makalah ekologi tumbuhan
TRANSCRIPT
MAKALAH EKOLOGI TUMBUHAN
“ STRUKTUR POPULASI DAN DEMOGRAFI TUMBUHAN
BESERTA INTERAKSI SPESIES “
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
1. Ayatun Nisa (E1A013005)
2. Febrina Amaliya Rha’ifa (E1A013016)
3. Isma Yulianti (E1A013021)
4. Nurlaelatun Hasanah (E1A013037)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2016
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim
Assalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang masih memberi kita nikmat dan
karunianya sehingga kita selalu dalam keadaan sehat wal’afiat hingga saat ini.
Alhamdulillah, pada kesempatan ini kami dapat menyelesaikan makalah Ekologi Tumbuhan
tentang “Struktur Populasi dan Demografi Tumbuhan beserta Interaksi Spesies”. Makalah ini
disusun dengan tujuan untuk menginformasikan bagi pembacanya tentang struktur populasi,
demografi tumbuhan dan interaksi spesies.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Akan tetapi dari
pembuatan makalah ini pasti ada kekurangan atau ketidakpasan tentang masalah yang kami
bahas dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami harap agar semua pihak dapat memakluminya
serta dapat memberikan kritik dan sarannya. Sekian dan terima kasih.
Wassalammualaikum Wr.Wb.
Penyusun
(Kelompok 3)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................2
DAFTAR ISI ......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................................4
1.3 Tujuan ............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................6
2.1 Struktur Populasi ..........................................................................................................6
2.2 Demografi Tumbuhan ...................................................................................................10
2.3 Interaksi Spesies ............................................................................................................10
BAB III PENUTUP ...........................................................................................................16
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................16
3.2 Saran ..............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANGTumbuhan tersebar di alam biasanya tidak mempunyai jarak sama. Ini disebabkan
karena adanya perbedaan dalam: kondisi lingkungan, sumberdaya, tetangga, dan
gangguan, yang kesemuanya hanya merupakan sejumlah kecil faktor yang mempengaruhi
pola dinamika dan populasi tumbuhan. Perbedaan perangkat kondisi lingkungan tidak
hanya memodifikasi distribusi dan kelimpahan individu, tetapi nampaknya juga merubah
laju pertumbuhan, produksi biji, pola percabangan, area daun, area akar, dan ukuran
individu. Distirbusi, survival, dan pola pertumbuhan serta reproduksi mencerminkan
adaptasi tumbuhan terdapat regim lingkungan tertentu, dan dengan demikian keadaan
tersebut adalah suatu bagian penting dalam ekologi tumbuhan. Pengetahuan tentang
populasi sebagai bagian dari pengetahuan ekologi telah berkembang menjadi semakin
luas. Dinamika populasi tampaknya telah berkembang menjadi pengetahuan yang dapat
berdiri sendiri. Pengetahuan tentang dinamika populasi menyadarkan orang untuk
mengendalikan populasi dari pertumbuhan meledak ataupun punah.
Populasi pada dasarnya memiliki dua ciri dasar yaitu ciri biologis yang merupakan
ciri-ciri yang dipunyai oleh individu-individu pembangun populasi itu dan ciri statistik
yang merupakan ciri unik suatu tumbuhan sebagai himpunan atau kelompok individu-
individu yang berinteraksi satu dengan lainnya Faktor-faktor yang mempengaruhi
keberadaan populasi tumbuhan dengan dinamikanya antara lain: Kondisi lingkungan,
Ketersediaan sumber daya, Kompetisi, Gangguan, Ketersediaan propagul (biogeografi).
Populasi tumbuhan tidaklah statis karena dipengaruhi oleh pertambahan atau
pengurangan anggota populasi sepanjang waktu. Pengetahuan tentang dinamika populasi
menyadarkan orang untuk mengendalikan populasi dari pertumbuhan meledak ataupun
mengalami penyusutan sehingga mengakibatkan kepunahan.
Tidak hanya 1 organisme saja yang ada di muka bumi ini melainkan ada berbagai
jenis komponen yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Setian komponen
membutuhkan komponen lainnya untuk bertahan hidup. Antar organisme, populasi,
komunitas, dan ekosistem saling berinteraksi satu sama lain. Keaneka ragaman makhluk
hidup di permukaan bumi akan menimbulkan hubungan kekerabatan antara organisme
tersebut, mahluk hidup yang hidup di bumi selalu mengadakan interaksi (saling
mempengaruhi) dengan mahluk hidup lainnya, selain terjalinnya hubungan kekerabatan
antar organisme maka adapula interaksi untuk tujuan pemenuhan kebutuhan hidup setiap
jenis. Adanya interaksi antar organisme ini dapat menyebabkan tidak adanya komponen
dalam suatu ekosistem yang dapat mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya baik antara
komponen biotik dengan sesamanya maupun antara komponen biotik dengan komponen
abiotik.
1.2 RUMUSAN MASALAH1. Bagaimana densitas populasi dan pola distribusi individu dalam suatu spesies ?
2. Bagaimana demografi tumbuhan seperti yang diterapkan pada individu dan unit
(madule) pertumbuhan – tumbuhan ?
3. Bagaimana berbagai macam interaksi yang dapat terjadi antara anggota suatu
komunitas ?
1.3 TUJUAN1. Untuk mengetahui densitas populasi dan pola distribusi individu dalam suatu spesies.
2. Untuk mengetahui demografi tumbuhan seperti yang diterapkan pada individu dan unit
(madule) pertumbuhan – tumbuhan.
3. Untuk mengetahui berbagai macam interaksi yang dapat terjadi antara anggota suatu
komunitas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Densitas Populasi dan Pola Distribusi Individu 2.1.1 Densitas : Definisi dan Metode
Densitas adalah jumlah individu per unit area, seperti 300 Acer saccharum per
hektar di hutan merangas, atau 3000 Larrea tridentate per hektar di Semak gurun.
Untuk mendapat densitas tidak perlu menghitung setiap individu yang terdapat
dalam seluruh area luas untuk sampai pada nilai densitas. Tetapi dengan
mengadakan sampling secara acak dengan kuadrat yang mungkin hanya 1% dari
area seluruhnya sudah dapat memberi suatu perkiraan densitas yang mendekati
kenyataan. Kuadrat adalah suatu area sembarang bentuk yang diberi batas dalam
vegetasi, sehingga penutup (cover) dapat diperkirakan, jumlah tumbuhan dihitung,
atau spesies didaftar. Kuadrat biasanya cukup kecil ukurannya, sehingga satu orang
yang berdiri pada satu titik di sepanjang sisinya, dapat dengan mudah mensurvei
seluruhnya tumbuhan yang terdapat dalam kuadrat. Kuadrat untuk sampel pohon
dapat mempunyai panjang 10-50 m pada satu sisi, sehingga untuk sensus tumbuhan
yang ada pada kuadrat tersebut, seiring memerlukan lebih dari pada satu orang.
Kuadrat dapat diletakkan secara acak dengan membuat dua sumbu x dan y di
sepanjang tepi area luas yang disampel. Kemudian membagi sumbu menjadi unit-
unit atau titik-titik dengan interval tertentu, dan mengambil sepasang nomer dari
table nomer acak, atau menarik nomor-nomor dari suatu wadah (cara lotre). Jika
seluruhnya, ada 12 kuadrat dengan luas 2 m2 masing-masing diletakkan dalam area
2400 m2, sehingga 1% area total sudah termasuk dalam kuadrat. Densitas juga dapat
diperkirakan dengan metode jarak, yang tidak memakai kuadrat.
2.1.2 Pola Distribusi Individu : Definisi dan Metode
Jumlah tumbuhan dalam suatu area dapat disusun dalam tiga pola dasar, yaitu :
acak, mengelompok (clumped) atau teratur (regular).
1. Pola acak : dalam pola acak, lokasi sembarang tumbuhan tidak mempunyai
arah dan posisi (bearing) terhadap lokasi lain pada spesies yang sama.
2. Pola mengelompok : dalam pola mengelompok (juga disebut aggregateo atau
underdispersed), hadirnya satu tumbuhan berarti terdapat kemungkinan besar
untuk menemukan spesies lain yang sama yang ada didekatnya.
3. Pola teratur : pola teratur, atau “ovedispersed”, adalah sama dengan pola pohon
dalam suatu perkebunan yang ditanam dengan jarak teratur satu sama lain.
