makalah otonomi daerah lengkap

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia membuat suatu kebijakan untuk daerah. Yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri, dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Kebijakan ini dikenal dengan Otonomi Daerah. Terbentuknya Otonomi Daerah memiliki sejarah yang sangat panjang mulai dari jaman kolonial sampai dengan sekarang. Dimulai dari jaman kolonial yang memberi peluang untuk daerah dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Pada jaman penjajahan Jepang semua daerah otonom disebukan memiliki sifat bersifat misleading. Kemudian pada saat kemerdekaan dan pasca kemerdekaan banyak sekali dikeluarkan undang-undang untuk mengatur Otonomi Daerah. Pada era ini Indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis, terutama pemerintah yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah pusat yang memiliki urusan yang terlau banya sehingga tidak satupun yang terselesaikan dengan baik, pusat mengurusa sampai pada urusan yang bersifat tekhnis yang ada di daerah. Pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis dan terfokus. Dengan hal tersebut tujuan dapat tercapai. Hal yang sama sepertinya mulai terulang lembali, kalau kita memperhatikan pengelolaan pemerintahan yang ada saat ini ada usaha untuk sentarlisasi kembali meskipun dengan cara yang berbeda sentarlisasi yang berbeda pada orde baru, menurut wawan mas’udi sentralisasi yang ada pada saat ini berada pada sofwer, mencontohkan pada penganggaran. Disadari atau tidak bahwa watak dasar pemerintah di indonesia adalah sentralistik, sehingga upaya pengelolaan pemerintahan yang sentralistik bisa saja terjadi, meskipun pada konsep otonomi daerah. 1.2 Tujuan 1. Mengenal apa itu Otonomi Daerah.

Upload: septian-muna-barakati

Post on 04-Jul-2015

270 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia

membuat suatu kebijakan untuk daerah. Yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II

diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangganya

sendiri, dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Kebijakan ini dikenal dengan

Otonomi Daerah. Terbentuknya Otonomi Daerah memiliki sejarah yang sangat

panjang mulai dari jaman kolonial sampai dengan sekarang. Dimulai dari jaman

kolonial yang memberi peluang untuk daerah dibentuknya satuan pemerintahan

yang mempunyai keuangan sendiri. Pada jaman penjajahan Jepang semua daerah

otonom disebukan memiliki sifat bersifat misleading. Kemudian pada saat

kemerdekaan dan pasca kemerdekaan banyak sekali dikeluarkan undang-undang

untuk mengatur Otonomi Daerah.

Pada era ini Indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis, terutama

pemerintah yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah pusat yang

memiliki urusan yang terlau banya sehingga tidak satupun yang terselesaikan

dengan baik, pusat mengurusa sampai pada urusan yang bersifat tekhnis yang ada di

daerah. Pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis dan terfokus. Dengan hal

tersebut tujuan dapat tercapai.

Hal yang sama sepertinya mulai terulang lembali, kalau kita memperhatikan

pengelolaan pemerintahan yang ada saat ini ada usaha untuk sentarlisasi kembali

meskipun dengan cara yang berbeda sentarlisasi yang berbeda pada orde baru,

menurut wawan mas’udi sentralisasi yang ada pada saat ini berada pada sofwer,

mencontohkan pada penganggaran. Disadari atau tidak bahwa watak dasar

pemerintah di indonesia adalah sentralistik, sehingga upaya pengelolaan

pemerintahan yang sentralistik bisa saja terjadi, meskipun pada konsep otonomi

daerah.

1.2 Tujuan

1. Mengenal apa itu Otonomi Daerah.

2. Mengetahui Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah yang ada di Indonesia

3. Pelaksanaan Otonomi di Indonesia saat ini.

BAB II

PEMBAHSAN

2.1 Otonomi Daerah

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk

meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam

rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan yang dimaksud dengan

kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah

yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat.Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum,

juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan

cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung

jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber

potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

2.2 Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

A. Warisan Kolonial

Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang

memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan

sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.

181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-

undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap,

stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort.

Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat

setempat (zelfbestuurende landschappen).

Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan

sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan

demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan

dengan dua administrasi pemerintahan.

B. Masa Pendudukan Jepang

Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai

Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil

menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina,

serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar

tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup

fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-

wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan

undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki

kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa

tersebut bersifat misleading.

C. Masa Kemerdekaan

1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi,

mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan

daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas

dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:

1) Provinsi

2) Kabupaten/kota besar

3) Desa/kota kecil.

UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja.

Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki

penjelasan.

2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948

Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU

Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948.

Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat

yakni:

a) Propinsi

b) Kabupaten/kota besar

c) Desa/kota kecil

d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah

swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil y ang berhak mengurus

rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:

1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya

2) Daerah swatantra tingkat II

3) Daerah swatantra tingkat III.

UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-

luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959

Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959

menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan

memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur

rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah

tingkat III.

Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini,

bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan

pamong praja.

5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:

1) Provinsi (tingkat I)

2) Kabupaten (tingkat II)

3) Kecamatan (tingkat III)

Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan

kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi

antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan

menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat.

Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin

pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan

dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar

pengadilan.

6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah

tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah,

yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut

tingkatannya menjadi:

1) Provinsi/ibu kota negara

2) Kabupaten/kotamadya

3) Kecamatan

Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II

berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi

aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan

bertanggung jawab.

7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih

mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun

1999 adalah sebagai berikut:

1) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian

kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.

2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi

adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas

desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.

3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.

4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.

Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan

masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan

dan kesejahteraan bagi masyarakat.

8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang

pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan

berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan

tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki

antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan

asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak

melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya,

demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan

kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan

diperjelas.

2.3 Otonomi Daerah Sebelum Reformasi.

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah telah mengambil

langkah-langkah penting dalam rangka perujudan cita desentralisasi. Langkah-

langkah penting yang diambil pemerintah itu terlihat dari lahirnya berbagai

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yang

masing masing dengan sistemnya sendiri.

Undang-Undang No. 1/1945 merupakan undang-undang pertama yang mengatur

mengenai pemerintahan daerah. Dalam UU ini antara lain ditetapkan :

(a) Komite Nasional Daerah diadakan, kecuali di Daerah Surakarta dan Yogyakarta,

di Kresidenan, di Kota berotonomi, Kabupaten dan lainlain Daerah yang dianggap

perlu oleh Menteri Dalam Negeri ( Pasal 1).

