makalah etika dan hukum kedokteran gigi-kelompok 6 ganjil

12
MAKALAH ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI PATIENT DISSATISFACTION RESOLVED WITH MEDIATION Diajukan sebagai tugas mata kuliah ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI Disusun Oleh: KELOMPOK 6 KELAS GANJIL Yusvina Qoriatur R. 8689 Hayu Qommaru Z. 8671 Bramita Beta A. 8683 Intan Kartika P. S. 8669 Amalia Perwitasari 8677 Nyayu Wulan T. U. 8691 Cindy Noni Barita 8695 Lynda Milsa Novellia 8697 Fertylian P. P. 8699 Yuninda Lintang D. 8701 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

Upload: hayu-qommaru-zala

Post on 19-Oct-2015

567 views

Category:

Documents


42 download

TRANSCRIPT

  • MAKALAH ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI

    PATIENT DISSATISFACTION RESOLVED WITH MEDIATION

    Diajukan sebagai tugas mata kuliah ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI

    Disusun Oleh:

    KELOMPOK 6

    KELAS GANJIL

    Yusvina Qoriatur R. 8689 Hayu Qommaru Z. 8671 Bramita Beta A. 8683 Intan Kartika P. S. 8669 Amalia Perwitasari 8677 Nyayu Wulan T. U. 8691 Cindy Noni Barita 8695 Lynda Milsa Novellia 8697 Fertylian P. P. 8699 Yuninda Lintang D. 8701

    FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

    UNIVERSITAS GADJAH MADA

    YOGYAKARTA

    2013

  • 1

    ABSTRACT

    A dispute happened between C patient with a drg J. Where in the end drg was accused for malpractice and was reported to the court. The settlement process was resolved through a mediation that were accordance to the PERMA No 1, 2008 and article 29, UU No 36, 2009 which involve the participation of professional organization. Throughout the mediation process, C patient was given a clear information of the disease and side affect that may arises from the doctor action given to the patient. This explanation make the patient understand and in the end, the dispute can be resolve. So based on the above case, it is recommended to dentist to follow the practice implementation ethical code and understand the law in organizing dental practice

    PENDAHULUAN

    Penyelenggaraan praktik oleh dokter gigi hendaknya berdasarkan prinsip etika dan hukum yang berlaku. Penyelenggaraan praktik tanpa mengindahkan etika dan hukum yang berlaku akan menimbulkan permasalahan antara dokter gigi dengan pasien. Tuduhan malpraktik dapat timbul akibat dari kurang jelasnya penjelasan yang diberikan dokter gigi kepada pasien. Seperti yang terjadi dalam kasus, Pasien C tidak mendapatkan penjelasan secara terperinci dari drg J mengenai perawatan yang dilakukan sehingga komplikasi pasca perawatan yang terjadi dituduhkan sebagai tindakan malpraktik dan berlanjut menjadi sengketa di pengadilan.

    Kasus sengketa yang terjadi antara Pasien C dan drg J dapat diselesaikan melalui mediasi di pengadilan yang didasari oleh PERMA No. 1 Tahun 2008 dan Pasal 29 UU No.36 Tahun 2009. Peran serta organisasi profesi turut diperlukan dalam penyelesaian masalah sengketa di pengadilan. Untuk lebih memahami kejadian seperti pada kasus dan cara penyelesaian sengketa melalui mediasi disusunlah makalah ini.

    TINJAUAN PUSTAKA

    a. Tanggung Jawab Hukum Dokter Gigi dalam Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Hubungan pasien-dokter dalam pelayanan kesehatan terbagi menjadi dua yakni

    hubungan kontrak terapeutik dan hubungan karena adanya peraturan perundangan. Hubungan kontrak terapeutik diawali dengan perjanjian kedua belah pihak hingga tercapainya kesepakatan bersama berupa persetujuan atau penolakan rencana tindakan medis. Hubungan

  • 2

    karena peraturan perundangan muncul sebagai kewajiban dokter terhadap pasien. Kedua hubungan tersebut melahirkan tanggung jawab hukum, profesi dan etika dari dokter.

