makalah globalisasi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan arus globalisasi sebagai salah satu konsekuensi
pembangunan ekonomi telah membawa dampak luas terhadap perkembangan
hukum ekonomi kita. Hal ini menimbulkan banyaknya unsur-unsur hukum asing
yang mempengaruhi sistem hukum nasional. Keterbukaan ekonomi nasional tidak
hanya dipengaruhi oleh suasana global sebagaimana yang dialami selama ini
seperti semakin dibukanya Penanaman Modal Asing (PMA) dan ditingkatkannya
negoisasi perdagangan ekspor, tetapi juga dalam rangka mengantisipasi
kecenderungan negara-negara untuk membentuk blok-blok perdagangan seperti
Nourth American Free Trade Area (NAFTA), Pasar Tunggal Eropa (PTE), dan
kita sendiri akan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA).
Oleh karena itu tidak dapat dihindarkan lagi pengaruh hukum asing terhadap
sistem hukum nasional, karena kegiatan bisnis sebagaimana pasar nasional adalah
juga merupakan pasar internasional. Dewasa ini kehidupan hukum ekonomi
Indonesia dipaksa berkenalan dengan nilai-nilai dan norma-norma hukum baru.
Namun pembentuk Undang-undang belum dapat memenuhi tuntutan
pembaharuan hukum sesuai dengan kebutuhan yang sedang berjalan. Akibatnya,
seringkali timbul keragu-raguan atau ketidakpastian hukum dalam praktek bisnis
sehari-hari. Keadaan yang demikian ini dapat dilihat .secara nyata antara lain pada
perkerabangan bisnis franchise di Indonesia.
Pengembangan usaha melalui sistem franchise , dewasa ini semakin banyak
diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Dunia. Popularitas bisnis franchise
sebagai suatu cara pemasaran dan distribusi barang dan jasa semakin meningkat.
Sebagai salah satu sistem pemasaran yang efektif, keberadaan franchising
dianggap mampu menjangkau pangsa pasar suatu jenis produk ke seluruh dunia,
tanpa harus membutuhkan investasi yang besar dengan resiko yang relatif tidak
terlalu besar pula.
1
Pada tahun 2000, Lima puluh persen (50%) dari total bisnis retail di
Amerika adalah franchise, para agen pemasaran property independen, seperti Ray
White, Era atau Century 21 juga bergabung dan membentuk organisasi waralaba
yang kuat untuk menciptakan dominasi kolektif pasar mereka. Banyak jaringan
yang dimiliki perusahaan konvesional dirubah menjadi usaha franchise. Hal ini
terjadi karena para pemilik bisnis independen dan perusahaan-perusahaan besar,
menyadari keuntungan yang ditawarkan oleh franchise.1
Franchise, saat inipun telah menjadi bagian dari praktek bisnis di Indonesia,
baik franchisor asing maupun franchisor lokal. Franchise tidak hanya menguasai
perdagangan barang-barang konsumen saja, tetapi juga segala bentuk jasa. Mulai
dari jenis bidang usaha "fast food" seperti Kentucky Fried Chicken, Texas Fried
Chicken, Mc. Donald's, Pizza Hut, Es Teler 77, Rumah Makan Sederhana;
manajemen perhotelan seperti Sheraton, Hilton dan Hyatt; Broker Property seperti
Ray-White, Era, Century 21, Soran sampai ke "fitness & body care" seperti Clark
Hatch dan Slimfit Expression. Franchise pada dasarnya adalah sebuah perjanjian
mengenai metode pendistribusian barang dan jasa "kepada konsumen. Franchisor
dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk
melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan identitas
franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan
prosedur dan cara yang diterapkan oleh franchisor. Franchisor memberikan
bantuan serta pengawasan terhadap franchisee. Sebagai imbalannya franchisee
membayar sejumlah uang berupa "initial fee dan royalty".2
Perjanjian franchise merupakan perjanjian jenis baru di luar jenis-jenis
perjanjian bernama yang disebut dan di atur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (K.U.H.Perdata) .maupun Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (K.U.H.D). Walaupun demikian tidak ada halangan hukum bagi
berkembangnya bisnis dengan sistem franchise di Indonesia. Hal ini didasari oleh
sistem hukum perjanjian di Indonesia yang mengenai asas kebebasan
1 S.Muharam Waralaba Alternatif Ekspansi Paling Murah,”http//www.smfrachise.com>.29 Oktober 2001
2 Suharnoko, Pemutusan Perjanjian dan Perlindungan Hukum Bagi Franchise. Hukum dan Pembangunan No. 6(Desember 1996), hal. 50-52
2
berkontrak (freedom of contract, yaitu tersirat dalam pasal 1338 ayat (1)
K.U.H Perdata yang menyatakan semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud meliputi bentuk dan isi
perjanjian. Bentuk perjanjian berupa kata sepakat (konsensus) saja sudah cukup,
dan apabila dituangkan dalam akta (surat) hanyalah dimaksud sekedar sebagai alat
pembuktian semata saja. Sedangkan mengenai isinya, para pihak pada dasarnya
bebas menentukan sendiri apa yang mereka tuangkan.
