pertemuan vi gadai

26
KONSEP GADAI ( RAHN ) DALAM ISLAM Oleh : Zaini Abdul Malik Para pemikir barat dewasa ini ada yang berasumsi bahwa Islam menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai faktor penghambat pembangunan ( an abstacle to economic growth ). Kesimpulan ini agak tergesa-gesa, ini hampir dipastikan muncul akibat kesalahpahaman terhadap Islam. Seolah-olah Islam hanya merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem yang komprehensip dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah pembangunan ekonomi serta pegadaian sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Ia sebagai khalifah yang diberi amanah oleh Allah harus menjalaninya dengan cara yang baik. Oleh karena itu di dalam dunia modern saat ini banyaknya persoalan yang dihadapi menuntut kita untuk dapat menyelesaikannya baik pada tatanan personal ataupun kolektif. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat membuat kita agar dapat merespon serta mencarikan solusinya guna memenuhi kebutuhan kita ataupun sebagai pengembangan usaha agar tidak tertinggal. Namun terkadang kita mendapatkan kesulitan dalam

Upload: rratna-monica-munthe-soekoco

Post on 02-Jul-2015

181 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERTEMUAN VI Gadai

KONSEP GADAI ( RAHN ) DALAM ISLAM

Oleh : Zaini Abdul Malik

Para pemikir barat dewasa ini ada yang berasumsi bahwa Islam

menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai faktor

penghambat pembangunan ( an abstacle to economic growth ). Kesimpulan ini

agak tergesa-gesa, ini hampir dipastikan muncul akibat kesalahpahaman

terhadap Islam. Seolah-olah Islam hanya merupakan agama yang hanya

berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem yang

komprehensip dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah

pembangunan ekonomi serta pegadaian sebagai salah satu motor penggerak

roda perekonomian.

Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Ia sebagai khalifah yang

diberi amanah oleh Allah harus menjalaninya dengan cara yang baik. Oleh

karena itu di dalam dunia modern saat ini banyaknya persoalan yang dihadapi

menuntut kita untuk dapat menyelesaikannya baik pada tatanan personal

ataupun kolektif. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat membuat kita agar

dapat merespon serta mencarikan solusinya guna memenuhi kebutuhan kita

ataupun sebagai pengembangan usaha agar tidak tertinggal. Namun terkadang

kita mendapatkan kesulitan dalam memperoleh kapital atau kesempatan guna

mengatasi masalah tersebut.

Kehadiran lembaga keuangan seperti Perbankan merupakan salah satu

solusi, tetapi terkadang prosedur dan proses yang palid terkesan mempersulit

kita serta kreditor guna memperoleh bantuan atau pinajaman di lembaga di

maksud. Terlebih lagi Perbankan Konvensional yang menggunakan sistem

bunga dalam aktivitasnya merupakan hal yang musytabihat dalam Islam.

Merespon persolan di atas selain Perbankan terdapat lembaga keuangan

lainnya yang dapat membantu serta mengatasi kebutuhan –kebutuhan individu

baik untuk konsumsi, usaha ataupun untuk yang lainnya. Selain kemudahan

serta prosesnya yang tidak berbelit-belit, maka seseorang dapat dengan mudah

memperoleh pinjaman dengan hanya memberikan barang sebagai jaminan yang

Page 2: PERTEMUAN VI Gadai

dapat digadaikan, makanya sangat tepat kiranya motto lembag pegadain ini

“mengatasi masalah tanpa masalah”.

Dalam makalah ini penulis mencoba menggali eksistensi gadai (rahn)

dalam persfekti Islam dengan berbagai permasalahannya serta mengkritisi

lembaga / jawatan pegadaian yang ada di bumi nusantara dalam sorotan

Syari’ah Islam. Permasalahan yang timbul kemudian adalah; Apa saja bentuk

barang-barang yang boleh dijadikan gadai, bolehkah si Rahin dan / atau al-

murtahin memanfaatkan al-marhun serta bagaimana status transaksi pada

jawatan pegadaian menurut Syari’ah Islam ?

