makalah clostridium

12
Makalah Individu Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner PPDH Angkatan II 2012/2013 Dampak Cemaran Clostridium Perfringens terhadap Keamanan Konsumsi Daging Ayam Oleh: Elok Puspita Rini, SKH B94124218 Pembimbing: Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi

Upload: elok-puspita-rini

Post on 19-Jan-2016

213 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH Clostridium

Makalah Individu Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner

PPDH Angkatan II 2012/2013

Dampak Cemaran Clostridium Perfringens terhadapKeamanan Konsumsi Daging Ayam

Oleh: Elok Puspita Rini, SKH

B94124218

Pembimbing:Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWANFAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2013

Page 2: MAKALAH Clostridium

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan pangan asal hewan terus meningkat disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan pengetahuan, pergeseran gaya hidup, dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik. Salah satu pangan asal hewan yang paling diminati masyarakat adalah daging. Kontribusi terbesar dalam penyediaan daging secara nasional umumnya berasal dari ternak unggas dan sapi potong. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2011, permintaan produksi daging ayam lebih besar dibandingkan daging sapi. Permintaan daging ayam tahun 2011 sebesar 1,27 juta ton, sedangkan daging sapi 485.333 ton. Rata-rata konsumsi daging ayam dari tahun 2006-2010 adalah 3.74 kg/kapita dan daging sapi 0.35 kg/kapita.

Daging ayam merupakan pilihan utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani selain telur. Daging ayam banyak diminati masyarakat karena rasa yang lezat, harga yang terjangkau serta mudah didapat di pasaran. Peningkatan kebutuhan ini menuntut tersedianya daging ayam yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) untuk di konsumsi masyarakat. Keamanan pangan, khususnya daging ayam menempati posisi yang penting bagi kesehatan dan pembangunan nasional. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 yang memuat tentang Keamanan Pangan pada Bab II telah diperkuat dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, sehingga setiap produk makanan di masyarakat harus terjamin mutu dan keamanannya agar tidak merugikan konsumen.

Perdagangan global saat ini memberikan dampak terhadap produk pertanian, baik produk hewani maupun tanaman pangan, yaitu munculnya isu keamanan pangan (Djafaar dan Rahayu 2007). Salah satu yang menjadi perhatian adalah keamanan daging ayam. Daging ayam merupakan salah satu protein hewani yang digemari dan banyak dikonsumsi masyarakat. Berdasarkan alasan tersebut diperlukan penjaminan daging ayam yang ASUH di masyarakat. Salah satu hal penting yang menjadi indikator keamanan daging ayam adalah kandungan mikroorganisme. Mikroorganisme utama yang menjadi indikator keamanan daging ayam adalah golongan mikroorganisme patogen penyebab penyakit. Mikroorganisme patogen ini dapat berada di dalam daging ayam dimungkinkan karena sebelum disembelih ayam sudah terinfeksi oleh bakteri patogen tersebut, sehingga saat dipotong daging ayam yang dihasilkan mengandung mikroorganisme patogen. Kejadian ini biasa dikenal dengan foodborne disease. Foodborne disease adalah penyakit yang dapat ditularkan ke manusia melalui perantara makanan. Kemungkinan yang kedua adalah akibat adanya cemaran mikroorganisme patogen setelah ayam disembelih atau setelah menjadi karkas akibat penanganan karkas atau daging ayam yang tidak benar.

Salah satu mikroorganisme patogen yang sering menjadi cemaran pada karkas ataupun daging ayam adalah bakteri Clostridium perfringens. Keberadaan bakteri ini di dalam daging ayam sering dikaitkan dengan kasus keracunan yang

Page 3: MAKALAH Clostridium

mengganggu kesehatan manusia. Akibat lain yang kadang ditimbulkan oleh bakteri ini adalah kerusakan fisik dan kimiawi daging ayam.

Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah mempelajari dan mengetahui dampak cemaran dari Clostridium perfringens terhadap keamanan konsumsi daging ayam.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Clostridium perfringens

Clostridium perfringens adalah bakteri Gram positif berbentuk batang, penghasil spora, non motil, dan dapat tumbuh pada kondisi lingkungan yang sedikit oksigen (aneorob fakultatif). Bentuk spora C. perfringens oval dan terletak pada subterminal (Enan 2006). Bakteri ini memiliki kemampuan untuk mereduksi nitrat menjadi nitrit dan memproduksi enzim fosfolipase. Enzim fosfolipase berkaitan dengan aktivitas hemolitik. Enzim fosfolipase dan enzim ekstraseluler seperti protease, lipase, kolagenase, dan hialuronidase berkontribusi pada proses invasiv bakteri. Berdasarkan jenis toksin yang dihasilkan¸ C. perfringens diklasifikasikan dalam lima tipe (A-E). Toksin yang dihasilkan oleh bakteri ini yaitu, alfa, beta, epsilon, dan iota. Bakteri C. perfringens dapat ditemukan pada tanah dan isi traktus gastrointestinal manusia atau hewan (Juneja et al. 2011).

Gambar 1 Morfologi C. Perfringens dengan pewarnaan (A) methylen blue, (B)

Gram Sumber: Quinn et al. (2004)

Patogenisitas C. perfringens terutama berasal dari kemampuannya untuk memproduksi dua toksin protein, yaitu enterotoksin C. perfringens dan beta toksin. Kedua jenis toksin ini aktif di saluran gastrointestinal. Enterotoksin diproduksi pada suhu optimum, yaitu 35-40°C. Enterotoksin C. perfringens terus diproduksi dalam saluran gastrointestinal selama terjadinya proses sporulasi. Hal ini menyebabkan munculnya gejala klibis penyakit asal pangan yang disebabkan oleh toksin yang dibentuk oleh C. perfringens. Bakteri C. perfringens tipe A

A B

Page 4: MAKALAH Clostridium

merupakan jenis yang paling banyak memproduksi toksin dan menyebabkan gangguan kesehatan (Juneja et al. 2011).

Bakteri C. perfringens merupakan salah satu bakteri Gram positif yang mampu membentuk spora (endospora). Spora bakteri perlu mendapat perhatian, karena beberapa sifat khususnya. Spora tidak memiliki aktivitas metabolisme, memiliki kadar air yang rendah, dan tahan terhadap berbagai faktor lingkungan seperti panas, pengeringan, pendinginan, perubahan pH, paparan radiasi, dan bahan kimia tertentu dibandingkan sel vegetatifnya. Sifat lain dari spora C. perfringens adalah mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan aerobik dan tahan pada berbagai proses pengolahan pangan (Juneja et al. 2011).

Spora C. perfringens tipe A sangat tahan panas, yaitu mampu bertahan hidup pada suhu 100°C selama 1-5 jam. Spora C. perfringens yang bersifat dorman dapat berubah menjadi sel vegetatif yang berbahaya apabila suhu pemasakan daging ayam tidak sempurna dan diletakkan dalam waktu lama pada suhu antara 21°C-48.9°C. Sel vegetatif C. perfringens mati pada suhu pemasakan >60°C, namun tidak untuk spora. Spora masih dapat dijumpai setelah pemasakan. Apabila terdapat spora C. perfringens pada daging mentah, maka melalui proses pemanasan spora akan teraktivasi untuk germinasi dan berkembang pada tingkat membahayakan pada produk akhir pangan (Juneja et al. 2011).

