makalah pola longitudinal sungai grafik
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya
dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi
antara makhluk hidup dan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst
Haeckel (1834 - 1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem
dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen
penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban,
cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia,
hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan
organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi
dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Sungai adalah bentuk-bentuk bentang alam yang terjadi akibat dari proses fluvial. Pada
hakekatnya aliran sungai terbentuk oleh adanya sumber air hujan, mencairnya es, atau pun
munculnya mata air, dan adanya relief permukaan Air hujan setelah jatuh dipermukaan bumi
mengalami evaporasi, merembes kedalam tanah, diserap tumbuh-tumbuhan dan binatang,
transpirasi, dan sisanya mengalir dipermukaan sebagai ‘surface run off’. Run off ini dapat segera
setelah hujan ataupun muncul kemudian melalui proses resapan dulu kedalam tanah sebagai air
tanah dan muncul kembali. (Whitten 169 dkk., 1984; Winterbourn dan Townsend, 1991).
Arus mempunyai arti penting untuk pergerakan ikan. Arus yang searah dari hulu sangat
penting untuk pergerakan ikan atau bahkan menyebabkakn ikan-ikan bergerak aktif melawann
arus, kea rah muara pergerakan ikan dapat berlangsung dengan pasif maupun mengapung
(Wotton, 1992), Sungai merupakan salah satu perairan darat yang mengalir. Berdaasrkan letak
dan kondisi lingkungannya dibagi menjadi tiga bagian :
• Hulu sungai, terletak di daerah yang dataran tinggi, menglir melalui bagian yang curam,
dangkal, berbatu, arus deras, volume air kecil, kandungan oksigen telarut tinggi, suhu yang
rendah, dan warna air jernih.
• Hilir sungai, terletak didaratan yang rendah, dengan arus yang tidak begitu kuat dan volume air
yang besar, kecepatan fotosintesis yang tinggi dan banyak bertumpuk pupuk organic
• Muara sungai letaknya hamper mencapai laut atau pertemuan sungai-sungai lain, arus air sangat
lambat dengan volume yang lebih besar, banyak mengandung bahan terlarut, Lumpur dari hilir
membentik delta dan warna air sangat keruh .
Kali Serayu atau Sungai Serayu ( disebut Ci Serayu) adalah sungai di Jawa Tengah. Hulu
sungai ini berada di Kabupaten Wonosobo (disebut Tuk Bima Lukar atau mata air Bima Lukar)
dan bermuara di Cilacap. Anak sungai Serayu yang besar adalah Kali Klawing, yang berhulu di
Gunung Slamet. Ada enam kabupaten yang tercakup daerah aliran sungai ini yaitu Kabupaten
Wonosobo, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten
Kebumen, dan Kabupaten Cilacap (wikipedia, 2010).
Lahan di sekitar DAS Serayu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, antara lain
sebagai pemukiman, pertanian, perkebunan, industri dan kegiatan penambangan. Sungai Serayu
juga dimanfaatkan untuk kepentingan sebagai sumber air, yang merupakan sumber utama bagi
kebutuhan air baku untuk konsumsi domestik, irigasi, rekreasi, pembangkit tenaga listrik, tempat
pembuangan limbah baik domestik maupun industri, transportasi, penggalian tambang golongan
C (batu dan pasir), dan perikanan (keramba) oleh penduduk sekitar.
Pola longitudinal sungai merupakan pola aliran sungai Serayu yang searah dari hulu ke
hilir, di mana terdapat beberapa faktor fisikokimia air yang dapat mempengaruhi kehidupan biota
(ikan) di dalamnya. Perubahan dari pola longitudinal ekosistem sungai dari hulu kehilir sangat
dipengaruhi oleh suhu, kecepatan arus, dan pH. Pola longitudinal adalah pola memanjang dari
bagian hulu, tengah dan hilir sungai. Pola ini digunakan di suatu perairan yang mengalir seperti
sungai dan berfungsi untuk mengetahui perubahan faktor fisika kimia suatu lingkungan perairan
dan mengetahui organisme yang hidup di perairan tersebut (Odum, 1996). Oleh karena itu, untuk
mengetahui pola longitudinal dari sungai Serayu maka perlu diketahui atau diamati faktor-faktor
fisikokimia air dari hulu sampai ke hilir. Selain itu, diamati juga riparian vegetation dan skor
fisik habitatnya.
