laporan kasus.docx

28
LAPORA N KASUS IDENTITAS PASIEN : Nama : Ny. T RM : 592016 Tgl Lahir/Umur : 8 Desember 1982/ 30 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Jl. Abdul Dg. sirua Pekerjaan : Ibu rumah tangga Agama : Islam Status perkawinan : Kawin Tgl Masuk RS : 18 April 2013 jam 20.45 Ruangan : Lontara 4 Obgyn kamar 1/kelas 2 bed 3 ANAMNESIS : Anamnesis terpimpin : Pasien masuk dengan G1A0P0 gravid 39 minggu 4 hari belum inpartu disertai kista ovarium kanan. Pasien datang dengan rujukan dari spesialis obgyn untuk dilakukan tindakan SSTP dan kistektomi. Pasien juga merasakan nyeri perut hingga tembus kebelakang. Nyeri dirasakan 1 minggu belakangan ini. Sehari setelah operasi nyeri dirasakan pada bekas operasi. Nyeri seperti diiris- iris di sepanjang luka bekas operasi, nyeri bertambah saat bergerak, durasi nyeri 2-3 menit. 1

Upload: yusuf-haz-condeng

Post on 11-Dec-2014

34 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS.docx

LAPORA N KASUS

IDENTITAS PASIEN :

Nama : Ny. T

RM : 592016

Tgl Lahir/Umur : 8 Desember 1982/ 30 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Abdul Dg. sirua

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Status perkawinan : Kawin

Tgl Masuk RS : 18 April 2013 jam 20.45

Ruangan : Lontara 4 Obgyn kamar 1/kelas 2 bed 3

ANAMNESIS :

Anamnesis terpimpin : Pasien masuk dengan G1A0P0 gravid 39 minggu 4 hari

belum inpartu disertai kista ovarium kanan. Pasien datang dengan rujukan dari

spesialis obgyn untuk dilakukan tindakan SSTP dan kistektomi. Pasien juga

merasakan nyeri perut hingga tembus kebelakang. Nyeri dirasakan 1 minggu

belakangan ini. Sehari setelah operasi nyeri dirasakan pada bekas operasi.

Nyeri seperti diiris-iris di sepanjang luka bekas operasi, nyeri bertambah saat

bergerak, durasi nyeri 2-3 menit.

Riwayat penyakit selama kehamilan tidak ada.

Riwayat konsumsi alkohol tidak ada.

Riwayat penyakit sebelumnya tidak ada.

Riwayat penyakit kista dalam keluarga tidak jelas. 

PEMERIKSAAN FISIS:

Status Generalis : Sakit sedang/gizi cukup/composmentis

VAS 5/10

1

Page 2: LAPORAN KASUS.docx

B1 : Napas spontan, RR 20 x/menit, BP: vesikuler kanan = kiri, Rh -/-,

Wh -/-

B2 : TD :130/70 mmHg, Nadi : 97 x/menit reguler, Suhu Aksila : 36 °C

B3 : Composmentis GCS15 (E4M6V5), Pupil: isokor kiri = kanan, RC +/+

B4 : Urine perkateter (30 cc/jam), BAK cukup

B5 : Nyeri perut pada luka bekas operasi (+), peristaltik (+) kesan normal

B6 : Edema (-), fraktur (-)

Tanggal/jam

HASIL PEMERIKSAAN, ANALISA DAN TINDAK LANJUTCATATAN PERKEMBANGAN

S (Subjective) O (Objective) A (Assesment)

P (Planning)

18/4/2013Perawatan hari ke-122.15

Pre operasi visite anestesiS: Nyeri perut tembus kebelakangO: TD: 130/70 mmHg N: 112 x/menit P: 20 x/menit S: 36°CUrin (+) Pem. lab: Hb: 8,5 g/dlLeukosit: 12.2 x103/uL VAS: 3/10A: Pasien ASA PS II ERencana anestesi epiduralSiapkan whole blood 2 bag

