makalah filsafat ilmu

20
Manusia di dalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar kehidupannya. Inilah menyebabkan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini. Manusia mempunyai ciri istimewa, pada setiap diri manusia terdapat potensi-potensi untuk bisa dikembangkan secara kreatif. Manusia mampu menalar, artinya berpikir secara logis dan analitis, karena kemampuan menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya, maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya. Manusia telah melalui perjalanan panjang dalam pencari hakikat dan makna hidupnya. Pengalaman demi penglaman telah mereka lalui, akhirnya manusia sampai kepada puncak kemajuan melalui pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi.. Ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendominasi segala aspek kehidupan dan mendesak spritualitas sampai terpojok pada “lorong yang sangat sempit”[1] Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mehden bahwa banyak ilmuan sosial Amerika yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi. Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama

Upload: fajri-filardi

Post on 05-Aug-2015

72 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: makalah filsafat ilmu

Manusia di dalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari

sekedar kehidupannya. Inilah menyebabkan manusia mengembangkan ilmu

pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas

di muka bumi ini. Manusia mempunyai ciri istimewa, pada setiap diri manusia

terdapat potensi-potensi untuk bisa dikembangkan  secara kreatif.

Manusia mampu menalar, artinya berpikir secara logis dan analitis, karena

kemampuan menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil

pemikirannya, maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan,

melainkan juga mampu mengembangkannya.

Manusia telah melalui perjalanan panjang dalam pencari hakikat dan makna

hidupnya. Pengalaman demi penglaman telah mereka lalui, akhirnya manusia

sampai kepada puncak kemajuan melalui pengembangan ilmu pengetahun dan

teknologi.. Ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendominasi segala aspek

kehidupan dan mendesak spritualitas sampai terpojok pada “lorong yang sangat

sempit”[1]

Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri

modern adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi

upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mehden

bahwa banyak ilmuan sosial Amerika yang menilai agama sebagai faktor negatif

dalam proses modernisasi.  Agama bagi mereka adalah suatu penghambat

dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan.

Anggapan ini telah berakar  sejak abad ke 19.[2]

Perkembangan ilmu pengetahuan telah melahirkan berbagai macam dampak

terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu

membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga

mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Ilmu barat yang

bercorak sekuler dibangun di atas filsafat rasionalisme, empirisme dan 

materialistisme, yang melahirkan ilmu pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai

spiritual.

B. Rumusan Masalah

Page 2: makalah filsafat ilmu

Dari uraian singkat di atas, maka penulis akan mengemukakan beberpa

permaslahan pokok yang berkaitan dengan materi makalah ini, sebagai berikut :

1. Bagaimana tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?

2. Bagaimana  tinjauan epistemologi  mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?

3. Bagaimana tinjauan aksiologi  mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?

 

PEMBAHASAN

A. Tinjauan ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan

Istilah Sekularisasi berakar dari kata sekuler yang berasal dari bahasa latin

Seaculum artinya abad ( age, century ), yang mengandung arti bersifat dunia,

atau berkenaan dengan kehidupan dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata

secular berarti hal yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spiritual,

abadi dan sakral serta kehidupan di luar biara.[3]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sekularisasi diartikan segala hal-hal

yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama.[4]

Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi Mujaahwati al-Islam,

sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah yang bermakna sesuatu yang tidak

ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.[5]

Makna Sekularisasi itu sendiri, menurut Norcholis Madjid mengartikannya

sebagai proses penduniawian atau proses melepaskan hidup duniawi dari

kontrol agama.[6]

Adapula yang mendefinisikannya sebagai suatu proses yang terjadi dalam

segala sektor kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang lepas dari dominasi

lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan.[7]

Dari berbagai pengertian yang dikemukakan  di atas menunjukkan bahwa makna

Sekularisasi Ilmu Pengetahuan adalah suatu proses pelepasan / pembebasan

ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan berpikir.

Sekularisasi berasal dari dunia Barat Kristiani, yang muncul dengan diserukan

oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para pemuka

agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia Timur,

namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan

Page 3: makalah filsafat ilmu

ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang

melegalisasikan dalam  wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya

merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna Kristiani

meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta ilmu

pengetahuan. [8]

Untuk lebih jauh mengetahui sejarah muncul dan berkembangnya sekularisasi,

maka kita akan memulai  melihat sejarah perkembangan filsafat Barat anatara

abad peretengahan sampai pada abad modern, di mana pada awal abad

pertengahan ini, disebut sebagai “abad gelap”. Pendapat ini didasarkan pada

pendekatan sejarah gereja. Pada  masa ini juga dapat dikatakan sebagai suatu

masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia kedalam

kehidupan/system kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran

gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan

terhambat.

