakan

langsung pada tanaman atau diencerkan dengan air dengan perbandingan 1:1.

Pupuk organik jenis kompos dan slurry kandungan C-organik dan C/N ratio telah

memenuhi standar sebagai pupuk organik remah/curah yang berkualitas berdasarkan

Permentan Nomor 70/SR.140/10/2011, sedangkan sludge masih dibawah standar mutu.

slurry sebagai pupuk organik yang berkualitas hal ini ditujukkan dengan rata-rata

kandungan C-organik yang lebih tinggi dari kompos dan sludge. Kandungan N, P dan K

pada kompos, sludge dan slurry semuanya masih dibawah standar mutu (Tabel 2).

Meskipun kandungan hara N, P dan K masih dibawah standar, kelebihan penggunaan

sludge dan slurry adalah nutrisi tidak mudah tercuci atau hilang adalah asam humat, dimana

kandungan asam humat di dalam bio-slurry berkisar dari 10 – 20% (Tim Biru 2013).

Page 312: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

293

.Tabel 2. Kandungan hara pada pupuk organik

Pupuk organik C-org

(%)

N-org

(%)

N-total

(%)

P-total

(%)

K-total

(%) C/N

Kompos Balingtan 17.36 0,69 2.66 0.69 0,42 25,16

Sludge 12,87 - 0,22 0,13 1,07

Slurry 33,59 2,01 2,04 - - 16,68

a. Kompos Balingtan b. Reaktor biogas

c. Slurry (ampas cair) d.Sludge (ampas padat)

Gambar 1. Pupuk organik kompos Balingtan, slurry dan sludge

Hasil Gabah Kering

Hasil gabah kering tertinggi pada varietas Inpari Sidenuh dan diikuti Inpari 20, 14,

17, 18 dan Ciherang masing-masing adalah 6,5; 5,8; 5,8; 5,7; 5,6; dan 5,2 t/ha, atau

meningkat masing-masing sebesar 26,5; 12,9; 12,9; 11,0; dan 9,0% dari Ciherang,

sedangkan 5 varietas lainnya Situ Bagendit, Ciboga, IR 64, Inpari 13 dan Inpari 15 turun

masing-masing sebesar 8,4; 5,2; 12,9; 8,4; dan 4,5% dari Ciherang (Gambar 2).

a b

c d

Page 313: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

294

Gambar 2. Hasil gabah dari beberapa varietas dengan pemupukan organik pada padi Gora

di KP. Jakenan MH. 2012/2013

Hasil gabah merupakan hasil korelasi dari komponen hasil, yaitu jumlah malai per

rumpun, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi dan bobot 1000 butir gabah isi.

Tingginya salah satu komponen hasil dapat menjadi faktor penyebab hasil gabah menjadi

tinggi. Hal ini terlihat pada jumlah gabah per malai varietas Inpari Sidenuh paling tinggi

186 gabah per malai (Tabel 3). Hasil padi ditentukan baik secara genetik maupun oleh

berbagai faktor lingkungan yaitu iklim, hara/tanah dan air, (Norman et al., 1984).

Selanjutnya Miah et al. (1996) menyatakan varietas padi yang mampu memanfaatkan

radiasi matahari yang tinggi untuk proses asimilasi akan mengakumulasikan asimilat untuk

laju pertumbuhan tanaman yang tinggi pada stadia prapembentukan malai dan akan

menghasilkan gabah yang tinggi.

Pertumbuhan tanaman, hasil dan komponen hasil

Tinggi tanaman varietas Ciboga menghasilkan pertumbuhan tanaman paling tinggi

dan berbeda nyata dengan 10 varietas lainnya (Tabel 3). Tinggi tanaman dipengaruhi oleh

faktor genetik dan lingkungan dimana untuk masing–masing varietas mempunyai

keunggulan tersendiri, seperti pada varietas Ciboga memiliki keunggulan dalam tinggi

tanaman. Hal ini sesuai dengan Sitompul dan Guritno (1995) yang menyatakan bahwa

perbedaan susunan genetik merupakan salah satu penyebab keragaman penampilan

tanaman. Program genetik yang diekspresikan pada berbagai sifat tanaman yang mencakup

bentuk dan fungsi tanaman yang menghasilkan keragaman pertumbuhan tanaman.

Jumlah malai per rumpun varietas Inpari 20 paling tinggi dan berbedanyata dengan

10 varietas lainnya. Jumlah malai per rumpun berkaitan erat dengan kemampuan tanaman

menghasilkan anakan dan kemampuan mempertahankan berbagai fungsi fisiologis

tanaman. Semakin banyak anakan yang terbentuk semakin besar peluang terbentuknya

anakan yang menghasilkan malai. Siregar (1981), menyatakan bahwa pada saat tanaman

mulai berbunga hampir seluruh hasil fotosintesis dialokasikan ke bagian generatif tanaman

(malai) dalam bentuk tepung. Selain itu, terjadi juga mobilisasi karbohidrat protein dan

mineral yang ada di daun, batang dan akar untuk dipindahkan ke malai.Jumlah gabah per

malai terbanyak dicapai oleh varietas Inpari 20 sebanyak 186 bulir per malai dan berbeda

Page 314: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

295

nyata dengan 10 varietas lainnya. Setiap varietas mempunyai jumlah gabah per malai yang

spesifik. Varietas yang mempunyai malai panjang akan menghasilkan jumlah gabah per

malai yang lebin besar. Panjang malai dipengaruhi oleh faktor genetik dari varietas serta

daya adaptasi varietas itu pada lingkungan tumbuh tanaman. Panjang malai ini dapat

diterima petani dengan baik jika memilki malai yang panjang dan gabah, matang serempak

(Sirappa et al.,2009)

Tabel 3. Hasil dan komponen hasl dari beberapa varietas dengan pemupukan kompos,

sludge & slurry pada padi Gora di KP.Jakenan MH. 2012-2013

No. Varietas

Hasil

gabah

(t/ha)

Tinggi

tanaman

(cm)

Jumlah

malai/

rumpun

Jumlah

gabah/

malai

(bulir)

Bobot gabah

1000 butir (g)

1 Situ

Bagendit 4,7 f 105 c 17 e 124 h 26,5 c

2 Ciboga 4,9 e 118 a 17 e 148 e 27,9 a

3 Ciherang 5,2 d 115 b 18 e 150 e 27,0 b

4 IR 64 4,5 g 116 b 25 b 120 I 24,1 g

5 Ipari 13 4,7 f 101 f 20 d 145 f 25,2 f

6 Inpari 14 5,8 b 103 de 24 bc 164 b 25,9 de

7 Inpari 15 4,9 e 105 c 20 d 153 d 26,5 c

8 Inpari 17 5,7 bc 105 c 25 b 136 g 25,5 e

9 Inpari 18 5,6 c 93 g 23 c 166 b 28,2 a

10 Inpari 20 5,8 b 102 ef 28 a 156 c 26,4 c

11 Inpari

Sidenuh 6,5 a 104 cd 18 e 186 a 26,2 cd

Varietas Inpari 18 dan Ciboga memiliki berat gabah 1000 butir masing-masing 28,2

dan 27,9 lebih tinggi dan berbeda nyata dengan 9 varietas lainnya. Setiap varietas berbeda

dalam menyelesaikan fase generatif yaitu pada pengisian bulir gabah sehingga berpengaruh

pada berat bulir tersebut. Garside, Lawn dan Byth (1992) dalam Hatta et al. (2010).

Semakin banyak gabah yang terbentuk semakin berat beban tanaman untuk membentuk

gabah berisi (bernas). Karakteristik kemampuan tanaman menghasilkan gabah bernas selain

dipengaruhi oleh genetik juga dipengaruhi oleh ketersediaan hara dan terjaminnya proses

fisiologis tanaman (Hatta et al., 2010).

KESIMPULAN

1. Varietas yang diuji memiliki tanggap yang berbeda dengan pemupukan kompos, sludge

dan slurry pada padi gogorancah di lahan sawah tadah hujan.

Page 315: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

296

2. Varietas berpengaruh nyata terhadap hasil gabah, tinggi tanaman, jumlah malai/rumpun,

jumlah gabah/ malai dan bobot gabah 1000 butir.

3. Inpari Sidenuh memberikan hasil gabah dan jumlah gabah per malai tertinggi,

sedangkan tinggi tanaman, Jumlah malai/rumpun dan bobot gabah 1000 butir tertinggi

masing-masing dihasilkan oleh varietas Ciboga, Inpari 20 dan Inpari 18.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2006. Budidaya Kedelai dengan Pemupukan yang Efektif dan

Pengoptimalan Peran Bintil Akar. Penebar Swadaya. Jakarta. 107 hlm.

Hatta, M., C.N. Ichsan, and Salman. 2010. Respon beberapa varietas padi terhadap waktu

pemberian bahan organik pada metode SRI. Jurnal Floratek 5: 43 – 53.

Kementerian Pertanian. 2014. Statistik Lahan Pertanian Tahun 2009 - 2013. Jakarta: Pusat

Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jendral - Kementerian Pertanian.

Miah, M.H., T. Yoshida, Y. Yamamoto and Y. Nitta. 1996. Characteristics of dry matter

production and partitioning of dry matter in high yielding semi-dwarf indica and

japonica indica hybrid rice varieties. Jpn. Crop Sci. 65: 672-685.

Musnamar, E.I. 2006. Pembuatan dan Aplikasi Pupuk Organik Padat. Seri Agro Tekno

Penebar Swadaya, Cimanggis, Bogor.

Norman, .J.T., C.J Pearson, and P.G.E. Searle. 1984. The ecology of tripical food crops.

CambridgeUniversity Press

Nurwadjadi, B. Mulyanto, B. Sabihan, A. Poniman, Suwardi. 2010. Indeks keberlanjutan

lahan sawah untuk mendukung penataan ruang. Jurnal Tanah dan Iklim 32: 13-27.

Sirappa, M.P. dan ED. Waas. 2009. Kajian varietas dan pemupukan terhadap peningkatan

hasil padi sawah di dataran Pasahari, Maluku Tengah. J. Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian 12(1): 79-90

Siregar, H,. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Sastra Budaya. Bogor

Sitompul, S.M., and B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada.

Yogyakarta.

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta. 218p.

Tim Biru, 2013. Pedoman Pengguna dan Pengawas Program BIRU Indonesia Domestic

Biogas Programme Yayasan Rumah Energi (YRE), 2013,

Tola, F., Hamzah, Dahlan, dan Kaharuddin. 2007, Pengaruh penggunaan dosis pupuk

bokashi kotoran sapi terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung. Jurnal

Agrisistem 3(1):1-8..

Page 316: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

297

PENURUNAN RESIDU ENDRIN PADA PEMBERIAN UREA ARANG AKTIF DAN UREA BIOCHAR DI LAHAN PERTANIAN PADI INTENSIF

Poniman, A.N. Ardiwinata, dan Aji M.Tohir

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian; Jl. Raya Jakenan-Jaken KM.05, Pati 59182;

[email protected],id

Abstrak.Endrin (C12H8Cl6O) merupakan salah satu insektisida golongan organoklorin yang

banyak digunakan untuk memberantas hama tanaman pada dekade 70-an. Endrin dikenal

sebagai insektisida efektif terhadap hampir semua serangga hama tanaman padi, sehingga

penggunaannya mendapat respon baik di kalangan petani. Penggunaan endrin telah dilarang

di Indonesia, namun residunya masih ditemukan. Penelitian dengan tujuan untuk

mengetahui kemampuan arang aktif, biochar, dan mikroba konsorsia dalam menurunkan

residu endrin di lahan pertanian telah dilaksanakan di Desa Plandi, Kecamatan Jombang,

Kabupaten Jombang, MK-I 2015. Penelitian dirancang menggunakan rancangan acak

kelompok, 3 ulangan, dan 6 perlakuan. Perlakuan tersebut adalah: (1) Urea arang aktif

tempurung kelapa + mikroba (UAATKM) rekomendasi KATAM, (2) Urea arang aktif

tongkol jagung+mikroba (UAATJM) rekomendasi KATAM, (3) Urea biochar tempurung

kerlapa+mikroba (UBTKM) rekomendasi KATAM, (4) Urea biochar tongkol

jagung+mikroba (UBTJM) rekomendasi KATAM, (5) KATAM (300 kg/ha urea dan 75

kg/haSP36), dan (6) Kontrol dengan pola petani (350 kg/ha urea + 350 kg/ha phonska +

350 kg/haZA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Urea berlapis arang aktif (UAATKM

dan UAATJM) efektif menurunkan residu endrin dalam contoh tanah dan contoh air

sedangkan urea berlapis biochar (UBTKM dan UBTJM) efektif menurunkan residu endrin

dalam contoh beras. Urea berlapis arang aktif (UAATKM dan UAATJM) dan urea berlapis

biochar (UBTKM dan UBTJM) memiliki kekhususan yang berbeda terhadap hasil gabah

kering giling (GKG). Urea berlapis biochar (UBTKM dan UBTJM) menghasilkan GKG

lebih tinggi dibanding kontrol dan sebanding dengan KATAM.

Kata kunci: Residu endrin, urea arang aktif dan urea biochar, beras

Abstract.Endrin (C12H8Cl6O) is one of insecticides organochlorine groups that are widely

used to combat plant pests in the 70's decade. Because of effective in controlling most rice

pests, farmers was interstested to use it. Endrin use in Indonesia has been banned, however,

its residue is still easy to be found. The objective of this research was to determine ability

of activated charcoal, biochar, and microbial blend in decreasing endrin residues decreasing

in rice field at Plandi Village, Jombang Sub-district, Jombang Regency. The research took

place during 2015 dry season. The research used randomized block design (RBD), 3

replications, and 6 treatments. The treatments were (1) Urea coated charcoal active from

coconut shell + microbes, integrated cropping calendar (ICC) recommendation, (2) Urea

coated charcoral active from corncob + microbes, ICC- recommendation, (3) Urea coated

biochar from coconut shell + microbes, ICC recommendation , (4) Urea coated biochar

from corncob + ICC recommendation (5) ICC (300 kg urea/ ha and 75 kg SP36/ha), and (6)

Control with farmers way (350 kg urea/ha + 350 kg phonska/ha + 350 kg ZA/ha). The

research results showed that urea coated active charcoal (both from coconut shell and

30

Page 317: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

298

corncob) + microbes reduced effectively endrin residues in soil and water samples, while

urea coated biochar (both from coconut shell and corncob) reduced effectively endrin

residues in rice samples. Urea coated active charcoal (both from coconut shell and corncob)

+ microbes and urea coated biochar (both from coconut shell and corncob) have different

specificity to dry grain yield. Urea coated biochar (both from coconut shell and corncob)

yielded higher dry grains on control treatment than on ICC.

Keywords: Endrin residue, urea coated charcoal activated and urea coated biochar, rice

PENDAHULUAN

Endrin (C12H8Cl6O) merupakan salah satu insektisida golongan organoklorin yang

banyak digunakan untuk memberantas hama tanaman pada dekade 70-an. Endrin sangat

efektif mengendalikan serangga hama tanaman padi, sehingga penyebaran dan

penggunaannya mendapat respon baik di kalangan petani. Penggunaan endrin telah

dilarang di Indonesia secara menyeluruh sejak tahun 2007 (01/Permentan/ OT.140/1/2007),

namun residunya masih terdeteksi di lahan-lahan pertanian di Indonesia (Indatin et al.,

2008 ; Ramadhani dan Oginawati, 2012 ; Harsanti et al., 2013; Sukarjo et al., 2015;

Indratin et al., 2017).

Pembangunan sektor pertanian telah mengakibatkan peningkatan pencemaran

lingkungan oleh bahan kimia (Soemirat, 2005), antara lain cemaran organik berupa

organoklorin dan organofosfat. Waktu paruh endrin dalam tanah diperkirakan mencapai 14

tahun, bahkan dalam jangka waktu 40 tahun residu organoklorin masih ditemukan di

lingkungan dan biota, serta terdistribusi secara global bahkan ke daerah terpencil di mana

organoklorin tidak pernah digunakan (Sudaryanto et al., 2007)

Di lingkungan bebas, endrin bersifat persisten, sulit larut dalam air, mudah larut

dalam lemak, dapat terbioakumulasi, terbiokonsentrasi, dan mengalami biomagnifikasi

yang menyebabkan residu endrin masih terdeteksi di lapangan. Endrin sebagaimana

senyawa POPs lainnya secara alami dapat mengalami degradasi menjadi senyawa

turunannya yang umumnya lebih berbahaya dibandingkan senyawa aslinya, seperti: aldrin

menjadi dieldrin, DDT menjajdi DDD dan DDE. DDT dapat terdegradasi dengan cepat

secara biotik dan abiotik menjadi DDE atau DDD (Yao et al., 2006).

Remediasi residu endrin dalam tanah dapat dilakukan dengan menggunakan

sejumlah bahan seperti biochar dan arang aktif (Estudillo, 1977; Fernandes dan Delgado,

1994; Ardiwinata, 2004; Harsanti et al., 2010; Wahyuni et al., 2014; Poniman, 2014).

Penambahan mikroba pada sejumlah bahan remediasi dipercaya akan mempercepat proses

degradasi. Mikroba Micrococcus,Arthrobacter spdan Bacillus sp dapat mendegradasi

endrin dalam tanah (Patil et al., 1970).

Teknologi remediasi terbukti mampu menurunkan konsentrasi residu pestisida pada

tanah, air, dan produk tanaman pada penelitian skala laboratorium, rumah kaca dan

lysimeter. Poniman et al. (2014) menyebutkan bahwa UAATJM dan UAATKM dapat

menurunkan residu klordan, dieldrin, endrin dan endosulfan pada tanah, air dan produk

beras. Hasil penelitian tersebut perlu diteliti lebih jauh keandalannya di tingkat petani,

dengan segala variabel yang sulit dikendalikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Page 318: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

299

kemampuan arang aktif, biochar, dan mikroba konsorsia dalam menurunkan residu endrin

di lahan pertanian tanaman padi intensif

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di lahan sawah irigasi teknis Desa Plandi, Kecamatan

Jombang, Kabupaten Jombang antara bulan Maret – Juni 2015. Penelitian dirancang

menggunakan rancangan acak kekompok (RAK), tiga ulangan, enam perlakuan. Perlakuan

terdiri dari: (1) Urea arang aktif tempurung kelapa + mikroba (UAATKM) rekomendasi

KATAM, (2) Urea arang aktif tongkol jagung+mikroba (UAATJM) rekomendasi KATAM,

(3) Urea biochar tempurung kerlapa+mikroba (UBTKM) rekomendasi KATAM, (4) Urea

biochar tongkol jagung+mikroba (UBTJM) rekomendasi KATAM, (5) KATAM (300 kg/ha

urea dan 75 kg/haSP36), dan (6) Kontrol pola petani (350 kg/ha urea + 350 kg/ha phonska

+ 350 kg/haZA).

Urea arang aktif atau biochar dibuat dengan perbandingan 80 : 20 bagian dari

ketentuan dosis urea KATAM sebesar 300 kg/ha. Sementara mikroba konsorsia yang

digunakan adalah Azotobacter sp, Azospirillum sp, Enterobacter cloacae, dan Bacillus sp.

Mikroba tersebut disemprotkan pada permukaan urea berlapis arang aktif atau biochar

sesaat sebelum diaplikasikan di lapangan.

Bibit padi varietas ciherang, ditanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm, 1-2 bibit per

lubang tanam. Aplikasi pupuk berbasis urea perlakuan 1, 2, 3, 4, dan 5 diberikan tiga kali

(0, 21 HST dan primordia bunga) masing-masing 1/3 dosis, sedangkan pupuk SP36

diberikan sekali (0 HST). Pada perlakuan kontrol cara petani, aplikasi pupuk diberikan dua

kali (7 HST, dan 35 HST). Pemberian pertama (7 HST) seluruh dosis urea dan 1/2 dosis

phonska, sedangkan pemberian kedua (35 HST) 1/2 dosis phonska dan seluruh dosis ZA.

Pengambilan contoh tanah dilakukan empat kali (sebelum aplikasi perlakuan = SAP,

7 HST, 45 HST, dan panen), sedangkan contoh beras diambil dari gabah saat panen.

Contoh-contoh tersebut dibawa ke laboratorium terpadu Balai Penelitian Lingkungan

Pertanian untuk dianalisis kandungan residu endrin. Residu yang terkandung dalam contoh

dihitung berdasarkan rumus:

[Residu Endrin] = Ks × Ac ×Vic ×Vfc

As ×Vis ×B ×R

dimana:

Ks : Konsentrasi standar

Ac : Area contoh

As : Area standar

Vic : Volume injeksi contoh

Vis : Volume injeksi standar

B : Bobot contoh/volume contoh (g atau ml)

Vfc : Volume akhir contoh (ml)

R : Recovery (%)

Data yang terkumpul dianalisis statistik dengan sidik ragam (analysis of variance)

dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil taraf 5%. Analisis data menggunakan

software SAS.

Page 319: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

300

HASIL DAN PEMBAHASAN

UAA baik dari tempurung kelapa maupun dari tongkol jagung memberikan

penurunan residu endrin pada akhir pertanaman (saat panen). Antar perlakuan semua waktu

pengamatan berbeda nyata (Tabel 1). Perlakuan UAATKM dan UAATJM saat sebelum

aplikasi menunjukkan nilai residu tinggi masing-masing sebesar 0,007 dan 0,015 mg/kg,

turun menjadi 0,002 dan 0,008 mg/kg pada umur 45 hari setelah tanam (HST), dan menjadi

0 pada saat panen. Sementara itu perlakuan lain tidak konsisten pengaruhnya terhadap

residu endrin.

Tabel 1. Residu endrin dalam contoh tanah sawah intensif, Jombang MK I 2015

Perlakuan

Waktu pengamatan dan penurunan residu

Awal

(sebelum

aplikasi)

7 HST

Penurunan

terhadap

kontrol

45 HST

Penurunan

terhadap

kontrol

Akhir

(saat

panen)

Penurunan

terhadap

kontrol

----- mg/kg ---- ---%--- -mg/kg - ---%--- -mg/kg- ---%---

UAATKM 0,007b 0,000b 100,0 0,002d 89,5 0,000b 100,0

UAATJM 0,015a 0,000b 100,0 0,008c 57,9 0,000b 100,0

UBTKM 0,005b 0,007a -75,0 0,004d 78,9 0,003b 76,9

UBTJM 0,007b 0,000b 100,0 0,028a -47,4 0,013a 0,0

KATAM 0,006b 0,006a -50,0 0,010c 47,4 0,002b 84,6

Kontrol

(cara

petani)

0,004b 0,004a 0,019b 0,013a

KK (%) 21,06 24,24 19,71 23,06

Keterangan: UAATKM = urea arang aktif tempurung kelapa mikroba, AATJM = urea arang aktif

tongkol jagung mikroba, UBTKM = urea biochar tempurung kelapa mikroba, UBTJM = urea biochar

tongkol jagung mikroba, KATAM (300 kg urea/ha dan 75 kgSP36/ha), dan kontrol pola petani (350

kg urea/ha + 350 kg phonska/ha + 350 kgZA/ha); Perbandingan urea:AA/B = 240:60 kg/ha

Rerata dalam kolom diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji BNT taraf 5%

UAATKM dan UAATJM dapat menurunkan residu endrin sebesar 100% pada akhir

pertanaman (saat panen). Pada awal (sebelum tanam), konsentrasi residu endrin pada

perlakuan UAATKM sebesar 0,007 mg/kg yang turun menjadi 0 mg/kg pada akhir (panen),

sedangkan perlakuan UAATJM awalnya menunjukkan residu endrin sebesar 0,015 mg/kg

turun menjadi 0 mg/kg pada akhir (panen) (Tabel 2). Poniman et al. (2016) menyebutkan

bahwa mampu menurunkan residu endrin dalam tanah inceptisol masing-masing sebesar

66,67% dan 67,89%.

Penurunan residu endrin dengan pemberian UAATKM dan UAATJM disebabkan

oleh besarnya rongga udara dalam arang aktif yang dapat digunakan mikroba sebagai

rumah habitat (Ardiwinata, 2004). Salah satu mikroba yang tambahkan dalam penelitian ini

adalah Bacillus sp yaitu mikroba yang mampu mendegradasi endrin (Patil et al., 1970),

dimana arang aktif tersedia rongga udara yang lebih baik menstimulasi aktivitas mikroba

tersebut dalam mendegradasi endrin. Biochar memiliki kemampuan absorpsi lebih rendah

Page 320: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

301

(< 300 mg/g) daripada arang aktif, sehingga kemampuan degradasi terhadap endrin juga

rendah. Untuk meningkatkan daya absorpsi, disarankan biochar diaktivasi pada suhu 9000C

selama 60 menit, sehingga daya absorpsinya meningkat (Ardiwinata et al., 2004; Manocha,

2003).

Tabel 2. Penurunan residu endrin dalam contoh tanah sawah intensif, Jombang MK.I 2015

Perlakuan

Residu Penurunan /

Peningkatan

(+)

Penurunan Awal

(sebelum aplikasi)

Akhir

(panen)

---------------- mg/kg ----------------- ---- % ----

UAATKM 0,007 0,000 0,007 100

UAATJM 0,015 0,000 0,015 100

UBTKM 0,005 0,003 0,002 40,0

UBTJM 0,007 0,013 +0,006 +85,7

KATAM 0,006 0,002 0,004 66,7

Kontrol (cara petani) 0,004 0,013 +0,009 +225,0

Keterangan: UAATKM = urea arang aktif tempurung kelapa mikroba, AATJM = urea arang aktif

tongkol jagung mikroba, UBTKM = urea biochar tempurung kelapa mikroba, UBTJM = urea biochar

tongkol jagung mikroba, KATAM (300 kg urea/ha dan 75 kgSP36/ha), dan kontrol pola petani (350

kg urea/ha + 350 kg phonska/ha + 350 kgZA/ha)

Perbandingan urea : AA/B = 240:60 kg/ha

Residu endrin dalam contoh air hanya berbeda nyata pada pengamatan akhir (saat

panen) (Tabel 3). UAATKM dapat menurunkan residu endrin dalam contoh air di lahan

sawah sebesar 80,94% (Poniman et al., 2016). Hal tersebut juga ditunjukkan pada

penelitian ini, dimana residu endrin pada perlakuan UAATKM menjadi 0,000 mg/kg

sampai akhir periode tanam. Pada perlakuan yang lain sampai tenggang waktu 45 HSA

(pengamatan 7 HST dan 45 HST), residunya tidak terdeteksi tetapi meningkat pada

pengamatan saat panen. Munculnya residu endrin pada contoh air saat panen disebabkan

berkurangnya daya erap perlakuan atau peningkatan endrin terlarut dalam air dan terikat

pada padatan tanah.

Residu insektisida dalam tanah cenderung terakumulasi pada lapisan tanah atas

(kedalaman 10-20 cm) karena pada lapisan tersebut banyak terkandung bahan organik.

Proses adsorpsi senyawa organik dalam tanah dipengaruhi oleh kandungan liat tanah, bahan

organik tanah, kelembapan tanah dan faktor iklim seperti suhu, curah hujan dan

evapotransvirasi (Galan, 2001; Gaynor, 2001; Gonzalez, 2003; Barriga et al., 2012).

Contoh air diambil pada kedalaman 100 cm di bawah permukaan tanah, dan sampai dengan

tanaman umur 60 HST lahan sawah selalu tergenang. Kondisi inilah yang diperkirakan

menjadi penyebab rendahnya residu endrin pada contoh air kedalaman 100 cm pada

pengamatan umur 7 dan 45 HST). Sedangkan pada saat akhir periode tanaman, suplai air

dari saluran pengairan sangat terbatas tinggi muka air tanah menjadi menurun, terjadi

Page 321: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

302

pertukaran tempat keberadaan air memunculkan residu endrin dalam contoh air pada

pengamatan saat panen. Rendahnya residu endrin dalam contoh air disebabkan oleh tingkat

kelarutan dalam air yang sangat rendah (Effendi, 2003).

Tabel 3. Residu endrin pada contoh air kedalaman 100 cm di lahan pertanian, Jombang

MK I 2015

Perlakuan

Waktu pengamatan

Awal

(sebelum aplikasi) 7 HST 45 HST

Akhir

(saat

panen)

---------------------------- ppm -------------------------

UAATKM 0,001a 0,000 0,000 0,000a

UAATJM 0,000a 0,000 0,000 0,006d

UBTKM 0,001a 0,000 0,000 0,002b

UBTJM 0,000a 0,000 0,000 0,004c

KATAM 0,000a 0,000 0,000 0,002b

Kontrol cara petani 0,000a 0,000 0,000 0,003bc

KK (%) 12,09 - - 9,17

Keterangan: UAATKM = urea arang aktif tempurung kelapa mikroba, AATJM = urea arang aktif

tongkol jagung mikroba, UBTKM = urea biochar tempurung kelapa mikroba, UBTJM = urea biochar

tongkol jagung mikroba, KATAM (300 kg urea/ha dan 75 kgSP36/ha), dan kontrol pola petani (350

kg urea/ha + 350 kg phonska/ha + 350 kgZA/ha); Perbandingan urea:AA/B = 240:60 kg/ha

Rerata dalam kolom diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji BNT taraf 5%

Residu endrin dalam contoh beras berkisar antara 0,0017 – 0,0027 mg/kg dan tidak

berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 4). Tanaman padi menyerap unsur hara dari dalam

tanah antara lain melalui mekanisme aliran massa. Pada saat yang bersamaan senyawa

selain unsur hara seperti residu insektisida diperkirakan tertranslokasi dalam organ

tanaman, yang pada gilirannya terakumulasi dalam produk tanaman.

Urea berlapis berbasis biochar lebih efektif menurunkan residu endrin dalam beras

dibanding urea berlapis berbasis arang aktif dan kontrol. Urea berlapis biochar dapat

menurunkan residu endrin dalam contoh beras sebesar 80%, sedangkan urea berlapis AA

dapat menurunkan residu endrin dalam contoh beras sebesar 60% masing-masing

dibandingkan kontrol. Hal ini sejalan penelitian Poniman et al. (2016) yang menyatakan

bahwa UBTKM dan UBTJM dapat menurunkan residu endrin dalam contoh beras pada

tanah inceptisol Jakenan.

Hasil gabah kering giling (GKG) berkisar antara 4,09 – 4,86 t/ha dan berbeda nyata

antar perlakuan (Tabel 5). Hasil gabah kering giling (GKG) berturut-turut dari tinggi ke

rendah adalah perlakuan KATAM sebesar 4,86 t/h > UBTJM sebesar 4,57 t/ha > UBTKM

sebesar 4,53 t/ha > UAATKM dan kontrol sebesar 4,15 t/ha > UAATJM 4,09 t/ha. Hasil

Page 322: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

303

GKG pada perlakuan KATAM, UBTJM dan UBTKM mrnunjukkan diatas rata-rata hasil

GKG kabupaten, sementara itu perlakuan kontrol, UAATKM dan UAATJM menunjukkan

hasil GKG dibawah rata-rata hasil kabupaten. Rata-rata hasil GKG Kabupaten Jombang

adalah sebesar 4,39 t/ha (BPS. Kab.Jombang, 2014).

Tabel 4. Residu endrin pada contoh beras berbagai perlakuan remediasi, Jombang MK I

2015

Perlakuan Residu Penurunan residu

terhadap kontrol

Persentase penurunan

residu terhadap kontrol

-------- mg/kg -------- ---%---

UAATKM 0,0017a 0,0010 60,0

UAATJM 0,0017a 0,0010 60,0

UBTKM 0,0013a 0,0013 80,0

UBTJM 0,0013a 0,0013 80,0

KATAM 0,0017a 0,0010 60,0

Kontrol cara petani 0,0027a

Keterangan: UAATKM = urea arang aktif tempurung kelapa mikroba, AATJM = urea arang aktif

tongkol jagung mikroba, UBTKM = urea biochar tempurung kelapa mikroba, UBTJM = urea biochar

tongkol jagung mikroba, KATAM (300 kg urea/ha dan 75 kgSP36/ha), dan kontrol pola petani (350

kg urea/ha + 350 kg phonska/ha + 350 kgZA/ha)

Perbandingan urea:AA/B = 240:60 kg/ha

Rerata dalam kolom diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji BNT taraf 5%

Tabel 5. Hasil GKG berbagai perlakuan remediasi, Jombang MK I 2015

Perlakuan Hasil GKG

(t/ha)

Peningkatan/penurunan

terhadap control (t/ha)

Persentase

peningkatan/penurunan

terhadap control (%)

UAATKM 4,15ab -0,0033 -0,08

UAATJM 4,09a -0,0567 -1,37

UBTKM 4,53ab +0,3800 +9,16

UBTJM 4,57ab +0,4233 +10,20

KATAM 4,86b +0,7067 +17,03

Kontrol cara petani 4,15ab

KK (%) 11,70

Keterangan: UAATKM = urea arang aktif tempurung kelapa mikroba, AATJM = urea arang aktif

tongkol jagung mikroba, UBTKM = urea biochar tempurung kelapa mikroba, UBTJM = urea biochar

tongkol jagung mikroba, KATAM (300 kg urea/ha dan 75 kgSP36/ha), dan kontrol pola petani (350

kg urea/ha + 350 kg phonska/ha + 350 kgZA/ha)

Perbandingan urea : AA/B = 240:60 kg/ha

Tanda – menunjukkan penurunan ; tanda + menunjukkan peningkatan

Rerata dalam kolom diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji BNT taraf 5%

Page 323: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

304

KESIMPULAN

1. Urea berlapis arang aktif (UAATKM ) efektif menurunkan residu endrin dalam contoh

tanah dan contoh air, sedangkan urea berlapis biochar (UBTKM dan UBTJM) efektif

menurunkan residu endrin dalam contoh beras. UAATKM dapat menurunkan residu

endrin pada contoh tanah dan contoh air sebesar 100% saat panen masing-masing

dibandingkan dengan konsentrasi awal (sebelum aplikasi perlakuan), sedangkan

UBTKM dan UBTJM dapaat menurunkan residu endrin dalam contoh beras sebesar

80% dibandingkan dengan control.

2. Urea berlapis biochar (UBTKM dan UBTJM) menghasilkan GKG lebih tinggi

dibanding kontrol dan sebanding dengan KATAM

3. Penggunaan UAA atau UB pada lahan pertanian padi intensif selain dapat menurunkan

residu insektisida juga dapat meningkatkan kualitas beras. Penggunaan UAA atau UB

juga dapat meningkatkan kualitas lahan pertanian secara berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA

Ardiwinata, A.N. 2004. Pengaruh Penambahan Karbon Aktif Tempurung Kelapa dan

Sekam Padi di Tanah Terhadap Residu Karbofuran (2,3-dihidro-dimetil-7-

benzofuranil­ N-metil karbamat) di dalam Tanah, Air, dan Tanaman Padi. Disertasi

Doktoral Universitas Indonesia. Jakarta (tidak dipublikasikan)

BPS. Kabupaten Jombang. 2014. Jombang dalam Angka. 124 halaman

Barriga F.D., A. Trejo-Acevedo, A.F. Betanzos, G. Espinosa-Reyes, J.A. Alegría-Torres,

and I.N. Pérez-Maldonado. 2012. Assessment of DDT and DDE levels in soil, dust,

and blood samples from Chihuahua, Mexico. Arch. Environ. Contam. Toxicol. 62:

351–358. www.ciacyt.uaslp.mx/images/pdf/Ciaas (diakses 12 Oktober 2017)

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air, bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan

Perairan. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 244 hal.

Estudillo, C.P., J.M. San Luis, E.C. Amio, and F.N. Tamolang. 1977. Charcoal production

and utilization of coconut shell and trunk in Philippines. NSDB Technol. J. 2: 35-46.

Fernandes, E.C., and T.S. Delgado. 1994. Charcoal and activated charcoal from coconut

husks. Philipp. Technol. J. 19: 59-65.

Galan, E., J.L. Gomez, and J. Aguilar. 2001. Soil Contamination by Organic Compounds.

Ministry of Environment of the Junta de Andalucía. Seville and Huelva University,

Spain, pp. 6-85.

Gaynor, A. 2001. Soil Contamination with Pesticides, Perth of case study, Western

Australia. Western Australian University, Perth.

González, M. 2003. The Status of soil contamination in Chile. In: Environment and

Sustainability, Chile USACH. La Platina of Experimental Station of Agricultural

Research Institute. http://lauca.usach.cl/ima cap11.htm # startup. (diakses 26

September 2017)

Harsanti, E.S., A.N. Ardiwinata, S. Wahyuni, A. Ichwan, Indratin, A. Hidayah, dan E.

Sulaiman. 2010. Pengembangan teknologi pelapisan urea dengan arang aktif yang

diperkaya mikroba pendegradasi POPs yang mampu meningkatkan efisiensi

Page 324: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

305

pemupukan > 50% dan menurunkan residu insektisida di bawah ambang aman pada

pertanaman sayuran.Laporan Akhir Program Riset Terapan (tidak dipublikasikan)

Harsanti, E.S., Mulyadi, A. Kurnia, Sukarjo, Poniman. T. Dewi, S. Wahyuni, Nurhasan, A.

Hidayah, C.O. Handayani, W. Purbalisa, A.N. Ardiwinata, dan P. Setyanto. 2013.

Delineasi sebaran residu senyawa POPs dan logam berat di lahan sawah. Laporan

akhir Penelitian Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 95 hal. (tidak

dipublikasikan)

Indratin, Poniman, dan A.N. Ardiwinata. 2008. Kontaminasi residu organoklorin pada

darah petani sayuran di Pati, Magelang dan Brebes. Prosiding Seminar Nasional dan

Dialoq Sumberdaya Lahan Pertanian Bogor. Buku III Informasi Sumber Air, Iklim

dan Lingkungan. 18-20 November 2008.

Indratin, Poniman, dan Sukarjo. 2017. Sebaran residu Dichloro Diphenyl Trichloroethane

(DDT) di lahan pertanian: studi kasus di Kabupaten Wwonosobo. Makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Pertanian VII. Peran Hasil

Penelitian Pertanian dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan untuk Kesejahteraan

Petani. Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 23 September

2017.

Manocha, S.M. 2003. Porous carbons. Sadhana Part 1 & 2. 28:335-348.

(http://www.ias.ac.in/sadhana/ Pdf2003Apr/Pe1070.pdf (diakses 12 Oktober 2017)

Patil, K.C., F. Matsumura, and G.M. Boush. 1970. Degradation of endrin, aldrin, and DDT

by soil microorganisms 1. American Society for Microbiology Vol. 19, No. 5.

Permentan No. 01/Permentan/OT. 140/1/2007. 2007. Tentang Daftar Bahan Aktif Pestisida

yang Dilarang dan Pestisida Terbatas. Tanggal 5 Januari 2007

Poniman, A.N. Ardiwinata, S. Wahyuni, Indratin, A. Hidayah, dan C.O. Handayani. 2014.

Penelitian remediasi lahan pertanian tercemar pestisida POPs. Laporan Akhir

Penelitian. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 62 hal.

Poniman, Indratin, dan A. Hidayah. 2016. Teknologi penanggulangan residu endrin di

lahan pertanian berbasis tanaman padi. Prosiding Seminar Nasional hasil-hasil

Penelitian “Peningkatan Kualitas Penelitian Untuk Memperkuat Publikasi

Internasional” Peningkatan Kualitas Penelitian Untuk Memperkuat Publikasi

Internasional Pascasarjana, SPS UNDIP. Hal. 308-313.

Ramadhani, N.W., dan K. Oginawati. 2012. Residu Insektisida Organoklorin di Persawahan

Sub-Das Citarum Hulu.

Soemirat, J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudaryanto, A., I. Monirith, N. Kajiwara, S. Takahashi, P. Hartono, Muawanah, and S.

Tanabe. 2007. Levels and distribution of organochlorine in fish from Indonesia.

Environmental International 33(6): 750-758.

Sukarjo, Indratin, Mulyadi, Poniman, T. Dewi, S. Wahyuni, A. Hidayah, C.O. Handayani,

W. Purbalisa, A.N. Ardiwinata, dan P. Setyanto. 2015. Delineasi sebaran residu

senyawa POPs dan logam berat di lahan pertanian di DAS Serayu, Jawa Tengah.

Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. 208 halaman.

Wahyuni, S. 2014. Efektivitas Pelapisan Urea dengan Arang Aktif yang Diperkaya

Mikroba Indigenous terhadap Penurunan Residu Heksaklorobenzen dan Endrin.

Tesis Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. (tidak dipublikasikan)

Page 325: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

306

Yao, F.X., X. Jiang, G.F. Yu, F. Wang, and Y.R. Bian. 2006. Evaluation of accelerated

dechlorination of P,P0-DDT in acidic paddy soil. J. Chemosphere 64: 628–633.

.

Page 326: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

307

BIOPROSPECTING OF AHL-LACTONASE-PRODUCING BACILLUS SPP. FOR BIOCONTROL AGENTS OF PHYTOPATHOGENIC BACTERIA

Alina Akhdiya1, Deden Sukmadjaja1, Iman Rusmana2

1ICABIOGRAD, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor, Indonesia 16111 2Departmentof Biology, Bogor Agricultural University, Bogor, Jl. Agathis, Darmaga, Bogor

Indonesia 16680

Abstrak. Sebanyak tiga belas isolat bakteri pendegradasi senyawa Asil Homoserin Lakton

(AHL) telah diisolasi dari tanah dan filosfer. Tiga isolat diantaranya (IDR1c, KP3a, dan

KP3e) terdeteksi memiliki gen aiiA yang merupakan gen pengkode enzim AHL-laktonase.

Bioesei Hypersensitive Response (HR) yang dilakukan pada daun tembakau menunjukkan

ketiga isolat tersebut dapat menurunkan gejala nekrosis yang disebabkan oleh Ralstonia

solanacearum, Pseudomonas syringae pv. glycines, dan Xanthomonas oryzae pv. oryzae.

Uji penghambatan patogenisitas yang dilakukan pada irisan umbi dan planlet kentang

menunjukkan kemampuan ketiga isolat tersebut dalam menghambat gejala busuk lunak

yang disebabkan oleh P.carotovorum. Analisis sekuen 16S rRNA isolat IDR1c, KP3a, dan

KP3e menunjukkan kemiripan dengan Bacillus cereus strain GM3 (98%), Bacillus sp. AF-

777 (99%), dan Bacillus sp. NIOT-3 (97%) berturut-turut untuk ketiga isolat tersebut.

Sekuen gen penyandi AHL-laktonase isolat IDR1c mirip dengan gen aiiA Bacillus cereus

ATTCC 14579, sedangkan gen AHL-laktonase isolat KP3a dan KP3e mirip dengan gen

aiiA Bacillus sp. 91.

Kata kunci : AHL-laktonase, Bacillus, agen biokontrol, bakteri fitopatogen

Abstract. Thirteen AHL-lactonase degrading bacteria were isolated from soil and

phyllosphere. Detection of aiiA showed that three bacterial isolates (IDR1c, KP3a, and

KP3e isolates) have AHL-lactonase encoding gene. Hypersensitive Reaction (HR)

bioassay conducted on tobacco plants showed that IDR1c, KP3a, and KP3e isolates could

reduce necrotic symptoms caused by Ralstonia solanacearum, Pseudomonas syringae pv.

glycines, and Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Pathogenicity inhibition test on potato slices

and plantlets showed that the three isolates could inhibit potato and platlets soft rot caused

by P.carotovorum. Based on its 16S rRNA analysis, IDR1c, KP3a, and KP3e isolates

showed the closest similarity to Bacillus cereus strain GM3 (98%), Bacillus sp. AF-777

(99%), and Bacillus sp. NIOT-3 (97%) respectively. AHL-lactonase encoding gene

sequence of IDR1c isolate was similarto aiiA gene of Bacillus cereus ATTCC 14579, while

the gene sequence of KP3a and KP3e isolates was similar to Bacillus sp. 91aiiA gene.

Keywords :AHL-Lactonase, Bacillus, Biocontrol agents, phytopathogenic bacteria

PENDAHULUAN

Pengendalian bakteri patogen yang menyerang tanaman kentang dapat dilakukan

antara lain dengan menggunakan senyawa-senyawa yang bersifat antimikroba seperti

kelompok antibiotik, pestisida, oksidator kuat, dan logam berat. Namun penggunaan

senyawa-senyawa tersebut secara tidak bijak dapat menimbulkan dampak negatif antara

31

Page 327: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

308

lain meningkatnya resistensi patogen, pencemaran lingkungan, dan residu pada bahan

pangan. Hal ini mendorong berbagai penelitian tentang cara pengendalian alternatif yang

lebih aman dan tidak meningkatkan resistensi.

Ekspresi patogenisitas fitopatogen dapat dikendalikan melalui mekanisme anti

quorum sensing(QS). QS merupakan mekanisme komunikasi antar mikroorganisme melalui

sekresi molekul sinyal yang disebut autoinducer. Akumulasi autoinducer yang dihasilkan

oleh suatu populasi bakteri dapat memicu ekspresi gen untuk berbagai perilaku kooperatif

seperti pembentukan biofilm, sporulasi dan sekresi faktor virulensi (Enomoto et al., 2017,

Federle & Bassler, 2003). Prinsip pengendalian patogenisitas bakteri patogen dengan dasar

anti-QS adalah pencegahan akumulasi AHL. Pengendalian patogenisitas melalui

mekanisme anti-QS tidak mempengaruhi pertumbuhan sehingga dapat menghindarkan

timbulnya tekanan seleksi yang sering menghasilkan generasi patogen yang lebih resisten

(White & Finan, 2009). Salah satu enzim pendegradasi AHL adalah enzim Acyl

Homoserine Lactonase (AHL-laktonase) (Dong et al., 2000).

Sebagai salah satu negara megabiodiversity, Indonesia mempunyai kekayaan dan

keragaman sumberdaya hayati mikroba yang sangat besar dan berpotensi sebagai penghasil

AHL-laktonase. Oleh karena itu, isolasi dan karakterisasi bakteri penghasil AHL-laktonase

merupakan langkah awal untuk untuk memanfaatkan potensi bakteri tersebut. Selanjutnya

isolat-isolat bakteri penghasil AHL-laktonase yang potensial dapat dimanfaatkan sebagai

komponen dalam pengendalian hayati dan sumber gen untuk perakitan tanaman transgenik

tahan penyakit.

BAHAN DAN METODE

Sumber isolat dan bakteri uji

Sampel tanah bahan isolasi bakteri diambil dari 10 daerah di Indonesia, sedangkan

sampel daun diperoleh dari 2 lokasi (Tabel 1). Sebagai bioindikator aktivitas degradasi

AHL pada tahap seleksi awal digunakan Chromobacterium violaceum. Bioindikator, E.

coli DH5α dan bakteri-bakteri fitopatogen uji (Ralstonia solanacearum, Pseudomonas

syringae pv. glycines, Xanthomonas oryzae pv. oryzae, dan P.carotovorum) merupakan

koleksi Dr. Alina Akhdiya.

Isolasi bakteri dari tanah dan filosfer

Isolasi bakteri dari sampel tanah dilakukan dengan metode cawan sebar pada media

Nutrient Agar (NA). Sebanyak 1 gram sampel tanah disuspensikan dengan 9 mL larutan

garam fisiologis (NaCl 0,85%). Suspensi dienceran serial dan sisanya dipanaskan dalam

penangas air selama 10 menit pada suhu 80oC. Sebanyak 0,1 ml dari setiap pengenceran

dan suspensi yang telah dipanaskan tersebut masing-masing disebarkan ke media NA,

kemudian diinkubasi selama dua hari pada suhu ruang. Bakteri filosfer diisolasi dengan

cara membilas sampel daun dengan larutan garam fisiologis. Air bilasan daun disebarkan

pada media agar King’s B. Koloni-koloni bakteri yang tumbuh dan menunjukkan morfologi

yang berbeda dimurnikan dengan metode cawan gores. Setelah murni, isolat bakteri

ditumbuhkan pada NA miring sebagai biakan kerja, sedangkan kultur stoknya disimpan

pada suhu -20ᵒC dalam gliserol 40%.

Page 328: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

309

Seleksi awal isolat bakteri pendegradasi AHL

Isolat-isolat murni ditumbuhkan pada media Luria broth (LB). Setelah 48 jam,

kultur disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 10000 rpm. Sebanyak 100 μL

supernatant diteteskan pada paper disk dan diletakkan pada permukaan media cawan Luria

agar (LA) yang telah diinokulasi dengan 1% (v/v) kultur C. violaceum dengan kepadatan

sel 107 CFU. Cawan tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Media

LB steril digunakan sebagai kontrol negatif. Paper disk yang dikelilingi oleh zona tidak

berwarna ungu menunjukkan adanya aktivitas degradasi AHL.

Pengamatan morfologi sel dan pewarnaan Gram

Isolat-isolat yang menunjukkan hasil bioesei positif diamati bentuk morfologi sel

(bentuk sel, penataan sel, dan endospora) dan reaksi terhadap pewarnaan Gram.

Reaksi HR pada tanaman tembakau

Uji aktivitas penghambatan QS terhadap isolat terpilih dilakukan secara in planta

pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum). Koloni isolat terpilih diambil menggunakan

lup lalu masing-masing disuspensikan dalam larutan garam fisiologis sampai diperoleh

kepadatan 108 CFU/ml. Suspensi isolat terpilih disemprotkan ke tanaman tembakau umur 2

bulan, kemudian tanaman disungkup dengan kantong plastik bening. Setelah tiga hari daun

tanaman tembakau yang telah disemprot tersebut diinfeksi dengan 0.5 ml suspensi

fitopatogen lalu disungkup kembali dengan kantong plastik bening. Infeksi fitopatogen

dilakukan menggunakan syringe tanpa jarum. Setiap perlakuan dibuat 10 titik inokulasi

sebagai ulangan. Inokulum fitopatogen disiapkan dengan cara mensuspensikan 2-3 koloni

bakteri ke dalam 1 ml garam fisiologis. Sebagai kontrol negatif, tanaman disemprot

suspensi isolat terpilih, kemudian diinfeksi dengan E. coli DH5α. Sebagai kontrol positif,

tanaman disemprot garam fisiologis lalu diinfeksi fitopatogen. Luas jaringan nekrotik pada

daun diamati pada minggu pertama dan minggu kedua setelah inokulasi patogen.

Uji Penghambatan busuk lunak pada umbi kentang.

Inokulum fitopatogen disiapkan dengan cara melarutkan 3-5 lup kultur padat P.

carotovorum pada 100 mL LA kemudian diinkubasi selama 48 jam. Umbi kentang dicuci

bersih di air mengalir. Umbi kentang yang telah bersih direndam dalam larutan yang

mengandung 5.25% NaClO selama 5 menit. Kentang dipotong-potong secara aseptik

dengan ketebalan ± 0.5 cm kemudian diletakkan pada cawan steril masing-masing 4 potong

setiap cawan. Setiap potongan kentang ditusuk 5 kali dibagian tengahnya dengan jarum

atau tusuk gigi steril. Sebanyak 100 µL setiap isolat bakteri terpilih diteteskan pada

potongan kentang yang telah ditusuk bagian tengahnya. Potongan kentang selanjutnya

masing-masing ditetesi 100 µL kultur patogen penyebab busuk lunak (P. carotovorum).

Sebagai kontrol, potongan kentang ditetesi akuades steril sebelum diinokulasi dengan

patogen.

Uji Penghambatan busuk lunak pada planlet kentang

Sebanyak 1 ml suspensi patogen (107CFU/ml) isolat bakteri penghasil AHL-

laktonase terpilih diteteskan ke bagian akar plantlet kentang (Varietas Granola) umur 1

bulan. Selanjutnya planlet diinkubasi kembali selama 5 hari sebelum dilakukan infeksi 1

ml suspensi patogen (107 CFU/ml) busuk lunak dengan cara yang sama ketika inokulasi

isolat penghasil AHL-laktonase. Kemudian planlet diinkubasi kembali selama 5 hari untuk

Page 329: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

310

diamati timbulnya gejala busuk lunak. Sebagai kontrol positif plantlet hanya diinokulasi

dengan patogen saja, sebagai kontrol negatif ditetesi planlet hanya diinokulasi dengan isolat

bakteri terpilih, sedangkan sebagai pembanding planlet hanya ditetesi akuades steril dan

tidak diinokulasi dengan patogen ataupun isolat terpilih. Untuk setiap perlakuan terdiri dari

5 botol yang masing-masing terdiri dari 5 planlet perbotol.

Deteksi gen AHL-laktonase dan identifikasi isolat berdasar 16 rRNA

DNA isolat bakteri terpilih diisolasi menggunakan kit isolasi DNA. Isolat-isolat

yang menunjukkan hasil bioesei degradasi AHL positif diamplifikasi menggunakan primer

spesifik untuk gen aiiA yaitu aiiAF (5’-ATC GGA TCC ATG ACA GTA AAG AAG CTT

ATT TCG-3’, dan aiiAR (5’-GTC GAA TTC CTC AAC AAG ATA CTC CTA ATG

ATGT-3’ (Dong et al. 2000). Campuran PCR terdiri dari 1.5 mM MgCl2, 0.2 mM dNTPs,

0.3 µM masing-masing primer, 0.02 U/µL Taq DNA polymerase, template DNA, ddH2O,

dan buffer DNA polymerase. Amplifikasi dilakukan selama 30 siklus PCR dengan kondisi

pra-denaturasi (94oC, 10 menit), denaturasi (94oC, 30 detik), annealing (52oC, 30 detik),

elongasi (72oC, 1 menit), dan post-PCR (72oC, 5 menit) (Chan et al., 2007).

Isolat-isolat yang menunjukkan hasil positif pada bioesei degradasi AHL dan deteksi

gen aiiA diidentifikasi secara molekuler (16S rRNA). Amplifikasi gen 16S rRNA

menggunakan primer 63f (5’-CAG GCC TAA CAC ATG CAA GTC-3’) dan 1387r (5’-

GGG CGG WGT GTA CAA GGC-3’) (Marchesi et al., 1998). Amplifikasi dilakukan

selama 30 siklus PCR dengan kondisi pra-PCR (94oC, 2 menit), denaturasi (92oC, 30 detik),

annealing (50oC, 1 menit), elongasi (72oC, 1 menit), dan post-PCR(75oC, 5 menit).Produk

PCR dilarikan pada mini-gel elektroforesis (agarose 1%) pada tegangan listrik 50 volt

selama 45 menit. Visualisasi di atas UV Transiluminator dilakukan dengan pewarnaan

Ethidium Bromida. DNA amplikon disekuensing kemudian sekuen yang diperoleh

dijajarkan dengan data pada GenBank menggunakan program BLAST-N dan BLAST-X) dari

situs National Center for Biotechnology Information (NCBI) melalui

http://www.ncbi.nlm.nih.gov untuk mengetahui tingkat kemiripan gen aiiA dan 16S rRNA dari

isolat yang dianalisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebanyak 260bakteri berhasil diisolasi (Tabel 1) dan tiga belas di antaranya

memiliki aktivitas degradasi AHL. Aktivitas degradasi AHL ini ditunjukkan dengan

terbentuknya zona anti-QS terhadap bakteri indikator (C. violaceum) yang teramati sebagai

zona tidak berwarna ungu di sekitar paper disk yang ditetesi supernatan dengan kandungan

enzim pendegradasi AHL (Gambar 1). Semakin besar diameter zona tidak ungu maka

semakin kuat aktivitas anti-QS terhadap C. violaceum. Sebaliknya C. violaceum yang

tumbuh di sekitar kertas cakram kontrol negatif tampak berwarna ungu karena difusi

pigmen unguyang diekspresikan oleh bakteri indikator tersebut. Pigmen ungu tersebut

adalah senyawa yang bersifat antimikrob bernama violacein (McClean et al., 1997). Tiga

dari tigabelas isolat tersebut merupakan bakteri Gram negatif dan sepuluh siasanya adalah

bakteri Gram positif. Delapan di antara 10 bakteri Gram positif tersebut membentuk

endospora (Tabel 2).Supernatan dari kultur IDR1c, KP3a, dan KP3e menyebabkan

terbentuknya zona anti-QS paling besar yaitu 11mm (Tabel 2 dan Gambar 1).

Page 330: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

311

Tabel 1. Sampel tanah dan daun serta isolat bakteri yang diperoleh

Sampel Jumlah

isolat

bakteri

Jumlah

isolat bakteri

pendegradasi AHL Lokasi Jenis sampel

Bogor Daun 12 0

Tanah 25 0

Cianjur Daun 30 2

Tanah 40 1

Indramayu Tanah 69 5

Pangandaran Tanah 22 0

Sukabumi Tanah 3 0

Lamongan Tanah 3 0

Pekalongan Tanah 8 1

Rembang Tanah 12 0

Nganjuk Tanah 3 0

Kambera Tanah 33 4

Total 260 13

Tabel 2. Diameter zona degradasi AHL 13 isolat terpilih

No Kode

Isolat

Diameterzona

degradasi AHL

(mm)

Reaksi Pewarnaan Gram dan

endospore

Bentuk dan

penataan sel

1 CJR4a 8 Positif, berendospora Batang, rantai

2 CJR7b 9 Positif, berendospora Batang, rantai

3 CJR2e 9 Negatif, tidak berendospora Batang, rantai

4 IDR1b 8 Positif, tidak berendospora Batang, rantai

5 IDR1c 11 Positif, berendospora Batang, rantai

6 IDR1d 9 Negatif, tidak berendospora Bulat, bergerombol

7 IDR1e 10 Positif, berendospora Batang, rantai

8 IDR1f 8 Positif, tidak berendospora Bulat, bergerombol

9 KP3a 11 Positif, berendospora Batang, rantai

10 KP3e 11 Positif, berendospora Batang, rantai

11 KP6B6 7 Positif, berendospora Batang, rantai

12

13

KP6B7

PKL2a

6

10

Positif, berendospora

Negatif, tidak berendospora

Batang, rantai

Batang, rantai

Page 331: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

312

Gambar 1. Perlakuan kontrol negatif (C0) serta zona degradasi AHL di sekitar kertas

cakram yang disebabkan oleh aktivitas enzim dalam supernatan isolat KP3a (A), KP3e (B),

dan IDR1c (C)

Secara alami, fitopatogen dapat masuk kedalam jaringan tanaman melalui lubang

alami seperti stomata, lentisel, dan bagian jaringan tanaman yang luka. Elisitor dan faktor-

faktor virulensi yang dihasilkan fitopatogen akan merangsang munculnya respon

hipersensitif pada jaringan yang terinfeksi sebagai salah satu cara untuk melokalisir

fitopatogen (Fenselau et al., 1992). Regulasi sintesis faktor-faktor virulensi pada bakteri

fitopatogen Gram negatif seperti Pectobacterium, Pseudomonas, dan Ralstonia berlangsung

melalui proses QS (Fuqua & Greenberg, 2002; Loh et al., 2002; Williams et al., 2007).

Setelah 2 minggu, area infeksi fitopatogen yang tidak disemprot isolat bakteri terpilih

sebelum diinfeksi dengan patogen (kontrol positif) menunjukkan adanya gejala nekrotik

yang parah. Sebaliknya daun pada tanaman kontrol negatif sama sekali tidak menunjukkan

gejala nekrotik (Gambar 2a).

Pengamatan pada area infeksi fitopatogen setelah daun disemprot dengan isolat

bakteri terpilih rata-rata sama sekali tidak menunjukkan gejala, atau menunjukkan gejala

yang sangat ringan (10%-20%) dibandingkan kontrol positifnya (Gambar 2b). Hal ini

berarti adanya penghambatan proses QS ekspresi faktor-faktor virulensi bakteri fitopatogen

oleh ketiga isolat bakteri pendegradasi AHL. Hasil uji ini juga mengindikasikan bahwa

aktivitas enzim pendegradasi AHL yang dihasilkan berspektrum luas dan tidak hanya

mampu mengendalikan patogenisitas satu jenis bakteri fitopatogen tetapi juga mampu

menghambat proses QS patogenisitas bakteri fitopatogen penting lainnya yaitu

Pectobacterium spp., Pseudomonas syringae pv. glycines, dan Ralstonia solanacearum.

Page 332: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

313

Gambar 2 Reaksi HR pada daun tembakau yang tidak diinfeksi (kontrol negatif) (A) dan

setelah 2 minggu diinfeksi fitopatogen (B).

Page 333: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

314

Gambar 3. Penghambatan busuk lunak pada potongan umbi kentang oleh isolat IDR1c,

KP3a, dan KP3e

P. carotovorum menghasilkan pektinase yang dapat menghidrolisis pektin pada

umbi kentang sehingga menyebabkan pembusukan. Produksi enzim ekstraselular pektinase

pada genus bakteri ini dikendalikan melalui mekanisme QS yang melibatkan senyawa AHL

yang berperan sebagai molekul signal untuk regulasi ekspresi pektinase. Hasil analisis Uji

in-vitro pada potongan umbi kentang juga menunjukkan bahwa ketiga isolat terpilih

tersebut mampu menghambat gejala busuk lunak yang disebabkan oleh P. carotovorum

pada umbi kentang dan planlet kentang (Gambar 3 dan 4). Semua planlet (100%) yang

telah diberi perlakuan ketiga isolat bakteri tersebut tidak menunjukkan gejala pembusukan

sampai 5 hari setelah pemberian suspensi P. carotovorum pada media tanamnya.

Sebaliknya semua planlet (100%) yang diinokulasi dengan P. carotovorum saja

menunjukkan gejala pembusukan. Hasil-hasil uji in-vitro dan in-planta tersebut

menunjukkan bahwa ketiga isolat tersebut sangat potensial untuk dikembangkan sebagai

agen biokontrol dan sumber gen untuk perakitan tanaman tahan penyakit busuk lunak pada

tanaman hortikultura seperti kentang dan tanaman hortikultura lainnya. Selain

pengendalian penyakit busuk lunak, kemampuan isolat bakteri penghasil AHL-laktonase

tersebut dalam mereduksi gejala nekrotik pada uji HR juga memberikan harapan bahwa

introduksi gen penyandi enzim ini akan dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap

penyakit yang disebabkan oleh Pseudomonas syringae pv. glycines seperti brown spot pada

buncis serta penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum.

Page 334: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

315

Gambar 4. Penghambatan busuk lunak pada plantlet kentang oleh 3 isolat terpilih

Hasil amplifikasi gen aiiA menunjukkan terdapat 3 isolat tersebut memiliki gen aiiA.