(b) Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersamasama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan

mengatur rumah tangga Daerahnya, asal tidak bertentangan dengan peraturan

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya (Pasal 2)

(c) Oleh Komite Nasional dipilih beberapa orang, sebanyakbanyaknya 5 orang

sebagai Badan Executive, yang bersamasama dengan dan pimpinan oleh Kepala

Daerah menjalankan pemerintahan seharihari dalam Daerah itu (Pasal 3).

Berdasarkan UU No. 1/1945 inilah Komite Nasional Daerah berubah atau menjelma

menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan diketuai oleh Kepala Daerah, serta

mempunyai tugas mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya dengan syarat

tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah Pusat dan peraturan

Pemerintah Daerah yang lebih tinggi kedudukannya.Meskipun Badan Perwakilan

Rakyat Daerah diketuai Kepala Daerah, tetapi Kepala Daerah bukanlah merupakan

anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah, dan karenanya tidak mempunyai hak

suara.

Dalam prakteknya pelaksanaan UU No. 1/1945 menimbulkan berbagai persoalan,

karena UU ini tidak diberi Penjelasan. Sehingga terjadi kesimpang siuran dalam

menafsirkan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU tersebut. Akhirnya

kementerian dalam negeri memberikan penjelasan tertulis terhadap UU No.

1/1945.Penjelasan tertulis Kementerian Dalam Negeri itu memuat keterangan-

keterangan mengenai tujuan diadakannya UU No. 1/1945. Tujuan yang pertama bagi

diadakannya UU ini adalah untuk menarik kekuasaan pemerintahan dari tangan

Komite Nasional Daerah (KND) dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai

berikut:

(a) Semua KND dibentuk sebagai pembantu pemerintah daerah dimasa

kekuasaan sipil, pangrehpraja dan polisi dan alat-alat pemerintahan lainnya masih

ditangan Jepang.

(b) Setelah kekuasaan sipil dapat direbut dari tangan Jepang, KND dalam

prakteknya mengganti Pangrehpraja dan polisi di samping Pangrehpraja dan polisi

sebenarnya yang menjadi pegawai Republik Indonesia.

(c) Dualisme yang demikian itu sangat melemahkan kedudukan dan kekuasaan

Pangrehpraja dan polisi sebagai alat-alat pemerintahan yang resmi. (The Liang Gie)

Selanjutnya disebutkan bahwa sebagai badan legislatif Badan Perwakilan Rakyat

Daerah, wewenangnya adalah :

(a) Kemerdekaan untuk mengadakan peraturanperaturan untuk kepentingan

daerahnya (otonomi);

(b) Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk menjalankan

peraturanperaturan yang ditetapkan oleh Pemerintah itu (medebewind dan

selfgovernment = sertantra dan pemerintahan sendiri);

(c) Membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh

undangundang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu harus disyahkan lebih

dahulu oleh pemerintah atasan (wewenang antara otonomi dan selfgovernment).

Pada masa berlakunya UU No.1/1945, otonomi yang diberikan kepada Daerah

adalah otonomi Indonesia yang lebih luas dibandingkan pada masa Hindia Belanda.

Pembatasan terhadap otonomi itu hanyalah agar tidak bertentangan dengan

peraturan Pusat dan Daerah yang lebih tinggi.(CST Kansil;1979;37}

Sedangkan alat kelengkapan (organ) Pemerintahan Daerah ada tiga (meskipun tidak

dinyatakan secara tegas), yakni :

(1) KNID sebagai DPRD Sementara yang bersamasama dan dipimpin Kepala

Daerah menjalankan fungsi legislatif.

(2) Badan (terdiri dari sebanyakbanyaknya 5 orang) yang dipilih dari dan oleh

anggota KNID sebagai "Badan Eksekutif" bersamasama dan dipim-pin oleh Kepala

Daerah menjalankan pemerintahan seharihari (dibidang otonomi dan tugas

pembantuan).

(3) Kepala Daerah yang diangkat oleh Pemerintah Pusat menjalankan urusan

pemerintahan Pusat di daerah, kecuali urusan-urusan yang dijalankan oleh

kantorkantor Departemen di daerah.

Berdasarkan hubungan kelembagaan dari alat perlengkapan Pemerintahan Daerah

dalam UU No. 1/1945 itu, maka nyatalah adanya dualisme kekuasaan eksekutif yang

menimbulkan persoalan-persoalan dalam lapangan pemerintahan di daerah.

Keadaan ini pula yang menjadi salah satu dasar untuk memperbaharui UU No.

1/1945, yakni dengan diundangkannya UU No. 22/1948. Penjelasan Umum UU. No.

22/1948 menyebutkan:

"Pemerintahan daerah pada sekarang ini masih merupakan dualistis, yang kuat,

oleh karena di samping Pemerintahan Daerah yang berdasarkan perwakilan

rakyat (Dewan Perwakilan Daerah dan Badan Eksekutifnya, yang termasuk juga

Kepala Daerahnya), terdapat juga pemerintahan yang dijalankan oleh

Kepalakepala Daerah sendiri, dan pemerintahan ini mengambil bagian yang

terbesar di daerah. Maka Pemerintahan daerah yang serupa itulah yang

merupakan pemerintahan dualistis, dan kuat, sehingga tidak sesuai lagi dengan

pemerintahan yang berdasarkan demokrasi, sebagai tujuan revolusi kita. Dengan

undangundang baru inilah pemerintahan dualistis akan dihindarkan."

Memperhatikan UU No. 22/1948 secara keseluruhan, maka UU ini bermaksud

hendak memberi isi pada Pasal 18 UUD 1945 dan meletakkan dasar:

a) Untuk menyusun pemerintahan Daerah dengan hak otonomi yang rasional

sebagai jalan untuk mempercepat kemajuan rakyat di daerah;

b) Untuk mengadakan tiga tingkatan Daerah dengan tugas dan kewenangan yang

pada pokoknya diatur dalam suatu undangundang;

c) Untuk memodernisir dan mendinamisir pemerintahan desa dengan menetapkan

desa sebagai Daerah Tingkat III;

d) Untuk menghilangkan pemerintahan di daerah yang dualistis, dengan

menetapkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah

sebagai instansi pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan Kepala Daerah diberi

kedudukan sebagai Ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah, dan tidak lagi

menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);

e) Untuk memungkinkan Daerah-daerah yang mempunyai hakhak asalusul di

zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri, dibentuk

sebagai Daerah Istimewa. (Wajong;1975;37)

Selanjutnya UU No. 22/1948 bermaksud menghapus Pamong Praja dan memberikan

otonomi sebanyak-banyaknya (UU ini belum mempergunakan istilah otonomi

"seluas-luasnya") kepada Daerah (lihat Penjelasan angka III, UU No. 22/1 948).