Pengertian

Menurut bahasa ar-rahn adalah : berasal dari akar kata Rahana,

yarhanu, Rahnan, yang berarti: tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-

Habsu, artinya; penahanan. Misalnya dikatakan: “Ni’matun Rahinah” (karunia

yang tetap dan lestari).1Dalam hukum positif disebut dengan barang jaminan,

agunan dan rungguhan.2

Menurut istilah gadai adalah perjanjian pinjam-meminjam dengan

menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.3

Ada beberapa defenisi ar-rahan yang dikemukakan para ulama fiqh :

Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan4:

“Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat

mengikat”.

1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut : Darul Kitab al-Arabi, 1987) Vol.III, h.169, Lihat Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ala Madzahib al Arba’ah (Beirut : Darul Qalam) Vol.II, h. 305, lihat juga Wahbah Juhaili, al figh al Islami wa adilatuhu (Mesir : Darul Fikr) juz VI, h.4607.

2 Subekti dan Tjitro Sudibio, Kitab UU Hukum Perdata, 1996 (Jakarta : Pradya Paramita) h. 296.

3 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1991) h. 117.4 ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shagir bi Syarah ash-Shawi (Mesir : Dar al-Ma’arif, t.th)

Jilid III, h..303

Page 3: PERTEMUAN VI Gadai

Ulama Hanafiyah mengatakan5:

“Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang)

yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu, baik

seluruhnya maupun sebagiannya”.

Adapun Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan dengan6

“Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat

dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa

membayar utangnya itu”.

Dari berbagai definisi di atas maka penulis berkesimpulan bahwa ar-

rahn adalah; menahan barang jaminan milik si peminjam –baik yang bersifat

materi atau manfaat tertentu-. Sebagai jaminan atas pinjaman yang

diterimanya. Barang yang diterima tersebut memiliki nilai ekonomis, sehingga

pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh

atau sebagian utangnya.

Landasan Syari’ah

Al-Qur’an

فر على كنتم وإن دوا ولم س ا تج ان كاتب فره

كم أمن فإن مقبوضة ا بعض ؤد بعض ذي فلي اؤتمن ال

يكتمها ومن الشهادة تكتموا وال ربه الله وليتق أمانته

عليم تعملون بما والله قلبه آثم فإنه

“Dan jika kamu dalam perjalanan (dalam keadaan bermuamalah tidak

secara tunai), sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka

hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (pemberi utang)...”

(al-Baqarah : 283)

5 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar’ala ad-Durr al-Mukhtar, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th) Jilid V, h.339

6 Ibnu Qudamah, al-Mugni, (Riyadh : Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, t.th) Jilid IV, h. 226, Lihat Hasyiyah Asy Syarqawi, ‘Ala Tuhfatu Ath Thullab lil Anshori, t.th, Vol.II, h. 122,124.

Page 4: PERTEMUAN VI Gadai

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ar-rahn boleh dilakukan

ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan hadir di tempat, asalkan barang

tersebut bisa langsung dipegang/dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh

pemberi piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan dapat

dipegang /dikuasai oleh pemberi piutang secara langsung maka paling tidak

ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-

marhun (menjadi agunan hutang) seperti; apabila barang jaminan tersebut

sebidang tanah maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah tersebut.

Al-Hadits

Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah saw membeli makanan dari seorang

Yahudi di Madinah dan menjaminkan kepadanya baju besi. (HR Bukhari

No.1926,Kitab al-Buyu’, dan Muslim)

Anas r.a berkata, Raulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang

Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.

(HR Bukhari No.1927,Kitab al-Buyu’,Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah)

Para fuqaha berkonsensus bahwa peristiwa Rasul saw merahnkan baju

besinya itu, merupakan peristiwa rahn pertama kali dalam Islam yang

dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.

Page 5: PERTEMUAN VI Gadai

Abi Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada

ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima

gadai) karena ia telah mengeluatkan biaya (memelihara) nya. Apabila

ternak itu digadaikan, air sususnya yang deras boleh diminum (oleh orang

yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga) nya.