Empat isolat tersebut adalah KP3a, KP3e, IDR1c, dan SRG3g. Ukuran amplikon gen

aiiAisolat-isolat tersebut adalah 800 bp (Gambar 5). Hasil analisis molekuler menunjukkan

gen-gen aiiApada isolat-isolat tersebut homolog dengan AHL-laktonase dari genus Bacillus

sp. (Tabel 3).Analisis kemiripan hasil sekuensing gen 16S rRNA ketiga isolat dengan data

di GenBank yang dilakukan menggunakan program BLAST-N. Isolat IDR1c menunjukkan

kemiripan 98% dengan B. cereus strain GM3,isolat KP3amirip dengan Bacillus sp. AF-777,

dan isolat KP3e mirip dengan Bacillus sp. NIOT-3 (Tabel 4).

Gambar 5. Visualisasi amplikon gen aiiA pada gel agarose 1% (M= 1 kb DNA ladder,

Sumur 1= KP3a, Sumur 2= KP3e, Sumur 3= IDR1c)

Page 335: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

316

Tabel 3. Hasil analisis sekuen gen aiiA dengan menggunakan program BLAST-N

Kode isolat Sekuen yang homolog % identitas

IDR1c Bacillus cereus ATCC 14579AHL-lactonase gene 96%

KP3a Bacillus sp. 91 AHL-lactonase gene 99 %

KP3e Bacillus sp. 91 AHL-lactonase gene 99 %

Tabel 4. Hasil analisis sekuen gen 16S rRNA isolat dengan menggunakan program

BLAST-N

Kode isolat Sekuen bakteri yang homolog % identitas

IDR1c Bacillus cereus strain GM3 98%

KP3a Bacillus sp. AF-777 99%

KP3e Bacillus sp. NIOT-3 97%

KESIMPULAN

B. cereus IDR1c, Bacillus sp. KP3a dan Bacillus sp. KP3e merupakan bakteri

penghasil AHL-laktonase yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai komponen

agen biokontrol untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh bakteri

Gram negatif. Selain itu ketiga bakteri tersebut dapat dijadikan sebagai sumber gen untuk

perakitan tanaman transgenik.

DAFTAR PUSTAKA

Chan, K.G., S.Z. Tiew, & C.C. Ng. 2007. Rapid isolation method of soil bacilli and

screening of their quorum quenching activity. Asia Pasific J. of Mol. Biol. and

Biotechnol. 15: 153-156

Dong, Y.H., J.L. Xu, X.Z. Li, & L.H. Zhang. 2000. AiiA, an enzyme that inactivates the

acyl homoserine lactone quorum-sensing signal and attenuates the virulence of

Erwinia carotovora. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 97: 3526-3531.

Enomoto, S., A. Chari, A.L. Clayton, & C. Dale. 2017. Quorum sensing attenuates

virulence in sodalis praecaptivus. Cell Host Microbe 21(5): 629-636.

Fenselau, S., I. Balbo, & U. Bonas. 1992. Determination of pathogenicity in Xanthomonas

campestris pv. vesicatoria are related to proteins involved in secretion in bacterial

pathogen animals. Mol. Plant Microb. Interact. 5: 390-396.

Federle, M.J., & B.L. Bassler. 2003. Interspecies communication in bacteria. J. Clin. Invest.

112: 1291-1299. doi:10.1172/JCI200320195.

Fuqua, C., & E.P. Greenberg. 2002. Listening in on bacteria: acyl-homoserine lactone

signalling. Nat. Rev. Mol. Cell Biol. 3: 685-695.

Loh, J., E.A. Pierson, L.S. Pierson, G. Stacey, & A. Chatterjee. 2002. Quorum sensing in

plant-associated bacteria. Curr. Opin. Plant Biol. 5: 285-290.

Page 336: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

317

McClean, K.H., M.K. Winson, L. Fish, A. Taylor, S.R. Chhabra, M. Camara, M. Daykin,

J.H. Lamb, S. Swift, B.W. Bycroft, G.S.A.B. Stewart, & P. Williams. 1997. Quorum

sensing and Chromobacterium violaceum: exploitation of violacein production and

inhibition for the detection of N-acylhomoserine lactones. Microbiology. 143: 3703-

3711.

Marchesi, J.R., et al. 1998. Design and evaluation of useful bacterium-spesific PCR primer

that amplify genes coding for bacterial 16S rRNA. Appl. Environ. Microbiol. 64:

795-799.

Tang, K., & X.H. Zhang. 2014. Quorum quenching agents: Resources for antivirulence

therapy. Mar Drugs. 12:3245-3282.doi:10.3390/md12063245

White, C.E., & T.M. Finan. 2009. Quorum sensing in Agrobacterium tumefaciens: chance

or necessity?. J. Bacteriol. 191: 1123-1125.

Williams, P., K. Winzer, W. Chan, & M. Camara. 2007. Look who’s talking:

communication and quorum sensing in the bacterial world. Philos. Trans. R. Soc.

London B. Biol. Sci. 362: 1119-1134.

Page 337: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

318

Page 338: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

319

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN ARTHROPODA TANAH PADA PERBEDAAN RESIDU INSEKTISIDA ORGANOKLORIN DI LAHAN SAYURAN KABUPATEN KERINCI, PROVINSI JAMBI

Araz Meilin1, Ratna Rubiana1, Sri Wahyuni2 1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi, Jl. Samarinda Paal Lima, Kotabaru, Jambi 2)Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan, Pati

Email: [email protected]

Abstrak. Keberadaan arthropoda tanah pada lahan sayuran dipengaruhi oleh praktek

penggunaan pestisida, sehingga penting untuk diketahui. Penelitian bertujuan untuk

mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan arthropoda tanah pada perbedaan residu

insektisida organoklorin. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Agustus

2016 di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Metode yang dilakukan adalah identifikasi

tingkat residu insektisida organoklorin dan koleksi arthropoda tanah di 5 desa yang

ditentukan secara sengaja dan merupakan lahan sayuran (kentang dan atau cabai).

Arthropoda tanah dikoleksi dengan 10 pitfall trap (perangkap jebak) yang diletakkan secara

acak di lahan selama dua malam. Semua arthropoda diidentifikasi sampai morfospesies.

Residu organoklorin dianalisis di Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian,

Jakenan, Pati. Indeks keanekaragaman dihitung dengan rumus Shannon-Wiener. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa lahan yang memiliki residu insektisida organoklorin adalah

Desa Sangir Tengah (Endosulfan dan Dieldrin) dan Telun Berasap (Dieldrin). Nilai indeks

keanekaragaman (H’) arthropoda tanah di Desa Sangir Tengah paling rendah dibanding di

empat desa lainnya.

Kata kunci: residu insektisida, organoklorin, sayuran

Abstract. The presence of soil arthropods on the vegetable land, influenced by pesticide

used, so it is important. The objective of this study was to determine the diversity and

abundance of soil arthropods on the difference organochlorine insecticide residues. The

study was conducted from April until August 2016 in Kerinci District, Jambi Province.

Identification of the residues levels of organochlorine insecticides and soil arthropoda

collections were done at five villages with purposive sampling in the land of vegetables

(potatoes and or chili). Soil arthropods were collected using pitfall traps for two nights. All

specimens are identified into morphospecies. Organochlorine residues were analyzed in the

Laboratory of Indonesian Agriculture Environment Research Institute, Jakenan, Pati. The

diversity index was obtained using Shannon-Wiener. The results showed that

organochlorine insecticide residues were found at Sangir Tengah (Endosulfan and Dieldrin)

and Telun Berasap (Dieldrin). Sangir Tengah had the lowest of Shannon-Wiener diversity

index (H ') of arthropods compared to other villages.

Keywords: insecticide residues, organochlorine, vegetables

PENDAHULUAN

Kabupaten Kerinci memiliki prospek pengembangan komoditi pertanian karena

memiliki potensi geografis yang cocok terutama terutama sayuran. Kecamatan Kayu Aro

yang sudah dimekarkan menjadi 3 Kecamatan yaitu Gunung Tujuh, Kayu Aro, dan Kayu

Aro Barat merupakan daerah yang sesuai untuk budidaya sayuran di Kabupaten Kerinci

karena sebagian besar wilayah merupakan daerah dengan ketinggian > 1.000 m dpl.

Kawasan ini secara agroekosistem memang cocok sebagai sentra produksi sayuran yang

merupakan dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata 1.500-2.000 mm/tahun.

32

Page 339: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

320

Karakteristik tanah adalah jenis tanah andosol dengan tekstur tanah remah dan berwarna

hitam, tanah mempunyai kemasaman normal dengan pH tanah 5,5-6,5 (Anonim, 2011).

Budidaya sayuran di Kabupaten Kerinci masih mengandalkan penggunaan pestisida

kimia dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT). Frekuensi penggunaan

pestisida sampai 20 kali/musim tanam (untuk tanaman cabai) dan mencampur beberapa

jenis pestisida bersamaan. Endrizal et al. (2014) menginformasikan bahwa dengan adanya

serangan hama dan penyakit pada pertanaman sayuran di Kabupaten Kerinci, mendorong

petani menggunakan pestisida melebihi dosis anjuran dengan frekuensi penyemprotan

sampai lebih dari 8 kali dalam satu kali musim tanam.

Pestisida dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, dan

pencemaran lingkungan. Salah satu dampak dari penggunaan pestisida adalah tertinggalnya

pestisida di komoditas pertanian dan di lingkungan atau yang lebih dikenal dengan istilah

residu pestisida. Selain itu, dampak negatif pestisida dapat terjadi pada

hewan/ternak/ikan/katak, timbulnya resistensi/ resurjensi hama, terbunuhnya musuh

alami/serangga berguna, pencemaran air dan tanah (Arya et al., 1996; Oka, 1998; Pedigo,

2002). Hasil penelitian UNESCO (1991) menginformasikan bahwa hampir di semua

sampel tanah, air, dan tanaman terdeteksi kandungan residu organoklorin seperti aldrin,

dieldrin, DDT, heptaklor dan lindan. Residu tersebut lebih banyak ditemukan di lahan

sayuran 3-5 kali lebih tinggi dibandingkan di pertanaman padi. Beberapa residu tersebut

diantaranya bersifat persistence organic pollutants (POPs). POPs adalah senyawa organik

yang tahan terhadap fotolitik, degradasi biologis maupun degradasi secara kimia. Pestisida

golongan organoklorin adalah identik dengan POPs, karena terdapat gugus halogen pada

senyawanya. Jenis organoklorin tersebut adalah aldrin, hexachlorobenzene, chlordane,

mirex, dieldrin, toxaphene, DDT, dioxin, endrin, furans, heptachlor dan PCBs. United

Nations Environment Programe (NEP) menaruh prioritas besar pada 12 jenis POPs di atas

tersebut untuk diidentifikasi keberadaannya di lingkungan (WHO, 1982). Jenis pestisida

yang sering digunakan di pertanaman sayuran adalah berbahan aktif klorpirifos, diazinon,

diklorvos, endosulfan, klorfenvinfos, metamidofos, monokrotofos, dan profenofos

(Ardiwinata, 2007).

Keanekaragaman dan kelimpahan arthropoda pada suatu lahan dipengaruhi oleh

banyak faktor termasuk pestisida. Hasil penelitian Paoletti et al. (1995) menunjukkan

bahwa lahan pertanian yang melakukan praktek agronomis konvensional dengan input

Organoklorin memiliki populasi carabidae yang tertangkap lebih rendah. Jumlah parasitoid

dan tingkat parasitasi parasitoid menurun dengan bertambahnya umur tanaman pada lahan

dengan aplikasi pestisida secara intensif. Aplikasi deltametrin konsentrasi subletal pada

imago parasitoid Anagrus nilaparvatae menurunkan keperidian aktual (48,9%) dan

keperidian potensial (61,1%) dibandingkan dengan kontrol (Meilin, 2012).

Penelitian bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan arthropoda

tanah pada perbedaan residu insektisida organoklorin pada lahan sayuran di Kabupaten

Kerinci, Provinsi Jambi.

Page 340: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

321

METODOLOGI

Penetapan Residu Organoklorin

Penetapan residu Organoklorin yang dianalisis dari sampel tanah yang diambil pada

lima desa (dipilih secara sengaja) yang merupakan lahan sayuran di Kabupaten Kerinci

(Desa Giri Mulyo di Kecamatan Kayu Aro Barat, Sangir Tengah di Kecamatan Kayu Aro,

dan Pelompek, Tangkil serta Telun Berasap di Kecamatan Gunung Tujuh). Pada tiap desa,

diambil 5 titik dan selanjutnya sampel tersebut di komposit. Sampel tanah yang telah

dikomposit selanjutnya diambil sebanyak 1 kg dimasukkan dalam plastik sampel untuk

dikirim ke Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian di Jakenan, Pati.

Penetapan residu insektisida organoklorin meliputi ekstraksi, clean up, dan analisis

kromatografi. Prosedur ekstraksi dilakukan dengan menimbang 20 gram cuplikan (tanah

yang telah dihaluskan), dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup basah, dan ditambahkan

aceton 40 ml kemudian dikocok selama 30 menit lalu disaring dengan kertas saring.

Ekstrak kemudian dipekatkan dengan rotari evaporator pada suhu tangas 35°C lalu

ditambah 100 ml larutan NaCl 10% dan 50 ml heksan kemudian dikocok dengan corong

pisah. Diamkan sampai terbentuk lapisan heksan dan lapisan air, lapisan air dibuang dan

lapisan heksan ditampung. Lapisan heksan itu kemudian dipekatkan sampai volume 5 ml.

Untuk proses clean up, disiapkan kolom kromatografi yang telah dibasahi heksan

kemudian masukkan 5 gr florisil dan natrium sulfat anhidrat setinggi 1 cm. Ekstrak heksan

yang telah dipekatkan dilewatkan kolom kromatografi, kemudian dipekatkan hingga tersisa

2 ml ekstrak.

Kandungan residu insektisida pada sampel dihitung berdasarkan rumus dari Komisi

Pestisida (1997) dan data dianalisis secara deskriptif:

G

F x

E

D x

B

CA(ppm)Residu

Keterangan:

A = konsentrasi larutan standar (µg/mL)

B = luas puncak standar

C = luas puncak contoh

D = volume larutan standar yang disuntikan (µL)

E = volume larutan contoh yang disuntikan (µL)

F = volume pengenceran (mL)

G = bobot awal contoh (g)

Pengambilan sampel arthropoda

Arthropoda tanah dikoleksi dengan 10 pitfall trap (perangkap jebak) yang diletakkan

secara acak di lahan selama dua malam pada lahan sayuran di 5 desa yang juga merupakan

lahan yang sampel tanahnya dianalisis residu organoklorinnya. Semua serangga

diidentifikasi sampai morfospesies. Data dianalisis menggunakan Indeks keanekaragaman

dengan rumus Shannon-Wiener dengan rumus :

Page 341: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

322

H =indeks Shannon Wiener

pi = proporsi spesies ke i dalam komunitas

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Residu Insektisida Organoklorin

Hasil analisis residu pestisida organoklorin pada lahan sayuran di lima desa yang

menyebar pada 3 kecamatan di Kabupaten Kerinci menunjukkan bahwa lahan yang

memiliki residu insektisida organoklorin adalah Desa Sangir Tengah yang terdeteksi

adanya residu insektisida dengan bahan aktif endosulfan dan dieldrin, sedangkan di Desa

Telun Berasap hanya ditemukan insektisida dieldrin. Residu insektisida dieldrin yang

ditemukan di Desa Telun Berasap lebih tinggi dibanding Desa Sangir Tengah. Residu

endosulfan pada tanah tidak terdeteksi di empat desa lainnya (Telun Berasap, Pelompek

Tangkil dan Giri Mulyo). Residu dieldrin tidak terdeteksi di Desa Pelompek, Tangkil dan

Giri Mulyo (Tabel 1).

Tabel 1. Residu Endosulfan dan Dieldrin yang terdeteksi Pada Lahan Sayuran di Lima Desa

di Kabupaten Kerinci

No. Desa Residu Endosulfan (ppm) Residu Dieldrin (ppm)

1 Giri Mulyo 0/ND 0/ ND

2 Pelompek 0/ND 0/ ND

3 Sangir Tengah 0,0029 0,0178

4 Tangkil 0/ND 0/ ND

5 Telun Berasap 0/ ND 0,2062

Limit of Detection (LoD) 0,0006 0,0013

Limit of Quantification 0,0021 0,0042

Terdeteksinya residu Endosulfan dan Dieldrin diduga merupakan insektisida yang

diaplikasikan pada beberapa tahun yang sudah lampau. Endosulfan dan Dieldrin merupakan

insektisida yang memiliki persistensi yang tinggi. Pestisida ini sudah dilarang

penggunaannya, namun saat ini masih terdeteksi.

Banyak jenis bahan aktif pestisida yang sudah digunakan oleh petani di Kabupaten

Kerinci diantaranya adalah Profenofos, Difenokonazol, Dimehipo, Sipermetrin,

Azoxistrobin, difenokonazol, Tiametoksam Klorantraniliprol, Klorpirifos, Abamektin dan

Propineb (Endrizal et al., 2014), namun insektisida tersebut bukanlah kelompok insektisida

organoklorin.

Keanekaragaman dan Kelimpahan Arthropoda Tanah

Nilai indeks keanekaragaman (H’), jumlah ordo dan spesies Arthropoda tanah di

Desa Sangir Tengah (yang teridentifkasi tercemar oleh Endosulfan dan Dieldrin) paling

rendah dibanding desa lainnya. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi dijumpai di Desa

Telun Berasap, dikuti oleh Desa Giri Mulyo, tetapi kedua desa tersebut memiliki jumlah

Arthropoda yang rendah dibanding tiga desa lainnya (Tabel 2).

Page 342: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

323

Tabel 2. Jumlah Ordo, spesies, individu, dan indeks keanekaragaman (H’) Arthropoda

tanah pada lahan sayuran di lima desa di Kabupaten Kerinci, Jambi

Desa Ordo Spesies Individu H’

Giri Mulyo 10 26 129 2.42

Pelompek 12 30 656 1.12

Sangir Tengah 7 24 1704 0.46

Tangkil 9 35 1582 0.99

Telun Berasap 10 30 197 2.60

Subtotal 15 73 4268

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Paoletti et al., (1995) yang menunjukkan

bahwa lahan pertanian yang melakukan praktek agronomis konvensional dengan input

organoklorin memiliki populasi carabidae yang tertangkap lebih rendah. Spesies carabidae,

cacing dan kelompok isopoda cocok sebagai bioindikator karena ditemukan berlimpah pada

lahan hutan dan kebun buah organik.

Kelimpahan Arthropoda tertinggi diperoleh dari Desa Sangir Tengah. Kelimpahan

ini sebagian besar merupakan kontribusi dari Ordo Collembola (Gambar 1). Kelimpahan

Ordo paling rendah di Desa Sangir Tengah yang memiliki 2 (dua) jenis residu insektisida

Organoklorin di banding empat desa lainnya adalah Ordo Dermaptera dan Hymenoptera

(Gambar 2).

Gambar 1. Kelimpahan Collembola pada lahan sayuran di lima desa di Kabupaten Kerinci,

Jambi

Page 343: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

324

Gambar 2. Kelimpahan Arthropoda tanah pada lahan sayuran di lima desa di Kabupaten

Kerinci, Jambi

Kelimpahan terendah ini bisa merupakan potensi untuk merujuk bahwa Dermaptera

dan Hymenoptera berpotensi sebagai Arthropoda bioindikator lingkungan pencemaran

pestisida. Namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Bioindikator atau indikator

ekologis adalah taksa atau kelompok organisme yang sensitif atau dapat memperlihatkan

gejala dengan cepat terhadap tekanan lingkungan akibat aktifitas manusia atau akibat

kerusakan sistem biotik (McGeoch, 1998 cit Shahabuddin, 2003).

Sebagian besar anggota dari Ordo Hymenoptera yang ditemukan adalah semut dari

Family Formicidae. Kelimpahan semut paling rendah ditemukan di Desa Sangir Tengah

dan Telun Berasap yang keduanya terdeteksi residu organoklorin (Tabel 3).

Kondisi lingkungan akibat pencemaran residu pestisida diduga mempengaruhi

keanekaragaman serangga bioindikator lingkungan yang salah satunya adalah serangga dari

Famili Formicidae (Semut) dan Dermaptera. Praktek pertanian yang ada dapat menurunkan

kelimpahan dan kekayaan spesies serangga ini (Rizali, 2002).

Keanekaragaman semut dalam suatu pertanaman dapat dimanfaatkan sebagai

bioindikator karena semut merupakan kelompok serangga yang paling dominan di habitat

terestrial. Semut dapat menunjukkan kepekaan terhadap tekanan yang ada di

lingkungannya, sehingga dapat digunakan sebagai indikator pengaruh aplikasi pestisida

atau toleransi terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan

sebagai alat penilai kondisi lingkungan (Perfecto dan Vandermeer, 1996; Cushman et al.,

Page 344: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

325

1993). Semut termasuk salah satu dari sembilan indikator ekologi yang diusulkan untuk

mendefinisikan gradien gangguan (Graham et al., 2004). Semut adalah serangga sosial

sehingga memiliki kemungkinan tetap di tempat yang sama selama bertahun-tahun ataupun

memindahkan koloni dalam menanggapi faktor pembatas seperti banjir, perubahan suhu,

gangguan fisik, atau insektisida. Kemampuan bertahan dan perubahan pola komposisi

semut sebagai respon terhadap gangguan habitat menjadikan semut sebagai salah satu

indikator perubahan ekologi (Andersen, 2000).

Tabel 3. Kelimpahan Dermaptera dan Formicidae Pada Lahan Sayuran dengan residu

Organoklorin di Lima Desa Kabupaten Kerinci

No. Desa Residu

Organoklorin

Jumlah Individu

Dermaptera

Jumlah Individu

Formicidae

1 Giri Mulyo Tidak ada 7 65

2 Pelompek Tidak ada 13 11

3 Sangir Tengah Ada 0 10

4 Tangkil Tidak Ada 11 63

5 Telun Berasap Ada 1 9

KESIMPULAN

Keanekaragaman arthropoda lebih rendah pada lahan sayuran yang terdeteksi

adanya 2 jenis residu pestisida kelompok Organoklorin seperti di Desa Sangir Tengah.

Kelimpahan Ordo Dermaptera dan Hymenoptera rendah pada lahan tercemar organoklorin.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian Kementerian

Pertanian yang telah mendanai penelitian ini melalui Program KKP3SL 2016.

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, A.N. 2000. A global ecology of rainforest ants: Functional groups in relation to

environmental stress and disturbance. Dalam Agosti, D., J.D. Majer, L.E. Alonso,

T.R. Schultz (eds.). Ants: Standard methods for measuring and monitoring

biodiversity. Washington DC (US): Smithsonian Institution Press. 25-34.

Anonim. 2011. Sekilas info Balai Benih Induk Kentang Kayu Aro. Diakses dari

http://agromaret.com/artikel/230/sekilas_info_balai_benih_induk_kentang_kayu_aro

Ardiwinata, A.N. 2007. Persistence organic pollutants (POPs) di lingkungan pertanian.

Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Balai

Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 9p.

Arya, N., G.P. Wirawan, G.R.M. Temaja, G.N.A. Susanta K.T. Dinata, and K. Ohsawa

1996. Farming system and inventory of mayor disease of vegetable in higland

Page 345: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

326

growing area Candikuning of Bali. In Report of Integrated Research on Sustainable

Highlang and Upland Agricultural Systems in Indonesia. 89-111.

Crushman, J.H., J.H. Lawton, and B.F.J. Manly. 1993. Latitudinal patterns in european ant

assemblages: Variation in species richness and body size. Oecologia. 95: 30-37.

Endrizal, A. Meilin, Adri, N.I. Minsyah, dan Suharyon. 2014. Analisis Kebijakan

Pembangunan Pertanian di Provinsi Jambi. Laporan Akhir BPTP Jambi.

Graham, J.H., H.H. Hughie, S. Jones, K. Wrinn, A.J. Krzysik, J.J. Duda, C. Freeman, J.M.

Emlen, J.C. Zak, and D.A. Kovacic. 2004. Habitat disturbance and the diversity and

abundance of ants (formicidae) in the southeastern fall-line sandhills. Journal of

Insect Science. 4(30).

Meilin, A. 2012. Dampak Aplikasi Insektisida Pada Parasitoid Telur Wereng Batang

Cokelat Dan Deltametrin Konsentrasi Subletal Terhadap Anagrus Nilaparvatae

(Hymenoptera: Mymaridae). Disertasi Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta.

Oka, I.N. 1998. Pengendalian Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Paoletti, M.G., U. Schweigl and M.R. Favretto. 1995. Soil Macroinvertebrates, heavy

metals and organoclorines in low and high input apple orchards and a coppiced

woodland. Pedobiologia 39: 20-33.

Pedigo, L.P. 2002. Entomolgy dan Pest Management. 4th. Ed. Prentice-Hall of India.

New Delhi. 742 p.

Perfecto, I., and J. Vandermeer. 1996. Microclimatic changes and the indirect loss of ant

diversity in a tropical agroecosystem. Oecologia. 108: 577-582.

Rizali, A., D. Buchori, dan H. Triwidodo. 2002. Keanekaragaman serangga pada lahan

persawahan-tepian hutan: indikator untuk kesehatan lingkungan. Hayati 9(2): 41-

48.

Shahabuddin. 2003. Pemanfaatan Serangga sebagai Bioindikator Kesehatan Hutan. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

WHO. 1982. Rapid Assesment of Sources of Air, Water, and Land Pollution. 150p

Page 346: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

327

PEMANFAATAN AGENSIA HAYATI UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI DAN KEUNTUNGAN USAHATANI BAWANG MERAH

Dewi Sahara dan Bambang Prayudi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, Jl Soekarno-Hatta No. 10 Bergas, Kab.

Semarang

Abstrak. Permasalahan utama di dalam mengembangkan usahatani bawang merah adalah

adanya serangan hama dan penyakit yang dapat menurunkan produksi hingga 50 % bahkan

dapat gagal panen. Upaya pengendalian di tingkat petani biasanya menggunakan insektisida

kimia secara intensif dengan dosis tinggi dan jangka waktu lama sehingga tidak efisien dan

berpotensi mencemari lingkungan. Oleh karena itu perlu adanya inovasi teknologi yang

lebih ramah terhadap lingkungan. Teknologi ramah lingkungan diaplikasikan dengan

pemupukan berimbang antara pupuk anorganik dan pupuk organik, pengendalian hama dan

penyakit tanaman menggunakan agensia hayati. Beberapa jenis agensia hayati yang

digunakan pada bawang merah adalah Beauveria bassiana dan feromon exi untuk

mengendalikan serangan ulat bawang (Spodoptera exigua), Trichoderma sp. untuk

mengendalikan penyakit busuk pangkal umbi (moler) yang disebabkan oleh jamur

Fusarium oxysporum f. sp. cepae dan penyakit bercak ungu (trotol) yang disebabkan oleh

Alternari porri. Beberapapenelitian penggunaan agensia hayati mampu meningkatkan

produksi 9,93 – 40,99 % dibandingkan produksi bawang merah tanpa agensia hayati.

Dengan meningkatnya produksi, keuntungan yang diterima petani juga mengalami

peningkatan, yaitu 24,16 – 59,11 %. Oleh karena itu agensia hayati berpeluang untuk

dikembangkan dalam skala lebih luas terutama pada sentra produksi bawang yang rentan

terhadap serangan hama dan penyakit.

Kata kunci:bawang merah, agensia hayati, produksi, keuntungan

Abstract. The main problem in developing shallot farming is the presence of pests and

diseases that can reduce production by up to 50% or even crop failure.Control efforts at the

farm level, farmers commonly use insecticides intensively, high doses and long periods of

time that are in-efficiency and pollute environment. Therefore, it is necessary to introduce

environmentally friendly technology, through using organic fertilizer, controlling pest and

disease attack using biological agents. The several types of biological agents on shallot are

Beauveria bassiana and feromon exi to control of S. exigua, Trichoderma sp. to control of

moler disease caused Fusarium oxysporum f. sp. cepae and spot disease caused Alternari

porri. Several studies have shown that the use of biological agents can inrease production

from 9.93 – 40.99 %. With increase production, the profit received by farmers also

increased 24.16 – 59.11 %. Therefore, utilization of biological agents is prospective to be

developed especially in shallot production centers that are suspectible to pest and diseases.

Keywords:shallot, biological agents, production, profit

33

Page 347: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

328

PENDAHULUAN

Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai peranan

penting dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional. Di Jawa Tengah, usahatani bawang

merah dikembangkan petani sebagai mata pencaharian utama dan sumber pendapatan

rumah tangga (Setiawati et al., 2014). Oleh karena itu pengembangan bawang merah

diarahkan untuk meningkatkan hasil, mutu produksi, pendapatan dan taraf hidup hidup

petani bawang merah (Dewi, 2009). Permintaan pasar terhadap bawang merah cenderung

selalu meningkat karena jumlah penduduk yang bertambah, berkembangnya industri

olahan, perkembangan pasar ekspor serta kesempatan kerja (Dirjen Hortikultura, 2008).

Hal ini mengindikasikan terdapat peluang untuk meningkatkan produksi bawang merah.

Peluang peningkatan produksi bawang merah terkendala dengan terbatasnya areal

usaha di tingkat petani. Petani mengembangkan usahatani bawang merah dalam skala kecil

dengan teknologi sederhana berdasarkan kebiasaannya. Untuk meningkatkan produksi

bawang merah, petani menggunakan input produksi berupa pupuk dan pestisida kimia.

Penggunaan pupuk kimia secara terus menerus dapat mengakibatkan pengurasan kekayaan

sumberdaya lahan, sedangkan penggunaan pestisida kimia secara berlebihan dapat

berpengaruh terhadap kesehatan manusia dan terjadinya pencemaran lingkungan karena

terjadi akumulai berbagai jenis pestisida di dalam tanah dan air dan menstimulasi terjadinya

degradasi kapasitas regulator (parasitoid/predator dan lainnya) dalam suatu ekosistem.

Hawayatie et al. (2009) mengemukakan bahwa beberapa kondisi seperti kesuburan

tanah yang relatif rendah pada suatu lahan maupun adanya serangan hama dan penyakit

terhadap tanaman sangat erat kaitannya dengan teknik budidaya yang dilakukan oleh

petani. Dalam setiap tahapan produksi yang dilakukan petani umumnya menggunakan input

kimiawi dengan dosis tinggi baik dalam bentuk pupuk maupun pestisida. Hal ini dilakukan

secara berulang-ulang pada setiap masa tanam dan dosisnya semakin meningkat dari waktu

ke waktu sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi residu bahan kimia berbahaya

didalam tanah dan berpotensi mencemari lingkungan. Fenomena lain yang timbul sebagai

akibat langsung penggunaan bahan kimia adalah menurunnya kualitas fisika dan kimia

tanah yang berdampak pada berkurangnya keragaman hayati dan musuh alami organisme

pengganggu tanaman serta munculnya hama-hama yang resisten. Dengan adanya

permasalahan tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

produktivitas bawang merah adalah dengan memperbaiki teknik budidaya dengan

meminimalkan penggunaan bahan kimia sehingga dapat menciptakan sistem usahatani

bawang merah yang ramah terhadap lingkungan.

INOVASI TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN

Perkembangan ekonomi global dan regional menuntut petani terutama petani pangan

dan sayuran untuk merespon permintaan konsumen terhadap bahan pangan yang sehat dan

aman dikonsumsi dalam jangka panjang. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya

keamanan bahan pangan dapat meningkatkan daya saing produk pertanian (Mayrowani,

2012). Tingginya permintaan keamanan pangan mendorong upaya untuk menghasilkan

inovasi teknologi yang berorientasi pada kualitas hasil tanpa mengesampingkan kerusakan

lingkungan. Sunarti et al. (2013) mengemukakan bahwa dewasa ini terdapat keinginan

Page 348: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

329

konsumen yang semakin besar terhadap produk sayuran bermutu dengan tingkat keamanan

yang tinggi serta meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pelestarian

lingkungan. Widyawati & Rizal (2015) juga menyatakan bahwa saat ini pola hidup sehat

yang akrab dengan lingkungan telah menjadi trend pola hidup baru dengan mengkonsumsi

pangan yang sehat (back to nature). Oleh karena itu diperlukan inovasi teknologi usahatani

yang ramah lingkungan.

Teknologi usahatani ramah lingkungan merupakan usahatani yang dilakukan dengan

prinsip tidak merusak dan mencemari lingkungan terkait dengan aspek pemanfaatan

sumberdaya alam, pembuangan limbah dan keamanan pangan lainnya (Sunarti et al., 2013).

Usahatani ramah lingkungan dicirikan dengan pengendalian hama dan penyakit secara

terpadu menggunakan pestisida nabati dan agensia hayati (Astuti et al., 2013). Penerapan

teknologi usahatani ramah lingkungan dapat menghindari berbagai dampak buruk, yaitu : 1)

kerusakan lahan akibat erosi tanah, 2) ketergantungan pada pupuk kimia/anorganik, 3)

ketergantungan pada pestisida kimia, 4) menurunnya keanekaragaman hayati, 5)

penggunaan air yang berlebihan, dan 6) menurunnya kesejahteraan dan pendapatan petani

(Pangestuti et al., 2015). Implementasi teknologi usahatani ramah lingkungan diantaranya

dengan meminimalkan penggunaan pupuk kimia dengan menambah pupuk organik, dan

meminimalkan penggunaaan pestisida kimia dengan menggunakan pestisida nabati dan

agensia hayati.

Pemupukan Tanaman

Implementasi teknologi usahatani ramah lingkungan diantaranya dengan

meminimalkan penggunaan pupuk kimia yang disubstitusi dengan pupuk organik. Adapun

penggunaan pupuk organik bertujuan untuk memperbaiki struktur tanah agar menjadi

remah dan gembur, memperbaiki sifat kimia tanah (unsur hara dalam tanah mudah diserap

oleh tanaman), memperbaiki tata air dan udara dalam tanah (suhu udara lebih stabil),

mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara (tidak mudah larut) dan memperbaiki

kehidupan jasad renik dalam tanah (Gribaldi, 2009; Tambunan et al., 2014).

Pupuk organik yang mudah diperoleh dan sering digunakan petani pada usahatani

bawang merah adalah pupuk kandang. Pupuk kandang tidak hanya mengandung unsur hara

makro Nitrogen (N), Poshor (P) dan Kalium (K), tetapi juga mengandung unsur hara mikro

seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan mangan (Mn) yang dibutuhkan tanaman serta

berperan untuk menjaga keseimbangan hara dalam tanah. Pengaruh pupuk kandang

terhadap produksi memerlukan waktu yang lebih lama dan merupakan gudang makanan

bagi tanaman (Andayani & Sarido, 2013).

Selain pupuk organik, usahatani bawang merah juga harus diimbangi dengan pupuk

anorganik (Tambunan et al., 2014). Jenis dan jumlah pupuk anorganik disesuaikan dengan

tingkat kesuburan lahan yang akan ditanami bawang merah. Sumarni et al. (2012)

menggunakan dosis pupuk NPK paling baik untuk varietas Bima Curut adalah 180 kg

N/ha,120 kg P2O5/ha, dan 60 kg K2O/ha, sedangkan untuk varietas Bangkok adalah 270 kg

N/ha, 120 kg P2O5/ha, dan 120 kg K2O/ha. Pupuk anorganik yang digunakan di Kabupaten

Demak adalah 600 kg/ha NPK Phonska dan 300 kg/ha ZA (Sahara et al., 2016).

Pemupukan bawang merah di Kabupaten Tegal menggunakan 600 kg/ha NPK Phonska,

Page 349: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

330

250 kg/ha SP-36 dan 150 kg/ha ZA (Pangestuti et al., 2015). Jenis dan dosis pupuk

sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lahan untuk pertanaman bawang merah.

Pengendalian OPT Ramah Lingkungan

Bawang merah adalah salah satu jenis sayuran yang sering mendapat gangguan

hama dan penyakit. Supriyadi et al. (2013) mengemukakan bahwa hama dan penyakit

utama yang ditemukan pada pertanaman bawang merah adalah ulat bawang (Spodoptera

exigua), thrips (Thrips tabaci), penyakit layu Fusarium (Fusarium oxysporum), dan bercak

ungu/trotol (Alternaria porii). Gangguan tersebut membawa petani kepada kebiasaan

menggunakan pestisida kimia dalam setiap tindakan pengendalian, yaitu dengan

meningkatkan jumlah, selang waktu pemberian dan komposisi campuran pestisida.

Sebagaimana dikemukakan oleh Moekasan & Basuki (2007) bahwa pencampuran pestisida

2 - 5 jenis dengan interval penyemprotan 2 - 3 kali dalam setiap minggu menimbulkan

resistensi hama tertentu. Tindakan demikian menyebabkan tingginya biaya produksi,

terjadinya pencemaran lingkungan berupa residu pada hasil panen, timbul ketahanan

(resistensi) hama dan penyakit terhadap pestisida serta munculnya ledakan hama sekunder

lingkungan (Ernita et al., 2016).

Mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan maka berbagai upaya telah

dilakukan untuk mengganti pestisida sintetik (kimia) dengan pestisida hayati atau

biopestisida sebagai alternatif mengendalikan OPT secara ramah lingkungan. Djunaedy

(2009) mengemukakan berdasarkan asalnya biopestisida dapat dibagi dua, yaitu pestisida

nabati dan pestisida hayati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari

tanaman baik dari daun, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki

sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu.Pestisida hayati merupakan formulasi yang

mengandung mikroba tertentu, baik berupa jamur, bakteri maupun virus yang bersifat

antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan

senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga (hama) maupun nematoda

(penyebab penyakit tanaman). Biopestisida yang terbuat dari bahan-bahan alam tidak

meracuni tanaman dan mencemari lingkungan. Dari kelompok bakteri yang telah banyak

diteliti dan digunakan sebagai agensia hayati (pestisida hayati) pada tanaman bawang

merah adalah dari genus Bacillus (B.polimyxa, B.subtilis, dan B.thuringiensis),

Pseudomonas (P.fluorescens), kelompok cendawan (Trichoderma harzianum dan

Gliocladium sp), dan formulasi Beauveria bassiana.

a. Trichodermasp.

Salah satu penyakit penting pada tanaman bawang merah yang menimbulkan banyak

kerugian adalah penyakit layu Fusarium atau penyakit busuk pangkal umbi (moler) yang

disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp.cepae (Bayraktar & Dolar, 2011; Nugroho,

2013). Serangan jamur tersebut dapat menurunkan produksi hingga 50 % bahkan dapat

menyebabkan gagal panen (Bernadip et al., 2014). Pada umumnya petani menggunakan

fungsisida kimia untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium. Namun pengendalian

menggunakan fungisida sulit menjangkau sasaran karena jamur tersebut merupakan

patogen yang mampu bertahan hidup di dalam tanah dalam jangka waktu lama, sehingga

pengendalian secara kimia sangat tidak efektif, tidak ekonomis dan menyebabkan

Page 350: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

331

pencemaran lingkungan (Ghanbarzadeh et al., 2016). Kondisi demikian dapat

diminimalisir menggunakan agensia hayati Trichoderma harzianum (Latifah et al., 2011).

Trichoderma sp. berfungsi untuk menekan serangan jamur Fusarium penyebab

penyakit busuk pangkal/moler pada tanaman bawang merah dan penyakit bercak ungu yang

disebabkan oleh Alternaria porri (Muksin et al., 2013). Mahdizadehnaraghi et al. (2015)

mengemukakan bahwa penggunaan Trichoderma sp. untuk pengendalian secara hayati pada

tanaman bawang putih (garlic) mampu memberikan hasil yang nyata dan menghasilkan

produk seperti yang diharapkan. Shofiyani & Suyadi (2014) melaporkan bahwa pemberian

Trichoderma sp. pada tanaman bawang merah mampu menekan serangan penyakit layu

Fusarium 29,65 - 37,65% karena patogen Fusarium tidak dapat menyebar ke seluruh

jaringan dan lokasi serangan menjadi terbatas dengan adanya penambahan Trichoderma sp.

b. Jamur entomopatogen, Beauveria bassiana

Salah satu kendala untuk meningkatkan produksi bawang merah adalah adanya

serangan OPT yang merugikan, yaitu ulat bawang (Spodoptera exigua) (Moekasan et al.,

2012). Kehilangan hasil karena serangan S.exigua bisa mencapai 3,8 % - 100% (Nurjanani

& Ramlan, 2008). Untuk mengendalikan serangan ulat sampai saat ini petani masih

menggunakan pestisida sintetis. Khasanah (2008) mengemukakan bahwa untuk

mengendalikan serangan ulat bawang (S. exigua) secara hayati dapat menggunakan jamur

entomopatogen B. bassiana. Secara alami B.bassiana terdapat di dalam tanah sebagai

jamur saprofit yang efektif untuk mengendalikan hama walang sangit, wereng batang coklat

pada tanaman padi dan hama kutu (Aphis sp.) pada tanaman sayuran (Purnama et al.,

2010). Penelitian Razak et al. (2016) mendapatkan hasil bahwa B.bassiana dengan

konsentrasi 10 gram/liter air yang disemprotkan setiap 5 hari mampu menekan intensitas

serangan S. exigua hingga 2,02 %.

c. Feromon exi

Feromon exi adalah sejenis feromon sex sintetik yang digunakan sebagai

perangkap ngengat jantan Spodoptera exigua. Pada saat ini, feromonoid seks S. exigua

diproduksi secara masal oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan

Sumberdaya Genetik Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang diberi

nama Feromon Exi. Haryati & Nurawan (2009) mengemukakan bahwa pemakaian

Feromon exi secara efektif dapat digunakan untuk mengendalikan serangan ulat bawang

dan dapat menangkap 41- 83 serangga per perangkap setiap minggu sehingga dapat

mengurangi intensitas serangan pada tanaman bawang merah.

DAMPAK PEMANFAATAN AGENSIA HAYATI

Teknologi usahatani bawang merah ramah lingkungan akan diterima oleh petani

apabila secara ekologi sesuai, secara ekonomi menguntungkan dan secara sosial diterima.

Penelitian dengan mengintroduksi teknologi pengendalian OPT ramah lingkungan pada

usahatani bawang merah telah banyak dilakukan oleh peneliti untuk meningkatkan produksi

dalam rangka memperoleh produk organik.

Firmansyah et al. (2015) mengaplikasikan pupuk organik dan pupuk hayati terhadap

pertumbuhan dan hasil bawang merah di tanah alluvial di Kabupaten Brebes. Hasil

Page 351: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

332

penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dan pupuk hayati tidak

mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman, namun berpengaruh terhadap hasil umbi

basah, kering eskip dan susut bobot umbi bawang merah. Dari beberapa perlakuan dosis

pemupukan, ternyata dosis pupuk organik 3.000 kg/ha dan 50 kg/ha pupuk hayati

memberikan hasil bobot umbi kering eskip paling tinggi, yaitu mencapai 15,48 ton/ha

dibandingkan bobot umbi dari teknologi eksisting sebesar 10,21 ton/ha, sehingga terjadi

perbedaan 5,27 ton/ha (meningkat 51,62 %).

Haryati & Nurawan (2009) mendapatkan hasil bahwa penggunaan Feromon exi

sangat efisien, murah dan ramah lingkungan untuk mengendalikan ulat bawang.

Penggunaan Feromon exi dapat meningkatkan pendapatan petani hingga Rp 16.300.000/ha.

Penelitian Swastika et al. (2017) menggunakan teknologi feromon pada usahatani bawang

merah mendapatkan hasil bahwa produksi bawang merah yang diperoleh menggunakan

teknologi feromon meningkat 9,93 % dibandingkan produksi bawang merah tanpa

penggunaan feromon, yaitu 10,48 ton/ha dibandingkan 9,53 ton/ha. Pada harga bawang

merah Rp 16.000/kg keuntungan usahatani bawang merah dengan pemasangan Feromon

exi sebesar Rp 97.597.400/ha sedangkan keuntungan usahatani bawang merah tanpa

pemasangan feromon sebesar Rp 78.605.500/ha atau meningkat Rp 18.991.900/ha (24,16

%) dengan nilai BCR 1,39 dan 1,06.

Kusumasari & Prayudi (2011) telah melakukan pengkajian perbaikan kesuburan

lahan untuk usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes dengan mengaplikasikan bahan

organik 5 ton/ha dan pupuk kimia secara berimbang pada 4 musim tanam tahun 2009 -

2010. Kegiatan tersebut didasari pemikiran bahwa petani bawang merah di Kabupaten

Brebes selalu menggunakan pupuk kimia tanpa diimbangi dengan pupuk organik sehingga

perlu dilakukan perbaikan kesuburan lahan dengan menggunakan bahan organik. Hasil

kajian menunjukkan bahwa perbaikan kesuburan lahan selama 4 musim tanam telah dapat

meningkatkan produksi bawang merah sebesar 14,40 %, 25,40 %, 6,86 % dan 7,21 %.

Peningkatan produksi tertinggi diperoleh pada MT II (25,40 %) dikarenakan respon tanah

terhadap pemberian bahan organik pada MT I belum terdekomposisi dengan baik, sehingga

hasil yang signifikan terlihat pada MT II, sedangkan pada MT III dan MT IV peningkatan

produksi sudah tidak signifikan karena tanah sudah maksimal memanfaatkan bahan organik

yang diberikan.

Sahara et al. (2016) melakukan penelitian usahatani bawang merah ramah

lingkungan di Kabupaten Demak menggunakan agensia hayati Trichoderma sp., Beauveria

sp. Dan Feromon exi mampu meningkatkan produksi sebesar 576,5 kg/ha atau meningkat

40,99 % dibandingkan teknologi bawang merah eksisting/teknologi petani. Dengan

menerapkan teknologi ramah lingkungan pada usahatani bawang merah, petani

mendapatkan beberapa keuntungan, yaitu : 1) pemakaian pestisida sintetis menurun 20 - 25

kali sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatnya keamanan

produk yang dihasilkan, 2) meningkatnya produksi bawang merah, dan 3) harga bawang

merah yang dihasilkan dengan teknologi ramah lingkungan lebih tinggi dibandingkan

teknologi eksisting (Rp 28.000/kg dibandingkan Rp 27.000/kg) karena umbi bawang merah

yang dihasilkan lebih besar dan lebih berwarna merah. Dampak pemanfaatan agensia hayati

pada usahatani bawang merah di Kabupaten Demak disajikan pada Tabel 1.

Page 352: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

333

Tabel 1. Dampak Pemanfaatan Agensia Hayati pada Usahatani Bawang Merah di

Kabupaten Demak, Tahun 2016

No Rata-rata Jenis Teknologi

Ramah Lingkungan Petani/Eksisting

1. Penyemprotan insektisida kimia

(kali)

3,75 26,55

2. Biaya usahatani (Rp) 17.078.750,00 13.289.750,00

3. Produktivitas (kg/ha) 1.406,50 830,00

4. Harga (Rp/kg) 28.000,00 27.000,00

5. Keuntungan (Rp) 22.303.250,00 9.120.250,00

6. BCR 1,31 0,69,00

7. MBCR 3,48

Sumber : Sahara et al., 2016 (diolah)

Dengan memanfaatkan agensia hayati pada usahatani bawang merah ramah

lingkungan dapat mengefisienkan biaya pengendalian OPT sebesar 29,42 % dibandingkan

dengan pengendalian OPT yang dilakukan pada usahatani bawang merah dengan teknologi

oleh petani. Efisiensi biaya pengendalian OPT tersebut tersebut disajikan ada Tabel 2.

Tabel 2. Efisiensi Biaya Pengendalian OPT pada Usahatani Bawang Merah di Kabupaten

Demak, Tahun 2016

No Jenis Perubahan Jenis Teknologi

Ramah Lingkungan Petani/Eksisting

1. Biaya pengendalian OPT (Rp) 1.130.000 1.866.000

2. Proporsi biaya pengendalian

OPT terhadap biaya total (%)

7,71 14,04

3. Efisiensi perubahan biaya

pengendalian OPT (%)

29,42

Sumber : Sahara et al., 2016 (diolah)

Melihat jumlah produksi dan harga yang berbeda, maka keuntungan yang diperoleh

pada petani yang menggunakan teknologi ramah lingkungan menjadi lebih tinggi

dibandingkan keuntungan pada usahatani bawang merah eksisting. Keuntungan yang

diterima petani dengan menggunakan agensia hayati sebesar Rp 22.303.250/ha, sedangkan

keuntungan petani yang tidak menggunakan agensia hayati sebesar 9.120.250/ha. Data

tersebut menunjukkan bahwa petani yang mengelola usahatani bawang merah dengan

menggunakan agensia hayati mampu meningkatkan keuntungan sebesar Rp 13.183.000/ha

atau berbeda 22,30 %. Jika dihitung berdasarkan proporsi biaya dan keuntungan (BCR)

diperoleh nilai BCR = 1,31 dibandingkan BCR = 0,69 dengan MBCR 3,48.

Page 353: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

334

KESIMPULAN

Introduksi teknologi usahatani ramah lingkungan dapat digunakan untuk

mengendalikan serangan hama dan penyakit pada tanaman bawang merah. Pengendalian

ulat bawang (Spodoptera exigua) menggunakan feromon exi dan jamur entomopatogen

Beauveria bassiana, sedangkan pengendalian penyakit moler dan bercak ungu

menggunakan Trichoderma harzianum mampu meningkatkan produksi bawang merah

sebesar 9,93 - 40,99 %. Dengan meningkatnya produksi bawang merah, maka keuntungan

yang diterima petani meningkat sebesar 24,16 – 59,11 %. Dengan demikian diperlukan

penyebarluasan pemanfaatan agensia hayati di beberapa sentra produksi bawang merah

yang rentan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Andayani dan L. Sarido. 2013. Uji empat jenis pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan

hasil tanaman cabai keriting (Capsicum annum L.). Jurnal Agrifor. Vol.XII (1): 22

- 29.

Astuti, P., R.H. Ismono dan S. Situmorang. 2013. Faktor-faktor penyebab rendahnya

minat petani untuk menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan di

Kabupaten Lampung Selatan. JIIA. 1(1): 87 - 92.

Bayraktar, H and F.S. Dolar. 2011. Molecular identification and genetic diversity of

fusarium species assosiated with onion fields in Turkey. Journal of Phytopathology.

No.159: 28 – 34.

Bernadip, B.R., Hadiwiyono dan Sudadi. 2014. Keanekaragaman jamur dan bakteri

rizosfer bawang merah terhadap patogen moler. Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah

dan Agroklimatologi. 11(1): 52 – 60.

Dewi, N.A. 2009. Analisis karakteristik dan tingkat pendapatan usahatani bawang merah

di Sulawesi Tengah. J. Agroland. 16(1): 53 - 59.

Dirjen Hortikultura. 2008. Bahan Rapim. www.hortikultura.deptan.go.id [diakses tanggal

6 Maret 2016]

Djunaedy, A. 2009. Biopestisida sebagai Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman

(OPT) yang Ramah Lingkungan. Jurnal Embryo. 6(1): 88–95.

Ernita M., Zahanis dan Jamilah. 2016. Aplikasi rhizobakteri dalam meningkatkan

pertumbuhan, hasil dan ketahanan pada tanaman bawang merah. Jurnal Pengabdian

kepada Masyarakat, 22(3): 131 - 134.

Firmansyah, I., Liferdi, Khaririyatun, dan M.P. Yufdy. 2015. Pertumbuhan dan hasil

bawang merah dengan aplikasi pupuk organik dan pupuk hayati pada tanah alluvial.

Jurnal Hortikultura. 25(2): 133 - 141.

Ghanbarzadeh, B., N. Safaie, E.M. Goltapeh, Y.R. Daneshand, and F. Khelghatibana.

2016. Biological control of fusarium basal rot of onion using Trichoderma

harzianum and Glomus mosseae. J. Crop. Prot. 5(3): 359 - 368.

Gribaldi. 2009. Pertanian organik dan teknologi pendukungnya. Agronobis. 1(2): 19 - 24.

Haryati, Y., dan A. Nurawan. 2009. Peluang pengembangan feromon sex dalam

pengendalian hama ulat bawang (Spodoptera exigua) pada bawang merah. Jurnal

Litbang Pertanian. 28(2): 72 - 77.

Page 354: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

335

Hawayatie, Annisa, Y. Novitasari, A. Kosasih, dan P.A. Nainggolan. 2009. Penerapan

sistem pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan pola desamitra. Jurnal

Bestari. Vol 42. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/bestari/issue/view/10 [diakses

tanggal 7 Maret 2016].

Khasanah, N. 2008. Pengendalian hama penggerek tongkol jagung Helicoverpa armigera

Hubner. (lepidoptera : Noctuidae) dengan Beauveria bassiana strain lokal pada

pertanaman jagung manis di Kabupaten Donggala. J. Agroland, 15(2): 106 - 111.

Kusumasari, A.C. dan B. Prayudi. 2011. Perbaikan kesuburan lahan untuk usahatani

bawang merah Brebes. Buku Risalah Hasil Pengkajian Inovasi Pertanian

Hortikultura di Jawa Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa

Tengah. Ungaran. Hal.12 - 22.

Latifah, A., Kustantinah dan L. Soesanto. 2011. Pemanfaatan beberapa isolat

Trichoderma harzianum sebagai agensia pengendali hayati penyakit layu fusarium

pada bawang merah in Planta. Eugenia. 17(2): 86 - 94.

Mahdizadehnaraghi, R., A. Heydari, H.R. Zamanizadeh, S. Rezaee and J. Nikan. 2015.

Biological control of garlic (Allium) white rot disease using antagonistic fungi-based

bioformulations. Journal of Plant Protection Research. 55(2): 136 - 141.

Mayrowani, H. 2012. Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. Forum Penelitian

Agro Ekonomi. 30(2): 91 - 108.

Moekasan, T.K dan R.S. 2007. Resistance status of Spodoptera exigua Hubn. on shallot

from Cirebon, Brebes and Tegal District to several insectiside commonly used by

farmer. Jurnal Hortikultura. 17(4): 343 - 354.

Moekasan, T.K., R.S. Basuku, dan L. Prabiningrum. 2012. Penerapan ambang

pengendalian organisme pengganggu tumbuhan pada budidaya bawang merah dalam

upaya mengurangi penggunaan pestisida. Jurnal Hortikultura. 22(1): 47 - 56.

Muksin, R., Rosmini dan J. Panggeso. 2013. Uji antagonisme Trichoderma sp terhadap

jamur patogen Alternaria porri penyebab penyakit bercak ungu pada bawang merah

secara in-vitro. e-J. Agrotekbis. 1(2): 140 - 144.

Nugroho, B. 2013. Optimalisasi konsentrasi mikrokonidium dalam formulasi agens hayati

Fusarium oxysporum f. sp. cepae avirulen dan dosis penggunaannya untuk

pengendalian penyakit moler pada bawang merah. Jurnal Agri Sains. 4(6): 10 - 19.

Nurjanani dan Ramlan. 2008. Pengendalian Hama Spodoptera exigua Hubn. untuk

Meningkatkan Produktivitas Bawang Merah pada Lahan Sawah Tadah Hujan di

Jeneponto, Sulawesi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Pertanian. 11(2): 164 - 170.

Pangestuti, R., B. Prayudi, T.C. Mardiyanto, R. Endrasari, Nurhalim dan E. Supratman.

2015. Teknologi Budidaya Bawang Merah Ramah Lingkungan di Kabupaten Tegal.

Petunjuk Teknis. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 22 hal.

Purnama, H., Nur Hidayati dan Eni Setyowati, 2010. Pengembangan produksi pestisida

alami dari Beauveria bassiana dan Trichoderma sp. menuju pertanian organik.

Warta. 18(1): 1 - 9.

Razak, N.A., B. Nasir dan N. Khasanah. 2016. Efektivitas Beauveria bassiana Vuill

terhadap pengendalian Spodoptera exigua Hubner. (Lepidoptera : Noctuidae) pada

Page 355: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

336

tanaman bawang merah lokal Palu (Allium wakegi). e-J. Agrotekbis. 4(5): 565 -

570.

Sahara, D., B. Prayudi, Chanifah, Suwandi, E.S. Ambarwati dan E. Supratman. 2016.

Kajian Efisiensi Usahatani Bawang Merah Menuju Ramah Lingkungan di Jawa

Tengah. Laporan Akhir Kegiatan Kerjasama Kemitraan Pengkajian dan

Pengembangan Pertanian Spesifik Lokasi (KKP3SL). Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Jawa Tengah. 54 hal.

Setiawati, W., A. Hashim, A. Hudayya, and B. Merle Shepard. 2014. Evaluation of shade

nets and nuclear polyhedrosis virus (SeNPV) to control Spodoptera exigua

(Lepidoptera: Noctuidae) on shallot in Indonesia. AAB Bioflux. 6(1): 88 - 97.

Shofiyani, A dan Aman Suyadi. 2014. Kajian Efektivitas Penggunaan Agensia Hayati

Trichoderma sp. untuk Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman

Bawang Merah di Luar Musim. Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP

2014. Hlm.1-7

Sumarni, N., R. Rosliani, R.S. Basuki, dan Y. Hilman. 2012. Respons tanaman bawang

merah terhadap pemupukan fosfat pada beberapa tingkat kesuburan lahan (status P-

Tanah). Jurnal Hortikultura. 22(2): 129 - 137.

Sunarti, H. Junedi dan Endriani. 2013. Introduksi teknologi pertanian ramah lingkungan

berbasis reuse, reduce dan recycle (3R) dalam meningkatkan pendapatan petani.

Jurnal Pengabdian pada Masyarakat, No. 55: 41- 50.

Supriyadi, A., Ika Rochdjatun S dan Syamsuddin Djauhari. 2013. Kejadian penyakit pada

tanaman bawang merah yang dibudidayakan secara vertikultur di Sidoarjo. Jurnal

HPT. 1(3): 27 - 40.

Swastika, K., I.G.A. Ayu Ambarawati dan I.A. Listia Dewi. 2017. Perbandingan

pendapatan usahatani bawang merah dengan dan tanpa teknologi feromon (Studi

kasus di Gapoktan Asta Mandiri, Desa Songan B, Kecamatan Kintamani, Kabupaten

Bangli). E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata. 6(1): 76 - 85.

Tambunan, W.A., R. Sipayung, dan F.E. Sitepu. 2014. Pertumbuhan dan produksi bawang

merah (Allium ascalonicum L.) dengan pemberian pupuk hayati pada berbagai

media tanam. Jurnal Online Agroekoteknologi. 2(2): 825 - 836.

Widyawati, A.T. dan M. Rizal. 2015. Potensi pengembangan tanaman sayuran skala

rumah tangga di Samarinda, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional

Masyarakat Biodiv. Indon. 1(8): 1877 - 1883.

Page 356: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

337

PENGGUNAAN PESTISIDA NABATI LEBIH TEPAT DILAHAN PEMBUKAAN SAWAH BARU

Wahid Erawan

Pengajar di Universitas Garut; Jalan Raya Samarang 52A Tarogong Kabupaten Garut Jawa Barat

Abstrak. Pestisida nabati akan mampu mengendalikan hama pada penanaman padi di lahan

baru dibuka. Pestisida nabati merupakan alternatif mengurangi ketergantungan pada

pengunaan pestisida kimia. Tujuan utama penelitian ini adalah mempelajari keunggulan

biopestisida terhadap produksi dan pendapatan dari padi di lahan baru. Data diperoleh dari

kajian di Papua, Sumatra Selatan dan Maluku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

penggunanaan biopestisida akan lebih tepat karena di daerah setempat bahan mudah

diperoleh, harga relatif murah, mudah dibuat, relatif aman terhadap lingkungan, kandungan

bahan kimianya tidak menimbulkan residu pada tanaman, tidak mudah menimbulkan

kekebalan hama, dan menghasilkan produk pertanian yang sehat.

Kata kunci: biopestisida, hama, sawah baru

Abstract.Vegetable pesticides will be able to control pests in planting rice on newly opened

land. Vegetable pesticide is an alternative to reduce dependence on the use of chemical

pesticides. The main purpose of this study was to study the superiority of biopesticides on

the production and income of new rice field. Data were obtained from studies in Papua,

South Sumatra and Maluku. The results showed that the use of biopesticides would be more

appropriate because in the local area the material is easy to obtain, the price is relatively

cheap, easy to make, relatively safe to the environment, the chemical content does not cause

residues in plants, not easy to cause pest immunity, and produce healthy farm products

Keywords: biopesticides, pests, new rice fields

PENDAHULUAN

Salah satu agenda strategis Pemerintah Kabinet Kerja baru adalah mewujudkan

kedaulatan pangan di negeri ini. Kedaulatan pangan diterjemahkan dalam bentuk

kemampuan bangsa dalam hal, mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri,

mengatur kebijakan pangan secara mandiri, dan melindungi dan menyejahterakan petani

sebagai pelaku utama usaha pertanian pangan. Dengan kata lain, kedaulatan pangan harus

dimulai dari swasembada pangan yang secara bertahap diikuti dengan peningkatan nilai

tambah usaha pertanian secara luas untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Upaya

pencapaian swasembada dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu meningkatkan

produktivitas dan peningkatan produksi padi melalui perluasan sawah.

Penggunaan masukan kimiawi dalam budidaya tanaman pangan dikhawatirkan akan

berdampak negatif terhadap lingkungan dalam jangka panjang. Penggunaan pestisida

merupakan pilihan terakhir yakni jika populasi hama sudah berada pada fase yang

merugikan. Tujuan rekayasa komponen penggunaan biopestisida adalah untuk menjaga

keseimbangan abiotik dan lingkungan yang sehat. Kajian Yusdja et al. (1991) menunjukkan

bahwa sebagian besar petani menempatkan unsur pengendalian hama dengan menggunakan

34

Page 357: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

338

pestisida sebagai prioritas utama. Situasi ini timbul sebagai produk dari kebijaksanaan

paket teknologi produksi yang telah diterapkan selama 20 tahun lebih dengan menetapkan

penggunaan pestisida merupakan suatu keharusan. Belakangan barulah disadari bahwa

sikap semacam itu keliru. Untuk mengubah perilaku petani semacam itu perlu direkayasa

dengan suatu pendekatan ekonomi dan sosial kultural terhadap petani.

