laporan kasus.docx
TRANSCRIPT
LAPORA N KASUS
IDENTITAS PASIEN :
Nama : Ny. T
RM : 592016
Tgl Lahir/Umur : 8 Desember 1982/ 30 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Abdul Dg. sirua
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Tgl Masuk RS : 18 April 2013 jam 20.45
Ruangan : Lontara 4 Obgyn kamar 1/kelas 2 bed 3
ANAMNESIS :
Anamnesis terpimpin : Pasien masuk dengan G1A0P0 gravid 39 minggu 4 hari
belum inpartu disertai kista ovarium kanan. Pasien datang dengan rujukan dari
spesialis obgyn untuk dilakukan tindakan SSTP dan kistektomi. Pasien juga
merasakan nyeri perut hingga tembus kebelakang. Nyeri dirasakan 1 minggu
belakangan ini. Sehari setelah operasi nyeri dirasakan pada bekas operasi.
Nyeri seperti diiris-iris di sepanjang luka bekas operasi, nyeri bertambah saat
bergerak, durasi nyeri 2-3 menit.
Riwayat penyakit selama kehamilan tidak ada.
Riwayat konsumsi alkohol tidak ada.
Riwayat penyakit sebelumnya tidak ada.
Riwayat penyakit kista dalam keluarga tidak jelas.
PEMERIKSAAN FISIS:
Status Generalis : Sakit sedang/gizi cukup/composmentis
VAS 5/10
1
B1 : Napas spontan, RR 20 x/menit, BP: vesikuler kanan = kiri, Rh -/-,
Wh -/-
B2 : TD :130/70 mmHg, Nadi : 97 x/menit reguler, Suhu Aksila : 36 °C
B3 : Composmentis GCS15 (E4M6V5), Pupil: isokor kiri = kanan, RC +/+
B4 : Urine perkateter (30 cc/jam), BAK cukup
B5 : Nyeri perut pada luka bekas operasi (+), peristaltik (+) kesan normal
B6 : Edema (-), fraktur (-)
Tanggal/jam
HASIL PEMERIKSAAN, ANALISA DAN TINDAK LANJUTCATATAN PERKEMBANGAN
S (Subjective) O (Objective) A (Assesment)
P (Planning)
18/4/2013Perawatan hari ke-122.15
Pre operasi visite anestesiS: Nyeri perut tembus kebelakangO: TD: 130/70 mmHg N: 112 x/menit P: 20 x/menit S: 36°CUrin (+) Pem. lab: Hb: 8,5 g/dlLeukosit: 12.2 x103/uL VAS: 3/10A: Pasien ASA PS II ERencana anestesi epiduralSiapkan whole blood 2 bag
Prosedur epidural: 1. Premedikasi: Ranitidin 50
mg, Ondansetron 4 mg2. Pasien posisi LLD,
identifikasi interspace L2-3, desinfeksi dengan betadine
3. Skin wheel dengan lidokain 2%, insersi jarum touhy 18G dengan paramedian approach, pastikan berada di ruang epidural dengan LOR, CSF (-), insersi kateter epidural 6 cm di ruang epidural, 5 cm di kulit
4. Injeksi TD: lidokain 2% 60 mg + epinefrin 1:200.000LD: lidokain 2% 200 mg + epinefrin 1:200.000
5. Maintenance: - O2 2-3 lpm- Midazolam 2 mg
sesudah bayi lahir- MD: lidokain 2% 100
mg + epinefrin
2
1:200.00019/4/2013APS hari I06.00
APSKU: Nyeri pada bekas operasiTD: 120/70HR: 84x/menitRR: 18x/menitS: 36,6°CVAS: 5/10
R/ Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam
12.00 APSKU: Nyeri pada bekas operasiTD: 120/70HR: 84x/menitRR: 18x/menitS: 36,5CVAS: 3/10
R/ Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam
18.00 APSKU: Nyeri pada bekas operasiTD: 120/80 mmHgHR: 84 x/menitRR: 20x/menitS: 36,7°CVAS: 3/10
R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam
24.00 APSKU: nyeri pada bekas operasiTD: 120/80 mmHgHR: 84 x/menitRR: 20x/menitS: 36,8°CVAS: 3/10
R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam
20/4/2013APS hari II06.00
APSKU: Nyeri pada bekas operasi mulai berkurangTD: 130/80RR: 16HR: 88x/menitS: 36,5°CVAS: 2/10
