makalah mid filsafat bahasa
DESCRIPTION
tugas rangkuman filsafat bahasaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian filsafat secara etimologi dan terminologi
Berdasarkan etimologinya, kata “filsafat” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Yunani philosophia yang terdiri dari dua kata, yaitu philein (mencintai) atau philia (cinta)
atau philos (sahabat, kekasih) dan sophia (kebijaksanaan, kearifan). Jadi, filsafat dapat diartikan
sebagai “cinta kebijaksanaan”. Orang yang mempelajari serta mendalami filsafat disebut “filsuf”.
Selain dalam bahasa Indonesia, philosophia juga diserap ke dalam berbagai bahasa sehingga
akhirnya melahirkan beragam kata, diantaranya: falsafah dalam bahasa Arab, filosofi dalam
bahasa Belanda, dan philosophy dalam bahasa Inggris.
Secara terminologis, pengertian filsafat (philosophy) menurut Concise Oxford English
Dictionary (Tenth Edition) adalah:
studi tentang hakikat dasar dari pengetahuan, kenyataan, dan keberadaan (eksistensi)
studi tentang dasar-dasar teoritis dari suatu cabang pengetahuan atau pengalaman
suatu teori atau sikap yang memandu perilaku seseorang
B. Manfaat memelajari Filsafat
Manfaat berfilsafat adalah berusaha menemukan kebenaran (realitas yang
sesungguhnya) tentang segala sesuatu dengan berpikir serius. Kecakapan berpikir serius
sangat diperlukan oleh setiap orang. Banyak persoalan yang tidak dapat di selesaikan
1
sampai saat ini. Hal ini dikarenakan karena persoalan tidak ditangani secara serius,
hanya diwacanakan saja.
Mempelajari filsafat (termasuk filsafat bahasa) adalah berlatih secara serius untuk
mampu menyelesaikan suatu persoalan yang sedang dihadapi dengan cara menghadapi
persoalan dengan tuntas dan logis. Seseorang tidak akan memiliki kemampuan seperti ini
jika ia tidak melatihnya. Masih banyak manfaat yang dapat kita peroleh dengan
mempelajari bahasa, diantaranya adalah :
1. Menambah pengetahuan baru
2. Bisa berpikir logis
3. Biasa berpikir analitik dan kritis
4. Terlatih untuk menyelesaikan masalah secara kritis, analitik dan logis
5. Melatih berpikir jernih dan cerdas
6. Melatih berpikir obyektif
C. Wilayah kajian filsafat (Natural Science, Sosial Science, Humanistis)
Natural science/Ilmu Alam
Ilmu alam merupakan ilmu yang mempelajari objek-objek empiris di alam
semesta ini. Ilmu alam mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang
mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek telaahnya maka ilmu
dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada
kejadian yang bersifat empiris. Objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman
manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun S, 1981: 6).
Ilmu alam mempunyai asumsi mengenai objek, antara lain:
1. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu
2
dalam hal bentuk struktur dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus
individual melainkan suatu kelas tertentu.
2. Menanggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam
jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini
memungkinkan dilakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang
diselidiki.
3. Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat
kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dan
urut-urutan kejadian yang sama (Yuyun S, 1981: 7).
Dalam pandangan empirisme ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang
mutlak, sehingga suatu kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain,
melainkan bahwa suatu kejadian mempunyai kemungkinan besar untuk mengakibatkan
terjadinya kejadian lain. Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi
yang disederhanakan, hal ini perlu sebab kejadian alam sangat kompleks. Kegiatan yang
dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab praktek
ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusia yang khas. Manusia memang dapat terlibat
sebagai subjek dan sebagai objek, dengan kata lain manusia adalah mempraktekkan dan
diprakteki (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 49).
Social Sciences/ilmu sosial
Ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam segala aspek
hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya, baik perseorangan maupun bersama,
dalam lingkup kecil maupun besar. Objek material ilmu sosial lain sama sekali
dengan objek material dalam ilmu alam. Objek material dalam ilmu sosial adalah
3
berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, bebas dan tidak
deterministik (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 49).
