makalah fisiologi lingkungan tropis
DESCRIPTION
pengaruh suhu rendah dan suhu tinggi terhadap konsumsi pakan dan air minum ayam pedaging.TRANSCRIPT
0
TUGAS TERSTRUKTUR
FISIOLOGI LINGKUNGAN TROPIS
“Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Konsumsi Pakan dan Minum Pada
Ayam Pedaging (Broiler)
Oleh
RICKY RIZKY OKTAVIANA P2DA13001
MUHAMMAD RAYHAN P2DA13002
WINI KARMILA P2DA13003
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
MAGISTER ILMU PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PURWOKERTO
2013
1
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan fisik yang dapat
mempengaruhi konsumsi ransum ternak broiler selain faktor lainnya. Penurunan
maupun peningkatan suhu lingkungan akan berperan penting dalam konsumsi
ransum, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertambhan bobot badan ternak
broiler. Umumnya penurunan suhu lingkungan akan meningkatkan konsumsi
ransum dan peningkatan suhu lingkingan akan menurunkan konsumsi ransum. Hal
ini akan saling berhubungan dengan proses penyeimbangan suhu tubuh ternak
broiler dalam usaha mempertahankan suhu tubuhnya.
I.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah hubungan antara perubahan suhu lingkungan terhadap
konsumsi ransum ayam pedaging ( broiler ) ?
I.3 Tujuan Penulisan
Mamahami tentang hubungan perubahan suhu lingkungan terhadap
pertambahan bobot badan ternak broiler dan memahami tentang respon tubuh
ternak broiler terhadap perubahan suhu lingkingan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Pedaging ( Broiler )
Broiler merupakan istilah untuk memberi sebutan kepada ayam ras potong
atau ayam pedaging jenis jantan atau betina yang berumur sekitar 4-7 minggu
yang dipelihara secara intensif agar diperoleh produksi optimal (Irawan, 1996).
Sedangkan menurut Murtidjo (2003), bahwa daging ayam broiler dipilih sebagai
salah satu alternatif, karena seperti yang telah diketahui bahwa broiler sangat
efisien diproduksi. Jangka waktu 4-7 minggu ayam tersebut sanggup mencapai
berat hidup 1,5 kg – 2 kg dan secara umum dapat memenuhi selera konsumen.
Menurut Rasyaf (2004), ayam pedaging adalah ayam jantan dan betina
muda yang berumur di bawah 8 minggu ketika dijual dengan bobot tubuh tertentu,
mempunyai pertumbuhan yang cepat serta mempunyai dada yang lebar dengan
timbunan daging yang baik dan banyak. Kelebihan broiler sebagai ayam
pedaging adalah broiler yang berusia 6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam
kampung dewasa dan bila dipelihara hingga berusia 8 bulan, bobotnya dapat
mencapai 2 kg. Berat sebesar itu sulit dicapai oleh ayam kampung dewasa
maupun ayam ras afkir usia 1,5 tahun. Selain itu masyarakat juga mengenal
broiler karena mempunyai rasa yang khas, empuk dan dagingnya banyak.
Hardjoswaro dan Rukminasih (2000) menyatakan bahwa ayam broiler
dapat digolongkan ke dalam kelompok unggas penghasil daging artinya dipelihara
khusus untuk menghasilkan daging. Umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
kerangka tubuh besar, pertumbuhan badan cepat, pertumbuhan bulu yang cepat,
lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi daging.
Rasyaf (2004) juga menyatakan bahwa ayam dan jenis unggas lainnya
membutuhkan sejumlah nutrisi yang lengkap untuk menunjang hidupnya, untuk
pertumbuhan dan untuk berproduksi. Unggas membutuhkan lebih dari 40
material kimiawi yang diklasifikasikan ke dalam enam kelas yakni karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, mineral dan air. Semuanya harus ada dalam ransum yang
dimakan kemudian dinyatakan bahwa kandungan nutrisi pada fase starter
mengandung protein 19,5 – 21,2 %, energi metabolisme 2851 – 3180 kkal/kg
3
ransum sedangkan finisher protein 22,0 – 22,7 % dan energi metabolisme 3290 –
3399 kkal/kg ransum.