1.2 Tujuan
Praktikum ekologi perairan, Pola Longitudinal Ekosistem Sungai ini bertujuan untuk
mengetahui:
1. Bagaimana pola perubahan dari faktor-faktor fisikokimia sepanjang daerah aliran sungai
Serayu.
2. Pengaruh perubahan fisikokimia terhadap biota perairan yang terdapat didalamnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Sungai adalah suatu perairan yang airnya mengalir secara terus-menerus pada arah
tertentu, berasal dari air tanah, air hujan, dan air permukaan yang bermuara ke laut. Air tanah
sebagai sumber air sungai muncul ke permukaan sebagai mata air pada bagian hulu sungai. Air
sungai tersebut kemudian mengalir ke muara karena adanya perbedaan tinggi. Aliran ini sambil
mengalir melakukan pengikisan tanah dan bebatuan yang dilaluinya ( Handayani, 2003 ). Ciri-
ciri umum daerah aliran sungai adalah semakin ke hulu daerahnya pada umumnya mempunyai
tofograpi makin bergelombang sampai bergunung-gunung. Sungai adalah lingkungan alam yang
banyak dihuni oleh organisme (Odum, 1996). Zonasi pada habitat air mengalir adalah mengarah
ke longitudinal, yang menunjukkan bahwa tingkat yang lebih atas berada di bagian hulu dan
kemudian mengarah ke hilir. Berdaasrkan letak dan kondisi lingkungannya dibagi menjadi tiga
bagian :
1. Zona deras atau hulu sungai, terletak di daerah yang dataran tinggi, menglir melalui
bagian yang curam, dangkal, berbatu, arus deras, volume air kecil, kandungan oksigen
telarut tinggi, suhu yang rendah, dan warna air jernih.
2. Zona tenang atau hilir sungai, terletak didaratan yang rendah, dengan arus yang tidak
begitu kuat dan volume air yang besar, kecepatan fotosintesis yang tinggi dan banyak
bertumpuk pupuk organic.
3. Muara sungai letaknya hampir mencapai laut atau pertemuan sungai-sungai lain, arus air
sangat lambat dengan volume yang lebih besar, banyak mengandung bahan terlarut,
Lumpur dari hilir membentik delta dan warna air sangat keruh.
Menurut aliran air :
a. Zona air cepat
Ciri : terdapat pada bagian yang dangkal dengan arus yang kuat sehingga mencegah
terjadinya akumulasi lumpur dan partikel lainnya.
b. Zona air lambat
Ciri : terdapat pada bagian yang lebih dalam dengan arus yang lemah sehingga lumpur
dan partikel lainnya dapat mengendap.
Menurut kondisi dasar ekologi, Odum (1988) mengklasifikasikan ekologi air tawar
menjada 2 jenis, yaitu:
1. Air tergenang (lentik), seperti rawa, danau, dan pasir terapung.
2. Air mengalir (lotik), seperti mata air, dan sungai.
Pengukuran faktor fisikokimia pada ekosistem sungai meliputi pengukuran temperatur
dengan menggunakan thermometer, derajat keasaman pH, Kecepatan arua, kejernihan air,
ketinggian tempat, substrat dasar, lebar sungai, kedalaman, konduktivitas dan skor fisik habitat.
Pada tiap-tiap ekosistem sungai memiliki pengukuran fisikokimia yang berbeda-beda. Hal yang
mendasari dari perbedaan pengukuran ini adalah tingkat COD dari suatu perairan. Material
penyebab kekeruhan sendiri antara lain berupa partikel tanah liat, lumpur, bahan organik terurai,
plankton, bakteri air dan organisme mikroskopis lainnya (Anonimous, 2003).
Do di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan
atmosfir. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil atmosfir maka Do
semakin kecil (Jeffries dan Mills, 1996).
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (boyd, 1988). Salinitas
menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat di konversi menjadi oksida,
semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi
(Effendi, 2003).
III. MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pH meter, termometer, botol aqua,
konduktivitymeter, keping secchii, altimeter, botol neril, jala surber, saringan, baki, pinset,
botol film dan tali rafia.
3.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah air sungai yang diukur
fisikokimianya.
3.2 Metode
3.2.1 Oksigen Terlarut (MetodeWinkler)
1) Ambil air menggunakan botol winkler sebanyak 250 ml tanpa ada gelembung
2) Tambahkan berturut-turut larutan MnS04 dan tambahkan KOH-KI masing-masing
1ml(gunakan pipet ukur atau jarum suntik) biarkan sesaat sampai endapan terbentuk.
