makalah ogr 2 - fix
TRANSCRIPT
WANITA HAMIL DENGAN TUNGKAI BENGKAK
KELOMPOK 3
03007053 Cunengsih S
03008163 Miria Noor Shintawati
03009263 Vania Paramitha W
03010003 Adelita Yuli Hapsari
03010033 Annisa Saraswati
03010053 Benanto
03010063 Chrisendy Hakim
03010073 Denia Mariella Chantika
03010083 Widya Ilmiaty Kamrul
03010093 Endah Wahyu Mentari
03010103 Fefi Oktavia
03010113 Geraldo Tadika Putra
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
Jakarta, 30 Januari 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan dan disertai
proteinuria dan merupakan penyulit kehamilan yang akut,dapat terjadi ante, intra dan
postpartum . Preeklamsia terjadi pada 6% kehamilan terutama pada primigrivida dengan usia
kurang dari 20 tahun dan lebih dari 30 tahun dan merupakan 17,6% penyebab kematian
kehamilan di Amerika Serikat. Kasus pre-eklampsia terjadi pada 6-8% wanita hamil di
Indonesia Angka kejadian preeklamsia lebih tinggi pada Negara berkembang, factor genetic
juga berperan penting namun alasannya belum dapat dijelaskan, selain itu juga factor
keturunan dapat juga dipertimbangkan walaupun tidak dapat dijadikan patokan, sementara
studi lain menyatakan bahwa faktor paternal dan genetic maternal juga mempengaruhi.
BAB II
LAPORAN KASUS
Sesi 1
Ny. Susi 20 tahun datang kerumah sakit karena dirujuk oleh bidan dengan catatan tekanan
darah 150/90 mmHg dan kedua tungkai bengkak. Ia sedang mengandung anak
pertamanyadan selama ini memeriksakan kehamilannya ke bidan walaupun tidak teratur. Hari
pertama haid terakhir (HPHT) 1 Juni 2012 dengan siklus haid 32 hari.
Sesi 2
ANAMNESIS TAMBAHAN
Kehamilah pasien adalah yang pertama. Ia menikah sejak 1 tahun yang lalu, dan tidak pernh
melakukan pencegahan kehamilan dengan cara apapun.pendidikan terakhirnya adalah tamat
SMP. Pada awal kehamilan, pasien mengalami mual-mual. Kakinya mulai bengkak semenjak
2 minggu lalu, ia mulai merasakan sakit kepala yang tiddak hilanh-hilang dan disertai nyeri
ulu hati. Ia menyangkal adanya riwayat penyakit sistemik dan riwayat penyakit keluarga. Dan
sebelum mengalami keluhan ini, tidak ada trauma yang dialami.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan :
Status generalis
KU : compos mentis
TD : 150/90 mmHg
RR : 20x/mnt
Thorax : jantung dan paru dalam batas normal
Extremitas : edema tungkai ++/++
N : 92x/mnt, teratur
T : 37,20C
Status Obstetrikus
Fundus uteri 4 jari dibawah procesus xiphoideus, janin presentasi kepala, kepala beum asuk
PAP, punggung di kiri, denyut jantung jain (djj) 144x/mnt, HIS (-). Taksiran berat janin
2300g.
Laboratorium
- Hb dan Ht meningkat
- Urin : protein ++
BAB III
PEMBAHASAN
A. Identifikasi kasus
Ny. Susi usia 20 tahun dengan kehamilan pertama datang ke dokter dengan
keluhan hipertensi dan oedem tungkai. Dilihat dari umurnya pasien masih dalam masa
subur dimana bukan resiko tinggi dalam mengandung dan melahirkan. Riwayat
kehamilannya ia tidak pernah partus dan aborsi yang berarti ini merupakan kehamilan
pertamanya ( G1 P0 A0). Pasien mengatakan bahwa HPHT nya 1 Juni 2012 dengan
siklus menstruasi 32 hari. Dari info tersebut kita dapat mengambil kesimpulan
taksiran kelahiran pasien yaitu:
HPHT+ 9 Bulan + (Lama siklus haid - 21)
Juni + 9 bulan+ (32-21) = 12 Maret 2013.
Dan dari taksiran kelahiran kita bisa menghitung umur kehamilannya dihitung dari 16
Januari 2013 yaitu 32 minggu.