2.2. Konsumsi Ransum
Konsumsi pakan merupakan ukuran untuk mengetahui jumlah pakan yang
dikonsumsi seekor ternak setiap ekor per hari. Kebutuhan unggas yang paling
utama yaitu energi dan protein, sedikit vitamin dan mineral. Zat-zat tersebut
diperoleh unggas dari pakan/ransum yang dikonsumsi setiap hari (Wahyu, 1984).
Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah unsur nutrisi
yang ada di dalam ransum yang telah tersusun dari berbagai bahan makanan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi ayam broioler (Rasyaf, 2004). Menurut Tilman, dkk
(1986), sifat khusus unggas adalah mengkonsumsi pakan untuk memperoleh
energi sehingga pakan yang dimakan tiap harinya cenderung berhubungan dengan
kadar energinya. Wahyu (1984) menyatakan bahwa konsumsi akan meningkat
bila diberi ransum yang berenergi rendah dan menurun bila diberi ransum yang
berenergi tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum broiler
diantaranya besar dan bangsa ayam, luas kandang, tingkat energi dan protein
dalam ransum. Church (1979), menyatakan bahwa faktor yang dapat
mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas. Palatabilitas dipengaruhi oleh bau,
rasa, tekstur dan warna pakan yang diberikan.
Konsumsi ayam dapat pula dipengaruhi oleh kapasitas tembolok.
Meskipun kebutuhan energinya belum terpenuhi, namun ayam akan berhenti
makan apabila temboloknya sudah penuh (Tilman, dkk, 1986). Rasyaf (2004),
menyatakan bahwa tembolok merupakan alat pencernaan pertama sebelum masuk
ke proses berikutnya. Sebagai alat pencernaan pertama yang sifatnya sebagai
penampung, kapasitas tembolok tidak banyak atau terbatas.
Cahyono (2001) menyatakan bahwa ransum yang baik harus mengandung
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral dalam jumlah berimbang. Selain
memperhatikan kualitas pemberian ransum juga harus sesuai dengan umur ayam
karena nilai gizi dan jumlah ransum yang diperlukan pada setiap pertumbuhan
berbeda. Selanjutnya dinyatakan bahwa fungsi makanan yang diberikan pada
dasarnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, membentuk jaringan tubuh,
mengganti bagian-bagian yang rusak dan selanjutnya untuk keperluan produksi.
4
Bahan makanan yang tersedia dan terbanyak dimakan oleh bangsa unggas
berasal dari biji-bijian, limbah pertanian, dan sedikit dari hasil hewani serta
perikanan. Oleh karena itu, bahan makanan yang digunakan hendaknya tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia dan mudah didapatkan serta harganya relatif
murah (Rasyaf, 2004).
Kebutuhan nutrisi broiler periode starter dan finisher sesuai Standar
Nasional Indonesia (2006) dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2, sebagai berikut :
Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Broiler Periode Starter
No. Parameter Satuan Persyaratan
1. Kadar air % Maks. 14,0
2. Protein kasar % Min. 19,0
3. Lemak kasar % Maks. 7,4
4. Serat kasar % Maks. 6,0
5. Abu % Maks. 8,0
6. Kalsium (Ca) % 0,90 – 1,20
7. Fosfor (P) total % 0,60 – 1,00
8. Energi Metabolisme (EM) Kkal/Kg Min. 2900
Sumber : Standar Nasional Indonesia (2006)a
Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Broiler Periode Finisher
No. Parameter Satuan Persyaratan
1. Kadar air % Maks. 14,0
2. Protein kasar % Min. 18,0
3. Lemak kasar % Maks. 8,0
4. Serat kasar % Maks. 6,0
5. Abu % Maks. 8,0
6. Kalsium (Ca) % 0,90 – 1,20
7. Fosfor (P) total % 0,60 – 1,00
8. Energi Metabolisme (EM) Kkal/Kg Min. 2900
Sumber : Standar Nasional Indonesia (2006)b
2.3 Suhu Sebagai Faktor Lingkungan Fisik
Pengaruh Unsur-Unsur Lingkungan Fisik Terhadap Produktivitas Penampilan
Ternak :
1. Temperatur (Suhu Udara)
Temperatur udara sangat penting sebagai faktor bioklimatik
