1. laporan ekoper pola longitudinal

34
LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN POLA LONGITUDINAL SUNGAI Oleh: Setiawan Lara Sari H1G010035 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN PURWOKERTO 2011

Upload: dkkasdasfjdnamcb

Post on 09-Dec-2014

131 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN

POLA LONGITUDINAL SUNGAI

Oleh:

Setiawan Lara Sari

H1G010035

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNIKJURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN

PURWOKERTO

2011

Page 2: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pola longitudinal adalah pola memanjang dari hilir ke hulu untuk mengetahui

faktor fisika kimia suatu lingkungan perairan dan mengetahui organisme yang hidup

di perairan tersebut. Pola longitudinal digunakan di suatu perairan seperti sungai.

distribusi longitudinal terjadi dimana kemiringan tidak jauh berbeda dari hulu ke

hilir. Daerah hulu biasanya menunjukan toleransi yang besar sampai sepanjang

sungai. Perubahan longitudinal yang jelas berhubungan dengan perubahan yang

sangat terlihat yaitu suhu, kecepatan arus dan pH (Odum, 1973).

Faktor fisika kimia pada sungai yang panjang terdapat perbedaan antara

bagian hulu, tengah, dan hilir. Perubahan tersebut dapat terlihat pada bagian atas dari

aliran air, dan komposisi kimia berubah dengan cepat. Perubahan komposisi

komunitas sewajarnya lebih jelas pada kilometer terakhir (Odum, 1993).

Air yang masuk ke sungai banyak dipengaruhi oleh vegetasi sekitar daerah

tangkapan air. Air ini akan membawa partikel tanah dan mineral tanah dari darat ke

sungai. Akibatnya, bila terjadi perubahan di daerah tangkapan air maka faktor fisika

dan kimia air sungai akan terpengaruh.

Zona utama sungai pada aliran air ada 2 macam yaitu zona air deras dan air

tenang. Zona arus deras yaitu daerah yang dangkal dan kecepatan arus cukup tinggi

untuk meyebabkan dasar sungai bersih dari endapan dan materi lain yang lepas,

sehingga dasarnya padat. Zona arus tenang yaitu bagian sungai yang dalam dengan

kecepatan arus sudah berkurang, maka lumpur dan materi lepas cenderung

mengendap didasar. Sungai mengalami perubahan dari hulu ke hilir. Perubahan

tersebut dapat terlihat pada bagian atas dari aliran air, dan komposisi kimia berubah

dengan cepat. Perubahan komposisi komunitas sewajarnya lebih jelas pada kilometer

terahir (Odum, 1993).

Perairan sungai terdapat faktor biotik dan abiotik yang saling berinteraksi.

Faktor biotik diantaranya adalah zooplankton dan phytoplankton, sedangkan faktor

abiotik adalah suhu, penetrasi cahaya, kedalaman, kekeruhan oksigen terlarut

karbondioksida bebas, salinitas, arus dan pH. Faktor biotik dan abiotik merupakan

Page 3: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

faktor pembatas yang dapat digunakan untuk dapat mengetahui keragaman

organisme dan kelimpahannya (Odum, 1993).

Sungai Serayu merupakan sungai yang terbesar di Karisidenan Banyumas

lahan di DAS Serayu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat antar lain sebagai

pemukiman, pertanian, perkebunan, industri, dan kegiatan penambangan. Sungai

Serayu juga dimanfaatkan untuk kepentingan sebagai sumber air, yang merupakan

sumber utama bagi kebutuhan untuk konsumsi domestik, irigasi, rekreasi,

pembangkit tenaga listrik, tempat pembuangan limbah baik domestik maupun

industri, transportasi, penggalian tambang golongan C (batu dan pasir), dan

perikanan (karamba oleh penduduk sekitar)

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum pola longitudinal ekosistem sungai adalah untuk

mengetahui:

1. Pola longitudinal ekosistem yang mempengaruhi DAS Serayu

2. Parameter - parameter fisika kimia

Page 4: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai

Sungai merupakan perairan yang mengalir (lotik), oleh karena itu sungai

memiliki arus yang berbeda-beda di setiap tempatnya. Setiap aliran memilki

organisme yang berbeda pula. Pada aliran sungai terdapat dua zona utama, yaitu zona

air deras dan zona air tenang. Organisme pada zona air deras diantaranya adalah

Corydalus (Neuroptera), Dubiraphia, (Coelenterata), Gammarus dan Pontocorela

altnis (Crustacea), Cladophora, lumut air dari marga Fontinalis dan sebagainya.

