makalah korupsi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sungguh sangat ironis sekali hasil survai bisnis tahun 2013 yang dilakukan oleh
institusi Political and Economic Risk Consultacy (PERC) menempatkan Indonesia pada
peringkat satu negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi. Sangat disayangkan jika
terjadi labeling negara terkorup dari sekian banyak negara di dunia terhadap Indonesia. Lalu
apakah memang hal ini telah dibiarkan sedemikian rupa hingga bisa terjadi banyak korupsi di
Indonesia itu karena tidak adanya langkah preventif pemerintah sejak dahulu? Rasanya tidak,
dan perlu diketahui pada era orde lama hingga orde baru, hingga reformasi keberadaan
sebuah lembaga yang dibuat demi memberantas korupsi dan etika anti korupsi yang
sasarannya tentu berbeda dari orde ke orde, sangat dibutuhkan dan nyata ada dibentuk demi
memberantas dan menurunkan angka korupsi.
KKN di Indonesia sudah merupakan menjadi budaya dan mentalitas bangsa ini,
sesuatu yang usah kita bantah. KKN di negeri ini sudah menjadi bagian hidup dan kehidupan,
dari tingkat bawah hingga atas, hampir tidak ada bagian yang tidak tersentuh KKN. Karena
itu wajar, jika korupsi di negeri ini sudah menjadi penyakit kanker stadium IV. Akibat
kejahatan korupsi di negeri ini yang membuat kemakmuran rakyat masih sekadar mimpi.
Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diingiinkan,
sedangkan proses birokrasi relative lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan
jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang
pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya
kontrol dari pemerintahan dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang termasuk
OKB-OKB (orang kaya baru) yang memperkaya diri sendiri (ambisi material).
Kita kerap berfikir pesimis tentang pemberantasan korupsi, terlalu banyak
simposium dan analisa untuk memberantas korupsi. Sehingga cara ataupun trik untuk
memberantas korupsi yang telah menjamur di negeri ini layak kita diskusikan bersama demi
terciptanya kemakmuran rakyat dan kehidupan tanpa korupsi.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari korupsi?
2. Bagaimana cara efektif untuk memberantas korupsi ?
3. Bagaimana perkembangan lembaga korupsi dari waktu ke waktu ?
4. Bagaimana kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam system ketatanegaraan
Indonesia ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian korupsi.
2. Untuk mengetahui cara efektif untuk memberantas korupsi.
3. Untuk mengetahui perkembangan lembaga korupsi dari waktu ke waktu.
4. Untuk mengetahui kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam system
ketatanegaraan Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian korupsi
Korupsi menurut bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.Terdapat berbagai pengertian tentang korupsi menurut para ahli, diantaranya :
Menurut Prof. Subekti, korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri
yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam
perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan
kedudukannya dan aspek penggunaan uang negara untuk kepentingannya.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna menegeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan Negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus
dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan
Negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan
alas an hokum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Adapun ciri-ciri korupsi, antara lain:
1. Melibatkan lebih dari satu orang. Setiap perbuatan korupsi tidak mungkin dilakukan
sendiri, pasti melibatkan lebih dari satu orang. Bahkan, pada perkembangannya acapkali
dilakukan secara bersama-sama untuk menyulitkan pengusutan.
2. Serba kerahasiaan. Meski dilakukan bersama-sama, korupsi dilakukan dalam koridor
kerahasiaan yang sangat ketat. Masing-masing pihak yang terlibat akan berusaha
semaksimal mungkin menutupi apa yang telah dilakukan.
3. Melibat elemen perizinan dan keuntungan timbal balik. Yang dimaksud elemen perizinan
adalah bidang strategis yang dikuasai oleh negara menyangkut pengembangan usaha
tertentu. Misalnya izin mendirikan bangunan, izin perusahaan,dan lain-lain.
4. Selalu berusaha menyembunyikan perbuatan/maksud tertentu dibalik kebenaran.
5. Koruptor menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan memiliki pengaruh.
Senantiasa berusaha mempengaruhi pengambil kebijakan agar berpihak padanya.
Mengutamakan kepentingannya dan melindungi segala apa yang diinginkan.
3
6. Tindakan korupsi mengundang penipuan yang dilakukan oleh badan hukum publik dan
masyarakat umum. Badan hukum yang dimaksud suatu lembaga yang bergerak dalam
pelayanan publik atau penyedia barang dan jasa kepentingan publik.
7. Setiap tindak korupsi adalah pengkhianatan kepercayaan. Ketika seseorang berjuang
meraih kedudukan tertentu, dia pasti berjanji akan melakukan hal yang terbaik untuk
kepentingan semua pihak. Tetapi setelah mendapat kepercayaan kedudukan tidak pernah
melakukan apa yang telah dijanjikan.