    Pertanggung jawaban hukum dalam dunia kesehatan terutama dalam pelaksanaan suatu pelayanan medis terbagi menjadi 3 antara lain: 1. Pertanggung jawaban secara hukum perdata: mengandung unsur ganti rugi jika terdapat

    kelalaian atau kesalahan tindakan medis. Jenis tindakan yang dianggap melanggar hukum perdata adalah Wanprestasi yakni kegagalan tindakan medis yang telah mendapat informed consent dari pasien atau keluarga pasien sebagaimana diatur dalam pasal 1234-1289 Kitab UU Hukum Perdata. Hukum perdata dikaitkan dengan UU No. 36 tahun 2009 pasal 29 bahwa Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Mediasi merupakan upaya dari pihak-pihak berpekara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak terkait dan biaya yang dikeluarkan menjadi tanggung jawab pihak yang memiliki perkara.

    2. Pertanggung jawaban secara hukum pidana: terbukti jika suatu tindakan pelayanan kesehatan memiliki unsur pidana sesuai dengan Kitab UU Hukum Pidana dan UU lainnya.

    3. Pertanggung jawaban secara hukum administrasi: pelanggaran terhadap hukum yang mengatur hubungan hukum antara jabatan dalam negara. Hukum administrasi dalam lingkungan kesehatan yakni adanya Surat Izin Praktek tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat, sebagaimana ditur dalam UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 23 ayat 3 dan pasal 24 ayat 1. Permenkes RI 512/2007 pasal 2 ayat 1 bagi dokter yaitu setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran wajib memiliki SIP, bagi perawat menyebutkan bahwa setiap perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP. UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 76 menyatakan setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa surat izin praktik sebagaimana dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00. Sanksi pelanggaran hukum administrasi dapat berupa teguran (lisan atau tertulis), mutasi, penundaan kenaikan pangkat, penurunan jabatan, skorsing bahkan pemecatan.

  • 3

    b. Sengketa Medis Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara implisit

    menyebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang berbunyi: setiap orang yang mengetahui atau kepentingan dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua majelis Kehormatan Disiplin Kedoktern Indonesia. Dengan demikian sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam hal ini pasien dengan dokter.

    c. Malpraktik Medis Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktik mempunyai arti

    pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktik berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Definisi malpraktik medis menurut World Medical Association (WMA) adalah adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien. Profesi tenaga kesehatan berlaku noram etika dan hukum, oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktik maka harus diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice sedangkan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Apabila terjadi kesalahan praktik perlu dilihat aspek norma apa yang dilanggar, karena etika dan hukum mempunyai perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sanksi. Menurut Leenen, untuk mengetahui seorang dokter melakukan malpraktik atau tidak maka dapat dilihat unsur standar profesi meliputi apakah dokter berbuat secara teliti atau seksama dikaitkan dengan culpa atau kelalaian, sesuai ukuran ilmu medik, kemampuan rata-rata disbanding kategori keahlian medik yang sama, situasi dan kondisi yang sama, sarana upaya yang sebanding (asas proporsionalitas) dengan tujuan tindakan medik yang jelas. Selain itu, malpraktik juga dapat ditentukan berdasarkan 4D of Nigligence meliputi Duty, Dereliction of that duty, Direct caution dan Damage.