Menurut Setiawan, dari segi hukum selain franchise melibatkan hukum
perjanjian juga melibatkan hukum tentang hak milik intelektual. (intellectual
property rights).3 Mengenai hak milik intelektual ini, beberapa aspek sudah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta Jo Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1987 Jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Jo
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 , Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989
tentang Paten Jo Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 Jo Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek Jo
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 Jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Design Industri.
Semua Undang-undang ini dapat dijadikan dasar bagi bisnis franchise dalam
rangka memberikan perlindungan terhadap pihak franchisor sebagai pemilik hak
intelektual. Perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana persoalan perlindungan
bagi franchisee (investor) dalam suatu perjanjian franchise.
Mekanisme kerja dalam franchise adalah berdasarkan prinsip kesetaraan dan
saling menguntungkan. Kesetaraan berarti hubungan kerja antara franchisor dan
franchisee hers berifat kolegial (horisontal). Hal ini menggambarkan dalam skala
perusahaan, masing-masing perusahaan dimiliki dan dikendalikan oleh
pemiliknya masing-masing. Tetapi kenyataannya kedudukan franchisor agak
superior, yakni pada posisi sebagai pengatur. Bagaimanapun akan terlihat
bargaining position franchisee lebih lemah dibanding franchisor. Sistem
3 Setiawan, “Bebebrapa Catatan Tentang Perjanjian Franchise,”(Makalah Dalam Diskusi Panel tentang Aspek Hukum Persaingan Franchising Civil Law dan Common Law, Yogyakarta, 1993), hal. 5
3
franchise yang bersifat mengikat membuat franchisee kurang bebas dalam
melakukan usaha, ditambah lagi dengan aturan dan petunjuk-petunjuk yang
telah ditetapkan oleh franchisor.4
Menurut Suharnoko, hubungan antara franchisor dan franchisee ini ditandai
dengan ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar (unequal bargaining
power).5 Perjanjian franchise umumnya merupakan perjanjian baku yang dibuat
dan ditawarkan oleh franchisor. Franchisor menetapkan syarat-syarat standar yang
harus diikuti oleh franchisee, yanq memungkinkan franchisor dapat membatalkan
perjanjian apabila ia menilai franchisee tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Dalam perjanjian dicantumkan kondisi-kondisi bagi pemutusan perjanjian, seperti:
kegagalan memenuhi standar pengoperasian dan sebagainya. Franchisor
mempunyai kekuasaan untuk menilai semua aspek usaha franchisee, sehingga
perjanjian tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi franchisee dalam
menghadapi pemutusan perjanjian dan penolakan franchisor untuk memperbaruhi
perjanjian.
Franchisor juga dapat memanfaatkan kedudukan franchisee untuk menguji
pasar. Setelah mengetahui bahwa kondisi pasar menguntungkan, maka franchisor
memutuskan perjanjian dengan franchise, selanjutnya franchisor
mengoperasonalkan sendiri "outlet" atau tempat usaha di wilayah franchisee.
Franchisor hampir tidak memiliki resiko yang langsung, sementara franchisee
selain berhadapan dengan resiko investasi, resiko persaingan, kesalahan
manajemen dan perhitungan pangsa pasar, juga harus membayar royalty. Belum
lagi menghadapi resiko perlakuan tidak adil berupa mekanisme kontrol yang
berlebihan dari franchisor.
Dalam suatu kegiatan franchising, kelangsungan hidup perusahaan
franchisee banyak bergantung pada franchisor. Posisi franchisor hampir selalu
berada di pihak yang lebih kuat. Lebih-lebih dalam hal terjadinya perjanjian
franchise diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan para pihak saja. Pihak
4 Ibid, hal. 65 Suharnoko, Op cit, hal. 52
4
francisor sebagai pihak yang lebih kuat cenderung mendiktekan keinginan-
keinginan kepada franchisee.
Menurut Edward Panjaitan dari segi Hukum, meskipun Indonesia telah
memiliki Undang-Undang tentang Hak Cipta, Undang-undang tentang Hak
Merek, Undang-undang tentang Paten dan asas kebebasan berkontrak (dalam
K.U.H.Perdata) yang menurut para pakar hukum yang menjadi landasan bisnis
franchise, tetap masih membutuhkan undang-undang yang secara khusus
mengatur transparansi dalam perjanjian franchise.6
Sebagian negara-negara di dunia seperti negara Amerika Serikat, Inggris,
Jepang, Singapore, konsep franchise yang dikembangkan bertujuan membina
usaha-usaha kecil dalam rangka rnenumbuhkan jiwa kewiraswastaan. Negara-
negara sebut juga telah mempunyai perangkat hukum yang tujuannya melindungi
franchise lokal. Di Amerika Serikat ada ketentuan bahwa setiap franchisor harus
memiliki disclosure dokumen standar. Hukum franchise yang adapun dibuat
terutama untuk melindungi perusahaan atau pengusaha kecil.7
Tumbuh suburnya franchise di Indonesia saat ini, telah mendapat perhatian
dari pemerintah. Pada tanggal 22 Nopember 1991 telah didirikan Asosiasi
Franchise Indonesia (AFI) dengan bantuan ILO (International Labour
Organization) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia.
