makalah globalisasi

38
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan arus globalisasi sebagai salah satu konsekuensi pembangunan ekonomi telah membawa dampak luas terhadap perkembangan hukum ekonomi kita. Hal ini menimbulkan banyaknya unsur-unsur hukum asing yang mempengaruhi sistem hukum nasional. Keterbukaan ekonomi nasional tidak hanya dipengaruhi oleh suasana global sebagaimana yang dialami selama ini seperti semakin dibukanya Penanaman Modal Asing (PMA) dan ditingkatkannya negoisasi perdagangan ekspor, tetapi juga dalam rangka mengantisipasi kecenderungan negara- negara untuk membentuk blok-blok perdagangan seperti Nourth American Free Trade Area (NAFTA), Pasar Tunggal Eropa (PTE), dan kita sendiri akan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA). Oleh karena itu tidak dapat dihindarkan lagi pengaruh hukum asing terhadap sistem hukum nasional, karena kegiatan bisnis sebagaimana pasar nasional adalah juga merupakan pasar internasional. Dewasa ini kehidupan hukum ekonomi Indonesia dipaksa berkenalan dengan nilai-nilai dan norma-norma hukum baru. Namun pembentuk Undang-undang belum dapat memenuhi tuntutan 1

Upload: benny603

Post on 02-Aug-2015

93 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Globalisasi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan arus globalisasi sebagai salah satu konsekuensi

pembangunan ekonomi telah membawa dampak luas terhadap perkembangan

hukum ekonomi kita. Hal ini menimbulkan banyaknya unsur-unsur hukum asing

yang mempengaruhi sistem hukum nasional. Keterbukaan ekonomi nasional tidak

hanya dipengaruhi oleh suasana global sebagaimana yang dialami selama ini

seperti semakin dibukanya Penanaman Modal Asing (PMA) dan ditingkatkannya

negoisasi perdagangan ekspor, tetapi juga dalam rangka mengantisipasi

kecenderungan negara-negara untuk membentuk blok-blok perdagangan seperti

Nourth American Free Trade Area (NAFTA), Pasar Tunggal Eropa (PTE), dan

kita sendiri akan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA).

Oleh karena itu tidak dapat dihindarkan lagi pengaruh hukum asing terhadap

sistem hukum nasional, karena kegiatan bisnis sebagaimana pasar nasional adalah

juga merupakan pasar internasional. Dewasa ini kehidupan hukum ekonomi

Indonesia dipaksa berkenalan dengan nilai-nilai dan norma-norma hukum baru.

Namun pembentuk Undang-undang belum dapat memenuhi tuntutan

pembaharuan hukum sesuai dengan kebutuhan yang sedang berjalan. Akibatnya,

seringkali timbul keragu-raguan atau ketidakpastian hukum dalam praktek bisnis

sehari-hari. Keadaan yang demikian ini dapat dilihat .secara nyata antara lain pada

perkerabangan bisnis franchise di Indonesia.

Pengembangan usaha melalui sistem franchise , dewasa ini semakin banyak

diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Dunia. Popularitas bisnis franchise

sebagai suatu cara pemasaran dan distribusi barang dan jasa semakin meningkat.

Sebagai salah satu sistem pemasaran yang efektif, keberadaan franchising

dianggap mampu menjangkau pangsa pasar suatu jenis produk ke seluruh dunia,

tanpa harus membutuhkan investasi yang besar dengan resiko yang relatif tidak

terlalu besar pula.

1

Page 2: Makalah Globalisasi

Pada tahun 2000, Lima puluh persen (50%) dari total bisnis retail di

Amerika adalah franchise, para agen pemasaran property independen, seperti Ray

White, Era atau Century 21 juga bergabung dan membentuk organisasi waralaba

yang kuat untuk menciptakan dominasi kolektif pasar mereka. Banyak jaringan

yang dimiliki perusahaan konvesional dirubah menjadi usaha franchise. Hal ini

terjadi karena para pemilik bisnis independen dan perusahaan-perusahaan besar,

menyadari keuntungan yang ditawarkan oleh franchise.1

Franchise, saat inipun telah menjadi bagian dari praktek bisnis di Indonesia,

baik franchisor asing maupun franchisor lokal. Franchise tidak hanya menguasai

perdagangan barang-barang konsumen saja, tetapi juga segala bentuk jasa. Mulai

dari jenis bidang usaha "fast food" seperti Kentucky Fried Chicken, Texas Fried

Chicken, Mc. Donald's, Pizza Hut, Es Teler 77, Rumah Makan Sederhana;

manajemen perhotelan seperti Sheraton, Hilton dan Hyatt; Broker Property seperti

Ray-White, Era, Century 21, Soran sampai ke "fitness & body care" seperti Clark

Hatch dan Slimfit Expression. Franchise pada dasarnya adalah sebuah perjanjian

mengenai metode pendistribusian barang dan jasa "kepada konsumen. Franchisor

dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk

melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan identitas

franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan

prosedur dan cara yang diterapkan oleh franchisor. Franchisor memberikan

bantuan serta pengawasan terhadap franchisee. Sebagai imbalannya franchisee

membayar sejumlah uang berupa "initial fee dan royalty".2

Perjanjian franchise merupakan perjanjian jenis baru di luar jenis-jenis

perjanjian bernama yang disebut dan di atur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-

undang Hukum Perdata (K.U.H.Perdata) .maupun Kitab Undang-undang Hukum

Dagang (K.U.H.D). Walaupun demikian tidak ada halangan hukum bagi

berkembangnya bisnis dengan sistem franchise di Indonesia. Hal ini didasari oleh

sistem hukum perjanjian di Indonesia yang mengenai asas kebebasan

1 S.Muharam Waralaba Alternatif Ekspansi Paling Murah,”http//www.smfrachise.com>.29 Oktober 2001

2 Suharnoko, Pemutusan Perjanjian dan Perlindungan Hukum Bagi Franchise. Hukum dan Pembangunan No. 6(Desember 1996), hal. 50-52

