makalah scl bm 1

67
INFEKSI ODONTOGEN Sub Pokok Bahasan I Dosen Pembimbing : Herdi Eko Pranjoto, drg., SU., Sp BM Prof. Dr. Peter Agus, drg,. SpBM (K) Kelompok C Sheila F. 021211131035 Masha A. 021211131048 Elva P. 021211131036 Aghnia A. 021211131049 Fara M. 021211131037 Isna N. 021211131050 Agustina R. 021211131038 Nabiela R. 021211131051 Dania A. 021211131039 Wilda S. 021211131047 i

Upload: nhnabila

Post on 11-Nov-2015

109 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

scl bm

TRANSCRIPT

INFEKSI ODONTOGENSub Pokok Bahasan I

Dosen Pembimbing : Herdi Eko Pranjoto, drg., SU., Sp BM Prof. Dr. Peter Agus, drg,. SpBM (K)

Kelompok CSheila F. 021211131035

Masha A. 021211131048

Elva P. 021211131036

Aghnia A. 021211131049

Fara M. 021211131037

Isna N. 021211131050

Agustina R. 021211131038

Nabiela R. 021211131051Dania A. 021211131039

Wilda S. 021211131047Wily W. 021211131040

Dita R. 021211131046Annete J. 021211131041

Amelia K. 021211131045Ledy A. 021211131042

Nisrina H. 021211131044

Firsta M. 021211131043DEPARTEMEN BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha esa karena atas berkat dan rahmatNya makalah ini boleh selesai, serta kemudahan dalam menyelesaikan tugas mandiri ini..

Ucapan terimakasih kami tujukan kepada Herdi Eko Pranjoto, drg., SU., SpBM dan Prof. Dr. Peter Agus, drg,. SpBM (K) karena beliau telah membimbing kami dalam penyelesaian makalah mata kuliah Ilmu Bedah Mulut II ini dengan maksimal. Terima kasih juga untuk teman- teman seperjuangan, baik yang di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga maupun teman- teman yang kini tersebar di seluruh penjuru nusantara. Saya sangat berharap atas saran dan kritik demi kesempurnaan dari makalah ini. Atas perhatian saudara, saya ucapkan terima kasih.Surabaya, 16 Maret 2015PenyusunDAFTAR ISIHalaman Juduli

Kata PengantariiDaftar IsiiiiBAB 1 PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang11.2. Rumusan Masalah21.3. Tujuan

1.3.1 Tujuan Instruksional Umum (TIU)2

1.3.2 Tujuan Instruksional Khusus (TIK)2

1.4 Learning Issue3BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA2.1 INFLAMASI2.1.1. Definisi Inflmasi52.1.2. Tanda-tanda Inflamasi62.1.3. Patofisiologi Inflamasi akut62.1.3.1. Perubahan Diameter Pembuluh Darah6

2.1.3.2. Peningkatan Permeabilitas Vaskuler6 2.1.3.3 Pembentukan Eksudat Seluler.7 2.1.4. Mediator Kimia Inflamasi82.2 HEMATOMA..9 2.2.1 Definisi Hematoma..9 2.2.2 Etiologi Hematoma..9 2.2.3 Patofisiologi Hematoma10 2.2.4 Terapi Hematoma102.3 INFEKSI ODONTOGEN.....11 2.3.1 Klasifikasi Infeksi Odontogen.12

2.3.2 Faktor-Faktor yang Berperan dalam Terjadinya Infeksi.13 2.3.3 Tahapan Infeksi142.3.4 Patogenesis152.3.5 Tanda dan Gejala152.4 PORT DE ENTRY172.4.1 Abses Periapikal.18

2.4.2 Perikoronitis202.4.3 Abses Periodontal212.5 Perbedaan Inflamasi dan Infeksi odontogenik22 2.5.1 Infeksi Jaringan Pulpa dan Periapikal23BAB 3 KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep Skenario 128 3.2 Kerangka Konsep Skenario 229BAB 4 PEMBAHASAN4.1. Skenario 1304.2. Skenario 232BAB 5 PENUTUP5.1 Kesimpulan365.2 Saran36DAFTAR PUSTAKA37BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Radang atau inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuester) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. (Dorland, 2002). Radang bisa terjadi karena berbagai hal, saah satunya karena trauma. Ketika terjadi trauma, maka akaan terjadi radang akut, yang merupakan respon tubuh baik secara selular maupun vaskuler. Dalam kasus radang, biasanya akan Nampak tanda-tanda keradangan berupa kalor dolor tumor maupun fungsiolesa. Infeksi yaitu invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh, secara klinis tidak tampak atau timbul cedera selular lokal akibat kompetisi metabolisme, toksin, replikasi intrasel, atau respon antigen-antibodi. (Dorland,2002) . Infeksi terbagi menjadi beberapa klasifikasi, salah satunya dibagi menjadi infeksi odontogen dan infeksi non odontogen. Infeksi odontogen ialah infeksi yang sumber infeksinya berasal dari gigi geligi sedangkan infeksi nonodontogen bersumber dari luar gigi. Pada infeksi odontogen, terdapat beberapa pola penyebaran, yang melewati beberapa jalur yakni periapikal, periodontal dan perikorona.Salah satu penyebab dari infeksi odontogen adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, sulkus ginggiva, dan mukosa mulut. Bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang lebih yang lebih dalam melalui nekrosispulpa dan poket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen. Infeksi biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi gigi dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat.

Proses infeksi akan berlangsung secara terus menerus apabila tidak segera ditangani dan proses infeksi tersebut dapat menyebarprogresif ke jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut. Proses infeksi pada jaringan pulpo-periapikal dapat menyebabkan beberapa kondisi ketika melibatkan jaringan periapikal yang dapat berupa granuloma, kistaatau osteomyelitis dan juga abses. Apabila kondisi memburuk, misalnya daya tahan tubuh pasien lemah dan dikombinasi dengan adanya bakteri yang virulen dan tidak dirawat, bisa terjadi komplikasi yang cukup serius. Apabila pus tidak keluarkan, akan menjadi nyeri karena akan menekan syaraf dan akibatnya akan terdapat keluhan pada pasien.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah patofisiologis keradangan dan perbaikan jaringan pada jejas?

1.2.2 Bagaimanakah mekanisme terjadinya infeksi odontogen serta perluasannya pada jaringan sekitar?

1.2.3 Bagaimanakah penatalaksanaan yang perlu diperhatikan jika terjadi keradangan dan infeksi odontogen?1.3 Tujuan1.3.1 Tujuan Instruksional Umum (TIU)Setelah mengikuti kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami penatalaksanaan kasus-kasus infeksi odontogen.1.3.2 Tujuam Instruksional Khusus (TIK)Setelah mengikuti su pokok bahsan ke-1 mahasiswa akan memahami tentang: patofisiologis keradangan dan perbaikan jaringan (inflammation and repair), infeksi, infeksi odontogen, port de entry infeksi odontogen.

1.4 Learning issue1. Penderita umur 15 tahun datang dengan keluhan adanya pembengkakatan pada daerah rahang kanan. Pembengkakan ini terjadi setelah anak tersebut terjatuh dari sepeda satu hari yang lalu.Hasil pemeriksaan:Anamnesa:Pemeriksaan fisik:Ekstra oral:Terdapat asimetris wajah, adanya pembengkakan daerah rahang atas, warna agak biru kemerahan, batas tidak jelas, pada palpasi teraba lunak dan tersa nyeri, tidak didapatka luka pada wajah.Intra oral:Tidak didapatkan luka pada jaringan lunak rongga mulut dan gigi-gigi dalam keadaan baik.Pemeriksaan penunjang:a. Rontgen foto: tidak dilakukanb. Laboratorium: tidak dilakukan1 Penderita perempuan 20 tahun datang dengan keluhan adanya rasa sakit pada gigi geraham bawah kanan belakang, rasa sakit cekot-cekot mulai timbul 5 hari yang lalu. Penderita pergi ke puskesmas. Saat pergi ke puskesmas, penderita merasakan adanya pembengkakan pada pipinya. Di puskesmas penderita diperiksa dan setelahnya mendapat 2 macam obat, yaitu 1 macam berjumlah 10 berupa kaplet diminum 4x sehari, dan 1 macam lagi berjumlah 10 diminum 3x sehari berupa tablet analgesik. Tetapi walau telah taat minum obat dari puskesmas, penderita merasa tidak ada perubahan, penderita malah merasa sakit. Kemudian penderita memutuskan untuk ke poli gigi Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Penderita juga merasakan demam sejak 2 hari yang lalu.Hasil pemeriksaan:Ekstra Oral:Pembengkakan regio pipi dan di tengah rahang kanan bawah, berbatas tidak jelas, warna merah, pada palpasi pembengkakan teraba padat ( firm ) dan hangat, tidak ada fluktuasi dan terasa nyeri.Intra Oral : Mukosa sekitar gigi 46 oedematus dan warna kemerahan

Gigi sisa akar, pada tekanan ( druk ) terasa nyeri

Pemeriksaan Penunjang :

X-Ray panoramik :

48 Impaksi mesioangular, gambaran radiolusen pada sebelah mesial daerah mahkota

Terlihat gambaran radiolusensi tidak berbatas jelas pada periapikal gigi 46 sisa akar

Gambar 1.1 Foto Panoramic learning issue skenario 2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inflamasi

2.1.1 Definisi

Inflamasi Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Dorland, 2002).