AFI diharapkan dapat menjadi organisasi profesi sekaligus wadah tunggal
bagi perusahaan franchise nasional, yang dapat memperlihatkan peranannya
sebagai organissai profesi yang mendorong pertumbuhan bisnis franchise di
Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia, juga beranggapan bahwa sistem bisnis
franchise dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kegiatan
perekonomian dan memberi kesempatan kepada golongan ekonomi lemah untuk
berusaha, yang berarti memberi kesempatan untuk pemerataan dan juga
menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Oleh sebab itu sejak tanggal
6 Edward Panjaitan, “Adakah Perlindungan Terhadap Waralaba Lokal”, Parahyangan Edisi 9, (April 1997), hal. 23
7 Setiawan, Op cit, hal. 7
5
18 Juni 1997 pemerintah telah menetapkan peraturan pemerintah Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. Peraturan Pemerintah (PP)
tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tentang ketentuan
dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Tujuan dilahirkan
Peraturan Pemerintah tersebut, supaya dapat memberikan perlindungan bagi
franchise di samping mendorong keadaan kondusif bagi pertumbuhan waralaba
lokal.
Adapun Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia tersebut, isi serta persyaratan perjanjian
franchise tidak hanya diserahkan pada kesepakatan para pihak saja berdasarkan
asas kebebasan berkontrak tetapi juga ditetapkan syarat-syarat minimal yang harus
dipenuhi dengan maksud untuk memberikan perlindungan hukum kepada para
pihak, khususnya franchisee yang biasanya kedudukannya lebih lemah. Ketentuan
yang memuat syarat-syarat minimal tersebut merupakan contoh awal yang baik
dalam upaya mengurangi "Unequal bargaining power" dari pihak-pihak yang
terikat dalam kontrak.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk membahas
Tesis Tentang “Perlindungan Hukum Bagi Franchise dalam Perjanjian Franschise
di Indonesia”
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis membatasi
permasalahan yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Bagaimana upaya perlindungan hukum bagi franchisee yang biasanya
mempunyai kedudukan lebih lemah dibandingkan dengan pihak
franchisor (pemberi franchise) ditinjau dari PP Nomor 16 Tahun 1997
tentang Waralaba?
2. Apakah peraturan tersebut sudah menjamin perlindungan hukum bagi
franchisee dalam praktek perjanjian franchise?
C. Tujuan Penelitian
6
Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dari penelitian ini antara
lain :
1. Menggambarkan hal-hal yang diatur dalam perjanjian Franchise yang
ditinjau dari PP Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba.
2. Menggambarkan upaya perlindungan hukum bagi franchisee yang
biasanya mempunyai kedudukan lebih lemah dibandingkan dengan
franchisor dalam prakter perjanjian franchise.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Untuk menambah kepustakaan di bidang hukum bisnis, khususnya
dalam bidang perjanjian franchise.
2. Manfaat Praktis
Untuk dapat memberikan masukan bagi para pihak dalam perjanjian
agar mengetahui hukum bisnis khusunya tentang waralaba.
3. Manfaat bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan
sumbangan pemikiran dan memperluas wawasan masyarakat bagi
pihak-pihak yang merasa terkait dengan masalah yang dibahas yaitu
perjanjian Franchise.
E. Kerangka Teori
Dalam penulisan ini penulis akan menguraikan beberapa teori
mengenai pengertian perjanjian baku dan pengertian franchise dengan
mengutip beberapa teori yang dapat menjelaskan pengertian tersebut.
1. Perjanjian Baku (Perjanjian Standard)
Sebagai salah satu konsekuensi dari asas kebebasan berkontrak, maka
perjanjian dapat dibuat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Akan
tetapi dalam perkembangannya saat ini, kebanyakan perjanjian dibuat dalam
bentuk tertulis, karena lebih dapat memberikan kepastian hukum serta untuk
mempermudah dalam pembuktian apabila terjadi sengketa di kemudian hari.
7
Pada akhir-akhir ini bahkan ada kecenderungan untuk membuat perjanjian
dalam bentuk baku atau standar. Perjanjian baku tumbuh dan berkembang
hampir dalam kehidupan, terutama dalam bidang perekonomian.
Beberapa ahli mencoba memberikan definisi mengenai perjanjian
baku, antara lain :
Hondius8 merumuskan perjanjian baku, perjanjian baku adalah
konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan
lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang
sifatnya tertentu. Jadi perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
Sehubungan dengan hal ini, Patrik9 berpendapat bahwa Perjanjian
baku adalah suatu perjanjian yang di dalamnya telah terdapat syarat-syarat
tertentu yang dibuat oleh salah satu pihak. Perjanjian baku mempunyai sifat
take it or leave it. Pihak lawan dari yang menyusun kontrak, umumnya
disebut adherent, berhadapan dengan yang menyusun kontrak dia tidak
mempunyai pilihan, kecuali menerima atau menolak. Dalam hal ini
menyusun kontrak mempunyai kedudukan monopoli. Penyusunan kontrak
bebas mempunyai redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam
kekuasaannya. Adapun ciri dari perjanjian baku adalah adanya sifat uniform
untuk semua perjanjian yang sama.
Menurut Mertokusumo10, perjanjian standar atau perjanjian baku
adalah perjanjian yang isinya ditentukan secara a priori oleh pihak yang
menyusun, sehingga pihak adherent merasa tidak bebas kehendaknya,
karena tidak ada persesuaian kehendak dan merasa ada pihak yang lemah.