Sedangkan organisme pada zona air tenang diantaranya adalah Encilosnia,

Hydropsyche, Hagenius, Siphlonurus, Gyrinid (kumbang), Ephemerophetra dan

sebaginya (Hawkes, 1979).

Sungai memiliki tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. Daerah hulu

merupakan daerah konservasi, daerah mempunyai kerapatan drainasi lebih tinggi,

merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih tinggi (lebih besar 15%). Daerah

hilir merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, dan merupakan

daerah dengan kemiringan yang kecil (lebih kecil 8%). Daerah bagian tengah

merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda

(Asdak, 2007).

Secara alami faktor fisika kimia air berbeda antara bagian hulu, tengah dan

hilir. Perbedaan yang jelas adalah pada keadaan dasar sungai, yaitu berbatu, berpasir

atau berlumpur, dan terkait dengan kecepatan arus sungai. Kecepatan arus juga

berpengaruh terhadap kandungan oksigen terlarut di air. Perubahan pemanfaatan

daerah pinggir sungai oleh penduduk juga akan berpengaruh terhadap kualitas air,

yang sudah tentu akan berpengaruh terhadap kandungan fisik dan kimia sungai. Air

yang masuk ke sungai banyak dipengaruhi oleh vegetasi sekitar daerah tangkapan

air. Air ini akan membawa partikel tanah dan mineral tanah dari darat ke sungai.

Akibatnya, bila terjadi perubahan di daerah tangkapan air maka faktor fisika dan

kimia air sungai akan terpengaruh.

Page 5: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

2.2. Parameter Fisika-Kimia

Faktor yang menentukan distribusi dari biota air adalah sifat fisika-kimia

perairan. Organisme yang dapat disesuaikan denagn kondisi fisika-kimia yang akan

mampu hidup (Krebs, 1978). Kehidupan ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh

volume air mengalir, kecepatan arus, pH, temperatur, dan konsentrasi oksigen

terlarut.

2.2.1. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal

dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer. Semakin banyak jumlah DO

(Dissolved Oxygen) maka kualitas air semakin baik. Oksigen terlarut

dibutuhkan bagi jasad hidup untuk pernafasan dan metabolisme yang

menghasilkan energi untuk pertumbuhan. Kadar oksigen dalam air akan

bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan semakin tingginya salinitas

(Odum, 1971).

2.2.2. Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD)

Biological Oxygen Demand (BOD) merupakan suatu pendekatan

analisis secara empiris global pada proses mikrobiologi yang terjadi didalam

air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk

menguraikan (oksidasi) hampir semua zat organik terlarut dan sebagai zat-zat

organik yang tersuspensi dalam air.

2.2.3. Temperatur

Temperatur merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

mengatur proses yang terjadi di lingkungan perairan. Temperatur dalam suatu

perairan di pengaruhi oleh substrat, kekeruhan, air hujan, dan pertukaran

panas dengan permukaan air. Temperatur yang layak untuk kehidupan suatu

organisme air tawar berkisar antara 20ºC – 30ºC dengan suhu optimum

berkisar antara 25 ºC - 28 ºC (Iskandar, 2002). Temperatur sangat penting

bagi berlangsungnya proses metabolisma dalam perairan. Bagi komponen

biotik, temperatur mempengaruhi kandungan gas terlarut. Tiap-tiap

Page 6: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

organisme mempunyai suhu optimum dan minimum yang berbeda-beda

dalam hidupnya dan mempunyai kemampuan menyesuaikan diri hingga titik

tertentu, sehingga untuk meyesuaikan suhu suatu habitat yang lainya dapat

beradaptasi (Odum, 1993).