2.1.2 Tanda-Tanda InflamasiRespon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah:

a. Kemerahan (rubor) Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera (Corwin, 2008). b. Rasa panas (kalor) Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana, 2007).c. Rasa sakit (dolor) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal: (1) adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).d. Pembengkakan (tumor) Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008).

e. Fungsiolaesa Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi. (Wilmana, 2007). Selama berlangsungnya respon inflamasi banyak mediator2.1.3 Patofisiologi Inflamasi Akut

Pada stadium awal, cairan edema, fibrin dan neutrofil polimorf terkumpul di dalam rongga ekstraseluler jaringan yang mengalami kerusakan. Adanya komponen seluler yaitu neutrofil polimorf, merupakan bagian penting untuk diagnosis histopatologi radang akut. Respon radang akut melalui tiga proses yaitu perubahan diameter pembuluh darah, kenaikan permeabilitas vaskuler dan pembentukan cairan eksudat, pembentukan eksudat seluler berupa emigrasi neutrofil polimorf ke dalam rongga ekstravaskuler (Underwood, 1999).

2.1.3.1 Perubahan Diameter Pembuluh Darah

Fase awal konstriksi arteriol terjadi sementara. Fase vasodilatasi (hiperemi aktif) berikutnya dapat bertahan dari 15 menit sampai beberapa jam, tergantung dari berat ringannya cedera. Secara eksperimental telah dibuktikan bahwa aliran darah ke area cedera dapat meningkat sampai 10 kali lipat. Sementara aliran darah mulai melambat, sel sel darah mulai mengalir mendekati mendekati dinding pembuluh darah, keadaan ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke jaringan (Underwood, 1999).

2.1.3.2 Peningkatan Permeabilitas Vaskuler

Pembuluh darah kapiler dilapisi oleh satu lapis sel endotel. Dinding pembuluh darah kapiler bertindak sebagai mikrofilter yang memungkinkan air dan larutan melewatinya, tetapi tidak untuk molekul dan sel besar. Dalam keadaan normal, tekanan hidrostatik yang tinggi pada ujung arteriol kapiler akan memaksa cairan keluar ke rongga ekstravaskuler. Cairan ini masuk kembali ke dalam kapiler pada ujung venanya, yang tekanan hidrostatiknya rendah. Pada radang akut, tidak hanya tekanan hidrostatik kapiler yang meningkat, tetapi protein plasma juga keluar menuju rongga ekstravaskuler, yang akan meningkatkan tekanan koloid. Sebagai akibatnya, lebih banyak lagi cairan meninggalkan pembuluh darah daripada yang kembali masuk. Keluarnya cairan yang kaya protein disebut eksudasi, dan cairannya disebut eksudat (Underwood, 1999).

2.1.3.3Pembentukan Eksudat Seluler

a. Marginasi Neutrofil

Dalam sirkulasi normal, sel hanya terdapat di bagian tengah aliran dalam pembuluh darah dan tidak mengalir pada bagian tepi (zona plasmatik) dekat endotel. Meskipun demikian, hilangnya cairan intravaskuler dan meningkatnya viskositas plasma disertai lambatnya aliran pada daerah terjadinya radang akut, memungkinkan neutrofil mengalir ke tepi zona plasmatik (Underwood, 1999).

b. Emigrasi Neutrofil

Leukosit migrasi dengan gerak ameboid yang aktif melewati dinding venula dan vena kecil, tetapi biasanya tidak keluar dari kapiler. Dengan mikroskop elektron ditunjukkan neutrofil dan eosinofil polimorf serta makrofag dapat menyisip sebagai pseudopodia di antara sel-sel endotel, kemudian bermigrasi melalui celah diantara sel endotel, melintasi lamina basalis untuk sampai ke dalam dinding pembuluh darah. Celah yang terjadi akan menutup dengan sendirinya dan sel endotel tidak mengalami kerusakan (Underwood, 1999).

c. Diapedesis

Sel darah merah dapat juga keluar dari pembuluh darah, pada peristiwa ini prosesnya berlangsung pasif dan tergantung pada tekanan hidrostatik yang memaksa sel darah merah keluar. Proses diatas disebut diapedesis. Ditemukan eritrosit dalam jumlah yang banyak dalam rongga ekstravaskuler mengarah adanya cedera yang hebat pada pembuluh darah, seperti sobeknya dinding pembuluh darah (Underwood, 1999).2.1.4 Meditor Kimia Inflamasi

a. Histamin

Histamin mampu menghasilkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler. Sebagian besar histamin disimpan di dalam granula sel-sel jaringan ikat yang dikenal sebagai sel-sel mast, yang tersebar luas di dalam tubuh (histamin juga terdapat di dalam basofil dan trombosit). Banyak cedera fisik menyebabkan degranulasi sel mast dan pelepasan histamin (Price and Wilson, 2006).

b. Faktor-Faktor Plasma

Plasma darah merupakan sumber yang kaya akan sejumlah mediator-mediator penting. Agen utama yang mengatur sistem pertahanan ini adalah faktor Hageman (faktor XII), yang terdapat di dalam plasma dalam bentuk inaktif dan dapat diaktivasi oleh berbagai cedera. Faktor Hageman yang telah diaktivasi mencetuskan kaskade pembekuan, menyebabkan pembentukan fibrin. Pembekuan, dengan sendirinya merupakan reaksi pertahanan yang penting terhadap cedera, tetapi produk-produk tertentu dari fibrin juga bertindak sebagai mediator vasoaktif pada peradangan. Faktor Hageman yang telah diaktivasi juga merubah prekalikrein menjadi kalikrein (suatu enzim proteolitik), yang kemudian pada gilirannya, bekerja pada kininogen plasma untuk membebaskan bradikinin, suatu peptida yang melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas (Price and Wilson, 2006).

c. Metabolit Asam Arakhidonat

Pada beberapa tahun terakhir ini, perhatian ditujukan pada metabolit asam arakhidonat sebagai mediator peradangan penting. Asam arakhidonat berasal dari fosfolipid pada banyak membran sel ketika fosfolipase diaktivasi oleh cedera (atau oleh mediator-mediator lain). Kemudian, dua jalur yang berbeda dapat memetabolisme : jalur sikooksigenase dan jalur lipooksigenase, menghasilkan berbagai prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. Zat-zat ini menunjukkan kisaran luas efek-efek vaskuler dan kemotaktik pada peradangan, dan beberapa diantaranya juga penting dalam hemostasis (Price and Wilson, 2006).

2.2 Hematoma2.2.1 DefinisiHematomaHematoma merupakan kumpulan dari sel darah merah dan putih di luar pembuluh darah. Hal ini merupakan akibat dari pembuluh darah yang pecah atau karena terjadinya perdarahan dalam jaringan. Berdasarkan letak anatomi dari rupturnya pembuluh darah, perdarahan dapat terjadi di beberapa lokasi yang terpisah meliputi epidural, subdural, dan subarachnoid space atau langsung ke otak (intracerebral hematoma) (Pooler, 2009). Selain itu, dapat terjadi di subcutaneous, fascial, intramuscular, subperiosteal, intra-osseous, dan intra-axial. Hematoma dapat menyebabkan nyeri dan bengkak, dengan atau tanpa kerusakan jaringan di superfisial. Hematoma biasanya dapat menghilang, namun juga tidak dapat menghilang bahkan membesar (Meyers, 2008).2.2.2 EtiologiHematomaPenyebab hematoma biasanya karena akibat dari perdarahan atau lebih spesifiknya, perdarahan internal. Hematoma atau biasa disebut memar (ecchymosis), tetapi bisa terjadi pada organ dalam tubuh. Jejas pada tulang wajah dan rahang dapat menyebapkan perdarahan di dalam struktur wajah. Selanjutnya, trauma pada pembuluh darah kapiler menyebabkan darah keluar dan masuk ke perivascular connective tissue. Sirkulasi yang buruk pada daerah jejas menyebabkan bergabungnya darah, prostaglandin dan reaksi peradangan yang lebih lanjut (Ghom, 2014).

Selain itu ada penyebab lain yang dapat menyebabkan hematoma, seperti operasi, prosedur medis dan kedokteran gigi yang invasive (seperti biopsy, insisi, drainase dan kateterisasi jantung) dan juga injeksi obat (seperti insulin, pengencer darah dan vaksin). Karena prosedur ini merusak jaringan sekitar dan pembuluh darah, sehingga hematoma sering terjadi di sekitar area dilakukannya prosedur(Caterino dan Kahan, 2003).Kadang-kadang, hematoma dapat terjadi secara spontan tanpa penyebab yang jelas atau jejas dan trauma. Beberapa obat pengencer darah dapat meningkatkan resiko terjadinya hematoma. Orang yang mengkonsumsi obat seperti Coumadin (warfarin), Plavix (clopidogrel), aspirin, bahan yang mengandung aspirin seperti alka easier atau persantine (dipyridamole) bisa lebih mudah terjadi hematoma dengan jejas yang lebih kecil pada pembuluh darah mereka daripada individu pada umumnya. Karena kecenderungan dari obat ini untuk menghambat proses koagulasi darah, jejas kecil pada pembuluh darah akan menjadi lebih sulit untuk memperbaiki, sehingga terjadi hematoma (Caterino dan Kahan, 2003).Beberapa obat atau suplemen lain yang dapat meningkatkan kecenderungan perdarahan yaitu vitamin E, golongan NSAID seperti ibuprofen (morfin, advil, aleve), suplemen bawang putih, dan gingko biloba. Beberapa keadaan medis juga dapat mempengaruhi dan meningkatkan resiko terjadinya hematoma. Individu dengan beberapa kondisi seperti penyakit liver kronik, konsumsi alcohol berlebihan, kelainan darah (hemophilia dan Von Willebrand disease), kanker darah dan jumlah platelet yang rendah (trombositopenia) akan lebih mudah mengalami hematoma daripada individu pada umumnya (Caterino dan Kahan, 2003).2.2.3 PatofisiologiHematoma

