makalah kasus.docx

21
MAKALAH PRESENTASI KASUS BIDANG PENYAKIT DALAM 12 November 2014 Oleh Kelompok: B1 Andi Nur Izzati Binti Dollar, SKH B94144103 Deka Permana Putera, SKH B94144105 Dwi Budiono, SKH B94144109 Febryana Permata Fanama, SKH B94144114 G Andri Hermawan, SKH B94144116 Imran Sukri Sinaga, SKH B94144121 Ira Agustina Dewi Gandasari, SKH B94144123 Mulyani Nofriza, SKH B94144126 Nurul Chotimah, SKH B94144131

Upload: dekapermana

Post on 09-Feb-2016

20 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penyakit dalam

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH KASUS.docx

MAKALAH PRESENTASI KASUS

BIDANG PENYAKIT DALAM

12 November 2014

Oleh

Kelompok: B1

Andi Nur Izzati Binti Dollar, SKH B94144103Deka Permana Putera, SKH B94144105Dwi Budiono, SKH B94144109Febryana Permata Fanama, SKH B94144114G Andri Hermawan, SKH B94144116Imran Sukri Sinaga, SKH B94144121Ira Agustina Dewi Gandasari, SKH B94144123Mulyani Nofriza, SKH B94144126Nurul Chotimah, SKH B94144131

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWANBAGIAN PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWANINSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

Page 2: MAKALAH KASUS.docx

Kasus IMahasiswa program PPDH (Presenter) : G Andri Hermawan, SKHKelompok dan Angkatan : B1-2014/2015

AnamnesisSeekor kucing dewasa ditemukan pada malam hari di jalan Babakan Raya

sedang berjalan dan terlihat lemah (inkoordinasi). Kondisi kucing terlihat sangat kurus dengan habitus kiposis, mata berair, hidung mengeluarkan discharge, dan abdomen membesar.

SignalementNama : MonkeyJenis hewan/spesies : KucingRas/breed : Domestic short hairWarna bulu & kulit : Putih kuningJenis kelamin : JantanUmur : DewasaBerat badan : 2.85 kgTanda Khusus : Ujung ekor bengkok

Status PresentKeadaan UmumPerawatan : burukHabitus/tingkah laku : kiposis/ jinakGizi : burukPertumbuhan Badan : baikSikap berdiri : tegak pada empat kakiSuhu tubuh : 37.3 °CFrekuensi nadi : 148x /menitFrekuensi nafas : 40x /menit

Adaptasi lingkungan : BaikKepala dan LeherInspeksi Ekspresi wajah : apatisPertulangan kepala : kompak, simetris, tidak ada perubahanPosisi tegak telinga : tegak keduanyaPosisi kepala : tegak, sejajar dengan vertebraePalpasi Turgor kulit : > 3 detik

Mata dan OrbitaKiri Palpabrae : tidak membuka sempurnaSilia : mengarah keluar sempurnaKonjungtiva : kekuningan, licin, basahMembran nictitans : terlihat Sklera : kekuningan

Page 3: MAKALAH KASUS.docx

Kornea : jernih, tembus pandangIris : tidak ada perlekatanLimbus : rataPupil : tidak ada perubahanRefleks pupil : postif (lambat)Vasa injeksio : tidak ada

KananPalpabrae : tidak membuka sempurnaSilia : mengarah keluar sempurnaKonjungtiva : kekuningan, licin, basahMembran nictitans : terlihat Sklera : putih kekuninganKornea : jernih, tembus pandangIris : tidak ada perlekatanLimbus : rataPupil : tidak ada perubahanRefleks pupil : postif (lambat)Vasa injeksio : tidak ada

Hidung dan sinus-sinusHidung dan sinus-sinus : basah dan perkusi redup

Pendengaran dan Keseimbangan (Telinga)Posisi : tegak keduanya Bau : bau khas cerumenPermukaan daun telinga : licinKrepitasi : tidak adaRefleks panggilan : positif

