majalah baruga

56
Baruga Satu Mata Hati Satu Kata Hati Konflik Dalam Keberagaman Majalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNHAS Edisi 20 / Februari 2012 ISSN : 0135 - 0766

Upload: azwar-marzuki

Post on 28-Mar-2016

275 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

KOSMIK UNHAS Magazine

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Konflik Dalam Keberagaman

Majalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNHAS

Edisi 20 / Februari 2012

ISSN : 0135 - 0766

Page 2: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 20122

Manusia akan selalu berhadapan dengan kejatuhan. Tak ada di antara kita yang tak melaluinya. Saat bela-jar berjalan, kita akan selalu terjatuh. Secara bersamaan kita juga belajar menguatkan kedua kaki hingga akh-irnya bisa berdiri kembali dan kemudian melangkah lagi. Langkah-langkah awal kita pastilah masih tertatih-tatih, sesekali jatuh tapi kita tetap tak takluk.

Kita menginginkan perjalanan mulus tanpa ham-batan, namun dengan demikian kita tidak akan bela-jar apa-apa. Justru dari kejatuhan kita belajar banyak. Melalui kejatuhan, kita belajar bagaimana bertahan agar tetap tegak, belajar hingga langkah-langkah kita semakin kuat. Pada akhirnya kejatuhan mengenalkan kita akan arti kebangkitan dan perjuangan.

Hal ini juga dialami oleh Baruga, tidaklah mudah untuk melaluinya tanpa kekuatan dan perjuangan. Ber-bagai masalah membuat goyah, namun hal ini menjadi pelajaran berharga, hingga saat inipun kami masih be-lajar, mencoba menjadi lebih baik dan berusaha mem-berikan yang terbaik.

Syukur Alhamdulillah, kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya Majalah Baruga Edisi ke-20 bisa terbit.

Pada edisi ini, redaksi mengangkat tema tentang “Konflik Dalam Keberagaman.” Soal yang hingga hari ini masih menjadi teror bagi kemajemukan masyarakat Indonesia. Banyaknya fenomena konflik di beberapa daerah, baik karena persoalan ekonomi, politik hingga SARA, semakin menguatkan bahwa kita masih memi-liki kerja-kerja yang belum selesai. Kita masih belum menangkap arti dari hidup bersama.

Akhir kata, segenap kru berharap apa yang Baruga sajikan dalam edisi ini bisa bermanfaat untuk pembaca.

Selamat MembacaRedaksi

SALAM REDAKSI

Page 3: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 3

EDITORIAL

“Gerombolan manusia meskipun agamanya berwarna macam-macam, meskipun bahasanya bermacam-macam, meskipun asal turunannya bermacam-macam, asal ger-ombolan manusia itu mempunyai kehendak untuk hidup bersama, itu adalah

bangsa” (Ir.Soekarno)

Ungkapan Soekarno di atas menimbulkan pertanyaan, jika bangsa itu dilandas-kan kehendak untuk hidup bersama apa benar penduduk negeri ini masih pantas disebut sebgai suatu bangsa? Pertanyaan ini pantas dilontarkan jika mengingat per-jalanan usia negeri ini tidak pernah lepas dari cerita konflik berbau SARA.

Tahun 2011 kemarin Makassar pun diguncang dengan konflik yang mengatas namakan etnis dan suku. Beberapa hari sempat mencekam di beberapa wilayah. Lalu akhirnya seperti penggalan-penggalan cerita klasik mengenai konflik dalam catatan sejarah negeri ini, “perbedaan” selalu saja menjadi kambing hitam. Ironis memang jika mengingat semboyan bangsa kita adalah Bhineka Tunggal Ika, berbe-da-beda namun tetap satu.

Keberagaman semestinya dianggap sebagai modal kekayaan negeri ini, tapi seba-liknya malah seolah menjadi racun, menggerogoti secara perlahan. Entah apa yang akan dikatakan Almarhum KH Abdulrahman Wahid alias Gus Dur sang Bapak Pluralisme jika menyaksikan fenomena ini tak kunjung hilang dalam lembaran-lembaran kisah perjalanan usia Ibu Pertiwi. Mantan orang nomor satu negeri ini pernah berujar tentang suatu hikmat:

“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” Gus-Dur.

Sungguh sayang kalimat bijak Gus Dur sepertinya tidak berhasil membuat jiwa negeri ini -yang tersusun dari jiwa-jiwa kecil kita- sebagai pemilik ‘rumah’ tersen-tuh. Entah kita terjangkiti penyakit apa? Mungkinkah ini rasisme? etnosentrisme? atau stereotyping? atau faktor lain? Beberapa mungkin akan menjawab dengan ber-bagai teori dan kajian pustaka atau sekadar berbekal kepedulian untuk menemukan akar masalah, namun sebagian besar sepertinya hanya mampu angkat bahu, karena jika banyak yang peduli konflik pasti ––bisa dihindari.

Stereotip dalam keberagaman memang bukanlah hal asing seperti halnya udara yang kita hirup. Telah banyak kajian dan bahasan mengenai permasalahan ini na-mun toh hal sama terus terulang. Namun satu hal penting perlu diingat jika keber-agaman selalu dipandang sebagai masalah maka yang timbul bukannya kehendak untuk hidup bersama melainkan perpecahan, jika demikian, pantaskah kita disebut sebagai suatu bangsa? (Satriani)

Page 4: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 20124

Penanggung JawabAhmad Syarif

(Ketua KOSMIK)

Pemimpin RedaksiSatriani Tahir

Redaktur PelaksanaDewi Suryaningsih

Redaktur FotoFheny Angrainy

FotograferKIFO KOSMIK

Redaktur KhususRizka Hidayanti, Janisa Pascawati,Lili Sukriana,

Maydelin Tandipuang, Indah Elsa Putri,

ReporterErbon Syahputra, Prisnady Ramadansyah,

Nurmalasari, Meike Lusye Karolus, Nurmihailoa Nabiu, Agni Riskika Destivani,

Ayu Adriani, Hajir Muis, Isma Ariyani, Yohanis Kiding, Icecubo

EditorRizka

LayouterAzwar Marzuki

Liputan UtamaKonflik dalam Keberagaman

Liputan KhususTawuran (bukan) Ritual Tahunan

OpiniKita yang (Tak) Selesai

Mencari Pemimpin Indonesia?

WawancaraKomunikatordapat menjadi mediator dalam menyelesaikan konflik

6

12

10

15

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

18

Page 5: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 5

DAFTAR ISI

Komunitas20

Figur

Teknologi

Budaya

Artikel

Kampus

Jelajah Negeri42

Jejak

Prestasi

Resensi

Fotografi

22

3026

3439

48505254

Ma’raga bukan hanya sekedar permainan

yang lahir dari kebudayaan Bugis-Makassar. Ma’raga juga berisi pesan-pesan religius yang mengilhami jiwa manu-sia. Ya, Ma’raga adalah per-mainan jiwa yang menggugah siapa siaja.

Di tempat ini, kita akan menyaksikan para per-

empuan penempa besi. Perala-tan seperti parang, spatula, dan peralatan rumah tangga lainnya adalah hasil kerja mereka, kerja yang biasanya dikerjakan oleh kaum adam.

Page 6: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 20126

Tahun 2011 kemarin menjadi masa ujian bagi multikul-

turalisme di Indonesia. Di Makassar konflik yang mengatasnamakan etnis berkecamuk dan sempat menimbul-kan situasi mencekam dimana-mana bahkan menjadi headline di berbagai media nasional.

Sejak proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan pada 17 Agus-tus 1945, sejarah mencatat sejumlah cerita mengenai konflik yang men-gatasnamakan perbedaan. Bahkan saat ini pun konflik antarsuku, ras, maupun agama masih saja menjadi teror yang mencekam. Padahal, In-donesia adalah negara yang menga-nut paham pluralisme. Oleh kare-nanya, perbedaan suku, etnis, dan agama seharusnya mengindahkan keanekaragaman di antara kita. Kita berbeda, tapi tidak untuk terpecah pelah. Sayangnya, isu perbedaan suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA) malah menjadi isu yang pal-ing sensitif di antara kita.