Kebanyakan spesies cenderung mengelompok, karena dua alasan yaitu :
Pertama, tumbuhan tersebut harus berkembang biak dengan reproduksi; di mana
biji atau buah cenderung jatuh dekat induk; atau dengan runner atau rimpang yang
menghasilkan anakan vegetative yang masih dekat induknya. Kedua, berhubungan
dengan lingkungan mikro; habitat bersifat homogeny pada level lingkungan makro,
tetapi pada level yang lebih kecil, ini terdiri atas banyak mikrositus yang berbeda
yang memungkinkan penempatan dan pemantapan suatu spesies dengan tingkat
keberhasilan yng berbeda pula. Mikrositus yang paling cocok untuk suatu spesies
akan cenderung menjadi lebih padat ditempati oleh spesies yang sama. Ada banyak
cara mengukur pola, yaitu antara lain :
1. Metode dengan memakai kuadrat acak; jumlah individu spesies A yang berakar
dalam tanah dihitung dalam kuadrat dan diringkaskan dalam bentuk tabel.
Dalam hal ini data yang diperoleh adalah data yang diamati (observed).
Kemudian ada data yang diharapkan (expected), yakni, jika anggota spesies A
tersebar secara acak, ditentukan dengan rumus agak sederhana, yaitu distribusi
Poisson, yang hanya memerlukan jumlah rata-rata tumbuhan per kuadrat.
Perbedaan antara data observed dan data expected dievaluasi dengan
perhitungan chi-square.
Jumlah tumbuhan
per kuadrat
Pengamatan jumlah
kuadrat dengan x
tumbuhan
Harapan jumlah
kuadrat dengan x
tumbuhan
X2 =
pengtn−harapanharapan
2
0 13 21.0 3.0
1 51 32.8 10.1
2 23 25.6 0.3
3 3 13.3 8.0
4 0 5.2
5 10 1.6 1.5
Total 100 99.5 Sigma X = 22.9
Dalam contoh ditunjukkan dalam tabel, nilai chi-square adalah lebih kecil
daripada yang diharapkan menurut kesempatan, sehingga kesimpulannya adalah
bahwa anggota spesies A tidak terdistribusi secara acak. Kemudian, apakah mereka
mengelompok atau regular? Pengamatan dalam tabel menunjukkan bahwa jumlah
kuadrat lebih kecil daripada yang diharapkan yang mempunyai nol atau lebih
daripada satu tumbuhan, dn lebih besar daripada yang diharapkan mempunyai satu
tumbuhan. Kemudian, dengan deduksi, kita dapat mengatakan bahwa anggota
spesies A tersebar regular.
Metode jarak (metode tanpa plot) dapat juga dipakai untuk me-detect pola
distribusi, dalam kasus ini, jarak antara anggota yang berdekatan spesies sama
dihitung.
2.2 Demografi Tumbuhan Demografi tumbuhan adalah kajian perubahan dalam ukuran populasi menurut
waktu. Dengan menentukan laju kelahiran dan kematian individu tiap umur dalam suatu
populasi, demografiwan memproyeksikan beberapa lama suatu individu hidup, kapan
akan menghasilkan anakan dan berapa banyak, dan keseluruhan perubahan jumlah
dalam populasi dan dalam waktu tertentu. Satu pendekatan terhadap demografi
tumbuhan adalah dengan memberikan berbagai stadia sejarah hidup (life history) suatu
tumbuhan dan mengkuantifikasi jumlah yang hadir pada tiap stadia. Contohnya,
tumbuhan tertentu mempunyai berbagai stadia dalam sejarah hidup dalam suatu
populasi tumbuhan. Biji yang hadir dalam tanah diacu sebagai kolam biji/seed pool
(bank biji/seed bank). Beberapa dari biji ini berkecambah untuk menjadi semai
(seedling). Lingkungan bertindak sebagai suatu saringan, sehingga beberapa semal
menjadi terbentuk dan biji yang lain tetap dalam bank biji. Beberapa tumbuhan mati
sebelum mencapai dewasa yang reproduktif, dan masih ada yang lain membentuk
anakan vegetative baru dengan reproduksi vegetatif.
Unit populasi
Dalam demografi tumbuhan, unit populasi tidak selalu berbentuk individu yang
dibentuk oleh perkecambahan biji. Unit populasi yang dihasilkan secara vegetative
disebut sebagai ramet. Ini berasal dari akar kata latin yang berarti suatu cabang, seperti
dalam ramification.
Sedangkan genet mengacu suatu unit populasi yang timbul dari biji. Grup ramet
dihasilkan secara vegetative dari suatu induk tunggal dapat pula disebut sebagai suatu
clone. Ramet sendiri dapat dihasilkan secara vegetatif, dan akan menaikkan ukuran
suatu clone. Dua tumbuhan dengan umur sama yang mempunyai perbedaan besar dalam
ukuran dan bentuk karena keadaan lingkungan mempunyai dampak berbeda sebagai
bagian populasi. Contohnya, suatu tumbuhan besar dapat menghasilkan lebih banyak
biji daripada tumbuhan kecil. Karenanya, hal ini penting untuk menentukan moduler
pertumbuhan dan mengkonsepkan suatu tumbuhan sebagai suatu metapopulasi atau
suatu populasi module.
Kita dapat menemukan suatu ide kompleksitas dinamika suatu populasi tumbuhan
dengan memandang populasi hipotesis pohon. Pertumbuhan dan reproduksi pohon
tergantung pada kondisi lingkungan. Tanggapan populasi pohon terhadap kondisi dan
waktu terbagi dalam dua cara : Pertama, mereka dapat bertambah banyak dengan
menghasilkan biji dan dengan demikian membentuk genet baru. Densitas populasi
kemudian berubah, dan struktur umur genet berubah karena individual genetic baru
telah ditambahkan pada populasi. Genet kemudian dapat menyesuaikan apakah secara
fisiologis atau morfologis dalam tanggapan terhadap perubahan dalam keadaan
lingkungan yang disebabkan oleh penambahan individu. Penyesuaian ini dapat
mengambil bentuk aklimasi, produksi allelokemik, kenaikan dan penurunan output
reproduktif aseksual, dan perubahan dalam bentuk dan ukuran individu dengan
penambahan atau menggugurkan module tubuh tanaman, seperti daun, cabang, atau
akar. Kedua,tanggapan populasi genet terhadap perubahan dalam kondisi lingkungan
dengan mengubah keseluruhan bentuk dan orientasi tubuh tanaman. Proliferasi module
dapat memakai sumberdaya yang tersedia dan menahan pengangkatan atau
pembentukan individu baru dari biji.
Kajian dinamika populasi pohon meliputi kedua bentuk kelahiran dan kematian
pohon individu dan komponen modular tubuh tanaman. Pengulangan module sebagai
unit kajian demografi. Module ini mungkin suatu cabang dengan kuncup, daun, dan
bunga, daun individu, atau sembarang module lain pertumbuhan tanaman yang terulang
sehingg tanaman menjadi lebih besar. Dalam populasi tumbuhan, tidak semua individu
menambah module pada laju yang sama karena pembatasan pada sumberdaya dan
kompetisi antar individu. Banyak individu tetap kecil, sementara beberapa tumbuh besar
dan menempati sejumlah ruang habitat yang ukurannya tak teratur
2.2.1 Model Pertumbuhan Populasi
Model continuous-time
Dengan memakai sebuah model “continous-time” kita dapat menentukan
jumlah tumbuhan yang ada pada beberapa waktu mendatang (Nt+1) dengan
menambah jumlah tumbuhan pada waktu tertentu (Nt). Jumlah yang terbentuk
dari biji yang dihasilkan oleh tumbuhan yang ada (B) , dan yang tersebar pada
situs (1), kemudian dikurangi jumlah yang telah mati (D), dan jumlah biji yang
tersebar keluar area (E) selama periode waktu t sampai t + 1. Dalam bentuk
persamaan :
Nt+1=Nt+B+I-D-E (Persamaan 1)
Karena kita jarang mampu membuat perhitungan lengkap tentang
kelahiran dan kematian untuk seluruh populasi, data biasa dinyatakan dalam laju
kelahiran individu (b) dan kematian (d). Dengan mengabaikan imigrasi dan
emigrasi saat itu, kita dapat menghitung laju kenaikan sesaat (r) per individual
(juga disebut laju intrinsic kenaikan alami) dalam populasi sebagai:
r = b - d (persamaan 2)
Sekarang kita dapat menghitung laju sesaat perubahan dalam jumlah
populasi dengan menggunakan persamaan diferensial
dN/dt = rN (persamaan 3)
di mana N adalah jumlah individu dalam populasi pada waktu t. Kita tahu bahwa
tak ada populasi tumbuh untuk waktu lama tanpa beberapa pembatasan, karena
kurangnya sumber daya, ruang, atau pembatas lain.
2.2.2 Daya Dukung
Dengan adanya berbagai pembatas yang ada, oleh karenanya, kita dapat
memperkirakan, bahwa lingkungan mempunyai daya dukung (carrying capacity)
(K); yakni, jumlah individual spesies yang dapat ditunjang oleh lingkungan.