Tekanan darah pasien yang diketahui pada kasus yaitu 150/90 mmHg yang
menandakan pasien menderita hipertensi. Pada kehamilan normal terdapatnya HLA-G
(Human Leukocyte Antigen Protein G) yang berperan dalam modulasi respon imun
sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). HLA-G membantu invasi
trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis yang menimbulkan lapisan otot
berdegenerasi sehingga arteri spiralis vasodilatasi. Vasodilatasi tersebut menyebabkan
tekanan darah turun akibatnya aliran ke janin meningkat sehingga janin berkembang
dengan baik. Tapi pada hipertensi dalam kehamilan terjadi penurunan ekspresi HLA-
G sehingga tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas yang akhirnya arteri spiralis
vasokonstriksi terjadilah hipoksi dan iskemik plasenta. Kejadian tersebut akan
merangsang plasenta menghasilkan oksidan (radikal hydroxyl) yang sangat toksis
terhadap sel endotel pembuluh darah. Radikal hydroxyl akan merusak membran sel
yang mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Akibat sel
endotel terpapar peroksida lemak sehingga terjadi disfungsi endotel. Salah satu
akibatnya menurunnya produksi prostaglandin sebagai vasodilator yang kuat yang
menyebabkan pembuluh darah vasokonstriksi lalu terjadilah hipertensi.
Pada pasien ditemukan oedem pada tungkai. Oedem pada wanita hamil
khususnya pada kehamilan yang cukup tua bisa terjadi karena 2 hal yaitu fisiologis
dan patologis. Fisiologis dikarenakan usia kehamilan sudah cukup tua terjadi
pembesaran uterus sehingga vena terjepit, aliran darah susah dialirkan dari tungkai ke
jantung sehingga terjadilah oedem. Sedangkan yang patologis berhubungan dengan
hipertensi seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa adanya vasokonstriksi pembuluh
darah sehingga resistensi perifer meningkat aliran darah ke jantung menjadi terhambat
sehingga terjadi oedem pada tungkai.
B. Anamnesis tambahan
Anamnesis tambahan pada pasien ini antara lain :
Apakah ada riwayat kejang sebelumnya ?
Apakah ada riwayat hipertensi sebelumnya ?
Kapan mulai terasa bengkak pada tungkai ?
Bagaimana volume miksinya ?
Apakah ada riwayat penyakit ginjal ?
Apakah terdapat edema dibagian tubuh lain ?
Apakah ada sesak ?
Apakah ada peningkatan berat badan yang drastis ?
Apakah ada nyeri kepala dan gangguan penglihatan ?
Apakah ada nyeri epigastrium ?
C. Pemeriksaan fisik(1,2)
Parameter Hasil
Pemeriksaan
Nilai Normal Interpretasi
Keadaan
Umum
Kompos
mentis
Kompos
mentis
Tidak terjadi
gangguan
kesadaran
Tekanan
darah
150/90
mmHg
Optimal :
120/80 mmHg
Hipertensi
Respiration 20 x/menit 16 – 20x/menit NORMAL
rate
Suhu 37,2oC 36,5-37,2oC NORMAL
Nadi 92 60-100 x/menit NORMAL
Thorax Normal - NORMAL
Extremitas ++/++ Tidak edema Edema yang
terjadi bisa
disebabkan karena
adanya disfungsi
endotel akibat
berbagai macam
mekanisme
sehingga vena
menjadi lebih
sempit dan aliran
balik kembali
kejantung
terhambat dan
akhirnya terjadi
akumulasi cairan
pada tungkai,
ditambah dengan
adanya hemodilusi
serta besarnya
rahim yang
menekan
pembuluh darah
sekitarnya.
Status
obstetrikus
Fundus uteri
4 jari
dibawah
processus
Umur
kehamilan
32 minggu
NORMAL
Sesuai dengan
umur kehamilan
xiphoideus
Presentasi
kepala janin
NORMAL
karena keadaan normal kepala janin berada
di bagian bawah uterus.
Kepala
belum masuk
PAP
NORMAL
Menunjukkan bahwa belum ada tanda-tanda
penurunan / kelahiran janin dan dikatakan
sesuai/normal karena kepala janin akan
masuk ke dalam PAP setelah umur
kehamilan 38 minggu.
Leopold II Punggung di
kiri
Menunjukkan bahwa tidak ada kelainan
posisi janin / tidak sungsang.
