makalah islam dan ilmu pengetahuan
TRANSCRIPT
Kata Pengantar
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahuwataala, karena berkat rahmat-Nya
kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul pandangan islam tentang ilmu pengetahuan.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah ilsam dan ilmu pengetahuan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah
ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Palembang, 31 Maret 2016
Penyusun
1
Daftar Isi
Kata Pengantar............................................................................................................................................1
A. Pendahuluan........................................................................................................................................3
B. Pengertian Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan..................................................................................4
2. Ilmu Pengetahuan...............................................................................................................................6
C. Perbedan Ilmu, Pengetahuan dan Agama secara Epistimologi.............................................................7
E. Ilmu Pengetahuan dalam Islam...........................................................................................................8
F. Implikasi dalam Pendidikan...............................................................................................................12
G. Kesimpulan........................................................................................................................................14
Daftar Pustaka...........................................................................................................................................16
2
A. Pendahuluan
Sejauh ini hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh pendekatan
filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu digunakannya untuk
menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah kehidupan. Akan tetapi, sebelum
sampai pada pembicaraan ilmu pengetahuan, seharusnya yang harus dibicarakan terlebih dahulu
ialah mengenai bagaimana proses berpikir manusia (thinking process) sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan pada manusia. Pengetahuan pada manusia secara garis besar terbagi
kedalam dua bagian. Pertama, konsepsi (tassawur) yaitu pengetahuan sederhana dan kedua,
pembenaran (thasdiq) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian . Artinya, proses
berpikir yang manusia lakukan melalui dua tahapan yang saling melengkapi yaitu; pengetahuan
yang pertama kali muncul berupa konsepsi (tassawur) atau pengetahuan sederhana dan
seterusnya manusia melalui pikirannya melakukan pembenaran (thasdhiq) atau dari pengetahuan
sederhana (tassawur) sampai kepada ilmu pengetahuan, pengetahuan sederhana itu diberi
pembenaran sesuai dengan keyakinan manusia yang diyakininya. Selanjutnya, untuk memahami
pengetahuan sebagai sesuatu yang natural (alamiah) dari sudut pandang manusia diperlukan
uraian psikologi, yaitu penjelasan atau uraian tentang proses mental yang bersifat subjektif yang
dikaitkan dengan hal-hal empirik yang bersifat objektif, dari hal itu diharapkan dapat
berpengaruh pada penguasaan manusia terhadap data konkrit sehingga dapat mendukung pada
pembenaran pengetahuan .
Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu
pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses
sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses
pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang dilibatkan
pada proses pembangunan ilmu pengetahuan. Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu
pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan
dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik panutan
pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu,
proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan
pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah.
3
B. Pengertian Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
1. Pengetahuan
Pengetahuan, kata dasarnya yaitu tahu, kemudian mendapat awalan pe dan akhiran an imbuhan
pe-an berarti menunjukkan adanya proses. Jadi menurut susunan perkataanya, pengetahuan
berarti proses mengetahui, dan menghasilkan sesuatu yang disebut pengetauan. Jadi pnegetahuan
disini memiliki arti sesuatu yang ada secara niscaya pada diri manusia, keberadaannya diawali
dari kecendrungan psikis manusia sebagai bawaan kodrat manusia, yaitu dorongan ingin tahu
yang bersumber dari kehendak atau kemauan. Sedangkan kehendak atau kemauan itu adalah
salah satu unsur kekuatan kejiwaan. Adapu unsur lainnya adalah akal pikiran (rasio) dan
perasaan (emotion) [1].
Adapun pengetahuan menurut Dr. M.J. Langeveld, ialah kesatuan subyek yang mengetahui dan
obyek yang diketahui[2]. Dimana pengetahuan tersebut terbentuk karena adanya hubungan
subyek dan obyek, sehingga jika tidak terdapat salah satu diantara kedua tersebut maka tidak bisa
dikatan sebagai pengetahuan. Subyek disini ialah manusia sebagai kesatuan berbagai macam
kesanggupan (akal, pancaindra) yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Sedangkan obyek
ialah benda atau hal yang diselidiki oleh pengetahuan tersebut.
