hukum muamalah dalam islam.docx

101
HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM Dihimpun oleh: ABDURRAHMAN 0

Upload: usamah-irham

Post on 11-Aug-2015

338 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM

Dihimpun oleh:

ABDURRAHMAN

MA MUHAMMADIYAH 1 MALANG

2011

0

Page 2: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

DAFTAR ISI

Pendahuluan: Kewajiban Mempelajari Fikih Muamalah (Fikih Ekonomi)....................2Bagian 1 Hukum Jual Beli Dalam Islam.........................................................................7Bagian 2 Jual Beli yang Terlarang..................................................................................10Bagian 3 MLM Menurut Fiqh Muammalah...................................................................13Bagian 4 Hukum Al-Faraidh (Warisan) .........................................................................16Bagian 5 Hukum Ar-Rahnu (Pegadaian) Dalam Islam...................................................22Bagian 6 Akad Murabahah Dalam Hukum Islam dan Problematika Penerapannya Pada Bank Syari'ah.........................................................................................................33Bagian 7 Ijarah (Sewa Menyewa dan Upah Mengupah)Bagian 8hibah menurut hukum islam

Bagian 9Hukum wakalah dan sulhu

Bagian 10Hukum asuransi dalam islam

1

Page 3: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

PENDAHULUAN:KEWAJIBAN MEMPELAJARI FIKIH MUAMALAH (FIKIH EKONOMI)

Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah satu ajaran yang   sangat penting adalah bidang muamalah/ iqtishadiyah (Ekonomi Islam). Kitab-kitab Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah, Jumlahnya lebih dari seribuan judul buku. Para  ulama tidak pernah mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah (pengajian-pengajian) keislaman mereka. Seluruh Kitab Fiqh membahas fiqh ekonomi. Bahkan cukup banyak para ulama yang secara khusus membahas ekonomi Islam, seperti kitab Al-Amwal oleh Abu Ubaid, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf, Al-Iktisab fi Rizqi al-Mustathab oleh Hasan Asy-Syaibani, Al-Hisbah oleh Ibnu Taymiyah, dan banyak lagi yang tersebar di buku-buku Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Al-Ghazali, dan sebagainya.

Namun dalam waktu yang panjang,  materi muamalah (ekonomi Islam) cenderung diabaikan kaum muslimin, padahal ajaran muamalah bagian penting dari ajaran Islam, akibatnya, terjadilah kajian Islam parsial (sepotong-sepotong). Padahal orang-orang beriman diperintahkan untuk memasuki Islam secara kaffah (menyeluruh).

خ�ط�و�ات� �ع�وا �ب �ت ت � و�ال �آف�ة� ك � �م ل الس� ف�ي �وا ل اد�خ� �وا ء�ام�ن �ذ�ين� ال %ه�ا ي� �اأ ي �ط�ان� ي الش�

  �ين�� م%ب ع�د�و* �م� �ك ل �ه� �ن إ

 ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh (kaffah) . Jangan ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS.Al-Baqarah 208).

Akibat lainnya, ialah ummat Islam tertinggal dalam ekonomi dan banyak kaum muslimin yang melanggar prinsip ekonomi Islam dalam mencari nafkah hidupnya, seperti riba, maysir, gharar, haram, batil, dsb.

Ajaran muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran Islam. Dalam kitab Al-Mu’amalah fil Islam, Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id mengatakan :

Artinya :Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia adalah “Muamalah”, yang mengatur hubungan antara individu dan masyarakat dalam kegaiatan ekonomi. Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur

2

Page 4: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukumnya kepada mereka.

Menurut ulama Abdul Sattar di atas,  para ulama sepakat tentang mutlaknya ummat Islam memahami dan mengetahui hukum muamalah maliyah (ekonomi syariah)

Artinya :Ulama sepakat bahwa muamalat itu sendiri adalah masalah kemanusiaan yang maha penting (dharuriyah basyariyah)

Fardhu ‘AinHusein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-

Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.Husein Shahhatah, selanjutnya menulis,  “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk Allah semata” Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun untuk menjadi  expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah

Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :

  “Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi)

Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa umat Islam:            

Tidak boleh beraktifitas bisnis, kecuali faham tentang fikih muamalah Tidak boleh berdagang, kecuali faham fikih muamalah Tidak boleh beraktivitas perbankan,  kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas asuransi,  kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas pasar modal, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas koperasi,  kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas pegadaian,  kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas reksadana,  kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas bisnis MLM, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh beraktifitas jual-beli, kecuali faham fiqh muamalah Tidak boleh bergiatan ekonomi apapun,    kecuali  faham fiqh  

muamalah

3

Page 5: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan:

Artinya : Dari sini jelaslah bahwa “Muamalat” adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para Rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan, Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk tidak mengamalkannya.

Dalam konteks ini Allah berfirman:

Artinya :    ‘Dan kepada penduduk Madyan, Kami utus saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, “Hai Kaumku sembahlah Allah, sekali-kali Tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)”.Dan Syu’aib berkata,”Hai kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85)

Dua ayat di atas mengisahkan perdebatan kaum Nabi Syu’aib dengan umatnya yang mengingkari agama yang dibawanya. Nabi Syu’aib  mengajarkan I’tiqad dan iqtishad (aqidah dan ekonomi). Nabi Syu’aib mengingatkan mereka tentang kekacauan transaksi muamalah (ekonomi) yang mereka lakukan selama ini.

Al-Quran lebih lanjut mengisahkan ungkapan umatnya yang merasa keberatan diatur transaksi ekonominya.

Artinya :Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kamu meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyangmu atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang penyantun lagi cerdas”.

4

Page 6: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan muamalaH. Ayat ini juga menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh sekehendak hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah, yang disebut dengan syari’ah.

Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat manusia tidak boleh sekehendak hati mengelola hartanya, tanpa aturan syari’ah. Syariah misalnya secara tegas mengharamkan bunga bank. Semua ulama dunia yang ahli ekonomi Islam (para professor dan Doktor) telah ijma’ mengharamkan bunga bank. (Baca tulisan Prof.Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof.Ali Ash-Sjabuni, Prof Muhammad Akram Khan). Tidak ada perbedaan pendapat pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Untuk itulah lahir bank-bank Islam dan lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Jika banyak umat Islam yang belum faham tentang bank syariah atau secara dangkal memandang bank Islam sama dengan bank konvensianal, maka perlu edukasi pembelajaran atau pengajian muamalah, agar tak muncul salah faham tentang syariah.

Muamalah adalah Sunnah Para Nabi. Berdasarkan ayat-ayat di atas, Syekh Abdul Sattar menyimpulkan bahwa hukum muamalah adalah sunnah para Nabi sepanjang sejarah.

Artinya : Muamalah ini adalah sunnah yang terus-menerus dilaksanakan para Nabi AS, (hlm.16), sebagaimana firman Allah:

�ق�س�ط� �ال ب �اس� الن �ق�وم� �ي ل ان� �م�يز� و�ال �اب� �ك�ت ال م�ع�ه�م� �ا �ن ل �نز� و�أ �ات� �ن �ي �ب �ال ب �ا �ن ل س� ر� �ا �ن ل س� ر�� أ �ق�د� ل

Artinya :Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat menegakkan keadilan itu.

Pengertian MuamalahPengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas,

sebagaimana dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa, yaitu Peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan dita’ati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”. Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak dipahami sebagai“Aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda”atau lebih tepatnya “aturan Islam  tentang kegiatan ekonomi manusia”

Ruang Lingkup Muamalah1. Harta, Hak Milik, Fungsi Uang dan ’Ukud (akad-akad)2.  Buyu’ (tentang jual beli)3. Ar-Rahn (tentang pegadaian)4. Hiwalah (pengalihan hutang)5. Ash-Shulhu (perdamaian  bisnis)6. Adh-Dhaman (jaminan, asuransi)7. Syirkah (tentang perkongsian)

5

Page 7: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

8. Wakalah (tentang perwakilan)9. Wadi’ah (tentang penitipan)10. ‘Ariyah (tentang peminjaman)11. Ghasab (perampasan harta orang lain dengan tidak shah)12. Syuf’ah (hak diutamakan dalam syirkah atau sepadan tanah)13. Mudharabah (syirkah modal dan tenaga)14. Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun)15. Muzara’ah (kerjasama pertanian)16. Kafalah (penjaminan)17. Taflis (jatuh bangkrut)18. Al-Hajru (batasan bertindak) 19. Ji’alah (sayembara, pemberian fee)20. Qaradh (pejaman)21. Ba’i Murabahah22. Bai’ Salam 23. Bai Istishna’24. Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith25. Ba’i Sharf  dan transaksi vala26. ’Urbun (panjar/DP)27. Ijarah (sewa-menyewa)28. Riba, konsep uang dan kebijakan moneter29. Shukuk (surat utang  atau obligasi)30. Faraidh (warisan)31. Luqthah (barang tercecer)32. Waqaf33. Hibah34. Washiat35. Iqrar (pengakuan) 36. Qismul fa’i wal ghanimah (pembagian fa’i dan ghanimah)37. ������Qism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat)38. Ibrak (pembebasan hutang)39. Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur40. Baitul Mal dan Jihbiz41. Kebijakan fiskal Islam42. Prinsip dan perilaku konsumen43. Prinsip dan perilaku produse44. Keadilan Distribusi45. Perburuhan (hubungan buruh dan majikan, upah buruh)46. Jual beli gharar, bai’ najasy, bai’ al-‘inah,  Bai wafa, mu’athah, fudhuli, dll.47. Ihtikar dan monopoli48.  Pasar modal Islami dan Reksadana49. Asuransi Islam, Bank Islam, Pegadaian, MLM, dan lain-lain

(Sumber: Agustianto, Penulis adalah: Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Fikih Muamalah Ekonomi Pascasarjana Universitas Indonesia)

6

Page 8: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

BAGIAN 1

HUKUM JUAL BELI DALAM ISLAM

Pengertian Jual Beli Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga,

sedangkan membeli yaitu menerimanya. Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya yang mulia demikian pula Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dalam sunnahnya yang suci beberapa hukum muamalah, karena butuhnya manusia akan hal itu, dan karena butuhnya manusia kepada makanan yang dengannya akan menguatkan tubuh, demikian pula butuhnya kepada pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya dari berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya.

Hukum Jual BeliJual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as

Sunnah, ijma serta qiyas: Allah Ta'ala berfirman : " Dan Allah menghalalkan jual beli (Al Baqarah)"Allah Ta'ala berfirman : " tidaklah dosa bagi kalian untuk mencari keutaman

(rizki) dari Rabbmu " (Al Baqarah : 198, ayat ini berkaitan dengan jual beli di musim haji).

Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduianya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya" (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)

Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki. .

Akad Jual BeliAkad jual beli bisa dengan bentuk perkataan maupun perbuatan :

• Bentuk perkataan terdiri dari Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan " saya jual" dan Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan ucapan "saya beli "

• Bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli) memberikan harga yang wajar (telah ditentukan).

7

Page 9: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Dan kadang bentuk akad terdiri dari ucapan dan perbuatan sekaligus :Berkata Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullah : jual beli Muathoh ada beberapa gambaran

1. Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan pembeli mengambilnya seperti ucapan " ambilah baju ini dengan satu dinar, maka kemudian diambil, demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti mengucapkan "ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya.

2. Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam perjanjian.(dihutangkan)

3. Keduanya tidak mengucapkan lapadz apapun, bahkan ada kebiasaan yaitu meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang telah dihargai.

Syarat Sah Jual BeliSahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad dan

(barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut adalah sbb :

Bagi yang beraqad : 1. Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi suatu

jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa haq (sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala " kecuali jika jual beli yang saling ridha diantara kalian ", dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "hanya saja jual beli itu terjadi dengan asas keridhan" (HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain keduanya), adapun apabila keterpaksaan itu adalah perkara yang haq (dibanarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagaimana seandainya seorang hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa maka sah jual belinya.

2. Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang yang sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila, hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya. (catatan : jual beli yang tidak boleh anak kecil melakukannya transaksi adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh orang dewasa seperti jual beli rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang sifatnya sepele seperti jual beli jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat sebagian dari para ulama pent).

3. Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau menempati posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan sabda Nabi kepada Hakim bin Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan milikmu" (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya). Artinya jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam kepemilikanmu.

Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil

Bagi (Barang) yang diaqadi1. Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara mutlaq,

maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil manfaatnya

8

Page 10: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

seperti khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam " Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual bangkai, khomer, dan patung (Mutafaq alaihi). Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan " mengharamkan khomer dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya, mengharamkan babi dan harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis atau yang terkena najis, berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu (barang) mengharamkan juga harganya ", dan di dalam hadits mutafaq alaihi: disebutkan " bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak itu dipakai untuk memoles perahu, meminyaki (menyamak kulit) dan untuk dijadikan penerangan", maka beliau berata, " tidak karena sesungggnya itu adalah haram.".

2. Yang diaqadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu untuk didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan (dikuasai) menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual belinya, seperti tidak sah membeli seorang hamba yang melarikan diri, seekor unta yang kabur, dan seekor burung yang terbang di udara, dan tidak sah juga membeli barang curian dari orang yang bukan pencurinya, atau tidak mampu untuk mengambilnya dari pencuri karena yang menguasai barang curian adalah pencurinya sendiri..

3. Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang beraqad, karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan suatu bentuk penipuan, sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah membeli sesuatu yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan tetapi dia tidak mengetahui (hakikat) nya. Dengan demikian tidak boleh membeli unta yang masih dalam perut, susu dalam kantonggnya. Dan tidak sah juga membeli sesuatu yang hanya sebab menyentuh seperti mengatakan "pakaian mana yang telah engkau pegang, maka itu harus engkau beli dengan (harga) sekian " Dan tidak boleh juga membeli dengam melempar seperti mengatakan "pakaian mana yang engaku lemparkan kepadaku, maka itu (harganya0 sekian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan hasil memegang dan melempar" (mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi (dengan krikil) seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka apabila mengenai suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian "

(Sumber : Mulakhos Fiqhy Syaikh Sholeh bin Fauzan AL Fauzan Penerbit Dar Ibnul Jauzi - Saudi Arabia)

9

Page 11: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

BAGIAN 2JUAL BELI YANG TERLARANG

Allah Ta’ala membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya.

Jual Beli Ketika Panggilan AdzanJual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan

shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua, berdasarkan Firman Allah Ta’ala :“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al Jumu’ah : 9).

Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan Shalat Jum’at. Allah mengkhususkan melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Allah mengatakan “dzalikum” (yang demikian itu), yakni yang Aku telah sebutkan kepadamu dari perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri Shalat Jum’at adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan shalat Jumat adalah juga perkara yang diharamkan.

Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya. Allah Ta’ala berfirman “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (QS. 24:36-37-38).

Jual Beli Untuk KejahatanDemikian juga Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu

terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Allah. Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala “Janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan (Ai Maidah : 2)” Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Allah dan Rasul-Nya telah melarang dari yang demikian.

10

Page 12: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Ibnul Qoyim berkata "Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim. Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi sabilillah maka ini adalah keta’atan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan."

Menjual Budak Muslim kepada Non MuslimAllah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia

tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir. Allah ta’ala telah berfirman “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. 4:141). Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Islam itu tinggi dan tidak akan pernah ditinggikan atasnya" (shahih dalam Al Irwa’ : 1268, Shahih Al Jami’ : 2778).

Jual Beli di atas Jual Beli SaudaranyaDiharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang

berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, “Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembilan”.. Atau perkataan “Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula”.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya.”(Mutafaq alaihi). Juga sabdanya: “Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya (Mutfaq ‘alaih)”.

Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya. Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual dengan harga sembilan : “Saya beli dengan harga sepuluh” Kini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta mengingkari segenap pelakunya.

SamsaranTermasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak

sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya, pent). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :“Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang dating ke kota)”

Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: “Tidak boleh menjadi Samsar baginya”(yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi). Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Biarkanlah manusia berusaha sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Allah, (Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603”

11

Page 13: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata “Saya akan membelikan barang untukmu atau menjualkan“. Kecuali bila pendatang itu meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang”

Jual Beli dengan ‘InahDiantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara ‘inah, yaitu

menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah’ dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk denngan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian, sampai kalian kembail kepada agama kalian.” (Silsilah As Shahihah : 11, Shahih Abu Dawud : 2956) dan juga sabdanya “ Akan datang pada manusia suatu masa yang mereka menghalalkan riba dengan jual beli “ (Hadits Dha’if , dilemahkan oleh Al Albany dalam Ghayatul Maram : 13)

(Dikutip dari situs Zisonline, tulisan al Ustadz Qomar Su'aidi, Lc. Diarsipkan al akh Fikri Thalib. Sumber : Diambil dari Mulakhos Fiqhy Juz II Hal 11-13; http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=66)

12

Page 14: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

BAGIAN 3MLM MENURUT FIQH MUAMMALAH

Benarkah MLM haram ? (Kajian Fiqh Muamalah)

Beberapa dekade belakangan ini, gerakan perusahaan pemasaran berjenjang atau dikenal dengan Multi Level Marketing (MLM) semakin berkembang pesat di tanah air. Perusahaan MLM adalah perusahaan yang menerapkan sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang berjenjang, yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Konsep perusahaan ini adalah penyaluran barang (produk dan jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada para konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan memperoleh manfaat dan keuntungan di dalam garis kemitraannya. Dalam istilah MLM, anggota dapat pula disebut sebagai distributor atau mitra niaga. Jika mitraniaga mengajak orang lain untuk menjadi anggota pula sehingga jaringan pelanggan/pasar semakin besar/luas, itu artinya mitraniaga telah berjasa mengangkat omset perusahaan. Atas dasar itulah kemudian perusahaan berterimakasih dengan bentuk memberi sebagian keuntungannya kepada mitraniaga yang berjasa dalam bentuk insentif berupa bonus, baik bonus bulanan, tahunan ataupun bonus-bonus lainnya.

Konsep MLM pertama dicetuskan oleh NUTRILITE sebuah perusahaan AS pada tahun 1939. Saat ini MLM di seluruh dunia telah mencapai jumlah sekitar 10.000 an, di Indonesia jumlah MLM yang ada mencapai jumlah 1500an. Menurut data di internet, menunjukkan bahwa setiap hari muncul 10 orang millioner/ jutawan baru karena mereka sukses menjalankan bisnis MLM. Data menunjukkan bahwa sekitar 50% penduduk di Amerika Serikat kaya karena mereka sukses dari bisnis MLM, begitu pula di Malaysia. Kini jumlah MLM di Malaysia telah mencapai sekitar 2000-an dengan jumlah penduduk 20 jutaan. Tahun-tahun berikutnya diduga akan makin banyak perusahaan MLM dari Malaysia dan Negara lain akan masuk ke Indonesia.

Perusahaan MLM syariah adalah perusahaan yang menerapkan sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang berjenjang, dengan menggunakan konsep syariah, baik dari sistemnya maupun produk yang dijual. Pada dasarnya MLM syariah merupakan konsep jual beli yang berkembang dengan berbagai macam variasinya. Perkembangan jual beli dan variasinya ini tentu saja menuntut kehati-hatian agar tidak bersentuhan dengan hal-hal yang diharamkan oleh syariah, misalnya riba dan gharar, baik pada produknya atau pada sistemnya. Menurut Syafei (2008:73) jual beli dalam bahasa Arab adalah ba’i yang secara etimologi berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah ba’i berarti pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus yang diperbolehkan. Landasannya adalah terdapat pada surat Al Baqarah ayat 275, Al Baqarah ayat 282 dan An Nisa ayat 29. Pada Al Baqarah ayat 275 Allah berfirman :

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),

13

Page 15: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.

Kemudian pada surat Al Baqarah ayat 282 Allah berfirman : “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.

Allah SWT juga memerintahkan manusia agar mengembara di muka bumi mencari karunia (nafkah) setelah melakukan ibadah shalat. Allah SWT berfirman dalam surat Al Jumuah ayat 10 :

“Apabila telah kamu ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

Pada as Sunnah Rasululah SAW pernah ditanya mengenai mata pencaharian yang paling baik. Rasul menjawab :

” Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur” (HR Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifaah ibnu Rafi’).

Kelahiran MLM Syari’ah dilatar belakangi oleh kepedulian akan kondisi perekonomian umat Islam Indonesia yang masih terpuruk. Umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, harus menggunakan kekuatan jaringan, agar pemberdayaan potensi bisnis umat Islam Indonesia, bisa diwujudkan. Pemberdayaan ekonomi kaum Muslimin, adalah pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang harus dilakukan, sebab sebagian besar rakyat Indonesia adalah umat Islam.

Dalam MLM Syari’ah, kegiatan bisnisnya adalah penjualan atau pemasaran produk-produk Muslim yang halalan thayyiban yang dibidani oleh figur ulama dari MUI dan ICMI. Gerakan ini juga mendapat dukungan kuat dari pakar ekonomi Islam dan perguruan tinggi Islam yang mengembangkan kajian ekonomi syari’ah di seluruh Indonesia.

Dengan demikian, MLM konvensional yang berkembang pesat saat ini, dimodifikasi dan disesuaikan dengan syari’ah. Aspek-aspek haram dan syubhat dihilangkan dan diganti dengan nilai-nilai ekonomi syari’ah yang berlandaskan tauhid, akhlak, hukum muamalah. Visi dan misi MLM bisa juga berbeda total dengan MLM syari’ah. MLM Syari’ah juga sangat berbeda dengan MLM konvensional yang pernah ada dan berkembang di Indonesia saat ini. Perbedaan itu terlihat dalam banyak hal, seperti perbedaan motivasi dan niat, visi, misi, prinsip, orientasi, komoditi, sistem pengelolaan, pengawasan dan sebagainya.

Motivasi dan niat dalam menjalankan MLM Syari’ah setidaknya ada empat macam. Pertama, kashbul halal wa intifa’uhu (usaha halal dan menggunakan barang-barang yang halal). Kedua, bermu’amalah secara syari’ah Islam. Ketiga, mengangkat derajat ekonomi umat. Keempat, mengutamakan produk dalam negeri.

]Adapun visi MLM Syari’ah adalah mewujudkan Islam Kaffah melalui pengamalan ekonomi syari’ah. Sedangkan misinya adalah: Pertama, mengangkat derajat ekonomi umat melalui usaha yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Kedua, meningkatkan jalinan ukhuwah Islam di seluruh dunia. Ketiga, membentuk jaringan ekonomi Islam dunia, baik jaringan produksi, distribusi, maupun konsumennya, sehingga dapat mendorong kemandirian dan kemajuan ekonomi umat. Keempat, memperkukuh ketahanan aqidah dari serbuan budaya dan idelogi yang tidak Islami. Kelima, mengantisipasi dan meningkatkan strategi

14

Page 16: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

menghadapi era liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas. Keenam, meningkatkan ketenangan batin konsumen Muslim dengan tersedianya produk-produk halal dan thayyib.

Perusahaan MLM Syari’ah diduga prospektif dan memiliki potensi besar untuk berkembang dimasa depan. Hal ini disebabkan mayoritas bangsa Indonesia menganut agama Islam dan MLM yang dijalankan sesuai syari’ah di Indonesia dan mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI hanya ada tiga yaitu PT Ahad-Net Internasional, PT UFO, dan PT Exer Indonesia dengan rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia No. U-299/DSN-MUI/XI/2007.

Selanjutnya dari segi fikh muamalah ada beberapa ulama yang belum berani memastikan apakah MLM dan MLM ‘syariah’ tersebut halal dan thayib. Saat ini, keberadaan Multi Level Marketing masih menjadi kontroversi bagi sebagian masyarakat ekonomi syari’ah. Berbagai alasan menjadi penyebab keraguan masyarakat akan kehalalan MLM mengingat begitu banyaknya kejadian di masyarakat yang kontroversial dimana masyarakat yang menginginkan kemakmuran, kekayaan dan kesehatan dalam waktu relative singkat dan juga terdapat beberapa kejadian-kejadian yang menarik dan mengejutkan mengenai keberadaan MLM syariah ini, maka penulis sangat tertarik untuk mendalami dan mencoba meneliti dari segi fikh muamalah. Penulis tertarik untuk memeriksa MLM ini dengan rumusan masalah : Bagaimana keberadaan MLM dilihat dari segi sisi fiqh muamalah ?

(Sumber: Zona Ekonomi Islam– http://zonaekis.com/mlm-menurut-fiqh-muammalah#more-1519).

15

Page 17: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

BAGIAN 4HUKUM AL-FARAIDH (WARISAN)

Pengertian Faraidh Faraidh adalah bentuk jama’ dari kata fariidhah. Kata fariidhah terambil

dari kata fardh yang berarti taqdir, ketentuan. Allah swt berfirman: “(Maka bayarlah) separuh dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS al-Baqarah: 237). Sedang menurut istilah syara’ kata fardh ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.

Peringatan Keras Agar Tidak Melampaui Batas dalam Masalah WarisanSungguh bangsa Arab pada masa Jahiliyah, sebelum Islam datang memberi

hak warisan kepada kaum laki-laki, dan tidak diberikan kepada perempuan, dan kepada orang-orang dewasa, dan tidak diberikan anak-anak kecil.

Tatkala Islam datang, Allah Ta’ala memberi setiap yang punya hak akan haknya. Hak-hak ini disebut “Wasiat dari Allah” (QS an-Nisaa’: 12). dan disebut pula “Faridhah, ketetapan dari Allah” (QS an-Nisaa’: 11). Kemudian dua ayat tersebut dilanjutkan dengan masalah peringatan keras dan ancaman serius bagi orang-orang yang menyimpang dari syari’at Allah, khususnya dalam hal warisan.

Allah swt berfirman:“(Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkanya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya adzab yang menghinakan.” (QS an-Nisaa’: 13-14).

Harta Mayyit Yang Sah Menjadi Warisan Manakala seseorang meninggal dunia, maka yang mula-mula harus diurus

dari harta peninggalannya adalah biaya persiapan jenazah dan penguburannya kemudian pelunasan hutangnya, lalu penyempurnaan wasiatnya, lantas kalau masih tersisa harta peninggalannya dibagi-bagikan kepada seluruh ahli warisnya.

Allah swt berfirman: “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS an-Nisaa’: 11).

Dan pernyataan Ali ra: “Rasulullah saw pernah memutuskan pelunasan hutang sebelum melaksanakan (isi) wasiat.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2195, Irwa-ul Ghalil no: 1667, Ibnu Majah II: 906 no: 2715 dan Tirmidzi III: 294 no: 2205).   Faktor-Faktor yang Menyebabkan Mendapat Warisan

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan ada tiga: 1. Nasab

Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah, satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris).” (QS al-Ahzaab: 6)

16

Page 18: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

2. Wala’ (Loyalitas budak yang telah dimerdekakan kepada orang yang memerdekakannya): Dari Ibnu Umar dari Nabi saw, ia bersabda, “al-Walaa’ itu adalah kekerabatan seperti kekerabatan senasab.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7157, Mustadrak Hakim IV: 341, Baihaqi X: 292).

3. Nikah Allah swt menegaskan: “Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS an-Nisaa’: 12)

 

Sebab-Sebab yang Menghalangi Mendapat Warisan 1. Pembunuhan

Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw bahwa Beliau bersabda, “Orang yang membunuh tidak boleh menjadi ahli waris.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4436, Irwa-ul Ghalil no: 1672, Tirmidzi II: 288 no: 2192 dan Ibnu Majah II: 883 no: 2645).

2. Berlainan agama: Dari Usamah bin Zaid ra bahwa Nabi saw bersabda, “Orang muslim tidak boleh menjadi ahli waris orang kafir dan tidak (pula) orang kafir menjadi ahli waris seorang muslim.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 50 no: 6764, Muslim III: 1233 no: 1614, Tirmidzi III: 286 no: 2189, Ibnu Majah II: 911 no: 2729, ‘Aunul Ma’bud VIII: 120 no: 2892).

3. Perhambaan Sebab seorang hamba dan harta bendanya adalah menjadi hak milik tuannya, sehingga kalau ada kerabatnya memberi warisan, maka ia menjadi milik tuannya juga, bukan menjadi miliknya.

  Para Ahli Waris dari Pihak Lelaki

Yang berhak menjadi ahli waris dari kalangan lelaki ada sepuluh orang:

1 dan 2. Anak laki-laki dan puteranya dan seterusnya ke bawah. Allah swt berfirman: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS An Nisaa’: 11).