Denyut
Jantung
Janin
144x/menit 120-60 x/mnt NORMAL
RR 20x/mnt 16-20x/mnt NORMAL
Taksiran
berat janin
2300 gr NORMAL
Berat janin sesuai
D. Diagnosis
Kelompok kami menyimpulkan bahwa diagnosis kerjanya adalah
preeklamsia. Diagnosis preeklamsia ditegakkan berdasarkan laporan kasus yang
menyatakan bahwa pasien ini sedang mengalami kehamilan untuk yang pertama kali,
menurut beberapa sumber 6 % wanita mengalami preeklamsia pada kehamilan yang
pertama atau bisa juga disebut primagrivida. Selain itu pasien juga mengeluh kakinya
yang bengkak. Gejala tersebut merupakan gejala yang biasanya timbul pada penderita
preeklamsia.
Pada pemeriksaan fisik juga di dapatkan beberapa hasil yang menguatkan
diagnosis preeklamsia yaitu, tekanan darah 150/90 mmHg dan didapatkan juga edema
pada tungkai. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan pasien proteinnya yaitu +++
( positif 3 ) dengan ini pasien mengalami proteinuria. Proteinuria dan hipertensi
merupakan gejala yang harus didapati apabila menegakkan diagnosis preeklamsia.
Diagnosis dibagi menjadi dua, yaitu diagnosis ibu dan janin. Diagnosis ibu
yaitu G1P0A0, hamil 32 minggu, preeklampsi berat. Diagnosis janin yaitu presentasi
kepala, tunggal, puki, hidup, aterm.
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Hasil yang ditunjukkan dari pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah Hb &
Hematokrit yang meningkat. Ditemukan juga proteinuria pada pasien ini.
- Hb (Hemoglobin ) : Meningkat
- Ht (Hematokrit) : Meningkat
- Proteinuria : ++
Hematokrit yang meningkat disebabkan karena keluarnya protein dalam urin sehingga
albumin dalam darah menjadi berkurang yang mengakibatkan perpindahan cairan ke
ruang interstisial yang membuat viskositas darah menjadi meningkat.
Proteinuria
Proteinuria kemungkinan diakibatkan oleh adanya proses DIC yang terjadi akibat
hipertensi, proses ini juga didukung dengan adanya disfungsi endotel. Kerusakan ini
menyebbkan keluarnya sitokin dan pada endotel yang terangkat tersebut terdapat
faktor von willebrand yang memicu pembekuan darah.
Jika pembekuan darah tersebut berlangsug terus menerus, maka dapat memicu multi
organ failure, jika terjadi di ginjal, maka bisa terjadi kerusakan unit fungsional ginjal
yang menyebabkan kebocoran sehingga muncul proteinuria
Hb dan Hematokrit
Karena proses proteinuria tersebut, tekanan onkotik di pembuluh darah turun,
sehingga terjadi ekstravasasi cairan dari pembuluh darah ke jaringan. Hal ini
menyebabkan volume plasma berkurang, sehingga jika diperiksa lab, Hb dan HT
tampak meninggi.
Hal ini juga menyebabkan edema.
Melihat keadaan yang dialami pasien saat ini, dibutuhkan pemeriksaan tambahan lain
untuk benar-benar memastikan keadaan pasien agar dapat menghindari faktor resiko lebih
lanjut pada pasien, karena Preeklampsia bisa memburuk dan bisa menjadi preeklampsia
dengan perburukan dengan kriteria HELLP (Hemolysis, Elevated liver enzyme, Low
platelet level). Oleh karena itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan :
Tes fungsi hati
Tes fungsi ginjal
Hitung trombosit
USG
Funduskopi
F. Tatalaksana
Medika Mentosa
Anti hipertensi : Metildopa dosis awal 500 mg 3 x perhari . obat hipertensi yang
bagus untuk ibu hamil dan tidak membahayakan janin.
Antasida : asiderin 3 x 1 tablet perhari per oral atau milanta 3 x 1 tablet perhari .
untuk mengatasi mual-mual pada pasien .
Glukokortikoid ,bertujuan untuk pematangan paru janin
Non Medika Mentosa
Edukasi
Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring / tidur miring) , tetapi tidak harus
mutlak selalu tirah baring.
Tirah baring dengan posisi miring bertujuan menghilangkan tekanan rahim pada v.
kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah
jantung . hal ini akan meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital .
Diet yang sempurna dan rendah garam untuk mengatasi edema pada tungkai dan
perbaikan pada ginjal .