Prosedur epidural: 1. Premedikasi: Ranitidin 50

mg, Ondansetron 4 mg2. Pasien posisi LLD,

identifikasi interspace L2-3, desinfeksi dengan betadine

3. Skin wheel dengan lidokain 2%, insersi jarum touhy 18G dengan paramedian approach, pastikan berada di ruang epidural dengan LOR, CSF (-), insersi kateter epidural 6 cm di ruang epidural, 5 cm di kulit

4. Injeksi TD: lidokain 2% 60 mg + epinefrin 1:200.000LD: lidokain 2% 200 mg + epinefrin 1:200.000

5. Maintenance: - O2 2-3 lpm- Midazolam 2 mg

sesudah bayi lahir- MD: lidokain 2% 100

mg + epinefrin

2

Page 3: LAPORAN KASUS.docx

1:200.00019/4/2013APS hari I06.00

APSKU: Nyeri pada bekas operasiTD: 120/70HR: 84x/menitRR: 18x/menitS: 36,6°CVAS: 5/10

R/ Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam

12.00 APSKU: Nyeri pada bekas operasiTD: 120/70HR: 84x/menitRR: 18x/menitS: 36,5CVAS: 3/10

R/ Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam

18.00 APSKU: Nyeri pada bekas operasiTD: 120/80 mmHgHR: 84 x/menitRR: 20x/menitS: 36,7°CVAS: 3/10

R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam

24.00 APSKU: nyeri pada bekas operasiTD: 120/80 mmHgHR: 84 x/menitRR: 20x/menitS: 36,8°CVAS: 3/10

R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam

20/4/2013APS hari II06.00

APSKU: Nyeri pada bekas operasi mulai berkurangTD: 130/80RR: 16HR: 88x/menitS: 36,5°CVAS: 2/10

R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam

12.00 APSKU: Nyeri pada bekas operasi mulai berkurang

R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam

3

Page 4: LAPORAN KASUS.docx

TD: 130/80RR: 16HR: 88x/menitS: 36,7°CVAS: 2/10

18.00 APSS: Nyeri hilang timbulTD:130/70RR:16HR: 84 x/menitS: 36,6°CVAS: 1/10

R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam

24.00 APSS: Nyeri hilang timbulTD:130/70RR:16HR:84 x/menitS: 36,5°CVAS: 1/10

R/Bupivacain 0,125% + Fentanyl 25 mcg → 6cc/6jam

21/4/2013APS hari III06.00

APS S : Nyeri hilang timbul TD : 130/70 RR : 15 HR : 88 x/menit S : 36,5 °CVAS : 1/10

R/ Aff cateter epidural Asam mefenamat 3 x 500 mg

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Pemeriksaan Laboratorium ( 18 / 04 /2013)

HEMATOLOGI HASILNILAI RUJUKAN UNIT

WBC 12,2 4.00 – 10.0 [103/ul]RBC 3,72 3.80 – 5.80 [106/ul]HGB 8,5 12.0 – 16.0 [g/dl]HCT 27,9 37.0 – 47.0 [%]PLT 325 150 – 400 [103/ul]MCV 75 88 – 100 um3

MCH 22,7 27.0 – 32.0 PgMCHC 30,3 32.0 – 36.0 g/dlUreum 16 10-50 mg/dl

4

Page 5: LAPORAN KASUS.docx

Kreatinin 0,5 <1,3 mg/dlSGOT 14 <41 u/LSGPT 6 <38 u/LGDS 82 140 mg/dlAlbumin 3,5 3,5-5 g/dlCT 8'0" 4-10 menitBT 2'30" 1-7 menit

Hasil Pemeriksaan USG Abdomen ( 18 /0 4 /2013)

Kesan : Gravid + kista ovarium dextra ukuran 11,16 cm x 15,24 cm

DIAGNOSIS

Nyeri Akut Pasca SSTP

RESUME

Seorang wanita 29 tahun masuk rumah sakit dengan G1A0P0 gravid 39 minggu 4

hari belum inpartu disertai kista ovarium dextra. Pasien datang dengan rujukan

dari spesialis obgyn untuk dilakukan tindakan SSTP dan kistektomi. Sehari

setelah operasi nyeri dirasakan pada bekas operasi. Nyeri seperti diiris-iris di

sepanjang luka bekas operasi, nyeri bertambah saat bergerak, durasi nyeri 2-3

menit.