8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari koruptor sendiri.
Sikap dermawan dari koruptor yang acap ditampilkan di hadapan publik adalah bentuk
fungsi ganda yang kontradiktif. Di satu pihak sang koruptor menunjukkan perilaku
menyembunyikan tujuan untuk menyeret semua pihak untuk ikut bertanggung jawab, di
pihak lain dia menggunakan perilaku tadi untuk meningkatkan posisi tawarannya.
B. Cara Efektif Untuk Memberantas Korupsi
Pemberantasan tindak korupsi tampaknya akan makin sulit. Bukan hanya karena
pelaku dan modusnya makin pintar dan sisitem yang masih korup, namun justru karena cara
memberantasnya yang masih utopis dan diwarnai polemic.
Upaya pemberantasan korupsi terkendala diakibatkan oleh setidaknya lima hal,
sebagai berikut :
Pertama, pemaknaan terhadap korupsi yang sempit. Korupsi dilihat sebagai tindak
kejahatan yang berdiri sendiri. Nyatanya korupsi dalam pemaknaan yang luas, merupakan
salah satu kejahatan lintas personal tertua di bumi ini. Nyaris tidak ada bangsa atau negara
yang bebas dari praktik kotor ini, termasuk di negara-negara yang sudah maju sekalipun.
Praktik dan modus korupsi senantiasa juga berkembang dan makin canggih. Di lain pihak,
manusia dilahirkan tidak dalam keadaan suci dan bersih.
Kedua, pemberantasan korupsi terkesan lebih utopis daripada realistis.Seharusnya
karena wataknya sudah sedemikian mendarah daging dan kronis, pemberantasan korupsi
harus dimaknai sebagai tindakan meminimalisasi korupsi, bukan menghilangkan korupsi.
Penulis tak percaya korupsi bisa punah dan lenyap. Celakanya, selama ini pemberantasan
korupsi oleh pemerintah diletakkan dalam kerangka utopis yang akhirnya menuai cemooh
dari publik karena tak kunjung menuai hasil.
Ketiga, pemberantasan korupsi melulu menggunakan pendekatan legal-regulatif.
Ada anggapan bahwa pemberantasan korupsi lewat langkah legal (sistem hukum) dan 4
regulasi (aturan) yang ada selama ini tidak cukup memadai untuk memberantas korupsi.
Ironisnya, pemerintah justru mengulangi pendekatan tersebut dengan dekorasi kelembagaan
baru (termasuk pembentukan Timtastipikor). Padahal bukan rahasia lagi, instrumen legal-
regulatif justru kerap kali diperdaya menjadi perisai bagi koruptor.
Instrumen legal-regulatif menjadi pertarungan tafsir belaka yang bisa dimenangkan
siapa saja yang memiliki sumber daya politik dan ekonomi yang lebih. Banyak koruptor
yang bebas berkeliaran bersandar kepada pasal-pasal legal-regulatif yang ada atau berkolusi
dengan aparat penegak hukum. Pendekatan ini acap memandang korupsi sebagai tindakan
melanggar hukum an sich. Perilaku koruptif belum dilihat sebagai pelanggaran terhadap
relasi sosial manusia. Korupsibelum dianggap sebagai cacat sosial. Korupsi akhirnya
menjadi soal bukti dan delik formal. Ketika tidak cukup bukti pelanggaran hukum,
seseorang dianggap tidak melakukan korupsi.Dalam konteks ini sulit mengatakan Soeharto
sebagai koruptor karena nyaristidak ditemukan celah hukum yang dia langgar. Juga jangan
heran bila ada pejabat yang disangkakan korupsi masih bisa melenggak dan menduduki
jabatan publik tanpa merasa bermasalah. Padahal di negara yang berhasil mengurangi tindak
korupsi, korupsi, selain dilihat sebagai tindakan melanggar hukum juga dilihat sebagai
pelanggaran etis dan moral.
Keempat, pemberantasan korupsi belum menyentuh pembersihan institusi penegak
hukum. Selama ini fokus perhatian korupsi tertuju kepada pelaku korupsi langsung. Padahal,
korupsi adalah kerja lintas personal. Aparat penegak hukum termasuk banyak terlibat di
dalamnya. Namun, publik belum melihat ada terobosan untuk membersihkan lingkungan
penegak hukum. Upaya pemberantasan korupsi yang hanya bertumpu pada tindakan hukum
terhadap pelaku tanpa tindakan pembersihan institusi peradilan, hanyalah kesia-siaan.