Mulut dan rongga mulutRusak/ luka pada bibir : tidak adaMukosa : kekuningan, licin, basahGusi : bagian maxilla bengkakGigi geligi : lengkapLidah : kekuningan, kasar

LeherPerototan : simetrisTrachea : tidak ada peubahan bentuk dan respon batuk saat

ditekanEsofagus : kosong dan tidak ada perluasan

Sistem PernafasanInspeksiBentuk rongga thoraks : simetrisTipe pernapasan : costalisRitme : teratur

Page 4: MAKALAH KASUS.docx

Intensitas : dangkalFrekuensi : 40x /menit

PalpasiPenekanan rongga thoraks : tidak ada respon sakit maupun batukPalpasi intercostal : tidak ada respon sakit maupun batuk

PerkusiLapangan paru-paru : ada perluasan pada costae ke 12 dan 7Gema perkusi : nyaring

AuskultasiSuara pernapasan : bronchial inspirasi terdengar jelasSuara ikutan : tidak adaAntara ins dan eks : ada jeda antara insipirasi dan ekspirasi

Sistem SirkulasiInspeksiIctus cordis : terlihat

Perkusi Lapangan jantung : tidak ada perluasan

AuskultasiFrekuensi : 148x /menitIntensitas : lemahRitme : teraturSuara sistol dan diastol : terdengar jelas, tidak ada perubahanEkstrasistolik : negatifPulsus dan jantung : seirama

AbdomenInspeksiBesar : simetrisBentuk : tidak ada perubahanPerineal : bersih

Palpasi Esofagus : kosong, tidak ada perluasanEpigastrikus : pembesaran hatiMesogastrikus : tidak ada perubahanHipogastrikus : tidak ada perubahanIsi usus halus : adaPembesaran kolon : negatif

Auskultasi Peristaltik usus : terdengar

Page 5: MAKALAH KASUS.docx

AnusSekitar anus : kotor dan kekuninganRefleks spinchter anii : positifKebersihan daerah perineal : kotor

Sistem GenitaliaPreputium : tidak ada perubahan bentuk dan berwarna

kekuninganPenis : tidak ada perubahan bentuk dan besar serta tidak

ada perlukaan dan berwarna kekuningan

Keluarkan glans penisBesarnya : proporsional dan tidak ada pembesaranBentuk : tidak ada perubahanSensitifitas : tidak sensitifWarna : kekuninganKebersihan : kotorScrotum : kotor, tidak ada perubahan maupun perlukaanUrethra : tidak ada gangguan urinasi

Alat gerakInspeksiPerototan kaki depan : simetris, tidak ada perubahanPerototan kaki belakang : simetris, tidak ada perubahanTremor : negatifSpasmus otot : negatifSudut persendian : tidak ada perubahanCara berjalan/berlari : inkoordinatif

PalpasiStruktur pertulangan : tegas, tidak ada perubahanKonsistensi tulang : kerasReaksi saat palpasi : tidak ada rasa sakit

Ln. popliteusUkuran : tidak ada perubahanKonsistensi : kenyalLobulasi : jelasPerlekatan : tidak ada perlekatanPanas : sama dengan daerah sekitarnyaKesimetrisan : simetris

Temuan klinisPemeriksaan fisik dilakukan pada hari Jumat, 31 Oktober 2014. Pemeriksan

pertama pada mukosa atau selaput lendir yang menunjukan seluruh mukosa pada regio kepala kekuningan (jaundice), anemia, dan dehidrasi. Hasil tersebut didukung dengan nilai CRT >2 detik. Organ pertama yang menunjukan adanya kelainan adalah organ mata dengan refleks pupil yang kurang dan adanya