R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam
12.00 APSKU: Nyeri pada bekas operasi mulai berkurang
R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam
3
TD: 130/80RR: 16HR: 88x/menitS: 36,7°CVAS: 2/10
18.00 APSS: Nyeri hilang timbulTD:130/70RR:16HR: 84 x/menitS: 36,6°CVAS: 1/10
R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam
24.00 APSS: Nyeri hilang timbulTD:130/70RR:16HR:84 x/menitS: 36,5°CVAS: 1/10
R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam
21/4/2013APS hari III06.00
APS S : Nyeri hilang timbul TD : 130/70 RR : 15 HR : 88 x/menit S : 36,5 °CVAS : 1/10
R/ Aff cateter epidural Asam mefenamat 3 x 500 mg
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Laboratorium ( 18 / 04 /2013)
HEMATOLOGI HASILNILAI RUJUKAN UNIT
WBC 12,2 4.00 – 10.0 [103/ul]RBC 3,72 3.80 – 5.80 [106/ul]HGB 8,5 12.0 – 16.0 [g/dl]HCT 27,9 37.0 – 47.0 [%]PLT 325 150 – 400 [103/ul]MCV 75 88 – 100 um3
MCH 22,7 27.0 – 32.0 PgMCHC 30,3 32.0 – 36.0 g/dlUreum 16 10-50 mg/dl
4
Kreatinin 0,5 <1,3 mg/dlSGOT 14 <41 u/LSGPT 6 <38 u/LGDS 82 140 mg/dlAlbumin 3,5 3,5-5 g/dlCT 8'0" 4-10 menitBT 2'30" 1-7 menit
Hasil Pemeriksaan USG Abdomen ( 18 /0 4 /2013)
Kesan : Gravid + kista ovarium dextra ukuran 11,16 cm x 15,24 cm
DIAGNOSIS
Nyeri Akut Pasca SSTP
RESUME
Seorang wanita 29 tahun masuk rumah sakit dengan G1A0P0 gravid 39 minggu 4
hari belum inpartu disertai kista ovarium dextra. Pasien datang dengan rujukan
dari spesialis obgyn untuk dilakukan tindakan SSTP dan kistektomi. Sehari
setelah operasi nyeri dirasakan pada bekas operasi. Nyeri seperti diiris-iris di
sepanjang luka bekas operasi, nyeri bertambah saat bergerak, durasi nyeri 2-3
menit.
5
Pada pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan sakit sedang/ gizi cukup/
composmentis. Status vitalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri pada luka bekas operasi. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan peningkatan WBC 12,2 x 103 /mm3, dan Hb 8,5 g/dl. Pada
pemeriksaan USG Abdomen didapatkan kesan: gravid + kista ovarium dextra
ukuran11,16 cm x 15,24 cm.
DISKUSI
A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Pasien masuk rumah sakit dengan G1A0P0 gravid 39 minggu 4 hari
belum inpartu disertai kista ovarium dextra. Pasien datang dengan rujukan dari
spesialis obgyn untuk dilakukan tindakan SC dan kistektomi. Sehari setelah
operasi nyeri dirasakan pada bekas operasi. Nyeri seperti diiris-iris di
sepanjang luka bekas operasi, nyeri bertambah saat bergerak, durasi nyeri 2-3
menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri perut pada luka bekas operasi.
Menurut IASP (International Association of the Study of Pain) nyeri
didefinisikan sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience
associated with actual or potential tissue damage ordescribed in term of such
damage”. Nyeri adalah rasa indrawi dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi
rusak atau tergambarkan seperti itu. 1,2,3
Seksio sesarea merupakan salah satu jenis pembedahan obstetrik guna
melahirkan janin lewat insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus.