  • 4

    d. Penyelesaian Sengketa Kesehatan Menurut Suryono (2013), sengketa kesehatan sebagian besar timbul karena komunikasi

    yang tidak efektif yang berakibat mispersepsi bagi para pihak. Penyelesaian sengketa kesehatan dapat melalui pendekatan litigasi dan non litigasi keduanya memiliki keuntungan dan kerugian. Penyelesaian sengketa melalui ligitasi mempunyai sifat terbuka, memerlukan banyak waktu, mengikuti prosedur beracara yang formal, membutuhkan pengacara dan berakhir dengan menang atau kalah. Penyelesaian sengketa melalui non litigasi (mediasi) bersifat tertutup, tidak mengharuskan adanya pengacara dan bersifat fleksibel. Penyelesaian tuntutan perkara hukum dapat ditempuh melalui 3 cara antara lain: 1. Penyelesaian secara kekeluargaan atau mediasi (alternative Dispute Resolution). Mediasi

    merupakan proses penyelesaian sengketa dengan pendekatan musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan perdamaian guna mengakhiri sengketa yang ada dengan dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral (Suryono, 2013). PERMA No. 1 tahun 2008 menyatakan Mahkamah Agung mendorong dilakukannya mediasi sebelum pemeriksaan sengketa medis dimulai. Penyelesaian secara medis dapat dilakukan oleh BPPA sebagai usaha pembelaan terhadap angora PDGI (Safitri, 2009).

    2. Penyelesaian di tangan Penyidik. Supreme Court of Justice menyeatakan perkara yang dapat diadukan ke polisi yaitu malpraktek medis berat meliputi kealalaian berat (gross neglinence) dan perkara yang bersifat kriminal atau adanya kesengajaan yang dilakukan oleh tenaga medis dalam pelayanan kesehatan. Ada 4 alat bukti yang harus diperhatikan untuk membuktikan kelalaian yaitu apakah tindakan medis tersebut sudah sesuai dengan standar profesi, bagaimana data medis yang tertuang dalam rekam medis pasien, apabila talh dibuat visum et repertum, dan bagaimana pendapat ahli terhadap masalah yang terjadi. Pihak penyidik akan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan) dan masalah dianggap selesai jika telah ditangani dan tidak terbukti adanya kelalaian (Anna, 2000).

    3. Penyelesaian melalui Peradilan. Perkara hukum di Pengadilan diperlukan penasehat hukum, saksi ahli, dan saksi a de charge (yang meringankan) agar tercapai keputusan yang seadil-adilnya. Penyelesaian melalui MKDKI ditujukan untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran. MKDKI merupakan lembaga peradilan profesi yang independen bagi tenaga kesehatan yang berdiri

  • 5

    berdasarkan UU, bertugas menerima pengaduan, memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara medis (Budi, 2010). Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan atau ketentuan penerapan keilmuan, dikelompokkan dalam 3 hal yaitu melaksanakan praktik kedokteran yang tidak kompeten, tugas dan tanggung jawab professional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik, serta berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.

    e. Peran Organisasi Profesi dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan Pasal 7 ADRT tahun 2008, PDGI membentuk Badan Pembelaan dan Pembinaan

    Anggota (BPPA) yang mempunyai tugas dan wewenang untuk membela dan membina pelaksanaan etik kedokteran gigi, disiplin dan hukum; memberi pertimbangan atau usul kepada pihak yang berwenang atas pelanggaran etika, disiplin dan hukum; mengadakan konsultasi timbal balik dengan instansi terkait pembelaan dan pembinaan anggota. Adanya pelaporan tuntutan perkara dokter gigi-pasien, maka PDGI bersama MKEKG dan BPPA akan melakukan verifikasi kesalahan berdasarkan pelanggaran dan memanggil pasien beserta keluarga untuk memperjelas persoalan yang sebenarnya sehingga diperoleh kerugian yang diderita pasien. Pada sengketa medis, BPPA akan memberikan bantuan mencarikan konsultan hukum yang memahami aspek hukum kesehatan, mediasi, dan apabila sengketa medis menjadi perkara hukum maka BPPA akan mendampingi dalam sidang pengadilan dan mengadakan konsultasi timbal balik dengan instansi terkait.