Istilah sebanyak-banyaknya mengandung arti beraneka ragam urusan pemerintahan

sedapat mungkin akan diserahkan kepada daerah. Otonomi Daerah akan mencakup

berbagai urusan pemerintahan yang luas. Sehingga, pengertian otonomi "sebanyak-

banyaknya" pada dasarnya sama dengan "otonomi seluas-luasnya". Dalam hubungan

ini UU No. 22/1948 meletakkan titik berat otonomi pada Desa dan daerah lain

setingkat Desa, dengan dasar pemikiran Pasal 33 UUD 1945.

Segi lain yang membedakan pengaturan pemerintahan daerah antara UU No. 1/ 1945

dengan UU No. 22/1948 adalah dalam hal bentuk Pemerintahan di Daerah. UU No.

1/1945 membedakan dua macam bentuk pemerintahan tingkat daerah, yakni satuan

Pemerintahan Daerah Otonom dan satuan Pemerintahan Administratif. Sedangkan

UU No. 22/ 1948 hanya mengenal satu macam bentuk satuan pemerintahan tingkat

daerah, yakni satuan Pemerintahan Daerah Otonom. Dengan kata lain sistem

pemerintahan yang diatur UU No. 22/1948 hanya sistem pemerintahan berdasarkan

asas desentralisasi dan medebewind. Penjelasan Umum UU No. 22/1948

menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah terdiri :

a. Pemerintahan Deerah yang disandarkan pada hak otonom, dan;

b. Pemerintahan Daerah yang disandarkan pada hak medebewind.

Akan tetapi ide yang terkandung dalam UU No. 22/1948 tidak berjalan sebagaimana

yang diharapkan atau tidak terwujud sepenuhnya dalam prakteknya karena pada

saat berlakunya UU ini, tentara Belanda kembali melanjutkan aksi militernya ke-II.

Pada akhirnya dengan tercapainya persetujuan Konperensi Meja Bundar 27

Desember 1948, Republik Indonesia hanya berstatus Negara Bagian yang wilayahnya

hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera (minus Sumatera Timur) dan Kalimantan,

yang karena itu pula UU No. 22/1948 tidak dapat diberlakukan sepenuhnya di

seluruh nusantara. Meskipun demikian, dalam UU No. 22/1948 setidaknya terdapat

beberapa hal-hal pokok sebagai berikut:

a. Cita "ketunggalan" yaitu untuk semua jenis dan tingkatan daerah diperlakukan

satu UU pemerintahan daerah yang sama. Ini akan memupuk rasa kesatuan antara

daerah-daerah otonom di seluruh Indonesia. Bagi Pemerintah Pusat sendiri juga

memudahkan dalam menjalankan tindakan-tindakan yang seragam Pada masa

Hindia Belanda dan pendudukkan Jepang terdapat pluralisme dalam perundang-

undangan desentralisasi.

b. Cita "persamaan" antara cara pemerintahan di Jawa/Madura dengan luar pulau

tersebut. Ini akan menghilangkan rasa iri hati karena seolah-olah dianak tirikan yang

terdapat pada wilayah di luar Jawa/Madura.

c. Penghapusan dualisme dalam Pemerintahan Daerah, yaitu UU No. 22/1948

dicita-citakan agar Daerah tidak akan berlangsung terus pemerintahan yang

dijalankan oleh pamong praja.

d. Cita desentralisasi yang merata di seluruh wilayah negara Republik Indonesia

akan terdiri atas Daerah-daerah otonom diluar itu tidak ada wilayah yang

mempunyai kedudukkan lain.

e. Pemberian otonomi dan medebewind yang luas, sehingga rakyat akan

dibangunkan inisiatifnya untuk memajukan Daerahnya.

f. Pemerintahan Daerah yang demokratis, yaitu susunan aparatur Daerah yang

dipilih oleh dan dari rakyat. Ini akan mendidik rakyat kearah kemampuan

memerintah diri sendiri serta penghargaan terhadap kebebasan dan tanggung jawab.

g. Pemerintahan kolegial. Soalsoal pemerintahan tidak akan lagi diputuskan oleh

seorang tunggal, melainkan oleh sekelompok orang atas dasar permusyawaratan

yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.

h. Cita mendekatkan rakyat dan Daerah tingkat terbawah dengan pemerintah

Pusat. Kalau pada masa lampau tata jenjang kepamongprajaan dari lapisan terbawah

sampai teratas melalaui tidak kurang dari lima tingkat (desa, kecamatan,

kewedanaan, dan seterusnya), maka susunan Pemerintahan Daerah yang baru hanya

mengenal 3 tingkatan Daerah. Ini memudahkan pembinaan dan pembimbingan

Daerah tingkat terbawah oleh Pemerintah Pusat.

i. Cita pendinamisan kehidupan desa dan wilayahwilayah lainnya yang sejenis

dengan ini. Untuk memajukan negara dan memakmurkan rakyat Indonesia, desa

harus dijadikan sendi yang kokoh dan senantiasa bergerak maju. Pada masa lampau

desa dan wilayahwilayah lainnya yang sejenis ditaruh di luar lingkungan

pemerintahan modern dan dibiarkan hidup dalam alamnya sendiri yang statis.

j. Cita pendemokrasian pemerintahan zelfbesturende landschappen. Kerajaan-

kerajaan warisan masa lampau dengan sifatnya yang otokratis dan feodal dijadikan

bagian dari wilayah RI yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga

daerahnya sesuai dengan asasasas yang dianut oleh negara.

Pada tanggal 17 Agustus 1950 terjadi perubahan ketatanegaraan, dimana Republik

Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah Undang-

Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 131

UUDS 1950, maka bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara

Kesatuan yang didesentralisasikan. Dengan adanya perubahan ketatanegaraan itu,

maka UU No. 22/1948 tidak berlaku lagi, dan digantikan UU No. 1/1957.UU No.