Kepada orang yang naik dan minum, ia harus mengeluatkan biaya

(perawatan) nya.” (HR Jama’ah kecuali Muslim dan Nasa’I, Bukhari

No.2329,Kitab ar-Rahn).

Abu Hurairah r.a berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda; barang

yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang

menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah

bila ada kerugian (atau biaya). (HR Syafi’I dan Daruquthni).

Berdasarkan ayat dan hadits-hadits di atas, para ulama fiqh bersepakat

mengatakan bahwa akad ar-Rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan

yang terkandung di dalamnya dalam rangka memupuk hubungan antar sesama

manusia.7

Rukun dan Syarat ar-Rahn

Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn.

Menurut Jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu; shiqat (lafaz ijab

dan qabul), orang yang beraqad (ar-Rahin dan al-Murtahin), harta yang

dijadikan agunan (al-Marhun), dan utang (al-marhun bih). Sedangkan Ulama

Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ar-rahn itu hanya ijab dan qabul. Di

samping itu menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad ar-rahn

ini, maka diperlukan al-qabdh oleh pemberi utang. Adapun kedua orang yang

melakukan akad, harta yang dijadikan agunan dan utang menurut ulama

Hanafiyah termasuk syarat-syarat ar-rahn bukan rukunnya.8

Syarat-syarat ar-rahn menurut ulama fiqh sesuai dengan rukun ar-rahn

itu sendiri yang meliputi9 :7 Ibnu Qudamah, Ibid, h. 3378 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000) h, 2519 Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Beirut : Dar al-Fikr,

1978) Jilid II,h. 268

Page 6: PERTEMUAN VI Gadai

1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak

hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang

yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah adalah

kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup

berakal saja.

2. Syarat shiqat. Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad ar-rahn tidak

boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang,

karena akad ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apa bila akad itu

dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan

datang maka syartnya batal, sedangkan akadnya sah. Adapun menurut

ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa apa bila syarat itu

adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu

dibolehkan namun apabila syarat tersebut bertentangan dengan tabi’at akad

ar-rahn maka syaratnya batal.

3. Syarat al-marhun, menurut para pakar fiqh yang meliputi: Pertama, barang

jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang. Kedua,

barang jaminan itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan. Ketiga, barang

jaminan itu jelas dan tertentu. Keempat, agunan itu milik sah orang yang

berhutang. Kelima, barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain.

Keenam, barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran

dalam beberapa tempat dan. Tujuh, barang jaminan itu boleh diserahkan

materi maupun manfaatnya.

4. Syarat al-marhun bihi (utang), pertama; merupakan hak yang wajib

dikembalikan kepada orang tempat berutang, kedua; utang boleh dilunasi

dengan agunan itu, ketiga; utang tersebut jelas dan tertentu.

Pemanfaatan Barang Jaminan

Pada hakekatnya barang gadai (marhun) tidak boleh diambil

manfaatnya baik oleh rahin atau murtahin kecuali mendapt izin dari masing-

masing pihak yang bersangkutan. Sebab hak rahin terhadap marhun setelah

akad ar-rahn, tidak lagi penuh atau hak milik sempurna yang memungkinkan ia

Page 7: PERTEMUAN VI Gadai

melakukan perbuatan hukum atas barang tersebut. Adapun hak murtahin atas

marhun terbatas hanya pada sifat kebendaan tersebut, yang memiliki nilai tidak

pada guna atau pemanfaatan hasilnya.

Namun ketentuan demikian itu bertentangan dengan prinsip Islam

dalam hak milik dimana hak milik pribadi itu tidak mutlak tetapi berfungsi

sosial, sebab harta benda itu pada hakekatnya milik Allah ( lihat S. al-Nur, ayat

33) yang merupakan amanah Allah bagi orang yang memilikinya.

Untuk merespon persoalan di atas, ada baiknya dan tidak ada salahnya

jika kita mencoba menggali pendapat-pendapat para ulama fiqh mengenai hal-

hal yang berkaitan dengan : Pemanfaatan barang gadai baik oleh Rahin

maupun murtahin serta biaya yang dikenai atas marhun jika ada. Apakah

tanggung jawab Rahin / murtahin ?