Tekanan dengan kekuatan yang besar dapat menyebabkan pecahnya kapiler dan venul. Hal ini dapat menimbulkan perubahan histologis berupa perdarahan di jaringan di luar pembuluh darah (Rubin, 2012). Biasanya pada perdarahan yang tak terkendali yang dapat menjadi massa yang keras, membentuk benjolan yang menyakitkan (Weinstein, 2007).Mekanisme penyembuhan luka dimulai segera setelah terjadinya suatu luka sewaktu terjadi kontak antara platelet dengan kolagen. Neutrophil merupakan sel yang predominan pada luka 24 jam setelah terjadinya luka. Fungsi utama neutrophil ini adalah untuk menghilangkan materi asing bakteri dan sel host yang sudah non-fungsional serta komponen matriks-matriks yang rusak pada tempat luka. Sekitar 48 jam setelah terjadinya luka, monosit pada jaringan yang tetap akan aktif dan berubah menjadi makrofag pada luka. Makrofag ini spesifik terdapat pada lokasi luka dan mungkin merupakan sel inflamasi yang penting dalam respon penyembuhan luka (Kumar, 2007).Selama proses penyembuhan luka berlangsung, pada kulit tempat terkumpulnya darah dapat berubah warna karena adanya pemecahan hemoglobin karena sel darah merah yang keluar dari pembuluh darah. Hemoglobin mengalami proses fagositosis dan degradasi sekuensial menjadi bilirubin, biliverdin dan hemosiderin. Hemoglobin menyebabkan warna merah kebiruan, biliverdin menyebabkan warna hijau, bilirubin menyebabkan warna kuning dan hemosiderin menyebabkan warna coklat keemasan. Sewaktu bahan-bahan ini menghilang dari area tersebut, hematoma akan menghilang. Biasanya hal ini terjadi lama setelah proses penyembuhan luka selesai (Hammer, 2013).2.2.4 TerapiHematomaTerapi untuk hematoma tergantung dari lokasi, gejala dan keadaan klinis pasien. Beberapa tidak membutuhkan treatment khusus, sedangkan juga ada yang merupakan kegawatdaruratan medis. Terapi untuk hematoma superficial atau yang biasa disebut subcutaneous hematoma yaitu RICE (Rest, Ice, Compress, Elevate), yang pertama yaitu istirahat, kemudian kompres dengan es atau cold packs beberapa kali sehari untuk meningkatkan vasokonstriksi sehingga hemorrhage dan edema berkurang (Ghom, 2014). kemudian tekanan dengan menggunakan perban elastis, dan yang terakhir mengangkat daerah yang hematoma lebih tinggi dari posisi jantung (Hammer, 2007).

Medikasi untuk hematoma superfisial tergantung dari level nyeri dan keparahan dari hematoma yang terjadi pada pasien, obat seperti ibuprofen dan acetaminophen sering digunakan untuk meredakan rasa nyeri (Rice, 2014). Untuk hematoma yang terjadi setelah prosedur ekstraksi gigi atau bedah, kompres dengan kain dingin atau es selama 24 jam pertama kemudian kompres hangat untuk proses penyembuhan yang lebih cepat (Fragiskos, 2007).

2.3 Infeksi Odontogenik

Infeksi odontogenik merupakan salah satu diantara beberapa infeksi yang paling sering kita jumpai pada manusia. Pada kebanyakan pasien infeksi ini bersifat minor atau kurang diperhitungkan dan seringkali ditandai dengan drainase spontan di sepanjang jaringan gingiva pada gigi yang mengalami gangguan(Jimenez,2004).

Fistula

Bakteremie-Septikemie

Selulitis

Acute-Chronic

Infeksi Spasium

Periapikal Infection

yang dalam

Abses intra oral

Osteomielitis Ke spasium yang lebih

Atau jaringan lunak-kutis

tinggiinfeksi serebral

Gambar 1 : Arah Penyebaran Infeksi odontogenik (Topazian et al., 2008)Infeksi odontogenik merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering terjadi. Infeksi odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan penyakit periodontal, perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan. Infeksi odontogenik juga lebih sering disebabkan oleh beberapa jenis bakteri seperti streptococcus. Infeksi dapat terlokalisir atau dapat menyebar secara cepat ke sisi wajah lain(Jimenez,2004).

2.3.1 Klasifikasi Infeksi odontogenikBerikutiniadalahberbagaiklasifikasidariinfeksiodontogenik: (Abdulaziz et al., 2009)1. Berdasarkan organisme penyebab infeksi Bakteri Virus Parasit Mikotik2. Berdasarkan Jaringan Odontogenik Non-odontogenik3. Berdasarkan lokasi masuknya

Pulpa Periodontal Perikoronal Fraktur Tumor Oportunistik 4. Berdasarkan tinjauan klinis

Akut Kronik

5. Berdasarkan spasium yang terkena

Spasium kaninus Spasium bukal Spasium infratemporal Spasium submental Spasium sublingual Spasium submandibula Spasium masseter Spasium pterigomandibular Spasium temporal Spasium Faringeal lateral Spasium retrofaringeal Spasium prevertebral

2.3.2 Faktor-Faktor yang Berperandalam Terjadinya InfeksiDalamterjadinyasuatuinfeksi, terdapatberbagaifaktor yang mempengaruhidanmenyebabkantimbulnyainfeksitersebut. Faktor-faktortersebutantara lain: (Fragiskos,2007)1. Virulensi dan Kuantitas

Di rongga mulut terdapat bakteri yang bersifat komensalis. Apabila lingkungan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal maupun bakteri asing, maka akan terjadi perubahan dan bakteri bersifat patogen. Patogenitas bakteri biasanya berkaitan dengan dua faktor yaitu virulensi dan kuantitas. Virulensi berkaitan dengan kualitas dari bakteri seperti daya invasi, toksisitas, enzim dan produk-produk lainnya. Sedangkan kuantitas adalah jumlah dari mikroorganisme yang dapat menginfeksi host dan juga berkaitan dengan jumlah faktor-faktor yang bersifat virulen.

2. Pertahanan Tubuh Lokal

Pertahanan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier anatomi, berupa kulit dan mukosa yang utuh, menahan masuknya bakteri ke jaringan di bawahnya. Pembukaan pada barier anatomi ini dengan cara insisi poket periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang nekrosis akan membuka jalan masuk bakteri ke jaringan di bawahnya. Gigi-gigi dan mukosa yang sehat merupakan pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi. Adanya karies dan saku periodontal memberikan jalan masuk untuk invasi bakteri serta memberikan lingkungan yang mendukung perkembangbiakan jumlah bakteri.

Mekanisme pertahanan lokal yang kedua adalah populasi bakteri normal di dalam mulut, bakteri ini biasanya hidup normal di dalam tubuh host dan tidak menyebabkan penyakit. Jika kehadiran bateri tersebut berkurang akibat penggunaan antibiotik, organisme lainnya dapat menggantikannya dan bekerjasama dengan bakteri penyebab infeksi mengakibatkan infeksi yang lebih berat.

3. Pertahanan Humoral

Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan tubuh lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua komponen utamanya adalah imunoglobulin dan komplemen. Imunoglobulin adalah antibodi yang melawan bakteri yang menginvasi dan diikuti proses fagositosis aktif dari leukosit. Imunoglobulin diproduksi oleh sel plasma yang merupakan perkembangan dari limfosit B. Terdapat lima tipe imunoglobulin, 75% terdiri dari IgG merupakan pertahanan tubuh terhadap bakteri gram positif. IgA sejumlah 12% merupakan imunoglobulin pada kelenjar ludah karena dapat ditemukan pada membran mukosa. IgM merupakan 7% dari imunoglobulin yang merupakan pertahanan terhadap bakteri gram negatif. IgE terutama berperan pada reaksi hipersensitivitas. Fungsi dari IgD sampai saat ini belum diketahui.

Komplemen adalah mekanisme pertahanan tubuh humoral lainnya, merupakan sekelompok serum yang di produksi di hepar dan harus di aktifkan untuk dapat berfungsi. Fungsi dari komplemen yang penting adalah yang pertama dalam proses pengenalan bakteri, peran kedua adalah proses kemotaksis oleh polimorfonuklear leukosit yang dari aliran darah ke daerah infeksi. Ketiga adalah proses opsonisasi, untuk membantu mematikan bakteri. Keempat dilakukan fagositosis. Terakhir membantu munculnya kemampuan dari sel darah putih untuk merusak dinding sel bakteri.

4. Pertahanan Seluler

Mekanisme pertahanan seluler berupa sel fagosit dan limfosit. Sel fagosit yang berperan dalam proses infeksi adalah leukosit polimorfonuklear. Sel-sel ini keluar dari aliran darah dan bermigrasi ke daerah invasi bakteri dengan proses kemotaksis. Sel-sel ini melakukan respon dengan cepat, tetapi sel-sel ini siklus hidupnya pendek, dan hanya dapat melakukan fagositosis pada sebagian kecil bakteri. Fase ini diikuti oleh keluarnya monosit dari aliran darah ke jaringan dan disebut sebagai makrofag. Makrofag berfungsi sebagai fagositosis, pembunuh dan menghancurkan bakteri dan siklus hidupnya cukup lama dibandingkan leukosit polimorfonuklear. Monosit biasanya terlihat pada infeksi lanjut atau infeksi kronis.