2

Page 3: Makalah Globalisasi

berkontrak (freedom of contract, yaitu tersirat dalam pasal 1338 ayat (1)

K.U.H Perdata yang menyatakan semua persetujuan yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud meliputi bentuk dan isi

perjanjian. Bentuk perjanjian berupa kata sepakat (konsensus) saja sudah cukup,

dan apabila dituangkan dalam akta (surat) hanyalah dimaksud sekedar sebagai alat

pembuktian semata saja. Sedangkan mengenai isinya, para pihak pada dasarnya

bebas menentukan sendiri apa yang mereka tuangkan.

Menurut Setiawan, dari segi hukum selain franchise melibatkan hukum

perjanjian juga melibatkan hukum tentang hak milik intelektual. (intellectual

property rights).3 Mengenai hak milik intelektual ini, beberapa aspek sudah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta Jo Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1987 Jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Jo

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 , Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989

tentang Paten Jo Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 Jo Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek Jo

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 Jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Design Industri.

Semua Undang-undang ini dapat dijadikan dasar bagi bisnis franchise dalam

rangka memberikan perlindungan terhadap pihak franchisor sebagai pemilik hak

intelektual. Perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana persoalan perlindungan

bagi franchisee (investor) dalam suatu perjanjian franchise.

Mekanisme kerja dalam franchise adalah berdasarkan prinsip kesetaraan dan

saling menguntungkan. Kesetaraan berarti hubungan kerja antara franchisor dan

franchisee hers berifat kolegial (horisontal). Hal ini menggambarkan dalam skala

perusahaan, masing-masing perusahaan dimiliki dan dikendalikan oleh

pemiliknya masing-masing. Tetapi kenyataannya kedudukan franchisor agak

superior, yakni pada posisi sebagai pengatur. Bagaimanapun akan terlihat

bargaining position franchisee lebih lemah dibanding franchisor. Sistem

3 Setiawan, “Bebebrapa Catatan Tentang Perjanjian Franchise,”(Makalah Dalam Diskusi Panel tentang Aspek Hukum Persaingan Franchising Civil Law dan Common Law, Yogyakarta, 1993), hal. 5

3

Page 4: Makalah Globalisasi

franchise yang bersifat mengikat membuat franchisee kurang bebas dalam

melakukan usaha, ditambah lagi dengan aturan dan petunjuk-petunjuk yang

telah ditetapkan oleh franchisor.4

Menurut Suharnoko, hubungan antara franchisor dan franchisee ini ditandai

dengan ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar (unequal bargaining

power).5 Perjanjian franchise umumnya merupakan perjanjian baku yang dibuat

dan ditawarkan oleh franchisor. Franchisor menetapkan syarat-syarat standar yang

harus diikuti oleh franchisee, yanq memungkinkan franchisor dapat membatalkan

perjanjian apabila ia menilai franchisee tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Dalam perjanjian dicantumkan kondisi-kondisi bagi pemutusan perjanjian, seperti:

kegagalan memenuhi standar pengoperasian dan sebagainya. Franchisor

mempunyai kekuasaan untuk menilai semua aspek usaha franchisee, sehingga

perjanjian tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi franchisee dalam

menghadapi pemutusan perjanjian dan penolakan franchisor untuk memperbaruhi

perjanjian.

Franchisor juga dapat memanfaatkan kedudukan franchisee untuk menguji

pasar. Setelah mengetahui bahwa kondisi pasar menguntungkan, maka franchisor

memutuskan perjanjian dengan franchise, selanjutnya franchisor

mengoperasonalkan sendiri "outlet" atau tempat usaha di wilayah franchisee.

Franchisor hampir tidak memiliki resiko yang langsung, sementara franchisee

selain berhadapan dengan resiko investasi, resiko persaingan, kesalahan

manajemen dan perhitungan pangsa pasar, juga harus membayar royalty. Belum

lagi menghadapi resiko perlakuan tidak adil berupa mekanisme kontrol yang

berlebihan dari franchisor.

Dalam suatu kegiatan franchising, kelangsungan hidup perusahaan

franchisee banyak bergantung pada franchisor. Posisi franchisor hampir selalu

berada di pihak yang lebih kuat. Lebih-lebih dalam hal terjadinya perjanjian

franchise diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan para pihak saja. Pihak

4 Ibid, hal. 65 Suharnoko, Op cit, hal. 52

4

Page 5: Makalah Globalisasi

francisor sebagai pihak yang lebih kuat cenderung mendiktekan keinginan-

keinginan kepada franchisee.

Menurut Edward Panjaitan dari segi Hukum, meskipun Indonesia telah

memiliki Undang-Undang tentang Hak Cipta, Undang-undang tentang Hak

Merek, Undang-undang tentang Paten dan asas kebebasan berkontrak (dalam

K.U.H.Perdata) yang menurut para pakar hukum yang menjadi landasan bisnis

franchise, tetap masih membutuhkan undang-undang yang secara khusus

mengatur transparansi dalam perjanjian franchise.6

Sebagian negara-negara di dunia seperti negara Amerika Serikat, Inggris,

Jepang, Singapore, konsep franchise yang dikembangkan bertujuan membina

usaha-usaha kecil dalam rangka rnenumbuhkan jiwa kewiraswastaan. Negara-

negara sebut juga telah mempunyai perangkat hukum yang tujuannya melindungi

franchise lokal. Di Amerika Serikat ada ketentuan bahwa setiap franchisor harus

memiliki disclosure dokumen standar. Hukum franchise yang adapun dibuat

terutama untuk melindungi perusahaan atau pengusaha kecil.7

Tumbuh suburnya franchise di Indonesia saat ini, telah mendapat perhatian

dari pemerintah. Pada tanggal 22 Nopember 1991 telah didirikan Asosiasi

Franchise Indonesia (AFI) dengan bantuan ILO (International Labour

Organization) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia.