Menurut, Prof. Mariam Darus Badrulzaman11, ciri perjanjian baku itu antara
lain adalah : 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya
jauh lebih kuat dari debitur; 2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi
8 Meriam Darus Badrulzalman, Aneka Hukum Bisnis. Cet 1, (Bandung: Alumni, 1994) hal. 47.9 Purwahid Patrik, Perjanjian Baku dan Penyalahgunaan Keadaan, Seri Dasar Hukum Ekonomi
5,Hukum Kontrak di Indonesia. (ELIPS dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia) hal. 145.10 Ibid, hal. 14711 Meriam Darus Badrulzalman, Op. cit. hal 48.
8
perjanjian itu; 3. Terdorong oleh kebutuhan debitur, terpaksa menerima
perjanjian itu; 4. Bentuknya tertulis.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
perjanjian baku merupakan perjanjian yang disusun secara sepihak oleh pihak
yang menyusun perjanjian, tanpa sepengetahuan pihak lainnya. Dalam hal ini
pihak lawan tinggal menerima atau menolak perjanjian tersebut, tanpa dapat
menambah atau mengurangi isi perjanjian tersebut, tanpa dapat menambah
atau mengurangi isi perjanjian. Oleh karena itu pada umumnya pihak lawan
berada pada posisi yang lemah.
Pembuatan perjanjian baku dimaksudkan untuk menghemat biaya,
waktu dan tenaga, sehingga sangat bermanfaat dari segi ekonomi.
Menurut Pitlo12, latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah
karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan yang besar dan perusahaan
pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan bentuk
kepentingannya mereka menentukan syarat secara sepihak. Pihak lawannya
yang pada umumnya mempunyai kedudukan lemah, baik karena posisinya
maupun karena ketidaktahuannya hanya menerima apa yang disodorkan itu.
Dalam kehidupan sehari-hari perjanjian baku banyak dipergunakan,
karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dalam membuat
perjanjian yang rumit sehingga membutuhkan banyak biaya, waktu dan
tenaga untuk menyusunnya.
Bila perjanjian baku dikaitkan dengan perjanjian franchise, maka
tampak hubungan hukum antara franchisor dan franchisee berada pada posisi
bargaining yang tidak seimbang, hal ini akan mengakibatkan franchisee tidak
memiliki kekuatan untuk mengemukakan kehendak atau kemauan dalam
menentukan elemen-elemen perjanjian sebagaimana yang diisyaratkan oleh
Pasal 1320 jo 1338 KUH Pedata. Dengan demikian secara teoritis yuridis
perjanjian baku dalam konteks yang dimksudkan disini adalah perjanjian
franchise menjadi tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.
12 Ibid, hal 49
9
Tetapi bila mengacu pada pendapat Hondius yang mengatakan, bahwa
perjanjian baku tetap mempunyai kekuatan mengikat, karena didasarkan pada
kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat bisnis dan lalu
lintas perdagangan, walaupun perjanjian itu bertentangan dengan asas
kebebasan berkontrak. Pandangan Hondius ini dipertegas lagi oleh Asser
Rutten yang mengatakan, bahwa setiap orang yang mendatangani suatu
perjanjian, maka secara otomatis ia harus bertanggung jawab pada isi
perjanjian yang telah ditandatanganinya, karena dengan membubuhkan tanda
tangan dalam suatu perjanjian standar, maka tanda tangan itu mengetahui dan
menghendaki isi dari perjanjian standar tersebut. Jadi tidak mungkin
seseorang itu mendatangani sesuatu perjanjian tanpa mengetahui isinya.13
Dengan berpedoman pada kedua pendapat di atas, maka perjanjian
franchise dapat diterima, sebab perjanjian franchise tumbuh dan berkembang
dalam kebiasaan masyarakat bisnis, dengan tidak menutup kemungkinan
perjanjian franchise yang disepakati oleh franchisee dengan franchisor dapat
menjelaskan dasar hukum untuk perlindungan bagi para pihak, jadi para pihak
disini berhadapan dengan hukum atas kontraktuil.
Dengan mengacu pada Pasal 1338 ayat (3) KHU Perdata, meskipun
perjanjian franchise disusun secara a priori oleh salah satu piha, namun
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sebagai konsekuensi
ketentuan tersebut, maka semua perjanjian, termasuk yang dibuat dalam
bentuk standar harus selalu mempertimbangkan kelayakan dan kepatutan.
2. Pengertian Franchise
Istilah “Franchise” berasal dari bahasa Perancis pada abad
pertengahan, yaitu kata “franc” (bebas) atau “francher” (membebaskan), yang
secara umum diartikan pemberian hak istimewa.
Dalam bahasa Indonesia digunakan istilah “waralaba” untuk
menggantikan istilah “franchise”. Kata “waralaba” berasal dari kata “wara”
(lebih atau istimewa) dan “laba” (untung). Jadi “waralaba” berarti usaha yang
13 Ibid, hal. 47
10
memberikan keuntungan lebih/istimewa. Kata “waralaba” ini pertama kali
diperkenalkan oleh Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) Jakarta.14
Pengunaan istilah “waralaba” untuk menggantikan istilah “franchise”
dalam bahasa Indonesia, dapat diterima oleh pemerintah Republik Indonesia.
Hal ini terbukti dengan digunakan istilah waralaba untuk menyebut franchise
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 dan Surat Keputusan
Menperindag Nomor 259/MPP/Kep/7/1997.
