makalah akhir jender dalam hi

27

Click here to load reader

Upload: binar-s-suryandari

Post on 09-Aug-2015

58 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

PENGARUH REVOLUSI PEMERINTAHAN MESIR 2011 PADA POSISI WANITA DI NEGARA TERSEBUT

TRANSCRIPT

Makalah Akhir Individu untuk Mata Kuliah Jender dalam Hubungan Internasional

PENGARUH REVOLUSI PEMERINTAHAN MESIR 2011 PADA POSISI WANITA DI NEGARA TERSEBUTBinar Sari Suryandari 1006664685

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Mesir merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Timur Tengah dan Afrika bagian utara. Sebagai salah satu negara di dunia yang mayoritas penduduknya adalah muslim, hampir serupa dengan negara-negara muslim lainnya, sistem pemerintahan dan politik di Mesir pun juga diwarnai dengan unsur-unsur budaya agama Islam. Implementasi sistem pemerintahan dan politik yang dituangkan dalam peraturan-peraturan suatu negara tentunya memiliki pengaruh pada rakyat negara tersebut, termasuk pada wanita. Budaya agama Islam seringkali dikatakan akan sangat sulit dapat berjalan beriringan dengan feminisme yang pada dasarnya ingin menciptakan kesetaraan jender dan mengadvokasi posisi wanita dalam masyarakat. Namun demikian, jika dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, nyatanya Mesir merupakan negara muslim yang cukup fleksibel dalam pemberian hak-hak bagi kaum wanita. Hal ini ditunjukkan dalam kebebasan bagi wanita Mesir untuk menempuh pendidikan dan bahkan berpartisipasi politik di negara tersebut.1 Kondisi ini mengindikasikan bahwa keadaan wanita dan kebebasan hak wanita di Mesir sudah lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara-negara muslim lainnya. Perbedaan kebebasan wanita di Mesir dengan di negara-negara muslim lainnya tersebut pada dasarnya diperoleh dari usaha kaum feminis dan aktivis wanita Mesir selama berpuluh-puluh tahun.2 Pada Januari 2011 lalu, Mesir mengalami sebuah revolusi pemerintahan yang didalangi oleh aksi demonstrasi masyarakat dan berujung pada tergulingnya rezim otoriter Husni Mubarak. Pergolakan politik di Mesir ini pada dasarnya dikenal sebagai salah satu bagian dari gelombang Arab Spring yang terjadi di negara-negara kawasan Arab dan Timur Tengah. Apa yang terjadi di Mesir tersebut pada dasarnya menunjukkan bagaimana masyarakat Mesir menuntut terjadinya revolusi pemerintahan dan demokratisasi demi terwujudnya kehidupan mereka yang lebih baik. Aksi-aksi masyarakat untuk menggulingkan

1

Sally Baden, The position of women in Islamic countries: possibilities, constraints and strategies for change dalam BRIDGE (Development-Gender); Report No.4, (Brighton: Institute of Development Studies, September 1992), hlm. 31. 2 Nemat Guenenna dan Nadia Wassef, Unfulfilled Promises: Womens Rights in Egypt (New York: Population Council, 1999) hlm. 1.

1

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

rezim Mubarak di Mesir ini nyatanya dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik pria maupun wanita. Fenomena keterlibatan wanita yang cukup signifikan dalam aksi demonstrasi di Mesir ini tentunya menarik perhatian. Sebagai negara muslim yang cukup fleksibel dalam pemberian hak-hak pada wanita, keterlibatan wanita dalam demonstrasi ini mengindikasikan keganjilan pada segala kebebasan yang telah dinikmati oleh wanita Mesir. Fleksibilitas pemerintahan di bawah rezim Mubarak nyatanya belum cukup bagi wanita Mesir hingga kaumnya masih menuntut terjadinya revolusi dan perubahan di negara tersebut. Aksi demonstrasi masyarakat Mesir ini akhirnya membuahkan hasil. Rezim otoriter Husni Mubarak berhasil terguling dan tidak lagi berkuasa di Mesir. Namun demikian, apakah revolusi ini berdampak manis pada keberadaan dan posisi wanita di Mesir? Hal inilah yang hingga saat ini masih diperdebatkan dan banyak diperbincangkan. Pasca tergulingnya rezim Mubarak, banyak media yang menyebarkan kabar bahwa hak-hak wanita yang telah dijamin dan dilanggengkan di bawah rezim Mubarak sebelumnya justru saat ini terancam untuk dihapuskan. Hal ini tentunya bertentangan dengan esensi dari revolusi dan demokratisasi yang awalnya ditujukan untuk penciptaan kondisi masyarakat serta peningkatan penjaminan kebebasan hak yang lebih baik. Fenomena revolusi pemerintahan di Mesir dan pengaruhnya pada perkembangan pergerakan wanita di negara tersebutlah yang pada dasarnya menarik perhatian penulis dan mendorong penulis untuk mengangkat fenomena tersebut sebagai topik makalah untuk mata kuliah Jender dalam Hubungan Internasional ini. Dalam makalah ini, penulis akan berusaha menjelaskan mengenai perkembangan pergerakan wanita di Mesir dan kaitannya dengan revolusi pemerintahan yang terjadi di negara tersebut pada 2011 lalu. Penulis ingin mengetahui lebih jauh bagaimana perkembangan pergerakan wanita Mesir sebelum revolusi terjadi, peran wanita pada terwujudnya revolusi, hingga bagaimana hal tersebut berpengaruh pada pergerakan dan peran wanita Mesir hingga saat ini.