Komponen yang kedua dari pertahanan seluler adalah populasi dari limfosit, seperti telah di sebutkan sebelumnya limfosit B akan berdifernsiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang spesifik seperti Ig G. Limfosit T berperan pada respon yang spesifik seperti pada rejeksi graft (penolakan cangkok) dan tumor suveillance (pertahanan terhadap tumor).2.3.3 Tahapan InfeksiInfeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka menjalani resolusi: (Lopez-Piriz et al.,2007)

1. Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan adonannya konsisten.

2. Antara 5 sampai 7 hari tengahnya mulai melunak dan abses merusak kulit atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin dapat dilihat lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.

3. Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah pembedahan secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang terlibat kokoh/tegas saat dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan jaringan dan jaringan bakteri.2.3.4 Patogenesis

Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat masuk ke jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut. Pada abses rahang dapat melalui foramen apikal atau marginal gingival(Jimenez,2004).

Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar (Jimenez, 2004).2.3.5 Tanda dan GejalaGejala-gejala terjadinya infeksi adalah sebagai berikut: (Lopez-Piriz et al., 2007)

1. Adanya respon inflamasi

Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi. Pada keadaan ini substansi yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga dilakukan perbaikan jaringan oleh proses inflamasi (Lopez-Piriz et al.,2007).

2. Adanya gejala infeksi

Gejala-gejala tersebut dapat berupa : rubor atau kemerahan terlihat pada daerah permukaan infeksi yang merupakan akibat vasodilatasi. Tumor atau edema merupakan pembengkakan daerah infeksi. Kalor atau panas merupakan akibat aliran darah yang relatif hangat dari jaringan yang lebih dalam, meningkatnya jumlah aliran darah dan meningkatnya metabolisme. Dolor atau rasa sakit, merupakan akibat rangsangan pada saraf sensorik yang di sebabkan oleh pembengkakan atau perluasan infeksi. Akibat aksi faktor bebas atau faktor aktif seperti kinin, histamin, metabolit atau bradikinin pada akhiran saraf juga dapat menyebabkan rasa sakit. Fungsio laesa atau kehilangan fungsi, seperti misalnya ketidakmampuan mengunyah dan kemampuan bernafas yang terhambat. Kehilangan fungsi pada daerah inflamasi disebabkan oleh faktor mekanis dan reflek inhibisi dari pergerakan otot yang disebabkan oleh adanya rasa sakit (Fragiskos,2007).

3. Limphadenopati

Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras tergantung derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan di sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe merupakan daerah indikasi terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika organisme penginfeksi menembus sistem pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan memproduksi pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan dan memerlukan insisi dan drainase (Gordon, 1996).

2.4 Port de EntryInfeksi odontogen adalah infeksi yang ditimbulkan dari jaringan periodontal, jaringan periapikal, dan jaringan perikoronal (Sanghai & Chatterjee, 2009). Infeksi odontogenik adalah penyakit yang paling umum di seluruh dunia dan itu adalah alas an utama untuk mencari perawatan gigi. Infeksi darurat umum odontogenik adalah abses periapikal (25%), perikoronitis (11%) dan abses periodontal (7%). Signifikansi dalam masalah kesehatan juga tercermin oleh kenyataan bahwa 12% dari antibiotik yang diresepkan untuk alas an infeksi odontogenik. Infeksi odontogenik juga merupakan penyebab umum sepsis pada kepala dan leher. Infeksi sering menyebar dalam pola diprediksi dalam ruang fasia leher dan dapat menyebabkan napas kompromi. Seringkali kondisi pasien tercermin pada tingkat morbiditas yang signifikan dan rumah sakit yang berkepanjangan tinggal (Baxter, 1990; Peterson et al., 2003).

2.4.1 Abses Periapikal

Karies berawal dari sisa makanan yang bercampur dengan hasil metabolisme bakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus mutans, Lactobacillus, dll yang berupa asam akan mengakibatkan proses demineralisasi pada email sehingga terbentuk karies. Proses karies ini mengakibatkan radang pada pulpa yang dikenal sebagai Pulpitis Reversibel dan akan berlanjut menjadi Pulpitis Irreversibel. Bila infeksi dibiarkan jaringan pulpa akan menjadi nekrosis sehingga infeksinya dapat masuk ke pembuluh darah menuju jaringan periapikal melalui apeks. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah memfagosit bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini maka jaringan sekitarnya akan terdorong dan menjadi dinding pembatas abses. Hal ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah maka infeksi bisa menyebar tergantung kepada lokasi abses. Sehingga Abses Periapikal dapat didefinisikan sebagai suatu proses supuratif disekitar ujung akar gigi yang terjadi karena hancurnya jaringan dan merupakan respon inflamasi berlanjut dari jaringan periapikal terhadap iritasi pulpa (Michael TB et al, 2006)

Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar (Marvin G, 2006).

Infeksi periapikal dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam yang pada dasarnya dipengaruhi oleh : jumlah dan virulensi kuman, resistensi dari host, dan struktur anatomi daerah yang terlibat (Michael TB et al, 2006).

Pus pada jaringan periapikal menyebar melalui tulang cancelous menuju ke permukaan tulang dan setelah menembus lapisan korteks pus masuk ke jaringan lunak di sekitarnya yang biasanya didahului dengan keradangan pada periosteum tulang alveolar di daerah tersebut yang disebut dengan periostitis (Maestra-Vera JR, 2004).

Arah penyebaran infeksi periapikal menuju ke jaringan lunak dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu (Maestra Vera JR, 2004) :1. Ketebalan tulang yang meliputi apeks gigi

2.Hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot pada maksila dan mandibula

Bila apeks gigi yang terinfeksi lebih dekat dengan labial plate maka akan menyebabkan vestibular abscess. Sebaliknya jika akar gigi lebih dekat dengan permukaan palatal maka yang terjadi adalah palatal abscess.

Setelah pus menembus permukaan tulang dan masuk ke dalam jaringan lunak arah penyebaran selanjutnya ditentukan oleh tempat perlekatan otot-otot pada tulang rahang, utamanya yaitu m. Buccinator pada maksila dan mandibula, dan Mylohyoid pada mandibula. Pada gigi-gigi posterior rahang atas apabila pus keluar ke arah bukal dan dibawah perlekatan m.buccinator pada maksila dan mandibula, dan m mylohyoid pada mandibula. Pada gigi posterior rahang atas apabila pus keluar ke arah bukal dan dibawah perlekatan m. Buccinator maka akan terjadi vestibular abscess. Apabila pus terletak di atas perlekatan m. Buccinator maka yang terjadi adalah buccal space abscess ((Michael TB et al, 2006).

Infeksi periapikal pada gigi-gigi rahang atas pada umunya menjalar ke arah labial atau bukal. Beberapa gigi seperti insisif lateral yang inklinasinya ekstrem, akar palatal gigi premolar pertama dan molar rahang atas dapat menyebabkan abses di sebelah palatal. Penjalaran infeksi ke labial atau bukal dapat menjadi vestibular abscess atau fascial space infection ditentukan oleh hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot pada tulang maksila yaitu m. buccinator dan m. Levator anguli oris (Lynnus Peng, MD, 2006).

Penyebaran infeksi Molar bawah yang ke arah bukal juga ditentukan oleh perlekatan m. Buccinator. Apabila pus keluar diatas perlekatan m. buccinator maka yang tejadi adalah vestibular abscess, bila pus keluar dibawah perlekatan otot tersebut maka yang terjadi adalah buccal space infection atau perimandibular infection. Penyebaran infeksi M RB yg kearah lingual ditentukan oleh relasi antara letak apeks akar gigi M dan tempat perlekatan m. Mylohyoid. Bila pus keluar dari dinding lingual di atas perlekatan m. Mylohyoid maka akan terjadi sublingual space abscess, sebaliknya bila pus keluar dibawah perlekatan otot tsb akan timbul submandibular space abscess (Green, 2001).2.4.2 Perikoronitis

Perikoronitis merupakan suatu keradangan pada jaringan lunak perikoronal (operkulum) yang menutupi mahkota gigi di sekeliling gigi yang erupsi, paling sering terjadi pada molar ketiga bawah (Mansjoer, 2000). Perikoronitis terjadi pada tahap erupsi saat folikel gigi terbuka dan berkontak dengan cairan rongga mulut. Seringkali gigi hanya erupsi sebagian tetapi dalam banyak kasus mahkota gigi tidak terdeteksi di dalam mulut walau menggunakan alat probe sekalipun (Soelistiono, 2008; MacGregor, 1985).

Daerah sekitar gigi molar ketiga bawah adalah daerah yang sulit untuk dilakukan drainase. Hal ini menjelaskan mengapa perikoronitis jarang terjadi pada kasus impaksi gigi molar ketiga atas dan kaninus bila dibandingkan dengan gigi kaninus dan premolar bawah. Semua gigi geraham bawah yang mengalami penundaan erupsi khususnya bila impaksi, dapat mengalami perikoronitis (Soelistiono, 2008; MacGregor, 1985).

Perikoronitis pada gigi molar ketiga bawah mungkin berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan, emosi, dan stress psikis. Pericoronotis akut menimbulkan rasa sakit dan biasanya timbul pada dewasa muda yang sedang mengalami erupsi gigi molar ketiga bawah (Bataineh, 2003). Perikoronitis akut ditandai dengan adanya rasa sakit, menyebar, menyebabkan sulit tidur, pembengkakan pada jaringan perikoronal, pus, trismus, regional lymphadenopathy, sulit saat menelan, dan pyrexia (Moloney, 2009).

