makalah isd manusia indonesia abad 21 yang berkualitas tinggi ditinjau dari sudut pandang...

17
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (RIO) 1.2 Rumusan Masalah (ENDAR) 1.3 Tujuan Pemuatan Makalah (ENDAR) 1.! Man"aat Pemuatan Makalah (ENDAR) BAB II

Upload: endaradecandra

Post on 02-Nov-2015

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang(RIO)1.2 Rumusan Masalah(ENDAR)1.3 Tujuan Pembuatan Makalah(ENDAR)1.4 Manfaat Pembuatan Makalah(ENDAR)

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. KONDISI DAN SITUASI DI ABAD 21Proses menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Dalam percaturan internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakkan diri dari proses ini. Pengaruh yang datang tak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal batas. Film, surat kabar, majalah, radio, televisi gencar menyuguhkan pemikiran, sikap dan perilaku yang sebelumnya tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label modern diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdene (1990) sebagaimana dikutip oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era globalisasi memungkinkan timbulnya gaya hidup global. Tumbuhnya restoran dengan menu khusus dari mancanegara semakin menjamur, menggeser selera masyarakat yang semula bertumpu pada resep-resep tradisional. Gaya berpakaian dipengaruhi oleh garis-garis mode yang diciptakan oleh perancang kelas dunia. Kosmetika, aksesori, dan pernak-pernik lainnya untuk melengkapi penampilan tidak lepas dari pengaruh era globalisasi, seperti halnya tata busana. Selain mode, dunia hiburan juga tersentuh. Munculnya kafe, kelab malam, rumah bola (bilyard) memberi warna baru dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula kegiatan pasar. Bentuk-bentuk pasar tradisional yang memungkinkan terjadinya keakraban antara penjual dan pembeli, sehingga keterlibatan emosional ikut mewarnai, perlahan menghilang dan berganti dengan transaksi ekonomi semata ketika muncul pasar-pasar swalayan.Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan norma-norma, pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang mewarnai abad 21 telah memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja. Ada yang lebih luas dari sekadar makna mencari nafkah dan ukuran kecukupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Orang cenderung mengejar kesempatan untuk bisa memuaskan kebutuhan aktualisasi diri, sekaligus tampil sebagai pemenang dalam persaingan untuk memperoleh yang terbaik, tertinggi, terbanyak. Untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru, diperlukan dukungan kemampuan ekonomi yang tinggi. Kebutuhan ini sangat terasa. Tawaran gaya hidup modern yang ditawarkan melalui kaca-kaca ruang pamer toko atau distributor benda-benda yang digandrungi masyarakat telah memacu banyak orang untuk bekerja tak kenal waktu. Orang sibuk mencari uang untuk bisa memiliki gaya hidup seperti yang ditawarkan. Apalagi media massa juga rajin menggelitik masyarakat untuk dapat mengikutinya, antara lain melalui iklan, sinetron, acara-acara hiburan, dan sebagainya. Kemajuan teknologi komunikasi abad ini telah memungkinkan berita dan cerita segera menyebar ke seluruh pelosok, menyapa siapa saja, tak peduli penerima pesannya siap atau tidak.Wajah keluarga juga berubah. Perkembangan jaman yang merubah gaya hidup masyarakat ikut mewarnai kehidupan keluarga. Peran suami istri, pola asuh dan pendidikan anak tidak bisa mempertahankan pola lama sepenuhnya. Pengaruh yang diterima suami istri, juga yang diterima anak dalam proses perkembangannya, tak lagi bisa dipisahkan dari dunia di luar rumah. Melalui perangkat teknologi anak bisa langsung menerima pengaruh dari luar, yang tentu saja akan selalu mempunyai dua sisi, baik dan tidak baik, positif dan negatif. Situasi inilah yang akan mewarnai kehidupan anak dan orang tua di abad 21. Orang tua tak lagi menjadi pewarna tunggal dalam pengembangan pola sikap dan tingkah laku anak. Ada lingkungan yang lebih luas dan leluasa memasuki kehidupan keluarga dalam menawarkan berbagai bentuk perilaku untuk diamati, dipilih, dan diambil alih