2.2.4. Derajat keasaman air (pH)

Nilai pH dalam suatu perairan mempunyai pengaruh yang sangat

besar terhadap organisme perairan. Sehingga pH dapat dijadikan sebagai

indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan dapat mempengaruhi

ketersediaan unsur-unsur kimia dan unsur hara yang bermanfaat bagi

kehidupan vegetasi akuatik. Setiap organisme memiliki batas toleransi

terhadap pH dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti aktifitas

fotosintesis, suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya anion, jenis dan

organisme. Suatu organisme dapat hidup dalam perairan yang mempunyai pH

netral dengan kisaran toleransi asam lemah sampai basa lemah (Barus, 2002).

2.2.5. Lebar sungai

Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula

jumlah biota yang menempatinya (Kottelat et al., 1996). Keanekaragaman

dan kelimpahan biota juga ditentukan oleh karakteristik habitat perairan.

2.2.6. Kedalaman

Kedalaman merupakan tinggi rendahnya suatu perairan dari dasar

sungai sampai permukaan air. Kedalaman di dalam perairan dapat

mempengaruhi kelangsungan hidup suatu organisme air. Karena perairan

yang dalam, akan ditempati suatu organisme yang jumlahnya sedikit dan

miskin oksigen. Kedalaman air yang baik suatu perairan sungai yaitu 2–3

meter. Kedalaman suatu perairan melebihi dari 3 meter akan menggangu

proses fotosintesis, karena cahaya tidak bisa menembus kedasar perairan yang

terlalu dalam (Hawkes, 1979).

Page 7: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

2.2.7. Kejernihan air

Kejernihan merupakan faktor yang peting dalam suatu perairan.

Kecerahan menunjukan suatu tingkat kejernihan aliran air yang diakibatkan

oleh unsur-unsur sedimen baik yang bersifat mineral atau organik. Kejernihan

air digunakan sebagai indikator kemampuan air dalam meloloskan cahaya

yang jatuh diatas badan air. Semakin besar tingkat kejernihan suatu perairan,

semakin besar kemampuan bagi vegetasi akuatik untuk melakukan

fotosintesis (Asdak, 2007).

2.2.8. Substrat dasar

Substrat termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan organisme.

Substrat ini merupakan bagian dasar perairan yang terdiri dari batuan besar,

kerikil lumpur, tanah liat berpasir. Substrat dasar berupa batu besar, kerikil

ditempati banyak organisme. Sedangkan substrat dasar yang berupa lumpur,

tanah liat berpasir ditempati sedikit organisme (Hawkes, 1979).

2.2.9. Konduktivitas dan Salinitas

Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk hidup di

perairan yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas perairan yang melebihi atau

diatas 400μs mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan stress

dan akan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka hantaran

listrik tinggi (Ewuise, 1990). Salinitas adalah nilai yang menunjukkan garam-

garam terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan

satuan promil (‰) (Barus, 2002). Slinitas memiliki pengaruh terhadap

tekanan osmotik air. Perubahan salinitas secara cepat umumnya menyebakan

tingkat kematian yang tinggi. Salinitas air dipengaruhi oleh pencampuran air

laut dan tawar, curah hujan dan evaporasi.

Page 8: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

2.2.10. Skor fisik habitat

Skor fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu

lingkungan habitat sungai tertentu. Nilai fisik tersebut dapat diperoleh

bagaimana kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan dalam

keadaan sub optimal, optimal, atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup

didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut.

Page 9: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1 Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah termometer, kertas

pH, botol film, tali rafia, keping sechii, jarum altimeter, rolling meter, tongkat

skala, konduktivitas.

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan yaitu air sungai yang akan diteliti.

3.2. Metode

Metode yang diggunakan dalam praktikum ini dilakukan dengan

metode pengukuran faktor fisikokimia air dari hulu sampai dengan hilir

sepanjang sungai Serayu. Parameter yang akan di ukur yaitu kecerahan, pH,

suhu, kecepatan arus, konduktivitas, kedalaman, substrat dasar, riparian

vegetation, dan skor fisik habitat.