Selain itu, Max Scheler, pengetahuan dapat dirumuskan sebagai partisipasi oleh suatu realita
dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa terjadinya modifikasi-modifikasi dalam kualita yang
lain. Lebih lanjut Scheler membedakan kategorikan pengetahuan, yaitu:
a. pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal yang biasa, yang sehari-hari.
b. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang mempunyai sistem dan metode tertentu.
c. Pengetahuan filosofis, yaitu semacam ilmu yang istimewa, yang mencoba menjawab
masalah-masalah yang tidak terjawab oleh ilmu-ilmu biasa.
d. Pengetahuan theologis, yaitu pengetahuan keagamaan, pengetahuan tentang agama,
pengetahuan tentang pemberitahuan dari Tuhan.
Sedangkan menurut Machlup membagi pengetahuan menjadi lima kategori utama yaitu sebagai
berikut:
4
a. Pengetahuan praktis, yaitu pengetahuan yang berguna untuk mengambil keputusan dan
melakukan tindakan berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan.
b. Pengetahuan intelektual, yaitu pengetahuan yang dapat memuaskan keingintahuan
intelektual.
c. Pengetahuan ringan atau hiburan yang dapat memuaskan keingintahuan non inteletual atau
untuk memenuhi kepuasan sejenak dan stimulasi emosional. Seperti berita kriminal, lawakan,
acara musik dan lain-lain.
d. Pengetahuan spiritual, yaitu pengetahuan yang dihubungkan dengan pengetahuan
keagamaan tentang Tuhan dan cara-cara untuk keselamatan jiwa.
e. Pengetahuan yang tidak diinginkan, yaitu pengetahuan yang diminati, tetapi tiba-tiba saja
diketahui tanpa disengaja[3].
Jadi Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang
dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia, dan kehidupannya.
Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah
dibagukan secara sitematis. Dengan demikian, pengetahuan lebih bersifat spontan, dan ilmu
pengetahuan lebih bersifat sistematis dan reflektif. Berdasarkan cakupannya pengetahuan lebih
luas daripada ilmu pegetahuan, karena pengetahuan mencakupsegala sesuatu yang diketahui
manusia tanpa tanpa perlu dibakukan secara sistematis.
Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan, dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu
serta mencakuppraktek atau kamampuan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup
yang belum dibakukan secara sistematis dan metodis .
Kesahihan atau kevalidan suatu pengetahuan banyak bergantung pada sumber pengetahuan itu
sendiri. Ada dua sumber dalam pengetahuan yaitu sumber tradisi dan autoritas. Sumber tradisi
adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pewarisan atau transmisi dari generasi ke generasi.
Sedangkan sumber autoritas yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui penemuan-penemuan
baru oleh mereka yang mempunyai wewenang dan keahlian dibidangnya.
5
2. Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan atau science dalam bahasa latin berasal dari kata scio, scire yang berarti tahu.
Dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘alima yang juga berarti tahu. Jadi baik ilmu maupun
science secara etimologis berarti pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science
pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas[4].
Mohammad Hatta mengartikan ilmu pengetahuan ialah pengetahuan yang teratur tentang
pekerjaan umum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut
kedudukannya tampak dari luar, maupun bangunannya dari dalam[5]. R.B.S. Fudyartanta,
seorang sarjana psikologi mengartikan ilmu pengetahuan susunan yang sistematis daripada
kenyataan-kenyataan ilmiah mengenai sesuatu obyek atau masalah yang diperoleh dari
pemikiran yang runtut.[6]
Sedangkan menurut Karl Pearson pengarang karya Grammar of Science, ilmu pengetahuan ialah
lukisan atau keterangan yang lengkap dan konsisten tentang tentang fakta pengalaman dengan
istilah yang sederhana). Selain itu, Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag mengartiakan ilmu
pengetahuan yaitu yang empiris, rasional, umum dan bersusun, yang keempatnya serentak.
Dari keterangan-keterangan para ahli tentang ilmu pengetahuan, dapat disimpulkan bahwa ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu yaitu sistematis,
rasional, empiris, umum dan komulatif (bersusun timbun) serta lukisan dan keterangan yang
lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang distudinya dalam ruang dan waktu sejauh
jangkauan pemikiran dan pengindraan manusia.
Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh dua obyek yaitu obyek materia dan obyek forma.
Obyek materia ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan obyek penyelidikan suatu ilmu.
Sedangkan obyek forma ialah obyek metria yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan
ilmu yang satu dari ilmu yang lainnya, jika berobyek materia yang sama[7].
6
C. Perbedan Ilmu, Pengetahuan dan Agama secara Epistimologi.
Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
ialah hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan,
struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya
(alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pikiran manusia yang
dibantu pengindraannya, yang kebenarannya diujin secara empiris, reset dan eksperimental.