Pada abad  pertengahan ini tindakan  gereja sangat membelenggu kehidupan

manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk

mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya. Para ahli pikir pada saat

itu tidak memiliki kebebasan berpikir. Apabila terdapat pemikiran-pemikiran yang

bertentangan dengan ajaran gereja, orang yang mengemukakan akan mendapat

hukuman berat.  Pihak geraja melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan

berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu, kajian terhadap agama/teologi

yang tidak berdasarkan ketentuan gereja akan mendapatkan larangan yang

ketat, yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak

gereja.[9]

Filsafat abad pertengahan ini lazim disebut Filsafat Scholastik, diambil dari kata

Schuler yang berarti ajaran atau sekolahan kemudian kata scholastik menjadi

istilah bagi filsafat pada abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 yang mempuyai

corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi oleh agama.[10]

Pada akhir abad pertengahan sebelum masuknya abad modern  muncullah

gerakan  yang dalam sejarah filsafat  disebut Renaissance. Kata renaissance

berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaissance adalah suatu gerakan

Page 4: makalah filsafat ilmu

yang meliputi zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali. Di

dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni

bagi pengetahun.[11]

Ciri utama renaissance ialah humanisme, individualism, lepas dari agama (tidak

mau diatur oleh agama), empirisme dan rasionalime. Hasil yang diperoleh dari

watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan

pada zaman renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman

modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisme itu. Agama

(Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Ini kelihatan

dengan  jelas  kelak pada zaman modern[12].

Filsafat modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang disebut

dengan renaissance didalamanya mengandung dua hal yang sangat penting,

Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan gereja. Kedua,  semakin

bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan

renaissance itu telah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern

berkembang pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma

geraja. Terbebasnya manusia Barat dari otoritas gereja berdampak semakin

dipercepatnya perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejak itu kebenaran

filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kapasistas

intelektual (sikap ilmiah) yang kenbenarannya dapat dibuktikan berdasarkan

metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan

tidak bersifat tetap. tetapi dapat berubah dan dikoreksi sepanjang waktu[13].

Dengan terlepasnya para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan sekularisasi di

Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi ”hidup” menjadi dua

bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan ke

pemerintah (penguasa). Artinya masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri.

Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat, pemerintahan.

Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian agama atau

rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya.

B. Tinjauan epistemologi megenai sekularisasi ilmu pengetahuan

Page 5: makalah filsafat ilmu

Secara formal epistemologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk

rasionalisme dan empirisme. Di mana memandang ilmu pengetahuan

berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio bukan keyakinan

“iman” sebagai penilai.

Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan empirisme,

membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan tujuannya dengan

mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu pengetahuan selalu

terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat

normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu yang

independen dan objektif.  Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan yang

objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah, dan

dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui

pengalaman.

Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara ilmiah

memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena alam adalah

benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh manusia sendiri.

Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang dimilikinya

mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.[14]

Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai berkembang pada

tahapan ontologis,  manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu

yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris.

Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu, manusia mulai menentukan

batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang menungkinkan manusia

mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan menelaah dan mencari

pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut maka

ilmu pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pemikiran

yang berdasarkan pada penalaran. Dalam hal ini ilmu pengetahuan menyadari

bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yan

terdapat dalam dunia nyata, sehingga secara ilmu pengetahuan, masalah yang

dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman

Page 6: makalah filsafat ilmu

manusia. Hal ini harus kita sadari  karena inilah yang memisahkan daerah ilmu

pengetahuan dan agama.[15]

Lebih jauh lagi  Norcholis Madjid mengemukakan bahwa dalam proses

penduniawian  terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada

sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan

kehidupan duniawi itu , telah tercakup pula sikap yang objektif dalam menelaah 

hukum-hukm yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan

yang  jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan guna memperoleh ketepatan

setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan disinilah

sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.[16]

Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam berfikir

termasuk sekularisasi. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu

pengetahuan   yaitu :

. Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material

semata-mata.

. Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan

agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang

dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.

c. Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama tidak

boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat belaka.

d.  Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal

perbedaan agama.

e. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan[17]

Satu hal yang serta kaitannya dengan rasionalisasi yang merupakan salah satu 

ciri dari sekularisasi  ialah upaya untuk mencari cara yang secara teknis efesien

demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang bersifat duniawi. Salah satu

bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-mesin yang berteknologi tinggi dan

efesien serta berbagai prosedur telah dirancang untuk mengurangi

ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah mengurangi ketergantungan kepada

keyakinan agama. Wilayah dimana agama menawarkan penjelasan yang bersifat

doktriner  dan hasil yang hampir pasti serta dapat diprediksi kini menjadi hilang

Page 7: makalah filsafat ilmu

maknanya. Petani-petani yantg inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata

lebih ditentukan oleh tindakan membersihkan tanah dari semak-semak dan

parasit dibandingkan memanjatkan doa. Perkembangan rasionalitas teknis

secara perlahan menggantikan pengaruh supernatural dan pertimbangan moral,

dan hal ini meluas di berbagai bidang kehidupan.[18]

Satu hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan sekularisasi ini,

yaitu konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari Agama”. Mengingkari

adanya konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit dari gejala kecendrungan

apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam  kitab suci, kita semuanya

mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab suci Al-Qur’an di Surah Al-Infithar

(82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari ayat ini, maka hari agama ialah masa

ketika hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia tidak berlaku lagi,

sedangkan yang berlaku adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, yang

terjadi sepenuhnya secara individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu

tidak berlaku lagi  hukum-hukum sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah

hukum-hukm ukhrawi.[19]

Sebaliknya, pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini, belum berlaku

hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan kita ialah hukum-

hukum kemasyarakatan manusia. Memang hukum-hukum itu  bukan ciptaan

manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan (sunnatullah), tetapi hukum itu

tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin agama. Dan manusia sendirilah yang

harus berusaha memahaminya, dengan bekal kecerdasan yang telah

dianugerahkan kepadanya, kemudian memanfaatkan pengetahuannya itu untuk

mengatur perikehidupan masyarakatnya lebih lanjut.[20]

Oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dengan rasionalisme

dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah pemahaman masalah dunia

dengan mengarahkan kecerdasan rasio. Konsekwensi epistimologi sekuler dari

segi aksiologi menyebabkan ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan

oleh manusia pemakainya.

Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama pada masa

Copernicus pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi mengelilingi

Page 8: makalah filsafat ilmu

matahari sedangkan agama  pada waktu itu menyebutkan matahari yang

mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang ingin mempelajari

alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat bahwa ilmu harus

didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang

keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para ilmuan berhasil

memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu mempunyai

otonomi untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai yang bersifat

dogmatis, karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai tanggung jawab

moral. Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai kebebasan bergerak

kemanapun arahnya.[21]

C. Tinjauan aksiologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan

Ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam

hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan

taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia,

dan kelestarian atau keseimbangan alam.[22]

Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan

disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu

merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, sehingga setiap orang

berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu

tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.[23]

Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya

terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu sisi dia mampu

membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga

mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan

eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas filsafat

materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu pengetahuan

yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika.

Sebagai proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong

persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas

geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia

dalam proses moderenisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptkan

Page 9: makalah filsafat ilmu

perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.[24] Gambaran di atas adalah

bagian kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan oleh adanya

sekularisasi ilmu pengetahuan.

Sebagai akibat dari moderenisasi dan industrialisasi adalah munculnya

masyarakat modern atau masyarakat industrial. Masyarakat modern memiliki

pandangan dunia (world view) yang bertolak dari suatu anggapan tentang

kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia merupakan pusat

kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk

menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia atau

antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler yang

menekankan rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas (kekuasaan diri-

pribadi), materialitas (kekuasaan harta benda), dan relativitas (kekuasaan nilai

kenisbian).[25]

Retasan-retasan faham atau pandangan di atas setidaknya tidak bisa dilepaskan

dari pengaruh semangat sekularissi ilmu pengetahuan. Dengan demikian

sekularisasi ilmu pengetahuan dengan sendirinya telah keluar dari radius

jangkau definisi ilmu induknya dan sekaligus mengerdilkan peran agama dengan

cara menjauhi atau melepaskannya.