3.2.1. Parameter Fisika-Kimia

1. Oksigen Terlarut (DO)

2. Biological Oxygen Demand (BOD)

3. Pengukuran Suhu

4. Pengukuran Derajad Keasaman (pH)

5. Lebar Sungai

6. Pengukuran Kedalaman

7. Kejernihan Air

8. Pengamatan Substrat Dasar

9. Pengukuran Konduktifitas

10. Pengamatan Skor Fisik Habitat

Page 10: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

3.2.1.1 Oksigen Terlarut (DO) menggunakan Metode Winkler (APHA, 1992)

Air diambil menggunakan botol Winkler sebanyak 250 ml tanpa ada

gelembung. Kemudian ditambahkan berturut-turut larutan MNSO4 dan KOH-

KI masing-masing sebanyak 1ml (digunakan pipet ukur atau jarum suntik).

Dibiarkan sesaat sampai endapan terbentuk. Ditambahkan H2SO4 pekat ke

dalam botol lalu dikocok sampai endapan larut. Diambil sebanyak 100 ml dan

dipindahkan ke dalam tabung erlenmeyer. Kemudian dititrasi dengan larutan

Na2S2O3 (0.025 N) sampai larutan berwarna kuning muda. Ditambahkan 10

tetes indikator amilum hingga berwarna biru. Dititrasi kembali dengan larutan

Na2S2O3 (0.025 N) sampai warna biru hilang. Dititrasi duplo dan hasilnya

dirata-rata. Setelah itu dihitung dengan rumus perhitungan:

Oksigen terlarut = 1000/100 x p x q x 8

Ket: p= volum larutan Na2S2O3

q= normalitas larutan

8= bobot setara larutan

3.2.1.2. Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD)

Pengukuran BOD dilakukan berdasarkan metode Winkler (APHA,

1985) yaitu sampel dimasukkan ke dalam dua botol Winkler volume 250 ml

sampai penuh. Botol Winkler pertama segera diperiksa kandungan

oksigennya (DO0 hari), sedangkan botol Winkler kedua diinkubasi selama 5

hari pada suhu 200 C. Setelah diinkubasi selama 5 hari, diperiksa kandungan

oksigennya (DO5 hari). Untuk pengukuran blanko, prosedur kerja sama

seperti pada sampel.

Kandungan BOD dapat dihitung dengan rumus:

BOD = ¿¿

Keterangan:

A0 : oksigen terlarut sampel pada nol hari

As : Oksigen terlarut sampel pada lima hari

Page 11: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

S0 : Oksigen terlarut blanko pada nol hari

S5 : Oksigen terlarut blanko pada lima hari

T : Persen perbandingan antara A0 : S0

P : derajat pengenceran

3.2.1.3. Pengukuran Suhu

Dicelupkan termometer pada perairan, tunggu sampai beberapa menit

sampai pengukuran stabil. Lakukan di 3 titik.

3.2.1.4. pengukuran Derajat Keasaman (pH)

Dicelupkan kertas pH ke dalam air, samakan perubahan warna pada

kertas dengan warna skala pH yang tercantum.

3.2.1.5. Lebar Sungai

Diukur dengan rolling meter dan jika tidak di dukung oleh situasi

dilakukan estimasi lebar sungai.

3.2.1.6. Pengukuran Kedalaman

Dilakukan pengukuran pada tiap 2 meter lebar sungai dengan tongkat

penduga yang telah diberi skala panjang.

3.2.1.7. Kejernihan Air

Dimasukkan Keping Secchi ke dalam air. Diukur kedalaman sampai

batas antara hitam dan putih tak dapat dibedakan. Jika sampai dasar sungai

masih dapat dibedakan, dicatat kedalaman sampai dasar tersebut.

3.2.1.8. Pengamatan Substrat Dasar

Substrat di estimasi menggunakan tabel Barbaur dan stribing, dan

dilakukan perhitungan skor fisik habitat setiap stasiun pengamatan.

Diestimasi secara visual persentasi bagian dasar sungai yang tertutup

lumpur, pasir, kerikil, batu.

3.2.1.9. Pengukuran Konduktivitas

Page 12: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Diukur menggunakan konduktifitimeter dengan daya hantar listrik.

Konduktifitimeter dinetralkan atau dinolkan. Kemudian ujung

konduktifitimeter dimasukan kedalam air dan di tunggu sampe

konduktifitimeter berhenti dan menunjukan angka.

3.2.1.10. Pengamatan Skor Fisik Habitat

Substrat di estimasi menggunakan tabel Barbaur dan stribing, dan

dilakukan perhitungan skor fisik habitat setiap stasiun pengamatan.