Page 6: MAKALAH KASUS.docx

gangguan penglihatan, gangguan pada mata tersebut ada kaitannya dengan kondisi anemia dan dehidrasi yang telah menggangu sistem syaraf salah satunya pada organ mata. Pemeriksaan hidung terdapat discharge mukopurulen dan perkusi sinus redup, hal tersebut memberikan informasi adanya kotoran yang melekat di sekitar rongga nasal sinus. Pemeriksaan telinga tidak menunjukkan adanya kelainan fungsi maupun fisiologis yang ditandai dengan kucing masih merespon refleks panggilan dan bau khas serumen pada telinga serta tidak didapatkan luka di permukaan saluran telinga, namun terdapat penumpukan kotoran telinga berwarna hitam. Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan kebengkakan pada gusi maxilla yang mengindikasikan adanya defisiensi vitamin C, infeksi bakteri, atau imunosupresi. Pemeriksaan fisik pada kucing dapat dilihat pada Gambar 1-4.

Gambar 1 Kucing mengalami kaheksia

Gambar 2 Struktur pertulangan pelvis terlihat dengan jelas

Page 7: MAKALAH KASUS.docx

Gambar 3 Mukosa mata terlihat kekuningan dengan membrana nictitans yang tidak tersembunyi di medial

Gambar 4 Mukosa mulut yang berwarna kekuningan

Pemeriksaan regio leher diwali dengan pemeriksaan trakhea, saat trakhea dipalpasi tidak ada reflek batuk yang muncul dan tidak ada pembesaran maupun peradangan pada trakhea. Sedangkan pada pemeriksaan esofagus tidak terpalpasi karena kosong dan terlindung di balik trakhea. Pada saat pemeriksaan regio thoraks didapatkan bentuk rongga thoraks yang simetris, tipe pernapasan costalis dengan intensitas dangkal dan ritme yang teratur sebanyak 40 kali/menit. Penekanan rongga thoraks dan wilayah intercostalis tidak memberikan respons rasa sakit. Pada saat perkusi lapangan paru-paru mengalami perluasan dengan gema perkusi yang nyaring pada intercostal ke-12 dan ke-7, perluasan pada lapangan paru-paru tersebut dimanifestasikan dengan tipe pernafasan yang dangkal dan adanya jeda antara suara inspirasi dan ekspirasi dengan kecenderungan ekspirasi dipaksakan atau ekspirasi ganda. Pada pemeriksaan regio abdomen saat dilakukan palpasi profundal ditemukan pembesaran organ hati sampai dengan daerah ventral sinistra epigastrium kucing, temuan tersebut sejalan dengan habitus kucing yang mengalami kiposis, dengan demikian kiposis pada kucing disebabkan oleh adanya kebengkakan pada hati. Untuk mengetahui faktor penyebab adanya kebengkakan pada hati dan mengetahui penyebab jaundice serta dehidrasi pada kucing perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium darah.

Page 8: MAKALAH KASUS.docx

Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu dengan pemeriksaan

hematologi darah kucing, pengambilan darah dilakukan melalui vena saphena menggunakan spoit 3 mL dengan needle 18 G. Sampel darah yang diambil selanjutnya diuji, meliputi pemeriksaan serum, plasma, total sel darah putih, total sel darah merah, hematokrit, hemoglobin, dan diferensial leukosit. Berikut hasil pemeriksaan hematologi pada kucing.

Tabel 1 Nilai normal dan hasil pengamatan hematologi kucing MonkeyParameter Normal Hasil

Plasma (%) 53-70 80Ʃ SDP (x 103/µL)Ʃ SDM (x 106/µL) 5.8-10.7 5.06Ʃ RetikulositHematokrit (%) 30-47 20Hemoglobin (g/DL) 9-15 6.8Indeks eritrosit

- MCV (fl)- MCH (g%)- MCHC (pg)

40-4513-1733-35

39.5213.534

Dif. Leukosit (%)- Neutrofil 55-60 64- Neutrofil Toxic 0 17- Limfosit 30-35 17- Monosit 5 2- Eosinofil 2-5 0- Basofil 1 0

Kelainan SDM- Howell Jolly Body - +++- Heinz Body - +++

Suspect parasit darah +++- Babesia - +++- Hemobartonella - ++

DiagnosisBerdasarkan pemeriksaan fisik dan penunjang (laboratorium hematologi),

diagnosa penyakit Monkey mengarah pada infeksi parasit darah dengan gejala yang muncul sesuai pemeriksaan fisik adalah pembesaran hati, jaundice, anemia, dehidrasi, kaheksia, dan perluasan paru-paru. Gejala yang muncul merupakan manifestasi dari perjalanan penyakit atau patogenesa penyakit.