AFI diharapkan dapat menjadi organisasi profesi sekaligus wadah tunggal

bagi perusahaan franchise nasional, yang dapat memperlihatkan peranannya

sebagai organissai profesi yang mendorong pertumbuhan bisnis franchise di

Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia, juga beranggapan bahwa sistem bisnis

franchise dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kegiatan

perekonomian dan memberi kesempatan kepada golongan ekonomi lemah untuk

berusaha, yang berarti memberi kesempatan untuk pemerataan dan juga

menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Oleh sebab itu sejak tanggal

6 Edward Panjaitan, “Adakah Perlindungan Terhadap Waralaba Lokal”, Parahyangan Edisi 9, (April 1997), hal. 23

7 Setiawan, Op cit, hal. 7

5

Page 6: Makalah Globalisasi

18 Juni 1997 pemerintah telah menetapkan peraturan pemerintah Republik

Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. Peraturan Pemerintah (PP)

tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tentang ketentuan

dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Tujuan dilahirkan

Peraturan Pemerintah tersebut, supaya dapat memberikan perlindungan bagi

franchise di samping mendorong keadaan kondusif bagi pertumbuhan waralaba

lokal.

Adapun Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Republik Indonesia tersebut, isi serta persyaratan perjanjian

franchise tidak hanya diserahkan pada kesepakatan para pihak saja berdasarkan

asas kebebasan berkontrak tetapi juga ditetapkan syarat-syarat minimal yang harus

dipenuhi dengan maksud untuk memberikan perlindungan hukum kepada para

pihak, khususnya franchisee yang biasanya kedudukannya lebih lemah. Ketentuan

yang memuat syarat-syarat minimal tersebut merupakan contoh awal yang baik

dalam upaya mengurangi "Unequal bargaining power" dari pihak-pihak yang

terikat dalam kontrak.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk membahas

Tesis Tentang “Perlindungan Hukum Bagi Franchise dalam Perjanjian Franschise

di Indonesia”

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis membatasi

permasalahan yang mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Bagaimana upaya perlindungan hukum bagi franchisee yang biasanya

mempunyai kedudukan lebih lemah dibandingkan dengan pihak

franchisor (pemberi franchise) ditinjau dari PP Nomor 16 Tahun 1997

tentang Waralaba?

2. Apakah peraturan tersebut sudah menjamin perlindungan hukum bagi

franchisee dalam praktek perjanjian franchise?

C. Tujuan Penelitian

6

Page 7: Makalah Globalisasi

Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dari penelitian ini antara

lain :

1. Menggambarkan hal-hal yang diatur dalam perjanjian Franchise yang

ditinjau dari PP Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba.

2. Menggambarkan upaya perlindungan hukum bagi franchisee yang

biasanya mempunyai kedudukan lebih lemah dibandingkan dengan

franchisor dalam prakter perjanjian franchise.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah kepustakaan di bidang hukum bisnis, khususnya

dalam bidang perjanjian franchise.

2. Manfaat Praktis

Untuk dapat memberikan masukan bagi para pihak dalam perjanjian

agar mengetahui hukum bisnis khusunya tentang waralaba.

3. Manfaat bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan

sumbangan pemikiran dan memperluas wawasan masyarakat bagi

pihak-pihak yang merasa terkait dengan masalah yang dibahas yaitu

perjanjian Franchise.

E. Kerangka Teori

Dalam penulisan ini penulis akan menguraikan beberapa teori

mengenai pengertian perjanjian baku dan pengertian franchise dengan

mengutip beberapa teori yang dapat menjelaskan pengertian tersebut.

1. Perjanjian Baku (Perjanjian Standard)

Sebagai salah satu konsekuensi dari asas kebebasan berkontrak, maka

perjanjian dapat dibuat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Akan

tetapi dalam perkembangannya saat ini, kebanyakan perjanjian dibuat dalam

bentuk tertulis, karena lebih dapat memberikan kepastian hukum serta untuk

mempermudah dalam pembuktian apabila terjadi sengketa di kemudian hari.

7

Page 8: Makalah Globalisasi

Pada akhir-akhir ini bahkan ada kecenderungan untuk membuat perjanjian

dalam bentuk baku atau standar. Perjanjian baku tumbuh dan berkembang

hampir dalam kehidupan, terutama dalam bidang perekonomian.

Beberapa ahli mencoba memberikan definisi mengenai perjanjian

baku, antara lain :

Hondius8 merumuskan perjanjian baku, perjanjian baku adalah

konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan

lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang

sifatnya tertentu. Jadi perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya

dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.

Sehubungan dengan hal ini, Patrik9 berpendapat bahwa Perjanjian

baku adalah suatu perjanjian yang di dalamnya telah terdapat syarat-syarat

tertentu yang dibuat oleh salah satu pihak. Perjanjian baku mempunyai sifat

take it or leave it. Pihak lawan dari yang menyusun kontrak, umumnya

disebut adherent, berhadapan dengan yang menyusun kontrak dia tidak

mempunyai pilihan, kecuali menerima atau menolak. Dalam hal ini

menyusun kontrak mempunyai kedudukan monopoli. Penyusunan kontrak

bebas mempunyai redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam

kekuasaannya. Adapun ciri dari perjanjian baku adalah adanya sifat uniform

untuk semua perjanjian yang sama.