Jumhur ulama fiqh,10selain ulama Hanabilah, berpendapat bahawa

pemegang barang jaminan (murtahin) tidak boleh memanfaatkan barang

jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang

barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia

berikan, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya,

barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi

piutangnya.Alasan jumhur ulama ini sebagaimana sabda Rasulullah saw :

“Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena

hasil (dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang itu)

menjadi tanggung jawabnya”.

Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan murtahin memanfaatkan

barang jaminan itu atas izin rahin.11Ulama Malikiyah dan ulama

Syafi’iyah12berpendapat ; walaupun pemilik barang itu mengizinkannya,

murtahin tidak boleh memenfaatkan barang jaminan itu. Karena jika barang

jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang

dilarang syara’; sekalipun diizinkan dan diridhai rahin. Lebih lanjut menurut

mereka, ridha dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa,

10 Ibid, h. 27211 Ibid, h. 47812 Imam asy-Syafi’I, al-Umm, (Beirut : Dar al-Fikr, 1981) Jilid III, h:147

Page 8: PERTEMUAN VI Gadai

karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam itu.

Argumen ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Baihaqi

dan Ibn Hibban di atas.

Persoalannya kemudian, apa bila yang dijadikan barang jaminan itu

adalah binatang ternak. Bagaimanakah statusnya ? Menurut sebagian ulama

Hanafiyah, al-murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak itu apa bila

mendapat izin dari pemiliknya.13Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan sebagian

Hanafiyah berpendirian bahwa apa bila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus

oleh pemiliknya, maka al-murtahin boleh memanfaatkannya baik seizin

pemiliknya atau tidak karena membiarkan hewan terlantar, termasuk larangan

Rasulullah saw.

Selanjutnya, bagaimana halnya jika pemanfaatan barang gadai itu oleh

Rahin? dalam kasus ini, ulama fiqh juga berbeda pendapat. Ulama Hanafiyah

dan Hanabilah14 menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya

yang menjadi barang jaminan itu, jika diizinkan al-murtahin, mereka berprinsip

bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi tanggung jawab

orang yang memanfaatkannya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasul yang

diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah di atas.

Menurut ulama Syafi’iyah yang mangemukakan pendapat yang lebih

longgar dari pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena apa bila

pemilik barang itu ingin memanfaatkan al-marhun, tidak perlu ada izin dari

murtahin. Alasannya, karena barang itu adalah miliknya dan seorang pemilik

tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak miliknya. Akan tetapi,

pemanfaatan al-marhun tidak boleh merusak barang itu, baik kualitas maupun

kuantitasnya. Oleh sebab itu, apa bila terjadi kerusakan pada barang itu ketika

dimanfaatkan pemiliknya, maka pemilik bertanggung jawab untuk

itu.15Sebagaimana sabda Rasulullah saw :

13 Wahbah az-Zuhaili, al Fiqhal-Islam wa Adillatuh (Beirut : Dar al-Fikr, 1984) Jilid V, h:256

14 Ibnu Qudamah, op.cit, h. 39015 Nasrun Harun, op.cit, h. 259

Page 9: PERTEMUAN VI Gadai

“Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai

dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan

barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, pada

setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan

biayanya.” (HR Bukhari, Turmidzi dan Abu Dawud dari Abu

Hurairah).

Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah

berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun, baik

diizinkan oleh murtahin atau tidak. Karena barang itu berstatus sebagai

jaminan utang, tidak lagi menjadi hak milik secara penuh.16

Menurut Fathi ad-Duraini, kehati-hatian para ulama fiqh dalam

menetapkan hukum pemanfaatan al-marhun, baik oleh Rahin atau Murtahin

bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikatagorikan sebagai pemakan riba,

karena hakekat ar-rahn dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa

imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong.

Mengenai biaya penyimpanan/pemeliharaan barang gadai menurut

mayoritas ulama adalah menjadi tanggungan pemilik barang sebagai imbangan

(balance) terhadap haknya mengambil manfaat dari hasil barang gadaian.