anak. Teman dan pesaing orang tua menjadi bertambah, sebab lingkungan memang tidak hanya terdiri dari dukungan atau penguat pesan-pesan dan nilai yang ditanamkan orang tua, tetapi juga menjadi penghambat dan pengganggu penerimaan pesan dan nilai tersebut.Perkembangan kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan penampilan ibu yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah tangga dan pendidik anak. Seiring dengan pemunculan ibu dalam kegiatan di luar rumah (bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya), kehadiran ibu yang tidak lagi 24 jam di rumah menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang bisa diharapkan dari pola asuhan dan pendidikan dalam situasi seperti itu. Apa jadinya setelah ibu juga sibuk di luar, padahal ibu dikenal selaku pendidik pertama dan utama? Bisakah anak tetap diharapkan mampu berkembang optimal tanpa kehadiran ibu? Kalau ibu tidak ada, siapa yang layak ditunjuk dan diserahi tanggung jawab sebagai pengganti? Pertanyaan ini menjadi terasa lebih bermakna karena ayah tak juga menjadi surut dari kegiatannya di luar rumah, bahkan cenderung meningkat seiring dengan tuntutan kehidupan abad 21. Nah, kalau ayah dan ibu sama-sama tidak bisa hadir penuh, lalu siapa yang harus menjadi pengganti mereka berdua? Padahal, kehadiran itu sangat diperlukan anak, tak peduli berapapun umurnya, sebab proses pendidikan berlangsung selama masa perkembangannya, sejak kanak-kanak sampai dewasa. Jadi, bukan hanya balita (anak berumur di bawah lima tahun) yang memerlukan kehadiran bapak dan ibu, tetapi juga anak pada tahapan perkembangan selanjutnya, yakni mereka yang berada dalam tahap perkembangan kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa.Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh sejak sekarang. Bekal untuk anak agar bisa tumbuh dan berkembang sebagai sosok pribadi yang sehat jasmani dan rohani, tangguh dan mandiri serta mampu beradaptasi dalam era globalisasi ini menjadi semakin perlu diperhatikan kualitasnya. Kondisi abad 21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk saling berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya menjadi bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya). Persaingan ini memerlukan ketangguhan dan keuletan dalam menghadapinya. Kebutuhan untuk menjadi seseorang dan menjadi bagian yang jelas kedudukannya bisa menjadi landasan untuk menumbuhkan motivasi pengembangan diri dan kemampuan beradaptasi. Kebutuhan ini erat kaitannya dengan pembentukan rasa percaya diri dan menumbuhkan motivasi untuk berusaha dan meraih kesempatan agar dapat senantiasa meningkatkan diri. Sikap yang mandiri, tak gentar menghadapi rintangan, mampu berpikir kreatif dan bertindak inovatif tapi juga peduli lingkungan adalah sosok yang diperlukan untuk menjalani kehidupan dalam era globalisasi. Jelas bahwa pengembangan sikap dan perilaku tersebut merupakan tuntutan yang lebih berat daripada hasil pendidikan yang menjadi tanggung jawab generasi sebelumnya. Kemampuan mengantisipasi masa depan dengan berbagai alternatif untuk mengatasi permasalahannya menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya merupakan masalah keluarga, melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan anak, yaitu masyarakat, bangsa dan negara.2.2 PERILAKU MANUSIA INDONESIA1. Kehidupan masyarakat pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat, yang tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Sebagai bangsa yang bangkit dari penjajahan (Belanda dan Jepang), di awal kemerdekaan manusia Indonesia mengembangkan perilaku penuh gairah membangun bangsa dan negara. Kebanggaan menyandang identitas sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat penuh mendorong terjadinya interaksi yang saling mengisi antar berbagai suku bangsa dalam semangat kesatuan dan persatuan, yang tercermin dalam lambang Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda tetap satu jua. Ada kebutuhan untuk saling mengenal, memahami dan menghayati agar kesatuan dan persatuan tidak hanya sekadar simbol, melainkan merasuk dalam kehidupan sehari-hari.2. Pembentukan perilaku manusia