Karena jumlah populasi mendekati K, lingkungan membatasi pertumbuhann
populasi, menghasilkan kurve pertumbuhan populasi logistic atau sigmoid (kurve
b dalam gambar). Persamaan verhuist-pearl klasik untuk pertumbuhan populasi
logistic adalah :
dN/dt = rN(k – N/K) (Persamaan 4)
Persamaan verhulst-pearl sering tidak cukup untuk populasi tumbuhan
karena daya dukung tumbuhan vascular tidak hanya tergantung pada jumlah
individu, tetapi juga pada biomassa individu. Plastisitas pertumbuhan
memungkinkan untuk sejumlah kecil individu besar atau banyak individu kecil
yang mempunyai pengaruh sama pada pengangkatan (recruitment) populasi.
Model pertumbuhan populasi continuous-time yang dibicarakan di atas cocok
untuk populasi dengan pertumbuhan kontinu dan dalam kasus di mana laju
kelahiran, laju kematian, dan ukuran berkorelasi dengan umur, seperti banyak
pada tumbuhan annual dan populasi daun.
2.2.3 Model Matriks
Model matriks adalah suatu model yang memungkinkan penentuan
pertumbuhan populasi dalam tumbuhan dengan perhitungan periode waktu tegas,
dan fase yang dapat ditentukan dari sejarah hidup tumbuhan.
1. Matriks yang terdiri atas kolom tunggal diacu sebagai matriks kolom
Kita dapat membuat matriks kolom yang memperlihatkan jumlah individu
dalam tiap tiga stadia perkembangan. Misalnya, jumlah biji (Nt) dalam bank
biji, jumlah tumbuhan dalam bentuk roset (Nr) dan jumlah tumbuhan dalam
fase berbunga (Nr) yang muncul dalam bentuk matriks seperti : Matriks
kolom tiga stadia pertumbuhan
Ne
N- (Matriks 1)
Nr
Matriks transisi
Suatu matriks transisi untuk tiga stadia pertumbuhan adalah bentuk segi-
empat dan terdiri atas grup nilai probabilitas yang menyajikan perubahan di
mana tumbuhan dalam stadia perkembangan berbeda (atau tempat tinggal
sama) selama waktu antara tanggal sensus populasi. Matriks transisi untuk
tiga stadia pertumbuhan akan muncul sebagai berikut :
Sensus sekarang (Matriks 2)
Sensus
berikut
Biji roset bungaMatriks
transisi tiga
stadia
Biji a_ _ ar_ ar_
Roset a_r arr arr
Bunga a_r arr arr
Dalam matriks transisi, a_r, sebagai misalnya, merupakan probilitas
bahwa biji dari sensus sekarang ini akan berkembang ke stadia roset oleh
sensus berikutnya, dan ar adalah probilitas di mana suatu tumbuhan dalam
stadia roset dalam sensus ini akan menjadi bentuk bunga pada sensus
berikutnya. Dalam model teoritis Matriks 2, sembarang stadia pertumbuhan
mempunyai kapasitas menjadi sembarang stadia pertumbuhan pada sensus
berikutnya. Di lain pihak, tumbuhan annual mempunyai perangkat kendala
biologis berbeda dan akan mempunyai perangkat nilai potensial berbeda.
Misalnya, tumbuhan annual dalam fase roset pada akhir musim tidak akan
menghasilkan individu pada generasi berikut karena tidak menghasilkan biji.
Jadi, kolom roset dalam matriks untuk tumbuhan annual akan berisi 0 dalam
semua ruang sel.
Akhir musim pertumbuhan (Matriks 3)
Tahun 1
Musim
pertumbuhan
tahun 1
Biji Roset Bunga Matriks
transisi akhir
tumbuhan
annual
hipotesis
(sensus
diambil tiap
tahun pada
akhir musim
pertumbuhan
)
Biji a_ _ 0 ar_
Roset a_r 0 Arr
Bunga a_r 0 Arr
Frekuensi di mana sensus populasi diambil juga merubah matriks. Jika
sensus populasi tumbuhan annual diambil pada pertengahan musim
pertumbuhan dan pada akhir musim pertumbuhan, kita akan mendapat
matriks kedua dan karenanya akan lebih banyak informasi. Misalnya hanya
periode kecambah tunggal, matriks akhir musim akan muncul sebagai
berikut :
Pertengahan musim pertumbuhan, (Matriks 4)
Tahun 1
Akhir musim
pertumbuhan 1
A_ _ 0 Ar_ Matriks transisi
akhir tumbuhan
annual hipotesis
(sensus diambil
pertengahan
musim
0 Arr 0
0 arr Arr
Matriks transisi untuk perennial dalam sensus tahunan akan mempunyai karakteristik berikut :
Tahun 1 (Matriks 5)
Tahun 2 A_ _ 0 Ar_ Matriks transisi
tahunan untuk
tumbuhan
perennial
A_r Arr Arr
0 arr arr
Probabilitas transisi arr, a_r, dan ar_ adalah probabilitas yang stadia
pertumbuhan individu khusus tidak berubah sepanjang tahun. Dalam kasus
arr, individu dapat tidak berubah atau dapat membentuk roset baru tanpa
reproduksi seksual. Matriks kolom yang dibentuk dengan menghitung jumlah
individu dalam tiap stadia pertumbuhan, dan matriks transisi kemudian
dikalikan untuk memperkirakan jumlah individu tiap stadia pertumbuhan
dalam generasi berikutnya. Misalnya, jumlah biji yang diharapkan dalam
generasi berikut adalah total produksi n (jumlah biji ada ; lihat matriks 1) dan
tiap sel matriks tansisi yang memperlihatkan probabilitas biji yang dihasilkan.
Hasil perkalian matriks akan menjadi sebagai berikut :
A X B1= (Matriks 6)
A_ _ O ar_ N_= (N_a_ _) + O + (N_ar_)
A_r arr arr X Nr = (Nra_r) + O + (Nrarr)
O arr arr Nr = O + O + (Nrarr)
Dengan mengandalkan baris, B2 menjadi kolom baru matriks N, Nr untuk
generasi kedua. Perkalian B dengan A akan memberikan perkiraan populasi
bagi generasi ketiga. Dengan melanjutkan perkalian matriks kolom untuk tiap
generasi dengan matriks transisi (A) memberi perkiraan pertumbuhan
populasi seluruh waktu. Setelah beberapa generasi (jika nilai dipakai untuk
membentuk matriks transisi tetap konstan dan r>0), jumlah individu relative
dalam tiap stadia pertumbuhan akan tetap konstan dan struktur umur
kemudian akan tetap stabil. Laju preproduktif bersih (Rr) populasi adalah
suatu ukuran apakah populasi meningkat, menurun, atau stabil. Untuk
menentukan R untuk suatu popoulasi, hitung rasio jumlah individu dalam
suatu stadia pertumbuhan khusus dalam dua generasi berurutan dalam suatu
populasi yang telah mencapai struktur umur stabil. Misalnya, jumlah roset
dalam generasi (t+1) dibagi dengan jumlah roset dalam generasi (t) sama
dengan laju reproduksi bersih untuk populasi jika generasi telah mencapai
distribusi umur stabil. Jika R =1.0, jumlah populasi adalah constant; jika R <
1.0, populasi menurun; dan jika > R 1.0, jumlah populasi bertambah. Model
matriks sangat menguntungkan bila unit populasi bergerak dari satu stadia
pertumbuhan yang dapat dibentuk ke lainnya, dan bila ekologiwan tertarik
tentang pengaruh probabilitas transisi berbeda, seperti yang akan hadir dalam
habitat yang kontras atau dalam lingkungan berubah.
2.2.4 Peraturan Populasi Dependen Densitas Versus Dependen Lebat
A. Populasi Dependen Densitas
Daya dukung dapat ditentukan tidak hanya oleh jumlah individu dalam
populasi tetapi juga oleh ukuran dan laju pertumbuhan individu dalam
populasi. Pengaruh densitas pada total biomassa yang dihasilkan (yield)
diperlihatkan oleh data pada clover dalam Gambar 4-6a. Densitas semai
bervariasi dari 6 sampai 32.500 tumbuhan per m2 dan biomas tumbuhan
dewasa per unit area diukur pada tiap densitas. Tidak ada mortalitas. Pada
bentuk maturitas, yield tidak tergantung densitas semai diseluruh kisaran
densitas yang sangat luas. Jadi, perbedaan dalam densitas sebagian besar
diperkecil oleh perbedaan ukuran tumbuhan individu. Di bawah 1500
tumbuhan/m2, jarak antara tanaman cukup besar sehingga pertumbuhan tidak
terpengaruh oleh tetangga. Bila densitas cukup tinggi untuk intraspesifik
interferensi menjadi penting, yield dapat diprediksi tanpa memandang densitas
tumbuhan. Hasil yield ini tetap untuk banyak spesies tumbuhan dan telah
mengacu sebagai “hukum” yield konstan. Besaran/magnitude yield tumbuhan
pada suatu situs bergantung pada ketersediaan sumberdaya. Misalnya, yield
Bromus uniloides tetap konstan diseluruh kisaran densitas luas tetapi berbeda
dengan ketersediaan nitrogen lingkungan yang membuat terbatas/limit pada
jumlah biomas tumbuhan yang dapat didukung pada situs itu.