dalam lingkungan fisik ternak. Temperatur udara disekitar ternak sangat penting
untuk kenyamanan ternak dan fungsi-fungsi proses fisiologisnya. Secara normal
5
panas tubuh ternak akan dilepas secara konduksi melalui permukaan kulit (panas
ternak 330 C) ke udara yang lebih dingin disekitarnya. Tetapi temperatur udara
yang berada diatas kisaran kenyamanan (130-18
0 C) maka pelepasan panas
menurun dan apabila temperatur udara melebihi temperatur kulit maka aliran
panas akan terjadi berlawanan arah. Temperatur dapat membuat ternak hidup
nyaman, kepanasan maupun kedinginan. Ternak yang hidup didaerah tropis
umumnya banyak yang kepanasan, sumber panas selain dari matahari adalah
pancaran panas dari tanah. Pancaran panas dari tanah kering paling besar terjadi
pada sore hari, yang mana waktu tersebut bersamaan dengan mulainya ternak
yang akan digembalakan. Didaerah yang agak kering (semi arid) dan kering (arid)
temperatur udara mencapai di atas 400 C. Temperatur tersebut sangat mencekam
kehidupan ternak terutama pada bagian tubuh sebelah bawah (ventral). Walaupun
demikian panas yang berasal dari pantulan tanah cepat menghilang atau menurun,
karena matahari juga cepat tenggelam, inipun memberikan keuntungan pada
ternak untuk melepas dengan cepat panas tubuh yang tertimbun dengan cara
konduksi ke tanah yang sudah dingin. Cekaman yang berlangsung terus-menerus
mengakibatkan kaki ternak menjadi panjang dan tubuhnya tidak dapat gemuk
seperti halnya ternak-ternak di daerah dingin.
Pola temperatur udara yang berlaku juga dipengaruhi oleh
ketinggian tempat. Temperatur udara cenderung menurun 0,650 setiap 100 m
kenaikan tinggi tempat dari permukan laut. Kecepatan angin dan sumber angin
mempunyai arti penting terhadap tempertatur udara yang berlaku.
2. Kelembaban Udara
Kelembaban udara bersama-sama dengan temperatur udara
berpengaruh terhadap fisiologis ternak. Temperatur udara tinggi, kelembaban
tinggi maupun temperatur udara rendah dan kelembaban udara rendah tidak baik
bagi kehidupan ternak. Temperatur optimal untuk ternak 130C - 18
0C
(McDowell,1977) dan 220C - 27
0C (Ames dan Ray,1983) dengan kelembaban
udara sedang maka akan menghasilkan daerah yang nyaman bagi kehidupan
ternak. Pelepasan udara pada tubuh ternak dapat dilakukan secara radiasi,
konveksi, konduksi dan evaporasi. Pelepasan udara tubuh yang bergantung pada
kelembaban udara adalah secara evaporasi. Pelepasan udara secara evaporasi
6
dapat dikeluarkan melalui permukaan kulit ataupun saluran pernapasan.
Kelambatan atau kecepatan pelepasan tubuh secara evaporasi akan mengganggu
keseimbangan panas tubuh. Alat untuk mengukur kelembaban udara yang
sederhana dapat berupa pola basah dan bola kering.
Alat pengukur kelembaban, tekanan dan tempertur udara sudah banyak
diperjual-belikan. Dengan alat ini kita dapat mengidentifikasi daerah kenyamanan.
Kelembaban udara maksimum terjadi pada pagi hari sedangkelembaban udara
minimum dicapai pada sore hari. Ternak yang selalu ada didalam kandang perlu
diperhatikan kelembabannya.
3. Energi Radiasi
Ternak di daerah tropis perlu diadakan pengontrolan keseimbangan panas
tubuhnya. Radiasi yang datang bisa berasal dari matahari, hewan, tumbuhan dan
benda-benda lain yang memantulkan sinar. Energi radiasi yang diterima saling di
pantulkan, sehingga menyebabkan suhu udara menjadi meningkat. Secara umum
energi radiasi mempunyai korelasi negatif dengan kelembaban, tetapi level radiasi
mempunyai korelasi positif dengan temperatur maksimum. Permukaan yang
berwarna putih banyak memantulkan sinar, bagi ternak yang berbulu putih lebih
tahan di gembalakan dari pada yang berwarna lainnya. Ternak yang berwarna
hitam lebih mudah terengah-engah sewaktu berada di padang pengembalaan yang
terkena sinar matahari langsung.