3 dan 4. Ayah dan bapaknya dan seterusnya ke atas. Allah swt berfirman: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan." (QS An Nisaa’: 11). Dan datuk termasuk ayah, oleh karena itu Nabi saw bersabda: "Saya adalah anak Abdul Muthallib." (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari VIII: 27 no: 4315, Muslim III: 1400 no: 1776, dan Tirmidzi III: 117 no: 1778).

5 dan 6. Saudara dan puteranya dan seterusnya ke bawah. Allah swt berfirman:

17

Page 19: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

"Dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 176).

7 dan 8. Paman dan anaknya serta seterusnya. Nabi saw bersabda: "Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang lebih berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama (dekat kepada mayyit)." (Muttafaqun’alaih: Fatul Bari XII: 11 no: 6732, Muslim III: 1233 no: 1615, Tirmidzi III: 283 no: 2179 dan yang semakna dengannya diriwayatkan Abu Dawud, ‘Aunul Ma’bud VIII: 104 no: 2881, Sunan Ibnu Majah II: 915 no. 2740).

9. Suami. Allah swt berfirman: "Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu." (QS An Nisaa’: 12).

10. Laki-laki yang memerdekakan budak. Sabda Nabi saw: "Hak ketuanan itu milik orang yang telah memerdekakannya."   Perempuan-Perempuan Yang Menjadi Ahli Waris

Perempuan-perempuan yang berhak menjadi ahli waris ada tujuh:

1 dan 2. Anak perempuan dan puteri dari anak laki-laki dan seterusnya. Firman-Nya: "Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu." (QS An Nisaa’: 11).

3 dan 4. Ibu dan nenek. Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam." (QS An Nisaa’: 11).

5. Saudara perempuan. Allah swt berfirman: "Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176).

6. Isteri. Allah swt berfirman: "Para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).

7. Perempuan yang memerdekakan budak. Sabda Nabi saw:

18

Page 20: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

"Hak ketuanan itu menjadi hak milik orang yang memerdekakannya." (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari I: 550 no: 456, Muslim II: 1141 no: 1504, ’Aunul Ma’bud X: 438 no: 3910, Ibnu Majah II: 842 no: 2521).

Orang-Orang yang Berhak Mendapatkan Warisan Orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan ada tiga

kelompok, yaitu: dzu fardh (kelompok yang sudah ditentukan bagiannya), kedua, ashabah dan ketiga rahim (atau disebut juga ulul arham).

Bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam Kitabullah Ta’ala ada enam: (pertama) separuh, (kedua) seperempat, (ketiga) seperdelapan, (keempat) dua pertiga, (kelima) sepertiga, dan (keenam) seperenam.

A. Yang dapat 1/2: 1. Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si mayyit

tidak meninggalkan anak.Allah swt berfirman: "Dan kamu dapat separuh dari apa yang ditinggalkan isteri-isteri kamu, jika mereka tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).

2. Seorang anak perempuan.Firman-Nya: "Dan jika (anak perempuan itu hanya) seorang, maka ia dapat separuh." (QS An Nisaa’: 11).

3. Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan menurut ijma’ (kesepakatan) ulama’.Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama’ sepakat bahwa cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Cucu laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-laki." (Al Ijma’ hal. 79) 4. dan 5. Saudara perempuan seibu dan sebapak dan saudara perempuan sebapak.Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)

B. Yang dapat 1/4 ; dua orang. 1. Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak.

Firman-Nya: "Tetapi jika mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat seperempat dari harta yang mereka tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).

2. Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak.Firman-Nya: "Dan isteri-isteri kamu mendapatkan seperempat dari apa yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan anak." (QS An Nisaa’: 12).

C. Yang dapat 1/8; hanya satu (yaitu): ]Istri dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak.

Firman-Nya: "Tetapi jika kamu tinggalkan anak, maka isteri-isteri kamu dapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).

19

Page 21: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

D. Yang dapat 2/3; empat orang 1 dan 2. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11). 3 dan 4. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan sebapak.Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan) itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).

E. Yang dapat 1/3; dua orang: 1. Ibu, jika ia tidak mahjub (terhalang).

Firman-Nya: "Tetapi jika si mayyit tidak mempunyai anak, dan yang jadi ahli warisnya (hanya) ibu dan baoak, maka bagi ibunya sepertiga." (QS An Nisaa’: 11).

2. Dua saudara seibu (saudara tiri) dan seterusnya.Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan tak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu, dapat seperenam, tetapi jika saudara-saudara itu lebih dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu." (QS An Nisaa’: 12).

F. Yang dapat 1/6; ada tujuh orang: 1. Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih

dari seorang. Firman-Nya: "Dan untuk dua orang ibu bapak, bagian masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 11).

2. Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan, "Para ulama’ sepakat bahwa nenek dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan ibu." (Al Ijma’ hal. 84).

3. Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan. Firman-Nya: "Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan itu tidak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 12).

4. Cucu perempuan, jika si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan:Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan." Maka ia menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan separuh (juga), dan temuilah Ibnu Mas’ud (dan tanyakan hal ini kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan pernyataan Abu Musa disampaikan kepadanya, maka Ibnu Mas’ud menjawab, "Sungguh kalau begitu (yaitu kalau

20

Page 22: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw: yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan.’ Kemudian kami datang menemui Abu Musa, lantas menyampaikan pernyataan Ibnu Mas’ud kepadanya, maka Abu Musa kemudian berkomentar, ”Janganlah kamu bertanya kepadaku selama orang yang berilmu ini berada di tengah-tengah kalian.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1863, Fathul Bari XII: 17 no: 6736, ’Aunul Ma’bud VIII: 97 no: 2873, Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tidak termaktub kalimat terakhir).

5. Saudara perempuan sebapak, jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si mayyit meninggalkan anak perempuan.

6. Bapak dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan bagi dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap seorang dari mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan (oleh anaknya), jika (anak itu) mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 11).

7. Datuk (kakek) dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak. Dalam hal ini Ibnul Mundzir menyatakan, "Para ulama’ sepakat bahwa kedudukan datuk sama dengan kedudukan ayah." (Al Ijma’ hal. 84).

(Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 797 - 808., http://alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.html )

21

Page 23: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

BAGIAN 5HUKUM AR-RAHNU (PEGADAIAN) DALAM ISLAM

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.

Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain.

Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.

Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini. Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.

Dalam rubrik fikih kali ini kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat Islam.

Definisi ar-Rahn

Rahn, dalam bahasa Arab, memiliki pengertian “tetap dan kontinyu”. [1] Dalam bahasa Arab dikatakan: اه�ن� الر� �ع�م�ة< apabila tidak mengalir, dan kata الم�اء� ن�ة< اه�ن ”bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan, kata “rahn ر�bermakna “tertahan”, dengan dasar firman Allah,

�ة< ه�ين ر� �ت� ب �س� ك �م�ا ب �ف�س@ ن �ل% ك

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah dikerjakannya.” (Qs. Al-Muddatstsir: 38)

Pada ayat tersebut, kata “rahinah” bermakna “tertahan”. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap ditempatnya.[2]

Ibnu Faris menyatakan, “Huruf ra`, ha`, dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini terbentuk kata ‘ar-rahn’, yaitu sesuatu yang digadaikan.” [3]

Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.” [4]

22

Page 24: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

“Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.” [5]

“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.” [6]

Sedangkan Syekh al-Basaam mendefinisikan ar-rahn sebagai jaminan utang dengan barang yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya.[7]

Hukum ar-Rahn

Utang-piutang dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin.

Dalil al-Quran adalah firman Allah,

�ؤ�د� �ي ف�ل � �ع�ضا ب �م �ع�ض�ك ب �م�ن� أ �ن� ف�إ �وض�ة< م�ق�ب ف�ر�ه�ان< � �با �ات ك � �ج�د�وا ت �م� و�ل ف�ر@ س� ع�ل�ى �م� �نت ك �ن و�إJه� و�الل �ه� �ب ق�ل �م< آث �ه� �ن ف�إ �م�ه�ا �ت �ك ي و�م�ن ه�اد�ة� الش� � �م�وا �ت �ك ت � و�ال �ه� ب ر� Jه� الل �ق� �ت �ي و�ل �ه� �ت م�ان

� أ �م�ن� اؤ�ت �ذ�ي ال�يم< ع�ل �ع�م�ل�ون� ت �م�ا ب

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Baqarah: 283)

Walaupun terdapat pernyataan “dalam perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena kata “dalam perjalanan” dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya memerlukan sistem ini (ar-rahn).

Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam pernyataan beliau,

م�ن� ع�ا د�ر� �ه� ه�ن و�ر� �ج�ل@ أ �ل�ى إ Sه�ود�ي� ي م�ن� ط�ع�ام�ا �ر�ى ت اش� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي� �ب الن �ن� أح�د�يد@

“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603)

23

Page 25: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Demikian juga, para ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya ar-rahn ini dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam al-Qurthubi menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid, ad-Dhahak, dan Daud (az-Zahiri). [8] Demikian juga Ibnu Hazm.

Ibnu Qudamah menyatakan, “Ar-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).

Ibnul Mundzir menyatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Ia menyatakan, ‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

�وض�ة< م�ق�ب ف�ر�ه�ان< � �با �ات ك � �ج�د�وا ت �م� و�ل ف�ر@ س� ع�ل�ى �م� �نت ك �ن و�إ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”

Akan tetapi, yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan adanya dalil perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

و�ع�ل�ى �ا ه�ون م�ر� �ان� ك �ذ�ا إ �ه� �ف�ق�ت �ن ب ب� ر� �ش� ي الد�ر� �ن� �ب و�ل �ا ه�ون م�ر� �ان� ك �ذ�ا إ �ه� �ف�ق�ت �ن ب �ب� ك �ر� ي ه�ن� الر��ف�ق�ة� الن ب� ر� �ش� و�ي �ب� ك �ر� ي �ذ�ي ال

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari no. 2512). Wallahu A’lam. [9]

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah, al-Hafidz Ibnu Hajar [10], dan Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. [11]

Setelah jelas tentang pensyariatan ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan), maka bagaimanakah hokum ar-rahn pada keadaan yang berbeda? Apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim, tidak wajib pada keseluruhannya, atau wajib dalam keadaan safar saja? Dalam hal ini, para ulama berselisih dalam dua pendapat.

Pendapat pertama, tidak wajib, baik dalam perjalanan atau keadaan mukim. Inilah pendapat Mazhab empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah).Ibnu Qudamah berkata, “Penyerahan ar-rahn (barang gadai) itu tidak wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas utang sehingga tidak wajib untuk diberikan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban).” [12]

Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn dalam keadaan mukim di atas yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga menunjukkan tidak wajibnya penyerahan ar-rahn (barang gadai).

Demikian juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga tidak wajib untuk diserahkan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah

24

Page 26: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

(penulisan perjanjian utang). Selain itu, karena rahn ada ketika penulisan perjanjian utang sulit untuk dilakukan. Bila penulisan perjanjian utang tidak wajib untuk dilakukan, maka demikian juga dengan penggantinya (yaitu ar-rahn).

Pendapat kedua, wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,

�وض�ة< م�ق�ب ف�ر�ه�ان< � �با �ات ك � �ج�د�وا ت �م� و�ل ف�ر@ س� ع�ل�ى �م� �نت ك �ن و�إ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”

Mereka menyatakan bahwa kalimat “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang bermakna perintah.

Juga dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ط@ ر� ش� �ة� م�ائ �ان� ك �ن� و�إ �اط�ل< ب ف�ه�و� �ه� الل �اب� �ت ك ف�ي �ي�س� ل ط@ ر� ش� �ل% ك

“Semua syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, maka dia batil walaupun ada seratus syarat.” (Hr. Al-Bukhari)

Mereka menyatakan, “Pensyaratan ar-rahn dalam keadaan safar terdapat dalam al-Quran dan merupakan perkara yang diperintahkan, sehingga wajib untuk mengamalkannya. Serta tidak ada pensyaratan bahwa ar-rahn hanya dalam keadaan mukim, sehingga dia tertolak.”

Pendapat ini dibantah dengan argumentasi bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud sebagai bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya,

�ه� �ت م�ان� أ �م�ن� اؤ�ت �ذ�ي ال �ؤ�د� �ي ف�ل � �ع�ضا ب �م �ع�ض�ك ب �م�ن� أ �ن� ف�إ

“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).” (Qs. Al-Baqarah: 283)

Demikian juga, hukum asal dalam transaksi muamalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangannya, dan di dalam permasalahan ini tidak ada larangannya.” [13]

Yang rajih adalah pendapat pertama. Wallahu a’lam.

Hikmah PensyariatannyaKeadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal

harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.

Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan

25

Page 27: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.

Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat.

Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.

Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah.

Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan melapangkan penguasa.[14]

Rukun ar-Rahn (Gadai)Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu:

1. Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan).2. Al-marhun bih (utang).3. Shighah. [15]4. Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan 

murtahin (pemberi utang).Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi. [16]

Syarat ar-RahnDalam ar-Rahn terdapat persyaratan sebagai berikut:

1. Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur).[17]2. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai)a. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. [18]b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. [19]c. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini. [20]

3. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. [21]

Kapan ar-Rahn (Gadai) Menjadi Keharusan?Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ar-rahn, dalam hal apakah

menjadi keharusan untuk diserahkan langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya. Terdapat dua pendapat dalam hal ini:

26

Page 28: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Pendapat pertama, serah terima adalah syarat keharusan terjadinya ar-rahn. Ini pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam Mazhab Ahmad bin Hambal, serta Mazhab Zahiriyah.

Dasar pendapat ini adalah firman Allah “ �وض�ة�� م�ق�ب ,Dalam ayat ini .”ف�ر�ه�ان<Allah mensifatkannya dengan “dipegang” (serah terima), dan ar-rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga membutuhkan serah-terima (al-qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang belum diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk menyerahkannya, sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. [22]

Pendapat kedua, ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian, bila pihak yang menggadaikan menolak untuk menyerahkan barang gadainya, maka dia dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat Mazhab Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab Hambaliyah.

Dasar pendapat ini adalah firman Allah “ �وض�ة�� م�ق�ب ,Dalam ayat ini .“ف�ر�ه�ان<Allah menetapkannya sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterimakan). Selain itu, ar-rahn juga merupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan bukan syarat sahnya.

