makalah muamalah

88
PENDAHULUAN Islam adalah agama yang sempurna. Didalamnya terdapat seperangkat aturan yang mengatur segala aktivitas manusia dari akar sampai daun, dari konsep aqidah, aturan beribadah sampai dengan muamalah. Kesempurnaan Islam terbukti mampu mendampingi peradaban manusia selama kurang lebih 13 abad di bawah pemerintahan negara yang adil makmur dan sejahtera. Jumlah umat muslim terus bertambah khususnya di negeri ini. Akan tetapi kondisi kaum muslim jauh dari yang diharapkan. Manusia sangat jauh dari kodratnya seiring dengan semakin jauhnya pemahaman Islam yang ada di benaknya. Kriminalitas, tindakan asusila, korupsi, pencurian dan kasus penyimpangan lainnya terus terjadi di depan mata. Inilah dampak dari kurangnya pemahaman terkait hukum Islam terutama dalam hal muamalah. Islam jarang dijadikan rujukan dalam hal kemasyarakatan bahkan oleh pemeluk agama Islam itu sendiri. Padahal sebagai way of life, Islam mampu memberikan kontribusi untuk menyelesaikan problematika kehidupan dengan sangat solutif sebagai karunia dari Allah untuk manusia. Pengkajian terhadap hukum-hukum Islam sangat diperlukan pada era ini terutama dalam masalah muamalah. Upaya-upaya penyadaran dan pencerdasan masyarakat tentu harus terus diselenggarakan demi mengentaskan kebutaan masyarakat terhadap hukum Islam sehingga hukum Islam benar-benar terwujud sebagai satu-satunya pedoman yang memimpin masyarakat menjalani kehidupan. Makalah ini adalah salah satu dari sekian banyak upaya yang dimaksutkan untuk mencerdaskan masyarakat. Di dalamnya berisi tata cara bermuamalah dan juga hukum-hukum Islam yang melandasinya serta jenis-jenis muamalah yang ada sekarang. Semoga makalah ini membantu semua pihak dalam rangka beramal sesuai syariat Islam, baik untuk pembaca maupun untuk penulis sendiri. 1

Upload: puspita-ningtiyas

Post on 11-Jan-2017

527 views

Category:

Spiritual


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah muamalah

PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang sempurna. Didalamnya terdapat seperangkat aturan yang mengatur segala aktivitas manusia dari akar sampai daun, dari konsep aqidah, aturan beribadah sampai dengan muamalah. Kesempurnaan Islam terbukti mampu mendampingi peradaban manusia selama kurang lebih 13 abad di bawah pemerintahan negara yang adil makmur dan sejahtera. Jumlah umat muslim terus bertambah khususnya di negeri ini. Akan tetapi kondisi kaum muslim jauh dari yang diharapkan. Manusia sangat jauh dari kodratnya seiring dengan semakin jauhnya pemahaman Islam yang ada di benaknya. Kriminalitas, tindakan asusila, korupsi, pencurian dan kasus penyimpangan lainnya terus terjadi di depan mata. Inilah dampak dari kurangnya pemahaman terkait hukum Islam terutama dalam hal muamalah. Islam jarang dijadikan rujukan dalam hal kemasyarakatan bahkan oleh pemeluk agama Islam itu sendiri. Padahal sebagai way of life, Islam mampu memberikan kontribusi untuk menyelesaikan problematika kehidupan dengan sangat solutif sebagai karunia dari Allah untuk manusia.

Pengkajian terhadap hukum-hukum Islam sangat diperlukan pada era ini terutama dalam masalah muamalah. Upaya-upaya penyadaran dan pencerdasan masyarakat tentu harus terus diselenggarakan demi mengentaskan kebutaan masyarakat terhadap hukum Islam sehingga hukum Islam benar-benar terwujud sebagai satu-satunya pedoman yang memimpin masyarakat menjalani kehidupan.

Makalah ini adalah salah satu dari sekian banyak upaya yang dimaksutkan untuk mencerdaskan masyarakat. Di dalamnya berisi tata cara bermuamalah dan juga hukum-hukum Islam yang melandasinya serta jenis-jenis muamalah yang ada sekarang. Semoga makalah ini membantu semua pihak dalam rangka beramal sesuai syariat Islam, baik untuk pembaca maupun untuk penulis sendiri.

1

Page 2: Makalah muamalah

PEMBAHASAN

JUAL BELI

Pengertian

Jual beli (البيع) secara bahasa merupakan masdar dari kata بعتdiucapkan -باء يبيعbermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata الباع karena masing-masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskannya untuk mengambil dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan dan pembelian disebut ن .البيعا Jual beli diartikan juga “pertukaran sesuatu dengan sesuatu”. Kata lain dari al-bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah dan at-tijarah. Sedangkan pengertian jual beli (البيع) secara syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan memberi kepemilikan (Mughnii 3/560).

Dasar Hukum

1. Al-Qur’an

Allah Swt berfirman, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198)

Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas bahwa Imam Bukhari rh berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyainah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa jahiliyah, Ukaz, Majinnah dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan. Mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam musim haji. (Tafsir Ibnu Katsir)

Allah Swt berfirman, “mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 275)

Mereka berkata, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan pembangkangan terhadap hukum syara’ yakni menyamakan yang halal dan yang haram.

Kemudian firman Allah Swt, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum. (Tafsir Ibnu Katsir)

Allah Swt berfirman, “Dan persaksikanlah, apabila kamu berjual beli”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)

Ibnu Juraij berkata, “Barang siapa yang melakukan jual beli, hendaklah ia mengadakan persaksian”.

2

Page 3: Makalah muamalah

Qatadah rh berkata bahwa disebutkan kepada kami bahwa Abu Sulaiman al-Mur’isyi (salah seorang yang berguru kepada Ka’b) mengatakan kepada murid-muridnya, “Tahukah kalian tentang seorang yang teraniaya yang berdoa kepada Tuhannya tetapi doanya tidak dikabulkan?”. Mereka menjawab, “Mengapa bisa demikian?”.

Abu Sulaiman berkata, “Dia adalah seorang lelaki yang menjual suatu barang untuk waktu tertentu tetapi ia tidak memakai saksi dan tidak pula mencatatnya. Ketika tiba masa pembayaran ternyata si pembeli mengingkarinya. Lalu ia berdoa kepada Tuhan-nya tetapi doanya tidak dikabulkan.

Demikian itu karena dia telah berbuat durhaka kepada Tuhannya yaitu tidak menuruti perintah-Nya yang menganjurkannya untuk mencatat atau mempersaksikan hal itu”. (Tafsir Ibnu Katsir)

Sya’bi, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Al-Hasan, Ibnu Juraij dan Ibnu Zaid serta lainnya mengatakan bahwa pada mulanya menulis utang piutang dan jual beli itu hukumnya wajib, kemudian di-mansukh oleh firman Allah Swt, “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)

Dalil lain yang memperkuat hal ini ialah sebuah hadits yang menceritakan tentang syariat umat sebelum kita tetapi diakui syariat kita serta tidak diingkari yang isinya menceritakan tiada kewajiban untuk menulis dan mengadakan persaksian.

Ahmad berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami Laits, dari Ja’far ibnu Rabi’ah, dari Abdur Rahman ibnu Hurmudz, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw yang mengisahkan dalam sabdanya, “Dahulu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil meminta meminta kepada seseorang yang juga dari kalangan Bani Israil agar meminjaminya uang sebesar 1000 dinar. Maka pemilik uang berkata kepadanya, “Datangkanlah kepadaku para saksi agar transaksiku ini dipersaksikan oleh mereka”.”

Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai saksi”. Pemilik uang berkata, “Datangkanlah kepadaku seorang yang menjaminmu”. Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai penjamin”. Pemilik uang berkata, “Engkau benar”. Lalu pemilik uang itu memberikan utang itu kepadanya untuk waktu yang ditentukan. Lalu ia berangkat melalui jalan laut (naik perahu).

Setelah keperluannya selesai, lalu ia mencari perahu yang akan mengantarkannya ke tempat pemilik uang karena saat pelunasan utangnya hamper tiba. Akan tetapi ia tidak menjumpai sebuah perahu pun.

3

Page 4: Makalah muamalah

Akhirnya ia mengambil sebatang kayu, lalu melubangi tengahnya, kemudian uang 1000 dinar itu dimasukkan ke dalam kayu itu berikut sepucuk surat buat alamat yang dituju. Lalu lubang itu ia sumbat rapat, kemudian ia datang ke tepi laut dan kayu itu ia lemparkan ke laut seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku pernah berutang kepada si Fulan sebanyak 1000 dinar. Ketika ia meminta kepadaku seorang penjamin, maka kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai penjaminku’, dan ternyata ia rela dengan hal tersebut.

Ia meminta saksi kepadaku, lalu kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’ dan ternyata ia rela dengan hal tersebut. Sesungguhnya aku telah berusaha keras untuk menemukan kendaraan (perahu) untuk mengirimkan ini kepada orang yang telah memberiku utang tetapi aku tidak menemukan sebuah perahu pun. Sesungguhnya sekarang aku titipkan ini kepada Engkau”. Lalu ia melemparkan kayu itu ke laut hingga tenggelam ke dalamnya. Sesudah itu ia berangkat dan tetap mencari kendaraan perahu untuk menjuju ke negeri pemilik piutang.

Lalu lelaki yang memberinya utang keluar dan melihat-lihat barangkali ada perahu yang tiba membawa uangnya. Ternyata yang ia jumpai adalah sebatang kayu tadi yang di dalamnya terdapat uang. Maka ia memungut kayu itu untuk keluarganya sebagai kayu bakar.

Ketika ia membelah kayu itu, ternyata ia menemukan sejumlah harta dan sepucuk surat itu. Kemudian lelaki yang berutang tiba kepadanya dan datang kepadanya dengan membawa uang 1000 dinar sambil berkata, “Demi Allah, aku terus berusaha keras mencari perahu untuk sampai kepadamu dengan membawa uangmu tetapi ternyata aku tidak dapat menemukan sebuah perahu pun sebelum aku tiba dengan perahu ini”.

Ia bertanya, “Apakah engkau pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?”. Lelaki yang berutang balik bertanya, “Bukankah aku telah katakatan kepadamu bahwa aku tidak menemukan sebuah perahu pun sebelum perahu yang datang membawaku sekarang?’.

Ia berkata, “Sesungguhnya Allah telah membayarkan utangmu melalui apa yang engkau kirimkan di dalam kayu tersebut. Maka kembalilah kamu dengan 1000 dinarmu itu dengan sadar. (HR Bukhari)

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 29)

Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat di atas bahwa Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas

4

Page 5: Makalah muamalah

sebagian yang lain dengan cara yang batil yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat seperti cara riba dan judi serta cara-cara lainnya dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan.

Sekalipun pada lahiriyahnya seperti memakai cara-cara yang sesuai syara’ tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat). (Tafsir Ibnu Katsir)

“kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian”, yakni janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan tetapi berniagalah menurut syariat dan dilakukan suka sama suka (saling ridha) di antara penjual dan pembeli serta carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat. (Tafsir Ibnu Katsir)

Allah Swt berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S Al Qashash 28 : 77)

Mereka harus senantiasa ingat akan nasibnya dari dunia yang sangat sedikit dan sebentar. Bila kenikmatan yang sedikit ini tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kehidupan yang abadi tentu mereka akan menyesal untuk selamanya. Sementara sebagian orang menjadikan ayat ini sebagai dorongan untuk meningkatkan kehidupan duniawi, padahal tanpa menggunakan ayat al-Qur’an pun kebanyakan manusia terus berlomba dalam mencari dan meningkatkan kehidupan dunia.

Sebaliknya, karena kesibukan duniawi yang tidak pasti ini, banyak sekali manusia melupakan tugasnya sebagai hamba dalam menghadapi hari akhirat yang pasti terjadi. Karena itu sangat diperlukan bagi mereka penjelasan tentang hakikat keni’matan dunia, bahwa keni’matan tersebut Allah sediakan demi bekal akhirat. Dan manusia diingatkan bahwa waktu yang tersedia untuk membekali diri demi kepntingan akhirat sangat terbatas. Karena itu janganlah manusia lalai akan keterbatasan waktu ini.

Ibnu Abi-Ashim mengatakan: “Yang dimaksud dengan ‘jangan lupa nasibmu dari dunia’ bukan berarti jangan melupakan keni’matan lahir di dunia, melainkan umurmu. Artinya gunakanlah usiamu untuk akhirat.”

Dan Ibnul Mubarak juga berpandangan yang sama, ia berkata: “Yang dimaksud dengan ‘jangan lupa nasibmu dari dunia’ adalah beramal ibadah dalam taat kepada Allah di dunia untuk meraih pahala di akhirat.”

5

Page 6: Makalah muamalah

Dua ungkapan diatas bukanlah ungkapan yang baru melainkan kelanjutan dari ungkapan para pendahulunya dari para ahli tafsir baik generasi shahabat, tabiin atau tabi’ut tabi’in.

Dalam menafsirkan ayat ini Ath-Thabari mengatakan: “Janganlah kamu tinggalkan nasibmu dan kesempatanmu dari dunia untuk berjuang demi meraih nasibmu dari akhirat, maka kamu terus beramal ibadah yang dapat menyelamatkanmu dari siksaan Allah.”

Dia juga mengutip beberapa ungkapan para shahabat, dianataranya: Ibnu Abbas: “Kamu beramal didunia untuk akhiratmu.” Mujahid: “Beramal dengan mentaati Allah.”

Zaid: ”Janganlah kamu lupa mengutamakan dari kehidupan duniamu untuk akhiratmu, sebab kamu hanya akan mendapatkan di akhiratmu dari apa yang kamu kerjakan didunia dengan memanfaatkan apa yang Allah rizkikan kepadamu.”

Dari beberapa pernyataan shahabat diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “jangan melupakan nasibmu dari dunia” adalah peringatan jangan lalai terhadap kesempatan untuk beramal yang tidak lama lagi akan berakhir. Artinya menyuruh manusia agar mampu menggunakan semua karunia Allah demi keselamatan dan kemaslahatan akhirat.