Faktor Fisiko Kimia

Habitat

parameterOptimal Suboptimal Marginal Poor

Substrat dasar

Lebih dari 60% dasara perairan terdiri atas kerikil, batu atau cadas dengan porsi yang kurang lebih sama. SKOR 20

30%-60% dari substrat dasar penilaian berupa batuan atau cadas. Substrat mungkin didominasi oleh salah satu kelas ukuran tersebut. SKOR 15

10%-30% merupakan satu materi yang besar tetapi lumpur atau pasir 70-90% mendominasi substrat dasar.SKOR 10

Substrat didominasi oleh lumpur dan pasir kerikil dan pasir dan materi yang lebih besar.SKOR 5

Kekomplekan habitat

Berbagai macam tipe kayu pohon, cabang, tumbuhan akuatik terdapat pada segmen sungai membentuk habitat yang bervariasi. Segmen sungai tertutup kanopi.SKOR 20

Substrat cukup bervariasi. Segmen sungai cukup terlindungi oleh kanopi.SKOR 15

Habitat didominasi oleh 1 atau 2 macam komponen substrat, tumbuhan tepi yang menaungi segmen sungai sedikit.SKOR 10

Habitat monoton pasir dan lumpur menyebabkan habitat tidak bervariasi.SKOR 5

Kualitas yang menggenang

25% dari bagian yang menggenang sama atau lebih lebar dari setengah lebar sungai dan kedalamannya >1 m.SKOR 20

<5% bagian yang menggenang kedalamannya >1 m dan lebih lebih lebar dari ½ lebar sungai. Umumnya bagian yang dalam ini lebih kecil dari setengah lebar

Kurang dari 1% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih dari lebar sungai. Bagian yang menggenang ini mungkin sangat dalam/dangkal.Ha

Bagian yang menggenang kecil dan dangkal bahkan mungkin tidak terdapat bagian yang menggenang.SKOR 5

Page 13: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

sungai dan kedalamannya >1m.SKOR 15

bitat tidak bervariasi.SKOR 10

Kestabilan tepi sungai

Tidak terdapat bukti-bukti bahwa tempat tersebut pernah terjadi erosi atau berpotensi untuk erosi.SKOR 20

Jarang terjadi bagian tepi yang gugur, kemungkinan gugur ada tetapi rendah.SKOR 15

Bagian tepi ada yang mengalami erosi saat banjir.SKOR 10

Bagian tepi sungai tidak stabil, sering terjadi erosi.SKOR 5

3.3. Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada tanggal 15 - 16 Oktober 2011 di

sepanjang Daerah Aliran Sungai Serayu. DAS Serayu yang diteliti terdiri dari

daerah Kanding, Kembangan, Mandiraja, Mrican, Selokromo, Selomerto,

Garung, dan Kejajar.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 1. Fisiko-kimia

Sungai Perlakuan

Kanding Mrican Kemba-ngan

Si GaluhMandi-

rajaSelo-merto

Keja-jarGaru-

ng

O2 (ppm)4,4 8 4 7,6 5,6 5,2 7,6 6,4

BODo4,4 2 - 4,4 1,2 2 2 0,8

Suhu (0C) 280C 28,5oC 28,50C 260C 260C 250C 220C 230C

pH7,5 7 7,3 7 7 7 6,5 6,5

Lebar Sungai (m)30 30 30 20 30 20,5 11 14

Page 14: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Kedalaman (cm)7 110 60 82,5 60 60 38,67 25

Kejernihan (cm)8 85 60 50 50 42,5 38,67 25

Kecepatan Arus (m/s)

0,08 0,32 0,31 0,31 0,34 0,625 0,64 1,32

Konduktivitas

Skor Fisik Habitat

35 50 7,3 7 7 7 6,5 6,5

Substrat DasarBer-lumpur

berbatu Berbatu Kerikil Berbatu Berbatu Berbatu Berbatu

Tabel 2. Elevasi, Garis Lintang, dan Garis Bujur

Stasiun Elevasi Garis Lintang Garis BujurKanding 109º 20’ 511” 07º 30’ 705”Mrican 109º 35’ 48” 07º 24’ 3”