Syekh Abdurrahman bin Hasan menyatakan, “Adapun firman Allah ‘ ف�ر�ه�ان<�وض�ة�� adalah sifat  keumumannya, namun kebutuhan menuntut (keharusannya) ’م�ق�بtidak dengan serah-terima (al-qabdh). [23]

Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rajih adalah ar-rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang dengan barang gadai tersebut atau dengan nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan dalam transaksi yang menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya. [24]

Kapan Serah Terima ar-Rahn Dianggap Sah?Adakalanya barang gadai itu berupa barang yang tidak dapat dipindahkan,

seperti rumah dan tanah, sehingga serah terimanya disepakati dengan cara mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.

Ada kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditakar pada takaran. Adapun bila barang timbangan maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditimbang, dihitung bila barangnya dapat dihitung, serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.

Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya: ada yang berpendapat bahwa serahterimanya adalah dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak oleh yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.

Hukum-hukum Setelah Serah TerimaAda beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai,

27

Page 29: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:Pertama, pemegang barang gadai.

Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah,

�وض�ة�� م�ق�ب ف�ر�ه�ان�� �ا �ب �ات ك �ج�د�وا ت �م� و�ل ف�ر@ س� ع�ل�ى �م� �نت ك �ن و�إ

“Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Qs. Al-Baqarah: 283)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

�ب� ك �ر� ي �ذ�ي ال و�ع�ل�ى �ا ه�ون م�ر� �ان� ك �ذ�ا إ ب� ر� �ش� ي الد�ر� �ن� �ب و�ل �ا ه�ون م�ر� �ان� ك �ذ�ا إ �ب� ك �ر� ي الظ�ه�ر��ه� �ف�ق�ت ن ب� ر� �ش� و�ي

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh

diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.”

(Hr. TIrmidzi; hadits shahih)

Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.

Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

�ب� ك �ر� ي �ذ�ي ال و�ع�ل�ى �ا ه�ون م�ر� �ان� ك �ذ�ا إ ب� ر� �ش� ي الد�ر� �ن� �ب و�ل �ا ه�ون م�ر� �ان� ك �ذ�ا إ �ب� ك �ر� ي الظ�ه�ر��ه� �ف�ق�ت ن ب� ر� �ش� و�ي

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)

Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.”

Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen).  [25]

28

Page 30: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.

Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

و�ع�ل�ى �ا ه�ون م�ر� �ان� ك �ذ�ا إ �ه� �ف�ق�ت �ن ب ب� ر� �ش� ي الد�ر� �ن� �ب و�ل �ا ه�ون م�ر� �ان� ك �ذ�ا إ �ه� �ف�ق�ت �ن ب �ب� ك �ر� ي ه�ن� الر��ف�ق�ة� الن ب� ر� �ش� و�ي �ب� ك �ر� ي �ذ�ي ال

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).

Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,

م�ه� غ�ر� �ه� �ي و�ع�ل �م�ه� غ�ن �ه� ل

“Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)

Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut. [26]

Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan padanya.

Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut).

Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.” [27]Ketiga, pertumbuhan barang gadai.

29

Page 31: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.

Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai tersebut.

Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya. [28]

Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai.

Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.

Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).

Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi utangnya tersebut.

Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya. [29]

Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka  penggadai  meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah utang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai.

Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.

30

Page 32: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut.

Apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.

Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada penggadai, serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka meniadakan kezaliman. [30]

Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang) dipenjarakan.

Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai barang  gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang tersebut.

Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita yang banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada padanya, walaupun nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk kezaliman yang harus dihilangkan.Wallahul Muwaffiq.

Referensi:1. Kitab al-Fiqh al-Muyassarah, Qismul Muamalah, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425 H, Madar al-Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA.2. Abhaats Hai’at Kibar al-Ulama bil Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, disusun oleh al-Amanah al-’Amah li Hai’at Kibar al-Ulama, cetakan pertama, tahun 1422 H.3. Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah al-Bassam, cetakan kelima, tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA.4. Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H, Penerbit Hajar, Kairo, Mesir.5. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhamma Najib al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-’Arabi, Beirut.

31

Page 33: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi.Artikel: EkonomiSyariat.Com

===Catatan kaki:

[1] Lihat: Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syekh Abdullah Al Bassam, cetakan kelima, tahun 1423, Maktabah al-Asadi, Makkah, KSA, 4/460.[2] Lisan al-Arab, karya Ibnu Mandzur pada kata “rahana”, dinukil dari kitab Al-Fiqh al-Muyassar, Qismul Mu’amalah, Prof. Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alu Musa, cetakan pertama, tahun 1425H, Madar al-Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA, hlm. 115.[3] Mu’jam Maqayis al-Lughah: 2/452, dinukil dari Abhats Hai’at Kibar al-Ulama bil Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah, disusun oleh al-Amanah al-’Amah Lihai’at Kibar al-Ulama, cetakan pertama, tahun 1422 H, 6/102.[4] Lihat: Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhamma Najieb al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-’Arabi, Beirut, 12/299—300.[5] Lihat: Mughni, Ibnu Qudamah, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Abdul Fatah Muhammad al-Hulwu, cetakan kedua, tahun 1412 H, penerbit Hajar, Kairo, Mesir, 6/443.[6] Lihat: Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab al-‘Aziz.[7] Taudhih al-Ahkam Syarah Bulugh al-Maram : 4/460.[8] Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/107.[9] Lihat: Al-Mughni: 6/444 dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.[10]Fathul Bari: 5/140.[11]Adhwa’ al-Bayan: 1/228.[12]Al-Mughni: 6/444.[13]Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/112—112.[14] Abhats Hai’at Kibar Ulama: 6/112.[15]Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat mengungkapkan keridhaannya dalam transaksi, baik berupa perkataan yaitu ijab qabul, atau berupa perbuatan.[16]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.[17]Lihat: Al Majmu’ Syarhul Muhadzab: 12/302, al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116, dan Taudhih al-Ahkam: 4/460.[18]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.[19]Taudhih al-Ahkam: 4/460 dan al-Fiqh al-Muyassar hlm. 116.[20]Taudhih al-Ahkam: 4/460.[21]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 116.[22]Al-Mughni: 6/446.[23]Taudhih al-Ahkam: 4/464.[24]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.[25]Lihat pembahasannya dalam Taudhih al-Ahkam: 4/462–477.[26]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 117.[27]Dinukil dari Taudhih al-Ahkam: 4/462.[28]Abhats Hai’at Kibar Ulama 6/134-135

32

Page 34: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

[29]Taudhih al-Ahkam: 4/467.[30]Al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 119.

BAGIAN 6AKAD MURABAHAH DALAM HUKUM ISLAM DAN PROBLEMATIKA

PENERAPANNYA PADA BANK SYARI'AH

 I. Pendahuluan            Salah satu produk perbankan syariah yang dapat membantu nasabah dalam pengadaan barang adalah murabahah. Produk ini sama dengan ba'i bi saman ajil. ia merupakan pembiayaan yang diberikan kepada nasabah perbankan syariah, tetapi berbeda dengan pembiayaan konsumen (consumer finance) yang ada pada perbankan konvesional. Makalah ini memaparkan tentang seluk beluk dari murabahah tersebut kaitannya dengan perbankan syariah dan problematika yang dihadapinya.

II. Pengertian            Pengertian murabahah secara bahasa atau etimologis adalah berasal dari kata "ribh" yang artinya 'keuntungan' yaitu 'pertambahan nilai modal'. Kata murabahah merupakan bentuk mutual yang bermakna 'saling'. Jadi, murabahah artinya 'saling mendapatkan keuntungan'. Dalam ilmu fiqh, murabahah diartikan 'menjual dengan modal asli bersama tambahan keuntungan yang jelas'.[1]

Secara terminologis, yang dimaksud dengan murabahah adalah pembelian barang dengan pembayaran yang ditangguhkan (1 bulan, 2 bulan, 3 bulan dan seterusnya tergantung kesepakatan). Pembiayaan murabahah diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory).[2]

Muhammad Syafi'i Antonio mengutip Ibnu Rusyd, mengatakan bahwa murabahah adalah "jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati". Dalam akad ini, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[3]

Ivan Rahmawan A. mendefinisikan murabahah sebagai suatu kontrak usaha yang didasarkan atas kerelaan antara kedua belah pihak atau lebih dimana keuntungan dari kontrak usaha tersebut didapat dari mark up harga sebagaimana yang terjadi dalam akad jual beli biasa.[4]

Heri Sudarsono mendefinisikan murabahah sebagai jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah. Dalam murabahah, penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atas laba dalam jumlah tertentu.[5]

Udovitch via Abdullah Saeed mendefinisikan murabahah sebagai suatu bentuk jual beli dengan komisi, di mana si pembeli biasanya tidak dapat memperoleh barang yang dia inginkan kecuali lewat seorang perantara, atau ketika si pembeli tidak mau susah-susah mendapatkannya sendiri, sehingga ia mencari jasa seorang perantara.[6]

Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan beberapa hal pokok bahwa akad murabahah terdapat 1) pembelian barang dengan pembayaran yang ditangguhkan. Dengan defenisi ini, maka murabahah identik dengan ba'i bitsaman ajil. 2) Barang yang dibeli menggunakan harga asal. 3) Terdapat

33

Page 35: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

tambahan keuntungan (komisi, mark up harga, laba) dari harga asal yang telah disepakati. 4) terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak (pihak bank dan nasabah) atau dengan kata lain, adanya kerelaan di antara keduanya. 5) Penjual harus menyebutkan harga barang kepada pembeli (memberi tahu harga produk).             III. Landasan Syari'ah Akad Murabahah            Adapun landasan syari'ah murabahah[7] adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 275,

ب�ا.... م� الر� ر� ل� الل�ه� ال�ب�ي�ع� و�ح� أ�ح� ...و�"...dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...."

Dan juga hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Suhaib ar-Rumi bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual." (H. R. Ibnu Majah).

          Para ulama telah mengemukakan kehalalan murabahah karena keumuman

dalil yang menjelaskan tentang dibolehkannya jual beli dalam skala umum. Ijma kaum muslimin menjadi landasan kebolehan murabahah ini, karena jual beli ini juga dilakukan di berbagai negeri dan setiap masa. Orang yang tidak memiliki ketrampilan jual beli dapat bergantung kepada orang lain dan hatinya tetap merasa tenang. Ia bisa membeli barang dan menjualnya dengan keuntungan yang logis sesuai kesepakatan.[8]

Landasan syari'ah berikutnya adalah ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang Uang Muka dalam Murabahah, maka landasan syari'ah yang dikemukakan adalah,[9] 1. Q.S. al-Baqarah [2]: 282,

م�ى ل� م�س��� ن�وا إ ذ�ا ت�د�اي�ن�ت�م� ب د�ي�ن� إ ل�ى أ�ج� ا ال�ذ ين� آم� �ي.ه� ي�ا أاك�ت�ب�وه�.... ف�

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah [seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...."

2. Q.S. al-Maidah [5]: 1,

ود .... وا ب ال�ع�ق� و�ف�ن�وا أ� ا ال�ذ ين� آم� �ي.ه� ي�ا أ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu [Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh

manusia dalam pergaulan sesamanya]...."

3. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dari sahabat 'Amr bin 'Auf,

34

Page 36: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

و�� ال5 أ ال� م� ح� ر� ا ح��� ل�ح5 ي�ن� إ ال� ص��� ل م ائ ز: ب�ي�ن� ال�م�س��� ل�ح� ج��� الص��.

ط5ا ر� م� إ ال� ش��� و�ط ه ر� و�ن� ع�ل�ى ش��� ل م� ال�م�س��� ا و� ام��5 ر� ل� ح� أ�ح���ا. ام5 ر� ل� ح� و� أ�ح�

� ال5 أ ال� م� ح� ر� ح�"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

4. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh oleh Imam Ibnu Majah dari sahabat 'Ubadah bin Samit. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Sahabat Ibnu 'Abbas dan Malik dari Yahya,

. ار� ر� ر� و�ال� ض ر� ال� ض�"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain."

5.  Kaidah Usul al-Fiqh,

ل: ع�ل�ى د�ل� د�ل ي��� ة� إ ال� أ�ن� ي��� ت اإل� ب�اح��� ع�ام�ال� ل� ف ي� ال�م� ص�� األ�

ا. ه� ر ي�م ت�ح�"Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

. ال� ر� ي�ز� ر� الض�"Bahaya (beban berat) harus dihilangkan."

6. Ijma' ulama bahwa meminta uang muka dalam akad jual beli adalah boleh (jawaz).Demikian pula, ketika difatwakan tentang "diskon dalam akad

murabahah", MUI juga mengutip landasan syar'i yang ada pada item no 2, 3, 5

(kaidah yang pertama), dan kaidah usul al-fiqh berikut, د�ت و�ج ا �ي�ن�م� أك�م� الله ث�م� ح� ة� ف� ل�ح� Di mana terdapat kemaslahatan, di sana"  ال�م�ص�terdapat hukum Allah."[10]

Ketika MUI memberikan fatwa tentang "Potongan Pelunasan dalam Murabahah", maka yang dijadikan landasan syar'i-nya adalah,[11] 1. Q.S. al-Baqarah [2]: 275, 2. Q.S. an-Nisa' [4]: 29, 3. Q.S. al-Maidah [5]: 1,4. Q.S. al-Maidah [5]: 2,

5) Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dan Imam Ibnu Majah dan di-sahih-kan oleh Ibnu Hibban berikut,

و�ل� الل��ه س� ي� الله� ع�ن�ه� أ�ن� ر� ض د�ر ي� ر� ع ي�د� ال�خ� ب ي� س�� ع�ن� أ

ع� ع�ن� ا ال�ب�ي��� : إ ن�م��� ال� ل�م� ق��� ه و�س��� آل�� ه و� ل�ى الل��ه� ع�ل�ي��� ص���حه ابن Tرواه ال���بيهقي وابن ماج���ة وص���ح{ , �اض ر� ت����

حبان{

35

Page 37: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

"Dari Abu Sa'id al-Khudri ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak'."