Jadi, konsep daya dukung, yang berkaitan dengan jumlah individu yang
dapat didukung dalam suatu lingkungan tertentu, harus diperluas untuk
mencakup komponen yield atau biomas. Semua individu dalam suatu populasi
tumbuhan memerlukan kesamaan, sehingga tiap individu dalam populasi
menjadi setara untuk ditempati oleh tetangganya. Apakah karena perbedaan
genetic atau microhabitat, beberapa individu mendapatkan lebih banyak
sumberdaya, dan mereka tumbuh lebih cepat daripada tumbuhan yang sama
besarnya. Hasilnya adalah suatu penjarangan diri secara bertingkat pada
populasi sangat lebat, karena tumbuhan individu tertentu mati, sedang yang
lain mendominasi tegakan.
B. Populasi Dependen Lebat (crowding)
Ukuran populasi dalam populasi yang bertambah, seperti yang diprediksi
oleh kebanyakan modal pertumbuhan populasi, bergantung pada dependen
densitas yang berubah dalam survival atau laju reproduktif, karena jumlah
populasi menjadi lebih besar. Karena N menjadi dekat kepada K, menurun
sampai rata-rata nol. Pemberian populasi bergantung hanya pada variasi dalam
N dan karenanya bersifat dependen densitas. Kita tahu dari hukum yield
konstan di mana tanggapan tumbuhan terhadap kelebatan tidak hanya oleh
densitas tetapi juga oleh ukuran individu.
Hal ini jelas bahwa keadaan populasi tumbuhan tak dapat diberikan oleh
biomas sendiri, juga tidak oleh densitas sendiri. Hal ini lebih akurat untuk
mengatakan bahwa populasi tumbuhan adalah lebih bersifat dependen lebat
daripada dependen densitas.
2.2.5 Scadia Versus Umur
Teori demografi klasik memakai umur sebagai dasar untuk perkiraan
kesuburan (fecunditas) dan survivorship. Namun, umur dapat tidak berupa
indikator status reproduktif dalam tumbuhan. Ada dua alasan pokok untuk ini :
Pertama, ukuran tidak perlu berkorelasi dengan umur, dan kedua, banyak
tumbuhan akan berbunga bila mereka mencapai ukuran tertentu, tanpa
memandang umurnya. Sebaliknya, dalam lingkungan optimal, ukuran yang
diperlukan dan karbohidrat simpanan mungkin dikumpulkan secara cepat, dan
pembangun dapat terjadi dalam tahun pertumbuhan pertama. Semai pohon
dapat tetap kecil untuk beberapa tahun bila tumbuh dalam naungan hutan lebat.
Status demografi individu ini ditentukan oleh stadia perkembangan, bukan oleh
umurnya.
Dalam keadaan tertentu, suatu tumbuhan bahkan tertarik kembali kepada
stadia perkembangan awal (yakni, tumbuhan dapat berbunga satu tahun dan
tertarik kembali kepada stadia vegetative untuk satu atau beberapa tahun yang
berturutan) (Rabotnov 1978). Umur juga tidak menjadi syarat berarti dalam
demografi tumbuhan bila domansi memutus daur hidup untuk suatu periode
waktu. Misalnya, biji tetap tinggal dorman untuk bertahun – tahun, dalam
waktu tersebut status populasi tidak berubah. Banyak tumbuhan mempunyai
berbagai plastisitas morfologi; sehingga analisis demografi lengkap
memerlukan data pada kedua stadia perkembangan dan umur.
2.2.6 Tabel Hidup (Life Table)
Tabel hidup asalnya dibentuk oleh perusahaan asuransi sebagai sarana
penentuan hubungan antara umur dan potensi hidup klien untuk membayar
premi asuransi secara cukup untuk mempertahankan perusahaan supaya tetap
cair. Tabel hidup asuransi ini menyajikan beberapa informasi dasar pada
survival untuk kajian demografi tetapi melupakan proses kelahiran. Dengan
mengembangkan tabel hidup guna memasukkan informasi tentang fekeunditas
(laju kelahiran) dan umur, ekologiwan mempunyai sarana efektif untuk
mengorganisasi data demografi. Ada dua macam tabel hidup, tergantung pada
lama hidup (life - sapan) individu dalam populasi.
1. Kohort atau tabel hidup dinamis.
Tabel hidup kohort digunakan bila pengamat dapat mengikuti semua
perkecambahan semai pada waktu tertentu (sebuah kohort) sampai semua
individu mati. Tabel hidup ini umum dipakai untuk tumbuhan yang hidup
dalam periode waktu pendek Jadi, tumbuhan annual dan perennial yang
hidup pendek biasa dikaji dari tabel hidup kohort. Pohon dan semak sering
hidup lebih lama daripada ekologiwan tumbuhan, dan karenanya dikaji
dengan menggunakan label hidup statis atau tabel hidup waktu tertentu.
2. Pada tabel hidup statis, struktur umur suatu populasi terdiri atas kohort
berganda digunakan untuk memperkirakan pola survival berbagai grup
umur.
2.2.7 Kurve Survivorship
Dengan plotting log jumlah survivor pada tiap interval umur terhadap
waktu akan menghasilkan suatu kurve survivorship. Deevey membedakan tiga
tipe kurve survivorship yang menyajikan tanggapan populasi ekstrem:
1. Tipe I kurve survivorship adalah karakteristik organisme dengan mortolitas
rendah dalam stadia muda dan mortalitas cepat dalam kelas umur tua;
2. Tipe II adalah garis lurus, di mana probabilitas kematian pada pokoknya
sama pada sembarang umur; dan
3. Tipe III adalah tipikal organisme yang mempunyai laju mortalitas tinggi
diikuti dengan mortalitas biji karena adanya pemakan buah dan pemakan
biji, kemudian suatu periode yang kurang lebih mortalitas tetap sebagai
kejadian penjarangan sendiri, dan akhirnya periode mortalitas rendah yang
diperpanjang sebagai pohon yang hidup yang menempati posisi dalam
kanopi.
Tumbuhan annual tanpa dormansi biji, tumbuh pada situs terbuka, dapat
mempunyai kurve tipe I Deevey, karena kebanyakan semai mampu untuk
reproduksi. Pada situs kurang terbuka, kompetesi intraspesifik dapat terjadi
dalam mortalitas sebelum reproduksi, sehingga memperlihatkan kurve tipe II
Deevey. Kurve survivorship tumbuhan annual dapat berbeda dari tahun ke
tahun dan dari situs ke situs tetapi biasanya tipe I atau II. Perennial herba dan
semak mempunyai berbagai bentuk kurve survivorship yang, bergantung pada
sekliling, menempati keseluruhan kisaran dari tipe I sampai tipe III.
Panjangnya waktu di mana biji hidup dalam bank biji adalah berkaitan dengan
bentuk pertumbuhan dan lingkungan. Tumbuhan annual dalam lingkungan
sangat kasar dan gulma cenderung mempunyai periode ekstrim panjang sebagai
biji yang cenderung mempunyai periode ekstrim panjang sebagai biji yang
masih hidup dan life-span pasca kecambah sangat pendek. Umumnya, kita
dapat mengatakan bahwa lamanya biji adalah proporsional terhadap keganasan
lingkungan dan berbanding terbalik terhadap lama hidup dewasa. Hal ini
menarik untuk membandingkan kurve survivorship untuk tumbuhan dan
hewan. Pada hewan, spesies yang makin besar dan makin lama hidup
mempunyai kurve survivorship tipe I, dan spesies makin kecil, makin cepat
bereproduksi mempunyai kurve tipe III. Sebaliknya akan terjadi pada
tumbuhan.
2.2.8 Fekunditas
Fekunditas juga disebut umur spesifik laju kelahiran individu atau
natalitas diukur dengan menghitung jumlah total biji yang dihasilkan oleh
kohort selama tiap interval umur dan dibagi dengan jumlah individu yang
hidup dalam kohort. Fekunditas, dengan demikian adalah jumlah biji rata – rata
yang dihasilkan oleh individu dalam populasi pada waktu atau interval umur.
Jika tumbuhan berumah dua (bunga jantan dan betina pada tumbuhan terpisah),
hanya tumbuhan betina saja yang diperhatikan dalam tabel hidup. Kalikan
survivorship (1) dengan fekunditas (br) dan jumlahkan lama hidup kohort
memberi estimasi laju reproduktif bersih kohort (Ro). Dengan symbol :
Ro = Sigma L b (persamaan 4-6)
Dalam rata – rata, tiap tumbuhan yang mati diganti oleh bijii baru dalam
bank biji bila Rp = 1 yakni, populasi tidak berubah dalam ukuran. Bila Rp
<1.0, lebih sedikit biji diganti dalam bank biji daripada yang diperlukan untuk
mengganti populasi. Suksesnya suatu kolonisasi populasi yang terbentuk
bergantung pada kemampuan individu yang ada untuk memberi anakan kepada
generasi mendatang. Nilai reproduktif (V) adalah ukuran kontribusi relative
rata – rata umur individu x yang akan membuat bank biji sebelum dia mati.