5

Page 6: LAPORAN KASUS.docx

Pada pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan sakit sedang/ gizi cukup/

composmentis. Status vitalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan nyeri pada luka bekas operasi. Pada pemeriksaan laboratorium

didapatkan peningkatan WBC 12,2 x 103 /mm3, dan Hb 8,5 g/dl. Pada

pemeriksaan USG Abdomen didapatkan kesan: gravid + kista ovarium dextra

ukuran11,16 cm x 15,24 cm.

DISKUSI

A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis

Pasien masuk rumah sakit dengan G1A0P0 gravid 39 minggu 4 hari

belum inpartu disertai kista ovarium dextra. Pasien datang dengan rujukan dari

spesialis obgyn untuk dilakukan tindakan SC dan kistektomi. Sehari setelah

operasi nyeri dirasakan pada bekas operasi. Nyeri seperti diiris-iris di

sepanjang luka bekas operasi, nyeri bertambah saat bergerak, durasi nyeri 2-3

menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri perut pada luka bekas operasi.

Menurut IASP (International Association of the Study of Pain) nyeri

didefinisikan sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience

associated with actual or potential tissue damage ordescribed in term of such

damage”. Nyeri adalah rasa indrawi dan pengalaman emosional yang tidak

menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi

rusak atau tergambarkan seperti itu. 1,2,3

Seksio sesarea merupakan salah satu jenis pembedahan obstetrik guna

melahirkan janin lewat insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus.

Kistektomi adalah pengangkatan satu atau lebih kista dari satu atau lebih

ovarium. Tindakan pembedahan menyebabkan kerusakan jaringan dan

menimbulkan nyeri pada bagian abdomen.3

Pada kasus ini rangsangan nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanik

yaitu luka (insisi) dimana insisi ini akan merangsang mediator-mediator kimia

dari nyeri yaitu bradikinin, histamin, asetilkolin, dan substansi prostaglandin

dimana zat-zat ini dapat menimbulkan sensari nyeri. Selain zat yang mampu

6

Page 7: LAPORAN KASUS.docx

merangsang kepekaan nyeri tubuh, juga memiliki zat-zat yang menghambat

(inhibitor) nyeri yaitu endorphin dan enkefalin. Nyeri pasca operasi

merupakan nyeri akut yang memiliki awitan yang cepat dengan intensitas

ringan sampai berat dan menetap selagi luka dalam proses penyembuhan yang

ditandai dengan nyeri yang berlebihan bila daerah luka tersebut terkena

rangsangan.2,3,4

B. Klasifikasi nyeri

Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan

kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit

atau insisi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang

bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung dalam waktu yang singkat.

Nyeri akut biasanya menurun sesuai dengan proses penyembuhan dan

umumnya terjadi kurang dari enam bulan.2,3,4

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan

yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak

memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.

Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas bervariasi dan biasanya berlangsung

lebih dari enam bulan.2,3,4

Berdasarkan mekanisme terjadinya, nyeri terbagi menjadi nyeri nosiseptif

dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif disebabkan adanya kerusakan jaringan

yang mengakibatkan dilepaskannya bahan kimiawi yang disebut excitatory

neurotransmitter seperti ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta asam

arakidonat (AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan asam

arakidonat (AA) memicu pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang

akan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2),

Prostaglandin G2 (PGG2), dan prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin, ion