Kistektomi adalah pengangkatan satu atau lebih kista dari satu atau lebih
ovarium. Tindakan pembedahan menyebabkan kerusakan jaringan dan
menimbulkan nyeri pada bagian abdomen.3
Pada kasus ini rangsangan nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanik
yaitu luka (insisi) dimana insisi ini akan merangsang mediator-mediator kimia
dari nyeri yaitu bradikinin, histamin, asetilkolin, dan substansi prostaglandin
dimana zat-zat ini dapat menimbulkan sensari nyeri. Selain zat yang mampu
6
merangsang kepekaan nyeri tubuh, juga memiliki zat-zat yang menghambat
(inhibitor) nyeri yaitu endorphin dan enkefalin. Nyeri pasca operasi
merupakan nyeri akut yang memiliki awitan yang cepat dengan intensitas
ringan sampai berat dan menetap selagi luka dalam proses penyembuhan yang
ditandai dengan nyeri yang berlebihan bila daerah luka tersebut terkena
rangsangan.2,3,4
B. Klasifikasi nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan
kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit
atau insisi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang
bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung dalam waktu yang singkat.
Nyeri akut biasanya menurun sesuai dengan proses penyembuhan dan
umumnya terjadi kurang dari enam bulan.2,3,4
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan
yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak
memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.
Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas bervariasi dan biasanya berlangsung
lebih dari enam bulan.2,3,4
Berdasarkan mekanisme terjadinya, nyeri terbagi menjadi nyeri nosiseptif
dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif disebabkan adanya kerusakan jaringan
yang mengakibatkan dilepaskannya bahan kimiawi yang disebut excitatory
neurotransmitter seperti ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta asam
arakidonat (AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan asam
arakidonat (AA) memicu pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang
akan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2),
Prostaglandin G2 (PGG2), dan prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin, ion
H+ dan K+ intrasel serta mediator inflamasi lain seperti bradikin dan histamin
memegang peranan penting sebagai aktivator nosiseptor perifer. Ketiganya
juga mengawali terjadinya respon inflamasi dan sensitisasi perifer yang
menyebabkan edema dan nyeri pada tempat yang rusak.2,3,4
7
Nyeri nosiseptif dibagi menjadi nyeri viseral dan nyeri somatik. Nyeri
viseral terjadi akibat stimulasi nosiseptor yang berada di rongga abdominal
dan rongga thoraks. Nyeri somatik terbagi menjadi nyeri somatik dalam dan
nyeri kutaneus. Nyeri somatik dalam berasal dari tulang, tendon, saraf dan
pembuluh darah, sedangkan nyeri kutaneus berasal dari kulit dan jaringan
bawah kulit.2,3,4
Nyeri neuropatik berasal dari kerusakan jaringan saraf akibat penyakit
atau trauma, disebut nyeri neuropatik perifer apabila disebabkan oleh lesi saraf
tepi, dan nyeri sentral apabila disebabkan lesi pada otak, batang otak atau
medula spinalis.2,3,4
Pada kasus ini, nyeri yang terjadi merupakan nyeri akut pasca operasi
karena nyeri berlangsung setelah insisi bedah yang berlangsung singkat.
Dalam kasus ini termasuk pula nyeri viseral akibat stimulasi nosiseptor yang
berada di rongga abdominal.
C. Lintasan Nyeri
Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi.2,3,4,5
1. Transduksi
Proses transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima oleh nosiseptor perifer
terhadap trauma atau stimulasi kimia, termal, dan mekanis yang
berpotensi menimbulkan kerusakan. Mediator noksious perifer dapat
berupa bahan yang dilepaskan oleh sel-sel yang rusak selama perlukaan,
ataupun sebagai akibat reaksi humoral dan neural karena perlukaan.