Dengan demikian, maka makna ayat ini sangat erat hubungannya antara awal, tengah dan penghujung ayat. Dan tidak ada hubungan dengan perintah untuk berlomba dalam mencari kehidupan duniawi atau meningkatkan kemajuan ekonomi. Sebab tanpa perintah, umumnya manusia terus berlomba untuk meraih kehidupan dunia.

2. As-Sunnah

Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau Saw menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar, dishahihkan oleh Hakim dari Rifa’ah ibn Rafi’)

Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.

Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dipastikan saling meridhai”. (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).

Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dengan suka sama suka (saling ridha) dan khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya”. (HR Ibnu Jarir).

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Pasar Ukadz, Mujnah dan Dzul Majaz adalah pasar-pasar yang

6

Page 7: Makalah muamalah

sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang Islam, mereka membencinya lalu turunlah ayat : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198) dan Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar selama mereka belum berpisah”. (Muttafaq ‘alaih)

Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang yang jujur (terpercaya) bersama (di akhirat) dengan para nabi, Shiddiqin dan syuhada”. (HR Tirmidzi)

3. Ijma

Para ulama telah sepakat bahwa hukum jual beli itu mubah (dibolehkan) dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

Hukumnya berubah menjadi haram kalau meninggalkan kewajiban karena terlalu sibuk sampai dia tidak menjalankan kewajiban ibadahnya.

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah 62 : 9-10)

Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalkan semua pekerjaannya.

Hukumnya berubah menjadi haram apabila melakukan jual beli dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan atau melakukan perbuatan haram.

Allah Swt berfirman, “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-Ma’idah 5 : 2)

Menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih bermadzhab Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu seperti kalau terjadi ihtikar (penimbunan barang) sehingga persediaan barang hilang dari pasar dan harga melonjak naik.

7

Page 8: Makalah muamalah

Rukun Jual Beli

Menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada empat :

1. Akad (ijab qabul)

Ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan dan tulisan.

Ijab qabul dalam bentuk perkataan dan/atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).

Menurut fatwa ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecilpun harus ada ijab qabul tetapi menurut Imam an-Nawawi dan ulama muta’akhirin syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil tidak dengan ijab qabul.

Jual beli yang menjadi kebiasaan seperti kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab qabul, ini adalah pendapat jumhur (al-Kahlani, Subul al-Salam, hal. 4).

2. Orang-orang yang berakad (subjek) - ن البيعا

Ada 2 pihak yaitu bai’ (penjual) dan mustari (pembeli).

3. Ma’kud ‘alaih (objek)

Ma’kud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syara’.

4. Ada nilai tukar pengganti barang

Nilai tukar pengganti barang ini yaitu dengan sesuatu yang memenuhi 3 syarat yaitu bisa menyimpan nilai (store of value), bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange).

Syarat jual beli

1. Akad (ijab qabul)

- Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab atau sebaliknya.

2. Orang yang berakad (aqid)

- Baligh dan berakal.

8

Page 9: Makalah muamalah

Sehingga tidak mudah ditipu orang. Batal akad anak kecil, orang gila dan orang bodoh sebab mereka tidak pandai mengendalikan harta.

Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”. (Q.S. An-Nisa 4 : 5)

Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum baligh atau orang dewasa yang jahil (tidak dapat mengatur harta bendanya).

Beragama Islam.

Syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misal penjualan budak muslim kepada orang kafir sebab kemungkinan besar pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah Swt melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin.

Allah Swt berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (Q.S. An-Nisaa 4 : 141)

3. Ma’kud ‘alaih (objek)

Barang yang diperjualbelikan (objek) :

a. Suci (halal dan thayyib). Tidak sah penjualan benda-benda haram atau bahkan syubhat.

b. Bermanfaat menurut syara’.

c. Tidak ditaklikan, yaitu dikaitkan dengan hal lain, seperti “jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu”.

d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan, “Kujual motor ini kepadamu selama 1 tahun” maka penjualan tersebut tidak sah karena jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara’.

e. Dapat diserahkan cepat atau lambat, contoh :

- Tidaklah sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi

- Barang-barang yang sudah hilang

9

Page 10: Makalah muamalah

- Barang-barang yang sulit diperoleh kembali karena samar, seperti seekor ikan yang jatuh ke kolam sehingga tidak diketahui dengan pasti ikan tersebut.

f. Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain :

- Dengan tidak seizin pemiliknya

- Barang-barang yang baru akan menjadi pemiliknya

g. Diketahui (dilihat).

Barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya atau ukuran-ukuran lainnya. Maka tidak sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak.

Jual beli yang di larang dalam Islam

Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah al-Zuhaily meringkasnya sbb :

1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)

Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah sbb :

a. Jual beli orang gila

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk dll.

b. Jual beli anak kecil

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah kecuali dalam perkara-perkara ringan dan sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang belum baligh tidak sah sebab tidak ada ahliah.

Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah dan hanabilah, jual beli anak kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga pengamalan atas firman Allah Swt.

Allah Swt berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 6)

10

Page 11: Makalah muamalah

c. Jual beli orang buta

Jual beli orang buta dikategorikan shahih menurut jumhur jika barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya).

Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.

d. Jual beli terpaksa

Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya) yakni ditangguhkan (mauquf).

Oleh karena itu keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak lazim baginya ada khiyar.

Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada keridaan ketika akad.

e. Jual beli fudhul

Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemiliknya.

Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah.

f. Jual beli orang yang terhalang

Maksud terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling shahih di kalangan Hanabilah, harus ditangguhkan.

Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak dapat dipegang.

Begitu pula ditangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah.

Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang sudah mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.

Menurut Ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan pada harta yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dll.

11

Page 12: Makalah muamalah

g. Jual beli malja’

Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut ulama Hanabilah.

2. Terlarang Sebab Shighat

Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di antara ijab dan qabul, berada di satu tempat dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.

Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama adalah sbb :

a. Jual beli mu’athah

Adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur ulama mengatakan shahih apabila ada ijab dari salah satunya.

Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan atau cara-cara lain yang menunjukkan keridaan. Memberikan barang dan menerima uang dipandang sebagai shighat dengan perbuatan atau isyarat.

Adapun ulama Syafi’iyah (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal.3) berpendapat bahwa jual beli harus disertai ijab qabul yakni dengan shighat lafazh, tidak cukup dengan isyarat sebab keridhaan sifat itu tersembunyi dan tidak dapat diketahui kecuali dengan ucapan. Mereka hanya membolehkan jual beli dengan isyarat bagi orang yang uzur.

Jual beli mu’athah dipandang tidak sah menurut ulama Hanafiyah tetapi sebagian ulama Syafi’iyah membolehkannya seperti Imam Nawawi. (As-Suyuti, Al-Asbah, hal. 89)

Menurutnya, hal itu dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Begitu pula Ibn Suraij dan Ar-Ruyani membolehkannya dalam hal-hal kecil.

b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan

Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah seperti surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.

12

Page 13: Makalah muamalah

c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan

Disepakati keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam hati aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak sah.

d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat terjadinya aqad.

e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul

Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi, jika lebih baik, seperti meninggalkan harga, menurut ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama Syafi’iyah menganggapnya tidak sah.

f. Jual beli munjiz

Adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli ini, dipandang fasid menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.

3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)

Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain dan tidak ada larangan dari syara’.

13

Page 14: Makalah muamalah

RIBA

  Macam-Macam Riba

Menurut para fiqih, riba dapat dibagi menjadi 4 macam bagian, yaitu sebagai berikut :

1.    Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya

dengan kwalitas berbeda yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan.

contohnya tukar menukar emas dengan emas,perak dengan perak, beras

dengan  beras dan sebagainya.

2.    Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum ditimbang dan diterima,

maksudnya : orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelum ia

menerima barang tersebut dari si penjual, pembeli menjualnya kepada orang

lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual beli masih dalam ikatan

dengan pihak pertama.

3.    Riba Nasi’ah  yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berhutang

disebabkan memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Contoh : Aminah

meminjam cincin 10 Gram pada Ramlan. Oleh Ramlan disyaratkan

membayarnya tahun depan dengan cincin emas sebesar 12 gram, dan apa bila

terlambat 1 tahun, maka tambah 2 gram lagi, menjadi 14 gram dan seterusnya.

Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun.

4.  Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan

atautambahanbagiorangyangmeminjami/mempiutangi.

Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi

mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya

kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.

14

Page 15: Makalah muamalah

  Larangan-Larangan Riba dalam Al Qur’an

Adapun  dalil yang terkait dengan perbuatan riba, berdasarkan Al-Qur’an dan

Al-Hadits. Di antara ayat tentang riba adalah sebagai berikut: 

ن� ح�و ل� ف� ح ف� ح� � ن ن� ن� ن� � ن ٱ� ح�وا� ن ن�ٱ � �� ة ن� ن� ضن� � ح ��ا ة ضن� ف� ن � ا� ضو و ن" ر# ٱ� ح�وا� ح% ف ا ن ن'ا ح)وا� �ن ن(� ن* ل,ي � ن ٱ ن-ا ح ي ن ا ضني و

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan

berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat

keberuntungan. QS Ali Imran : 130.

ن. # ن ن/ ن� ن0 ف1 ن2 ف� ٱ ح� � ن ٱ� 3 ن ن/ ن � ن� � ا� ضو ن" ر# ٱ� ح3 ف5 �ل ح0 ف1 ن2 ف� ٱ ن6ا 7 ن ل�8 ا� وو ح� ن9ا ف� ح- 7 ن ن ا ل" ن: ل� ضن; � ر= ن6 ف� ٱ ن* �ل ح* ضن< ف1 ? ن ٱ� ح� ح< 2 ن ن@ Aن ني ل,ى � ن ٱ ح. ح�و ني ن6ا ن% 'ا ن ل�8 ن� ح�و ح�و ني ن'ا ا� ضو ن" ر# ٱ� ن� ح�و ح% ف ا ني ن* ل,ي � ن ٱ

ن� �Cح ل� Dضن ن-ا 1Eل ف� Fح � Gل )ا ن ٱ� Hح ضن� Iف ن � ن: Jل ضن� و ا� ح ا Eن Kن نLا ف* �ن ن� � ل� � ن ٱ� ن�ى ل�8 حOۥو ح# �ف ن � ن� Pن ن� Qن ن�ا ح�ۥ ن� Eن ضى ن- Aن نEٱ7 ل�ۦ ر" G ن *�ر �T ة Uن Lل فو �ن حOۥ ن( وا Vن ن6* Eن � ا� ضو ن" ر# ٱ�

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan

seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.

Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata

(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah

menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai

kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka

baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan

urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka

orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. QS:2: 275,

م� 1Xل ن � Gم �ا ن ن% 3 ن ح% H ح ل� حي ن'ا ح� � ن ن�ٱ� � Yل ضن9 Cن Z ن ٱ� ل"ى ف# حي ن� ا� ضو ن" ر# ٱ� ح� � ن ٱ� ح] ن� ف6 ني

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak

menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. QS Al-

Baqarah : 276.  

ن* ل)1 �ل ف\ � ح �Aح ح%) ل��8 ا� ضو و ن" ر# ٱ� ن* �ل نى ل� ن" ن�ا ح�Gا� ن; ن� ن� � ن ٱ� ح�وا� ن ٱ ح)وا� �ن ن(� ن* ل,ي � ن ٱ ن-ا ح ي ن ا ضني و

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan

sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS Al-

Baqarah : 278).

ن� ح6و ن� Uف ح ن'ا ن� ن� ح6و ل� Uف ن ن'ا ف� ح� ل� ضنو �ف ن � ح[ ح(� Gح ف� ح� ن� Eن ف� Aح ف2 ح ل��8 ن� � ل�ۦ ل� حQو Gن ن� ل� � ن ٱ� ن* �ر م ب ف# ن� ل" ح7وا� ن; ف ا Eن ح�وا� ن� ف� ن ف� � ن ل8ا� Eن

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka

ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat

15

Page 16: Makalah muamalah

(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan

tidak (pula) dianiaya. QS Al-Baqarah : 279.

ن� ح�و ل� ف� ح6 ف� ٱ ح� Fح ن: Jل ضن� و ا� ح ا Eن ل� � ن ٱ� ن� Vف ن� ن� �Cح ل#ي ح م ب ضو ن% aن *�ر �Aح ف1 ن ن(� وا �ن ن� � ل� � ن ٱ� Cن (Lل ح"وا� ف# ني نcا Eن ل[ )ا ن ٱ� dل ضنو �ف ن � وى Eل ا� نو ح" ف# ن1 ر� �"ا ة Gر *�ر �Aح ف1 ن ن(� وا �ن ن�

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada

harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu

berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka

(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). QS.

Rum : 39.

     Dan di antara hadits yang terkait dengan riba adalah :

: : ، با الر آكل وسلم عليه الله صلى الله رسول لعن قال عنه الله رضي جابر عن

سواء : هم وقال وشاهديه ، وكاتبه ، وموكلهDari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang makan

riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya. HR. Muslim.

SYIRKAH            Pengertian

Secara etimologi, syirkah berarti :

16

Page 17: Makalah muamalah

Artinya : “Percampuran, yakni percampuran salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.”

           Menurut etimologi, syirkah adalah Kerjasama antara dua pihak atau lebih

untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberi konstribusi dana atau pekerjaan / amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

   Landasan Syirkah

Landasan syirkah terdapat daalam Al-Qur’an dan Al- Hadits, dan Ijma’.

a.      Al-Qur’an

Artinya : “Mereka bersekutu dalam yang sepertiga.” (Q.S. An-Nisa’ : 12)

Artinya : “ Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagimana mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan amat sedikitlah mereka ini.”

b.     As-Sunah

Artinya : “Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SAW. Bahwa Nabi SAW. Bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT. Berfirman,”Aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila seseorang menghianatinya.” (HR. Abu Daud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya)

Legalitas syirkahpun diperkuat, ketika Nabidiutus, masyarakat sedang melakuakn syirkah. Beliau bersabda :

Artinya : “Kekuasaan Allah senantiasa berada pada dua orang yang bersekutuselama keduanya tidak berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

c.      Al-Ijma’

Umat islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentag jenisnya.