Diferensial diagnosis Diagnosa banding untuk penyakit Monkey diantaranya adalah leptospirosis.

PrognosaFausta

TerapiPengobatan parasit darah dengan antibiotik clindamycin (dosis 10-11

mg/kg) dilakukan selama 5 hari untuk memutus infeksi parasit darah. Imunitas

Page 9: MAKALAH KASUS.docx

kucing yang turun akibat infeksi parasit darah ditingkatkan dengan Viusid® dengan pemberian sebanyak 0.5 mL dua kali sehari.

Pengamatan PascaterapiSetelah dilakukan pengobatan selama 5 hari, kondisi kesehatan kucing

Monky mulai membaik. Pemberian clindamycin dapat mengurangi jumlah parasit darah kemudian kejadian hemolisis menurun dan kerja hati pulih kembali (metabolisme di dalam hati membaik) sehingga gejala seperti anemia dan jaundice sudah hilang yang ditandai dengan mukosa secara umum berwarna rose, turgor kulitnya baik (kurang dari 3 detik), serta penglihatan kucing membaik. Pemberian viusid juga menunjang perbaikan kesehatan kucing dengan meningkatkan sistem ketahanan tubuh dan nafsu makan disertai pemberian pakan dan minum yang baik dapat menambah energi sehingga kucing aktif dan berat badan meningkat sebanyak 0,2 kg. Namun ditemukan ulkus pada gusi, yang mungkin disebabkan oleh tidak termetabolismenya amonia menjadi urea dalam hati. Kondisi kucing pasca terapi dapat dilihat pada Gambar 5-7 dan Tabel 2.

Gambar 5 Kucing Monkey dapat berdiri dengan baik dan terlihat lebih aktif

Gambar 6 Mukosa mulut berwarna rose

Page 10: MAKALAH KASUS.docx

Gambar 7 Ulkus pada gusi bagian atas

Tabel 2 Rekam medik Monkey periode Selasa 4 November hingga Sabtu, 8 November 2014

Hari/tanggal Keadaan umum Terapi Selasa / 4 November 2014

Pagi: makan/minum +/+, defekasi/urinasi +/+

Sore : makan/minum +/+, defekasi/urinasi -/-

Pagi : Clindamycin 37.5 mg p.o, Viusid 0.5 mLSore : Clindamycin 37.5 mg p.o, Viusid 0.5 mL

Rabu / 5 November 2014

Pagi: makan/minum +/+, defekasi/urinasi +/+

Sore : makan/minum +/+, defekasi/urinasi -/+

Pagi : Clindamycin 37.5 mg p.o, Viusid 0.5 mLSore : Clindamycin 37.5 mg p.o, Viusid 0.5 mL

Kamis / 6 November 2014

Pagi: makan/minum -/+, defekasi/urinasi +/-

Sore : makan/minum +/+, defekasi/urinasi +/+

Pagi : Clindamycin 37.5 mg p.o, Viusid 0.5 mLSore : Clindamycin 37.5 mg p.o, Viusid 0.5 mL

Jumat / 7 November 2014

Pagi: makan/minum +/+, defekasi/urinasi -/-

Sore : makan/minum +/+, defekasi/urinasi -/-

Pagi : Clindamycin 37.5 mg p.o, Viusid 0.5 mLSore : Clindamycin 37.5 mg p.o, Viusid 0.5 mL

Sabtu / 8 November 2014

Pagi: makan/minum +/+, defekasi/urinasi +/+

Sore : makan/minum +/+, defekasi/urinasi -/+

Pagi : Clindamycin 37.5 mg p.o, Viusid 0.5 mLSore : Clindamycin 37.5 mg p.o, Viusid 0.5 mL