H+ dan K+ intrasel serta mediator inflamasi lain seperti bradikin dan histamin

memegang peranan penting sebagai aktivator nosiseptor perifer. Ketiganya

juga mengawali terjadinya respon inflamasi dan sensitisasi perifer yang

menyebabkan edema dan nyeri pada tempat yang rusak.2,3,4

7

Page 8: LAPORAN KASUS.docx

Nyeri nosiseptif dibagi menjadi nyeri viseral dan nyeri somatik. Nyeri

viseral terjadi akibat stimulasi nosiseptor yang berada di rongga abdominal

dan rongga thoraks. Nyeri somatik terbagi menjadi nyeri somatik dalam dan

nyeri kutaneus. Nyeri somatik dalam berasal dari tulang, tendon, saraf dan

pembuluh darah, sedangkan nyeri kutaneus berasal dari kulit dan jaringan

bawah kulit.2,3,4

Nyeri neuropatik berasal dari kerusakan jaringan saraf akibat penyakit

atau trauma, disebut nyeri neuropatik perifer apabila disebabkan oleh lesi saraf

tepi, dan nyeri sentral apabila disebabkan lesi pada otak, batang otak atau

medula spinalis.2,3,4

Pada kasus ini, nyeri yang terjadi merupakan nyeri akut pasca operasi

karena nyeri berlangsung setelah insisi bedah yang berlangsung singkat.

Dalam kasus ini termasuk pula nyeri viseral akibat stimulasi nosiseptor yang

berada di rongga abdominal.

C. Lintasan Nyeri

Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi,

transmisi, modulasi, dan persepsi.2,3,4,5

1. Transduksi

Proses transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri

menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima oleh nosiseptor perifer

terhadap trauma atau stimulasi kimia, termal, dan mekanis yang

berpotensi menimbulkan kerusakan. Mediator noksious perifer dapat

berupa bahan yang dilepaskan oleh sel-sel yang rusak selama perlukaan,

ataupun sebagai akibat reaksi humoral dan neural karena perlukaan.

Kerusakan selular pada kulit, fasia, otot, tulang dan ligamentum

menyebabkan pelepasan ion hidrogen (H+) dan kalium (K+) serta asam

arakidonat (AA) sebagai akibat lisisnya membran sel. Penumpukan asam

arakidonat (AA) memicu pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)

yang akan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2),

Prostaglandin G2 (PGG2), dan prostaglandin H2 (PGH2). Prostaglandin,

ion H+ dan K+ intrasel memegang peranan penting sebagai aktivator

8

Page 9: LAPORAN KASUS.docx

nosiseptor perifer. Ketiganya juga mengawali terjadinya respon inflamasi

dan sensitisasi perifer yang menyebabkan edema dan nyeri pada tempat

yang rusak. Selain prostaglandin, leukotrien, 5-hydroxytriptamine (5-HT),

bradikinin (BK), dan histamin juga dilepaskan oleh jaringan yang

mengalami kerusakan dan banyak berpengaruh dalam terjadinya sensitisasi

noksious primer dan sekunder.2,3,4,5

Pada daerah lokal dengan dilepaskannya substansi tersebut akan terjadi

peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema neurogenik,

peningkatan iritabilitas nosiseptor, dan aktivasi ujung nosiseptor yang

berdekatan. Semua ini akan menghasilkan suatu keadaan sensitisasi

perifer yang disebut hiperalgesia. 2,3,4,5

2. Transmisi

Transmisi mengacu pada transfer impuls noksious dari nosiseptor

primer menuju sel dalam kornu dorsalis medula spinalis. Serabut Aδ dan

serabut C merupakan akson neuron unipolar dengan proyeksi ke distal

yang dikenal sebagai ujung nosiseptif. Ujung proksimal serabut saraf ini

masuk ke dalam kornu dorsalis medula spinalis dan bersinap dengan sel

second-order neuron yang terletak dalam lamina II (substansi gelatinosa)

dan dalam lamina V (nukleus proprius).2,3,4,5

Perubahan pada kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan jaringan serta

