scl bm - skenario 8
DESCRIPTION
bedah mulutTRANSCRIPT
Abses Sublingual
Definisi
Abses sublingual adalah abses yang terletak diatas perlekatan otot mylohyoid
(Fragiskos, 2007).
Etiologi
Gigi yang paling sering bertanggung jawab untuk infeksi ruang sublingual
adalah gigi anterior mandibula, premolar dan molar pertama, yang posisi akarnya
terdapat di atas perlekatan otot mylohyoid. Selain itu, infeksi dapat menyebar ke
ruang ini dari ruangan lain yang berdekatan dan saling berhubungan yaitu
submandibula, submental, lateral faring (Fragiskos, 2007).
Dibagian anterior dari ruang sublingual berhubungan dengan ruang submental,
sehingga ruang sublingual dapat terinfeksi dari gigi insisivus pada bagian ini terutama
dari infeksi periodontal. Dibagian posterior ruang sublingual berhubungan dengan
ruang lateral faring, berdekatan dengan tepi posterior otot mylohyoid dan tulang
hyoid. Sedangkan, ruang submandibula dan ruang sublingual dipisahkan oleh otot
mylohyoid (Topazian)
Klinis
Infeksi pada sublingual space menghasilkan eritema dan pembengkakan pada
dasar mulut, disertai dengan rasa sakit dan nyeri, kadang menimbulkan sedikit
pembengkakan ekstraoral. Dan lidah yang ditinggikan karena abses dibawahnya
merupakan ciri penting dan dapat menyebabkan kesulitan menggerakkan lidah. Dan
infeksi pada Sublingual space dapat dengan mudah menyebar ke submandibular
space. Drainase dapat dilakukan secara intraoral dengan sayatan pada mukosa, sejajar
dengan duktus Wharton (Gambar 1). Jika infeksi meluas ke ruang submandibula,
drainase secara subkutan mungkin diperlukan (Andersson, 2010).
Gambar 1.
Abses sublingual menimbulkan pembengkakan pada mukosa dasar mulut,
yang mengakibatkan elevasi lidah terhadap langit-langit mulut dan lateral (Gambar 2).
Sulkus lingual Mandibula tidak terlihat dan mukosa terlihat bercak kebiruan. Pasien
berbicara dengan susah payah karena edema, dan sakit bila lidah digerakkan
(Fragiskos, 2007).
Gambar 2.
Sublingual space terletak di antara mukosa dasar mulut dengan otot milohioid
(Gambar 3 A). Batas posterior sublingual space terbuka, dan karena itu, secara bebas
terhubung dengan submandibular space. Secara klinis, nampak sedikit atau tidak ada
pembengkakan ekstraoral disebabkan oleh infeksi ruang sublingual, tapi banyak
pembengkakan intraoral terlihat di dasar mulut pada sisi yang terinfeksi. Infeksi
sering menjadi bilateral, dan lidah menjadi terangkat (Gambar 3 B) (Hupp, 2014).
Gambar 3.
Terapi
Pada umumnya perawatan pada abses odontogenic akut adalah secara local
dansistemik. Perawatan local termasuk irigasi, insisi, aspirasi, dan drainase, dimana
perawatan sistemik berupa pengobatan terhadap sakit, terapi antibiotic, dan perawatan
suportif (Rasad, 1999).
Insisi pada abses sublingual dilakukan intraoral di dasar lidah dan pengeluaran
pus harus dilakukan secara adekuat untuk mencegah kambuhnya abses (Thoma, 1969;
Laskin, 1980).
Pemeriksaan terhadap pasien harus dilakukan terlebih dahulu secara teliti dan
hati-hati sebelum dilakukan perawatan. Pemeriksaan yang dilakukan berupa
anamneses pasien yang meliputi riwayat umum, riwayat medis, dan riwayat penyakit,
serta pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang
seperti ro foto dimana dalam kasus abses ini berguna untuk memastikan lokasi dari
abses tersebut (Lynch, 1984).
Sebelum dilakukan insisi, pastikan pus terlokalisir dan mudah dijangkau.
Lokalisasi abses terjadi setelah 24 jam bahkan lebih. Selama itu, pembengkakan mulai
menyebar dan lokasi dari inflamasi mulai terlihat (Cawson, 1984).
Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat insisi abses antara lain: (Cawson,
1984)
1. Insisi harus terletak di bagian dasar dari abses untuk memungkinkan
drainase yang baik.
2. Insisi harus cukup lebar untuk mengeluarkan seluruh pus.
3. Insisi harus menghindari saluran dan nervus-nervus yang penting, terutama
cabang-cabang dari nervus fasialis.