1.2 Pertanyaan Permasalahan Dalam makalah ini, pertanyaan yang berusaha dijawab adalah Bagaimana revolusi pemerintahan Mesir tahun 2011 lalu mempengaruhi perkembangan pergerakan wanita di negara tersebut?. Dengan demikian, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai perkembangan pergerakan wanita di Mesir dan bagaimana fenomena revolusi

2

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

pemerintahan pada tahun 2011 yang berujung pada tergulingnya rezim otoriter Husni Mubarak mempengaruhi hal tersebut.

1.3 Kerangka Teori Untuk mengkaji pergerakan dan peran wanita di negara Mesir serta kaitannya dengan fenomena revolusi pemerintahan yang mengakibatkan tergulingnya rezim otoriter dan memulai demokratisasi di negara tersebut, penulis menggunakan perspektif globalisme. Globalisme dianggap cocok untuk dapat menjelaskan bagaimana wanita bangkit dan melakukan pergerakan untuk menuntut hak-haknya. Globalisme Globalisme adalah sebuah perspektif yang berasumsi bahwa titik awal analisis dalam hubungan internasional adalah konteks global di mana negara dan entitas lainnya saling berinteraksi.3 Dengan demikian, globalis menekankan pada the big picture atau keseluruhan dari lingkungan global. Asumsi kedua dalam perspektif ini adalah bahwa pendekatan historis merupakan sesuatu yang perlu dalam hubungan internasional untuk dapat menangkap esensi dari lingkungan global yang tengah terjadi saat ini.4 Pendekatan sejarah ini berkaitan erat dengan sistem capitalism yang menjelaskan bagaimana kaumkaum yang tertindas dan sub-ordinat dalam kelas-kelas sosial akan bergabung dan memberontak untuk serta menuntut hak-haknya. Selain itu, globalis juga tidak hanya melihat negara sebagai aktor utama dan paling penting. Globalis juga melihat bagaimana aktor-aktor lainnya seperti civil society dan masyarakat juga memainkan peranan penting dalam fenomena-fenomena hubungan internasional.5 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada dasarnya globalisme memunculkan kemungkinan bagaimana aktor-aktor hingga unit individu turut dapat berperan dalam perkembangan kondisi politik suatu negara, wilayah, atau bahkan internasional. Pembukaan ruang yang juga melibatkan unitunit terkecil sekalipun inilah pada akhirnya yang memungkinkan munculnya pergerakanpergerakan dari level grassroot yang eksistensinya dapat mempengaruhi kondisi suatu wilayah.

3

Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, and Beyond, Third Edition (Massachusetts: Allyn & Bacon, 1999) hlm. 9. 4 Ibid. 5 Ibid.

3

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

BAB II PEMBAHASAN

Pada bagian ini, penulis akan membagi pembahasan menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan membahas mengenai kondisi pergerakan, peran, dan hak-hak wanita di bawah rezim Husni Mubarak. Dalam bagian ini, penulis akan menjelaskan kondisi yang dialami oleh wanita Mesir sebelum terjadinya revolusi pemerintahan pada Januari 2011 lalu. Kemudian pada bagian kedua, penulis akan memaparkan bagaimana wanita berperan dalam terwujudnya revolusi pemerintahan Mesir. Dalam bagian tersebut, penulis akan memfokuskan pada bagaimana wanita turut berpartisipasi pada aksi demonstrasi yang berujung pada revolusi pemerintahan dan tergulingnya rezim Mubarak serta tuntutan apa yang dilayangkan oleh wanita hingga kaumnya terlibat dalam aksi penggulingan rezim tersebut. Pada bagian ketiga, akan dikemukakan gambaran kondisi keberadaan, peran, dan hak-hak wanita Mesir pasca terjadinya revolusi. Dalam bagian ini, penulis akan menjelaskan bagaimana revolusi pemerintahan Mesir yang ditandai dengan tergulingnya rezim Mubarak mempengaruhi keberadaan wanita di negara tersebut serta perubahan apa yang dirasakan oleh wanita sejak terjadinya revolusi pemerintahan Mesir pada Januari 2011 lalu.

