makalah kebijakan pemerintah
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Deregulasi pendidikan merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam peraturan
perundang-undangan (PP) yang dikeluarkan pemerintah (DEPDIKNAS) pada Oktober
1998, pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu
mengemukakan peraturan pendidikan mengenai pendidikan, yakni :
1. Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketinggalan disegala
aspek kehidupan dan menyesuaikan degan perubahan global serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-Undang Sistim
Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
yang terdiri dari 22 Bab dan dan 77 Pasal tersebut juga termasuk pengejawantahan dari
salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.
Dengan adanya desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan
masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dan masyarakat. Bahkan, pemerintah (pusat)
dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan
sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara RI tahun
1945 adalah “negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara seratanggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional”(UUD No. 20, 2006)
Oleh karena itu, maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan perinsip keadilan,
efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2). Untuk menjamin
terselengaranya pendidikan yang berkwalitas, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah
daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan
yang diperlukan). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan menyediakan pendidik dan
guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan guru untuk mengembangkan
bakat, minat dan kemampuan peserta didik. Pendidik dan tenaga kependidikan dapat
bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan, dan satuan formal.
2. Kesetaraan dan Keseimbangan Pendidikan
Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam Undang-Undang Sisdiknas yang baru
adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselengarakan oleh
pemerintah dan satuan pendidikan yang diselengarakan oleh masyarakat. Tidak ada lagi
istilah satuan pendidikan ”plat merah” atau ”plat kuning”; semuanya berhak memperoleh
dana dari negara dalam suatu sistim terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara
satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan
dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri
khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai
nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Dengan demikian
Undang-Undang Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman,
ilmu dan amal (shaleh). Hal itu, selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan
nasional, juga dalam penyusunan kurikulum, peningkatan iman dan taqwa, ahlak mulia,
kecerdasan, ilmu pengetahuan, tehnologi seni dan sebagaianya dikpadukan menjadi
satu.
3. Jalur Pendidikan
Perubahan jalur pendidikan dari dua jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi 3 jalur :
formal, non formal dan informal. Hal ini juga merupakan perubahan mendasar dalam
Sisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebut
sebenarnya juga telah di berlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luar
sekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak kongkrit.
Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi,
dengan jenis pendidikan : umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan
khusus.
Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat.
Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat (pasal 17 ayat 1dan 2). Dengan
demikian istilah SLTP harus berganti kembali menjadi SMP.
Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan
pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasayarat untuk mengikuti
pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal
(TK, Raudatul Athfal, dan bentuk lain yang sejenis), non formal (kelompok bermain/panti
penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan).
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkapan pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat,
dan berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada
penguasaan pengetahuan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal meliputi pendidiakan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, kependidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan pesertaa didik
(pasal 26 ayat 3). Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkunagan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri,
yang hasilnya diakui sama demngan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta
didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27) (Arifin, 2003)
Partisipasi Pemerintah Dalam Pendidikan
Partisipasi pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dalam era otonomi daerah ini
hanya mencakup dua aspek saja, yakni aspek mutu dan aspek pemerataan pendidikan.
Daftar UAN sekolah (DNUAS) masih jauh di bawah standar yang diharapan,
sebagai hambatan, persentase klasifikasi mutu SD pada tahun 1995/1996
menunjukan, klasifikasi baik dan baik sekali (DNUAS di atas 6,00) sebanyak 9%,
kategori sedang (DNUAS 5,5-5,6) sebanyak 28,9% sedangkan kategori kurang atau
kurang sekali (DNUAS kurang dari 5,5) sebanyak 62,1%.
Dari aspek non akademik, banyak kritik terhadap masalah kedisiplinan, moral, dan
etika, kreativitas dan kemandirian serta sikap demokratis yang tidak mencerminkan
tingkat kualitas yang diharapan masyrakat luas.
Kemampuan guru yang masi diragukan, indikatornya dari hasil tes guru-guru SLTP
dan SMU dengan soal tes setara dengan EBTANAS, hasilnya guru MIPA rata-rata
mempunyai nilai 6,5 dengan tingkat distribusi sebagian besar memperoleh nilai di
bawah rata-rata (Syaukani, 2002).
B. Permasalahan
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran dan Rekomendasi