PEMBAHASANParasit darah

Pemeriksaan lanjutan dengan pengamatan hematologi darah kucing Monkey yang dilakukan pertama kali adalah pengamatan preparat ulas darah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat banyak parasit darah dalam sel darah merah kucing. Parasit darah tersebut diduga adalah Babesia sp. dengan klasifikasi sebagai berikut:

Page 11: MAKALAH KASUS.docx

kingdom : Protistafilum : Apicomplexakelas : Aconoidacidaordo : Piroplasmidafamili : Babesiidaegenus : Babesiaspesies : Babesia sp.

Babesia Sp. adalah protozoa penyebab babesiosis atau disebut juga piroplasmosis pada hewan. Infeksi protozoa ini dapat menyebabkan demam yang sangat tingi dan peningkatan frekuensi nafas. Gejala klinis yang tampak setela hewan terinfeksi parasit ini antara lain demam, hemoglobulinuria, ikterus, dan splenomegaly. Gejala infeksi yang kronis ditandai dengan anoreksia, kehilangan berat badan dan kelemahan (Sugiarto 2005).

Siklus hidup dari Babesia sp. terjadi dalam tubuh caplak dewasa yang dimulai dari tropozoit, schyzogoni, merozoit besar, dan merozoit kecil. Merozoit kecil bersifat infektif dan berpindah dari caplak ke hewan melalui gigitan. Merozoit ini akan memasuki eritrosit kemudian mengalami proses merogoni melalui pembelahan biner. Sel eritrosit akan lisis akibat jumlah merozoit banyak di dalam eritrosit kemudian merozoit akan menyebar dan menginfeksi sel eritorsit disekitarnya (Levine 1994).

Teknik diagnosa yang dapat dilakukan pada kasus babesiosis adalah tes hematologi dengan melihat adanya anemia normositik hipokromik, mikrositik hiprokromik serta perubahan variabel leukosit seperti neutropenia, neutrofilia, dan limfositosis. Pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan dengan melihat kimia darah, urinalisis, identifikasi organisme, dan uji serologi (More dan More 2002).

Sel darah merah dan hemoglobin

Hasil pemeriksaan hematologi darah menunjukkan jumlah eritrosit sebesar 5.06 x 106/µL dengan nilai hematokrit dan hemoglobin sebesar 20 % dan 6.8 g/dL yang berada dibawah batas normal. Batas normal jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan hemoglobin berturut-turut adalah 5.8-10.7 x 106/µL, 30-47 %, dan 9-15 g/dL. Hasil dari penghitungan indeks eritrosit didapatkan nilai MCV dan MCHC sebesar 39.52 fl dan 34 pg dengan batas nilai normal MCV dan MCHC pada kucing berada pada kisaran 40-45 fl dan 33-35 pg (Sajuthi et al. 2013).

Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa kucing mengalami anemia. Anemia merupakan suatu kondisi patologis yang disebabkan oleh penurunan jumlah eritrosit sehingga terjadi penurunan kapasitas oksigen yang dibawa oleh darah. Menurut Colville & Bassert (2002) anemia dapat diakibatkan oleh sedikitnya oksigen yang bersirkulasi, penyusutan eritrosit, penurunan produksi eritrosit, pendarahan, infeksi parasit didalam eritrosit dan jumlah hemoglobin yang sedikit pada jumlah eritrosit yang normal. Anemia dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu berdasarkan morfologi eritrosit dan etiologi anemia. Berdasarkan morfologi eritrosit anemia dapat diklasifikasikan menjadi anemia normositik normokromik, anemia normositik hipokromik, anemia makrositik normokromik, anemia makrositik hipokromik, anemia mikrositik normokromik dan anemia mikrositik hipokromik (Price & Wilson 2006).