6. Hadis Nabi saw., yang diriwayatkan oleh oleh Imam at-Tabrani dalam al-Kabir dan al-Hakim dalam al-Mustadrak yang mengatakan bahwa hadis ini sahih. Hadis tersebut adalah sebagai berikut,

ل�م� آل ه و�س��� ل�ى الله� ع�ل�ي�ه و� ن� الن�ب ي� ص�و ي� اب�ن� ع�ب�اس� أ� ر�

ال�وا: ق� , ف� م� ن�ه� اء�ه� ن�اس: م ي�ر ج� اج� ب�ن ي الن�ض ر� ر� ب إ خ� م�ا أ� ل�م�

اس ا ع�ل�ى الن�� ل�ن�� ا و� ن�� اج ر� ت� ب إ خ� ر� م��ك� أ� ا ن�ب ي� الل�ه , إ ن�� ي��

آل ه ل�ى الله� ع�ل�ي�ه و� و�ل� الله ص� س� ال� ر� ق� , ف� ل� د�ي�و�ن: ل�م� ت�ح ل�و�ا }رواه الط��برني والح��اكم في ت�ع�ج� ع�وا و� : ض� ل�م� و�س�

المستدرك وصححه{"Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi saw., ketika memerintahkan mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan, 'Wahai Nabi Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan mengusir kami sementara kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo', maka Rasulullah saw. berkata, 'Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat'.

7. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh  Imam at-Tirmizi dari Amr bin Auf sebagai berikut,

و�� ال5 أ ال� م� ح� ر� ا ح��� ل�ح5 ي�ن� إ ال� ص��� ل م ائ ز: ب�ي�ن� ال�م�س��� ل�ح� ج��� الص��.

ط5ا ر� م� إ ال� ش��� و�ط ه ر� و�ن� ع�ل�ى ش��� ل م� ال�م�س��� ا و� ام��5 ر� ل� ح� أ�ح���ا. ام5 ر� ل� ح� و� أ�ح�

� ال5 أ ال� م� ح� ر� ح�"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

8. Kaidah Usul al-Fiqh,

ل: ع�ل�ى د�ل� د�ل ي��� ة� إ ال� أ�ن� ي��� ت اإل� ب�اح��� ع�ام�ال� ل� ف ي� ال�م� ص�� األ�

ا. ه� ر ي�م ت�ح�"Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

IV. Profil Singkat tentang Murabahah       1. Rukun Murabahah

            Murabahah mempunyai beberapa rukun yaitu,1) Para pihak (al-'aqidan, العاقدين );2) Pernyataan kehendak (sigat al-'aqd, صيغة العقد);3) Obyek akad (mahall al-'aqd, محل العقد);4) Tujuan akad (maudu al-'aqd, موضوع العقد)[ 12 ]

36

Page 38: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

            Ivan Rahmawan mengemukakan rukun murabahah antara lain, 1) Penjual (ba'i); 2) Pembeli (musytari); 3) Barang/ objek (mabi'); 4) Harga (saman); 5) Ijab qabul (sigat).[13]

2. Syarat Murabahah            Terdapat delapan syarat terbentuknya akad murabahah, yaitu:1) Tamyiz (at-tamyiz);2) Berbilang pihak (ta'addud at-tarfain);3) Pertemuan kehendak atau kesepakatan (tatabuq al-iradatain);4) Kesatuan majlis (ittihad at-tarfain)

5) Obyek ada pada waktu akad [dapat diserahkan]  (wujud al-mal 'inda al-'aqd au al-qudrah 'ala at-taslim);6) Objek dapat ditransaksikan (salahiyah al-mal li at-ta'amuli);

7) Objek tertentu atau dapat ditentukan (at-ta'yin au qabiliyyah al-mahal li at-ta'amuli);

8) Tidak bertentangan dengan ketentuan syariah ('adamu mukhalafah asy-syar'i).[14]            Adapun syarat keabsahan murabahah adalah, 1) Bebas dari paksaan (al-khalw min al-ikrah);2) Bebas dari garar atau ketidakjelasan (al-khalw min al-garar);3) Bebas dari riba (al-khalw min ar-riba)4) Bebas dari syarat fasid (al-khalw min asy-syurut al-fasidah);

5) Tidak menimbulkan kerugian ketika penyerahan ('inda ad-darar 'inda at-taslim).[15]            Di samping syarat-syarat di atas, terdapat juga syarat-syarat khusus, yaitu:1) Harus diketahui besarnya biaya perolehan komoditi.2) Harus diketahui keuntungan yang diminta penjual.3) Pokok modal harus berupa benda bercontoh atau berupa uang.

4) Murabahah hanya bisa digunakan dalam pembiayaan bilamana pembeli murabahah memerlukan dana untuk membeli suatu komoditi secara riil dan tidak boleh untuk lainnya termasuk membayar hutang pembelian komoditi yang sudah dilakukan sebelumnya, membayar biaya overhead, rekening listrik, dan semacamnya.

5) Penjual harus telah memiliki barang yang dijual dengan pembiayaan murabahah.6) Komoditi bersangkutan harus telah berada dalam resiko penjual.

7) Komoditi obyek murabahah diperoleh dari pihak ketiga bukan dari pembeli murabahah bersangkutan (melalui jual beli kembali,  )[16]

Abdullah Saeed mengemukakan ciri dasar kontrak murabahah yang kalau diteliti, isinya tercakup dalam syarat murabahah yang telah dikemukakan di atas. Ciri dasar kontrak murabahah yang dimaksud adalah 1) si pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan tentang harga asli barang, batas laba (mark up) harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga beserta biaya-biayanya; 2) apa yang dijual adalah barang atau komoditi dan dibayar dengan uang; 3) apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh si penjual dan si penjual harus harus mampu menyerahkan barang tersebut kepada si pembeli; dan 4) pembayarannya ditangguhkan. Murabahah digunakan dalam setiap pembiayaan di mana ada barang yang bisa diidentifikasi untuk dijual.[17]

37

Page 39: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

3. Ketentuan Umum Murabahah menurut Fatwa Dewan Syariah NasionalDalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/ DSN-MUI/IV/2000

tanggal 1 April 2000, dipaparkan tentang ketentuan umum murabahah sebagai berikut;[18]I. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah adalah sebagai berikut:

(1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba(2) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam

(3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya

(4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atan nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba

(5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara berhutang

(6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli ditambah keuntungan. Dalam hal ini, bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan

(7) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati

(8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah

(9) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bankII. Ketentuan murabahah Kepada Nasabah

(1) Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau asset kepada bank

(2) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang

(3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima atau membelinya sesuai dengan pernjanjian yang telah disepakati, karena secara hukum, perjanjian tersebut mengikat kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli

(4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan

(5) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut

(6) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kemnbali sisa kerugiannya kepada nasabah

(7) Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:(a) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa

harga(b) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar

kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut: dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannyaIII. Jaminan dalam Murabahah

(1) Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya

38

Page 40: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

(2) Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegangIV. Hutang dalam Murabahah

(1) secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank

(2) Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruhnya

(3) Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran-pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkanV. Penundaan Pembayaran dalam Murabahah

(1) Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya

(2) Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarahVI. Bangkrut dalam Murabahah

(1) Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

4. Murabahah dan Ba'i bi Saman Ajil            Murabahah sama dengan ba'i bi saman ajil, seperti yang dikemukakan oleh Adiwarman A. Karim. Ia mengatakan bahwa "sebenarnya produk pembiayaan ba'i bi saman ajil secara fiqh adalah ba'i bi saman ajil yang murabahah. Adapun murabahah, secara fiqh pembayarannya dapat dilakukan lewat naqdan (tunai) atau bi saman ajil (tangguh tempo). Dalam penerapannya diperbankan, murabahah yang naqdan tidak ada, yang ada adalah murabahah yang pembayarannya dicicil. Jadi, sebenarnya produk pembiayaan murabahah secara fiqh adalah murabahah yang ba'i bi saman ajil".[19]            Untuk mengetahui gambaran lengkap tentang hal ini, dapat dilihat tabel berikut;[20]

No. Hal Murabahah Ba'i bi Saman Ajil1 Fiqh Dalam sebuah kitab, murabahah

adalah salah satu bagian dari prinsip jual beli

Sistem pembayaran boleh secara angsur atau sekaligus

Tidak tercantum dalam kitab fiqh manapun dan bukan bagian dari prinsip jual beli melainkan istilah baru sebagai bagian dari murabahah

Ba'i bi saman ajil adalah jual beli dengan cara angsur, tidak terdapat pembayaran secara kontan.

2. Teknik Perbankan

Digunakan di seluruh perbankan syariah yang berada di Timur Tengah, Eropa, Asia, Australia, dan Amerika

Pembiayaan untuk barang yang tidak bersifat siklus (modal kerja), kecuali pembiayaan untuk satu jenis barang dan bersifat one shot deal

Produk ini hanya digunakan di Malaysia

Sama

39

Page 41: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

5. Murabahah dan Perbedaannya dengan Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance)

Penulis merasa penting mencantumkan bagian ini, karena sebagian orang menganggap bahwa murabahah adalah sama dengan pembiayaan konsumen (consumer finance). Oleh karena itu, di sini di kemukakan perbedaan di antara keduanya dalam bentuk tabel agar lebih mudah untuk dipahami. Adapun perbedaan keduanya adalah sebagai berikut;[21]

No. Masalah Jual Beli Murabahah Pembiayaan Konsumen1. Akad Jual beli

Harus ada barangPinjam meminjam

Belum tentu ada barangnya2. Obyek

penyerahan Barang yang diperjualbelikan harus

ada Barang dapat diserahkan sewaktu

akad Barang berupa harta yang jelas

harganya Barang milik sendiri (punya bank)

artinya terjaga

Uang yang akan dipergunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan

3. Harga perolehan barang

Harus diberitahukan kepada nasabah Tidak ada keharusan, karena yang diserahkan uang bukan barang, bahkan tidak tahu harga perolehan barangnya

4. Tanda bukti nasabah

Tanda terima barang Tanda Terima Uang Tunai Nasabah (TTUTN), promise atau sejenisnya

5. Hutang nasabah

Sebesar harga jual, yaitu harga perolehan barang ditambah keuntungan yang disepakati

Berkurang sebesar pembayaran angsuran yang dilakukan (tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan)

Bagi nasabah tidak mengenal hutang pokok dan hutang margin

Pokok kredit ditambah dengan bunga (tergantung sistem bunga yang dikenakan-tetap, floating, dsb.)

Berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga (pada umumnya bank mempergunakan sistem perhitungan anuitas-pembayaran angsuran pokok kecil pada awalnya)

Ada hutang pokok dan hutang bunga

6. Perhitungan keuntungan

Belum dikemukakan metode perhitungan keuntungan

Keuntungan harus disepakati Dilakukan sekali dari harga perolehan

barang setelah dikurangi uang muka (jika ada). Jika telah disepakati tidak diperbolehkan berubah sampai akhir akad

Perhitungannya dari sisa/ outstanding pokok kredit yang diberikan kepada nasabah (biasanya bank mempergunakan sistem perhitungan anusitas-bunga besar pada awalnya, karena modalnya dipergunakan juga besar)

7. Nasabah melunasi sebelum jatuh tempo

Sebesar sisa hutangnya (hutang awal dikurangi dengan pembayaran angsuran)

Bank syariah diperkenankan untuk memberi potongan pelunasan dipercepat, yang besarnya merupakan kebijakan bank

Sebesar sisa pokok kredit dan biasanya bunga yang belum diterima sebagai potongan pelunasan

Dengan cara perhitungan anusitas, sisa pokok kredit pada awalnya tersisa besar dan secara

40

Page 42: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

bertahap menurun8. Jaminan Nasabah dapat diminta untuk

memberikan jaminan Nasabah harus menyerahkan

jaminan9. Diskon dari

supplier Pada prinsipnya menjadi milik

nasabah Diskon yang tidak jelas pemiliknya,

merupakan dana kebajikan

Menjadi milik bank, sebagai pendapatan non operasi

10. Denda Hanya kepada nasabah yang mampu, tetapi tidak mau membayar

Nasabah yang tidak mampu tidak diperkenankan dikenakan denda

Denda yang diterima merupakan pendapatan non halal (dana kebajikan)

Bagi nasabah yang tidak membayar (tidak memperhatikan mampu atau tidak mampu)

Denda yang diterima diakui sebagai pendapatan non operasi bank

11. Uang muka Harus diserahkan kepada bank syariah Jika pesanan dibatalkan, bank

mengalami rugi, maka nasabah harus mengganti kerugian riil bank dari uang muka

Jika dilaksanakan, sebagai pengurang hutang nasabah

Dapat disetor langsung kepada supplier (self financing)

12. Pembagian pokok dan keuntungan (untuk kepentingan bank)

Jika murabahah pembayarannya dilakukan secara tangguh, maka pembagian pokok dan margin harus dilakukan secara proporsional merata dan tetap selama jangka waktu angsuran

Tidak dikenal pembayaran pokok dulu atau margin dulu, pembayaran angsuran adalah pengurang hutang nasabah

Pada umumnya bank membedakan porsi pokok dan bunga

Pembagian dilakukan secara anusitas, yaitu dengan jumlah angsuranyang sama pada awalnya possi pokok lebih kecil dan bunga lebih besar dan akhirnya sebaliknya

Dimungkinkan untuk membayar bunga dulu, atau membayar pokok saja, dst.