1/1957 hanya mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah yang

didasarkan pada asas desentralsiasi. Pengaturan demikian sesuai dengan Pasal 131

dan Pasal 132 UUDS 1950 yang hanya mengenal satu jenis pemerintahan di daerah,

yakni Daerah Otonom. Di samping itu sistem otonomi yang dianut adalah otonomi

riil. Sistem otonomi yang didasarkan pada faktor-faktor, bakat, kesanggupan dan

kemampuan yang riil dari Daerah-daerah maupun Pusat, serta bertalian dengan

pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi (Pasal 131 ayat (3) UUDS 1950).

Untuk melaksanakan sistem ini, dalam undang-undang pembentukan Daerah

ditetapkan urusan tertentu yang segera dapat diatur dan diurus oleh Daerah sejak

pembentukan Daerah tersebut. Di samping itu masih terdapat pengertian ajaran

rumah tangga yang formal dengan metode pekerjaan Daerah yang hirarkhis.

Dalam Pasal 5 UU No. 1/1957 dengan tegas disebutkan bahwa Pemerintah Daerah

terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahan Daerah.

Susunan ini serupa dengan UU No. 22/1948, karena bertujuan sama yaitu

mewujudkan Pemerintahan Daerah yang kolegial dan demokratis. Berbeda dengan

keadaan sebelumnya (UU No. 1/1945) bahwa Pemerintah Daerah itu terdiri dari

DPRD (dalam hal ini Komite Nasional Daerah), Dewan Pemerintahan Daerah dan

Kepala Daerah. Susunan Pemerintahan Daerah model UU No. 1/1945 menimbulkan

Pemerintahan Daerah yang dualistik.(Laporan penelitian; FH Unpad;51) Hal ini

yang ingin dihilangkan UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957.Meskipun Kepala

Daerah berdasarkan UU No. 1/1957 hanya semata-mata sebagai Kepala Daerah,

tetapi tidak berarti dualisme pemerintahan tidak ada. Jika dalam UU No. 1/1945 dan

UU No. 22/1948 dualisme itu ada pada satu jabatan (dalam diri satu orang) yaitu

Kepala Daerah, maka dalam UU No. 1/1957 dualisme pemerintahan itu ada pada dua

orang yang berbeda. Bidang pemerintahan umum ada ditangan Pamong Praja,

sedangkan bidang otonomi dan tugas pembantuan (medebewind) ditangan

Pemerintah Daerah (lihat Penjelasan Umum Penpres No. 6/1959).

Setelah kembali ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, peraturan

perundang-undangan disesuaikan dengan jiwa dan semangat UUD 1945, termasuk

ke dalamnya penyesuaian peraturan perundang-undangan mengenai Pemerintahan

Daerah. Dalam hubungan inilah ditetapkan Penpres No. 6/1959 sebagai

penyempurnaan atas UU No. 1/1957. Berbagai gagasan dasar dalam UU No. 1/1957

tetap dipertahankan seperti prinsip pemberian otonomi seluas-luasnya kepada

Daerah, termasuk mengenai susunan Daerah Otonom. Perubahan yang mendasar

adalah:

1) Trend memperkokoh unsur desentralisasi yang digariskan sejak tahun 1948

berganti kearah yang lebih menekankan pada unsur sentralisasi. Misalnya,

pengangkatan Kepala Daerah lebih ditentukan oleh kehendak pusat dari pada

Daerah. Presiden diberi wewenang mengangkat Kepala Daerah diluar calon yang

diajukan oleh Daerah.

2) Kepala Daerah tidak lagi semata-mata sebagai alat Pusat yang mengawasi

Pemerintahan Daerah. Bahkan secara beransur-ansur Kepala Daerah lebih tampak

sebagai Wakil Daerah dari pada sebagai pimpinan Daerah.

3) Dihapuskannya dualisme Pememerintahan di Daerah yang memang terasa

mengganggu kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah.(Bagir Manan;

perjalanan historis;32)

Penpres No. 6/1959 dimaksudkan untuk menyempurnakan penyelenggaraan

pemerintahan di Daerah agar sesuai dengan isi dan jiwa UUD 1945, tetapi

penggerogokan terhadap prinsip-prinsip otonomi, yakni dengan dikeluarkannya

Penpres No. 5/1960. Dimana DPRD hasil pemilihan umum dibubarkan, dan

dibentuk DPRD-GR yang seluruh anggotanya diangkat. Kepala Daerah menurut

Penpres ini adalah Ketua DPRD.Walaupun Penpres No. 6/1959 dimaksudkan untuk

menyempurnakan UU No. 1/ 1957, namun pengaturan Pemerintahan Daerah dengan

Penpres itu sendiri sesungguhnya juga tidak sejalan dengan UUD 1945. Pasal 18

UUD 1945 menghendaki pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah ditetapkan

dengan UndangUndang, dan bukan dengan Penpres. Dalam hubungan inilah

kemudian ditetapkan UU No. 18/1965 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku

untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.Satu hal penting dari kelahiran

UU No. 18/1965 ialah bahwa secara keseluruhan UU ini meneruskan "politik

otonomi" yang telah diatur dalam Penpres No. 6/1959 dan Penpres No. 5/1960,

kecuali mengenai hubungan Kepala Daerah dengan DPRD.

Perubahan yang fundamental dari UU No. 18/1965, jika dibandingkan dengan UU

terdahulu mengenai organ Pemerintah Daerah, yaitu :

a) tidak dirangkapnya lagi jabatan Ketua DPRGR Daerah oleh Kepala Daerah.

b) dilepaskannya larangan keanggotaan pada sesuatu partai potik bagi Kepala

Daerah dan anggota BPH.

c) tidak lagi Kepala Daerah didudukan secara konstitutif sebagai sesepuh daerah.

Selanjutnya UU No. 18/1965 hanya mengatur mengenai pemerintahan daerah

berdasarkan asas desentralisasi. Istilah Propinsi, Kabupaten dan Kecamatan dan

sebagaimana halnya dengan istilah Kotaraya, Kotamadya, dan Kotapraja merupakan

istilah teknis, yang dipergunakan untuk menyebut jenis daerah yang berhak

mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Dengan kata lain istilah Propinsi dan

sebagainya itu bukan nama Daerah Administratif.