Anemia normositik normokromik ditandai dengan ukuran dan bentuk eritrosit normal serta mengandung jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin

Page 12: MAKALAH KASUS.docx

yang normal (MCV dan MCHC normal atau rendah), tetapi hewan menderita anemia. Hal ini disebabkan oleh kehilangan darah yang bersifat akut, hemolisis, maupun karena penyakit infeksi yang kronis. Anemia normositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit yang normal tetapi konsentrasi hemoglobin darah rendah (MCV normal, MCHC rendah). Anemia ini jarang terjadi, anemia jenis ini dapat disebabkan oleh defisiensi besi dan sintesis hemoglobin yang belum sempurna (Stockham & Scott 2008).

Anemia makrositik normokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih besar, tetapi berwarna normal karena konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV meningkat, MCHC normal). Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA karena defisiensi unsur-unsur tertentu seperti vitamin B12. Anemia makrositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih besar dari normal, tetapi memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dari normal (MCV meningkat, MCHC rendah). Hal ini diakibatkan karna pendarahan yang berlebihan sehingga eritrosit muda (retikulosit) dilepaskan ke dalam peredaran darah sebagai respon regeneratif. Anemia mikrositik normokromik ditandai dengan ukuran erirosit lebih kecil dari normal, dengan konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV rendah, MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh defisiensi zat besi dan gangguan metabolisme hati. Anemia mikrositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih kecil dari normal dengan konsentrasi hemoglobin lebih sedikit dari nomal (MCV dan MCHC rendah). Kejadian ini disebabkan oleh insufiensi sintesis hem (besi) akibat defisiensi zat besi serta defisiensi pyridoxine (Stockham & Scott 2008).

Hasil pemeriksaan hematologi darah menunjukkan bahwa kucing ini mengalami anemia mikrositik dengan rendahnya nilai MCV. Nilai MCHC yang masih berada dalam batas normal tidak sejalan dengan kadar hemoglobin yang rendah sehingga anemia kucing dapat dikategorikan ke dalam anemia mikrositik hipokromik.

Babesia sp. hidup dengan bereplikasi pada sel darah merah serta dapat merubah tekanan osmotik sehingga mudah terjadi hemolisis yang berakibat terjadinya anemia. Hemolisis yang terjadi dapat menyebabkan adanya respon peradangan dan disfungsi berbagai organ (hati) (Parnell et al. 2008). Lebih dari 90% bilirubin dalam serum individu normal terdapat dalam bentuk tidak terkonjugasi, yaitu suatu molekul non polar yang bersirkulasi sebagai kompleks terikat albumin. Sisanya terkonjugasi pada gugus polar (glukoronid) yang membuat larut dalam air sehingga dapat disaring oleh ginjal. Dengan demikian maka ikterus dapat dibagi menjadi ikterus pre-hepatik, hepatik, dan post-hepatik. Hemolisis yang berlebihan dapat mengakibatkan ikterus atau jaundice pre-hepatik. Ikterus pre hepatik adalah penumpukkan bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah sehingga menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh darah tersebut.

Hemolisis berlebihan juga dapat menyebabkan terbentuknya heinz bodies dan howell jolly bodies. Heinz body adalah sekumpulan hemoglobin yang terdenaturasi di dalam sel darah merah akibat adanya oksidasi yang menempel pada permukaan dalam eritrosit (Harvey 2001). Heinz bodies normal pada kucing adalah 5% dari jumlah total eritrosit dan akan meningkat pada kucing yang menderita anemia karena paparan penyakit sistemik seperti hepatik lipidosis, diabetes mellitus yang disertai atau tidak disertai dengan ketoasidosis,

Page 13: MAKALAH KASUS.docx

hipertiroidsm, dan malignant lymphoma (Martinie dan krimer 2002). Adanya heinz bodies pada kucing bernama Monkey diduga karena kucing ini menderita anemia sesuai dengan pemeriksaan hematologi dengan jumlah hematokrit hanya 20%. Penyebab anemia tersebut dimungkinkan karena adanya parasit darah yang banyak ditemukan pada preparat ulas darah. Selain heinz body, pada pemeriksaan hematologi juga ditemukan howell jolly bodies. Howell jolly bodies dapat ditemukan pada kucing yang mengalami anemia regeneratif, pada kucing yang sudah melakukan splenectomy, serta pada pasien dengan terapi vinkristin (Harvey 2001). Selain itu, bisa juga terjadi pada kucing yang mengalami malfungsi organ limpa dan pada pasien yang terinfeksi serius Babesia sp. maupun bakteri tidak berkapsul (Noskoviak dan Broome 2008).