Keberadaan Clostridium perfringens pada Daging Ayam

Menurut Badan Standarisasi nasional indonesia (SNI), berikut adalah batas maksimum cemaran mikroba pada daging ayam ataupun sapi yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Spesifikasi persyaratan mutu batas maksimum cemaran mikroba pada daging

Jenis Cemaran MikrobaBatas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM)

Daging Segar/Beku Daging Tanpa TulangJumlah total kuman (total plate count)

1x104 cfu/g 1x104 cfu/g

Coliform 1x102 cfu/g 1x102 cfu/gEscherichia coli (*) 5x101 MPN/g 5x101 MPN/gEnterococci 1x102 cfu/g 1x102 cfu/gStaphylococcus aureus 1x102 cfu/g 1x102 cfu/gClostridium sp. 0 cfu/g 0 cfu/gSalmonella sp. (**) Negatif NegatifCamphylobacter sp. 0 0Listeria sp. 0 0

Sumber: SNI 01-6366-2000

Cara Deteksi Clostridium perfringens pada Daging Ayam

Page 5: MAKALAH Clostridium

Keberadaan C. perfringens di dalam daging ayam dapat diketahui dengan melakukan uji biokimia. Menurut Skariyachan et al. (2010) untuk mendeteksi keberadaan C. perfringens pada daging ayam dpat dilakukan uji sampel daging ayam pada media selektif Tryptose-Sulfite Cycloserine (TSC) agar dan dilanjutkan dengan uji karakteristik bakteri pada media-media selektif untuk C. perfringens. Uji tambahan yang dapat dilakukan terhadap sampel daging ayam yang positif terdapat C. perfringens adalah deteksi enterotoksin dan uji kepekaan antibiotik (Skariyachan et al. 2010).

Kepentingan pengujian tipe C. perfringens, khususnya tipe A terhadap bidang kesehatan masyarakat veteriner adalah untuk mengetahui kepekaan bakteri ini terhadap antibiotik. Hal ini dilakukan karena C. perfringens tipe A sering menyebabkan keracunan makanan. Uji kepekaan terhadap antibiotik ini bertujuan untuk melakukan treatment yang tepat dalam penanganan kasus keracunan akibat C. perfringens tipe A. Antimikroba basitrasin, kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, metronidazole, oleandomisin, dan penisilin masih peka terhadap C. perfringens, sedangkan tetrasiklin sudah berkurang tingkat kepekaannya terhadap C. perfringens (Immerseel et al. 2004).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Miki et al. (2008), keberadaan C. perfringens pada daging ayam dapat dideteksi dengan menggunakan perhitungan presumtif most probable number (MPN). Perhitungan MPN dalam penelitian ini menggunakan media selektif deferensial Clostridium, sp. yaitu clostridial broth medium dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 16-24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 100% daging ayam yang digunakan sebagai sampel mengandung C. perfringens. Penelitian Miki et al. (2008) juga mendeteksi keberadaan enterotoksin C. perfringens dalam daging ayam menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) dengan mencocokkan urutan asam amino primer.

PEMBAHASAN

Semua bakteri yang tumbuh di makanan bersifat heterotrofik. Bakteri-bakteri tersebut membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya. Bakteri heterotrofik menggunakan protein, karbohidrat, dan lemak sebagai sumber karbon dan energi dalam metabolisme pertumbuhannya. Sumber nitrogen utama berasal dari asam amino. Bakteri C. perfringens merupakan golongan bakteri Gram positif yamg memiliki kebutuhan nutrisi tinggi untuk pertumbuhan tetapi mempunyai kemampuan rendah dalam mensintesa hampir semua faktor pertumbuhan yang dibutuhkan. Alasan inilah yang menyebabkan C. perfringens tumbuh subur pada pangan yang kaya protein atau pepton sebagai sumber asam amino, karbohidrat yang difermentasikan, serta vitamin dan nukleotida sumber pati (Immerseel et al. 2004).