Konflik memang tidak bisa di-hindari dengan adanya keberagaman. Seringkali benturan terjadi ketika ke-biasaan yang ada di satu kebudayaan, berbeda dengan kebudayaan yang lain. Misalnya saja, ketika suatu kaum mendatangi satu tempat. Kemudian kaum tersebut melakukan kebiasaan sesuai kebudayaan yang dibawanya.

Tanpa disadari, kebiasaan tersebut ternyata berbeda dengan kebiasaan yang dianut oleh kebudayaan yang terlebih dulu ada di tempat tersebut. Hal ini bisa menimbulkan benturan diantara kedua kaum tersebut. Hing-ga memicu adanya konflik.

Konflik ini hadir disebabkan tidak adanya rasa toleransi dan saling menghargai di antara kedua kaum tersebut. Kaum yang lebih dulu ada bisa jadi terlalu menganggap kebu-dayaannya yang lebih tinggi daripada kebudayaan yang baru dibawa oleh kaum pendatang tersebut. Kaum pendatang sendiri bisa jadi tidak memperhatikan adanya perbedaan yang mendasar dari kebiasaan yang dibawanya hingga menimbulkan adanya gesekan dan memicu konflik. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Dr. Muhammad Farid, M.Si, selaku Dosen Komunikasi Antar Budaya. “Benturan ini akan terjadi ketika ada anggapan bahwa kebudayaan yang satu lebih hebat daripada budaya orang lain. Cenderung mengang-gap enteng etnis lain. Biasanya akan ada kesewenangan hingga akhirnya memicu adanya konflik.”

Konflik tidak selamanya hadir dari sesuatu yang besar. Konflik bisa hadir dari sesuatu hal kecil yang di-anggap sepele. Menimbulkan kere-takan dalam hubungan individu

Konflik dalam Keberagaman

Konflik mudah terjadi, namun sulit dihindari. Sikap egaliter masyarakat sangat dibutuhkan.

di dalam masyarakat. Kepentingan pribadi ini kemudian melibatkan kepentingan kaum untuk men-dukung harga dirinya. Setelah itu, kaum menjadi terprovokasi dan terjadi benturan yang lebih besar dan membentuk konflik antara dua kaum. Seharusnya, konflik ini tidak akan meluas jika individu-individu tersebut bisa menyelesaikan konf-liknya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan Dr. Muhammad Farid, M.Si “Konflik yang tidak diredam akan lebih luas. Konflik dimulai dari masalah kecil, kemudian meluas dan bertambah besar. Begitu ada masalah, mencuat lagi, besar lagi. Hampir se-tiap hari terjadi konflik hanya karena persoalan kecil. Hanya persoalan salah pengertian, jadinya membawa nama daerah.”

Sebagian masyarakat Indonesia sepertinya belum benar-benar me-mahami pluralisme dalam hidup berbangsa dan bernegara. Belum benar-benar memahami motto na-sionalis kita “Bhineka Tunggal Ika” bahasa Jawa Kuno yang dalam ba-hasa Indonesia bisa berarti “Beraneka Satu Itu”. Hal ini bermakna, meski-pun berbeda-beda tetapi pada haki-katnya bangsa Indonesia tetap adalah satu-kesatuan. “Kita berbeda. Tapi, kalau itu kita pahami sebenarnya tidak akan terjadi apa-apa. Kurang

Liputan Utama

Page 7: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 7

dipahami kalau kita berbeda satu sama lain. Selalu membawa bahwa sukunya yang terbaik, etnisnya yang terbaik. Melecehkan etnis yang lain. Akhirnya, etnis lain tidak mau di-lecehkan. Etnis lain juga punya harga diri,” tambah Dr. Muhammad Farid, M.Si.

Belum Menerima Perbedaan

Perbedaan etnis di tengah masyarakat memang dapat

diterima namun rentan sekali untuk terpecah. Masih segar dalam inga-tan kita mengenai peristiwa-peris-tiwa yang sempat heboh beberapa waktu silam. Mulai tragedi Makas-sar Town Square baru-baru ini yang membuat masyrakat beretnis Timor kena sweeping sampai tragedi Ku-mala dimana pelemparan dan pen-jarahan bagi toko-toko yang dimiliki masyarakat beretnis cina terjadi.

Hardy, seorang laki-laki ketu-runan etnis tionghoa, merasakan benar dampak itu. Meski rumahn-ya tidak mendapat lemparan atau tokonya dijarah tapi efek yang dit-imbulkan dari peristiwa itu terasa baginya. “Di Makassar, perbedaan itu masih ada. Diskriminasi dengan etnis masih kental terasa,” ujar maha-siswa Universitas Kristen Atma Jaya Makassar ini.

Menurut Hardy, diskriminasi itu ia rasakan ketika ia di Makassar, namun ketika ia harus pindah ke Manado untuk melanjutkan SMA-

nya, perbedaan itu justru tidak ia dapatkan,” Kalau kita bersekolah di sekolah negeri kan orang cina sering didiskriminasi, tapi waktu di Mana-do saya tidak merasakan itu padahal di sana saya bersekolah di sekolah negeri. Dalam bergaul dengan orang Manado sendiri tidak ada bedanya padahal kami berbeda etnis,” tuturn-ya.

Budaya Sipakatau untuk Meredam Konflik

Suku Makassar-Bugis sendiri memiki budaya sipakatau.

Yaitu, menghormati dan menghargai harkatnya sebagai sesama manusia. Dengan hal ini sepatutnya kita bisa meredam konflik yang ada di antara kita. Saling menghargai sesama umat manusia. Sebagai manusia, kita tentu ingin dihargai oleh manusia yang lain. Untuk dihargai itulah kita juga perlu menghargai orang lain seba-gaimana kita ingin dihargai.

“...kita Indonesia, kita menghargai perbedaan. kita tahu perbedaan bisa memunculkan ke-bersamaan. Kalau rasa menghargai itu dipupuk sejak awal”

Liputan Utama

sxc.

hu

Page 8: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 20128

Tokoh masyarakat juga sangat berperan dalam penyelesaian konf-lik yang ada di masyarakat. Tokoh masyarakat diharapkan bisa menya-darkan masyarakat tentang bahaya konflik yang bisa saja memecah persatuan di antara kita. Beruntung masyarakat Sulawesi Selatan masih menghargai dan mendengarkan apa yang dikatakan tokoh masyarakat disini. Contohnya saja, H.M.Yusuf Kalla. Wakil Presiden RI pada pe-riodenya yang berasal dari tanah Sulawesi Selatan. Dr.Muhammad Farid, M.Si mengatakan, “Di Sulawe-si Selatan, tokoh masyarakat masih dihargai. Siapapun itu masih diden-gar. Itulah peran tokoh masyarakat sebagai pemersatu di antara kita.” Keberadaan tokoh masyarakat ini, adalah mulai berkurangnya jumlah tokoh-tokoh ini. Keberadaan tokoh baru dibutuhkan. “Dalam kehidu-pan modern, dimana penghargaan mulai runtuh, kita masih memiliki adanya penghargaan tersebut,” tam-bah Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Unhas.