Keseimbangan cairan dan elektrolit
G. Komplikasi
1. Eklamsia
Eklamsia terjadi didahului oleh keadaan preeklamsia dimana terjadi penurunan
perfusi vaskular uteroplasenta kemudian mengeluarkan sitokin-sitokin dari endotel
yang teraktivasi yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sistemik. Hal ini
menyebabkan aliran darah menuju otak menjadi berkurang, sehingga terdapat iskemik
jaringan yang meningkatkan ambang kejang, sehingga terjadilah fase kejang tonik-
klonik yang menandakan telah terjadinya eklamsia.
2. Solusio plasenta
Solusio plasenta disebabkan karena keadaan plasenta yang menjadi kurang
baik sesudah preeklamsia, sehingga menyebabkan plasenta mudah lepas dari
endometrium dan menyebabkan perdarahan dalam uterus dan kematian janin.
3. Sindrom HELLP
HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet). Sindrom ini
merupakan salah satu dari komplikasi preeklamsia. Hemolisis disebabkan oleh
vasokonstriksi pembuluh darah sistemik sehingga menyebabkan terjadinya benturan
antara eritrosit dan dinding endotel sehingga struktur eritrosit mudah rusak dan
menyebabkan hemolisis. Peningkatan enzim hepar disebabkan oleh iskemi hepatosit
yang kemudian mengeluarkan enzim-enzim tersebut. Penurunan jumlah trombosit
disebabkan karena peningkatan agregasi trombosit yang disebabkan oleh mekanisme
disseminated intravascular coagulation (DIC).
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Pre-eklampsia(1)
Definisi
Preeklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ
akibat vasospasme dan aktivasi endotel (Cunningham, 2005). Penyakit ini merupakan
penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul akibat kehamilan
yang biasanya terjadi pada triwulan ketiga kehamilan tetapi dapat timbul juga sebelum
triwulan ketiga seperti pada pasien mola hidatidosa (Wiknjosastro, 2006).
Epidemiologi
Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2 – 6 % dari ibu hamil
nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4 – 18 %.
Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75 % dan preeklampsia berat terjadi 25 %. Dari seluruh
kejadian preeklampsia, sekitar 10 % kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu. Kejadian
preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda,
hipertensi kronis dan penyakit ginjal (Lim, 2009). Pada ibu hamil primigravida terutama
dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan multigravida
(Wiknjosastro, 2006). Faktor predisposisi lainnya adalah ras hitam, usia ibu hamil dibawah
25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes (Pernoll, 1987).
Etiologi
Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum diketahui.
Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari penyakit ini tetapi tidak
ada yang memberikan jawaban yang memuaskan.
Teori yang dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia
meningkat prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan mola
hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab bertambahnya
frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan
keadaan penderita setelah janin mati dalam kandungan, penyebab jarang timbul kembali
preeklampsia pada kehamilan berikutnya dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti
hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma (Wiknjosastro, 2006).
Patogenesis(4)
Preeklampsia telah dijelaskan oleh Chelsey sebagai “disease of theories” karena
penyebabnya tidak diketahui. Banyak teori yang menjelaskan patogenesis dari preeklampsia,
diantaranya adalah (1) fenomena penyangkalan yaitu tidak adekuatnya produksi dari blok
antibodi, (2) perfusi plasenta yang tidak adekuat menyebabkan keadaan bahaya bagi janin
dan ibu, (3) perubahan reaktivitas vaskuler, (4) ketidakseimbangan antara prostasiklin dan
tromboksan, (5) penurunan laju filtrasi glomerulus dengan retensi garam dan air, (6)
penurunan volume intravaskular, (7) peningkatan iritabilitas susunan saraf pusat, (8)
penyebaran koagulasi intravaskular (Disseminated Intravascular Coagulation, DIC), (9)
peregangan otot uterus (iskemia), (10) faktor-faktor makanan dan (11) faktor genetik. Dari
teori-teori yang telah dijelaskan sebelumnya, belum ada satupun yang dapat membuktikan
proses patogenesis preeklampsia yang sebenarnya (Pernoll, 1987).
Perubahan Fisiologi Patologik(6,7)
I. Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi. Pada saat
autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat endotel akan terbuka
dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal
ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak
(Pernoll, 1987). Dalam Sarwono, McCall melaporkan bahwa resistensi pembuluh darah
dalam otak pada pasien hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada
pasien preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas
normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia (Wiknjosastro, 2006).
II. Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada satu
atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata
dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang
ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada preeklampsia jarang terjadi ablasio retina
yang disebabkan edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk terminasi kehamilan.