Kerusakan selular pada kulit, fasia, otot, tulang dan ligamentum
menyebabkan pelepasan ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta asam
arakidonat (AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan asam
arakidonat (AA) memicu pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2),
Prostaglandin G2 (PGG2), dan prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin,
ion H+ dan K+ intrasel memegang peranan penting sebagai aktivator
8
nosiseptor perifer. Ketiganya juga mengawali terjadinya respon inflamasi
dan sensitisasi perifer yang menyebabkan edema dan nyeri pada tempat
yang rusak. Selain prostaglandin, leukotrien, 5-hydroxytriptamine (5-HT),
bradikinin (BK), dan histamin juga dilepaskan oleh jaringan yang
mengalami kerusakan dan banyak berpengaruh dalam terjadinya sensitisasi
noksious primer dan sekunder.2,3,4,5
Pada daerah lokal dengan dilepaskannya substansi tersebut akan terjadi
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema neurogenik,
peningkatan iritabilitas nosiseptor, dan aktivasi ujung nosiseptor yang
berdekatan. Semua ini akan menghasilkan suatu keadaan sensitisasi
perifer yang disebut hiperalgesia. 2,3,4,5
2. Transmisi
Transmisi mengacu pada transfer impuls noksious dari nosiseptor
primer menuju sel dalam kornu dorsalis medula spinalis. Serabut Aδ dan
serabut C merupakan akson neuron unipolar dengan proyeksi ke distal
yang dikenal sebagai ujung nosiseptif. Ujung proksimal serabut saraf ini
masuk ke dalam kornu dorsalis medula spinalis dan bersinap dengan sel
second-order neuron yang terletak dalam lamina II (substansi gelatinosa)
dan dalam lamina V (nukleus proprius).2,3,4,5
Perubahan pada kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan jaringan serta
proses inflamasi ini disebut sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini akan
menyebabkan neuron-neuron di dalam medulla menjadi lebih sensitif
terhadap rangsang lain dan menimbulkan gejala-gejala hiperalgesia dan
alodinia. Susunan saraf pusat tidak bersifat kaku, tetapi bersifat seperti
plastik (plastisitas) yang dapat berubah sifatnya sesuai jenis dan intensitas
input kerusakan jaringan atau inflamasi. Stimulus dengan frekuensi rendah
menghasilkan reaksi berupa transmisi sensoris tidak nyeri, tetapi stimulus
dengan frekuensi yang lebih tinggi akan menghasilkan transmisi sensoris
nyeri. Impuls noksious dari nosiseptor perifer akan diteruskan sampai ke
neuron presinaptik. Di neuron presinaptik impuls ini akan mengakibatkan
9
Ca+ akan masuk ke dalam sel melalui Ca+ channel. Masuknya Ca+ ke
dalam sel ini menyebabkan dari ujung neuron presinaptik dilepaskan
beberapa neurotransmiter seperti glutamat dan substansi P (neurokinin).
Dari ujung presinaptik serabut saraf A-delta dilepaskan neurotransmitter
golongan asam amino seperti glutamat dan aspartat, sedangkan dari ujung
presinaptik serabut saraf C dilepaskan selain neurotransmitter golongan
asam amino, juga neurotransmitter golongan peptida seperti substansi-P
(neurokinin), calcitonin gene related protein (CGRP), dan cholecystokinin
(CCK). Selama pembedahan stimulus noksious dihantarkan melalui kedua
serabut saraf tersebut. Sedangkan pada periode pasca bedah dan pada
proses inflamasi stimulus noksious didominasi penghantarannya melalui
serabut saraf C. 2,3,4,5
3. Modulasi
Proses modulasi merupakan proses interaksi antara mediator yang
menyebabkan eksitasi dan efek inhibisi dari analgesik endogen.