proses inflamasi ini disebut sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini akan

menyebabkan neuron-neuron di dalam medulla menjadi lebih sensitif

terhadap rangsang lain dan menimbulkan gejala-gejala hiperalgesia dan

alodinia. Susunan saraf pusat tidak bersifat kaku, tetapi bersifat seperti

plastik (plastisitas) yang dapat berubah sifatnya sesuai jenis dan intensitas

input kerusakan jaringan atau inflamasi. Stimulus dengan frekuensi rendah

menghasilkan reaksi berupa transmisi sensoris tidak nyeri, tetapi stimulus

dengan frekuensi yang lebih tinggi akan menghasilkan transmisi sensoris

nyeri. Impuls noksious dari nosiseptor perifer akan diteruskan sampai ke

neuron presinaptik. Di neuron presinaptik impuls ini akan mengakibatkan

9

Page 10: LAPORAN KASUS.docx

Ca+ akan masuk ke dalam sel melalui Ca+ channel. Masuknya Ca+ ke

dalam sel ini menyebabkan dari ujung neuron presinaptik dilepaskan

beberapa neurotransmiter seperti glutamat dan substansi P (neurokinin).

Dari ujung presinaptik serabut saraf A-delta dilepaskan neurotransmitter

golongan asam amino seperti glutamat dan aspartat, sedangkan dari ujung

presinaptik serabut saraf C dilepaskan selain neurotransmitter golongan

asam amino, juga neurotransmitter golongan peptida seperti substansi-P

(neurokinin), calcitonin gene related protein (CGRP), dan cholecystokinin

(CCK). Selama pembedahan stimulus noksious dihantarkan melalui kedua

serabut saraf tersebut. Sedangkan pada periode pasca bedah dan pada

proses inflamasi stimulus noksious didominasi penghantarannya melalui

serabut saraf C. 2,3,4,5

3. Modulasi

Proses modulasi merupakan proses interaksi antara mediator yang

menyebabkan eksitasi dan efek inhibisi dari analgesik endogen.