Nilai reproduksif adalah jumlah rata – rata biji yang dihasilkan oleh umur
individu x (b) dan total sejumlah biji yang dihasilkan oleh individu lebih tua
daripada x (b) kali probabilitas di mana individu umur x akan hidup pada tiap
kategori umur lebih tua (1-2/1).
Vn=Bn+sigma (1x+2/1)b x+1 (persamaan 4-7)
Nilai reproduksi umumnya rendah dalam stadia awal pertumbuhan karena
probabilitas kematian relatif tinggi sebelum reproduksi. Namun, bila tumbuhan
bertahan untuk reproduksi, hal ini mempertahankan nilai reproduktif tinggi
sampai mencapai ketuaan/senilitas.
2.2.9 Struktur Umur dan Struktur Stadia
Tanpa memandang lama hidup, orang dapat mengenal delapan stadi/stage
dalam tumbuhan individu atau suatu populasi (Rabotnov 1969) :
1. Biji yang dapat berkecambah,
2. Semai,
3. Muda/juvenile
4. Tidak dewasa/immature, vegetative,
5. Dewasa/mature, vegetative
6. Reproduktif awal.
7. Kesuburan maksimum (reproduktif dan vegetative, dan
8. Tua / senescent.
Jika suatu populasi perennial menunjukkan hanya empat atau lima stadia
pertama, ini secara jelas menunjukkan adanya perkembangan dan merupakan
bagian dari komunitas seral. Jika suatu populasi memperlihatkan semua
delapan stadia dan jika tak ada perubahan lebih lanjut terjadi dalam struktur
umur, hal ini menunjukkan struktur stabil. Jika hanya memperlihatkan empat
stadia terakhir, populasi mungkin dalam penyusutan atau diganti oleh kohort
temporer yang jarang. Tidak semua populasi stabil, namun demikian, klimaks
akan memperlihatkan keadaan yang sama pada kurve umur distribusi. Pohon
perennial hidup lama dan dengan demikian dapat berhasil mempertahankan
hasil sendiri bahkan seandainya semai mereka terbentuk secara sporadis
menurut waktu.
2.3INTERAKSI SPESIES
2.3.1 Macam Interaksi.
Kita telah banyak membicarakan spesies tumbuhan dan populasi sebagai
mereka hadir dalam isolasi. Di alam, kebanyakan komunitas terdiri atas lebih dari
satu populasi tumbuhan. Lagi pula, mereka juga memperlihatkan adanya pengaruh
populasi nontumbuhan, seperti golongan decomposer (bacteria dan fungsi) yang
tumbuh dalam tanah, pathogen parasitik, dan tumbuhan herbivore.
Interaksi antara berbagai populasi tersebut dapat memodifikasi potensi genetis
tiap spesies (optimum fisiologis dan kisarannya) untuk menghasilkan komunitas
berdasarkan pada optimal ekologis dan kisaran ekologis. Harper (1964) telah menulis
review yang bagus yang mendemonstrasikan bagaimana biologi organisme yang
tumbuh dalam isolosi tak dapat dibandingkan atau berbeda dengan biologi mereka
bila tumbuh dalam campuran.
Banyak ekologiwan percaya bahwa organisme adalah suatu komunitas yang
bersifat saling bergantung / interdependen, sehingga mereka tidak terikat sekedar
berdasarkan kesempatan saja, dan gangguan satu organisme akan mempunyai
konsekuensi terhadap keseluruhan organisme.
Clements (1916), terutama pengikutnya, mengambil pandangan tersebut secara
ekstrim. Mereka menyamakan komunitas klimaks sama dengan superorganisme dan
memandang komponen populasi sebagai interdependen seperti sel, jaringan, atau
organ dari organisme tunggal.
Tujuan dalam bab ini adalah mengadakan survey berbagai macam interaksi
yang dapat terjadi antara anggota suatu komunitas. Kemudian akan menuju ke
masalah panaskiran pandangan clements, dan pandangan yang lebih moderat, tentang
itnerdepenedensi komunitas dan integritasnya.
Tabel menyusun berbagai kemungkinan asosiasi menurut skema dan symbol
yang dikembangkan oleh Burkholder (1952). Tiap interaksi diperikan oleh
pengaruhnya pada dua populasi atau organisme, A dan B, bila mereka berhubungan
(interaksi “on”) dan bila mereka berpisah (interaksi “off”).
Sebagai contoh, pandanglah herbivori. Bila herbivore dan tumbuhan
makanannya terdapat bersama, herbivore menjadi terangsang (stimulated)
pertumbuhannya, reproduksinya, atau keberhasilan pada umumnya menjadi makin
baik, dan tumbuhan akan menjadi tertekan (pertumbuhannya, cadangannya,
reproduksinya, atau keberhasilannya secara umum menjadi menurun). Bila keduanya
berpisah, herbivore menjadi tertekan, dan tumbuhan tetap stabil.
Tabel. Daftar kemungkinan tipe interaksi biologis menurut Burkholder (1952).
Bila organisme A dan B cukup dekat untuk ikut serta dalam interaksi, interaksi
adalah “on” dan kalau sebaliknya akan menjadi “off” stimulasi disimbolkan sebagai
+ , dan ada efek sebagai O, dan depresi sebagai -.
Nama interaksi On Off
1. Netralisme
2. Kompetisi
3. Mutualisme
Tanpa nama
4. Protokooperasi
5. Komensalisme
Tanpa nama
6. Amensalisme
7. Parasitisme, predasi,
herbivore
A B
O O
- -
+ +
+ +
+ +
+ O
+ O
O atau + O
+ -
A B
O O
O O
- -
O -
O O
- O
O O
O O
- O
Dalam tabel. Herbivore, parasitisme, dan predasi identik, tetapi perbedaanya
sangat tidak kentara, dan perbedaan penting untuk interaksi lainnya adalah cukup
nyata.
Secara matematik, terdapat B1 kemungkinan interaksi dengan symbol-simbol
tersebut, tetapi Burkholder berkesimpulan bahwa hanya sepuluh saja yang secara
logis mungkin terjadi seperti terdapat dalam tabel.
Di antara sepuluh tersebut, tiga cukup jarang terjadi atau paling tidak tak
teramati dan mereka tidak bernama. Netralisme dimasukkan dalam tujuan ini utnuk
sekedar perbandingan dan kelengkapan saja, tetapi sesungguhnya terlalu jarang di
alam.
Beberapa interaksi yang disimbolkan dalam tabel adlah bersifat negatif (salah
satu atau partner lainnya menjadi terhambat, seperti misalnya pada kompetisi atau
amensalisme), dan bentuk lain adalah bersifat positif (salah komensalisme atau
mutualisme).
Kejadian interaksi hanya dapat disimpulkan dan ditunjukkan dengan
percobaan yang rinci. Sedang kalau hanya dengan sampling lapangan, hanya dapat
memberi tanda-tanda atau bukti awal adanya interaksi.
Sampling di lapangan berdasarkan pada premis bahwa interaksi posistip akan
menghasilkan hubungan ruang (spatial) positif antara partnernya; kalau satu partner
didapatkan dalam sampling, maka kemungkinan besar akan diketemukan partner
tumbuhan lain yang dekat.
Dua populasi saling menarik satu sama lain, dan hadir dalam pola
nonrandom, atau mengelompok (clumped). Hal yang sama, pada interaksi negative,
akan menghasilkan hubungan spatial negative; dua populasi nampaknya saling
mengusir satu sama lain, dan hadir dalam pola nonrandom, atau regular.
Jika tidak ada interaksi antara populasi, kemudian lokasi satu individu spesies
tak berpengaruh pada lokasi individu spesies lain; dua populasi dikatakan sebagai
tersebar secara acak/random.
Satu cara menentukan pola dapat ditentukan dengan cara sampling vegetasi
dengan teknik kuadrat acak yang mempunyai ukuran kuadrat sesuai.
Pada tiap kuadrat yang dikerjakan, hadir dan tak hadirnya sembarang dua
(atau semua) spesies dicatat, kemudian disusun dalam tabel “contingency” (Tabel).
Tabel tersebut merupakan data pengamatan (observed). Data yang diharapkan
(expected), mengasumsikan bahwa distribusi dua taksa yang diamati secara acak
lengkap, dapat dibandingkan dengan rumus kai-kuadrat (chi-square).