    Berdasarkan Peraturan KKI pasal 6(3) No.16 /KKI/PER/VIII/2006 tentang tata cara penanganan dugaan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi, MKDKI mengangkat Majelis Pemeriksa Awal (MPA) yang terdiri 3 orang dan bekerja dalam 14 hari. Tugas MPA antara lain memeriksa keabsahan aduan, keabsahan alat bukti, menetapkan pelanggaran etik atau disiplin, menolak pengaduan karena tidak memenuhi sayarat pengaduan atau tidak termasuk dalam wewenang MKDKI, dan melengkapi seluruh alat bukti (KKI, 2006). Berdasarkan pasal 7(1), selambat-lambatnya 14 hari setelah laporan MPA tentang adanya pelanggaran disiplin, MKDKI membentuk Majelis.Pemeriksa Disiplin (MPD) yang terdiri 3-5 orang dan bekerja selambat-lambatnya 28 hari.Tugas MPD mengadakan sidang untuk memeriksa, pembuktian dan menetapkan sangsi terhadap pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter gigi. Dalam sidang peradilan profesi dihadiri oleh pasien atau keluarga dan kuasa hukum, saksi, dokter gigi yang bersangkutan. Bilamana diperlukan MPD dapat

  • 6

    meminta keterangan tenaga ahli agar memperoleh keputusan yang seadil-adilnya. (KKI, 2006)

    f. Dasar Hukum Penyelenggaraan Mediasi Pasal 21-29 No. 36 tahun 2009 disebutkan bahwa tenaga kesehatan (1) harus memiliki

    kualifikasi umum, (2) memiliki kewenangan sesuai dengan keahlian, emiliki izin, (3) harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan SOP, (4) pemerintah mengatur penempatan untuk pemerataan (5) untuk kepentingan hukum wajib periksa kesehatan dengan biaya ditanggung negara (6) dalam hal diduga melakukan kelalaian maka selesaikan dengan mediasi terlebih dahulu.

    g. Prosedur Mediasi PERMA No. 1 tahun 2008 BAB III mengenai tahap proses mediasi antara lain (1)

    dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator; (2) dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk; (3) proses mediasi berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat 5 dan 6; (4) atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 hari kerja sejak berakhir masa 40 hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3; (5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara; (6) jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.

    h. Akta Perdamaian PERMA No. 1 tahun 2008 pasal 17 menyatakan (1) jika mediasi menghasilkan

    kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator; (2) jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai; (3) sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik; (4) para pihak wajib menghadap kembali

  • 7

    kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian; (5) para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian; (6) jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.

    KASUS

    Pasien C, pada akhir April - Desember 2011 berobat ke praktik drg J di Medan karena disarankan salah seorang kerabat tatkala drg pribadinya bernama E yang sedang berada di luar negeri. "Gigi kiri atas saya sakit karena tergigit batu. Namun setelah 2 hari berobat ke drg J, gigi saya tetap sakit. Bahkan analisa medis drg J, saya bisa terkena kanker sehingga gigi saya semua harus diperiksa," katanya, seraya menambahkan kalau 19 giginya telah di jaket atas inisitaif drg J. Selama perawatan gigi pasien, dilakukan pembuatan 7 crown, gigi palsu, pencabutan, pembersihan karang gigi dan perawatan syaraf gigi sampai November 2011.

    Awal Desember 2011 pasien tidak pernah datang lagi sementara komunikasi terputus. Pada awal tahun 2012, setelah perawatan yang memakan biaya sekitar 10 juta, pasien C merasakan sakit gigi kembali. Selama perawatan drg J tidak pernah menjelaskan adanya komplikasi paska perawatan gigi yang menggunakan jaket, sehingga pasien C menganggap bahwa perawatan itu adalah perawatan yang paling baik. Namun,pasien justru mengalami sakit yang lebih parah dari yang terdahulu (sebelum dilakukan perawatan).