Daging ayam dikategorikan sebagai bahan pangan berpotensi berbahaya, karena mengandung kadar air yang cukup tinggi, karbohidrat, protein, mineral, dan vitamin yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Keterlibatan

Page 6: MAKALAH Clostridium

daging ayam sebagai pembawa penyakit asal pangan terkait dengan kandungan nutrisi daging yang menyediakan berbagai asam amino esensialyang dibutuhkan untuk pertumbuhan C. perfringens. Terdapat 14 macam asam-asam amino esensial di dalam daging ayam yang tidak dapat disintesis sendiri oleh C. perfringens serta beberapa zat nutisi lain. Hal tersebut dibuktikan dengan penelitian in vitro terhadap pengaruh pemberian dua sumber pakan ayam yang berbeda. Pertama diberikan konsentrat yang mengandung protein dari tepung ikan. Kedua diberikan konsentrat yang mengandung protein kasar dari kacang kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan C. perfringens meningkat pada ileum dan ceacum ayam yang diberikan konsentrat dari tepung ikan dibandingkan konsentrat dari kacang kedelai. Analisis terhadap asam amino tersebut menunjukkan bahwa glisin dan metionin pad tepung ikan lebih tinggi dibandingkan pada kacang kedelai (Immerseel et al. 2004).

Daging ayam merupakan pembawa penyakit asal pangan. Salah satunya sebagai agen pembawa C. perfringens. Keadaan ini dikarenakan C. perfringens tersebar luas di alam, sehingga keberadaannya umum dijumpai pada daging ayam mentah, meskipun dalam jumlah rendah. Bakteri C. perfringens merupakan salah satu bakteri indikator dalam keamanan pangan serta sebagai agen patogen asal pangan yang potensial. Keberadaan bakteri indikator pada produk mentah seperti daging ayam serta produk olahannya menggambarkan tingkat keamanan dalam penyediaan, pengolahan, ataupun penyimpanan daging ayam (Immerseel et al. 2004).

Kejadian cemaran tertinggi C. perfringens pada daging ayam mentah dan produk olahannya biasanya terjadi di pasar tradisional. Tertinggi kedua adalah di rumah potong unggas (RPU) dan terendah di pasar swalayan. Insidensi dari jumlah C. perfringens menurun selama proses pengolahan akibat suhu tinggi, kekeringan, dan penggunaan bahan sanitisier. Faktor higiene dan sanitasi memberikan dampak yang cukup besar terhadap tingkat kejadian cemaran C. perfringens pada bahan pangan. Bentuk C. perfringens yang banyak mengontaminasi daging ayam di pasar tradisonal dan swalayan adalah bentuk sel vegatitif (Djafaar dan Rahayu 2007). Berdasar data SNI pada Tabel 1 dapat dikatakan bahwa daging ayam ataupun sapi yang positif terdapat C. perfringens di dalamnya tidak layak untuk dikonsumsi. Karkas daging ayam yang mengandung C. perfringens dimusnahkan dan tidak dapat diedarkan ke masyarakat.

Enterotoksin C. perfringens yang diproduksi di saluran gastrointestinal dapat menyebakan sakit dan munculnya gejala klinis. Dosis infektif minimal adalah 107 sel vegetatif per gram pangan. Bakteri C. perfringens dapat meyebabkan dua penyakit jenis penyakit yang bersumber dari pangan. Bakteri C. perfringens tipe A dapat menyebabkan diare ringan hingga parah tergantung jumlah sel vegetatif yang termakan. Bakteri C. perfringens tipe C menyebabkan terjadinya enteritis nekrotik. Kemampuan C. perfringens untuk membentuk spora dan kisaran suhu pertumbuhan yang luas menyebabkan bakteri ini mampu bertahan hidup di dalam makanan. Makanan yang disenangi untuk pertumbuhan bakteri ini adalah makanan yang dipanaskan, dibekukan dengan proses pendinginan yang terlalu lama, dan dipanaskan ulang (Immerseel et al. 2004).

Masa inkubasi akibat infeksi C. perfringens tipe A berlangsung sekitar 8-12 jam (6-24 jam). Gejala klinis dimulai dengan nyeri abdomen yang akut, diare, dan mual. Gejala klinis yang terjadi mengarah pada kejadian food poisoning atau

Page 7: MAKALAH Clostridium

keracunan makanan. Gejala klinis yang muncul sebenarnya bersifat self limiting (dapat sembuh sendiri). Kematian dapat terjadi akibat dehidrasi yang tidak tertangani ataupun individu yang lemah seperti bayi dan orang lanjut usia. Penyakit ini dapat terjadi karena produksi enterotoksin C. perfringens (Clostridium perfringens enterotoxin atau CPE) saat masa sporulasi. Enterotoksin C. perfringens ini bersifat bifungsional. Pertama CPE menginduksi kerusakan sel melalui sitotoksik. Kedua akibat sel telah mengalami sitotoksik menyebabkan kerusakan pada membran sel semipermiabel (Immerseel et al. 2004).