Konflik bisa dicegah, meski tak

bisa dihindari. Kita mesti menana-mkan paham egaliter dalam diri kita. Dimana kita memandang diri kita sederajat dengan orang lain. Jadi, tidak ada yang lebih tinggi atau-pun lebih rendah. Di luar dari pada itu, kita juga mesti saling menghar-gai satu-sama lain. Sebagaimana, Dr.Muhammad Farid M.Si. men-gatakan, “Masing-masing harus menghargai. Setiap etnis menghar-gai etnis yang lain. Terutama jika berada di tempat tertentu. Tetap dia punya budaya, silahkan dilakukan tapi harus menghargai yang lain. Kita Indonesia, kita menghargai

perbedaan. kita tahu perbedaan bisa memunculkan kebersamaan. Kalau rasa menghargai itu dipupuk sejak awal”

Selain mengenai konflik perlu juga dipahami bahwa keberagaman suatu kekayaan seperti yang dinyata-kan oleh Dosen Jurusan Sastra Arab Supha Atthana “Keberagaman ada-lah sesuatu yang natural sehingga yang diperlukan adalah toleransi dan rendah hati untuk mendengarkan orang lain,”ungkap Direktur Ira-nian Corner ini. Perbedaan menu-rutnya tidak bisa dihindari inilah dinamika ruang kemanusiaan yang terjadi. Kalau tidak ada keberagaman tidak ada dinamika kehidupan, yang diperlukan adalah logika yang bisa dipakai dalam keberagaman, per-bedaan sebagai ujian untuk memilih dan memilah yang baik dan benar, perbedaan sifat tidak lantas men-jadikan sekelompok orang menjadi anarkis. Perbedaan seharusnya men-jadikan seseorang belajar, sopan san-tun bukan implikasi dari kebenaran dan bukan bersifat memaksa.

(Rizka,Meike,Anni,Mifda)

“Keberagaman ada-lah sesuatu yang natu-ral sehingga yang diper-lukan adalah toleransi dan rendah hati untuk mendengarkan orang lain,”

Liputan Utama

sxc.

hu

Page 9: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 9

Page 10: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201210

Hampir di seluruh Indone-sia konflik antar kelompok

terus terjadi. Konsep mengenai per-bedaan yang akhirnya menimbulkan pandangan umum yang negatif ter-hadap kelompok tertentu. Dalam lingkungan pendidikan perbedaan dapat memicu terjadinya konflik. Kerap kali perbedaan mengakibat-kan perseteruan antarfakultas.

Tawuran seolah menjadi ritual ta-hunan terutama pada saat tahun aja-ran baru. Bulan September menjadi momen terjadi tawuran. Hal ini pada akhirnya secara tidak langsung me-nanamkan persepsi bagi mahasiswa yang baru masuk mengenai tawuran dan akhirnya kultur bagi sebagian mahasiswa. Dari tahun ke tahun pe-nyebabnya selalu dari hal kecil hing-ga berakhir dangan aksi saling lem-par batu dan kerikil yang akhirnya disaksikan seluruh Indonesia melalui kotak kecil yang disebut televisi. Hal ini membawa dampak yang buruk bagi citra Unhas dan pada akhirnya menimbulkan stereotip atau pan-dangan negatif bahwa orang-orang Makassar doyan tawuran.

Fenomena ini sangat ironis jika mengingat bahwa pelaku tawuran

adalah kaum intelektual yang se-harusnya mampu meyelesaikan masalah dengan cara yang elegan ser-ta mampu berfikir dan menimbang lebih bijaksana mengenai dampak dari penyelesaian masalah dengan kekerasan. Stereotip antarfakultas telah tertanam dan menjadi kultur bagi para pelaku tawuran. Melihat fenomena ini, timbul pertanyaan tentang krisis seperti apa yang mel-anda hingga masalah tawuran ini tak kunjung bisa diselesaikan. Menurut Dosen Sastra Arab Supha At’thana “Mahasiswa seharusnya semakin baik cara befikir dengan banyak menam-bah referensi. Dalam dunia modern saat ini revolusi intelektual tidak bangga dan terkooptasi pada latar belakang studi mereka.” Diperlukan cara pandang kosmopoli sehingga mahasiswa tidak memandang remeh tidak memandang hanya dari latar belakang studi. “Mahasiswa perlu untuk melakukan inovasi sehingga yang dipikirkan bagaimana memiliki berbagai dimensi dari sudut pandang mahasiswa,” tambahnya.

Menurut Ketua BEM Fakultas Perikanan Indar Wijaya, selama ini tawuran di Unhas seolah-olah dia-

Tawuran (bukan) Ritual TahunanKurangnya solidaritas antarfakultas menyebabkan tawuran

tiap tahun terjadi. Akankah ini menjadi tradisi?

“Mahasiswa perlu untuk melakukan ino-vasi sehingga yang dipikirkan bagaimana memiliki berbagai di-mensi dari sudut pan-dang mahasiswa,”

gendakan khusus setiap tahun yang diakibatkan rasa solidaritas antar sesama fakultas yang menimbulkan arogansi fakultas. “Tawuran di Un-has apapun permasalahanya harus diselesaikan dengn cara intelek-tual bukan dengn cara kekerasan,” tegasnya.

Drs. Mursalim M.Si Dosen Ilmu Komunikasi Unhas mengungkapkan bahwa perang antarfakultas terjadi karena kuatnya rasa perbedaan dan kurangnya komunikasi antara ma-hasiswa dari fakultas yang bertikai. Menurutnya, hal yang menyebab-kan hal tersebut, sistem pengad-

Liputan khusus

Page 11: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 11

eran mengedepankan pembentukan karakter dan menimbulkan rasa ke-bersamaan dan saling mengenal.

Fenomena tawuran merugikan pihak baik civitas akademika. Fred-dy, Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional mengatakan bahwa tawuran yang selama ini terjadi ber-dampak buruk bagi citra mahasiswa Unhas karena mendapat generalisasi dari pihak-pihak luar yakni disa-makan dengan mereka yang terlibat. Dan secara langsung tawuran yang terjadi pun berdampak pada tergang-gunya perkuliahan serta memberikan tekanan psikologis dihantui rasa was-was dan khawatir tawuran kembali terjadi.

Bukan hanya itu, tiga bulan ber-lalu sejak tawuran di Unhas terjadi

banyak dampak yang dirasakan civi-tas akademika. Bukan hanya damp-ak dari segi materi, tetapi juga dari proses perkuliahan hingga pemin-dahan lokasi perkuliahan. Pada Press Release 15 November 2011 yang dibuat oleh Badan Eksekutif Ma-hasiswa (BEM) Kehutanan Unhas juga disebutkan kerugian-kerugian yang dialami. Dicantumkan dua bangunan (sekretariat BEM dan sek-retariat Biro Khusus Panduan Alam Lingkungan BEM Kehutanan Sylva Indonesia Unhas) terbakar. Selain itu dicantumkan pula dua sepeda mo-tor dan fasilitas perkuliahan yang terbakar. Akibat terjadinya tawuran, mahasiswa Fakultas Teknik angka-tan 2011 dipindahkan ke kampus Baraya. “Kebijakan pemindahan

tersebut dilakukan agar mengurangi gesekan lagi antarfakultas,” tutur Dr Ing Ir Wahyu H Piarah M.S,.ME selaku Dekan Fakultas Teknik Un-has. “Tahun depan 2012 juga akan langsung kami tempatkan di kampus Gowa,” jelas Wahyu. Ini tentunya juga sebagai langkah menghindari terjadinya kembali tawuran.

Kerugian tersebut tentunya tidak akan ada jika tawuran tidak terjadi. Masih terdapat banyak cara, untuk menyusun kembali “puzzle” kereta-kan antara mahasiswa Unhas. Salah satunya inovasi dimensi pandangan mahaisiswa. Tentunya, usaha bi-rokrasi dan seluruh civitas akademi-ka menjadi penopangnya. Dosa masa lalu cukup menjadi kenangan. (Jejen,Mimi,Mifdah)

Liputan Khusus

Muhammad Idham Ama

Page 12: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201212

Dalam lingkungan sosial (masyarakat) terdapat

individu-individu dan kelompok yang memiliki latar belakang sosial, ekonomi, budaya,dan pendidikan yang berbeda-beda. Keberagaman tersebut membuka ruang untuk la-hirnya sebuah konflik. Robbin men-definisikan konflik dalam 3 pandan-gan, salah satu pandangannya ialah pandangan hubungan manusia ( the Human Relations view). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik di-anggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok masyarakat. Konflik dianggap se-bagai sesuatu yang tidak dapat di-hindari karena di dalam kelompok masyarakat pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar ang-gota.