4. Gerakan Udara
Pergerakan udara dapat juga disebut angin. Angin bergerak dari
daerah padat arah udara renggang. Angin membawa panas tubuh ternak
melalui pergerakannya. Laju gerakan udara bergerak di atas permukaan kulit
ternak mempengaruhi laju pelepasan panas tubuh. Pelepasan panas tubuh ternak
akan sulit dibawa angin apabila bulu tubuh tidak dapat di tembus atau
banyak kotoran yang melekat. Pelepasan panas tubuh ternak secara evaporasi
sangat bergantung pada cepat atau lambatnya pergerakan udara di sekitar tubuh
ternak. Pelepasan panas tubuh ternak akan mudah terjadi jika suhu udara sedang
dan kecepatan angin tinggi. Angin akan membawa panas tubuh secara konduksi
sepanjang temperatur udara rendah bila dibandingkan temperatur permukaan kulit.
Akan tetapi jika pergerakan udara semakin meningkat maka radiasi matahari
7
menjadibertambah. Angin yang mempunyai kecepatan sekitar 8 km/jam-16
km/jam didaerah panas penting untuk menolong ternak yang tercekam panas.
Angin yang berhembus di malam hari dengan kecepatan sekitar 8 km/jam-16
km/jam kurang menguntungkan bagi kehidupan ternak di daerah tropis.
5. Curah Hujan
Akibat curah hujan, kelembaban dalam kandang meningkat yang
akan mengganggu kehidupan ternak. Disamping itu selama musim hujan banyak
mineral tanah yang tercuci. Akibatnya tidak sedikit hijauan makanan ternak
yang kekurangan mineral. Selama terjadi hujan, matahari kurang terang bahkan
tidak mengeluarkan atau menghasilkan cahaya ke bumi. Kekurangan sinar
matahari menyebabkan sistem lain menjadi terhambat. Pola hujan musiman sangat
penting bagi ternak karena :
a. Jumlah pakan yang dapat diproduksi.
b. Panjang waktu hijauan mempertahankan kualitas.
c. Praktek penggembalaan dapat dilakukan.
d. Kebutuhan akan penyiraman dan suplai pakan suplemen.
e. Tipe pengawetan pakan yang paling sesuai.
6. Cahaya
Periode cahaya dalam satu hari dinamakan foto periode
dan didefenisikan sebagai waktu matahari terbit dan terbenam. Cahaya sinar
matahari secara fisiologis mempengaruhi tubuh ternak, cahaya yang diterima oleh
mata ternak disalurkan ke hipotalamus yang dapat mensekresi hormon yang
dapat berfungsi untuk melestarikan hormon-hormon lain yang di keluarkan oleh
target organ.
7. Tekanan Udara
Di daerah tropis tekanan udara tergantung pada letak daerah. Daerah ditepi
pantai tekanan udaranya lain dengan yang berada di pegunungan. Menurunnya
tekanan atmosfir akan merangsang jumlah konsumsi, tetapi jika tekanan tinggi
sebagian makanan yang normal diberikan tidak akan dimakan ternak. Berdasarkan
hasil penelitian sapi Bali di Timor pada ketinggian tempat yang berbeda
menunjukkan penampilan yang berbeda pula. Pengembangan peternakan dengan
8
memperhatikan unsur-unsur lingkungan merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan produktivitas.
9
III. PEMBAHASAN
Menurut Anggorodi (1990) iklim dan suhu merupakan salah satu unsur
fisik dari iklim yang berperan penting dalam konsumsi ransum ayam pedaging (
broiler ). Kondisi lingkungan yang panas ataupun dingin akan sangat berperan
dalam perkembangan dan pertumbuhan ternak. Hal ini dikarenakan suhu
lingkungan yang berbeda atau berbeda diluar zona nyaman ternak akan
mengakibatkan terjadinya stress pada ternak, yang ujung – ujungnya akan dapat
mengurangi produktifitas ternak.
Jika dilihat secara langsung, maka akan terlihat adanya korelasi negatif
antara perubahan suhu lingkungan dengan konsumsi ransum ayam broiler. Hal ini
dikarenakan pada umumnya pada kondisi lingkungan yang lebih tinggi (panas)
maka ternak akan mengurangi konsumsi ransum, dan pada kondisi lingkungan
yang lebih rendah (dingin) maka ternak akan meningkatkan konsumsi ransumnya.