V. Praktek Akad Murabahah Pada Bank Syari'ah dan Problematikanya            Bank-bank syariah pada umumnya telah menggunakan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliputi 75% dari total kekayaan mereka. Angka persentasi ini sesuai dengan banyak bank-bank syariah, demikian pula dengan sistem perbankan di Pakistan maupun di Iran. Sejak tahun 1984, di Pakistan, pembiayaan jenis murabahah mencapai 87 % dari total pembiayaan dalam investasi deposito PLS. Pada kasus Dubai Islamic Bank, bank Islam paling awal pada sektor swasta, pembiayaan murabahah mencapai 82% dari total pembiayaan selama 1989. Bahkan, bagi Islamic Development Bank (IDB), selama lebih 10 tahun periode pembiayaan, 73 % pembiayaannya adalah murabahah, yaitu dalam pembiayaan dagang luar negeri.[22]            Sejumlah alasan dikemukakan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi investasi perbankan syari'ah, 1) murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan sistem Profit and Loss sharing (PLS); 2) komisi dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa, sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank syariah; 3) murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS; 4) murabahah tidak

41

Page 43: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

memungkinkan bank-bank syariah mencampuri manajemen bisnis, karena bank bukanlah mitra nasabah, sebab hubungan mereka adalah hubungan antara kreditur dengan debitur.[23]            Murabahah sebagai suatu jual beli dengan pembayaran tunda dapat terjadi pada harga tunai, dengan menghindari segala bentuk mark-up pengganti waktu yang ditundakan untuk pembayaran, atau dapat terjadi pada harga tunai plus mark-up untuk pengganti waktu penundaan pembayaran.[24]            Sejumlah alasan diajukan untuk mendukung sah-nya harga kredit yang lebih tinggi dalam pembayaran tunda. Sejumlah alasan tersebut adalah, 1) bahwa teks-teks syariah tidak melarangnya; 2) terdapat perbedaan antara uang yang tersedia dengan sekarang dengan uang yang tersedia di masa yang datang; 3) bahwa kenaikan harga bukan sebagai imbalan waktu tunda pembayaran. Oleh karena itu, ia tidak sama denga riba sebelum Islam datang yang dilarang dalam al-Qur'an; 4) bahwa kenaikan harga dikenakan pada saat penjualan, bukan setelah penjualan dilakukan; 5) bahwa kenaikan harga disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pasar, seperti permintaan dan penawaran dan naik turunnya daya jual-beli uang sebagai akibat inflasi dan deflasi; 6; bahwa penjual sedang melakukan suatu aktivitas dagang dan yang produktif dan diakui; 7) bahwa penjual boleh menetapkan bunga berapapun yang dikehendakinya.[25]             Bank-bank syariah yang mendukung penggunaan murabahah dalam perbankan syariah tidak menganggap kenaikan dalam harga kredit mempunyai kemiripan dengan riba. Mungkin karena ada kemiripan antara kenaikan harga dalam murabahah dengan tambahan yang diberikan kepada kreditur sebagai imbalan perpanjangan waktu jatuhnya tempo hutang, sehingga sebagian sarjana berusaha menghindari setiap pengkaitan antara kenaikan harga dalam murabahah dengan tenggang waktu pembayaran.[26]

VI. Penutup            Setelah semua pembahasan dipaparkan dapatlah diketahui bahwa murabahah sudah banyak diterapkan pada perbankan syariah. Produk ini mempunyai ketentuan-ketentuan yang amat ketat yang bisa mengikat antara bank dan nasabah. Ketentuan-ketentuan tersebut dibuat dengan tujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ketika mengadakan transaksi tersebut. Dari berbagai ketentuan yang dipaparkan tersebut terlihat semangat saling menolong,  saling menguntungkan, dan melindungi pihak-pihak yang lemah.

Daftar Pustaka

Antonio, Muhammad Syafi'i. Bank Islam: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Karim, Adiwarman A.. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Muhammad. Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syari'ah. Yogyakarta: UII Press, 2006

al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, terj. Abu Umar Basyir. Jakarta: Darul Haq, 2004

Perwataatmadja, Karanaen A. dan Muhammad Syafi'i Antonio. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: P.T. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999

42

Page 44: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Rahmawan A., Ivan. Kamus Istilah Akuntansi Syari'ah. Yogyakarta: Pilar Media, 2005

Saeed, Abdullah. Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, terj. Arif Maftuhin. Jakarta: PARAMADINA, 2004

Sam, M. Ichwan dkk. (ed.). Himpunan fatwa Dewan Syari'ah Nasional. Jakarta: P.T. Intermasa, 2003

Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: EKONISIA, 2004

Wiroso. Jual Beli Murabahah. Yogyakarta: UII Press, 2005

[1]Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 198.

[2]Karanaen A. Perwataatmadja dan Muhammad Syafi'i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta: P.T. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), hlm.  25.

[3]Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Islam: Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 101.

[4]Ivan Rahmawan A., Kamus Istilah Akuntansi Syari'ah (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 112-113.

[5]Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta: EKONISIA, 2004), hlm. 62. 

[6]Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, terj. Arif Maftuhin (Jakarta: PARAMADINA, 2004), hlm. 119.

[7]Ibid., hlm. 102. [8]Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, op.cit., hlm. 198-199. [9]M. Ichwan Sam dkk. (ed.), Himpunan fatwa Dewan Syari'ah Nasional

(Jakarta: P.T. Intermasa, 2003), hlm. 83-85. Walaupun fatwa ini berkaitan dengan uang muka dalam murabahah, tetapi hal ini dianggap masih relevan dengan pembahasan tentang murabahah secara umum.

[10]Ibid., hlm. 99-100. [11]Ibid., hlm. 146-148. [12]Print out mata kuliah Hukum Transaksi Islam oleh H. Syamsul Anwar,

hlm. 58.[13]Ivan..., op.cit., hlm. 113. [14]Print out, lo.cit. [15]Ibid. [16]Ibid., hlm. 59. [17]Abdullah Saeed, op.cit., hlm 120 dan Muhammad, Teknik Perhitungan

Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syari'ah (Yogyakarta: UII Press, 2006), hlm. 93.

[18]Wiroso, Jual Beli Murabahah (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 47-49. Terdapat juga Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 59 (PSAK 59) tentang Akuntansi Perbankan Syariah dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang menjelaskan tentang karakteristik murabahah. Lihat ibid., hlm. 49- 52.

[19]Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 90.

43

Page 45: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

[20]Wiroso, op.cit., hlm. 56. [21]Ibid., hlm. 54-55. [22]Abdullah Saeed, op.cit., hlm. 121 dan Muhammad, op.cit., hlm. 94. [23]Ibid. [24]Abdullah Saeed, op.cit., hlm. 121-122 dan Muhammad, op.cit., hlm.

94-95.  [25]Abdullah Saeed, op.cit., hlm. 123-124 dan Muhammad, op.cit., hlm.

97.   [26]Abdullah ..., op.cit.,  hlm. 126 dan Muhammad,op.cit., hlm. 99-100. 

BAGIAN 7IJARAH (SEWA MENYEWA DAN UPAH MENGUPAH)

A. PENGERTIAN1. Menurut bahasa (etimologi)

Ijarah adalah بيع .(menjual manfaat) المنفعة2. Menurut syara’ (terminologi)

a. Ulama Hanafiyah : ‘aqdun ‘alal manaafi’i bi ‘audhin, artinya “akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti”.(Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 174)

b. Ulama Syafi’iyah : “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”.(Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 332)

c. Ulama Malikiyah (Syarh al-Kabir li Dardir, Juz 4, hal. 2) dan Hanabilah (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 398): “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan menjadi sewa menyewa dan upah mengupah.

Sewa menyewa adalah بيع menjual) المنفعة manfaat) dan upah mengupah adalah ه القو .(menjual tenaga atau kekuatan) بيع

Sewa digunakan untuk benda, seperti “seseorang menyewa kamar untuk tempat tinggal”. Sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja di toko dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah.

B. DASAR HUKUM

44

Page 46: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

1. Al-Qur’anAllah Swt berfirman,

�ه�م� ف�ي ت �ه�م م�ع�يش� �ن �ي �ا ب م�ن �ح�ن� ق�س� �ك� ن ب ح�م�ة� ر� م�ون� ر� �ق�س� �ه�م� ي أ�ع�ض�ه�م �خ�ذ� ب �ت �ي ج�ات@ ل �ع�ض@ د�ر� �ع�ض�ه�م� ف�و�ق� ب �ا ب ف�ع�ن �ا و�ر� �ي �اة� الد%ن ي �ح� ال

�ج�م�ع�ون� �ر< م�م�ا ي ي �ك� خ� ب ح�م�ت� ر� kا و�ر� خ�ر�ي �ع�ض�ا س� ب

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Q.S. Az Zukhruf 43 : 32)

Allah Swt berfirman,

ه�ن� �ج�ور� �وه�ن� أ �م� ف�آت �ك ض�ع�ن� ل ر�� �ن� أ ف�إ

“Jika mereka telah menyusukan anakmu maka berilah upah mereka”. (Q.S. Ath-Thalaq 65 : 6)

Allah Swt berfirman,

�ق�و�ي% ت� ال ج�ر�� �أ ت �ر� م�ن� اس� ي �ن� خ� ه� إ ج�ر�

� �أ ت �ت� اس� �ب �ا أ �ح�د�اه�م�ا ي ق�ال�ت� إ�م�ين� األ�

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (Q.S. Al-Qashash 28 : 26)

2. As-SunnahDahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman

yang tumbuh. Lalu Rasulullah Saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah Saw bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada orang yang membekamnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang meminta menjadi buruh (pekerja), beritahukanlah upahnya”. (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)

3. IjmaHampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam.

C. RUKUN

45

Page 47: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul antara lain dengan menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’ dan al-ikra.

Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4 yaitu :1. ‘Aqid (orang yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau

memberikan upah) dan musta’jir (orang yang menyewa sesuatu atau menerima upah)

2. Shighat akad yaitu ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir3. Ujrah (upah)4. Ma’qud ‘alaih (Manfaat/barang yang disewakan atau sesuatu yang

dikerjakan)

D. SYARAT Syarat ijarah adalah sebagai berikut :1. Mu’jir dan musta’jir

Menurut ulama Hanafiyah, aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (sudah bisa membedakan antara haq dan bathil/minimal 7 tahun), tidak disyaratkan harus baligh.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian akad mumayyiz adalah sah tetapi harus ada keridhaan walinya. (Syarh al-Kabir li Dardir, Juz 4, hal. 3)

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan aqid harus mukallaf yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dikategorikan ahli akad. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 332)

Syarat yang lain adalah cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) dan adanya keridhaan dari kedua belah pihak (aqid) karena ijarah dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syura’i, Juz 4, hal. 179)

Allah Swt berfirman,

�ون� �ك �ن ت � أ �ال �اط�ل� إ �ب �ال �م� ب �ك �ن �ي �م� ب �ك م�و�ال� � أ �وا �ل �ك �أ � ت � ال �وا �ذ�ين� آم�ن %ه�ا ال ي

� �ا أ ي�م� اض@ م�نك �ر� ة� ع�ن ت ار� �ج� ت

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa' 4 : 29)

Bagi aqid juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.

2. Shighat ijab kabulShighat ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir. Ijab kabul sewa menyewa

atau upah mengupah. Ijab kabul sewa menyewa misalnya mu’jir berkata, “Aku sewakan motor ini kepadamu 1 dirham per hari” maka musta’jir menjawab, “Aku terima sewa motor tersebut dengan harga 1 dirham per hari”.

46

Page 48: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Ijab kabul upah mengupah misalnya mu’jir berkata, “Kuserahkan kebun ini untuk dicangkuli dengan upah 1 dirham per hari” kemudian musta’jir menjawab, “Aku akan lakukan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.

3. Ujrah (upah)Para ulama telah menetapkan syarat upah :a. Berupa harta tetap yang diketahui oleh kedua belah pihakb. Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah

menyewa rumah dengan menempati rumah tersebutDahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah Saw melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Sebaiknya upah diberikan per hari sesuai dengan hadits Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)

4. Ma’qud ‘alaih (barang/manfaat)- Syarat barang dalam sewa menyewa :

a. Barang harus dimiliki oleh aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad Dengan demikian ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.

b. Adanya penjelasan manfaat Penjelasan dilakukan agar benda yang disewa benar-benar jelas. Tidak sah dengan berkata, “Saya sewakan salah satu dari rumah ini” karena tidak jelas.

c. Adanya penjelasan waktuJumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal atau minimal.

Jadi, dibolehkan selamanya dengan syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan untuk membatasinya. (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 2, hal. 349)

Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan sebab bila tak dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi. (Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, Juz 1, hal. 396)

d. Sewa bulananMenurut ulama Syafi’iyah, seseorang tidak boleh berkata, “Saya menyewakan rumah ini setiap bulan 1 dinar” sebab pernyataan seperti ini membutuhkan akad baru setiap kali membayar. Akad yang benar adalah dengan berkata, “Saya sewa selama sebulan”.Sedangkan menurut jumhur ulama akad tersebut dipandang sah akad pada bulan pertama, sedangkan pada bulan sisanya bergantung pada pemakaiannya. Selain itu yang paling penting adalah adanya keridhaan dan kesesuaian dengan uang sewa. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 182)

47

Page 49: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

e. Barang sewaan harus dapat memenuhi secara syara’Tidak boleh seperti menyewa pelacur untuk sekian waktu.

f. Kemanfaatan dibolehkan secara syara’Pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang

dibolehkan secara syara’, seperti menyewakan rumah untuk tempat tinggal, menyewa motor untuk bekerja dan lain-lain.

Para ulama sepakat melarang ijarah, baik benda maupun orang untuk berbuat maksiat atau berbuat dosa. Dalam kaidah fiqih dinyatakan “menyewa untuk suatu kemaksiatan tidak boleh”. (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz 2, hal. 218)

g. Manfaat barang sesuai dengan keadaan yang umumTidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.

h. Barang sewaan terhindar dari cacatJika terdapat cacat pada barang sewaan, penyewa boleh memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 195)

- Syarat manfaat dalam upah mengupah :a. Penjelasan jenis pekerjaan

Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.

b. Penjelasan waktu kerjaTentang batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.

c. Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanyaContohnya adalah menyewa orang untuk shalat, shaum dan lain-lain. Juga dilarang menyewa istri sendiri untuk melayaninya sebab hal itu merupakan kewajiban istri.

d. Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewaTidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari

ketaatan tersebut adalah untuk dirinya.Juga tidak mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti

menggiling gandum dan mengambil bubuk atau tepungnya untuk dirinya.

Hal itu didasarkan hadits yang diriwayatkan Daruquthni bahwa Rasulullah Saw melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama Syafi’iyah menyepakatinya. (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 192)

Ulama Hanabilah dan Malikiyah membolehkannya jika ukurannya jelas sebab hadits di atas dipandang tidak shahih. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz 5, hal. 449)

E. PEMBAGIAN JENIS Ijarah terbagi 2 yaitu :1. Ijarah terhadap benda atau sewa menyewa2. Ijarah atas pekerjaan atau upah mengupah

48

Page 50: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

F. HUKUM IJARAH1. Hukum sewa menyewa

Dibolehkan ijarah atas barang mubah seperti rumah, kamar dan lain-lain tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkanAda beberapa hal yang harus diperhatikan dalam akad ijarah (sewa menyewa) :a. Barang sewa diberikan setelah akad

Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, ma’qud ‘alaih (barang sewaan) harus diberikan setelah akad.

b. Cara memanfaatkan barang sewaan- Sewa rumah

Jika seseorang menyewa rumah, dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang lain bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.

- Sewa tanahSewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akan didirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan, ijarah dipandang rusak.