Indonesia dalam masa Orde BaruPeristiwa di tahun 1965 (pembubaran Partai Komunis Indonesia) kemudian memunculkan arah baru dalam pembentukan perilaku manusia Indonesia. Masa yang dikenal sebagai Orde Baru mengarahkan pembangunan di bidang ekonomi sebagai fokus utama. Masyarakat pun berpaling. Segenap lapisan berusaha mengikuti derap pembangunan yang baru, sesuai dengan kemampuan dan harapannya. Sejalan dengan perkembangan ini maka sikap dan gaya hidup masyarakat pun berubah. Manusia Indonesia seolah dipaksa masuk ke dalam persaingan global yang berciri khas kapitalisme. Para pengusaha siap menjelajah seluruh pelosok dan menelan siapa saja untuk mencapai tujuannya demi laba yang ingin diraih. Arief Budiman (1991) mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme global adalah diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Produksi akan macet kalau manusia merasa sudah cukup dan tidak mau berkonsumsi lagi. Akibatnya, melalui iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap serakah, materialistis, dan konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan. Kekayaan menjadi simbol status dalam sistem kapitalis. Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya, melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran tak lagi menjadi ukuran keluhuran perilaku. Menurut istilah Arief, orang yang jujur tapi miskin tampak bodoh ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur.2.3. MAKNA HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERILAKUHukum dapat mengarahkan masyarakat ke arah pembaruan perilaku yang sesuai dengan kebutuhan mereka untuk dapat menghadapi berbagai tantangan, sekarang dan di masa yang akan datang. Ditinjau dari segi budaya hukum, yaitu bagaimana masyarakat mempersepsikan hukum, maka secara umum hukum dipersepsikan sebagai:a) Suatu tatanan normatif dalam kehidupan bernegarab) Berfungsi mengatur kehidupan warganegara dengan memberikan batasan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukanc) Bertujuan untuk melindungi tiap warganegara dengan mengacu pada nilai-nilai dasar seperti kemanusiaan dan keadiland) Ditetapkan oleh otoritas yang legitimasinya diakui oleh seluruh warganegara.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari sudut perilaku masyarakat, maka hukum memiliki dua fungsi, yaitu:a) memantapkan pola perilaku masyarakat yang sudah ada dan ingin dipertahankan dan/ataub) mengubah pola perilaku masyarakat yang ada saat ini ke arah perilaku baru yang dicita-citakan.Agar hukum ini dapat berfungsi secara efektif, ada dua syarat yang perlu dipenuhi, yaitu:a) Hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh individu yang akan dikenai oleh hukum tersebutb) Konsekuensi dari dipatuhi atau tidak dipatuhinya hukum tersebut harus dijalankan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian.Berbagai hal yang kurang menguntungkan dalam pengembangan perilaku masyarakat yang sadar hukum, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara, masih diperburuk lagi dengan adanya dua hal yang sangat berpengaruh dalam pembentukan perilaku:a) Budaya feodalisme dan paternalistik yang membuka banyak peluang bagi yang berkuasa di berbagai tingkat untuk membuat aturan sendiri atau melakukan interpretasi subyektif terhadap hukum dan perundang-undangan yang ada, sehingga peraturan yang sama dapat diartikan berbeda oleh pejabat yang berbeda, di wilayah yang berbeda atau dalam kurun waktu yang berbeda.b) Adanya kecenderungan budaya untuk menghindari konflik terbuka dan mencari jalan kompromi yang menyebabkan orang sering lari ke prosedur penyelesaian konflik alternatif di luar pengadilan, padahal bentuk penyelesaian alternatif ini sangat dipengaruhi oleh kekuasaan atau status dari pihak-pihak yang ikut berperan dalam proses tersebut.Berbagai hal tadi dengan sendirinya menurunkan wibawa para penegak hukum seperti hakim, pengacara, polisi, dan lain sebagainya serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan sistem penegakan hukum itu sendiri.2.4. PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU DAN PROYEKSI DI ABAD 21Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan era globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk menikmati gaya hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk mencari uang, dengan berbagai cara. Setiap orang, laki-laki dan perempuan, berusaha pagi dan petang. Mereka membanting tulang dan memeras keringat untuk meraih yang terbaik demi gaya hidup global. Tentu saja kondisi ini berpengaruh terhadap kehidupan kekeluargaan, yang menjadi kurang terbina. Mulailah terjadi kerenggangan antara suami istri, orang tua dan anak, yang tentunya sukar untuk diharapkan sebagai tempat persemaian tumbuh kembang anak secara optimal. Era globalisasi juga melahirkan kompetisi yang membutuhkan kompetensi tinggi di segala bidang untuk bisa menjadi pemenang. Hanya yang terbaik yang bisa memenangkan kompetisi. Akibatnya, orang tua memaksa anak meninggalkan dunianya dan mengisinya dengan upaya pembekalan diri untuk dapat meraih kompetensi sebanyak-banyaknya. Dunia kanak-kanak yang ceria tak lagi bisa dinikmati, berganti dengan jadwal ketat yang mengantarnya pada situasi yang selalu serius dan memandang jauh ke depan. Paksaan yang melanda anak dalam penafsiran era globalisasi di bidang ekonomi ini tentunya bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak di kemudian hari, baik terhadap kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Sikap dan perilaku orang tua sebagai anggota masyarakat yang menampilkan gaya hidup dan etos kerja serta pengembangan interaksi dengan lingkungan akan direkam anak, baik untuk kepentingan belajar instrumental maupun belajar observasional. Perilaku masyarakat menuju abad 21 tidak lagi mencerminkan setia kawan, gotong royong seperti yang tampak di era sebelumnya. Perilaku itu cenderung meluntur, terutama di kota-kota besar. Tingkah laku manusia di kota besar lebih mengarah pada kesibukan pribadi, tidak acuh, tidak peduli terhadap mereka yang kurang beruntung (individualis). Pokoknya saya senang, saya berhasil, saya bisa meraih semuanya. Apa yang terjadi dengan orang lain, bukan urusan saya, kata si individualis, yang juga masuk ke dalam rekaman anak dan bukan tak mungkin dijadikannya pola bertingkah laku.Kesibukan kota besar yang segera merambah pelosok lainnya dengan gerak hidup cepat, bertubinya rangsangan kegiatan dan mobilitas pribadi yang tinggi menempatkan individu dalam situasi yang dilematis. Situasi tersebut membuat individu harus memilih antara pencarian kegiatan yang didasari oleh minat pribadi dengan pelestarian ikatan dan fungsi utama keluarga sebagai sarana dalam menyiapkan anggotanya untuk hidup bermasyarakat. Kecenderungan ini oleh para ahli dianggap sebagai melunturnya fungsi utama keluarga. Fokus perhatian yang lebih mengarah pada tugas-tugas di luar rumah agar tak kalah bersaing kemudian menjadi pilihan orang tua dan sekaligus menempatkan anak dalam kekosongan yang cukup bermakna, terutama dalam upaya pembentukan hati nurani yang akan menjadi pemandunya kelak, sebagai orang yang tangguh, mandiri, tapi juga peduli lingkungan dengan warna spiritual yang kental dan luwes. Apakah orang tua dan masyarakat menyadari kepentingan ini, juga bahwa masa depan bangsa dan negara ada di tangan anak-anak yang sekarang menjadi penonton dan pengamat perilaku orang tua, baik yang ada di rumahnya maupun di masyarakat, apapun peran dan fungsinya? Seberapa jauh kita menyiapkan anak-anak agar bisa berkualitas tinggi dalam abad 21 nanti?Pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua tidak mungkin mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya dari berbagai keadaan dan kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan selamanya menjadi anak. Dia akan berkembang menjadi manusia dewasa. Kalau perkembangan fisiknya secara umum berjalan sesuai dengan pertambahan umurnya, maka kemampuan kecerdasan dan perkembangan emosi serta proses adaptasi atau penyesuaian diri dan ketakwaannya sangat memerlukan asuhan dan pendidikan untuk bisa berkembang optimal. Melalui bekal pendidikan dan proses perkembangan yang dialaminya selama mendapatkan asuhan dari lingkungannya, diharapkan anak akan mampu menyongsong dan menjalani masa depannya dengan baik.