Menurut Mertokusumo10, perjanjian standar atau perjanjian baku

adalah perjanjian yang isinya ditentukan secara a priori oleh pihak yang

menyusun, sehingga pihak adherent merasa tidak bebas kehendaknya,

karena tidak ada persesuaian kehendak dan merasa ada pihak yang lemah.

Menurut, Prof. Mariam Darus Badrulzaman11, ciri perjanjian baku itu antara

lain adalah : 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya

jauh lebih kuat dari debitur; 2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi

8 Meriam Darus Badrulzalman, Aneka Hukum Bisnis. Cet 1, (Bandung: Alumni, 1994) hal. 47.9 Purwahid Patrik, Perjanjian Baku dan Penyalahgunaan Keadaan, Seri Dasar Hukum Ekonomi

5,Hukum Kontrak di Indonesia. (ELIPS dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia) hal. 145.10 Ibid, hal. 14711 Meriam Darus Badrulzalman, Op. cit. hal 48.

8

Page 9: Makalah Globalisasi

perjanjian itu; 3. Terdorong oleh kebutuhan debitur, terpaksa menerima

perjanjian itu; 4. Bentuknya tertulis.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

perjanjian baku merupakan perjanjian yang disusun secara sepihak oleh pihak

yang menyusun perjanjian, tanpa sepengetahuan pihak lainnya. Dalam hal ini

pihak lawan tinggal menerima atau menolak perjanjian tersebut, tanpa dapat

menambah atau mengurangi isi perjanjian tersebut, tanpa dapat menambah

atau mengurangi isi perjanjian. Oleh karena itu pada umumnya pihak lawan

berada pada posisi yang lemah.

Pembuatan perjanjian baku dimaksudkan untuk menghemat biaya,

waktu dan tenaga, sehingga sangat bermanfaat dari segi ekonomi.

Menurut Pitlo12, latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah

karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan yang besar dan perusahaan

pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan bentuk

kepentingannya mereka menentukan syarat secara sepihak. Pihak lawannya

yang pada umumnya mempunyai kedudukan lemah, baik karena posisinya

maupun karena ketidaktahuannya hanya menerima apa yang disodorkan itu.

Dalam kehidupan sehari-hari perjanjian baku banyak dipergunakan,

karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama dalam membuat

perjanjian yang rumit sehingga membutuhkan banyak biaya, waktu dan

tenaga untuk menyusunnya.

Bila perjanjian baku dikaitkan dengan perjanjian franchise, maka

tampak hubungan hukum antara franchisor dan franchisee berada pada posisi

bargaining yang tidak seimbang, hal ini akan mengakibatkan franchisee tidak

memiliki kekuatan untuk mengemukakan kehendak atau kemauan dalam

menentukan elemen-elemen perjanjian sebagaimana yang diisyaratkan oleh

Pasal 1320 jo 1338 KUH Pedata. Dengan demikian secara teoritis yuridis

perjanjian baku dalam konteks yang dimksudkan disini adalah perjanjian

franchise menjadi tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.

12 Ibid, hal 49

9

Page 10: Makalah Globalisasi

Tetapi bila mengacu pada pendapat Hondius yang mengatakan, bahwa

perjanjian baku tetap mempunyai kekuatan mengikat, karena didasarkan pada

kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat bisnis dan lalu

lintas perdagangan, walaupun perjanjian itu bertentangan dengan asas

kebebasan berkontrak. Pandangan Hondius ini dipertegas lagi oleh Asser

Rutten yang mengatakan, bahwa setiap orang yang mendatangani suatu

perjanjian, maka secara otomatis ia harus bertanggung jawab pada isi

perjanjian yang telah ditandatanganinya, karena dengan membubuhkan tanda

tangan dalam suatu perjanjian standar, maka tanda tangan itu mengetahui dan

menghendaki isi dari perjanjian standar tersebut. Jadi tidak mungkin

seseorang itu mendatangani sesuatu perjanjian tanpa mengetahui isinya.13

Dengan berpedoman pada kedua pendapat di atas, maka perjanjian

franchise dapat diterima, sebab perjanjian franchise tumbuh dan berkembang

dalam kebiasaan masyarakat bisnis, dengan tidak menutup kemungkinan

perjanjian franchise yang disepakati oleh franchisee dengan franchisor dapat

menjelaskan dasar hukum untuk perlindungan bagi para pihak, jadi para pihak

disini berhadapan dengan hukum atas kontraktuil.

Dengan mengacu pada Pasal 1338 ayat (3) KHU Perdata, meskipun

perjanjian franchise disusun secara a priori oleh salah satu piha, namun

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sebagai konsekuensi

ketentuan tersebut, maka semua perjanjian, termasuk yang dibuat dalam

bentuk standar harus selalu mempertimbangkan kelayakan dan kepatutan.

2. Pengertian Franchise

Istilah “Franchise” berasal dari bahasa Perancis pada abad

pertengahan, yaitu kata “franc” (bebas) atau “francher” (membebaskan), yang

secara umum diartikan pemberian hak istimewa.