Mekanisme hambatan terhadap nyeri terjadi di dalam kornu dorsalis

medulla spinalis dan di tingkat lebih tinggi di brain stem dan mid brain. Di

medulla spinalis mekanisme inhibisi terhadap transmisi nyeri terjadi pada

sinaps pertama antara aferen noksious primer dan sel-sel dari second order,

dengan demikian mengurangi penghantaran spinotalamus dari impuls

noksious. Modulasi spinal dimediasi oleh kerja inhibisi dari senyawa

endogen yang mempunyai efek analgetik, yang dilepaskan dari

interneuron spinal dan dari ujung terminal akson yang mempunyai sifat

inhibisi yang turun (desendens) dari central gray locus ceruleus dan dari

supraspinal yang lain.2,3,4,5

Analgesik endogen itu adalah enkephalin (ENK), norepinefrin (NE),

dan gamma amino butyric acid (GABA). Analgesik endogen ini akan

mengaktifkan reseptor opioid, alpha adrenergik, dan reseptor lain yang

bekerja melakukan inhibisi pelepasan glutamat dari aferen nosiseptif

primer atau mengurangi reaksi post sinaptik dari second order neuron NS

10

Page 11: LAPORAN KASUS.docx

atau WDR. Opioid endogen seperti enkefalin dan endorfin akan

melakukan modulasi transmisi nyeri. Selain itu, sebagian sitokin seperti

interleukin-1β yang terbentuk di perifer, bersama aliran darah akan sampai

ke sistem saraf pusat, dan juga akan menginduksi COX-2 di dalam neuron

otak sehingga terbentuk juga prostaglandin E-2 yang juga mengakibatkan

perasaan nyeri. Namun di dalam sistem saraf pusat sitokin interleukin-1β

memberikan efek yang berbeda, tergantung besarnya jumlah sitokin

tersebut. Sitokin dalam jumlah yang sedikit justru akan merangsang efek

hiperalgesia, tetapi dalam jumlah yang besar akan memberikan efek

analgesia. Selain itu, sitokin dalam jumlah yang besar akan berpotensiasi

dengan pengeluaran endorphin dalam darah, yang akan memberikan efek

analgesia.2,3,4,5

4. Persepsi

Presepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai

korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan

dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. 2,3,4,5

Serabut ascending akan menyilang sebelum berjalan ke arah kranial

pada traktus spinotalamikus. Umumnya saraf pada traktus spinotalamikus

berjalan melewati pons, medulla dan otak tengah ke daerah spesifik di

talamus. Dari talamus, informasi aferen selanjutnya dibawa ke korteks

somatosensorik. Traktus spinotalamikus juga mengirimkan cabang

kolateral menuju formasio retikularis. Impuls yang ditransmisikan melalui

traktus ini berperan terhadap perbedaan nyeri dan respon emosi yang

ditimbulkan. Formasio retikularis mungkin berperan terhadap peningkatan

aspek emosional dari nyeri seperti reflex somatik dan otonomik.2,3,4,5

Mekanisme nyeri akut pada kasus ini yaitu nyeri berawal dari kerusakan

struktur integumen suatu organ. Substansi penyebab nyeri (algogen) dibentuk dan

dilepas di sekitarnya merangsang ujung-ujung syaraf (nosiseptor) yang disebut

proses transduksi. Sinyal yang ditimbulkan dihantarkan melalui sepanjang serabut

11

Page 12: LAPORAN KASUS.docx

nosiseptor ke kornu dorsalis medula spinalis atau nukleus sensorik saraf kranialis

yang disebut proses transmisi. Disini proses modulasi (penguatan atau penekanan)

dapat terjadi sebelum sinyal diteruskan ke daerah tertentu di korteks serebri yang

merupakan tempat pengolahan impuls nyeri, sehingga timbul berbagai respon

terhadap sinyal nyeri tersebut (proses persepsi).

Secara alamiah nyeri akut biasanya dapat pulih spontan. Intensitas nyeri paling

tinggi adalah pada saat awal timbulnya. Dengan terjadinya penyembuhan dan

stabilisasi bagian yang luka, jumlah algogen yang dilepaskan berkurang,

sementara sistem modulasi masih terus aktif sehingga nyeri secara bertahap akan

berkurang.

Gambar 1. Lintasan nyeri: transduksi, konduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.

Dimodifikasi dari: Gottschalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63:1981, and

Kehlet H etal. Anesth Analg. 1993;77:1049.

D. Pengukuran Intensitas Nyeri

Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini

dibagi atas skala kategorik (tidak sakit, sakit ringan, sakit sedang, dan sakit

berat). Ataupun penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal

atau vertikal yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada

nyeri. dan “10” menandakan nyeri yang hebat. 2,3,4,5

12

Page 13: LAPORAN KASUS.docx

1. Visual Analogue Scale

Cara yang paling sering digunakan untuk menilai intensitas nyeri yaitu

dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Skala berupa suatu

garis lurus yang panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan

penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0

(tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri

ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.

Gambar 2. Visual Analogue Scale

Pada kasus ini, intensitas nyeri pasien adalah VAS = 5/10 yang tergolong

nyeri sedang. Cara lain yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri

pasien antara lain :

2. Verbal Rating Scale

Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan

tingkat nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yan

dirasakannya. Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari

apa yang dirasakan pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :

0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya

1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya

2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya

3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan,

wajah merintih atau menangis

Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan

tingkat kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan

kognitif, skala nyeri verbal ini sulit digunakan.

13

Page 14: LAPORAN KASUS.docx

Gambar 3. Verbal Rating Scale

3. Wong Baker Faces Pain Scale

Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau

keterbatasan verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik

wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang

dirasakannya.