Penetapan UU No. 18/1965 yang diharapkan dapat membawa perubahan

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah untuk mencapai tertib pemerintahan Daerah

di Indonesia berdasarkan UUD 1945, dalam prakteknya juga tidak berjalan

sebagaimana mestinya. Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya

sebagaimana dianut UU No. 18/ 1965 dipandang dapat membahayakan keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini tercemin dari TAP MPRS No.XXI/

MPRS/1966 yang antaranya menghendaki peninjauan kembali UU No. 18/1965.

Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya bukan hanya tidak dilaksanakan,

tetapi dipandang dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang

membahayakan keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi dengan tujuan

pemberian otonomi yang digariskan GBHN.

Dengan demikian, kelahiran UU No. 5/1974 setidak-tidaknya dilatar belakangi oleh

hal yang diutarakan di atas, terutama berkaitan dengan prinsip pemberian otonomi

yang seluas-luasnya kepada Daerah. Sehingga UU No. 5/1974 menganut prinsip

pemberian otonomi kepada Daerah bukan lagi berupa "otonomi yang seluas-

luasnya", melain "otonomi yang nyata dan bertanggung jawab".Satu sisi yang amat

penting dari UU No. 5/1974 adalah bawah UU ini tidak semata-mata mengatur

pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi (otonomi dan tugas

pembantuan), tetapi juga dekonsentrasi.Ditinjau dari sudut pola hubungan antara

Pusat dan Daerah, UU No. 5/1974 berada dalam garis yang sama dengan pola yang

dirintis dan dilaksanakan sejak tahun 1969. Unsur-unsur sentralisasi lebih menonjol

dari unsur desentralisasi. Di samping itu dalam rangka pemberian otonomi kepada

Daerah, UU No. 5/1974 meletakkan titik berat Otonomi Daerah pada Daerah

Kabupaten/Kotamadya.Dari pengaturan mengenai Pemerintahan Daerah dalam

berbagai undang-undang sebagaimana telah diutarakan maka dapat dikemukakan

bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah memperlihatkan perbedaan-

perbedaan baik sistem otonominya maupun corak pemerintahannya. Meskipun

undang-undang tersebut bersumber pada satu dasar penyusunanan yang sama yakni

Pasal 18 UUD 1945 (kecuali UU No. 1/1957).

UU No.5 Tahun 1974 yang berlaku selama puluhan tahun (1974-1999) boleh disebut

sebagai undang-undang pemerintahan daerah yang paling lama berlakunya

dibanding undang-undang yang pernah ada sebelumnya. Keberadaan UU No 5

Tahun 1974 itu yang begitu lama berlaku tentu saja sangat berpengaruh bagi

keberadaan daerah otonom di Indonesia, meskipun dalam perjalanannya kemudian

digugat sebagai pengaturan bagi daerah otonom, namun nuansa sentralisasi lebih

kuat atau sangat dominan dibanding nuasa desentralisasinya. Keberadaan undang-

undang No 5 Tahun 1974 belakangan dipahami oleh banyak kalangan sebagai

undang-undang yang erat kaitannya dengan pemerintahan Orde baru yang

sentralistik dan otoriter. Tetapi apa pun itu, suatu hal yang tidak bisa dipungkiri,

bahwa UU No 5 Tahun 1974 telah memberikan warna dan pengaruh yang kuat

terhadap karakteristik pemerintahan daerah dan penyelengaraannya, termasuk

terhadap para penyelenggaranya. Salah satu dampak yang sampai saat ini masih bisa

dilihat adalah lemahnya inisiatif daerah (pemerintah daerah) dalam mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri sebagai inti dari otonomi daerah.

2.4 Otonomi Daerah Pasca Reformasi.

Bergulirnya era reformasi di tahun 1998, dimana soal otonomi daerah menjadi salah

satu tuntutan pokok dari reformasi. Alhasil dari tuntutan reformasi itu lahirlah UU

No.22 Tahun 1999 dan sekaligus mengakhiri orde otonomi daerah model UU No.5

Tahun 1974 yang sangat sentralistik .Perubahan akan otonomi daerah terlihat jelas

dari petimbangan UU No.22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa UU Nomor 5

Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah tidak sesuai lagi dengan

prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga

perlu diganti. Mengenai ketidak sesuaian dari UU No.5 Tahun 1974 itu dengan

prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah diuraikan atau tergambar secara

panjang lebar dalam penjelasan UU No.22/1999.Apabila dicermati UU No.22/1999

terdapat banyak perbedaan yang sangat prinsip serta sekaligus sebagai perbedaan

yang fundamental dibanding dengan UU No.5/1975. Hal ini antara lain;

Pertama, dipisahkannya dengan tegas antara Kepala Daerah dengan DPRD.

Artinya, bila dalam UU No.5/1974 keberadaan DPRD tercakup dalam lingkup

pengertian “Pemerintah Daerah”, dalam UU No 22/1999 ditegaskan bahwa

Pemerintah Daerah itu hanya Kepala Daerah dengan perangkar daerah lainnya dan

disebut dengan eksekutif daerah. Dalam konteks “Pemerintah Daerah”, dirumuskan

terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, sedangkan sebelumnya antara Kepala Daerah

dan DPRD berada dalam lingkup “Pemerintah Daerah”, sehingga ada kerancuan

DPRD ditempatkan sebagai bagian dari eksekutif daerah.

Kedua, ditempatkannya Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan

Daerah Kota. Artinya tidak ada lagi daerah administrative atau yang sebelumnnya

disebut dengan pemerintahan wilayah pada tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana

adanya pada UU No.5/174.

Ketiga, dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan

sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat

yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan

Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Keempat, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak

mempunyai hubungan hierarki.

Kelima, berdasarkan UU No.22/1999 pemberian kewenangan otonomi kepada

Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja

dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Artinya

penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas dekonsentrasi hanya

padatingkat Propinsi.

Keenam, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD dan DPRD dapat

memberhentikan Kepala Daerah apabila DPRD menolak pertantanggungjawaban

Kepala Daerah.

Ketujuh, adanya pembagian kewenangan yang tegas antara Propinsi dengan

Kabupaten Kota.