Pendapat ini didasarkan kepada hadits Nabi riwayat al-Syafi’I, al-Atsar dan al-

Darulquthni dari Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far :

“Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib

memikul bebannya (beban pemeliharaannya).17

Lembaga Pegadaian Konvensional Dalam Persfektif Islam

Pegadaian merupakan suatu institusi perkreditan dengan sistem gadai.

Lembaga sejenis ini pada awalnya berkembanag di Italia yang kemudian

dipraktekkan di wilayah-wilayah Eropa lainnya, seperti Inggris dan Belanda.

Di Indonesia sistem ini dikembangkan oleh Belanda (VOC) yang mempunyai

tugas memberikan pinjaman uang kepada masyarakat dengan jaminan gadai.

16 Ibid.17 Sayyid Sabiq, op.cit, h. 189

Page 10: PERTEMUAN VI Gadai

Sejak itu bentuk usaha pegadaian telah mengalami beberapa kali perubahan

sejalan dengan perubahan-perubahan yang mengaturnya.

Pada awalnya pegadaian di Indonesia dilaksanakan oleh pihak swasta

kemudian oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui staatsblad tahun

1901 No.131 tanggal 12 Maret 1901 didirikan rumah gadai Pemerintah di

Sukabumi. Selanjutnya dengan staatsblad 1930 No.266 rumah gadai tersebut

mendapat status dinas pegadaian sebagai perusahaan negara dalam arti undang-

undang perusahaan Hindia Belanda (Lembaga Hindia Belanda 1927 No.419).18

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 180 Tahun 1965 perusahaan Negara

Pegadaian diintegrasikan ke dalam urusan Bank sentral. Dan kemudian keluar

PP No.7 tahun 1969 perusahaan Negara Pegadaian diubah statusnya menjadi

Perusahaan Jawatan Pegadaian.19

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mendefinisikan gadai dengan :

Pasal 1150 KUHP, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang

atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang

berhutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan

kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil dari barang tersebut

secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya.20

Menurut aturan dasar pegadaian, barang-barang yang dapat digadaikan

di Lembaga itu hanyalah barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata

hanyalah berbentuk barang-barang bergerak),tentunya dengan beberapa

pengecualian21 :

1. Barang milik negara, seperti ; sepeda motor dinas, mesin tik dan lain-lain.

2. Surat utang, surat aksi, surat efek serta surat-surat beharga lainnya.

3. Hewan yang hidup dan tanaman.

4. Segala makanan dan benda yang mudah rusak.

5. Benda-benda yang kotor.

18 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan (Lembaga Penerbitan FE UI, 1999) Edisi II, h. 449

19 Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) h. 11020 Subekti, op.cit, h. 29721 Mariam Darus, Bab-bab Tentang Credietverband Gadai dan Fiducia (Bandung :

Alumni, 1987), h.73

Page 11: PERTEMUAN VI Gadai

6. Benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari sutu tempat

ke tempat lain memerlukan izin.

7. Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat di simpan dalam gadaian.

8. Barang yang berbau busuk dan mudah merusak barang lain jika di simpan

bersama-sama.

9. Benda yang hanya beharga sementara atau yang harganya naik turun

dengan cepat sehingga sulit ditaksir oleh pejabat gadai.

10. Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau tidak dapat

memberikan keterangan tentang barang yang digadaikannya.

Dalam prakteknya barang-barang yang lazim diterima oleh jawatan

pegadaian adalah barang-barang seperti; emas, permata, jam, sepeda, kain

sutera atau barang-barang lain yang berharga. Peminjaman uang pada jawatan

pegadaian itu dikenakan bunga. Besarnya suku bunga selalu mengalami

perubahan dan disesuaikan dengan kondisi perekonomian. Di bandingkan

dengan Perbankan suku bunga pada jawatan pegadaian relatif lebih besar,

sebab perhitungan bunga pada jawatan pegadaian di hitung per 15 hari. Dengan

demikian apabila pembayaran dilakukan pada akhir hari ke-16, maka bunga

yang harus dibayarkan sudah dua kali lipat. Demikian seterusnya setiap 15

hari.