Salah satu unsur yang terdapat di dalam kelompok masyarakat adalah budaya. Di dalam dinamika budaya terdapat konflik dan integrasi. Kon-flik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang dapat dikontrol dengan baik, akan menghasilkan integrasi. Seba-liknya integrasi yang tidak sempurna dapat melahirkan konflik.

Konflik antar budaya berkaitan dengan perasaan ‘lebih’ dari kelom-pok lain, menyangkut ciri-ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istia-dat, keyakinan dan sebagainya. Kon-flik menjadi situasi yang wajar dalam lingkungan masyarakat, tidak satu-pun masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik antar anggota maupun antar kelompok. Konflik hanya akan hilang bersamaan den-gan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Bagaimana pandangan akademisi yang berlatar pendidikan komunikasi dalam melihat konflik antar budaya ? berikut wawancara khusus bersama Bapak DR. Iqbal Sultan :

Bagaimana proses lahirnya sua-tu budaya ?

Budaya lahir karena keinginan masyarakat untuk maju dan men-galami perubahan. Keinginan untuk suatu kemajuan dan perubahan yang kemudian mendorong lahirnya sua-tu budaya. Tingkat ataupun keber-agaman kebudayaan tergantung dari sifat individu atau kelompok dalam masyarakat. Terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki budaya tinggi, dalam artian lebih

terbuka, dan adapula kelompok masyarakat yang lebih tertutup dan tidak dinamis.

Bagaimana sifat dari suatu in-dividu maupun kelompok dalam menghasilkan suatu budaya ?

Individu maupun kelompok dalam suatu masyarakat memiliki tingkat keberagaman budaya yang lebih tinggi, namun bukan berar-ti individu atau kelompok dalam masyarakat yang sifatnya lebih ter-tutup tidak memiliki budaya. In-dividu atau kelompok dalam suatu masyarakat yang tertutup juga me-miliki budaya sifatnya lebih statis atau tidak dinamis.

Bagaimana bapak memandang konflik antar budaya ?

Terkadang konflik memicu kita untuk melakukan langkah-langkah pembelajaran yang baik, namun apabila suatu konflik tidak dapat terkontrol dengan baik dan tidak dapat terselesaikan akan mengarah pada hal-hal yang lebih buruk. Apa-bila konflik dimaknai sebagai suatu perbedaan yang harus dipahami, in-tegrasi dari berbagai budaya dapat

Komunikator d a p a t m e n j a d i m e d i a t o r d a l a m

m e n y e l e s a i k a n k o n f l i k

Wawancara

Page 13: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 13

lebih kuat.

Apa yang menjadi pemicu kon-flik ?

Kebudayaan berkaitan dengan kelompok dan komunitas yang ber-sifat homogenitas maupun yang ber-sifat heterogen. Kelompok maupun komunitas masing-masing memiliki kebiasaan komunal, nilai dan atu-ran yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan tersebut kemudian men-jadi salah satu faktor yang berpotensi melahirkan suatu konflik. Perbedaan yang kecil sekalipun jika diperunc-ing dapat menjadi pemicu terjadinya konflik.

Bagaimana pendapat bapak dengan etnosentrisme ?

Etnosentrisme, paham yang men-

ganggap budaya sendiri lebih baik dari budaya orang lain juga men-jadi bibit-bibit pemicu konflik. In-dividu atau kelompok budaya yang berpaham etnosentrisme cenderung ‘menutup mata’ terhadap realitas yang ada disekitar mereka. Misalnya orang bugis dengan budaya siri’nya atau budaya malunya, menganggap bahwa orang bugis lebih baik dari suku-suku lainnya karena memiliki budaya malu, padahal kan orang lain (tidak mengenal dia suku apa) juga pastilah memiliki budaya seperti ini.

Bagaimana solusi yang dapat bapak tawarkan ?

Ya, etnosentrisme dapat dijadi-kan sebagai alat penyatu bukan se-bagai pemicu konflik. Sebagaimana yang saya katakan tadi, orang bugis

dengan budaya siri’-nya. Budaya malu itu diaplikasikan untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, malu untuk merampok, malu un-tuk korupsi. Ya etnosentrisme dapat dimanfaatkan untuk pencapaian hal yang lebih baik. Memberikan ke-majuan bukan untuk merendahkan orang lain.

Konflik dan integrasi menjadi dua point yang terus ada dalam pembahasan kita, Bagaimana pan-dangan bapak terhadap konflik dan integrasi ?

Integrasi merupakan upaya yang tidak semata atau sesederhana dalam kalimat “ehh kamu harus berinte-grasi.” Ada langkah-langkah tertentu untuk memupuk kesadaran awal dalam mengintegrasi.

Wawancara

Dewi Suryaningsih

Page 14: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201214

Langkah-langkah apa yang ba-pak maksud ?

misalnya mengeluarkan kebi-jakan-kebijakan yang mampu me-wadahi keinginan dua belah pihak yang saling bertentangan, dua bu-daya yang sedang terlibat konflik. Nah disini peran pemerintah sangat diperlukan. Melakukan pembinaan dan tetap menjaga agar kedua belah pihak tidak ‘terkurung’ oleh per-bedaan-perbedaan yang selalu diper-tentangkan.

Konflik juga bisa dipicu karena ketidak puasan dari salah satu kelom-pok, hal tersebut juga harus menjadi perhatian untuk seorang mediator dalam penyelesaian suatu konflik. Perlu diingat bahwa konflik bisa melepaskkan diri kita dengan orang lain.

Konflik dapat memecah intega-rasi. Ada dua hal, ya, kalau tidak ber-satu pastilah bercerai. Jadi integrasi merupakan bentuk keinginan untuk menyelesaikan konflik

Peran komunikasi antar bu-daya ?

Konflik dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi kita untuk mel-akukan hak yang lebih baik, namun apabila konflik tidak dapat terkon-trol dan tidak terselesaikan akan ber-dampak pada hal-hal yang buruk.

Konflik akan selalu ada, karena latar belakang individu maupun kelompok di dalam suatu masyarakat

memiliki perbedaan, perbedaan cara pandang, pemahaman akan suatu re-alitas, dan lain-lainnya.

Nah, peran komunikasi disini ialah bagaimana agar perbedaan-per-bedaan tersebut mesti dicari persa-maan-persamaan yang masih tersem-bunyi dan harus ditonjolkan, karena dalam komunikasi kita berangkat dari pemahaman yang sama.

Jadi, komunikasi antar budaya yang merupakan pendekatan dari bidang ilmu komunikasi berperan penting dalam pemecahan suatu konflik pak ?

Iya, orang-orang yang telah bela-jar komunikasi khususnya komuni-kasi antar budaya harus mampu men-jadi komunikator yang bisa menjadi seorang mediator dalam pertikaian antar individu, kelompok-kelompok yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Yang tadi seperti saya bilang, orang-orang komunikasi selalu start dari kesamaan, apabila telah ada kesamaan makna dalam cara pandang, maka konflik dapat dikontrol dengan baik.

(Dewi)

Nama : Dr.H. M. Iqbal Sultan, M.Si.Kelahiran : Wajo, 10 Desember 1963Pendidikan : S3 Ilmu Komunikasi UnhasPekerjaan : Dosen Ilmu Komunikasi Unhas Ketua Konsentrasi Massa PPs Fisip unhasAlamat : Perumahan Dosen Unhas Tamalanrea BG 35

Makassar

Wawancara

sxc.

hu

Page 15: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 15

Konfucius, seorang pemikir besar sebelum Cina terben-

tuk, memandang keluarga sebagai cerminan ideal negara. Dalam kelu-arga orang muda menghormati oang tua demikian juga orang tua menyay-angi yang muda. Demikianlah moral paling dasar, sikap dalam mengha-dapi keseharian. Setelah rezim Mao Tse Tung berkuasa, ajaran ini dicap sebagai tradisi feodal, banyak kuil-kuil Konghucu dirusak dan dijarah. Cina menyaksikan bagaimana revo-lusi kebudayaan membungkam masa lalu yang dianggap sebagai kontra revolusioner.