3) Tambahkan H2SO4 pekat kedalam botol lalu dikocok sampai endapan larut
4) Diambil sebanyak 100 ml dan pindahkan kedalam labu erlenmeyer
5) Titrasi dengan larutan Na2S2O3(0,025 N) sampai larutan berwarna kuning muda
6) Tambahkan 10 tetes indikator amilum hingga berwarna biru
7) Titrasi kembali dengan larutan Na2S2O3 (0,025N) sampai warna biru hilang
8) Titrasi duplo dan hasilnya di rata-rata
9) Rumus perhitungannya : Oksigen terlarut = 1000/100 x P X Q X 8
Ket :
P= volume larutan Na2S2O3
Q= Normalitas larutan
8 = Bobot setara larutan
3.2.2 Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD)
Pengukuran BOD dilakukan berdasarkan metode Winkler (APHA, 1985) yaitu sampel
dimasukkan ke dalam dua botol Winkler volume 250 ml sampai penuh. Botol wikler pertama
segera diperiksa kandungan oksigennya (DO 0 hari), sedangkan botol winkler kedua diinkubasi
selama 5 hari, diperiksa kandungan oksigennyan (DO 5 hari). Untuk pengukuran blanko,
prosedur kerja sama seperti pada sampel.Kandungan BOD dapat dihitung dengan rumus :
(A0 –A5 ) - (S0 – S5) T
BOD =
P
Keterangan :
A0 : Oksigen terlarut sampel pada nol hari
A5 : Oksigen terlarut sampel pada lima hari
S0 : Oksigen terlarut blanko pada nol hari
S5 : Oksigen terlarut blanko pada lima hari
T : persen perbandingan antara A0 : A5
P : derajat pengenceran
3.2.3 Pengukuran temperatur
Pengukuran temperatur menggunakan termometer yaitu dengan cara menyelupkan
termometer ke dalam perairan. Ditunggu beberapa menit samapai pengukuran stabil.
Pengukuran dilakukan di tiga titik kemudian dirata-ratakan.
3.2.4 Pengukuran kecepatan arus
Kecepatan arus diukur dengan menggunakan metode apung. Botol 600 ml diisi dengan
setengah penuh air kemudian diikat dengan tali rafia sepanjang 10 meter. Dilemparkan ke
sungai. Catat waktu yang dibutuhkan tali untuk mengulur sempurna. Lakukan di tiga titik, hasil
yang didapat dirata-rata.
3.2.5 Pengukuran pH
Tingkat keasaman air sungai diukur dengan menggunakan pH meter. Kertas pH meter
dicelupkan ke dalam perairan, tunggu beberapa saat, kemudian ukur perubahan warna yang
terjadi. Dilakukan di tiga titik kemudian dirata-rata, kemudian disamakan dengan warna skala
pH yang tercantum
3.2.6 Kejernihan air
. Keping sechii dimasukan ke dalam air. Diukur kedalaman sampai batas antara hitam
dan putih tidak dapat di bedakan. Jika dasar sungai masih dapat di bedakan catat kedalaman
sampai dasar tersebut.
3.2.7 Ketinggian tempat
Ketinggian tempat diukur dengan altimeter yaitu dengan cara meletakkan altimeter di
permukaan tanah yang datar pada tiap – tiap stasiun pengamatan sampai menunjukkan angka
konstan.
3.2.8 Lebar sungai
Pengukuran lebar sungai dilakukan dengan cara estimasi, yaitu dengan memperkirakan
panjang dari jembatan yang berada di atas sungai.
3.2.9 Kedalaman
Pengukuran kedalaman dilakukan dengan tongkat penduga yang telah diberi skala.
Kedalaman diukur setiap 2 meter, kemudian dirata-rata.
3.2.10 Substrat dasar
Pengukuran substrat dasar dilakukan dengan metode visual, yaitu memperhatikan jenis
abiota yang terdapat pada perairan tersebut. Jenis substrat dasar bisa berupa lumpur, tanah
berpasir, kerikil, ataupun batuan besar.
3.2.11 Konduktivitas dan Salinitas
Konduktivitas merupakan pengukuran tegangan listrik yang berada pada perairan
tersebut. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan konduktivitimeter ke dalam tepian sungai
sekaligus mengukur kadar garamnya (salinitas).