Berbeda dengan Bank, pegadaian sebagai Lembaga Keuangan tidak

diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari masyarakat. Perum ini

memiliki sumber dana sebagai berikut :

1. Modal sendiri.

2. Penyertaan modal pemerintah.

3. Pinjaman jangka pendek dari Bank.

4. Pinjaman jangka panjanag yang berasal dari KLBI.

5. Dari masyarakat melalui penerbitan obligasi.

Kegiatan penyaluran uang oleh pegadaian kepada masyarakat dilakukan

atas dasar hukum gadai. Besarnya jumlah uang pinjaman yang disalurkan

sangat dipengaruhi oleh golongan barang jaminan yang telah ditetapkan

berdasarkan ketentuan direksi Perum Pegadaian. Pinjaman yang diberi

Page 12: PERTEMUAN VI Gadai

digolongkan berdasarkan tingkat sewa modal dan jangka waktu pinjaman

menjadi lima ( 5 ) golongan sebagai mana dijelaskan tabel berikut :

GOL Pinjaman yang diberikan

Jangka Waktu

Sewa Modal per

15 hari

Maksimun sama modal

A

B

C

D

E

5.000 s/d 40.000

40.000 s/d 150.000

151.000 s/d 500.000

510.000 s/d 2.500.000

2.600.000 s/d 20.000.000

4 bulan

4 bulan

4 bulan

4 bulan

24 bulan

1,25 %

1.75 %

1.75 %

1.75%

27 flat/bln

10 %

14%

14%

14%

14 %

Persoalannya kemudian adalah bagaimanakah kedudukan akad yang

dilakukan Lembaga Pegadaian ini dalam persfektif Syari’ah Islam ?

Apa bila dibandingkan dengan ketentuan gadai yang ada dalam

Syari’ah Islam, sebagaimana uraian di atas, akad dengan jawatan pegadaian

(menggunakan sistem bunga) hal ini tidak sejalan dengan syari’at Islam, sebab

akad (selalu dalam bentuk meminjam uang) yang dilaksanakan sejajar dengan

qiradh yang melahirkan kemanfaatan, sedangkan qiradh yang melahirkan

kemanfaatan dipandang riba.

Namun demikian ada yang berpendapat, perjanjian gadai yang diadakan

pada jawatan pegadaian sama halnya dengan perjanjian pinajam meminjam

uang (kredit) dengan perbankan. Sedangkan mengenai hukum pinjam

meminjam uang para ahli hukum Islam berbeda pendapat.

Adapun pendapat-pendapat para ahli hukum Islam tentang hukum

bunga yang berlaku pada dunia perbankan dapat dikatagorikan kepada :

1. Sebahagian ahli berpendapat bahwa hukum bunga Bank adalah haram,

alasannya karena bunga Bank tersebut sama dengan riba.

2. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa hukum bunga Bank tersebut di

bolehkan, sebab menurut pandangan mereka dalam era perekonomian

dewasa ini seseorang tidak dapat dipisahkan dengan dunia perbankan.

Page 13: PERTEMUAN VI Gadai

Adapun yang menjadi argumen mereka ialah kondisi sekarang yang

dipandang sebagai kondisi darurat.

3. Pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank milik negara merupakan

masalah musytabihat, sedangkan bunga Bank milik swasta dipandang sama

dengan riba. Pendapat ini sesuai dengan keputusan Majelis Tarjih

Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoardjo.22

Maka jika jawatan pegadaian itu disamakan kedudukannya dengan

lembag Perbankan, maka status hukum bunga pada lembaga Pegadaian tersebut

sama seperti halnya status bunga lembaga Perbankan sebagaimana diuraikan di

atas. Di mana ada pendapat yang mengatakan bunga Bank sama demnga riba,

ada yang berpendapat dibolehkan dengan syarat situasi dan kondisi yang

darurat, dan karena Jawatan Pegadaian itu adalah lembaga milik pemerintah

serta sangat kecil kemungkinan untuk rugi maka bunga pada lembaga ini

dipandang sebagai sesuatu yang musytabihat. Pembahasan lebih detail

mengenai status bunga Bank dan Riba, akan dibahas pada materi selanjutnya

yang berbicara khusus mengenai hal tersebut.