Mekanisme hambatan terhadap nyeri terjadi di dalam kornu dorsalis
medulla spinalis dan di tingkat lebih tinggi di brain stem dan mid brain. Di
medulla spinalis mekanisme inhibisi terhadap transmisi nyeri terjadi pada
sinaps pertama antara aferen noksious primer dan sel-sel dari second order,
dengan demikian mengurangi penghantaran spinotalamus dari impuls
noksious. Modulasi spinal dimediasi oleh kerja inhibisi dari senyawa
endogen yang mempunyai efek analgetik, yang dilepaskan dari
interneuron spinal dan dari ujung terminal akson yang mempunyai sifat
inhibisi yang turun (desendens) dari central gray locus ceruleus dan dari
supraspinal yang lain.2,3,4,5
Analgesik endogen itu adalah enkephalin (ENK), norepinefrin (NE),
dan gamma amino butyric acid (GABA). Analgesik endogen ini akan
mengaktifkan reseptor opioid, alpha adrenergik, dan reseptor lain yang
bekerja melakukan inhibisi pelepasan glutamat dari aferen nosiseptif
primer atau mengurangi reaksi post sinaptik dari second order neuron NS
10
atau WDR. Opioid endogen seperti enkefalin dan endorfin akan
melakukan modulasi transmisi nyeri. Selain itu, sebagian sitokin seperti
interleukin-1β yang terbentuk di perifer, bersama aliran darah akan sampai
ke sistem saraf pusat, dan juga akan menginduksi COX-2 di dalam neuron
otak sehingga terbentuk juga prostaglandin E-2 yang juga mengakibatkan
perasaan nyeri. Namun di dalam sistem saraf pusat sitokin interleukin-1β
memberikan efek yang berbeda, tergantung besarnya jumlah sitokin
tersebut. Sitokin dalam jumlah yang sedikit justru akan merangsang efek
hiperalgesia, tetapi dalam jumlah yang besar akan memberikan efek
analgesia. Selain itu, sitokin dalam jumlah yang besar akan berpotensiasi
dengan pengeluaran endorphin dalam darah, yang akan memberikan efek
analgesia.2,3,4,5
4. Persepsi
Presepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai
korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan
dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. 2,3,4,5
Serabut ascending akan menyilang sebelum berjalan ke arah kranial
pada traktus spinotalamikus. Umumnya saraf pada traktus spinotalamikus
berjalan melewati pons, medulla dan otak tengah ke daerah spesifik di
talamus. Dari talamus, informasi aferen selanjutnya dibawa ke korteks
somatosensorik. Traktus spinotalamikus juga mengirimkan cabang
kolateral menuju formasio retikularis. Impuls yang ditransmisikan melalui
traktus ini berperan terhadap perbedaan nyeri dan respon emosi yang
ditimbulkan. Formasio retikularis mungkin berperan terhadap peningkatan
aspek emosional dari nyeri seperti reflex somatik dan otonomik.2,3,4,5
Mekanisme nyeri akut pada kasus ini yaitu nyeri berawal dari kerusakan
struktur integumen suatu organ. Substansi penyebab nyeri (algogen) dibentuk dan
dilepas di sekitarnya merangsang ujung-ujung syaraf (nosiseptor) yang disebut
proses transduksi. Sinyal yang ditimbulkan dihantarkan melalui sepanjang serabut
11
nosiseptor ke kornu dorsalis medula spinalis atau nukleus sensorik saraf kranialis
yang disebut proses transmisi. Disini proses modulasi (penguatan atau penekanan)
dapat terjadi sebelum sinyal diteruskan ke daerah tertentu di korteks serebri yang
merupakan tempat pengolahan impuls nyeri, sehingga timbul berbagai respon
terhadap sinyal nyeri tersebut (proses persepsi).
Secara alamiah nyeri akut biasanya dapat pulih spontan. Intensitas nyeri paling
tinggi adalah pada saat awal timbulnya. Dengan terjadinya penyembuhan dan
stabilisasi bagian yang luka, jumlah algogen yang dilepaskan berkurang,
sementara sistem modulasi masih terus aktif sehingga nyeri secara bertahap akan
berkurang.
Gambar 1. Lintasan nyeri: transduksi, konduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
Dimodifikasi dari: Gottschalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63:1981, and
Kehlet H etal. Anesth Analg. 1993;77:1049.
D. Pengukuran Intensitas Nyeri
Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini
dibagi atas skala kategorik (tidak sakit, sakit ringan, sakit sedang, dan sakit
berat). Ataupun penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal
atau vertikal yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada
nyeri. dan “10” menandakan nyeri yang hebat. 2,3,4,5
12
1. Visual Analogue Scale
Cara yang paling sering digunakan untuk menilai intensitas nyeri yaitu
dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Skala berupa suatu
garis lurus yang panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan
penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0
(tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri
ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.