Contoh dalam tabel membuahkan nilai ki-kuadrat lebih tinggi pada nilai ki-
kuadrat yang diharapkan menurut kesempatan (yakni dengan membandingkan
dengan Tabel ki-kuadrat dengan derajad kebebasan 2, pada level signifikan tertentu),
sehingga dua spesies (A dan B) tidak tersebar secara acak, dalam kaitannya satu
sama lain.
Pengamatan dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat lebih banyak
kuadrat yang hanya berisi A atau B daripada yang diharapkan menurut kesempatan,
dan terdapat kuadrat yang berisi kedua spesies lebih sedikit daripada yang
diharapkan menurut kesempatan.
Kesimpulannya adalah bahwa A dan B berasosiasi negatif. Alasan lebih
lanjut tentang adanya bentuk asosiasi, kemudian harus ditentukan dengan
pengamatan ekologis dengan eksperimentasi; dan perlakuan statistik tersebut hanya
sekedar langkah pertama dan tidak atau belum memberi bukti tentang adanya
interaksi biologi.
Metode lain tentang penentuan pola adalah dengan pengukuran jarak antara
tumbuhan yang disiplin secara acak dengan tumbuhan tetangga yang terdekat.
Indeks dispersion Clark dan Evan (1954) kemudian dihitung sebagai ratio
jarak rerata sesungguhnya dengan jarak yang diharapkan, berdasarkan pola spatial
acak;
R = Jarak rata – rata yang terukur Persamaan 6-1
0.5 √densitas
Dinama densitas tumbuhan per unit area dapat ditentukan dengan metode
kuadrat.
Departure R dari 1 menunjukkan bentuk regular (R>1, atau bentuk
mengelompok/pactchiness (R<1).
Ini penting dan harus diingat, bahwa dalam semua metode tersebut, pola
dapat berubah karena umur tumbuhan terjadi kenaikan ukuran. Tumbuhan gurun
yang kecil cendrung untuk mengelompok, semak ukuran sedang cenderung secara
acak, dan semak besar dapat tersebar secara regular (Phillips dan MacManhon 1983).
Jadi nampaknya data yang menunjukkan kompetisi akan meningkat dalam intensitas
karena tumbuhan tumbuh dan berkembang. Oleh karennya design sampling harus
diperhitungkan benar.
Tabel. Tabel. Contingency untuk analisis asosiasi antara dua spesies, A dan
B. Dalam contoh ini, terdapat 100 kuadrat sercara cak dan dihitung hadir takhdirnya
tiap spesies.
Symbol dan
deskripsi
Jumlah kuadrat teramati Jumlah kuadrat
diharapkan
X2 =
teramati−diharapkandih arapkan
A dan B
hadir
30 (a+b)100
x ( a+c )=38 1.7
A hadir, B
tak hadir
29 (a + b) – 38 = 21 3.0
A tak hadir,
B hadir
35 (a + c) – 38 = 27 2.4
A dan B tak
hadir
6 100-(38+21+27) = 14 4.6
Total 100 Sigma X2 = 11.7
2.3.2 Kompetisi
Kompetisi terjadi bila terdapat efek yang saling merugikan pada dua organisme
yang menggunakan sumber daya sama dalam keadaan terbatas.
Kajiaan yang memperlihatkan arti penting kompetisi dilakukan oleh Haris
(1967). Sebelum pertengahan abad 19 suatu daerah padang rumput didominer oleh
Agropyron spicatum, suatu rumput perennial. Kemudian rumput annual Bromus
tectorum secara kebetulan didatangkan dari Eropa. Kemudian sejak saat itu sampai
sekarang, rancher melihat kenaikan jumlah yang besar pada rumput Bromus,
sedangkan kelimpahan Agropyron menjadi menurun. Mengapa terjadi pergantian
sedemikian.
Kedua spesies mempunyai persamaan daur hidup. Mereka berkecambah (atau
patah dormansinya kalau perennial) pada musim gugur, tumbuh lambat selama
musim dingin , tumbuh cepat selama musim gugur, membentuk bunga pada awal
musim panas, dan mati pada bulan juli (atau mulai dormansi dalam pertengahan juli,
kalau perennial).
Haris mengkaji pertumbuhan dan survival kedua tumbuhan tersebut mulai dari
biji. Dia menemukan bahwa kehadiran Bromus sangat mengurangi pertumbuhan dan
survival Agropyron jelas Bromus sebagai pesaing yang penting, tetapi bagaiaman
mekanisme kompetisinya. Ini hanya dapat diungkapkan dengan penelitian.
2.3.3 Endimis Serpentin
Serpentine adalah suatu metamorfik batu silikat magnesium, sering berwarna
hijau, dan sangat licin, yang mempunyai sejumlah sifat jahat terhadap pertumbuhan
tumbuhan. Batuan ini mempunyai kandungan sangat rendah nutrient esensial seperti
N, Ca, K, dan P; pH-nya sangat jauh dari netral (apakah asam atau basa); dan kaya
unsur racun seperti Ni dan Cr. Tanah yang merupakan derifat dari batu serpentine
adalah steril, mendukung flora endimik yang tak biasa, dan tertutup vegetasi dengan
fisiognomi berbeda dari sekitarnya yang bukan tanah serpentin.
Kruckeberg (1954), mengadakan percobaan ekotipe dan spesies serpentin dan
nonserpentin. Herba endemic serpentin terbentuk dari biji lebih bagus dan tumbuh
cepat pada tanah noserpentin, membuat mereka bebas dari kompetisi interspesifik.
Kalau disebar bersama dengan spesies nonserpentin pada tanah nonserpentin,
mereka menjadi etiolasi dan tidak survive. Sedangkan kalau pada tanah serpentin,
hanya endimis serpentin saja survive dan tumbuh lambat.
Trado (1957) menemukan bahwa toksin yang dihasilkan oleh mikrorganisem
dengan densitas tinggi pada tanah nonsaerpentin menghambt herba endimis serpentin
Emmenan the rosea.
McMillan (1956) menunjukkan bahwa beberapa taksa serpentin tumbuh sama
baiknya baik pada tanah serpentin maupun nonserpentin.
Nampaknya ada banyak cara tumbuhan beradaptasi dengan serpentin, tetapi
toleransi adalah sarana untuk menghindari kompetisi dan mungkin merupakan
strategi utama.
2.3.4 Halofit
Halofit (harafiah, tumbuhan garam) adalah tumbuhan yang hidup pada tanah
dengan konsentrasi garam lebih dari 0.2%, (0.25-0.5%).
Giycophyte (harafiah, tumbuhan manis) tidak toleran garam di atas yang
diperlukan untuk mensupply nutrient esensial, kira – kira 0.1% garam. Kalau
salinitas di atas 0.2% pertumbuhannya menjadi sangat tereduksi. Tidak semua halofit
setara dalam toleransi garam, dibedakan intoleran, fakultatif, dan obligat.
Halofit intoleran, tumbuh maksimum pada salinitas rendah dan menurun kalau
salinitas naik. Halofit fakultaltif, tumbuh maksimum pada salinitas moderate, dan
menurun pada salinitas rendah dan tinggi. Halofit obligat tumbuh maksimum pada
salinitas moderate dan tinggi, dan tak tumbuh pada salinitas rendah (di bawah 0.1%).
Kebanyakan halofit adalah intoleran, apakah dilihat pada perkecambahannya,
pertumbuhan, atau reproduksinya, dan apakah mereka merupakan mangrove, herba
rawa garaman pantai. Tumbuhan pantai yang menerima semprotan garam, atau herba
dan perdu gurun garam. Beberapa merupakan halofit fakultatif. Mungkin tak ada
halofit obligat, dan kesimpulan ini dapat dicapai dengan pengamatan lapangan atau
dengan percobaan manipulasi dalam ruang pertumbuhan.
2.3.5 Kompetisi dan Niche.
Karena kompetisi melibatkan dua organisme yang menggunakan sumber daya
sama, ini jelas bahwa organisme yang berkompetisi pada tingkat tertentu mempunyai
niche tumpang tindih.
Kompetisi intraspesifik lebih sering terjadi dari pada kompetisi interspesifik,
karena tumpang tindih niche lebih besar. Menurut teori evolusi sekarang
menganggap bahwa tekanan seleksi membuat spesies dalam komunitas untuk
membagi lingkungan dengan menggunakan bagian lain, dengan hasil terjadinya
kompetisi diperkecil.
Konsep “suatu niche, satu spesies” berdasar dari percobaan laboratorium yang
dilakukan oleh ahli mikrobiologi Rusia Gause (1934). Kalau dua mikroorganisme
tumbuh bersama, akhirnya ada yang menang dan ada yang kalah. Yang menang
mendominasi campuran, yang kalah akan punah.
Konsep satu niche, satu spesies sering disebut prinsip kompetitif ekslusi Gause.
Tetapi percobaan laboratorium berbeda dengan percobaan di lapangan, di mana
lapangan terdapat hewan yang daur hidupnya lebih kompleks dari pada
mikroorganisme, dan lingkungan lebih heterogen daripada dalam botol kultur, dan
perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan kecil pada niche dari taksa yang masih
sejenis, sehingga memungkinkan adanya koeksitensi antara berbagai individu dan
lepas dari kompetisi.