2.5. BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG KUALITAS MANUSIA INDONESIADari berbagai pembahasan mengenai kualitas manusia Indonesia dalam periode Orde Baru yang memfokuskan pembangunan di bidang ekonomi, terlihat kecenderungan untuk menyimpulkan beberapa insiden sebagai gambaran manusia Indonesia dewasa ini yang lebih menandakan sikap instrumental, egosentris, kurang peka terhadap lingkungannya, konsumtif, dan melakukan jalan pintas untuk mencapai kepuasan pribadi. Bernadette N. Setiadi dan kawan-kawan dalam penelitiannya (1989) menemukan hal-hal yang menguatkan pengamatan tersebut. Menurutnya, kualitas manusia Indonesia diwarnai oleh kurangnya etos kerja dan sangat berorientasi pada hasil akhir tanpa atau kurang memperhatikan proses pencapaian hasil akhir. Enoch Markum (1984) mengemukakan bahwa untuk menyongsong pembangunan tahun 2000 mendatang secara mutlak diperlukan manusia Indonesia dengan karakteristik tingkah laku seperti kemandirian, kerja keras, gigih dan prestatif. Saparinah Sadli dan kawan-kawan (1985) dalam penelitian tentang sistem nilai masyarakat kota besar yang dilakukan pada pertengahan dekade delapanpuluhan menemukan bahwa masyarakat kota mempunyai besar nilai terminal (preverensi tujuan hidup) yang diwarnai dengan hal-hal yang sifatnya materi. Sedangkan nilai instrumental (preverensi cara-cara pencapaian tujuan hidup) lebih ditandai oleh pengutamaan kompetensi pribadi.Abad 21 yang memunculkan situasi makin terbukanya hubungan antar bangsa/negara membuat batasan sebelumnya menjadi tipis, sehingga berlangsung persentuhan aspek kehidupan mental psikologis, ekonomi, sosial, budaya. Dalam rangka globalisasi ternyata manusia Indonesia mengalami perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan serta pergeseran prioritas dalam tata nilainya. Kesemuanya tampil dalam perilakunya yang egosentris, instrumental, jalan pintas, etos kerja yag lemah dan kurang peka terhadap masalah yang tidak menyangkut kepentingannya. Padahal era abad 21 memerlukan manusia Indonesia yang tangguh, yang harus menampilkan tingkah laku yang diwarnai dengan etos kerja, prestatif, religius, peka terhadap lingkungan, inovatif dan mandiri. Pertanyaannya adalah, sejauh mana manusia Indonesia bisa dibantu untuk menemukan jati dirinya dan mampu beradaptasi terhadap tarikan dan pengaruh globalisasi masyarakat dunia. Selain itu perlu dicermati pula, berapa banyak yang masih tersisa saat ini untuk bisa diajak memasuki abad 21 secara produktif? Berapa bagian dan seberapa luas kerusakan yang sudah terjadi? Di lapisan mana kerusakan itu terjadi dan di tingkat mana yang masih menjanjikan harapan untuk pembentukan perilaku yang adaptif dalam memasuki abad 21?2.6. PENGEMBANGAN POLA PERILAKU MANUSIA INDONESIA YANG BERKUALITAS TINGGI DALAM MASYARAKAT ABAD 21Sebagaimana telah diuraikan di atas, ada dua kemungkinan pembentukan pola perilaku manusia Indonesia dalam memasuki abad 21, yang diwarnai oleh latar belakang sejarah bangsa dan negara selama ini, yaitu:a) menjadi bangsa yang memiliki self efficacyb) menjadi bangsa yang mengalami learned helplessnessEra Reformasi membukakan kenyataan, betapa banyak unsur penting lainnya dalam upaya pengembangan Manusia Indonesia yang seolah terlupakan dalam membangun bangsa dan negara dalam masa Orde Baru, yang antara lain menjadi penyebab munculnya perilaku yang mengarah kepada perbuatan Korupsi, Kolusi, Koncoisme, Nepotisme (KKKN). Kesadaran tersebut lalu mendorong keinginan untuk membenahi perilaku Manusia Indonesia dari sikap yang cenderung KKKN menjadi perilaku yang Bersih, Transparan, Profesional. Keinginan untuk memunculkan Manusia Indonesia yang bersih, transparan, dan