Pengertian “waralaba” menurut Pasal 1 butir (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 1997 tentang waralaba, adalah perikatan dimana salah satu
pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas
kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak
lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain
tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
Banyak pendapat yang mencoba memberikan pengertian tentang franchise.
Menurut Dominique Voillement1615, sebagaimana dikutip oleh Felix O.
Soebagjo, franchise diartikan sebagai suatu cara melakukan kerja sama di
bidang bisnis antara dua atau lebih perusahaan, satu pihak bertindak sebagai
franchisor dan pihak lain sebagai franchisee, pada mana didalamnya diatur
bahwa pihak franchisors sebagai pemilik suatu merek dan know how,
memberikan haknya kepada franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis
berdasarkan merek know how itu.
Kemudian menurut Charles L. Vaughn, franchising yang dikenal
umum saat ini adalah suatu bentuk pemasaran atau distribusi, dimana
perusahaan induk memberikan kepada individu atau perusahaan yang relative
kecil suatu hak khusus atau istimewa untuk menjalankan usaha dengan cara
yang ditentukan selama periode waktu tertentu di tempat yang ditentukan.
Perusahaan induk disebut franchisor, penerima hak usaha disebut franchisee,
dan hak khusus atau istimewa disebut franchise.
14 Soeharnoko, Pemutusan Perjanjian dan Perlindungan Hukum bagi Franchise. (Hukum dan Pembangunan No. 6, Desember 1996), hal. 50
15 Setiawan, Beberapa Catatan tentang Perjanjian Franchise” Makalah dalam diskusi panel tentang aspek hukum persaingan franchising dari perspektif civil law dan common law, (Yogyakarta: 1993) hal. 5
11
Selanjutnya masih menurut Charles L. Vaughn, hak yang dimaksud
diatas bisa sangat bervariasi, bisa berupa hak untuk menjual produk-produk
perusahaan induk, hak untuk menggunakan nama perusahaan induk, dan
untuk meniru lambing, merk dagang atau arsitektur, atau franchise bisa
meliputi semua hak ini. Periode waktu dan ukuran daerah operasi usaha yang
ditetapkan dalam perjanjian, juga bisa sangat bervariasi. Hak yang diberikan
dan tugas atau kewajiban masing-masing pihak, franchisor dan franchisee,
biasanya dicantumkan dalam suatu perjanjian tertulis.
Rooseno Harjowidigdo mengemukakan bahwa franchise adalah suatu
sistem usaha yang sudah khas atau memiliki ciri pengenal bisnis di bidang
perdagangan atau jasa, berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan,
identitas perusahaan (logo, desain, merek bahkan termasuk pakaian dan
penampilan karyawan perusahaan), rencana pemasaran dan bantuan
operasional.
Suharnoko mengemukakan bahwa franchise pada dasarnya adalah
sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada
konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi
kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di
bawah nama dan identitas franchisor dalam wilayah tertentu.
Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang
ditetapkan franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) serta
pengawasan terhadap franchisee. Sebagai imbalannya franchisee membayar
sejumlah uang berupa initial fee dan royalty.
Dari berbagai pengertian “franchise” yang telah dikemukakan di atas
dapat diperoleh gambaran umum bahwa dalam sistem franchise ada hubungan
terkait yang erat antara franchisor dan franchisee yang mempunyai sifat
antara lain : ada kepentingan bersama, bersifat hubungan jangka panjang,
meliputi hubungan yang mencakup banyak segi, mempunyai interaksi
hubungan yang tinggi, ada sistem yang mengatur hubungan kerjasama, ada
keuntungan timbal balik dan menuju hubungan saling tergantung atau
kemitraan (interdependent).
12
Asal mula konsep franchise dimulai pada tahun 200 SM, ketika
seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk
mendistribusikan produk makanan dengan merek tertentu. Namun demikian,
konsep franchise produk seperti yang dikenal saat ini dimulai pada tahun
1863 oleh perusahaan mesin jahit Singer Amerika. Sukses sistem distribusi
Singer selanjutnya diikuti oleh produk minuman ringan yaitu Coca Cola yang
menjual franchise pertamanya pada tahun 1899. Kemudian diikuti dealer
mobil dan minyak pada tahun 1910. Pertumbuhan franchise yang sebenarnya
atau dikenal dengan franchise format bisnis baru terjadi pada akhir era 1950-
an. Sampai pada tahun 1998, cara pendistribusian dengan franchise
diperkirakan mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen) total penjualan
eceran di Amerika Serikat. Sukses format franchise juga terjadi di negara-
negara maju lainnya seperti Kanada, Inggris, Jerman, dan Jepang. Negara-
negara berkembang seperti Meksiko, Indonesia, dan Malaysia juga
mendapatkan bahwa franchise adalah cara yang lebih efektif untuk
menciptakan bisnis baru dan meningkatkan kesempatan lapangan kerja.
Di Indonesia sistem franchise atau waralaba mulai dikenal pada tahun
1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui
pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu
dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak
sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi
produknya, contohnya Coca Cola. Perkembangan sistem waralaba yang
sebenarnya atau disebut format bisnis dimulai pada tahun 1980-an, contohnya
Kentucky Fried Chicken. Perkembangan franchise di Indonesia sampai saat
ini sudah semakin pesat, sistem franchise tidak hanya terbatas pada industri
makanan siap hiding, semua jenis bisnis yang ada sudah dapat diwaralabakan,
seperti : hotel, properti, rumah sakit, kursus, binatu, studio foto, minimart,
spa, salon, bengkel, apotik dan perawatan rambut.