Beberapa tahun sebelumnya, Pu Yi Sang Kaisar yang telah kehilangan karisma dan kuasa dikarantina oleh rezim Mao, dari darah biru menjadi warga biasa. Sang kaisar adalah arte-fak hidup masa lalu, harus didisiplin-kan demi terbentuknya Cina, demi komunisme yang menjadi dasar bagi republik. Feodalisme adalah aib masa lalu, harus dilompati, dilupakan, diberangus. Milan kundera dalam novelnya The Book of Laughter and Forgetting menuliskan tragedi seperti ini dengan ironis. Ketika rezim baru berkuasa ia akan menghapus ingatan

akan rezim sebelumnya. Demikian-lah sekali lagi sejarah kekerasan suatu rezim dicatat, yang berbeda tak akan punya tempat.

Di Indonesia, the founding fa-ther, Soekarno mengimajinasikan Majapahit bersama Bhineka Tung-gal Ika sebagai rujukan dan cita-cita. Indonesia kemudian dipetakan ber-dasarkan bentang kekuasaan kera-jaan tersebut di masa lampau. Semua perbedaan harus dirampungkan, di-tundukan dalam imaji geografis. Se-olah-olah berada dalam satu kawasan membuat perbedaan-perbedaan ini akan meluruh. Ibarat sekeping mata uang, dibalik gagasan kesatuan, ker-agaman masyarakat Indonesia mulai dari etnis, budaya hingga keyakinan juga terdapat hantu-hantu destruktif yang justru mengancam keragaman itu sendiri.

Begitu halnya Soeharto, bapak dari Orde Baru, imajinasi kesatuan diteruskan dalam berbagai strategi. Tapi sejarah resmi versi pemerin-tah, sengaja tak mencatat sisi gelap dari orde ini. Apa yang dialami oleh masyarakat Aceh, Papua dan Timor Timur diputarbalikkan dalam bahasa separatis dan disintegarasi. Lewat ba-

hasa, kuasa dipraktikkan, dominasi dilanggengkan. Bhineka tunggal ika kemudian dihidupkan dalam taf-sir yang memandang perbedaan itu harus diikat, disatukan, dan ditun-dukkan oleh kuasa negara.

Setelah 32 tahun, kuasa Orde Baru runtuh. Di akhir hidupnya, sang bapak pembangunan sukses luar biasa pun setelah kejatuhannya, bertolak belakang dengan nasib Pu Yi, sang kaisar terakhir Cina. Berag-am tuduhan kejahatan atas pelangga-ran hak dan kemanusiaan tak cukup membawanya menjadi pesakitan di meja hijau. Lalu kita juga akan me-lupa dalam bentuk pemaafan terha-dapnya, pelupaan model ini berbeda dari apa yang dituliskan oleh Kun-dera. Bangsa ini mungkin tak cukup jujur dengan masa lalunya.

Ketakutan, trauma dan kritik dari berbagai sudut atas kungkun-gan rezim-rezim sebelumnya, In-donesia didefinisikan ulang dan kita pun melalui bibir para elit arus bawah diperkenalkan pada zaman reformasi. Kembali, kita memban-gun harapan bahwa kita berada di rel yang benar. Kran-kran demokrasi yang disumbat dibuka. Tak ada lagi

K i t a y a n g ( Ta k ) S e l e s a iOleh : Harwan A.K.

Opini

Page 16: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201216

menara pengawas, pembredelan juga ketakutan mengkritisi para elit ne-gara. Kebebasan demikian mungkin menjadi loncatan paling mumpuni yang dilakukan di masa reformasi.

Di sisi yang lain, kebebasan juga membebaskan hasrat-hasrat necro-philia yang terpendam oleh represi rezim sebelumnya. Tentang nasib kuil-kuil Konghucu di Cina juga pernah, bahkan kerap terjadi di neg-eri ini. Munculnya kekuatan sipil melalui ormas-ormas yang menga-tasnamakan kemurnian, kesucian dan kebenaran membentuk hukum yang berada di luar negara sekaligus mendelegitimasi payung ketungga-lan tersebut.

Melalui kelompok ini, the other diciptakan kemudian diposisikan sebagai suatu penyangkalan kemur-nian. The other menjadi pembeda sekaligus penegas batas antara hitam dan putih, benar dan salah.

Mereka yang minoritass belum tentu menjadi the other, sebab the other adalah mereka yang tak punya daya, posisi dan kelasnya didefinisi-kan, dicengkram, oleh pemilik kua-sa. Kita bisa berhitung dan menarik kesimpulan betapa hanya sedikit orang yang menguasai kekayaan neg-eri ini. Kelompok ini juga menguasai kehidupan orang-orang yang jum-lahnya jauh lebih besar dari mereka. The other adalah mereka yang berada jauh dari akses kekuasaan dan modal.

Aktor-aktor di luar negara ini membentuk cita-cita dan melegeti-masi dirinya sendiri. Pancasila seba-gai asas bersama dan payung kesatu-an serta cita-cita kemakmuran alhasil menjadi mitos. Saat kelompok-kelompok ini menjadi dominan, benih konflik turut disemai.

Konflik kemudian membang-kitkan kembali pertanyaan gagasan

kesatuan the founding fathers, mem-pertanyakan keragaman dimana kita tumbuh dan terlanjur dihidupi oleh berbagai ritualnya, ritual bhineka tunggal ika. Tak ada masalah den-gan bernostalgia akan masa lalu. Tapi menjadi sesuatu lelucon jika kita tak pernah memiliki masa lalu yang dia-gungkan tersebut. Masa lalu kemudi-an hanya dongeng indah yang meny-embunyikan kekerasan dibaliknya.

Perusahaan-perusahaan tambang multinasional, organisasi massa, badan-badan dunia beserta kebijakan globalnya, NGO (Non Government Organization), media, kondisi global

hingga masyarakat internasional se-bagai aktor-aktor lainnya haruslah menjadi perhatian ketika menero-pong kebijakan-kebijakan negara. Persoalannya kemudian dimana kebijakan negara berpihak? Kasus yang terjadi di Mesuji bisa menjadi contoh bagaimana aktor selain ne-gara turut andil dalam terbentuknya kekerasan. Kasus ini juga menunjuk-kan permasalahan-pemasalahan yang diambil oleh rezim orde baru be-lumlah dituntaskan pada masa pasca reformasi. Ketimpangan kebijakan negara memiliki andil besar mem-buat potensi konflik menjadi sesuatu

Opini

Page 17: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 17

yang nyata.. Bagi Jacques Bertrand dalam

bukunya Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia konflik dis-ebabkan oleh akses terbatas terhadap institusi negara. Hal ini didominasi oleh kelompok dan etnis tertentu. Se-mentara para pemilik tanah sesung-guhnya terpinggirkan. Kebijakan-kebijakan yang diambil juga pada akhirnya tak berpihak pada mereka.

Ketika reformasi mulai bergulir, desentralisasi -sebagai jalan keluar terhadap dominasi pusat- menjadi agenda mendesak. Otonomi daerah seolah menjadi solusi, tapi tak cukup,

malah tak menyentuh esensi per-soalan kita. Ironisnya, kita kembali disodori paradoks kebijakan Negara yang tak berpihak pada masyarakat bawah serta laku korup para elit poli-tik nasional hingga lokal. Almarhum Cak Nur pernah berujar, “kita harus belajar hidup tanpa negara”. Ia mungkin lelah dengan negara yang seharusnya melindungi hak-hak war-ganya justru menjadi biang masalah. Pasca reformasi kemudian hanya semboyan tanpa merasakan sakit oleh luka di masa lalu.