2.1 Wanita di Bawah Rezim Otoriter Husni Mubarak Husni Mubarak merupakan Presiden Mesir yang menjabat selama 30 tahun sejak tahun 1981 hingga Januari 2011 lalu. Dalam waktu menjabat yang lama tersebut, tentunya banyak hal yang telah terjadi di Mesir, hal ini termasuk pada wanita sebagai bagian dari masyarakat Mesir. Di bawah rezim Mubarak, peran wanita dapat dikatakan cukup berkembang. Hal ini merupakan buah hasil dari perjuangan aktivis dan kelompok-kelompok wanita di Mesir selama bertahun-tahun. Dibandingkan dengan negara-negara lain, kondisi, posisi, dan peran wanita di Mesir secara umum sudah jauh lebih baik. Wanita di Mesir memiliki kebebasan untuk dapat bekerja, menempuh pendidikan, dan bahkan untuk memperoleh kursi di parlemen.6 Kondisi wanita Mesir di bawah pemerintahan Mubarak pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh keberadaan ibu negara yaitu Suzanne Mubarak. Bahkan di Mesir, terdapat hukum yang mengatur tentang partisipasi wanita dalam politik dan status pribadi wanita.6

Sally Baden, Op.Cit.

4

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

Hukum tersebut dikenal sebagai Suzanne Laws setelah istri dari Husni Mubarak yang juga pemimpin dari National Council for Women tersebut mengamankan kuota untuk wanita di parlemen.7 Hukum tersebut juga memandatkan bahwa ibu yang bercerai dapat memperoleh hak asuh anak hingga anak tersebut beranjak dewasa serta termasuk hukum yang mengatur hak mengunjungi bagi orang tua yang berpisah.8 Bahkan, wanita juga dimungkinkan untuk meminta proses cerai dalam pengadilan walaupun sang suami tidak menginginkan hal yang sama, atau hanya untuk meminta cerai selama sang istri mau mengembalikan mahar mereka.9 Tidak hanya itu, di bawah pemerintahan Mubarak bahkan Mesir mengangkat hakim perempuan pertamanya pada 2003 dan pada 2010 terdapat 42 hakim wanita dari sekitar 9000 jumlah keseluruhan hakim di Mesir.10 Namun demikian, di balik segala kebebasan dan kenikmatan yang dirasakan oleh wanita di Mesir di bawah rezim Mubarak, nyatanya diskriminasi masih terjadi dan eksis dalam kehidupan masyarakat Mesir. Ketidak-adilan atau diskriminasi jender dalam hal ini terwujud dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Wanita memang memiliki hak untuk dapat memperoleh pendidikan dan bekerja, tidak seperti negara-negara Islam lainnya yang bahkan melarang kaum wanitanya untuk keluar dari rumah, menyetir, dan bekerja. Namun demikian, dalam sektor pekerjaan misalnya, diskriminasi dalam bentuk penerimaan upah atas jenis kerja yang sama masih terjadi. Jumlah penerimaan upah yang diterima oleh wanita nyatanya lebih kecil dibanding dengan apa yang diterima oleh pria pada pekerjaan yang sama. Hal ini tentunya mengecewakan bagi kaum wanita. Diskriminasi jender dalam sektor sosial juga masih terjadi di balik posisi wanita yang cukup baik di negara tersebut jika dibandingkan dengan negara-negara berbasiskan Islam lainnya. Hal ini tercermin dalam banyaknya insiden yang menimpa kaum wanita di Mesir seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan terhadap wanita, mutilasi alat genital pada wanita, pemaksaan tes keperawanan pada wanita, dan hal-hal serupa lainnya. Diskriminasi ini tetap terjadi dan tidak terjadi hanya satu atau dua kali, namun berkali-kali. Hal-hal yang mencerminkan diskriminasi ini pada dasarnya terjadi karena walaupun Suzanne Mubarak yang merupakan istri dari Husni Mubarak cukup berpengaruh dalam pemerintahan, nyatanya tidak menyentuh sektor wanita dari level akar-rumput. Yang dapat

7

Alona Ferber, Women in the "New Egypt": What Next? dalam Tel Aviv Notes: An Update on Middle Eastern Developments, Vol.5, No.24, Tel Aviv University, Desember 2011, hlm. 2. 8 Ibid. 9 Ibid. 10 Aliaa Dawoud, Why Women are Losing Rights in Post-Revolutionary Egypt dalam Journal of International Womens Studies, Vol 13, 5 Oktober 2012, hlm. 163.

5

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

merasakan apa yang dijunjung oleh Suzanne Mubarak hanyalah orang-orang dari kalangan elit dan kurang mengadvokasi serta mempedulikan apa yang terjadi pada level akar-rumput. Selain itu, secara umum, sama dengan apa yang dirasakan oleh pria sebagai bagian dari masyarakat Mesir, wanita juga merasakan dampak sistem otoriter yang dilanggengkan oleh rezim Mubarak. Penekanan atas kebebasan dan keterbatasan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat juga semakin mempersulit kondisi wanita di Mesir. Pada dasarnya, diskriminasi jender serta perlakuan dan penekanan secara umum oleh rezim otoriter Husni Mubarak inilah yang akhirnya mendorong wanita untuk ikut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi di Tahrir Square pada 25 Januari 2011 lalu untuk dapat menggulingkan rezim dan menciptakan revolusi pemerintahan seperti yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