Membahas masalah franchise yang ada di Indonesia tentunya akan
menyangkuttentang arti pentingnya perekonomian Pemerintah
padaumumnya serta khususnyapara pengusaha baik kecil maupun menengah
13
bahkan pengusaha besar sekalipun akan memacu berkembang atau tidaknya
usaha franchise ini.
Dengan demikian dapat diketahui bagaimana tanggapan para
pengusaha tersebut didalam menggunakan usaha dengan cara franchise,
dengan segala undang-undangdan peraturan pelaksanaan yang mengaturnya,
apakah akan menguntungkan bagidirinya atau tidak.
Dalam pembuatan perjanjian pada franchise tetap memakai ketentuan
yang diaturdalam KUHPerdata pada buku III tentang Perikatan yang
didalamnya timbul dari perjanjian.
Pengertian perjanjian menurut rumusan pasal 1313 KUHPerdata,
didefinisikan sebagai berikut :
“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.
Jika kita perhatikan, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313
KUHPerdatatersebut tersirat bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian
lahirlah kewajiban atauprestasi dari satu atau lebih orang kepada satu atau
lebih orang lainnya, yang berhakatas prestasi tersebut.
Selanjutnya pada pasal 1314 KUHPerdata mengembangkan lebih jauh
pengertianyang diberikan dalam rumusan pasal 1313 KUHPerdata, lebih
jauh menyatakanbahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur
dalam perjanjian yangberkewajiban dapat meminta dilakukannya kontra
prestasi dari lawan pihaknyatersebut, hal ini berarti, pada dasarnya
perjanjian dapat dilahirkan perikatan yangbersifat sepihak dan perikatan
yang bertimbal balik, baik franchisor maupunFranchise, keduanya
berkewajiban untuk memenuhi prestasi tertentu.
Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukannya, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata mengenai 4 unsur pokok yang harus ada
agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian yang sah, yaitu
kesepakatan, kecakapan, obyeknya tertentu dan sebab halal. Keempat unsur
tersebut selanjutnya oleh ilmu hukum digolongkan ke dalam dua unsur
pokok yang menyangkut unsur subyektif dan unsur obyektif.
14
Seperti telah dapat kita lihat didalam KUHPerdata memberikan hak
kepada para pihak untuk membuat dan melakukan kesepakatan apa saja
dengan siapa saja, selama mereka memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian
yang dibuat dalam Buku IIIKUHPerdata tersebut. Setiap perjanjian yang
dibuat dengan sah berlaku sebagaiundang-undang bagi para pembuatnya,
rumusan ini terdapat dalam pasal 1338 ayat 1KUHPerdata, yang dipertegas
lagi dalam pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yangmenyatakan bahwa
perjanjian yang disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembalisecara sepihak
oleh salah satu pihak dalam perjanjian tanpa adanya persetujuan darilawan
pihaknya dalam perjanjian atau dalam hal-hal dimana oleh undang-undang
dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.
Secara umum, kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan
memberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam dalam pasal 1320
KUHPerdata jo pasal 1338ayat 1 KUHPerdata tersebut sebagai asas
kebebasan berkontrak dalam hukum Perjanjian. Dalam pasal 1338
KUHPerdata pada intinya memberikan kebebasan bagitiap-tiap subyek
hukum untuk melakukan kontrak dengan muatan materi yangdisepakati oleh
kedua belah pihak kebebasan tersebut meliputi isi, bentuk
maupunhukumnya.
Dalam hukum kontrak hal tersebut sering dikenal sebagai Asas
Kebebasan Berkontrak (The Principle of Freedom of The Parties)
kebebasan berkontrakmerupakan alasan yang ideal bagi kesimbangan
bergaining power di antara pihak-pihakyang melakukan kontrak, tidak
adanya perbuatan yang tidak adil yangdilakukan terhadap sebagian besar
kepentingan ekonomi masyarakat.16
Dalam kontrak yang dilakukan para pihak meskipun adanya suatu
kebebasan dalam hal materi kontraknya, namun harus adanya suatu batas-
batas yang melekat didalamnya. Dengan kata lain penerapan terhadap asas
kebebasan berkontrak mempunyai toleransi yang sah sepanjang tidak
16 A.G.Guest, Law of Contract, (Oxford University Press, London, 1979) hal.3-4
15
bertentangan dengan ketertiban umum(Public Policy), kepatutan serta
kesusilaan atau tidak melanggar itikad baik serta undang-undang.
Penggunaan pilihan hukum sendiri merupakan konsekuensi dari asas
kebebasanberkontrak yang diterapkan, namun demikian ada beberapa
pembatasan terhadappilihan hukum, yaitu :17
1. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum (Public Policy).
2. Pilihan hukum tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa.
3. Pilihan hukum hanya dalam bidang kontrak saja, kecuali, perjanjian kerja
Lebih lanjut dalam menentukan pilihan hukum, bagi perjanjian yang
dilangsungkandalam rangka kegiatan perusahaan dan dilangsungkan di
tempat kedudukan hukum atau domisili orang bertempat tinggal, maka
hukum yang berlaku atau yangdigunakan adalah hukum dari negara dimana
terdapat tempat kedudukan dari perusahaan tersebut.