Perikoronitis akut berhubungan dengan kondisi oral hygiene yang buruk (Moloney, 2009). Infeksi yang terjadi disebabkan oleh adanya mikroorganisme dan debris yang terperangkap diantara mahkota gigi dan jaringan lunak di atasnya (Pedersen, 1996). Ketika folikel gigi berinteraksi dengan rongga mulut, bakteri akan masuk ke dalam follicular space yang menginisiasi terjadinya infeksi. Proses ini disebabkan oleh debris yang terakumulasi di antara ruang dari operculum dan trauma oklusi dari jaringan pericorona yang disebabkan oleh gigi antagonis. (Moloney, 2009)

Berbagai macam mikroorganisme telah dibiakkan dari jaringan yang terinfeksi. Bakteri yang ditemukan berupa bakteri aerob dan anaerob sehingga infeksi perikoronitis bersifat polimikrobial. Bakteri yang paling banyak dijumpai dari jenis anaerob adalah S. Mutans dan oralis (Soelistiono, 2008; Salinas dkk., 2006).

Faktor lokal lain yang penting yaitu hubungan gigi molar ketiga. Gigi molar ketiga atas akan bererupsi dan berkontak dengan jaringan lunak yang menutupi gigi molar ketiga bawah dan bahkan sebelum hal ini terjadi jaringan lunak tersebut akan terkena trauma terlebih dahulu oleh komponen keras dari makanan. Salah satu atau kombinasi dari perubahan tersebut dapat mengacaukan keseimbangan dengan cara menurunkan resistensi lokal jaringan tersebut sehingga memungkinkan terjadinya infeksi yang lebih lanjut. Daya tahan individu juga memainkan peran penting dalam timbulnya perikoronitis sesuai dengan prinsip medis. Secara umum faktor stress berpengaruh terhadap terjadinya perikoronitis. (Soelistiono, 2008)

Patologi perikoronitis berupa infeksi dan biasanya berbentuk abses atau cellulitis yang memiliki karakteristik sesuai dengan organisme-organisme yang dominan. Arah penyebaran abses telah banyak diketahui. Pus tersebut dilokalisasi oleh resistensi jaringan di sekelilingnya dengan penghalang utama berupa fascia dan otot (MacGregor, 1985).

Gejala awal perikoronitis berupa nyeri dan pembengkakan lokal pada operkulum yang menutupi mahkota gigi. Pada beberapa kasus yang lebih parah pasien dapat mengeluhkan keterbatasan membuka mulut (trismus) dan pembengkakan di wajah (Gutierrez-Perez, 2004).

Perikoronitis dapat bersifat akut dan kronis. Gejala utama pada tahap akut adalah rasa nyeri sedangkan pada perikoronitis kronis hanya menunjukkan sedikit gejala. Eksudat dapat terjadi pada kedua tahap (Gutierrez-Perez, 2004).2.4.3 Abses Periodontal

Reaksi akut terhadap iritan plak dental dan bakteri dapat berkembang di poket periodontal dan area furkasi. Abses jenis lain dapat menyebar melalui jaringan gingiva dan perforasi membentuk fistula, sedangkan abses periodontal diteruskan melalui poket sulkus. Gigi yang terlibat jaringan periodontal dapat sensitif atau tidak sensitif terhadap perkusi, dan nyeri dapat terasa ringan maupun hebat. Tanda konstitusional dari infeksi, meliputi demam, malais, dan limfadenopati, dapat terjadi. Menaruh probe pada poket periodontal dengan maipulasi ringan terkadang mengeluarkan drainase dari eksudat melalui daerah fistula. Ketika poket sangat dalam dan abses terletak berdekayam demham saluran akar aksesori lateral, dapat terjadi pulpitis retrogade. Abses periodontal atau rekuran dapat terjadi pada penderita diabetes tak terkontrol (Eversole, 2001).

Zona pembentukan abses dapat menunjukkan infiltrasi dan makrofag. Kapiler yang melalui abses, dan debris nekrotik dan koloni mikrobial dapat terlihat. Fistula mengandung infiltrasi sel radang akut dan dibatasi jaringan granulasi dan epitelisasi dapat berkembang (Eversole, 2001).2.5 Perbedaan Inflamasi dan Infeksi odontogenik

Inflamasi adalah respon pelindung jaringan untuk cedera kerusakan jaringan, yan berfungsi menghancurkan, mnegencerkan atau membatasi dari agen-agen yang merugikan dan jaringan terluka. Tanda-tanda klasik dari peradangan akut adalah nyeri (dolor), panas (kalor), kemerahan (rubor), pembengkakan (tumor), dan hilangnya fungsi (functio laesa). Proses dimulai dengan vasokonstriksi sementara, kemudian diikuti dengan peningkatan permeabilitas embuluh darah singkat. Tahap kedua yang berkepanjangan dan terdiri dari peningkatan yang berkelanjutan permeabilitas pembuluah darah, eksudasi cairan dari pembuluh, pnegelompokkan leukosit sepanjang dinding pembuluh, fagositosis mikroorganisme, pengendapan fibrin, pembuangan sisa-sisa akumulasi oleh makrofag dan migrasi fibroblas ke daerah pengembangan baru, sel-sel normal. Tingkat keparahan, waktu dan karakter local dari setiap respon infkamasi tertentu tergantung pada penyebabnya, daerah yang terkena dampak dan kondisi tuan rumah. Histamin, kinins dan berbagai zat-zat lain memediasi proses inflamasi.

Respon inflamasi dapat dipicu oleh fisik, kimia dan agen biologis termasuk trauma mekanik, paparan sinar matahari berlebihan, x-ray dan bahan radioaktif, bahan kimia korosif, suhu panas dan dingin yang ekstrim atau disebabkan oleh agen infeksi seperti bakteri, virus dan mikroorganisme patogen lainnya. Meskipun agen menular dapat menghasilkan perdangan, infeksi dan peradangan yang tidak sama.

Tanda-tanda klasik dari peradangan yang panas, kemerahan, bengkak, nyeri dan ilangnya fungsi merupakan manifestasi dari perubahan fisiologis yang terjadi selama proses inflamasi. Tiga komponen utama dari proses ini adalah perubahan calam caliber pembuluh daran dan laju aliran darah melalui perubahan hemodinamik, peningkatan permeabilitas kapiler dan eksudasi leukosit.

Perubahan hemodinamik dimulai segera setelah cedera dan kemajuan pada tingkat yang berbeda-beda, sesuai dengan tingkat cedera. Mereka mulai dengan pelebaran arteriol dan pembukaan kapiler baru serta venular. Hal ini menyebabkan aliran darah dipercepat, timbul tanda-tanda panas dan kemerahan. Selanjutnya diikuti oleh meningkatnya permeabilitas mikrosirkulasi, yang memungkinkan kebocoran protein kaya cairan keluar dari pembuuh darah kecil dan masuk ke kompartemen cairan ekstravaskuler sehingga terjadi edema inflamasi.

Eksudasi leukocytic terjadi dalam urutan berikut. Pertama, leukosit pindah ke lapisan endotel pembuluh darah kecil (mergination) dan garis endotelium dalam foemasi padat ( pavementing). Akhirnya leukosit ini bergerak melalui ruang endotel dan melarikan diri ke dalam ruang ekstravaskuler (emigrasi). Setelah mereka berada di luar pembuluh darah mereka bebas untuk bergerak dan oleh kemotaksis tertarik ke lokasi cidera. Akumulasi neutrofil dan makrofag di daerah peradangan bertindak untu menetralisir partikel asing oleh fagositosis. Mediator kimia dari proses inflamasi meliputi beerbagai zat yang berasal dari plasma dan sel-sel jaringan terluka dan mungkin dari jaringan yang rusak. Jenis-jenis utama mediator tersebut adalah:

1. vasoaktifamina (seperti histamin dan serptonin)

2. plasma endopeptidase yang terdiri dari tiga sistem yang saling terkait, sistem kinin yang menghasilkan bradikinin, sistem pelengkap yang menghasilkan protein yang berinteraksi dengan antigen-antibodi kompleks dan memediasi cidera imunologi dan peradangan dan sistem pembekuan darah yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan aktivitas kemotaktik untuk leukosit

3. prostaglandin yang dapat mereproduksi beberapa aspek dari proses inflamasi

4. produk-produk neutrofil

5. faktor limfosit

6. mediator lainnya, seperti reaksi lambat dari anafilaksis dan substansi pirogen endogen

Respon hormonal dari beberapa hormon seperti kortisol, memiliki tindakan antiinflamasi yang membatasi peradanan reaksi lokal sementara yang lain proinflamasi. Dengan demikian sistem endokrin memiliki efek regulasi pada proses peradangan sehingga bisa seimbang dan bermanfaat dalam upaya tubuh untuk pulih dari jejas (Keane, 2003).

Penyebab infeksi odontogenik pada umumnya adalah nekrosis pulpa dari gigi, yang diikuti oleh invasi bakteri melalui ruang pulpa dan ke dalam jaringan yang lebih dalam. Nekrosis pulpa adalah hasil dari karies gigi yang telah parah dimana pulpa merespon dengan reaksi inflamasi yang khas. Nekrosis pulpa kemudian memberikan pengaturan yang sempurna untuk invasi bakteri ke dalam jaringan tulang. Setelah bakteri menyerang tulang, infeksi menyebar merata ke segala arah sampai lempeng kortikal. Selama masa penyebaran infraboni, pasien biasanya mengalami rasa sakit yang amat sangat untuk segera mencari pengubatan. Ekstraksi gigi (atau penghapusan nekrosis oulpa dengan prosedur endodontik) menghasilkan resolusi infeksi (Roeslan, 2002).