Kajian yang berbeda-beda terhadap ilmu merupakan konsekuensi dari
perbedaan objek formal. Objek ilmu sosial yaitu manusia sebagai keseluruhan.
Penelitian dalam ilmu sosial juga menimbulkan perbedaan pendekatan. Dalam
ilmu manusia praktek ilmiah sebagai aktivitas manusiawi merupakan ju ga objek
penelitian ilmu manusia, misalnya psikologi, psikis, sosiologis, dan sejarah.
Spesifikasi ilmu sejarah adalah data peninggalan masa lampau baik berupa
kesaksian, alat-alat, makam, rumah, tulisan dan karya seni, namun objek ilmu
sejarah tidak dapat dikenai eksperiment karena menyangkut masa lampau.
Kondisi tersebut yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi berkaitan dengan
sikap menilai dari subjek penelitian, maka objektivitas ilmu sejarah sebagai
ilmu kemanusiaan (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 51).
Klaim terhadap ilmu-ilmu sosial kadang dinilai gagal dalam menangkap
kekomplekan gejala, didasarkan pada kegagalan dalam membedakan antara
pernyataan beserta sistematika yang dipakai dengan gejala sosial yang dinyatakan
oleh pernyataan tersebut. Tidak semua argumentasi tentang kerumitan gejala
sosial yang menyebabkan ketidakmungkinan ilmu-ilmu sosial. Rangkaian
argumentasi yang lain didasarkan pada tuduhan bahwa metode keilmuan tidak
mampu untuk menangkap “keunikan” gejala sosial dan manusiawi. Penelaa han
sosial tertarik kepada keungikan tiap-tiap kejadian sosial, padahal metode
keimuan hanya mampu mensistematikakan berdasarkan generaslisasi, maka keadaan
4
ini menyebabkan harus ditetapkannya metode yang lain dalam ilmu-ilmu sosial
(Jujun S. Suriasumantri, 2006: 143).
Humanities
Munculnya teori belajar humanistik tidak dapat dilepaskan dari gerakan
pendidikan humanistik yang memfokuskan diri pada hasil afektif,belajar tentang
bagaimana belajar dan belajar untuk meningkatkan kreativitas dan potensi
manusia.
Pendekatan humanistik ini sendiri muncul sebagai bentuk ketidaksetujuan
pada dua pandangan sebelumnya, yaitu pandangan psikoanalisis dan behavioristik
dalam menjelaskan tingkah laku manusia. Ketidaksetujuan ini berdasarkan
anggapan bahwa pandangan psikoanalisis terlalu menunjukkan pesimisme suram
serta keputusasaan sedangkan pandangan behavioristik dianggap terlalu kaku
(mekanistik), pasif, statis dan penurut dalam menggambarkan manusia.
Menurut teori humanistik belajar harus dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia. Teori belajar humanistik sifatnya abstrak
dan lebih mendekaji kajian filsafat. Teori ini lebih banyak berbicara tentang
konsep-konsep. Dalam teori pembelajaran humanistik, belajar merupakan proses
yang dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia.
Memanusiakan manusia, yakni untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri,
serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal. Dal hal ini, maka teori
5
humanistik ini bersifat eklektik (memanfaatkan / merangkum semua teori apapun
dengan tujuan untuk memanusiakan manusia).
Salah satu ide penting dalam teori belajar humanistik adalah siswa harus
mempunyai kemampuan untuk mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar
(self regulated learning), apa yang akan dipelajari dan sampai tingkatan mana,
kapan dan bagaimana mereka akan belajar. Siswa belajar mengarahkan sekaligus
memotivasi diri sendiri dalam belajar daripada sekedar menjadi penerima pasif
dalam proses belajar. Siswa juga belajar menilai kegunaan belajar itu bagi dirinya
sendiri.
Aliran humanistik memandang belajar sebagai sebuah proses yang terjadi
dalam individu yang melibatkan seluruh bagian atau domain yang ada yang
meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain, pendekatan
humanistik menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka,
dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode pembelajaran
humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan siswa.