Dengan kata lain, bahwa terhadap pilihan hukum yang akan
digunakan danditentukan dalam klausula governing law tersebut harus
berdasarkan pada hukum di mana kontrak yang bersangkutan
memperlihatkan prestasi yang paling berhubungankarakteristiknya serta
aspek perlindungan hukumnya, yang sering dikenal sebagaiteori The Most
Characteristic Connection.
Teori tersebut oleh sebagian kalangan sarjana hukum dipandang
cukup fair danakomodatif, karena kewajiban untuk melaksanakan suatu
prestasi yang palingkarakteristik menjadi dasar acuan dalam penentuan
pilihan hukum yang akanmengatur kontrak tersebut, disamping itu pula
diperhatikan aspek perlindunganhukumnya.
Jika dikaitkan dengan aspek ekonomi, maka dalam Surat Keputusan
pembuatankontrak ditempuh dengan cara-cara yang sangat efisien. Sebagian
dikemukakan lebihlanjut oleh Khalil bin Yusoff yaitu : “a decision is
efficient if there are net againts tobe denund by both parties in a
transaction“
17 Ridwan Khairandy, Dasar-dasar hukum Perdata Internasional, Diktat Kuliah, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta, 1992) hal 79.
16
Pemerintah mendatang perlu pula untuk melindungi usaha kecil di
tengah-tengahpersaingan usaha yang begitu cepat dan ketat, oleh karenanya
dikeluarkanUndang-Undang Republik Indonesia No.9 tahun 1995 tentang
Pembinaan UsahaKecil, serta Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1997 yang
menghendaki prioritaspenggunaan barang atau bahan hasil produksi dalam
negeri (Vide pasal 4 PP No. 16tahun 1997)
F. Metodologi Penelitian
Tesis sebagai suatu karya ilmiah harus diuraikan secara jelas, tegas,
logis dan sistematis berdasarkan fakta-fakta yang dapat dipercaya, dalam
rangka penulisan suatu karya ilmiah tersebut maka perlu dilakukan
penelitian terlebih dahulu. Penelitian yang dimaksud penulis harus bersifat
obyektif agar ditemukan suatu data yang benar-benar akurat yang pada
akhirnya akan menunjang penulisan karya ilmiah.
1. Tipe Penelitian
Penulis menggunakan obyek penelitian normatif yaitu menggunakan
ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang ada dalam
menganalisa kontrak atau perjanjian franchise (franchise agreement)
yaitu UU RI No.9 tahun 1995 tentang Pembinaan Usaha Kecil yang
menghendaki adanya hubungan kemitraan antara para pengusaha baik
kecil,menengah maupun besar serta PP No.16 tahun 1997 tentang
Waralaba atau Franchise sebagai landasan yuridis operasionalisasi
praktek franchising di Indonesia. Juga acuan utama dalam pendekatan
ini sebagaimana dalam pasal 1338 KUHPerdata serta yurisprudensi yang
menyangkut asas itikad baik dalam suatu kontrak.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat
deskriptif yaitu menggambarkan perlindungan hukum bagi franchisee
dalam praktek perjanjian franchise di Indonesia. Penelitian yang di
analisis secara kualitatif merencanakan pendekatan untuk merekam data.
17
Sebuah bentuk untuk merekam informasi yang dibutuhkan untuk citatat
memisahkan potret catatan deskriptif dari informan, rekontruksi dialog,
deskripsi latar belakang, rekening peristiwa tertentu, dan kegiatan dari
catatan reflektif kesempatan bagi peneliti untuk merekam pengalaman
pribadi termasuk juga informasi demoghraphic tentang waktu, tempat,
tanggal yang menggambarkan pengaturan bidang dimana pengamatan
berlangsung.18
3. Data dan Sumber Data
Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian
ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan.
Namun demikian, untuk melengkapi atau mendukung analisis sekunder,
tetap diperlukan wawancara dengan beberapa informan yang dinilai
memahami konsep yang ada dalam data sekunder, sejauh dalam batas-
batas metode penelitian normatif.
Dalam penelitian yang di analisis secara kualitatif melibatkan empat
Tipe Dasar yaitu Observasi, Wawancara, Dokumen & Gambar visual19.
Dalam penelitian kualitatif banyak prosedur pengumpulan beberapa data
yang digunakan.
Data kepustakaan digolongkan dalam dua bahan hukum yaitu :
a. Data Sekunder
Yaitu sumber data yang diperoleh melalui kegiatan studi dokumen
yang terkait dengan topik penulisan tesis ini yaitu mengenai
praktek perjanjian franchise.
Data sekunder dibagi dua, yaitu :20
1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, dalam
hal ini penulis berusaha mengumpulkan data melalui Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, PP Nomor 16 Tahun 1997
tentang Waralaba, serta perjanjian franchise PT. MCD di
Indonesia.
18 Creswell, John W. Qualitative, Quantitative Approaches (Sage : 1994) hal. 15219 Ibid, hal. 14920 Soerjono Soekanto, Pengantar Peneltian Hukum. (Jakarta : Universitas Indonesia, 2007) hal. 51.