Ablasio retina ini biasanya disertai kehilangan penglihatan (Wiknjosastro, 2006).
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang
menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah
dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina (Wiknjosastro, 2006). Selama
periode 14 tahun, ditemukan 15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang
mengalami kebutaan yang dikemukakan oleh Cunningham (1995) dalam Cunningham
(2005).
III. Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia dan
merupakan penyebab utama kematian (Wiknjosastro, 2006). Edema paru bisa diakibatkan
oleh kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada
beberapa kasus terjadi berhubungan dengan terjadinya peningkatan cairan yang sangat
banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan
penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati (Pernoll, 1987).
IV. Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar,
termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat
aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh
fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan
Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia,
terdapat resistensi arteri hepatika. Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus
hepar kemungkinan besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum.
Perdarahan pada lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah
kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular (Cunningham, 2005).
V. Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat cukup
besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun
(Cunningham, 2005). Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan
laju filtrasi ginjal (Pernoll, 1987).
Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang
laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya Konsentrasi asam urat plasma
biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat (Cunningham, 2005).
volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan
kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia
berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat
dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang
dikemukakan oleh Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005). Filtrasi yang menurun hingga
50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat dapat
menyebabkan oligouria ataupun anuria (Wiknjosastro, 2006). Lee (1987) dalam Cunningham
(2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada tujuh wanita dengan
preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten
dengan vasospasme intrarenal. Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan
proteinuria dan retensi garam dan air (Wiknjosastro, 2006). Taufield (1987) dalam
Cunningham (2005) melaporkan bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi
kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal,
tingkat reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus. Penurunan
filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi natrium melalui
glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga retensi air (Wiknjosastro,
2006). Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria. Namun,
karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah melahirkan sebelum
gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24
jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan
minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92 % kasus. Sebaliknya, proteinuria yang
samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya 34 % pada wanita
hipertensif. Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk
preeklampsia berat pada 36 % kasus (Cunningham, 2005).
Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas terhadap sebagian
besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi protein albumin juga disertai
protein-protein lainnya seperti hemoglobin, globulin dan transferin. Biasanya molekul-
molekul besar ini tidak difiltrasi oleh glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin
mengisyaratkan terjadinya proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang
biasa difiltrasi kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin (Cunningham, 2005).
VI. Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang normal
(Pernoll, 1987). Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan destruksi
eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut Baker (1999) dalam
Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya
jumlahnya kurang dari 150.000/µl yang ditemukan pada 15 - 20% pasien. Level fibrinogen
meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan
tekanan darah normal. Level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya
berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption) (Pernoll,
1987). Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan terjadinya
HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati
dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran
(sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah. Kebanyakan
abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran
tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu (Pernoll, 1987).
VII. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit
Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron meningkat. Pada
preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke kisaran normal pada ibu tidak
hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus
berkurang sehingga proses penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar
aldosteron dalam darah (Cunningham, 2005).
Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik atrium. Hal
ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan meningkatnya curah jantung dan
menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada normotensif maupun preeklamptik. Hal ini
menjelaskan temuan turunnya resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien
preeklampsia (Cunningham, 2005).
Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum diketahui
penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum,
edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat
dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke
jaringan berkurang dan terjadi hipoksia. Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air
dalam tubuh lebih banyak dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak
dapat mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya
penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak
mengalami perubahan (Wiknjosastro, 2006).
VIII. Plasenta dan Uterus
Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada
hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada hipertensi yang singkat
dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat kurangnya oksigenisasi untuk janin.
Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering terjadi pada
preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus prematurus pada pasien
preeklampsia (Wiknjosastro, 2006).
Pada pasien preeklampsia terjadi dua masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal
untuk tidak dapat mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut
berkembang pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis
arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi malignan.
Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari lumen vaskular. Lesi ini
dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya infark plasenta (Pernoll, 1987).
Klasifikasi
Menurut The National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) Working
Group, penyakit hipertensi pada kehamilan dibagi menjadi
empat grup yaitu (Lim, 2009) :
Hipertensi dalam kehamilan (Gestational hipertensi)
Gejala yang timbul adalah peningkatan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih pada
awal kehamilan, tidak terdapat proteinuria, tekanan darah kembali normal kurang dari 12
minggu setelah kelahiran dan diagnosis bisa ditegakkan jika setelah pasien melahirkan.