 Pembagian Syirkah

17

Page 18: Makalah muamalah

Syirkah terbagi atas dua macam yaitu Syirkah Amlak (kepemilikan) dan Syirkah Uqud (kontrak).

a.      Syirkah AmlakSyirakah amlak adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang

tanpa adanya akad. Syirkah ini ada dua macam yaitu :1.     Syirkah Sukarela (ikhtiar)

Syirkah ikhtiar adalah syirkah yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu. Contohnya : dua orang membeli atau memberi atau berwasiat tentang sesuatu dan keduanya menerima, maka jadilah pemberi, yang diberi, dan yang diberi wasiat bersekutu di antara keduanya, yakni syirkah milik.

2.     Syirkah Paksaan (ijbar)Syirkah ijbar adalah syirkah yang ditetapkan kepada

dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya, seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yangdiberi waris menjadi sekutu mereka.

Hukum kedua syirkah ini adalah salah seorang yang bersekutu seolah-olah sebagai orang lain dihadapan yang bersekutu lainnya. Oleh karena itu, salah seorang diantara mereka tidak boleh engolah (tasharruf) harta tersebut tanpa izin dari teman sekutunya, karena keduanya tidak mempunyai wewenang untuk menentukan bagian masing-masing.

b.     Syirkah UqudSyirkah uqud adalah syirkah yang bersifat ikhtiariyah (pilihan sendiri).

Syirkah ini merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu dalam harta dan keuntungannya.Menurut ulama Hanabilah, syirkah ini dibagi menjadi lima yaitu :

1.     Syirkah ‘inan2.     Syirkah Mufawidhah3.     Syirkah Abdan4.     Syirkah Wujuh5.     Syirkah Mudharabah

 Hal-hal yang membatalkan syirkahPerkara yang membatalkan syirkah terbagi menjadi dua hal. Ada yang

membatalkan secara umum dan ada pula yang membatalkan sebagian yang lain.1.     Pembatalan Syirkah Secara Umum

  Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu  Meninggalnya salah seorang yang syrik  Salah seorang syrik murtad atau membelot ketika berperang  Gila

2.     Pembatalan Secara Khusus

18

Page 19: Makalah muamalah

  Harta syirkah rusak  Tidak ada kesamaan modal

QARDH

PengertianQardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’-

yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.. : ح0 ف< ن� �� ل� eن � ح �� لEي ح� ح� Iف ن � ن� �س#، C9� iل ن�ا ف� � jل Aف ن� ل" kح ف# ن� ��]1[

Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.

Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.[2] Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.

Menurut ulama Hanafiyah:

ح� ن� ف5 �ل K ن ح# ن1 ل� ن# Dن ل' ا يي ل� ف5 �ل dم ن�ا ل0 Eف Kن ن�ى Lن K ح ح# ني mT حZو ح@ �ح CT ف� Lن نو Fح ن#ى Dف ح � م Gن ن2ا ل� ل" ف� ن � ، Oح ن�ا ن�ا Aن Aن ل� يي ل�5 �ل dم ن�ا ف* �ل ل� ف1 ل< ف� ح ن�ا نو Fح kح ف# ن� ��Artinya:“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”[4]Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:

ل� ف1 ن� Lن ل� ل Gن Cف ح9 Cن ف) Lل ل� ف1 ن� ل�8 ح� ن� ف5 �ل K ن ح# ن1 ل� kح ل# Aن ف� ح6 ف� ل� kح ل# ف� ح6 ف� � ل� ف1 ل< ف� حي nف ل, � ن � dح ن6ا ف� � نو Fح kح ف# ن� ف� �Artinya:“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”[5]Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai berikut:

ن�� Cن ن" K ح ح# ني ن� ل� ل" ح0 ل� Aن ف) ني ف* ن6 ل� dم ن�ا ح0 Eف Kن kح ف# ن� ف� ن�Artinya:“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.”[6]Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:

. : k#ن ف� ح6 ف� ل(� في ? ن �� ن)ى ف� ن6 ل" �Lا ف# oن ح] ن� ف< حي kح ف# ن� ف� ن� فو� ح� ن9ا ح� 1 ن ل� Eل ن ?ا ن��Artinya:“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).”

 Landasan Hukum Al-Qardh

Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan ijma’:

19

Page 20: Makalah muamalah

1.    Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt: � ن# ف1 ل5 ن% �Eا ن�ا ف� ن � ح� ن� ح� ن� Lل ن�ا ح1 Eن �)ا نس ن/ ��ا ف# ن9 ن� ��� kح ن# ف� حي n,ل � ن � ن;� ف* �ن

Artinya:“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah

pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)

Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal salih dan memberiinfaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.

2.    Dasar dari as-sunnah :

( /2ا� : ( *"�� �Vا� F��Gا"* � # ن �ن م� ن9 Cن Zن ن% ن� ن%ا 'ا ن ل� ل* ف1 ن # ن �ن ��ا ف# ن9 �6ا ل� فس �ح kح ل# ف� حي م� ل� فس �ح ف* �ل ن�ا dن ن9ا ن� ن� Qن ن� ل� ف1 ن� Lن ح� ��� ن�ى Iن ي� ل2 ( ن �� � ن ن� Kم فو ح� فس �ن ل* ف" � ل* Lن

   Artinya:“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)

3.    Ijma’

Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam. Hukum qarad adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits diatas.

 Hukum Al-Qardh

Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.

Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya hutang.

Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram atau makruhsesuai dengan kondisinya.

Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.

Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang.

20

Page 21: Makalah muamalah

Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.

Rukun dan Syarat Al-Qardh

Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.

1.    ShighahYang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan

dikalangan fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti “aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.

2.    ‘Aqidain

Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.

     Syarat-syarat bagi pemberi hutang

Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti shadaqah.

Syafi’iyyah berargumentasi bahwa al-qardh (hutang piutang) mengandung tabarru’(pemberian derma), bukan merupakan transaksi irfaq (memberi manfaat) dan tabarru’.

Syafi’iyah menyebutkan bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian) memberi derma harus dengan kerelaan, bukan dengan paksaan. Tidak sah berhutang kepada orang yang dipaksa tanpa alasan yang benar. Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti jika seseorang harus berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan memaksa.

Hanafiyah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kecakapan member derma) bagi pemberi hutang bahwa tidak sah seorang ayah atau pemberi wasiat menghutangkan harta anak kecil.

Hanabilah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma) bagi pemberi hutang bahwa seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan

21

Page 22: Makalah muamalah

harta anak yatim itu dan nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta wakaf.

Syafi’iyah merinci permasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa seorang wali tidak boleh menghutangkan hartaorang yang dibawah perwaliannya kecuali dalam keadaan darurat jika tidak ada hakim. Adapun bagi hakim boleh menghutangkannya meskipun bukan dalam kondisi darurat.

   Syarat bagi penghutang

 Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-mu’amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta) secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.

   Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai potensi menanggung.

Harta yang dihutangkan

Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.

Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di takar, ditimbang, ditahan, dan dihitung.Tidak boleh menghutangkan harta yang nilainya satu sama lain dalam satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu mempengaruhi harga, seperti hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini karena tidak ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara mengembalikan harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena perbedaan harga dan taksiran nilainya. Demikian ini pendapat kalanganhanafiyah.

Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang paling benar di kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta yang ada padanya. Bahkan, semua barang yang boleh ditransaksikan dengan cara salam, baik berupa hewan maupun lainnya, yakni semua yang boleh diperjual belikan dan dapat dijelaskan sifat-sifatnya meskipun harta itu berupa sesuatu yang berubah-ubah harganya. Mereka berargumentasi bahwa nabi Muhammad saw pernah berhutang unta muda sehingga masalah ini dikiaskan dengannya.

Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat, seperti permata dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah mengecualikan sesuatu yang tidak boleh dijual dengan salam, yakni hutang roti dengan timbangan karena adanya kebutuhan dan toleransi.

22

Page 23: Makalah muamalah

Hanabilah berpendapat bahwa bole menghutangkan semua benda yang boleh dijual, baik yang ada padanannya maupun yang berubah-ubah harganya, baik yang dapat djelaskan dengan sifat maupun tidak.

Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah menghutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah.Berbeda dengan kalangan syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi mereka semua yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat (jasa). Seperti halnya benda padaa umumnya.

Pendapat yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya menghutangkan manfaat (jasa).

Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan oleh fuqaha’ karena dengan demikian penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta semisalnya (yang sama).

Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2) diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.

MUSAQAHPengertian

Secara etimologi, Musaqah berasal dari bahasa Arab, fi’il madli-nya adalah saqa yang artinya mengalirkan, karena mengikuti wazan mufa’alah maka kalimat saqa juga berubah menjadi musaqah. Secara terminologi, Fuqoha berbeda-beda dalam mengertikan musaqah. Perbedaan ini tidak hanya dalam hal redaksional seperti pendapat mereka dalam mengartikan akad-akad yang lain, namun juga menyangkut masalahsubtansial dari musaqah itusendiri.WahbahZuhailyyangtenarsebagaiFuqoha kontemporer mendefinisikan Musaqah sebagai berikut:

, "1)-6ا #65�� �� �Lى 1E-ا ي�36 *� ��ى �'اoج# �Lى `C9ا�� Fي �� ��@اGج "�2ض "ا�?ج# 36��� �Lى C���� *L G2اL "Musaqah secara fiqh adalah sebuah istilah dari akad mengenai pekerjaan yang berhubungan dengan pepohonan dengan sebgaian yang dihasilkan olehnya (buahnya), atau perikatan atas beberapa pohon kepada orang yang yang menggarapnya dengan ketetapan buah itu milik keduanya. "Pengistilahan az-Zuhaily tersebut berbeda dengan pendapat Syafi’iyah, menurut mereka Musaqah adalah:

Vز�( ��6L #1U7 Eي ��� :��; ��7و ����)ظ �1"#A��� "ا�س�ي H(��� �� 3@(�� X)1-6ا #oي2ا �� �Lى �Dز Z@Qا ��L)2ا c@7ا ي�6: �oص 3�ي�ا �� �(� ي@#ج n,��� #65�� *� *1�� 

“Orang yang memilki pohon tamar (kurma) dan anggur Memberikan pekerjaan kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya,

23

Page 24: Makalah muamalah

dan bagi pekerja ia memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan dari pohon-pohon tersebut.”

Imam al-jaziri, penulis kitab madzahibul Arba’ah merumuskan pengertian musaqah sebagai berikut: “akad untuk memelihara pohon ; kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”. Hasby as-shiddiqy yang dikenal sebagai ahli hukum islam Indonesia mengartikan musaqoh secara global dan ringkas, yakni:

“ kerjasama perihal tanaman menyangkut buah-buahan dari pepohonan”.

Pendapat ulama mengenai Musaqah dan Landasan Hukumnya.

1. Pendapat yang membolehkan.

Ibnu Rusyd dalam Bidayatul mujtahid-nya menuliskan, Jumhur ulama-yakni imam Malik, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan (dua orang terakhir ini adalah pengikut Abu Hanifah) serta Ahmad dan Dawud-memegang kebolehan bagi hasil. Menurut mereka, bagi hasil ini dikecualikan dari sebuah hadits yang melarang menjual sesuatu yang belum terjadi dan sewa-menyewa yang tidak jelas. 

Mereka berpegangan pada hadits shaahih dari Ibnu Umar r.a yang berbunyi: �1�L ���� �Iى ��#Qو��� �و��-�� *� ي��6وFا �� �Lى ��G�)ا #21D 3@7 #21D Kي-و d� 0EG ��Q� �1�L ���� �Iى ���� dوQG ��

( ) �س�� � nG2@ا�� �V#D� F#6Xا #>o ��Q�“Rasulullah menyerahkan kepada orang-orang yahudi Khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengaan syarat mereka menggarapnya dari harta mereka, dan bagi Rasulullah adalah separuh dari buahnya” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam satu riwayat juga disebutkan:( �س�� ( � nG2@ا�� �V#D� #65��� k#�� �V#@ �ا PZ7 �Lى �F9ا Qا ��Q� �1�L ���� �Iى �7�“Rasulullah saw. Mengadakan transaksi muusaqah dengan mereka (Yahudi Khaibar) atas separuh dari hasil tanah dan buah”(HR. Bukhari-Muslim).Menurut Imam Malik bahwa masaqah dibolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seperti semangka, dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untukmenggarapnya. Menurut Madzhab Hambali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan, dalam kitab al-mughni, Imam malik berkata; musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram. Menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi, dapat di-musaqah-kan, seperti tebu. Ulama-ulama fiqh kontemporer juga mengikuti pendapat ini, di antaranya

24

Page 25: Makalah muamalah

adalah Wahbah az-Zuhaili (pengarang Fiqh al-Mu’amalah al-Muashirah), Sayyid Sabiq (pengarang fiqh as-Sunnah), dan Afzalur Rahman (pengarang Economic Doctrines of Islam). Di Indonesia, ulama sepakat atas kebolehan musaqah. Disamping itu, teknis, rukun ,dan syarat Musaqah di telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pasal 266, 267, 268, 269, dan 270.

 2. Pendapat yang tidak membolehkan.

Ibnu Rusyd juga menuliskan, menurut Abu Hanifah dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya , Musaqah itu tidak diperbolehkan sama sekali. Dasarnya ialah bahwa hadits-hadits yang dipakai sebagai hujjah oleh jumhur ulama yang membolehkan, itu bertentangan dengan aturan-aturan pokok, disamping karena hadits tersebut merupakan keputusan terhadap orang-orang yahudi. Boleh jadi, pengakuan Nabi saw. terhadap orang yahudi itu karena mereka dianggap sebagai hamba dan mungkin pula sebagai warga negara dzimmi (kafir warga negara islam). Hanya saja, jika mereka itu dianggap sebgai warga negara dzimmi, maka anggaan ini berlawanan dengan aturan-aturan pokok, karena yang demikian itu berarti menjual sesuatu yang belum terjadi. Abu Hanifah juga berpendapat bahwa bagaimanapun juga hal tersebut tidak dapat dipandang halal, karena ada kemungkinan bentuk pembagian hasil hasil kebun yang populer saat itu mengandung sifat-sifat yang sama sehingga mengganggu hak-hak salah satu dari kedua belah pihak atau mendorong timbulnya perselisihan. Beliau memandang bahwa kejahatan-kejahatan seperti inilah yang membuat sistem tersebut terlarang. Jika dikaji lebih lanjut, Abu Hanifah memang pada awalanya sudah mengharamkan akad muzara’ah. Lebih dari itu, beliau dan pengikutnya menyamakan musaqah dan muzara’ah karena Illat yang paling mempengaruhi terhadap pendapat mereka ialah hasil dari akad ini belum ada ( .�C�6��) dan tidak jelas (ج-ا����) ukurannya sehingga keuntungan yang dibagi sejak semula tidak jelas.