Dalam bahasa Indonesia digunakan istilah “waralaba” untuk

menggantikan istilah “franchise”. Kata “waralaba” berasal dari kata “wara”

(lebih atau istimewa) dan “laba” (untung). Jadi “waralaba” berarti usaha yang

13 Ibid, hal. 47

10

Page 11: Makalah Globalisasi

memberikan keuntungan lebih/istimewa. Kata “waralaba” ini pertama kali

diperkenalkan oleh Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) Jakarta.14

Pengunaan istilah “waralaba” untuk menggantikan istilah “franchise”

dalam bahasa Indonesia, dapat diterima oleh pemerintah Republik Indonesia.

Hal ini terbukti dengan digunakan istilah waralaba untuk menyebut franchise

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 dan Surat Keputusan

Menperindag Nomor 259/MPP/Kep/7/1997.

Pengertian “waralaba” menurut Pasal 1 butir (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 1997 tentang waralaba, adalah perikatan dimana salah satu

pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas

kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak

lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain

tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.

Banyak pendapat yang mencoba memberikan pengertian tentang franchise.

Menurut Dominique Voillement1615, sebagaimana dikutip oleh Felix O.

Soebagjo, franchise diartikan sebagai suatu cara melakukan kerja sama di

bidang bisnis antara dua atau lebih perusahaan, satu pihak bertindak sebagai

franchisor dan pihak lain sebagai franchisee, pada mana didalamnya diatur

bahwa pihak franchisors sebagai pemilik suatu merek dan know how,

memberikan haknya kepada franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis

berdasarkan merek know how itu.

Kemudian menurut Charles L. Vaughn, franchising yang dikenal

umum saat ini adalah suatu bentuk pemasaran atau distribusi, dimana

perusahaan induk memberikan kepada individu atau perusahaan yang relative

kecil suatu hak khusus atau istimewa untuk menjalankan usaha dengan cara

yang ditentukan selama periode waktu tertentu di tempat yang ditentukan.

Perusahaan induk disebut franchisor, penerima hak usaha disebut franchisee,

dan hak khusus atau istimewa disebut franchise.

14 Soeharnoko, Pemutusan Perjanjian dan Perlindungan Hukum bagi Franchise. (Hukum dan Pembangunan No. 6, Desember 1996), hal. 50

15 Setiawan, Beberapa Catatan tentang Perjanjian Franchise” Makalah dalam diskusi panel tentang aspek hukum persaingan franchising dari perspektif civil law dan common law, (Yogyakarta: 1993) hal. 5

11

Page 12: Makalah Globalisasi

Selanjutnya masih menurut Charles L. Vaughn, hak yang dimaksud

diatas bisa sangat bervariasi, bisa berupa hak untuk menjual produk-produk

perusahaan induk, hak untuk menggunakan nama perusahaan induk, dan

untuk meniru lambing, merk dagang atau arsitektur, atau franchise bisa

meliputi semua hak ini. Periode waktu dan ukuran daerah operasi usaha yang

ditetapkan dalam perjanjian, juga bisa sangat bervariasi. Hak yang diberikan

dan tugas atau kewajiban masing-masing pihak, franchisor dan franchisee,

biasanya dicantumkan dalam suatu perjanjian tertulis.

Rooseno Harjowidigdo mengemukakan bahwa franchise adalah suatu

sistem usaha yang sudah khas atau memiliki ciri pengenal bisnis di bidang

perdagangan atau jasa, berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan,

identitas perusahaan (logo, desain, merek bahkan termasuk pakaian dan

penampilan karyawan perusahaan), rencana pemasaran dan bantuan

operasional.

Suharnoko mengemukakan bahwa franchise pada dasarnya adalah

sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada

konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi

kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di

bawah nama dan identitas franchisor dalam wilayah tertentu.

Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang

ditetapkan franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) serta

pengawasan terhadap franchisee. Sebagai imbalannya franchisee membayar

sejumlah uang berupa initial fee dan royalty.

Dari berbagai pengertian “franchise” yang telah dikemukakan di atas

dapat diperoleh gambaran umum bahwa dalam sistem franchise ada hubungan

terkait yang erat antara franchisor dan franchisee yang mempunyai sifat

antara lain : ada kepentingan bersama, bersifat hubungan jangka panjang,

meliputi hubungan yang mencakup banyak segi, mempunyai interaksi

hubungan yang tinggi, ada sistem yang mengatur hubungan kerjasama, ada

keuntungan timbal balik dan menuju hubungan saling tergantung atau

kemitraan (interdependent).

12

Page 13: Makalah Globalisasi

Asal mula konsep franchise dimulai pada tahun 200 SM, ketika

seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk

mendistribusikan produk makanan dengan merek tertentu. Namun demikian,

konsep franchise produk seperti yang dikenal saat ini dimulai pada tahun

1863 oleh perusahaan mesin jahit Singer Amerika. Sukses sistem distribusi

Singer selanjutnya diikuti oleh produk minuman ringan yaitu Coca Cola yang

menjual franchise pertamanya pada tahun 1899. Kemudian diikuti dealer

mobil dan minyak pada tahun 1910. Pertumbuhan franchise yang sebenarnya

atau dikenal dengan franchise format bisnis baru terjadi pada akhir era 1950-

an. Sampai pada tahun 1998, cara pendistribusian dengan franchise

diperkirakan mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen) total penjualan

eceran di Amerika Serikat. Sukses format franchise juga terjadi di negara-

negara maju lainnya seperti Kanada, Inggris, Jerman, dan Jepang. Negara-

negara berkembang seperti Meksiko, Indonesia, dan Malaysia juga

mendapatkan bahwa franchise adalah cara yang lebih efektif untuk

menciptakan bisnis baru dan meningkatkan kesempatan lapangan kerja.