2.2 Keterlibatan Kaum Wanita dalam Penggulingan Rezim Mubarak Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada usaha penggulingan rezim yang dilakukan oleh masyarakat Mesir, nyatanya aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan juga melibatkan kaum wanita. Kaum wanita turut berpartisipasi dan ikut turun ke Tahrir Square berdampingan dengan kaum pria untuk menuntut tergulingnya rezim Mubarak yang telah menjabat selama 30 tahun. Jumlah wanita yang ikut turun ke jalan dan berdemonstrasi nyatanya cukup mencengangkan.11 Hal ini menunjukkan bagaimana wanita juga mengekspresikan keinginannya untuk lepas dari pemerintahan otoriter Husni Mubarak yang telah berdiri tegak selama berpuluh-puluh tahun tersebut. Wanita menuntut terjadinya revolusi dan demokratisasi demi penciptaan penjaminan hak-hak mereka yang lebih baik lagi. Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bagaimana sebenarnya kondisi wanita di bawah rezim Mubarak. Jika dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya, Mesir merupakan negara yang cukup fleksibel dalam bidang kemajuan kaum wanitanya. Namun demikian, nyatanya hal tersebut tidak cukup bagi wanita Mesir dan hal inilah yang mendorong kaum wanita untuk turut berpartisipasi dalam usaha masyarakat Mesir untuk menggulingkan pemerintahan demi tercapainya perubahan. Kebebasan pada dasarnya merupakan esensi dasar dari segala tuntutan yang dilayangkan oleh masyarakat Mesir, termasuk oleh kaum wanita. Di balik segala kemajuan yang sebenarnya telah dirasakan oleh wanita Mesir, nyatanya kesetaraan status antara wanita dan pria masih sulit untuk dicapai. 1211

Dalal Al-Bizri, Women, Revolution, Politics, and Power dalam Heinrich-Bll-Stiftung, Middle East Office, 2011, hlm. 1. 12 Nemat Guenenna dan Nadia Wassef, Op. Cit.

6

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

Wanita masih merasakan beberapa diskriminasi di balik peran mereka yang sudah cukup maju di negara tersebut. Keterlibatan peran wanita pada revolusi Mesir ini paling signifikan ketika dilihat dari segi sosial media. Wanita menyebarkan berita dan mengumpulkan kaumnya untuk ikut turun ke jalan dan melakukan demonstrasi untuk menuntut lengsernya rezim yang tengah berkuasa melalui berbagai macam sosial media. Salah satu yang paling terkenal bahkan hingga ke seluruh dunia adalah apa yang dilakukan oleh Asmaa Mahfouz dalam sebuah video akan dirinya yang dipublikasikan melalui sosial media Facebook dan YouTube untuk mengajak seluruh warga Mesir, baik wanita maupun pria, untuk ikut turun dan berdemonstrasi di Tahrir Square untuk menuntut hak-hak mereka atas kebebasan yang selama ini terbatas di bawah rezim Mubarak.13 Apa yang dilakukan oleh Asmaa Mahfouz ini dilihat sebagai salah satu faktor besar yang mendukung banyaknya jumlah warga dan bahkan wanita yang turut berpartisipasi dalam gerakan yang terjadi di Tahrir Square tersebut. Video yang dipublikasikan oleh Asmaa Mahfouz ini menunjukkan bagaimana peran wanita Mesir dalam gelombang revolusi yang diteriakkan oleh warga Mesir. Peran wanita yang dalam hal tersebut dimulai oleh himbauan Asma Mahfouz melalui video yang disebarluaskan dalam internet nyatanya berdampak besar. Asmaa tidak hanya berhasil menyentuh para wanita, tetapi juga berhasil menyadarkan para pria untuk ikut serta dalam serangkaian aksi penuntutan penggulingan rezim. Asmaa berhasil meyakinkan masayarakat Mesir untuk bergabung dengannya di Tahrir Square pada 25 Januari 2011 untuk meneriakkan tuntutan mereka sebagai rakyat yang selama ini telah dibayangi oleh pemerintahan otoriter.14 Wanita dalam hal ini memiliki pengaruh dalam pengumpulan massa yang cukup banyak untuk dapat berdiri bersama, memperjuangkan hak-haknya, menciptakan pergerakan, dan menuntut terjadinya perubahan. Jumlah mencengangkan dari wanita dalam hal ini pun juga menunjukkan sebuah fenomena yang cukup menggambarkan partisipasi luar biasa dalam penciptaan gerakan yang bersejarah dalam negara Mesir. Jumlah luar biasa dari wanita yang berpartisipasi dalam demonstrasi ini digambarkan oleh Jenna Krajeski dalam tulisannya sebagai berikut: An unprecedented number of Egyptian women participated in Tuesdays anti government protests. Ghada Shahbandar, an activist with the Egyptian Organization for Human Rights,13

Melissa Wall dan Sahar El Zahed, Ill Be Waiting for You Guys:A YouTube Call to Action in the Egyptian Revolution dalam International Journal of Communication 5 (2011), hlm. 1333. 14 Anna Louie Sussman, Prominent During Revolution, Egyptian Women Vanish in New Order yang diakses dari http://www.theatlantic.com/international/archive/2011/04/prominent-during-revolution-egyptian-womenvanish-in-new-order/237232/ pada 12 Desember 2012 pukul 18.19 WIB.