2.3.6 Amensalisme
Merupakan bentuk agresifitas dari kompetisi, tapi tidak ada perebutan sumber
daya alam. Amensalisme adalah interaksi yang menekan satu organisme, sedang
yang lain tetap stabil. Contoh amensalisme adalah interaksi alelokemis,
penghambatan satu organisme oleh yang lain melalui pelepasan dari product
metabolic ke lingkungan. Product tersebut bersifat toksik secara selektif, sehingga
mempengaruhi beberapa spesies tertentu tetapi tidak untuk yang lain.
Alelokemik dipandang oleh beberapa biologiwan sebagai mekanisme bentuk
agresif dari kompetisi, tetapi sesungguhnya ada perbedaan antara alaelokemik dan
kompetisi.
Kompetisi adalah interaksi yang sama- sama mengambil sumberdaya dari
lingkungan, sedangkan interaksi alelokemis akan dihasilan tambahan substansi ke
lingkungan. Bagian interaksi alelokemis yang melibatkan hanya tumbuhan disebut
alelopati (alleophaty).
Namun, arti penting ekologi alelokemis masih belum jelas, Sebelum interaksi
dapat dianggap secara ekologis penting, perlu diadakan langkah – langkah berikut :
1. Korelasi harus ditentukan. Misalnya, asosiasi negative dua spesies tumbuhan
harus terlihat jelas.
2. Percobaan untuk mencoba menentukan sebab dan akibat. Jika zat kimia terlihat,
bagaimana identitasnya dan bagaimana pengaruhnya terhadap spesies yang
terlibat. Banyak pekerjaan harus dilakukan di laboratorium, tetapi kondisi lab
harus mencontoh seperti kondisi lapangan.
3. Kembali ke lapangan. Apakah faktor yang ditemukan di laboratorium juga
bekerja di alam. Dapatkah senyawa ditentukan, dan bagaimana konsentrasinya.
Dapatkah mereka tetap baik dalam sistem tanah untuk periode lama.
2.3.7 Interaksi alelokemis pada level Produser-Dekomposer.
Kebanyakan, dekomposer dalam tanah dan serasah di bawah suatu komunitas
dipengaruhi oleh sepesies tumbuhan yang menggugurkan serasah dan penetrasi akar
dalam tanah.
Tanah di bawah hutan conifer umumnya asam, karena serasah conifer adalah
bersifat asam dan dekomposisinya mempengaruhi pH tanah. Sebagai hasil, fungi
mendominasi mikroflora tanah, sedangkan bacteria mendominasi tanah netral di
bawah hutan merangas.
Daun jarum spesies pinus jauh lebih asam daripada jarum spruce, dan
kebanyakan tanah di bawah pinus terdapat aktifitas decomposer sedikit dan hampir
tidak ada cacing tanah, jika dibandingkan dengan tahan di bawah spesies spruce.
Sifat – sifat seperti pH tanah, laju lapuknya serasah, dan status nutrient tanah
bergantung tidak hanya spesies overstory, tetapi juga pada macamnya spesies
understory yang dominan.
Lepas dari pH dan produk pelapukan serasah, tumbuhan berpengaruh pada
kimia tanah dengan pemberian secara pasif berbagai macam senyawa anorganik dan
organik ke tanah. Tampaknya tumbuhan merupakan sitem yang sangat mudah bocor.
Bocornya unsur dan senyawa dapat melalui daun kanopi karena hujan atau melalui
tanaman dalam konsentrasi rendah (1-10 ppm).
2.3.8 Alelopati
Sejumlah peneliti melaporkan bukti untuk zat kimia mengendalikan distribusi
tumbuhan, asosiasi antara spesies, dan jalannya suksesi tumbuhan.
Muller (1966) telah meneliti hubungan spatial antara Salvia leucophylla dan
rumput annual. Rumpun salvia yang hidup pada padang rumput ternyata di bawah
rumpun dan disekeliling rumpun semak tersebut terjadi zona gundul (1-2m) tak ada
tumbuhan rumput dan herba lain. Bahkan 6-10 m dari kanopi semak tumbuhan lain
menjadi kerdil. Bentuk kerdil ini tidak disebabkan karena kompetisi untuk air, karena
akar semak tidak menyusup jauh ke daerah rumput. Faktor tanah Nampak tidak
bertanggung jawab untuk asosiasi negatif, karena faktor kimia dan fisis tanah tidak
berubah pada zona gundul tersebut. Muller menemukan bahwa salvia mengeluarkan
minyak volatile dari daun dan kandungan cineole dan canphor bersifat toksik
terhadap perkecambahan dan pertumbuhan rumput annual di sekliling.
2.3.9 Alelokemis pada level produser herbivora
Untuk herbivore tertentu, semua spesies tumbuhan rasanya tidak harus sama.
Banyak spesies ditolak total, beberapa dimakan dan sangat disenangi, dan yang lain
dimakan hanya kalau yang disenangai tidak ada.
Selektivitas cara merumput pada hewan besar sangat mudah diamati. Tetapi
pada herbivora kecil seperti insek selektifitas agak kurang nyata.
Banyak grup taksonomi serangga makan secara ekslusif satu atau beberapa
familia tumbuhan berbunga. Dan substansia tumbuhan sekunder (alkaloid, quinone,
minyak esensial, glycoside, flavonoid dan kristal) memegang peranan dalam
menentukan pemakaian. Mereka sering merupakan produk dalam sintesis pigmen,
hormone atau senyawa lain yang diketahui fungsinya.
Jika kemikal penghambat yang bekerja sebagai pertahanan adalah produk akhir
stabil dan bukan produk antara, dan ini merupakan biaya energetik bagi tumbuhan.
Tumbuhan pioner (seleksi-r) lebih enak dimakan, dan ini mendukung hipotesis
bahwa taksa seleksi-r menginvestasikan sedikit energy dalam petahanan herbivore,
dan keadaan sebaliknya terdapat pada taksa seleksi-k.
Tipe senyawa yang terbentuk berbeda antara taksa seleksi-r dan –k tumbuhan
annual (seleksi-r) zat alelokemis berupa toksin, sedangkan tumbuhan kayu (K)
berupa tannin
2.3.10 Komensalisme
Komensalisme adalah interaksi yang menstimuler satu organisme tetapi tak
berpengaruh pada yang lain. Contoh, epifit yang tumbuh pada tanaman inang. Epifit
tidak perlu makanan dari inang dan hanya memakai inang sebagai tempat fisik untuk
menentap.
Epifitisme dapat mudah digolongkan ke dalam tipe itneraksi lain. Seperti
mutualisme. Karena tumbuhan epifit menghasilkan nutrient yang tercuci oleh air dan
lechcate tersebut turun ke batang dan ke akar tumbuhan inang.
Parasitisme dapat berasal dari perkembangan epifitisme, jika akar masuk ke
dalam kulit tumbuhan inang, masuk ke floem dan xilem, dan mengembangkan organ
penyerap: haustoria (contoh : kemladean). Epifit dapat juga menjadi perusak inang
jika ukuran menjadi lebih besar, pencekik (Ficus).
Contoh lain komensalisme adalah nurse plant syndrome. Semai tumbuhan
kaktus pada naungan tumbuhan tertentu, seakan-akan tumbuhan naungan memelihara
semai kaktus untuk melindungi supaya tetap hidup, lebih sejuk lembab, terlindung
bebas dari herbivore. Tetapi lama kelamaan setelah kaktus besar terjadi kompetisi
dengan tumbuhan naungan. Sehingga hubungan bergeser dari bersifat positif kearah
negative setelah tumbuhan kaktus besar, dan akhirnya tumbuhan naungan mati.
2.3.11 Protokooperasi
Protokooperasi adalah interaksi yang memacu kedua pasangan, tetapi tidak
bersifat obligat karena tetap tumbuh tanpa adanya interaksi. Contoh protokoperasi
adalah menempelnya akar antara dua anggota spesies yang sama atau berbeda. Akar
beberapa tumbuhan yang tumbuh dalam tanah dan saling bertemu dan menempel
satu sama lain, merupakan graft alami atau union. Lebih daripada 160 spesies pohon
dikenal membentuk graft alami, seperlima dari mereka merupakan graft itnerspesifik.
Beberapa graft bahkan intergenerik, antara santalum dengan Eugenia.
Jika kedua pasangan masa – masa berhasil dan mempunyai life form sama,
hubungannya adalah protokoperasi, dengan pertukaran fotosintat seimbang dan
mutualis. Hormaon juga ditransfer, sehingga menghasilkan fenologi lebih seragam,
seperti waktu berkuncup secara bersamaan pada musim gugur. Jika satu pasangan
lebih kecil dan tertekan, maka hubungan menjadi parasitis, di mana fotosintat lebih
banyak ke pohon yang lebih kecil dari pada vice versa.