18
2) Bahan hukum sekunder yaitu dengan buku-buku cetak yang
berkaitan dengan hukum perjanjian khususnya perjanjian
franchise
b. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya. Dalam
hal ini penulis memperoleh informasi langsung dari narasumber
dengan menggunakan pedoman wawancara yang dimana
wawancara tersebut dilakukan oleh pihak yang berwenang
memberikan tanggapan.
4. Teknik Pengumpulan Data
a) Studi Kepustakaan yaitu dilakukan dengan membaca dan
mempelajari buku dan sumber bacaan lainnya yang berhubungan
dengan penyusunan tesis.
b) Studi Lapangan yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan jalan
mencari langsung sumber yang berwenang seperti penyelesaian
Hukum terhadap kasus dalam sistem bisnis Franchise.
5. Analisis Data
Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif artinya data
kepustakaan dan hasil studi lapangan dianalisis secara mendalam dan
komprehensif. Dalam penelitian kualitatif menggunakan literatur hemat
di awal rencana untuk menyampaikan desain kecuali desain kualitatif
memerlukan orientasi sastra besar di awal. Mempertimbangkan tempat
yang paling tepat untuk literatur dalam penelitian kualitatif dan bisnis.
Keputusan nya tersebut perlu di ingat menempatkannya di awal untuk
membingkai masalah, menempatkannya dalam bagian terpisah, dan
menggunakannya pada akhir studi untuk membandingkan dan kontras
dengan temuan21.
6. Cara Penarikan Kesimpulan
21 Creswell, John W. Qualitative, Quantitative Approaches (Sage : 1994) hal. 24
19
Penelitian secara kualitatif menggunakan pendekatan deduktif untuk
teori pengenalan-employing untuk diperiksa atau di uji dalam
pendahuluan. Studi ethnoghraphic dari antropologi budaya misalnya,
termasuk teori budaya yang kuat pada awal penelitian, format ini
teruma terjadi dengan studi teori kritis, Thomas menyarankan bahwa
‘‘Para peneliti kritis mulai dari premis bahwa semua kehidupan budaya
dalam tegangan konstan antara kontrol dan perlawanan’’.22
Dengan demikian metode logika deduktif yaitu metode penarikan
kesimpulan berdasarkan data yang bersifat umum menjadi data yang
bersifat khusus (Perjanjian Franchise di Indonesia)
7. Sistematika Penulisan
Dalam hal penulisan tesis ini penulis menggunakan system yang
terdiri dari:
Bab yang kesatu : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai
latar belakang, pokok permasalahan, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,
metode penelitian, dan system penelitian.
Bab yang kedua : TINJAUAN UMUM
Dalam bab ini penulis akan menguraikan
mengenai perjanjian secara umum berdasarkan
teori, KUHPerdata dan PP no. 16 Tahun 1997
tentang waralaba.
Bab yang ketiga : TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI FRANCHISEE DALAM
PRAKTEK PERJANJIAN FRANCHISE DI
INDONESIA (STUDI KASUS: PT MCD)
22 Creswell, John W. Qualitative, Quantitative Approaches (Sage : 1994) hal. 44
20
Dalam bab ini penulis akan menggambarkan
secara jelas mengenai perjanjian franchise di
Indonesia dengan menggunakan data PT. MCD
Bab yang keempat : ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI FRANCHISEE DALAM
PRAKTEK PERJANJIAN FRANCHISE DI
INDONESIA (STUDI KASUS: PT MCD)
Dalam bab ini penulis akan menganalisis
bagaimana perlindungan hukum terhadap
franchisee ditinjau dari teori, KUHPerdata dan PP
no. 16 Tahun 1997 tentang waralaba apakah
sudah dapat menjamin perlindungan hukum
terhadap frenchisee.
Bab yang kelima : PENUTUP
Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan dan
saran yang dianggap perlu dan berkaitan dengan
topik dan isi penulisan.
DAFTAR PUSTAKA
21
A. BUKU
A.G.Guest, Law of Contract, (Oxford University Press, London, 1979)
Creswell, John W. Qualitative, Quantitative and Approaches (Sage : 1994)
Darus Badrulzalman, Aneka Hukum Bisnis. Cet 1, (Bandung: Alumni,
1994)
Edward Panjaitan, Adakah Perlindungan Terhadap Waralaba Lokal,
(Parahyangan : Edisi 9,1997)
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, PT. Raja Grafindo
Persada Jakarta, tahun 2001
Purwahid Patrik, Perjanjian Baku dan Penyalahgunaan Keadaan, Seri
Dasar Hukum Ekonomi 5,Hukum Kontrak di Indonesia. (ELIPS
dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Ridwan Khairandy, Dasar-dasar hukum Perdata Internasional, Diktat
Kuliah, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta, 1992)
Soeharnoko, Pemutusan Perjanjian dan Perlindungan Hukum bagi
Franchise. (Hukum dan Pembangunan No. 6, Desember 1996)
Setiawan, Beberapa Catatan tentang Perjanjian Franchise” Makalah
dalam diskusi panel tentang aspek hukum persaingan
franchising dari perspektif civil law dan common law,
(Yogyakarta: 1993)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universitas
Indonesia, 2007
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
22
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor :259/MPP/Kep/7/1997, tanggal 30 Juli 1997 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha
Waralaba sebagai Peraturan Pelaksanaannya.
23