- Sewa kendaraanDalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara 2 hal yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.

c. Perbaikan barang sewaanMenurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, seperti

pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain, pemiliknyalah yang berkewajiban memperbaikinya tetapi ia tidak boleh dipaksa untuk memperbaiki barangnya sendiri.

Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela. Adapun hal-hal kecil, seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.

d. Kewajiban penyewa setelah masa sewa habisDi antara kewajiban penyewa setelah masa sewa habis adalah : (Alauddin al-Kasani, Badai’ ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz 4, hal. 209)- Menyerahkan kunci, jika yang disewa rumah - Jika yang disewa kendaraan, ia harus menyimpannya kembali di tempat

asalnya2. Hukum upah mengupah

Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal yakni jual beli jasa. Contohnya seperti jasa menjahit pakaian, membangun rumah dan lain-lain.Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi menjadi 2 yaitu :a. Ijarah khusus

Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah

b. Ijarah MusytarikYaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.

49

Page 51: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, kewajiban upah didasarkan pada 3 perkara :

- Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam zat akad- Mempercepat tanpa adanya syarat- Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi sedikit

G. UPAH dalam PEKERJAAN IBADAHUpah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan

membaca Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.

Mazdhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewanya, azan, qamat dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut.

Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”.

Rasulullah Saw bersabda, “Jika kamu mengangkat seseorang menjadi mu’adzin maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah”.

Perbuatan seperti azan, qamat, shalat, haji, shaum, membaca Al-Qur’an dan zikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.

Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di nusantara, apabila seorang muslim wafat, maka keluarganya menyuruh para santri atau muslim lainnya untuk membaca Al-Qur’an di rumahnya selama 3 malam atau malam ke-7 atau malam ke-40. Setelah selesai pembacaan Al-Qur’an pada waktu yang telah ditentukan, mereka diberi upah.

Pekerjaan ini batal menurut Islam karena membaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an berniat karena Allah, maka pahala pembacaan ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain.

Allah Swt berfirman,

�ت� ب �س� �ت �ه�ا م�ا اك �ي �ت� و�ع�ل ب �س� �ه�ا م�ا ك ل“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 286)Beberapa pendapat ulama madzhab tentang upah dalam ibadah :1. Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-

Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.

2. Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.

3. Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha

50

Page 52: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang lainnya.

4. Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.

H. PEMBAYARAN UPAH dan SEWAJika Ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya pada

waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya.

Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir (penyewa), ia berhak menerima bayarannya karena musta’jir sudah menerima kegunaannya.Hak menerima upah musta’jir adalah sebagai berikut :1. Ketika pekerjaan selesai dikerjakan

Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu mengering”. (HR. Ibnu Majah)

2. Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa terjadi kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.

I. TANGGUNG JAWAB ORANG yang DIGAJI/UPAHPada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok

(serikat) harus mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian/kesengajaan atau tidak.

Jika tidak maka tidak perlu diminta penggantinya dan jika ada unsur kelalaian atau kesengajaan, maka dia harus mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya yang disepakati kedua belah pihak.

Sekiranya menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama berbeda pendapat.

Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian maka pekerja itu tidak dituntut ganti rugi.

Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggung jawab atas kerusakan tersebut,

51

Page 53: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

baik disengaja ataupun tidak. Berbeda tentu kalau terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya seperti banjir, kebakaran, gempa dll.

Menurut madzhab Maliki, apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu seperti binatu, juru masak dan buruh angkut (kuli) maka baik sengaja maupun tidak, segala kerusakan menjadi tanggung jawab pekerja itu dan wajib ganti rugi.

J. MENYEWAKAN BARANG SEWAANMusta’jir dibolehkan menyewakan lagi bawang sewaan kepada orang lain

dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad. Seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan yang kedua ini boleh lebih besar, lebih kecil atau sama.

Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir, bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri.

Misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang aman.

K. PEMBATALAN dan BERAKHIRNYA IJARAHIjarah menjadi fasakh (batal) bila terjadi hal-hal sebagai berikut :1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan musta’jir2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh.3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur alaih) seperti baju yang diupahkan

untuk dijahitkan4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah

ditentukan dan selesainya pekerjaan5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti

musta’jir menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu

L. PENGEMBALIAN SEWAANJika ijarah telah berakhir, musta’jir berkewajiban mengembalikan barang

sewaan. Jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya dan jika bentuk barang sewaan adalah ‘iqar (tetap), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong.

Jika sewaan itu tanah maka ia wajib menyerahkan kepada mu’jir (pemiliknya) dalam keadaan kosong dari tanaman kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.

(Sumber http://pasar-islam.blogspot.com/2010/10/bab-8-ijarah-sewa-menyewa-dan-upah.html)

52

Page 54: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

BAGIAN 8HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM

PENDAHULUANFungsi harta bagi manusia sangat banyak, harta dapat menunjang kegiatan

manusia baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya dan tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syarabdan hukum negara atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.salah satu fungsi harta adalah mrmelihara keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Dalam masalah wasiat para ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan wasiat lebih dari sepertiga hartanya, namun ada pula ulama yang berpendapat boleh mewariskan lebih dari sepertiga harta peninggalan. Silang pendapat ini berpangkal pada apakah ketentuan tersebut hanya khusus berkenaan dengan alasan yang dikemukakan oleh syari atau tidak? Yaitu tidak meninggalkan ahli waris sebagai orang yang miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.

Sedangkan dalam masalah hibah fuqaha sependapat bahwa setiap orang dapat memberikan hibah kepada orang lain jika barang itu sah miiknya, fuqaha juga sependapat bahwa seseorang itu boleh menghibahkan seluruh hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya dan mereka berselisih pendapat tentang orang tua yang melebihkan hibah terhadap sebagian anaknya atau penghibahan seluruh hartanya kepada sebagian anaknya tanpa yang lain menurut fuqaha Amshar hibah seperti itu makruh hukumnya. Akan tetapi, apabila hal itu terjadi menurut mereka hibah seperti itu sah.

Wasiat yang Lebih dari Sepertiga Harta Peninggalan

53

Page 55: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Apabila seseorang berwasiat melebihi dari sepertiga harta peninggalannya, maka wasiat itu tidak sah kecuali ada izin dan persetujuan seluruh ahli waris. Izin dan persetujuan ahli waris itu hendaklah diminta setelah pihak yang berwasiat meninggal dunia dan seluruh ahli waris yang memberikan persetujuan itu mestilah sudah cakap bertindak, persetujuan yang diberikan oleh ahli waris yang telah dewasa dan berakal sehat saja tidak bisa diterima.

Ulama Hanafiah dan sebagian ulama Hanabilah membolehkan berwasiat melebihi sepertiga harta kalau pihak yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris sebab tidak ada pihak ahli waris yang dirugikan oleh wsiat tersebut.

Menurut Malik. Apabila orang yang mewasiatkan sepertiga barang-barang yang diwasiatkan itu kemudian ahli warisnya bahwa barang-brang yang telah ditentukan itu ternyata lebih dari sepertiga hartanya, maka ahli waris diperkenankan memilih antara memberikan apa yang telah ditentukan oleh pemberi wasiat kepada orang yang diberi wasiat atau memberikan sepertiga dari seluruh harta si mayit.

Pendapat Malik itu ditentang oleh Syafi’I, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Ahmad, dan Dawud. Mereka beralasan bahwa wasiat itu telah menjadi tetap bagi orang yang telah diberi wasiat dengan meninggalnya pemberi wasiat dan adanya penerimaan dari orang yang diberi wasiat, berdasarkan kesepakatan fuqaha maka bagaimana mungkin sesuatu yang telah menjadi tetap bisa berpindah haknya tanpa persetujuan dan kerelaan hatinya dan tanpa adanya perubahan wasiat.

Alasan Malik adalah kemungkinan ahli waris itu jujur dan benr dalam pengakuannya itu. Dalam hal ini pendapat Abu Umar bin Abdul Barr, apabila ahli waris mengaku demikian maka mereka disuruh menjelaskannya. Jika sudah dapat ditetapkan jumlah harta si mayit seluruhnya maka orang yang diberi wasiat mengambil sepertiga dari harta itu. Kemungkinan ia menjadi pemilik bersama dengan para ahli waris pada kelebihan dari yang sepertiga itu, maka para ahli waris dipaksa untuk mencukupi kekurangan itu.

Apabila mereka tidak memperselisihkan bahwa harta yang diwasiatkan itu lebih dari sepertiga, Malik berpendapat bahwa para ahli waris diperkenankan memilih antara menyerahkan barang yang diwasiatkan itu kepada yang diwasiati atau membebaskannya dri seluruh sepertiga harta si mayit, yakni jenis sepertiga harta itu sendiri atau seluruh harta. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Syafi’I orang yang diberi wasiat itu menerima sepertiga barang sedang selebihnya menjadi pemilik bersama dengan para ahli waris berkenaan dengan seluruh peninggalan si mayit sehingga orang yang diwasiati menerima sepertiga penuh.

Silang pendapat ini berpangkal pada wasiat yang barang-barangnya telah ditentukan oleh si mayit itu melebihi batas maksimal, jika dikatakan bahwa kelebihan dari wasiat maksimal itu terletak pada penentuan jenis barang maka pilihan yang terakhir itu lebih utama karena barangnya lebih dari sepertiga. Yakni seharusnya penentuan tersebut batal jika para ahli waris disuruh untuk melaksanakan penentuan tersebut atau membiarkan seluruh jumlah sepertiga mka hal itu tentu saja memberatkan mereka.

HIBAH

A. Arti

54

Page 56: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa Indonesia, kata ini merupakan mashdar dari kata yang berarti و�م�ب� pemberian. Sedangkan pengertian hibah secara terminologi adalah :

اكياة حال بالعوض التمليك يفيد عقد تطوعا“ Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.”

B. Rukun HibahMenurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab keduannya termasuk akad seperti halnya jual-beli. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat :Wahib (pemberi)Mauhud lah (penerima)Mauhud (barang yang dihibahkan) Ijab dan qabul

C. Syarat HibahSyarat hibah menurut ulama Hanabilah ada 11 :

1. Hibah dari harta yang boleh di tasharrufkan2. Terpilih dan sungguh-sungguh3. Harta yang diperjualbelikan4. Tanpa adanya pengganti5. Orang yang sah memilikinya6. Sah menerimanya7. Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu8. Menyempurnakan pemberian9. Tidak disertai syarat waktu 10. Pemberi sudah dipandang mampu tasharruf (merdeka, dan mukallaf)11. Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan

Ulama berselisih pendapat, apakah penerimaan itu menjadi syarat sahnya akad atau tidak?Ats-Tsauri, Syafi’i, dan Abu Hanifah sependapat bahwa penerimaan itu termasuk syarat sahnya hibah. Apabila barang tidak diterima, maka pemberi hibah tidak terikat. Menurut Malik, hibah menjadi sah dengan adanya penerimaan dan calon penerima hibah boleh dipaksa untuk menerima seperti jaul beli. Apabila penerima hibah memperlambat tuntutan untuk menerima hibah sampai pemberi hibah itu mengalami pailit atau menderita sakit, maka hibah tersebut batal. Sedangkan menurut Ahmad dan Abu Tsaur, hibah menjadi sah dengan terjadinya akad sedangkan penerimaan tidak menjadi syarat sama sekali.

D. Macam-macam Hibah1. Hibah barang2. Hibah manfaat

Di antara hibah manfaat adalah hibah muajjalah (hibah bertempo), ‘ariyyah (pinjaman), dan minhah (pemberian). Ada pula hibah yang disyaratkan masanya selama orang yang diberi hibah masih hidup dan disebut hibah umri (hibah

55

Page 57: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

seumur hidup), seperti jika seseorang memberikan tempat tinggal kepada orang lain sepanjang hidupnya. Hibah seperti ini diperselisihkan oleh para ulama dalam tiga pendapat :

Pertama, bahwa hibah tersebut merupakan hibah yang terputus sama sekali. Yakni bahwa hibah tersebut adalah hibah terhadap pokok barangnya (ar-raqabah), pendapat ini dikemukakan oleh Syafi’i, Abu Hanifah, ats-Tsauri, Ahmad, dan sekelompok fuqaha lainnya.

Kedua, bahwa orang yang diberi hibah itu hanya memperoleh manfaatnya saja. Apabila orang tersebut meninggal dunia, maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan para pengikutnya, apabila dalam aqad tersebut disebutkan keturunan sedangkan keturunannya sudah tidak ada maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya.

Ketiga, bahwa apabila pemberi hibah berkata “barang ini, selama umurku masih ada, untukmu dan keturunanmu”, maka barang tersebut menjadi milik orang yang diberi hibah. Jika dalam akad tersebut tidak disebut-sebut soal keturunan, maka sesudah meninggalnya orang yang diberi hibah, barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud dan Abu Tsaur.

Silang pendapat ini berpangkal pada adanya beberapa hadis yang berbeda dan pertentangan antara syarat dengan amal yang berlaku dalam hadis. Dalam hal ini, ada dua hal :

Pertama, hadis yang disepakati kesahihannya yang diriwayatkan oleh Malik dari Jabir r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda :

أبدا أعطاها الذي إلى جع ال يعطاها للذي فإنها ولعقبه له عمرى أعمررجل أيما

“ Siapa saja yang memberikan hibah seumur hidup kepada orang lain dan keturunannya, maka hibah tersebut menjadi milik orang yang diberinya itu, tidak kembali kepada orang yang memberi selamanya.” (HR. Muslim dan Nasai)

Ketentuan tegas ini karena orang tersebut memberi suatu pemberian kepada seseorang sekaligus kepada ahli warisnya.

Kedua, hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. ia berkata : “ Rasulullah Saw bersabda, “ Wahai golongan Anshar, tahanlah untukmu

hartamu, jangan kalian berikan seumur hidup. Barangsiapa memberikan suatu pemberian sesuatu hidupnya, maka sesuatu itu untuk orang yang diberi selama hidup (orang yang diberi) dan sesudah matinya.” (HR. Ahmad dan Nasai)

Dalam hal ini, hadis riwayat Abu Zubair dari Jabir r.a. bertentangan dengan persyaratan orang yang memberikan hibah seumur hidup. Dan hadis Malik dari Jabir r.a. juga bertentangan dengan syarat orang yang memberikan hibah seumur hidup. Hanya saja, dalam hadis Malik terkesan pertentangan itu lebih sedikit. Sebab, penyebutan keturunan (al-‘aqid) mengesankan putusnya hibah, yakni tidak bisa kembali kepada pemberi hibah.