Infeksi pada kepala dan leher merupakan presentasi umum dalam bedah maksilofasial, mayoritas bersumber pada kelainan odontogenik. Sumber terntentu infeksi ini dengan cepat dapat menyebar melalui ruang anatomi kepala dan leher melalui jalur yang paling resistensi. Dalam kasus yang parah, hal tersebut bbisa mengganggu jalan napas dan mengharuskan dilakukan pembedaha. Morbiditas yang signifikan juga telah dilaporkan yaitu menyebar ke daerah atau jaringan anatomi lainnya (Peterson, 2003).

WHO meyakini bahwa biofilm gigi adalah agen etiologi infeksi odontogenik dan mendefinisikan sebagai ekosistem bakteri prolifetarifenzim aktif. Segera setelah bayi lahir, poses kolonisasi dimulai dan hasil ini dalam pengembangan komunitas dalam rongga mulut didominasioleh streptococcus saivarius. Pada usia enam bulan (saat gigi pertama muncul) komunitas ini mayoritas berisi S.sanguinis dan S.mutans, dan pada gigi saat telah selesai erupsi ada komunitas aerobik dan anaerobik heterogen. Diperkirakan bahwa hingga 700 spesies dapat berdiam di rongga mulut, 400 dari yang ada tersebut berada oada bagian subgingival. Evolusi biofilm adalah proses suksesi autogenik berdasarkan interaksi bakteri yang terjadi melalui kontak fisik, pertukaran zat metabolik, komunikasi melalui sinya (quorum sensing) dan pertukaran materi genetik. Coaggregation didasarkan dai spesies bakter yang berbeda dan salah satu mekanisme prinsi evolusi dan pemeliharaan biofil (Baxter, 1990).2.5.1 Infeksi Jaringan Pulpa dan Periapikal

Pada pulpa gigi, inflamasi merupakan respon dari suatu jejas, seperti yang terjadi pada organ lainnya. Respon pulpa terhadap jejas adalah stimulasi odontoblas untuk membentuk dentin reparatif pada tempat terjadinya kerusakan sehinggapulpa tetap terlindungi. Namun sebaliknya, jika jejas cukup parah, yang terjadi adalah nekrosis sel odontoblas (Regezi et al, 2003).

Karies adalah bentuk jejas paling umum yang menyebabkan infeksi pada pulpa. Derajat kerusakan bergantung pada kecepatan dan perluasan destruksi jaringan pulpa. Masuknya bakteri ke dalam jaringan pulpa melalui lesi karies menjadi faktor penting dalam terjadinya respon inflamasi. Mikrobiologi pulpa pada dentin yang terkena karies sangat bervariasi, termasuk bakteri gram positif anaerob dan spesies Bacteroides dengan sedikit jumlah Lactobacilli. Selain itu, prosedur operatif yang berhubungan dengan preparasi kavitas dan crown memungkinkan terjadinya respon inflamasi pada pulpa. Panas, gesekan, paparan kimia, dan bahan pengisi yang berhubungan dengan restorasi gigi merupakan iritan yang potensial. Macam jejas lain yang dapat memicu terjadinya kerusakan pulpa adalah trauma, terutama jika trauma yang terjadi cukup parah sehingga menyebabkan fraktur akar atau mahkota, serta penyakit periodontal yang meluas ke foramen apikal atau lateral dari akar (Regezi et al, 2003).

Pulpa gigi memiliki karakteristik khas yang membuatnya menjadi lebih rapuh dan sensitif terhadap infeksi daripada jaringan lainnya. Pertama, pulpa diselubungi oleh jaringan keras (dentin/enamel) yang tidak memungkinkan terjadinya pembengkakan pada saat pengumpulan eksudat pada proses inflamasi akut. Kedua, tidak ada sistem sirkulasi tambahan untuk memelihara vitalitas gigi ketika suplai darah primer terganggu. Ketiga, biopsi dan aplikasi obat-obatan secara langsung tidak mungkin dilakukan tanpa menyebabkan nekrosis pada seluruh pulpa. Keempat, nyeri atau peningkatan level sensitivitas merupakan satu-satunya tanda yang dapat digunakan untuk menentukan keparahan inflamasi pada pulpa. Semakin sering terjadi nyeri dan semakin lama durasi gejala yang timbul, menandakan kerusakan yang lebih besar pada pulpa. Gejala yang parah biasanya menandakan kerusakan yang irreversible. (Regezi et al, 2003).Sejalan dengan infeksi pada pulpa, infeksi pada jaringan periapikaldipicu oleh bakteri atau produk toksiknya yang berdifusi melalui foramen apikal. Ketika bakteri dan produknya mencapai area apikal, polymorphonuclear neutrophils (PMN) dan makrofag akan berusaha melawan. Jika proses ini berlanjut, sel radang kronis, limfosit, sel plasma, dan fibroblas akan membatasi masuknya agen iritan. Respon inflamasi kronis menyebabkan terbentuknya kavitas di dekat ujung akar yang kemudian akan diisi oleh jaringan granulasi, sehingga disebut granuloma apikal. Selain itu, sisa epitel Malassez yang terdapat di dalam atau di sekitar daerah periapikal mungkin menunjukkan proliferasi reaktif yang menyebabkan pembentukan kista, yaitu kista radikuler. Jika iritan berhasil dihilangkan, misalnya dengan pembersihan, pembentukan, dan pengisian saluran akar, akan terjadi penyembuhan (healing) dengan proses perbaikan jaringan (repair) dan regenerasi. Namun terkadang jaringan granulasi tidak digantikan oleh jaringan tulang periapikal yang baru melainkan dengan jaringan fibrotik, contohnya pada terbentuknya jaringan parut periapikal. Bahkan bakteri yang masuk lewat pulpa dan sampai pada periapikal gigi, dapat menyebabkan pulpa menjadi nekrosis sebagian (parsial) atau keseluruhan (total) (Cohen & Burns, 2011; Slootweg, 2007).2.5.2PerikoronitisPerikoronitis adalah keradangan jaringan gingiva disekitar mahkota gigi yang erupsi sebagian. Gigi yang sering mengalami perikoronitis adalah pada gigi molar ketiga rahang bawah. Proses inflamasi pada perikoronitis terjadi karena terkumpulnya debris dan bakteri di poket perikorona gigi yang sedang erupsi atau impaksi. Gejala klinis yang tampak adalah warna merah, terdapat pembengkakan, lesi supuratif yang lunak, nyeri yang menjalar hingga telinga, tenggorokan, dan dasar mulut. Penderita akan merasa sangat tidak nyaman karena gangguan pengecapan dan kesulitan dalam menutup mulutnya. Tampak juga pembengkakan pipi pada daerah angulus mandibula dan jaringan limfe regional. Penderita juga dapat memiliki komplikasi sistemik, seperti demam, leukositosis, dan malaise (Mansour & Cox, 2006; Newman et al., 2006).Penyebab perikoronitis adalah terjebaknya makanan di bawah operkulum. Selama makan, debris makanan dapat berkumpul pada pseudopoket antara operkulum dan gigi impaksi. Poket yang tidak bisa dibersihkan mengakibatkan bakteri berkolonisasi dan menyebabkan perikoronitis. Mikroflora pada perikoronitis didapatkan mirip dengan mikroflora pada poket periodontal. Bakteri-bakteri tersebut memicu inflamasi pada daerah perikorona. Perikoronitis juga diperparah dengan adanya trauma akibat gigi antagonis. Selain itu faktor emosi, merokok, dan infeksi saluran respirasi juga memperparah perikoronitis (Hupp et al., 2008)Perikoronitis berawal dari gigi yang erupsi sebagian, mahkota gigi diliputi oleh jaringan lunak yang disebut dengan operkulum. Antara operkulum dengan mahkota gigi yang erupsi sebagian terdapat ruang yang membentuk pseudopoket. Debris makanan dapat berkumpul pada poket antara operkulum dan gigi impaksi, sehingga tidak dapat dibersihkan dari sisa makanan dengan sempurna akhirnya menyebabkan infeksi oleh berbagai macam flora normal rongga mulut, terutama mikroflora subgingiva yang membentuk koloni di celah tersebut. Keadaan ini juga dapat diperparah karena salah satunya kebersihan rongga mulut yang kurang, sehingga terdapat akumulasi plak, dapat mendukung berkembangnya koloni bakteri dan juga infeksi ini dapat bersifat lokal atau dapat meluas ke jaringan yang lebih dalam dan melibatkan spasia jaringan lunak yang lainnya (Bataineh et al., 2003).

.BAB III

KERANGKA KONSEP3.1 Kerangka Konsep Skenario 1

3.2 KerangkaKonsepSkenario 2

BAB IV

PEMBAHASAN4.1Pembahasan Skenario 1

Seorang anak berumur 15 tahun mengalami trauma akibat jatuh dari sepeda. Anak tersebut mengalami trauma mekanis, sehingga terjadi pembengkakan pada rahang kanan dengan warna biru kemerahan dan disertai rasa nyeri yang merupakan tanda dari keradangan. Peradangan merupakan suatu reaksi jaringan terhadap cedera, yang secara khas terdiri atas respon vaskular dan selular, yang bersama-sama berusaha menghancurkan substansi yang dikenali sebagai benda asing bagi tubuh. Dalam kasus ini, peradangan tersebut tidak ada infeksi bakteri karena tidak terdapat luka yang menjadi port de entry bakteri ke dalam tubuh.