Diferensial leukositPemeriksaan diferensial leukosit menunjukkan adanya netrofil dengan

jumlah yang lebih dari batas normal yaitu sebanyak 64 % dengan batas normal 55-60 %. Banyaknya jumlah neutrofil ini diduga akibat adanya infeksi akut, radang, kerusakan jaringan, apendiksitis akut (radang usus buntu), dan lain-lain. Penurunan neutrofil terdapat pada infeksi virus, leukemia, anemia defisiensi besi, dan lain-lain. Neutrofil toksik juga ditemukan pada pemeriksaan diferensial diagnosa. Neutrofil jenis ini merupakan tanda terjadinya toksemia yang berat. Toksisitas yang rendah biasanya tidak menimbulkan gejala klinis tetapi pada toksisitas yang sedang akan menimbulkan gejala klinis. Toksik yang parah biasanya diakibatkan oleh toksin bakteri pada penyakit pencernaan yang disebabkan oleh parvoviral diarrhea ataupun bakteri Gram negatif (Harvey 2001). Kucing dengan netrofil toksik yang tinggi biasanya akan menunjukkan gejala klinis demam, ikterus, muntah, diare, depresi, dehidrasi, kelemahan, dan kaheksia. Pemeriksaan darah juga menunjukkan adanya leukositosis, neutrofilia, left shift, neutropenia, anemia, hipokalemia, dan hipokalsemia (Segev et al. 2006).

Berbeda dengan jumlah neutrofil yang tinggi, jumlah limfosit dan monosit terlihat berada di bawah batasan normal, yaitu sebanyak 17 % dan 2% dimana batas normal keduanya adalah 30-35 % dan 5%. Hal ini secara umum dapat terjadi akibat kadar hormon kortisol yang tinggi yang diduga karena adanya kondisi stres pada kucing. Hal ini juga didukung dengan tingginya diferensiasi neutrofil karena kortisol dapat menyebabkan peningkatan jumlah neutrofil dalam darah (Corwin 2009). Neutrofil toksik yang terlihat pada preparat ulas darah dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Neutrofil toksik

Page 14: MAKALAH KASUS.docx

Hepatic encephalopathyMenurut pemeriksaan fisik yang dilakukan pada kucing Monkey

menunjukkan adanya pembesaran pada organ hati. Pembesaran ini kemungkinan dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kerja hati yang terlalu berat karena adanya hemolisis yang berlebihan oleh parasit darah, adanya penumpukkan protein yang berlebihan di dalam hati, dan adanya penumpukkan Fe di dalam hati. Berbagai penyebab tersebut dapat menyebabkan munculnya sirosis hati sehingga berakibat pada gangguan metabolisme amonia. Gangguan ini menyebabkan adanya ulkus pada mukosa mulut, hepatic encephalopathy, netrofil toksik, dan asidosis. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi (2002), hepatic encephalopathy adalah hilangnya fungsi otak yang muncul ketika hati tidak mampu merubah toksin dalam darah menjadi zat yang tidak berbahaya dalam hal ini terjadi gangguan metabolisme amonia menjadi urea di dalam hati sehingga dapat mengiritasi otak. Kondisi ini terjadi karena penurunan fungsi hati seperti sirosis hati atau hepatitis dan kondisi peredaran darah tidak masuk ke dalam hati.