Sedangkan agama yaitu suatu tata keimanan atau tata keyakinan atas adanya sesuatu yang
mutlak di luar manusia dan sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan
alam lainya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan. Berdasarkan
sumbernya, agama dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu agama samawi dan agama budaya.
Adapun agama samawi yaitu agama berasala dari wahyu, agama langit, sedangkan agama
budaya yaitu agama bumi, agama filsafat.
Ditinjau dari perbedaan antara keduanya yaitu ilmu pengetahuan dan agama yaitu:
1. Ditinjau dari sumbernya, ilmu pengetahuan bersumber dari ra’yu yaitu akal, budi, rasio
manusia. Sedangkan agama bersumber dari wahyu dari Allah.
2. Ditinjau dari cara mencari kebenaran, ilmu pengetahuan mencari kebenarannya dengan
jalan penyelidikan, pengalaman, dan percobaan sebagai batu ujian. Sedangkan agama mencari
kebenarannya dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban) tentang masalah asasi kepada
Kitab Suci, kodifikasi Firman Ilahi untuk manusia di bumi.
3. Ditinjau dari kebenarannya, ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif dan bersifat nisbi
atau relatif. Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu
yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah
swt[8].
4. Ilmu pengetahuan dimulai dari sikap sanksi atau tidak percaya, dimana keraguan ialah
syarat mutlak yang pertama bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan agama dimulai dengan sikap
percaya dan iman.
Namun dibalik perbedaan terdapat juga kesamaan antara ilmu pengetahuan dan agama bertujuan
yang sama yaitu berbicara tentang kebenaran. Selain itu, ilmu pengetahuan dan agama dengan
7
metodenya dan karakteristiknya masing-masing, memberikan jawaban atas segala persoalan
asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam maupun tentang manusia ataupun tentang
Tuhan
E. Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Islam sebagai agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tidak diragukan lagi. Banyak
argumen yang dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-Qur`an dan hadits Nabi saw. yang
mengangkat derajat orang berilmu, juga di dalam al-Qur`an mengandung banyak rasionalisasi,
bahkan menempati bagian terbesar. Hal ini diakui Meksim Rodorson (seorang penulis Marxis)
ketika menelaah Q.S. Ali Imrân/3: 190-191 dan Q.S. Al-Baqarah/2: 164. Menurutnya, dalam al-
Qur`an kata ‘aqala (mengandung pengertian menghubungkan sebagian pikiran dengan sebagian
yang lain dengan mengajukan bukti-bukti yang nyata sebagai argumentasi yang harus dipahami
secara rasional) disebut berulang kali, tidak kurang dari lima puluh kali dan sebanyak tiga belas
kali berupa bentuk pertanyaan sebagai protes yang mengarah pada kajian ilmiyah, seperti
“Apakah kamu tidak berakal?". Seandainya meneliti kata-kata lainnya: nazhara (menganalisa),
tafakkara (memikirkan), faqiha (memahami), ‘alima (mengerti, menyadari), burhan (bukti,
argumentasi), lubb (intelektual, cerdas, berakal) dan lain-lain, niscaya akan menemukan banyak
sekali nilai-nilai ilmiyah yang terdapat dalam al-Qur`an[10].
Maka dapat dikatakan bahwa ilmu itu membutuhkan pembuktian (dalil, hujjah atau argumen)
sebagai hasil dari sebuah pencarian, dan al-Qur`an mengisyaratkan mengenai hal ini. Setiap kali
Allah menerangkan fakta-fakta penciptaan, lalu diiringi dengan pernyataan
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini
8
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali Imran/3:
190-191)[11].
Karena itu, ada beberapa definisi al-‘ilmu yang disodorkan para ulama sebagaimana
dikemukakan Syarief ‘Ali bin Muhammad al-Jarjani, yaitu: “keyakinan yang pasti sesuai dengan
kenyataan”, “sampainya gambaran sesuatu terhadap akal”, “hilangnya keraguan setelah
diketahui”, “hilangnya kebodohan”, “merasa cukup setelah tahu”. Dikatakan pula “sebagai sifat
yang mendalam yang dapat mengetahui perkara yang universal dan farsial” atau “sampainya jiwa
kepada sesuatu makna yang diketahui”. Adapula yang memberikan definisi dengan “ilmu adalah
istilah untuk menyebutkan terjadinya kesinambungan yang khusus antara subjek yang berpikir
dan objek yang dipikirkan”. Juga (pengertian yang lebih ringkas) “mengetahui sifat persifat”.