Oleh karena itu, bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadis Nabi atas syarat, akan memberlakukan hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. sebaliknya, bagi fuqaha yang lebih menguatkan syarat atas hadis Nabi akan memakai pendapat Malik. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa hibah seumur hidup itu kembali

56

Page 58: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

kepada pemberinya manakala ia tidak menyebutkan keturunan, dan jika menyebut keturunan hibah itu tidak kembali.

E. Hukum Hibah

a.Hukum HibahDasar dan ketetapan hbah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhublah (pene rima hibah) tanpa adanya pengganti.

b.Sifat Hukum HibahUlama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan demkian, dapat dibatalkan oleh pemberi sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah : “ Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang dihibahkan selama tidak ada pengganti.” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni)Dengan demikian, dibolehkan mengembalikan barang yang telah dihibahkan. Akan tetapi, dihukumi makruh sebab perbuatan itu termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hibah harus ridha. Hal itu diibaratkan adanya cacat dalam jual beli setelah barang dipegang pembeli.Ulama hanafiyah berpendapat ada 6 perkara yang melarang wahib mengembalikan barang yang telah dihibahkan, yaitu :

1. Penerima membrikan ganti ;a.pemberi yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah, Hanabilah, dan

Syafi’iyah menganggap hibah seperti ini sebagai jual beli dan bukan hibah.b.pengganti yang diakhirkan.

2. Penerima maknawi ;a.pahala dari Allah, sedekah kepada orang fakir tidak boleh diambil lagi.b.pemberian dalam rangka silaturahmi. c.pemberian dalam hubungan suami istri.

3. Tambahan yang ada pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan mauhublah (orang yang diberi hibah)

4. Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual kepada orang lain.

5. Salah seorang yang akad meninggal.

6. Barang yang dihibahkan rusak.

Ulama Mlikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil. Jika belum bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak tersebut tidak memiliki utang.

57

Page 59: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapt bahwa hibah tidak dapat dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah Saw bersabda :“Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya.”

E. Masalah Hibah1.Pendapat ulama tentang pencabutan hibah

Menurut fuqaha mencabut kembali hibah (al-i’tishar) itu boleh, Malik dan Jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa ayah boleh mencabut kembali pemberian yang dihibahkan kepada anaknya selama anak itu belum kawin atau belum membuat utang. Begitu pula seorang ibu boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya, apabila ayah masih hidup. Tetapi ada riwayat dari Malik bahwa ibu tidak boleh mencabut hibahnya kembali.

Ahmad dan fuqaha zhahiri berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkannya. Dalam pada itu, Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang boleh mencabut kembali pemberian yang telah dihibahkan kepada perempuan (dzawil arham) yang tidak boleh dikawini (mahram). Fuqaha sependapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut kembali hibahnya yang dimaksudkan sebagai sedekah ,yakni untuk memperolah keridaan Allah.

Silang pendapat ini berpangkal pada adanya pertentangan antara beberapa hadis. fuqaha yang melarang secara mutlak pencabutan kembali hibah beralasan dengan pengertian umum hadis sahih, yaitu sabda Nabi :

“Orang yang mencabut kembali hibahnya tak ubahnya seekor anjing yang menjilat kembali muntahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sementara fuqaha yang mengecualikan larangan tersebut bagi kedua orang tua beralasan terhadap sabda Nabi :

“Tidak halal bagi orang yang memberi hibah untuk mencabut kembali hibahnya kecuali ayah.” (HR. Bukhari dan Nasai)

2.Pendapat para ulama tentang penghibahan barang milik bersamaFuqaha berselisih pendapat tentang kebolehan menghibahkan barang milik

bersama yang tidak bisa dibagi. Menurut Malik, Syafi’I, Ahmad, dan Abu Tsaur bahwa hibah seperti ini sah, sedang menurut Abu Hanifah tidak sah. Fuqaha yang berpegangan bahwa penerimaan hak milik bersama itu sah seperti penerimaan jual beli, sementara Abu Hanifah berpegangan bahwa penerimaan hibah itu tidak sah kecuali secara terpisah dan tersendiri seperti halnya gadai.

3.Pendapat para ulama tentang penghibahan barang yang tidak (belum) adaMenurut mazhab Malik bahwa menghibahkan barang yang tidak jelas

(majhul) dan barang yang tidak (belum) ada (ma’dum), tetapi dapat diperkirakan akan ada itu boleh. Menurut Syafi’I, setiap barang yang boleh dijual boleh pula dihibahkan seperti piutang. Dan setiap barang yang tidak boleh dijual tidak boleh dihibahkan, juga setiap barang yang tidak sah diterima tidak sah pula dihibahkan seperti piutang dan gadai.

DAFTAR PUSTAKA

58

Page 60: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Rusyd, Ibnu, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Putaka Amani, jilid. 3Syafe’i, Rachmat, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, cet. 3Karim, Helmi, 1997, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, edisi 1,

cet. 2Helmi Karim, 1997, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, edisi 1,

cet. 2, hal. 96Ibnu Rusyd, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Putaka Amani, jilid. 3, hal. 374-

375Helmi Karim, 1997, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, edisi 1,

cet. 2, hal. 73Rachmat Syafe’i, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, cet. 3, hal. 242-

246Ibnu Rusyd, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Putaka Amani, jilid. 3, hal. 351-

358Rachmat Syafe’i, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, cet. 3, hal. 247-

249Ibnu Rusyd, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Putaka Amani, jilid. 3, hal. 350-

361

(Sumber: Puspita; http://puspitagiana.blogspot.com/2009/06/hibah-menurut-islam.html)

BAGIAN 9HUKUM WAKALAH DAN SULHU

A. WAKALAH

1. Pengertian WakalahWakalah menurut bahasa artinya mewakilkan, sedangkan menurut istilah yaitu mewakilkan atau menyerahkan pekerjaan kepada orang lain agar bertindak atas nama orang yang mewakilkan selama batas waktu yang ditentukan.

2. Hukum WakalahAsal hukum wakalah adalah mubah, tetapi bisa menjadi haram bila yang dikuasakan itu adalah pekerja yang haram atau dilarang oleh agama dan menjadi wajib kalau terpaksa harus   mewakilkan dalam pekerjaan yang dibolehkan oleh agama. Allah SWT. Berfirman:

�ة@ �ن �م�د�ي �ىال �ل إ ه�ذ��ه� �م� �و�ر�ق�ك ب �م� �ح�د�ك �و�اأ �ع�ث ف�اب

”Maka suruhlah salah seorang diantara kamu ke kota dengan membawa uang perakmu ini”  (QS. Al Kahfi : 19).

Ayat tersebut menunjukkan kebolehan mewakilkan sesuatu pekerjaan kepada orang lain.

Rasulullah SAW. bersabda:

59

Page 61: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

ص�ل�ى �ي% �ب الن �ع�ط�ى و�أ م�ض�ان� ر� �اة@ ك ز� �ح�ف�ظ@ ب م ص الله� و�ل� س� ر� �ى �ن �ل و�ك ة�ق�ال� �ر� ي �ىه�ر� ب� أ ع�ن�

�ه� �ي ع�ل �ة�  الله� ع�ق�ب �م� ل ) و�س� البخارى ( رواه �ه� �ت اب ص�ح� ع�ل�ى م�ه�ا �ق�س� ي �م�ا غ�ن ع�ام�ر@ �ن� ب

“Dari Abu Hurairah ra.berkata : “Telah mewakilkan Nabi SAW kepadaku untuk memelihara   zakat fitrah dan beliau telah memberi Uqbah bin Amr seekor kambing agar dibagikan kepada sahabat beliau” (HR. Bukhari).

Kebolehan mewakilkan ini pada umumnya dalam masalah muamalah. Misalnya mewakilkan jual beli, menggadaikan barang, memberi shadaqah / hadiah dan lain-lain.    Sedangkan dalam bidang ‘Ubudiyah ada yang boleh dan ada yang dilarang. Yang boleh misalnya mewakilkan haji bagi orang yang sudah meninggal atau tidak mampu secara fisik, mewakilkan memberi zakat, menyembelih hewan kurban dan sebagainya. Sedangkan yang tidak boleh adalah mewakilkan Shalat dan Puasa serta yang berkaitan dengan itu seperti wudhu..

3.Rukun dan Syarat Wakalaha. Orang yang mewakilkan / yang memberi kuasa.Syaratnya : Ia yang mempunyai wewenang terhadap urusan tersebut.b. Orang yang mewakilkan / yang diberi kuasa.Syaratnya : Baligh dan Berakal sehat.c. Masalah / Urusan yang dikuasakan. Syaratnya jelas dan dapat dikuasakan.d. Akad (Ijab Qabul). Syaratnya dapat dipahami kedua belah pihak.

4. Syarat Pekerjaan Yang Dapat Diwakilkan1. Pekerjaan tersebut diperbolehkan agama.2. Pekerjaan tersebut milik pemberi kuasa.3. Pekerjaan tersebut dipahami oleh orang yang diberi kuasa.

5. Habisnya Akad Wakalah1. Salah satu pihak meninggal dunia2. Jika salah satu pihak menjadi gila3. Pemutusan dilakukan orang yang mewakilkan dan diketahui oleh orang

yang diberi wewenang4. Pemberi kuasa keluar dari status kepemilikannya.

Hikmah Wakalaha.    Dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan cepat sebab tidak semua orang mempunyai   kemampuan dapat menyelesaikan pekerjaan tertentu dengan sebaik-baiknya. Misalnya tidak setiap orang yang qurban hewan dapat menyembelih hewan qurbannya, tidak semua orang dapat belanja sendiri dan lain-lain.b.   Saling tolong menolong diantara sesama manusia. Sebab semua manusia membutuhkan bantuan orang lain.c.    Timbulnya saling percaya mempercayai diantara sesama manusia. Memberikan kuasa pada orang lain merupakan bukti adanya kepercayaan pada pihak lain.

B. SULHU

60

Page 62: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

1. Pengertian SulhuSulhu menurut bahasa artinya damai, sedangkan menurut istilah yaitu perjanjian perdamaian diantara dua pihak yang berselisih.Sulhu dapat juga diartikan perjanjian untuk menghilangkan dendam, persengketaan atau permusuhan (memperbaiki hubungan kembali).

2. Hukum SulhuHukum sulhu atau perdamaian adalah wajib, sesuai dengan ketentuan-ketentuan atau perintah Allah SWT, didalam Al-Qur’an :

ح�م�و�ن� �ر� ت �م� �ك �ع�ل �ق�و�االله ل و�ات �م� �ك �خ�و�ي أ �ن� �ي �ح�و�اب ص�ل� ف�أ �خ�و�ة< إ �و�ن� �م�ؤ�م�ن �م�اال �ن إ

“Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Qs. Al Hujurat : 10).

�ر< ي خ� �ح� و�الص%ل

“Perdamaian itu amat baik” (QS. An Nisa’ : 128).

3. Rukun dan Syarat Sulhua. Mereka yang sepakat damai adalah orang-orang yang sah melakukan hukum.b. Tidak ada paksaan.c. Masalah-masalah yang didamaikan tidak bertentangan dengan prinsip Islam.d. Jika dipandang perlu, dapat menghadirkan pihak ketiga. Seperti yang disintir dalam Al-Qur’an An Nisa’ : 35.

4. Macam-macam PerdamaianDari segi orang yang berdamai, sulhu macamnya sebagai berikut :1. Perdamaian antar sesama muslim2. Perdamaian antar sesama muslim dengan non muslim3. Perdamaian antar sesama Imam dengan kaum bughat (Pemberontak yang tidak mau tunduk kepada imam).4. Perdamaian antara suami istri.5. Perdamaian dalam urusan muamalah dan lain-lain.

5. Hikmah Sulhu1. Dapat menyelesaikan perselisihan dengan sebaik-baiknya. Bila mungkin

tanpa campur tangan pihak lain.2. Dapat meningkatkan rasa ukhuwah / persaudaraan sesama  manusia.3. Dapat menghilangkan rasa dendam, angkara murka dan perselisihan

diantara sesama.4. Menjunjung tinggi derajat dan martabat manusia untuk mewujudkan

keadilan.Allah SWT berfirman :

�ق�س�ط�و�ا و�أ �ع�د�ل� �ال ب �ه�م�ا �ن �ي ب �ح�و�ا ص�ل� ف�أ ف�اء�ت� �ن� ف�إ

61

Page 63: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

“Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adilah” (QS. Al Hujurat).

5. Mewujudkan kebahagiaan hidup baik individu maupun kehidupan masyarakat.

BAGIAN 10HUKUM ASURANSI DALAM ISLAM

Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.

Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain:

a. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda

b. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan

ASURANSI KONVENSIONAL

A. Ciri-ciri Asuransi konvensionalAda beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:

1. Akad asuransi konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak

62

Page 64: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.

2. Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.

3. Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.

4. Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,

B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum IslamMengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan

diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.

Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.

Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.

Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:

I. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah: Asuransi sama dengan judi Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti. Asuransi mengandung unsur riba/renten.

63

Page 65: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.

Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan

mendahului takdir Allah. II. Asuransi konvensional diperbolehkan Pendapat kedua ini dikemukakan oleh

Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha).

Mereka beralasan:· Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.· Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.· Saling menguntungkan kedua belah pihak.· Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang

terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.

· Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)· Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).· Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.

 III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial

diharamkan Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).

Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui.

Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)

ASURANSI SYARIAH A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah

Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

64

Page 66: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

1. Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”

2. Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.

3. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.

4. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.

5. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.

6. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.

 B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya

adalah Sbb: 1. Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan

tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.

2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).

3. Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.

4. Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.

 C. Manfaat asuransi syariah.

Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:

1. Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.2. Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong

menolong.3. Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.

65

Page 67: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

4. Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.

5. Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.

6. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.

7. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.

8. Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.

 D. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah.

Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:

1. Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak. 2. Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota 3. Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)4. Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.

 E. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah.

Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.

1. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.

2. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).

3. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.

4. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.

5. Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.

66

Page 68: HUKUM MUAMALAH DALAM ISLAM.docx

6. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.

 Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi

konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.

Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.

(Sumber: http://jacksite.wordpress.com/2007/04/24/hukum-asuransi-dalam-islam/)

67