makalah hadist

16
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran. Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif. Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat- syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya 1

Upload: mia-lektriani

Post on 02-Jul-2015

1.537 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH HADIST

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang

berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai

sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai

penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44.

Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing

bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal

yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga

dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber

ajaran.

Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah

salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan

atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut

memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan

sebagai sumber ajaran agama.

Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat,

sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa

sahabat yang dilakukan secara selektif.

Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan

diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini

disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang.

Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran

perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut.

Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-

pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek.

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini, diantaranya

1) Memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen Ulumul Hadits

2) Memberikan wawasan tentang pembagian hadits

3) Mempermudah pembaca dalam memahami ilmu hadits, khususnya dalam pembagiannya

4) Menyampaikan informasi yang terkandung dalam pembagian hadits, baik secara kuantitas,

kulitas, penisbahan matan, dan keadaan sanad.

1

Page 2: MAKALAH HADIST

1.3 Rumusan Masalah

Dari pembuatan makalh ini menimbulkan berbagai permasalahan. Diantara permasalahan

itu adalah

1) Bagaimana pembagian hadits secara kuantitas, kualitas, penisbahan matan, dan keadaan

sanad?

2) Apa pengertian dah yadan faedah dari hadits mutwatir dan hadits ahad

3) Bagaimana batasan hadits sahih yang diberikan oleh para ulama?

4) Apa saja syarat-syarat dari hadits sahih dan hadits hasan?

5) Apa maksud dari hadits muttasil dan hadits munfasil?

1.4 Sistematika

Makalah ini disusun berdasarkan sistematika yang terstruktur. Mulai dari pendahuluan,

pembahasan, dan penutup.

Pada pendahuluan kami menuliskan empat subbab, yaitu latar belakang, tujuan,

permasalahan, dan sisteatika.

Pada pembahasan kami menuliskan empat subbab, yaitu pembagian hadits secara

kuantitas, kualitas, penisbahan matan, dan keadaan sanad. Pembagian hadi secara kuantitas ini

dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Dalam bagian-bagian

tersebut juga mengandung apengertian dan faedah-faedahnya. Pembagian hadits secara kualitas

dibedakan ke dalam tiga bagian, yaitu hadits sahih, hadits hasan, dan hadits daif

Pada bagian penutup, kami menuliskan dua subbab, yaitu kesimpulan dan saran.

2

Page 3: MAKALAH HADIST

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas

Pembagian hadits berdasarkan kuantitas terdiri dari dua macam yaitu hadits Mutawatir

dan Hadits Ahad

2.1.1 Hadist Mutawatir

a. Pengertian Hadits Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau

berturut-turut antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut istilah ialah Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang

diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul

dan bersepakat untuk dusta.

Artinya: “Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang

menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan

sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”

Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang

diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat

manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh

orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara

dusta.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini

kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW,

maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat

memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui

bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar,

ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan

dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang

meriwayatkan hadits itu.

Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat

diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka

penyampaian itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai

berikut :

3

Page 4: MAKALAH HADIST

Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan

(daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan

hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang

semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau

dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi

yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk

berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak

memungkinkan bersepakat dusta.

Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan

jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.

Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah

para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.

Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan

ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat

mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).

Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal

tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi

penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).

Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama

maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak

banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir

tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah

berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu

Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-

sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana

dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus

menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-

Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-

Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

c. Faedah Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk

menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa

keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW

4

Page 5: MAKALAH HADIST

benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh

rawi-rawi mutawatir.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi

hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena

kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak

bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan

mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits

mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri

dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang

berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).

2.1.2 Hadist Ahad

a. Pengertian Hadits Ahad

Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah:

Artinya: “Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah

pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat

orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian

bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: ”

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:

Artinya: “Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”

b. Faedah Hadits Ahad

Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadits

mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan

penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah

diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat

bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa

neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah

memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita

berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula

kita mengamalkannya.

Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu (sahih, atau hasan), hendaklah

kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas

dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara

5

Page 6: MAKALAH HADIST

keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya.

Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang

terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita

pandang nasikh.

Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya.

Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah

satunya, bertawaqquflah kita dahulu.

Alhasil, barulah kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih

atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak

mansukh.

2.2 Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas

Berdasarkan kualitas, hadist dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu hadist sahih, hadist hasan,

dan hadist daif

2.2.1 Hadits Sahih

Hadits sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yng benar

berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, antara

lain :

Artinya : “Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya

tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan

dabit.”

Syarat hadits Sahih adalah :

a. Diriwayatkan oleh perawi yang adil.

b. Kedhabitan perawinya sempurna.

c. Sanadnya bersambung.

d. Tidak ada cacat atau illat.

e. Matannya tidak syaz atau janggal.

2.2.2 Hadits Hasan

Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis

hasan adalah :

Artinya : “yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng

sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di

6

Page 7: MAKALAH HADIST

dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal

diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami

sebut hadits hasan.”