Hal ini logis saja untuk terjadi, karena ternak akan berusaha untuk
mempertahankan suhu tubuhnya dan agar dapat tetap bertahan hidup selama
berada dalam kondisi suhu lingkungan yang berbeda tersebut.
3.1 Konsumsi Ransum Pada Suhu Tinggi :
Suhu lingkungan yang tinggi dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.
Ketinggian tempat dan radiasi matahari merupakan 2 hal yang dapat menjadi salah
satu penyebabnya, selain beberapa faktor lainnya. Pada daerah dataran tinggi akan
memiliki suhu lingkungan yang berbeda dengan daerah dataran rendah, karena
pada kenaikan tempat sejauh 100 m diatas permukaan laut makan akan disertai
dengan penurunan suhu sebesar 10 C. Pada daerah dengan tingkat radiasi tinggi
atau lebih dikenal dengan nama daerah khatulistiwa akan memiliki suhu
lingkungan yang lebih tinggi (panas) dari pada daerah lainnya yang berada jauh
dari garis khatulistiwa, terutama pada daerah kutub.
Suhu lingkungan atau kandang yang terlalu panas perlu untuk diperhatikan
oleh peternak ayam pedaging (broiler), kondisi lingkungan panas atau diatas
kebutuhan optimal ternak akan mengalami hypertermia dan efisiensi penggunaan
ransumnnya rendah (Malden et al., 1979). Di Indonesia yang beriklim tropis, suhu
lingkungan didataran rendah, akan mencapai suhu 33 – 34oC. Kenaikan suhu dari
10
21oC menjadi 33
oC menyebabkan konsumsi ransum akan berkurang hingga
20,2%, dikarenakan ayam pedaging akan berproduksi optimal pada suhu 18 -
20oC (Wijayanti et al., 2011).
Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis siang hari dapat mencapai
34oC dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh, sehingga
ternak mengalami cekaman panas. Ayam broiler termasuk hewan homeotermis
dengan suhu kenyamanan 24oC, akan berusaha memperthankan suhu tubuhnya
dalam keadaan relative konstan antara lain melalu peningkatan frekuensi
pernafasan dan jumlah konsumsi air minum serta penurunan konsumsi ransum.
Akibatnya, pertumbuhan ternak menjadi lambat dan produksi menjadi rendah
(Miller dan Madsen, 1993)
Pada suhu panas ayam juga akan mengonsumsi air yang lebih banyak.
Untuk dapat menyeimbangkan suhu tubuhnya. Berdasarkan penelitian Wijayanti
et al (2011) ayam pedaging yang dipelihara pada suhu 28oC konsumsi air
minumnya lebih sedikit dibandingkan dengan ayam pedaging yang dipelihara
pada suhu 32oC. Rataan konsumi air minum pada suhu 28
oC sebesar 3651,4 ml
dan pada suhu 32 o
C sebesar 4251,9 ml, hal ini disebabkan karena pada suhu 32 oC
ayam mengalami cekaman panas yang menyebabkan penimbunan panas dalam
tubuh. Komara (2006) menyatakan bahwa ayam akan merasa tertekan jika suhu
kandang pemeliharaan lebih tinggi dari nyamannya ayam yaitu 25-28oC yang
dinamakan dengan heat stress. Heat stress merupakan suatu cengkaman yang
disebabkan suhu lingkungan pemeliharaan melebihi zona nyaman (> 28 oC).
Untuk mengurangi penimbunan panas ayam berusaha mengkonsumsi
pakan sedikit dan meningkatkan konsumsi air minum. Menurut Rasyaf (2004)
kebutuhan air minum tergantung pada temperature kandang. Dikarenakan iklim
Indonesia tropis menyebabkan kebutuhan air minum ayam pedaging menjadi lebih
besar dibandingkan di tempat yang bertemperatur rendah.
Kondisi ini sudah tentu akan dapat mengurangi produksi ternak dan
mengurangi keuntungan bagi peternak. Pada saat suhu lingkungan yang panas
menyebabkan konsumsi ransum menurun, otomatis ternak tidak ada energi yang
termanfaatkan untuk bisa disimpan dalam tubuh baik dalam bentuk daging
maupun lemak. Jika tidak ada energi yang tersimpan akan berpengaruh pada
11
pertambahan bobot badan ternak yang melambat, dan akhirnya menyebabkan
kerugian secara ekonomi kepada para peternak.