Di Indonesia sistem franchise atau waralaba mulai dikenal pada tahun

1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui

pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu

dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak

sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi

produknya, contohnya Coca Cola. Perkembangan sistem waralaba yang

sebenarnya atau disebut format bisnis dimulai pada tahun 1980-an, contohnya

Kentucky Fried Chicken. Perkembangan franchise di Indonesia sampai saat

ini sudah semakin pesat, sistem franchise tidak hanya terbatas pada industri

makanan siap hiding, semua jenis bisnis yang ada sudah dapat diwaralabakan,

seperti : hotel, properti, rumah sakit, kursus, binatu, studio foto, minimart,

spa, salon, bengkel, apotik dan perawatan rambut.

Membahas masalah franchise yang ada di Indonesia tentunya akan

menyangkuttentang arti pentingnya perekonomian Pemerintah

padaumumnya serta khususnyapara pengusaha baik kecil maupun menengah

13

Page 14: Makalah Globalisasi

bahkan pengusaha besar sekalipun akan memacu berkembang atau tidaknya

usaha franchise ini.

Dengan demikian dapat diketahui bagaimana tanggapan para

pengusaha tersebut didalam menggunakan usaha dengan cara franchise,

dengan segala undang-undangdan peraturan pelaksanaan yang mengaturnya,

apakah akan menguntungkan bagidirinya atau tidak.

Dalam pembuatan perjanjian pada franchise tetap memakai ketentuan

yang diaturdalam KUHPerdata pada buku III tentang Perikatan yang

didalamnya timbul dari perjanjian.

Pengertian perjanjian menurut rumusan pasal 1313 KUHPerdata,

didefinisikan sebagai berikut :

“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih”.

Jika kita perhatikan, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313

KUHPerdatatersebut tersirat bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian

lahirlah kewajiban atauprestasi dari satu atau lebih orang kepada satu atau

lebih orang lainnya, yang berhakatas prestasi tersebut.

Selanjutnya pada pasal 1314 KUHPerdata mengembangkan lebih jauh

pengertianyang diberikan dalam rumusan pasal 1313 KUHPerdata, lebih

jauh menyatakanbahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur

dalam perjanjian yangberkewajiban dapat meminta dilakukannya kontra

prestasi dari lawan pihaknyatersebut, hal ini berarti, pada dasarnya

perjanjian dapat dilahirkan perikatan yangbersifat sepihak dan perikatan

yang bertimbal balik, baik franchisor maupunFranchise, keduanya

berkewajiban untuk memenuhi prestasi tertentu.

Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukannya, Kitab

Undang-undang Hukum Perdata mengenai 4 unsur pokok yang harus ada

agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian yang sah, yaitu

kesepakatan, kecakapan, obyeknya tertentu dan sebab halal. Keempat unsur

tersebut selanjutnya oleh ilmu hukum digolongkan ke dalam dua unsur

pokok yang menyangkut unsur subyektif dan unsur obyektif.

14

Page 15: Makalah Globalisasi

Seperti telah dapat kita lihat didalam KUHPerdata memberikan hak

kepada para pihak untuk membuat dan melakukan kesepakatan apa saja

dengan siapa saja, selama mereka memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian

yang dibuat dalam Buku IIIKUHPerdata tersebut. Setiap perjanjian yang

dibuat dengan sah berlaku sebagaiundang-undang bagi para pembuatnya,

rumusan ini terdapat dalam pasal 1338 ayat 1KUHPerdata, yang dipertegas

lagi dalam pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yangmenyatakan bahwa

perjanjian yang disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembalisecara sepihak

oleh salah satu pihak dalam perjanjian tanpa adanya persetujuan darilawan

pihaknya dalam perjanjian atau dalam hal-hal dimana oleh undang-undang

dinyatakan cukup adanya alasan untuk itu.

Secara umum, kalangan ilmuwan hukum menghubungkan dan

memberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam dalam pasal 1320

KUHPerdata jo pasal 1338ayat 1 KUHPerdata tersebut sebagai asas

kebebasan berkontrak dalam hukum Perjanjian. Dalam pasal 1338

KUHPerdata pada intinya memberikan kebebasan bagitiap-tiap subyek

hukum untuk melakukan kontrak dengan muatan materi yangdisepakati oleh

kedua belah pihak kebebasan tersebut meliputi isi, bentuk

maupunhukumnya.

Dalam hukum kontrak hal tersebut sering dikenal sebagai Asas

Kebebasan Berkontrak (The Principle of Freedom of The Parties)

kebebasan berkontrakmerupakan alasan yang ideal bagi kesimbangan

bergaining power di antara pihak-pihakyang melakukan kontrak, tidak

adanya perbuatan yang tidak adil yangdilakukan terhadap sebagian besar

kepentingan ekonomi masyarakat.16

Dalam kontrak yang dilakukan para pihak meskipun adanya suatu

kebebasan dalam hal materi kontraknya, namun harus adanya suatu batas-

batas yang melekat didalamnya. Dengan kata lain penerapan terhadap asas

kebebasan berkontrak mempunyai toleransi yang sah sepanjang tidak

16 A.G.Guest, Law of Contract, (Oxford University Press, London, 1979) hal.3-4

15

Page 16: Makalah Globalisasi

bertentangan dengan ketertiban umum(Public Policy), kepatutan serta

kesusilaan atau tidak melanggar itikad baik serta undang-undang.

Penggunaan pilihan hukum sendiri merupakan konsekuensi dari asas

kebebasanberkontrak yang diterapkan, namun demikian ada beberapa

pembatasan terhadappilihan hukum, yaitu :17

1. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum (Public Policy).