7

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

estimated the crowd downtown to be 20 percent female. Other estimates were as high as 50 percent. In past protests, the 7 female presence would rarely rise to 10 percent.15 Asmaa hanyalah satu dari sekian banyak wanita yang memiliki keinginan dan keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Selain Asmaa, banyak wanita-wanita lain yang ikut bangkit dan tersadar akan perlunya mereka untuk berpartisipasi dalam penggulingan rezim. Sosial media menjadi salah satu jalur partisipasi yang dipilih oleh wanita-wanita Mesir tersebut. Didorong dengan apa yang telah dilakukan oleh Asma Mahfouz, wanita-wanita lain turut menghimbau kaumnya untuk melindungi hak-haknya yang selama ini telah dilanggar di bawah pemerintahan Mubarak. Demonstrasi di Tahrir Square yang diwarnai oleh jumlah mencengangkan dari kaum wanita tersebut merupakan salah satu hasil dari rangkaian gelombang pergerakan yang dilakukan oleh wanita Mesir. Penggunaan sosial media dan internet yang dilakukan oleh Asmaa dan beberapa wanita lainnya pun pada dasarnya juga merupakan langkah yang cerdik. Wanita di Mesir yang memang cukup maju dalam pendidikan nyatanya mampu menggunakan unsur globalisasi dan memanfaatkan kebebasan yang ditawarkan oleh internet untuk mendukung terciptanya gelombang revolusi yang merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah di dunia. Dengan demikian, dapat terlihat besarnya peran wanita yang besar dalam revolusi pemerintahan dan penggulingan rezim Mubarak. Selain dimotivasi oleh keinginan untuk lepas dari cengkraman rezim otoriter, keterlibatan wanita dalam gerakan revolusi pemerintahan Mesir 2011 lalu juga dipengaruhi oleh ketidak-puasan kaum wanita dengan apa yang telah dirasakannya selama ini. Walaupun Mesir merupakan negara yang cukup bebas dalam hal penjunjungan hak-hak wanitanya, wanita Mesir masih merasakan adanya kecacatan dalam penjaminan hak-hak mereka sebagai wanita. Ketidak-setaraan status dan sub-ordinasi status wanita dalam masyarakat Mesir nyatanya masih terjadi dan hal tersebut mendorong masih terjadinya diskriminasi jender dalam masyarakat Mesir. Pelecehan seksual merupakan salah satu wujud diskriminasi jender yang sangat sering terjadi pada wanita Mesir.16 Ketidaksetaraan upah yang diterima antara pria dan wanita dalam sektor pekerjaan yang sama serta masih terdapatnya mutilasi pada alat genital dan tes keperawanan terhadap wanita pun juga menjadi isu yang diangkat oleh wanita15

Jenna Krajeski, Taking It to the Streets: Egyptian Women Protest the Government Alongside the Men Yet Few Images of Women dalamThe Opinioness of the World, yang diakses dari http://opinionessoftheworld.com/2011/01/31/egyptianwomentaketothestreetsalongsidethementoprotestthegovernment/ pada 10 Desember 2012 pukul 21.29 WIB 16 th Manal al-Natour, The Role of Women in the Egyptian 25 January Revolution dalam Journal of International Womens Studies, Vol 13, Oktober 2012, hlm. 72.

8

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

Mesir pada aksi-aksi demonstrasinya.17 Hal-hal semacam inilah yang membuahkan tuntutan dari wanita Mesir pada pemerintahan yang dianggap tidak mampu menegakkan keadilan serta menjamin kesetaraan status antara pria dan wanita. Pada dasarnya, kasus ini menunjukkan bagaimana wanita memiliki pengaruh yang besar dalam penciptaan perubahan. Walaupun secara khusus wanita memiliki tuntutantuntutan tertentu terkait hak dan ketidak-setaraan status antara kaumnya dengan kaum pria, wanita dalam hal ini juga menyuarakan keinginan masyarakat Mesir secara umum yang selama ini ditekan oleh pemerintahan otoriter yang telah menjabat selama 30 tahun. Hal ini juga merupakan perwujudan dari Arab Spring of Women yang menandai kebangkitan peran wanita. Fenomena Arab Spring di Mesir secara khusus tidak akan dapat terjadi dan menghasilkan revolusi jika tidak adanya keterlibatan dari wanita. Wanita berdampingan dengan pria untuk mencapai kepentingan bersama dan demi terwujudnya perubahan yang dapat mendorong terciptanya kehidupan yang lebih baik lagi. Nyatanya apa yang dilakukan oleh masyarakat Mesir secara bersamaan ini berhasil dan berujung pada tergulingnya rezim pemerintahan Husni Mubarak.