Hipertensi Kronis
Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang terjadi sebelum kehamilan atau
sebelum usia kehamilan 20 minggu dan bukan merupakan penyebab dari penyakit
tropoblastik kehamilan. Hipertensi yang terdiagnosa setelah usia kehamilan 20 minggu dan
menetap selama lebih dari 12 minggu setelah melahirkan termasuk dalam klasifikasi
hipertensi kronis.
Preeklampsia atau Eklampsia
Pasien dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah usia kehamilan 20
minggu dengan sebelumnya memiliki tekanan darah normal dan disertai proteinuria (≥ 0,3
gram protein dalam spesimen urin 24 jam). Eklampsia dapat didefinisikan sebagai kejang
yang bukan merupakan dikarenakan penyebab apapun pada wanita dengan preeklampsia.
Superimposed Preeklampsia (dalam Hipertensi Kronis)
Proteinuria dengan onset yang cepat (>300 mg dalam urin 24 jam) dengan wanita
hamil dengan hipertensi tetapi tidak terjadi proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu.
Peningkatan tekanan darah atau proteinuria atau penurunan jumlah platelet hingga dibawah
100.000 secara tiba-tiba pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum usia
kehamilan 20 minggu. Preeklampsia dibagi menjadi dua yaitu preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat. Preeklampsia ringan didefinisikan dengan terdapatnya hipertensi
(tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) yang terjadi dua kali dalam rentang waktu paling sedikit 6
jam. Proteinuria adalah terdapatnya protein 1+ atau lebih dipstick atau paling sedikit 300 mg
protein dalam urin 24 jam. Edema dan hiperrefleksia sekarang bukan merupakan
pertimbangan utama dalam kriteria diagnosis preeklampsia ringan. Kriteria diagnosa
preeklampsia berat adalah apabila terdapat gejala dan tanda sebagai berikut (Wiknjosastro,
2006) :
Sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg yang terjadi dua kali dalam waktu
paling sedikit 6 jam
Proteinuria lebih dari 5 gram dalam urin 24 jam
Edema pulmonal
Oligouria (<400 ml dalam 24 jam)
Sakit kepala yang menetap
Nyeri epigastrium dan atau kerusakan fungsi hati
Trombositopenia
Keterbatasan perkembangan intrauterus
Peningkatan kadar enzim hati dan atau ikterus
Skotoma dan gangguan visus lain
Perdarahan retina
Koma (Wiknjosastro, H., 2006)
Gejala Klinis
Edema
Pada kehamilan normal dapat ditemukan edema yang bebas, tetapi jika terdapat
edema yang tidak bebas, terdapat di tangan dan wajah yang meningkat pada pagi hari dapat
dipikirkan merupakan edema yang patologis. Peningkatan berat badan yang sangat banyak
atau secara tiba-tiba dapat meningkatkan kemungkinan preeklampsia. Preeklampsia dapat
juga terjadi tanpa adanya edema (Pernoll, 1987).
Hipertensi
Hipertensi merupakan kiteria paling penting dalam diagnosa penyakit preeklampsia.
Hipertensi ini sering terjadi sangat tiba-tiba. Banyak primigravida dengan usia muda
memiliki tekanan darah sekitar 100-110/60-70 mmHg selama trimester kedua. Peningkatan
diastolik sebesar 15 mmHg atau peningkatan sistolik sebesar 30 mmHg harus
dipertimbangkan sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, pada pasien preeklampsia merupakan
hipertensi relatif jika tekanan darahnya 120/80 mmHg. Tekanan darah sangat labil. Tekanan
darah pasien preeklampsia ataupun hipertensi kronis biasanya menurun pada saat pasien
tidur, tetapi pada pasien preeklampsia berat tekanan darah akan tetap tinggi walaupun dalam
keadaan tidur (Pernoll, 1987).
Proteinuria
Proteinuria merupakan gejala yang paling terakhir timbul (Pernoll, 1987). Proteinuria
berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 gr/liter dalam urin 24 jam atau
pemeriksaan kualitatif menunjukan 1+ atau 2+ atau 1 gr/liter atau lebih dalam urin yang
dikeluarkan kateter atau midstream yang diambil minimal dua kali dengan jarak waktu 6 jam
(Wiknjosastro, 2006).
Penemuan Laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat hemokonsentrasi.