Kelima, kenyataan bahwa gerakan antikorupsi, khususnya yang dibangun
kelompok masyarakat sipil, berjalan di tempat. Kegagalan ini diakibatkan setidaknya dua
hal. Pertama, gerakan tersebut tidak memiliki strategi pendekatan baru untuk memberantas
korupsi. Mereka juga terjebak dalam aktivitas yang sloganistik dan temporer yang akhirnya
tidak mampu mendorong empati dan solidaritas publik. Beberapa memang ada yang menuai
hasil seperti gerakan antikorupsi di tingkat lokal (Sumbar, Sulsel, dll), namun tak jarang
yang mati pelan-pelan. Dua tahun yang lalu kita mendengar gerakan antikorupsi yang
dideklarasikan dua ormas keagamaan terbesar namun akhirnya redup nyaris tak terdengar.
Kedua, gerakan-gerakan tersebut 'gagal' membuktikan bahwa elemen masyarakat sipil lebih
baik dari state. Maraknya praktik korupsi yang juga dilakukan oleh organisasi dan personal
5
masyarakat sipil (termasuk korupsi di KPU) secara perlahan mengurangi tingkat
kepercayaan publik kepada upaya pemberantasan korupsi.
Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi harus
diarahkan kepada pencegahan perbuatan korupsi dan penyelesaian kasus korupsi yang
terjadi, dengan strategi dan aksi baru. Pertama, menyinergikan pendekatan legal-regulatif
dengan social-control. Kalau legal-regulatif bertumpu pada prosedur dan mekanisme hukum,
maka social-kontrol bertumpu pada penilaian dan koreksi sosial dengan mengandalkan
partisipasi publik. Pendekatan ini setidaknya akan mampu menjawab antara kebenaran
hukum dan rasa adil masyarakat. Sayangnya,pembentukan Timtastipikor belum menyentuh
pendekatan ini. Personal di lembaga itu melulu berasal dari penegak hukum formal tanpa
melibatkan elemen masyarakat sebagai pelaku hukum informal yang juga penting.
Penyelesaian kasus Soeharto dan para konglomerat hitam yang sulit dijerat lewat
prosedur hukum, barangkali dapat menggunakan pendekatan sosial-kontrol tersebut.
Minimal, bila pendekatan hukum mentok, mereka bisa didekati untuk mengembalikan
kekayaan yang bukan haknya. Komunitas sosial atau masyarakat khususnya yang
termarginalisasi menjadi penting dilibatkan dalam kontrol sosial. Merekalah korban utama
dari korupsi dan layak menilai soal adil dan benar.
Kedua, mereformasi sistem birokrasi dan sistem pengendalian keuangan di
lembaga-lembaga negara. Konsentrasi perbaikan mekanisme dan prosedur hukum tidak akan
optimal tanpa adanya reformasi sistem yang mengatur manajemen dan mekanisme kerja
aparatur pemerintah. Acap kali pemberantasan korupsi mandek ketika pelaku berlindung
pada mekanisme dan prosedur yang berlaku di lembaga-lembaga pemerintah. Jangan heran
ada ungkapan '(korupsi) sudah sesuai prosedur. Perlu ada semacam koreksi total terhadap
berbagai aturan yang mengatur mekanisme, manajemen, dan pertanggungjawaban di tiap
lembaga pemerintah dari pusat sampai ke daerah. Ketiga, tentu saja, dalam jangka panjang
menjalankan pendidikan antikorupsi di sekolah-sekolah formal. Pendidikan ini bisa
disandingkan dengan pendidikan kewarganegaraan. Bagaimanapun watak antikorupsi hanya
bisa dimulai dari pendidikan sebagai awal mula pembelajaran kesadaran. Tentu saja ini
bukanlah tugas ringan, namun harus dilaksanakan. Ini yang disebut memberantas korupsi
dengan partisipasi publik. Maraknya korupsi oleh organisasi dan personal masyarakat sipil
mengurangi kepercayaan publik kepada upaya pemberantasan korupsi.
6
C. Perkembangan Lembaga Korupsi Dari Waktu Ke Waktu
Pada orde lama, tercatat ada dua kali dibentuk Lembaga atau badan pemberantasan
korupsi yaitu pertama Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) Panitia Retooling Aparatur
Negara (PARAN) yang antara lain, menghasilkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1962
tentang Pokok-pokok Organisasi Aparatur Pemerintah Negara Tingkat Tertinggi. Dua tahun
kemudian dibentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR) dengan
Keppres Nomor 98 Tahun 1964, yang merupakan kelanjutan dari PARAN, lebih bersifat
politis, sesuai dengan keadaan waktu itu . Paran dibentuk dengan perangkat aturan Keadaan
Bahaya, dan kedua dibentuk Lembaga Operasi Budhi pada 1963, melalui Keputusan Presiden
No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H Nasution sebagai ketuanya. Masing-
masing dari lembaga tersebut tentu berbeda sasarannya, misal pada Paran, sasarannya adalah
pejabat yang korup, sedangkan Operasi Budhi memiliki sasaran utama yaitu perusahaan-
perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek
korupsi dan kolusi. Kemudian karena alasan politis kedua lembaga tersebut dibubarkan, lalu
muncul lagi lembaga baru yaitu Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar)
dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani, yang masih sama berkutat pada pemberantasan korupsi. Lalu bagaimana
kelanjutan sepak terjang lembaga-lembaga pemberantas korupsi pada era orde lama tersebut?