Kekerasan kemudian bisa men-jadi modal ketika akses terhadap modal ekonomi, politik, status dan simbolik hanya monopoli sebagian orang. Ranah yang timpang ini akan membentuk habitus kekerasan pada arus bawah. Di zaman pasca refor-masi, ketika yang kecil semakin terp-inggirkan, ketika para elit kekuasaan masih tak kenyang memakan hak-hak mereka, konsekuensinya bangsa ini tak akan pernah utuh sebagaima-na imajinasi the founding fathers. Pada saat itu juga kesatuan hanyalah mitos.

Kita susah menghindari, bahwa menjadi manusia Indonesia adalah laku kepasrahan. Martin Heidegger, tokoh eksistensialis Jerman, memba-hasakannya dengan keterlemparan. Kita lahir sebagai warga negara mela-lui sekian banyak ritual dari akta kelahiran hingga lagu kebangsaan. Identitas sebagai warga negara ter-bentuk. Kita tak punya pilihan selain menerimanya. Perlahan dan pasti kita dibiasakan juga membiasakan hidup bersama identitas ini.

Menjadi Indonesia bukanlah sep-erti palu di tangan para tukang kayu. Palu sedari dulu tak pernah keluar dari fungsinya, tak punya masa lalu dan masa depan kecuali jika dile-

katkan pada kenangan atau simbol tertentu. Sementara Indonesia selalu bergelimang sejarah dan visi akan masa depan. Indonesia selalu berada dalam waktu, ranah pendefinisian dan dihidupkan dalam praktik, ka-dang menjadi mapan, tak terjawab, menggantung mengabur bahkan menyakitkan.

Dalam keterlemparan, kita meli-hat kekerasan juga turut serta dalam keseharian manusia. Saat melacak sejarah, dalam lisan, tulisan dan in-gatan, horor berdarah juga berada di sana, Kekerasan menjadi rezim menakutkan, membayangi seolah takdir dan kita tak dapat mengelak dari cengkeramannya. Lantas apakah kemudian takdir sebagai manusia Indonesia harus dikutuk? Bagi Hei-degger, manusia harus mencebur dalam keterlemparan, menghayat-inya, dan menemukan dirinya lewat pemahaman tentang makna berada didalamnya. Melalui penghayatan inilah ia menemukan ketidakbere-san, ketimpangan, sekaligus men-cipta palu untuk mendobrak mitos-mitos yang terlanjur mendominasi pintu kebenaran. Saatnya menolak untuk patuh, karena kita tidak se-dang Menunggu Godot -sebagaima-na drama Samuel Beckett- yang tak kunjung tiba.

Theodore Friend dalam bukunya Indonesian Destinies mungkin be-nar bahwa ”making indonesia was not easy.” Suatu kesimpulan betapa kompleksnya permasalahan di neg-eri ini. Kita mungkin terjebak dalam kuldesak. Meski demikian harapan harus diperbaharui dan keyakinan bahwa kita memiliki kekuatan untuk menemukan jalan keluar. Setidaknya menjadi saksi bahwa sesungguhnya manusia bukanlah serigala.

sxc.

hub

Opini

Page 18: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201218

Indonesia belum juga beran-jak dari situasi krisis. Mulai

dari krisis pangan, bahan bakar, dan terutama krisis kepemimpinan dari level Negara sampai Kepala Daerah. Tengok saja berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, ada pem-impin partai berkuasa yang sedang berusaha dijatuhkan dari partainya, ada kepala daerah yang legitimasinya hangus terbakar bersama kantor Bu-patinya. Ada pula mantan pemimpin dunia perbankan yang dijadikan tersangka. Mungkin saja segera me-nyusul Presiden yang dijatuhkan dari puncak kekuasaanya.

Apa yang terjadi sebenarnya ? mengapa negeri ini belum bisa men-emukan sosok pemimpin yang sab-danya diikuti, yang prilakunya men-jadi hukum bagi warga negaranya ? Ada baiknya kita berkaca pada sosok pemimpin Cina, Mao Tse Tung, yang menjadi peletak kebangkitan Cina pada masa lalu, yang kini negeri tersebut tampil sebagai negara super power dan berhasil keluar dari masa-masa suram krisis masa lalunya.

Apa yang dilakukan oleh ketua Mao ketika kemiskinan mendera warganya? ketika sekutu utama dari cina yakni uni sovyet memandang rendah negeri tirai bambu kala itu, dan julukan sebagai negara gagal datang kepada Cina. Bahkan secara sarkasitik Uni soveyet mengeluar-kan peryataan yang melukai seluruh rakyat dan pemimpin Cina ‘ meski-pun rakyat Cina harus berbagi satu

celana dalam untuk dua orang, Cina tidak pernah mampu membayar hu-tangnya’ ungkap seorang pemimpin Sovyet kala itu.

Penghinaan yang dilancarkan Sovyet tersebut, spontan membuat Mao mengambil sikap yang sungguh luar biasa. Bukannya sibuk melaku-kan klarifikasi dan berbagai apologi melalui angka statistik dan propa-ganda keberhasilan pemerintahanya, Mao justru bangkit dan menjadikan penghinaan tersebut sebagai sebuah momentum untuk manyatukan kekuataan bersama satu milyar raky-atnya, agar secara bersama-sama bisa lepas dari jaring kemiskinan.

Melalui kebijakan sederhana na-mun mampu memberikan kontri-busi secara besar, Mao menunjukan kualitas kepemimpinanya dengan langkah mengajak setiap warga ne-garanya untuk menyumbangkan satu butir beras; ‘ya! satu butir beras untuk setiap anggota keluarga setiap kali mereka akan memasak’.

Jika satu anggota keluarga terdiri atas tiga orang maka cukup disisih-kan tiga butir beras. Beras yang di-sisihkan dari satu milyar penduduk cina akan menghasilkan satu milyar butir beras setiap hari. Hasilnya di-kumpulkan kepada pemerintah un-tuk dijual, uangnya dipakai memba-yar hutang kepada negara pemberi hutang dengan dada yang membu-sung tanpa memelas meminta pe-nundaan utang.

Akhirnya Cina bisa melepaskan

diri dari ketergantungan, penghi-naan, pelecehan, dan terutama mey-akinkan pada mereka bahwa pem-impin mereka adalah sosok yang layak dipuja dan dihormati.Cerita tentang Mao dan kebijakanya sebe-narnya mengigatkan kita tentang fungsi dan tugas seorang pemimpin adalah mereka yang berani mengam-bil keputusan pada saat yang tepat, pemimpin dipilih karena ia dipercaya berbeda dengan yang lainya, mereka yang mampu bertindak dan meng-gerakan bukan mereka yang senan-tiasa lari dari masalah dan mencari kambing hitam dibalik kegagalanya.

Krisis Pagan, Krisis Kepemimpi-nan Negara

Bagaimana mungkin negara yang pernah didengungkan

dengan swasembada berasnya yang dikenal dengan luas dan basis per-tanian agarisisnya seperti Indonesia justru sampai saat ini masih men-gipor beras yang dari tahun ketahun jumlahnya terus naik diatas 1,5 juta ton ? Sementara negara sekecil Vi-etnam yang menjadi suber import beras indonesia sebanyak 892,9 ribu ton dengan nilai US$ 452,2 juta (Data BPS 2011) hanya memiliki luas daratan 331.653 km² yang be-rarti 1/6 luas daratan Indonesia yang mencapai 1.922.570 km².

Jika pemerintah berdalih dengan alasan besarnya jumlah penduduk atau produksi pertanian kita masih rendah, itu justru membuktikan

Mencari Pemimpin Indonesia?

Oleh : Rahmad M. Arsyad

Opini

Page 19: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 19

Kebanggaan ekonomi dan politik tidak ada lagi, dan justru semakin me-nelanjangi kegagalan me-nyediakan pangan untuk rakyat yang akan memacu kemarahan publik bahwa selama ini pemerin-tah tidak pernah serius membangun kedaulatan pangan dalam negeri, hal ini semakin terbukti den-gan konversi lahan yang akhir-akhir ini menyulut konflik diberbagai daerah. Dimana bukanya serius menggerakan program intensifikasi pertanian, pmerintah justru lebih memilih kekuasan modal yang sifatnya jangka pen-dek yang mengubah lahan pertanian menjadi lapangan golf atau program investasi bagi para penggusaha besar yang hanya mengguntungkan sege-lintir orang.