Landasan hadits yang digunakan Abu hanifah adalah :( ) �1�L [�A� �س6ى "<�ا. �'ا 0"#" �'ا "�5ث ي�#ي-ا �'ا 1�EزLG-ا kG� �� Y7ا% *�“ barangsiapa yang memiliki tanah hendaklah mengelolanya, tidak boleh menyewakannya dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan memakan yang ditentukan”

3. Pendapat yang membolehkan musaqah hanya terbatas pada kurma dan anggur. Ini adalah pendapat golongan syafi’iyah.

Untuk kebolehan keduanya, mereka mempunyai alasan sendiri-sendiri. Untuk kebolehan kurma, mereka beralasan bahwa bagi hasil itu merupakan suatau rukhsah, Oleh karena itu, musaqah tidak berlaku pada semua jenis pertanian kecuali yang disebutkan dalam as-sunnah. Sedangkan dasar Syafi’i membolehkan musaqah pada anggur ialah karena penentuan bagi hasil itu melalui taksiran atas tangkai . Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Utab bin Usaid r.a;

25

Page 26: Makalah muamalah

( ) K���K �"و �V#D� �#6 3@(�� و(Kيز%ا`� H(��� m#@ي �� O#��� �5�" ��Q� �1�L ���� �Iى ���� dوQG �� “Rasulullah saw. mengutus utab dan menyuruhnya untuk menaksir angggur ditangkainya, kemudian zakatnya dikeluarkan berupa zabib (anggur kering), zakat kurma juga dikeluarkan berupa kurma kering (tamar)”Dalam hadits diatas disebutkan tentang penentuan melalui taksiran atas tangkai pada pohon kurma dan anggur, hal itu berkenaan dengan zakat. Maka seolah-olah syafi’I mengqiyaskan bagi hasil itu pada pohon-pohon tersebut dengan zakat. Dawud (ad-dzahiri-pen.) menolak hadits ini dengan alasan hadits tersebut mursal dan yang meriwayatkan hanya Abdurrahman bin Ishaq, padahal ia bukan orang yang kuat hafalan dan integritasnya. 

Perbedaan Musaqah dan Muzara’ah.Wahbah az-zuhaili merumuskan perbedaan antara Musaqah dan Muzaraah menjadi empat, yaitu: 

1. Dalam musaqah, apabila salah satu dari ‘aqidain tidak berkenan untuk meneruskan akad, maka ia boleh dipaksa (untuk meneruskan akad-pen). karena hal itu tidak akan membahayakan (terhadap kebun-pen) disisa akadnya. Berbeda dengan muzaraah, apabila pemilik biji memutuskan akad sebelum biji ditanam, maka ia tidak boleh dipaksa meneruskan, karena akan menimbulkan dlarurat bila diteruskan. Lebih dari itu, akad musaqah adalah akad yang lazim sedangkan muzaraah adalah akad ghairu lazim. Muzaraah tidak lazim kecuali bijinya sudah ditanam.

2. Apabila masa musaqah sudah habis, maka akad tetap berlangsung tanpa upah, dan penggarap menunaikan pekerjaanya kepeda pemilik kebun tanpa upah. Sedangkan dalam muzaraah penggarap harus meneruskan akadnya dengan ujrah mitsl, karena bolehnya menyewakan tanah dan menggarapnya pada muzaraah.

3. Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam muzaraah, jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.

4. Dalam musaqah lebih baik (istihsan) jika tidak disebutkan masa akadnya, cukup hanya dengan mengetahui waktunya (waktu berbuah-pen) menurut adat. Berbeda dengan menanam, karena waktu panennya bisa lebih awal juga bisa terlambat dari perkiraan. Sedangkan dalam muzaraah, hal itu justru disyaratkan menurut asal madzhab hanafi. Ulama lain tidak mensyaraatkan hal ini.

26

Page 27: Makalah muamalah

  Rukun dan Syarat Musaqah

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun musyaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada mujara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam mujara’ah. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ijab-qabul tidak cukup hanya dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafadz. Menurut Ulama Hanabilah, qabul dalam musyaqah, seperti dalam muzara’ah yang tidak memerlukan lafadz, cukup dengan menggarapnya. Sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan dalam qabul dengan lafadz (ucapan) dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.

Jumhur Ulama menetapkan bahwa rukun musyaqah ada lima, yaitu berikut ini. 1. Dua orang yang akad (al-aqidani) Al-aqidani disyaratkan harus baligh dan

berakal

2. Objek musyaqah

Objek musyaqah menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:

a. Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikanb. Akad ditentukan dengan waktu tertentu. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan.

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya. Akan tetapi, madzhab qadim membolehkan semua jenis pepohonan.

3. Buah, Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak

4. Pekerjaan, Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjaditidaksah.Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimalberbuahdankapanminimalberbuah.Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun musyaqah sebab Rasulullah saw pun tidak memberikan batasan ketika

27

Page 28: Makalah muamalah

bermuamalahdenganorangkhaibar.

5.Sighat

Menurut Ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan akad. Adapun Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut Ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan mengerjakannya.Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku adalah jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demisedikit,sepertiterong.Secara rinci, Sayyid Sabiq mengemukakan syarat-syarat musaqaah sebagai berikut .

a. Pohon yang dimusaqahkan dapat diketahui dengan melihat atau menerangkan sifat – sifat yang tidak berbeda dengan kenyataannya. Akad dinyatakan tidak sah apabila tidak diketahui dengan jelas

b. Jangka waktu yang dibutuhkan diketahui dengan jelas hal itu merupakan musaqah akad lazim (keharusan) yang menyerupai akad sewa – menyewa. Dengan kejelasan ini maka tidak dapat unsur ghoror. Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa penjelasan jangka waktu bukan syarat musaqahtetapiitudisunahkan. Menurut kalangan madzhab Hanafi apabila jangka waktu musaqah telah berakhir sebelum buahnya matang maka pohon itu wajib dibiarkan kepada pihak penggarap, agar ia tetap menggarap hingga pohon tersebut berbuah matang. 

c. Akad harus dilakukan sebelum buah tampak, karena dengan keadaan seperti itu, pohon memerlukan penggarapan. Namun apabila terklihat hasilnya, menurut sebagian ahli fiqh tidak dibolehkan musaqah karena tidak membutuhkan penggarapan walaupun tetap dilakukan maka namanya ijarah (sewa – menyewa) bukan lagi musaqah. Ada ulama yang membolehkannya.

d. imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah diketahui dengan jelas misalnya separuh atau sepertiga. Jika dalam perjanjian ini syaratkan untuk penggarap atau pemilik pohon mengambil hasil dari pohon – pohon tertentu saja, atau keadaan tertentu maka musaqah tidak sah 

28

Page 29: Makalah muamalah

MUZARA’AHPengertian Muzara’ah 

Menurut bahasa, kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). 

Dan dalam ensiklopedia islam Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil panen. 

Munculnya pengertian muzara’ah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.

Muzara`ah adalah salah satu bentuk ta`awun (kerja sama) antar petani (buruh tani) dan pemilik sawah. Serigkali kali ada orang yang ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu menanaminya. Maka Islam mensyari`atkan muzara`ah sebagai jalan tengah bagi keduanya.

Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di tengah para sahabat dan kaum muslimin setelahnya. Ibnu `abbas mencerikana bahwa Rasululah saw bekerja sama (muzaraah) dengan penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panenan, makanan dan buah-buahan.Bahkan Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan bahwa tidak ada seorang muhajirin yang berpindah ke Madinah kecuali mereka bersepakat untuk membagihasilpertaniansepertigaatauseperempat.

Para sahabat yang tercatat melakukan muzara`ah antara lain adalah Ali bin Abi Thalib, Sa`ad bin Malik, Abdullah bin Mas`ud dan yang lainnya. Bahkan Umar bin Abdul Aziz punyanghidupdimasaberikutnyamemilikipemasukandaribagihasil.

29

Page 30: Makalah muamalah

DasarHukumMuzara’ah 

ن: ل� ن; ف* Lن ن7ا ن-ا ن) Eن Oل ل, Fن فج ل# ف@ ح ف� ن� ن� Oل ل, Fن Yف Vن ن# Dف ن � ن6ا ن" ح# Eن Oل ل, Fن ن)ا ن� � ن ن� ن�ى Lن kن Gف نا فا' ل#ى ف� ح7 )ا ن ح� Eن �ا cف� ن/ Gل نZا ف7 نا ف�' ن# ن5 ف% ن� )ا ن ح% dن ن9ا xل في Cل Dن ل* ف" ل0 Eل �Gن ف* Lن

Artinya :Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari

( �س�� ( O��G yم Gف aن ف� ن� م# ن6 Xن ف* �ل ن-ا ف) �ل حج ح# ف@ ني ن�ا zل ف# ن? ل" ن# ن2 ف1 Dن ن3 Fف ن � ن3 �ن نLا ن� � ن Qن ن� ل� ف1 ن� Lن ح� ��� ن �ى Iن ري ل2 ( ن �� � ن ن� ن# ن6 Lح ل* ف" ل� ف* Lن

Artinya:Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)

Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: “Muzara’ah diperbolehkan oleh sebagian besar para sahabat rodhiyallohu ‘anhum, tabi’in dan para imam serta tidak diperbolehkan oleh sebagian yang lain. Dalil orang-orang yang membolehkannya adalah muamalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan penduduk khaibar. Imam bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma bahwa Rosululloh mempekerjakan orang-orang khaibar di tanah khaibar dan mereka mendapatkan separuh dari tanaman atau buah-buahan yang dihasilkannya. Adapun dalil yang melarang muzara’ah mereka tafsirkan bahwa larangan tidak bolehnya akad muzara’ah itu karena dengan sesuatu yang tidak diketahui atau tidak jelas. Ini karena mereka berhujjah dengan hadits Rafi’ bin Khadij rodhiyallohu ‘anhu berkata:

, : , ن �ى Iن ح ي ل2 ( ن �� ح� Fح ن-ا ن) Eن Oف ل; فج ح# ف@ ن ف� ن� ن� Oف ل; Yف Vن ن# Dف ن � ن6ا " ن ح# Eن ن: ن� Oل ل, Fن ن� � في ل� ح� ن� ف1 ل< ن� ف� � Oل ل, Fن dح فو ح� ن1 Eن ح� ن� Gف ن � nف ل# ف� حي ن7ا Cح ن/ ن � ن� ن%ا ن� �ا cف� ن/ ل� ن) في Cل ن6 ف� � ل3 Fف ن � ن# ن5 ف% ن � )ا ن ح%ن� � ن Qن ن� ل� ف1 ن� Lن ح� ���. 

“Kami adalah penduduk anshar yang paling banyak kebunnya, ada salah seorang dari kami menyewakan tanahnya, kemudian dia berkata: ‘sebidang tanah ini untukku dan sebidang tanah ini untukmu’, maka terkadang satu bidang mengeluarkan tanaman(berhasil) dan sebidang yang lain tidak mengeluarkan tanaman (gagal), maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang mereka.” Ataupun larangan tersebut berarti makruh yang tidak sampai kederajat haram berdasarkan ucapan Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma:

� : �ا � فو ح� ف� �ن �Jا ف1 oن ن, Dح ف ا ني ف� ن � ف* �ل ح� ن� #T ف1 Dن Oح نDا ن � ف� ح% Cح ن/ ن � jن ن) ف6 ني ف� ن � dن ن9ا ف* ل% نا ' ن� ح� ف) Lن ن� ف) ني ف� ن� ن� � ن Qن ن� ل� ف1 ن� Lن ح� ��� ن �ى Iن ن ي ل2 ( ن �� �“Sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya hanya saja beliau bersabda: “Jika salah seorang kalian memberi kepada saudaranya itu lebih baik

30

Page 31: Makalah muamalah

baginya daripada ia mengambil imbalan tertentu.” Dalil diberbolehkannya muzara’ah adalah:

yم Gف aن ف� ن � م# ن6 Xن ف* �ل ن-ا ف) �ل حج ح# ف@ ني ن�ا ن�ى Lن م# ف< ن? ل" ن# ن2 ف1 Dن ن3 Fف ن � ن3 �ن نLا ن� � ن Qن ن� ل� ف1 ن� Lن ح� ��� ن �ى Iن ل� ��� dن فو Qح Gن � ن ن �“Dari Ibnu Umar rahuma bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah memperkerjakan penduduk khoibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah dan tanaman.”