2. Pilihan hukum tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa.

3. Pilihan hukum hanya dalam bidang kontrak saja, kecuali, perjanjian kerja

Lebih lanjut dalam menentukan pilihan hukum, bagi perjanjian yang

dilangsungkandalam rangka kegiatan perusahaan dan dilangsungkan di

tempat kedudukan hukum atau domisili orang bertempat tinggal, maka

hukum yang berlaku atau yangdigunakan adalah hukum dari negara dimana

terdapat tempat kedudukan dari perusahaan tersebut.

Dengan kata lain, bahwa terhadap pilihan hukum yang akan

digunakan danditentukan dalam klausula governing law tersebut harus

berdasarkan pada hukum di mana kontrak yang bersangkutan

memperlihatkan prestasi yang paling berhubungankarakteristiknya serta

aspek perlindungan hukumnya, yang sering dikenal sebagaiteori The Most

Characteristic Connection.

Teori tersebut oleh sebagian kalangan sarjana hukum dipandang

cukup fair danakomodatif, karena kewajiban untuk melaksanakan suatu

prestasi yang palingkarakteristik menjadi dasar acuan dalam penentuan

pilihan hukum yang akanmengatur kontrak tersebut, disamping itu pula

diperhatikan aspek perlindunganhukumnya.

Jika dikaitkan dengan aspek ekonomi, maka dalam Surat Keputusan

pembuatankontrak ditempuh dengan cara-cara yang sangat efisien. Sebagian

dikemukakan lebihlanjut oleh Khalil bin Yusoff yaitu : “a decision is

efficient if there are net againts tobe denund by both parties in a

transaction“

17 Ridwan Khairandy, Dasar-dasar hukum Perdata Internasional, Diktat Kuliah, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta, 1992) hal 79.

16

Page 17: Makalah Globalisasi

Pemerintah mendatang perlu pula untuk melindungi usaha kecil di

tengah-tengahpersaingan usaha yang begitu cepat dan ketat, oleh karenanya

dikeluarkanUndang-Undang Republik Indonesia No.9 tahun 1995 tentang

Pembinaan UsahaKecil, serta Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1997 yang

menghendaki prioritaspenggunaan barang atau bahan hasil produksi dalam

negeri (Vide pasal 4 PP No. 16tahun 1997)

F. Metodologi Penelitian

Tesis sebagai suatu karya ilmiah harus diuraikan secara jelas, tegas,

logis dan sistematis berdasarkan fakta-fakta yang dapat dipercaya, dalam

rangka penulisan suatu karya ilmiah tersebut maka perlu dilakukan

penelitian terlebih dahulu. Penelitian yang dimaksud penulis harus bersifat

obyektif agar ditemukan suatu data yang benar-benar akurat yang pada

akhirnya akan menunjang penulisan karya ilmiah.

1. Tipe Penelitian

Penulis menggunakan obyek penelitian normatif yaitu menggunakan

ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang ada dalam

menganalisa kontrak atau perjanjian franchise (franchise agreement)

yaitu UU RI No.9 tahun 1995 tentang Pembinaan Usaha Kecil yang

menghendaki adanya hubungan kemitraan antara para pengusaha baik

kecil,menengah maupun besar serta PP No.16 tahun 1997 tentang

Waralaba atau Franchise sebagai landasan yuridis operasionalisasi

praktek franchising di Indonesia. Juga acuan utama dalam pendekatan

ini sebagaimana dalam pasal 1338 KUHPerdata serta yurisprudensi yang

menyangkut asas itikad baik dalam suatu kontrak.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat

deskriptif yaitu menggambarkan perlindungan hukum bagi franchisee

dalam praktek perjanjian franchise di Indonesia. Penelitian yang di

analisis secara kualitatif merencanakan pendekatan untuk merekam data.

17

Page 18: Makalah Globalisasi

Sebuah bentuk untuk merekam informasi yang dibutuhkan untuk citatat

memisahkan potret catatan deskriptif dari informan, rekontruksi dialog,

deskripsi latar belakang, rekening peristiwa tertentu, dan kegiatan dari

catatan reflektif kesempatan bagi peneliti untuk merekam pengalaman

pribadi termasuk juga informasi demoghraphic tentang waktu, tempat,

tanggal yang menggambarkan pengaturan bidang dimana pengamatan

berlangsung.18

3. Data dan Sumber Data

Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian

ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan.

Namun demikian, untuk melengkapi atau mendukung analisis sekunder,

tetap diperlukan wawancara dengan beberapa informan yang dinilai

memahami konsep yang ada dalam data sekunder, sejauh dalam batas-

batas metode penelitian normatif.

Dalam penelitian yang di analisis secara kualitatif melibatkan empat

Tipe Dasar yaitu Observasi, Wawancara, Dokumen & Gambar visual19.

Dalam penelitian kualitatif banyak prosedur pengumpulan beberapa data

yang digunakan.

Data kepustakaan digolongkan dalam dua bahan hukum yaitu :

a. Data Sekunder

Yaitu sumber data yang diperoleh melalui kegiatan studi dokumen

yang terkait dengan topik penulisan tesis ini yaitu mengenai

praktek perjanjian franchise.

Data sekunder dibagi dua, yaitu :20

1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, dalam

hal ini penulis berusaha mengumpulkan data melalui Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, PP Nomor 16 Tahun 1997

tentang Waralaba, serta perjanjian franchise PT. MCD di

Indonesia.

18 Creswell, John W. Qualitative, Quantitative Approaches (Sage : 1994) hal. 15219 Ibid, hal. 14920 Soerjono Soekanto, Pengantar Peneltian Hukum. (Jakarta : Universitas Indonesia, 2007) hal. 51.