Hasilnya masih bisa ditebak, deadlock.
Lalu, pada orde baru, dibentuklah TPK atau Tim Pemberantasan Korupsi yang
diketuai Jaksa Agung. Saat itu adalah era pemeritahan Soeharto. Menurut Soeharto pada
masa itu, TPK dinilai kurang efektif, maka presiden saat itu, Soeharto menunjuk Komite
Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, Prof Johannes,
I.J. Kasimo, MrWilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan
Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Ketika Komite Empat menyampaikan hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, ternyata
tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. . hasilnya pun dapat terbukti lemahnya kontrol dan
pengawasan pemerintah saat itu terkait dengan pemberantasan korupsi. Selanjutnya masih
dalam rangka pemberantasan korupsi, sebuah lembaga baru pun dibentuk bernama Operasi
Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain memberantas korupsi. Perselisihan pendapat
mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan
7
pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi,
sehingga Opstib pun hilang.
Hal mengenai pemberantasan korupsi pun berlanjut hingga menuju era reformasi
yang saat itu ditandai dengan dikeluarkannya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi yang merupakan sebuah bentuk
Undang-undang pemberantasan korupsi yang baru pengganti yang ada sebelumnya yaitu UU
nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan pembentukan
berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara
(KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dibentuk melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk
memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun
1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga
KPKPN sendiri hilang dan menguap. Hingga kini dan seterusnya KPK menjadi lembaga
pemberantas korupsi yang diharapkan dapat menurunkan angka korupsi di Indonesia dari
waktu ke waktu yang akan datang.
D. Kedudukan KPK Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi
di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Seiring berjalannya Reformasi di Indonesia muncul berbagai macam perubahan
dalam sistem Ketatanegaraan, khususnya perubahan pada Konstitusi Negara Indonesia. Salah
satu hasil dari Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi 8
lembaga tertinggi negara karena semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam
mekanisme checks and balances. Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum
tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara. Perkembangan
konsep triaspolitica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia.
Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi
relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara
dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara
membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam
mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara yang
membantu tugas lembaga-lembaga negara tersebut yang menurut Prof. Dr.Jimly Asshidiqie,
SH disebut sebagai ”Lembaga Negara Bantu” dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan,
ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap
mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana
yang menempatkannya tersendiri sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan. Dalam
konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pasca perubahan UUD Negara
RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum
yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang
memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu
lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK
tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan masalah keorganisasian,
dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan
persidangan perkara tindak pidana korupsi. Ke depannya, kedudukan lembaga negara bantu
seperti KPK membutuhkan legitimasi hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan
yang lebih besar dari masyarakat.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya pemberantasan korupsi terkendala diakibatkan oleh setidaknya lima hal,
yaitu pemaknaan terhadap korupsi yang sempit, pemberantasan korupsi terkesan lebih utopis
daripada realistis, pemberantasan korupsi melulu menggunakan pendekatan legal-regulatif,
pemberantasan korupsi belum menyentuh pembersihan institusi penegak hokum, serta
kenyataan bahwa gerakan antikorupsi, khususnya yang dibangun kelompok masyarakat sipil,
berjalan di tempat.
Hal mengenai pemberantasan korupsi pun berlanjut hingga menuju era reformasi
yang saat itu ditandai dengan dikeluarkannya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi yang merupakan sebuah bentuk
Undang-undang pemberantasan korupsi yang baru pengganti yang ada sebelumnya yaitu UU
nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun bersifat independen dan bebas dari
kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan
masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam
hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi.
B. Saran
Langkah cerdas dalam pemeberantasan korupsi hendaknya diapklikasikan oleh
semua pihak baik pemerintah dan masyarakat untuk meminimalisir korupsi yang semakin
membudaya di Indonesia.
10
DAFTAR PUSTAKA
Anonime.1954. Korupsi . http://www.mail-archive.com diakses pada tanggal 21 November
2013.
Muzadi, H. 2004. MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Malang : Bayumedia Publishing.
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Samosir,Djisman.1985. Hukum Pidana Indonesia. Bnadung : Sinar Baru.
11