Disebut Ilmu al-Yaqin, adalah pengetahuan yang berdasarkan dalil dengan gambaran berupa
perkara yang meyakinkan[12].
Karena itu cara pandang seseorang terhadap ‘sesuatu’ itu, merupakan pandangan hidupnya
(worldview). Dan lahirnya ilmu dalam Islam didahului oleh adanya tradisi intelektual yang tidak
lepas dari kandungan al-Qur`an dan penjelasannya dari Nabi. Jadi, jika kelahiran ilmu dalam
Islam dibagi secara periodik, menurut Hamid Fahmi Zarkasy urutannya sebagai berikut: 1)
Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam, 2) Adanya struktur ilmu pengetahuan
dalam al-Qur`an dan al-Hadits, 3) Lahirnya tradisi keilmuan Islam, dan 4) Lahirnya disiplin
ilmu-ilmu Islam[13].
Selain itu dalam al Qur'an seperti dalam surat al Mujadalah ayat 11 telah banyak membecirakan
tentang ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dalam Islam Artinya: Hai orang-orang
beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan[14].
Menurut al Maraghi ayat tersebut memberikan isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu
agama serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajirinya di dalam suatu
negeri yang telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang
9
diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak dibiarkan mereka
tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang
yang beriman.[15]
Sebagaimana dituturkan Syed Naquib al-Attas. Menurutnya, untuk membangun peradaban Islam,
mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan yang disebutnya sebagai ‘ta’dîb’ yang
tujuannya membentuk manusia beradab. Jika konsep adab ini diterapkan dalam masyarakat,
maka akan terbentuklah satu peradaban. Seorang dapat menjadi manusia beradab, jika memiliki
ilmu (knowledge) yang benar. Karena itulah, suatu pendidikan Islam harus dapat mengantarkan
anak didiknya kepada tujuan ilmu yang utama, yakni membentuk manusia yang beradab.
Pendidikan ini harus dibangun di atas konsep yang benar. Pendidikan akan gagal mewujudkan
tujuannya, jika dibangun di atas konsep ilmu yang salah, yakni ilmu yang tidak mengantarkan
kepada ketakwaan dan kebahagiaan[16].
Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, ilmu pengetahuan Barat-modern yang diproyeksikan
melalui pandangan-hidupnya, dibangun di atas visi intelektual dan psikologi budaya dan
peradaban Barat. Menurutnya, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: 1)
akal diandalkan untuk membimbing manusia, 2) bersikap dualistik terhadap realitas dan
kebenaran, 3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup secular, 4)
membela doktrin humanisme, 5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang
dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan[17].
Menyadari krisis ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat, Naquib al-Attas
menyimpulkan ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya harus ditetapkan di dunia
Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan
pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat
nilai (value laden)[18].
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu:
1. Al Qur'an sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari
banyaknya ayat al Qur'an yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap
potensi yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah SWT.
10
2. Dorongan al Qur'an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terlihat pula dari
banyaknya ayat al Qur'an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan kedudukan yang
tinggi bagi orang-orang yang berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu.
3. Sungguhpun banyak temuan dibidang ilmu pengetahuan yang sejalan dengan kebenaran
ayat-ayat al Qur'an, namun al Qur'an bukanlah buku tentang ilmu pengetahuan. Al Qur'an tidak
mencakup cabang ilmu pengetahuan.
4. Bahwa temuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan patut dihargai. Namun tidak
sepatutnya membawa dirinya menjadi sombong dibandingkan dengan kebenaran al Qur'an.
Temuan manusia tersebut terbatas dan tidak selamanya benar, sedangkan al Qur'an bersifat
mutlak dan berlaku sepanjang zaman.
5. Al Qur'an adalah kitab yang berisi petunjuk termasuk petunjuk dalam pengembangan ilmu
pengetahuan, yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan untuk tujuan peningkatan ibadah,
akidah, dan akhlak yang mulia.
6. Kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus ditujukan
untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini akan terjadi manakala tujuan
dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak dilepaskan dari dasar peningkatan ibadah,
akidah, dan akhlak tersebut.