2.3 Wanita Pasca Tergulingnya Rezim Mubarak Turunnya Husni Mubarak dari kursi kepemimpinan negara Mesir pada dasarnya pencapaian besar bagi masyarakat Mesir. Hal tersebut memanglah tujuan utama dari segala gelombang pergerakan rakyat besar-besaran yang telah berlangsung selama berhari-hari. Tergulingnya rezim pemerintahan otoriter Mubarak tentunya menghadirkan harapan akan terciptanya perubahan bagi kondisi kehidupan mereka, tidak terkecuali pada kaum wanita. Setelah partisipasi mereka yang luar biasa dalam usaha revolusi pemerintahan, tergulingnya rezim Mubarak tentunya memberikan ekspektasi dan harapan akan membaiknya kondisi wanita di Mesir. Demokratisasi ini memberikan harapan pada wanita Mesir bahwa kebebasan dan hak-hak mereka akan semakin terjamin. Wanita merasa bahwa demokratisasi ini akan dapat mewujudkan tercapainya kesetaraan jender di Mesir. Namun demikian, apakah situasi nyata pasca tergulingnya rezim Mubarak ini benarbenar sesuai harapan masyarakat Mesir? Hal inilah yang masih kontroversial bahkan hingga saat ini. Banyak media memberitakan bahwa khususnya bagi wanita revolusi yang terjadi pada Januari 2011 lalu belum memberikan banyak perubahan yang berarti. Rezim yang17

Laura Sjoberg dan Jonathon Whooley, The Arab Spring for Women? dalam Gender, Representation, and Middle East Politics in 2011 hlm. 8 yang diakses dari http://www.polisci.wisc.edu/Uploads/Documents/IRC/Sjoberg.pdf pada 16 Desember 2012 pukul 09.14 WIB.

9

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

otoriter memang sudah tidak ada lagi, namun harapan yang selama ini muncul pasca tergulingnya rezim tersebut tidak juga terwujud. Kaum wanita masih tertinggal dalam pembangunan negara Mesir yang baru. Laporan dari Amnesti Internasional pada November 2011 lalu melaporkan bahwa rezim sementara di bawah Supreme Council of the Armed Forces (SCAF) setelah tergulingnya rezim Mubarak nyatanya gagal dalam menyelesaikan isu-isu terkait wanita yang sudah ada bahkan sebelum revolusi terjadi. 18 Bahkan marjinalisasi wanita makin marak terjadi pasca rezim Mubarak, dan salah satunya hal ini dicerminkan dengan masih adanya praktik pemaksaan tes keperawanan yang dilakukan pada wanita.19 Masalah-masalah yang melibatkan wanita sebagai korban masih terjadi, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, mutilasi alat genital wanita, serta ketidak-adilan lain baik dari segi politik, ekonomi, maupun sosial masih terjadi, dan bahkan semakin parah. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai eksistensi hukum yang dikenal sebagai Suzanne Laws di bawah pemerintahan Mubarak. Nyatanya pasca tergulingnya rezim Mubarak, terjadi seraangan terhadap hukum tersebut, aktivis dan advokasi hak wanita yang berhubungan dengan rezim tersebut.20 Hal ini kemungkinan besar terjadi karena masyarakat Mesir ingin membersihkan negaranya dari apapun yang berhubungan dengan rezim Mubarak, namun nyatanya hal ini berdampak buruk pada posisi wanita yang jika dikaji lebih jauh memiliki posisi yang lebih baik ketika masih berada di bawah pemerintahan Mubarak. Apa yang menimpa para wanita tersebut diperparah oleh langkah-langkah SCAF yang semakin memperburuk posisi wanita di Mesir pasca runtuhnya rezim Mubarak. Sebagai contoh, kuota 64 kursi parlemen atau yang setara dengan 12% nyatanya dibatalkan pada Juli 2011. Kebijakan ini digantikan dengan amandemen pada hukum electoral yang menghimbau seluruh partai untuk memiliki setidaknya 1 orang kandidat wanita.21 Dan pada tahap pertama pemilihan, dari 376 kandidat wanita yang ada, tidak satupun yang terpilih.22 Menurut Amnesti Internasional, perubahan kebijakan ini memperlihatkan sebuah kegagalan besar dalam penjaminan partisipasi politik wanita di negara tersebut.23 Tidak hanya itu, pada 8 Maret 2011, wanita Mesir berdemonstrasi untuk menuntut haknya di Tahrir Square sambil memperingati International Womens Day, namun nyatanya

18 19

Alona Ferber, Op. Cit., hlm. 2. Ibid. 20 Ibid. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Amnesty International, Women Demand Equality in Shaping New Egypt dalam Amnesty International Report, Oktober 2011, hlm. 7.