Makalah ini merupakan hasil penelitian memperlihatkan kinerja penggunaan

pestisida dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh petani terutama produksi dan

pendapatan. Secara umum makalah ini akan membahas aspek keunggulan pestisida nabati

terhadap budidaya padi di lahan bukaan baru.

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode survey

untuk mengamati program pencetakan sawah baru di Papua, Sumatra Selatan dan Maluku.

Pelaksanaan pada tahun September 2015 sampai dengan Juli 2017.Setelah dilakukan survey

dilakukan Focus Group Discussion (FGD). FGD juga berfungsi untuk merumuskan

alternatif rekomendasi kebijakan dalam rangka pencetakan sawah baru dalam peningkatan

produksi padi di Papua, Sumatra Selatan dan Maluku.

Menurut Suratmo (2002), penelitian deskriptif adalah penelitian yang didasarkan

pada data deskripsi dari suatu status, keadaan, sikap, hubungan, atau suatu sistem pemikiran

suatu masalah yangmenjadi objek penelitian, untuk memperoleh deskripsi, gambaran atau

suatu lukisan secara sistematis, faktual, detail, dan akurat antara berbagai fenomena.

Menurut Maman (2002), penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial.

Dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran sifat, objek

penelitian atau sesuatu yang sedang terjadi (Sudjana, 1996).

Teknik Pengumpulan Data dan Informasi

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan

menggunakan proses wawancara dan pengamatan langsung, yang dilakukan untuk

mengamati perkembangan pencetakan sawah baru di Papua, Sumatra Selatan dan Maluku.

Permasalahan yang dihadapi serta kemungkinan solusi untuk meningkatkan efektivitas

pencetakan sawah baru di Papua, Sumatra selatan dan Maluku dengan mengendalikan hama

menggunakan biopestisida . Selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan

para ahli yang didasarkan pada proses interaksi untuk mendapatkan berbagai data dan

informasi.

Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tiga provinsi yang merupakan target perluasan lahan

sawah yakni Papua, Sumatera Selatan dan Maluku. Papua tepatnya di kabupaten Boven

Digoel, Sumatra Selatan kabupaten OKU Timur dan Maluku di Pulau Seram

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor Luas Garapan

Pemerintah merencanakan untuk meningkatkan luas garapan sekitar 6000 hektar di

Papua, 2000 hektar di Sumatera Selatan, dan 200 hektar di Maluku. Dengan demikian

Page 358: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

339

dapat dikatakan bahwa semakin luas garapan maka semakin rendah biaya pestisida. Hal ini

disebabkan dengan lebih luas pengeluaran untuk pestisida menjadi berkurang. Namun

secara tersembunyi terdapat pengertian bahwa konsumsi pestisida tidak dipengaruhi harga

dengan kata lain bahwa pestisida merupakan kebutuhan pokok. Implikasinya adalah bahwa

kenaikan harga pestisida akan selalu menyebabkan kenaikan biaya pengendalian hama.

Untuk itu perlu digalakan penyuluh memberikan arahan untuk penggunaan biopestisida,

terutama pestisida nabati.

Gejala ini memperlihatkan bahwa petani lebih bersikap berhati-hati terhadap

terjadinya kemungkinan yang sama dengan meningkatkan penggunaan pestisida. Implikasi

dari sikap semacam ini adalah meningkatkan pengetahuan petani dalam menemukan

penyebab kehilangan hasil pada masa lalu, apakah disebabkan oleh hama atau gangguan

yang lain. Jika penyebabnya bukan hama, maka tidak rasional kalau biaya pestisida

ditingkatkan. Untuk ini petani perlu diberikan seperangkat pengetahuan dengan bantuan

para penyuluh dalam mengidentifikasi sebab-sebab kegagalan panen dan bagaimana cara

pengendalian dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitarnya

Sumber Daya Manusia

Mayoritas masyarakat di Papua, Sumatra Selatan dan Maluku kurang memahami

tentang biopestisida dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada di sekitarnya.

Pestisida nabati bersifat lebih aman dan nyaman, yaitu apabila diaplikasikan akan

membunuh hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh, maka residunya akan

cepat menghilang di alam.

Dengan demikian, tanaman akan terbebas dari residu pestisida dan aman untuk

dikonsumsi. Penggunaan pestisida nabati dimaksudkan bukan untuk meninggalkan dan

menganggap tabu penggunaan pestisida sintetis, tetapi hanya merupakan suatu cara

alternatif agar pengguna tidak hanya tergantung kepada pestisida sintetis dan agar

penggunaan pestisida sintetis dapat diminimalkan, sehingga kerusakan lingkungan akibat

penggunaan pestisida sintetis dapat dikurangi dan waktunya kerusakan lingkungan dapat

diperlambat pula. Lebih tepatnya penggunaan pestisida nabati dilakukan pada lahan masih

kurang hama dan penyakit, apalagi budidaya padi menerapkan sistem tanaman organik.

Strategi Penggunaan Pestisida Nabati

Permasalahan hama utama padi seperti Wereng coklat apabila menyerang tanaman

padi, maka tanaman tersebut akan mengering pada satu lokasi secara melingkar yang

disebut dengan istilah hopper burn. Selain wereng coklat, wereng hijau dan wereng loreng

adalah sebagai vector virus tungro. Dimana virus tungro ini merupakan penyebab penyakit

kerdil rumput dan penyebab kerdil hampa pada tanaman padi. Tergantung saat penyebaran

virus oleh wereng hijau tersebut. Apabila wereng tersebut menyebarkan virus tungro pada

saat padi dalam kondisi masa pertumbuhan maka padi akan terkena penyakit kerdil rumput.

Apabila wereng tersebut menyebarkan virus tungro pada saat sedang bunting maka padi

akan terkena penyakit kerdil hampa. Ramuan pestisida nabati untuk mengatasi hal tersebut

yang mudah diperoleh di lahan sawah bukaan baru di Papua, Sumatra Selatan dan Maluku

seperti kombinasi daun sirsak- tembakau-bawang putih-air untuk penggerek batang,

kombinasi biji mimba-alkohol- air untuk nematode, dan masih banyak bahan yang bisa

digunakan untuk pembuatan pestisida nabati.

Page 359: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

340

KESIMPULAN

1. Lahan sawah bukaan baru dianjurkan untuk menerapkan sistem budidaya secara organik

dan menggunakan pestisida nabati dalam mengendalikan hama dan penyakitnya agar

lahan memberikan peningkatan hasil yang sehat dan berkelanjutan.

2. Petani dari awal sudah diperkenalkan dan dilatih penggunaan pestisida nabati, dan

bagaimana responnya

DAFTAR PUSTAKA

Maman, U.K. 2002. Menggabungkan Metode Kualitatif dengan Kuantitatif. Bogor IPB

Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito

Suratmo. 2002. Panduan Penelitian Multidisiplin. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Yusdja, Y. 1991. Studi Baseline PHT. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Page 360: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

341

CONTROL INTRODUCTION OF BIOLOGICAL AGENTS INTO INDONESIA’S TERRITORY

Ihsan Nugroho, Antarjo Dikin, Fujio Lamtarida

Badan Karantina Pertanian, Jalan Harsono RM No. 3 Ragunan Jakarta Selatan Gedung E Kantor

Pusat Kementerian Pertanian

Abstract. Biological agents (bio-agents) as a part of important natural resources which is

useful for control pests and diseases in the agriculture area and others. The use of pesticide

in the field to control pests and diseases now is very high and intensive level causes many

impact and big problem in that ecosystem and environments. The bio-agent developes and

even commercially produce not only in Indonesia but also imported from other country.

Importation of bio-agents into Indonesia’s territory should be more carefully to mitigate the

risk. It must be meet Indonesian regulation and should be asses and evaluated by

Indonesian Biological Agents Commission (IBAC) to ensure that bio-agents safety, not

become harmful to plant, animal, human health and environmental balance may call as

invasive alien species and other impacts may occur. Research and testing will be conducted

dealing with the purity, effectiveness, and safety of bio-agents itself. Import permit of bio-

agents issued by Minister of Agriculture based on the IBAC recommendation.

Key word :biosafety; importation; regulation

Abstrak.Agens hayati merupakan salah satu sumber daya alam penting yang bermanfaat

untuk pengendalian hama dan penyakit di bidang pertanian dan keperluan lainnya. Aplikasi

agens hayati dapat mengurangi penggunaan pestisida di lapangan yang selama ini sangat

tinggi dan intensif sehingga dapat menimbulkan dampak negatif dan permasalahan besar

dalam ekosistem dan lingkungan. Aplikasi agens hayati semakin dikembangkan,

perolehannya tidak hanya berasal dari produksi secara komersial di Indonesia, tetapi juga

dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dari negara lain. Pemasukan agens hayati ini harus

disikapi dengan kehati-hatian. Pemasukan agens hayati wajib memenuhi peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Agens hayati yang hendak dimasukkan ke dalam

wilayah Indonesia harus melalui penilaian yang dilakukan oleh Komisi Agens Hayati

(KAH) Indonesia, untuk memastikan bahwa agens hayati tidak membahayakan bagi

kesehatan tanaman, hewan, manusia dan kelestarian lingkungan serta tidak berpotensi

menjadi spesies asing invasif dan dampak-dampak lainnya. Penelitian dan pengujian yang

dilakukan terhadap agens hayati adalah yang berkaitan dengan kemurnian, efektifitas, dan

keamanan. Izin pemasukan agens hayati ke dalam wilayah Indonesia dikeluarkan oleh

Menteri Pertanian berdasarkan rekomendasi dari KAH.

Kata kunci :biosafety; importation; regulation

INTRODUCTION

Indonesia as archipelagoes have many natural resources and better known as

megabiodivercity country including tremendous biological agents (bio-agents) may use for

the control pest and diseases in the agriculture area. In line with the reduction of pesticide

use, bio-agents are more explored and developed as biological control agents against pest

35

Page 361: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

342

and diseases in Indonesia. It’s the best choice with the concern on environmentally friendly,

the more it’s for organic producer. The use of biological control agent to control pests and

diseases such as predator, parasitoid, antagonize organism etc. have been develop and even

commercially produced as agri-industry in Indonesia, even introducing to other country.

The use of biological control agent to control pests and diseases is no doubt the

advantages and its benefits. As we know that introduction bio-agent to Indonesia not only

to control pests and diseases even though many purposes are possible reason such as hobby,

ornamental plant, gift and soon. On the other hand, an introducing bio-agents as a new

species have potentially turned into more dangerous species, causing damage and or

harmful to plant, animal, human health and environmental balance may call as invasive

alien species. However, the introducing bio-agents from outside Indonesia should be more

carefully to mitigate the risk. It must be meet Indonesian regulation dealing with mitigation

procedure properly.

In 1980’s, the golden apple snail (Pomacea canaliculata) was introduced to Asia

from South America as an aquarium snail decoration and also as potential food for people.

Unfortunately the golden apple snail became a major pest of rice and the major problem in

the rice field because difficult to control. Golden apple snail eat young and emerging rice

plants. They damage direct-wet seeded rice and transplanted rice up to 30 days old.

Without control measure has been taken place, they can completely destroy 1 M2 of field

overnight. This damage could lead to more than 50% yield loss (Anonymous, 2017).

Eichornia crassipes as an aquatic plant firstly introduced in 1894 by Amarican

botanist to Kebun Raya Bogor as to be an ornamental plant because it’s has a beautiful

flower. They became invasive species in Indonesia and difficult to control because it

quickly breed and spread in the waters. This aquatic plant caused water black of irrigation,

competitive plant in the rice field.

Therefore introducing of new species of bio-agents in to Indonesia should be

carefully and follow the procedure based on the regulation properly with scientific base to

mitigate the risk.

DEFINITION OF BIO-AGENTS

Bio-agents is an organism consists of species, subspecies, variety, all species of

insects, nematodes, protozoa, fungi, bacteria, viruses, micoplasma, and other organisms in

all step of stages that can be used for pests and diseases controlling, production process,

processing agriculture product, and other purposes. (Decree of MoA No. 411/1995).

INDONESIAN BIOLOGICAL AGENTS COMMISSION (IBAC)

Indonesian Bio-agents Commission (IBAC/Komisi Agens Hayati) as board has task

to conduct assessment dealing with the propose of introducing biological control agents to

decide the strategic mitigate the risk. IBAC produces recommendation of introducing bio-

control agents to Minister of Agriculture. IBAC is consists of many interdiciplint scientists

such as biological and biocontrol science, environment science including national

authorities, and stakeholders.

Page 362: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

343

IBAC in the operation to conduct an assessment of every application for importing

bio-agents into the territory of Indonesia. It’s very important for the new species that will

be imported to Indonesia both for research, commercial and or other purposes. Assessment

will be conducted by two steps consists of desk evaluation and fields evaluation if

necessary. IBAC will recommendate to receive or reject application based on result of

that’s evaluation. Field evaluation and monitoring will be conducted to ensure bio-agents

safety and not become harmful or invasive.

SCOPE, REQUIREMENT, AND PROCEDURE

Introducing of bio-agents for all purposes must be meet and refer to the Decree of

MOA No. 411/1995 regarding of the importation biological agents into the territory of

Indonesia and others quarantine regulations.

Procedure and requirements in those regulations used as guidance for importation of

formulated and or unformulated biological. Application of importation biological agents

can be applied by personal or a legal entity that have been approved by Minister of

Agriculture. Application form is to be direct to Ministry of Agriculture via Indonesian

Biological Agents Commission (IBAC). IBAC will conduct an assessment every import

bio-agents application with their procedure properly and propose to allow or not to allow

based on their accessing results as to Minister of Agriculture.

Application of Introducing biological agents at first time should be completed with

more detail technical information dealing with the result of research and detail analysis in

the country origin. Numbers of technical information in the country of origin such as it’s

biology, result and data research analysis including benefits, report of negative effect and

step of overcome impact, natural enemies, antagonists and it’s competitor, habitat,

biological characteristic should be submitted. IBAC may ask the applicant to bring in

sample biological agents for initial testing if their supporting data application not enough

yet. Based on the IBAC suggestion, Director of Agriculture Quarantine Agency appoints

experts to conduct a research and testing. Research and testing will be conducted dealing

with the purity, effectiveness, and safety of bio-agents itself.

The results of research and testing as to be supporting data for IBAC’s

recommendation to allow or not to allow introducing bio-agents. Import permit from

Minister of Agriculture will be given if proven bio-agents provide benefits as accordance

with the designation and no harmful for animal, fish, plant, safety and healthy for human

and environment.

Import permit of bio-agents as the decree of MOA to give as well as the place of

entry point. Rejection of application will be given as letter of rejection to applicant. Bio-

agents that have been introduced previously in to Indonesia no need to be tested, while first

time introducing as the above procedure, should be followed through the assessment by

IBAC. Import permit of bio-agents is only valid for six months and one time of shipment

since it’s issued.

Page 363: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

344

QUARANTINE PROCEDURE IN THE ENTRY POINT

Application of bio-agents importation at the entry point must be accompanied with

approved letter from Minister of Agriculture that its approve all requirements as accordance

of the import permit. The point of entry decided to allowed are Sea Port (Belawan, Boom

Baru, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar); Air Port (Polonia, Sultan Mahmud

Badaruddin II, Soekarno Hatta, Juanda, Hasanuddin); Post Office (Medan, Palembang,

Jakarta, Surabaya dan Ujung Pandang).

The applicant both of personal and or legal entity must submit report to quarantine

officer at the entry point dealing with bio-agents arrival plan. The bio-agents consignment

will be inspected by quarantine inspector related to the completeness of the document and

the suitability of the contents. Its will be bring to the designated installation which is

approved by Quarantine Agency, if all the requirements requirement is comply as well as

result of physical inspection. Otherwise if there is not comply with document and physical

inspection, the consignments will be rejected. The consignment of bio-agents also will be

destroyed if there is no one has either personal or legal entity at the entry point more than

seven days since arrival without any application for quarantine inspection.

Observations are continuously conducted by quarantine officer at the quarantine

installation to make sure that the bio-agents is safe, not to be harmful and consistent with

their designation. The bio-agents will be released by quarantine if there is no harmful for

animal, fish, plant, safe and healthy for human and environment in that observation periods

after having approval from Minister of Agriculture. Otherwise the bio-agents will be

destroy and burn all the consignment. Agriculture Quarantine Agency must report to

Minister of Agriculture related to the realization of bio-agents importation and all

quarantine action conducted.

OBLIGATIONS OF PERSON OR LEGAL ENTITY

Personal and legal entity introduced bio-agents must provide training to everyone to

have a good knowledge related to bio-agents and it’s handling. They should also provide

the right information for people or public related to its benefits, using of bio-agents with

safety and efficient. Furthermore, they should be responsible any bio-agents outbreak which

become invasive. There are numbers of introduced bioagents into Indonesia with its

purposed (Annex 1).

Anex 1. Bio-Agents Have Been Introduced in The Last Decade

No. Spesies Country of

Origin Legal Entity Year Purpose

1. Amblyseuis

swirskii

Belanda PT.JORO 2006,2008,2009 control to

Thrips on

strawberry

2. Orius laevigatus Belanda PT.JORO 2006,2008,2009 control to

Thrips on

strawberry

Page 364: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

345

No. Spesies Country of

Origin Legal Entity Year Purpose

3. Mycorrhyza

spp.(Mycogold)

Malaysia PT. IPI

SUNIJAYA

2006 control to

pathogen on

the root

4. Amblyseuis

swirskii

Belanda PT.

Strawberindo

Lestari

2006,2009,2011,2

012; 2015

control to

pests on the

fruit area

5. Amblyseuis

californicus

Belanda PT.

Strawberindo

Lestari

2006 control to

Thrips on

strawberry

6. Pyhtoseiulus

persimilis

Belanda PT.

Strawberindo

Lestari

2006,2009,2011,2

012 ; 2015

control to

Thrips on

strawberry

and mites on

stoberi

7 Orius laevigatus Belanda PT.

Strawberindo

Lestari

2006 control to

anthropoda

on

horticulture

8 Agrobacterium

radiobacter biovar 1

CD-27

Jepang PT.Kirin

Miwon Food

2009,2010;2016 Vermenter

agent

curdlan

(emulsifier)

9. Cotesia

nonagriae

Australia P3GI Pasuruan 2010,2011 control to

Chillo

auricilius

dan Chillo

saccharipha

guson sugar

10. Bacillus

Thuringensis

Subsp.

Israelensis Strain

Am65-52

USA Yaspem,

Maumere

2013 control to

vektor of

elephantiasis

and malaria

11. Pseudletomastix

mexicana

Puerto Rico IPB 2009 control to

Paracoccus

marginatus

(Tidak

realisasi)

12. Anagyrus loecki Puerto Rico IPB 2009 control to

Paracoccus

marginatus

(Tidak

realisasi)

Page 365: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

346

No. Spesies Country of

Origin Legal Entity Year Purpose

13. Acerophagus

papayae

Puerto Rico IPB 2009 control to

Paracoccus

marginatus

(Tidak

realisasi)

14. Bombus terrestris Selandia

Baru

PT.

Strawberindo

Lestari

2011 Polinator on.

Paprica

(Ditolak)

15. Salmonella

entereditis var.

danysz

Cuba PT. Mahakam

Beta Farma

2013 control as

larvasida

(Ditolak)

16 Anagygrus lopezi Thailand IPB 2014 control to

Panococcus

manihoti

(research)

17. Corynebacterium

glutamicum

Japan PT. Ajinec

International

2017 MSG

process

(vermenter)

18 Chiasmia

assimilis

(Warrent)

Australia CEAMEO-

BIOTROP

2017 control to

Accacia

nilotica

(Invasif

species)

Amblyseius swirskii (Predatory mites) Orius laevigatus (Predatory

bugs)

Page 366: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

347

Chiasmia assimilis (Warrent)

Cotesia nonagriae (larve paracitoid)

Anagyrus lopezi (egg paracitoid)

Mycorrhiza spp

Bacillus thuringiensis would kill mosquito larvae

like these without harming humans, birds, pets or

fish

Corynebacterium glutamicum

Page 367: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

348

REFERENCES

Anonymous (1992). Indonesian Law No. 16 1992 regarding animal, fish, and plant

quarantine.

Anonymous (1995). Decree of Minister of Agriculture No. 411/1995 regarding importation

of biological agents in to the territory.

Page 368: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

349

POTENSI GENETIK SUMBERDAYA LAHAN RAWA UNTUK MENDUKUNG PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN

Maulia A. Susanti, dan Masganti

Indonesian Swampland Agriculture Research Institute; Jalan Kebun Karet, Loktabat Utara,

Banjarbaru 70712, South Kalimantan. Indonesia; email: [email protected]

Abstrak.Hasil eksplorasi terhadap sumberdaya genetik di lahan rawa Kalimantan Selatan

dan Tengah ditemukan 70 jenis tanaman yang berpotensi sebagai pestisida botani.

Masyarakat di kawasan rawa telah lama memanfaatkan bagian tanaman berupa umbi,

batang, kulit batang, daun dan getah sebagai bahan pestisida nabati. Kendala dalam

pengembangan pestisida nabati antaranya (1) terbatasnya suplai bahan baku, (2) volume

semprot dalam aplikasi lebih banyak, dan (3) terbatasnya informasi tentang OPT

sasaran/target dan dosis aplikasi. Produksi bahan pestisida nabati yang kontinyu harus

didukung oleh ketersediaan bahan tanaman, sementara SDG di lahan rawa tergolong

komoditas yang mudah mengalami erosi genetis akibat pembangunan. Langkah yang perlu

dilakukan adalah pelestarian atau konservasi tanaman tersebut secara in situ dengan

melakukan konservasi kawasan yang mempunyai daya dukung yang baik terhadap

pertumbuhan tanaman melalui Peraturan Daerah. Konservasi lain dilakukan dengan cara ex

situ dengan melibatkan masyarakat setempat dalam skala keluarga maupun desa dalam

bentuk kebun desa, dan taman desa. Selain itu juga perlu dilakukan pembinaan terhadap

masyarakat setempat dalam hal pelestarian dan pemanfaatan SDG yang ramah lingkungan.

Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan tentang potensi keanekaragaman hayati

tumbuhan lahan rawa sebagai bahan pestisida nabati, untuk mendukung pengembangan

lahan rawa sebagai sumber pangan dan mendukung pertanian ramah lingkungan.

Kata kunci: Potensi, Sumberdaya Genetik, Lahan Rawa, Pestisida Nabati, Ramah

Lingkungan

Abstract.The results of exploration of genetic resources in swamplands of South

Kalimantan and Central Kalimantan, found 70 species of plants that have potential as a

botanical pesticides. Farmers in the swamp area have long utilized parts of the plant in the

form of tubers, stems, bark, leaves and sap as a botanical pesticides.Constraints in the

development of vegetable pesticides include (1) limited supply of raw materials, (2) spray

volume is required in large quantities, and (3) limited information on target pests/targets

and dosage applications. Continuous production of botanical pesticides should be supported

by the availability of plant material, while the PGR in swampland is a commodity that is

susceptible to genetic erosion. Strategy that need to be done is the conservation of these

plants by conserving the area that has a good carrying capacity of plant growth through the

Regional Regulations (in situ conservation). Other is done by involving local communities

on the family and village in the form of village gardens, and village parks (ex situ

conservation). It is also necessary to provide guidance to the local community in terms of

preservation and utilization of environmentally friendly PGR. This paper aims to inform the

potential of biodiversity of wetland plants as a botanical pesticides, to support the

development of swampland as food sources and to support eco-friendly agriculture.

36

Page 369: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

350

Keywords: Potency, genetic resources, swamplands, botanical pesticides, environmentally

friendly

PENDAHULUAN

Pemerintah Indonesia telah menetapkan program ketahanan pangan sebagai prioritas

utama dalam kebijakan pembangunan pertanian. Peningkatan sektor pertanian memerlukan

berbagai sarana yang mendukung agar dapat dicapai hasil yang memuaskan dan terutama

dalam hal mencukupi kebutuhan nasional dalam bidang pangan dan meningkatkan

perekonomian nasional dengan mengekspor hasil ke luar negeri. Sarana-sarana yang

mendukung peningkatan hasil di bidang pertanian ini adalah alat-alat pertanian, pupuk,

bahan-bahan kimia yang termasuk di dalamnya adalah pestisida. Pestisida adalah bahan

kimia yang dirancang untuk mengendalikan serangan berbagai hama dan vektor pada

tanaman pertanian, hewan domestik, dan manusia (FAO 1989). Pestisida sesungguhnya

bukan barang terlarang untuk digunakan selama dalam penggunaannya mengikuti kaidah 5

T yaitu Tepat dosis, Tepat sasaran, Tepat waktu, Tepat cara, dan Tepat kombinasi. Namun

penggunaan pestisida kimia dengan cara High Eksternal Input Agriculture(HEIA), menjadi

perilaku umum dalam aktivitas pertanian yang dianggap ampuh untuk menekan kehilangan

produksi pertanian akibat serangan OPT.

Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida selain

menyebabkan biaya produksi yang tinggi, juga dapat menimbulkan masalah ekologi yang

rawan. Diperkirakan bahwa pestisida yang mencapai sasaran hanya sekitar 0,1% dari total

pestisida yang diaplikasikan, sedang sisanya akan jatuh menjadi kontaminan di lingkungan

tanah (Carriger et al. 2006). Keadaan ini mengakibatkan pencemaran tanah dan air, adanya

risiko yang tinggi keracunan bagi manusia, dan kemungkinan adanya residu pestisida yang

tinggi pada produk-produk yang dipasarkan (Arifin & Lubis 2003). Selain itu penggunaan

pestisida juga dapat menyebabkan: (a) timbulnya resistensi pada hama pertanian, (b)

menurunkan populasi predator baik dari golongan serangga, burung maupun ikan yang

sebenarnya bukan sasaran, (c) menurunkan populasi organisme yang berperan penting

dalam menjaga kesuburan tanah (cacing tanah, jamur, dan serangga tanah), (d) tidak

terdegradasi di lingkungan sehingga residunya akan terdistribusi melalui rantai makanan,

(e) racun pestisida dapat terakumulasi melalui rantai makanan dan dapat terkonsentrasi

pada organisme tertentu. Cacing tanah, misalnya dapat mengkonsentrasikan pestisida pada

tubuhnya hingga mencapai 20 kali konsentrasi pestisida pada tanah sekitarnya(Komisi

Pestisida 1997).

Peristiwa akumulasi pestisida melalui rantai makanan (bioakumulasi), menyebabkan

pestisida cenderung untuk lebih terkonsentrasi pada organisme yang menempati piramida

makanan yang lebih tinggi. Salah satu organisme tersebut adalah manusia. Hal ini

menyebabkan manusia rawan untuk teracuni pestisida, menurut penelitian diduga kuat

termasuk bahan karsinogenik atau penyebab kanker (Komisi Pestisida 1997). Hasil

penelitian Wira-Maharani (2004 cit. Manuabe 2009) terhadap petani sayuran di Kabupaten

Buleleng, Bali ditemukan sebesar 28% petani mengalami keracunan pestisida akibat

terpapar saat penggunaan pestisida. Paparan residu pestisida pada tubuh manusia dapat

melalui kulit, makanan dan air minum (Frank 1995). Salah satu kemungkinan gangguan

Page 370: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

351

kesehatan berupa keracunan yang terkait dengan pestisida organofosfat adalah hambatan

aktivitas enzim asetil-kolinesterase (Lotti, 1995). Hambatan aktivitas enzim ini,

menyebabkan proses hidrolisis asetilkolin terhambat. Asetilkolin yang terakumulasi dalam

celah sinap saraf, dapat menimbulkan kejang-kejang, kelumpuhan serta kematian (Casarett

& Doull's, 1993).

Pencemaran residu pestisida pada produk-produk pertanian dapat mengurangi

kualitas produk pertanian Indonesia sehingga kalah bersaing dengan produk pertanian dari

negara lain. Bahan pangan yang bebas residu pestisida, menjadi syarat utama untuk

memasuki pasar dunia. Komoditas pertanian hortikultura Indonesia berupa buah, tanaman

hias, sayuran kering atau olahan, merupakan komoditas eksport yang menguntungkan dan

mampu menjadi sumber devisa negara yang tinggi. Namun nilainya masih berfluktuatif

disebabkan berbagai faktor, diantaranya ketersediaan dan kualitas bahan baku. Oleh karena

itu diperlukan teknologi yang dapat menggantikan penggunaan pestisida kimia. Semakin

meningkatnya kesadaran akan hidup sehat dengan cara mengkonsumsi bahan pangan yang

sehat, semakin menguatkan tuntutan untuk mengembangkan pertanian ramah lingkungan

yang bebas dari residu pestisida.

Pertanian ramah lingkungan secara umum berarti segala upaya kegiatan pertanian

yang bertujuan untuk memperoleh produksi yang optimal tanpa merusak lingkungan, baik

secara fisik, kimia, biologi, maupun ekologi. Sistem pertanian ramah linkungan adalah

aktivitas pertanian yang secara ekologi sesuai, secara ekonomi menguntungkan, secara

sosial diterima dan mampu menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (Susanto,

2002). Aspek keberlanjutan sistem produksi merupakan salah satu ciri pertanian ramah

lingkungan. Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) merupakan suatu cara

pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam

kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia

tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk

menikmati dan memanfaatkannya (Budiman, 2005).

Makalah ini merupakan suatu tinjauan yang bertujuan untuk menginformasikan

tentang potensi keanekaragaman hayati tumbuhan lahan rawa yang berpotensi sebagai

pestisida botani, untuk mendukung lahan rawa sebagai sumber pangan dan mendukung

pengembangan pertanian ramah lingkungan.

Pestisida di Lahan Rawa

Lahan rawa dapat terbentuk di berbagai tempat, baik di dataran rendah maupun di

dataran tinggi yang berdrainase buruk, merupakan lahan yang berada pada posisi peralihan

di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut). Karakteristik lahan

rawa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air (Subagyo, 2006). Luas lahan rawa Indonesia

diperkirakan 34,7 juta hektare yang tersebar di empat pulau besar yaitu Sumatera (12,9 juta

hektare), Kalimantan (10,0 juta hektare), Papua (9,9 juta hektare) dan sebagian kecil di

Sulawesi (1,0 juta hektare) (BBSDLP 2014). Lahan rawa merupakan ekosistem yang

spesifik yang dicirikan dengan sifat hidrologi dan tanah yang khas. Secara alamiah, lahan

rawa merupakan salah satu ekosistem yang memiliki keaneka ragaman hayati yang cukup

tinggi dan kompleks.Namun lahan rawa merupakan ekosistem yang sangat khas dari segi

Page 371: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

352

struktur, fungsi dan rentan terhadap gangguan. Kesalahan pengelolaan lahan rawa dapat

menyebabkan penurunan kualitas lahan seperti menurunnya kesuburan tanah, kerusakan

fisik tanah dan berkurangnya daya dukung biologi. Oleh karenanya pemanfaatan lahan

rawa harus dilakukan dengan bijaksana dan memperhatikan daya dukung lingkungan.

Pemilihan lahan rawa sebagai sumber alternatif penghasil pangan menjadi hal yang

tidak dapat dihindari. Pembangunan pertanian di Indonesia menghadapi beberapa ancaman

diantaranya adalah penciutan lahan pertanian, instabilitas produksi akibat serangan hama-

penyakit, cekaman iklim, penurunan produktivitas akibat degradasi sumber daya lahan dan

air serta penurunan kualitas lingkungan (Las et al., 2006). Namun pengembangan pertanian

di lahan rawa juga dihadapkan pada berbagai kendala, diantaranya adalah tingginya

jangkitan organisme pengganggu tanaman (OPT). Serangan OPT dapat menyebabkan

penurunan dan kehilangan hasil sebesar 40–50 persen, bahkan dapat menyebabkan

kegagalan panen (Sudarmo, 1991). Pengendalian OPT dapat dilakukan dengan beberapa

cara antara lain dengan menggunakan varietas unggul tahan hama penyakit, cara mekanis,

cara biologi, cara kimiawi dan sistem budidaya yang baik. Kenyataan yang dijumpai cara

kimiawi (pestisida) masih menjadi pilihan utama para pelaku pertanian karena dianggap

paling praktis dan ekonomis. Kerusakan lingkungan akibat penggunaan pestisida yang tidak

tepat menyebabkan produktivitas lahan rendah dan pada akhirnya ditinggalkan petani.

Pestisida dilaporkan berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Pestisida dapat secara

langsung atau tidak langsung mempengaruhi reaksi penting biokimia seperti mineralisasi

bahan organik, fiksasi nitrogen, denitrifikasi dan amonifikasi dengan mengaktifkan atau

tidak mengaktifkan mikroorganisme tanah. Mikroorganisme tanah memiliki kemampuan

untuk melakukan transformasi biokimia terhadap berbagai elemen tanah seperti nitrogen

(N), phosfor (P), sulfur (S) dan karbon (C) (Kinney et al., 2005; Menon et al., 2005).

Elemen-elemen tersebut akan menentukan sifat kimia tanah yang berindikasi terhadap

tingkat kesuburan tanah. Pertanian secara langsung sangat tergantung pada proses

mikrobial yang membangun dan memelihara kesuburan tanah. Selain pencemaran terhadap

tanah dan air serta gangguan terhadap kesuburan tanah, pestisida juga berpengaruh terhadap

populasi makro dan mikroorganisme. Aplikasi pestisida dapat menekan mikroorganisme

tertentu namun dapat meningkatkan populasi mokroorganisme lainnya (Hussain et al.,

2009). Susanti (2015) melaporkan bahwa aplikasi pestisida dengan bahan aktif paraquat,

fenobucarb dan difenoconazole di lahan gambut menurunkan populasi fungi dan bakteri

pada musim kemarau, namun tidak berpengaruh terhadap bakteri di musim hujan. Pada

musim kemarau tercatat populasi fungi berkisar antara 500 x 103 – 5.8 x 106CFU.g-1,

namun pada akhir masa pertanaman populasi menurun hingga menjadi 6 x 103 – 190 x 103

CFU.g-1 pada semua perlakuan pestisida. Kondisi yang serupa juga terjadi pada populasi

bakteri, tercatat populasi bakteri pada petak perlakuan pestisida berkisar antara 423 x 106 –

992 x 106 CFU.g-1 pada pengamatan populasi awal, kemudian menurun menjadi 67 x 106 –

656 x 106 CFU.g-1 (Gambar 1).

Pada musim hujan populasi fungi tercatat sebesar 38 x 103 – 338 x 103 CFU.g-1

pada populasi awal dan turun menjadi 1.1 x 103 – 125 x 103 CFU.g-1 pada populasi akhir

pada perlakuan pestisida. Sedangkan perlakuan kontrol mengalami peningkatan populasi

sebesar 63% dari 124 x 103 menjadi 203 x 103 CFU.g-1. Kondisi yang berbeda diperoleh

Page 372: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

353

pada pengamatan populasi bakteri. Pada musim hujan populasi bakteri meningkat 400%

dari populasi awal yaitu 3.6 x 109 menjadi 18.4 x 109 CFU.g-1. Semua perlakuan

termasuk kontrol (P0) mengalami peningkatan yang sangat singifikan dari 176 x 109 – 988

x 109 CFU.g-1 menjadi 2.1 x 109 – 5.2 x 109 CFU.g-1 (Gambar 2).

Keterangan: P0 = tanpa pestisida, P1 = paraquat saat olah tanah, P2 = fenobucarb setiap minggu,

P3 = fenobucarb setiap dua minggu, P4 = difenoconazole setiap minggu, P5 = difenoconazole setiap

dua minggu.

Gambar 1. Pengaruh perlakuan pestisida terhadap populasi fungi dan bakteri di lahan

gambut di Kalimantan Tengah pada musim kemarau 2012 (Sumber: Susanti 2015)

Keterangan: P0 = tanpa pestisida, P1 = paraquat saat olah tanah, P2 = fenobucarb setiap minggu, P3 =

fenobucarb setiap dua minggu, P4 = difenoconazole setiap minggu, P5 = difenoconazole setiap dua

minggu.

Gambar 2. Pengaruh perlakuan pestisida terhadap populasi fungi dan bakteri di lahan

gambut pada musim hujan 2012/2013. (Sumber: Susanti 2015)

Lahan rawa dengan ekosistemnya yang khas memberikan pengaruh yang berbeda

dari tanah mineral terhadap perilaku pestisida dalam tanah. Kandungan bahan organik yang

tinggi pada tanah di lahan rawa seperti tanah gambut dapat menghambat proses penguapan

pestisida dan meningkatkan penyerapannya di tanah. Namun dalam penelitian lainnya

dilaporkan bahwa bahan organik yang tinggi juga dapat meningkatkan proses dekomposisi

pestisida. Morrill (1982) menyatakan terdapat korelasi positif antara peningkatan jumlah

bahan organik dengan tingkat dekomposisi pestisida DDT, diazinon, diuron, dan paration.

Peningkatan degradasi pestisida terjadi karena bahan organik tanah bertindak sebagai ko-

metabolit dan mampu menyediakan nutrien untuk mikroba dan sebagai sumber energi.

Aktivitas dan biodegradasi pestisida dipengaruhi oleh afinitas pestisida untuk diadsorpsi

- 500,000

1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 3,500,000 4,000,000 4,500,000 5,000,000 5,500,000 6,000,000

Awal Akhir

Fungi

Popula

si m

ikro

ba

(CF

U.g

-1)

P0 P1 P2 P3 P4 P5

-

200,000,000

400,000,000

600,000,000

800,000,000

1,000,000,000

Awal Akhir

Bakteri

Popula

si m

ikro

ba

(CF

U.g

-1)

P0 P1 P2 P3 P4 P5

-

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

400,000

Awal Akhir

Fungi

Popula

si m

ikro

ba (

CF

U.g

-1)

P0 P1 P2 P3 P4 P5

-

1,000,000,000

2,000,000,000

3,000,000,000

4,000,000,000

5,000,000,000

6,000,000,000

Awal Akhir

Bakteri

Popula

si m

ikro

ba (

CF

U.g

-1)

P0 P1 P2 P3 P4 P5

Page 373: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

354

(dijerap) oleh bahan organik tanah. Jerapan akan meningkat seiring meningkatnya

kandungan bahan organik, liat, KTK, dan akan menurun seiring dengan meningkatnya pH

dan temperatur. Tanah yang tinggi kandungan bahan organik dan liatnya mengadsorpsi

pestisida lebih besar daripada tanah berpasir (Waldron, 1992; Zimdahl, 1993). Penyerapan

pestisida ke dalam bahan organik dapat mempengaruhi sifat dan keberadaan pestisida di

tanah melalui beberapa cara yaitu: (1) penyerapan itu membuat pestisida secara fisiologis

menjadi tidak aktif atau sesuai untuk diurai oleh aktivitas mikroba, (2) menurunkan

pergerakan pestisida di tanah membuat pestisida cenderung kurang mudah tercuci

(Pedersen et al., 1995), (3) bahan organik terlarut atau materi partikel koloid dapat

membentuk ikatan komplek dengan pestisida, sehingga secara cepat meningkatkan

kerentanan pestisida terhadap kehilangan karena pencucian (Gerstler, 1991), (4) pestisida

yang berasosiasi dengan bahan organik rentan terhadap erosi tanah dan pergerakan ke air

tanah sebagai suspensi akan tertunda (Brown et al., 1995).

Hasil penelitian Susanti (2015) membuktikan bahan aktif paraquat, fenobucarb dan

difenoconazole di lahan rawa gambut pasang surut ditemukan dalam jumlah yang sedikit

pada akhir masa pertanaman pada musim kemarau dan musim hujan. Perlakuan

difenoconazole setiap minggu dan setiap dua minggu pada musim kemarau menyisakan

bahan aktif berturut-turut sebesar 0,02 mg kg-1 dan 0,03 mg kg-1. Sedangkan pada musim

hujan perlakuan difenoconazole setiap minggu menyisakan bahan aktifnya sebesar 0,07 mg

kg-1.

Perilaku pestisida di lahan rawa tentunya sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Ekosistem rawa dengan ciri khasnya dapat menjadi obyek penelitian seperti apakah

pestisida akan memberikan efek lingkungan yang minimum jika diaplikasikan pada kondisi

air tertentu (pasang ganda, pasang tunggal). Berapa kadar bahan organik dalam tanah yang

menyebabkan risiko lingkungan menjadi minimum. Apakah terdapat metode aplikasi yang

berbeda untuk meminimumkan risiko lingkungan untuk lahan gambut yang berbeda

ketebalan dan tingkat dekomposisi.

Pestisida Nabati

Pemerintah melalui Undang-Undang nomor 12 tahun 1992 telah menerapkan

kebijakan mengenai sistem budidaya tanaman. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa sistem

budidaya tanaman sebagai bagian pertanian berasaskan manfaat, lestari, dan berkelanjutan.

Selanjutnya dalam pelaksanaan perlindungan tanaman disebutkan bahwa dilarang

menggunakan sarana dan/atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau

mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya

alam dan/atau lingkungan hidup. Mengingat efek samping terhadap lingkungan dan

masalah kesehatan, sebanyak 36 jenis bahan aktif pestisida dilarang penggunaannya dan 5

(lima) jenis bahan aktif lainnya dibatasi penggunaannya (Permentan, 2007). Oleh karena

itu perlu dicari bahan pengganti insektisida sintetik yang tidak mencemari lingkungan.

Salah satu alternatif yang perlu dikembangkan adalah produk alam hayati yang pada

umumnya merupakan senyawa kimia yang berspektrum sempit terhadap organisme sasaran

(Sastrodiharjo et al., 1992). Alternatif lain yaitu memanfaatkan senyawa beracun yang

terdapat pada tumbuhan yang dikenal dengan insektisida nabati. Insektisida nabati secara

umum berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung senyawa aktif berupa senyawa

Page 374: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

355

metabolit sekunder yang mampu memberikan satu atau lebih aktifitas biologi, baik

pengaruh pada aspek fisiologis maupun tingkah laku hama tanaman serta memenuhi syarat

untuk digunakan dalam pengendalian hama tanaman (Dadang & Prijono, 2008). Hasil

penelitian Balfas (1994) dan Mudjiono et al. (1994) menginformasikan bahwa ekstrak

bagian tanaman dapat bersifat toksik terhadap hama. Berbagai jenis tumbuhan diketahui

mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan,

dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida dan repellent (Campbell & Sullivan,

1933; Burkill, 1935 dalam Thamrin et al., 2015). Beberapa fungsi senyawa aktif pada

tumbuhan diantaranya: (1) repellent (penolak kehadiran serangga), (2) antifeedant (penolak

makan), (3) penghambat proses metamorfosis (menghambat proses perkembangan stadium

serangga seperti telur, larva, pupa), dan (4) menghambat sistem reproduksi serangga betina

dan mengacaukan sistem hormon serangga (Soenandar & Tjachjono, 2012). Sedikitnya ada

2.000 jenis tumbuhan dari berbagai famili telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk

terhadap OPT (Prakash & Rao, 1977; Grainge & Ahmed, 1987), diantaranya terdapat

paling sedikit 850 jenis tumbuhan yang aktif bersifat toksik terhadap serangga (Prakash &

Rao, 1977). Pestisida nabati juga dilaporkan bersifat ramah lingkungan, karena: (1)

Biodegradable atau mudah terurai di alam, sehingga diharapkan tidak meninggalkan residu

di tanah maupun pada produk pertanian, (2) relatif aman terhadap organisme bukan sasaran

termasuk musuh alami hama, sehingga dapat menjaga keseimbangan ekosistem dan

menjaga biodiversitas organisme pada suatu ekosistem, (3) dapat dipadukan dengan

komponen pengendalian hama lainnya, (4) dapat memperlambat resistensi hama, dan (5)

dapat menjamin ketahanan dan keberlanjutan usahatani (Dadang & Prijono, 2008).

Prospek penggunaan pestisida nabati di Indonesia sangat baik dan memungkinkan,

karena didukung oleh beberapa hal di antaranya yaitu: keanekaragaman hayati di Indonesia

yang sangat tinggi, keadaan sosial petani, kemudahan yang diberikan dalam penggunaan

pestisida nabati khususnya untuk digunakan sendiri, adanya kebijakan pemerintah untuk

mengembangkan pertanian ramah lingkungan, serta perhatian dari semua kalangan, baik

peneliti, pengajar, penyuluh, maupun pihak lainnya yang terkait. Hal lain yang dapat

mendorong penggunaan pestisida nabati adalah munculnya kesadaran masyarakat untuk

mengkonsumsi pangan yang aman.

Hasil penelitian bioassay beberapa tumbuhan di Laboratorium Balittra,

menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan kirinyu (Chromolaina odorata) dapat membunuh

larva ulat grayak instar 2 dengan mortalitas 84%, sedangkan ekstrak tumbuhan kepayang

(Pangium edule) dan ekstrak tumbuhan bintaro (Carbera manghas) mampu membunuh

larva instar 2 masing-masing 88%, 86%, dan larva instar instar 3 yakni 86% dan 82%

(Thamrin et al., 2015).

Meskipun pestisida nabati menjanjikan risiko lingkungan yang rendah, akan tetapi

dalam prakteknya penggunaan pestisida nabati juga mempunyai beberapa kelemahan,

antaralain (a) konsentrasi bahan aktif yang diperlukan lebih tinggi, (b) hama/penyakit

sasarannya tidak bersifat spesifik atau luas, (c) tidak tersedia pasokan bahan baku tanaman,

(d) kurangnya pengetahuan petani dalam memanfaatkan pestisida nabati.

Page 375: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

356

Sumberdaya Genetik Flora Lahan Rawa Dan Upaya Pelestariannya

Indonesia merupakan negara terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire yang

memiliki keanekaragaman hayati (megadiversity countries) (Andrew, 1992; Natarino,

2010). Secara biogeografi Indonesia berada dalam kawasan Malesia (kawasan Asia

Tenggara sampai dengan Papua sebelah barat). Indonesia memiliki dua pusat

keanekaragaman, yaitu Borneo dan Papua yang memiliki tingkat endemisitas sangat tinggi

serta habitat yang unik (Utama, 2011). Berdasarkan hasil-hasil penelitian, keanekaragaman

hayati Indonesia berupa tumbuhan dilaporkan sebanyak ± 38.000 jenis (Departemen

Kehutanan, 2005).

Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia tercermin dari berbagai macam

ekosistem yang ada di Indonesia, seperti ekosistem pantai, hutan bakau, padang rumput,

hutan hujan tropis, air tawar, air laut, savanna, dan rawa. Masing-masing ekosistem ini

memiliki kekhasan dan keaneragaman hayati tersendiri (Narisa, 2010; Handari, 2012).

Indonesia juga tercatat sebagai negara kepulauan yang memiliki lahan basah paling luas

dan paling beragam di Asia Tenggara.Lahan basah tersebut diperkirakan menutupi lebih

dari 20% luas daratan Indonesia (Nirarita et al., 1996; Jamaksari et al., 2009). Rawa adalah

salah satu ekosistem lahan basah dan merupakan salah satu kawasan yang banyak

ditumbuhi tanaman yang memiliki berbagai fungsi dan kegunaan. Lahan rawa sebagai

bagian dari lahan basah merupakan ekosistem kompleks dan memiliki berbagai fungsi yang

sangat penting, seperti pengatur fungsi hidrologis, penghasil sumberdaya alam dan hayati

hingga fungsi lahan basah sebagai habitat bagi berbagai jenis satwa liar dan tumbuhan

(Sibuea, 1997; Jamaksari et al., 2009).

Lahan rawa memiliki potensi besar dalam hal spesies tumbuhan yang mengandung

bahan insektisida alami. Asikin & Thamrin (2006) dan Thamrin et al. (2007) melaporkan

bahwa terdapat 70 jenis tumbuhan yang banyak dijumpai di lahan rawa Kalimantan Selatan

dan Kalimantan Tengah yang berpotensi sebagai insektisida nabati dan sebagian besar

umumnya digunakan oleh petani di lahan rawa (Tabel 1). Potensi tersebut belum banyak

dipelajari aspek-aspek penyiapannya sebagai insektisida nabati yang dapat diformulasi

menjadi insektisida nabati komersial.

Pola agroekosistem tradisional Indonesia telah terbukti berperan baik dalam

mengembangkan dan melestarikan plasma nutfah khususnya keragaman genetik tanaman

pertanian. Hal ini telah dilakukan melalui kegiatan sistem pengelolaan pertanian dan

wanatani tradisional. Sistem tersebut dapat menjadi dasar yang kuat bagi pelestarian

keanekaragaman hayati nasional. Namun perkembangan pembangunan pertanian telah

menggusur nilai-nilai agroekosistem tersebut. Sebagai contoh aktifitas pertanian yang

menggunakan input luar yang tinggi seperti pemupukan dan penggunaan pestisida,

berpotensi mengganggu kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia. Kondisi ini harus

diganti dengan aktivitas pertanian yang sedikit mungkin menggunakan bahan kimia,

memperhatikan ekosistim lingkungan dan menjaga sumberdaya alam.

Mengingat besarnya potensi sumberdaya genetik maka upaya pelestariannya sangat

penting untuk dilakukan karena sumberdaya genetik tersebut sangat mudah mengalami

erosi genetis yang mengakibatkan jumlah keragamannya semakin menurun. Erosi genetik

yang cepat terhadap sumberdaya genetik tanaman di lahan rawa disebabkan (a) rusaknya

Page 376: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

357

habitat akibat alih fungsi hutan; (b) lambatnya daya regenerasi pada beberapa jenis tanaman

terutama untuk jenis tumbuhan tahunan (perennial crop); (c) kurangnya perhatian terhadap

upaya pelestarian antaralain melalui usaha budidaya tanaman obat terutama untuk jenis-

jenis yang tergolong langka, dan (d) bertambahnya jumlah populasi manusia yang

berdampak pada kerusakan lingkungan.

Tabel 1. Sumberdaya genetik flora yang berpotensi sebagai bahan pestisida

No. Nama lokal Nama ilmiah Bagian

tanaman Manfaat

1 Bagang Umbi Insektisida

2 Bakung hias Daun Insektisida

3 Bakung rawa Crynum asiaticum Insektisida

4 Bakau Rhizophora sp Insektisida

5 Beringin Ficus benyamina Insektisida

6 Binjai Mangifera caesia Kulit batang Insektisida

7 Binderang Scleria oblata Insektisida

8 Buta-buta Excoecaria agalocha Insektisida

9 Dadangkak Daun Insektisida

10 Gadung Dioscorea hispida Umbi Insektisida

11 Gambir Uncaria

gambir Roxb. Kulit/daun

Insektisida, pengusir

nyamuk

12 Gelam Melaleuca

leucadendron Daun Insektisida

13 Gulinggang Cassia quaderalata Daun Fungisida

14 Hambawang Mangifera foetida Getah Insektisida

15 Jalatang nyiru Daun Insektisida

16 Jalatang tulang Daun Insektisida

17 Jengkol Phitecellobium

lobatum Daun Rodentisida

18 Jeruk bali Citrus maxima Kulit Insektisida

19 jeruju Acanthus illicifollius Insektisida

20 Jingah Glutha rengas Daun Insektisida

21 Kacang parang Canavalia ensiformis Biji Insektisida

22 Kacang parang habang Canavalia sp. Buah Insektisida

23 Kecubung Datura metel Daun Insektisida

24 Kakamalan Daun Insektisida

25 Kalabuau Daun Insektisida

26 Kalalayu Daun Insektisida

27 Kalampan Buah Insektisida

28 Kambat Daun Insektisida

29 kakambat Justicia sp. Insektisida

30 Kapuk Ceiba pentandra Batang Rodentisida

31 Karetan Ficus elastika Insektisida

32 Kayu ilatung Daun Insektisida

33 Kayu mahar Daun Insektisida

34 Kayu sapat Daun Insektisida

35 kayu pulantan Alstonia sp Insektisida

36 kayu mahang Macaranga javanica Insektisida

37 kayu halaban Vitex pubescens Insektisida

38 Kedondong Spondias dulcis Daun Insektisida

39 Keladi rawa Daun, umbi Insektisida

40 Kembang pukul 4 Mirabilis jalapa Daun Insektisida

41 Kepayang Pangium edule Seluruh

tanaman Insektisida

Page 377: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

358

No. Nama lokal Nama ilmiah Bagian

tanaman Manfaat

42 Kirinyu Chromolaina odorata Daun Insektisida

43 kumandrah Croton tiglium Daun/buah Insektisida

44 lenggundi Vitex trifolia) Daun Insektisida, pengusir

nyamuk

45 Lengkuas Alpinia galangal Rimpang Insektisida

46 Lua Daun Insektisida

47 Lukut Daun Insektisida

48 Maritam Nephelium

ramboutan Kulit Rodentisida

49 Mamali Lersia sp. Insektisida

50 Maya Seluruh

tanaman Insektisida

51 Mengkudu Morinda citrifolia Insektisida

52 Mundar Garcinia forbesii Daun, kulit

batang Insektisida

53 Panggang Daun Insektisida

54 Patah kajang Daun Insektisida, obat

nyamuk

55 Pepaya hutan Daun Insektisida

56 Perupuk Laphopetallum spp. Daun Atraktan penggerek

batang padi

57 Pilantus Daun Insektisida

58 Pohon mercon Daun, bunga Insektisida, pengusir

nyamuk

59 Purun tikus Eleocharis dulcis Seluruh

bagian

Atraktan bagi

penggerek batang

60 putat Bringtonia sp. Insektisida

61 Rengas Gluta renghas Daun Insektisida

62 Risi Daun, bunga Insektisida

63 sapang Abros precatorius Insektisida

64 Simpur Dillenia suffruticosa Insektisida

65 Sirsak Annona muricata Daun Insektisida

66 sungkai Peronema canescen Insektisida

67 Tatasbihan habang Daun Insektisida

68 Tawar Daun Insektisida

69 Tuba Derris Akar Insektisida

70 Usar Dianella sp. Insektisida

Sumber: Asikin & Thamrin (2006), Thamrin et al. (2007).

Pelestarian dapat dilakukan di dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

alam (in situ) berupa kebun koleksi plasma nutfah. Konservasi ini termasuk regenerasi

buatan apabila penanaman dilakukan tanpa seleksi yang disengaja dan pada area yang

sama. Selain itu pemberdayaan masyarakat melalui program taman obat dan pestisida

nabati dapat menjadi sarana pelestarian yang efektif dan bermanfaat. Masyarakat dapat

dilibatkan secara aktif untuk membangun taman obat dan pestisida nabati di tingkat desa

dan ditingkat keluarga di pekarangan rumah. Taman obat dan pestisida nabati akan

menjadi sumber keanekaragaman hayati yang dapat digunakan masyarakat sebagai sumber

pengobatan dan pengendalian OPT. Melalui kegiatan taman obat desa, masyarakat telah

berperan aktif melestarikan sumber keragaman genetik tanaman Indonesia, meningkatkan

kesehatan dan kesejahteraan keluarga, dan menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu

Page 378: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

359

taman obat dan pestisida nabati desa ini dapat dikembangkan menjadi taman wisata ilmu

dan menjadi sumber ilmu pengetahuan.

Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pembinaan terhadap

masyarakat setempat, tidak saja untuk membudidayakan tanaman tersebut, tetapi juga

melibatkan mereka dalam proses produksi. Misalnya mereka dilibatkan untuk menanam 10

batang atau 10 tanaman untuk setiap keluarga.Produksi pestisida nabati yang kontiniu harus

didukung oleh ketersediaan bahan tanaman. Langkah yang perlu dilakukan adalah

pelestarian atau konservasi tanaman tersebut. Konservasi dapat dilakukan secara in situ

dengan melakukan konservasi kawasan yang mempunyai daya dukung yang baik terhadap

pertumbuhan tanaman. Perlindungan ini dapat dilakukan melalui Perda dan menjadi aset

bagi daerah tersebut. Konservasi lain dilakukan dengan cara ex situ dengan melibatkan

masyarakat setempat dalam skala keluarga, seperti kebun tanaman pestisida. Bahkan jika

memungkinkan dibangun industri pestisida nabati di kawasan tersebut.

Pelestarian sumberdaya genetik lahan rawa dalam bentuk kebun koleksi maupun

kawasan produksi tidak saja berfungsi untuk menggerakkan perekonomian daerah, tetapi

juga menjadi wahana belajar bagi pelajar dan mahasiswa tentang potensi sumberdaya

genetik dan tantangan untuk menggali potensi tersembunyi tanaman tersebut. Pelestarian ini

juga mendukung terciptanya pertanian ramah lingkungan dan menciptakan insan-insan

Indonesia yang sehat.

KESIMPULAN

1. Lahan rawa adalah ekosistem yang memiliki banyak potensi sumberdaya genetik yang

dapat dimanfaatkan untuk mendukung pertanian ramah lingkungan.

2. Hasil eksplorasi terhadap sumberdaya genetik di lahan rawa Kalimantan Selatan dan

Tengah ditemukan 70 jenis tanaman yang berpotensi sebagai pestisida botani.

3. Kendala dalam pengembangan pestisida nabati antaranya (1) terbatasnya suplai bahan

baku, (2) volume semprot dalam aplikasi lebih banyak, dan (3) terbatasnya informasi

tentang OPT sasaran/target dan dosis aplikasi.

4. Produksi bahan pestisida nabati yang kontinyu harus didukung oleh ketersediaan bahan

tanaman, langkah yang perlu dilakukan adalah pelestarian atau konservasi tanaman

secara in situ danex situ.

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, S. & M. Thamrin. 2006. Pengendalian hama serangga sayuran ramah lingkungan di

lahan rawa pasang surut. Dalam Noor, M., I. Noor, dan S.S. Antarlina (Eds.).

Sayuran di Lahan Rawa: Teknologi Budi Daya dan Peluang Agribisnis. Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Hlm. 73-86.

Andrew, P. 1992. The Bird of Indonesia – A Checklist (Peter’s Sequence). Indonesian

Ornithological Society. Jakarta.

Balfas, R. 1994. Pengaruh ekstrak air dan etanol biji mimba terhadap mortalitas dan

pertumbuhan ulat pemakan daun handeuleum, Doleschalia polibete. Prosiding

Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. p. 203-207.

Page 379: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

360

Brown, C.D., R.A. Hodgkinson, D.A. Rose, J.K. Syers & S.J. Wilcockson. 1995.

Movement of pesticides to surface waters from heavy clay soil. Pest. Sci. 43: 131-

140.

BBSDLP. 2014. Sumberdaya Lahan Pertanian Indonesia: Luas, Penyebaran dan Potensi.

Laporan Teknis 1/BBSDLP/10/2014, Edisi ke-1. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 56

hal

Dadang & Prijono. 2008. Insektisida nabati, prinsip, pemanfaatan dan pengembangannya.

Departemen Proteksi Tanaman, IPB Bogor.

Departemen Kehutanan. 2005. Statistik Kehutanan Indonesia Forestry Statistics of

Indonesia 2007. Departemen Kehutanan. Jakarta.

http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/2005/PKA.htm. Diakses tanggal 03

April 2017

FAO (Food and Agriculture Organization). 1989. International code of conduct on the

distribution and use of pesticides, Rome, Italy.

Grainge M., & S. Ahmed. 1987. Handbook of Plants with Pest Control Properties. John

Wiley, New York. 470 p.

Gerstler, Z. 1991. Behaviour of organic agrochemicals in irrigated soils. In: Chemistry,

Agriculture and the Environment (Ed. M.L.Richardson). Royal Society of

Chemistry, Cambridge, pp. 332-369.

Handari A., B.S. Dewi, & A. Darmawan. 2012. Keanekaragaman jenis burung di hutan

produksi Desa Gunung Sangkaran Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way

Kanan. (Skripsi). Jurusan Kehutanan. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Hussain S., S. Tariq, M. Saleem, M. Arshad & A. Khalid. 2009. Impact of pesticides on

soil microbial diversity, enzymes, and biochemical reactions. Advances in

Agronomy, Volume 102. ISSN 0065-2113, DOI: 10.1016/S0065-2113(09)01005-0

Elsevier Inc

Jamaksari H., N. Pradma, Zulfikri, R. Faid, M. Abdul, & F. Tamnge. 2009. Strategi

pengelolaan kawasan cagar alam rawa danau sebagai habitat burung air. Bogor.

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Diakses tanggal 14 Mei

2017.

Kinney, C.A., K.W. Mandernack, & A.R. Mosier. 2005. Laboratory investigations into the

effect of the pesticides mancozeb, chlorothalonil and prosulfuron on nitrous oxide

and nitric oxide production in fertilised soil. Soil Biology and Biochemistry 37: 837

– 850.

Las, I., K. Subagyono, & A.P. Setiyanto. 2006. Isu dan pengelolaan lingkungan dalam

revitalisasi pertanian. Jurnal Litbang Pertanian, 25(3)

Lotti, M. 1995. Cholinesterase inhibition: complexities in interpretation. Clinical

Chemistry, Vol. 41. No. 12.

Menon, P., M. Gopal, & R. Parsad. 2005. Effects of chlorpyrifos and quinalphos on

dehydrogenase activities and reduction of Fe3þ in the soils of two semi-arid fields of

tropical India. Agric. Ecosyst. Environ. 108: 73–83.

Manuabe, I.B.P. 2009. Cemaran pestisida karbamat dalam air Danau Buyan Buleleng Bali.

Jurnal Kimia 3(1): 47-54.

Page 380: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

361

Morril, G.L. 1982. Organik compound in soils: Sorpsion, degradation and persistence.

Science Publisher, Inc 230 Celling Word, P.O.Box 1425 Ann Abror; Michigan

48106. 326 pp.

Mudjiono, A., Suyanto, & W. Prihayana. 1994. Kemampuan insektisida nabati, mikroba

dan kimia sintetis terhadap ulat Plutella xylostella. Prosiding Seminar Hasil

Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Hlm.86-90.

Natarino A., B.S. Dewi, & N. Nurcahyaningsih. 2010. Studi keanekaragaman jenis burung

sebagai pengembangan potensi wisata birdwatching di Wilayah Kelola Shk Lestari

Tahura Wan Abdul Rahman. (Skripsi). Jurusan Kehutanan. Universitas Lampung.

Bandar Lampung.

Narisa, C. 2010. Konsep Keanekaragaman Hayati. http://www.scribd.com/

doc/9680540/Konsep-Keanekaragaman-Hayati. Diakses 14 Mei 2017.

Nirarita, C., E. Wibowo, & Padmawinata. 1996. Ekosistem Lahan Basah Indonesia: Buku

Panduan Untuk Guru dan Praktisi Pendidikan. Asian Wetlands Bureau. Bogor.