Berkata Syaikh Abdullah Al-Bassam dalam menyebutkan pelajaran yang dapat diambil dari hadits diatas:1. Bolehnya muzara’ah dan Musaqat dengan bagian dari apa yang tumbuh dari tanah

tersebut baik berupa tanaman dan buah.2. Dari zhahir hadits, tidak disaratkan benih dari pemilik tanah, dan ini adalah yang

benar.Jadi muzara’ah adalah diperbolehkan dengan dalil-dalil yang ada dan diamalkan oleh salafush shalih.Berkata Imam Bukhari rohimahulloh: berkata Qais bin Muslim dari Abu Ja’far, dia berkata: “Tidaklah di Madinah kaum Anshar melainkan mereka menanam dengan bagian sepertiga atau seperempat. Dan adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, mereka melakukan muzara’ah.Mengenai benih tanaman bisa dari pemilik tanah maka ini dinamakan muzara’ah, dan boleh benih berasal dari penggarap dan ini disebut mukhabarah. Berkata Syaikh Abdul Adhim Al-Badawi: “Tidak mengapa benih berasal dari pemilik tanah atau dari penggarap tanah ataupun dari keduanya, dalilnya; berkata Imam Bukhari rohimahulloh: Umar ra memperkerjakan orang-orang, jika benih dari Umar maka bagiannya setengah, dan jika benih berasal dari mereka maka bagian mereka adalah seperti itu (setengah). Dia juga berkata: telah berkata Hasan: “Tidak mengapa jika tanah itu milik salah satu dari keduanya, kemudian diusahakan bersama maka apa yang keluar (tumbuh) untuk keduanya, dan Az-zuhri berpendapat demikian.Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi:

3. “Diantara hukum-hukum muzara’ah adalah sebagai berikut: Masa muzara’ah harus ditentukan misalnya satu tahun. Bagian yang disepakati dari ukurannya harus diketahui, misalnya setengah,

sepertiga atau seperempatnya, dan harus mencakup apa saja yang dihasilkan tanah tersebut. Jika pemilik tanah berkata kepada penggarapnya: “Engkau berhak atas apa yang tumbuh ditempat ini dan tidak ditempat yang lainnya.” Maka hal ini tidak sah.

Jika pemilik tanah mensyaratkan mengambil bibit sebelum dibagi hasilnya kemudian sisanya dibagi antara pemilik tanah dan penggarap tanah sesuai dengan syarat pembaginnya maka muzara’ah tidak sah.Seorang muslim yang mempunyai kelebihan tanah, disunnahkan memberikan kepada saudaranya tanpa konpensasi apapun, karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Oح نDا ن � ن-ا Lف Gن فز ن1 ف� Eن ن-ا Lف Gن فز ني ف� ن� ف� ل8ا Eن ن-ا Lح Gن فز ن1 ف� Eن kT Gف ن � ح� ن� Yف ن7 ن%ا ف* �ن

“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.”

31

Page 32: Makalah muamalah

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam menyuruh penduduk Khaibar menggarap lahan Khaibar dengan upah separohnya dari tanaman atau buah yang dihasilkan lahan tersebut. Ketika itu, Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam memberi istri-istrinya sebanyak 100 wasaq (6000 gatang).”

Dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata, “aku orang dari kaum Anshar yang paling banyak kebunnya. Dulu aku menyewakan tanah dengan syarat aku mendapatkan sesuatu dan para penggarap mendapatkan sesuatu, dan terkadang pohon mengeluarkan hasil dan terkadang tidak. Kemudian aku dilarang dari itu semua.” (Muttafaq Alaih).

Ibnu Abbas berkata, “sesungguhnya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam tidak melarangnya, hanya saja beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian memberi kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada ia menetapkan pajak dalam jumlah tertentu kepadanya.” (Al Bukhari)

Hukum-hukum muzara’ah :• Masanya harus ditentukan. • Bagian yang disepakati harus diketahui. • Bibit tanaman harus berasal dari pemilik tanah, jika dari penggarap namanya mukhabarah dan ini dilarang, sesuai hadits dari Jabir berkata, “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam melarang mukhabarah.” (HR Ahmad dengan sanad shahih). • Jika pemilik mengambil bibit dari hasil panen dan penggarap mendapat sisanya sesuai kesepakatan berdua, maka akadnya batal. • Menyewakan tanah dengan harga kontan lebih baik daripada muzara’ah. Rafi bin Khadij berkata, “Adapun emas dengan emas, atau perak dengan perak, maka Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam tidak melarangnya.” • Orang yang mempunyai tanah lebih disunnahkan memberikan kepada saudara seagama tanpa kompensasi. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “Barangsiapa mempunyai tanah lebih, hendaklah ia menanamnya atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari). “Jika salah seorang dari kalian memberikan kepada saudaranya, itu lebih baik baginya daripada ia menetapkan pajak dalam jumlh tertentu kepadanya.” (HR Bukhari). • Jumhur ulama melarang sewa tanah dengan makanan, karena itu adalah jual beli makanan dengan makanan dengan pembayaran tunda. Hadits yang dibawakan Imam Ahmad ditafsirkan kepada muzara’ah, bukan sewa tanah. Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401). Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, Keluarga

32

Page 33: Makalah muamalah

Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10). 

Rukun Al-Muzara’ah Menurut jumhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:

1) Pemilik tanah 2) Petani/Penggarap3) Obyek al- muzara’ah (mahalul ‘aqdi) 4) Ijab dan qabul, keduanya secara lisan, bagi ulama Hanabilah, qabul tidak harus berupa lisan, namun dapat juga berupa tindakan langsung dari si penggarap. 

Syarat-Syarat Al-Muzara’ah 

Syarat-Syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad (pemilik dan petani). 1) Berakal; 2) Baligh. 

Sebagian ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa salah satu atau keduanya (penggarap dan pemilik ) bukan orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap mauquf, tidak punya efek hukum hingga ia masuk Islam. tetapi jumhur ulama sepakat bahwa aqad al-muzara’ah ini boleh dilakukan antara Muslim dan non Muslim termasuk didalamnya orang murtad.5Adapun benih yang akan ditanam disyaratkan harus jelas, apa yang akan ditanam-sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah: 1) Menurut adat di kalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tidak potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, maka al muzara’ah dianggap tidak sah; 2) Batas-batas tanah itu jelas; 3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap, apa bila pada waktu akad disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut serta menggarap, maka akad al-muzara’ah ini dianggap tidak sah. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah : 1) Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas; 2) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada unsur dari luar; 3) Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk menghindari perselisihan nantinya.6 Disyaratkan juga dalam jangka waktu pada al-muzaraah harus jelas, karena al-muzara’ah mengandung unsur al-ijarah (sewa menyewa) dengan imbalan sebagian hasil panen. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat dan kebiasaan setempat. Obyek akad (mahalul aqdi), disyaratkan juga harus jelas, baik berupa pemanfaatan jasa penggarap di mana benih berasal dari penggarap atau pemanfaatan tanah dimana benih berasal dari pemilik tanah. 

33

Page 34: Makalah muamalah

Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani mengatakan bahwa bila ditinjau dari sudut sah tidaknya akad al-muzaraa’ah, maka ada empat bentuk muzaraa’ah yaitu:1. Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, sedangkan kerja dan

alat dari petani, sehingga yang menjadi objek adalah jasa petani, maka akad al- muzaraa’ah dianggap sah;

2. Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan bibit, alat dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-muzaraa’ah adalah manfa’at tanah, maka akad al-muzaraa’ah dianggap sah. 

3. Apabila tanah, alat dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka akad al-muzaraa’ah juga sah; 

4. Apabila tanah dan alat disediakan pemilik tanah dan bibit, serta kerja dari petani, maka akad ini tidak sah. Karena menurut Abu Yusuf dan Muhammad al Hasan, menentukan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak boleh mengikut pada tanah. Karena manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat tanah, karena tanah untuk menghasilkan tumbuhan, sedangkan manfaat alat adalah untuk hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian bagi mereka harus mengikuti petani penggarap bukan kepada pemilik tanah.

Mukhabarah Pengertian Mukhabarah

Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.Dengan adanya praktek mukahbarah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap tanah.Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan tarap hidupnya.

Syarat Mukhabarah

Ada beberapa syarat dalam mukhabarah, diantaranya :1. Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.2. Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.3. Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.4. Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.5. Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.

34

Page 35: Makalah muamalah

Dasar Hukum Mukhabarah

Akad mukhabarah diperbolehkan, berdasarkan hadits Nabi saw,yang artinya: “Sesungguhnya Nabi telah menyerahkan tanah kepada penduduk Khaibar agar ditanami dan diperlihara, dengan perjanjian bahwa mereka akan diberi sebagian hasilnya.”(HR Muslim dari Ibnu Umar ra.)

Zakat Mukhabarah

Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi

MUDHARABAH

PENGERTIAN AL-MUDHARABAH

Pada umumnya kata mudharabah berasal dari kata dharb, yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian dari memukul atau berjalan diatas yang maksudnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya.

Sedangkan pengertian mudharabah yang secara teknis adalah suatu akad kerja sama untuk suatu usaha antara dua belah pihak dimana pihak yang pertama ( shahibul maal ) menyediakan seluruh modalnya dan sedangkan pihal yang lain menjadi pengelolanya. Keuntungan dari usahanya tersebut secara Mudharabah akan dibagi hasilnya menurut kesepakatan yang telah disepakati pada perjanjian awal, dan apabila usaha tersebut mengalami kerugian maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh pihak pemodal selama kerugian tersebut bukan disebabkan kelalaian pengelola modal. Dan jika kerugian tersebut disebabkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola modal, maka pengelola modal yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang telah dialaminya.

Pengertian mudharabah secara definisi adalah suatu bentuk perniagaan di mana pemilik modal ( shahibul maal ) menyetorkan modalnya kepada seorang pengusaha yang sering disebut dengan ( mudharib ), untuk diniagakan dengan keuntungan yang akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah

35

Page 36: Makalah muamalah

pihak sedangkan terdapat kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal jika disebabkan olehnya, dan jika disebabkan oleh pengelola modal maka pengelola modal yang harus menanggung kerugian tersebut.

Pada hakikatnya pengertian dari mudharabah adalah suatu bentuk kerja sama antara shohibul maal dan mudhorib, dimana dana 100% dari shohibul maal. Sedangkan mudhorib hanya sebagai pengelola yang keuntungannya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati di awal.

Mudharabah adalah salah satu akad kerja sama kemitraan berdasarkan prinsip berbagi untung dan rugi (profit and loss sharing principle), dilakukan sekurang-kurangnyaoleh dua pihak, dimana yang pertama memiliki dan menyediakan modal, disebut shohibul maal, sedang ke dua memiliki keahlian dan bertanggung jawab atas pengelolaan dana / menejemen usaha halal tertentu, disebut mudhorib.

LANDASAN SYARI’AH AL-MUDHARABAH

Pada dasarnya landasan dasar syari’ah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Landasannya tersebut terbagi menjadi tiga macam, yaitu[5] :

a . Al-Qur’an... ���� 3�E *� يeA2و� kGا '� Eى ي�#"و� ��#D�)� ....

“… dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT …” (al-Muzzammil: 20)

���� 3�E *� ��"eAو� kGا '� Eي ��#?A7 Eا ���Zو Y1�9 �; .... Eا(“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di

muka bumi dan carilah karunia Allah SWT …” (al-Jumu’ah: 10)

��"G *� c�Eا eA2و� V)اح �� ��1�L =1� ...“Tidak ada dosa ( halangan ) bagi kamu untuk mencari karunia

Tuhanmu ….” (al-Baqarah: 198)

Ayat-ayat yang senada masih banyak yang terdapat dalam al-Qur’an yang dipandang oleh para fuqoha sebagai basis dari yang diperbolehkannya mudharabah. Kandungan ayat-ayat di atas mencakup usaha mudharabah karena mudharabah dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.

b . Al-Hadits

{ : dاي)ز'� �#�" �" 'ايس�: Iا/�2 �� �Lى z#Ao� �"Gا�� d6ا�� 0EK �;�8 H�>6�� C2L *" ���2ا[ 7C1Qا %ا� d9ا �7� L)-6ا ���� G�ي 2Lا[ *"� �Gى � OaاVا E ��Q � �1�L ���� �Iى ���� dوQG o#ط� �2Eغ *6� :�; 3�E 8ا� E Gط�2 C2% ;�ت �"�K �" ي?A#ى �'ا ��Kيا �"}

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib “jika memberikam dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berdahaya, atau membeli ternak. Jika

36

Page 37: Makalah muamalah

menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR Thabrani)

'ا } Y12�� "ا�?�#1 #2�� zاcD� � ��G�6ا��� 3V� ��8ى 012�� �%#2�� *-1E cXاث ��Q � �1�L ���� �Iى ���� dوQG d9ا d9ا �1"� *L H1-I *" jا�I *L 012�� }

Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijarah)

c. IjmaImam Zailai telah memyatakan bahwa para sahabat telah

berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatin secara mudharabah.

IJARAH

Pengertian dan Dasar Hukum Ijarah

Pengertian Ijarah

Secara bahasa ijarah digunakan sebagai nama bagi al-ajru (#Vا '� ) yang berarti “imbalan terhadap suatu pekerjaan” ( 36��� �Lى Asal katanya .( ��5و�^) ”dan “pahala (��جز�(adalah:  -#Vي ا #V� dan jamaknya adalah GوV� . Wahbah al-Zuhaily menjelaskan ijarah menurut bahasa yaitu:  ���(6�� 01" yang berarti jual beli manfaat. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh kuli dan lain sebagainya. Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah:

     �#V� ^5و��� 6Qى �(�� ،kو���� �Fو #Vا '� *� ��A?� GاV8ا '� 

Artinya: ”Ijarah di ambil dari kata “Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala juga dinamakan upah”.

 Abdurrahman al – Jaziri mengemukakan :

36��� �Lى ��جز�( ��)-ا� ��6-ا ��ج1� "�س# #V� � #Vي ا �6EاLG-ا 3A9� #� �a� �Lى #V� 3��� 6QاLي GCZ� Fي �e��� Eي GاV8ا '�

Artinya : “Ijarah menurut bahasa merupakan mashdar sima’i bagi fi’il  “ajara” setimbang dengan kata “dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan ajir(dengan kasrah jim dan dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan”.

  Kemudian Abi Yahya Zakaria juga mengemukakan :

                                                                                               #Vا '� �Q� �e� GاV8ا '�

37

Page 38: Makalah muamalah

Artinya : “Ijarah secara bahasa disebut upah”

Berdasarkan defenisi di atas maka secara etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu.

Secara terminologi pengertian ijarah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama di bawah ini:

Menurut Ulama Syafiiyah:

���و. kو�" �/ "ا 8ا '�� d,2�� ��" 9ا �� ���و `KوZ�� ���(� �Lى C�L

Artinya: “Akad atas suatu manfaat yang diketahui kebolehannya dengan serah terima dan ganti yang diketahui manfaat kebolehannya”.

Menurut Ulama Hanafiyah:

kو�" 0E6)ا�� �Lى C�L

  Artinya: ”Akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti”.