3.2.12 Skor Fisik Habitat
Dengan menggunakan tabel Barbour dan Stribling, dihitung perhitungan skor fisik habitat
tiap stasiun pengamatan.
Kriteria penilaian kondisi fisik habitat barbour and stribling
Habitat
parameter
Optimal
SKOR: 20
Suboptimal
SKOR: 15
Marginal
SKOR: 10
Poor
SKOR: 5
Substrat
dasar
Lebih dari 60%
dasar perairan
terdiri atas
kerikil, batu,
cadas dengan
porsi yang kurang
lebih sama
30-60% dari
dasar perairan
berupa bebatuan
atau cadas
didominasi oleh
salah satu kelas
ukuran tersebut
10-30%
merupakan
salah satu
materi yang
besar tetapi
lumpur atau
pasir
70-90%
mendominasi
substrat dasar
Substrat
didominasi
oleh lumpur
dan pasir
kerikil dan
materi yang
besar <10%
Kekomplek
kan habitat
Berbagai macam
tipe kayu pohon,
cabang, tumbuhan
akuatik, terdapat
pada segmen
sungai
membentuk
habitat yang
bervariasi.
Substrat cukup
bervariasi.
Segmen sungai
cukup
terlindungi
Habitat
didominasi 1
atau 2 macam
substrat,
Tumbuhan
tepi yang
dinaungi
segmen
sungai sedikit
Habitat
monoton pasir
dan lumpur
menyebabkan
habitat tidak
bervariasi
Segmen sungai
tertutup kanopi
Kualitas
bagian
menggenang
25% dari bagian
yang menggenang
sama atau lebih
lebar dari
setengah lebar
sungai,
kedalaman >1m
<5% bagian
yang
menggenang
kedalamannya
>1m dan lebih
½ lebar sungai.
Umumnya
bagian yang
dalam ini lebih
kecil dari
setebgah sungai
dan
kedalamannya >
1m
<1% bagian
yang
menggenang
kedalamannya
>1m dan lebih
lebar sungai
bagian yang
menggenang
ini mungkin
sangat dalam/
dangkal.
Habitat tidak
bervariasi
Bagian yang
menggenang
kecil dan
dangkal
bahkan
mungkin tidak
terdapat
bagian yang
menggenang.
Kestabilan
tepi sungai
Tidak pernah ada
bukti-bukti bahwa
tempat tersebut
pernah terjadi
erosi atau
berpotensi erosi
Jarang terjadi
bagian tepi
yang gugur,
kemungkinan
gugur ada tetapi
rendah
Bagian tepi
ada ynag
mengalami
erosi pada
saat banjir
Bagian tepi
tidak stabil,
sering terjadi
erosi
3.3 Waktu dan tempat
Pengambilan sampel dilakukan pada hari Sabtu-Minggu tanggal 15-16 Oktober 2011.
Pengambilan pertama bermula dari Sungai Kanding, Sungai Mrican, Sungai Kembangan,
Sungai Sigaluh, Sungai Mandiraja, Sungai Selomerto, Sungai Kejajar, dan Sungai Garung.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Fisiko-kimia
Sungai
PerlakuanKanding Mrican Kembangan
Si
Galuh
Mandir
aja Selomerto Kejajar Garung
O2 (ppm) 4,4 8 4 7,6 5,6 5,2 7,6 6,4
BODo 2 0 4,4 1,2 2 2 0,8
Suhu (0C) 28,5 28 28,5 26 26 25 22 26
pH 7,5 7 7,3 7 7 7 6,5 6,5
Lebar Sungai (m) 30 30 0 20 30 20,5 11 14
Kedalaman (cm) 7 110 60 82,5 60 60 38,67 25
Kejernihan (cm) 8 85 60 50 50 42,5 38,67 25
Kecepatan Arus
(m/s)
0,08 0,32 0,31 0,31 0,34 0,625 0,64 1,32
Konduktivitas 0 0 0
Salinitas 0 0 0
Skor Fisik Habitat 35 50 65 40 50 60 75 50
Substrat Dasar Berlumpur berbatu berbatu kerikil berbatu berbatu berbatu berbatu
4.2 Pembahasan
O2BOD
Suhu Ph
Lebar
Sunga
i
Kedala
man
Kejern
ihan
Kecepata
n Arus
Konduktivit
as
Salin
itas
Skor F
isik Hab
itat
0
20
40
60
80
100
120
KandingMricanKemabanganSi galuhMandirajaSelomertoKejajarGarung