Sebagai solusi atas Lembaga Pegadaian Kaonvensional yang identik

dengan bunga, maka perlu adanya suatu Lembaga sejenis yang menggunakan

sistem Islami. Lembaga ini sebenarnya tidak begitu asing di dunia modern ini

karena telah ada beberapa negara yang telah mendirikan Lembaga Pegadaian

Syari’ah, dengan akad rahn. Perbedaannya dengan Lembaga Pegadaian biasa,

dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga; yang dipungut dari nasabah adalah

biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta penaksiran.

Menurut Syafi’I Antonio,23perbedaan utama antara biaya rahn dan

bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlifat

ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan dimuka.

Berikut ini bisa dibedakan proses gadai dalam pegadaian konvensional

dan proses gadai dalam pegadaian syari’ah :

22 Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta : Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), h.

23 Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) h.130

Page 14: PERTEMUAN VI Gadai

PROSES GADAI DALAM JAWATAN PEGADAIAN KONVENSIONAL

RAHIN

Petugas Penaksir

Kasir

GADAI DALAM PEGADAIAN SYARI’AH

Marhum bihPembiayaan

MurtahinPegadaian

Rahin

Penetapan UangPinjaman : 89% - 89% XNilai Taksir

MarhunJaminan

Page 15: PERTEMUAN VI Gadai

Kesimpulan

Pada prinsipnya gadai dalam perfektif Islam ataupun Konvensional

merupakan barang jaminan yang bertujuan untuk memberikan keamana uang

milik si pemberi pinjaman. Barang gadai tersebut haruslah merupakan barang

yang mempunyai nilai ekonomis. Kekuasaan barang gadai berpindah dari

pemilik ke penerima gadai ketika terjadi akad.

Perbedaan rahn dengan gadai biasa, dalam tataran aplikasi adalah unsur

bunga yang dikenal denga istilah sewa modal pada sistem gadai konvensional

dan ditetapkan sejak awal terjadinya akad. Masalah bunga merupakan

persoalan yang tidak kunjung selesai dan selalu menjadi perdebatan antara ahli

fiqh Islam. Akan tetapi dewasa ini telah terjadi pergesaran yang sangat berarti

dengan berdirinya Lembaga-lembaga keuangan syari’ah seperti Perbankan

Syari’ah.

Selanjutnya, kita berharap akan lahir pula lembaga-lembaga keuangan

lainnya yang berbasis syari’ah sebagai salah satu motor perekonimian bangsa.

Demikianlah makalah ini disajikan, semoga bermanfaat adanya dan

merupakan konstribusi baru bagi khazanah keilmuan kita. Amiin…

Page 16: PERTEMUAN VI Gadai

REFFERENSI

Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ala Madzahib al Arba’ah, Beirut : Darul Qalam, Vol.II

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan Lembaga, Penerbitan FE UI, 1999, Edisi II

Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shagir bi Syarah ash-Shawi, Mesir : Dar al-Ma’arif, t.th, Jilid III.

Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Jakarta : Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999

Hasyiyah Asy Syarqawi, ‘Ala Tuhfatu Ath Thullab lil Anshori, .t.th, Vol.II

Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar’ala ad-Durr al-Mukhtar, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., Jilid V

Page 17: PERTEMUAN VI Gadai

Ibnu Qudamah, al-Mugni, Riyadh : Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, t.th, Jilid IV

Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut : Dar al-Fikr, 1978, Jilid II

Imam asy-Syafi’I, al-Umm, Beirut : Dar al-Fikr, 1981, Jilid III

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1991

Nasrun Harun, Fiqh Muamalah,Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut : Darul Kitab al-Arabi, 1987, Vol.III

Subekti dan Tjitro Sudibio, Kitab UU Hukum Perdata, 1996, Jakarta : Pradya Paramita

Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000

Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani Press, 2001

Wahbah az-Zuhaili, al Fiqhal-Islam wa Adillatuh, Beirut : Dar al-Fikr, 1984 Jilid V