Menurut Ulama Malikiyyah:

   �����و `C� �2ا/� oي( 0Eا(� :1�6

Artinya: ”Ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu”.

Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:

1. Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak yang ditandai dengan adanya ijab dan kabul

2. Adanya imbalan tertentu

3. Mengambil manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh untuk bekerja.

Dasar Hukum Ijarah

Para ulama fiqih mengatakan yang menjadi dasar kebolehan akad ijarah adalah  al-Quran, Sunnah dan Ijma’

38

Page 39: Makalah muamalah

a. Landasan Al-Quran.

1)        Surat al-Thalaq  ayat 6: 

Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, Maka berikanlah kepada mereka upahnya”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila orang tua menyuruh orang lain untuk menyusukan anak mereka, maka sebaiknya diberikan upah kepada orang yang menyusukan anak itu.

2)        Surat al-Baqarah ayat 233: 

Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tidaklah menjadi halangan sama sekali kalau memberikan upah kepada perempuan lain yang telah menyusukan anak yang bukan ibunya. Menurut Qatadah dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu kepada perempuan lain yang disukai ibunya atau ayahnya atau dengan melalui jalan musyawarah. Jika telah diserahkan kepada perempuan lain maka biayanya yang pantas menurut kebiasaan yang berlaku, hendaklah ditunaikan.

3)        Surat az-Zukhruf ayat 32:

Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan sebagain manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling   membantu antara yang satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.

4)        Surat al-Qashas ayat 26-27:

Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada

39

Page 40: Makalah muamalah

kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik”.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa di dalam ayat di atas disyaratkan adanya imbalan atau upah mengupah atau memperkerjakan orang lain yang punya keahlian dibidangnya.

b. Landasan Sunnah

Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah berdasarkan hadits  yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:

: : #F6ا�� Yي#@�� D#يAا FاKيا ،nCL *" C2L ")ى *� �X ��Cي3، ")ي *� cVGا #�" � �"و ��Q� �1�L ���� �Iى ��AQ اV#��)2ى L)-ا ���� G�ي Lائ?� *L E ا-6ا ،d1ا� cXاث C�" GوX Gغا O�CL�� 1A�/�G-6ا، �1��8 �ECEا ،Oا(�E ا 9#يش، Gا�% Kي* �Lى �Fو ��ئ3، *" mا��� dو� Eى P�/ ي16* غ6= C9 "ا�-�Cي�

( ) nG2@ا�� O��G ��سا/3 ط#ي] �Fو ،��� 3�Q� �-" ,Dا E ��Cي�ي، 31�C��� ، #1-E *"#�Lا ��-6ا [�>7�� �cا،GاE cXاث d1ا� ��12I "#�/�1A-6ا

Artinya: “Dari Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada   hari di malam ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur pantai”(H.R. Bukhari).

Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi) maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak seperti tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan perbuatan itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan martabat mereka.

Kemudian hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:

40

Page 41: Makalah muamalah

: � �1�L ���� 3I ��)2ى �/Aج� d9ا L)-6ا ���� G�ي 2Lا[ *"� *L �1"� *L طا�[ *"� /XC)ا

( ) nG2@ا�� O��G O#V� ���جا. ��L<ى ��Q

Artinya: ”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas  r.a dia  berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R.Bukhari)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi upah mengupah.

( ) : �Vا� *"� O��G ح� ح9 ن# Lن P ن لج ني ف� ن � ن3 ف2 ن9 Oح ن# Vف ن � ن# 1Vل ن ا '� ح<و� Lف ن � ��Q� �1�L ���� �Iى �� ن �� dح حQو Gن dن ن9ا dن ن9ا ن# ن6 Lح ل* ف" ل� � ن �� Cل ف2 Lن ف* Lن

Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah )  .

Hadits di atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.

c. Ijma’

Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah  kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak ditanggapi. Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.

Rukun dan Syarat Ijarah

1. Rukun Ijarah

Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad atau transaksi. Tanpa rukun akad tidak akan sah. Rukun sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan dalam bukunya ”al-Wajizu fi Ushul Fiqh” sebagi berikut:

:�A1Fا�� ��?ى( ��1�/ *� Vز( *%#��   

Artinya: ”Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu dan zatnya”.

41

Page 42: Makalah muamalah

Dari defenisi yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rukun mutlak adanya dalam sebuah akad ijarah.

Layaknya sebuah transaksi ijarah dapat dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat. Menurut Ulama Hanafiyah rukun dari ijarah itu hanya satu yakni ijab dan kabul dengan menggunakan lafal upah atau sewa (al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira` dan al-ikra`).Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan dan manfaat termasuk ke dalam syarat-syarat ijarah, bukan rukunnya. Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat yaitu: orang yang berakad, sewa/imbalan, manfaat, dan adanya sighat (ijab dan kabul).

Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan secara terperinci sebagai berikut:

1. Orang yang berakad

Mu’jir dan Musta’jir. Mu’jir adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Musta’jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya atau orang yang menjadi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari pekerjaannya itu.

2. Objek transaksi (manfaat)

Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang jelas seperti mengerjakan pekerjaan proyek, membajak sawah dan sebagainya.

Sebelum melakukan sebuah akad ijarah hendaknya manfaat yang akan menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas agar terhindar dari perselisihan dikemudian hari baik jenis, sifat barang yang akan disewakan ataupun pekerjaan yang akan dilakukan.

3. Imbalan atau upah

Upah sebagaimana terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah uang dan sebagainya yang di bayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu. Jadi upah merupakan imbalan dari suatu pekerjaan yang telah dilakukan. Pembayaran upah ini boleh berupa uang dan boleh berupa benda.

2. Syarat Ijarah

42

Page 43: Makalah muamalah

Syarat secara bahasa adalah ]  ��aاc�� ��c��� yangا berarti pertanda yang lazim, indikasi, atau memastikan sesuatu. Sedangkan secara istilah syarat adalah:

��?ي( KوV� OKوV� *� ي�ز. �'ا �A�1�/ *L DاVGا �%ا� ،OKوV� �Lى ��?ي( KوV� P9وAاي�

Artinya: ”Sesuatu yang tergolong padanya keberadaan hukum (syar’i) dan dia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum itu tidak ada”.

Syarat merupakan sesuatu yang bukan bagian dari akad, tetapi sahnya sesuatu tergantung kepadanya. Adapun syarat-syarat transaksi ijarah yaitu:

1. Dua orang yang berakad disyaratkan:

Berakal dan mummayiz, namun tidak disyaratkan baligh. Maka tidak dibenarkan mempekerjakan orang gila, anak-anak yang belum mumayiz dan tidak berakal. Amir Syarifuddin menambahkan pelaku transaksi ijarah harus telah dewasa, berakal sehat dan bebas dalam bertindak dalam artian tidak dalam paksaan. Jadi transaksi ijarah yang dilakukan oleh anak-anak atau orang gila atau orang yang terpaksa tidak sah.

Menurut ulama Hanafiyah pelakunya tidak dipersyaratkan telah baligh. Oleh karena itu, akad ijarah yang dilakukan kanak-kanak yang telah mumayyiz dan diizinkan walinya berlaku mengikat dan berdampak hukum. Tapi kalau pelakunya berada di bawah pengampuan (G�6جو��), maka keabsahan akadnya itu tergantung izin dari wali pengampunya.

Namun demikian ulama Malikiyah menegaskan bahwa mummayiz menjadi syarat dalam akad ijarah. Sedang baligh manjadi syarat yang menentukan berlaku mengikat atau tidaknya akad tersebut. Oleh karena itu, menurut mereka, sah akad ijarah yang dilakukan seorang kanak-kanak, akan tetapi akad itu baru bisa dieksekusi setelah mendapat izin dari walinya. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah untuk sahnya ijarah hanya mengemukakan satu syarat untuk pelaku akad, yaitu cakap hukum (baligh dan berakal).

Alasan mereka karena akad ijarah itu sama dengan akad jual beli, yaitu akad kepemilikan semasa hidup.

2.   Kerelaan (an-Tharadhin)

Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah, dan para pihak berbuat atas kemauan sendiri. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Karena Allah melarang penindasan atau

43

Page 44: Makalah muamalah

intimidasi sesama manusia tapi dianjurkan saling meridhoi sesamanya. Sebagaimana firman allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 29:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah akamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

3. Sesuatu yang diakadkan (barang dan pekerjaan) disyaratkan: Objek yang diijarahkan dapat di serah-terimakan dengan baik manfaat maupun

bendanya. Manfaat dari objek yang diijarahkan  harus yang dibolehkan agama, maka

tidak boleh ijarah terhadap maksiat seperti mempekerjakan sesorang untuk mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.

Manfaat dari pekerjaan harus diketahui oleh kedua belah pihak sehingga tdak muncul pertikaian dan perselisihan dikemudian hari.

4. Manfaat dari objek yang akan di ijarahkan sesuatu yang dapat dipenuhi secara hakiki.5. Jelas ukuran dan batas waktu ijarah agar terhindar dari persengketaan atau

perbantahan.6. Perbuatan yang diijarahkan bukan perbuatan yang diwajibkan oleh mu’ajir seperi

sholat, puasa dan lain-lain.7. Pekerjaan yang diijarahkan menurut kebiasaan dapat diijarahkan seperti menyewakan

toko, computer, maka tidak boleh menyewakan pohon untuk menjemur pakaian, karena hal itu diluar kebiasaan.

Selain tujuh syarat diatas, Rachmat Syafei menambahkan bahwa Pekerjaan yang diijarahkan bukan sesuatu yang bermanfaat bagi si pekerja dan juga tidak mengambil manfaat dari hasi kerjanya, seperti mengambil gandum serta mengambil bubuknya.

1. Upah atau imbalanUntuk sahnya ijarah, sesuatu yang dijadikan sebagai upah atau imbalan harus memenuhi syarat berikut:

2. Upah berupa benda yang diketahui yang dibolehkan memanfaatkannya (mal mutaqqwwim).

3. Sesuatu yang berharga  atau dapat dihargai  dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.

4. Upah /imbalan tidak disyaratkan dari jenis yang di akadkan misalnya sewa rumah dengan sebuah rumah.

Terhadap imbalan ada beberapa ketentuan dalam hal menerima atau memberikan:

a. Imbalan atau upah tersebut hendaknya disegerakan pembayarannya.b. Mesti ada kejelasan berapa banyak yang diterima sehingga kedua belah pihak

akan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.c.    Imbalan atau upah dapat diberikan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat

bersama. Apakah diberikan seluruhnya atau selesai waktunya. Ini semua tergantung kebiasaan yang terjadi pada masyarakat asalkan tidak ada yang terzalimi terhadap upah yang akan diterima.

d.      Imbalan atau upah benar-benar memberikan manfaat baik berupa barang atau jasa, sesuai dengan ketentuan yang disepakati bersama sehingga kedua belah pihak

44

Page 45: Makalah muamalah

saling merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lainnya. Maksudnya, terhadap semua kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak tersebut memang mesti ditunaikan.

e. Upah atau imbalan mesti berupa benda yang diketahui yang diperbolehkan memanfaatkanya.

f. Sighat (ijab dan kabul) disyaratkan berkesesuaian dan menyatunya majelis akad seperti yang disyaratkan dalam akad jual beli. Maka akad ijarah tidak sah jika antara ijab dan kabul tidak bersesuaian, seperti antara objek akad dan batas waktu.

Macam – Macam Ijarah

Dari segi objeknya, akad ijarah dibagi para ulama fiqih kepada dua macam:

1. Ijarah yang bersifat manfaat (sewa). Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, dan kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek sewa-menyewa.

2. Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh pabrik, tukang sepatu, dan tani.

Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu:

1. Ijarah Khusus

Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga.

2. Ijarah MusytarakYaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerjasama.

Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan orang lain. Contohnya para pekerja pabrik..

Adapun perbedaan spesifik antara jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga kerja, disyaratkan kejelasan karakteristik jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain persyaratan yang sama, juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad dilangsungkan, sama seperti persyaratan barang yang diperjual belikan.

Berakhirnya Akad Ijarah

Para ulama fiqih menyatakan bahwa akad ijarah akan berakkhir apabila:

1. Ijarah berakhir apabila dibatalkan. Sebab sewa adalah suatu tukaran harta dengan harta. Oleh sebab itu, boleh dibatalkan sama seperti jual beli.

45

Page 46: Makalah muamalah

2. Manfaat yang di harapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai kecuali ada uzur atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka penyewa wajib mengembalikan barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang sewaan sebidang tanah pertanian yang di tanami dengan tanaman, maka boleh ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik dengan pembayaran yang sebanding dengan tenggang waktu yang di berikan.

3. Menurut Ulama Hanafiyah, akad sewa dapat batal, karena munculnya halangan mendadak terhadap si penyewa. Misalnya, jika seseorang menyewa tokoh untuk berdagang kemudian dagangannya terbakar atau dicuri orang. Alasannya adalah bahwa hilangnya sesuatu yang digunakan untuk memperoleh manfaat itu sama dengan hilangnya barang yang memilki manfaat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, sewa menyewa tidak dapat batal kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad (uzur) seperti cacat atau tempat pemenuhan manfaatnya hilang.

4. Menurut Ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad ijarah, maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.

Sifat ijarah adalah mengikat para pihak yang berakad. Mengikat yang dimaksud disini adalah apakah akad ijarah bisa di batalkan (fasakh) secara sepihak atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad yang lazim (mengikat) yang boleh dibatalkan. Menurut mereka ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat dialihkan kepada ahi waris. Alasanya adalah bahwa kematian itu merupakan perpindahan barang yang disewakan dari satu pemilikan kepada pemilikan yang yang lain. Karena itu, akad tersebut harus batal. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan dan dapat diwariskan. Adapun alasannya adalah bahwa akad ijarah itu merupakan akad imbalan. Karena itu, tidak menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak seperti dalam jual beli.

Penentuan Upah dan Pembayarannya

Masalah yang paling penting dalam ijarah adalah menyangkut pemenuhan hak-hak musta’jir, terutama sekali hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan, hak-hak atas jaminan social, dan hak atas upah yang layak. Untuk itu perlu dikaji tentang ketentuan hak-hak musta’jir terutama tentang upah.