Guru, oleh karenanya, disarankan untuk menekankan nilai-nilai kerjasama, saling
membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan
dalam proses pembelajaran.
D. Kajian Filsafat secara Epistemology, Antology, dan Aksiologi
Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni
antologi, epistemologi, dan aksiologi.
6
Antologi
Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi membahas
pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah
objek tersebut? Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh
manusia, dan bagaimana caranya?
Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau pengetahuan
ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized knowledge) secara sistematis dan
diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method). Sains memelajari segala sesuatu
sepanjang masih berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material terbatas
jumlahnya dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek material yang sama. Sains
dibedakan satu sama lain berdasarkan objek formalnya. Sosiologi dan antropologi
memiliki objek material yang sama, yakni masyarakat. Namun objek formalnya beda.
Sosiologi memelajari struktur dan dinamika masyarakat, antropologi memelajari
masyarakat dalam budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu
alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu-ilmu alam
memelajari benda-benda fisik, dan secara garis besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu
ilmu alam (fisika, kimia, astronomi, geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi,
botani, zoologi, dll). Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak
sekali. Ilmu kimia saja, menurut Jujun Suriasumantri, memiliki 150 disiplin.
7
Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan masyarakat. Perkembangan ilmu sosial tidak
sepesat ilmu alam, dikarenakan manusia tidak seempiris benda-benda alam, juga karena
benturan antara metodologi dengan norma-norma moral. Namun saat ini pun ilmu-ilmu
sosial sudah sangat beragam dan canggih. Yang paling utama adalah sosiologi,
antropologi, psikologi, ekonomi, dan politik.
Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses
yang memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal
apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar
itu sendiri apa? Kriterianya apa saja?
Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa diterjemahkan
menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan rasionalisme dan
empirisisme, kekuatan logika deduksi dan induksi, serta mencakup teori kebenaran
korespondensi, koherensi, dan pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi
sifat rasional sekaligus empiris. Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan
diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum positivis, sains juga bersifat objektif,
artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya teori
relativitas Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa
lagi dipertahankan.
Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut surutan sebagai berikut:
8
Menemukan dan merumuskan masalah
Menyusun kerangka teoritis
Membuat hipotesis
Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
Menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih
dan bisa bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan,
baik oleh penemunya maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini
disebut verifikasi (pembuktian benar). Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara
sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl Popper, falsifikasi (pembuktian salah).
Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000
percobaan itu menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu dipertahankan
lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung gagak hitam, dan di suatu
tempat kita menemukan satu burung gagak yang tidak hitam, berarti pernyataan itu salah.
Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah ketiadaan
salah sama sekali, karena itu sangat berat bahkan tidak mungkin untuk teori ilmu sosial,
namun seberapa besar kemungkinan teori itu benar (probabilitas). Probabilitas benar 95
persen dianggap sudah cukup untuk men-sahihkan sebuah teori dan memakainya untuk
memecahkan masalah.
Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab
pertanyaan-pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
9
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara metode pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?
Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh
perbedaan dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama,
tetapi metode dan penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan
dalam hal objek (sama-sama membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb),
tetapi metode keduanya jelas beda. Sementara perbedaan antar sains terutama terletak
pada objeknya, sedangkan metodenya sama.
Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk
pengetahuan itu sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam
memecahkan masalah sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga
cara, description (menjelaskan),prediction (meramal, memerkirakan),
dan controling (mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan pada masalah
praktis, teori akan memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari perkiraan itu, kita
memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal yang
mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.
Satu sisi yang sering diperdebatkan adalah menyangkut netralitas sains, kaitannya
dengan agama atau ideologi tertentu. Pada dasarnya sains itu netral, atau setidaknya
bermaksud untuk netral, dalam arti ia hanya bermaksud menjelaskan sesuatu secara apa
adanya. Tetapi sains dapat mengilhami suatu pandangan dunia tertentu, dan ini tidak
netral. Misalnya teori evolusi Darwin dapat menjadi pandangan dunia yang mekanistik
dan ateistik. Dan hal ini sangat mencemaskan bagi kaum agamawan.