profesional dalam menjalani kehidupannya sangat diperlukan, apapun yang dilakukannya, di manapun posisinya. Kehidupan Abad 21 menyiratkan tantangan yang lebih luas dalam berkompetisi di era globalisasi. Pengembangan perilaku bersih, transparan, dan profesional menjadi persyaratan bagi Manusia Indonesia agar bisa berkualitas tinggi dan mampu mengambil posisi dalam persaingan di kancah dunia dan memanfaatkannya dengan baik. Sebaliknya, perilaku yang mencerminkan KKKN harus ditinggalkan.Peristiwa di Bulan Mei 1998 dan hari-hari berikutnya telah menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kualitas Manusia Indonesia. Ada masalah budaya, ada masalah sosial, ada masalah agama yang secara psikologis menjadi dasar pengembangan sikap dan perilaku, selain masalah ekonomi dan harapan untuk bisa mengambil posisi dalam mengantisipasi globalisasi dan perkembangan teknologi. Pemahaman diri sebagai Manusia Indonesia perlu dimiliki agar dapat menempatkan diri dan mengembangkan hubungan dengan lingkungan, baik dalam skala kecil maupun percaturan yang lebih luas. Negara dan bangsa memerlukan Manusia Indonesia yang mencerminkan pandangan, sikap, dan perilaku warga Republik Indonesia (siapapun dia, dari kelompok mana pun etnik, kelas sosial, agama, pendidikan, kemampuan ekonomi). Era globalisasi yang semakin terasa denyutnya memerlukan penampilan Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, sehingga dapat mengikuti perkembangan dunia, yang selanjutnya akan dapat menghasilkan peran serta aktif di berbagai bidang (pertanian, perdagangan, perindustrian, teknologi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya).

BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras, yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual. Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya mengacu pada upaya pengembangan kelima aspek tersebut secara harmonis dan seimbang agar terbentuk pribadi yang sehat, cerdas, peka (sensitif), luwes beradaptasi dan bersandar pada hati nurani dalam bersikap dan bertindak. Dengan demikian meskipun ia berhadapan dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar kehidupan tradisional yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa dan negaranya tidak akan hanyut terbawa arus kehidupan global. Justru ia akan dapat memilih dan memutuskan yang terbaik untuk diri, bangsa dan negaranya, baik untuk keperluan jangka pendek maupun jangka panjang. Penegakan hukum dan contoh yang diperlukan sebagai model pembentukan perilaku, baik yang ditunjukkan orang tua maupun masyarakat, menjadi penting.2. Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini sangat diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara ketika republik ini didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk dapat menjaga kesatuan dan persatuan. Menyadari keterbatasan kemampuan diri sebagai individu dan kelebihan bekerja sama akan dapat menghindarkan suasana yang saling tuding, saling hujat, saling mencemooh, saling menepuk dada, saling melecehkan, adu kuasa dan adu kekuatan seperti yang tampak sekarang ini. Selain merugikan kehidupan bangsa dan negara, memunculkan ancaman perpecahan, perilaku tersebut tidak akan menempatkan individu dalam proses belajar memahami dan mentaati hukum. Padahal, era globalisasi di abad 21 akan menghadapkan manusia Indonesia pada hukum dan tatanan kehidupan bersama yang lebih luas, tidak hanya dalam batas wilayah Republik Indonesia. Perilaku sadar hukum adalah sebagian dari persyaratan yang diajukan abad 21. Siapkah kita membentuknya? Tahukah kita cara membentuknya? Jawaban pertanyaan ini akan menentukan corak individu yang menandai masyarakat