Pembayaran upah adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang menyewa/mengupah seseorang untuk melakukan pekerjaan. Upah adalah hak yang harus diterima oleh orang yang dipekerjakan setelah pekerjaan itu selesai dilakukan. Dalam ketentuan Islam dikatakan apabila seseorang menyewa atau mengupah seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan maka hendaklah pembayaran upah itu mereka tentukan terlebih dahulu. Sedangkan pembayaran upahnya yang tidak ada aturan yang mengaturnya perlu ada perjanjian dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk itu dalam perjanjian ijarah, penyewa dan yang memberikan jasa harus menetapkan kapan dan berapa jumlah upah atau sewa yang akan diterima, agar terjadi kesepakatan dan kerelaan diantara kedua belah pihak baik

46

Page 47: Makalah muamalah

orang yang di sewa maupun orang yang menyewa, sehinga pekerjaan akan dilakukan dengan ihklas dan senang hati  serta dapat mencegah terjadinya perselisihan.

Pembayaran ini dapat dipercepat dan dapat pula ditangguhkan. Menurut Mazhab Hanafi mensyaratkan mempercepat upah dan menangguhkan upah boleh dengan syarat adanya kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah pihak.

Jika dalam akad tidak terdapat kesepakatan untuk mempercepat dan menangguhkan pembayaran upah, sekiranya upah itu bersifat dikaitkan dengan waktu tertentu, maka wajib dipenuhi sesudah berakhirnya masa tersebut. Misalnya seseorang memyewa sebuah toko untuk selama satu bulan, apabila masa satu bulan telah berakhir maka ia wajib membayar sewaan tersebut. Jika akad ijarah untuk pekerjaan, maka kewajiban untuk pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan tersebut.

Kemudian jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai penerimaan bayaran dan tidak ada ketentuan menangguhkan. Menurut Abu Hanifah  dan Malik, wajib diserahkan secara angsuran, sesuai dengan manfaat yang di terima.

Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal, sesungguhnya ia berhak sesuai dengan akad itu sendiri, jika orang yang meyewakan menyerakan ‘ain kepada orang yang menyewa , ia berhak menerima seluruh bayaran karena si penyewa sudah memiliki kegunaan (manfaat) dengan sistem ijarah dan ia wajib menyerahkan bayaran agar dapat menerima ‘ain (agar ‘ain dapat diserahkan kepadanya).

Dalam pembayaran upah dianjurkan untuk mempercepat pembayarannya dan jangan menunda-nunda pembayaran upah tersebut. Salah satu norma ditentukan islam adalah memenuhi hak-hak musta’jir. Islam tidak membenarkan jika seorang pekerja mencurahkan jerih payah dan keringatnya sementara upah tidak di dapatkan, dikurangi dan ditunda-tunda. Selanjutnya, perlu diketahui juga kapan upah harus dibayarkan oleh para mu’jir. Untuk menjawab itu Nabi saw mengatakan dalam haditsnya sebagai berikut:

P ن لج ني ف� ن � ن3 ف2 ن9 Oح ن# Vف ن � ن# 1Vل ن ا '� ح<و� Lف ن � ��Q� �1�L ���� �Iى ل� � ن �� dح حQو Gن dن ن9ا dن ن9ا ن# ن6 Lح ل* ف" ل� � ن �� Cل ف2 Lن ف* Lن ( ) �Vا� *"� O��G ح� ح9 ن# Lن .

 

Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah )  .

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi SAW memerintahkan, bayarkanlahupahburuhitusebelumkeringkeringatnya,artinyaupah musta’jir dibayarkan  secepatnya atau dengan kata lain selesai bekerja  langsung menerima upahnya.

Jika menyewa barang, maka barang sewaan di bayar ketika akad sewa, kecuali jika di dalam akad ditentukan lain manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.

Jadi Allah melarang penindasan dengan mempekerjakannya tetapi  tidak membayar upahnya. Di samping itu Rasulullah sendiri pernah melakukan pengupahan

47

Page 48: Makalah muamalah

terhadap seorang bekam, namun Nabi karena telah menggunakan jasanya tetap menunaikan upahnya, sebagaimana yang terdapat dalam hadist sebagai berikut:

��Q� �1�L ���� 3I ��)2ى �/Aج� d9ا L)-6ا ���� G�ي 2Lا[ *"� *L �1"� *L طا�[ *"� /XC)ا

( ) nG2@ا�� O��G O#V� ���جا. ��L<ى

Artinya: ”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas  r.a keduanya  berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R.Bukhari)

Dalam hadits berikutnya juga dijelaskan bahwa di akhirat ada tiga golongan yang diancam dan di musuhi oleh Allah kelak. Salah satu diantaranya adalah majikan yang mempekerjakan seorang buruh kemudian tidak memberikan haknya secara layak, tidak membayar upahnya padahal buruh telah memenuhi kewajibannya dengan semestinya. Sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:

���� 3I ��)2ي *L �(L ���� G�ي F#ي# L* �"ي C1�Q "* �"ي C1�Q *L �1�� *" 31L 6Q�8ا *L �1�Q *" ي�ي X)ي C/ d9ا C6�� *" PQيو X)ا C/ : : �#/ yا" 3VG� ،GCغ �X "ي �L<ى 3VG �����1ا يو. �-6�D �7ا �X cXا �ا�ى ���� d9ا d9ا ��Q � �1�L  �(� EاAQوEى �#1V� #V �AQ ا 3VG� ،�(6X 3% E ا

( ) nG2@ا�� O��G O#V� ي�<� ���

 

Artinya: ”Dari Yusuf bin Muhammad berkata: menyampaikan kepadaku Yahya bin Sulaim dari Ismail bin Umayyah dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW bersabda:”Allah SWT berfirman ada tiga golongan yang aku musuhi di hari kiamat yaitu: orang yang berjanji dengan nama-Ku, kemudian dia berkhianat, orang menjual manusia merdeka kemudian memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan buruh lalu ia ambil tenaganya dengan cukup tetapi tidak memberikan upahnya” (H.R. Bukhari)

‘ARIYAH

Pengertian ‘Ariyah

‘Ariyah menurut etimologi diambil dari kata ‘Ara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘Ariyah berasal dari kata at-Ta’aawuru, yang berarti saling menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam meminjam. Menurut terminologi syara’ ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :

48

Page 49: Makalah muamalah

1. Menurut ulama Hanafiah, ‘Ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai dengan imbalan.

2. Menurut Syafi’iyah dan Hambaliyah, ‘Ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat dari orang yang berhak memberikan secara sukarela dengan cara-cara pemanfaatan yang diperbolehkan sedangkan bendanya masih utuh.

Jadi dapat kita simpulkan, ‘Ariyah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain, sehingga orang tersebut dapat memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya. Contohnya, si A meminjam bulpoin kepada si B. 

Landasan Hukum‘Ariyah dianjurkan dalam Islam.

Hal tersebut didasarkan pada :

1. Al-Qur’an. QS. Al-Maidah:2 “Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa”.

2. As-Sunnah dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud

Dari Shafwan Ibn Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah meminjam perisai dari Shafwan Ibn Umayyah pada waktu perang Hunain. Shafwan bertanya, “Apakah engkau merampasnya, ya, Muhammad?” Nabi menjawab, “Cuma meminjam dan aku bertanggung-jawab.”

Dan hukum ‘Ariyah menurut QS. Al-Maidah:2 adalah Sunnah.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya

Rukun dan Syarat

1. Rukun ‘Ariyah Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ‘Aariyah hanyalah Ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan Qabul bukan merupakan rukun ‘Aariyah. Menurut Ulama Syafi’iyah, dalam ‘Aariyah disyaratkan adanya lafadz shighat akad, yakni ucapan ijab qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi, sebab memanfaatkan milik  barang

49

Page 50: Makalah muamalah

tergantung pada adanya izin. Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakkan bahwa rukun‘Aariyah ada empat, yaitu:

Mu’ir (peminjam) Musta’ir (yang meminjamkan) Mu’ar (barang yang dipinjamkan) Shighat (sesuatu yang menujukkan kebolehan untuk mengambil manfaat,

baik dengan ucapan maupun perbuatan)

2. Syarat

Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ‘Aariyah sebagai berikut:

Mu’ir berakal sehat, ‘Aariyah tidak akan sah jika dilakukan olehorang gila dan anak kecil yang tidak berakal.

Orang yang meminjam harus orang yang berakal dan dapat (cakap) bertindak atas nama hukum karena orang tidak berakal, tidak dapat memegang amanat. Oleh sebab itu anak kecil, orang gila, dungu, tidak  boleh mengadakan akad ‘ariyah.

Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dikuasai oleh pemimjam, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, transaksi dalam berbuat kebaikan.

Harus ada serah terima dari musta’ir karena akad ‘Ariyah merupakan akad tabarru’, maka akad dinyatakan tidak sah tanpa adanya serah terima.

Musta’ar harus milik sendiri. Bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisik yang ada. Bukan barang yang apabila dimanfaatkan habis, seperti makanan dan minuman.

Ulama fiqh menetapkan bahwa akad ‘Aariyah diperbolehkan atas barang-barang yang bisa dimanfaaatkan tanpa harus merusak dzat atau barang yang digunakan seperti rumah, pakaian, kendaraan, dan barang lain yang sejenis.

Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh. Diharamkan meminjamkan Al-Qur’an atau yang berkaitan dengan Al-Qur’an kepada orang kafir. Diharamkan juga meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram.

Pinjam-meminjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga berakhir apabila salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meminjam bukanmerupakan perjanjian yang tetap. Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dan yang meminjam barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan pada hukum asalnya, yaitu belum dikembalikan.

Hukum dan Sifat

Dalam ‘Aariyah, hukumnya bisa menjadi wajib, misalnya bagi muslim yang terpaksa harus meminjam sesuatu yang amat dibutuhkan kepada saudara seagamanya

50

Page 51: Makalah muamalah

yang tidak membutuhkannya. Diantara hukum-hukum ‘Aariyah adalah sebagai berikut:

1. Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah. QS. Al-Maidah:2, “Dan janganlah kalian tolong menolong pada perbuatan dosa dan permusuhan (pelanggaran)”.

2. Jika mu’ir mensyaratkan bahwa musta’ir berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika ia merusaknya, maka musta’ir wajib menggantinya, karena Rasul SAW bersabda,“Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka”. (HR.Abu Dawud dan Al-Hakim).

Sifat ‘Aariyah:

1. Musta’ir harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut, kecuali oleh kuli pengangkut, atau dengan taksi.

2. Musta’ir tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Adapun meminjamkannya pada orang lain, maka tidak apa-apa jika mu’ir mengizinkan.

3. Musta’ir merawat barang pinjaman dengan baik. Rasulullah SAW bersabda : "Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang itu". (HR. Ahmad).

4. Jika seseorang meminjam kebun untuk dibuat tembok, ia tidak  boleh meminta pengembalian kebun tersebut hingga temboknya roboh. Begitu juga orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembangan sawah tersebut hingga tanaman yang ada di atasnya telah dipanen, karena menimbulkan madlarat kepada sesama muslim itu haram.

5. Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunnahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu peminjaman.

Aplikasi ‘Ariyah dalam Lembaga Keuangan Syariah

Aplikasi ‘Aariyah dalam lembaga keuangan syariah dinamakan ‘Aariyah atau I’aarah. Pada dasarnya, aplikasi ini berjalan di atas akad al-ashliyah (tanpa ada paksaan seperti bai’), dan pastinya tanpa bunga. Namun pada kenyataannya, meski bank tersebut berlabel syariah, namun bank masih belum dapat melaksanakan ‘Aariyah secara murni syariah. Bank syariah masih menggunakan sistem bunga namun menggunakan istilah yang berbeda.

AR-RAHN

Definisi Ar-Rahn (gadai)

secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya,

51

Page 52: Makalah muamalah

jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”.

Sebagai contoh, bila ada seseorang memiliki hutang kepada anda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Lalu dia memberikan suatu barang yang nilainya sekitar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) sebagai jaminan utangnya. Maka di dalam gambaran ini, utangnya kelak dapat dilunasi dengan sebagian nilai barang yang digadaikannya itu bila dijual.

Contoh lain, bila ada seseorang yang berhutang kepada anda sebesar RP.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Lalu dia memberikan kepada anda sebuah barang yang nilainya sebesar Rp.500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) sebagai jaminan utangnya. Di dalam gambaran kedua ini, sebagian hutang dapat dilunasi dengan nilai barang tersebut.

Dalam dua gambaran di atas, baik nilai barang gadaiannya itu lebih besar maupun lebih kecil dari jumlah utang, hukumnya tetap sama, diperbolehkan.

Landasan Disyariatkannya Gadai:

Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:

1. Al-Qur’an:FirmanAllah : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”(QS.Al-Baqarah:283)Di dalam ayat tersebut, secara eksplisit Allah  menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan atau obyek pegadaian.

2. Al-Hadits: Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

“Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan Muslim III/1226 (no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat).

Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).

3. Ijma’(konsensus)paraulama:

52

Page 53: Makalah muamalah

Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan mukim. Akan tetapi, pendapat yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.

Unsur dan Rukun Gadai(Ar-Rahn):

1. Dalamprakteknya,gadaisecarasyariahinimemilikiempatunsur,yaitu:Ar-Rahin, Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang.

2. Al-Murtahin, Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.

3. Al-Marhun/ Ar-Rahn, Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.4. Al-Marhun bihi, Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.

Sedangkan rukun gadai (Ar-Rahn) ada tiga,yaitu:

1. Shighat(ijabdanqabul).2. Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang menggadaikan

(ar-râhin)danyangmenerimagadai/agunan(al-murtahin)3. Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang

digadaikan/diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).

Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn) tersebut sah.

Syarat gadai (ar-rahn):

Disyaratkan dalam muamala gadaihal-halberikut:

1. Pertama: Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh,berakaldanrusyd(kemampuanmengatur).

2. Kedua:SyaratyangberhubungandenganAl-Marhun(baranggadai)ada dua:

53

Page 54: Makalah muamalah

Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.

Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.

Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dansifatnya,karena Alrahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.

3. Ketiga: Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.

Beberapa Ketentuan Umum Dalam Muamalah Gadai:

Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:

1. Barang yang Dapat Digadaikan.a. Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi,

agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.

Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.

ل� – � ن �� dن حQو Gن � ن ن � �(L ���� G�ى رى Gل نZا ف7 ن ا '� Kم ح�و فس �ن ل"ى ن � ف* Lل� –  – ن نو� ف� ح/ ن� رى eل ن2 ف� � ل# ف- �ن ن� Hل ف� ن� ف� � ل* ن6 Xن ف* Lن ن-ى ن7 ��Q� �1�L ���� �Iى ل* Fل ن�ا ف� �

Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung, (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan.”

2. Barang Gadai Adalah Amanah.Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang,

dia hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan

54

Page 55: Makalah muamalah

mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayarutangnyamakabarangtersebutkembaliketangannya.Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.

3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian

gadai tersebut, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).

DansabdaNabi:ح� Aح ن� ن� ن7 ح ن# ف? ني ن� Hح ن% ف# ني ل,ى � ن � ن�ى Lن ن� �7ا حFو ف# �ن ن� ن%ا ن;� ل�8 ح ن# ف? حي Gر C ن �� ح* ن2 ن� ن� �7ا حFو ف# �ن ن� ن%ا ن;� ل�8 Hح ن% ف# حي ح# ف- U ن ��

“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari (no.2512), dan At-Tirmidzi (no.1245), dan ini lafazhnya).

4. Pemanfaatan Barang Gadai.Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian.

Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.

Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba. Demikianlah hukum asal pegadaian.

Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi

55

Page 56: Makalah muamalah

dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no.3962, Fathul Bari V/143 no. 2512, ‘Aunul Ma’bud IX/439 no.3509, Tirmidzi II/362 no.1272 dan Ibnu Majah II/816 no.2440).

Syaikh Abdullah Al-Bassam menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.(11)

5. Biaya Perawatan Barang Gadai.

Jika barang gadai butuh biaya perawatan -misalnya hewan perahan, hewan tunggangan,danbudak(sebagaimanadalamas-sunnah) maka:

Jika dia dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakanbaranggadaitersebut.

Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.

Maksud barang gadai yang butuh pembiayaan, yakni jika dia tidak dirawat maka dia akan rusak atau mati. Misalnya hewan atau budak yang digadaikan, tentunya keduanya butuh makan. Jika keduanya diberi makan oleh pemilik uang maka dia bisa memanfaatkan budak dan hewan tersebut sesuai dengan besarnya biaya yang dia keluarkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang telah lalu dalam masalah pemanfaatan barang gadai.

6. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang

berkewajiban melunasi utangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya.

HIWALAH

Pengertian Pengalihan Hutang

            Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-inqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan. Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari

56

Page 57: Makalah muamalah

tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).

Pengertian Hiwalah secara istilah:

1. Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah: “Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.

2. Al-jaziri berpendapatbahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah: “Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.

3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah: “Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.

4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah: “Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.

5. Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah: “Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.

6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah: “Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.

7. Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.

8. Menurut Syafi’i Antonio (1999), hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya (artinya ada satu pihak yang menjamin hutang pihak lain).

Hiwalah sebagai tindakan yang tidak membutuhkan ijab dab qabul dan menjadi sah dengan sikap yang menunjukkan hal tersebut seperti : "Aku hiwalahkan kamu", "Aku ikutkan kamu dengan hutangku padamu kepada si Fulan", dan lain-lainnya.

  Landasan Hukum Hiwalah

Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:

1. Hadits

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:

57

Page 58: Makalah muamalah

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya, maka terimalah hawalah itu”.

Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).

Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah

JI’ALAH

Pengertian Ji’alah

Ji’alah dinamakan juga ju’l dan ja’iilah, yaitu sesuatu yang diberikan kepada orang lain karena perbuatan yang dilakukannya. Misalnya seseorang mengatakan, “Barang siapa yang melakukan ini, maka ia akan mendapatkan harta sekian.” Yakni ia akan memberikan upah yang ditentukan bagi orang yang mau mengerjakan pekerjaan yang ditentukan, seperti membangun dinding, dsb.

Landasan Hukum Ji’alah

Dalil asal tentang disyariatkannya ju’aalah adalah firman Allah Ta’ala:

Penyeru-penyeru itu berkata, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”. (QS. Yusuf: 72)

Yakni barang siapa yang mampu menunjukkan pencuri piala milik taja, maka ia akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta. Ini adalah ju’l, dan menunjukkan bolehnya ji’alah.

Sedangkan dalil dari sunah adalah hadis Abu Sa’id berikut, ia berkata:

Cح ر1 Qن ن� Cل ح� Eن ف�، Fح ح�و ر1 ن� حي ف� ن � فو� ن" ن ا Eن ف� Fح حEو ن�ا Aن Qف نEا ، ل ن# ن� �� ل( ن1ا ف/ ن � ف* �ل يي ن/ ن�ى Lن ح�و� نز ن7 ن Aى ن/ نFا، ح#� Eن نQا م ن# ف� Qن لEي ن� � ن Qن ن� ل� ف1 ن� Lن ح� ��� ن �ى Iن ري ل2 ( ن �� ل ن�ا Iف ن � ف* �ل #T ن� ن7 ن] ن� ن< ف7 � : : نيا ح�و� ن�ا Eن ف�، Fح فو ن ن ا Eن ،)T في oن ف� ل- ل� ف� ن" Cن ف) Lل ن� ح�و ني ف� ن � ح� � ن ن� ن� ح�و�، نز ن7 ن* ل,ي � ن � ن� Fف # ن �� ل( نا ح\' Fن ف� Aح ف1 ن ن � فو ن� ف� ح- ح� ف� ن" dن ن�ا Eن ،)T في oن ح� ح� ن� ف) ني نا ' م( في oن ر3 ح� ل" ح� ن� فو� ن� نس Eن ري، ن� �� ن: ل� ن;

: Cل ن� ن� ل� � ن ن��� ف* ل� ن� ن� ل9ي، Gف ن ا ن' ر7ي ل�8 ل� � ن ن��� ف�، ن� ن7 ف� ح- ح� ف� ن" dن ن�ا Eن م(؟ في oن ف* �ل ف� ح� ف) �ل Cم ن/ ن � Cن ف) Lل ف3 ن- Eن ح�، ح� ن� ف) ني نا ' م( في oن ر3 ح� ل" ح� ن� ن)ا ف1 ن� Qن ن� ن�، Cل ح� ن7ا Cن ر1 Qن � ن ل�8 ح� Fف # ن �� ن-ا ح ي ن � : ن* ل16 ن� ن�ا �� ر Gن ل� � ن ل� Cح ف6 ن� �� ح � ن# ف� ني ن� ل�، ف1 ن� Lن ح3 ل� Aف ني ن] ن� ن< ف7 نEا ل�، ن) eن �� ن* �ل م0 ل<1 ن9 ن�ى Lن ف� Fح ح�و ن� نZا Eن �cا، ف� Vح ن)ا ن� ح�و� ن� فج ن ن Aى ن/ ف� ح� ن� م� ن#� ل" ن7ا ن � ن6ا Eن ن7ا، ح�و ر1 ن� ح ف� ن� Eن ف� ح% ن)ا ف� ن� Aن Qف �

: : ف� ح- ح� ف� ن" dن ن�ا Eن ل�، ف1 ن� Lن ف� Fح ح�و ن� نIا n,ل � ن � ح� ح- ن� ف� Vح ف� Fح فو Eن ف� ن ا Eن dن ن9ا ،�T ن2 ن� ن9 ل� ل" ن�ا ن� ل?ي ف6 ني ن] ن� ن< ف7 نEا ،dم ن�ا Lل ف* �ل ن� ل? ح7 ن6ا 7 ن ن ا ن� Eن  : ن Aى ن/ ح�و� ن� ف� ن نا ' ن9ى Gن n,ل � ن � dن ن�ا Eن ح6و�، لس ف9 � « : ن-ا 7 ن ن � ن: لGي Cف حي ن�ا ن� dن ن�ا Eن ح�، ن� ح#�� ن% ن, Eن ن� � ن Qن ن� ل� ف1 ن� Lن ح� ��� ن �ى Iن ل� � ن �� dل حQو Gن ن�ى Lن ح�و� Cل ن� Eن ن7ا، ح# �ح ف ا ني ن�ا ن# Uح ف) ن) Eن ن�، ن%ا n,ل � ن � ح� ن� ن# ح% ف, ن) Eن ن� � ن Qن ن� ل� ف1 ن� Lن ح� ��� ن �ى Iن ن ي ل2 ( ن �� ني ل ف ا ن7 » « : ن�« � ن Qن ن� ل� ف1 ن� Lن ح� ��� ن �ى Iن ل� � ن �� dح حQو Gن ن: ل� ن� Eن �6ا ف- Qن ف� ح� ن� �ن ل�ي ح"و� ل# ف� ن�� ح6و�، لس ف9 � ف�، Aح ف2 Iن ن � Cف ن9 dن ن9ا � ن Xح ، �T ن1 ف9 Gح

58

Page 59: Makalah muamalah

“Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi dalam suatu safar yang mereka lakukan. Mereka singgah di sebuah perkampungan Arab, lalu mereka meminta jamuan kepada mereka (penduduk tersebut), tetapi penduduk tersebut menolaknya, lalu kepala kampung tersebut terkena sengatan, kemudian penduduknya telah bersusah payah mencari sesuatu untuk mengobatinya tetapi belum juga sembuh. Kemudian sebagian mereka berkata, “Bagaimana kalau kalian mendatangi orang-orang yang singgah  itu (para sahabat). Mungkin saja mereka mempunyai sesuatu (untuk menyembuhkan)?” Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu berkata, “Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena sengatan dan kami telah berusaha mencari sesuatu untuk(mengobati)nya, tetapi tidak berhasil. Maka apakah salah seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?” Lalu di antara sahabat ada yang berkata, “Ya. Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kamu namun kamu tidak memberikannya kepada kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau memberikan imbalan kepada kami.” Maka mereka pun sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca “Al Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin,” (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit. Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata, “Bagikanlah.” Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, “Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita perhatikan apa yang Beliau perintahkan kepada kita.” Kemudian mereka pun datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan masalah itu. Kemudian Beliau bersabda, “Dari mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?” Kemudian Beliau bersabda, “Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Meskipun begitu, di antara ulama ada yang melarang ji’alah, seperti Ibnu Hazm. Ia  berkata dalam al-Muhalla, “Tidak boleh menetapkan ju’l (upah) terhadap seseorang.” Oleh karena itu barang siapa yang berkata, “Jika kamu datang kepadaku dengan membawa budakku yang lari, maka kamu akan memperoleh satu dinar,” atau seorang berkata, “Jika kamu melakukan perbuatan ini dan itu, maka kamu memperoleh satu dirham atau seperti itu,” jika setelahnya ia datang, atau misalnya ia mengumumkan dengan suara keras dan bersaksi terhadap dirinya, “Barang siapa yang datang kepadaku dengan barang ini, maka ia memperoleh sekian,” lalu barang itu ada yang membawakannya, maka ia tidak wajib membayarkan apa-apa, hanya saja dianjurkan baginya memenuhi janjinya. Demikian juga orang yang datang membawa budak yang lari, maka ia tidak perlu memberikan sesuatu kepadanya, baik pembawa budak yang lari mengetahui adanya ji’alah maupun tidak, kecuali jika ia menyewanya untuk mencarikan dalam waktu tertentu atau mendatangkannya dari tempat yang yang sudah dikenal, maka wajib untuknya memperoleh bayaran sewaan itu. Tetapi sebagian ulama ada yang mewajibkan ju’l (pemberian upah ju’aalah) dan mereka mengharuskan upah itu dibayarkan oleh ja’il (pemberi ju’l/imbalan), mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala:

59

Page 60: Makalah muamalah

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al Maa’idah: 1)

dan berdasarkan perkataan Yusuf:

Penyeru-penyeru itu berkata, “Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”. (QS. Yusuf: 72)

Serta berdasarkan hadis orang yang meruqyah dengan pemberian sekawanan kambing.”

Yang rajih, bahwa ji’alah itu memiliki dasar dan diperbolehkan.

Bahkan hal itu dibolehkan karena darurat, oleh karena itu dibolehkan dalam ji’alah sesuatu yang tidak dibolehkan pada selainnya, yakni ji’alah itu dibolehkan meskipun pekerjaannya majhul (tidak diketahui).

Perbedaan Antara Ji’alah dengan Ijarah (menyewa atau mempekerjakan)

Ji’alah berbeda dengan ijarah dalam beberapa hal:

1. Untuk keabsahan ji’alah tidak disyaratkan harus mengetahui tugasnya, berbeda dengan ijarah. Ijarah disyaratkan tugasnya harus diketahui.

2. Ji’alah tidak disyaratkan harus mengetahui lamanya kerja. Berbeda dengan ijarah yang ditentukan lamanya kerja.

3. Bahwa pekerja dalam ji’alah tidak mesti bekerja. Berbeda dengan ijarah, dimana dalam ijarah, pekerja telah siap untuk bekerja (harus bekerja).

4. Ji’alah tidak disyaratkan ditentukan siapa pekerjanya, berbeda dengan ijarah yang disyaratkan demikian.

5. Ji’alah adalah akad yang dibolehkan bagi masing-masingnya untuk membatalkan tanpa izin yang lain. Sedangkan ijarah adalah akad yang mesti. Tidak boleh yang satunya membatalkan kecuali dengan keridhaan yang lain.

PENUTUP

  Demikian pemaparan makalah dari kelompok dua terkait dengan pembahasan muamalah. Kesalahan tentu masih banyak dijumpai sehingga kritik dan saran sangat penulis butuhkan sebagai bekal untuk penulisan makalah yang selanjutnya. Sekian dan terimakasih.

60

Page 61: Makalah muamalah

DAFTAR PUSTAKA

Wirdyaningsih, SH., MH., et al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Kencana: Jakarta. hal

Dr. H. Hendi Suhendi, M.. Si. Fiqh Muamalah. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta hal 279

61