10
Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks tempat teori
itu dilahirkan. Konteks meliputi pandangan dunia yang dianut ilmuwan, latar belakang
budaya, bahasa, dll. Pengaruh konteks ini terutama sangat terasa pada sains sosial
sehingga suatu sains bisa menghasilkan beragam aliran dan perspektif.
Gambar : Bagan Kajian Filsafat Ilmu
11
BAB II
FILSAFAT BAHASA
A. Pengertian Filsafat Bahasa
Filsafat Bahasa adalah ilmu gabungan antara linguistik dan filsafat. Ilmu ini menyelidiki
kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan
teoretis linguistik. Filsafat bahasa dibagi menjadi filsafat bahasa ideal dan filsafat bahasa
sehari-hari.
Filsafat bahasa ialah teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para filsuf,
sementara mereka itu dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual. Filsafat
bahasa ialah usaha para filsuf memahami conceptual knowledge melalui pemahaman
terhadap bahasa.
Dalam rangka mencari pemahaman ini, para filsuf telah juga mencoba mendalami hal-hal
lain, misalnya fisika, matematika, seni, sejarah, dan lain-lain. Cara bagaimana
pengetahuan itu diekspresikan dan dikomunikasikan di dalam bahasa, di dalam fisika,
matematika dan lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat dengan hakikat
pengetahuan atau dengan pengetahuan konseptual itu sendiri. Jadi, dengan meneliti
berbagai cabang ilmu itu, termasuk bahasa, para filsuf berharap dapat membuat filsafat
tentang pengetahuan manusia pada umumnya.
Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah linguistik bertujuan
mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para
sarjana bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir
kegiatannya, sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat
pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan konseptual itu,
para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek
12
sementara agar pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan
konseptual itu.
B. Hubungan Bahasa dan Filsafat
Alat Untuk Komunikasi
Definisi lain dari bahasa adalah sebagai sebuah sistem komunikasi yang membuat
manusia dapat bekerja sama. Definisi ini menekankan fungsi sosial dari bahasa dan
fakta bahwa manusia menggunakannya untuk mengekspresikan dirinya sendiri dan
untuk memanipulasi objek dalam lingkungannya. Teori fungsional dari tata bahasa
menjelaskan struktur tata-bahasa lewat fungsi komunikatifnya, dan memahami
struktur tata-bahasa dari bahasa sebagai hasil dari proses adaptif dimana tata-bahasa
telah "disesuaikan" untuk melayani kebutuhan komunikatif penggunanya.
Pandangan bahasa ini berhubungan dengan kajian bahasa dalam kerangka
pragmatis, kognitif, dan kerangka interaksional, serta dalam sosial-linguistik dan
antropologi linguistik. Para teori fungsionalis condong mempelajari tata-bahasa
sebagai sebuah fenomena dinamis, sebagai suatu struktur yang selalu dalam proses
perubahan saat mereka digunakan oleh para pembicaranya. Pandangan ini
menyebabkan kajian tipologi linguistik menjadi penting, karena ia dapat
memperlihatkan bahwa proses-proses dari gramatikalisasi condong mengikuti
lintasan yang secara terpisah bergantung pada tipologi. Dalam filsafat bahasa
pandangan ini sering dikaitkan dengan karya terakhir Wittgenstein dan dengan
filsuf bahasa umum seperti G. E. Moore, Paul Grice, John Searle dan J. L. Austin.
Alat Utama Berfilsafat
13
Bahasa merupakan alat utama bagi filosof serta sebagai media untuk analisis dan
refleksi. Atas kesensitifan terhadap kekaburan dan kelemahan bahasa, parta filosof
menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. Aliran analitika bahasa memandang
bahwa problema filosofis akan terjelaskan manakala menmggunakan analisis
terminologi gramatika. Tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep sebagai
permulaan usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki sesuatu,
termasuk manusia.
Dewasa ini kegiatan itu dianggap tidak mencukupi karena tidak didukung oleh
pengamatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang
adekuat. Maka diperlukanlah argumentasi yang didukung analisis bahasa yang
memenuhi syarat logis. Dalam hal ini terdapat tiga cara: masalah sebab-akibat,
kebenaran, pengetahuan atau kewajiban moral, misalnya tentang hakikat
pengetahuan: 1) menyelidiki pengetahuan; 2) menganalisis konsep; dan 3) membuat
eksplisit kebenaran pengetahuan.