Indonesia abad 21, apakah kita akan menjadi bangsa yang mengalami learned helplessness, apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.3. Agar bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami learned helplessness seharusnya pemerintah dan masyarakat mampu menumbuhkan motivasi berprestasi tinggi atau dikenal sebagai need for achievement (Mc Clelland). Menurut teori Maslow, manusia Indonesia harus didorong sampai pengembangan motivasi untuk mampu mengaktualisasi diri dan tidak terhenti pada motivasi pemenuhan kebutuhan hidup yang mendasar saja.4. Dalam kaitan dengan pembangunan selanjutnya, ada pertanyaan yang masih harus dijawab, terutama mengacu pada pengalaman kita selama ini, akankah kita masih terkotak-kotak dalam menyelenggarakan pembangunan? Dapatkah kita menempatkan manusia sebagai individu dengan segala keunikannya sehingga tidak memperlakukannya sebagai obyek semata? Atau kita masih tetap beranggapan bahwa masyarakat yang terdiri dari kumpulan individu adalah sekadar obyek, yang bisa diatasi dengan dua K yaitu kekuatan dan kekuasaan. Kalau jawabannya Ya, maka cita-cita untuk mewujudkan Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi barangkali cuma angan-angan, seperti membangun rumah di atas angin.3.2 Saran(LUKMAN)

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, IncDeaux, K., Dane, F.C., Wrightsman, L.S., In association with Sigelman, C.K. (1993). Social Psychology in the 90s (6th Ed.). Pacific Groove, California: Brooks/Cole Publishing Company.Feldman, R.S. (1990): Understanding Psychology (2nd Ed). Mc Graw Hill Publishing Company.FOPI (1998): Kerangka Acuan Curah Pikir Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi. FOPI. Jakarta, Agustus 1998Friedman, L.M. (1984). Legal Culture: Legitimacy and Morality. In American Law. London: W.W. Norton Company.Golding, M.P. (1975), Philosophy of Law. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.Himpsi (1991): Membangun Manusia Tangguh Dalam Era Globalisasi, kumpulan makalah Kongres V dan Temu Ilmiah ISPSI (sekarang Himpsi), Semarang 4-7 Desember 1991. Himpsi Pusat.Himpsi (1998): Pokok-Pokok Pemikiran Himpsi tentang Upaya Penegakan Hukum di Indonesia Dalam Rangka Memulihkan Kepercayaan Masyarakat Kepada Pemerintah, konsep masukan kepada pemerintah. Himpsi Pusat, Agustus 1998.Lev, D.S. (1990). Hukum dan Politik di Indonesia. Penerjemah, Nirwono dan A.K. Priyono. Jakarta LP3ES.Macionis, J.J. (1996): Society, The Basics (3rd Ed). Upper Saddle River, New Jersey. Prentice Hall, Inc.Martin, G. & Pear, J. (1992). Behavior Modification (4th Ed.). Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.Poernomo SS, I (1997): Era Globalisasi, Tantangan atau Ancaman? Makalah disampaikan pada Acara Seminar Sehari Kiat-Kiat Mendidik Anak Dalam Menyongsong Era Globalisasi diselenggarakan oleh Ikatan Isteri Dokter Indonesia Cabang Jakarta Barat, Jakarta 6 September 1997.Poernomo SS, I (1998): Saat Tepat Mengajar Anak Hidup Susah. Makalah disampaikan pada acara Temu Pakar dan Pembaca, diselenggarakan oleh Majalah Ayahbunda, Jakarta 28 Agustus 1998.Poespowardojo, S (1998). Kondisi Budaya Dewasa ini dan Implikasinya bagi Dunia Pendidikan. Makalah disampaikan dalam pertemuan Konsep Pendidikan Tinggi Katolik di Universitas Katolik Atma Jaya Yogyakarta, 16 Januari.Seran, A. (1997). Hukum dan Moral: Refleksi Etis Atas Paham Mengenai Hukum Yang Baik. Atma Jaya, Tahun X No. 3, 1-15.Setiadi, B.N. & Indarwahyanti G, B.K. (1998): Peranan Hukum Dalam Pembaharuan Pola Perilaku Masyarakat. Makalah disampaikan pada Simposium Kepedulian Universitas Indonesia terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia, Depok 30 Maret-1 April 1998