Kembangan 109º 26’ 04” 07 º 27’ 42”Sigaluh 109º 77’ 99” 07º 40’ 35”

Mandiraja 109º 46’ 47,63” 07º 24’ 11,69”Selomerto 109º 52’ 21” 07º 25’ 28”

Kejajar - -Garung 109º 55’ 272” 07º 17’ 716”

4.2. Pembahasan

1. O2

Kanding

Mrican

Kemban

gan

Sigalu

h

Mandira

ja

Selomert

o

Kejajar

Garung

0123456789

O2 (ppm)

O2 (ppm)

Page 15: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Hasil pengamatan diperoleh data DO yaitu sungai Kanding 4,4,

Mrican 8, Kembangan 4, Sigaluh 7,6, Mandiraja 5,6, Selomerto 5,2, Kejajar

7,6 dan sungai Garung 6,4. Berdasarkan data, terlihat bahwa sungai Mrican

mempunyai DO paling tinggi yang artinya kualitas perairan di sungai tersebut

baik. Semakin banyak DO maka kualitas air semakin baik. Jika kadar oksigen

terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat

dari degradasi anaerobik yang terjadi.

2. BOD0

Kanding

Mrican

Kemban

gan

Sigalu

h

Mandira

ja

Selomert

o

Kejajar

Garung

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

5

BOD0

BOD0

Page 16: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data BOD yaitu sungai

Kanding 4,4, Mrican 2, Kembangan tidak ada hasil (gagal), Sigaluh 4,4,

Mandiraja 1,2, Selomerto 2, Kejajar 2 dan sungai Garung 0,8. Data

menunjukkan bahwa sungai Kanding dan Sigaluh mempunyai kandungan

BOD paling tinggi, artinya perairan disungai tersebut sudah tercemar.

Kandungan BOD dalam air ditentukan berdasarkan selisih oksigen terlarut

sebelum dan sesudah pengeraman 5 X 24 jam pada suhu 20ᴼC, BOD sebagai

indikator pencemaran suatu perairan. Semakin tinggi nilai BOD suatu

perairan menunjukkan bahwa perairan tersebut sudah tercemar.

3. Suhu (0C)

Kanding

Mrican

Kemban

gan

Sigalu

h

Mandira

ja

Selomert

o

Kejajar

Garung

0

5

10

15

20

25

30

Suhu (°C)

Suhu (°C)

Page 17: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Data pengukuran temperatur sungai didapatkan: sungai Kanding

28,5ᴼC, Mrican 28ᴼC, Kembangan 28,5ᴼC, Sigaluh 26ᴼC, Mandiraja 26ᴼC,

Selomerto 25ᴼC, Kejajar 22ᴼC dan sungai Garung 23ᴼC. Berdasarkan data

tersebut dapat dilihat bahwa sungai yang memiliki suhu paling tinggi adalah

sungai Kanding dan Kembangan dengan temperatur mencapai 285ᴼC yang

terletak pada hilir sungai. Sedangkan sungai yang terletak pada hulu sungai

seperti sungai Kejajar memiliki temperatur yang lebih rendah, yaitu sekitar

22oC. Hal ini mungkin disebabkan oleh lokasi sungai Kejajar yang terletak

didataran tinggi dan jarang mendapatkan suplai sinar matahari. Ini sesuai

dengan tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa temperatur sangatlah

dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang sampai pada air sungai.

Temperatur yang stabil dalam perairan adalah 25°C- 30°C. Temperatur

optimum yang layak untuk kehidupan organisme yaitu 25°C-28°C. Menurut

Effendi (2003) temperatur dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari

permukaan laut, sirkulasi udara serta kedalaman.