7. Sebagai kitab petunjuk al Qur'an tidak hanya mendorong manusia agar mengembangkan
ilmu pengetahuan, melainkan juga memberikan dasar bidang dan ruang lingkup ilmu
pengetahuan, cara menemukan dan mengembangkannya, tujuan penggunaanya, serta sifat dari
ilmu pengetahuan itu sendiri.
8. Al Qur'an tidak hanya menjelaskan tentang sumber ilmu (ontologi), melainkan juga tentang
cara mengembangkan ilmu (epistemologi) dan manfaat ilmu (aksiologi).
Dalam Islam sumber ilmu itu pada garis besarnya ada dua yaitu ilmu yang bersumber pada
wahyu (al Qur'an) yang menghasikan ilmu naqli, seperti ilmu-ilmu agama ilmu tafsir, hadis,
fikih, tauhid, tasawuf dan sejarah. Dan ilmu yang bersumber pada alam melalui penalaran yang
menghasilkan ilmu aqli seperti filsafat, ilmu sosial, teknik, biologi, sejarah, dan lain-lain. Ilmu
naqli dihasilkan dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad) dengan metode tertentu
11
dan persayaratan tertentu. Sedangkan ilmu aqli dihasilkan melalui penelitian kuantitatif dan
penelitian kualitatif. Ilmu-ilmu tersebut harus diabadikan untuk beribadah kepada Allah dalam
arti yang seluas-luasnya.[19]
F. Implikasi dalam Pendidikan
Pemahaman terhadap ayat-ayat al Qur'an dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan tersebut amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Keterkaitan ini dapat
dilihat dari hal-hal sebagai berikut:[22]
1. Tujuan dari pendidikan adalah mengubah sikap mental dan perilaku tertentu yang dalam
konteks Islam adalah agar menjadi sorang muslim yang terbina seluruh potensi dirinya sehingga
dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka beribadah kepada Allah, namun
dalam proses menuju ke arah tersebut diperlukan adanya upaya pengajaran. Dengan kata lain
pengajaran adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan pendidikan.
2. Bahwa dalam kegiatan pengajaran tersebut, seorang guru mau tidak mau harus
mengajarkan ilmu pengetahuan, karena dalam ilmu pengetahuan itulah akan dijumpai berbagai
informasi, teori, rumus, konsep-konsep dan sebagainya yang diperlukan untuk untuk
mewujudkan tujuan pendidikan. Dari proses pengajaran yang demikian akan terciptanya
pemahaman, penghayatan, dan pengalaman.
3. Bahwa melalui pendidikan diharapkan pula lahir manusia yang kreatif, sanggup berfikir
sendiri, walaupun kesimpulannya lain dari yang lain, sanggup mengadakan penelitian, penemuan
dan seterusnya. Sikap yang demikian itu sangat dianjurkan dalam al Qur'an.
4. Bahwa dalam pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan prinsip pengembangan
ilmu pengetahuan sesuai dengan petunjuk al Qur'an. Yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan
yang ditujukan bukan semata-mata untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri,
melainkan untuk membawa manusia semakin mampu menangkap hikmah di balik ilmu
pengetahuan, yaitu rahasia keagungan Allah SWT. Maka ilmu pengetahuan tersebut akan
memperkokoh akidah, meningkatkan ibadah, dan akhlak mulia.
12
5. Pengajaran berbagai ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan yang sesuai dengan ajaran
al Qur'an, akan menjauhkan manusia dari sikap takabur, sekuler, dan ateistik, sebagaimana yang
dijumpai pada pengembangan ilmu pengetahuan di Barat.
6. Pendidikan harus mampu mendorong anak didik agar mencitai ilmu pengetahuan, yang
terlihat dari ciptaannya semangat dan etos keilmuan yang tinggi, memelihara, menambah dan
mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, bersedia mengajarkan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya itu untuk kepetingan dirinya, agama, bangsa, dan negara.
13
G. Kesimpulan
Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang
dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia, dan kehidupannya.
Sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu
yaitu sistematis, rasional, empiris, umum dan komulatif (bersusun timbun) serta lukisan dan
keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang distudinya dalam ruang dan
waktu sejauh jangkauan pemikiran dan pengindraan manusia. Ditinjau dari perbedaan antara
keduanya yaitu ilmu pengetahuan dan agama yaitu:
1. Ditinjau dari sumbernya, ilmu pengetahuan bersumber dari ra’yu yaitu akal, budi, rasio
manusia. Sedangkan agama bersumber dari wahyu dari Allah.