Bukan hanya pengelolaan pangan yang berada di daratan yang mem-buat kita semakin percaya bahwa kualitas kepemimpinan negeri ini bermasalah. Lautan kita yang sung-guh luas tak mampu pula dioptimal-kan dengan baik, panjang pantai in-donesia 81.000 km atau 14% garis pantai seluruh dunia, di mana 2/3 wilayah Indonesia berupa perairan laut tapi sampai saat ini kita masih mengimpor garam industri hingga 100 persen dengan jumlah berkisar 100-200 ribu ton.

Persoalan laut dan daratan ini, semakin membuktikan kegagalan kepemimpinan dalam menggurusi negeri ini dan kedaulatan kita seba-gai sebuah bangsa mandiri. Harapan kita masih jauh dari apa yang dicita-citakan kita sebagai sebuah bangsa

yang termaktup dalam undang-undang dasar 1945 yakni menjadi bangsa yang berdaulat, cerdas dan sejahtera.

Mengubah Paradigma Kepem-impinan, Mencari Pemimpin In-donesia

Belajar dari kisah Mao harusnya telah menyadarkan kita ten-

tang tujuan sebuah kepemimpinan. Saat ini para pemimpin yang men-jadi pengelola negeri ini masih ber-kutat pada ‘power oriented’orentasi kekuasaan semata, bukan berbicara menyangkut ‘achievement oriented’ yakni kepemimpinan yang berbasis prestasi. Sehingga berbagai isu poli-tik yang dominan adalah berkutat pada sirkuit pertarungan elit dan kekuasaan.

Hal tersebut semakin diperparah oleh mental kepemimpinan yang menghuni sumber distribusi kekua-saan seperti partai politik yang ter-bukti gagal dalam melahirkan cetak biru kualitas kepemimpinan yang

mumpuni. Pola seleksi dan rekrut-men yang bermasalah sampai pada orentasi kekuasaan yang lebih fokus untuk memperkaya diri sendiri den-gan berbagai prilaku korup menjadi lebih dominan ketimbang memban-gun kekuatan bangsa.

Melihat realitas yang terjadi sep-ertinya sudah waktunya kita me-mikirkan melakukan sebuah proses pergantian kepemimpinan yang lebih cepat, yang mampu membawa bangsa ini keluar dari jeratan krisis yang terjadi. Dengan catatan kepem-impinan yang dilahirkan benar-benar mampu menggerakan dan berpihak kepada rakyat untuk sama-sama ke-luar dari ketergantungan yang sela-ma ini ada. Pemimpin yang percaya kedaulatan bisa diwujudkan dengan menjadi teladan yang berani berpikir dan bertindak, demi kedaulatan dan kehormatan bangsa di darat mau-pun laut. Mereka yang berani men-jadikan kritik sebagai sarana untuk bangkit bukan justru sibuk memberi klarifikasi akan kegagalanya.

pulp

itset

s.com

Opini

Page 20: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201220

Bila melihat atraksi ma’raga (gerakan melakukan sepak

raga) kita dapat langsung membay-angkan kalau pada masa lalu kita sudah mempunyai jagoan freestyle sepakbola layaknya Ronaldinho atau Lionel Messi, malahan mungkin atraksi yang mereka lakukan tidak bisa dilakukan oleh kedua pesohor sepak bola diatas. Meraka mampu memainkan bola yang terbuat dari rotan dengan berbagai posisi dan gaya, seperti dengan telapak kaki, sambil duduk, menggunakan siku,

Ma’raga bukan hanya sekedar permainan yang lahir dari kebudayaan Bugis-Makassar. Ma’raga juga berisi pesan-pesan religius yang mengilhami jiwa manusia. Ya, Ma’raga adalah permainan jiwa yang menggugah siapa siaja.

Mempertahankan budaya Ma’raga yang kental nilai religius

hingga menggunakan formasi ting-kat tiga, yaitu gerakan membentuk tingkatan manusia sambil terus me-mainkan bola raga hingga pemain yang berada paling atas telah berdiri di posisinya. Gerakan inilah yang sekarang pada setiap penampilannya membuat penonton cemas bercam-pur kagum menyaksikan kepiawaian para pa’raga memadukan seni, ke-mampuan fisik, dan nuansa religius.

Dahulu saat masa penetrasi agama islam di kesultanan gowa, Ma’raga adalah media efektif un-

Komunitas Pa’raga PERSERA Payung Sa’bea

Komunitas

Imam Mubin

Page 21: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 21

tuk melakukan penyebaran islam. Sampai saat ini nuansa islam sangat kentara dalam permainan ini sep-erti prosesi pengukuhan dilakukan saat malam 17 ramadhan dan setiap kali melakukan atraksi ma’raga, para pemainnya kerap melafalkan ”Laila-haillalah” dengan nada yang teratur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga konsentrasi permainan yang tingkat kesulitannya sangat tinggi.

Salah satu komunitas Pa’raga yang ada di makassar adalah Persatuan Sepak Raga (Persera) Payung Sa’bea yang berada di kampung Bontoa, Kelurahan Parangloe, Kecamatan Ta-malanrea. Komunitas Payung Sa’bea didirikan oleh mendiang Dg. Nud-din Sullang pada tahun 1982. Saat ini Payung Sa’bea dibina oleh Syam-suddin, seorang Guru olahraga di SD inpres Bera 2 kampung bontoa dan mempunyai sekitar 40 orang anggota.

Para pa’raga ini telah dilatih se-jak usia dini sejak kira-kira berumur 10 tahun supaya tubuh mereka bisa lebih lentur dalam melakukan gera-kan. Misalnya saja Anwar tertarik ikut komunitas ini sejak kelas 3 SD. Sekarang ia sudah duduk di bangku kuliah dan merupakan salah satu anggota yang paling senior, menu-rutnya gerakan yang paling susah un-tuk dikuasai adalah menendang bola menggunakan telapak kaki.

Komunitas Pa’raga ini biasanya tampil, jika ada undangan pejabat dalam pembukaan sebuah acara, pes-ta rakyat atau diutus menjadi duta budaya mewakili daerah untuk ajang lokal, nasional bahkan internasional. Prestasi yang pernah diukir oleh Pa-yung Sa’bea adalah Juara 1 Festival Olahraga Traditional se-Indonesia di Jakarta tahun 2001. Bahkan se-belumnya diundang tampil di luar

negeri seperti Jerman,Belanda dan singapura.

Untuk melengkapi keindahan seni pa’raga tersebut, dalam setiap pementasan lengkap dengan pakaian adatnya yang dikenal dengan song-kok passapu, baju tutup dan lipa sabbe (sarung) yang terbuat dari kain sutera.

Keberlangsungan olahraga rakyat ini, kini bergantung kepada kita un-tuk terus melestarikan atraksi tradi-sional yang mengharumkan nama daerah di pentas nasional maupun mancanegara. Dukungan pemerin-tah juga dirasa oleh Haji Syamsud-din masih kurang terutama masalah dana “itu ji dibayarki kalau di pang-gil ki tampil” ujarnya, untuk membi-ayai oprasional dengan berharap dari uang ketika mereka tampil tidaklah

cukup dirasakan oleh Syamsuddin. Di sisi lain, secara tidak langsung juga menggiatkan olah raga yang menggunakan bola yang terbuat dari rotan ini. Tujuan jangka panjang be-liau adalah membuat ma’raga men-jadi olahraga yang di pertandingkan secara nasional.