Syarat hadits hasan adalah:

a. Para perawinya adil.

b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.

c. Sanadnya bersambung.

d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.

e. Tidak ada cacat atau illat.

2.2.3 Hadits Daif

Hadits daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki

dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari

Rasulullah SAW.

Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :

Artinya :

“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan

juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”

Jadi hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih,

melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu terdapat

hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut

bukan berasal dari Rasulullah SAW.

2.3 Pembagian Hadits Berdasarkan Bentuk dan Penisbahan Matan

Berdasarkan bentuk dan penisbahannya, hadits dibagi dalam dua kategori, yaitu :

a. Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi lima macam;

1. Qauli : Hadits yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan

2. Fi’li : Hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis

terhadap peraturan syariat

3. Taqriri : Hadits yang matannya berupa tarir, sikap atau keadaan mendiamkan,

tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan

4. Qawni :Hadits yang matannya berupa keadaan hal ihlwal dan sifat tertentu

5. Hammi :Hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum

dikerjakan, sebetulnya berupa ucapan

7

Page 8: MAKALAH HADIST

b. Dari penyandaran terhadap matan, hadits dapat dibagi pada;

1. Marfu’: Hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi Muhammad, baik berupa

perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad

2. Mauquf:Hadits yang matannya dinisbahkan pada sahabat, baik berupa

perkataan, perbuatan, atau taqrir

3. Maqtu’:Hadits yang matannya dinisbahkan kepada tabiin, baik berupa

perkataan, perbuatan atau taqrir

4. Qudsi: Hadits yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad

pada Allah dalam makna

5. Maudu’i:Hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi

Muhammad, sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa.

2.4 Pembagian Hadits Berdasarkan Persambungan dan Keadaan Sanad

Pembagian hadits berdasarkan sanad, yang ditinjau dari segi persambungan sanad,

dan dari segi sifat-sifat yang ada pada sanad dan secara periwayatannya, dapat

dikemukan di bawah ini. Hadits ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada

jenis-jenis, yaitu :

a. Hadits Muttasil; Hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi

Muhammad SAW

b. Hadits Munfasil: Bila sanadnya tidak bersambung terdapat inqitaha’ (gugur rawi)

dalam sanad, dan terbagi lagi kepada :

1. Muallaq: Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad

(mudawin).

2. Mursal: Hadits yang gugur rawi pertama atau ahir sanadnya.

3. Munqathi’:Hadits yang gugur rawi di satu tabaqat atau gugur dua orang pada

dua ttabaqat dalam keadaan tidak berturut-turut.

4. Mu’dhal: Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih secara berturut-

turut dalam tabaqat sanad, baik sahabat bersama tabiin, tabiin bersama tabin

tabiin, namun dua orang sebelum sahabat dan tabiin.

5. Mudallas: Hadits yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda.

BAB III

8

Page 9: MAKALAH HADIST

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan umum sebagai

berikut;

1. Dalam perkembangan masa hadits dikelompakkan sesuai kriteria masing-masing.

Secara garis besar hadits dapat dibagi dengan melihat sanad dan matan. Sehingga

dapat dirumuskan, berdasarkan diterima dan ditolaknya, jumlah rawi, bentuk dan

penisbahan matan dan berdasarkan persambungan dan keadaan sanad.

2. Munculnya fenomena penambahan, perbedaan redaksi, penukaran urutan kalimat

terdapat uncur positive dan lebih banyak negatifnya. Positif bila dilihat dari

penambah penjelas dari kalimat yang masih perlu ditafsirkan. Negatifnya membuat

keraguan sang pengkaji, disebabkan berbagai hal, diantaranya kemungkinan sang

perawi memang tidak dabit, dan kemungkinan rawi menafsirkan secara obyektif,

sehingga tidak sesuai makna dan maksud sebenarnya.

Dengan munculnya fenomena diatas memiliki dampak yang sangat bahaya,

lantaran kadang-kadang berakibat menjadikan sesuatu yang bukan hadits sebagai hadits,

maka para ulama sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta

menanganinya dengan sangat hati-hati. Dan ahirnya para pecinta hadits agar tergugah

untuk lebih berhati-hati dalam menelaah dan mengamalkan isi hadits sehingga dapat

membedakan mana yang termasuk bagian hadits dan yang bukan.

3.2 Saran

Penulis menyararankan supaya pembaca bisa paham atas segala ssuatu yang telah kami

sampaikan dalam makalah ini. Sehingga kita bisa mengetahui pembagian hadist dilihat dari

berbagi faktor. Mudah-mudahan semua yang disampaikan dalam makalah ini bisa diterima oleh

pembaca dan menambah wawasan dalam ilmu keagamaan, khususnya ilmu hadist.

DAFTAR PUSTAKA

9

Page 10: MAKALAH HADIST

Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997

Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits

Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits:

Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998

————-, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-

Malayin 1977

————-, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981

Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997

————, Manhaj fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Dar al-Fikr 1998

Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka

Rizki Putra 1999

LEMBAR DISKUSI

No Penanya Pertanyaan jawaban

10

Page 11: MAKALAH HADIST

11