Kedelapan, Kepala Daerah baik gubernur maupun bupati/walikota dipilih oleh

DPRD, sedangkan sebelumnya Kepala Daerah diangkat oleh Presiden atas usul

DPRD.

Beberapa hal yang dikemukakan di atas hanya sebagian saja dari perbedaan yang

fundamental penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai implementasi dari

dianutnya asas desentralisasi di Indonesia dibanding era sebelum reformasi. Ada

banyak hal perubahan yang fundamental dalam penyelenggaraan otonomi daerah

dari UU No.5/1974 ke UU No.22/1999, termasuk ke dalam hal ini diperkenalkannya

otonomi khusus oleh UU No.22/1999. Sementara di bawah UU No.5/1974 hanya

dikenal Daerah khusus yang secara subtansial memiliki perbedaan mendasar dengan

otonomi khusus.Singkat kata, dengan diundangkannya UU No.22/1999 sebagai

pengganti UU No.5 Tahun 1974 harus diakui telah memberikan “gairah” dan darah

baru bagi penyelenggaraan otonomi daerah.eforia otonomi daerah dengan segala

dinamikanya terlihat jelas di daerah-daerah. Meskipun kemudian, gairah otonomi

daerah yang meningkat luar biasa itu melahirkan berbagai masalah yang tidak

diduga sebelumnnya dan kemudian mendorong tumbuhnya pemikiran serta gagasan

untuk merevisi UU No.22/1999.

Gagasan untuk merevisi UU No.22/1999 itu pun kemudian direalisasikan yakni

dengan diundangkannya UU No.32 /2004. Revisi atas UU 22/1999 yang hanya baru

beberapa tahun itu sekaligus menunjukkan soal otonomi daerah bergantung pada

“selera” politik dan kekuasaan. Meskipun dalam penjelasan UU No 32/2004

diangkat beberapa alasan untuk melakukan perubahan UU No 22/1999 berupa Tap

MPR dan perubahan UUD 1945 tetapi secara subtansial revisi atas UU No 22/1999

lebih cenderung dilatar belakang politis melihat apa yang berkembang pada

penyelenggaraan otonomi daerah dibawah UU No 22/1999. Hal ini dengan mudah

bisa ditunjukkan, yakni dengan memperhatikan rumusan otonomi daerah dari

kedua UU tersebut. Dalam UU No.22 /1999 otonomi daerah diartikan sebagai;

“Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan”.

Rumusan terhadap otonomi daerah yang dalam UU No 22/1999 diawali dengan

frase “otonomi daerah adalah kewenangan daerah…. “, tetapi tidak demikian

halnya dengan otonomi daerah dalam UU No.32/2004 yang menyebutkan;

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Dari perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah antara UU No 22/1999 dan UU

No.32/2004 itu mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada sejumlah UU yang

mengatur tentang pemerintahan daerah sebelum reformasi yang senantiasa

memberikan rumusan terhadap otonomi daerah yang berbeda-beda antara satu

undang-undang dengan undang yang lainnya. Pengertian otonomi daerah dalam UU

No 32 Tahun 2004 sepertinya mengadopsi kembali rumusan otonomi daerah dalam

UU No 5 Tahun 1974. Dalam hubungan ini UU No 5 Tahun 1974 menyebutkan;

“Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur

dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku”

Dengan adanya perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah pada UU No 32

Tahun 2004 tersebut dan sepertinya nyaris mengadopsi kembali rumusan otonomi

daerah dalam UU No 5 Tahun 1974 lagi-lagi memperlihatkan betapa soal otonomi

daerah selalu terseret arus politik dan kekuasaan. Hal ini sekaligus memperlihatkan

adanya gerakkan menjauh dari makna pemberian otonomi kepada daerah yang

utamanya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat daerah, tetapi otonomi daerh

lebih cenderung dibangun dibawah kepentingan politik dan kekuasaan.

Pada tahun-tahun mendatang, soal otonomi daerah belum akan berakhir dan masih

akan dihadapkan pada situasi seperti yang terjadi selama ini. Bahkan beberapa

waktu belakangan kembali bergulir ide dan gagasan untuk mengganti atau merevisi

(merubah) UU No 32 Tahun 2004. Dampaknya jelas, pemerinatahan yang kuat dan

stabil seperti masih merupakan sesuatu yang jauh dari harapan. Dalam konteks ini,

adalah suatu yang mustahil mengharapakan adanya pemerintahan daerah yang kuat

dan mempu dengan optimal mewujudkan masyarakat daerah yang sejahtera

bila sistem dan model pemerintahan selalu berganti-ganti tiap sebentar.

2.5 Otonomi Daerah diIndonesia Saat Ini

Sejak reformasi di gulirkan dan menguknya konsep otonomi daerah sebagai bentuk

kritikan terhadap pengelolaan pemerintahan pada zaman ordebaru yang dinilai

pemerintahan yang sangat sentralistik yang kesemuanya dikomandoi atau segalah

urusan dinakodai pemerintah nasional atau pusat sehingga daerah atau sub nasional

tidak memiliki peranan yang berarti dalam pengolaha pemerintahan. Tak terkecuali

urusan pemerintahan yang bersifat tekhnis dimana jakarta menjadi aktor penentu,

meskipun jauh sebelum adanya otonomi daerah telah ada kritikan tentang

pengelolaan pemeritahan yang seperti itu dengan anggapan bahwa keputusan yang

diambil tidak tepat sasaran dengan apa yang diharapkan di daerah , Setidaknya

dalam hal pengelolaan negara tersebut, substansinya berada pad rana Horisontal

atau yang mana terkait dengan fungsi serta vertikal yaitu struktur penyelanggara

pemerintahan seperti pemerintahan nasional atau pusat, daerah atau sub nasional.

Dimana batasan batasan fungsi atau wewenang antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah serta hubungan diantaranya dalam mengelolah pemerintahan.