    Pasien merasa tidak puas dengan perawatan yang dilakukan drg J, dan melanjutkan sengketa tersebut ke meja hijau. Merasa tidak mendapat penjelasan yang baik, pasien menuntut drg J ke Pengadilan Negeri M atas dugaan malpraktik. Pihak pengadilan menawarkan dilakukan mediasi terlebih dahulu sebelum kasus tersebut dilanjutkan. Akhirnya, kasus terjadi diantara drg J dan pasien C dapat diselesaikan melalui mediasi di pengadilan.

    PEMBAHASAN

    Penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang. Menurut UU No. 29 tahun 2004 Pasal 45 Ayat 3 tentang Praktik Kedokteran, pasien berhak untuk memperoleh penjelasan secara lengkap sekurang-kurangnya mencakup

  • 8

    diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Tindakan yang dilakukan oleh drg. J tidak sesuai dengan prinsip etika dan hukum. Pada kasus ini, drg. J tidak memberikan penjelasan yang lengkap kepada pasien, sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap perawatan yang telah dilakukan dan berujung terjadinya sengketa medis. Selain itu, menurut Kode Etik Kedokteran Gigi (KODEKGI) Pasal 10 Ayat 1 menyebutkan bahwa Dokter Gigi di Indonesia wajib menyampaikan informasi mengenai rencana perawatan dan pengobatan beserta alternatif yang sesuai dan memperoleh persetujuan pasien dalam mengambil keputusan. Permasalahan yang terjadi pada kasus ini diduga dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan pasien yang timbul karena ketidakjelasan informasi mengenai perawatan yang dilakukan. Pasien berhak untuk mengajukan tuntutan atas informasi yang lengkap dan jelas sesuai yang tercantum dalam UU No. 29 tahun 2004 Pasal 45 Ayat 3. Selain itu, dalam Pasal 66 Ayat 1 menyebutkan bahwa Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalm menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

    Apabila terjadi sengketa antara pihak pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan, penyelesaian sengketa medis dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi dan non-litigasi. Jalur litigasi ialah jalur yang diawali dengan pengajuan gugatan ke pengadilan dan diikuti dengan adanya persidangan, sedangkan jalur non litigasi ialah penyelesaian permasalahan di luar peradilan meliputi arbitrase, negosiasi, konsiliasi, dan mediasi (Iswanto, 2004). Jalur non-litigasi khususnya mediasi dipandang sebagai cara terbaik. Mediasi memiliki keuntungan menghasilkan kesepakatan win-win solution, membiarkan para pihak untuk mampu secara bebas menentukan kesepakatan dan tetap terjaganya hubungan baik antar pihak yang bersengketa untuk memperoleh penyelesaian. Mediasi dapat dilakukan melalui jalur peradilan maupun non peradilan dengan menggunakan mediator. Dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pasal 29 menyebutkan bahwa Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Atas dasar ini, maka mediasi merupakan salah satu pilihan terbaik untuk diterapkan dalam penyelesaian kasus sengketa kesehatan. Dasar hukum penyelenggaraan mediasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008.

  • 9

    Perkara yang diselesaikan melalui proses mediasi dapat berasal dari para pihak yang bersengketa dan dapat berasal dari pengadilan. Apabila perkara berasal langsung dari para pihak yang bersengketa, maka tidak ada batasan waktu kerja bagi mediator yang terlibat. Menurut Affandi (2009), ada 12 langkah agar proses mediasi berhasil dengan baik, yaitu:

    1. Menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa 2. Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi 3. Mengumpulkan dan menganalisis informasi latar belakang sengketa 4. Menyusun rencana mediasi 5. Membangun kepercayaan dan kerjasama di antara para pihak 6. Memulai sidang mediasi 7. Merumuskan masalah dan menyusun agenda 8. Mengungkapkan kepentingan yang tersembunyi 9. Membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa 10. Menganalisis pililhan penyelesaian sengketa

