makalah pertanahan (hak gadai).docx
DESCRIPTION
GadaiTRANSCRIPT
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM
MAKALAH
HUKUM PERTANAHAN
Pelunasan Hak Gadai dengan Tenggang Waktu Masa Panen (Studi Kasus di
Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman)
Oleh :
Ester Tri Novayulia Silitonga (10/299825/HK/18506)
M. Dwika Reza Saputra (10/299364/HK/18464)
Samsudin (10/304395/HK/18551)
Prasetyo Adi Setiawan (11/311801/HK/18644)
Wahyu Arif Widodo (11/311711/HK/18635)
Rhisang Fajar S (11/30034/HK/18942)
YOGYAKARTA
2013
BAB IPENDAHULUAN
I. KASUS
Dalam perkembangan permasalahan tentang tanah, akan ada masa
dimana tanah menjadi persengketaan para pihak yang mempunyai
pembuktian argumen-argumen dalam hukum pembuktiannya. Menurut pasal
33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat memiliki beberapa hak khusus. Hak menguasai dari negara
yang tercantum dalam UUPA (pasal 1 ayat 2) memberi wewenang kepada
negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut,
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1). Pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula
tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-
peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Namun pembahasan dalam makalah
akan membahas secara sepesifik mengenai gadai yang merupakan
hubungan antara seseorang dengan tanah milik orang lain yang telah
menerima uang gadai dari padanya dan selama gadai masih berlangsung,
maka tanah yang bersangkutan dikuasai oleh pihak pemberi uang
(pemegang gadai). Seperti yang ada pada kasus di bawah ini :
2
Pada tanggal 12 September 2000 di Kecamatan Berbah, Sleman, Ahmad
Surya menggadaikan sawah seluas setengah hektar kepada Hermawan
dengan harga lima juta dengan perjanjian bahwa Hermawan akan
menggarap sawah tersebut selama tiga kali panen setelah itu barulah uang
bisa dikembalikan. Pada tanggal 6 Juni 2004 Hermawan mendatangi Ahmad
Surya dan menuntut uangnya kembali meski baru mengalami tiga kali panen.
Namun, saat itu Ahmad Surya belum mempunyai uang senilai lima juta untuk
menebus tanah yang dia gadaikan kepada Hermawan. Oleh karena itu,
Hermawan berniat untuk memanfaatkan tanah tersebut kepada orang lain
karena dia juga sedang membutuhkan uang untuk keperluan modal usaha
toko bangunannya.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana seandainya Ahmad Surya sudah mampu melunasi namun
Hermawan mengalami baru mengalami panen dua kali?
2. Apakah hak gadai atas tanah milik Ahmad Surya dapat dibebankan hak
tanggungan oleh Hermawan kepada pihak lain?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Kebutuhan ekonomi terkadang membuat seseorang berupaya keras untuk
memenuhi dengan berbagai upaya. Indonesia yang sempat dikenal sebagai agraris
membuat penduduk desa menganggap sawah sebagai salah satu jenis kekayaan.
Sawah juga menjadi pilihan kala kebutuhan financial menjepit dan tak ada sesuatu lagi
yang dapat diubah menjadi uang atau pun pinjaman dengan cuma-cuma sulit untuk
didapatkan. Penggadaian tanah pun dilakukan seperti yang tertera dalam kasus ini.
Gadai tanah sudah dilakukan sejak dahulu dengan sistem adat atau sebelum
berlakunya hukum agrarian nasional. Saat itu masih berlaku dualisme aturan hukum
pertanahan sehingga hak gadai diatur menurut hukum adat dan juga BW. Istilah gadai
tanah berasal dari Mr. Van Hollenhoven. Hal ini dikemukan oleh Mr. Ter Har Bzn
sebagai berikut :
Perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya diserahkan untuk menerima
tunai sejumlah uang, dengan pemufakatan bahwa si penyerah akan berhak
mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah
uang yang sama, maka perjanjian (transaksi) sedemikian itu oleh Van
Hollenhoven dengan konsekuensi dinamakan gadai tanah (sawah)1.
Transaksi jual gadai ini tidak berbatas waktu, tanah bisa ditebus sewaktu-waktu
asalkan pemegang gadai sudah pernah memanen hasil dari tanah tersebut minimal
sekali dan tanah tersebut kembali dalam keadaan kosong atau tidak sedang
dimanfaatkan. Dalam transaksi jual gadai ini biasanya tanah itu hanya dapat ditebus
oleh yang menjual gadai atau pemilik tanah.2 Pemegang gadai tidak dapat menuntut
hutang gadai itu apabila pemberi gadai tidak menebusnya, karena inti dari transaksi ini
adalah tanah bukan uang.tetap Selama tanah belum ditebus, tanah menjadi
kewenangan pemegang gadai dalam hal penguasaan dan pemanfaatan. Namun hak
milik tidak beralih.
1 Liliek Istiqomah, S.H., 1982,Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, hlm. 52.2Bushar Muhammad, 2006, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 114.
4
Apabila pemegang gadai membutuhkan uang, ia dapat menjual gadaikan tanah
itu lagi kepada orang lain, hanya menjual gadaikan bukan menjual lepas tanah tersebut.