Saat pasien tersebut terjatuh, timbul jejas pada pasien yang terjadi akibat dari pembuluh darah yang rusak karena trauma sehingga darah keluar dari jaringan dan terkumpul dibawah permukaan kulit sehingga dapat menyebabkan pembengkakan.

Inflamasi akut adalah suatu respon protektif yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel. Terdapat dua respon yang dihasilkan dari proses terjadinya inflamasi akut yaitu respon seluler dan respon vaskuler.

Pada tahap vaskular, segera setelah terjadi jejas akan terjadi dilatasi arteriol yang didahului oleh vasokonstriksi singkat. Setelah terjadi kerusakan pada jaringan, tubuh akan mengadakan respon inflamasi dengan melepaskan berbagai mediator inflamasi. Aktifitas peradangan yang diselenggarakan oleh mediator inflamasi seperti histamin dimulai dengan dilatasi pembuluh darah arterial dan pembuluh darah kapiler setempat untuk menghasilkan kondisi hiperemi. Kemudian terjadi kontraksi endotel dinding kapiler yang dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler, sehingga dapat menyebabkan terbentuknya eksudat serous di interstisium daerah yang mengalami peradangan. pembuluh darah arteri mengalami vasokonstriksi yang kemudian terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah arteri sehingga terjadi peningkatan aliran darahpada daerah yang mengalami keradangan yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya hiperemia. Hiperemia ini dapat menyebabkan timbulnya dua tanda keradangan secara bersamaan yaitu rubor dan kalor. Rasa panas (kalor) didapatkan akibat dari meningkatnya aliran darah pada tempat terjadinya radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Sedangkan kemerahan (rubor) terjadi akibat dari arteri yang mengedarkan darah ke daerah radang tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera.

Lambatnya aliran darah darah yang mengikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler yang mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah. Akibatnya viskositas pada darah jadi meningkat. Peningkatan permeabilitas tersebut menyebabkan peningkatan jumlah cairan yang keluar dari pembuluh darah kapiler. Cairan tersebut akan mengisi jaringan sekitar radang dan menyebabkan edema lalu terjadi pembengkakan (hematoma).

Inflamasi akut pada respon seluler dimulai ketika dilatasi arteriol pada awal inflamasi akut dan aliran darah ke daerah radang meningkat. Namun, karena cairan bocor keluar dari mikrosirkulasi dengan peningkatan permeabilitas yang ada, unsur-unsur darah dalam jumlah yang besar tertinggal dan akhirnya viskositas darah meningkat dan aliran darah pun menjadi lambat. Pada saat ini, leukosit mulai mengalami marginasi, yaitu bergerak ke bagian perifer arus di sepanjang lapisan pembuluh darah dan lama-kelamaan leukosit yang bermarginasi ini melekat pada endotel.

Leukosit bergerak secara ameoboid yaitu memiliki pseudopodi ke dalam ruang dan kemudian secara bertahap mendorong dan muncul dari sisi lain. Proses ini disebut dengan diapedesis, yang berakibat sel-sel dalam jumlah yang banyak masuk ke dalam daerah inflamasi dalam waktu yang sangat singkat karena banyaknya leukosit yang dikirimkan pada daerah tersebut melalui sirkulasi darah yang disebabkan karena peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah saat terjadi proses vasodilatasi.

Pergerakan leukosit di interstitial setelah diapdesis diatur oleh berbagai agen yang dapat memberikan sinyal kemotaktik untuk menarik leukosit, seperti agen-agen infeksius, jaringan rusak, dan zat yang diaktifkan dalam fraksi plasma yang bocor dari aliran darah. Respon ini disebut dengan Kemotaksis. Kombinasi peningkatan pengiriman leukosit ke daerah tersebut, marginasi, dan orientasi kemotaktik gerakan leukosit mengakibatkan akumulasi cepat komponen leukosit yang banyak di dalam eksudat. Akumulasi eksudat pada jaringan beradang ini yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan(tumor). Kemudian beberapa mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan prostaglandin dilepaskan yang mana mediator-mediator ini juga menimbulkan rasa sakit (dolor) pada penderita.

Terjadinya hematoma mengakibatkan gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara sadar maupun reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit. Pembengkakaan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (fungsiolessa).

Terapi yang tepat untuk diberikan pada pasien adalah dengan pemberian obat anti inflamasi (NSAID). NSAID (nonsteroidal antiinflamasi) adalah obat yang memberikan efek analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi. NSAID yang tepat digunakan pada pasien tersebut adalah ibuprofen dengan dosis 20mg/kgBB. Selain dilakukan pemberian obat antiinflamasi, pasien dapat dikompres dengan es atau cold packs beberapa kali sehari untuk meningkatkan vasokonstriksi sehingga hemorrhage dan edema berkurang.

4.2 Pembahasan Skenario 2

4.2.1 Pembahasan Skenario 2 kasus 1

Pasien pada kasus ini mengalami infeksi odontogen. Dalam skenario 2 ini, gigi 46 memiliki peranan penting dalam proses infeksi. Gigi 46 merupakan port de entry bakteri ke dalam ruang pulpa melalui jalur periapikal, sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal. Gigi 46 mengalami karies yang menyebabkan ruang pulpa terbuka dan terjadi keradangan pulpa yaitu pulpitis irreversible. Bakteri masuk melalui ruang pulpa yang terbuka, menginfeksi jaringan sekitar pulpa, dan mengeluarkan toksin yang meracuni dan merusak, sehingga jaringan yang ada di dalam pulpa menjadi mati.

Dalam keadaan pulpa yang mati, bakteri memerlukan nutrisi untuk tetap bisa beraktifitas. Nutrisi diambil dari pembuluh darah, menyebabkan pembuluh darah di foramen apikalis tersumbat, terjadi vasodilatasi dan edema. Peradangan fase seluler ditandai dengan vasodilatasi pembuluh dara lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran pada daerah tersebut berlebihan, migrasi sejumlah granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, dan beberapa macam produk reaksi sistem komplemen.

Vasodilatasi menyebabkan meningkatnya aliran darah, sehingga membuat warna kemerahan atau rubor pada daerah tersebut. Hal tersebut menyebabkan manifestasi klinis seperti pembengkakan, yang dapat menekan ujung saraf dan menyebabkan nyeri atau dolor.Vasodilatasi tersebut, tubuh akan mengirimkan lebih banyak nutrisi dan O2 sebagai proses. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya demam pada saat keradangan berlangsung. Selain itu, salah satu gambaran klinis adalah adanya kalor (panas). Peningkatan suhu hanya tampak pada bagian perifer seperti pada kulit. Peningkatan temperatur di daerah peradangan tersebut mengakibatkan fungsi organ menurun atau fingsiolesa.

Banyaknya bakteri dalam pembuluh darah menyebabkan toksin yang dikeluarkan semakin banyak, disertai vasodilatasi yang membuat saraf yang masuk melalui foramen apikalis terdesak, sehingga pasien merasakan nyeri. Terdesaknya saraf dan tersumbatnya pembuluh darah mengakibatkan vaskularisasi dan inervasi menjadi berkurang, dan nutrisi dalam pembuluh darah pun berkurang, yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis pulpa.

Nekrosis pulpa pada pasien tersebut diikuti dengan keradangan jaringan periodontal di dekat ujung apeks gigi 46. Eksudat pada radang memperparah rasa nyeri sehingga infeksi meluas ke daerah alveolar di sekitar apikal gigi 46. Vaskularisasi tulang terganggu, sehingga mengalami kerusakan dan terjadi abses periapikal. Kerusakan tersebut menyebabkan densitas tulang periapikal gigi 46 menjadi turun sehingga terlihat radiolusen pada hasil foto panoramik. Penumpukan eksudat merupakan respon inflamasi terhadap iritan mikroba dan iritan non mikroba dari pulpa yang nekrosis. Eksudat yang menumpuk pada periapikal gigi 46 berusaha mencari jalan untuk keluar ke permukaan. Eksudat pada akhirnya keluar dari korteks tulang alveolar menuju periosteum, sehingga menyebabkan nyeri. Penumpukan eksudat di periosteum menyebabkan keradangan pada periosteum (periostitis). Periostitis akut dapat disertai dengan gejala demam, odema tidak fluktuatif, dan nyeri.

Terapi yang dapat dilakukan pada serous periostitis antara lain adalah pemberian antibiotika antara lain amoksisilin atau klindamisin bagi yang alergi terhadap penisilin. Pemberian analgesik juga diperlukan untuk menguntuk menghilangkan rasa sakit. Juga diberikan antiinflamasi untuk mengurangi pembengkakan.

4.2.1 Pembahasan Skenario 2 kasus 2

Permasalahan yang terjadi pada gigi 48 adalah impaksi mesioangular, posisi mesioangular dari gigi molar ketiga berinklinasi ke arah mesial sehingga gigi molar tersebut hanya eruspi sebagian. Gigi yang impaksi ini dapat menjadi port de entry bakteri pada daerah pericoronal. Bagian distal dari gigi 48 mengalami erupsi dengan sempurna. Sedangkan bagian mesial berada di dalam mukosa gingiva. Ketika bagian distal dari gigi 48 mengalami erupsi, maka gigi tersebut akan membuka jaringan perikoronal, sehingga menimbulkan rongga diantara gigi 48 dan jaringan lunak perikoronal (operculum) pada bagian mesial gigi yang dapat menjadi tempat akumulasi bakteri dari debris dan terjebaknya sisa makanan di bawah operkulum yang sulit diraih saat membersihkan gigi. Hal tersebut dapat menyebabkan iritasi pada gingiva sehingga menimbulkan respon inflamasi pada jaringan lunak perikoronal yang disebut dengan perikoronitis. Perikoronitis juga diperparah oleh trauma akibat gigi antagonis. Selain itu faktor emosi,merokok dan infeksi saluran respirasi juga memperparah perikoronitis (Topazian,2002).