Proses sekularisasi terus berlanjut sejalan dengan perkembangan industrialisasi

yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta persaingan

ekonomi yang semakin yang meluas. Karena itu, Hendrik Kramer, sebagaimana

dikutib oleh Sutan Alisjahbana dan Amsar Bakhtiar, mengatakan bahwa semua

agama di zaman modern sedang mengalami suatu krisis yang amat dalam.

Setiap orang di zaman ini yang melihat dan mengamati kehidupan serta

perkembangan agama dengan bermacam-macam alirannya, kesangsiannya dan

pertentangan di antara pengikut-pengikutnya, tidak dapat dengan jujur berkata

lain daipada itu.[26]

Selanjutnya juga terjadi pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu eksakta dan

ilmu-ilmu sosial bahkan terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan masing-

masing kapling bersikukuh dengan keangkuhannya masing-masing. Namun

menurut Abdurrahman Mas’ud[27], yang menjadi persoalan sebenarnya bukan

Page 10: makalah filsafat ilmu

pada keterpisahan dari berbagai disiplin, karena hal ini merupakan konsekuensi

diri ke dalam kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi

moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu

untuk kesejahteraan umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan bagaimana

mendaptkan keuntungan dan mengajarkan keserakahan, ilmu politik

mengajarkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di bidang

teknologi misalnya lebih menekankan bagaimana mengeksploitasi resource alam

dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan bagaimana

mengeksploitasi jasad manusia.

Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata tanpa

disadari teknologi itupun memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia tidak

berkurang dengan kemajuan teknologi tetapi semakin bertambah. Pada konteks

inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi. Dia harus

sadar bahwa teknologi bukanlah tujuan, tetapi sekedar sarana untuk

memudahkan urusan. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan perlu

membebaskan anak-anak dari pengaruh layar agar mereka tidak tergantung dan

terpenjara oleh layar.[28] Kebenaran yang disuguhkan oleh layar adalah

kebenaran nisbi, yang sangat ditentukan oleh subjektifitas seseorang atau

kelompok tertentu. Hal ini juga dimungkinkan karena proses produksi yang tidak

sempurna atau cenderung manipulatif.

Menurut Mahdi Ghulsyani[29], dengan bantuan ilmu seorang muslim, dengan

berbagai cara dan upaya dapat ber-taqarrub kepada Allah. Pertama, dia dapat

meningkatkan pengetahuannya kepada Allah. Kedua, dia dengan efektif dapat

membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikan tujuan-

tujuannya. Ketiga, dia dapat membimbing orang lain. Keempat, dia dapat

memecahkann berbagai problem masyarakat manusia. Empat hal di atas jika

dikaji lebih dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu yang bermanfaat, jika

empat hal yang disandarkan kepada pemiliknya itu benar-benar ada maka bisa

dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat.

 

KESIMPULAN

Page 11: makalah filsafat ilmu

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah  diuraikan dalam pembahasan,

dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

a.       Secara ontologi sekularisasi ilmu pengetahuan memiliki arti suatu proses

pelepasan / pembebasan ilmu dari setiap pengaruh agama sebagai landasan

berpikir. Sekularisasi lahir dari pemberontakan ahli pikir terhadap tindakan 

gereja yang sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak

lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam

dirinya.

b.      Dari segi epistemologi, sekularisasi ilmu pengetahuan terjadi berada pada

tataran atau ranah rasionalisme dan empirisme, di mana memandang ilmu

pengetahuan berdasarkdan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio

bukan keyakinan  iman sebagai penilai.

c.       Dalam pandangan aksiologi,  sekularisasi ilmu pengetahuan telah

melahirkan terjadinya pergeseran nilai yakni dalam hal terlepasnya dimensi

moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yakni

untuk kesejahteraan manusia.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Ed.I (Cet.VI.; Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2005.

Bakhtiar, Amsar. Filsafat Agama. Cet. II; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Bakhtiar, Amsar . Filsafat Ilm., Ed. I; Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Brush, Steve. Fundamentalisme terj. Herbhayu dan Noerlambang. 

Fundamentalisme Pertautan Sikap Keberagamaan dan modernitas Jakarta:

Erlangga, 2003.

Ghulsyani, Mahdi. The Holy Qur’an and The Sciences of Nature terj. oleh Agus

Effendi. Cet. X; Bandung: Mizan, 1998.