4. Derajat Keasaman (pH)

Kanding

Mrican

Kemban

gan

Sigalu

h

Mandira

ja

Selomert

o

Kejajar

Garung

66.26.46.66.8

77.27.47.6

Derajat Keasaman (pH)

Derajad Keasaman (pH)

Page 18: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Hasil data yang diperoleh tingkat derajat keasaman air (pH) dari hulu

ke hilir adalah sungai Kanding 7,5, Mrican 7, Kembangan 7,3, Sigaluh 7,

Mandiraja 7, Selomerto 7, Kejajar 6,5 dan sungai Garung 6,5. Dari data

tersebut rata-rata nilai pH nya  adalah 7 yang berarti netral, tidak terlalu asam

atau basa. Nilai pH pada daerah sungai Kejajar dan Garung yang terletak

pada hulu memiliki nilai pH yang berbeda dengan yang lain, yaitu 6,5. Hal ini

disebabkan adanya kandungan unsur belerang didalam air dibagian hulu

sungai Serayu. Belerang yang mengalir ke sungai berasal dari kawah gunung

yang berlokasi didataran tinggi Dieng. Nilai pH dibawah 7 berarti asam, sama

dengan 7 berarti netral, nilai dibawah 7 berarti basa. Hal tersebut sesuai

dengan pustaka KEPMEN LH NO.51/2004.

5. Lebar Sungai (m)

Kanding

Mrican

Kemban

gan

Sigalu

h

Mandira

ja

Selomert

o

Kejajar

Garung

05

101520253035

Lebar Sungai (cm)

Lebar Sungai (cm)

Page 19: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Percobaan pengukuran lebar sungai diperoleh data sebagai berikut,

sungai Kanding 30 m, Mrican 30 m, Kembangan 30 m, Sigaluh 20 m,

Mandiraja 30 m, Selomerto 20,5 m, Kejajar 11 m dan sungai Garung 14m.

Dari data diatas lebar sungai pada sungai serayu dari hilir ke hulu memiliki

perbedaan, semakin kehilir lebar sungainya semakin besar dibandingkan pada

bagian hulu. Hal ini disebabkan oleh bentuk topografi, substrat dasar, riparian

vegetation, erosi dan arus sungai yang membawa endapan dari dasar sungai

tersebut.

6. Kedalaman (cm)

Page 20: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Kanding

Mrican

Kemban

gan

Sigalu

h

Mandira

ja

Selomert

o

Kejajar

Garung

0

20

40

60

80

100

120

Kedalaman Sungai (cm)

Kedalaman Sungai (cm)

Pada pengukuran kedalaman sungai diperoleh data, sungai Kanding 7

cm, Mrican 110 cm, Kembangan 60 cm, Sigaluh 82,5 cm, Mandiraja 60 cm,

Selomerto 60 cm, Kejajar 38,67 cm dan sungai Garung 25 cm. Kedalaman di

sungai serayu pada setiap stasiun bervariasi, disebabkan oleh adanya

perbedaan suatu substrat dasar, kecepatan arus dan topografi dari sungai

tersebut. Berdasarkan data yang telah diperoleh, aliran sungai yang berada

pada bagian hulu memiliki kedalaman yang lebih dalam dibandingkan dengan

bagian hilir yang memiliki kedalaman rendah.

7. Kejernihan (cm)

Page 21: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Kanding

Mrican

Kemban

gan

Sigalu

h

Mandira

ja

Selomert

o

Kejajar

Garung

0102030405060708090

Kejernihan (cm)

Kejernihan (cm)

Berdasarkan pengamatan tingkat kejernihan air yang dilakukan

disepanjang daerah sungai Serayu (DAS) diperoleh data sebagai berikut:

Kanding 8 cm, Mrican 85 cm, Kembangan 60 cm, Sigaluh 50 cm, Mandiraja

50 cm, Selomerto 42,5 cm, Kejajar 38,67 cm dan sungai Garung 25 cm.

Berdasarkan data tersebut sungai Mrican yang letaknya berada dihulu

mempunyai tingkat kejernihan yang tinggi yaitu 85 cm dibandingkan dengan

sungai yang berada dihilir seperti sungai Kanding yang memiliki tingkat

kecerahan air yang hanya 8 cm. Tingkat kecerahan disungai Mrican

disebabkan oleh kandungan substrat dasar yang berupa kerikil, batu-batuan

dan memiliki arus yang cukup deras untuk membawa materi dan endapan-

endapan yang berada pada dasar sungai. Berarti tingkat kejernihannya di

daerah hulu termasuk stabil, sebaliknya didaerah hilir tingkat kejernihannya

rendah (Sary, 2006). Tingkat kekeruhan air yang rendah disebabkan oleh

kandungan substrat dasar yang berupa lumpur, partikel yang mengendap dan

arus yang rendah.