Pedersen, H.J., P. Kudsk, & A. Helweg. 1995. Adsorption and ED50 values of five soils-

applied herbicides. Pesticide Science 44: 131-136.

Permentan. 2007. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 01/Permentan/OT.140/1/2007

Tentang Daftar Bahan Aktif Pestisida yang Dilarang dan Pestisida Terbatas.

Prakash, A. & J. Rao. 1977. Botanical Pesticides in Agriculture. Lewis Publ., Boca Raton.

Sastrodiharjo, S., I. Achmad, K. Kusumaningtyas, & S. Manaf. 1992. Penggunaan produk

alam dalam pengendalian hama terpadu. PAU. Ilmu Hayati ITB. 29p.

Sibuea, .TH. 1997. Konservasi Burung Air dan Lahan Basah di Indonesia. Seminar

Nasional Pelestarian Burung dan Ekosistemnya dalam Pembangunan Berkelanjutan

di Indonesia. Bogor. Pusat Antar Universitas, IPB.

Soenandar, M. & R.H. Tjachjono. 2012. Membuat pestisida organik. PT. AgroMedia

Pustaka, Jakarta.

Subagyo, H. 2006. Klasifikasi dan penyebaran lahan rawa. Dalam Didi Ardi S., Undang K.,

Mamat HS., Wiwik H., Diah S. (Eds). Karakteristik Dan Pengelolaan Lahan Rawa.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Hlm. 1 –

22. ISBN 979-9474-52-3

Sudarmo, S. 1991. Pestisida. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal 15-33.

Susanti, M.A. 2015. Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas

Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang Disawahkan (Disertasi).

Institut Pertanian Bogor.

Thamrin, M., S. Asikin, & M. Najib M. 2015. Formulasi insektisida berbahan tumbuhan

untuk mengendalikan hama serangga. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitaian

Pertanian Lahan Rawa.

Thamrin, M., S. Asikin, Mukhlis, & A. Budiman. 2007. Potensi ekstrak flora lahan rawa

sebagai pestisida nabati. Hlm. 23-31. Dalam Supriyo A., Noor M., Ar-Riza I.&

Nazemi D. (Eds.). Monograf: Keanekaragaman Flora dan Buah-buahan Eksotik

Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan

Pertanian, Bogor.

Page 381: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

362

Utama, M.T. & B.S. Dewi. 2011. Keanekaragaman Jenis burung di hutan mangrove Desa

Sungai Burung, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang. (Skripsi).

Jurusan Manajemen Hutan. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Waldron, A.C. 1992. Pesticide and Ground Water Contamination. Ohio State University

Zimdahl, R.L. 1993. Fundamentals of Weed Science. Academic Press, New York.

Page 382: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

363

FIELD EVALUATION OF NEEM OIL FORMULATION AGAINST APHIDS AND FRUIT FLIES OF CHILLI PEPPER

Yusup Hidayat1*, Ahmad Danny Hudaya1, Lindung Tri Puspasari1, Rika Meliansyah1, Rani Maharani2, Danar Dono1 1 Department of Plant Pests and Diseases, Faculty of Agriculture, Universitas Padjadjaran, Jatinangor,

Sumedang 45363 Indonesia 2 Department of Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Universitas Padjadjaran,

Jatinangor, Sumedang 45363 Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstact. Neem tree (Azadirachta indica) has been known for decades as an important

source of botanical insecticides for many insect pests. However, little is known on the

effectiveness of neem products against insect pests of chlli pepper. This study aimed to

evaluate the effectiveness of neem oil formulation against aphids and fruit flies of chilli

pepper. Experiment was conducted in field using a randomized complete block design with

six treatments and four replications. The treatments were the application of neem oil

formulation at the concentration of 0.5%, 1.0%, 1.5%, and 2%, Profenofos 500 g/l at the

concentration of 2 mL/L, and Control. The results showed that application of neem oil

formulation at the concentration of 2% significantly reduced the population of aphids on

chilly plant. However, all concentrations of neem oil formulation tested had no significant

effect on fruit fly attack.

Key words:Botanical insecticide, Azadirachta indica, Bactrocera spp, Aphis gossypii

Abstrak.Tanaman nimba ((Azadirachta indica) telah diketahui selama berpuluh-puluh

tahun sebagai bahan baku insektisida nabati untuk pengendalian serangga hama. Namun,

masih sedikit diketahui mengenai efektivitas produk nimba terhadap hama tanaman cabai

merah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keefektivan formulasi minyak nimba

terhadap kutu daun dan lalat buah pada tanaman cabai merah. Percobaan dilakukan di

lapangan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan.

Perlakuan yang diuji adalah formulasi minyak nimba konsentrasi 0,5%; 1,0%; 1,5%; dan

2,0%, Profenofos 500 g/L konsentrasi 2 mL/L, serta kontrol. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa aplikasi formulasi minyak nimba pada konsentrasi 2% mampu secara signifikan

menekan populasi kutu daun pada tanaman cabai merah. Namun, semua konsentrasi

formulasi minyak nimba yang diuji tidak memiliki efek yang nyata terhadap serangan lalat

buah.

Kata kunci:Insektisida botani, Azadirachta indica, Bactrocera spp, Aphis gossypii

INTRODUCTION

Chilli pepper (Capsicum annuum L.) is an important horticultural commodity in

Indonesia. Chilli fruit is used mainly for food seasoning, in addition for other purposes such

as medicines (Bosland and Votava, 2000). The demand of this product continues to

increase in line with the rise of population. The price of chilli fruits often increases sharply

especially during rainy season (Wiryanto, 2002).

37

Page 383: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

364

The common problem of cultivating chillies is the attack of plant pests and diseases.

Aphids Aphis gossypii and fruit flies Bactrocera spp. are two important insect pests of chilli

pepper. Aphids attack by piercing leaves or other susceptable plant parts and sucking the

plant sap, causing reduced plant growth. Aphid A. gossypii is also known for its role as a

vector of mozaic virus (Satar et al., 1999). Bactrocera spp. attack chilli fruits, causing them

to rot and become unmarketable. Yield losses due to fruit fly attack on chilli fruits is

reported to reach up to 80% (Amiruddin & Tami, 2000).

Farmers generally control fruit fly by applying synthetic pesticides, bagging, or

using traps (Hardy, 1991). Farmers often use pesticide in controlling insect pests because

they are easy to apply in addition to effective. The use of synthetic pesticide, however, may

cause resistancy, resurgency, and environmental damage (Darwiati, 2009; Las et al., 2006).

Therefore, we need to find alternatives for insect controls which are not only effective but

also safe for the environment including human. Pesticide of plant origin can be an

alternative to synthetic pesticides. Neem Azadirachta indica is an example of plant that has

a potency to be used for insect control.

Neem tree contains Azadirarchtin, the most important active compound against

insect pests (Oesman & Rukmana, 2002). Azadirachtin can be found in the bark, leaves

and seed. Azadirachtin can affect insect feeding, growth, development, reproduction,

survival, etc. This study aimed to evaluate the effectiveness of neem oil formulation

against aphids and fruit flies of chilli pepper.

MATERIAL AND METHOD

Time and place

The experiment was conducted at the experimental field of Faculty of Agriculture,

Univeristas Padjadjaran, Ciparanje, Jatinjangor, Sumedang, West Java Province at an

alititude of 753 m above sea level. The experiment was conducted from September 2015 to

Februari 2016.

Experimental design

The experimentwas arranged as a randomized block design with six treatments and

three replications.The treatments consist of : a) Neem oil 50 EC formulation conc. 5 mL/L,

b) Neem oil 50 EC formulation conc. 10 mL/L, c) Neem oil 50 EC formulation conc. 15

mL/L, d) Neem oil 50 EC formulation conc. 20 mL/L, e) Profenofos 500 g/L, conc. 2

mL/L, and f) Control. Each experimental unit (plot) had the size of 4 x 5 m. There were 42

chilli plants in each experimental unit with the distance between experimetal unit was 1 m.

Chilli Planting

This study used Pilar Fi for the variety of the chilli. Chicken manure at a dose of 10

ton per ha, limestone powder at a dose of 1 ton/ha, and fertilizers (N, P, K) were applied to

the soil two weeks prior to planting. Plastic mulch was used to cover soil. Chilli seedlings

were transfered at 5 weeks old with the planting distace 50 cm x 60 cm. Plant watering and

weeding were done regularly. No other pesticides were applied to the plant during

experiment other than the treatments.

Page 384: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

365

Field evaluation of neem oil efficacy

Neem formulation was prepared by mixing neem oil with other material such as

emulsifier and a carrier. Neem oil content in the formulation was 50%. Neem formulation

was applied at concentrations ranging from 5 to 20 mL/Liter of water. For comparison, a

synthetic pesticide (Propenofos 500 g/L) was applied at the concentration of 2 mL/L of

water. For control, only water was applied. Neem oil formulation and the synthetic were

applied using knapsack sprayer at water doses of 400-700 L/ha. Neem formulation was

applied weekly. First application was done at one day after first observation (one week after

transplanting). The experiment was arranged in a randomized block design with four

replications. First observation on Aphid population was conducted at one week after

transplanting. After that, observation was conducted weekly at six days after each neem

application. Observation was conducted on sample plants chosen systematically (12 plants

per treatment). Observation on chilli fruits infested with fruit fly was conducted at harvest

times.

Statistical Analyses

Data were first checked for normality and homogenity. If the requirements were

satisfied, the data were subjected to ANOVA test. If there were significant difference

among treatments, data were further tested with Tukey’s Test. All statistical analyses used

Minitab Version 16.

RESULT AND DISCUSSION

Population of Aphid A. gossyii

The result of the study revealed that in the beginning of the experiment (one week

after transplanting) the population of Aphid spread evenly as no significant difference

among treatments according to statistical test (Table 1). However, the application of neem

oil formulation at the concentration of 20 mL/L significantly reduced the population of

aphids on chilli plant.

Tabel 1. Population of Aphid A. gossypii on chilli plants

A Population of Aphids at ... weeks after planting

1* 2 3 4 5 6 7 8

Neem oil 500 g/L (5 mL/L) 31.9 a 30.7 ab 9.4 b 0.8 ab 1.0 ab 2.7 b 1.9 c 2.8 b

Neem oil 500 g/L (10 mL/L) 51.8 a 45.7 bc 11.5 b 1.5 bc 1.8 ab 5.0 b 1.7 c 2.2 b

Neem oil 500 g/L (15 mL/L) 32.5 a 34.8 ab 4.8 ab 1.6 bc 3.7 b 5.0 b 0.9 b 2.2 b

Neem oil 500 g/L (20 mL/L) 29.7 a 5.6 a 0.2 a 0.0 a 1.7 ab 0.0 a 0.0 a 0.2 a

Profenofos 500 g/L (2 mL/L) 42.5 a 0.2 a 0.1 a 0.0 a 0.0 a 0.0 a 0.0 a 0.0 a

Control 48.5 a 72.4 c 15.9 b 4.2 c 5.0 b 4.8 b 4.4 d 4.4 b

* One day before first application. Means followed by the same letter in the same column are not

significantly different according to Tukey test (P>0.05).

The use of neem oil formulation at the lower concentration (5 mL, 10 mL and 15

mL/L) generally had no significant effect on aphid population. The study also showed that

Page 385: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

366

the eficacy of neem oil formulation at co0ncentration of 20 mL/L was comparable to that of

the synthetic pesticides (Profenofos 500 g/L) at the concentration of 2 mL/L.

The result of this study is similar to the previous studies that show the use of neem

oil formulation at the concentration of 2% is effective to reduce aphid population. For

example, Mardiningsih et al. (2010) reported that the use of neem oil at 2% concentration

was effective to reduce A. gossypii population on patchouli plant. Similarly, it was reported

that the use of neem oil at 2 % concentration significantly reduced the population of aphid

(Aphis glycines) on soybean (Barus, 2016). Neem oil is known to contain azadirachtin.

This chemical compound is reported to have antifeedant and hormonal effects on insects,

causing them failing to molt (Samsudin, 2011). Azadirachtin is also reported to have

contact and stomach poison effects (Rembold, 1989).

Fruit fly infestation

The result of the study showed that the application of neem oil at all

concentrations tested failed to significantly reduce fruit fly infestation on chilli fruits (Table

2). The use of Profenofos 500 g/L at a concentration 2 mL/L also did not give significant

effect on fruit fly infestation. The failure of neem oil formulation and the synthetic one to

significantly reduce fruit fly infestation on chilli fruits indicates that this insect pest,

especially the larval stage, is difficult to control using non systemic insecticides. The use of

contact insecticides (non sistemic) may be effective againts fruit fly infestation if they have

strong repellency, irritancy, and/or antioviposition effects.

Tabel 2. Fruit fly infestation on chilli fruits

Treatment Infested Chilli Fruits (%) The reduction of

fruit fly Infestation (%)

Neem oil 500 g/L (5 mL/L) 56.5 ab 6.5

Neem oil 500 g/L (10 mL/L) 55.7 ab 7.8

Neem oil 500 g/L (15 mL/L) 61.1 b -1.2

Neem oil 500 g/L (20 mL/L) 48.6 ab 19.6

Profenopos 500 g/L (2 mL/L) 43.7 a 27.7

Control 60.4 ab -

Means followed by the same letter in the same column are not significantly different according to

Tukey test (P>0.05).

CONCLUSION

1. The results showed that application of neem oil formulation at the concentration of 2%

significantly reduced the population of aphids on chilly plant.

2. All concentrations of neem oil formulation tested had no significant effect on fruit fly

attack.

ACKNOWLEDGEMENT

This study is part of a Rerearch Projecy (RAPID 2015-2017) funded by the

Ministry of Riset, Technology, and Higher Education of Indonesia.

Page 386: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

367

REFERENCES

Amiruddin, W., & A. Tami 2000. Penggunaan Metyl Eugenol sebagai Atraktan dalam

Upaya Pengendalian Lalat Buah pada Tanaman cabai (Use of Methyl Eugenol to

Control fruit fly on Chilli). Prosiding Seminar Ilmiah dan Tahunan XIII. Maros 9-10

November 2000.

Barus, I. 2016. Keefektifan Formulasi Ekstrak Biji Mimba (Azadirachta indica A. Juss)

terhadap Populasi Hama dan Musuh alami pada Tanaman Kedelai (Glycine max

(Linn.) Merril) (Effectineness neem seed extract formulation (Azaditachta indica A.

Juss) against Insect Pests and Natural Enemies of Soybean). Program Studi

Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Jatinangor.

Bosland, P.W., & E.J. Votava. 2000. Peppers: Vegetable and Spice Capsicums. CAB

Publisher. Oxon. UK.

Darwiati, W., 2009. Uji Efikasi Ekstrak Tanaman Suren (Toona sinensis Merr.) Sebagai

Insektisida Nabati Dalam Pengendalian Hama Daun (Eurema spp. dan Spodoptera

litura F.). Eficacy Test of Suren Plant (Toona sinensis Merr.) as Botanical

Insecticide for Controlling Leaf Pest (Eurema spp. dan Spodoptera litura F.) IPB.

(Bogor Agricultural University).

Hardy, D.E. 1991. Constribution of Taxonomic studies to Integrated Pest Management of

Fruit Flies with Emphasis on the Asia- Pasifik Region. In: Proceedings of the First

International Symposium on Fruit Flies in the Tropics.

Las, I., K. Subagyono, & A.P. Setiyano. 2006. Isu dan Pengelolaan Lingkungan Dalam

Revitalisasi Pertanian (Issue and Environmental management in Agricultural

Revitalitation). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan

Pertanian. Bogor.

Mardiningsih, T.L., C. Sukmana, N. Tarigan, & S. Suriati. 2010. Efektivitas insektisida

nabati berbahan aktif azadirachtin dan saponin terhadap mortalitas dan intensitas

serangan Aphis gossypii (Effectiveness of Botanical Insecticides with Azadirachtin

and saponin as active compounds against Mortality and and Attack Intensity of

Aphis gossypii. Bul. Littro 21: 171-183.

Oesman, Y., & R. Rukmana. 2002. Nimba Tanaman Penghasil Pestisida Alami (Neem Tree

as the Source of natural Insecticide. Kanisius. Yogyakarta.

Rembold H. 1989. Isomeric azadirachtin and their modes of action, pp. 47-67. In M.

Jacobson (ed). Focus on phytochemical pesticides. Vol. I: The Neem Tree. CRC,

Boca Raton, Florida.

Samsudin. 2011. Biosintesa dan cara kerja azadirachtin sebagai bahan aktif insektisida

nabati (Biosynthesis and mode of action of azadirachtin as active ingredient of

botanical insecticide). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman

Industri. Prosiding Seminar Nasional Pestisida Nabati IV, Jakarta. Halaman 61-70.

Satar, S., U. Kersting, & N. Uygun. 1999. Development and fecundity of Aphis gossypii

(Glover) (Homoptera: Aphididae) on three Malvaceae hosts. J. Agric. For. 23:637-

643.

Page 387: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

368

Page 388: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

369

EKSPRESI HASIL GABAH DAN KELAYAKAN FINANSIAL TUJUH VARIETAS UNGGUL PADI YANG DITANAM DENGAN METODE SRI (SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION) DI SLEMAN, YOGYAKARTA

Sugeng Widodo dan Joko Pramono

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

Abstrak. Penerapan budidaya padi sistem sytem of rice intensification (SRI) memiliki

keuntungan mengurangi emisi CH4 karena sawah tidak tergenang, sehingga kajian ekspresi

hasil gabah varietas unggul padi pada lahan sawah dengan metode SRI tepat untuk

dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produksi dan kelayakan finansial

VUB padi dengan sistem tanam SRI.Tujuh varietas padi yang diuji yaitu Inpari 19, Inpari

23, Inpari 24, Inpari 30, Inpari 32, Ciherang dan Situ Bagendit dilaksanakan di Turusan,

Sleman, Yogyakarta selama musim kemarau 2014. Bibit berumur 15 hari dengan satu bibit

per lubang ditanam secara jajar legowo (tajarwo) 4:1, dengan luas plot per varietas adalah

2000 m2.Analisis data menggunakan uji t, sedangkan kelayakan finansial menggunakan

indikator BC rasio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Inpari 32 merupakan varietas

dengan hasil tertinggi (9,5 t/ha) dibandingkan dengan varietas lainnya dengan hasil berkisar

(7,9-8,8 t/ha).Hasil terbaik pada Inpari 32 tersebut didukung oleh komponen hasil utama

yaitu jumlah gabah isi, jumlah gabah total, dan jumlah anakan produktif. Semua varietas

yang dikaji berumur genjah sampai sedang, kecuali Inpari 30 dengan umur tanaman

121hari. Berdasarkan analisis kelayakan finansial, Inpari 32 memberikan keuntungan yang

paling tinggi dibandingkan dengan varietas unggul baru lainnya yaitu rasio B/C 2,28

kemudian Inpari 24 (2,19), Inpari 23 (2,05), Inpari 30 (1,90), dan Inpari 19 (1,74).

Terhadap nilai Incremental rasio B/C rasio Inpari 32 terhadap Ciherang dan Situ Bagendit

berturut-turut menghasilkan nilai 36,53% dan 39,02%.

Kata kunci : Ekspresi, Varietas Unggul Padi, SRI.

Abstract. System of Rice Intensification (S.R.I) could reduce CH4 emissions, thus the study

of rice grain varieties expression in paddy field with SRI method is needed due to

unflooding rice fields. The purpose of this research is to know the production and financial

feasibility of rice VUB with SRI planting system. Seven rice varieties (Inpari 19, Inpari 23,

Inpari 24, Inpari 30, Inpari 32, Ciherang and Situ Bagendit) were transplanted at Turusan,

Sleman Yogyakarta during the dry season 2014. Fifteen days of seedling with one seedling

per hill was transplanted using jajar legowo 4:1 system, with plant spacing of 25 x 12,5 x

50 cm. Plot size per varietywas 2000 m2. Data were analyzed using t test, while the

financial feasibility using indicator BC ratio. Inpari 32 had the highest yield (9.5 t/ha) than

the check varieties and the other varieties, ranged 7.9 -8.8 t/ha. The highest yield on Inpari

32 was contributed by the highest of the main components, namely the number of filled

grains, total grain number, and the panicle number. All varieties included asearly to

moderate maturity plants, except Inpari 30 (121 days). Based on economic feasibility

analysis, Inpari 32 gives the highest benefit compared (B/C ratio 2.28) to other varieties i.e.

Inpari 24 (2.19), Inpari 23 (2.05), Inpari 30 (1.90) and Inpari 19 (1.74). The Incremental

B/C ratio of Inpari 32 to Ciherang and Situ Bagendit were 36.53% and 39.02%,

respectively.

Keywords:performance,new rice variety,SRI.

38

Page 389: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

370

PENDAHULUAN

Dalam rangka pencapaian swasembada beras berkelanjutan 2014 pemerintah

berupaya meningkatkan produksi beras nasional 5% per tahun. Produksi padi di Yogyakarta

pada tahun 2012 sebesar 893.620 ton dan ditargetkan menjadi 922.131 ton pada tahun 2014

(Dinas Pertanian DIY, 2012). Salah satu upaya yang dilakukan untuk pencapaian tersebut

adalah melalui peningkatan peran inovasi teknologi varietas unggul baru padi dan

pelaksanaan System of Rice Intensification (SRI) (Andoko, 2002).

SRI adalah salah satu inovasimetode budidaya padi yang dikembangkan sejak 1980-

an oleh pastor sekaligus agrikulturis Perancis, Fr. Henri de Laulanie, yang ditugaskan di

Madagaskar sejak 1961. Awalnya SRI adalah singkatan dari "systeme deriziculture

intensive" dan pertama kali muncul di jurnal Tropicultura tahun 1993. Tahun 1999, untuk

pertama kalinya SRI diuji di luar Madagaskar yaitu di China dan Indonesia. Sejak itu, SRI

diuji coba di lebih dari 25 negara dengan hasil panen berkisar 7-10 t/ha (Uphoff et al.,

2008).

Konsep dasar SRI adalah: (a) pindah tanam satu bibit per lubang, usia sangat muda

(7-14 hari setelah semai) dengan jarak tanam longgar (30 cm x 30 cm) dan (b) pemberian

air irigasi terputus-putus tanpa penggenangan di petak sawah. Apabila konsep dasar dan

metoda SRI diterapkan secara benar, makaakan diperoleh panen padi lebih besar walaupun

dengan mengurangi input eksternal (air, pupuk kimia dan sebagainya) (Uphoff, 2006). Pada

tahun 1999, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi melaksanakan pengujian dan evaluasi

SRI. Dengan metode SRI memberikan hasil sebesar 6.2 t/ha sedangkan hasil dari petak

kontrolnya 4.1 t/ha, atau diperoleh peningkatan hasil 33,88 % (Rohmat dan Dede, 2007).

Sembiring (2008) mengemukakan bahwa salah satu varietas unggul baru (VUB)padi

yang memiliki cita rasa nasi pulen dan produksinya lebih tinggi daripada IR64 adalah

Mekongga. Walaupun pada beberapa tahun terakhir ini, Indonesia mengalami pelandaian

laju peningkatan produksi padi sawah sebagai akibat alih fungsi lahan pertanian ke non

pertanian, namun peluang peningkatan produktivitas dan produksi padi masih terbuka lebar,

antara lain melalui penerapan inovasi teknologi varietas unggul baru padi inbrida dan

hibrida dengan produktivitas tinggi (Badan Litbang Pertanian, 2007).

Luas penanaman padi di Yogyakarta sekitar 155.457 hektar, yang terdiri atas

112.083 hektar lahan sawah dan 43.364 hektar lahan tadah hujan (Dinas Pertanian DIY,

2012). Sedangkan, data sebaran varietas padi produk Badan Litbang Pertanian di

Yogyakarta sampai dengan tahun 2012 menunjukkan bahwa varietas Ciherang, IR64, Situ

Bagendit, Membramo, Pepe, Cisadane dan varietas lokal lainnya masih digunakan petani.

Sementara varietas yang lebih baru yaitu Inpari 3, Inpari 6, Inpari 10, Inpari 19 dan Inpari

23 sudah mulai ditanam petani (Dinas Pertanian DIY, 2012).Teknologi budidaya padi

seperti pemberian bahan organik, pengaturan populasi tanaman secara optimum dengan

tanaman jajar legowo (tajarwo)dan pengendalian organisme pengganggu tanaman dengan

pendekatan pengendalian hama terpadu perlu diintensifkan oleh petani.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kajian keragaan varietas unggul baru

padi dengan pengelolaan SRI perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keragaan

Page 390: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

371

varietas unggul baru padi melalui SRI dalam upaya memantapkan ketahanan pangan

dengan meningkatkan produktivitas beras di DIY.

METODE PENGKAJIAN

Kajian teknologi varietas unggul baru padi melalui SRI telah dilakukan di Turusan,

Sleman, Yogyakarta selama musim kemarau, April-Agustus 2014. Pengkajian

menggunakan varietas unggul baru inbrida padi irigasi (Inpari): Inpari 19, Inpari 23, Inpari

24, Inpari 30, Inpari 32dan varietas yang sudah dibudidayakan petani setempat yaitu

Ciherang dan Situ Bagendit digunakan sebagai pembanding. Lima varietas unggul baru

tersebut ditanam masing-masing dengan luas 2000 m2. Penerapan SRI dapat dilihat pada

Tabel 1.

Variabel-variabel yang diamati adalah (1) Hasil gabah kering panen per petak

ditimbang secara ubinan (2,5 m x 2,5 m) sebanyak 10 sampel per petak, kemudian

dikonversikan ke hektar; (2). Umur tanaman dihitung dari sebar benih sampai gabah masak

panen. (3) Data pertumbuhan dan komponen hasil diambil berdasarkan rata-rata 10

tanaman contoh tiap petak ubinan, meliputi; (a) Tinggi tanaman; (b) Jumlah anakan per

rumpun; (c) Jumlah gabah isi per malai, (d) Jumlah gabah hampa per malai, dan (e) Jumlah

gabah total per malai. Selain variabel tersebut juga diamati ketahanan terhadap hama-

penyakit yang ada selama pertumbuhan tanaman yang diamati secara visual berdasar

penilaian skoring Standard Evaluation System for Rice (SES) (IRRI,1996).

Tabel 1. Komponen teknologi SRI pada kajian keragaan varietas unggul padi, Turusan,

Sleman, Yogyakarta, musim kemarau (MK) 2014

Komponen Inpari 19, Inpari 23, Inpari 24, Inpari 30, Inpari 32,

Ciherang, dan Situ Bagendit

Umur bibit 15-17 hari

Jumlah bibit per lubang 1-2

Pupuk organik 3 t/ha, 3 hari sebelum tanam

Phonska 200 kg/ha

Urea 100 kg/ha; 21 HST

Pengaturan populasi tanaman

optimum

Tajarwo 4 : 1, semua barisan disisipi, jarak tanam 25

x 12,5 x 50 cm, 256.000 rumpun/ha.

Pengairan Macak-macak

Pengamatan terhadap hama penyakit yang muncul pada saat pertumbuhan tanaman

dilakukan berdasarkan skore Standard Evaluation System (SES) menggunakan skala 1-9 ;

1= sangat tahan, 3 = tahan, 5 = agak tahan, 7 = peka dan 9 = sangat peka (IRRI,1996).

Selain hal tersebut, juga dilakukan analisis ekonomi terhadap kebutuhan biaya selama

proses penanaman hingga panen untuk melihat input-output usaha tani meliputi curahan

tenaga dan sarana produksi (benih dan pupuk) (Hastini et al., 2011; Rina, 2011).

Uji organoleptik hasil olahan nasi dilaksanakan pada saat temu lapang bulan

Agustus 2014 diTurusan, sleman, Yogyakarta. Hasil olahan yang diuji berupa nasi putih

Page 391: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

372

yang ditanak di dalam rice cooker dari varietas unggul baruyang diuji serta dua varietas

pembanding yaitu Ciherang dan Situ Bagendit.

Seluruh hasil pengamatan dianalisis untuk menguji hipotesis rata-rata populasi tiap

VUB terhadap varietas pembanding terbaik, dengan α = 5%, (H0 : µ1, µ2, µ3 …….µn = µn+1

lawanH1 : µ1, µ2, µ3 …….µn ≠ µn+1 ; H0 ditolak jika thitung> ttabel), dengan µ1, µ2, µ3

…….µndan µn+1 masing-masing adalah rata-rata hasil gabah dan komponen hasil untuk

pengamatan tiap varietas dan varietas pembanding terbaik (Gomez dan Gomez, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan dan pemeliharaan budidaya tanaman yang baik menjadikan

pertumbuhan tanaman dari VUB dan pembanding yang diuji secara umum menunjukkan

pertumbuhan dan perkembangan yang normal sehingga dapat dipanen sesuai dengan yang

diharapkan. Selain hal tersebut, kondisi lahan yang digunakan untuk kegiatan ini

merupakan salah satu sentra produksi padi di Bantul, sehingga mendukung keberhasilan

pengkajian ini.

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa tinggi tanaman varietas bervariasi mulai 91 cm

untuk Inpari 30, hingga 117 cm untuk Inpari 19. Dengan demikian, Inpari 19 merupakan

VUB dengan tinggi tanaman paling tinggi. Dalam deskripsi VUB (Badan Litbang

Pertanian, 2013), Inpari 19 memiliki tinggi ± 112 cm. Tanaman dengan ketinggian yang

relatif tidak tinggi dapat terhindar dari kerebahan yang disebabkan oleh angin kencang.

Tanaman yang rebah dapat menurunkan hasil gabah (Sutaryo dan Sudaryono, 2012).

Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif per rumpun, dan umur

tanamantujuh varietas padi, Turusan, Sleman, Yogyakarta, musim kemarau

(MK) 2014

Varietas unggul

Baru

Tinggi

tanaman (cm)

Jumlah

anakan (batang) Umur tanaman (hari)

Inpari 19

Inpari 23

Inpari 24

Inpari 30

Inpari32

Ciherang

SituBagendit

117,0 ns

95,0 *

108,0 ns

91,0*

102,0 *

112,0

111,0

19,0 ns

20,0 ns

21,0 ns

20,0 *

24,0 ns

17,0

16,0

114 ns

118ns

120 ns

112 *

111*

117

116

Keterangan : * dan ns masing-masing adalah beda nyata dan tidak beda nyata terhadap

Ciherang sebagai varietas pembanding terbaik pada uji t pada tingkat 5%

Jumlah anakan produktif antar varietas padi beragam. Varietas yang memiliki

jumlah anakan terbanyak ternyata Inpari 32 (24 batang), sedangkan yang paling sedikit

Page 392: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

373

anakannya adalah Situ Bagendit (16 batang) (Tabel 2). Jumlah anakan yang diperoleh oleh

kelima varietas unggul tergolong cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh penanaman bibit

yang sudah mengikuti pola pengelolaan tanaman terpadu, yaitu penanaman dengan jumlah

bibit 1-2 batang per lubang.Dilaporkan, bahwa makin banyak jumlah bibit yang ditanam

per lubangnya, semakin sedikit jumlah anakan produktifnya (Murtiningrum, 2010). Hasil

penelitian lapang di Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat, bahwa padi yang ditanam dengan 3-

5 bibit per lubang, tanaman hanya menghasilkan anakan sekitar 20 anakan per lubang,

dengan 2 bibit per lubang menghasilkan anakan sekitar 25 anakan per lubang, dan yang

ditanam 1bibit per lubang mampu menghasilkan sekitar 30 anakan per lubang (Simarmata,

2006). Diindikasikan bahwa makin banyak jumlah bibitakan menyebabkan terjadinya

persaingan di antara bibit tanaman padi untuk memperoleh nutrisi dan faktor tumbuh

lainnya.

Pada Tabel 2juga dapat dilihat bahwa umur tanaman paling genjah adalah Inpari 32

(111 hari) dan diikuti oleh Inpari 30 (112 hari), Inpari 19 (114 hari), Inpari 23 (118 hari)

dan Inpari 24 (120 hari), sedangkan umur berbunga Ciherang dan Situ Bagendit adalah

117dan 116 hari yang semuanya dikelompokkan kedalam umursedang (>110-125 hari)

(Badan Litbang Pertanian, 2009). Dari kelima varietas Inpari tersebut, Inpari 32, dan Inpari

30 berumur lebih cepat, berturut-turut 111; dan 112 hari. Sementara Inpari 23 dan Inpari 24

berumur agak lama (118 dan 120 hari). Keadaan tersebut sesuai dengan deskripsi (Badan

Litbang Pertanian, 2013). Pada kenyataannya petani lebih menyukai tanaman padi yang

berumur genjah sampai sedang, karena kondisi tanaman tetap bagus, tidak roboh, dan tidak

terserang hama burung (BPTP Yogyakarta, 2011).

Pengamatan terhadap hama penyakit selama pertumbuhan hingga panen

menunjukkan adanya penyakit tanaman Bacterial leaf Blight (BLB) dan sama sekali tidak

dilakukan pemberian pestida. Menurut diskripsi VUB Padi oleh Badan Litbang Pertanian

(2013) bahwa Inpari 6, Inpari 19 dan Inpari 23 termasuk tahan terhadap Bacterial leaf

Blight (BLB). Begitu pula untuk Inpari 3, Inpari 10, Ciherang dan Situ Bagendit juga

bersifat agak tahan terhadap BLB. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan ini

menunjukkan sedikit perbedaan. Seperti terlihat pada Tabel 3, Inpari 32 menunjukkan sifat

tahan terhadap BLB,sedangkan untuk 6 (enam) varietas lainnya tergolong agak tahan.

Penyakit BLB ini muncul menjelang tanaman akan berbunga. Munculnya penyakit BLB ini

diduga karena kondisi lingkungan mikroklimat yang agak lembab pada saat akhir fase

vegetatif. Namun karena masing-masing varietas Inpari memiliki karakter ketahanan yang

berbeda, maka tingkat serangan yang terjadi juga berbeda (Sudir dan Suparyono, 2000).

Dilaporkan bahwa pada musim hujaninfeksi alam di lapangan akan lebih parah

dibandingkan dengan yang ada pada musim kemarau (Sudir dan Sutaryo, 2012).

Tabel 4 memperlihatkan bahwa jumlah gabah isi per malai paling banyak diberikan

oleh Inpari 32 (205 butir), sedangkan paling sedikit (179 butir) diberikan oleh Inpari 19.

Jumlah gabah isi yang cukup banyak tersebut merupakan salah satu faktor penentu

tingginya hasil yang diperoleh (Sutaryo, 2012). Selain memiliki gabah isi per malai

tertinggi, Inpari 19 ternyata mempunyai jumlah gabah hampa per malai paling sedikit

(Tabel 4). Dalam hal jumlah gabah hampa ini seluruh VUB yang dikaji ternyata tidak

berbeda dibanding dengan varietas pembanding (Ciherang).

Page 393: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

374

Tabel 3. Ketahanan terhadap penyakit BLB, Turusan, Sleman, Yogyakarta, musim kemarau

(MK) 2014

No Varietas unggul

baru/cek Ketahanan terhadap penyakit (BLB) *

1

2

3

4

5

6

7

Inpari 19

Inpari 23

Inpari 24

Inpari 30

Inpari32

Ciherang

Situ Bagendit

5

5

5

5

3

5

5

Keterangan : *Skore berdasarkan standard evaluation system for rice(SES) IRRI, 1996; 1

= sangat tahan, 3= tahan, 5 = agak tahan, 7 = peka, 9 = sangat peka BLB = Bacterial Leaf

Blight = hawar daun bakteri (HDB).

Pada Tabel 4 terlihat bahwa jumlah gabah total per malai tertinggi dihasilkan oleh

Inpari 32 yaitu 220 butir, sedangkan yang terendah dihasilkan oleh Ciherang dan Situ

Bagendit yaitu masing-masing 189 dan 187 butir. Dari data jumlah gabah hampa dan

denganmempertimbangkan jumlah gabah total dari varietas padi yang diuji, maka hasil

gabah dari varietas padi tersebut masih bisa ditingkatkan lagi, dengan lebih

mengoptimalkan tanam jajar legowonya, karena kondisi pencahayaan matahari dan radiasi

surya yang optimal dapat meningkatkan produktivitas padi (Hermanto, 2007).

Tabel 4. Rata-rata jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah

gabah total per malai, dan hasil gabah kering panen, tujuh varietas padi, Turusan,

Sleman, Yogyakarta, musim kemarau (MK) 2014

Varietas unggul

Baru

Jumlah

gabah isi

per malai (butir)

Jumlah gabah

hampa per malai

(butir)

Jumlah gabah

total per malai

(butir)

Hasil gabah

(t/ha GKP)

Inpari 19

Inpari 23

Inpari 24

Inpari 30

Inpari32

Ciherang

SituBagendit

179ns

187ns

201*

199 *

205 *

173

168

16 ns

14 ns

17ns

10 ns

15 ns

16

19

195 ns

201ns

218 *

209 *

220 *

189

187

7,9ns

8,5 ns

8,8*

8,7*

9,5*

7,7

7,6

Keterangan : * dan ns masing-masing adalah beda nyata dan tidak beda nyata terhadap Ciherang

sebagai

varietas pembanding terbaik pada uji t pada tingkat 5%.

Page 394: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

375

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwahasil gabah VUB tertinggi di Turusan,Sleman

diberikan oleh Inpari 32yaitu 9,5 t/ha GKP diikuti oleh Inpari 24 (8,8 t/ha), Inpari 30 (8,7

t/ha), Inpari 23 (8,5 t/ha), dan Inpari 19 (7,9 t/ha), sementara Ciherang dan Situ Bagendit

menghasilkan 7,7 dan 7,6 t/ha GKP. Walaupun Inpari 23 memberikan hasil 0,8 ton lebih

tinggi dari Ciherang, namun hasil yang dicapai oleh Inpari 23 tersebut belum berbeda nyata.

Bila dilihat dari asal-usul Inpari 19, VUB ini merupakan hasil persilangan yang salah satu

tetuanya adalah Ciherang. Dengan demikian keragaan Inpari 32 ini mirip dengan Ciherang,

antara lain dalam hal umur tanaman, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif,

kebernasannya, kepulenannya, dan Inpari 32 memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap

penyakit kresek (HDB= hawar daun bakteri).

Secara keseluruhan,hasil yang diperoleh dari kajian variatas unggul baru padi

melalui pengelolaan System of Rice Intensification (SRI)ini lebih tinggi bila dibandingkan

dengan hasil yang tertera dari deskripsi varietas unggul baru padi (Badan Litbang Pertanian,

2013). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa peran dan kontribusi pengelolaan SRI secara

significan meningkatkan hasil gabah (Uphoff et al., 2008 ).Aryawati dan Kamandalu

(2011) melaporkan bahwa hasil VUB Inpari 7 dan Inpari 10 masing-masing sebesar 6,60

dan 6,40 t/ha GKP memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas

pembanding Ciherang (5,09 t/ha GKP). Dari sisi fluks metana (CH4) yang dihasilkan

menurut beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dengan sistem SRI

lebih rendah gas metananya dibandingkan dengan sistem budidaya padi konvensional.

Artinya sistem SRI ramah lingkungan karena mengoptimalkan penggunaan bahan

organic/pupuk hayati; juga dari sisi pengairan, system SRI dengan pengairan

intermitten/terputus sehingga mampu menurunkan gas metan, sedangkan sistem

konvensional cenderung tergenang sehingga gas metana (CH4) meningkat. Untuk

pengairan, system SRI sama dengan system PTT yaitu intermitten dan dihasilkan gas metan

relative rendah yaitu sebesar 78,43 kg/ha/musim (Litbang, 2015). Menurut Budiastuti,

2006, kandungan gas metan budidaya konvensional kondisi tergenang dengan nilai 4,64 –

8,09 mg m-2 jam-1 sedangkan bila dengan sistem pengairan intermitten bernilai 1,76-6,27

mg m-2 jam-1

Di wilayah KabupatenSleman,usahatani padi di lahan sawah banyak dilakukan

oleh petani karena merupakan salah satu sumber pendapatan petani untuk menunjang

kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Upaya peningkatan efisiensi biaya input usahatani

padi di lahan sawah yang mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan

produktivitas tanaman akan sangat penting untuk memberikan kontribusi terhadap

peningkatan pendapatan petani maupun ketahanan pangan. Biaya yang dikeluarkan dalam

usahatani padi terbagi dalam beberapa sub kegiatan, antara lain saprodi(sarana produksi),

tenaga kerja dan sub kegiatan lain-lain. Rerata persentasi tertinggi biaya usahatani

digunakan pada sub kebutuhan tenaga kerja (50-58%), diikuti saprodi (20-25%) dan lain-

lain (22-24%) (Tabel 5). Biaya lain-lain (pajak bumi, kebutuhan sosial dan sebagainya),

merupakan biaya yang relatif besar dan harus dikeluarkan. Tingginya kebutuhan biaya

tenaga kerja karena kegiatan utama budidaya padi membutuhkan campur tangan manusia

seperti mengolah tanah dengan traktor dan penyelesaian olah untuk siap tanam (finishing).

Meskipun demikian biaya tenaga kerja yang pasti dibayarkan (bagi petani penggarap)

Page 395: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

376

adalah biaya traktor sebesar 8 % saja dan sisanya sekitar 50% diterima sendiri atau tidak

dibayarkan (BPTP Yogyakarta, 2012).

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa hasil analisis usaha tani B/C rasio, menunjukkan

bahwa VUB padi inbrida Inpari 19, Inpari 23, Inpari 24, Inpari 30, Inpari 32, Ciherang dan

Situ Bagendit layak untuk dikembangkan secara SRI, karena terbukti rasio B/C lebih besar

dari 1, yaitu berkisar antara 1,64untuk Situ Bagendit sampai 2,05 untuk Inpari 32.

Incremental B/C rasio keempat VUB tersebut terhadap Ciherang yaitu Inpari 19 (4,19 %);

Inpari 23 (22,75 %); Inpari 24 (13,77 %), Inpari 30 (31,13%) dan Inpari 32 (36,53 %),

sementara terhadap Situ Bagendit Incremental B/C rasio keempat VUB tersebut berturut-

turut adalah Inpari 19 (6,09 %); Inpari 23 (25,00 %); Inpari 24 (15,85 %), Inpari 30 (33,53

%) dan Inpari 32 (39,02 %). Sutaryo dan Purwaningsih (2014) melaporkan bahwa dengan

introduksi VUB Inpari 10memberikan rasio B/C yang lebih tinggi dari Ciherang dan Situ

Bagendit masing-masing sebesar 10,14% dan 16,01%.

Tanggapan petani saat dilakukan temu lapang sangat positif. Dalam hal kesukaan

petani, Inpari 32 paling disukai karena selain produktivitas paling tinggi, juga tahan

terhadap penyakit BLB, dan B/C rasionya paling tinggi. Inpari 32 ini berpenampilan seperti

tanaman Ciherang, hal ini karena Inpari 32 merupakan hasil persilangan dengan

menggunakan tetua Ciherang (Badan Litbang Pertanian, 2013). Varietas lainnya seperti

Inpari 23, Inpari 24dan Inpari 30 juga disukai petani.Inpari 19 kurang disukai petanikarena

hasil gabahnya kurang tinggi. Untuk itu, dalam upaya memenuhi ketersediaan benihnya di

kios-kios pertanian, petani penangkar benih di wilayah tersebut sedang berusaha

memproduksi benih tersebut. Varietas-varietas unggul tersebut layak untuk dijadikan salah

satu alternatif komponen inovasi teknologi yang dapat dikembangkan dalam upaya

pencapaian target peningkatan produktivitas dan produksi padi.

Tabel 5a. Analisis finansial usaha tani varietas unggul Inpari 19, Inpari 23, Inpari 24,

Turusan, Sleman, Yogyakarta, musim kemarau (MK) 2014

Uraian Inpari 19 Inpari 23 Inpari 24

Luas lahan (ha) 1,0 1,0 1,0

Saprodi (Rp) 2.100.000 2.000.000 2.200.000

Tenaga Kerja (Rp) 5.200.000 5.100.000 5.500.000

Lain-lain (Rp) 2.200.000 2.100.000 2.300.000

Total (input) (Rp) 9.500.000 9.200.000 10.000.000

Hasil gabah (kg) 7.900 8.500 8.800

Harga jual (Rp/kg) 3.300 3.300 3.300

Pendapatan (Rp) 26.070.000 28.050.000 29.040.000

Keuntungan (Rp) 16.570.000 18.850.000 19.040.000

B/C ratio 1,74 2,05 1,90

Incremental B/C

terhadap Ciherang

(%)

4,19 22,75 13,77

Incremental B/C

terhadap Situ

Bagendit (%)

6,09 25,00 15,85

Page 396: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

377

Tabel 5b. Analisis finansial usaha tani varietas unggul Inpari 30 dan Inpari 32, Turusan,

Sleman, Yogyakarta, musim kemarau (MK) 2014

Uraian Inpari 30 Inpari 32 Ciherang Situ Bagendit

Luas lahan (ha) 1,0 1,0 1,0 1,0

Saprodi (Rp) 2.000.000 2.100.000 2.100.000 2.100.000

Tenaga Kerja (Rp) 5.000.000 5.200.000 5.200.000 5.200.000

Lain-lain (Rp) 2.000.000 2.250.000 2.200.000 2.200.000

Total (input) (Rp) 9.000.000 9.550.000 9.500.000 9.500.000

Hasil gabah (kg) 8.700 9.500 7.700 7.600

Harga jual (Rp/kg) 3.300 3.300 3.300 3.300

Pendapatan (Rp) 28.710.000 31.350.000 25.410.000 25.080.000

Keuntungan (Rp) 19.710.000 21.800.000 15.910.000 15.580.000

B/C ratio 2,19 2,28 1,67 1,64

Incremental B/C

terhadap Ciherang (%) 31,13 36,53 - -

Incremental B/C

terhadap Situ Bagendit

(%)

33,53 39,02 - -

KESIMPULAN

1. Pertumbuhan dan hasil tanaman padi beragam antar varietas. Semua varietas yang dikaji

berumur genjah sampai sedang, Inpari 32 memberikan umur paling genjah.

2. Inpari 32 memberikan hasil tertinggi (9,5 t/ha) dibandingkan dengan varietas

pembanding dan varietas yang diuji lainnya.Hasil terbaik pada Inpari 32 tersebut

didukung oleh komponen hasil utama yaitu jumlah gabah isi, jumlah gabah total, dan

jumlah anakan produktif.

3. Inpari 32 menunjukkan sifat tahan terhadap BLB, sedangkan varietas lainnya bersifat

agak tahan terhadap BLB.

4. Inpari 32 sangat layak untuk dikembangkan terbukti B/C rasionya tertinggi yaitu 2,28

dan diikuti oleh Inpari 24 (2,19), Inpari 23 (2,05), Inpari 30 (1,90), dan Inpari 19

(1,74)

5. Inpari 32 memberikan nilai Incremental B/C rasio tertinggi terhadap Ciherang dan Situ

Bagendit masing-masing sebesar 36,53 dan 39,02%.

SARAN

Guna meningkatkan dan memenuhi permintaan Inpari 32oleh para petani dalam

rangka adopsi varietas unggul baru, maka disarankan kepada instansi untuk pembinaan

petani penangkar benih Inpari 32 di Turusan, Kabupaten Sleman.

Page 397: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

378

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Sdr. Tukidi, Rabingu dan Purwanto, di

Turusan, Sleman,Yogyakarta dalam membantu pengamatan di lapang, pengumpulan data

dan koordinasi pada kegiatan keragaan beberapa varietas unggul baru padi yang ditanam

dengan metode SRI.

DAFTAR PUSTAKA

Andoko, A. 2002. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya. Depok. 96 hal.

Anonim. 1996. Standard evaluation system for rice (3rd ed.). IRRI. Los Banos

Philippines. 54 p.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Petunjuk teknis lapang.

Penelolaantanaman terpadu(PTT) padi sawah irigasi.Badan Penelitian dan

Pengembangan Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Petunjuk PelaksanaanPendampingan

SLPTT. Jakarta

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 2013.

DeskripsiVarietasUnggul Baru Padi Inbrida padi irigasi (Inpari), inbrida padi gogo

(Inpago), Inbrida padi rawa (Inpara), dan hibrida padi (Hipa). 63 hlm.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014. Buku Inovasi Teknologi

Membangun Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani. Balitbang. Jakarta

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2011. Laporan Akhir Pendampingan

Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Display Padi

Varietas Unggul Baru (VUB). BBP2TP-Badan Litbang Pertanian.

KementerianPertanian.61hlm.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2012. Rekomendasi Varietas Unggul

Baru Padi untuk SLPTT di Yogyakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Yogyakarta.BBP2TP-Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. 31 hlm.

Budiastuti, 2008. Simulasi Laju Emisi Metan pada Lahan padi Sawah dengan Model

Denitrifikasi

Dekomposisi (DNDC) (Studi Kasus di Kabupaten Tasikmalaya). Thesis. Institut Pertanian

Bogor.

Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta. 2012. Road Map Swasembada Berkelanjutan

2010-2014. Dinas Pertanian DIY.

Gomez, K.A., dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur statistik untuk penelitian pertanian. Edisi

Kedua. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).698 hlm.

Hastini, T., K. Permadi dan S. Putra. 2011. Dampak penerapan PTT padi sawah

terhadappeningkatan produktivitas, efisiensi dan pendapatan petani pada program

prima tani kabupaten Purwakarta. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian

PadiNasional 2010. Buku 2.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian

dan PengembanganPertanian. 727-734

Hermanto. 2007. PTT andalan peningkatan produksi padi nasional. Warta Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Indonesia.26 (2): 14-15.

Page 398: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

379

Murtiningrum. 2010. Model Matematika Pertumbuhan Jumlah Anakan dan Tinggi

Tanaman Padi yang Ditanam Dengan Metode SRI. Jurnal Agrotek 5(2) : 92- 107.

Rina, Y.D. 2011. Keragaan usahatani padi sistem tabela dan tapin di lahan pasang surut

Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010.

Buku 2.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan

PengembanganPertanian. 961-972.

Rohmat, dan Dede. 2007. Kajian Aspek Pemberian Air dan Mekanisme Penyediaan

Harapada Budidaya Tanaman Padi-Pola SRI. Bandung. UPI 108 hlm.

Sembiring, H. 2008. Kebijakan penelitian dan rangkuman hasil penelitian BB

Padidalammendukung peningkatan produksi beras nasional. Prosiding

seminarapresiasihasil penelitian padi menunjang P2BN. Balai Besar

PenelitianTanaman PadiSukamandi.

Simarmata, T. 2006. Teknologi peningkatan produksi padi (TPPP ABG)

berbasisorganik.PT. Gateway Internusa. Jakarta.

Sudir dan Suparyono. 2000. Evaluasi bakteri antagonis sebagai agensia pengendali hayati

penyakit hawar pelepah dan busuk batang padi. Jurnal Penelitian Pertanian

Tanaman Pangan. 19 (2) : 1-6.

Sudir, dan B. Sutaryo. 2012. Reaksi Padi Hibrida Terhadap Hawar Daun Bakteri. Jurnal

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 30 (2) : 88-94.

Sutaryo, B., dan T. Sudaryono. 2012. Tanggap sejumlah genotipe padi terhadap tiga

tingkat kepadatan tanaman. Jurnal Ilmiah Pertanian AGROS. Fakultas Pertanian

Universitas Janabadra Yogyakarta 14 (1) : 48-58.

Sutaryo, B. 2012. Ekspresi daya hasil dan beberapa karakter agronomi enam padi hibrida

indica dilahan sawah berpengairan teknis. Ilmu Pertanian (Agricultural Science).

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 12 (2) : 1-

18.

Sutaryo, B., dan H. Purwaningsih. 2014. Kajian keragaan varietas unggul baru padi sawah

dengan pengelolaan tanaman terpadu di Bantul Yogyakarta. Jurnal Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian 17 (2) : 89-97.

Uphoff. N. 2006. Higher yields with fewer external inputs. The system of rice

intensification and potential contributions to agricultural sustainability. International

Journal of Agricultural Sustainability. 1(1): 38–50.

Uphoff, N., A. Kassam, and W. Stoop. 2008. A critical assessment of a desk study

comparing crop production systems: the example of the ‘system of rice

intensification’ vs. ‘best management practice’. Field Crops Research, 108(1): 109–

114.

Page 399: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

380

Page 400: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

381

RESIDU LOGAM BERAT Pb,Cd, Cu DAN RESIDU PESTISIDA DALAM UMBI BAWANG PUTIH MELALUI PENERAPAN BUDIDAYA RAMAH LINGKUNGAN DI KABUPATEN KARANGANYAR, JAWA TENGAH

Ridha Nurlaily, Samijan, Tri Cahyo M, Slamet

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah; Jl. Soekarno Hatta Km 10 no. 26, Bergas, Kab.

Semarang, Jawa Tengah; Email : [email protected]

Abstrak.Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar merupakan daerah

pengembangan sentra bawang putih varietas tawangmangu baru. Petani di daerah tersebut

cenderung menggunakan pupuk kimia melebihi dosis rekomendasi untuk memperoleh hasil

bawang putih yang tinggi. Pengendalian hama dan penyakit utama tanaman bawang putih

dilakukan dengan menggunakan pestisida sintesis yang berlebihan tanpa memperhatikan

faktor lingkungan dan kesehatannya. Penggunaan input kimia yang berlebihan ini

meninggalkan residu agrokimia dalam produk pertanian (umbi bawang putih), maupun

pada lahan pertaniannya. Pengkajian Budidaya Bawang Putih Ramah Lingkungan

menggunakan metode on farm research dengan perlakuan dosis pupuk rekomendasi dan

dosis pupuk eksisting petani pada lima petani kooperator. Pengendalian hama penyakit

dilakukan dengan prinsip PHT menggunakan agensia hayati dan pestisida kimia sesuai

kebutuhan. Analisis kandungan logam berat dan residu pestisida pada umbi bawang putih

dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan analisis tanah

dilakukan di laboratorium BPTP Jawa Tengah. Untuk mengetahui perbedaan kandungan

logam berat pada dua perlakuan dilakukan analisis data menggunakan uji T. Hasil

pengkajian menunjukkan bahwa rata-rata kandungan logam berat Pb, Cd dan Cu dalam

umbi bawang putih pada perlakuan dosis pupuk rekomendasi lebih rendah dibandingkan

perlakuan dosis pupuk eksisting petani, namun tidak berbeda nyata. Konsentrasi residu

pestisida golongan organofosfat dan piretroid pada umbi bawang putih hasil perlakuan

dosis pupuk eksisting petani lebih rendah dibandingkan perlakuan dosis pupuk

rekomendasi.

Kata kunci : Residu logam berat, Pb, Cd, Cu, residu insektisida, bawang putih

Abstract.Tawangmangu Sub-district Karanganyar regency is the development area of garlic

center of new tawangmangu varieties. Farmers in the area tend to use chemical fertilizers

over the recommended dosage to produce high garlic yield. Control of major pests and

diseases of garlic plants is done by using excessive synthesis pesticides without considering

factors of environment and health. The use of excessive chemical inputs remains residues in

agricultural products (garlic bulbs), as well as in the farmland. Assessment of

environmentally friendly garlic cultivation using on farm research method with treatment of

recomended fertilizer dosage and dose of farmers practices on five cooperatorfarmers. Pest

control is done by the principle of IPM using biological agents and necessary chemical

pesticides. The content of heavy metal and pesticide residue in garlic bulb was analyzed at

Agricultural Research Laboratory, while soil analysis was coducted in Central Java AIAT

laboratory. The statistical data alaysis using T test was applied to know the difference of

heavy metal content in two treatments . The results of the study showed that the average

content of heavy metals of Pb, Cd and Cu in garlic bulb at recomended fertilizer dosage

treatment was lower than farmers practise but not significantly different. The

39

Page 401: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

382

concentrations of Cd, Pb, and Cu in garlic bulbs from farmers' plots were 15.7%, 28.9%

and 6.5% respectively compared to the recommendation plots. However residue of

organophosphate and piretroid in garlic bulb was higher on recomended fertilizer dosage

than farmers practises.

Keywords: Heavy metal residue,Pb, Cd, Cu, insecticides residue, Garlic

PENDAHULUAN

Kebutuhan konsumsi bawang putih secara nasional, sebagian besar masih dipenuhi

dengan impor, karena produksi dalam negeri belum mencukupi. Produksi bawang putih

nasional pada tahun 2014 mencapai 16.893 ton, yang meningkat 7,15 % dari produksi tahun

2013 (15.766 ton), dengan kenaikan rata-rata hasil per hektar mencapai 38,85%, meskipun

luas panen bawang putih mengalami penurunan hingga 22,83 % (Kementerian Pertanian,

2015). Pada saat ini perkembangan luas panen di beberapa sentra bawang putih di Jawa

Tengah umumnya relatif kecil, dengan luasan antara 5-50 hektar per tahun (Prastuti et al.,

2015). Beberapa sentra bawang putih di Jawa Tengah umumnya tersebar di dataran tinggi

(>700 m dpl) seperti Tawangmangu (Karanganyar), Kaliangkrik (Magelang) dan Tuwel

(Tegal). Varietas yang banyak digunakan di beberapa lokasi tersebut antara lain Lumbu

Hijau, Lumbu Putih, Tawangmangu, Lumbu Kuning, Gombloh dan Sembalun (Hilman et

al., 1997).

Beberapa komponen budidaya sangat berpengaruh terhadap pencapaian produksi

bawang putih antara lain penggunaan benih varietas unggul bermutu dan teknologi

pemupukan yang tepat dan berimbang. Penggunaan benih kurang berkualitas dengan hanya

mengandalkan pupuk tertentu menjadi salah satu faktor penurunan produktivitas dan

kualitas bawang putih. Disamping itu, untuk mengendalikan serangan hama penyakit yang

selalu meningkat, petani umumnya menggunakan pestisida yang cenderung berlebihan

tanpa memperhitungan aspek keseimbangan ekosistem dan lingkungan (Prayudi et al.,

2014). Kegiatan pertanian yang hanya tergantung pada penggunaan bahan agrokimia

(pupuk kimia dan pestisida), merupakan sumber pencemaran pada lahan pertanian itu

sendiri. Apalagi hal tersebut dilakukan terus menerus dalam jangka waktu lama, akan

terjadi akumulasi residu bahan pencemar beserta logam beratnya dalam tanah selain

perubahan buruk sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Produktivitas tanah menurun, yang

diikuti dengan penurunan daya dukung pertumbuhan tanaman (Erfandi dan Juarsah, 2014).

Kecamatan Tawangmangu di Kabupaten Karanganyar merupakan daerah

pengembangan sentra bawang putih varietas tawangmangu baru. Persepsi petani adalah

kecenderungan menggunakan pupuk kimia melenihi dosis rekomendasi maka akan

diperoleh hasil bawang putih yang tinggi di daerah tersebut. Pengendalian hama dan

penyakit utama tanaman bawang putih dilakukan dengan menggunakan pestisida sintesis

yang berlebihan tanpa memperhatikan faktor lingkungan dan kesehatannya. Penggunaan

input kimia yang berlebihan ini meninggalkan residu agrokimia dalam produk pertanian

(umbi bawang putih) dan pada lahan pertaniannya.

Kondisi ini harus segera dikendalikan agar tidak berdampak negatif terhadap

lingkungan dan kehidupan manusia. Petani dataran tinggi belum sepenuhnyamenerapkan

Page 402: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

383

teknologi pemupukanbawang putih spesifik lokasi yang sesuai dengan dosis rekomendasi.

Untuk itu perlu dilakukan pengkajian budidaya bawang putih yang ramah lingkungan

dengan mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida kimia namun tidak mengurangi hasil

panen bawang putih. Di samping itu untuk mengetahui kesehatan umbi bawang putih yang

dihasilkan perlu dilakukan analisis kandungan residu agrokimia dalam hal ini timbal (Pb),

kadmium (Cd), dan tembaga (Cu).

METODOLOGI

Pengkajian Budidaya Bawang Putih Ramah Lingkungan dilakukan di Lingkungan

Pancot, Kelurahan Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar pada

bulan Mei sampai dengan September 2015 menggunakan metode on farm research dengan

perlakuan dosis pupuk rekomendasi dan dosis pupuk eksisting petani di lahan lima petani

kooperator sebagai ulangan dengan luas hamparan masing-masing petani 600 m2. Dosis

pupuk dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan Petak rekomendasi

Komponen Budidaya Petak rekomendasi Eksisting petani

Varietas Bawang Putih Tawangmangu baru Tawangmangu baru

Jarak tanam 15 cm x 15 cm 10 cm x 10 cm

Perlakuan benih PGPR Karbosulfan

Jumlah benih/lubang 1 siung per lubang 1 siung per lubang

Pupuk Organik Kompos plus trichoderma10-20

ton/ha (pupuk dasar)

Pupuk kandang 25-30 ton/ha

(pupuk dasar)

Pemupukan :

Phonskha 400 Kg/ha aplikasi 20-25 hst

(75%), 30-35 hst (25%)

350 kg/ha aplikasi 40-50 hst

(50%), 70 hst (50%)

Urea 175 Kg/ha aplikasi 35-45 hst

(40%), 50-55 hst (60%)

150 kg/ha aplikasi 40-50 hst

(50%), 70 hst (50%)

SP36 200 Kg/ha aplikasi 15 hst (100%) 250 kg/ha aplikasi Pupuk dasar

(100%)

ZA

300 Kg/haaplikasi 35-45 hst

(66%), 50-55 hst (33%) -

NPK mutiara - 75 kg/ha aplikasi 40-50 hst

(50%), 70 hst (50%)

Pupuk cair

POC 14 lt/ha musim

15, 17, 24, 31, 38 hst (@ 7 cc/lt

air dalam 400 lt air/ ha)

PPC untuk daun (3,75 lt/ha)

30, 50, 70 hst

Agensia Hayati :

Tricoderma Sp

Beaveria bassiana

4, 12, 20, 28, 34 hst

8, 16, 24, 32, 38 hst

4, 12, 20, 28, 34 hst

8, 16, 24, 32, 38 hst

Penyiangan Umur 20-30 (HST) Umur 20-30 (HST)

Pengendalian

hama/penyakit Prinsip PHT Prinsip PHT

Sumber : Prastuti et al. (2015)

Page 403: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

384

Persiapan lahan dilakukan 3 minggu sebelum tanam, awalnya lahan dibersihkan

dari gulma, batu-batu krikil dan semak-semak sebelum dilakukan pengolahan tanah.