Hadiwijono, Harun. Sari sejarah Filsafat Barat 2.  Yogyakarta: Kanisius , 1980.

Mahmud,  Natsir. Epistimologi dan Studi Kontemporer. Makassar : tp, 2000.

Page 12: makalah filsafat ilmu

Majid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.  Cet I; Bandung:

PT.Mizan Pustaka, 2008.

Mas’ud, Abdurrahman. Pendidikan Islam Paradigma Teologis Filosofis, dan

Spiritualitas. Cet. I; Malang: UMM Press, 2008.

Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2008.

Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Cet.V; Bandung:

Mizan, 1998.

Nihaya.  Filsafat Umum dari Yunani sampai Modern. Makassar: Berkah Utami,

1999.

Qardhawi, Yusuf. at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati terj. oleh Nahbani Idris

dengan judul Sekuler Ekstrim. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000.

Rusli Karim, Muh.  Agama Modernisasi dan Sekularisasi. Cet. I; Yogyakarta:

Tiara Wacana, 1994.

S. Praja, Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Cet.I; Bogor: Kencana, 2003.

Soetrino dan SRDm Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian.

Yogyakart: Andi Ofset, 2007.

Surajiyo, Filasafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Cet. IV; Jakarta:

Bumi Aksara, 2009.

Syadali,  Ahmad dan Mudzakir. Filsafat Umum. Cet. II; Bandung: Pustaka Setia,

2004.

Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Cet. II;

Ciputat: Logos, 2002.

Tim penyusun Kamus Pustaka Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Ed.III

Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

 

 

[1] Muh. Rusli Karim,  Agama Modernisasi dan Sekularisasi, (Cet.I; Yogyakarta:

Tiara Wacana, 1994), h. 113.

[2] Ibid., h. 115-116

Page 13: makalah filsafat ilmu

[3] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Cet.I; Bogor:Kencana,

2003), h. 188.

[4] Tim penyusun Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , 

Ed.III (Cet.II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1015.

[5]Yusup Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh

Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar,

2000), h. 1.

 

[6] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Cet.V; Bandung:

Mizan, 1998), h.188.

[7] Juhaya S. Praja, loc.cit.

[8] Nihaya,  Filsafat Umum, dari Yunani sampai Modern, (Makassar: Berkah

Utami, 1999),     h. 43.

[9]Asmoro Achmadi,  Filsafat Umum, Ed.I (Cet.VI; Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2005),      h. 67.

[10]H. Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Cet. II;Bandung: Pustaka

Setia, 2004),  h. 81.

[11]Harun Hadiwijono, Sari sejarah Filsafat Barat 2,  (Yogyakarta: Kanisius ,

1980), h. 11.

[12] Ahmad Syadali dan Mudzakir, op.cit, h. 105.

[13]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Cet. VII; Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2008), h. 71-72.

[14] Natsir Mahmud,  Epistimologi dan Study Kontemporer,  (Makassar : tp,

2000), h. 1.

[15] Soetrino dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat ilmu dan metodologi penelitian,

(Yogyakarta: Andi Ofset, 2007), h. 47.

[16]Nurcholis Majid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan , (Edisi Baru, Cet I;

Bandung: PT.Mizan Pustaka, 2008), h. 244.

[17]Nihaya,  Filsafat Umum,  op. cit., h. 136.

Page 14: makalah filsafat ilmu

[18] Steve Brush, Fundamentalisme terj. Herbhayu dan Noerlambang, 

Fundamentalisme Pertautan Sikap Keberagamaan dan Modernitas (Jakarta:

Erlangga, 2003), h. 33.

[19] Nurcholis Majid, , op. cit, h. 262.

[20]Ibid.

[21] Soetrino dan SRDm Rita Hanafie, op.cit., h. 128.

[22]Surajiyo, Filasafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Cet. IV;

Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 152.

[23]Ibid.

[24]Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Cet.

II; Ciputat: Logos, 2002), h. 170.

[25]Ibid.

[26]Amsar Bakhtiar, Filsafat Agama, (Cet. II; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999),

h. 232.

[27]Lihat Abdurrahman Mas’ud, Pendidikan Islam Paradigma Teologis, Filosofis,

dan Spiritualitas, (Cet. I; Malang: UMM Press, 2008), h. 67.

[28]Amsar Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Ed. I; Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 229.

[29]Lihat Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and The Sciences of Nature terj.

oleh Agus Effendi, (Cet. X; Bandung: Mizan, 1998), h. 55-56.