Setidaknya kalau kita melihat kondisi yang terjadi saat ini yang menarik untuk kita

simak, fenomena yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, kita melihat Masyarakat

terklasterisasi suku, wilayah yang dicontohkan oleh wawan mas’udi adanya sub

teritorial contoh dapat dilihat pada struktur Tentara Nasional Indonesia TNI yang

kesemuanya tersusun sampai pada tingkatan desa, tingkatan yang ada di bawah.

adanya pemerintah pusat dan daerah provinsi dan kabupaten kota dan bahkan

sampai pada tingkatan yang paling bawah yaitu tingkatan desa. Penyelenggaraan

diharapkan berjalan dengan baik sehingga sangat dimungkinkan terjadinya

pembagian kekuasaan atau kewenangan mengelolah pemerintahan, hal tersebut di

setiap negara di dunia tidak semua memiliki cara yang sama dalam mengelolah

pmerintahanya, pembagian kekuasaan setidaknya yang sering kita dengarkan bahwa

ada dua sumber otoritas, yaitu ada pada pemerintah nasional dan otoritas ada pada

pemerintah sub nasional atau masyarakat. Dalam mempersatukan antara

pemerintah pusat dan pemerintah yang ada di daerah memiliki cara yang berbeda

meskipun dengan tujuan yang sama, dalam hal ini setidaknya ada dua bentuk negara

yang dihasilkan, yaitu negara kesatuan dan negara liberal. Yang mana negara

kesatuan danlam mempersatukan dengan cara sepenuhnya otoritas berada pada

pemerintah pusat. Sehingga menganggap bahwa negara ini dapat disatukan dengan

cara semua urusan pemerintahan yang ada semua di komandoi oleh pemerintah

pusat, dan hal ini pula yang terjadi di indonesia pada pemerintahan orde lama

dibawak kepemimpinan presiden soeharto, yang sangat terkenal dengan bentuk

pemerintahan yang sangat sentralistik atau terpusat, segala urusan pemerintahan

jakarta menjadi tumpuan., sedangkan negara federal kekuatan atau otoritas hanya

berada pada pemerintah negara bagian. Wawan mas’udi mencontohkan hal tersebut

pada penyelenggaraan pemerintahan yang ada di America. Dengan negara liberal

dianggap sebagai cara yang sangat tepat dalam mempersatukan dengan cara

pemberian kewenangan penuh terhadap pemerintahan negara bagian yang ada, dan

beranggapan bahwa penyelanggaraan pemerintahan dengn cara sentralistik yang

terpusat justru tidak melahirkan persatuan akan tetapi peluang melahirkan

perpecahan dan konflik yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah, dan

dianggap ancaman terhadap sebuah persatuan.

Hubungan pemerinta pusat dan daerah bukanlah permasalahan yang baru di

indonesia akan tetapi problem masalalu yang hingga saat ini belum terselesaikan,

meskipun waktu yang lebih dari cukup telah terlewati akan tetapi bukan berarti tidak

ada usaha sama sekali dalam menangani masalah tersebut. Telah banyak usaha yang

dilakukan pemerinta walhasil sampai saat ini belum kunjung terselasaikan,

permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah telah banyak undang-

undang yang mengatur sampai saat ini ternyata tidak kunjung terselesaikan juga,

pemerintahan yang sentralistik maupun pemerintahan yang demokratis telah di

praktekkan di negri ini yang tentunya melahirkan berbagai pandangan dan penilaian

masing-masing. Seperti adanya anggapan bahwa Pemerintaha yang sentralistik

dinilai mambuat masyarakat menjadi apolitis.

Pada beberapa titik wilayah yang ada di indonesia begitu banyak yang menyuarakan

aspirasi daerahnya, sehingga tuntutan masyarakat tentang pemekaran wilaya yang

sangat luar biasa terjadi di beberapa daerah, atasnama memperjuangkan aspirasi

rakyat, kemudahan administrasi yang hendak di perjuangkan hingga saat ini adanya

upaya pemerintah mengevaluasi beberapa daerah hasi lepemekaran. Dalam

fenomena tersebut bahwa ternyata Hal menarik lainya yang dapat kita saksikan,

sebagai dampak dari otonomi daerah dan terjadinya pemekaran wilayah di berbagai

daerah yaitu pada pembagian wilayah yang ada di indonesia bukanlah pembagian

administratif tapi pembagian klaster poliitik, pada dasarya pemekaran wilayah yang

terjadi di berbagai daerah yang ada di indonesia semangatnya telah berubah denga

derajat yang sangat tinggi, diman pada setiap pemekaran yang ada bukan lagi

terletak pada aspek administrasi, tapi pada semangat suku. Dapat diliha pada

penyelenggaraan pemerintahan yang ada di berbagai wilaya di indonesia. Wawan

mas’udi dalam hal ini mencontohkan pemerintahan antara yogyakarta dan

Jawatengah. Kalau di sulawesi tengah dapat diliha pada kasus yang terjadi di

kabupaten bungku dan kolonedale kabupaten morowali.

Jikalau pembagian dengan di dasarkan pada admionistratif, maka dapat dipastikan

sangat banyak daerah yang tidak layak atau tidak memenuhi untuk menjadi suatu

daerah yang otonom, kondisi demikianlah yang terjadi di indonesia saat ini, Dalam

pemerkaran wilayah yang ada di indonesia ada sebenarnya ada unsur politk

didalamnya, pemekaran daerah yang ada tidak lagi terletak pada substansinya,

banyaknya tantangan yang di hadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah

tentunya membutuhkan perhatian

pemerintah dalam hal tersebut, bebrapa kabar terdengar pada akhir-akhir ini bahwa

otonomi daerah akan di evaluasi, respon pemerintah tersebut dengan melakukan

pembentukan evaluasi terhadap pelaksanaanya, dan kabar terakhir yang kita

dengarkan bahwa tim tersebut telah terbentuk seperti yang diberitakan pada,

(kompas) sabtu 09 januari 2010.

Pemerintahan yang sentralistik dinilai berbenturan dengan karakteristik yang ada di

daerah, di setiap daerah yang ada di indonesi memiliki karakter yang berbeda, baik

daris segi potensi wilyah yang ada di indonesia maupun dari segi kultur yang ada di

masyarakat sehingga sangat dimungkingkan terjadinya perbedaan kebutuhan yang

ada di daerah sehingga ada yang beranggapan bahwa pemerintahan yang ada di

daerah seharusnya memperhatikan kearifan lokal yang ada di daerah, sehinggga

dalam pembangunan yang ada karakter daerah tetap dipertahankan, disamping itu

kebijakan yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan yang ada di

daerah, terlebih dengan kondisi indonesia yang plural. Disamping itu ada anggapan

bahwa bahwa untuk membangun negara menjadi maju pemerintahan yang

sentralistik juga bisa mewujudkanya, wawan mas’udi memberikan gambaran Di

eropa dengan pemerintahan sentralistik juga manjadi negara maju akan tetapi

sangat berbeda dengan kondisi yang ada di indonesia di eropa masyarakatnya

homogen, di indonesia masyarakatnya yang plural sehingga sangat rentang terhadap

konflik dan perbedaan, isu yang mungkin sering kita dengar pada dekade tarakhir ini

yaitu isu daerah.