Menjual gadaikan lagi ini, pada masyarakat setempat terdapat 2 pandangan, yaitu :
mengalihkan gadai dan menganakkan gadai. Mengalihkan gadai ini dilakukan dengan
seijin pemilik tanah, dengan demikian hak, tanggung jawab, dan kewajiban gadai
beralih kepada pemengang gadai yang baru. Sedangkan menganakkan gadai dilakukan
tanpa seijin pemilik tanah, dengan demikian hak, tanggung jawab, dan kewajiban gadai
pada prinsipnya masih berada pada pemegang gadai pertama. Asalkan apabila pemilik
tanah akan menebus, tanah tersebut sudah siap.
Setelah berlakunya UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA, semua ketentuan mengenai hak-hak
kebendaan yang bertalian dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang diatur dalam
Buku II BW dicabut. Kecuali, ketentuan-ketentuan mengenai hipotik tetap berlaku
walaupun hal itu menyangkut masalah tanah yang menjadi obyek.
Hak gadai menurut Hukum Agraria Nasional memiliki pengertian yang berbeda
menurut hukum perdata yang diatur dalam BW. Dalam Penjelasan Umum Perpu No. 56
tahun 1960 angka 9 huruf (a) disebutkan bahwa:
Yang dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain yang mempunyai utang kepadanya. Selama utang
tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan
yang meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah
seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan
bunga dari utang tersebut.
Sedangkan menurut pasal 1150 BW gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh
seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian
biaya untuk melelang barang tersebut, dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan.
5
Berdasarkan penjelasan di atas, pengertian hak gadai menurut Hukum Agraria
Nasional adalah mengenai tanah pertanian, sedangkan BW adalah mengenai barang
bergerak. Hak Gadai sendiri bersifat sementara yang berarti pada suatu waktu hak
tersebut akan tidak ada lagi. Hak Gadai dikategorikan mempunyai sifat tersebut karena
rawan akan terjadinya pemerasan apabila tidak ada ketentuan yang mengatur lama
waktu penggadaian. Dahulu, orang dapat menggadaikan tanah tanpa ada jangka waktu
sehingga merugikan si penggadai. Namun, hal tersebut diatasi dengan pasal 7 Perpu
No. 56 tahun 1960 yang mengatur bahwa lewat tujuh tahun dari awal penggadaian
maka si pemegang gadai wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam
waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran uang tebusan.
Dalam kasus ini, Hermawan tidak dapat menuntut pelunasan utang oleh Ahmad
Suryanto. Sebaliknya, apabilan Ahmad Suryanto ingin melunasi tanah tersebut
sementara belum melampaui tiga kali panen maupun tujuh tahun asalkan sudah
melampaui satu kali masa panen, maka berdasarkan pasal 7 ayat (2) Perpu No. 56
tahun 1960, maka pengembalian uang gadai oleh dihitung menurut ketentuan :
(7 12−masaberlangsungnyahak gadai)
7xuang gadai
Selanjutnya, Hermawan sebagai pemegang gadai, berhak untuk menggunakan
serta memungut hasil dari sawah tersebut. Dan apabila sewaktu-waktu membutuhkan
uang, maka ia berhak untuk melakukan pendalaman gadai dengan seizin Ahmad
Suryanto atau menganakkan gadai jika dilakukan tanpa izin dari Ahmad Suryanto.
Namun, untuk dibebani Hak Tanggungan, terlebih dahulu harus dipahami apa yang
dimaksud dengan Hak Tanggungan. Berdasarkan UU No. 4 tahun 1996 yang dimaksud
dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
6
kreditor lain. Undang-undang ini juga mengatur mengenai obyek hak tanggungan. Pasa
pasal 4 dinyatakan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah
hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Hak gadai tidak tercantum dalam
kategori hak atas tanah yang dapat digadaikan. Meski Hermawan memiliki hak untuk
menggunakan sawah milik Ahmad Suryanto, tetapi hak milik masih dipegang oleh
Ahmad Suryanto sawah tersebut tidak dapat diberi Hak Tanggungan oleh Hermawan.
7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Ahmad Suryanto dapat melunasi sawah tersebut meski Hermawan
mengalami tiga kali gagal panen dengan pembayaran uang gadai sesuai
dengan pasal 7 ayat (2) Perpu No. 56 tahun 1960. Salah satu hak pemberi
gadai adalah dapat sewaktu-waktu menebus tanahnya dengan syarat
pemegang gadai sudah memetik hasilnya (panen) paling sedikit satu kali.
Sehingga, meski Hermawan belum melalui tiga kali panen, Ahmad Suryanto
sudah berhak untuk menebus sawah yang ia gadaikan.
2. Tanah tersebut tidak dapat dibebankan Hak Tanggungan oleh Hermawan
kepada pihak lain karena hak milik atas tanah tersebut masih dipegang oleh
Ahmad Suryanto. Hermawan hanya berhak untuk memanfaatkan atau pun
menggadai ulang tanah tersebut kepada pihak lain dengan maupun tanpa
seizing Ahmad Suryanto.
B. SARAN
8