    11. Proses tawar menawar akhir

    12. Mencapai kesepakatan formal

    Bila proses mediasi gagal, maka penyelesaian sengketa akan dilanjutkan melalui proses persidangan di pengadilan (litigasi). Penyelesaian masalah tuntutan perkara hukum sengketa medis dapat ditempuh melalui 3 cara yaitu secara kekeluargaan, jalur hukum, dan MKDKI. Berdasarkan PERMA No. 1 tahun 2008, Mahkamah Agung mendorong mediasi di Pengadilan menjadi kewajiban bagi para pihak sebelum pemeriksaan sengketa medis dimulai, hal ini untuk mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Mediasi dapat menyelesaikan masalah dengan cepat, efektif dan efesien. Penyelesaian secara mediasi ini dapat dilakukan oleh BPPA, sebagai usaha melakukan pembelaan terhadap anggota PDGI.

    Akhir dari proses mediasi adalah mediasi dinyatakan gagal atau berhasil. Mediasi yang berhasil menghasilkan nota perdamaian untuk diimplemetasikan oleh para pihak, atau sebelum diimplementasikan dapat dimintakan putusan dari hakim pengadilan menjadi akta perdamaian (Suryono, 2012). Akta perdamaian tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa, memiliki kekuatan eksekutorial, serta putusan yang ada pada akta tersebut tidak dapat dibanding (Legal Akses, 2012).

  • 10

    KESIMPULAN

    Dalam praktik kedokteran gigi, dokter gigi harus menjelaskan sejelas-jelasnya tentang apa saja yang akan dilakukan kepada pasien. Sesuai UU No. 29 tahun 2004 Pasal 45 Ayat 3 yaitu, pasien berhak untuk memperoleh penjelasan secara lengkap sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Apabila terjadi demikian dapat diselesaikan melalui mediasi di pengadilan yang didasari oleh PERMA No. 1 Tahun 2008 dan Pasal 29 UU No.36 Tahun 2009.

    DAFTAR PUSTAKA

    Afandi D. 2009. Mediasi: Alternatif Penyeleesaian Sengketa Medis. Maj Kedokt Indonesia, Vol 59, No.5

    Anna HA. 2000. Masalah Etik dan Hukum Kedokteran di Rumah Sakit. Sarasehan Penanganan Terpadu Masalah Etik dan Hukum Kedokteran. Surabaya: 50 tahun IDI.

    Arifin T. 2010. Ketua MA membuka diskusi urgensi mediasi penal dalam penyelesaian sengketa medis di peradilan pidana. www.mahkamahagung.go.id. Diakses pada 21 November 2013

    Budi AT. 2010. Upaya bantuan hukum dokter gigi dalam menghadapi sengketa medis. Jurnal PDGI, Vol. 59, No. 1:1-7

    Dewantara R. 2011. Malpraktek Medik. Jakarta: Erlangga Farber HS, White MJ. 1993. A comparison of formal and informal dispute

    resolution in medical malpractice. NBER Working Paper. No. 4371 NBER Program(s): LS HC

    Guwandi J. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bioetika. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. h. 47 52.

    Iswanto BT. 2004. Penyelesaian Perkara Diluar Persidangan, disampaikan dalam pelatihan khusus calon advokat. Magelang

    KKI. 2006. Himpunan Peraturan Tentang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Jakarta. h. 23 45.

    Legal akses. 2012, http://legalakses.com/akta-perdamaian-dalam-gugatan-perdata/, diunduh pada tanggal 21 November 2013.

    PERMA No 1 tahun 2008 PERMA No 2 tahun 2003 Safitri H. 2005. Sengketa Medik: alternatif penyelesaian perselisihan antara dokter dan pasien.

    Jakarta: Diadit Media. Safitri HS. 2009. Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi. Buku Abstrak Konggres

    Nasional I Hukum Kesehatan. Jakarta. h. 66.

  • 11

    Suryono. 2013. Best Practice dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan, http://ebookbrowse.com/best-practice-mediasi-pdf-d349636054, diunduh pada 21 November 2013

    Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.