8. Skor fisik habitat

Page 22: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Kanding

Mrican

Kemban

gan

Sigalu

h

Mandira

ja

Selomert

o

Kejajar

Garung

01020304050607080

Skor Fisik Habitat

Skor Fisik Habitat

Kondisi fisik habitat di bagian hulu seperti Mrican, Mandiraja,

Garung dan Kejajar sesuai kriteria penilaian kondisi fisik habitat menurut

Barbour and Stribling yaitu sub optimal. Artinya daerah hulu sungai Serayu

tersebut memiliki organisme akuatik yang bervariasi, baik kondisi lingkungan

sekitarnya bagi kehidupan organisme akuatik dan organisme-organisme

lainnya. Sedangkan pada daerah hilir seperti Kembangan, Selomerto,

Kanding dan Sigaluh sesuai kriteria penilaian kondisi fisik habitat tabel

Barbour dan Stribling yaitu marginal. Kriteria tersebut memiliki arti bahwa

kehidupan organisme didaerah hilir sungai Serayu kurang bervariasi jika

dibandingkan dengan daerah hulu. Dari data yang diperoleh sungai Mrican

adalah sungai yang memiliki skor fisik habitat paling tinggi dan sungai

Kembangan adalah sungai yang memiliki skor habitat paling rendah.

9. Tipe Substrat

Page 23: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Sungai Tipe Substrat

Kanding BerlumpurMrican BerbatuKembangan BerbatuSigaluh KerikilMandiraja berbatu Selomerto BerbatuKejajar BerbatuGarung Berbatu

Sungai Serayu mempunyai keanekaragaman substrat disetiap stasiun.

Substrat dasarnya yaitu sungai Kanding: berlumpur, Mrican: berbatu,

Kembangan: berbatu, Sigaluh: kerikil, Mandiraja: berbatu, Selomerto:

berbatu, Kejajar: berbatu dan Garung: berbatu. Dari hasil pengamatan

tersebut dapat dilihat bahwa sungai pada daerah hilir substat dasrarnya

didominasi oleh lumpur dan pasir. Sedangkan pada daerah hulu substrat

dasaranya didominasi oleh batu cadas, batu kerikil dan pasir.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Page 24: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Berdasarkan dari hasil pengamatan tentang pola longitudinal sungai, dapat

disimpulkan:

1. Pola longitudinal adalah pola memanjang dari hulu ke hilir, faktor yang

paling mempengaruhinya adalah suhu, kecepatan arus, dan pH

2. Parameter – parameter fisika-kimia antara lain, oksigen terlarut, BOD, suhu,

pH, lebar sungai, kedalaman, kejernihan air, substrat dasar, konduktivitas,

dan skor fisik habitat.

5.2 Saran

1. Hasil dari praktikum ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk para sainstis

di bidang perikanan, bahwa keadaan pola longitudinal sungai Serayu telah

mengalami perubahan secara fisiko - kimia.

2. Menghentikan kegiatan yang dapat mengakibatkan pencemaran sungai

Serayu.

DAFTAR PUSTAKA

Page 25: 1. Laporan Ekoper Pola Longitudinal

Asdak. 2007. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah mada

university press: Yogyakarta.

Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan : fakultass MIPA Jurusan

Biologi USU

Effendi, H. 2003. Lahan Kualitas Air bagi Pengelola Sumberdaya & Lingkungan

Perairan. J MSP Fak. P & K IPB, Bogor.

Ewuise,Y. J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika.Bandung: ITB.

Hawkes, H.A. 1979. Invertebrates an Indikator Of River Water Quality. In James, A.

And L. Erison, ED. Biology Indikator Of Water Quality. Jon Willey Sons,

Toronto.

Iskandar. 2002. Struktur Komunitas Makrozoobenthos Sebagai Indikator

Kualitas Perairan di Situ Tonjong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. IPB, Bogor.

Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology 3rd Edition. WB. Sounders Company,

Philadelphia, London

Odum, E. P. 1973. dasar-dasar ekologi. diterjemahkan oleh Thahmosamingan.

Gadjah Mada Press: Yogyakarta.

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada University

Press: Yogyakarta.

Sary. 2006. Bahan Kuliah Menejemen Kualitas air. Politehnik vedca. Cianjur