Pengolahan tanah dilakukan 2-3 kali menggunakan cangkul sedalam 20 – 30 cm.

Pemberian kapur pertanian dan pupuk organik (kompos plus atau pupuk kandang) pada saat

pengolahan tanah (dicampur dan dibenamkan dalam tanah), terakhir dibuat

guludan/bedengan ukuran 7 x 1,5 m, dengan tinggi bedengan dan lebar saluran drainase 30

– 40 cm. Pengendalian hama penyakit dilakukan dengan prinsip PHT menggunakan agensia

hayati dan pestisida kimia sesuai kebutuhan. Analisa kandungan logam berat dan residu

pestisida pada umbi bawang putih dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan

Pertanian dan analisis tanah dilakukan di laboratorium BPTP Jawa Tengah. Untuk

mengetahui perbedaan kandungan logam berat pada dua perlakuan dilakukan analisis data

menggunakan uji T.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Petani di Kelurahan Kalisoro berpengalaman dalam budidaya bawang putih rata-rata

sekitar lebih dari 15 tahun secara tumpangsari bawang merah dengan bawang daun. Sesuai

dengan agroklimat dan tipe tanah, petani di kelurahan Kalisoro ini terbiasa

membudidayakan bawang putih setahun sekali di awal musim kemarau. Kondisi usahatani

existing didominasi tanaman sayuran yang beragam(Wortel, Sawi, bawang daun/ loncang

dll) namun luas panen dan produksi terbesar didominasi bawang putih. Pola tanam bawang

putih secara tumpang sari dengan tanaman bawang merah dan bawang daun dengan pola 2

larik bawang putih, 1 larik bawang merah dan 1 larik bawang daun dalam 1 petak/gulud.

Rata-rata luasan lahan petani yang digunakan untuk budidaya bawang putih berkisar 400 –

1000 m2, pada kondisi topografi berbukit. Varietas yang digunakan adalah varietas Lumbu

Hijau (LH), Lumbu Kuning (LK) dan lokal Tawangmangu, dengan berjalanan waktu

varietas Tawangmawangu telah dimurnikan menjadi Tawangmangu Baru dan sejak tahun

1985 para petani mulai menanam varietas Tawangmangu Baru (TB). Sebagian besar petani

menyukai varietas Tawangmangu Baru (TB) walaupun umur panennya relatif lama namun

sesuai dengan kondisi lokasi dan daya tahan tinggi terhadap serangan OPT (organisme

pengganggu tanaman). Sementara varietas LH dan LK memiliki keunggulan lebih pendek

keragaan dan umur panennya. Kecenderungan dalam 3 tahun terakhir organisme

pengganggu tanaman (OPT) yang menyerang pertanaman bawang putih di Kelurahan

Kalisoro diantaranya Thrips, Fusarium dan Ulat (Prastuti et al., 2015). Pengendalian OPT

tersebut dilakukan dengan menggunakan agensia hayati Trichoderma sp., Beauveria

bassiana, perangkap kuning, feromon exigua dan atau pestisida kimia apabila serangan

melampaui batas ambang kendali. Dalam hal pengendalian OPT diperlakukan sama baik

pada petak rekomendasi maupun petak eksisting petani.

Berdasarkan hasil analisis tanah setelah perlakuan ditunjukkan pada Tabel 2, lahan

pada lokasi pengkajian termasuk dalam tanah yang memiliki tingkat kesuburan yang baik.

Hal ini dapat dilihat dari kandungan C organik, unsur hara N, P dan K setelah panen pada

taraf sedang sampai sangat tinggi dan pH tanah tergolong agak masam. Jenis tanah di

Kecamatan Tawangmangu khususnya kelurahan kalisoro ini adalah tanah Andisol yang

umumnya mempunyai tingkat kemasaman tinggi (pH rendah) dan kahat unsur hara fosfor.

Page 404: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

385

pH tanah di lahan pengkajian sudah mengalami perbaikan hampir mendekati netral, karena

dalam proses pengolahan lahan ditambahkan kapur pertanian untuk menaikkan pH tanah.

Pada kondisi pH netral unsur hara dalam tanah tersedia optimum untuk tanaman, namun

kelarutan logam berat yang tidak dibutuhkan tanaman rendah. Hal ini dapat

meminimalisasi penyerapan logam berat oleh tanaman. Sedangkan untuk menjaga

ketersediaan unsur fosfor dalam lahan budidaya ditambahkan pupuk NPK dan SP36 serta

pupuk organik yang secara tidak langsung mampu melepaskan unsur P dari jerapan koloid

tanah, sehingga pada akhir percobaan unsur hara fosfor masih sangat tinggi.

Tabel 2. Hasil analisis tanah lahan percobaan

Parameter Petak Hasil Rer

ata Kriteria

I II III IV V

pH H2O Rekomendasi 5,9 5,75 5,01 5,26 6,25 5,63 agak

masam

Eksisting 6,03 5,45 5,16 5,52 6,08 5,65 agak

masam

C-Organik Rekomendasi 2,2 2,20 2,08 3,23 2,55 2,45 sedang

(%) Eksisting 2,57 2,93 2,17 2,93 2,49 2,62 sedang

N-Kjeldahl Rekomendasi 0,34 0,32 0,30 0,44 0,38 0,36 sedang

(%) Eksisting 0,36 0,41 0,29 0,39 0,34 0,36 sedang

P Tersedia Rekomendasi 458,45 401,43 240,31 162,34 404,85 333,48 sangat

tinggi

(ppm P2O5)

Titrimetri Eksisting 501,87 282,81 232,32 497,72 506,20 404,18

sangat

tinggi

P2O5

HCL 25% Rekomendasi 222,54 259,48 418,22 426,00 231,94 311,64

sangat

tinggi

(mg/100g) Eksisting 247,80 418,22 381,54 231,94 232,83 302,47 sangat

tinggi

K2O

HCl 25% Rekomendasi 157,85 59,66 48,20 54,66 35,04 71,08

sangat

tinggi

(mg/100g) Eksisting 124,07 48,20 50,23 35,04 140,40 79,59 sangat

tinggi

Sumber : Hasil analisis laboratorium

Logam berat tertentu terkandung di dalam bahan-bahan agrokimia. Lahan-lahan

pertanian yang intensif diberikan pupuk dan pestisida kimia potensial terkontaminasi logam

berat. Menurut Erfandi dan Juarsah (2014) logam Timbal (Pb), Kadmium (Cd) dan

Tembaga(Cu) merupakan bahan pencemar tanah yang digolongkan sebagai sumber bahan

pencemar anorganik. Sumber cemaran seperti bahan-bahan agrokimia, limbah industri,

kegiatan pertambangan dan limbah rumah tangga dapat menurunkan kualitas tanah. Logam

berat yang berada dalam tanah dapat terserap oleh akar tanaman yang terangkut dan

Page 405: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

386

terakumulasi di beberapa bagian jaringan tanaman. Gambar 1 memperlihatkan kandungan

logam berat Pb, Cd, Cu dalam umbi bawang putih yang dibudidayakan dengan sistem

ramah lingkungan.

Gambar 1. Kandungan residu logam berat Pb, Cd, Cu dalam umbi bawang putih

Residu logam berat Cd pada umbi bawang putih

Gambar 1 memperlihatkan rata-rata konsentrasi logam berat Pb (timbal), Cd

(kadmium), Cu (tembaga) dalam umbi bawang putih pada perlakuan dosis pupuk eksisting

petani lebih tinggi dibandingkan perlakuan dosis pupuk rekomendasi. Pemberian pupuk

kandang pada perlakuan petani lebih tinggi dibandingkan petak rekomendasi, disamping itu

petak rekomendasi menggunakan pupuk kompos yang diperkaya trichoderma. Penerapan

berbagai bahan organik misalnya pupuk kandang, kompos, dan sampah/limbah kota secara

tidak langsung berkontribusi pada akumulasi logam berat dalam tanah, diantaranya As, Cd,

Cr, Cu, Pb, Hg, Ni, Se, Mo, Zn, Tl, Sb, dan sebagainya (Basta et al., 2005 dalam Erfandi

dan Juarsah, 2014). Pupuk kandang yang mengandung logam berat, jika berulang kali dan

dalam jangka panjang diterapkan dapat menyebabkan terjadinya akumulasi logam berat

dalam tanah (Erfandi dan Juarsah, 2014).

Kandungan kadmium (Cd) pada perlakuan eksisting petani lebih tinggi 15,7%

dibandingkan perlakuan rekomendasi namun berdasarkan uji T tidak berbeda nyata.

Konsentrasi logam berat Cd pada umbi bawang putih rata-rata sebesar 0,13 ppm pada petak

rekomendasi dan 0,15 ppm pada petak petani. Konsentrasi tersebut masih lebih rendah

daripada batas cemaran maksimum logam Cd pada sayuran umbi sebesar 0,2 ppm. Kondisi

kemasaman tanah pada lahan percobaan tidak terlalu rendah, sehingga Cd yang terlarut

dalam tanah dan dapat diserap tanaman dengan jumlah yang kecil. Kadmium merupakan

logam yang ditemukan alami dalam kerak bumi. Kadmium biasa ditemukan sebagai

mineral yang terikat dengan unsur lain seperti oksigen, klorin dan sulfur (BSN, 2009). Hasil

penelitian Simanjuntaket al. (2015), Cd-tersedia tidak terdeteksi akibat pemberian fosfat

alam dan pupuk kandang kambing pada semua perlakuan, jumlahnya sangat kecil di bawah

batas minimum deteksi alat. Ini disebabkan logam berat Cd diduga mulai larut pada kondisi

Page 406: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

387

pH yang rendah. Jansson (2002) dalam Simanjuntak et al. (2015) menyatakan bahwa

kelarutan kadmium dipengaruhi oleh faktor pH tanah. Kemasaman tanah yang rendah

menyebabkan kelarutan Cd relatif tinggi.Logam Cd lebih mudah terakumulasi dalam

tanaman dibanding logam berat lainnya dan bersifat meracun bagi tubuh manusia

(Kusumaningrum et al., 2012).

Residu logam Cd dalam umbi bawang putih tersebut diduga berasal dari pupuk

kimia yang diberikan terutama pupuk kimia sumber fosfat seperti NPK dan SP36 yang

diserap tanaman melalui akar yang kemudian terakumulasi dalam umbi bawang putih. Pada

perlakuan dosis pupuk rekomedasi, pupuk sumber fosfat yang diberikan lebih rendah

dibandingkan dosis pupuk petak petani. Lebih lanjut Kusumaningrum et al. (2012)

mengemukakan bahwa kandungan Cd dalam pupuk fosfat rata-rata sebesar 138 mg Cd per

kg Fosfat. Semakin sering penggunaan pupuk fosfat dalam budidaya tanaman bawang

merah, maka semakin tinggi kandungan Cd dalam tanaman yang dibudidayakan. Demikian

halnya dengan bawang putih yang memiliki sifat fisioligis hampir sama dengan bawang

merah. Menurut Setyorini et al. (2003), pupuk fosfat mengandung logam berat Pb, Cd, Cr,

Co, Hg, Ni dan As sebagai bahan ikutan disamping unsur P sebagai unsur utamanya.

Kandungan unsur logam berat dalam pupuk yang perlu diwaspadai adalah kadmium (Cd)

mencapai 1,94 – 113 mg/kg pupuk. Pupuk fosfat dibutuhkan tanaman bawang putih untuk

pertumbuhan dan pembentukan umbi. Penggunaan pupuk fosfat perlu memperhatikan

besaran kebutuhan tanaman terhadap unsur P sehingga dapat menekan pencemaran logam

berat Cd yang diakibatkan oleh penggunaan pupuk fosfat tersebut.

Residu logam berat Pb pada umbi bawang putih

Residu logam Pb dalam umbi bawang putih pada petak rekomendasi sebesar 1,18

ppm sedangkan pada petak petani 1,52 ppm (Gambar 1). Kandungan Pb pada perlakuan

eksisting petani lebih tinggi 28,9% dibandingkan perlakuan rekomendasi namun tidak

berbeda nyata. Berdasarkan SNI 7387 : 2009 batas maksimum cemaran logam Pb pada

sayuran umbi adalah 0,5 mg/kg (BSN, 2009), dengan demikian residu Pb dalam umbi

bawang putih tersebut sudah melebihi batas maksimum. Hal ini perlu menjadi perhatian

petani bawang putih khususnya dan pengambil kebijakan serta stakeholder terkait untuk

mewujudkan pangan yang sehat. Menurut Sudaryono (2011), kandungan Pb yang tinggi

pada tanaman dapat mengganggu metabolisme ternak dan manusia yang

mengkonsumsinya. Pb bukan termasuk unsur hara esensial bagi tanaman, mengingat belum

diketahui manfaat unsur Pb dalam metabolisme tanaman.

Faktor yang mempengaruhi kandungan logam berat dalam jaringan tanaman

diantaranya konsentrasi logam berat dalam larutan tanah, pergerakan ion logam berat dalam

zona perakaran dari permukaan akar masuk ke dalam jaringan akar tanaman dan pergerakan

logam berat dalam jaringan tanaman lainnya. Pb tersedia terangkut ke dalam jaringan

tanaman melalui akar dan melalui stomata daun (Alloway, 1999 dalam Hayati, 2010).

Amelia et al. (2015) mengemukakan bahwa konsentrasi Pb pada butir padi dipengaruhi

oleh konsentrasi Pb pada air irigasi dan tanah sebagai media tanam. Pb yang larut dalam air

irigasi masuk ke dalam tanah, kemudian diserap oleh akar tanaman dan disebarkan ke

bagian jaringan tanaman lainya. Menurut Priyanto dan Prayitno (2007) dalam Amelia et al.

(2015), logam Pb dalam jaringan tanaman akan mengalami mekanisme detoksifikasi

Page 407: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

388

dengan menyimpan (menimbun) logam tersebut di dalam organ tertentu seperti buah, daun,

dan akar tanaman. Hasil penelitian Hayati (2010) memperlihatkan konsentrasi residu logam

berat Pb pada jaringan daun lebih rendah dibandingkan pada jaringan akar dan dalam tanah.

Akumulasi residu ion logam berat Pb tertinggi, terjadi pada tanah tanpa perlakuan pupuk

organik, dan konsentrasi logam berat Pb terus menurun seiring dengan penambahan dosis

pupuk organik.

Budidaya bawang putih ramah lingkungan dapat menjadi alternatif untuk menekan

residu logam berat Pb pada hasil umbi bawang putih. Budidaya tanaman ramah lingkungan

mengutamakan penggunaan bahan-bahan organik untuk perbaikan kesuburan tanah dan

memanfaatkan agensia hayati untuk perlindungan tanaman dengan meminimalisasi

penggunaan pupuk maupun pestisida kimia. Penggunaan bahan organik mampu

menghambat penyerapan ion logam berat Pb oleh jaringan tanaman (Hayati, 2010).

Menurut Hindarwati et al. (2016) kandungan logam berat tanah setelah perlakuan

penggunaan pupuk organik, pupuk petroganik, maupun pupuk kandang jauh lebih kecil

dibandingkan kandungan logam berat pada tanah awal sebelum perlakuan. Hal ini

menunjukkan bahwa dengan penambahan bahan organik dapat menurunkan konsentrasi

logam berat di dalam tanah.

Residu logam berat Cu pada umbi bawang putih

Unsur logam Cu merupakan salah satu unsur hara mikro esensial yang dibutuhkan

dalam pertumbuhan tanaman dalam jumlah relatif rendah. Logam tembaga berfungsi

sebagai penyusun protein kloroplas dan menjadi bagian dari transport elektron (Sudaryono,

2011), namun keberadaanya dalam jumlah yang berlebih akan meracun bagi tanaman.

Batas maksimal kandungan Cu dalam tanah berkisar 20 – 100 ppm (Sudaryono, 2011).

Unsur Cu dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah tertentu sebagai aktivator dari sistem

enzim, membantu proses pembentukan vitamin, pembentukan klorofil dan memperlancar

proses fotosintesis (Wisnawa et al., 2016 dalam Hindarwati et al., 2016). Widaningrum et

al. (2007), mengemukakan bahwa DirjenPengawasan Obat dan Makanan (POM) RI

telahmenetapkan batas maksimum cemaran logam berat tembaga pada sayuran segar yaitu

50 ppm. Konsentrasi logam Cu pada umbi bawang putih baik pada petak rekomendasi

maupun petak perlakuan petani masih dibawah ambang yang diperbolehkan yaitu sebesar

0,13 ppm pada petak rekomendasi dan 0,14 pada perlakuan petani. Kandungan logam

tembaga (Cu) pada perlakuan eksisting petani lebih tinggi 6,5% dibandingkan perlakuan

rekomendasi namun berdasarkan uji T tidak berbeda nyata. Diduga hal ini dikarenakan

pemberian pupuk organik (pupuk kandang) dan sumber pupuk P (Phonska, SP36, NPK

mutiara) pada perlakuan eksisting petani jauh lebih tinggi daripada petak rekomendasi.

Logam Cu juga terdapat di dalam pupuk anorganik maupun pupuk organik. Menurut

Setyorini et al. (2003) pupuk P mengandung tembaga sebesar 1 – 300 mg/kg. Konsentrasi

tembaga dalam pupuk kandang sebesar 2 – 172 mg/kg, kompos mengandung tembaga 13 -

3.580 mg/kg dan konsentrasi tembaga pada kapur 2 – 125 mg/kg.

Di samping itu penggunaan pestisida kimia juga berkontribusi terhadap residu logam

Cu pada umbi bawang putih. Erfandi dan Juarsah (2014) mengungkapkan pestisida yang

digunakan cukup luas di bidang pertanian danhortikultura memiliki kandungan logam berat.

Di Inggris misalnya sekitar 10 % pestisida mengandung senyawa Cu, Hg, Mn, Pb, atau Zn.

Page 408: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

389

Sebagai contohpestisida seperti fungisida yang mengandung tembaga seperti

campuranBordeaux (tembaga sulfat) dan tembaga oksiklorida (Jones dan Jarvis, 1981dalam

Erfandi dan Juarsah, 2014).

Residu pestisida pada umbi bawang putih

Residu organofosfat dengan bahan aktif klorpirifos, diazinon dan malation pada

petak rekomendasi relatif lebih tinggi dibanding petak petani, namun untuk bahan aktif

profenofos, metidation, dan paration pada petak rekomendasi dibawah batas minimum

deteksi alat (Tabel 3). Residu piretroid (alfasipermetrin dan lamdasihalotrin) pada petak

rekomendasi lebih tinggi daripada petak petani, sedangkan residu deltametrin di petak

petani lebih tinggi dari petak rekomendasi. Hal ini diduga residu pestisida telah

terakumulasi dalam tanah pada sistem usaha tani sebelumnya yang terserap oleh tanaman,

mengingat pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) pada petak rekomendasi

dan petak petani diperlakukan sama. Pestisida dapat terbawa angin pada saat penyemprotan

dan menempel pada selain tanaman sasaran. Menurut Winarti dan Miskiyah (2010) dalam

Iriyani et al. (2014), residu pestisida dalam hasil tanaman berupa umbi, dapat berasal dari

pestisida yang terpapar langsung pada produk atau terserap dari dalam tanah.

Tabel 3. Hasil analisis residu insektisida dalam umbi bawang putih

Golongan Bahan Aktif

Petak

Rekomendasi

(mg/kg)

Petak Existing

Petani (mg/kg)

Limited of

Detection

(LoD) (mg/kg)

Organofosfat

(Gas

Chromatography)

Klorpirifos 0,5548 0,3199 0,0014

Profenofos < LoD 0,0162 0,0034

Diazinon 7,4914 2,8002 0,0027

Fenitrotion 0,0607 0,0890 0,0020

Malation 0,0390 0,0377 0,0029

Metidation < LoD < LoD 0,0034

Paration < LoD < LoD 0,0034

Piretroid

(Gas

Chromatography)

Alfasipermetrin 0,0156 0,0116 -

Lamdasihalotrin 0,0218 0,0097 -

Deltametrin 0,0007 0,0015 -

Sumber : Hasil analisis laboratorium

Batas maksimum residu (BMR) pestisida pada hasil pertanian (SNI 7331 : 2008)

khususnya bawang putih untuk beberapa bahan aktif (klorpirifos, profenofos, diazinon,

fenitrotion, metidation, lamdasihalotrin, deltametrin) belum ditetapkan. Residu organofosfat

(malation dan paration) dan residu piretroid (alfasipermetrin) dalam umbi bawang putih

masih dibawah BMR 0,5 – 0,7 mg/kg pada sayuran umbi (BSN, 2008). Budidaya tanaman

ramah lingkungan yang mengutamakan penggunaan agensia hayati untuk pengendalian

OPT dapat meminimalisasi penggunaan pestisida kimia.

KESIMPULAN

1. Rata-rata kandungan logam berat Pb, Cd dan Cu dalam umbi bawang putih pada

perlakuan dosis pupuk rekomendasi lebih rendah dibandingkan perlakuan dosis pupuk

Page 409: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

390

eksisting petani. Konsentrasi Cd, Pb, dan Cu pada umbi bawang putih hasil petak petani

secara berurutan lebih tinggi 15,7%, 28,9% dan 6,5% dibanding petak rekomendasi.

2. Residu logam Pb dalam umbi bawang putih pada petak rekomendasi dan petak petani

melebihi batas maksimum cemaran dalam sayuran. Budidaya bawang putih ramah

lingkungan dapat menjadi alternatif untuk menekan residu logam berat Pb pada hasil

umbi bawang putih.

3. Konsentrasi residu pestisida golongan organofosfat dan piretroid pada umbi bawang

putih hasil perlakuan dosis pupuk eksisting petani lebih rendah dibandingkan perlakuan

dosis pupuk rekomendasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih yag sebesar-besarnya kepada Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian sebagai penyandang dana, Ir. Tri Reni Prastuti yang telah

membimbing dan mendukung sepenuhnya sebagai penanggungjawab kegiatan Diseminasi

Teknologi Budidaya Bawang Putih Ramah Lingkungan, serta petani kooperator yang

bekerjasama melaksanakan kegiatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, R.A., F. Rachmadiarti, dan Yuliani. 2015. Analisis kadar logam berat Pb dan

pertumbuhan tanaman padi di area persawahan dusun Betas, desa Kapulungan,

Gempol-Pasuruan. LenteraBio 4(3):187–191.

Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 7387 : 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran

logam Berat dalam Pangan. ICS 67.220.20. Jakarta

Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 7331 : 2008 tentang Batas Maksimum Residu

Pestisida pada hasil Pertanian. ICS 65.100.01. Jakarta

Erfandi, D., dan I. Juarsah. 2014. Teknologi pengendalian pencemaran logam berat.

DalamF. Agus, D. Subardja, Y. Soelaeman (eds.). Konservasi Tanah Menghadapi

Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta : IAARD

Press.

Hayati, E. 2010. Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap kandungan logam berat

dalam tanah dan jaringan tanaman selada. J. Floratek 5: 113-123

Hilman, Y., A. Hidayat, dan Suwandi. 1997. Budidaya bawang putih di dataran tinggi.

Monografi No. 7. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

Hindarwati, Y., A. Supriyo, dan R. Nurlaily. 2016. Penerapan pengelolaan tanaman terpadu

(PTT) terhadap kandungan logam berat (Pb, Cu dan Cd) tanah sawah irigasi.

Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Pasca Sarjana:Peningkatan

Kualitas Penelitian untuk Memperkuat Publikasi Internasional. Semarang : FKM

Undip Press.

Iriyani, D., P. Nugrahani, dan P. Sylvi. 2006. Deteksi kandungan logam Pb dan residu

pestisida beberapa jenis sayuran daun pada pertanian peri-urban kota surabaya.

Laporan Penelitian Lanjut Bidang Penelitian Keilmuan. Jurusan Biologi Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Universitas Terbuka.

Page 410: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

391

Kementerian Pertanian. 2015. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2014. (Editor. A

Promosiana dan H.D. Atmojo). Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian

Pertanian. Jakarta. Hal. 286.

Kusumaningrum, H.P., Herusogondo, M. Zaenuri, dan B. Raharjo. 2012. Analisis

kandungan kadmium (Cd) dalam tanamanb bawang merah dari Tegal. Jurnal Sains

dan Matematika 20(4): 98-102.

Prastuti, T.R., Samijan, T.C. Mardiyanto, R. Nurlaily, S. Putrasameja, Sudaryono, dan

Slamet. 2015. Diseminasi teknologi budidaya bawang putih ramah lingkungan di

Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Laporan Akhir Kegiatan KKP3SL 2015.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Ungaran.

Prayudi, B., Samijan, R. Pangestuti, T.R. Prastuti, R. Endrasari, R. Nurlaily, R.K.

Jatuningtyas, Nurhalim, dan Slamet. 2014. Perbaikan rakitan teknologi sistem

usahatani berbasis bawang putih/ bawang merah ramah lingkungan di Jawa Tengah.

Laporan Akhir Tahun 2014. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

Setyorini, D., Soeparto, dan Sulaeman. 2003. Kadar logam berat dalam pupuk. Prosiding

Seminar Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Produk Pertanian:

Pertanian Produktif Ramah Lingkungan Mendukung Ketahanan dan Keamanan

Pangan. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Simanjuntak, J., H. Hanum, dan A. Rauf. 2015. Ketersediaan hara fosfor dan logam berat

kadmium pada tanah ultisol akibat pemberian fosfat alam dan pupuk kandang

kambing serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung

(Zea mays L.). Jurnal Online Agroekoteknologi 3(2): 499-506, diakses dari

www.usu.ac.id

Sudaryono, 2011. Pengaruh pupuk hayati terhadap penyerapan logam berat tembaga dan

timbal pada tanaman baby corn. JRL 7(3): 295-305.

Widaningrum, Miskiyah, dan Suismono. 2007. Bahaya kontaminasi logam berat dalam

sayuran dan alternatif pencegahan cemarannya. Buletin Teknologi Pascapanen

Pertanian3: 16-27. Diakses

http://pascapanen.litbang.pertanian.go.id/assets/media/publikasi/bulletin/2007_3.pdf

Page 411: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

392

Page 412: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

393

PAKET TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN UNTUK MENGURANGI RESIDU PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH

Sutardi BPTP Yogyakarta; Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Karangsari, Wedomartani, Ngemplak,

Sleman,Yogyakarta ; [email protected]

Abstrak. Tujuan kajian untuk menerapkan model budidaya bawang merah ramah

lingkungan dalam menekan residu pestisida. Kajian dilaksanakan pada in-season (April –

Agustus) 2016 di sentra bawang merah pada lahan sawah tadah hujan. Metode kajian

secara on farm research melalui demplot seluas 0,5 ha dengan melibatkan 12 petani di

kelompok tani ”Ngudi Makmur” Dusun Samiran, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek,

Kabupaten Bantul. Sistem budidaya bawang merah dengan penerapan GAP (Good

Agricultural Practices) dan SOP (Standard Operational Procedure). Data pengamatan

meliputi hasil tangkapan insek, agronomi dan residu perstisida golongan organofosfat.

Hasil kajian menunjukkan bahwa likat kuning,hijau,merah, putih dan light trap tenaga

surya trap insek sangat efektif diikuti Feroman E-xi terhadap ngegat jantan ulat bawang.

Penggunaan insektisida dapat ditekan sebasar 65-70%. Sedangkan risedu sintektik pestisida

sintetik golongan Organofasfat dibawah maksimun risedu (<BMR) seperti Diazinon,

Fenitrotion, Metidation, Malation, Klorpirifos dan Paration sebaliknya pola petani residu

pestisidanya melebihi BMR (SNI 7313:2008). Produksi umbi dapat mencapai 9-13 t/ha

didukung harga jual 23 ribu/kg layak secara ekonomi, sehingga paket teknologi bawang

merah pada lahan sawah tadah hujan dapat dikembangkan dan direplikasikan di

agroekosistem yang hampir sama.

Kata kunci:Bawang merah,ramah lingkungan, trap insek, Organofosfat.

Abstract.The objective of the study is to apply an environmentally friendly shallot in

suppressing pesticide residues. This research was was conducted in in-season (April-

August 2016 on rainfed lowland. Experimental design used was farm research through

demplot area of 0.5 ha involving 12 farmers in the farmer group "Ngudi Makmur" Dusun

Samiran, Parangtritis Village, Kretek District, Bantul Regency. The treatments were

technology package of shallot system with the application of GAP (Good Agricultural

Practices) and SOP (Standard Operational Procedure). Observation data include catches of

insect, agronomy and organophosphate group residue residue. The results showed that use

of yellow, green, red, white and light trap lights of solar trap to insects are very effective

followed by Feroman E-xi against Spodoptera Exygua. The use of insecticides can be

suppressed as much as 65-70%. The synthetic pepticides of organophasphate group under

maximum residue (MRLs) such as Diazinon, Fenitrotion, Metidation, Malation,

Chorpyrifos and Paration reverse compared farmers pattern above (>MRLs) SNI 7313:

2008. Production shallot bulbs can reach 9-13 t / ha supported by selling price of 23

thousand kg economically feasible, so the package of shallot technology in rainfed lowland

area can be developed and replicated in the same agro-ecosystem.

Keyword: Shallot, eco- friendly, trap insect, organophosphate

40

Page 413: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

394

PENDAHULUAN

Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikulturaunggulan yang sudah

sejak lama diusahakan petani secara intensif. Budidaya bawang merah mengalami risiko

saat berada di pertanaman, di antaranya kerusakan serangan organisme pengganggu

tumbuhan (OPT). OPT yang berpotensi menyebabkan kehilangan hasil pada tanaman

bawang merah diantaranya ulat bawang (Spodoptera exigua), lalat pengorok daun,

thrips,orong – orong (anjing tanah), penyakit trotol (bercak ungu), penyakit antraknosa,

penyakit layu fusarium (moler), penyakit embun tepung dan virus mosaik bawang. Bawang

merah merupakan komoditas hortikultura yang memiliki banyak manfaat dan bernilai

ekonomis tinggi serta mempunyai prospek pasar yang menarik, namum perkembangannya

mengalami staknasi baik produksinya dan harga. Selama ini harga bawang merah,

berfluktuasi tinggi di musim tertentu. Solusi yang harus dilakukan adalah penyediaan

produksi bawang merah secara kontinuitas produksi baik Off-season yang adaptif, ramah

lingkungan dan menguntungkan. Penerapan teknologi off-season yang pentingnya harus

dilakukan secara titen dan telaten serta ulet sehingga tetap panen saat on-season secara

optimal (Sutardi et al., 2016).

Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan pendekatan ekologis yang

bersifat multidisiplin dengan memanfaatkan beragam taktik pengendalian OPT yang

kompatibel dalam suatu koordinasi pengelolaan OPT. Pelaksanaan PHT dilaksanakan sejak

perencanaan tanam sampai pascapanen, termasuk pemilihan lahan, benih, pemeliharaan

tanaman, pengamatan OPT, keputusan pengendalian, panen dan penanganan pascapanen.

Sementara prinsip PHT didasari oleh empat prinsip, budidaya tanaman sehat, pemanfaatan

musuh alami, pengamatan rutin dan melatih petani sebagai ahli PHT merupakan hal yang

wajib dilaksanakan semuanya.

Perlakuan benih bawang merah diperlukan untuk mencegah serangan penyakit layu

fusarium dengan cara setiap 100 kg benih bawang ditaburi dengan fungisida Mankozeb

sebanyak 100 gram atau perendaman benih pada air hangat suhu 40-45OC dan PGPR

sebelum ditanam. Benih bawang merah setelah ditaburi fungisida disimpan dalam karung

plastik selama 1 – 2 hari sebelum tanam.Pemasangan lampu perangkap lampu tenaga

surya dilakukan pada waktu malam hari (pukul 18.00 - 24.00) cukup efektif untuk

memerangkap hama ulat bawang S. exigua. Untukmengendalikan populasi trips, kutudaun,

kutu kebul, dan tungau digunakan perangkap likat warna kuning, hijau, putih dan merah

model botol sebanyak 40-45 titik atau buah/ha. Alat perangkap tersebut dipasang dua

minggu sebelum tanam. Untuk mengendalikan hama ngengat ulat bawang (S. exigua)

dipasang perangkap sex feromon (Feromon-Exi) sebanyak 15-20 buah/ha. Ambang kendali

S.exigua adalah ≥ 10 ekor/perangkap/ hari dapat mengurangi penggunaan insektisida

sebesar 35,71%. Hasil panen sebesar 13,46 ton/ha setara dengan penggunaan insektisida 2

kali/minggu. Tanaman border berupa tanaman jagung yang ditanam 2-3 baris dengan jarak

tanam 10 cm x 20 cm berfungsi untuk mencegah invasi serangga hama pengisap dan

sebagai tempat berbiak musuh alami (Beta Enews Com. 2017)

Adanya residu pestisida selama ini lebih banyak ditemukan pada tanaman sayuran

dibandingkan pada buah (Jiang et al., 2003, Miskiyah & Munarso, 2009). Penggunaan

Page 414: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

395

pestisida masih menjadi pilihan utamasebagian besar petani karena mudah digunakan,

efektifitasnya dan daya kerjanya cepat sehingga dianggap lebih menguntungkan untuk

menekan kehilangan hasil sebelum dan sesudah panen (Gonzales et al., 2007).Paket

teknologi budidaya dan pengendalian OPT bawang merah ramah lingkungan menjadi

komponen utama serta dapat dijadikan acuan dalam budidaya bawang merah. Selanjunya

untuk membuktikan keamanan pangan dilakukan analisa residu pestisida terutama

insektisida sering digunakan yaitu golongan organofasfat. Acuan dalam keamanan pangan

batas maksimum residu yang ditetapkan sesuai dengan SNI. Adaptasi dan mitigasi dampak

perubahan iklim dilakukan pada dua agroekosistem lahan sawah tadah hujan dan lahan

pasir pantai selatan D.I.Yogyakarta. Dalam makalah ini dibahas model paket teknologi

budidaya bawang merah ramah lingkungan dibawah ambang residu maksimum pestisida

(<BMR).

METODOLOGI

Bahan dan alat

Bahan-bahan pendukung budidaya seperti benih, pupuk organik dan anorganik,

perangkap lampu, Feromon-Exi, likat kuning, biru dan putih, agensi hayati, mulsa palstik

hitam perak serta peralatan seperti mesin olah tanah (cultivator), tanaman border (jagung),

bambu, serta bahan lain digunakan untuk pelaksanaan kegiatan demplot . Sedangkan

peralatan sekolah lapang seperti alat tulis dan buku, LCD yang akan digunakan pada

kegiatan sekolah lapang dan field trip (studi banding) antar kelompok.

Pendekatan

Penerapan sistem operasional prosedur (SOP) klaster bawang merah ramah

lingkungan dilaksanakan sebagai upaya untuk mendukung program pemerintah dalam

produksi penyedian kontinuitas stok bawang merah baik pada musimnya dan di luar musim

yang memicu terjadinya inflasi secara nasional, khususnya di wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta. Solusi untuk mengurangi senjang harga, tingginya biaya produksi penggunaan

pestisida berlebihan, tenaga kerja kurang dan mahal serta sistem pemasaran belum berpihak

pada petani, sehingga pendapatan petani masih rendah dan dirugikan. Penerapan klaster

budidaya bawang merah ramah lingkungan pada on-season ramah lingkungan sawah dan

lahan pasir dilakukan melalui pendekatan agroekosistem, pemberdayaan petani, kelompok

dan partisipatif aktif penyuluh pertanian, POPT, Aparat Desa dan Dinas terkait.

Ruang Lingkup Kegiatan

Tahap utama kegiatan penerapan SOP klaster bawang merah off-season dan on-

season ramah lingkungan ini adalah untuk melakukan koordinasi antar instansi dan

integrasi antara peneliti, PPL pendamping maupun anggota dan kelompok tani sebagai

pengguna teknologi. Kegiatan hampir seluruhnya dilakukan di lapangan berupa penerapan

produksi bawang merah ramah lingkungan serta analisis residu pestisida dengan introduksi

teknologi tepat guna dalam rangka membantu permasalahan petani.

Penerapan SOP klaster bawang merah ramah lingkungan dilakukan di lokasi yang

berbeda agroekosistem lahan sawah di kelompok tani Ngudi Makmur, Desa Parangtritis,

Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul. Pelaksanaan kegiatan melalui demplot seluas 0,5

Page 415: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

396

hektar pada waktu agroekosistem sawah tadah hujan padabulan Juni – September 2016 .

Prosedur pelaksanaan demplot :

1. Penyusunan rancangan demplot sesuai dengan hasil SOP 2015-2016

2. Penentuan CPCL (calon petani calon lokasi) pelaksana demplot sesuai dengan

kesepakatan kewajiaban dan haknya

3. Koordinasi tim dan penentuan lokasi demplot sesuai dengan persetujuan

kesepakatan.

4. Pertemuan rutin dan pelaksanaan SOP teknik budidaya bawang merah sawah

tadah hujan yang ramah lingkungan dan yang didukung analisis residu pestisida

setelah panen (Tabel 1).

Tabel 1. Paket teknik produksi budidaya bawang merah on-season lahan sawah ramah

lingkungan

No Komponen

Teknologi

Penerapan Teknologi

Lahan Sawah

1 Varietas Crok Kuning

2 Perlakuan benih Peredaman air hangat (45 -50 0C) selama 15 -30 menit + PGPR

(Plant Growth Promoting Rhizobacter)

3 Jumlah

benih/ukuran

0.75 – 1 t/ha (ukuran benih 3-5 g/umbi)

4 Pengolahan tanah Mesin hand traktor dilanjutkan Cultivator

5 Mulsa Pastik

(MPHP)

MPHP (mulsa plastic hitam perak) 15 rol/ha

6 Ukuran bedeng Lebar 1 m sistem ganda dalam parit 20 cm dan 50 cm bentuk

cekung/datar

7 Cara tanam Benih dipenges 1/3 bagian kemudian direndam baru ditanam

dimasukan sedalam umbi sehingga sejajar dengan permukaan

tanah.

8 Jarak Tanam 20 x 20 cm

9 Pemeliharaan Penyiraman dilakukan pagi (sebelum matahari terbit) dan siang

hari tergantung curah hujan

10 Rekomendasi Paket

Teknologi

Pemupukan hasil

terbaik tahun 2015

Pupuk organic 5 t/ha, Urea 100, Za 250, SP-36 150 dan KCl 150

kg/ha, waktu aplikasi 2 kali, pupuk 60 % sebelum tanam dan

umur 15 hst (40%), caranya dibenamkan dicampur dengan pupuk

organic (4 tepat) + Intoduksi Teknologi Nano

11 PHT (Pengendalian

Hama Terpadu)

PHT (Feromon Exi, Perangkap Lampu, Likat 10 titik/ha

Kuning/putih/hijau, agensi hayati, pestisida nabati, dan pestisida

kimia terbatas)

12 Umur panen dan

pasca panen

70 Hst, dengan rendemen umbi >95 %, leher akar sudah gembos,

tanaman >90 sudah roboh dan warna umbi cerah, rendemen umbi

>95%

Sumber: Paket teknologi BPTP Yogyakarta

Peubah pengamatan meliputi data karakteristik lahan, petani demplot dan respon

serta agronomi berdasarkan hasil ubinan masing-masing petani. Peubah meliputi keragaan

agronomis yaitu produksi dan hasil trap OPT. Data sosial ekonomi mencangkup

Page 416: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

397

karakterisasi petani, pola tanam dan respon petani serta data ekonomi yaitu input dan

output usahatani dianalisis kelayakan usaha taninya dengan B/C ratio dihitung

menggunakan metoda input-output. Data residu pestisida golongan organofosfat pada umbi

bawang merah secara komposit diambil setiap petani saat panen. Pengujian kandungan

residu pertisida golongan organofasfat dilakukan di Laboratorium Pengujian, Balai

Penelitian Lingkungan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakenan, Pati, Jawa Tengah.

Sampel umbi bawang merah segar diblender dan ditimbang sebanyak 25 g, ditambahkan

dengan 100 ml aseton kemudian dihomogenkan selama 20 menit dengan kecepatan 100

rpm. Sampel disaring kemudian dievaporasi hingga 1 ml. Hasil evaporasi ditambah dengan

heksan 50 ml secara bertahap kemudian dimurnikan dengan melewatkan sampel pada

kolom kromotografi. Hasil pemurnian dievaporasi hingga 1 ml, ditambahkan aseton hingga

10 ml dan sampel siap diderivatisasi. Ekstrak dimasukan ke dalam labu bundar ditambah

dengan aseton 20 ml, kemudian dievaporasi hingga 1 ml. Tambahkan aquades 100ml,

masukan FDNB 6% 1 ml ditambah KOH 0,5N 2 ml dan dikocok selama 20 menit .

Selanjutnya ditambahkan borax 5% sebanyak 10 ml lalu dipanaskan dengan penangas air

800°C selama 20 menit kemudian didinginkan dalam bak yang berisi air pendingin. Setelah

itu ekstrak dimasukan ke dalam cawan pisah ditambahkan 10 ml campuran n-heksan dan

petroleum eter, dikocok selama 3 menit kemudian disaring dengan kertas saring Na2SO4.

Ekstrak diinjeksi ke Gas Cromathography (GC). Hasil pengujian ekstrak pada kolom GC

berupa kromatogram kemudian dibandingan dengan larutan standar untuk menentukan jenis

dan jumlah residu pestisida pada tiap sampel. Data nilai kandungan residu dibandingkan

dengan Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida yang ditetapkan berdasarkan SKB

Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No. 881/MENKES/SKB/ VIII/1996 dan No.

711/Kpts/TP270/8/96, dan Peraturan Menteri Pertanian no.27/ Permentan/PP.340/5/2009.

Data dianalisis secara statistik deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisitik Biofisik Tanah

Lokasi pengkajian merupakan lahan sawah tadah hujan yang ketersediaan airnya

selain bergantung pada air hujan juga berasal dari air sumur bawah tanah dangkal, sehingga

berkembang sumur pantek. Volume dan daya jangkau air tanah ini tergolong dangkal (3-

5m) air dipompa kemudian digunakan untuk penyiraman menggunakan selang ujungnya

disambung sover atau manual dengan ember dan dialirkan melalui selokan.

Pemanfaatannya melalui pompa-pompa air oleh petani yang berskala 3-4.5 HP hanya

mampu mengairi sekitar 1000–2000 m2. Lahan sawah tadah hujan Dusun Samiran, Desa

Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul merupakan daerah beriklim kering

dengan bulan basah hanya 4 bulan, 5-7 kering, 1-2 lembah. sekitar 3–5 bulan/tahun dengan

rata-rata curah hujan 397,3 mm/tahun, dan suhu rata-rata 29 oC – 34 oC, walaupun pada

tahun 2015 suhu rata tertinggi mencapai 38-42oC, diikuti terjadi periode kering yang cukup

panjang antara 5-6 bulan/tahun, bahkan pada tahun 2008, 2010, 2015 periode kering mulai

bulan Mei sampai awal Desember bahkan Januari. Umumnya Kecamatan Kretek,

Kabupaten Bantul didominasi oleh iklim C dan D, sedangkan desa Parangtritis lokasi

demplot memiliki wilayah pertanian dengan iklim C (Puslitanah, 2004).

Page 417: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

398

Kandungan C-organik masih kategori sangat rendah (<1 %), akan tetapi KTK tinggi

dan Kejunuhan Basa sedang (Tabel 2). Sehingga input pemberian bahan organik dapat

mengubah komposisi fraksi liat, debu dan di tanah lahan sawah, sehingga berdampak pada

perubahan tata udara, padatan dan air.

Tabel 2. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah lahan demplot bawang merah, di Desa

Parangtritis, Kecamatan Kretek, Bantul, 2016

No Uraian/satuan Nilai Kriteria

1 Tektur (%)

Pasir (%) 6,99 Liat berdebu

Debu (%) 25,76

Liat (%) 66,25

2 pH (H20) (%) 5,3-6,6 Agak Asam

3 C-organik (%) 1,2 Sangat Rendah

4 N total (%) 0,41 Sangat rendah

5 P2O5 (mg/100 g) 89 Sangat tinggi

6 K2O (mg/100 g) 15 Sedang

7 KTK (cmol (+)kg-1 17,8 Tinggi

8 Kejenuhan basa (%) 100 Sedang

Keterangan: Analisis tanah dilakukan di Laboratorium BPTP Yogyakarta.

Karakterisitik Petani Demplot Bawang Merah

Karakteristik petani bawang merah dapat dilihat pada Tabel 3. Identitas petani

bawang merah dibedakan menurut umur, pendidikan, partisipasi anggota keluarga dalam

usahatani, jumlah anggota keluarga dalam usahatani, dan pengalaman berusahatani bawang

merah. Tingkat pendidikan petani responden di lokasi pengkajian rata-rata sembilan tahun

atau setara dengan sekolah lanjutan tingkat petama (SLTP) dan pada umumnya lancar

membaca dan menulis. Rata-rata umur petani responden 49 tahun dengan pengalaman

berusaha tani 8 tahun pada lahan pasir, walaupun beberapa petani 10-18 tahun. Rata-rata

umur petani masih tergolong usia produktif. Hal tersebut merupakan salah satu faktor

pendukung dalam pengembangan usahatani. Pemilikan lahan tergolong sempit, tetapi

intensitas penanaman dalam setahun cukup intensif IP mencapai 300 - 400 tergantung

umur tanaman. Hasil karakterisasi dan respon terhadap komponen teknologi budidaya

bawang merah tertera pada Tabel 3.

Pola Tanam dan Sistem Usahatani Bawang Merah di lahan sawah tadah hujan

Pola tanam (Gambar 1) sudah ada kesepakatan dibuat oleh kelompok tani, sehingga

tidak hanya ditentukan oleh kondisi iklim terutama curah hujan atau ketersediaan air pada

saat dibutuhkan termasuk angin kencang atau uap garam laut menjadi pertimbangan. Pada

pertanaman bawang merah di lahan sawah tadah hujan pantai Parangtritis, Kretek, Bantul

tidak pernah mengalami kekurangan air, akan tetapi serangan ulat bawang pada musim

kering Bulan Agustus dan September umumnya terjadi pada periode pembentukan umbi

sehingga dapat menurunkan produksi dan kegagalan. Pembentukan umbi merupakan

periode kritis bagi tanaman bawang merah. Pola tanam utama dilaksanakan pada lahan

Page 418: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

399

sawah tadah hujan adalah: Padi - bawang merah/- Cabai Merah -bawang merah

tumpangsari cabai merah sehingga lahan pasir IP dapat mencapai 400%. Pola tanam

tersebut bawang merah dua kali tanam yaitu Desember –Pebruari (off-season) dan (on-

season) Maret- Juni – September (Gambar 1).

Tabel 3. Rekapitulasi Karakterisitik dan Adopsi Respon Petani

No Uraian Rata-rata (n = 30)

(%)

1 Umur (tahun) 49,55

2 Pendidikan (tahun) 10,52

3 Pengalaman berusahatani (tahun) lahan sawah tadah hujan

(%)

28.78

4 Jumlah anggota keluarga (jiwa) 4.03

5 Partisipasi anggota keluarga dalam usahatani (jiwa) 1.97

6 Kendala Tanam Bawang Merah di Lahan sawah tadah hujan

7 Pupuk organic banyak (%) 100

8 Pembuatan bedengan awal tanam setelah padi (%) 100

9 Harga binih mahal dan harga panen berfluktuasi (%) 100

10 Penyiraman pagi hari (%) 100

11 OPT (Ulat bawang, Virus, Bakteri) (%) 100

12 Luas lahan yang ditanami bawang merah (ha) 0.004-0.3

13 Alasan berusahatani bawang merah sawah tadah hujan (%)

14 - Menguntungkan (%) 100

15 - Umur pendek (%) 100

16 - Rotasi tanaman (%) 100

17 - Produksinya tinggi (%) 100

Page 419: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

400

Gambar 1. Pola Tanam dan Sistem Usahatani Bawang Merah di lahan sawah tadah hujan

Keragaan Agronomi Bawang Merah

Beberapa kendala dihadapi petani antara lain adalah biaya pembelian benih, pupuk

organik, biaya penyiraman dan tingginya serangan hama terutama Ulat Grayak

(Spodoptera exiqua) pada musim kemarau. Tiga VUB bawang merah rekomendasi BPTP

Yogyakarta yaitu varietas Tiron Bantul, Porbolinggo, Bauji, Bima dan Crok Kuning serta

introduksi Thailan atau Tajuk dari BPTP Jawa Timur berkembang baik pada lahan sawah

tadah hujan.

Hama dan Penyakit

Hama dan penyakit yang dijumpai pada tanaman bawang merah di lahan tadah hujan

adalah hama ulat grayak (S. exiqua) dan Thrips, penyakit trotol atau bercak ungu (A. porri),

dan layu Fusarium (Fusarium oxysporum), namun intesnitas sangat rendah. Hal ini

dikarenakan sebelum dua minggu tanam bawang pengendalian OPT tersebut dilakukan

pengolahan pupuk organik + agensi hayati, pemasangan trap likat kuning, hijau dan putih

(45 titik/ha), Feromon Exi (10 titik/ha) dan light trap tenaga surya (10 titik/ha).

Pengendalian pestisida apabila diperlukan. Teknik pengendalian OPT dengan pestisida

dilakukan sore hari jam (17.00 – 19.00), sehingga akan lebih efektif dibandingkan waktu

siang hari. Dari pengamatan di lapang ditemukan bahwa populasi hama bawang merah

yang dominan yaitu hama ulat grayak (S. exiqua) dengan tingkat populasi mencapai <1

ekor/tanaman sampai menjelang panen. Pengendalian oleh petani ulat bawang dengan

pestisida dilakukan tiga hari sekali, sehingga jumlahnya 10-15 kali sampai umur panen,

sebaliknya demplot pengendalian dengan pestisida hanya dilakukan sebanyak 3-5 kali.

Ambang kendali untuk hama S.exiqua adalah antara 5–10 ekor/tanaman. Rendahnya

perkembangan ulat bawang diduga akibat pengaruh efektivitas Ferromon E-xi, yang dapat

menangkap ngegat jantan cukup tinggi >50 ekor/titik. Pemasangan perangkap ikat kuning,

Page 420: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

401

hijau, putih, ferromon Exi, light trap cukup efektif untuk mengendalian serangga hama

sehingga penggunaan insektisida kimiawi sangat berkurang. Terbukti frekuensi

penyemprotan insektisida pada petani demplot hanya 3-5 kali. Jenis serangga hama yang

dapat ditangkap dengan menggunakan perangkap kuning, hijau dan putih dapat dilihat pada

Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah serangga yang tertangkap pada beberapa model perangkap

Jenis serangga (Ordo)

Jumlah serangga yang tertangkap pada jenis perangkap (ekor)

Likat kuning Likat Hijau Likat putih Total

Diptera (lalat) 8.533 9.481 33.186 51.201

Thysanotera (Thrips) 75.854 88.180 43.616 207.651

Hymenoptera (Lebah) 0 0 3.792 3.792

Hemiptera (Kutu) 11.378 0 0 11.378

Coleoptera (Kumbang) 0 0 0 0

Lepidoptera (Kupu) 0 0 0 0

Acharina (Tunggo) 5.689 16.119 32.238 54.046

Keterangan : Masing-masing 15 buah likat kuning model botol selama 60 hst

Dari tabel 4 terlihat bahwa perangkap likat hijau dan kuning cukup efektif untuk

menangkap hama thrips yang menyerang tanaman bawang merah. Hasil trap Ferromon Exi,

light trap hasil tangkapannya cukup banyak, sehingga tampak cukup efektif dalam

pengendalian OPT ramah lingkungan (Tabel 5 dan 6) dengan rata-rata per titiknya 24,6

ekor hasil tangkapanya.

Tabel 5. Jenis dan jumlah serangga yang tertangkap dengan menggunakan Feromon E-xi

selama 60 hari.

Jenis serangga yang tertangkap Jumlah serangga

(ekor) Rata-rata/ buah

Ngengat Ulat Bawang (S.

Exigua) 245 24.6

Lebah (Hymenopter) 84 8.4

Pengisap (Hemiptera) 530 53

Keterangan : 10 buah/ha

Berdasarkan hasil pengamatan oleh Siregar et al. (2014) melaporkan bahwa

bahwa jumlah serangga yang tertangkap dengan menggunakan berbagai perangkap pada

pertanaman padi pada lahan kampung susuk adalah sebanyak 6 ordo yang terdiri dari 7

family dengan jumlah populasi serangga sebesar 69 ekor. Jumlah serangga yang paling

banyak dari family Gomphydae sebesar 17 ekor, diikuti oleh family Papilionidae sebesar 12

ekor, setelah itu disusul oleh family Muscidae sebesar 11 ekor dan family Coccinelidae

sebesar 11 ekor.

Page 421: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

402

Serangga yang tertangkap pada pertanaman padi yang paling banyak adalah family

Gomphydae. Hal ini diduga karena family Gomphydae merupakan hama yang terdapat

pada pertanaman padi tersebut. Dari 5 x pengamatan, jumlah serangga yang paling banyak

tertangkap terdapat pada pengamatan ke-4 sebanyak 16 ekor, sedangkan yang terendah

terdapat pada pengamatan ke-3 sebesar 8 ekor. Jumlah serangga yang paling banyak dari

family Aphididae sebesar 64 ekor, diikuti oleh family Coccinelidae sebesar 32 ekor, setelah

itu disusul oleh family Gomphydae sebesar 27 ekor dan family Blattelidae sebesar 13 ekor.

Salah satu bentuk pengendalian hayati yaitu light trap. Light trap sudah diterapkan di

pertanian untuk menurunkan serangan OPT. Penggunaan cahaya lampu dalam

mengendalikan hama berdasarkan fotorespon serangga nokturnal terhadap cahaya. Menurut

Shimoda & Honda (2013) cahaya kuning pada lampu efektif mengendalikan aktivitas moth.

Namun cahaya lampu menggunakan lampu warna VU (ultra violet) hasil trap terjantum

pada Tabel 6.

Oktaviona et al. (2016) hasil penelitian pada tanaman jeruk melaporkan bahwa

serangga yang tertangkap mengunakan lampu terdiri dari 5 ordo, 17 famili, dan 19 genus.

Respon serangga tertinggi pada lampu warna putih pada pengambilan pukul 18.00-19.00

WIB. Distribusi temporal serangga tidak merata pada semua warna lampu.

Tabel 6. Hasil trap ngegat ulat bawang dengan ligth trap tenaga solar selama 60 hari

Jenis seranggga yang tertangkap Jumlah serangga yang

tertangkap

Rata-rata jumlah

serangga

Ngengat Ulat Bawang (S. Exigua) 124 12.4

Parasit /predaktor (Hymenoptera) 84 8.4

Pengisap (Hemiptera) 430 43

Keterangan : light trap 10 buah/ha

Ada hubungan antara suhu dan kelembapan udara dengan rerata cacah individu

serangga yang tertangkap. Selanjunya hasil penelitian oleh Oktaviona et al. (2016) Hasil

Uji BNJ (0,1) pada lampu warna putih menunjukkan waktu pengambilan pukul 18.00-19.00

berbeda nyata dengan pukul 19.00-20.00 dan 20.00-21.00. Waktu pengambilan pukul

18.00-19.00 memiliki respon serangga tertinggi terhadap cahaya lampu warna putih.

Residu Pestisida

Untuk membuktikan bahwa pengendalian ramah lingkungan dengan tujuan

menekan residu pestisida dilakukan uji residu golongan organofasfat (Tabel 6). Pestisida

yang terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian untuk mengendalikan OPT bawang

merah dewasa ini tercatat sebanyak 151 formulasi yang meliputi 74 jenis bahan aktif.

Berdasarkan data dari Balai Proteksi Tanaman Pangan Hortikultura Yogyakarta tercatat

Tahun 2008-2015 pestisida dengan merek dagang Dursban 200EC dan Curacron 500EC

yang merupakan bahan aktif dari pestisida klorpirifos dan profenofos masih digunakan oleh

petani. Namun pestisida ini umumnya digunakan untuk tanaman padi dan bawang merah.

Kurangnya pengetahuan petani tentang bahaya dari penggunaan pestisida yang tidak sesuai

Page 422: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

403

dengan dosis dan konsentrasi yang dianjurkan juga menjadi salah satu faktor terjadinya

residu pestisida pada sayuran.

Pengendalian OPT bawang merah ramah lingkungan dengan perangkap lampu, likat

kuning, likat hijau dan likat putih sebelumnya tidak banyak diterapkan oleh petani bawang

merah di lahan sawah Parangtritis, Kretek, Bantul. Selama dua tahun dilakakukan

introduksi pengendalian OPT ramah lingkungan petani merasa sangat dibantu karena dua

kali panen hasilnya sangat memuaskan. Hasil penangkapan insek pada berbagai pola

menunjukkan cukup efektif sehingga frekuensi penggunaan pestisida dapat ditekan

serendah-rendanya. Ini terbukti bahwa hasil analisis residu pestisida golongan organofosfat

rata-rata hasilnya di bawah BMR yang dianjurkan Tabel 6. Berdasarkan hasil penelitian

Srigading, Sanden, Bantul ditemukan kisaran kadar residu pestisida pada sampel bawang

merah untuk -sipermetrin (98,8-245,6 ppb) dan sihalotrin (14,4-120,0 ppb). Konsentrasi

residu pestisida dalam sampel bawang merah melebihi BMR, yang sangat berbahaya bagi

kesehatan manusia karena bersifat toksik dan karsinogenik (Narwanti et al., 2012).

Tabel 7. Hasil analsis residu pestisida golongan Organofasfat

Jenis insektisida Lahan Sawah

(mg/kg)

BMR

(Batas Maksimal

Residu)

Keterangan

Diazinon 0,196 0,05 >BMR

Fenitrotion 0,050 0,05 < BMR

Metidation 0,074 0,1 < BMR

Malation 0,092 1 <BMR

Klorpirifos 0,055 0,1 < BMR

Paration 0,051 0,05 <BMR

Profenofos 0,015 0,1 <BMR

Aplikasi pestisida pada sayuran dapat meninggalkan residu pestisida baikdi

lingkungan maupun sayuran. Residu pestisida di lingkungan maupun sayurantelah banyak

dilaporkan oleh beberapa peneliti. Ohsawa et al. (1985) melaporkan bahwa terdapat residu

deltametrin sebesar 0,15 ppm pada wortel dan 0,01 ppm pada seledri. Di Jawa Tengah,

pada tanaman wortel terdapat residu permetrin sebesar 0,02 ppm (Laksanawati et al.,

1994). Sentra produksi sayuran di beberapa lokasi di Pulau Jawa (1996-2000) terungkap

bahwa di dalam sayuran, tanah dan air irigasi mengandung residu pestisida organoklor,

organofosfat dan karbamat, dimana kadar residu pestisida pada sayuran dataran rendah

bawang merah (di Brebes) dan sayuran datarantinggi ada yang mempunyai kadar residu

melebihi BMR (Batas Maksimum Residu) (Ardiwinata et al., 1999; Harsanti et al., 1999;

Jatmiko et al.,1999).

Page 423: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

404

Analisis usahatani

Berdasarkan analisis ekonomi dengan B/R rasio 1.62 layak secara ekonomi.

Berdasarkan Hasil ubinan dan analisis kelayakan usaha tani produksi umbi per ha 13.608

t/ha harga Rp 23.000/kg, biaya produksi 112 jut/ha, pendapatan Rp 312.999.086/ha,

keuntungan Rp 200.999.086/ha sebagai berikut Tabel 7.

Efisiensi usahatani akan memenuhi syarat jika faktor produksi berpengaruh secara

signifikan dan pemakaiannya pada daerah rasional. Daerah rasional adalah daerah dimana

keuntungan maksimum tercapai dan elastisitas produksinya (koefisien regresi) bernilai

1>Ep>0 (Soekartawi, 2003). Variabel benih mempunyai nilai koefisien regresi sebesar 0,25

merupakan satusatunya variabel yang signifikan dan berada di daerah rasional.

Tabel 8. Keragaan agronomi dan analisis ekonomi berdasarkan hasil ubinan dan harga

pada waktu panen 2016

Keterangan harga jual Rp 23.000/kg, harga benih Rp.50.000/kg

KESIMPULAN

Penerapan perangkap likat kuning, hijau, putih, feromon- exi dan ligth trap solar cel

sangat baik untuk pengendalian opt bawang merah ramah lingkungan.hasil analisis residu

pestisida golongan organofosfat di bawah batas maksimum residu (<BMR) pestisida.

secara ekonomi paket budidaya bawang merah off-season pada lahan sawah tadah hujan

layak dan menguntungkan karena harga jualnya cukup tingggi, walaupun produksinya

terjadi penurunan dikarenakan lingkungan kurang mendukung. Oleh karena itu paket

teknologi tersebut dapat direplikasikan di indonesia pada agroekosistem

SARAN

Efektifitas hasil tangkapan OPT dengan menggunakan trap likat kuning, hijau, putih

model botol dan feromon Exi serta ligth trap tenaga solar cellperlu dikembangkan secara

luas karena hasil residu pestisidanya <BMR aman dikomsumsi serta dampak negatif

pencemaran lingkungan dapat diatasi.

Bobot

Ubinan

Brangkasan

Produksi

Brangkasan

Produksi

Umbi

Biaya

(Rp/ha)Keuntungan

(kg) (kg/ha) kg/ha . 000 . 000

Kamsi 6.25 8.59 7.81 13.738 12.501 287.527.968 112.000. 175.527 1.57

Tukimin 6.25 10.2 9.28 16.32 14.851 341.577.600 112.000. 229.577 2.05

Sujito 2.34 2.63 2.39 11.238 10.227 235.211.131 112.000. 123.211 1.1

Daryanto 6.25 8.7 7.92 13.92 12.667 291.345.600 112.000. 179.345 1.6

Daryono 6.25 11.1 10.1 17.76 16.162 371.716.800 112.000. 259.716 2.32

Darso 6.25 12.57 11.44 20.106 18.296 420.810.208 112.000. 308.81 2.76

Roso 6.25 12.77 11.62 20.426 18.587 427.507.808 112.000. 315.507 2.82

Daryono 6.25 7.13 6.49 11.413 10.386 238.869.904 112.000. 126.869 1.13

Markatak 6.25 6.5 5.92 10.4 9.464 217.672.000 112.000. 105.672 0.94

Badar 6.25 8.76 7.97 14.01 12.749 293.220.928 112.000. 181.22 1.62

Trisumarsini 6.25 10.07 9.16 16.106 14.656 337.090.208 112.000. 225.09 2.01

Nakim 6.25 8.76 7.97 14.016 12.755 293.354.880 112.000. 181.354 1.62

Standar Deviasi 1.13 2.77 2.52 3.288 2.99

Rata-Rata 5.92 8.98 8.17 14.954 13.608 312.992.086 200.992 1.79

B/C rasioNama PetaniLuas

Ubinan (m2)

Bobot

Umbi (kg)

Pendapatan

(Rp/ha)

Page 424: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

405

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih banyak kami ucapkan kepada Kepala Perwakilan Bank Indonesia di

D.I.Yogyakarta Bapak Arief Budi Santoso dan Tim CSR yang telah mendanai dan

kelompok tani Ngudi Makmur (Kretek) telah membantu kajian klaster bawang merah dan

ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residu insektisida di

Jawa Barat. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan

Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Bogor. 91-105.