Pemekaran daerah yang marak pada dekade terakhir ini hingga pemekaran di

pertanyakan mengedepankan pelayanan bukankan pemekaran adalah sebuah bentuk

pembagian kekuasaan para elit politik, yang mana pemekaran dapat digambarkan

sebagai pembagian kekuasaan dari elit pusat yang ada di jakarta, kepada elit lokal

yang ada di daerah yang mana otonomi daerah tidak lagi pada substansinya,

sehingga desentralisasi yang menjadi pilihan saat ini tidaklah bersifa final bisa saja

akan mengalami perubahan, terlebih dengan yang ada di indonesia setiap rezim

memperlakukan pola yang berbeda beda dalam menjalangkan pemerintahan,

Desenralisasi hanyalah sebagai bentuk atau pola transfer otority kepemerintah sub

nasional yang ada di daerah. Disamping itu dalam implementasi otoritas atau

penyelenggaraan pemerintahan perlu ada kontrol yang baik terhadap proses

pelaksanaan pemerintahan.

Terkait dengan otoritas antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi ada

fenomena menarik yang kita liat dimana dengan otonomi daerah yang ada,

memberikan otoritas yang besar berada pada pemerintahan yang ada di kabupaten,

sehingga koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah yang ada di

kabupaten sering terkandala, dimana pemerintah kabupaten menganggap bahwa

otoritas melekat pada dirinya sangat besar, sehingga enggan tunduk pada

pemerintah provinsi dan bahkan pemerintah yang ada di kabupaten membetuk

kekuatan sendiri wawan pada perkuliahan yang lalu mencontohkan pada kasus

pemerintah di merauke.

Kondisi yang terjadi di iondonesia saat ini yang terkait dengan pelaksanaan otonomi

daerah adalah sebuah permasalahan yang cukup serius, setidaknya ada beberapa

motif yang melatarbelakangi seperti, keterjangkauan, efisiensi (hal yang strategis)

keamanan dan ekonomi. Dalam implementasi otonomi daerah setidaknya harus

memperhatikan persoalan keterjangkauan, terutama dari segi pelayanan terhadap

masyarakat, yang terkait pada persoalan wilayah dan tata letak, persoalan efisiensi

yang terkait dengan persoalan biaya, jarak. Hal tersebut yang harus mendapat

perhatian besar dalam pelaksanaan otonomi daerah disamping dua hal yang

strategis keamanan dan ekonomi yang juga harus mendapat perhatian. Disamping

hal tersebut diatas indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis, terutama

pemerintah yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah pusat yang

memiliki urusan yang terlau banya sehingga tidak satupun yang terselesaikan

dengan baik, pusat mengurusa sampai pada urusan yang bersifat tekhnis yang ada di

daerah. Pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis dan terfokus. Dengan hal

tersebut tujuan dapat tercapai.

Hal yang sama sepertinya mulai terulang lembali, kalau kita memperhatikan

pengelolaan pemerintahan yang ada saat ini ada usaha untuk sentarlisasi kembali

meskipun dengan cara yang berbeda sentarlisasi yang berbeda pada orde baru,

menurut wawan mas’udi sentralisasi yang ada pada saat ini berada pada sofwer,

mencontohkan pada penganggaran. Disadari atau tidak bahwa watak dasar

pemerintah di indonesia adalah sentralistik, sehingga upaya pengelolaan

pemerintahan yang sentralistik bisa saja terjadi, meskipun pada konsep otonomi

daerah.

Demokrasi yang ada di indonesia adalah demokrasi liberal, seperti yang ada di

america bukan lagi demokrasi pancasila sebagai contoh pada pemilihan presiden dan

wakil presiden dengan cara one man one vote masyarakat bisa menentukan siapa

yang menjadi pemimpin mereka. Hal ersebut kritikan terhadap Pemilihan bupati

melalui DPR yang di anggap terjadi kolusi dan semuah yang dipilih DPR sangat

mudah dijatuhkan.Kepercayan masyarakat semakin menurun, Kebaradaan partai

politik yang selalu saja terjadi konflik internal, yang permasalahanya adalah

persoalan kekuasaan , contoh yang terjadi pada dua orang anggota DPR dari partai

bulan bintang (PBB) yang menentang kepemimpinan partainya karena yusril ihza

mahendra memanipulasi jalanya muhtamar sehingga mampu menguasai kembali

kepemimpinan partai tersebut. Akibatnya hartono marjono dan abdul kadir jaelani

dikeluarkan dari fraksi PBB tetapi tidak dapat di recall karna UU No. 4 tahun 1999

tentang susunan kedudukan DPR/MPR tidak mengenal lembaga recall sebagaiman

yang dikenal sebelumnya. Sehingga demikian tidak bisa lagi diberi kepercayaan dan

amanah

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk

meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam

rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Berbicara mengenai perjalanan dan perkembangan otonomi (pemerintahan) daerah

di Indonesia dengan segala aspeknya seperti mengurai suatu ”kisah” yang sangat

panjang. Bahkan mungkin tidak banyak lagi publik yang mencoba mereviewnya,

kecuali bagi kalangan peneliti atau untuk keperluan studi. Secara praktis tentu hal

itu tidak jadi masalah, karena kebijakan mengenai otonomi daerah dari suatu

regulasi yang sudah tidak berlaku lagi mungkin sudah kehilangan manfaat. Namun

bagi keperluan mendapatkan suatu subtansi dan menemukan masalah-masalah

disekitar implementasi otonomi daerah di Indonesia, maka menelusuri perjalanan

otonomi daerah dari waktu ke waktu sepertinya sangat penting. Apalagi sampai saat

ini soal otonomi daerah di Indonesia masih mencari bentuknya yang ideal. Dalam

perspektif ini, dengan menelusuri regulasi berkaitan dengan otonomi daerah

setidaknya akan ditemukan mengapa kebijakan otonomi daerah di Indonesia selalu

berubah-ubah.