Penyakit enteritis nekrotik yang disebabkan oleh enterotoksin beta yang dihasilkan oleh C. perfringens tipe C kejadiannya jarang dilaporkan. Gejala klinis dimulai dengan nyeri abdomen, diare berdarah, dan jika berlangsung kronis akan menyebabkan nekrosa pada usus halus. Kematian akibat infeksi dari tipe ini mencapai 25%, namun kurang menjadi perhatian akibat prevalensi kejadian penyakitnya rendah (Immerseel et al. 2004).

Pencegahan cemaran C. perfringens pada daging ayam dilakukan dengan peningkatan higiene dan sanitasi pada tempat pemotongan unggas atau RPU. Pemisahan ruang kotor dan bersih harus jelas. Peningkatan higiene dan sanitasi di tempat penjualan daging ayam dan cara penanganan karkas daging ayam dengan benar. Menurut CDC (2013) tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah keberadaan C. perfringens pada makanan adalah memasak makanan sampai matang dan menyimpan makanan pada suhu diatas 60°C atau didinginkan di atas suhu 5°C (CDC 2013).

SIMPULAN

Bakteri C. perfringens merupakan bakteri Gram positif yang bersifat patogen dan dapat menyebabkan foodborne disease. Clostridium perfringens tipe A dapat menyebabkan keracunan makanan dan tipe C menyebabkan enteritis nekrotik. Daging ayam yang mengandung bakteri C. perfringens tidak layak untuk dikonsumsi.

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia No 01-6366 Tahun 2000 tentang Spesifikasi Persyaratan Mutu Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging. Jakarta (ID): BSN.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2013. Konsumsi daging menurut jenis daging dan daging olahan perkapita tahun 2006-2010. [diunduh 2013 Jun 30]. Tersedia pada: http:www.deptan.go.id/infoeksekutif/nak/eis_nak2011/ Kons_Daging_Jenis_Olahan_10.pdf.

Djaafar TF, Rahayu S. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian, penyakit yang ditimbulkan dan pencegahannya. Journal Litbang Pertanian. 26(2): 67-75.

Page 8: MAKALAH Clostridium

Enan G. 2006. Inhibition of Clostridium perfringens LMG 11264 in meat samples of chicken turkey and beef by the bacteriocin plantaricin UG1. International Journal of Poultry Science. 5 (2): 195-200.

Immerseel FV, Jeron DB, Pasmans F, Huyghebaert G, Haesebrouck G, Ducatelle R. 2004. Clostridium perfringens in poultry: an emerging threat for animal and public health. Avian Pathology. 33(6): 537-549.

Juneja VK, Marks H, Huang L, Thippareddi H. 2011. Predictive model for growth of Clostridium perfringens during cooling of cooked uncured meat and poultry. Food Microbiology. 28:791-795.

Miki Y, Miyamoto K, Hirano IK, Fujiuchi K, Akimoto S. 2008. Prevalence and characterization of enterotoxin gene-carrying Clostridium perfringens isolates from retail meat products in Japan. Applied and Environmental Microbiology. 74:5366-5372.

Skariyachan S, Mahajanakatti AB, Biradar UB, Sharma N, M Abhilash. 2010. Isolation, identification and characterization of Clostridium perfringens from cooked meat-poultry samples and in silico biomodeling of its delta enterotoxin. International Journal of Pharmaceutical Science Review and Research. 4(2):164-172.

Quinn PJ, Carter ME, Markey B, Carter GR. 2004. Clinical Veterinary Microbiology. London (GB): Mosby.