2. Ditinjau dari cara mencari kebenaran, ilmu pengetahuan mencari kebenarannya dengan
jalan penyelidikan, pengalaman, dan percobaan sebagai batu ujian. Sedangkan agama mencari
kebenarannya dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban) tentang masalah asasi kepada
Kitab Suci, kodifikasi Firman Ilahi untuk manusia di bumi.
3. Ditinjau dari kebenarannya, ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif dan bersifat nisbi
atau relatif. Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu
yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah
swt.
4. Ilmu pengetahuan dimulai dari sikap sanksi atau tidak percaya, dimana keraguan ialah
syarat mutlak yang pertama bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan agama dimulai dengan sikap
percaya dan iman.
14
Islam sebagai agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tidak diragukan lagi. Banyak
argumen yang dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-Qur`an dan hadits Nabi saw. yang
mengangkat derajat orang berilmu, juga di dalam al-Qur`an mengandung banyak rasionalisasi,
bahkan menempati bagian terbesar.
Etika penggunaan ilmu pengetahuan, dimana pengetahuan merupakan kebenaran ilmiah,
sehingga dalam penerapan dibidang teknologi ilmu tersebut harus dapat berfungsi sebagai
kelangsuangan hidup manusia. Selain itu, manusia sebagai subyek ilmu pengetahuan harus
bersikap adil baik adil terhadap makhluk lain, adil terhadap manusia maupun adil terhadap diri
sendiri.
15
Daftar Pustaka
Armas, Adnin, Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam,
“Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu”, 2006
Fahmi Zarkasy, Hamid, Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains
Islam, “Pandangan Hidup sebagai Asas Epistemologi Islam”.
Fudyartanta, R.B.S., Epistimologi: Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:Cipta
Karya Abadi, 1970
Harsojo, Apakah Ilmu dan Ilmu Gabungan tentang Tingkah Laku Manusia, Bandung: Remaja
Rosdakrya, 1972
Http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/diakse pada tanggal 01-11-2011
Http://pusdiklat-dewandakwah.com/Akses pada tanggal 27-09-2011
Langeveld, M.J., Menuju ke Pemikiran Filsafat, terj. G.J. Claessen, Jakarta: Bumi Aksara, 1955
Nata, Abudin. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Pudjawijatna, I.R., Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Pustaka Setia, 1967
Qaradhawi, Yusuf, Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr al-‘Ilm oleh
Ghazali Mukri, Jakarta: Gunung Agung 2003
Saifuddin, Ansori Endang, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1987
S. Praja, Juhaya, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, Jakarta: Teraju, 2002
Suhartono, Suparlan , Filsafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011
16
[1]Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) hal. 49
[2] M.J. Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat, terj. G.J. Claessen, (Jakarta: Bumi, 1955),
hal. 29
[3] Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 2
[4] Endang Saifuddin Ansori, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hal. 47
[5] Muhammad Hatta, hal. 12
[6] R.B.S. Fudyartanta, Epistimologi: Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:Cipta
Karya Abadi, 1970), hal. 11
[7] I.R Pudjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Pustaka Setia, 1967) hal. 29-
30.
[8] “agama bermula dengan percaya”, tulis Mohammad Hatta, “Ia menerima suatu kebenaran
dengan tak mau dibantah lagi, kebenarannya bersifat absolut. Sungguhpun kebenaran itu
terbatas, bagi orang yang percaya saja, sifat absolut itu tetap padanya”
[9] Harsojo, Apakah Ilmu dan Ilmu Gabungan tentang Tingkah Laku Manusia, (Bandung,
Remaja Rosdakrya, 1972), hal. 10
[10] Yusuf Qaradhawi, Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr al-‘Ilm
oleh Ghazali Mukri, (Jakarta: Gunung Agung 2003) hal. 11
[11] Al Qur'an dan terjemahan, Departemen Agama
[12] Http://pusdiklat-dewandakwah.com/Akses pada tanggal 27-09-2011
[13] Hamid Fahmi Zarkasy, Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus
Sains Islam, “Pandangan Hidup sebagai Asas Epistemologi Islam”, 2006: hal. 8.
17
[14] Al Qur'an dan Terjemahan,
[15]Abudin Nata, Tafsir Ayat ayat Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 159
[16] http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/diakse pada tanggal 01-11-2011
[17] Ibid, hal. 5
[18] Adnin Armas, Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam,
“Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu”, 2006: 20.
[19] Ibid, hal. 168
[20] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, hal. 169-170
18