Gambar 2. Visual Analogue Scale
Pada kasus ini, intensitas nyeri pasien adalah VAS = 5/10 yang tergolong
nyeri sedang. Cara lain yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri
pasien antara lain :
2. Verbal Rating Scale
Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan
tingkat nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yan
dirasakannya. Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari
apa yang dirasakan pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :
0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya
1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya
2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya
3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan,
wajah merintih atau menangis
Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan
tingkat kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan
kognitif, skala nyeri verbal ini sulit digunakan.
13
Gambar 3. Verbal Rating Scale
3. Wong Baker Faces Pain Scale
Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau
keterbatasan verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik
wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang
dirasakannya.
Gambar 4. Wong Baker Faces Pain Scale
4. Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama kali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan
menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak
ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.
Gambar 5. Numerical Rating Scale
E. Penatalaksanaan nyeri pasca seksio sesarea
Penanganan nyeri pasca bedah sesar merupakan komponen penting pada
perawatan obstetrik. Keberadaan luka bedah abdomen dapat mengganggu
hubungan antara ibu dan anak. Ibu terkadang sulit merawat dan menyusui karena
nyeri pasca bedahnya. Sang ibu juga lebih cenderung lemah dan tertekan akibat
14
kurang tidur. Kombinasi analgesia opioid dan anastesi lokal melalui epidural
memiliki efek superior dibanding jalur sistemik, kenyamanan pasien lebih tinggi,
fungsi usus normal segera kembali, dan proses menyusui kurang terganggu. Pada
pasien ini nyeri post operasi ditangani dengan diberikan Bupivacain 0,125% +
Fentanyl 25 mcg diberikan 6cc/ 6 jam.5,6,7,8
Epidural anelgesia
Epidural anelgesia merupakan teknik tersering untuk analgesia pada parturien.
Dengan teknik standar, ahli anestesi melakukan insersi kateter ke dalam ruang
epidural. Pada kasus dimana kelahiran pervaginam tidak dapat dilakukan dan
pasien harus menjalani bedah sesar, larutan anestetik lokal yang lebih pekat dapat
diinjeksi melalui kateter epidural lumbal untuk menghasilkan blokade yang lebih
luas dan anestesi untuk pembedahan. 5,6,7,8,9
Efek analgesia epidural
a. Blokade sensoris memberikan analgesia kualitas tinggi. Teknik ini
mengurangi risiko sedasi, depresi napas, dan mual terkait opioid sistemik.
b. Blokade simpatis menyebabkan vasodilatasi. Akibatnya terjadi hipotensi jika
blokade meluas sampai ke outflow simpatis (T1-L2).
c. Blokade motorik dapat membuat pasien merasa lemah.
Manfaat analgesia epidural
a. Analgesia yang sangat baik dapat tercapai tanpa penggunaan opioid sistemik.
Pasien juga merasa nyaman. Sangat berguna pada pembedahan yang
melibatkan dada, punggung, abdomen, dan kaki.
b. Kombinasi opioid dengan anestetik lokal bekerja secara sinergis untuk
menghasilkan analgesia yang lebih baik dengan efek samping yang minimal.
c. Mobilisasi menjadi lebih cepat.
15
Indikasi anestesia epidural
a. Pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah.
b. Tatalaksana nyeri saat persalinan.
Kombinasi Opioid dan Anestetik Lokal
Anestetik lokal konsentrasi rendah yang diberikan dengan infus kontinyu
melalui kateter epidural akan menghasilkan analgesia yang efektif, namun kadang
disertai dengan efek samping hipotensi, blok motorik dan sensorik, nausea (mual)
dan retensi urin. Kombinasi anestetik lokal dengan opioid akan menghasilkan efek
sinergis sehingga hanya diperlukan dosis sangat rendah dari masing-masing obat.
Bupivacaine sangat cocok digunakan untuk metode ini karena pemberian
konsentrasi rendah menyebabkan blok motorik minimal. Kombinasi bupivacaine
0,1% dan morphine 0,01% diberikan dengan infus kontinyu 3–4 ml/jam melalui
kateter epidural. Kombinasi fentanyl 2–4 mcg/ml dan bupivacaine 0,0625%
diberikan dengan infus kontinu 5-20 ml/jam menghasilkan analgesia yang baik
pada pasien yang diketahui memiliki toleransi terhadap opioid dan pada pasien
yang nyerinya tidak dapat dikontrol dengan pemberian opioid epidural saja.