Gambar 4. Wong Baker Faces Pain Scale

4. Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama kali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana

pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan

menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak

ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 5. Numerical Rating Scale

E. Penatalaksanaan nyeri pasca seksio sesarea

Penanganan nyeri pasca bedah sesar merupakan komponen penting pada

perawatan obstetrik. Keberadaan luka bedah abdomen dapat mengganggu

hubungan antara ibu dan anak. Ibu terkadang sulit merawat dan menyusui karena

nyeri pasca bedahnya. Sang ibu juga lebih cenderung lemah dan tertekan akibat

14

Page 15: LAPORAN KASUS.docx

kurang tidur. Kombinasi analgesia opioid dan anastesi lokal melalui epidural

memiliki efek superior dibanding jalur sistemik, kenyamanan pasien lebih tinggi,

fungsi usus normal segera kembali, dan proses menyusui kurang terganggu. Pada

pasien ini nyeri post operasi ditangani dengan diberikan Bupivacain 0,125% +

Fentanyl 25 mcg diberikan 6cc/ 6 jam.5,6,7,8

Epidural anelgesia

Epidural anelgesia merupakan teknik tersering untuk analgesia pada parturien.

Dengan teknik standar, ahli anestesi melakukan insersi kateter ke dalam ruang

epidural. Pada kasus dimana kelahiran pervaginam tidak dapat dilakukan dan

pasien harus menjalani bedah sesar, larutan anestetik lokal yang lebih pekat dapat

diinjeksi melalui kateter epidural lumbal untuk menghasilkan blokade yang lebih

luas dan anestesi untuk pembedahan. 5,6,7,8,9

Efek analgesia epidural

a. Blokade sensoris memberikan analgesia kualitas tinggi. Teknik ini

mengurangi risiko sedasi, depresi napas, dan mual terkait opioid sistemik.

b. Blokade simpatis menyebabkan vasodilatasi. Akibatnya terjadi hipotensi jika

blokade meluas sampai ke outflow simpatis (T1-L2).

c. Blokade motorik dapat membuat pasien merasa lemah.

Manfaat analgesia epidural

a. Analgesia yang sangat baik dapat tercapai tanpa penggunaan opioid sistemik.

Pasien juga merasa nyaman. Sangat berguna pada pembedahan yang

melibatkan dada, punggung, abdomen, dan kaki.

b. Kombinasi opioid dengan anestetik lokal bekerja secara sinergis untuk

menghasilkan analgesia yang lebih baik dengan efek samping yang minimal.

c. Mobilisasi menjadi lebih cepat.

15

Page 16: LAPORAN KASUS.docx

Indikasi anestesia epidural

a. Pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah.

b. Tatalaksana nyeri saat persalinan.

Kombinasi Opioid dan Anestetik Lokal

Anestetik lokal konsentrasi rendah yang diberikan dengan infus kontinyu

melalui kateter epidural akan menghasilkan analgesia yang efektif, namun kadang

disertai dengan efek samping hipotensi, blok motorik dan sensorik, nausea (mual)

dan retensi urin. Kombinasi anestetik lokal dengan opioid akan menghasilkan efek

sinergis sehingga hanya diperlukan dosis sangat rendah dari masing-masing obat.

Bupivacaine sangat cocok digunakan untuk metode ini karena pemberian

konsentrasi rendah menyebabkan blok motorik minimal. Kombinasi bupivacaine

0,1% dan morphine 0,01% diberikan dengan infus kontinyu 3–4 ml/jam melalui

kateter epidural. Kombinasi fentanyl 2–4 mcg/ml dan bupivacaine 0,0625%

diberikan dengan infus kontinu 5-20 ml/jam menghasilkan analgesia yang baik

pada pasien yang diketahui memiliki toleransi terhadap opioid dan pada pasien

yang nyerinya tidak dapat dikontrol dengan pemberian opioid epidural saja.