18

Page 19: Makalah Globalisasi

2) Bahan hukum sekunder yaitu dengan buku-buku cetak yang

berkaitan dengan hukum perjanjian khususnya perjanjian

franchise

b. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya. Dalam

hal ini penulis memperoleh informasi langsung dari narasumber

dengan menggunakan pedoman wawancara yang dimana

wawancara tersebut dilakukan oleh pihak yang berwenang

memberikan tanggapan.

4. Teknik Pengumpulan Data

a) Studi Kepustakaan yaitu dilakukan dengan membaca dan

mempelajari buku dan sumber bacaan lainnya yang berhubungan

dengan penyusunan tesis.

b) Studi Lapangan yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan jalan

mencari langsung sumber yang berwenang seperti penyelesaian

Hukum terhadap kasus dalam sistem bisnis Franchise.

5. Analisis Data

Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif artinya data

kepustakaan dan hasil studi lapangan dianalisis secara mendalam dan

komprehensif. Dalam penelitian kualitatif menggunakan literatur hemat

di awal rencana untuk menyampaikan desain kecuali desain kualitatif

memerlukan orientasi sastra besar di awal. Mempertimbangkan tempat

yang paling tepat untuk literatur dalam penelitian kualitatif dan bisnis.

Keputusan nya tersebut perlu di ingat menempatkannya di awal untuk

membingkai masalah, menempatkannya dalam bagian terpisah, dan

menggunakannya pada akhir studi untuk membandingkan dan kontras

dengan temuan21.

6. Cara Penarikan Kesimpulan

21 Creswell, John W. Qualitative, Quantitative Approaches (Sage : 1994) hal. 24

19

Page 20: Makalah Globalisasi

Penelitian secara kualitatif menggunakan pendekatan deduktif untuk

teori pengenalan-employing untuk diperiksa atau di uji dalam

pendahuluan. Studi ethnoghraphic dari antropologi budaya misalnya,

termasuk teori budaya yang kuat pada awal penelitian, format ini

teruma terjadi dengan studi teori kritis, Thomas menyarankan bahwa

‘‘Para peneliti kritis mulai dari premis bahwa semua kehidupan budaya

dalam tegangan konstan antara kontrol dan perlawanan’’.22

Dengan demikian metode logika deduktif yaitu metode penarikan

kesimpulan berdasarkan data yang bersifat umum menjadi data yang

bersifat khusus (Perjanjian Franchise di Indonesia)

7. Sistematika Penulisan

Dalam hal penulisan tesis ini penulis menggunakan system yang

terdiri dari:

Bab yang kesatu : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai

latar belakang, pokok permasalahan, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,

metode penelitian, dan system penelitian.

Bab yang kedua : TINJAUAN UMUM

Dalam bab ini penulis akan menguraikan

mengenai perjanjian secara umum berdasarkan

teori, KUHPerdata dan PP no. 16 Tahun 1997

tentang waralaba.

Bab yang ketiga : TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI FRANCHISEE DALAM

PRAKTEK PERJANJIAN FRANCHISE DI

INDONESIA (STUDI KASUS: PT MCD)

22 Creswell, John W. Qualitative, Quantitative Approaches (Sage : 1994) hal. 44

20

Page 21: Makalah Globalisasi

Dalam bab ini penulis akan menggambarkan

secara jelas mengenai perjanjian franchise di

Indonesia dengan menggunakan data PT. MCD

Bab yang keempat : ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI FRANCHISEE DALAM

PRAKTEK PERJANJIAN FRANCHISE DI

INDONESIA (STUDI KASUS: PT MCD)

Dalam bab ini penulis akan menganalisis

bagaimana perlindungan hukum terhadap

franchisee ditinjau dari teori, KUHPerdata dan PP

no. 16 Tahun 1997 tentang waralaba apakah

sudah dapat menjamin perlindungan hukum

terhadap frenchisee.

Bab yang kelima : PENUTUP

Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan dan

saran yang dianggap perlu dan berkaitan dengan

topik dan isi penulisan.

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 22: Makalah Globalisasi

A. BUKU

A.G.Guest, Law of Contract, (Oxford University Press, London, 1979)

Creswell, John W. Qualitative, Quantitative and Approaches (Sage : 1994)

Darus Badrulzalman, Aneka Hukum Bisnis. Cet 1, (Bandung: Alumni,

1994)

Edward Panjaitan, Adakah Perlindungan Terhadap Waralaba Lokal,

(Parahyangan : Edisi 9,1997)

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, PT. Raja Grafindo

Persada Jakarta, tahun 2001

Purwahid Patrik, Perjanjian Baku dan Penyalahgunaan Keadaan, Seri

Dasar Hukum Ekonomi 5,Hukum Kontrak di Indonesia. (ELIPS

dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Ridwan Khairandy, Dasar-dasar hukum Perdata Internasional, Diktat

Kuliah, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta, 1992)

Soeharnoko, Pemutusan Perjanjian dan Perlindungan Hukum bagi

Franchise. (Hukum dan Pembangunan No. 6, Desember 1996)

Setiawan, Beberapa Catatan tentang Perjanjian Franchise” Makalah

dalam diskusi panel tentang aspek hukum persaingan

franchising dari perspektif civil law dan common law,

(Yogyakarta: 1993)

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universitas

Indonesia, 2007

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

22

Page 23: Makalah Globalisasi

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor :259/MPP/Kep/7/1997, tanggal 30 Juli 1997 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha

Waralaba sebagai Peraturan Pelaksanaannya.

23