Beta Enews Com. 2017. Succes Story Pengendalian OPT Utama Bawang Merah secara

Ramah Lingkungan, Diunduh pada

https://www.betaenews.com/Berita/PERTANIAN/Hortikultura/Succes-Story-

Pengendalian-OPT-Utama-Bawang-Merah-secara-Ramah-Lingkungan.html.

Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura Departemen Pertanian RI. 1997. Keputusan

Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Tentang Batas Maksimum

Residu Pestisida pada Hasil Pertanian. Departemen Pertanian RI. Jakarta

Gonzales-Rodriques, R.M., R. Rial-Otero, B. Cancho-Grande, and J. Simal-Gandara. 2007.

Occurrence of fungicide and insecticide residues in trades sampels of leavy

vegetables. J. Foodchem [12 Nopember 2007].

Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu insektisida pada ekosistem

lahan irigasi di Jawa Timur. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah

Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. 119-128.

Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran pestisida pada

agroekosistem lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah. Risalah Seminar

Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di

Lahan Sawah. 106-118.

Jiang, G.H., F. Huo, Y.G. Wang, and H.L. Cao. 2003. Studies on use and residue levels of

pesticides in fruit and vegetable in tianjin area and its controls measures. 37(5):351-

354.

Laksanawati, H., H. Dibyantoro, O.S. Gunawan, R.E. Suriaatmadja, I. Sulatri, dan M.

Suparman. 1994, Deteksi residu pestisida pada wortel dan seledri di beberapa sentra

produksi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Buletin Penelitian Holtikultura. vol 27

(1), 89-97.

Miskiyah dan S.J. Munarso. 2009. Kontaminasi residu pestisida pada cabai merah, selada

dan bawang merah (Studi Kasus di Bandungan dan Brebes Jawa Tengah serta

Cianjur jawa Barat). J. Hort. 19 (1): 75-88.

Narwanti, I., Eko Sugiharto, dan C. Anwar. 2012. Residu pestisida piretroid pada bawang

merah di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. Jurnal Ilmiah

Kefarmasian, 2(2): 119-128.

Ohsawa, K., S. Hartati, S. Nugrahati, H. Sastrohamidjoyo, K. Untung, N. Arya, K.

Sumiarta, dan S. Kuwatsuka. 1985. Residue analysis of organochlorine and

organophosphorus pesticides in soil, water, and vegetables from Central Java and

Bali. Ecol./impact of IPM in Indonesia, 59-70.

Page 425: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

406

Oktaviona, L., Agus Dharmawan, dan S.E. Rahayu. 2016. Preferensi serangga nokturnal

terhadap warna lampu light trap di Kebun Jeruk Siem. http://jurnal-

online.um.ac.id/data/artikel/artikelC3A5DCBCC31B0A78A9A851488CE4EAA4.pd

f di uduh tanggal 10 Oktober 2017.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1994. Survei Tanah Detail di Sebagian

WilayahD.I. Yogyakarta (skala 1 : 50.000). Proyek LREP II Part C. Puslittanak.

Bogor.

Shimoda, M., and K.I. Honda. 2013. Review: insect reaction to light and its applications to

pest management. Springer. APPL entomol. Zool., (48): 413-421.

Siregar, S.A, Darma Bakti dan F. Zahara. 2014. Keanekaragaman jenis serangga di

berbagai tipe lahan sawah. Jurnal Online Agroekoteknologi 2(4): 1640 – 1647.

Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Khusus Analisis Fungsi

Cobb – Douglass. Jakarta : PT. Rja Graffindo

Sutardi , Sarjiman dan Budiono. 2001. Uji adaptasi kultivar bawang merah pada musim

hujan dan kemarau di Propinsi D.I Yogyakarta. Prosiding Seminar Usaha

Peningkatan Ketahanan Pangan di Jawa Tengah.Semarang 15 Nopember 2000.

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi . Badan Litbang Pertanian. Hal 8 – 93.

Sutardi, Arlyna Budi Pustika, Murwati, Mulyadi, Nugroho Siswanto, Sutarno dan Sugino.

2015-2016. Demplot Masa Panen Off Season Bawang Merah Klaster Bawang

Merah Lahan Sawah Dan Lahan Pasir, Melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama

Terpadu (SLPHT), Analisis Benefit And Cost Ratio Serta Analisis Tanah. Bank

Indonesia D.I.Yogyakarta Kerjasama Dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Yogyakarta, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

44 hal

Page 426: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

407

PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT TUNGRO DENGAN KOMPONEN RAMAH LINGKUNGAN DI KEBUN PERCOBAAN LOLIT TUNGRO LANRANG SIDRAP MK 2016

Elisurya Ibrahim,1* Nur Rosida, Ani Mugiasih, Ria Fauriah

Loka Penelitian Penyakit Tungro; Jl. Bulo No.101 Lanrang, Sidrap Sulawesi Selatan 91651; *Email :

[email protected]

Abstrak.Penelitian ini dilaksanakan di KP Lolittungro Lanrang, Sidrap Sulawesi Selatan

mulai Juni – Agustus 2016. Percobaan dilakukan menggunakan rancangan petak terbagi

(split-plot design). Sebagai petak utama adalah: 1) Petak bio-intensif (penggunaan beberapa

komponen pengendalian ramah lingkungan (waktu tanam sesuai waktu tanam anjuran,

menanam tanaman berbunga (perangkap/penarik serangga) untuk konservasi musuh alami

(predator) dan menggunakan ‘andrometa’ (campuran cendawan entomopatogen

Metarhizium anisopliae dan ekstrak sambiloto)) dan 2) Petak Konvensional (penyiapan

lahan dan tanam sebagaimana kebiasaan petani, tanpa tanaman berbunga dan penyemprotan

insektisida untuk mengendalikan wereng hijau), anak petak adalah: 1) varietas peka (TN1),

2) varietas umum di lapangan (IR64) dan 3) varietas tahan tungro (Inpari 9 Elo). Luas anak

petak 10 m x 10 m dengan jarak antar anak petak 60 cm dan setiap anak petak diulang

sebanyak 3 kali.Data dianalisis sidik ragam dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji

beda nyata terkecil (BNT) menggunakan SPSS 17.0. Hasil analisis sidik ragam

menunjukkan bahwa populasi wereng hijau, insidensi tungro maupun hasil panen tidak

berbeda nyata antara petak bio-intensif dan petak konvensional, tetapi populasi wereng

hijau dan insidensi tungro pada petak bio-intensif lebih rendah dibandingkan petak

konvensional, sedangkan jenis predator pada kedua petak pengamatan sama yaitu terdiri

dari 11 famili predator dengan jumlah yang berfluktuasi setiap minggunya. Aplikasi

andrometa tidak berpengaruh terhadap hasil panen dan kepadatan populasi serta pola

fluktuasi wereng hijau namun berpengaruh terhadap penghambatan proses infeksi virus

tungro.

Kata Kunci : penyakit tungro, wereng hijau, predator, bio-intensif

Abstract.This research was conducted at KP Lolittungro Lanrang, Sidrap South Sulawesi

from June to August 2016. The experiment was conducted using split-plot design. The main

plots are: 1) Bio-intensive plot (use of some environmentally friendly control components

(planting time according to recommended planting time, planting flowering plants (traps /

attractan of insects) for conservation of natural enemies (predators) and using andrometa

(mixture of entomopathogenic fungus Metarhizium Anisopliae and sambiloto extract) and

2) Conventional plot (preparation of land and planting as is the farmer's habit and spraying

insecticides to control green leafhoppers), subplots are: 1) sensitive varieties (TN1), 2)

common field varieties (IR64) and 3) tungro resistant varieties (Inpari 9 Elo). The area of

sub plot is 10 m x 10 m plot by 60 cm separation and each sub plot is repeated 3 times. The

data were analyzed variance and if significantly were continued with BNT test using SPSS

17.0. The results of the analysis of variance showed that the population of green

leafhoppers, incidence of tungro and crops did not significantly between bio-intensive plot

and conventional plot, but the population of green leafhoppers and tungro incidence in bio-

41

Page 427: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

408

intensive plot was lower than conventional plot, while the type of predator in both plot

consists 11family of predators with fluctuating numbers each week. Andrometa application

has no effect on crop yield and population density and fluctuation pattern of green

leafhoppers but has an effect on to inhibition of tungro virus infection process.

Keywords: tungro disease, green leafhoppers, predators, bio-intensive

PENDAHULUAN

Program peningkatan produksi padi nasional terus dilakukan oleh pemerintah

melalui berbagai cara diantaranya adalah memanfaatkan potensi sumber daya lahan yang

ada dan perluasan lahan pertanian yang baru, menggunakan inovasi teknologi budidaya dan

teknologi pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Akan tetap disisi lain

terdapat tantangan dan hambatan dalam pelaksanaannya, seperti adanya perubahan iklim

global, menurunnya tingkat kesuburan lahan akibat penggunaan pupuk dan pestisida secara

berlebihan serta adanya gangguan OPT.

Salah satu jenis OPT pada padi adalah penyakit tungro yang hingga saat ini masih

menjadi faktor pembatas dalam peningkatan produksi padi, terutama di daerah endemis,

bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen di beberapa wilayah. Virus tungro telah

tersebar di 27 propinsi di Indonesia, diantaranya Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali,

Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan

Selatan, dan Kalimantan Timur yang meliputi 142 kabupaten dengan total luas serangan

242.693 hektar (Widiarta, 2011). Penyebaran tungro tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi

juga di beberapa negara lain seperti India (Muralidharan et al., 2003), Malaysia, Filipina,

(Cabunagan et al., 2003), Thailand (Tangkanond et al., 2005), dan Vietnam (Du et al.,

2007). Tungro disebabkan oleh interaksi antara dua virus yang berbeda, yaitu ricetungro

bacilliform virus (RTBV) dan rice tungro spherical virus (RTSV), keduanya hanya dapat

ditularkan oleh wereng hijau (Nephotettix virescens) sebagai vektor utamanya (Cruz et al.,

2003).

Usaha pengendalian OPT telah banyak dilakukan namun penggunaan pestisida

masih menjadi andalan petani. Sementara tuntutan masyarakat akan produk tanaman yang

berkualitas, ekonomis, serta aman dikonsumsi semakin tinggi. Pengalaman menunjukkan

bahwa pemakaian pestisida yang tidak bijaksana telah menimbulkan banyak dampak

negatif baik berupa resistensi terhadap vektor penyakit itu sendiri maupun terhadap

lingkungan, juga terjadi mutasi hama dan patogen yang tidak diinginkan. Penggunaan

pestisida dalam mengendalikan vektor tidak akan efektif dan akan mengancam kesehatan

manusia (Vilareal, 1999). Penggunaan pestisida secara terus menerus menyebabkan

tumpukan residu yang melebihi daya dukung lingkungan yang jika tidak terurai akan

menyebabkan lingkungan menjadi rusak. Untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah

padi di pasaran, diperlukan sistem pengelolaan padi yang lebih ramah lingkungan misalnya

pengendalian dengan memadukan penggunaan varietas tahan dan konservasi musuh alami

(agens hayati) melalui teknologi bio-intensif (rekayasa ekologi) dimana secara ekonomi

menguntungkan dan berkelanjutan secara ekologis.

Page 428: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

409

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di KP Lolittungro Lanrang, Sidrap Sulawesi Selatan pada

MK 2016 mulai Juni – Agustus 2016. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan petak

terbagi (split-plot) yang terdiri dari 2 petak utama, yaitu 1) Petak Bio-intensif; 2) Petak

konvensional. Anak petak adalah: 1) varietas peka (TN1), 2) varietas umum di lapangan

(IR64) dan 3) varietas tahan tungro (Inpari 9 Elo). Luas anak petak 10 m x 10 m dengan

jarak antar anak petak 60 cm dan setiap anak petak diulang sebanyak 3 kali.

Petak Biointensif di pematang di sekeliling plot percobaan ditanami tanaman

berbunga (refugia), sebagai tanaman perangkap/penarik serangga yang digunakan untuk

mengkonservasi musuhalami yaitu kenikir (Cosmos caudatus) dan kembang kertas (Zinnia

spp). Disemprot dengan “andrometa” yang merupakan campuran cendawan entomopatogen

Metarhizium anisopliae dan ekstrak sambiloto dengan dosis 650 ml per plot percobaan

dengan konsentrasi konidia 2 x 106 dan ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 4g/l. Gulma

disiang secara manual dengan cara dicabut kemudian dibenamkan ke dalam tanah.

Pembersihan pematang secara mekanis setiap 2 minggu sekali setelah tanaman berumur 2

Minggu Setelah Tanam (MST). Aplikasi andrometa dilakukan pada sore hari pada 2, 3, 4,

5, 6, dan 7 MST.

Petak Konvensional adalah cara umum yang dilakukan petani padi sawah,

diantaranya tanpa menggunakan pupuk kandang, penggunaan pupuk an-organik dan

pemakaian insektisida yang intensif, pematang disekeliling plot percobaan tidak ditanami

tanaman berbunga. Penyemprotan insektisida untuk mengendalikan wereng hijau

menggunakan insektisida bahan aktif dimehipo. Pada saat persemaian dilakukan aplikasi

insektisida bahan aktif dimehipo dan bahan aktif karbofuran serta herbisida bahan aktif 2,4-

Dimetil Amina 826 g/l masing masing satu kali. Pada saat petanaman dilakukan aplikasi

insektisida bahan aktif karbofuran dengan dosis 40 kg/ha dan insektisida bahan aktif

dimehipo dengan dosis 2cc/l masing-masing 3 kali.

Bibit padi pada kedua petak penelitian ditanam pada saat umur 19 - 21 Hari Setelah

Semai (HSS). Tanaman ditanam dalam jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pemupukan dilakukan

sebanyak 2 kali dengan dosis 100 kg/ha Urea dan 50 kg/ha Ponska.

Pengamatan dilakukan terhadap rumpun bergejala tungro, kepadatan populasi

wereng hijau, kepadatan populasi predator pada 2, 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam (MST)

dan hasil panen. Wereng hijau dan predator ditangkap menggunakan jaring serangga

(sweep net) sebanyak 10 kali ayunan ganda dengan arah diagonal. Arthropoda yang

tertangkap disimpan dalam kantong plastik untuk disimpan lalu dihitung dan diidentifikasi

berdasarkan buku “Kunci Determinasi Serangga” (Program Nasional Pelatihan dan

Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu , 1991) dan buku “Musuh Alami Hama Padi”

(Shepard, et al. 2011). Data dianalisis sidik ragam dan jika berbeda nyata dilanjutkan

dengan uji beda nyata terkecil (BNT) menggunakan fasilitas uji SPSS 17.0.

Page 429: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

410

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Populasi Wereng Hijau

Pada petak bio-intensif populasi wereng hijau cenderung lebih rendah yaitu

sebanyak 0,67 ekor, 21,01 ekor, 31,33 ekor, dan 22,00 ekor, sedangkan populasi wereng

hijau di petak pengendalian konvensional sesuai kebiasaan petani dengan menggunakan

pestisida adalah sebesar 1,00 ekor, 27,84 ekor, 34,00 ekor dan 28,99 ekor (Tabel 1).

Tingginya populasi wereng hijau pada petak konvensional disebabkan karena adanya

aplikasi insektisida yang tidak tepat sasaran tidak hanya mematikan hama tetapi juga

menyebabkan matinya musuh alami yang seharusnya dapat memangsa wereng hijau.

Menurut Kartoharjono (2011) aplikasi insektisida efektif mengendalikan hama secara

parsial, tetapi secara bersamaan juga dapat membunuh predator parasitoid yang sebenarnya

berpotensi sebagai pengendali hama secara hayati.

Tabel 1. Kepadatan populasi wereng hijau pada petak bio-intensif penyakit tungro dan

petak konvensional

No Perlakuan

Kepadatan populasi wereng hijau (ekor)

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST

Nimfa Imago Nimfa Imago Nimfa Imago Nimfa Imago

1. P1V1 0.33 0.00 3.67 1.17 11.00 3.67 5.67 2.33

2. P1V2 0.00 0.17 11.00 1.50 9.33 2.83 5.67 2.50

3. P1V3 0.00 0.17 3.00 0.67 3.67 0.83 4.33 1.50

Jumlah 0.67 21.01 31.33 22.00

4. P2V1 0.33 0.17 10.00 4.00 10.00 4.00 4.00 1.50

5. P2V2 0.33 0.17 7.67 3.67 10.00 4.50 9.00 3.83

6. P2V3 0.00 0.00 1.67 0.83 3.67 1.83 7.33 3.33

Jumlah 1.00 27.84 34.00 28.99

Sumber : Data Primer, 2016

Populasi wereng hijau paling tinggi pada varietas TN1 dibandingkan dengan kedua

varietas lainnya, baik di petak pengendalian bio-intensif maupun di petak pengendalian

konvensional. Perkembangan populasi wereng hijau dan nimfadimulai sejak 2 MST,

kemudian mencapai puncak kepadatan populasinya pada 4 dan 6 MST, lalu cenderung

menurun pada 8 MST. Menurunnya populasi wereng hijau pada 8 MST disebabkan oleh

adanya aktifitas predator juga disebabkan karena tanaman mulai memasuki fase generatif

sehingga tidak sesuai untuk perkembangan wereng hijau. Menurut Senoaji &Praptana

(2015) populasi wereng hijau menurun pada fase generatif karena tidak sesuai lagi untuk

perkembangannya dan cenderung untuk bermigrasi ke pertanaman lain yang lebih muda.

Page 430: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

411

b. Populasi Predator Wereng Hijau

Gambar 1. Kepadatan populasi predator pada petak bio-intensif Sumber : Data Primer, 2016

Gambar 2. Kepadatan populasi predator pada petak konvensional Sumber : Data Primer, 2016

Terdapat 11 famili predator yang ditemukan pada semua varietas di petak

pengendalian terpadu bio-intensif dan petak konvensional yaitu Coccinellidae, Carabidae,

Staphilinidae, Tettigonidae, Aranidae, Lycosidae, Oxyopidae, Salticidae, Tetragnatidae dan

Libellulidae (Gambar 1 dan 2). Famili Aranidae dan Tetragnatidae tampak mendominasi

pada semua varietas di petak pengendalian bio-intensif maupun pengendalian konvensional.

Page 431: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

412

Tingginya populasi famili Aranidae dan tetragnatidae menunjukkan bahwa kedua famili

tersebut merupakan predator yang unggul dibandigankan predator lainnya, Penelitian

Barrion et al. (2012) di Hainan Island, China menunjukkan bahwa laba-laba yang

mendominasi agroekosistem sawah yaitu famili Tetragnatidae, Oxyopidae dan Araneidae.

Secara umum, kepadatan populasi predator meningkat di setiap minggu pengamatan

mengikuti pola fluktuasi kepadatan populasi wereng hijau.

Penanaman tanaman berbunga bertujuan agar populasi wereng hijau lebih rendah

dibandingkan dengan populasi musuh alami pada petak pengendalian terpadu bio-intensif.

Gurr & Kvedaras (2010) mengemukakan bahwa rekayasa ekologi dapat meningkatkan

populasi musuh alami. Populasi musuh alami pada petak bio-intensif cenderung lebih

tinggi dibandingkan dengan petak konvensional.

c. Insiden Tungro

Tabel 2. Insidensi tungro pada petak padu bio-intensif dan petak konvensional

No Petak Persentase Insiden Tungro (%)

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST

1 Bio-Intensif 0,557 0,000 1,333 0,000

2 Konvensional 0,890 0,443 3,000 0,000

Sumber : Data Primer, 2016

Insiden tungro yang ditemukan relatif rendah hanya pada 4 MST (0.00– 1.33) dan

pada 8 MST tidak ditemukan lagi gejala tungro. Insiden tungro yang terjadi merupakan

bawaan dari wereng hijau yang ditemukan di pertanaman pada awal vegetatif (2 MST)

dengan kepadatan populasi yang cukup tinggi. Pada minggu berikutnya (6 MST) terjadilah

puncak infeksi tungro karena sudah tersedia sumber inokulum dan populasi wereng hijau

di pertanaman sehingga menyebabkan persentase serangan tungro tinggi. Selain itu,

peningkatan insidensi tungro menunjukkan adanya penularan sekunder oleh wereng hijau

dari tanaman terinfeksi sebelumnya.

Secara umum, aplikasi andrometa tidak berpengaruh secara langsung terhadap

keberadaan jenis dan kepadatan populasi predator. Perlakuan andrometa diduga

berpengaruh terhadap penghambatan dalam proses infeksi virus tungro. Hasil pengujian di

rumah kaca menunjukkan bahwa aplikasi dosis sublethal ekstrak sambilata dapat menekan

pemerolehan maupun penularan virus tungro oleh wereng hijau (Widiarta et al., 1998).

Kegiatan kultur teknis melalui pemangkasan gulma di pematang pada 2 dan 4 MST diduga

berperan terhadap eliminasi sumber inokulum sekunder dan meningkatkan proses predasi

terhadap wereng hijau pada saat fase kritis infeksi tungro sehingga insiden tungro yang

terjadi relatif rendah. Menurut Praptana & Yasin (2008), eradikasi sumber inokulum pada

tahap pratanam penting dilakukan untuk menekan sumber inkulum primer sekecil mungkin

dan menghindari infeksi awal virus tungro.

Page 432: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

413

d. Produksi

Tabel 3. Hasil Produksi petak bio-intensif penyakit tungro dan petak

konvensional

No Petak Produksi (t/ha)

1 Bio-intensif 3,760

2 Kovensional 4,117

Sumber : Data Primer, 2016

Hasil panen pada petak pengendalian bio-intensif penyakit tungro pada semua

varietas (2,03 – 4,31 t/ha) menunjukkan hasil tidak berbeda nyata dengan petak

pengendalian konvensional (3,25 – 4,19 t/ha). Aplikasi andrometa tidak berpengaruh

terhadap hasil panen karena varietas yang diaplikasi dengan andrometa (petak pengendalian

terpadu bio-intensif) dan yang tidak diaplikasi (petak pengendalian konvensional) tidak

berbeda nyata.

KESIMPULAN

1. Populasi wereng hijau pada petak bio intensif cenderung lebih rendah, yaitu sebesar

0,67 ekor, 21,01 ekor, 31,33 ekor, dan 22,00 ekor tidak berbeda nyata dengan petak

konvensional, yaitu 1,00 ekor, 27,40 ekor, 34,00 ekor, dan 28,99 ekor.

2. Persentase kejadian tungro pada petak bio intensif berkisar antara 0,00 – 2,33 % yang

lebih rendah daripada petak konvensional (0,00 – 5,00%).

3. Ditemukan 11 famili predator yang ditemukan pada semua varietas di petak

pengendalian terpadu bio-intensif dan petak konvensional yaitu Coccinellidae,

Carabidae, Staphilinidae, Tettigonidae, Aranidae, Lycosidae, Oxyopidae, Salticidae,

Tetragnatidae dan Libellulidae

4. Aplikasi andrometa tidak berpengaruh secara langsung terhadap kepadatan populasi

predator dan pola fluktuasi kepadatan populasi wereng hijau namun diduga berpengaruh

terhadap penghambatan dalam proses infeksi virus tungro.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Ahmad Muliadi, MP selaku Kepala Loka

Penelitian Penyakit Tungro yang telah memberikan bimbingan selama melaksanakan

penelitian dan kepada saudara Yusran Arifin, SP yang telah membantu pelaksanaan

penelitian dilapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Cabunaagan, R.C., E. Sandig, A. Pamplona, and R. Choi. 2003. Use of resistant virieties in

the management of rice tungro disease in Iloilo (Philippines). Journal of Tropical

Plant Pathology 39 (1&2): 78-79.

Page 433: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

414

Cruz, F.C.S., R. Hull, and O. Azzam. 2003. Changes in level accumulation and incidence of

infection are critical in the characterization of Rice tungro bacilliform virus (RTBV).

Arch. Virol. 148: 1465- 1483.

Du, P.V., R.C. Cabunangan, P.Q. Cabauatan, H.S. Choi, I.R. Choi, H.V. Chien, and N.H.

Huan. 2007. Yellowing syndrome of rice etiology, current status and future

challenges. Omonrice 15: 94-101.

Muralidharan, K., D. Krishnaveni, N.V.L. Rajarajeswari, and A.S.R. Prasad. 2003. Tungro

epidemic and yield losses in paddy fields in India. Current Science 85(8): 1143-

1147.

Program Nasional Pelatihan dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu. 1991. Kunci

Determinasi Serangga. Kanisius.

Shepard, B.M., A.T. Barrion, and J.A. Litsinger. 2011. Musuh Alami Hama Padi. IRRI.

Tangkanong, W., D. Chettanachit, and W. Boonnadee. 2005. Isolation and Purification of

Rice tungro virus. Thammasat Int. J.Sc.Tech. 10(1): 6-18.

Villareal S. 1999. Leafhopper control by insecticides is not the solution to the tungro

problem. In Rice Tungro Disease Management. T.C.B. Chancellor, O.Azzam and

K. Heong, (Eds.). International Rice Research Institute, Manila, Philippines.

pp.138.

Widiarta, I.N. 2011. Pengelolaan Penyakit Tungro Terpadu Berbasis Dinamika Populasi

Vektor dan Epidemiologi Virus. Inovasi Teknologi Pengendalian Penyakit Tungro

dan Hama Utama Padi Menuju Swasembada Berkelanjutan. Buku I: 80-105.

Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Barrion, T., S.S. Villareal, J.L.Catindig, D. Cai, Q.H. Yuan, and K.L. Heong. 2012. The

spider fauna in the rice agricultural landscape of Hainan Island, China: composition,

abundance and feeding structure. Asia Life Sciences 21(2): 625–51. <Go

toISI>://WOS:000306379900019

Gurr, G.M, and O.L. Kvedaras. 2010. Synergizing biological control: Scope for sterile

insect technique, induced plant defences and cultural techniques to enhance natural

enemy impact. Biological Control 52(3): 198-207.

Kartohadjono, A. 2011. Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama

padi berbasis ekologi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Pengembangan Inovasi

Pertanian 4(1): 29-46.

Senoaji, W., and R.H. Praptana. 2015. Perkembangan populasi wereng hijau dan

predatornya pada beberapa varietas padi. Jurnal Perlindungan Tanaman

Indonesia,19(1): 65–72.

Widiarta, I.N., M. Muhsin, and D. Kusdiaman. 1998. Pengaruh andrografolid dan dua

insektisida sintetis, antifidan Nephotettix virescens, terhadap penularan penyakit

tungro. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 4 : 1 – 8.

Page 434: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

415

MINIMALISASI PENGGUNAAN PESTISIDA KIMIA DALAM BUDIDAYA KRISAN DENGAN MENGGUNAKAN VARIETAS TAHAN PENYAKIT KARAT

Yayuk A. Bety 1) dan Indratin 2)

1)Balai Penelitian Tanaman Hias, Jl. Raya Ciherang, Segunung, Pacet, Cianjur, Po Box 8 Sdl,

Telp.08161646237, email:[email protected] 2)Balai Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Jakenan, Pati 59182

Abstrak.Krisan merupakan tanaman hias yang dibudidayakan secara intensif dalam skala

luas di Indonesia. Krisan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dengan input yang tinggi pula.

Input yang paling besar adalah penyediaan bibit dan pengendalian hama penyakit. Sebagai

produk estetika, penggunaan pestisida secara masif digunakan untuk mempertahankan

kualitas bunga agar layak dipajang. Pada beberapa daerah sentra produksi krisan,

penggunaan pestisida kimia menghabiskan +10% dari total biaya tidak tetap. Penyakit

utama pada tanaman krisan adalah penyakit karat daun yang disebabkan jamur Puccinia

horriana P. Henn, penyakit layu bibit, dan virus yang dapat menurunkan hasil hingga

100%. Dalam upaya mengurangi pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida yang

masif dan intensif dan untuk mengurangi biaya produksi, penggunaan varietas tahan

terhadap penyakit utama krisan merupakan salah satu cara yang efektif, mudah, dan murah.

Sampai saat ini pestisida yang terdaftar khusus untuk mengendalikan penyakit utama

tanaman krisan belum tersedia, sehingga jenis pestisida, dosis, dan frekuensi pemberian

yang digunakan sangat bervariasi. Hal ini berpotensi mengakibatkan pencemaran

lingkungan yang sangat besar. Beberapa varietas krisan tahan penyakit karat telah

teridentifikasi dan terbukti efektif menurunkan intensitas penyakit pada tanaman krisan.

Berdasarkan hasil pengujian di beberapa lokasi di Jawa Tengah, teridentifikasi beberapa

varietas krisan yang sangat tahan dan agak tahan penyakit karat, yaitu Puspita Asri dan

Dewi Ratih. Varietas yang teridentifikasi toleran, yaitu varietas unggul nasional Puspita

Nusantara, Puspa Kania, Dwina Kencana, Dwina Pelangi, Paras Ratu, Wastu Kania, Ratna

Wisesa, dan varietas introduksi Puma White, Yellow West, Tiger, dan Rhino.

Kata kunci : krisan, varietas tahan, pestisida, penyakit karat

Abstract.Chrysanthemum is an ornamental plant that is cultivated intensively and in large

scale in Indonesia. Chrysanthemum has a high economic value with high input as well. The

biggest input is the provision of seeds and pest control. As aesthetic products, massive use

of pesticides is used to maintain the quality of flowers to be eligible on display. In some

areas of Chrysanthemum production centers, the use of chemical pesticides spends + 10%

of total non-fixed costs. The main diseases in chrysanthemum are leaf rust disease caused

by the fungus Puccinia horriana P. Henn, seedlings wilt disease, and viruses that can reduce

the yield up to 100%. In an effort to reduce environmental pollution due to the massive and

intensive use of pesticides and to reduce production costs, the use of resistant varieties

against major chrysanthemum diseases is one effective, easy, and inexpensive way. Until

now, the pesticides listed specifically for controlling the main diseases of chrysanthemum

plants are not yet available, so the types of pesticides, dosage, and frequency of

administration used vary widely. This has the potential to cause enormous environmental

pollution. Several varieties of resistant chrysanthemum have been identified and proven to

42

Page 435: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

416

be effective in reducing disease intensity in chrysanthemum plants. Based on the test in

several locations in Central Java, it has been identified several varieties of Chrysanthemum

that is very resistant and rather resistant to rust disease, namely Puspita Asri and Dewi

Ratih. The identified varieties are tolerant, namely the national superior varieties of Puspita

Nusantara, Puspa Kania, Dwina Kencana, Dwina Pelangi, Paras Ratu, Wastu Kania, Ratna

Wisesa, and introduced varieties of Puma White, Yellow West, Tiger, and Rhino.

Key words :chrysanthemum, resistant variety, chemical pesticides, rust disease

PENDAHULUAN

Tanaman hias merupakan produk fesyen yang hasil akhirnya dituntut memiliki

tampilan yang prima. Oleh karena itu untuk mencapai kondisi tanaman bebas dari hama dan

penyakit, pestisida kimia sering digunakan dalam dosis dan frekuensi pemberian yang

tinggi. Pemberian pestisida dan pupuk kimia dipercaya memberikan respon yang cepat

untuk memberantas hama penyakit dan meningkatkan produksi tanaman (Nasahi, 2010).

Demikian juga pada budidaya tanaman krisan, petani krisan mengalokasikan biaya hingga

sebesar 10% dari seluruh biaya tidak tetap untuk pembelian pestisida kimia agar

memperoleh bunga berkualitas baik dan berproduksi tinggi (Masyhudi dan Suhardi, 2009).

Penggunaan pestisida kimia yang berlebihan merupakan tindakan yang kurang bijaksana

karena tidak hanya berdampak terhadap kerugian secara ekonomi namun juga

menimbulkan bahaya pencemaran lingkungan (Sjam et al., 2011).

Upaya untuk meminimalisasi penggunaan pestisida kimia pada budidaya krisan telah

dilakukan melalui beberapa teknik pengendalian yang ramah lingkungan seperti penanaman

varietas tahan, benih sehat, penggunaan pestisida hayati/nabati, pupuk organik,

perompesan, sanitasi lingkungan dan sebagainya. Penggunaan varietas tahan merupakan

salah satu cara yang tepat, mudah, dan murah. Berdasarkan beberapa hasil pengujian,

penggunaan varietas tahan terbukti efektif menurunkan intensitas serangan organisme

pengganggu tanaman, baik hama maupun penyakit. Hanya saja terdapat beberapa kendala

dalam penerapannya, antara lain sifat-sifat lain dari varietas tersebut yang tidak disukai

konsumen, ketersediaan benih yang terbatas, dan degradasi sifat ketahanan.

Untuk mendapatkan klon atau varietas yang tahan terhadap penyakit utama krisan,

yaitu karat yang disebabkan oleh jamur Pucciana horriana, telah dilakukan beberapa

kegiatan skrining/penapisan terhadap klon maupun varietas krisan. Pada penapisan 32 klon

krisan, tidak ada satupun klon yang tahan terhadap karat putih, dan hanya satu klon yang

teridentifikasi agak tahan (Marwoto, 2000). Namun demikian apabila dalam seleksi

diperoleh klon yang tahan, maka klon tersebut dapat digunakan sebagai tetua untuk

membentuk populasi dasar atau langsung didaftarkan sebagai varietas tahan apabila

memiliki karakter lain yang memenuhi syarat sebagai varietas yang dapat dikomersialkan.

Penggunaan varietas tahan juga terbukti cukup praktis, ekonomis dan aman bagi

lingkungan pada pengendalian penyakit utama krisan lain, yaitu layu fusarium. Pada

pengujian ketahanan varietas krisan terhadap layu fusarium teridentifikasi bahwa krisan

varietas Mandalay lebih resistan terhadap layu fusarium daripada varietas Delaware

(Nelson. 1981 dalam Hartal et al., 2010). Penggunaan varietas Mandalay mampu

menurunkan penggunaan pestisida kimia karena intensitas serangan layu fusarium rendah.

Page 436: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

417

Meskipun demikian untuk memperoleh pengendalian yang sempurna, masih diperlukan

teknik pengendalian lain yang ramah lingkungan. Penggunaan fungisida hayati dengan

nama dagang Gliocompost dan bahan aktif Gliocladium sp. yang bersifat antimikrobial 0,5

kg/m2 mampu meningkatkan ketahanan tanaman krisan terhadap penyakit layu dan

meningkatkan pertumbuhan tanaman dan bunga (Warsito dan Nuryani, 2005). Beberapa

pestisida nabati memiliki efektivitas yang sama dengan pestisida kimia dalam

mengendalikan penyakit karat pada krisan, dan beberapa biopestisida alami yang berbahan

aktif mikroba antagonis Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens cukup efektif dalam

mengendalikan penyakit karat pada krisan.

Penggunaan varietas tahan mampu menurunkan intensitas serangan karat secara

signifikan. Intensitas serangan karat pada varietas peka dapat mencapai besaran 100%

dengan gejala tanaman kering seperti terbakar. Pada lokasi dan waktu yang sama, varietas

tahan dapat menahan serangan karat hingga nilai intensitas serangannya 0% (Bety et al.,

2016). Rendahnya intensitas serangan pada varietas tahan memiliki implikasi yang kuat

terhadap besarnya pemakaian pestisida kimia. Pestisida kimia harus diminimalisasi jumlah

dan frekuensi penggunaannya sehubungan dengan kebiasaan petani yang menggunakan

pestisida kimia secara berlebihan tanpa memperdulikan pencemaran lingkungan. Pada

varietas tahan, frekuensi dan dosis pestisida yang diberikan jauh lebih rendah daripada pada

varietas peka, dan dapat menggunakan pestisida ramah lingkungan seperti pestisida alami

dan nabati.

IMPLIKASI PENGGUNAAN VARIETAS TAHAN TERHADAP

PENGGUNAAN PESTISIDA KIMIA

Penggunaan pestisida kimia menjadi andalan petani dalam mengendalikan penyakit

karat pada budidaya krisan. Reaksi yang cepat dan nyata menyebabkan pestisida kimia

dinilai yang paling tepat dalam mengendalikan penyakit karat tanpa mempertimbangkan

pencemaran lingkungan yang ditimbulkan. Salah satu metode untuk mengurangi

penggunaaan pestisida kimia adalah dengan menanam varietas tahan. Dengan

menggunakan varietas tahan, secara otomatis penggunaan pestisida kimia akan berkurang

baik dosis maupun frekuensi pemberiaannnya.

Varietas tahan efektif menurunkan intensitas serangan dan menunda munculnya

gejala serangan penyakit. Pengujian terhadap beberapa klon krisan menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan awal gejala antara klon tahan dengan klon peka. Klon tahan terserang

karat lebih lambat daripada klon peka dengan perbedaan waktu yang sangat nyata. Hasil

pengujian yang dilaksanakan pada musim kemarau dengan kelembaban udara hanya 79-

86% dan curah hujan 43-50 mm per bulan yang menyebabkan timbulnya gejala serangan

terlambat menunjukkan bahwa pada varietas tahan gejala serangan mulai muncul 133 hari

setelah tanam (HST) dan pada varietas peka 77 HST (Tabel 1) (Rahardjo dan Suhardi,

2008). Sedangkan pada musim penghujan dimana kelembaban udara tinggi, penyakit karat

menyerang varietas peka pada periode sangat awal, yaitu pada 2 minggu setelah tanam.

Munculnya gejala penyakit yang lebih awal pada varietas peka daripada varietas tahan

menyebabkan periode penyemprotan pestisida pada varietas peka lebih panjang daripada

pada varietas tahan. Periode yang lebih panjang dengan frekuensi pemberian dalam satu

Page 437: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

418

satuan waktu yang sama menyebabkan jumlah pestisida yang diberikan lebih banyak pada

varietas peka daripada varietas tahan. Sebagian klon atau varietas krisan memiliki sifat

tahan penyakit karat hanya pada awal masa pertumbuhan fase vegetatif, tetapi menjadi peka

pada fase generatif. Meskipun demikian, awal pertumbuhan klon atau varietas tahan karat

cukup dapat mengurangi jumlah pestisida kimia yang diaplikasikan, karena pestisida kimia

umumnya mulai diberikan pada awal fase generatif.

Besarnya intensitas serangan karat pada setiap fase pertumbuhan pada krisan yang

tahan dan yang peka berbeda nyata. Intensitas serangan pada varietas peka sudah cukup

tinggi pada masa awal pertumbuhan, dan biasanya konsisten sampai panen. Misalnya

varietas tahan Cat Eye yang dibandingkan dengan varietas peka Giant. Pada umur tanaman

1, 2, 3, dan 4 minggu, besarnya intensitas serangan karat pada varietas Cat Eye hanya

sebesar 3; 4,96; 7,35; dan 10,23 %, sedangkan pada varietas Giant sudah mencapai 25,71;

32,94; 36,25; dan 39,36 % (Suhardi et al., 2003 dalam Hanudin dan Marwoto, 2012).

Perbedaan intensitas serangan yang sangat besar dari waktu ke waktu antara varietas tahan

dan peka otomatis berpengaruh terhadap volume dan frekuensi pemberian fungisida kimia.

Apabila pemberian fungisida mengikuti kondisi OPT di lapangan, maka fungisida diberikan

pada volume dan frekuensi yang lebih rendah pada varietas tahan daripada pada varietas

peka yang diberikan pada setiap periode umur tanaman, mulai dari saat tanam sampai

menjelang panen.

Tabel 1. Rata-rata waktu awal gejala penyakit karat pada beberapa klon krisan

Klon Waktu awal gejala (hari)

116.44 79,33 de

116.53 77,00 de

116.57 98,00 bcde

125.14 77,00 de

130.8 107,33 abcd

131.1 112,00 abc

133.59 81,67 de

133.7 91,00 bcde

135.6 112,00 abc

136.1 133,00 a

136.11 100,33 bcde

150.4 93,33 bcde

Saraswati 77,00 de

White Reagent 80,00 de

Angka dalam kolom sama diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 5%

Sumber: Rahardjo dan Suhardi (2008)

Page 438: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

419

Pada pengujian ketahanan varietas krisan terhadap penyakit karat yang dilaksanakan

di Kabupaten Magelang menunjukkan bahwa pustul karat tidak ditemukan pada varietas

Puspita Asri meskipun ditanam dalam waktu bersamaan di dalam rumah plastik yang sama

dengan varietas Shakuntala yang intensitas serangan karatnya mencapai nilai 80%. Nilai

intensitas serangan karat yang hanya 0% pada Puspita Asri menyebabkan pemberian

fungisida hanya bersifat pencegahan dan sangat dimungkinkan hanya menggunakan

fungisida nabati yang efektif mencegah serangan karat seperti Cees EC, Neem plus, Cekam

EC, dan Sitron E yang berbahan dasar minyak cengkih, serai wangi, mimba, kayu manis,

dan asam salisilat (Silvia, 2010) atau fungisida hayati yang berbahan aktif bakteri antagonis

Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens, dan Corynebacterium sp dengan bahan

pembawa ekstrak kascing dan gula pasir (Hanudin et al., 2010).

VARIETAS KRISAN TAHAN/TOLERAN TERHADAP PENYAKIT

KARAT

Penggunaan varietas tahan selain efektif dalam menurunkan intensitas dan

insidensi penyakit juga murah dan mudah dilaksanakan oleh petani. Varietas tahan dapat

menurunkan intensitas dan insidensi penyakit secara signifikan (Bety dan Suhardi, 2009;

Rahardjo dan Suhardi, 2008; Marwoto, 2000; Silvia dan Suhardi, 2013). Penggunaan

varietas tahan tepat diterapkan di daerah pengembangan dimana akses untuk memperoleh

pestisida baik kimia maupun pestisida hayati dan nabati sulit diperoleh. Di daerah

pengembangan krisan di daerah Kakaskasen, Kabupaten Tomohon, terbukti bahwa

penggunaan varietas tahan sangat efektif mengendalikan penyakit karat baik intensitas

maupun insidensi penyakitnya (Mamahit dan Manueke, 2016). Penggunaan varietas tahan

juga murah dan mudah dilaksanakan asalkan memiliki karakter yang disukai pasar, bibit

tersedia, dan daya ketahanannya stabil. Penggunaan varietas yang memiliki keunggulan

seperti tahan hama penyakit atau benih bermutu memiliki kategori komponen teknologi

yang memiliki keuntungan relatif tinggi, nilai kesesuaian tinggi, mudah dilaksanakan,

mudah diuji coba, mudah diamati, sehingga memiliki nilai kategori sifat inovasi yang tinggi

atau mudah diterima (Ridwan et al., 2012).

Varietas krisan tahan penyakit karat dapat diidentifikasi berdasarkan gejala yang

ditimbulkan. Kategori varietas tahan apabila tidak terdapat bercak atau pustul pada daun

sampai terdapat bercak atau pustul dengan nilai 10,99%. Kategori lain yang dapat menjadi

alternatif pilihan yaitu varietas toleran dengan ciri terdapat gejala bercak atau pustul tetapi

bunga tetap berproduksi dengan baik. Sedangkan intensitas serangan pada varietas

peka/sangat peka dapat mencapai 80% atau lebih (Mamahit dan Manueke, 2016).

Ketahanan suatu varietas krisan terhadap penyakit karat dapat berlangsung mulai dari fase

vegetatif sampai generatif (berbunga) (Gambar 1a), tetapi terdapat kecenderungan

ketahanan stabil hanya pada masa vegetatif dan biasanya antara umur 1 sampai 4 minggu

(Tabel 2) dan akan berkurang setelah memasuki fase generatif (Novitasari, 2014).

Page 439: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

420

(a) (b) (c)

Gambar 1. Keragaan krisan tahan (a, b) dan peka (c) terhadap penyakit karat

Tabel 2. Intensitas serangan penyakit karat pada 3 varietas krisan introduksi pada tanaman

umur 4 minggu

Varietas Intensitas serangan (%)

Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4

Cat Eye 3,00 4,96 7,35 10,23

Giant 25,71 32,94 36,25 39,36

Kultivar ILK6B1 10,22 6,94 17,13 20,92

Sumber : Suhardi et al. (2003)

Berdasarkan beberapa pengujian yang dilakukan di Jawa Tengah dan di lokasi lain,

varietas krisan yang tahan penyakit karat telah teridentifikasi. Beberapa varietas stabil tahan

di beberapa lokasi pengujian sedangkan yang lain tahan di lokasi tertentu. Pengujian yang

dilakukan di Bandungan, Kabupaten Semarang pada tahun 2009 menemukan 1 varietas

sangat tahan dan 2 varietas agak tahan (Bety et al., 2011) dan di Kabupaten Magelang pada

tahun 2006 memperoleh 1 varietas sangat tahan dan 2 varietas agak tahan (Bety dan

Suhardi, 2007) (Tabel 3). Selain varietas unggul nasional beberapa varietas introduksi

teridentifikasi tahan penyakit karat. Djatnika et al. (1994) mendapatkan 4 varietas krisan

introduksi yang tahan penyakit karat, yaitu Puma White, Tiger, Yellow West, dan Rhino

dan 3 varietas introduksi yang dilaporkan oleh Suhardi et al. (2003) (Tabel 4). Peneliti

Balai Penelitian Tanaman Hias (Marwoto et al., 1999) telah merintis pembuatan varietas

baru krisan jenis spray yang toleran penyakit karat pada tahun 1990-an. Beberapa hasil

seleksi antara lain varietas krisan Puspita Nusantara yang telah dilepas tahun 2003 dan

sangat popular sampai saat ini.

Page 440: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

421

Tabel 3. Intensitas serangan penyakit karat pada varietas krisan yang diuji di dua lokasi di

Jawa Tengah

Varietas Kabupaten Semarang

tahun 2009

Kabupaten Magelang

tahun 2006

Dewi Ratih agak tahan agak tahan

Puspita Kencana peka -

Shakuntala sangat peka sangat peka

Puspita Asri sangat tahan sangat tahan

Cut Nya’ Dien Agak peka peka

Puspita Nusantara Agak tahan Agak tahan

Nyi Ageng Serang Sangat peka -

Sumber : Bety dan Suhardi, 2009 dan Bety et al. 2012.

Tabel 4. Varietas krisan toleran penyakit karat yang telah dilepas oleh Balitbangtan

(varietas nasional) dan varietas introduksi

Varietas nasional Varietas introduksi

Puspa kania, Dwina Kencana, Dwina

Pelangi, Pasopati, Paras Ratu, Wastu

Kania, Ratna Wisesa, Tiara Salila

Puma White, Tiger, Yellow West, Rhino

Sumber: Hanudin dan Marwoto, 2012.

KESIMPULAN

1. Penggunaan varietas tahan penyakit dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia pada

budidaya krisan.

2. Varietas krisan yang sangat tahan dan agak tahan penyakit karat, yaitu Puspita Asri dan

Dewi Ratih, varietas toleran Puspita Nusantara, Puspa Kania, Dwina Kencana, Dwina

Pelangi, Paras Ratu, Wastu Kania, Ratna Wisesa, dan varietas introduksi Puma White,

Yellow West, Tiger,dan Rhino.

DAFTAR PUSTAKA

Bety, Y.A., M. Pramayufdi, dan M.E. Wulanjari. 2016. Pengujian adaptasi dan analisis

usahatani beberapa varietas unggul krisan di Jawa Tengah. J. Agrivet 22(2): 37-49.

Bety, Y.A. 2016. Penerapan budidaya organik pada tanaman krisan untuk menekan

pencemaran lingkungan. Prosising Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya

Alam dan Lingkungan. Semarang, September 2015. Hal. 607-613.

Bety, Y.A., K. Budiarto, dan Suhardi. 2012. Uji adaptasi dan preferensi konsumen terhadap

varietas unggul nasional krisan di Bandungan, Kabupaten Semarang. Prosiding

Seminar Nasional Florikultura. Segunung, Cianjur, 17 Oktober 2011. Hal. 60-72.

Page 441: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

422

Bety, Y.A., dan Suhardi. 2009. Keragaan tanaman dan respon pengguna terhadap varietas

unggul nasional krisan di Kabupaten Magelang. J. Agrosains 11(2): 52-57.

Djatnika, I., D. Kristina, dan L. Sanjaya. 1994. Ketahanan beberapa kultivar krisan terhadap

penyakit karat. Buletin penelitian Tanaman Hias 2(2): 19-25.

Hanudin dan B. Marwoto. 2012. Penyakit karat putih pada krisan dan upaya

pengendaliannya. J. Badan Litbang Pertanian 31(2): 51-57.

Hartal, Misnawaty, dan I. Budi. 2010. Efektivitas Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.

dalam pengendalian layu Fusarium pada tanaman krisan. J. Ilmu-ilmu Pertanian

Indonesia 12(1): 7-12.

Mamahit, J., dan J.Manueke. 2016. Pengendalian hama terpadu tanaman hias di Desa

Kakaskasen Kota Tomohon. J. LPPM Bidang Sains dan Teknologi 3(1): 81-94.

Marwoto, B. 2000. Perakitan varietas tahan penyakit karat pada krisan dan hama tungau

pada anyelir dan efisiensi teknik budidaya. Balai Penelitian Tanaman Hias. Jakarta.

Hal. 56-71.

Marwoto, B., T. Sutater, dan J.D.E. Jong. 1999. Varietas baru krisan tipe spray. J. Hort.

9(3): 275-281.

Masyhudi, M.F., dan Suhardi. 2009. Adaptasi agronomis dan kelayakan finansial usahatani

krisan di daerah Jogyakarta. J. Hort. 19(2): 228-236.

Nasahi, C. 2010. Peran Mikroba dalam Pertanian Organik. Jurusan Hama dan Penyakit

Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran Bandung.

Novitasari, D. 2014. Pengamatan hama dan penyakit penting pada tanaman krisan

(Chrysanthemum spp.) di Agroalam Asli Farm, Kecamatan Cisarua, Kabupaten

Bogor. Diunduh 9/11/2017. http://resipository.ipb.ac.id/handle/123456789/71545

Nuryani, W., E.S. Yusuf, I.B. Rahardjo, dan I. Djatnika. 2012. Penggunaan gliocompost

untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium dan meningkatkan produktifitas bunga

krisan potong. J. Hort. 22(3): 285-291.

Ridwan, H.K., Y. Hilman, A.L. Sayekti, dan Suhardi. 2012. Sifat inovasi dan peluang

adopsi teknologi pengelolaan tanaman terpadu krisan dalam pengembangan

agribisnis krisan di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. J. Hort. 22(1): 86-94.

Silvia Yusuf, E. dan Suhardi. 2013. Pengaruh varietas, perompesan daun, dan

penyemprotan fungisida terhadap intensitas penyakit karat (Puccinia horiana

P.Henn.) pada tanaman krisan (Dendrathema grandiflora T.). J. Agric. 25(1): 19-25.

Sjam, S., U. Surapati, A. Rosmana, dan S. Thamrin. 2011. Teknologi pengendalian hama

dalam system budidaya sayuran organik. J. Fitomedia 7(3): 142-144.

Suhardi, R.T. Sarwana, A. Saefulloh, dan Hanudin. 2003. Pengendalian penyakit karat

(Puccinia horriana) pada krisan dengan varietas tahan, dan fungisida. Laporan

Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Hias, Segunung. 7 halaman.

Warsito, A., dan W. Nuryani. 2005. Daya guna kompos limbah pertanian berbahan aktif

Gliocladium sp. Terhadap dua varietas krisan. J. Hort. 15(2):97-101.

Zainudin, A. 2011. Teknologi pengendalian hama dalam system budidaya sayuran organik.

J. Fitomedia 7(3): 142-144.

Page 442: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

423

PENGGUNAAN PESTISIDA NABATI UNTUK MENDUKUNG BUDIDAYA PADI BERKELANJUTAN DI LAHAN TADAH HUJAN

Ali Pramono1, Edi Supraptomo1 and Prihasto Setyanto2 1 Balai Penelitian Lingkungan Pertanian; Jln. Raya Jakenan-Jaken Km 5 Jakenan Pati, Central Java,

Indonesia 2 Direktorat Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian

Jl. AUP No. 3 Pasar Minggu Jakarta Selatan

Abstrak. Penggunaan pestisida kimia dalam budidaya pertanian meningkat nyata dan dalam

jangka panjang dapat menimbulkan masalah lingkungan. Budidaya pertanian yang

berkelanjutan selain meningkatnya produktivitas, juga meminimalisasi cemaran residu

pestisida dalam tanah dan produk pertanian. Penggunaan pestisida nabati merupakan bagian

dari program pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu untuk

menghasilkan pangan yang aman dan sehat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

peran pestisida nabati dalam budidaya padi berkelanjutan di lahan tadah hujan untuk

mendukung swasembada pangan. Penelitian dilaksanakan dengan menerapkan teknologi

budidaya padi ramah lingkungan skala demplot selama 5 musim tanam padi berturut-turut

(MH 2013 hingga MH 2015) di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian,

Jakenan Pati. Perlakuan yang diujikan adalah penerapan teknologi budidaya ramah

lingkungan dengan beberapa varietas padi pada setiap musimnya yang dibandingkan

dengan kontrol (cara petani, menggunakan varietas padi IR64/Situ Bagendit, pestisida

kimia). Penelitian menggunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 7 perlakuan dan

3 ulangan. Salah satu komponen budidaya padi ramah lingkungan yang diterapkan adalah

penggunaan pestisida nabati berbasis sumberdaya lokal. Aplikasi pestisida nabati dilakukan

setiap 2 minggu sekali selama musim tanam. Parameter yang diamati adalah hasil gabah,

emisi gas rumah kaca (GRK) dan residu pestisida pada awal dan akhir penelitian. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ramah lingkungan (dimana penggunaan pestisida

nabati merupakan salah satu komponen teknologinya) dapat meningkatkan hasil padi

sebesar 14% dibandingkan cara petani. Hasil gabah rata-rata selama 5 musim tanam

tertinggi dicapai dengan menggunakan varietas Ciherang. Hasil gabah tertinggi diperoleh

pada MH 2014, dengan varietas Ciherang dicapai 7,8 ton/ha. Varietas padi Membramo,

Inpari 13, Way Apo Buru, Ciherang dan Mekongga mengemisikan gas rumah kaca lebih

rendah dibandingkan kontrol. Residu organoklorin (endosulfan) ditemukan dalam tanah

pada semua blok penelitian dengan kisaran 0,0086-0,0111 mg/kg. Penggunaan pestisida

nabati dapat mengurangi penggunaan pestisida kimiasehingga perlu diintensifkan untuk

mendukung pertanian yang ramah lingkungan di lahan tadah hujan.

Kata kunci:budidaya padi berkelanjutan, pestisida nabati, lahan tadah hujan

Abstract.The use of chemical pesticides always increase significantly in agriculture and

may cause environmental problems in a long time. Beside achieving high productivity, the

sustainable agriculture can minimize contamination of pesticide residues in the soil and

agricultural products. The use of botanical pesticide strongly supports the program of

controlling pests plantto produce safe and healthy food. The aim of this research was to

understand the role of botanical pesticide in sustainable rice cultivation at rainfed lowland

43

Page 443: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

424

area for supporting food self-sufficiency. The research was carried out by applying the

technology components of environmental friendly rice cultivation for 5 planting seasons

consecutively (WS 2013 to WS 2015) at Experimental Station of Indonesia Agricultural

Environment Research Institute, Jakenan Pati. The treatment was the application of eco-

friendly cultivation technology with several rice varieties in each season compared to

control (farmer practice which use IR64/Situ Bagendit rice varieties, chemical pesticide).

This study used a randomized block design with 7 treatments and 3 replications. One of the

components of eco-friendly rice cultivation was the use of botanical pesticide based on

local resources. Application of biopesticide was done every 2 weeks during the growing

seasons. Parameters observed were grain yield, greenhouse gas (GHG) emissions, and

pesticide residues at the beginning and the end of the study. The results showed that eco-

friendly rice cultivation technology (botanical pesticide as one of components) could

increase yield by 14% compare to conventional practice. The average of grain yield during

5 seasons was achieved by using Ciherang varieties. The highest grain yield was obtained at

WS 2014 by using Ciherang variety that reached 7.8 ton/ha. Membramo, Inpari 13, Way

Apo Buru, Ciherang and Mekongga rice varieties emitted lower greenhouse gases than

controls. Organochlorine residues (endosulfan) found in the soil on experiment plot in

range 0.0086-0.0111 mg/kg. The use of botanical pesticide could reduce chemical using in

the crop cultivation so it must be intensified to promote sustainable agriculture at rainfed

lowland area.

Key words : sustainable rice cultivation, biopesticide, rainfed lowland area

PENDAHULUAN

Perserikatan Bangsa-Bangsa memprediksi bahwa kebutuhan pangan meningkat 70%

karena peningkatan populasi penduduk dunia yang mencapai 10 milyar pada 2050 (Kumar,

2015). Kementerian Pertanian mempunyai program UPSUS untuk mencapai swasembada

pangan dan menargetkan produksi padi dari 70,8 juta ton (2014) menjadi 80,1 juta ton pada

2018 (Kementan, 2015). Lahan tadah hujan merupakan lumbung padi kedua setelah lahan

irigasi, namun demikian sampai saat ini produksi rata-rata padi masih rendah yaitu berkisar

3,0-3,5 t/ha. Kendala produksi karena pada lahan ini antara lain: curah hujan yang tidak

menentu, kesuburan tanah rendah, gulma yang padat (Widyantoro dan Toha, 2010) serta

kekeringan dan serangan hama penyakit yang lebih intensif pada musim padi kedua

(Suparyono et al., 1992).

Penggunaan pestisida kimia dalam pertanian selalu meningkat dan dapat

menimbulkan masalah lingkungan dalam jangka panjang. Upaya yang ramah lingkungan

daripada pestisida kimia adalah biopestisida (Gupta dan Dickshit, 2010). Biopestisida

berasal dari hewan, tanaman dan mikroorganisme seperti fungi, bakteri, alga, virus,

nematoda dan protozoa. Telah banyak penelitian lapang yang mengaplikasikan biopestisda

untuk mengurangi polusi yang disebabkan oleh residu pestisida sintetik dan mendukung

pengembangan pertanian berkelanjutan (Gupta dan Dikshit, 2010; Nawaz et al., 2016).

Pengelolaan hama yang lebih bijak merupakan faktor penting dalam menghasilkan pangan

yang berkualitas (Birch, 2011).Ciri-ciri pertanian berkelanjutan adalah meningkatnya

produktivitas, rendah emisi gas rumah kaca dan cemaran residu pestisida di dalam tanah

Page 444: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

425

dan produk pertanian. Penggunaan pestisida nabati sangat mendukung program

pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu dalam menghasilkan

produk pangan yang sehat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran komponen

teknologi budidaya padi berkelanjutan di lahan tadah hujan dalam mendukung swasembada

pangan.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan dengan menerapkan teknologi budidaya padi ramah

lingkungan skala demplot selama 5 musim tanam padi berturut-turut (MH 2013 hingga MH

2015) di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan Pati. Perlakuan

yang diujikan adalah penerapan teknologi budidaya ramah lingkungan dengan beberapa

varietas padi pada setiap musimnya yang dibandingkan dengan cara konvensional.

Penelitian menggunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 7 perlakuan dan 3

ulangan. Perlakuan meliputi bermacam-macam varietas yang terbagi dalam 6 blok dengan

ukuran luas 1-2 ha per bloknya. Komponen teknologi ramah lingkungan adalah jajar tanam

legowo, pengairan berselang, penggunaan pupuk organik dan anorganik, penggunaan bagan

warna daun, pengendalian hama penyakit terpadu dengan penggunaan pestisida nabati

sebagai tindakan preventif. Pestisida nabati dibuat sendiri dari bahan baku lokalyaitu daun

mahoni, kunyit, daun dan biji mimba, urin sapi dan asap cair. Daun mimba dan mahoni

dicacah, kunyit ditumbuk hingga halus. Biji/daun mimba dan air (1 : 2) direbus sampai

mendidih dan diperam selama 24 jam. Demikian juga biji/daun mahoni dan air (1 : 2),

kunyit dan air (1 : 2) masing-masing direbus sampai mendidih dan diperam selama 24 jam.

Air rendaman mimba, mahoni dan kunyit ditambah urine sapi, asap cair dan air diperam

selama 2 hari, setelah itu dapat diaplikasikan dengan takaran 18 cc/liter air.

Aplikasi pestisida nabati dilakukan setiap 2 minggu sekali selama musim tanam.

Parameter yang diamati adalah hasil gabah, emisi gas rumah kaca (GRK) dan residu

pestisida pada awal dan akhir penelitian. Pengambilan sampel gas CH4 dilakukan secara

manual menggunakan boks berukuran 50 cm x 50 cm x 100 cm. Emisi GRK diukur secara

manual pada setiap blok perlakuan. Contoh gas diambil dengan menggunakan jarum suntik

volume 10 ml dengan interval waktu pengambilan setiap menit ke-5, 10, 15, 20dan 25.