Kombinasi anestetik lokal konsentrasi rendah dan opioid juga mulai banyak

dipakai untuk pasien obstetrik pada saat persalinan.5,6,7,8,9

PCA

Patient-controlled analgesia (PCA) memungkinkan pasien melakukan sendiri

pemberian opioid dalam dosis kecil menggunakan alat yang diprogram untuk

membatasi dosis maksimal. PCA diciptakan untuk meminimalkan pengaruh

perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik antarpasien. Bila pasien menekan

tombol pemicu, pompa yang diatur oleh suatu mikroprosesor akan memberikan

dosis yang diprogram. Suatu timer pada pompa akan membatasi pemberian dosis

berikutnya sebelum suatu tenggang waktu (lockout interval) terlewati. Dengan

demikian pasien melakukan sendiri titrasi dosis yang dibutuhkannya dalam batas-

batas aman yang sudah ditentukan sebelumnya. Pemberian opioid menggunakan

16

Page 17: LAPORAN KASUS.docx

PCA juga dapat melalui subkutan atau epidural. PCA melalui epidural

memberikan kontrol nyeri yang baik setelah bedah mayor.5,6,7,8,9

KESIMPULAN

1. Nyeri pasca operasi yang dirasakan pasien merupakan nyeri akut dimana

rangasangan nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanik yaitu luka (insisi)

akut yang akan menurun seiring proses penyembuhan dengan VAS: 5/10

setelah operasi dan semakin menurun setelah beberapa hari menjadi 1/10

2. Pemilihan teknik anestesi epidural berguna untuk manajemen nyeri pasca

operasi serta mobilisasi yang lebih cepat sehingga tidak menghalangi aktifitas

sang ibu.

3. Pemilihan obat kombinasi analgesia opioid dan anastesi lokal melalui epidural

sebagai multimodal terapi dengan memberikan dosis kecil akan menghasilkan

efek yang sinergis serta efek samping minimal sehingga kenyamanan pasien

lebih tinggi, fungsi usus normal segera kembali, dan proses menyusui kurang

terganggu.

17

Page 18: LAPORAN KASUS.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Marsaban A.H.M, Ma’as Endang melati dan Bagianto Hari. 2009. Mekanisme

dan fisiologi nyeri. Panduan tatalaksana nyeri operatif. PP IDSAI; FKUI

Jakarta. Hal 1-9

2. Nalini Vadivelu, Christian J. Whitney, andRaymond S. Sinatra. 2009. Pain

Pathways and Acute Pain Processing in Acute pain management. Cambridge

University Press. Page 3-13

3. Dewi Elizadiani Suza. 2007.Pain Experiences and Pain Management in

Postoperative Patients. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No 1.

Pediatric Department of Nursing Program Medical School University of

Sumatera Utara. Page 1-7

4. Anonim. Manajemen nyeri pasca operasi. [Serial Online]. 2009 May 01 [cited

at 2013 March]. [18 screens]. Available from: URL

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19062/1/mkn-may2009

40%20(5).pdf

5. Tantri Aida. 2009. Penilaian dan pengukuran nyeri akut. Panduan tatalaksana

nyeri operatif. PP IDSAI; FKUI Jakarta. Hal 25-31

6. Chandra Susilo dan Mahdi Alfan. 2009. Penatalaksanaan nyeri pasca seksio

sesarea. Panduan tatalaksana nyeri operatif. PP IDSAI; FKUI Jakarta. Hal

114-16

7. Jane C, Ballantyne, MD, FRCA. 2008. Management of acute postoperative

pain. Chapter 74 in Anesthesiology. The Mc Graw-Hill Companies. Page

1716-32

8. T. Schreyer & O. H. G. Wilder-Smith. 2005. Post-operative pain management

in day case surgery. Core topics in pain. Cambridge University Press. Page

121-25

9. Satoto Darto. 2009. Jalur pemberian intervensi analgesia. Panduan tatalaksana

nyeri operatif. PP IDSAI; FKUI Jakarta. Hal 75-77

18