Kondisi lain yang dapat menyebabkan hepatic encephalopathy adalah dehidrasi, hiperbilirubinemia, terlalu banyak mengonsumsi protein, ketidakseimbangan elektrolit, pendarahan (intestin, lambung, esofagus), infeksi, penyakit ginjal, dan penurunan oksigen dalam darah. Kelainan yang dapat muncul akibat hepatic encephalopathy, yaitu alcohol intoxication, meningitis, abnormalitas metabolisme, dan hematom subdural. Kondisi keracunan tersebut biasanya terjadi karena adanya penyakit hati yang kronis. Gejala klinis yang muncul antara lain adalah abnormalitas pergerakan dari ekstremitas, seizure, inkoordinasi, penurunan konsenterasi, perubahan pola tidur, ikterus pada mukosa, ascites, bau yang tidak sedap pada urin dan sistem pernafasan (Nevah dan Fallon 2010).

SIMPULAN

Pemeriksaan fisik dan diagnosa penunjang yang telah dilakukan pada kucing Monkey menunjukkan hasil bahwa kucing menderita babesiosis yang ditunjukkan dengan adanya gejala anemia mikrositik hipokromik, hepatomegali, dan kaheksia yang kronis serta terjadinya hepatic encephalopaty. Terapi yang diberikan pada kucing tersebut adalah dengan pemberian clindamycin sebanyak 37.5 mg dua kali sehari dan Viusid® sebanyak 0.5 mL dua kali sehari. Terapi dilakukan selama 5 hari, setelah terapi selesai dilakukan kondisi kucing mulai membaik ditunjukkan dengan kondisi kucing yang mulai aktif dan mukosa yang mulai berwarna rose.

Page 15: MAKALAH KASUS.docx

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah R. 2012. Buku Saku Dokter [Internet] [Diunduh 2014 November 12] [tersedia pada http://bukusakudokter.org/2012/12/08/clindamycin/].

Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. Missouri (US): Mosby.

Corwin EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta (ID): Penerbit buku kedokteran EGC.

Hadi S. 2002. Sirosis Hepatis dalam Gastroenterologi Ed ke-7. Jakarta (ID): FKUI.

Harvey JW. 2001. Atlas of Veterinary Hematology: Blood and bone marrow of domestic animals. Philadelphia (US): WB Saunders Company.

Martinie JT, Krimer P. 2002. Heinz body anemia in cats. College of veterinary medicine. The University of Georgia [Artikel] [Diunduh 2014 November 11] [tersedia pada http://www.vetmed.vt.edu/education/Curriculum/VM8304/vet%20pathology].

More AK, More LZ. 2000. Clindamycine dosage [Internet] [Diunduh 2014 November 12]. [tersedia pada http://www.drugs.com/dosage/clindamycine. html].

Nevah MI, Fallon MB. 2010. Hepatic encephalopath, Hepatorenal syndrome, hepatopulmonary syndrome, and systemic complication of liver disease. Di dalam Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ: editor. Slesenger and Fordtron’s Gastrointestinal and Liver Disease. Ed ke-9. Philadelphia (US): Saunders Elsevier.

Noskoviak K, Broome E. 2008. Babesiosis. NEJM 2008: 358.Plumb DC. 2005. Veterinary Drug Handbook. Iowa: Blackwell Publishing.Price SA, Wilson LM. 2006. Patophysiology Clinical Conceps of Disease

Processes. Ed ke-4. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC.Sajuthi D, Rahman ES, Esfandiari A, Widhiyari SD, Maylina L, Hadijuana H.

2013. Penuntun Praktikum Patologi Klinik. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Segev G, Klement E, Aroch I. 2006. Toxic neutrophil in cats: clinical and clinicopathologic features, and disease prevalence and outcome a retrospective case control study. J Vet Intern Med. 20 (1): 20-31.

Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Phatology. Ed ke-2. State Avenue (US): Blackwell Publishing.

Viusid. 2014. Viusid untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan melawan virus hepatitis, herpes, HIV AIDS, dengue, dan influenza [Internet] [Diunduh 2014 November 12] [tersedia pada http://viusid.org/].

Yatim F, Herman R. 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Jakarta (ID): Puslit Biomedis dan Farmasi Balitbang Kesehatan Depkes.