Terapi dari perikoronitis irigasi di mukosa perikorona atau operculum menggunakan larutan H2O2 3% dan normal saline (NaCl 0,9%), hal ini dilakukan untuk membersihkan bakteri atau sisa-sisa makanan yang menumpuk di daerah tersebut. Juga dilakukan grinding oklusal untuk gigi antagonis dari gigi 48 untuk mengurangi rasa sakit akibat tekanan dari gigi antagonisnya terhadap operculum. Pasien juga diberi obat kumur yang mengandung H2O2 1%.

Gambar 1. Patogenesis perikoronitis (Lestari et al, 2010)BAB 5

PENUTUP5.1 Kesimpulan

Peradangan merupakan suatu reaksi jaringan terhadap cedera, yang secara khas terdiri atas respon vaskular dan selular, yang bersama-sama berusaha menghancurkan substansi yang dikenali sebagai benda asing bagi tubuh.jejas pada pasien yang terjadi akibat dari pembuluh darah yang rusak karena trauma sehingga darah keluar dari jaringan dan terkumpul dibawah permukaan kulit yang dapat menyebabkan pembengkakan.

Pada gigi 48 terjadi impaksi mesioangular, posisi mesioangular dari gigi molar ketiga berinklinasi ke arah mesial sehingga gigi molar tersebut hanya eruspi sebagian. Gigi yang impaksi ini dapat menjadi port de entry bakteri pada daerah pericoronal. Pada gigi 46 merupakan port de entry bakteri ke dalam ruang pulpa melalui jalur periapikal, sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal. Gigi 46 mengalami karies yang menyebabkan ruang pulpa terbuka dan terjadi keradangan pulpaTerapi yang diperlukan adalah pemberian obat anti inflamasi. Untuk trauma karena infeksi,diberi antibiotic untuk membunuh bakteri penyebab infeksi. Terapi dari perikoronitis, irigasi di mukosa perikorona atau operculum menggunakan larutan H2O2 3% dan normal saline (NaCl 0,9%), hal ini dilakukan untuk membersihkan bakteri atau sisa-sisa makanan yang menumpuk di daerah tersebut. Juga dilakukan grinding oklusal untuk gigi antagonis dari gigi 48 untuk mengurangi rasa sakit akibat tekanan dari gigi antagonisnya terhadap operculum. Pasien juga diberi obat kumur yang mengandung H2O2 1%.5.2 Saran

Seorang tenaga medis harus dapat membedakan jenis trauma yang terlihat dari klinisnya dan juga mencari penyebabnya agar rencana perawatan yang dilakukan benar dan tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulaziz AB, Khursheed FM, Ashraf FA, Jeremy BSQ.2009. December;9(3): Factors Contributing to the Spread ofOdontogenicInfections:A prospective pilot study 296304. Univ Med J

A. W. Green, E. A. Flower dan N. E. New.. 2001.Mortality Associated with Odontogenic Infection!. British Dental Journal. http://www.nature.com/bdj/journal/vigo/n10/full/48010244.htmlBataineh, Anwar. 2003. The Predisposising Factors of Perikoronitis of Mandibular Third Molars in a Jordanian Population. Quintessence International. Vol 34. No 3. pp 227

Baxter, C. 1990. The normal healing process. In: New Directions in Wound Healing. Wound Care Manual. Princeton, NJ : E.R. Squlbb & Sons, Inc.

Caterino, Jeffrey M dan Kahan, Scott. 2003. In a page emergency medicine. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 1-4051-0357-4

Cohen S, Burns RC. 2002. Pathways of The Pulp. Mosby Elsevier. p. 337, 339.

Corwin, E.J. (2008). Buku saku patofisiologi (Edisi 3). Jakarta: EGC

Dorland, WA. 2002. Kamus Kedokteran. Ed. 29. Jakarta : EGC., Antibiotik, p.120.

Eversole LR. 2011. Clinical Outline of Oral Pathogoly. Fourth ed. Shelton: Peoples Medical Publishing House.

Fragiskos, Fragiskos D. 2007. Oral surgery. Springer Verlag Berlin Heidelberg. ISBN-13 : 978-3-540-25184-2.

Ghom, Govindrao A dan Ghom, Anil S. 2014. Textbook of oral medicine. Edisi 3. JP Medical Ltd. ISBN 978-93-5152-303-1.

Gutierrez-Perez J.L. 2004. Third Molar Infections. Med Oral Patol Oral Cir Bucal;9(Suppl):S120-5.

Hammer, Warren I. 2007. Functional Soft Tissue Examination and Treatment by Manual Methods. Edisi 3. Jones and Bartlett publisher, inc.

Hammer, Moynihan, Pagliaro. 2013. Forensic Nursing a Handbook for Practice, 2nd edition. USA: Jones & Bartlett Learning. p. 204-5.

Hupp J, Ellis E, Tucker H. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery 5th edition. St. Louis Missouri. Mosby Elsevier; 2008.

Jimnez, Y; Bagn, JV; Murillo, J; Poveda, R (2004)."Odontogenic infections. Complications. Systemic manifestations.".Medicina oral, patologia oral y cirugia bucal. 9 Suppl: 1437; 13943

Keane, Miller. 2003. Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing and Allied Health. 7th edition. Saunders Elsevier

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. 2007. Robbins Basic Pathology. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 39

Lopez-Piriz R, Aguilar L, Gimenez MJ. Management of Odontogenic Infection of Pulpal and Periodontal Origin. Med Oral Palatal Oral Cir Bucal. 2007;12:E154-9. P.155

LynnusPeng, MD. 2006. Excerpt from Dental, Infections. E Medicine Word Medical Library. http://www.emedicine.com/emerg/byname/dentalinfections.htmMacGregor A.J. 1985. The Impacted Lower Wisdom Tooth. Oxford University Press. Oxford

Mansour MH, Cox SC. Patiens presenting to the general practitioner with pain from dental origin. Australia Med J; 2006.

Mansjoer Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, Volume 1, Jakarta: Media Aesculapius FKUI

Maestre-Vera JR. 2004. Treatment options in odontogenic infection. Med Oral Patol Oral Bucal.http://www.siumed.edu/surgery/otol/ppts/odontogenicinfections.pptMarvin Goldfogel, DDS. 2006. Gingivitis and Periodontits. Healthopedia. http://www.healthopedia.com/gingivitis&periodontitisMeyers, Steven P. 2008. MRI of Bone and Soft Tissue Tumors and Tumorlike Lesions: Differential Diagnosis and Atlas. Thieme, p. 507.

Michael T. Brennan, DDS, MHS, Michael S. Runyon, MD, Jayne J. Batts, MD, Philip C. Fox, DDS, M. Louise Kent, RN, Timothy L. Cox, DDS, H. James Norton, PhD and Peter B. Lockhart, DDS. 2006. JADA Continuing Education :Odontogenic Signs and Symptoms as Predictors of Odontogenic Infection. A clinical trial.American Dental Association.

Moloney, Justin dan Stassen, Leo. 2009. Perikoronitis: treatment and a clinical dilemma. Journal of the Irish Dental Association, Vol 55, No 3, pp 190

Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA. Clinical periodontology 11th ed. Elsevier Saunders; 2006

Pedersen, GW. 1996. Buku Ajar PraktisBedahMulut. AlihbahasaPurwanto&Basoeseno. Jakarta: EGC

Peterson. L.J, Ellis. E., Hupp, J.R 2003. Principles of Management and Prevention of Odontogenic Infections: contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th editon. St. Louis (MO). Mosby. Elsevier.

Pooler, Charlotte. 2009. Porth Pathophysiology: Concepts of Altered Health States. p. 1258

Price, SA., Wilson, LM. 2006. Pathophysiology : Clinical Concepts of Diseases processes (Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit alih bahasa oleh Brahm Pendit et all). Jakarta; EGC

Underwood, JCE. 1999. General and Systematic Pathology (Patologi Umum dan Sistemik alih bahasa oleh Sarjadi). Jakarta; EGC

Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. 2003. Oral Pathology: Clinical Pathologic Correlation. St. Louis: Saunders. p. 309-310.

Rubin, Strayer, Rubin. 2012. Rubins Pathology: Clinicopathologic Foundations of Medicine, 6th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 314

Salinas M.B., Riu N.C., Aytes L.B., Escoda C.G. 2006. Antibiotic Susceptibility of the Bacteria Causing Odontegenic Infections. Med Oral Patol Oral Cir Bucal:11 : E70-5

Sanghai S, Chatterjee P. 2009. A Concise Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.

Shafer WG. 1983. A textbook of Oral Pathology. 4th ed. Philadelphia : W.B. Saunders Company

Slootweg PJ. 2007. Dental Pathology: A Practical Introduction. Heidelberg: Springer. p. 42.

Soelistiono H. Analgesics in Dental Pain (Clinical Review). PABMI. 2005.

Topazian Richard G, Morton H Goldberg, James R hupp (2008). Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed;Philadelphia, W.B.Saunders Co.

Weinstein, Sharon. 2007. Plumers Principle & Practice of Intravenous Therapy, 8th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p. 153

Wilmana, P.F., 2007, Analgesik-Antipiretik, Analgesik-Antiinflamasi Non Steroid dan Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, S.G.Ganiswara, R. Setiabudy, F.D Suyatna, Purwantyastuti, Nafrialdi, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 217-218

PAGE 26