4. Insisi sebaiknya dilakukan intraoral terapi jika dilakukan ekstraoral, arah
dan lokasi dari insisi semestinya tidak terlalu meninggalkan bekas.
5. Drain dibiarkan selama dua sampai tiga hari.
Gigi penyebab diekstraksi terlebih dahulu dan dianjurkan dengan drainase
melalui alveolar gigi yang telah diekstraksi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal,
drainase harus disertai dengan insisi di mukosa dasar mulut untuk mengeluarkan pus.
Insisi dilakukan intraoral pada dasar dari tulang alveolar mandibular di sulkus lingual
aar kelenjar sublingual, nervus lingual, dan ductus submaksila tidak tercederai.
Dalam menentukan lokasi dari pus, pasien akan merasa sakit dan nyeri di bagian
anterior dan posterior serta di bawah kelenjar. Kantong diantara kelenjar dan otot
geniohyoid diprobing. Hemostat dimaksukkan melalui bagian anterior dan posterior
insisi serta di bawah kelenjar sublingual untuk mengeuarkan pus. Jika tidak
ditemukan pus, kemungkinan pus tersembunyi diantara subperiosteal dari permukaan
dalam rahang dan dapat dijangkau dengan mengisi periosteum. Drain harus dibuat di
tempat yang tepat dan memiliki ukuran yang cukup untuk memberikan alur drainase
ke atas yang baik. Rubber drain diletakkan dan dijahit pada mukosa alveolar, untuk
mencegah perpindahan tempat oleh karena pergerakan lidah (Thoma, 1969; Laskin,
1980).
Pada kasus abses sub lingual, insisi dilakukan pada kedua sisi. Hemostat
dilewatkan melalui dasar mulut dari satu sisi ke sisi lain (Laskin, 1980).
Abses Submandibula
Definisi
Abses submandibula adalah suatu keradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah submandibula.
Etiologi
Infeksi pada ruang ini mungkin berasal dari molar kedua dan ketiga
mandibula, jika letak apikalnya ditemukan di bawah perlekatan otot mylohyoid.
Selain itu, juga mungkin hasil dari penyebaran infeksi dari ruang sublingual atau
submental (Fragiskos, 2007).
Klinis
Infeksi muncul dengan pembengkakan di daerah submandibula, adanya
edema, angulus mandibula tidak terlihat, palpasi terasa sakit, adanya trismus yang
diakibatkan terlibatnya otot pterygoideus medialis (Fragiskos, 2007).
Terapi
1. Antibiotik
Untuk mendapatkan jenis antibiotic yang sesuai dengan kuman
penyebab, uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara
parental sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus.
Antibiotik kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram
positif dan gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman
penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris
kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil
uji sensitivitas kultur pus telah didapat, pemberian antibiotic dapat
disesuaikan.
Berdasarkan uji kepekaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas
tinggi terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone,
yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensifitasnya
masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negative. Antibiotic hanya
dilakukan selama lebih kurang 10 hari.
2. Insisi drainase
Insisi untuk drainase dilakukan pada kulit, sekitar 1 cm di bawah dan
sejajar dengan batas inferior mandibula. Selama insisi, jalannya arteri dan
vena fasial (sayatan harus dibuat posterior) dan cabang masing-masing saraf
fasial harus dipertimbangkan. Hemostat dimasukkan ke dalam rongga abses
untuk mengeksplorasi ruang yang terinfeksi. Diseksi tumpul harus dilakukan
sepanjang permukaan medial tulang rahang bawah juga, karena pus sering
terletak di daerah ini juga. Setelah drainase, letakkan rubber drain (Fragiskos,
2007).
DAFTAR PUSTAKA
Andersson, Lars et al. 2010. Oral Maxillofacial Surgery. Oxford: Blackwell
Publishing.
Fragiskos D. 2007. Oral Surgery. Heidelberg: Springer.
Hupp, James R. 2014. Contemporary Oran and Maxillofacial Surgery. 6th ed. St.
Louis: Mosby.
Rasad S, Kortoleksono S, Ekayuda I. eds. Radiologi diagnostic. Jakarta: Bagian
Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1999:535,553-4.
Thoma KH. Oral Surgery. 5th ed, Saint Louis: The C.V. Mosby Company
1969:265-6,884-5.
Laskin DM. Oral and maxillofacial surgery. Saint Louis: The C.V. Mosby
Company 1980; 2: 225-8.
Lynch MA, Brigthman VJ, Greenberg MS. Burket’s oral medicine: diagnosis
and treatment. 8th ed, Philadelphia: J.B. Lippincott Company 1984: 6.
Cawson RA. Essential of dental surgery and pathology. 4th ed, Edinburgh:
Churchill Livingstone 1984: 321.