3.2 Konsumsi Ransum Pada Suhu Rendah
Ayam sebagai hewan homeotermik, memiliki kemampuan untuk
mempertahankan suhu tubuhnya relative stabil pada kisaran suhu yang luas
(Hillman et al, 1985). Menurut Blanca (1968) dalam Riama (1992) pada kondisi
dingin hewan homeotermik membutuhkan makanan dalam jumlah besar yang
dipergunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan panas agar dapat
mengimbangi kehilangan panas dari tubuhnya, dan pada kondisi panas akan
membutuhkan banyak air untuk membantu proses pembuangan panas dari dalam
tubuh sehingga tidak terjadi peningkatan suhu tubuh yang berlebihan.
. Berdasarkan penelitian Parwati (2003) didaerah yang lebih tinggi
beriklim mokro konsumsi pakan pada daerah suhu rendah lebih tinggi
dibandingkan suhu tinggi penelitian yang dilakukan di Parung dan Cipayung
girang Kabupaten Bogor. Daerah Cipayung girang suhu lingkungan berada
dikisaran 26 - 29oC sedangkan daerah Parung suhu lingkungan berada dikisaran
30 – 33,2oC pada pertumbuhan ayam suhu yang baik berkisar antara 18 - 26
oC
Konsumsi pakan ayam pedaging dihitung berdasarkan jumlah pakan yang
diberikan, dengan asumsi pakan yang diberikan selalu habis dikonsumsi ayam
pedaging. Konsumsi pakan ayam pedaging daerah parung dan cipayung pada
penelitian Parwati (2003) dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar Konsumsi Pakan Pada Penelitian Parwati (2003).
Gambar diatas menunjukan bahwa konsumsi pakan di Cipayung girang
terus meningkat tiap minggunya, sedangkan di Parung terjadi penurunan jumlah
konsumsi pakan pada minggu ketiga. Hal ini disebabkan karena pada minggu
tersebut ayam sudah mulai besar sehingga kandang menjadi sempit ayam mulai
12
merasakan cekaman panas baik dari lingkungan maupun panas dari tubuh ayam
broiler.
Jika dilihat dari sisi keseimbangan panas tubuh ternak, maka akan terlihat
hubungan yang positif karena konsumsi ransum yang tinggi akan menyebabkan
produksi panas tubuh yang lebih banyak juga. Namun jika dilihat dari konversi
dan efiseinsi pakan yang dibutuhkan untuk mendapatkan panas tubuh yang tetap
seimbang dengan suhu lingkungan yang lebih rendah, maka akan terlihat korelasi
yang yang negatif. Hal ini dikarenakan untuk dapat menyeimbangkan suhu
tubuhnya dan memproduksi panas tubuh yang lebih tinggi, maka ternak
membutuhkan energi dalam ransum yang lebih tinggi pula.
Rendahnya jumlah konsumsi pakan di daerah Parung disebabkan karena
cengkaman panas yang dirasakan oleh ayam. Ayam pedaging merupakan hewan
homeotermis, dimana ayam akan memelihara suhu tubuhnya dalam suatu kisaran
yang relative konstan. Menurut Smuji (2003) suhu ayam normal adalah 41oC, jika
suhu lingkungan diatas 27oC maka ayam akan berusaha mengeluarkan panas
tubuhnya agar tidak terjadi penimbunan panas, sebaliknya jika suhu lingkungan
dibawah 27oC ayam akan mempertahankan suhu tubuhnya dengan cara
meningkatkan konsumsi pakan untuk menghasilkan panas.
3.1. Konsumsi Air minum
Pada temperature normal, konsumsi air minum ayam adalah 2-2,5 kali dari
konsumsi pakan. Faktor ini sebaiknya digunakan sebagai pedoman sehingga
penyimpangan konsumsi air yang berkaitan dengan konsumsi pakan, temperature
atau kesehatan ayam dapat segera diketahui dan diperbaiki.