Trombositopenia biasanya terjadi. Penurunan produksi benang fibrin dan faktor koagulasi
bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal
tetapi bisa meningkat pada preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali
lipat. Laktat dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan
elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal. Urinalisis dapat ditemukan
proteinuria dan beberapa kasus ditemukan hyaline cast (Pernoll, 1987).
Penatalaksanaan Preeklampsia
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya preeklampsia
berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin dengan trauma sekecil-
kecilnya (Wiknjosastro, 2006).
Preeklampsia Ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan preeklampsia
ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan
aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstrimitas bawah juga menurun dan
reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat
tidur mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan
darah dan kejadian edema. Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan
konservatif, maka dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih
prematur (Wiknjosastro, 2006).
Preeklampsia Berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk
mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12 – 24 jam bahaya akut sudah diatasi,
tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan. Sebagai pengobatan
untuk mencegah timbulnya kejang dapat diberikan larutan sulfas magnesikus 40 % sebanyak
10 ml disuntikan intramuskular pada bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan.
Pemberian dapat diulang dengan dosis yang sama dalam rentang waktu 6 jam menurut
keadaan pasien. Tambahan sulfas magnesikus hanya dapat diberikan jika diuresis pasien baik,
refleks patella positif dan frekuensi pernafasan lebih dari 16 kali/menit. Obat ini memiliki
efek menenangkan, menurunkan tekanan darah dan meningkatkan diuresis. Selain sulfas
magnesikus, pasien dengan preeklampsia dapat juga diberikan klorpromazin dengan dosis 50
mg secara intramuskular ataupun diazepam 20 mg secara intramuskular (Wiknjosastro,
2006).
Penatalaksanaan(1)
Pengelolaan preeklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi,
pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat tepat
untuk persalinan.
Monitoring selama di rumah sakit
Pemeriksaan yang teliti diikuti dengan observasi harian tentan tanda-tanda klinik
berupa : nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan berat badan
dengan cepat. Perlu dilakukan pemeriksaan antopometri, laboratorium dan
pemeriksaan USD dan NST.
Manajemen umum perawatan preeklampsia berat
Dibagi menjadi 2 unsur :
Pengobatan medika mentosa
Harus segera di rawat di rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan untuk
tirah baring ke sebelah kiri
Pengelolaan cairan penting dilakukan karena adanya resiko tinggi edema
paru dan oligouria. Sebab terjadinya belum jelas, tetapi faktor yang
menyebabkan terjadinya edema paru dan oligouria adalah hipovolemi,
vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan
onkotik/koloid/pulmonary capillary wedge pressure.
Monitoring input cairan melalui oral atau infus dan output cairan melalui urin.
Bila tanda-tanda udema paru terjadi, segera koreksi cairan yang diberikan
berupa Ringer-dekstrose 5% atau cairan garam faali jumlah tetesan
<125cc/jam, atau
Infus dekstrose 5% yang tiap 1L diselingi dengan infus Ringer laktat
(60-125cc/jam) 500cc.
Pasang Folley catheter untuk ukur pengeluaran urin
Antasida untuk menetralisir asam lambung, jika mendadak kejang dapat
terhindar dari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet cukup
protein rendah karbohidrat lemak dan garam.
Pemberian obat kejang (MgSO4) sebagai pilihan utama
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetikolin pada
rangsangan serat saraf dan menghambat transmisi neuromuskular (dimana
membutuhkan kalsium pada sinaps). MgSO4 akan menggeser kalsium
sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara
ion kalsium dengan magnesium)
MgSO4 dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50% dari
pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)
Cara pemberian(5) :
Loading dose : initial dose
4 gr MgSO4 I.V (40% dalam 10 cc) selama 10 menit
Maintenance dose :
Infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam atau diberikan 4 atau 5 gr
I.M selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram I.M tiap 4-6
jam
Syarat-syarat pemberian :
- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu
kalsium
glukonas 10% = 1gram (10% dalam 10 cc) diberikan I.V 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernapasan >16x/menit tidak ada tanda-tanda distress
napas
MgSO4 dihentikan apabila :
- Ada tanda intoksikasi
- Setelah 24 jam postpartum atau 24 jam setelah kejang terakhir
Diuretikum tidak diberikan secara rutin (kecuali ada tanda edema paru, gagal
jantung kongestif atau udema anasarka). Diuretika yang digunakan adalah
furosemid.