2.3.12 Mutualisme
Mutualisme adalah bentuk interaksi obligat: absennya interaksi menekan kedua
pasangan. Contoh umum mutualisme adalah lumut lichen (algae + fungsi),
mycorrhizae (fungsi + tumbuhan tinggi), fiksasi-nitrogen simbiotis (bacteria atau
blue-green algae+tumbuhan tinggi), polinasi (insekta, burung, atau mamalia +
tumbuhan berbunga), zoochory penyebaran propagule dengan hewan, dan
myrmecophyte (semut + tumbuhan berkayu).
a. Mychorrizae
Mychorrizae (tunggal : mychorrhiza) adalah asosiasi fungi dengan akar
tumbuhan tinggi. Pada beberapa keadaan fungi menutup akar bagian luar dekat
ujung akar dengan selimut hyphe tebal. Hyphe meluas sejauh 8 cm keluar di
semua arah dari akar ke dalam tanah, dan hyphe lain menyusup antara sel
cortical pada akar inang membentuk jaring – jar=ring penyerap nutrient.
Co2 14 radioaktif yang ditambat daun tumbuhan tinggi dengan
fotosintesis, kemunidian dapat dideteksi dalam fungi. Akar secara pasif
mengeluarkan (exude) cairan nutrient seperti asam amino, dan ini masuk ke
dalam fungsi. Isotop radioaktif P, Ca, dan K terlihat diserap lebih banyak oleh
tumbuhan dengan mychorrhize daripada tanpa mychorrhiza. Kemudian,
hubungannya adalah mutualistik.
Mychorrhiza dibedakan menjadi ecto- dan endo-mychorrhiza.
Ektomikoriza hanya menempel pada bagian luar akar yang berupa mantel,
sedangkan endomikroiza hyphe jamur masuk ke dalam jaringan akar.
Ektomikroiza umumnya terbentuk oleh jamur. Basidiomycetes, dan
endomikorisa oleh phycomycetes atau ascomycetes, atau basidiomycetes.
Ektomikoriza secara khusus nampaknya memungkinkan tumbuhan inang
tumbuh bagus dalam tanah dan kalau sebaliknya tidak mungkin tumbuh baik.
Tanah asam, mengalami pelindihan, dan miskin nutrient di bawah hutan pinus
boreal sebagai contoh, semua pohon dominan adalah ektomikorizal.
Selain memperbaiki nutrisi inang, mikorizae juga sangat penting untuk
perkembangan normal pada beberapa spesies. Semai anggrek gagal hidup kalau
tak ada jamur, dan penanaman pinus gagal kalau tidak diberi jamur mikoriza
pada tanah.
b. Fiksasi nitrogen simbiotis
Fiksasi nitrogen adalah konversi gas nitrogen atmosfer ke dalam
ammonium organic. Hanya organisme prokariotis tertentu saja mampu
mengerjakan proses ini. Beberapa prokariot hidup bebas, sedang lainnya hidup
dalam asosiasi erat dengan eukariot, menerima gula dengan molekul kaya energy
lain dari simbiont eukariotik.
Fiksasi nitrogen memerlukan energy dalam bentuk ATP dan lingkungan
local anaerobik:
ATP ADP
4 Nz + 6 Hz0 4 NHz + 30z
Enzim Nitrogenase
Tak ada oksigen
Asosiasi antara bacteria Rhizobium dengan bintil akar legume sangat
terkenal, tetapi simbiose lain mempunyai artipenting ekologis sama atau bahkan
lebih besar. Spesies alagae biru-hijau Nostoc dan Anabaena dapat berasosiasi
dengan gametofit bryofita, bintil akar cycas, jaringan daun angiosperm Gunnera,
dan jaringan daun paku air Azolla.
Actynomycetes tanah tertentu mampu masuk ke dalam akar tumbuhan
tinggi, menyebabkan adanya bintil memanjang. Dalam bintil ini proses fiksasi
nitrogen terjadi pada laju yang sama dengan bintil legum.
c. Polinasi
Polinasi adalah bentuk mutualisme yang sangat spesial yang telah
berkembang pada tumbuhan berbunga; dan ini merupakan kunci terjadinya
banyak variasi dan spesialisasi dalam morfologi angiosperm.
Transfer pollen dari stamen ke stigma adalah esensial untuk reproduksi
dalam spesies tumbuhan yang kawin silang. Spesies tumbuhan biasa
mengadakan adaptasi morfologis terhadap perilaku spesifik karakteristik
polinatornya.
2.3.13 Herbivori
Herbivori adalah konsumsi semua atau sebagian tumbuhan oleh konsumen. Jika
katagoris consumer ditinjau lebih luas, akan meliputi : (a) mikrobia parasitis atau
tumbuhan parasitis, (b) mikrobia saprofitis yang menguraikan jariangan mati, (c)
hewan browsing dan hewan grazing yang masing – masing makan bagian kayu dan
tumbuhan herba, dan (d) hewan yang memakan seluruh tumbuhan atau propagule.
Grazer dan browser kadang – kadang di pandang parasit. Dan konsumen yang makan
seluruh tumbuhan dapat disebut sebagai predator. Konsumen yang memakan jaringan
hidup dapat disebut boiphage, dan konsumen yang makan jaringan mati disebut
saprophage.
a) Dampak herbivore : konsumsi
Sejumlah kajian telah meneliti dampak herbivore pada komunitas tumbuhan.
Beberapa definisi dan term perlu diketahui :
Produktifitas primer kasar (GPP) adalah total jumlah energy kimia yang
dibentuk oleh fotosintesis untuk unit permukaan lahan tertentu dan unit waktu
tertentu. GPP dinyatakan sebagai kalori per meter per tahun, tetapi juga dapat
dinyatakan dalam unit biomasa.
Produktifitas primer bersih (NPP) adalah GPP minus energy hilang melalui
respirasi tumbuhan dan setara dengan energy kimia yang disimpan per unit area
per unit waktu. Untuk vegetasi terestrial, NPP = 30 – 70% GPP.
Detritus adalah sinonimnya serasah (litter), ini merupakan material tumbuhan
yang mati. Kalau kita berkepentingan dengan tumbuhan annual, seluruh
tumbuhan dapat dipandang sebagai litter pada akhir tahun, hanya biji yang tetap
masih hidup.
10% NPP dimakan oleh herbivora biophage bagi vegetasi terstrial tertentu.
Jika NPP di hitung hanya untuk produksi biji, konsumsi oleh predator biji tipikal
di atas 10% NPP, dan sering mencapai 100%.
Predasi biji yang intensif di daerah tropis merupakan factor penting tunggal yang
mengatur populasi pohon. Hutan hujan tropis mempunyai diversitas tinggi spesies
pohon hidup bersama (koeksis), dan pohon tetangga yang lain spesies. Ini di sebabkan
karena predator biji hidup dekat pohon induk, sehingga, sedikit sekali semai yang lolos
dari predator kalau hidup dekat induk. Jadi masalah penyebaran biji merupakan usaha
untuk membebaskan dari predator.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULANBerdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengukuran dan pemerisan struktur populasi tumbuhan dan dinamika adalah titik pusat
kajian populasi dan demografi. Faktor yang mempengaruhi dinamika populasi dan
distribusi tumbuhan termasuk kodnisi lingkungan, ketersediaan sumberdaya, pesaing,
dan gangguan.
2. Denistas tumbuhan, yang dinyatakan sebagai jumlah individu per unit area, adalah
kuantitas penting yang dipakai untuk memerikan populasi. Bila densitas digabungkan
dengan ukuran distribusi ruang (spatial), kita dapat lebih mendedeksi tentangpreferensi
habitat, dinamika kompetitif, dan distribusi habitat-mikro daripada hanya dengan
densitas sendiri.
3. Demografi tumbuhan adalah kajian perubahan dalam populasi tumbuhan melalui waktu.
Populasi tumbuhan meningkat atau menurun tidak hanya oleh kelahiran dan kematian
individu, tetapi juga oleh pertumbuhan tak terbatas yang meliiputi kisaran luas ukuran
potensial.
4. Demografi tumbuhan dikaji dengan memakai apakah dengan model waktu kontinu
model matriks untuk mengungkapkan konsekuensi variasi dalam laju kelahiran dan laju
kematian untuk populasi.
5. Interaksi spesies dapat negative atau positif, dan distribusi spatial tumbuhan dapat
memberi clue pertama adanya interaksi.
6. Kompetisi mungkin merupakan factor penting dalam habitat terbatas untuk beberapa
tumbuhan, seperti endimik serpentin dan halofit.
3.2 SARAN-
DAFTAR PUSTAKA
Hardjosuwarno, Sunarto. 1990. Ekologi Tumbuhan (Konsep Dasar). Yogyakarta : Fakultas
Biologi, UGM.