Kemungkinan alternatif ketiga banyak dilakukan oleh filsafat, bahwa tugas utama
filsafat adalah analisis konsep-konsep melalui bahasa (Poerwowidagdo dikutip
Kaelan, 2009: 71). Analisis konsep tentu berhubungan dengan makna dalam suatu
bahasa.
Konsep-konsep filsafat sering diartikan secara verbal, maka dibutuhkan bahasa
yang memiliki peran netral. Bahasa merupakan laboratoium filsafat guna menguji
dan menjelaskan konsep dan problema filosofis, bahkan menentukan pemikirannya
(Alston, 1964: 5 dikutip Kaelan, 2009: 71). Bahasa mengungkapkan secara verbal
14
pandangan dan pemikiran filosofis. Hal ini sering berhadapan dengan keterbatasan
bahasa sehari-hari yang kadang tak mampu mengunkapkan konsep filosofis.
Ada dua kelomopok berbeda menanggapi hal tersebut: 1) bahasa biasa (ordinary
language) telah cukup mewadahi konsep filsafat. Kelemahan dan kekurangan
bahasa diatasi dengan memberikan pengertian yang khusus atau penjelasan terhadap
penyimpangan. Namun, menurut penganut Wittgenstein II, masalah justru bermula
dari penyimpangan filosof itu sendiri yang menimbulkan kekacauan dan tanpa
penjelasan agar dimengerti (Poerwowidagdo dikutip Kaelan, 2009: 71). Maka tugas
filosof adalah penyembuhan terapi dalam kelemahan penggunaan bahasa.filsafat;
2) bahasa sehari-hari tidak cukup untuk mengungkapkan masalah dan konsep-
konsep filsafat. Masalah filsafati timbul sebab bahasa keseharian tidak cukup
mewadahi konsep dan masalah filsafat, apalagi untuk tujuan analisis karena
kelemahannya. Diperlukan pembaruan bahasa menjadi bahasa yang sarat dengan
logika sehingga ungkapam bahasa dalam filsafat dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Tokoh kelompok ini adalah Leibniz, Ryle, Rudolf Carnap, Bertrand
Russell. Menurut mereka tugas fuilsafat adalah membangun dan mengembangkan
bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa
sehari-hari.
C. Peran Filsafat Bahasa terhadap Ilmu Bahasa
Filsafat telah memberikan kesempatan pada bahasa untuk dimunculkan sebagai
salah satu cabangnya. Seperti dipahami, filsafat cenderung untuk mencari kebenaran
akan sesuatu, sehingga untuk mendapatkan kebenaran itu sebuah objek harus dilihat
secara mendalam, yaitu meneliti secara lebih detail apa sebenarnya yang terkandung di
15
dalamnya. Identik dengan hal itu, pernyataan- pernyataan filsafati akan dapat dipahami
berdasarkan bentuk bahasa yang dipergunakan untuk mencapaikan isi atau makna. Oleh
karena itu, makna terealisasi oleh bentuk bahasa
Berdasarkan kesimpulan ini, filsafat telah melahirkan bahasan tentang bentuk
bahasa (ekspresi) dan makna. Bentuk bahasa secara umum direpresentasikan oleh tata
bahasa sedangkan makna dibahas secara mendalam dalam kajian Semantik. Tentang
tata bahasa, pada jaman Yunani beberapa filsuf saat itu memberikan gambaran-
gambaran yang sangat jelas, sebagai contoh Plato memperkenalkan onoma dan rhemata
seperti telah disebutkan sebelumnya, dimana onoma berfungsi sebagai subjek dan
rhemata berfungsi sebagai predikat. Ini memberikan dasar lebih lanjut pada
perkembangan teori tata bahasa secara umum, meskipun pada abad-abad selanjutnya
terjadi perbedaan yang cukup mendasar, yang bisa saja disebabkan oleh perbedaan
interpretasi dan perkembangan pemikiran manusia.