Pengambilan contoh gas dilakukan pada 2 dan 5 hari setelah pemupukan I, II, III dan pada

fase berbunga. Pengambilan contoh gas N2O dilakukan secara manual menggunakan boks

berukuran 40 cm x 20 cm x 20 cm. Pengambilan contoh N2O juga dilakukan bersamaan

dengan pengambilan sampel CH4. Interval waktu pengambilan sampel N2O pada menit ke-

10, 20, 30, 40 dan 50. Sampel gas CH4 dan N2O dianalisis menggunakan Gas

Chromatografi (GC) tipe GHG-450 Varian yang dilengkapi dengan flame ionization

detector (FID) dan electron capture detector (ECD).. Hasil analisis contoh gas dapat

dihitung menjadi potensi pemanasan global (global warming potential/GWP). Panen

dilakukan pada ubinan dengan luas 3 x 2,5 m2 (atau 15 rumpun x 9 rumpun).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap hasil gabah menunjukkan bahwa perlakuan komponen

ramah lingkungan dapat meningkatkan hasil padi sebesar 14% dibandingkan kontrol (Tabel

Page 445: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

426

1). Rata-rata hasil gabah selama 5 musim dari perlakuan pertanian ramah lingkungan adalah

5,74 ton/ha, sedangkan kontrol mencapai 5,03 ton/ha. Hasil gabah tertinggi diperoleh

dengan menggunakan varietas Ciherang, yaitu sebesar 6,15 ton/ha. Hasil padi tertinggi

dicapai pada musim tanam Gogo Rancah 2014 dengan menggunakan varietas Ciherang,

yaitu sebesar 7,8 ton/ha. Pestisida nabati yang diaplikasikan pada petak perlakuan ramah

lingkungan setiap 2 minggu sekali dapat mengurangi intensitas serangan hama dan penyakit

tanaman serta penggunaan pestisida kimia, bahkan selama penelitian ini hampir tidak

digunakan pestisida kimia. Pestisida nabati mampu mengendalikan hama wereng (tungro)

dan meningkatkan hasil hingga 1,5 ton/ha (Sinar Tani, 2013).

Tabel 1 Hasil padi berbagai varietas padi di KP Balingtan, 2013-2015

Perlakuan

Hasil GKP (ton/ha/musim)

WJ 2013 GR 2013 WJ 2014 GR 2014 WJ 2015 Rata-

rata

Membramo 6,69 5,14 5,14 - - 5,66

IR64 5,57 5,75 4,96 6,76 5,5 5,71

Situ Bagendit 5,32 5,10 5,07 - - 5,16

Ciherang 6,05 5,67 5,84 7,77 5,4 6,15

Way Apo Buru 6,1 5,71 4,97 - - 5,59

Inpari 13 4,8 6,19 4,87 - - 5,29

Cibogo - - - 7,18 5,01 6,1

Cigeulis - - - 7,21 4,97 6,09

Mekongga - - - 6,72 5,14 5,93

Ciliwung - - - 6,87 4,67 5,77

Kontrol 4,57 5,3 4,17 6,61 4,52 5,03

Rata-rata Perlakuan 5,76 5,59 5,14 7,09 5,12 5,74

Di Indonesia, sampai saat ini sekitar 5400 jenis tumbuhan sudah diekplorasi

potensinya untuk bahan pestisida. Seratus jenis diantaranya mudah digunakan dan sangat

mudah diperoleh (Sinar Tani, 2013). Dalam penelitian ini, digunakan mahoni, kunyit dan

mimba sebagai bahan baku lokal yang mudah dan murah diperoleh di Pati dan sekitarnya.

Mimba (Azadirachta indica), mengandung beberapa senyawa, diantaranya adalah

‘azadirachtin’, yang berpengaruh terhadap proses reproduksi dan pencernaan sejumlah

hama. Penggunaan mimba sebagai pestisida nabati berkembang pesat di India. Mimba tidak

toksik terhadap burung dan mamalia, serta non karsinogenik (Gupta dan Dikshit, 2010).

Cara pengendalian hama dan penyakit yang paling efektif dan efisien adalah dengan

menanam varietas padi yang tahan.

Rata-rata produktivitas padi berkisar antara 5,03-5,74 ton/ha. Dukungan iklim

terhadap hasil padi di lokasi penelitian adalah tercukupinya curah hujan (Gambar 1). Bulan

Page 446: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

427

Januari 2014 merupakan bulan dengan curah hujan tertinggi, sekitar 653 mm. Produktivitas

padi pada lahan ini umumnya lebih rendah dari hasil padi di lahan sawah irigasi dan di

tingkat petani produktivitas padi sawah tadah hujan berkisar 3,0 – 3,5 t/ha (Fagi, 1995;

Setiobudi and Suprihatno, 1996).

Gambar 1. Pola curah hujan bulanan dan rata-rata di KP Balingtan, 2013-2015

Aplikasi pestisida nabati dalam penelitian ini meski tidak secara langsung

berpengaruh terhadap emisi gas rumah kaca (dinyatakan dengan GWP) namun

berkontribusi terhadap upaya penerapan teknologi budidaya yang ramah lingkungan.

Komponen teknologi yang paling berperan dalam menurunkan emisi GRK adalah

penerapan pengairan berselang. Komponen kedua adalah penggunaan varietas unggul yang

berpotensi hasil tinggi namun mengemisi GRK rendah. Beberapa varietas unggul

mempunyai emisi GRK yang lebih rendah dari cara petani diantaranya adalah Inpari 13,

Membramo, Way Apo Buru, Ciherang dan Mekongga (Tabel 2).

Perlakuan ramah lingkungan (penggunaan pestisida nabati merupakan salah satu

komponen) dapat menurunkan emisi GRK sebesar 4%. Rata-rata perlakuan varietas yang

dicobakan mengemisikan GRK sebesar 6,02 ton CO2-e, lebih kecil dibandingkan cara

petani yaitu 6,26 ton CO2-e per musimnya. Indeks emisi merupakan nisbah GWP dengan

hasil gabah. Dari hasil perhitungan indeks emisi menunjukkan bahwa varietas Membramo,

Inpari 13, Way Apo Buru, Ciherang dan Mekongga merupakan varietas-varietas yang

mengemisikan GRK rendah.

Hasil pengamatan terhadap residu pestisida pada awal (Tabel 3) dan akhir penelitian

(Tabel 4) menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar residu baik pada golongan

organofosfat maupun organoklorin. Meskipun demikian, residu endosulfan dalam tanah

masih terdeteksi di semua blok penelitian. Penurunan kadar relatif kecil pada perlakuan dan

pada petak kontrol (cara petani) ditemukan masih tinggi kadarnya. Hal ini terbukti bahwa

endosulfan memerlukan waktu yang lama dalam proses degradasinya. Mungkin disebabkan

oleh petani masih menggunakan pestisida kimia berbahan aktif endosulfan dalam

mengendalikan hama terutama wereng dan walang sangit. Pada petak perlakuan ramah

lingkungan, semua residu pestisida golongan organofosfat sudah tidak terdeteksi.

Penggunaan pestisida nabati berbahan lokal ini merupakan alternatif untuk mengurangi

residu pestisida di lahan tadah hujan.

0

10

20

30

0

100

200

300

400

500

600

700

Jan Mar Mei Jul Sept Nop Jan Mar Mei Jul Sept Nop Jan Mar Mei

Rata-rata

(mm/bln)Curah Hujan

(mm/bln)

2013-2015

Page 447: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

428

Tabel 2. Potensi pemanasan global (GWP) dari pertanaman padi berbagai varietas di

KPBalingtan, 2013-2015

No Perlakuan

GWP (Ton CO2-e) GWP (Ton

CO2-e)

Hasil

GKP

(ton/ha)

Indeks

Emisi WJ

2013

GR

2013

WJ

2014

GR

2014

WJ

2015

1

Membram

o 5,57 4,02 2,82 - - 4,14 5,66 0,73

2 IR64 6,35 2,63 5,94 8,07 9,97 6,59 5,71 1,15

3

Situ

Bagendit 6,85 6,88 5,05

- 6,26 5,16 1,21

4 Ciherang 7,59 2,91 3,59 5,52 6,75 5,27 6,15 0,86

5

Way Apo

Buru 5,48 4,49 4,09 - - 4,69 5,59 0,84

6 Inpari 13 5,15 4,07 2,86 - - 4,02 5,29 0,76

9 Cibogo - - - 3,52 9,14 6,33 6,10 1,04

10 Cigeulis - - - 4,62 7,60 6,11 6,09 1,00

11 Mekongga - - - 5,95 5,19 5,57 5,93 0,94

12 Ciliwung - - - 9,05 13,35 11,20 5,77 1,94

13 Kontrol 6,73 4,86 4,46 6,05 9,19 6,26 5,03 1,24

Rata-rata

Perlakuan 6,17 4,17 4,06 6,12 8,67 6,02 5,74 1,05

Sejak ditemukan pertama kali tahun 1954oleh Farbwerke Hoechst berkebangsaan

Jerman (Maier-Bode, 1968), insektisida endosulfan yang berspektrum luas menjadi bahan

agrokimia yang penting untuk mengendalikan hama. Karena penggunaannya yang intensif,

residu endosulfan terdapat di banyak lingkungan (air, tanah, udara dan biota) dengan

berbagai bentuk turunan dan memiliki persistensi yang sangat lama (Sastroutomo, 1992;

Weber et al., 2010) Endosulfantidak mudah terurai oleh mikroorganisme, enzim, panas,

ataupun cahaya ultra violet. Dari segi fungsi pestisida, senyawa dengan sifat-sifat tersebut

adalah yang paling baik akan tetapi tidak baik dari segi lingkungan (Sastroutomo, 1992).

Mengingat pengaruh sampingnya yang cukup berbahaya terhadap lingkungan

(pengaruh residunya yang lama dan bersifat akumulatif) maka sejak tahun 1973 formulasi

pestisida dengan bahan aktif dari golongan organoklorin dilarang penggunaannya di

Indonesia (Taufik, 2011). Untuk itu diperlukan alternatif untuk mendukung pertanian yang

ramah lingkungan. Pestisida nabati terdekomposisi cepat tanpa menimbulkan kontaminasi

dan efektif, mengganti pestisida kimia sekaligus untuk meningkatkan produksi (Kumar,

2015). Tanah tanpa cemaran kimia merupakan tanah yang sehat untuk menghasilkan

produk tanaman yang sehat pula. Biopestisida termasuk pestisida nabati berperan penting

Page 448: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

429

dalam pertanian berkelanjutan dengan memperbaiki kualitas dan kuantitas produk pangan.

Perkembangan biopestisida didasarkan pada efek negatif dari pestisida kimia. Lebih dari

3000 ton/tahun, biopestisida diproduksi di dunia dengan pangsa pasar 2,5%. Angka

pertumbuhan yang cepat dikarenakan target hama dan penyakit yang spesifik dan ramah

lingkungan (Gupta dan Dikshit, 2010).

Tabel 3. Konsentrasi residu pestisida pada awal penelitian

Tabel 4. Kadar residu pestisida pada akhir penelitian

KESIMPULAN

1. Komponen teknologi ramah lingkungan seperti penggunaan pestisida nabati dapat

meningkatkan hasil padi sebesar 14% dibandingkan cara petani.

2. Hasil gabah rata-rata tertinggi selama 5 musim tanam dicapai dengan menggunakan

varietas Ciherang. Hasil gabah tertinggi (7,8 ton/ha) tercapai pada MH 2014.

3. Varietas padi Membramo, Inpari 13, Way

4. Apo Buru, Ciherang dan Mekongga mengemisikan gas rumah kaca lebih rendah

dibandingkan varietas IR64 dan Situ Bagendit.

5. Residu organoklorin (endosulfan) masih ditemukan dalam tanah pada semua blok

penelitian dengan kisaran 0,0086-0,0111 mg/kg.

6. Penggunaan pestisida nabati dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia sehingga

perlu diintensifkan untuk mendukung pertanian yang ramah lingkungan di lahan tadah

hujan.

Page 449: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

430

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kepada Sdr Yono, Sri Wahyuni, Titi Sopiawati, Jumari, Hilda

Rahmawati atas bantuannya selama penelitian di lapang dan laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Birch, A.N.E. 2011. How agro-ecological research helps to address food security issues

under new IPM and pesticide reduction policies for global crop production systems.

J. Exp. Bot. 62:3251-3261.

Fagi, A.M. 1995. Strategies for improving rain-fed lowland rice production systems in

Central Java. p.189-199 InRainfed Lowland rice: Agricultural Research for High-

Risk Environments. IRRI. Phi-lippines.

Gupta, S., and A.K. Dikshit. 2010. Biopesticides: An eco-friendly approach for pest

control. Journal of Biopesticides 3(1 Special Issue): 186 – 188.

Kementerian Pertanian, 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019.

Kumar, S. 2015. Biopesticide: An Environment Friendly Pest Management Strategy. J.

Biofertil. Biopestic. 6: 127

Maier-Bode, H. 1968. Properties, effect, residues and analytics of the insecticide

endosulfan. Residue Rev. 22:1–44.

Nawaz, M., J.I. Mabubu, and H. Hua. 2016. Current status and advancement of

biopesticides: Microbial and botanical pesticides. Journal of Entomology and

Zoology Studies 4(2): 241-246.

Sastroutomo, S.S. 1992. Pestisida, dasar-dasar dan dampak penggunaannya. Gramedia,

Jakarta, 184 hlm.

Sinar Tani, 2013. Pestisida nabati untuk tanaman pangan. Edisi Minggu, 24 September

2013.

Setiobudi, D., and B. Suprihatno. 1996. Response of flooding in gogorancah rice and

moisture stress effect at reproductive stage in walik jerami rice. p. 80-90 In:

Physiology of Stress Tolerance in Rice (V.P. Singh, R.K. Singh, B.B. Sing and R.S.

Zeigler, eds.). NDUAT, India – IRRI, Philippines.

Suparyono, S. Kartaatmadja,and A.M. Fagi., 1992. Relationship between potassium and

development of several major rice diseases. Prosiding Seminar Nasional Kalium.

Jakarta 4 Agustus 1992. Hal. 155-162.

Taufik, I. 2011. Pencemaran pestisida pada perairan perikanan di Sukabumi - Jawa Barat.

Media Akuakultur Volume 6 Nomor 1.Weber, J., C.J. Halsall,D. Muir, C. Teixeira,

J. Small, K. Solomon, M. Hermanson, H. Hung, and T. Bidleman. 2010. Endosulfan,

a global pesticide: A review of its fate in the environment and occurrence in the

Arctic. Science of the Total Environment 408: 2966–2984.

Widyantoro dan H.M.Toha. 2010. Optimalisasi pengelolaan padi sawah tadah hujan

melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu. Prosiding Pekan Serealia

Nasional. Hal. 648-657 ISBN : 978-979-8940-29-3.

Page 450: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

431

KANDUNGAN RESIDU ENDOSULFAN PADA LAHAN SAWAH DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH

C.O. Handayani, Sukarjo, dan W. Purbalisa

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian; Jl. Raya Jakenan-Jaken Km.5 Kotak Pos 5 Jaken;

[email protected]

Abstrak.Endosulfan merupakan bahan aktif insektisida golongan organoklorin yang

digunakan di sektor pertanian untukmengendalikan hama/serangga. Petani terdorong

menggunakan insektisida endosulfan karena bersifat efektif dan relatif murah. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan residu endosulfan pada lahan sawah

intensif dan hubungannya dengan produksi padi di beberapa kecamatan di Kabupaten

Banjarnegara. Penelitian dilakukan dengan metode surveymelaluipengumpulan data primer

dan data sekunder.Penelitian berlangsung pada bulan Januari-Agustus Tahun 2015. Data

primer diperoleh melalui pengambilan contoh tanah pada lahan sawah intensif di beberapa

kecamatan Kabupaten Banjarnegara. Contoh tanah diekstraksi dengan aseton + N heksan

dan kandungan residu endosulfan diukur menggunakan Gas Chromatography (GC). Data

sekunder diperoleh dari informasi instansional dan data BPS Kab. Banjarnegara. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kandungan residu endosulfan di lahan sawah Kabupaten

Banjarnegara sebagian besar telah melebihi Batas Maksimum Residu (BMR=0,0085 mg kg-

1) antara lain di Kecamatan Banjarmangu, Kecamatan Banjarnegara, Kecamatan Bawang,

Kecamatan Mandiraja, Kecamatan Purwanegara, dan Kecamatan Wanayasa.Kandungan

endosulfan berkorelasi negatif dengan produksi padi di Kabupaten Banjarnegara (r = -

0,265).

Kata kunci:Endosulfan, Lahan Sawah, Kabupaten Banjarnegara

Abstract.Endosulfan is an active ingredient of organochlorine insecticides that used in

agricultural sector to control pests. Farmers are encouraged to use endosulfan insecticides

because of its effective and inexpensive. The purpose of this research was to identify

endosulfan residue on intensive rice fields and its relation to rice production in some

subdistricts in Banjarnegara District. The research was conducted using survey method

through collecting primary and secondary data. The research took place from January to

August of 2015. Primary data was obtained through soil sampling on intensive rice fields in

several subdistricts at Banjarnegara District. The soil sample was extracted with acetone +

N hexane and the endosulfan residual concentration was measured using Gas

Chromatography (GC). Secondary data was obtained from the institutional information and

statistical data at Kab. Banjarnegara. The results showed that endosulfan residue content in

rice fields at Banjarnegara Regency had mostly exceeded the residue maximum limit (RML

= 0.0085 mg kg-1), i.e. in Banjarmangu, Banjarnegara, Bawang, Mandiraja, Purwanegara,

and Wanayasa. Endosulfan content correlated negatively with rice production in

Banjarnegara District (r = -0.265).

Keywords:Endosulfan, rice field, Banjarnegara District

44

Page 451: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

432

PENDAHULUAN

Endosulfan merupakan bahan aktif insektisida golongan organoklorin yang

digunakan di sektor pertanian untukmengendalikan hama/serangga. Sifat endosulfan yang

persisten, efektif dalam penggunaan dan murahmenjadikan insektisida tersebut banyak

digunakan petani.

Insektisida organoklorin digunakan secara ekstensif dari tahun 1940an sampai

tahun 1960an di bidang pertanian dan pengendalian nyamuk. Pestisida organoklorin

memiliki sejarah panjang yang penggunaanya meluas di Amerika Serikat dan di seluruh

dunia. Organoklorin bersifat persisten, toksik kronis, dan bioakumulatif yang menjadikan

senyawa tersebut dipermasalahkan di dunia (Zhou et al., 2006). Hasil penelitian oleh

Harikumar et al. (2014) menunjukkan bahwa endosulfan di lahan jambu mete yang ditanam

di Kerala India masih ditemukan dalam jangka waktu 1,5 sampai 2 tahun.

Di Indonesia, semua jenis insektisida organoklorin telah dilarang sejak akhir 1990.

Namun, beberapa jenis organoklorin seperti DDT masih digunakan di Indonesia karena

harganya murah, mudah digunakan, dan efektif memberantas hama, serta kurangnya

ketegasan hukum dan peraturan yang berlaku (Sudaryanto et al., 2007).

Keberadaan jenis insektisida organoklorin masih terdeteksi dibeberapa lahan sawah

di Jawa Barat dan Jawa Tengah meskipun penggunaannya telah lama dilarang di Indonesia.

Telah dibuktikan bahwa organoklorin masih terkandung dalam tanah di daerah pertanian

Pantura Jawa Barat pada beberapa penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa organoklorin

masih digunakan di daerah tersebut. Jenis organoklorin yang terdeteksi antara lain adalah

DDT, dieldrin, dan endrin. Kondisi daerah pertanian di Jawa Barat yang relatif homogen,

maka tanah daerah pertanian di Sub DAS Citarum Hulu diperkirakan juga mengandung

senyawa organoklorin (Nugraha, 2007).

Tanah dan air di DAS Citarum bagian tengah telah terkontaminasi oleh senyawa

endosulfan dan aldrin.Konsentrasi endosulfandalam tanah berkisar 0,001-0,027 mg kg-1,

dan sekitar 43% dari contoh tanah yang diambil telah melebihi batas maksimum residu

(Mulyadiet al., 2015).

Residu organoklorin juga teridentifikasi di area persawahan Sub DAS Citarum Hulu

antara lain aldrin, dieldrin, DDT, heptaklor, dan endosulfan. Organoklorin dengan

konsentrasi tertinggi yang ditemukan adalah jenis endosulfan (Ramadhani dan Oginawati,

2014).

Residu insektisida organoklorin dan organofosfat juga telah terdeteksi dalam contoh

tanaman padi, tanah sawah, dan air di sentra produksi padi di Jawa Tengah (Kabupaten

Grobogan, Demak, Pemalang, Brebes, Tegal Cilacap, Kebumen, Sragen, dan Klaten),

sedangkan residu insektisida karbamat hanya ditemukan di Kabupaten Klaten, Demak,

Cilacap, dan Pati. (Ardiwinata et al., 2012).

Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan residu endosulfan

yang ada pada lahan sawah dan hubungannya dengan produksi padi padabeberapa

kecamatan di Kabupaten Banjarnegara

Page 452: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

433

METODOLOGI

Penelitian dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang berlangsung

pada bulan Januari-Agustus tahun 2015. Penelitian dilakukan dengan metode

surveymelaluipengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan

pengambilan contoh tanah pada lahan sawah intensif di 8 kecamatan yaitu Kecamatan

Banjarmangu, Kecamatan Banjarnegara, Kecamatan Bawang, Kecamatan Mandiraja,

Kecamatan Purwanegara, Kecamatan Susukan, Kecamatan Wanadadi, dan Kecamatan

Wanayasa. Satu contoh tanah terdiri dari 5 sub contoh. Setiap sub contoh diambil pada

jarak 25-50 m. Contoh tanah pada kedalaman lapisan olah (0-20 cm) diambil dengan

menggunakan bor tanah. 5 sub-contoh dimasukkan ke dalam ember dan dicampur sampai

homogen, dan diambil 0,5-1 kg diambil dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Data

sekunder berupa data produksi padi pada tahun 2011-2015 diambil dari data yang

dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Banjarnegara.

Ekstraksi contoh tanah

Contoh tanah 20 g dalam tabung erlenmeyerditambahkan 40 ml aseton, dikocok

hingga 30 menit.Suspensi disaring melalui kolom Buckner dan ditambah selit, diuapkan

dengan evaporator berputar sampai volume akhir ± 1 ml lalu ditambahkan 50 ml pelarut n-

heksan dan dimurnikan dalam kolom kromatografi yang mengandung florisil dan natrium

sulfat anhidrat.Supernatan diuapkan lagi hingga volume manjadi ± 1 ml, lalu labu dibilas

perlahan-lahan dengan aseton, dihimpitkan dalam tabung reaksi hingga volume 10 ml.

Contoh siap diinjeksikan ke dalam kromatografi gas. Setelah proses ekstraksi selesai,

masing-masing contoh diinjeksikan ke dalam instrumen kromatografi gas untuk mengukur

kandungan residu endosulfan. Residu yang terdapat dalam contoh dihitung berdasarkan

rumus:

R B Vis As

Vfc Vic Ac KsResidu

Residu: Residu dalam contoh yang dianalisis (mg kg-1)

Ks : Konsentrasi standar

Ac : Area contoh

As : Area standar

Vic : Volume injeksi contoh

Vis : Volume injeksi standar

B : Bobot contoh/volume contoh (g atau ml)

Vfc : Volume akhir contoh (ml)

R : Recovery (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kecamatan yang diambil contoh

tanahnya terdeteksi residu endosulfan. Rata-rata kandungan endosulfan dalam tanah sawah

di Kabupaten Banjarnegara yaitu Kec. Wanayasa (0,0189 mg kg-1), Kec. Purwanegara

(0,0168 mg kg-1), Kec. Mandiraja (0,0122 mg kg-1), Kec. Banjarnegara (0,0101 mg kg-1)

Page 453: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

434

dan Kec. Bawang (0,0101 mg kg-1), Kec. Banjarmangu (0,0087 mg kg-1), Kec. Susukan

(0,0071 mg kg-1), Kec. Wanadadi (0,0058 mg kg-1) (Tabel 1).

Tabel 1. Kandungan residu endosulfan pada lahan sawah dalam satuan mg kg-1

Kecamatan Konsentrasi

maksimal

Konsentrasi

minimum

Konsentrasi

rata-rata

Konsentrasi

bias

Kec. Banjarmangu 0,0296 0,0011 0,0087 0,0094

Kec. Banjarnegara 0,0696 0,0046 0,0101 0,0224

Kec. Bawang 0,0259 0,0030 0,0101 0,0098

Kec. Mandiraja 0,0398 0,0015 0,0122 0,0126

Kec. Purwanegara 0,0349 0,0034 0,0168 0,0119

Kec. Susukan 0,0152 0,0021 0,0071 0,0043

Kec. Wanadadi 0,0108 0,0016 0,0058 0,0040

Kec. Wanayasa 0,0696 0,0016 0,0189 0,0257

Nilai rata-rata residu endosulfan di sebagian besar kecamatan telah melebihi Batas

Maksimum Residu (BMR) yaitu 0,0085 mg kg-1 (Alberta Tier, 2009), yaitu Kecamatan

Banjarmangu (0,0087 mg kg-1), Kecamatan Banjarnegara (0,0101mg kg-1), Kecamatan

Bawang (0,0101 mg kg-1), Kecamatan Mandiraja (0,122 mg kg-1), Kecamatan Purwanegara

(0,0168 mg kg-1), dan Kecamatan Wanayasa (0,0189 mg kg-1) (Gambar 2). Besarnya

kandungan endosulfan dapat disebabkan masih digunakannya bahan aktif tersebut

olehpetani di lapangan, walaupun berdasarkan Konvensi Stockholm bahwa penggunaan

endosulfan telah dilarang pada tahun 2012. Karena penggunaan yang melimpah dan

transportasi potensial, kontaminasi endosulfan sering ditemukandilingkungan pada jarak

yang cukup jauh dari titik aplikasi aslinya (Singh dan Wilson 1995; Miles dan Pfeuffer,

1997). Endosulfan dapat ditemukan secara ekstensif di air, tanah dan udara. Endosulfan

mempengaruhi lingkungan melalui rantai perairan dan makanan yang efeknya sangat

berbahaya bagi lingkungan.

Keberadaan kontaminan endosulfan dalam tanah juga disebakan oleh sifat senyawa

tersebut yang persisten. Meskipun dalam jangka waktu yang relatif lama sudah tidak

digunakan tapi senyawa tersebut masih berada dalam tanah. Endosulfan bertahan dalam

tanah dan lingkungan air selama 3 sampai 6 bulan bahkan lebih (Rao dan Murty, 1980;

Kathpal et al., 1997; Awasthi et al., 2000). Sifat persisten endosulfan dipegaruhi oleh

kondisi iklim dan karakteristik fisika-kimia tanah seperti pH, kandungan bahan organik dan

ukuran partikel tanah (Harikumar et al., 2014).

Page 454: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

435

Gambar 1. Konsentrasi endosulfan terhadap BMR pada lahan sawah

Produksi Padi Kabupaten Banjarnegara

Kabupaten Banjarnegara memiliki luas lahan sawah sebesar 22.308 Hektar dengan

rata-rata produksi padi sebesar 65,12 ku ha-1 (BPS Kab. Banjarnegara, 2016). Tahun 2015

produksi padi di Kecamatan Banjarmangu paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan

lainnya yaitu sebesar 262,05 ku ha-1. Produksi padi paling rendah di Kecamatan Wanayasa

yaitu sebesar 41,11 ku ha-1.

Korelasi antara kandungan residu endosulfan dan produksi padi

Kandungan residu endosulfan berkorelasi negatif dengan produksi padi di

Kabupaten Banjarnegara dengan nilai korelasi (r) -0,265. Berdasarkan nilai tersebut,

hubungan antara kedua peubah tersebut adalah lemah. Misal produksi padi di Kecamatan

Banjarmangu tinggi tetapi data kandungan residu pertisida hanya 0,0087 mg kg-1,

sebaliknya di Kecamatan Wanayasa dengan produksi padi terendah tetapi kandungan residu

endosulfan pada lahan sawahnya paling tinggi yaitu 0,0189 mg kg-1.

Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya kandungan residu endosulfan yang

tinggi pada suatu daerah tidak menjamin akan tinggi pula produksi padi di daerah tersebut.

Tingginya kandungan residu endosulfan tidak hanya disebabkan oleh masih digunakannya

bahan aktif tersebut oleh petani tetapi juga karena sifat dari residu endosulfan yang tidak

banyak bergerak dalam tanah dan sangat persisten.

BMR=0,0085

mg kg-1

Page 455: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

436

Gambar 2. Nilai rata-rata produksi padi di Kabupaten Banjarnegara

KESIMPULAN

Rata-rata kandungan endosulfan tertinggi dalam tanah sawah di Kabupaten

Banjarnegara adalah di Kecamatan Wanayasa (0,0189 mg kg-1) dan kandungan terendah di

Kecamatan Wanadadi (0,0058 mg kg-1). Terdapat 6 kecamatan yang rata-rata kandungan

endosulfannya lebih tinggi daripada BMR yaitu Kecamatan Banjarmangu (0,0087 mg kg-1),

Kecamatan Banjarnegara (0,0101mg kg-1), Kecamatan Bawang (0,0101 mg kg-1),

Kecamatan Mandiraja (0,0122 mg kg-1), Kecamatan Purwanegara (0,0168 mg kg-1), dan

Kecamatan Wanayasa (0,0189 mg kg-1). Nilai korelasi antara kandungan residu endosulfan

dan produksi padi di Kabupaten Banjarnegara yaitu -0,265 yang menunjukkan adanya

hubungan yang lemah, dan berbanding terbalik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini didanai oleh DIPA Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Tahun

Anggaran 2015. Kami berterimakasih kepada peneliti dan teknisi Kelompok Peneliti EP3

yang berperan aktif dalam penelitian ini.

Page 456: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

437

DAFTAR PUSTAKA

Alberta Tier I. 2009. Soil and Groundwater Remediation Guidelines. Climate Change, Air

and Land Policy Branch Enviromental Assurance Division Alberta Environment. 10

th Floor, Oxbridge Place.

Ardiwinatada, A.N., dan D. Nursamsi. 2012. Residu pestisida di sentra produksi padi di

Jawa Tengah. Jurnal Pangan 21(1): 39-58.

Awasthi, N., N. Manickam, and A. Kumar. 1997. The neighbor-joining method: A new

endosulfan by a bacterial coculture. Bull. Environ. Contam. Toxi- method for

reconstructing phylogenetic trees. Mol. Biol. Evol. 59:928–934.

BPS Kab. Banjarnegara, 2016. Kabupaten Banjarnegara dalam Angka 2016.

Harikumar, P.S., K. Jesitha, T. Megha,and K. Kokkal. 2014. Persistence of endosulfan in

selected areas of Kasargod district Kerala. Curr. Sci. 106: 1421-1429.

Kathpal, T.S., A. Singh, and J.S. Dhankhar. 1997. Fate of endosulfan in cotton soil under

sub-tropical conditions in Northern India. Pestic. Sci. 50: 21-27.

Mansingh, A., and A. Wilson. 1995. Insecticide contamination of Jamaican environment.

Baseline studies on the status of insecticidal pollution of Kingston Harbour. Mar.

Pollut. Bull. 30: 640–645.

Miles, C.J., and R.J. Pfeuffer. 1997. Pesticides in canals of South Florida. Archives of

Environmental Contamination and Toxicology 32: 337–345.

Mulyadi, Poniman, dan Sukarjo. 2015. Residu aldrin dan endosulfan pada air sungai dan

lahan pertanian di daerah aliran sungai Citarum Tengah, Kabupaten Cianjur, Jurnal

Lingkungan Tropis8(2): 115-123.

Nugraha. 2007. Evaluasi Penggunaan Insektisida Organoklorin di Persawahan di Pantai

Utara Jawa.

Ramadhani, N.W., dan K. Oginawati. 2014. Residu Insektisida Organoklorin di Persawahan

Sub-Das Citarum Hulu.

Rao, D.M.R., and A.S.Murty. 1980. Persistence of endosulfan in soils. J. Agric. Food

Chem. 28: 1099-1101.

Sudaryanto, A., I. Monirith, N. Kajiwara, S. Takahashi, P. Hartono, Muawanah, and S.

Tanabe. 2007. Levels and distribution of organochlorine in fish from Indonesia.

Environmental International 33(6): 750-758.

Zhou, R., L. Zhu, K. Yang, and Y. Chen . 2006. Distribution of organochlorine pesticides

in surface water and sediments from Qiantang River, East China. Journal of

Hazardous Materials, 68-75.

Page 457: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

438

Page 458: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

439

DETEKSI RESIDU PESTISIDA ENDOSULFAN DAN HEPTAKLOR DALAM AIR DI ALIRAN SUNGAI SERAYU

Ina Zulaehah, dan Sukarjo

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl Jakenan-Jaken Km.05, Jaken 59182, Pati

Abstrak. Endosulfan dan heptaklor merupakan salah satu dari senyawa POP’s (Persistent

Organic Pollutant) sebagai pencemar organik yang persisten. Keduanya termasuk ke dalam

golongan insektisida organoklorin yang banyak digunakan sebagai pembasmi

hama/serangga di lingkungan pertanian dikarenakan murah dan aplikasinya yang efektif.

Sifat dari endosulfan dan heptaklor yang beracun, bioakumulasi, dan bersifat merusak

endokrin, dapat menyebabkan gangguan pada ekosistem pertanian, termasuk didalamnya

berefek langsung terhadap ikan dan kehidupan air lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah

mengetahui kandungan residu endosulfan dan heptaklor dalam air di aliran sungai Serayu.

Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Oktober 2015. Pengambilan contoh air di sepanjang

sungai serayu, kemudian contoh air dianalisis kandungan residu endosulfan dan heptaklor

dengan ekstraksi menggunakan pelarut organik n-heksan dan diukur menggunakan Gas

Chromatography (GC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 69 contoh air, 4 contoh

terdeteksi mengandung heptaklor, dan 20 contoh terdeteksi senyawa endosulfan.

Kandungan residu endosulfan dan heptaklor pada contoh air disepanjang sungai Serayu

masih berada di bawah baku mutu menurut PP No.82 tahun 2001.

Kata kunci: endosulfan, heptaklor, air, sungai Serayu

Abstract. Endosulfan and heptachlor are organochlorin which is chategorized as persistent

organic pollutant compounds. Both of this compounds are used to the eliminated pest in an

agricultural environment, because of easy and effective application. They have high

toxicity, bioaccumulation, and endocrine destroyed so that it can cause disruption to

agricultural ecosystems, included pollutes in fish and water environment. The objective this

research was to study endosulfan and heptachlor residue content in water from Serayu river

stream. This study was conducted in March-October 2015. Water sampling from Serayu

river, water samples were analyzed for endosulfan and heptachlor residue content with n-

hexane organic solvent extraction, then was measured using Gas Chromatography (GC).

The results showed that from 69 water samples, 4 samples contain heptachlor and 20

samples contain endosulfan. The residual content of endosulfan and heptachlor in water

samples along Serayu river is still below the water quality standard according to PP

82/2001.

Keywords: Endosulfan, Heptachlor, Water, Serayu river

PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu terletak dibagian selatan Jawa Tengah yang

membentang dari hulu hingga hilir seluas 3.718 km2. DAS Serayu melintasi 5 kabupaten di

Jawa Tengah, yaitu Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap,

wilayah sebelah timur berbatasan dengan rangkaian gunung api Sumbing dan

45

Page 459: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

440

Sindoro,sebelah utara berbatasan dengan pegunungan Rogojembangan dan gunungapi

Slamet, sebelah selatan berbatasan dengan pegunungan Serayu Selatan dan sebelah barat

berbatasan dengan perbukitan yang melintang sepanjang perbatasan Banyumas dan

Cilacap.

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem yang didalamnya

berlangsung berbagai macam proses fisik, kimia, dan biotik yang saling berinteraksi.

Interaksi tersebut dapat mempengaruhi keluaran debit air ke hilir. Kegiatan di pemukiman

serta pengelolaan pertanian terdapat di sepanjang pinggiran aliran sungai Serayu. Kegiatan

pertanian terutama akibat penggunaan pupuk dan pestisida dapat berdampak pada kualitas

air sungai melalui buangan dari lahan pertanian yang masuk ke badan air. Menurut

Ruchirawat & Shank (1996) menyatakan bahwa pada saat proses penyemprotan di lahan

pertanian, sekitar 3-30% dari bahan aktif pestisida mencapai target yang dituju baik itu

daun, bunga atau yang lain. Sedangkan sisanya sekitar 70% terbuang dan hanyut bersama

aliran air sehingga menyumbang terjadinya pencemaran air di perairan.

Menurut Priyambada et al. (2008) bahwa perubahan tata guna lahan yang ditandai

dengan meningkatnya aktivitas domestik, pertanian dan industri akan mempengaruhi dan

memberikan dampak terhadap kondisi kualitas air sungai terutama aktivitas domestik yang

memberikan masukan konsentrasi BOD terbesar ke badan sungai.

Endosulfan merupakan senyawa kimia dari golongan organoklorin yang banyak

dipergunakan di Indonesia sebagai bahan aktif dalam berbagai formulasi insektisida dan

diperdagangkan dengan beberapa nama dagang, antara lain: Thiodan, Fanodan, Akodan dan

Termisidan (Pusat dan Investasi Sekjen Deptan, 2007). Seperti pestisida golongan

organoklorin pada umumnya, endosulfan bersifat toksis terhadap organisme perairan

termasuk ikan menjadi sangat persisten sehingga akan meninggalkan residu dalam waktu

lama yang dapat mencemari lingkungan pertanian.

Insektisida heptaklor digunakan untuk mengendalikan serangga tanah dan

diperdagangkan dalam dua bentuk formulasi yaitu emulsi pekat dan butiran (Buchel, 1983;

IUPAC, 2010) karena harganya yang murah, mudah digunakan, dan efektif membasmi

hama. Disamping itu, pestisida heptaklor masih banyak digunakan oleh petani di Indonesia

karena kurangnya ketegasan peraturan dan hukum yang berlaku. Endosulfan dan heptaklor

keduanya termasuk dalam golongan pestisida organoklorin. Penggunaan insektisida yang

tetap dalam jangka panjang selain meningkatnya resistensi hama terhadap insektisida juga

secara akumulasi meningkatkan kadar insektisida di dalam tanah, air, dan produk pertanian.

Perubahan fungsi tata guna lahan di sekitar DAS Serayu serta penggunaan pestisida

yang kurang ramah lingkungan menyebabkan lingkungan sekitar menjadi tercemar, oleh

karena itu harus segera dilakukan upaya pengendalian secara bijak. Tujuan dari penelitian

ini adalah mengidentifikasi dan mengetahui tingkat pencemaran residu endosulfan dan

heptaklor dalam air di daerah aliran sungai Serayu.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Oktober 2015. Pengambilan contoh air di

lakukan pada 69 titik dari sepanjang DAS Serayu di kabupaten Banjarnegara, Banyumas,

Page 460: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

441

Cilacap, Purbalingga, dan Wonosobo, kemudian di analisa kandungan residu heptaklor dan

endosulfan (Gambar 1). Pengambilan contoh air mengacu pada sifat hidrologis air, yaitu

mewakili daerah hulu, tengah dan hilir; sungai tersier, sekunder dan primer; daerah atas,

tengah dan bawah.

Gambar 1. Peta Sebaran Pengambilan Contoh Air di Sungai Serayu

Bahan kimia yang diperlukan antara lain: n-heksan (C6H14) p.a, dieteleter (C4H10O)

p.a, air suling, NaCl, Na2SO4, dan larutan standar pestisida organoklorin, sedangkan

peralatan yang digunakan, yaitu: botol contoh air, timbangan, shaker, tabung reaksi, vial,

gelas ukur, corong gelas, dan erlenmeyer. Ekstraksi contoh air dengan memasukkan 100 ml

contoh kedalam corong pemisah, kemudian ditambahkan 3 gr serbuk NaCl dan 50 ml N-

heksan dan dikocok 10 menit. Setelah didiamkan dan terbentuk 2 lapisan, lapisan air

ditampung ke dalam gelas piala 500 ml, dan lapisan n-heksan dituang ke erlenmeyer 300

ml. Selanjutnya lapisan air dipindahkan ke dalam corong pemisah, ditambahkan 50 ml n-

heksan dan dikocok selama 10 menit. Setelah itu didiamkan sampai terbentuk 2 (dua)

lapisan yaitu lapisan n-heksan dan air kemudian dimurnikan (clean up), lapisan air dibuang

sedangkan lapisan n-heksan digabungkan dengan yang sebelumnya. Serbuk natrium

anhidrat 5 gr ditambahkan sampai semua air yang ada terikat, kemudian n-heksan dituang

ke dalam labu jantung 300 ml dan dipekatkan sampai volume 1 ml. Selanjutnya dilakukan

proses pencucian (clean up) sebelum disuntikkan kedalam Gas Chromatografi (GC).

Analisa residu endosulfan dan heptaklor dilakukan di Laboratorium Terpadu, Balai

Penelitian Lingkungan Pertanian, Pati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 69 sampel air yang diambil terdeteksi 4 air

mengandung residu heptaklor dan 20 air mengandung residu endosulfan (Tabel 1). Secara

umum dapat dilihat bahwa sampel air yang berasal dari tiga kabupaten yaitu Kabupaten

Banjarnegara, Banyumas, dan Probolingga terdeteksi hanya mengandung residu

Endosulfan saja, sedangkan dua Kabupaten lain yaitu Cilacap dan Wonosobo terdeteksi

mengandung residu heptaklor dan endosulfan.

Page 461: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

442

Dari 3 contoh air yang diambil di Banyumas sebanyak 2 contoh (66,67%) terdeteksi

endosulfan. Selanjutnya dari 7 contoh air yang diambil dari kabupaten Cilacap,

menunjukkan hasil: 2 contoh (28,57%) terdeteksi heptaklor, dan 6 contoh (85,71%)

terdeteksi endosulfan. Dari 4 contoh air yang diambil dari Purbalingga, hanya terdeteksi

endosulfan sebanyak 1 contoh (25%). Sedangkan dari 23 pengambilan contoh air di

Wonosobo, masing-masing menunjukkan hanya 2 contoh (8,7%) terdeteksi heptaklor dan

endosulfan.

Tabel 1. Jumlah Contoh Air Terdeteksi Residu Heptaklor dan Endosulfan

Kabupaten Jumlah

contoh

Jumlah contoh terdeteksi

Heptaklor %

Heptaklor Endosulfan

%

Endosulfan

Banjarnegara 32

9 28,125

Banyumas 3

2

Cilacap 7 2 28,57 6 85,71

Purbalingga 4

1

Wonosobo 23 2 8,7% 2 8,7%

Total 69 4 20

Sesuai dengan sifat hidroligis air yaitu air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke

tempat yang lebih rendah, maka sedikit banyak akan mempengaruhi akumulasi unsur atau

senyawa yang dilewati, kemudian terbawa, dan mengendap bersama sedimen tanah.

Senyawa endosulfan dan heptaklor dapat terikut sejalan dengan pergerakan air, tapi tidak

dapat larut dalam air.

Menurut Haque et al. (1980) penyebaran pencemaran dalam lingkungan perairan

sangat dipengaruhi oleh sejumlah proses pengangkutan interaktif seperti penguapan,

presipitasi dari udara, pencucian, dan aliran. Proses penguapan berdampak pada turunnya

kepekatan dalam air, sedangkan yang lainnya termasuk presipitasi dari udara, pencucian,

dan aliran akan meningkatkan kepekatan.

Heptaklor hanya terdeteksi di kabupaten Wonosobo dan Cilacap. Nilai tertinggi

heptaklor (0,00187 mg kg-1) terdapat di Desa Gomboharjo, Kecamatan Adipala, Cilacap.

Sedangkan nilai terendah heptaklor (0,00117 mg kg-1) terdeteksi di Desa Mlandi,

kecamatan Garung, Wonosobo (Gambar 2).

Heptaklor bersifat beracun, bioakumulasi, dan bersifat merusak endokrin, dapat

beresiko buruk terhadap kesehatan. Residu yang masuk melalui aliran air dapat

menyebabkan gangguan pada kehidupan ekosistem perairan, seperti ikan. Yang perlu

mendapat perhatian adalah transfer residu melalui rantai makanan dan puncak

akumulasinya terdapat pada individu tertinggi. Keberadaan insektisida heptaklor harus

Page 462: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

443

diwaspadai, karena heptaklor sejak akhir tahun 1990 tidak boleh digunakan untuk

pengendalian hama di Indonesia (Jatmiko et al., 2010).

Gambar 2. Kandungan Heptaklor pada Contoh Air di Aliran Sungai Serayu

Dari 20 contoh air yang terdeteksi endosulfan, menunjukkan berasal dari semua

kabupaten di sepanjang sungai Serayu (Gambar 3). Kabupaten Banjarnegara menunjukkan

jumlah contoh yang terdeteksi endosulfan lebih banyak yaitu 6 contoh (30%), sedangkan

Purbalingga memperlihatkan paling sedikit sebanyak 1 contoh (5%). Kandungan

endosulfan tertinggi (0,00045 mg kg-1) terdapat di Desa Kedawung, Kecamatan Susukan,

Banjarnegara, dan kandungan endosulfan terendah (0,0001 mg kg-1) di Desa Kesugihan

Kidul, kecamatan Kesugihan, Cilacap.

Gambar 3. Kandungan Endosulfan pada Contoh Air di Aliran Sungai Serayu

Aktivitas pertanian seperti penggunaan pestisida dapat meninggalkan residu bahan

agrokimia, seperti endosulfan yang memiliki sifat persisten, dan tidak mudah terdegradasi.

Taufik et al. (2003) melaporkan bahwa perairan tambak serta saluran irigasi di kabupaten

Page 463: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

444

Brebes, Jawa Tengah telah tercemar oleh insektisida endosulfan yang berasal dari limbah

pertanian dan perkebunan dengan konsentrasi secara berturut-turut sebesar 2,7 dan 3,2 μg/l.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ekaputri (2001) juga menunjukkan bahwa

perairansungai Ciliwung, Jawa Barat yang mengalir melewati daerah bogor, depok, dan

jakarta mengandung residu insektisida endosulfan dengan konsentrasi berkisar antara 0,7-

4,0 μg/l.

Tabel 2. Kadar Residu Heptaklor dan Endosulfan Dibandingkan dengan Baku Mutu

Residu Pestisida Kadar Residu Pestisida

(mg kg-1)

Baku Mutu

(µg kg-1) Status Air

Heptaklor 0.0015 ± 0.0003 18 Layak

Endosulfan 0.0001 ± 0.0001 - Layak

Perairan bertindak sebagai suatu tempat penampunganutama bagi residu pestisida

yang persisten. Pestisida dapat masuk ke dalam perairan melalui berbagai jalur, seperti:

pemakaian langsung untuk membasmi hama tanaman, buangan limbah perkotaan dan

industri, limpasan dari areal persawahan, pencucian dari tanah, penimbunan aerosol dan

partikulat, curah hujandan penyerapan dari fase uap pada antar fase udara-air (Taufik,

2011). Berdasarkan PP Nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan air dan pengendalian

pencemaran air, kandungan residu endosulfan dan heptaklor masih berada dibawah ambang

batas (Tabel 2) sehingga status airnya masih layak untuk dikonsumsi.

KESIMPULAN

1. Sebanyak 5,8% contoh terdeteksi heptaklor, dan 28,9% contoh terdeteksi endosulfan

dari 69 titik pengambilan contoh air di daerah aliran sungai Serayu.

2. Kandungan residu endosulfan dan heptaklor pada contoh air disepanjang sungai Serayu

masih berada di bawah baku mutu menurut PP Nomor 82 tahun 2001.

DAFTAR PUSTAKA

Buchel, K.H. 1983. Chemistry of Pesticides. John Wiley & Sons, Inc., New York. 518 p.

Ekaputri, L.S. 2001. Pola penyebaran spasial dan temporal bahan organik, logam berat dan

pestisida di perairan Sungai Ciliwung. Disertasi Program Pascasarjana, Program

Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB, 148 hlm.

Haque, R., J. Falco, S. Cohen, & C. Riordan. 1980. Role of transport and fate studies in the

exposure assessment and screening of toxic chemicals. In R. Haque (eds) Dynamic,

Exposure, and Hazard Assessment of Toxic Chemicals. Ann Arbor Science, Ann

Arbor, Michigan, p. 47-67.

IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemist) system. 2010. Global

Availability of Information on Agrochemicals.

Page 464: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

445

Jatmiko, S.Y, E. Martono., J. Prayitno., dan S. Worosuprojo. 2010. Distribusi ruang

insektisida heptaklor di lahan pertanian Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 16(1): 47-54.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82. 2001. Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air.

Pusat Perizinan dan Investasi. 2007. Pestisida: Pertanian dan Kehutanan. Sekretariat

Jenderal, Departemen Pertanian. 574 hal.

Priyambada I.B., W. Oktiawan, dan R.P.E. Suprapto. 2008. Analisa pengaruh perbedaan

fungsi tata guna lahan terhadap beban cemaran BOD sungai (Studi Kasus Sungai

Serayu Jawa Tengah). Jurnal Presipitasi. 5(2): 55-62.

Ruchirawat, M., and R.C. Shank. 1996. Environmental Toxicology. International Center for

environmental and Industrial Toxicology (ICEIT). Chulabhorn Research Institute,

Bangkok, Thailand.

SNI 06-6990.1-2004. Air – Bagian 1: Cara uji pestisida organoklorin secara ekstraksi

menggunakan pelarut n-heksan dengan Kromatografi Gas-Spektrofotometer Massa

(KG-SM).

Taufik, I., S. Koesoemadinata, Sutrisno, & A. Nugraha. 2003. Tingkat akumulasi residu

pestisida pertanian di perairan tambak. J. Pen. Perik. Indonesia, 9(4): 53- 61.

Taufik, I. 2011. Pencemaran pestisida pada perairan perikanan di Sukabumi-Jawa Barat.

Media Akuakultur 6(1): 70-75.

Page 465: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

446

Page 466: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

447

SEBARAN ORGANOKLORIN KLORDAN DAN DDT DI TANAH SAWAH DAS SERAYU HULU KABUPATEN WONOSOBO

Mulyadi, Sarwoto dan Sukarjo

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km. 5 Jaken-Pati, Central Java, Indonesia

59182

Abstrak. Perkembangan sektor pertanian terbukti mampu memenuhi kebutuhan pangan

penduduk namun di lain pihak telah mengakibatkan peningkatan pencemaran lingkungan.

Di antara polutan-polutan sebagai pencemar terdapat polutan organik yaitu organoklorin

merupakan polutan yang bersifat persisten, tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang

sangat tinggi dalam lemak, kemampuan degradasi yang rendah dan dapat terbioakumulasi

di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya. Konsentrasi

pestisida dalam tanah pertanian terindikasi mengalami peningkatan, lahan-lahan sawah

yang tercemar perlu dipetakan berdasarkan tingkat pencemarannya. Penelitian dilaksanakan

di DAS Serayu Hulu Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah tahun 2015. Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui sebaran residu klordan dan DDT di tahan sawah di

Wonosobo.Penelitian dilaksanakan dengan metode survey dimana pengambilan contoh

tanah untuk satu titik sampling terdiri dari 5-10 contoh individual (subcontoh), dengan jarak

pengambilan tiap subcontoh 25-50 m. Sebaran residu senyawa POPs klordan dan DDT

didelineasi dengan memperhatikan bentuk lahan, batas alam (sungai/jalan), topografi, dan

karakter lahan selain hasil dari analisis konsentrasi cemaran dari contoh tanah. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa dari 319 lokasi pengambilan contoh tanah hanya 9 lokasi

terdeteksi klordan dan 21 lokasi terdeteksi DDT. Residu klordan dalam tanah terdapat 3

lokasi telah melebihi Batas Maksimum Residu (BMR), dan 2 lokasi melebihi BMR DDT.

Residu klordan melebihi konsentrasi BMR umumnya terdeteksi di lahan sawah tadah hujan

pada kemiringan 25-40%; ketinggian 600-900 m dan <120 m. Sedangkan residu DDT

melebihi konsentrasi BMR umumnya terdeteksi di lahan sawah tadah hujan pada

kemiringan 15-25% dan 25-40%; ketinggian 600-900 m.

Kata kunci: DAS Serayu, sawah, klordan, DDT, kemiringan lahan

Abstract.The development of the agricultural sector has proven to be able to meet the food

needs of the population but on the other hand has resulted in increased environmental

pollution. Among the pollutants as pollutants are organic pollutants, organochlorines are

persistent, non-reactive, stable, highly soluble in fat, low degradation and bioaccumulative

in nature and toxic to humans and other living things. The concentration of pesticides in

agricultural land is indicated to increase, the contaminated rice fields need to be mapped

based on the level of pollution. The research was conducted in Serayu Hulu Watershed of

Wonosobo Regency, Central Java Province in 2015. The objective was to determine

distribution of chlordan and DDT residues in rice fields soils in Wonosobo District. The

research was conducted by survey method where sampling of soil for one sampling point

consisted of 5-10 individual samples (sub sample), with distance of each sub sample of 25-

50 m. Distribution of residual POPs klordan and DDT compounds were delineated with

respect to landform, natural boundary (river / road), topography, and character of the land

other than the result of analysis of pollution concentration from soil samples. The results

46

Page 467: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

448

showed that from 319 sampling sites only 9 locations were detected and 21 locations were

detected DDT. Cluster residues in soil have 3 locations exceeding the Maximum Residue

Limit (BMR), and 2 sites exceed BMR DDT. Clotted residues of more than BMR

concentrations are generally detected in rainfed lowland areas at 25-40% slope; altitude

600-900 m and <120 m. While DDT residues exceeding the BMR concentration are

generally detected in rainfed lowland areas at 15-25% and 25-40% slopes; altitude 600-900

m.

Keywords: Serayu watershed, rice field, klordan, DDT, sloping areas

PENDAHULUAN

Masalah pencemaran yang diakibatkan oleh penggunaan pestisida di sektor

pertanian telah menjadi keprihatinan global karena dalam kesatuan biosfer pencemaran

pada suatu tempat di permukaan bumi akan berpengaruh terhadap pada tempat-tempat

lainnya. Soemirat (2005) menyatakan perkembangan sektor pertanian telah mengakibatkan

peningkatan pencemaran lingkungan oleh bahan kimia. Di antara polutan-polutan tersebut,

terdapat polutan organik yang disebut organoklorin merupakan polutan yang bersifat

persisten dan dapat terbioakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan

makhluk hidup lainnya. Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat

tinggi di dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah.

Alih fungsi lahan di dataran tinggi Dieng menjadi pemukiman dan tegalan semakin

meningkat, pelarangan terhadap penggunaan lahan untuk kegiatan yang tidak menjamin

fungsi lindung tidak dapat diterapkan, terbukti semakin bertambahnya pemanfaatan lahan

untuk budidaya kentang (Kartasapoetra, 2005). Budidaya pertanian di dataran tinggi

dihadapkan pada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relatif curam, kepekaan tanah

terhadap longsor dan erosi dan curah hujan yang relatif tinggi. Kesalahan dalam

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah dataran tinggi dapat

menimbulkan kerusakan atau cekaman biofisik berupa degradasi kesuburan tanah dan

ketersediaan air dan pencemaran bahan agrokimia (Fagus, 2007)

Aldrin, dieldrin, endrin, linden, dan DDT banyak ditemukan di berbagai ekosistem

daratan, perairan, dan bahkan atmosfer meskipun sudah tidak digunakan lagi di sektor

pertanian. Residu pestisida DDT dan turunananya dalam tanah ditemukan di sentra

sayuran di Brastagi Medan, Dieng dan perkebunan masing-masing adalah <0,001-5,3 ppb;

<0,001-14,6 ppb dan <0,001-54,9 ppb (Rokhwani dan Ratnaningsih, 2010).

Data dan informasi residu klordan dan DDT di tanah sawah DAS Serayu Hulu

Kabupaten Wonosobo masih terbatas untuk itu dilakukan penelitian tujuannya adalah untuk

mendpatkan data dan mengetahui sebaran residu klordan dan DDT di tanah.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di DAS Serayu Hulu Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa

Tengah tahun 2015. Penelitian dilaksanakan melalui metode survei, yang diawali survei

instansional dengan dinas terkait untuk eksplorasi data skunder antara lain luas areal, pola

Page 468: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

449

tanam, penggunaan pestisida dan pupuk. Pengumpulan data primer dilakukan pada titik-

titik sampel penelitian ditentukan secara grid pada satuan (unit) lahan sawah.

Pengambilan contoh tanah, satu titik sampling terdiri dari 5-10 contoh individual

(subcontoh), dengan jarak pengambilan tiap subcontoh 25-50 m di lapang. Alat yang

digunakan untuk pengambilan subcontoh tanah adalah bor tanah, yang diambil pada lapisan

olah dengan kedalaman 20 cm. Contoh-contoh tanah individual tersebut dimasukkan ke

dalam ember dan dicampur sampai homogen, kemudian diambil seberat 0,5-1 kg dan

dimasukkan ke dalam kantong plastik ukuran 15×25 cm dan diberi label.

Ekstraksi contoh tanah

Contoh tanah komposit yang diperoleh dari lapang dikeringanginkan,

dihaluskan dan diayak dengan ayakan berdiameter 2 mm. Prosedur ekstraksi dilakukan

dengan menimbang 25 gram cuplikan (tanah yang telah dihaluskan), dimasukkan ke dalam

erlenmeyer bertutup asah, dan ditambahkan campuran aseton : diklormetana (50:50, v/v),

dibiarkan selama satu malam untuk proses ekstraksi statis.

Hasil ekstraksi disaring dengan Buchner yang diberi celite. Pipet 25 ml fase

organik ke dalam labu bulat, kemudian dipekatkan dalam rotavapor pada suhu tangas

air 40°C sampai hampir kering dan dikeringkan dengan mengalirkan gas nitrogen

sampai kering, selanjutnya dilakukan pembersihan (clean up). Larutan residu dalam 5 mL

petroleum eter dan diuapkan kembali hingga kering. Larutkan residu dalam 1,0 mL

petroleum eter 40°C-60°C sehingga larutan mengandung 2,0 gram cuplikan analitik per

mL.

Sebanyak 1,0 gram alumina berlapis perak nitrat dimasukkan kedalam kolom

kromatograf yang telah diberi wol kaca. 1 mL ekstrak yang mengandung 2 gram

cuplikan analitik per mL dimasukkan kedalam kolom dan bilas bagian dalam dinding

kolom dengan 1 mL eluen campuran. Elusi dengan 9 mL eluen campuran yang sama.

Eluat ditampung ke dalam tabung berskala dan pekatkan sampai 1 mL, dan

residunya dilarutkan dalam 5 ml isooktana: toluena (90:10, v/v). Penetapan kadar residu

dengan menyuntikan 1 μL ekstrak ke dalam kromatografi gas. Waktu tambat dan tinggi

atau luas puncak kromatogram yang diperoleh dari larutan cuplikan dibandingkan dengan

larutan baku pembanding. Nilai perolehan kembali >80 % dan batas penetapan 0,01-0,5

mg/kg.

Residu yang terdapat dalam contoh dihitung berdasarkan rumus:

R B Vis As

Vfc Vic Ac Residu

Ks

Residu: Residu dalam contoh yang dianalisis (ppm)

Ks : Konsentrasi standar ; Ac : Area contoh

As : Area standar ; Vic : Volume injeksi contoh

Vis : Volume injeksi standar ; B : Bobot contoh/volume contoh (g atau ml)

Vfc : Volume akhir contoh (ml) ; R : Recovery (%)

Page 469: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

450

Batas satuan peta didelineasi di lapangan dengan batuan program ArcGIS

didasarkan pada kemiringan lahan. Lahan datar (kemiringan <3%) satu titik sampling dapat

mewakili luasan 50-100 hektar, dan lahan dengan kemiringan > 3% satu titik sampling

mewakili luasan 50 hektar (Hazelton dan Murphy, 2007; Schoknecht et al., 2008).

Delineasi peta sebaran residu senyawa POPs klordan dan DDT dengan

memperhatikan bentuk lahan, batas alam (sungai/jalan), topografi, dan karakter lahan selain

hasil dari analisis kadar cemaran dari contoh tanah. Pengelompokan (delineasi)

berdasarkan hasil analisis dengan tiga kategori yaitu tidak terdeteksi, dibawah batas

maksimum residu (BMR) dan melebihi BMR. Pembuatan peta akhir dilakukan dengan

komputerisasi yang dibuat dari peta turunan skala 1:100.000.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Kabupaten Wonosobo

Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu dari 35 (tiga puluh lima)

kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Terletak antara 7°.43'.13" dan 7°.04'.40" garis

lintang selatan (LS) serta 109°.43'.19" dan 110°.04'.40" garis bujur timur (BT), dengan luas

wilayah 98.468 ha. Topografi wilayah Kabupaten Wonosobo memiliki ciri yang berbukit-

bukit, terletak pada ketinggian antara 200 sampai 2.250 m di atas permukaan laut.

Ketinggian tempat tertinggi adalah Kecamatan Kejajar 1.378 dpl, dan terendah adalah

Kecamatan Wadaslintang 275 dpl.Rata-ratasuhu udara di Wonosobo antara 14,3 – 26,5

derajat Celcius dengan curah hujan rata-rata per tahun berkisar antara 1713 - 4255

mm/tahun.

Produk unggulan pertanian Wonosobo antara lain kentang di Kecamatan Kejajar dan

Garung dengan produksi sekitar 500 ribu kuintal per tahun, kubis/kol dan sayuran lain

seperti sawi, daun bawang/uncang, bawang putih serta buah-buahan seperti salak, nanas,

duku, dan carica. Sedangkan produksi pertanian yang mengalami peningkatan adalah buah-

buahan, palawija dan padi, untuk komoditi sayur-sayuran mengalami penurunan lantaran

nilai jualnya yang tidak menentu sehingga membuat para petani merugi.

Residu klordan dan DDT di tanah sawah

Tanah sawah DAS Serayu Hulu Kabupaten Wonosobo terdeteksi klordan 9 lokasi

dari 319 lokasi pengambilan contoh tanah, sedangkan DDT terdeteksi 21 lokasi. Kadar

minimum klordan dan DDT sebesar 0,041 ppm dan 0,001 ppm, kadar maksimum 0,119 dan

0,0402 ppm. Terdapat 3 lokasi residu klordan di sawah sudah melebihi BMR, sedangkan

DDT ada 2 lokasi sudah melebihi BMR (Tabel 1).

Residu DDT lebih banyak terdetksi (6,6%) di tanah sawah dari pada klordan (2,8%).