10

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

aksi tersebut justru mengundang banyak protes penuh kebencian.24 Ratusan wanita yang terlibat dalam aksi demonstrasi tersebut diserang baik secara verbal maupun fisik dan dianggap mengikuti agenda dunia barat serta dirasa melawan nilai-nilai budaya negara tersebut.25 Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya wanita tidak berada dalam posisi yang setara dengan pria. Diskriminasi terhadap wanita masih kerap terjadi dan hal ini tentunya bertentangan dengan esensi demokratisasi yang sebelumnya diharapkan oleh kaum wanita. Sejak naiknya Mohammad Morsiyang merupakan salah satu bagian dari kelompok Muslim Brotherhoodsebagai Presiden pertama pasca revolusi, Muslim Brotherhood yang sebelumnya merupakan kelompok oposisi pada rezim Mubarak pasca rezim tersebut runtuh nyatanya mendominasi pemerintahan Mesir. Hal inilah yang banyak mempengaruhi peran wanita pasca revolusi pemerintahan Mesir 2011 lalu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di bawah dominasi dan pemerintahan kelompok Muslim Brotherhood, segala hal tentang wanita yang terkandung dalam Suzanne Laws dihapuskan karena dirasa sebagai salah satu perangkat dan bagian dari rezim Mubarak.26 Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Azza Kamel, seorang aktivis wanita di Mesir yang menyatakan bahwa pasca revolusi kebanyakan masyarakat Mesiterutama kelompok Islamis, berusaha mengambil kembali hak-hak yang selama sebelum revolusi terjadi telah diperjuangkan dan didapatkan oleh wanita, berusaha mengubah hukum mengenai perceraian dan hak asuh anak, memaksakan FGM (Female Genital Mutilation), dan mengubah usia seorang wanita untuk menikah dari 18 tahun menjadi 9 tahun.27 Pada dasarnya sebelumnya kelompok wanita mendukung Muslim Brotherhood untuk dapat menggulingkan rezim otoriter, namun nyatanya saat ini kelompok wanita justru menghadapi sebuah tantangan baru dari dominasi Muslim Brotherhood di Mesir karena pada dasarnya Muslim Brotherhood membatasi peran wanita di negara tersebut. Muslim Brotherhood juga mendukung praktek patriarki yang merugikan wanita, termasuk praktek mutilasi alat genital pada wanita.28 Baik kelompok feminis sekuler ataupun feminis islam pada dasarnya bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh Muslim Brotherhood. Feminis

24 25

Alona Ferber, Op. Cit. Ibid. 26 Ibid. 27 Cam McGrath, Egypt Revolution Makes It Worse for Women dalam http://www.ipsnews.net/2012/10/egyptrevolution-makes-it-worse-for-women/ yang diakses pada 15 Desember 2012 pukul 23.32 WIB. 28 Natalie Darlene, Advocating For Greater Political Participation: Feminisms In Egypt And The Muslim Brotherhood, Georgetown University, Maret 2011, hlm. 4-5 yang diakses dari https://repository.library.georgetown.edu/bitstream/handle/10822/553313/eftNatalie.pdf?sequence=1 pada 14 Desember 2012 pukul 22.25 WIB.

11

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

sekuler jelas tidak setuju dengan kebijakan yang menghambat kaum wanita dalam berpolitik, dan di lain pihak feminis Islam menginginkan agar kelompoknya dapat memperoleh suara dan kesempatan lebih besar untuk melanjutkan aktivitas amal dan aktivitas lainnya di masjid.29 Hal ini menunjukkan bahwa walaupun feminis Islam dan Muslim Brotherhood memiliki tujuan yang sama untuk menyebarkan Islam, namun kelompok feminis Islam tidak dapat menerima bagaimana kelompok pria semakin mendominasi bahkan hingga masalah penggunaan masjid. Apa yang terjadi di Mesir pasca revolusi pemerintahan ini menunjukkan bagaimana pada dasarnya revolusi yang terjadi tidak mampu mengubah dan memperbaiki posisi wanita di masyarakat Mesir. Bahkan, revolusi ini dapat dikatakan sebagai sebuah langkah mundur bagi dimensi jender dalam negara tersebut. Wanita masih tertinggal dan bahkan posisinya di masyarakat semakin memburuk. Revolusi pemerintahan dan demokratisasi yang seharusnya dapat dijadikan batu loncatan bagi penyetaraan jender di negara tersebut nyatanya hanyalah harapan semata. Pemerintahan pasca revolusi tidak berhasil memenuhi harapan tersebut dan bahkan justru makin memperparah kondisi, posisi, dan peran wanita di Mesir. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada dasarnya term revolusi hanyalah sebuah term politik di mana pemerintahan otoriter berhasil digulingkan. Term ini tidak berlaku pada segi sosial karena nyatanya revolusi ini tidak sama sekali memperbaiki kehidupan sosial masyarakat Mesir, terutama pada kaum wanita.

29

Ibid., hlm. 5.