Kombinasi anestetik lokal konsentrasi rendah dan opioid juga mulai banyak
dipakai untuk pasien obstetrik pada saat persalinan.5,6,7,8,9
PCA
Patient-controlled analgesia (PCA) memungkinkan pasien melakukan sendiri
pemberian opioid dalam dosis kecil menggunakan alat yang diprogram untuk
membatasi dosis maksimal. PCA diciptakan untuk meminimalkan pengaruh
perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik antarpasien. Bila pasien menekan
tombol pemicu, pompa yang diatur oleh suatu mikroprosesor akan memberikan
dosis yang diprogram. Suatu timer pada pompa akan membatasi pemberian dosis
berikutnya sebelum suatu tenggang waktu (lockout interval) terlewati. Dengan
demikian pasien melakukan sendiri titrasi dosis yang dibutuhkannya dalam batas-
batas aman yang sudah ditentukan sebelumnya. Pemberian opioid menggunakan
16
PCA juga dapat melalui subkutan atau epidural. PCA melalui epidural
memberikan kontrol nyeri yang baik setelah bedah mayor.5,6,7,8,9
KESIMPULAN
1. Nyeri pasca operasi yang dirasakan pasien merupakan nyeri akut dimana
rangasangan nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanik yaitu luka (insisi)
akut yang akan menurun seiring proses penyembuhan dengan VAS: 5/10
setelah operasi dan semakin menurun setelah beberapa hari menjadi 1/10
2. Pemilihan teknik anestesi epidural berguna untuk manajemen nyeri pasca
operasi serta mobilisasi yang lebih cepat sehingga tidak menghalangi aktifitas
sang ibu.
3. Pemilihan obat kombinasi analgesia opioid dan anastesi lokal melalui epidural
sebagai multimodal terapi dengan memberikan dosis kecil akan menghasilkan
efek yang sinergis serta efek samping minimal sehingga kenyamanan pasien
lebih tinggi, fungsi usus normal segera kembali, dan proses menyusui kurang
terganggu.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Marsaban A.H.M, Ma’as Endang melati dan Bagianto Hari. 2009. Mekanisme
dan fisiologi nyeri. Panduan tatalaksana nyeri operatif. PP IDSAI; FKUI
Jakarta. Hal 1-9
2. Nalini Vadivelu, Christian J. Whitney, andRaymond S. Sinatra. 2009. Pain
Pathways and Acute Pain Processing in Acute pain management. Cambridge
University Press. Page 3-13
3. Dewi Elizadiani Suza. 2007.Pain Experiences and Pain Management in
Postoperative Patients. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No 1.
Pediatric Department of Nursing Program Medical School University of
Sumatera Utara. Page 1-7
4. Anonim. Manajemen nyeri pasca operasi. [Serial Online]. 2009 May 01 [cited
at 2013 March]. [18 screens]. Available from: URL
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19062/1/mkn-may2009
40%20(5).pdf
5. Tantri Aida. 2009. Penilaian dan pengukuran nyeri akut. Panduan tatalaksana
nyeri operatif. PP IDSAI; FKUI Jakarta. Hal 25-31
6. Chandra Susilo dan Mahdi Alfan. 2009. Penatalaksanaan nyeri pasca seksio
sesarea. Panduan tatalaksana nyeri operatif. PP IDSAI; FKUI Jakarta. Hal
114-16
7. Jane C, Ballantyne, MD, FRCA. 2008. Management of acute postoperative
pain. Chapter 74 in Anesthesiology. The Mc Graw-Hill Companies. Page
1716-32
8. T. Schreyer & O. H. G. Wilder-Smith. 2005. Post-operative pain management
in day case surgery. Core topics in pain. Cambridge University Press. Page
121-25
9. Satoto Darto. 2009. Jalur pemberian intervensi analgesia. Panduan tatalaksana
nyeri operatif. PP IDSAI; FKUI Jakarta. Hal 75-77
18