Konsumsi Air untuk 1000 ekor/hari (pada suhu 21
oC)
Umur (Minggu) Litter
1 58 – 65
2 102 – 115
3 149 – 167
4 192 – 216
5 232 – 261
6 274 – 308
7 309 – 347
>8 342 – 385
Di atas suhu 210C kebutuhan air minum rata-rata 6,5% setiap kenaikan 1
0C
13
Level Maksimal Mineral dan Bakteri pada Air Minum yang dapat Ditolelir
Mineral Level
Total bahan padat
terlarut
300 – 500 ppm
Khlorida 200 -mg/l
pH 6 – 8
Nitrat 45 – ppm
Sulfat 200 pp
Besi 1 mg/l
Kalsium 75 mg/l
Tembaga 0,05 mg/l
Magnesium 30 mg/l
Mangan 0,05 mg/l
Seng 5 mg/l
Fluorida 0,06 mg/l
Merkuri 0,002 mg/l
Timah 0,05 mg/l
Faecal Coliform 0 mg/l
14
IV. KESIMPULAN
Pada suhu lingkungan yang lebih tinggi (panas) maka ternak akan
berusaha mempertahankan suhu tubuhnya dengan mengonsumsi ransum yang
lebih sedikit dan mengonsumsi air yang lebih banyak. Kondisi ini akan
menyebabkan tidak ada energi yang tersisa dari ransum yang dapat dikonversi
menjadi daging, sehingga ternak tidak mengalami pertumbuhan. Secara ekonomi
hal ini jelas akan menyebabkab kerugian bagi peternak.
Pada suhu lingkungan yang lebih rendah, ternak ayam pedaging (broiler)
akan membutuhkan ransum dengan kuantitas yang lebih tinggi. Kandungan energi
ransum juga akan menjadi lebih tinggi. Namun energi ransum yang lebih tinggi
hanya akan dipergunakan untuk memproduksi panas tubuh, untuk
menyeimbangkan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungan. Hal ini juga akan
mengurangi produksi, karena tidak ada energi yang tersisa untuk disimpan sebagai
daging. Secara ekonomi hal ini sudah tentu akan dapat mengurangi keuntungan
bagi peternak.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta
Cahyono, B. 2001. Ayam Buras Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta.
Church, D. C. 1979. Livestock Feed and Feeding. Durhan and Cowney, Inc.
Portland. Oregon.
Hardjosworo, P.S. dan Rukmiasih, M.S., 2000. Meningkatkan Produksi Daging
Unggas. Penebar Swadaya. Yogyakarta.
Hillman, P.E., N.R. Scott, and A. Van Tienhoren. 1985. Physiological responses
and adaptations to hot and cold enviroments. In : Stress physiology in
livestock. Poultry Yourself. Vol III. Ed. CRC. Press, Inc., Boca Ration.
Florida
Irawan, A. 1996. Ayam-Ayam Pedaging Unggul. CV. Aneka Solo.
Komara, Toni. 2006. Perlunya Broiler dipuasakan. Buletin CP. April 2006 No. 76/
Tahun VII, Jakarta
Malden, C.N., E.A. Ricahrd and E.C. Laslie. 1979. Poultry Production. 12nd Ed.
Cornell University, Ithaca, New York.
Miller, J.K., E.B. Slebodzunska and F.C. Madsen. 1993. Oxidative, and Animal
Function. Journal Dairy Science. 76: 2812-2823
Murtidjo, B.A., 2003. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta.
Petrawati. 2003. Pengaruh Unsur Iklim Mikro Kandang Terhadap Jumlah
Konsumsi Pakan dan Bobot badan Ayam Broiler Di Dua Ketinggian
Tempat Yang Berbeda. Skripsi. IPB. Bogor.
Rasyaf, M. 2004. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging . Kanisius,
Yogyakarta.
Riama, R. 1992. Pengaruh Perbedaan Suhu dan Pemberian Vitamin C terhadap
Performans Ayam Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor
Standar Nasional Indonesia [SNI]a. 2006. Pakan Ayam Ras Pedaging (Broiler
Starter). http://ditjennak.go.id/regulasi%5CSNI%20PAKAN%20%
AYAM%20PEDAGING%20ANAK.pdf. diakses tanggal: 16 Oktober 2013.
Smuji, K.H. 2003. “Heat Stress” Pada Ayam, Masalah dan Pengendaliannya.
Poultry Indonesia. 275 : 56.
16
Tillman, A.P., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S.
Lebdosoekodjo, 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Wahyu, J. 1984. Penuntun Praktis Beternak Ayam. Cetakan ke-4, Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wijayanti, R.P., Busono, W., dan Indrati, R. 2011. Effect Of House Temperature
On Performance Of Broiler In Starter Period. Journal Of Aplied Poultry
Research. Universitas Brawijaya.