Di Indonesia, pestisida yang paling banyak digunakan sejak tahun 1950an sampai 1970an

adalah pestisida dari golongan organoklorin seeperti p,p-dikloro-difenil-trokloroetan

(DDT), endrin, aldrin, ieldrin heptaklor dan lindan. Persistensi pestisida golongan

organoklorin ini mampu bertahan hingga waktu 20 tahun (Wong, 1997). Selanjutnya

Tarumingkeng (1999), menyatakan DDT dapat bertahan puluhan tahun bahkan mungkin

mencapai 100 tahun lebih, bertahan dalam lingkungan hidup sambil meracuni ekosistem

dan sulit terdegradasi baik secara kimia, fisika, maupun biologi.

Page 470: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

451

Tabel 1. Statistik deskriptif residu pestisida organoklorin klordan dan DDT di DAS Serayu

Hulu Kab. Wonosobo

Klordan DDT pH H2O Eh

Jumlah titik sampli 319 319 - -

Jumlah terdeteksi 9 21 - -

% terdeteksi 2,82 6,58 - -

Rata-rata 0,058 0,023 6,255 21,626

Minimum 0,041 0,001 5,070 -67,000

Maksimum 0,119 0,402 7,660 92,000

Standar deviasi 0,025 0,087 0,336 19,613

CV (%) 236,938 26,612 1860,797 110,264

BMR* 0,050** 0,015*

>BMR 3 2

Ket :

* Soil, Ground Water and Sediment Standards for Use Under Part XV.1 of the Environmental

Protection Act Ministry of the Environment, ontario, Canada, 27-Jul-09.

** Alberta Tier1, Soil and Groundwater Remediation GUIDELINES Alberta Environment, Canada

Februari2009.

Residu klordan dan DDT di tanah berdasar jenis sawah

Berdasarkan jenis sawah dari 319 lokasi pengambilan contoh tanah, sebanyak 260

lokasi ada di lahan sawah tadah hujan dan 59 di lahan sawah irigasi. Tanah sawah tadah

hujan terdeteksi residu klordan dan DDT masing-masing sebanyak 8 dan 18 titik,

sedangkan tanah irigasi 1 dan 3 titik (Gambar 1). Sesuai kondisi yang ada di lapangan

perkembangan lahan sayuran di Wonosobo adalah dari kawasan hutan lindung yang

dikelola oleh perhutani pada beberapa tahun yang lalu oleh penduduk dijadikan lahan

budidaya. Pemanfaatan lahan untuk pemukiman dan tegalan semakin bertambah luas

terbukti semakin bertambahnya pemanfaatan lahan kering dan tadah hujan untuk budidaya

kentang dan untuk meningkatkan produksi kentang petani tidak lepas dari penggunaan

pestisida.

Gambar 1. Residu klordan dan DDT berdasarkan jenis sawah DAS

Serayu Hulu Wonosobo

Page 471: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

452

Residu klordan dan DDT di tanah berdasarkan kemiringan lahan

Residu insektisida klordan dalam tanah sebagian besar (66,7 %) terdeteksi pada

lahan dengan kemiringan 25 – 40 %m dan residu klordan yang sudah melebihi BMR juga

terdapat pada lahan kemiringan tersebut (Gambar 2a), demikian pula residu DDT sebesar

61,9 % terdeteksi pada lahan dengan kemiringan 25 – 40 %m dan terdapat 2 lokasi residu

DDT sudah melebihi BMR yaitu ada di kemiringan 5 - <25% dan 25 – 40% (Gambar 2b).

Semakin panjang panjang lereng dan kemiringan lereng maka kerusakan dan

penghancuran atau berlangsungnya erosi akan lebih besar. Dimana semakin panjang lereng

pada tanah akan semakin besar pula kecepatan aliran air di permukaannya sehingga

pengikisan terhadap bagian-bagian tanah makin besar (Kartasapoetra, 2005). Banyaknya

residu klordan dan DDT pada lahan dengan kemiringan 25 – 40 % adalah akibat residu

pestisida dari penggunaan pestisida masa lampau. Selain itu intensifnya budidaya sayuran

lahan tersebut yang tidak lepas dari penggunaan pestisida. Curah hujan yang tinggi terjadi

pengikisan lapisan permukaan pada lahan bagian atas dan terbawa bersama aliran

permukaan diduga terjadi akumulasi residu pestisida.

Gambar 2a. Residu klordan dan DDT (2b) di tanah sawah berdasarkan kemiringan lahan di

DAS Serayu Hulu Kabupaten Wonosobo

Residu klordan dan DDT di tanah berdasarkan ketinggian tempat

Residu insektisida klordan dalam tanah sebagian besar (66,7 %) terdeteksi pada

lahan dengan ketinggian 600 - <900 m (Gambar 3a), demikian pula residu insektisida DDT

57,1 % terdeteksi pada lahan ketinggian 600 - <900m (Gambar 3b). Lahan dengan

kemiringan 600 - <900m adalah lokasi sayuran yang paling luas dengan jumlah

pengambilan contoh tanah yang paling banyak (48,28 %) total 319 lokasi.

Petani sayuran selalu menggunakan pupuk organik terutama kotoran ayam sekitar 20

- 30 ton/ha setiap awal tanam. Kotoran ayam yang telah mengalamii pelapukan dan terus

menerus berubah bentuk menjadi C-organik (bahan organik) tanah. Refliaty et al. (2011)

menyatakan bahan organik yang tinggi maka akan mampu menciptakan ruang pori tanah

yang tinggi pula. Hal ini dikarenakan bahan organik yang diberikan ke dalam tanah dapat

meningkatkan terbentuknya struktur tanah yang remah dan membuat pori-pori dalam tanah

menjadi lebih banyak dan gembur. Residu insektisida dalam tanah sangat erat kaitannya

Page 472: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

453

dengan kandungan bahan organik tanah. Makin tinggi kandungan bahan organik tanah,

makin tinggi kandungan insektisida. Insektisida cenderung menumpuk pada lapisan tanah

bagian atas pada kedalaman 10-20 cm. Hal ini karena lapisan tersebut mengandung bahan

organik sehingga insektisida mudah diabsorpsi dan sukar untuk keluar (Connel dan Miller

1995 dalam Soejitno et al., 1997)

Gambar 3a. Residu klordan dan DDT (3b) di tanah sawah berdasarkan tinggi tempat di

DAS Serayu Hulu Kabupaten Wonosobo

Peta sebaran residu klordan dan DDT di tanah sawah

Luas lahan pertanian DAS Serayu Hulu kabupaten Wonosobo 11 731 ha, dari luasan

tersebut sebesar 12 ha (0,10 %) residu klordan dalam tanah sudah melebihi BMR, 1590 ha

(13,55 %) masih dibawah BMR dan 10129 ha (88,34 %) tidak terdeteksi klordan.

Sedangkan residu DDT dalam tanah yang sudah melebihi BMR mencapai luasan 209 ha

(1,78 %) dari luas lahan pertanian DAS Serayu Hulu kabupaten Wonosobo, residu DDT

dibawah BMR seluas 1096 ha (9,34 %) dan 10426 ha (88,88 %) tidak terdeteksi DDT

dalam tanah . Peta sebaran residu klordan dan DDT dalam tanah disajikan dalam Gambar 4

dan 5.

Gambar 4. Peta sebaran residu klordan di lahan sawah DAS Serayu Hulu Wonosobo.

Page 473: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

454

Gambar 5. Peta sebaran residu DDT di lahan sawah DAS Serayu Hulu Wonosonbo.

KESIMPULAN

1. Tanah sawah DAS Serayu Hulu Kabupaten Wonosobo terdeteksi residu klordan dan

DDT dan di beberapa lokasi sudah melebini BMR.

2. Residu klordan dan DDT sebagian besar terdeteksi di lahan sawah tadah hujan dengan

kemiringan 15-25% dan 25-40%; ketinggian 600-900 m diatas permukaan laut.

3. Sebesar 0,10 % dari luas lahan sawah di Wonosobo residu klordan dalam tanah sudah

melebihi BMR, sedangkan residu DDT sebesar 1,78 % dari luas lahan sawah sudah

melebihi BMR.

DAFTAR PUSTAKA

Fagus. 2007. Pedoman umum budidaya pertanian di lahan pegunungan.

www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/ . Diakses pada Tanggal 25 Agustus 2017.

Hazelton, P., and B. Murphy. 2007. Interpreting soil test results. What do all the numbers

means. CSIRO Pub., Australia.

http://hilldaak11s.student.ipb.ac.id/2011/08/07/kondisi-pertanian-kabupaten-wonosobo/

diakses 21 September 2017

Kartasapoetra, G. 2005. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Edisi ke lima. Rineka Cipta.

Jakrta.

Refliaty, G. Tampubolon, dan Hendriansyah. 2011. Pengaruh kompos sisa biogas kotoran

sapi terhadap perbaikan sifat fisik ultisol dan hasil kedelai (Glycine max L.Meril).

Jurnal Hidrolitan 2(3): 103-114.

Page 474: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

455

Rokhwani, H.P., dan YS. Ratnaningsih, 2010. Persistent organic pollutants (POPs) di

beberapa lokasi pertanian di Indonesia. Ecolab Jurnal Pemantauan Kualitas

Lingkungan Vol.4 No. 2.

Schoknecht, N., P.R. Wilson, and I. Heiner. 2008. Survey specification and planning. In

‘Guidelines for surveying soil and land resources (2nd edn).’ (Eds NJ McKenzie, MJ

Grundy, R Webster, AJ Ringrose-Voase) pp 205-223 (CSIRO

Publishing:Melbourne)

Soemirat, J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soejitno, J., S.Y. Jatmiko, A. Nugraha, dan D. Kusdiaman. 1997. Pencemaran pestisida

pada agroekologi lahan irigasi dan tadah hujan. Laporan Hasil Penelitian Loka

Penelitian Tanaman Pangan, Jakenan, Pati. 16 hlm.

Tarumingkeng, R. 1999. Insektisida: Sifat mekanisme Kerja dan Dampak Penggunannya.

Penerbit Ukrida Jakarta.

Wong, S.S. 1997. Guide to pesticides tolerance on crops in Taiwan. Taiwan: Taiwan

Agricultural Chemical and Toxis Substances Research Institute. 150p.

Page 475: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

456

Page 476: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

457

KONSENTRASI RESIDU PESTISIDA ORGANOKLORIN PADA TANAH DI SENTRA SAYURAN, NUSA TENGGARA BARAT

Sri Wahyuni1, Sudjudi2, dan Mulyadi1 1 Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Jakenan Pati 59182 Jawa Tengah 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jl. Raya Paninjauan Narmada, Lombok Barat 83371-NTB.

Email: [email protected]

Abstrak.Penggunaan bahan agrokimia yang berlebihan berdampak negatif terhadap

penurunan kualitas lingkungan pertanian. Petani mempunyai keyakinan bahwa pestisida

adalah obat yang paling ampuh untuk menghindari serangan hama dan penyakit pada

tanaman hortikultura. Pestisida organoklorin sulit terdegradasi, apabila terserap oleh

tanaman, dan dikonsumsi oleh manusia berbahaya bagi kesehatan.Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui residu pestisida organoklorin dalam tanah di sentra sayuran di

Nusa Tenggara Barat. Penelitian dilaksanakan bulan Juli s/d Desember 2016. Penelitian

dilakukan dengan 2 tahap: 1) survey dan pengambilan tanah, 2) analisis residu di

laboratorium. Penentuan lokasi contoh tanah didekati dengan mengindentifikasi faktor yang

potensial mempengaruhi keberadaan residu pestisida dalam tanah. Contoh tanah diambil 39

titik, masing-masing titik komposit dari 10sub-titik dengan jarak pengambilan tiap sub-

contoh 25-50 m di lapang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 39 titik sampling

terdeteksi endosulfan sebanyak 38 titik dengan konsentrasi antara 0,0015 - 0,059 mg/kg

(BMR endosulfan = 0,039 mg/kg); dieldrin sebanyak 10 titikdengan konsentrasi 0,0015 -

0,194 mg/kg (BMR dieldrin = 0,011 mg/kg; heptaklor sebanyak 4 titik dengan konsentrasi

0,0016 - 0,0059 mg/kg (BMR heptaklor = 0,039 mg/kg); klordan sebanyak 9 titik sampling

dengan konsentrasi 0,0018 – 0,0211 mg/kg (BMR klordan = 0,05 mg/kg).

Kata kunci: residu pestisida, tanah, BMR, Nusa Tenggara Barat

Abstract.The excessive use of agrochemicals impact negatively on the reduction of

agricultural environment quality. The farmers have confidence that pesticides are the most

potent drugs that effective to avoid pest and disease attacks on horticultural crops.

Organochlorin pesticides generally degraded slowly. When they are absorbed by plants and

consumed by humans, their residues threaten health human. The purpose of this research

was to determine organochlorin pesticide residuesin soil at vegetable center in West Nusa

Tenggara. This research was conducted from July to December 2016. This research was

conducted in 2 stages: 1) survey and soil sampling, 2) residual analysis in the laboratory.

The location of the soil sampling was determined by identifying the potential factors that

affect the presence of pesticide residues in soil. The soil samples were taken from 39 points,

each composite point of 10 sub-points with the distance of each sub sample 25-50 m in the

field. The results showed that 38 points of 39 sampling points were detected endosulfan

with levels between 0.0015 - 0.059 mg/kg (RMLs of endosulfan = 0.039 mg/kg); 10 points

were detected Dieldrin with levels 0.0015 - 0.194 mg/kg (RMLs of dieldrin = 0.011

mg/kg); 4 points were detected Heptachlor with levels of 0.0016 to 0.0059 mg/kg (LMR of

heptachlor = 0.039 mg/kg); and 9 sampling points were detected chlordane with levels of

0.0018-0.0211 mg/kg (RMLs of chlordane = 0.05 mg/kg).

Keywords: pesticide residue, soil, RMLs, West Nusa Tenggara

47

Page 477: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

458

PENDAHULUAN

Isu tentang keamanan pangan merupakan masalah penting, karena diperkirakan

lebih dari 90% masalah kesehatan manusia terkait dengan makanan. Undang-Undang

No.18 tahun 2012 tentang pangan mengatur mengenai keamanan pangan bahwa setiap

orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan,

dan/atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi; dan menjamin keamanan

pangan dan/atau keselamatan manusia, jika melanggar peraturan tersebut maka di kenakan

sanksi administrasi.

Penggunaan pestisida yang tidak terkendali telah terjadi pada budidaya tanaman

sayuran. Petani mempunyai keyakinan untuk menghindari serangan hama dan penyakit

pada tanaman hortikultura, maka obat yang paling ampuh adalah pestisida, misal di

Kabupaten Pati dijumpai penggunaan pestisida lebih dari 3 merk bahkan ada yang sampai 8

jenis sekali semprot (Mulyadi et al., 2014).

Keberhasilan dalam budidaya tanaman harus memperhatikan prinsip pertanian

ramah lingkungan. Masalah lingkungan akibat pencemaran dan kerusakan ekosistem telah

menjadi masalah yang sangat serius, berupa kontaminasi bahan beracun yang dihasilkan

oleh budidaya pertanian yang tidak ramah lingkungan (Jatmiko, 2012). Pestisida secara

nyata mampu meningkatkan produksi pertanian meskipun di sisi lain mengakibatkan

terganggunya rantai makanan hewan dan manusia. Meskipun penggunaan pestisida telah

banyak membantu dalam meningkatkan produksi pertanian, penggunaannya yang tidak

bijaksana berdampak negatif baik terhadap manusia, biota maupun lingkungan. Penggunaan

pestisida bukan saja mematikan hama tanaman tetapi juga mikroorganisme yang berguna

dalam tanah. Selain itu penggunaan pestisida yang terus menerus akan mengakibatkan

hama tanaman kebal terhadap pestisida tersebut (Harsanti et al., 2012).

Munculnya cemaran residu pestisida disebabkan oleh penggunaan pestisida secara

terus-menerus dan mengabaikan kepatuhan dalam penggunaan dosis, serta penggunaan

pestisida diluar pengawasan resmi (Rahmansyah dan Sulistinah, 2009). Penggunaan

pestisida yang tidak terkendali akan menimbulkan bermacam-macam masalah kesehatan

dan pencemaran lingkungan (Yuantari, 2009) dan lama kelamaan akan meningkatkan

residu yang tertinggal lahan pertanian dimana pestisida digunakan.

Residu pestisida dalam tanah umumnya berasal dari aplikasi pestisida sintetik

berbahan dasar klor yang bersifat bioakumulasi dan membahayakan (Crinnion, 2009).

Senyawa kimiawi yang persisten dapat terakumulasi di dalam rantai makanan tanpa terurai,

dan telah terdeteksi di berbagai produk hewan mulai dari daging sapi, daging ayam, telur

ayam, dan daging ikan (Chung dan Chen, 2011). Dampak negatif yang dapat ditimbulkan

oleh insektisida POPs terhadap kesehatan manusia antara lain: kanker (carcinogenic), cacat

lahir (teratogenic), kerusakan syaraf (neurotoxic), mutasi genetik (mutagenic), gangguan

sistem kekebalan, perusakan sistem reproduksi dan endokrin (Eds, Endocrine Disrupting

Pesticides).

Senyawa golongan organoklorin sebenarnya sudah dilarang penggunaanya oleh

pemerintah sejak tahun 1970-an karena persistensi dan toksisitasnya yang tinggi.

Kenyataannya, golongan pestisida tersebut masih ditemukan di pasaran dan diaplikasikan

Page 478: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

459

petani, misal lindan dan endosulfan yang terdeteksi dalam tanah sawah, air sawah, tanaman

dan pakan ternak. Di Noborejo, Salatiga besarnya kandungan residu lindan berkisar 0.0052-

0.013 mg/kg, sedangkan di Pilangpayung, Grobogan sebesar 0,0022-0,0047 mg/kg. Untuk

endosulfan, hanya ada terdeteksi di Pilangpayung dengan konsentrasi 0,0012 mg/kg (Sri

Wahyuni et al., 2009)

Luas lahan sawah di provinsi Nusa Tenggara Barat adalah 253.021 hektar (ha)

dimana 204.590 ha adalah sawah irigasi dan 48.431 ha non irigasi. Luas lahan

tegalan/kebun adalah 255.086 ha (BPS NTB, 2014). Lahan sentra sayuran terdapat di empat

kabupaten yaitu: Lombok Timur, Bima, Sumbawa, dan Lombok Tengah dengan luasan

masing-masing adalah 9.179 ha, 7.732 ha, 1.629 ha dan 517 ha.Sentra sayuran di provinsi

Nusa Tenggara Barat yaitu: (1) Kabupaten Lombok Timur dengan komoditas terluas cabe

rawit, tomat, bawang merah, kubis dan kentang, (2) Kabupaten Bima dengan komoditas

sayuran paling dominan dalah bawang merah, dan (3) Kabupaten Sumbawa dengan

komoditas tanaman yang paling dominan adalah bawang merah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui residu pestisida organoklorin dalam tanah

di sentra sayuran di Nusa Tenggara Barat.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat pada bulan Juli sampai Desember

2015. Dengan cara sampling langsung kelapangan. Satu titik sampling terdiri atas 10-15

contoh individual (sub-contoh), dengan jarak pengambilan tiap sub-contoh 25-50 m di

lapangan. Alat yang digunakan untuk pengambilan sub-contoh tanah adalah bor tanah, yang

diambil pada lapisan olah dengan kedalaman 20 cm. Contoh-contoh individual tersebut

dimasukkan ke dalam ember dan dicampur sampai homogen, kemudian diambil secara

komposit seberat 0,5-1 kg, lalu dibawa ke laboratorium untuk dianalisis kandungan residu

pestisida dalam tanah.

Analisis residu pestisida menggunakan metode QuEChERS. Metode ini merupakan

metode terbaru yang dikembangkan untuk menganalisis kandungan residu pestisida pada

suatu contoh. Metode ini mengutamakan prinsip analisa yang cepat (Quick), mudah (Easy),

murah (Cheap), efektif (Effective), handal (Rugged), dan aman (Save). Prosedurnya adalah

dengan menimbang contoh (tanah) sebanyak 10 gram, kemudian dimasukkan kedalam

botol teflon atau botol kaca volume 50 ml). Lalu ditambahkan 10 ml aceton p.a atau dapat

juga menggunakan acetonitrile p.a. larutan dikocok selama satu menit hingga homogen,

kemudian ditambahkan 4 gram bubuk magnesium sulfat (MgSO4) anhidrat atau dapat

diganti dengan sodium sulfat (Na2SO4) anhidrat dan 1 gram sodium klorida (NaCl). Larutan

disentrifugasi selama 2 menit pada kecepatan 3000 rpm. Hasilnya disaring dengan kertas

saring yang telah dilapisi bubuk MgSO4 atau Na2SO4 anhidrat, dan ekstraktan ditampung

pada tabung reaksi berskala volume 10 ml. Kertas saring dibilas dengan aseton p.a hingga

volume ekstraktan mencapai 5 ml dan diinjeksikan kedalam instrument GC untuk analisis

organoklorin.

Kandungan residu insektisida dalam contoh dihitung berdasarkan rumus dari Komisi

Pestisida (1997) dan data dianalisis secara deskriptif:

Page 479: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

460

G

F x

E

D x

B

CA x(mg/kg)Residu

Keterangan:

A = konsentrasi larutan standar (µg/mL)

B = luas puncak standar

C = luas puncak contoh

D = volume larutan standar yang disuntikan (µL)

E = volume larutan contoh yang disuntikan (µL)

F = volume pengenceran (mL)

G = bobot awal contoh (g)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Pestisida pada Tanaman Hortikultura

Pengambilan contoh tanah dilakukan sesuai dengan daerah, setiap wilayah sentra

sayuran diambil contoh sesuai dengan luasan yang mewakili. Jenis pestisida yang banyak

digunakan di 4 kabupaten di provinsi NTB pada daerah titik sampling, menunjukkan

bahwa insektisida menduduki ranking tertinggi 45%, diikuti fungisida 20%, herbisida 18%

dan lain-lain (ppc, ZPT, hormon) 17% (Gambar 1). Ini memberikan gambaran bahwa petani

lebih intensif menggunakan insektisida dibandingkan dengan jenis pestisida lainnya.

Frekuensi penyemprotan rata-rata dilakukan 1-2 kali dalam 1 minggu, namun

penyemprotan tiap hari dilakukan pada musim penghujan seperti di Bima dan Sumbawa.

Peningkatan intensitas penyemprotan dilakukan akibat serangan hama dan penyakit yang

tinggi disaat musim penghujan.

Gambar 1. Penggunaan Pestisida dari hasil wawancara petani di lokasi titik sampling

(n=16)

Page 480: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

461

Residu Pestisida pada Lahan Pertanian

Dari 39 titik sampling, pestisida organoklorin terdeteksi di lahan pertanian provinsi

NTB, yaitu endosulfan 38 titik, dieldrin 10 titik, heptaklor 4 titik, dan klordan 9 titik.

Pestisida jenis endosulfan paling tinggi terdeteksi di NTB, yaitu 38 titik dari 39 titik

sampling. Endosulfan merupakan insektisida dari golongan organoklorin yang terakhir

dilarang penggunaannya, dimana pelarangan mulai diberlakukan secara terbatasbaru tahun

2009. Tabel 1 memperlihatkan contoh tanah yang diambil dari NTB terdeteksi mengandung

endosulfan dengan konsentrasi minimum 0,0015 dan konsentrasi maximum 0,0142 mg/kg,

sedangkan BMR = 0,0085 mg/kg (Alberta Tier 1, 2009). Ini menunjukkan bahwa lahan di

NTB sebagian sudah terdeteksi endosulfan melebihi BMR, maka perlu adanya tindakan

lebih lanjut untuk menurunkan konsentrasi yang ada dalam tanah melalui remediasi lahan

tercemar endosulfan. Lokasi yang terdeteksi endosulfan tinggi itu merupakan lokasi dimana

lahan tersebut sering digunakan untuk budidaya tanaman semangka.

Tabel 1. Analisis statistik deskriptif residu pestisida dalam tanah di Provinsi Nusa

Tenggara Barat

Parameter Organoklorin

Endosulfan Dieldrin Heptaklor Klordan

Jumlah titik sampling 39 39 39 39

Jumlah terdeteksi 38 10 4 9

Minimum (mg/kg) 0.0015 0.0015 0.0016 0.0018

Maksimum (mg/kg) 0.0142 0.0194 0.0059 0.0211

Rata-rata (mg/kg) 0.0055 0.0054 0.0031 0.0065

BMR(mg/kg) 0,0085* 0,011* 0,039* 0,05**

Sumber : Data analisis dari Laboratorium Terpadu Balingtan (2015)

*Alberta Tier 1 (2009)

** EPA (2009)

Dari 39 titik sampling, sebanyak 10 titik terdeteksi residu dieldrin dengan

konsentrasi minimum 0,0015 mg/kg dan maksimum 0,194 mg/kg dengan BMR dieldrin =

0,011 mg/kg menurut Alberta Environment, Kanada (2009). Pestisida jenis organoklorin

adalah identik dengan persistent organic pollutants (POPs), karena terdapat gugus halogen

pada senyawanya. POPs adalah senyawa organik yang tahan terhadap fotolitik, degradasi

biologis maupun kimia. POPs biasanya mengandung senyawa halogen dan mempunyai sifat

kelarutan rendah dalam air, dan kelarutan yang tinggi di dalam lipid dan sulit untuk

terdegradasi. Dieldrin merupakan jenis insektisida ini biasa digunakan untuk perlakuan

benih, perlakuan tanah, dan disinfektan. Dieldrin beracun terhadap organisma berdarah

panas, misalnya untuk membasmi tikus, senyawa ini mudah terserap melalui saluran

pernafasan, saluran pencernaan, dan kulit. Senyawa ini diperdagangkan dengan nama:

panoram D-31, alvit, dieldrex (IUPAC, 2011).

Contoh tanah yang diambil dari 39 titik, sebanyak 4 titik sampling terdeteksi

heptaklor dengan konsentrasi minimum 0,0016 mg/kg, konsentrasi maksimum 0,0056

mg/kg, sedangkan BMR = 0,039 mg/kg (Alberta Tier 1, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa

Page 481: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

462

konsentrasi heptaklor di NTB masih di bawah BMR, namun tetap perlu diwaspadai potensi

cemarannya, karena heptaklor termasuk jenis pestisida yang sulit untuk terdegradasi,

sehingga keberadaan dalam tanah cukup lama. Heptaklor memiliki kecenderungan

terabsorpsi dalam tanah, serta sangat sulit mengalami pergerakan oleh air tanah.

Dari 39 titik yang diambil, sebanyak 7 titik terdeteksi residu klordan dengan

konsentrasi minimum 0,0018 mg/kg, dan maksimum 0,0211mg/kg. Klordan adalah

insektisida golongan organoklorin yang digunakan untuk pertanian dan non pertanian

(rumah dan taman). Diazinon merupakan pestisida non sistemik yang banyak diaplikasikan

pada buah-buahan, tanaman hortikultura, kentang, padi, tebu, tembakau dan lain-lain.

Diazinon merupakan senyawa organofosfat yang relatif tidak persisten di dalam tanah.

Diazinon yang diaplikasikan akan hilang dari tanah melalui degradasi baik secara kimia

maupun biologi. Sekitar 46% dari diazinon yang ditambahkan ke tanah akan hilang dalam

dua minggu. Jika diazinon terlepas dalam tanah, maka tidak akan terikat kuat dalam tanah.

KESIMPULAN

Penggunaan pestisida tertinggi di sentra sayuran NTB adalah jenis insektisida

(45%). Residu organoklorin yang banyak terdeteksi adalah endosulfan dengan konsentrasi

0,0015 - 0,059 mg/kg (BMR endosulfan = 0,039 mg/kg) diikuti dieldrin dengan

konsentrasi 0,0015 - 0,194 mg/kg ( BMR dieldrin = 0,011 mg/kg); heptaklor dengan

konsentrasi 0,0016 - 0,0059 mg/kg (BMR heptaklor 0,039 mg/kg); klordan dengan

konsentrasi 0,0018 – 0,0211 mg/kg (BMR klordan 0,05 mg/kg).

SARAN

Lahan-lahan yang tercemar/terdeksi pestisida jenis organoklorin untuk segera

dilakukan remediasi diantaranya dengan penggunaan bahan ameliorasi berupa biokompos

(biochar yang dicampur dengan kompos dengan perbandinga 1 : 4), ataupun dengan

menggunakan teknologi dari Balingtan (urea berlapis biochar) untuk memupuk

tanamannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian Kementerian

Pertanian yang telah mendanai penelitian ini melalui Program KKP3S 2015. Kepada

Slamet Riyanto, Dolty Melyngga Wangsa Paputri, Anik Hidayah yang telah membantu

dalam analisa residu pestisida di Laboratorium Terpadu Balingtan.

AFTAR PUSTAKA

Alberta Tier 1. 2009. Soil and Groundwater Remediation Guidelines. Alberta Environment,

Canada.

Badan Pusat Statistik (BPS) NTB. 2014. Nusa Tenggara Barat dalam Angka 2014.BPS

NTB.

Page 482: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

463

Chung,S.W.C., and B.L.S Chen.2011. Determination of organochlorine pesticide residues

in fatty foods: A critical review on the analytical methods and their testing

capabilities. Journal of Chromatography A. 1218(33): 5555–5567.

Crinnion, W.J. 2009. Chlorinated pesticides: threats to health andimportance of detection.

Environmental Medicine 14(4): 347–59.

EPA. 2009.Soil, Ground Water and Sediment Standards for Use under Part XV.1.

Environmental Protection Act Ministry of the Environment. Ontario, Canada.

Harsanti, E.S., Indratin, Sri Wahyuni, E. Sulaeman, dan A.N. Ardiwinata. 2012. Efektivitas

arang aktif diperkaya mikroba konsorsia terhadap residu insektisida lindan dan

aldrin di lahan sayuran. Jurnal kualitas Lingkungan Hidup ECOLAB 7(1): 27-36.

IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemists). 2011. Global availability of

information on agrochemicals. http//sistem.herts.ac.uk./aeru/iupac/. Diakses 12

Maret 2011.

Jatmiko, S.Y. 2012. Sebaran ruang cemaran residu insektisida dan logam berat pada lahan

sawah di sentra pertanian Kab. Bantul. Unpublish.

Mulyadi, A. Pramono, T. Dewi, M. Ariani, Poniman, S. Wahyuni, Sukarjo, dan A.

Wihardjaka. 2014. Kemajuan Upaya Pengelolaan Pertanian Ramah Lingkungan.

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati. Jawa Tengah.

Rahmansyah, M., dan N. Sulistinah. 2009. Performa bakteri pada tanah tercemar pestisida.

Berita Biologiedisi 9(5)-Desember 2009. Hal. 657-664.

Sri Wahyuni, S. Harsanti, dan P. Suryatmana. 2009. Cemaran residu pestisida pada sistem

integrasi tanaman dan ternak di DAS Serang. Jurnal Agrikultura20(2): 86-89.

Faperta. Universitas Padjadjaran Bandung.

Yuantari, M.G.C. 2009. Studi Ekonomi Lingkungan Penggunaan Pestisida dan Dampaknya

pada Kesehatan Petani di Area Pertanian Hortikultura Desa Sumberejo Kecamatan

Ngablak Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Tesis. Universitas Diponegoro

Semarang.

Page 483: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

464

Page 484: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

465

SEBARAN PENGGUNAAN FUNGISIDA BERBAHAN AKTIF MANKOZEB DAN PROPINEB DI LAHAN SAYUR DATARAN RENDAH KABUPATEN TUBAN

Wahyu Purbalisa dan Dolty Mellyga Wangga Paputri

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian; Jl. Raya Jakenan-Jaken KM 05 Jaken, Pati-Jawa Tengah

59182; Email : [email protected]

Abstrak. Kabupaten Tuban merupakan salah satu sentra hortikultura dataran rendah

terutama penghasil cabai. Tanaman hortikultura rentan terhadap serangan penyakit yang

disebabkan oleh jamur. Untuk mengatasi serangan penyakit tersebut petani cenderung

menggunakan fungisida karena lebih praktis dan ekonomis. Namun akibat aplikasi

fungisida tersebut meninggalkan residu dalam tanah. Penelitian ini bertujuan mengetahui

sebaran penggunaan fungisida berbahan aktif mankozeb dan propineb di lahan sayur

Kabupaten Tuban. Sampel tanah diambil secara acak pada lahan bekas tanaman sayur

kemudian sampel tanah diektraksi dengan metode Quechers dan diukur dengan HPLC.

Hasil penelitian menunjukkan residu mankozeb terdeteksi di beberapa wilayah sampling

sedangkan propineb tidak terdeteksi. Walaupun penggunaan mankozeb tersebar di sentra-

sentra hortikultura, namun masih dalam batas aman.

Kata kunci:Fungisida, mankozeb, propineb, lahan sayur, Tuban

Abstract. Tuban Regency is one of lowland horticulture center, especially chilli producer.

Horticultural crops are susceptible to disease attacks caused by fungi. To overcome the

attack of the disease farmers tend to use fungicides because it is more practical and

economical. However, due to the application of the fungicide leaves residue in the soil. This

aims of this study to determine the distribution of the use of active mankozeb fungicide and

propineb in vegetable land of Tuban Regency. Soil sample were taken randomly on the land

of vegetable crops then the soil samples was extracted by Quechers method and measured

by HPLC. The results showed that mankozeb residue was detected in some sampling areas

while propineb was not detected. The use of mankozeb spread in horticulture centers, but

still within safe levels.

Keywords:Fungicide, mankozeb, propineb, vegetable land, Tuban

PENDAHULUAN

Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur terletak pada 111,30o- 112,35o BT dan 6,40o

- 7,18o LS dengan ketinggian 0-100 m dpl termasuk daerah dataran rendah. Sentra

hortikultura di Kabupaten Tuban didominasi oleh tanaman cabai dan melon. Komoditas

utamanya adalah cabe (Tabel 1). Tanaman sayuran dan buah sangat rentan terhadap

penyakit yang disebabkan oleh jamur terutama pada musim penghujan sehingga pemakaian

fungisida menjadi pilihan utama untuk mengendalikan penyakit seperti antraknosa, bercak

daun, busuk cabang dan kuncup, dan layu fusarium pada cabai dan melon. Petani lebih suka

menggunakan fungisida karena lebih praktis dan ekonomis serta mampu menyelamatkan

hasil panen.

48

Page 485: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

466

Tabel 1. Komoditas utama hortikultura di Kabupaten Tuban

Komoditas Luas Lahan (Ha) Produksi (Kw)

Cabai besar 2.159 129.953

Cabai rawit 5.854 187.102

Melon 159 21.600

Sumber : BPS Kab. Tuban 2016

Fungisida merupakan salah satu jenis pestisida yang digunakan untuk mengatasi

serangan cendawan/jamur. Fungisida sintetis ada dua macam yaitu kontak dan sistemik.

Fungisida kontak bekerja secara non spesifik antara lain dengan denaturasi protein,

inaktivasi enzim dan bekerja sebagai agen pengkhelat sedangkan fungisida sistemik bekerja

secara spesifik yaitu dengan menghambat sintesis DNA, menghambat sintesis kitin,

menghambat sintesis gliserol, mempengaruhi respirasi mitokondria, dll. (Sumardiyono et

al., 1995). Fungisida kontak hanya membentuk lapisan penghalang di permukaan tanaman

ketika disemprotkan pada tanaman. Fungisida ini hanya berfungsi mencegah infeksi

cendawan dengan cara menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang

menempel di permukaan tanaman. Fungisida kontak berfungsi sebagai protektan dan hanya

efektif bila digunakan sebelum tanaman terinfeksi oleh penyakit sedangkan fungisida

sistemik diabsorbsi oleh organ-organ tanaman dan ditranslokasikan ke bagian tanaman

lainnya melalui pembuluh angkut maupun melalui sel (Hadiwiyono et al., 2011).

Mankozeb dan propineb termasuk golongan fungisida kontak. Mankozeb

mempunyai rumus kimia (C4H6Mn11N2S4)x Zny sedangkan propineb memiliki rumus kimia

(C5H8N2S4Zn)x, kedua bahan aktif tersebut termasuk golongan bisdithiokarbamat etilen.

Fungisida yang disemprotkan pada tanaman tidak semuanya efektif. Ada sebagian yang

jatuh ke tanah, menempel pada permukaan daun kemudian tersiram air/hujan dan terserap

oleh tanah. Aplikasi fungisida tersebut meninggalkan residu dalam tanah. Sehubungan

semakin meningkatnya penggunaan fungisida maka perlu diketahui sebaran residu

fungisida di dalam tanah berbahan aktif mankozeb dan propineb di lahan sayur dataran

rendah Kabupaten Tuban.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan di lahan sayuran dataran rendah KabupatenTuban pada bulan

Agustus - Desember 2015. Sampel tanah diambil secara acak untuk mengetahui sebaran

residu fungisidaberupa tanah dari lahan hortikultura.

Survei diawali dengan eksplorasi data dukung penelitian berupa informasi dari dinas

terkait. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain luas areal, pola tanam, penggunaan

pestisida, penggunaan pupuk, dan produktivitas. Pengumpulan data primer dilakukan pada

titik-titik sampel penelitian.

Satu titik sampling terdiri dari 3-5 contoh individual (subcontoh), dengan jarak

pengambilan tiap subcontoh 25-50 m di lapang. Alat yang digunakan untuk pengambilan

subcontoh tanah adalah bor tanah, yang diambil pada lapisan olah dengan kedalaman 20

cm. Contoh-contoh individual tersebut dimasukkan ke dalam ember dan dicampur

Page 486: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

467

sampai homogen (komposit), kemudian tanah tersebut diambil sebanyak 0,5-1 kg dan

dimasukkan ke dalam kantong plastik.dan diikat. Setiap sampel tanah yang yang sudah

dimasukkan kedalam plastik diberi label berupa tanggal pengambilan, kode pengambil dan

nomor contoh serta nama lokasi (desa, dan kecamatan). Sampel tanah dibawa ke

Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian untuk dianalisa kandungan residu

fungisidanya.

Sampel tanah dianalisa menggunakan metode Quechers dengan langkah sebagai

berikut : timbang 10 g contoh tanah basah, tambahkan acetonitril 10 ml kocok selama1

menit. Tambahkan lagi Na2SO4 anhidrat 4 g, NaCl 1 g dikocok selama1 menit kemudian

disentrifus selama 4 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Hasil ekstrak kemudian disaring

dan dihimpit dengan acetonitril hingga mencapai 10 ml. Sampel siap diinjeksikan ke High

Perfomance Liquid Chromatography (HPLC). Kadar residu kemudian dihitung dengan

rumus sebagai berikut:

A = C ×V ×fk

W

Keterangan :

A : kadar residu fungisida (μg/ml)

C : konsentrasiresidu fungisida dari kurva kalibrasi (μg/ml)

V : volume akhir ekstrak (10 ml)

W : berat sampel (10 g)

fk : faktor koreksi kadar air

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari 27 lokasi pengambilan sampel tanah diproleh 19 lokasi terdeksi adanya residu

mankozeb dengan konsentrasi berkisar antara 0,0051-0.0635 ppm dan 8 lokasi tidak

terdeteksi residu mankozeb (Tabel. 2). Tanah di lokasi sampling tersebut masih dalam

kategori sehat karena mankozeb yang terdeteksi masih dibawah Batas Maksimum Residu

(BMR) dalam tanah yaitu 1,2 ppm. Residu propineb tidak terdeteksi di semua lokasi sampel

tanah. Fungisida berbahan aktif mankozeb seperti Dithane M - 45 80 WP dan Cozeb 80 WP

terdeteksi di 19 lokasi sampel tanah , sedangkan fungisida berbahan aktif propineb tidak

terdeteksi di karena petani tidak terbiasa menggunakan fungisida tersebut. Perjalanan

pestisida ke lingkungan ditentukan oleh proses-proses retensi atau jerapan (adsorption),

pemindahan (transfer), pemecahan (breakdown), degradasi (degradation) serta interaksi

proses-proses tersebut. Kecenderungan pestisida yang dijerap oleh partikel tanah ditentukan

keberadaan gugus fungsional, sifat tanah sebagai media seperti jenis lempung, derajat

kejenuhan kation, dan kadar bahan organik tanah (Mulyadi, 2015).

Page 487: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

468

Tabel 2. Kandungan residu fungisida di lokasi sampling

No. Kecamatan Desa Mankozeb (ppm) Propineb (ppm)

1 Merakurak Sambonggede 0.0261 0.000

2 Merakurak Sumber 0.0078 0.000

3 Merakurak Sumber 0.0485 0.000

4 Jenu Beji 0.0317 0.000

5 Jenu Beji 0.0104 0.000

6 Jenu Jenggolo 0.0080 0.000

7 Tambakboyo Sobontoro 0.0469 0.000

8 Tambakboyo Sobontoro 0.0000 0.000

9 Tambakboyo Sawir 0.0000 0.000

10 Tambakboyo Glonggonggede 0.0216 0.000

11 Tambakboyo Glonggonggede 0.0635 0.000

12 Tambakboyo Glonggonggede 0.0388 0.000

13 Bancar Margosuko 0.0130 0.000

14 Bancar Margosuko 0.0000 0.000

15 Bancar Margosuko 0.0000 0.000

16 Bancar Cingkulung 0.0051 0.000

17 Bancar Cingkulung 0.0000 0.000

18 Bancar Cingkulung 0.0120 0.000

19 Kenduruan Sidohasri 0.0162 0.000

20 Kenduruan Sidohasri 0.0000 0.000

21 Kenduruan Sidohasri 0.0176 0.000

22 Kenduruan Sidohasri 0.0220 0.000

23 Kenduruan Sidohasri 0.0292 0.000

24 Kenduruan Sidohasri 0.0000 0.000

25 Bangilan Bangilan 0.0561 0.000

26 Bangilan Bangilan 0.0092 0.000

27 Bangilan Bangilan 0.0000 0.000

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Varian Mean Ratio (VMR) residu

mankozeb < 1, hal ini berarti data menyebar/spread out (Tabel 3). Bila VMR < 1 maka

sumber residu di lokasi tersebut berasal dari luar/kegiatan manusia dalam hal ini kegiatan

pertanian. Nilai skewness mendekati 1 dan nilai kurtosis mendekati 0 maka data tersebut

terdistribusi secara normal.

Untuk mengurangi penggunaan fungisida dapat dilakukan dengan berbagai cara

yang pada dasarnya adalah pengelolaan segitiga penyakit, yakni menekan populasi patogen

serendah-rendahnya, membuat tanaman tahan terhadap serangan patogen, serta

mengusahakan lingkungan agar menguntungkan tanaman tetapi tidak menguntungkan

Page 488: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

469

kehidupan patogen (Hadiwiyono et al., 2011). Penyakit pada tanaman biasanya dimulai dari

adanya bagian kecil dari tanaman yang terinfeksi dan menjadi sakit, kemudian menyebar

dengan cepat, dan sukar untuk disembuhkan setelah penyakit mulai berkembang.

Tabel 3. Nilai deskriptif statistik residu fungisida

Mankozeb Propineb

Jumlah sampel 27 27

Nilai minimum 0.0000 0

Nilai maksimum 0.0635 0

Rata-rata 0.0179 0

BMR 1.20 1.35

SD 0.1890 0

CV 105.4874 0

Varian 0.0004 0

VMR 0.0199 0

skewness 1.0174 0

kurtosis 0.0899 0

Hasil penelitian Geubrina (2016) menyatakan bahwa terdapat sensitivitas

Colletotrichum spp. penyebab penyakit antraknosa pada cabai merah terhadap tiga jenis

bahan aktif fungisida sintetis.(Pertumbuhan koloni cendawan C. acutatum terhadap

fungisida sesuai konsentrasi rekomendasi, sangat sensitif terhadap heksakonazol dan

mankozeb, tetapi resisten sampai sangat resisten terhadap klorotalonil.

Pertumbuhan koloni C. gloeosporioides bereaksi sangat sensitif terhadap bahan aktif

heksakonazol dan mankozeb, tetapi sangat resisten terhadap klorotalonil. C. acutatum

menunjukkan reaksi resisten sampai sangat resisten terhadap bahan aktif heksakonazol pada

perkecambahan konidianya, sedangkan untuk kedua bahan aktif uji yang lain masih sangat

sensitif. Perkecambahan konidia, baik C. capsici maupun C. gloeosporioides masih sangat

sensitif terhadap bahan aktif klorotalonil dan mankozeb pada konsentrasi rekomendasi.

Sementara itu, reaksi perkecambahan konidia terhadap bahan aktif heksakonazol, C. capsici

mengindikasikan sangat resisten, sedangkan C. gloeosporioides bereaksi resistensi sedang

pada konsentrasi rekomendasi paling rendah dan sensitif pada konsentrasi yang lebih tinggi.

Tombe (2012) meneliti pengaruh formula dengan bahan aktif minyak cengkeh dan

serai wangi terhadap penyakit BBV (batang busuk vanili) dengan konsentrasi 400 ppm

memperlihatkan efektivitas yang tinggi dalam menghambat pertumbuhan miselium dan

produksi spora patogen. Penggunaan fungisida sintesis mankozeb dapat menghambat

kehidupan mikroorganisme tanah 90 – 100%., sedangkan pada perlakuan fungisida nabati

populasi mikroorganisme tanah lebih tinggi di semua perlakuan dibandingkan dengan

fungisida mankozeb.

Page 489: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

470

Dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan terbukti mankozeb dapat

menghambat pertumbuhan jamur penyebab penyakit antraknosa pada tanaman cabai.

Namun melihat efeknya yang membunuh banyak mikroorganisme dalam tanah maka perlu

dibatasi penggunaan fungisida sintetis dengan cara menggunakan fungisida berbahan

nabati.

KESIMPULAN

Residu mankozeb terdeteksi di 19 wilayah sample tanah sedangkan propineb tidak

terdeteksi. Penggunaan mankozeb tersebar di sentra-sentra hortikultura. Sumber residu

mankozeb tersebut berasal dari aplikasi fungisida tersebut.

SARAN

Penggunaan fungisida sintetis perlu dibatasi dan penggunaan fungisida nabati

dianjurkan untuk menjaga kelestarian lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

BPS, 2016. Kabupaten Tuban dalam angka. Badan Pusat statistik Kabupaten Tuban.

Hadiwiyono S., dan E. Sulastri. 2011. Efektivitas caisin sebagai tanaman perangkap

patogen untuk pengendalian penyakit akar gada pada kubis. Jurnal HPT Tropika,

11(1): 22-27.

Maghfirah, G. 2016. Sensitivitas Colletotrichum spp. penyebab penyakit antraknosa pada

cabai merah terhadap tiga jenis bahan aktif fungisida. Skripsi. Departemen Proteksi

Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Mulyadi. 2015. Identifikasi status pencemaran residu pestisida pada lahan pertanian di

Indonesia. Laporan Akhir KKP3S. Pati.

Sumardiyono, C., P. Nursamsi, dan S. Trisnowati. 1995. Ketahanan beberapa jamur

patogen terhadap fungisida. Jurnal Perlindungan Tanaman. Volume I No. 1.

Tombe, M., P. Darmawan, dan T.S. Haryani. 2012. Keefektifan formula minyak cengkeh

dan serai wangi terhadap Fusarium oxysporum f.sp. vanilla penyebab busuk batang

vanili. Jurnal Littri 18(4): 143-150.

Page 490: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

471

DAFTAR PESERTA

No Nama Peserta Instansi

1 Aditya Giri Balingtan

2 Affendhi STTP Malang

3 Afifatul Khoirunnisa K Universitas Brawijaya

4 Agus Marjuki Balingtan

5 Agustina Sri Puwestri Balingtan

6 Ahmad Miftahunniam Dinas Pertanian Kab.Pati

7 Ahmad Syafiri Balingtan

8 Ahsol Hasyim Balitsa

9 Ai Dariah Balittanah

10 Aji Yulianto PT. Garudafood Putra Putri Jaya

11 Albertus Sudirman Polinela

12 Aldonny Nurdiansyah Dinas Pertanian Kab.Pati

13 Ali Komunitas Organik

14 Ali Pramono Balingtan

15 Alina Akhdiyah BB Biogen

16 Andi Komunitas Organik

17 Annisa Destiani Natalia BBSDLP

18 Anny Mulyani BBSDLP

19 Araz Meilin BPTP Jambi

20 Ari Marhaeniati Laboratorium PHPT Pati

21 Ariana Rahmailahi Dinas Pertanian Kab.Pati

22 Ariswandi Balingtan

23 Asep Kurnia Balingtan

24 Asep Nugraha Ardiwinata Balingtan

25 Bambang Supriyadi Dintanbun Jawa Tengah

26 Cicik Oktavia Handayani Balingtan

27 Dedi Nursyamsi BBSDLP

28 Deni Adi Kurniawan PT. Petrokimia Kayaku

29 Desi Alfiani BBSDLP

30 Dewi Sahara BPTP Jawa Tengah

31 Diana Kusumawati Dinas Pertanian Kab.Pati

32 Dita Megasari POLTANA Mapena Tuban

33 Duri Balingtan

34 Dwi Nugroho Dinas Pertanian Kab.Pati

35 Dwi Rananto Laboratorium PHPT Pati

36 E. Srihayu Harsanti Balingtan

Page 491: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

472

No Nama Peserta Instansi

37 Edi Supraptomo Balingtan

38 Eko Dodo P Dintanbun Jawa Tengah

39 Eko Hadi Sucipto Dinas Pertanian Kab.Pati

40 Eko Hartini Udinus

41 Eko Novin A Ketua Poktan

42 Eko S Pinardi Smart D

43 Eman Sulaeman Balingtan

44 Endrawati Dinas Pertanian Kab.Pati

45 Eni Prasetyowati PPL Kab. Pati/ 3 GO

46 Eni Yulianingsih Balingtan

47 Erna Suryani BBSDLP

48 Ernawati PT. Garudafood Putra Putri Jaya

49 Erni Susanti Balitklimat

50 Evi Nindya Kusuma Dinas Pertanian Kab.Pati

51 Fahmuddin Agus BBSDLP

52 Fitra Purnariyanto Balingtan

53 Fujio Lamtarida Panggabean Karantina Tanaman

54 Giarto Dintanbun Jawa Tengah

55 Ginah Balingtan

56 Gries Moulina Fridani BBSDLP

57 Gunarso Balingtan

58 Gunawan Dinas Pertanian Kab.Pati

59 H. Moh Suminto Forum Komunitas Hijau Kab. Pati

60 Hadi Petani Jaken

61 Hairil Anwar BPTP Jawa Tengah

62 Hamdani Politeknik Negeri Lampung

63 Hangger Gahara Instiper Yogyakarta

64 Harmanto Balitklimat

65 Helena Lina S Balingtan

66 Hendro S Balittra

67 Heri Prabowo Balittas

68 Heri Santoso Komunitas Organik

69 Heru Sumartono Balingtan

70 Hesti Yulianingrum Balingtan

71 Hilda Amalia Rahmawati Balingtan

72 Husnain Balittanah

73 Ihsan Nugroho Karantina Tanaman

74 Ika Lestiana Sari Universitas Brawijaya

Page 492: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

473

No Nama Peserta Instansi

75 Iman Kurnia Safarwan BBSDLP

76 Ina Zulaehah Balingtan

77 Indrastuti Dinas Pertanian Kab.Pati

78 Indratin Balingtan

79 Irianti Kurniasari STTP Malang

80 Irsal Las BBSDLP

81 Isna Eviliyana Balingtan

82 Isna Tustiyani Universitas Garut

83 Jamani Balingtan

84 Jamus Wijanarko Dinas Pertanian Kab.Pati

85 Jarmin Balingtan

86 Jasmani Balingtan

87 Jayari Balingtan

88 Jumari M Balingtan

89 Jumari T Balingtan

90 Juwandi Balingtan

91 Kasmin Laboratorium PHPT Pati

92 Kholis Dwi Y BPP Batangan

93 Kundono Balingtan

94 Kurmen Balitklimat

95 Lenci Aryani Udinus

96 Licko Desvian H Balingtan

97 M. Ary Instiper Yogyakarta

98 M. Latif Habibi Balingtan

99 M. Rifai KP Muktiharjo

100 Martina Sri Lestari BPTP Papua

101 Mas Teddy Sutriadi BBSDLP

102 Maulia A.S. Balittra

103 Meryam Setiowati Dinas Pertanian Hortikultura Magetan

104 Miranti Ariani Balingtan

105 Muhammad Abdul Aziz Institut Pertanian Bogor

106 Mulyadi Balingtan

107 Neneng Sri Widayani UNPAD

108 Ngarjo Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi

Jateng

109 Noro Hutomo PT.SGS Indonesia

Page 493: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

474

No Nama Peserta Instansi

110 Nova Laili Wisuda Universitas Muria Kudus (UMK)

111 Nugroho Dwi Susanto Dinas Pertanian Kab.Pati

112 Nur Fitrianingsih UGM

113 Nurul Zulfaniati UGM

114 Poniman Balingtan

115 Purwanto Balingtan

116 Purwono Balingtan

117 R. Cinta Badia G Balittanah

118 Rakhmah Setyaningrum Balingtan

119 Ratna Rubiana BPTP Jambi

120 Retno Wijayanti Dinas Pertanian Kab.Pati

121 Ria Fauriah Balingtan

122 Ridha Nurlaily BPTP Jawa Tengah

123 Rina Kartikawati Balingtan

124 Rio Nugroho Sekretaris SAM

125 RM. Hendy Hendro Hadi Sridjono Universitas Muria Kudus (UMK)

126 Romsyah Maryam BB litvet

127 Sahadi Laboratorium PHPT Pati

128 Sari Poncowati Balingtan

129 Sarwoto Balingtan

130 Septiyarta Andi Petani Gabus

131 Setyo Yuliani Dyah Ambarsari Dinas Pertanian Kab.Pati

132 Shodiq Eko Ariyanto Universitas Muria Kudus (UMK)

133 Siska Frananda A.B Universitas Brawijaya

134 Siswanto Petani Batangan

135 Siswanto PT. Petrokimia Kayaku

136 Siti Nurjayanti BBSDLP

137 Siti Rofiatun Universitas Brawijaya

138 Siti Syarah Maesyaroh Universitas Garut

139 Sonni Senna D.A Universitas Brawijaya

140 Sri Ayu Slamet P. Universitas Negeri Semarang

141 Sri Hartini Balingtan

142 Sri Ita Tarigan Universitas Kristen Wira Wacana Sumba

143 Sri Wahyuni Balingtan

144 Sri Wahyuni GRK Balingtan

145 Sri Wartini Poktan Tambakromo

146 Subur Sedjati Universitas Muria Kudus (UMK)

Page 494: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

475

No Nama Peserta Instansi

147 Sudargo Petani Jaken

148 Sudarmin Balingtan

149 Sudarto Balingtan

150 Sugeng Widodo BPTP Yogyakarta

151 Sugito Ketua Poktan

152 Suharsih Balingtan

153 Sukarjo Balingtan

154 Sukemi Balingtan

155 Suki Balingtan

156 Sukur Basuki Balingtan

157 Suliyem Komunitas Organik

158 Sunik Balingtan

159 Supardi Balingtan

160 Supardi SITT Balingtan

161 Supraptiningsih Balingtan

162 Suryadi Balingtan

163 Suryani Balingtan

164 Suryanto Balingtan

165 Susanto Balingtan

166 Susilohadi Dinas Pertanian Kab.Pati

167 Sutardi BPTP Yogyakarta

168 Sutarno UPTD Batangan

169 Sutarwi Balingtan

170 Sutawi Balingtan

171 Sutoyo BPTP Jawa Tengah

172 Suyoto Balingtan

173 Syaiful Bachri BBSDLP

174 Syaiful Bachri BBSDLP

175 Syarif Hidayat UNPAD

176 Terry Ayu Adriani Balingtan

177 Ukhwatul Muanisah Balingtan

178 Ummi Mardiyah Balingtan

179 Untung Sudjianto Universitas Muria Kudus (UMK)

180 Veronica Krestani Universitas Muria Kudus (UMK)

181 Wagiman Balingtan

182 Wahid Erawan Universitas Garut

183 Wahyu Purbalisa Balingtan

Page 495: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

476

No Nama Peserta Instansi

184 Wahyunindyawati BPTP Jawa Timur

185 Wasidin Balingtan

186 Wasis Senoaji Loka Penelitian Penyakit Tungro

187 Widia Sandi Balingtan

188 Wildan PA Gapoktan

189 Winarti Balingtan

190 Windi L Majalah Agrina

191 Wiwik Ariyanto Dinas Pertanian Kab.Pati

192 Yani Nurhayani BBSDLP

193 Yarpani Balingtan

194 Yasin Petani

195 Yayuk Supriyani Dinas Pertanian BPP Wedarijaksa

196 Yeni Trias Kurniawati UPT Proteksi Tanaman Jawa Timur

197 Yiyi Sulaeman BBSDLP

198 Yono Balingtan

199 Yusup Hidayat UNPAD

200 Zaenal Hendro Nugroho Balingtan

Page 496: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

477

JADUAL ACARA WORKSHOP DAN SEMINAR INTERNASIONAL

INOVASI PESTISIDA RAMAH LINGKUNGAN MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

Hotel Merdeka Pati, Jl. PangeranDiponegoro No. 69, Pati, Jawa Tengah

Hari 1 “WORKSHOP” (6 September 2017)

Waktu Materi Pembicara Moderator/

Sekretaris 07.00-08.00 Registrasi peserta Panitia

08.00-09.00 Pembukaan

Menyanyikan Lagu Indonesia Raya

Tari Gambyong

Laporan Panitia

Sambutan, Pengarahan, dan

Pembukaan

Pembacaan Doa

Semua Peserta

Tim Tari Hotel

Ketua Panitia

Staf Ahli Menteri

M. Latif Habibi

Panitia

Helena Lina

Susilawati

(Dirigen)

MC: Gries

09.00-09.15 Coffee break

Pleno I

09.15-11.00 “Status Pencemaran Pestisida dan

Inovasi Teknologi

Penanggulangannya di Lahan

Pertanian”

The Effect of Botanical Pesticides

on Safe Food Production

Dr. PramaYufdy

(SekretarisBalitbangta

n)

Prof. Dr. Errol Hassan

(Queensland

University, Australia)

Prof.Dr.

Fahmudin

Agus/Dr. ES.

Harsanti

MC: Gries

11.00-12.00 Diskusi dan Penyerahan souvenir untuk narasumber

Foto Bersama (Fotografer: Likco dan Yono)

12.00-13.00 Ishoma

Pleno II

13.00-15.30 1. Produksi, Peredaran, dan Pengawasan Pestisida di Indonesia serta Peluang Biopestisida dalam Mendukung Pertanian Bioindustri Berkelanjutan yang Ramah Lingkungan

2. PraktekPertaniandanPraktekPenggunaanProdukPerlindunganTanaman yang BaikdalamMendukung program SwasembadaPangan

3. Petani Ramah Lingkungan

(Petani Bantul, DIY dan Petani Lembang, Jabar )

Dr. Ir. Muhrizal

Sarwani (Direktur

Pupuk dan Pestisida)

Agung Kurniawan,

S.S.ing(PT CropLife

Indonesia)

Lasiyo Syaifudin dan

Ulus Primawan

Prof.Dr. Irsal

Las/

Dr. Helena Lina

Susilawati

MC: Gries

15.30-16.15 Diskusi dan Penyerahan souvenir untuk narasumber

Foto Bersama

Page 497: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

478

Waktu Materi Pembicara Moderator/

Sekretaris 16.15-16.30 Informasi/pengumuman untuk peserta field trip Panitia

Hari 2 “FIELD TRIP” (7 September 2017)

Waktu Materi Penanggung

Jawab Tempat

06.15-06.30 Peserta Kumpul Poniman dan Tim Lobi New

Merdeka

Hotel Pati

06.30 Peserta Berangkat Ke Balingtan Poniman dan Tim

7.30 Peserta Tiba di Balingtan Asep Kurnia dan

Tim

7.30-10.00 Field Trip

Coffee Break

Suryanto dan

Mulyadi

Sri Wahyuni dan

Tim

SITT, Lab.

GRK, Taman

Sain Pertanian

dan Lab

Terpadu

10.00-12.00 Makan Siang

Pengenalan Balingtan

(Presentasi Singkat)

Pemutaran Video Balingtan

Paduan suara Balingtan

Pameran Teknologi Balingtan

Pameran Makanan dan Suvenir

LokalPati

Foto Bersama

Sri Wahyuni dan

Tim

Rina Kartikawati

/Miranti Ariani

Likco

Dharma Wanita

Sukarjo (EP3) dan

Eni (GRK)

Dharma Wanita dan

Koperasi

Likco dan Yono

AuditoriumBa

lingtan

Halaman

Auditorium

12.00-13.00 Menuju Hotel New Merdeka

Pati

Poniman dan Tim

Page 498: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah

479

Hari 2 SEMINAR (7 September 2017)

Waktu Materi PenanggungJawab(*)

13.30-14.30 Sidang Komisi (sesi-1);

4 Presenter

Ruang A

Ruang B

Ruang C

Ruang D

Helena Lina Susilawati/Rina

Miranti Ariani/Eny

Wiharjaka/Sukarjo

Ali Pramono/Terry

14.30-15.15 Sidang Komisi (sesi-2);3

Presenter

Ruang A

Ruang B

Ruang C

Ruang D

Helena Lina Susilawati/Rina

Miranti Ariani/Eny

Wiharjaka/Sukarjo

Ali Pramono/Terry

15.15-15.30 Coffee Break

15.30-16.15 Sidang Komisi (sesi-3);3

Presenter

Ruang A

Ruang B

Ruang C

Ruang D

Miranti Ariani/Eny

Helena Lina Susilawati/Rina

Ali Pramono/Terry

Wiharjaka/Sukarjo

16.15-16.45 Sidang Poster Asep Kurnia dan Tim

19.00-19.30 Pembacaan Rumusan dan

Penutupan

Pembacaan Rumusan

Penutupan

Pembacaando’a

Ketua Tim Perumus

Sekretaris Balitbangtan

M. Latif Habibi

MC: Gries

19.30-22.00 Ramah Tamah Panitia

*Moderator/Notulen

Page 499: PROSIDING SEMINAR NASIONAL - …balingtan.litbang.pertanian.go.id/.../pdf/PROSEDING_FINAL-fix.pdf · Prosiding seminar ini memuat 43 makalah dari hasil kegiatan seminar yang telah