Diuretik merugikan yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk
perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan
dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat badan janin
Pemberian antihipertensi
Yang diberikan adalah Nifedipin dengan dosis 10-20mg per oral, diulangi
setelah 30 menit. Dosis maksimum 120 mg dalam 24 jam. Nifedipin tidak
boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat sehingga
hanya boleh diberikan per oral.
Glukokortikoid
Digunakan untuk pematangan paru janin dan tida merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu , 2x24 jam.
Sikap terhadap kehamilannya
Dibagi menjadi 2 :
Aktif ( aggressive management)
Kehamilan segera diakhir atau diterminasi bersamaan dengan pemberian
pengobatan medikamentosa dan indikasinya bila didapatkan satu atau lebih
dari keadaan dibawah ini :
Ibu
- Umur kehamilan ≥ 37 minggu. Untuk preeklampsia berat
- Adanya tanda-tanda atau gejala Impending Eclampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif (keadaan klinik
dan laboratorik memburuk
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
- Adanya tanda-tanda fetal distress
- Adanya tanda-tanda IUGR
- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
- Terjadinya oligohidroamnion
Laboratorik
- Adanya tanda-tanda sindrom HELLP khususnya menurunnya
trombosit dengan cepat
Konservatif
Indikasinya bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda
impending eclampsia dengan keadaan janin baik. Selama perawatan
konservatif sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi
sama seperti perawatan aktif serta kehamilan yang tidak diakhiri.
MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada
perbaikan, keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan
medikamentosa dan harus terminasi.
Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala preeklampsia
ringan.
Komplikasi Preeklampsia
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada neonatus
berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta baik akut maupun
kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada saat kelahiran maupun sesudah
kelahiran (Pernoll, 1987). Komplikasi yang sering terjadi pada preklampsia berat adalah
(Wiknjosastro, 2006) :
1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang menderita
hipertensi akut. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo 15,5 % solusio
plasenta terjadi pada pasien preeklampsia.
2. Hipofibrinogenemia. Pada preeklampsia berat, Zuspan (1978) menemukan 23%
hipofibrinogenemia.
3. Hemolisis. Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah
ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis
periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat
menerangkan mekanisme ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal.
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung selama
seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini
merupakan tanda gawat dan akan terjadi apopleksia serebri.
6. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pasien preeklampsia-eklampsia
diakibatkan vasospasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui
dengan pemeriksaan faal hati.
7. Sindroma HELLP, yaitu hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet.
8. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan
lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
9. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin.
10. Komplikasi lain berupa lidah tergigit, trauma dan fraktur karena terjatuh akibat
kejang, pneumonia aspirasi dan DIC.
Pencegahan Preeklampsia
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tandatanda dini
preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia tersebut. Walaupun
preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensipreeklampsia dapat dikurangi
dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan yang baik pada ibu hamil. Pengetahuan
yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang berguna dalam pencegahan.
Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini yaitu dengan mengurangi pekerjaan
sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah
lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat
dianjurkan. Mengenal secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan
diuretika dan obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan
antenatal yang baik (Wiknjosastro, 2006).
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan keluhan utama, anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium maka
pada kasus ini diagnosis dibagi menjadi dua, yaitu diagnosis ibu dan janin. Diagnosis
ibu yaitu G1P0A0, hamil 32 minggu, preeklampsi berat. Diagnosis janin yaitu
presentasi kepala, tunggal, puki, hidup, aterm. Tatalaksana pada preeklampsi kasus
ini harus cepst ditangani karena dapat menimbulkan banyak komplikasi.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan, 4th ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.2010
2. Mose J.C., Alamsyah M., Hudono S.T., Handaya, Hadisaputra W. Pemeriksaan
Ginekologik. In : Ilmu Kandungan. Anwar M, Baziad A, Prabowo R.P (editor). 3rd Ed.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011. p.116-36
3. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan, 4th ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.2010.p.530-61
4. Cunningham FG. McDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC,Williams
Obstetrics.19th ed. Prentice-Hall International; 1993.
5. Duley L. Magnesium Sulphate regiments for women with eclampsia. Massages from
the collaborative eclampsia trial. Brit J of Obstet Gynaecol. 1996; 103:m103-5.
6. Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy, National on High
Blood Pressure Education Program, NIH publication, 1991.
7. Brown MA. Diagnosis and Classification of Preeclampsia and other Hypertensive
disorder of pregnancy in Belfort MA, Thornton S, Saade GR. Hypertension in
Pregnancy, Marcel Dekker, Inc. New York, 2003, page 1-14.