Pada ujung kontinuum lainnya terdapat makna. Proses pencarian makna ini tentu
tidak hanya dikaitkan pada struktur atau tata bahasa saja, namun juga dipengaruhi oleh
konteks yang dalam filsafat berkaitan dengan kebenaran pragmatis. Makna secara
umum menjadi fokus utama kajian Semantik, di mana di dalamnya beragam unsur
filsafat ditemukan. Konsep-konsep sinonim, antonim, hiponim, meronim, dsb.
diperkenalkan sedemikian rupa untuk dapat menghasilkan pemaknaan yang tepat akan
sebuah pernyataan. Di dalam Semantik ini sebenarnya bernaung sebuah kajian yang
saat ini disebut dengan Pragmatik. Pragmatik sendiri pada dasarnya merupakan kajian
16
tentang bagaimana bahasa dipergunakan. Pernyataan tertentu akan beragam maknanya
menyesuaikan dengan konteksnya, di mana dalam teori kebenaran pragmatis, sebuah
pernyataan akan dianggap benar apabila dapat memberikan manfaat praktis bagi
manusia.
D. Metode Mempelajari Filsafat Bahasa
1. Metode Historis
Penelitian sejarah yang pada dasarnya adalah penelitian terhadap sumber-sumber
sejarah, merupakan implementasi dari tahapan kegiatan yang tercakup dalam
metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Tahapan
kegiatan yang disebut terakhir sebenarnya bukan kegiatan penelitian, melainkan
kegiatan penulisan sejarah (penulisan hasil penelitian).
Heuristik
Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan.
Berhasil-tidaknya pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari wawasan
peneliti mengenai sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran
sumber. Berdasarkan bentuk penyajiannya, sumber-sumber sejarah terdiri atas
arsip, dokumen, buku, majalah/jurnal, surat kabar, dan lain-lain. Berdasarkan
sifatnya, sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
primer adalah sumber yang waktu pembuatannya tidak jauh dari waktu peristiwa
terjadi. Sumber sekunder adalah sumber yang waktu pembuatannya jauh dari
waktu terjadinya peristiwa. Peneliti harus mengetahui benar, mana sumber primer
dan mana sumber sekunder. Dalam pencarian sumber sejarah, sumber primer
harus ditemukan, karena penulisan sejarah ilmiah tidak ukup hanya menggunakan
17
sumber sekunder. Agar pencarian sumber berlangsung secara efektif, dua unsur
penunjang heuristik harus diperhatikan.
a) Pencarian sumber harus berpedoman pada bibliografi kerja dan kerangka
tulisan. Dengan memperhatikan permasalahan-permasalahan yang tersirat
dalam kerangka tulisan (bab dan subbab), peneliti akan mengetahui
sumbersumber yang belum ditemukan.
b) Dalam mencari sumber di perpustakaan, peneliti wajib memahami sistem
katalog perpustakaan yang bersangkutan.
Interpretasi
Setelah fakta untuk mengungkap dan membahas masalah yang diteliti cukup
memadai, kemudian dilakukan interpretasi, yaitu penafsiran akan makna fakta dan
hubungan antara satu fakta dengan fakta lain. Penafsiran atas fakta harus dilandasi
oleh sikap obyektif. Kalaupun dalam hal tertentu bersikap subyektif, harus
subyektif rasional, jangan subyektif emosional. Rekonstruksi peristiwa sejarah
harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran.
Historiografi
Kegiatan terakhir dari penelitian sejarah (metode sejarah) adalah merangkaikan
fakta berikut maknanya secara kronologis/diakronis dan sistematis, menjadi
tulisan sejarah sebagai kisah. Kedua sifat uraian itu harus benar-benar tampak,
karena kedua hal itu merupakan bagian dari ciri karya sejarah ilmiah, sekaligus
ciri sejarah sebagai ilmu.