12

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

BAB III PENUTUP

Dari pembahasan dan pemaparan yang dilakukan mengenai dimensi jender dalam revolusi pemerintahan Mesir 2011 lalu, maka pada dasarnya dapat dipahami bahwa perkembangan peran dan pergerakan wanita di negara Mesir sangatlah dinamis. Sebelum terjadinya revolusi, di bawah pemerintahan Mubarak wanita secara hukum dan politik telah memiliki tingkat partisipasi dan kebebasan yang cukup baik jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di wilayah negara-negara berbasiskan Islam lainnya. Hal ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh kehadiran dan pergerakan Suzanne Mubarak yang merupakan istri dari Husni Mubarak untuk menciptakan keadilan untuk wanita. Namun demikian, nyatanya hal tersebut tidak cukup. Apa yang dibawa oleh Suzanne Mubarak nyatanya hanya dapat dirasakan oleh kalangan tertentu dan diskriminasi terhadap wanita dan tekanan secara umum dari rezim otoriter tersebut akhirnya mendorong wanita untuk ikut berpartisipasi aktif dalam demonstrasi menuntut tergulingnya rezim Mubarak. Partisipasi wanita pada terwujudnya revolusi sangatlah mencengangkan, namun demikian nyatanya revolusi yang dihasilkan tersebut seolah meninggalkan wanita di belakang. Revolusi tidak berhasil memenuhi janji-janji dan harapan akan kehidupan yang lebih baik, setidaknya bagi wanita. Pasca revolusi, hak-hak wanita yang sebelumnya telah diperoleh justru terancam untuk dihapuskan dan posisi wanita dalam masyarakat baik dari segi politik, ekonomi, dan sosial pun semakin memburuk. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa revolusi pemerintahan Mesir yang terjadi pada 2011 lalu justru memperburuk posisi wanita di Mesir dan meningkatkan rasa ketidak-amanan bagi wanita di negara tersebut. Revolusi pemerintahan yang seharusnya dapat membebaskan wanita dari kekangan nyatanya justru mempersulit posisi wanita dan menghadirkan tantangan baru yang lebih berat bagi wanita Mesir untuk dapat mewujudkan kesetaraan jender dan melindungi hak-haknya sebagai bagian dari masyarakat Mesir.

13

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN JURNAL Al-Bizri, Dalal. 2011. Women, Revolution, Politics, and Power dalam Heinrich-Bll-Stiftung, Middle East Office. Al-Natour, Manal. 2012. The Role of Women in the Egyptian 25th January Revolution dalam Journal of International Womens Studies, Vol 13. Amnesty International. 2011. Women Demand Equality in Shaping New Egypt dalam Amnesty International Report. Baden, Sally . 1992. The position of women in Islamic countries: possibilities, constraints and strategies for change dalam BRIDGE (Development-Gender); Report No.4. Brighton: Institute of Development Studies. Dawoud, Aliaa. 2012. Why Women are Losing Rights in Post-Revolutionary Egypt dalam Journal of International Womens Studies, Vol 13. Ferber, Alona. 2011. Women in the "New Egypt": What Next? dalam Tel Aviv Notes: An Update on Middle Eastern Developments. Vol.5. No.24. Tel Aviv: Tel Aviv University. Guenena, Nemat dan Nadia Wassef. 1999. Unfulfilled Promises: Womens Rights in Egypt. New York: Population Council. Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi, 1999. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, and Beyond, Third Edition. Massachusetts: Allyn & Bacon. Wall, Melissa dan Sahar El Zahed. 2011. Ill Be Waiting for You Guys: A YouTube Call to Action in the Egyptian Revolution dalam International Journal of Communication, Vol.5.

ARTIKEL INTERNET Sussman, Anna Louie. Prominent During Revolution, Egyptian Women Vanish in New Order yang diakses dari http://www.theatlantic.com/international/archive/2011/04/prominentduring-revolution-egyptian-women-vanish-in-new-order/237232/ pada 12 Desember 2012 pukul 18.19 WIB. Krajeski, Jenna.Taking It to the Streets: Egyptian Women Protest the Government Alongside the Men Yet Few Images of Women dalamThe Opinioness of the World, yang diakses dari 14

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

http://opinionessoftheworld.com/2011/01/31/egyptianwomentaketothestreetsalongsi dethemen-toprotestthegovernment/ pada 10 Desember 2012 pukul 21.29 WIB. McGrath, Cam. Egypt Revolution Makes It Worse for Women dalam yang

http://www.ipsnews.net/2012/10/egypt-revolution-makes-it-worse-for-women/ diakses pada 15 Desember 2012 pukul 23.32 WIB.

Darlene, Natalie. Advocating For Greater Political Participation: Feminisms In Egypt And The Muslim Brotherhood, Georgetown University, Maret 2011, yang diakses dari https://repository.library.georgetown.edu/bitstream/handle/10822/553313/eftNatalie.pdf? sequence=1 pada 14 Desember 2012 pukul 22.25 WIB. Sjoberg, Laura dan Jonathon Whooley, The Arab Spring for Women? dalam Gender, Representation, and Middle East Politics in 2011 yang diakses dari

http://www.polisci.wisc.edu/Uploads/Documents/IRC/Sjoberg.pdf pada 16 Desember 2012 pukul 09.14 WIB.

15