18
Selain kedua hal tersebut, penulisan sejarah, khususnya sejarah yang bersifat
ilmiah, juga harus memperhatikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah
umumnya.
a) Bahasa yang digunakan harus bahasa yang baik dan benar menurut kaidah
bahasa yang bersangkutan. Kaya ilmiah dituntut untuk menggunakan
kalimat efektif.
b) Merperhatikan konsistensi, antara lain dalam penempatan tanda baca,
penggunaan istilah, dan penujukan sumber.
c) Istilah dan kata-kata tertentu harus digunakan sesuai dengan konteks
permasalahannya.
d) Format penulisan harus sesuai dengan kaidah atau pedoman yang berlaku,
termasuk format penulisan bibliografi/daftar pustaka/daftar sumber.
Kaidah-kaidah tersebut harus benar-benar dipahami dan diterapkan, karena
kualitas karya ilmiah bukan hanya terletak pada masalah yang dibahas, tetapi
ditunjukkan pula oleh format penyajiannya.
Metode Sistematis
Metode Sistematis Metode ini bertujuan agar perhatian pelajar/ mahasiswa
terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh atau pada metode. Misalnya, mula-
mula pelajar atau mahasiswa menghadapi teori pengetahuan yang berdiri atas
beberapa cabang filsafat. Setelah itu mempelajari teori hakikat, teori nilai atau
filsafat nilai. Pembagian besar ini dibagi lebih khusus dalam sistematika filsafat
untuk membahas setiap cabang atau subcabang itu, aliran-aliran akan terbahas.
Metode Kritis
19
Metode Kritis Metode ini digunakan oleh orang-orang yang mempelajari filsafat
tingkat intensif. Sebaiknya metode ini digunakan pada tingkat sarjana. Disini
pengajaran filsafat dapat mengambil pendekatan sistematis ataupun histories.
Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian pelajar mencoba
mengajukan kritikannya, kritik itu mungkin dalam bentuk menentang. Dapat juga
berupa dukungan. Ia mungkin mengkritik mendapatkan pendapatnya sendiri
ataupun menggunakan pendapat filusuf lain. Jadi, jelas takkala memulai
pelajaran amat diperlukan dalam belajar filsafat dengan metode ini.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat bahasa ialah teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para filsuf,
sementara mereka itu dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual. Filsafat bahasa
ialah usaha para filsuf memahami conceptual knowledge melalui pemahaman terhadap
bahasa. Filsafat bahasa memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan
sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran antologis,
epistemologis maupun aksiologi. Antologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang
ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani/kongkret maupun
rohani/abstrak. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat
ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan
prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Aksiologi berkaitan dengan
kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang didapat
dan berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala
alam. Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut
21
disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi
ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Pembahasan
mengenai epistemologi harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi. Adapun hubungan
filsafat dengan bahasa yaitu bahasa sebagai alat berkomunikasi untuk mengutarakan maksud
yang ingin disampaikan sekaligus mengespresikan diri melalui kata dan merupakan alat
utama bagi filosof serta sebagai media untuk analisis dan refleksi berbagai ilmu salah
satunnya yaitu bahasa. Dan metode yang digunakan untuk mempelajari filsafat yaitu metode
historis, metode sistemstis, metode kritis.
22
DAFTAR PUSTAKA
http://asepsopyan.com/2008/12/04/epistemologi-filsafat-pengetahuan/. Diakses 11 Desember 2015
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_bahasa. Diakses 11 Desember 2015
https://www.academia.edu/10361198/Tanya_Jawab_Seputar_Filsafat_Ilmu. Diakses 13 Desember 2015
https://ariefian84.wordpress.com/2010/07/21/teori-belajar-humanistik/. Diakses 13 Desember 2015
http://kasdiharyanta-kasdih.blogspot.co.id/2015/01/filsafat-bahasa-filsafat-analitik.html. Diakses 13 Desember 2015
http://www.rastika.com/2013/10/bahasa-sebagai-komunikasi.html. Diakses 13 Desember 2015
http://digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED-Article-23535-Zainuddin.pdf. Diakses 13 Desember 2015http://elmasterquin.blogspot.co.id/2012/01/v-behaviorurldefaultvmlo.html. Diakses 13 Desember 2015
23