Kini di tengah banyaknya per-mainan moderen membuat ma’raga hampir kekurangan generasi. Anak muda zaman sekarang lebih ter-tarik dengan permainan hedonis daripada tradisi rakyat yang telah berakar dalam kebudayaan kita. Na-mun, meski ma’raga tak populer di kalangan anak muda tetapi kelang-sungannya selalu hadir pada genera-si-generasi berikutnya yang mewarisi permainan jiwa ini. (cubo)

Komunitas

Rahmawaty La’lang

Page 22: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201222

Tradisi budaya sesungguhnya merupakan kekayaan yang

sangat bernilai. Dari sanalah kita terbentuk dan mengakar untuk me-nentukan pandangan hidup. Kita pun dituntut untuk melestarikannya sebagai satu bentuk tanggung jawab generasi.

Di Sulawesi Selatan ini, tradisi budaya yang layak untuk dilestari-kan selalu. Salah satunya adalah seni dan olahraga tradisional Pa’Raga. Ek-sistensi budaya ini patut dijaga. Say-angnya generasi muda saat ini lebih

cenderung terbawa arus budaya mo-deren dan nyaris melupakan tradisi budaya lokal.

Di zaman ini, memang sulit mem-pertahankan budaya lokal ditengah gempuran budaya-budaya asing yang terbawa oleh arus zaman. Oleh kare-nanya dibutuhkan komitmen untuk menjaga agar tradisi dan harta kita yang sangat berharga ini tetap lestari. Salah satu sosok yang patut dihargai karena memiliki komitmen tersebut adalah Bapak Syamsyuddin. Seorang Pa’Raga yang sudah mewarisi dan

TONGKAT GENERASI KETIGA PA’RAGA

melestarikan tradisi ini hingga gen-erasi ketiga dalam keluarganya.

Syamsyuddin, seorang guru PNS yang tinggal di daerah Paran-gloe, Makassar, merupakan salah satu pelestari budaya Pa’Raga di Sulawesi Selatan. Pa’Raga merupakan seni olahraga tradisional asli Sulawesi Se-latan. Memainkan sebuah bola kayu dengan beranggotakan 12 orang, ter-bagi menjadi 6 pemain bola dan 6 lain memainkan musik.

Beliau lahir di Makassar tepatnya tanggal 2 Mei 1966 dan mulai men-

Hj. Syamsuddin, Pembina PERSERA Payung Sa’bea

Figur

Imam Mubin

Page 23: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 23

“Dalam permainan Pa’Raga, ada warisan yang menuntut kita untuk tidak menyombongkan diri. Apal-agi bila sudah mahir dalam bermain raga.

genal Pa’ Raga sejak masih duduk di kelas 3 SD, kala itu ia berumur 7 tahun. Ketertarikannya tidak lepas dari faktor kedekatan dengan sanak keluarga yang juga adalah pewaris Pa’Raga pada saat itu.

Pada awalnya, kelompok Pa’Raga ini terbentuk pada tahun 1982. Dibentuk oleh Daeng Nuddin Sul-lang yang adalah orang Bontoa asli (nama tempat di Makassar). Syamsy-uddin adalah generasi ketiga pewaris dan pelestari budaya Pa’Raga.

Kesadaran akan semakin kurangnya orang-orang yang terger-ak untuk melestarikan budaya ini membuat Bapak berumur 45 ta-hun ini memilih untuk berdiri ko-koh mempertahankan seni olahraga tradisional ini di tengah amukan era globalisasi.

Paparannya bahwa sejak terjun dalam budaya seni Pa’Raga ini pada kelas 3 SD, Pak Syamsyuddin ke-mudian baru bisa memetik sedikit kemahiran ketika di bangku sekolah SMP. Bisa dibayangkan butuh ber-tahun-tahun untuk menguasainya. Dimana salah satu gerakan yang pal-ing susah menurut beliau adalah me-naikkan raga/bola dari kaki hingga bersarang di atas kepala yang terikat oleh passapu’.

Keseharian Syamsyuddin selain sebagai kepala rumah tangga adalah guru olahraga di SD Inpres 2 Bera, kelurahan Bontoa. Bila ada pepa-tah yang mengatakan “Sekali men-dayung, dua tiga pulau terlampaui”, maka itulah yang diterapkan Bapak Syamsyuddin. Sembari mengabdi selama 32 tahun sebagai guru hing-ga sekarang, beliau juga tak henti-hentinya mengajarkan Pa’Raga ini untuk anak muridnya di sekolah.

Adapun kelompok yang dibina oleh Syamsyuddin ini bernama

Kelompok Pa’Raga Payung Sabbea. Bertempat di kelu-rahan Parangloe, kecamatan Tamalanrea. “Alhamdulilla sampai sekarang anggot-anya sudah ada sekitar 40an orang termasuk anak-anak SD yang dilatih sedini mungkin karena badan mereka masih lentur”, ucap Pak Syamsyuddin saat dit-anyai di rumahnya di dae-rah Parangloe.

Dengan ketabahan dalam memimpin serta membina anak-anak dan pria muda dalam men-dalami dunia Pa’Raga, tak lupa juga selalu memberi-kan mereka nasehat-nasehat membangun dalam rukun islam. Latihan tiga kali sem-inggu, dan biasanya ber-tempat di pelataran mesjid dekat rumah Syamsyuddin.

Bapak yang memiliki empat orang anak ini kini memegang peranan pent-ing di kelompok Pa’Raga sebagai pelatih dan pembi-na. Ditegaskan pula bahwa ia akan selalu mewariskan tradisi budaya ini kepada anak laki-lakinya sebagai Pa’Raga muda. Dimana banyak hal yang bisa didapatkannya.

“Dalam permainan Pa’Raga, ada warisan yang menuntut kita untuk tidak menyombongkan diri. Apala-gi bila sudah mahir dalam bermain raga. Itu kalau bisa dibuang jauh-jauh sikap sombong itu, tidak baik untuk diri sendiri dan orang lain!” tutur Syamsyuddin yang begitu se-mangat dalam bercerita soal Pa’Raga.

Kemahiran beliau pada masa mudanya sebagai seorang Pa’Raga

terbukti dari setiap kompetisi yang diikuti dan hasilnya memang selalu membanggakan, yaitu juara 1. Ter-bilang sejak 6 kali kompetisi, beliau dan kelompoknya selalu bertengger di posisi atas.

Selain kompetisi olahraga, Syam-syuddin juga sering mengikuti festi-val-festival olahraga tradisional. Be-berapa di antaranya adalah Festival Olahraga Tradisional di Jakarta pada tahun 2001, di Jerman-Siangapura-Belanda pada tahun 1992 juga dalam

Figur

Page 24: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201224

rangka Festival Olahraga Tradisional, dan di kota Sidrap dalam rangka se-leksi PON XIV.

Pak Syamsyuddin sempat menga-takan, “Dalam seni olahraga Pa’Raga, selain skill yang dilatih, terangkai juga tujuan lain yaitu proses penye-baran agama islam. Proses itu ber-langsung disaat mereka saling duduk berbagi cerita”.

Dalam perjalanan sejarahnya, banyak cerita yang kemudian mun-cul mengenal asal muasal “raga” yang dipakai dalam permainan tradisional ini. Raga atau bola itu sendiri yang dipakai dalam olahraga tradisonal ini disebutkan bahwa asalnya berasal dari tanah Goa, Sulawesi Selatan. Bukan dari tempat lain.

Kelihaian beliau dalam menjelas-

kan segala sesuatu mengenai Pa’Raga memang tidak bisa dipungkiri. Se-but saja penjelasan singkat mengenai permainannya. Satu kelompok pe-main Pa’Raga terdiri dari 12 orang. 6 orang yang memainkan raga/bola-nya dan 6 anggota lain memainkan alat musik berupa gendang, tawa-tawa, dan calun-calun/gong. Sedang kostum yang dipakai para Pa’Raga terdiri dari beberapa bagian. Mu-lai dari Passapa (kain pengikat di kepala), Passa’be (sarung dalam seni Pa’Raga), Boricci (celana pendek), dan Baju Pa’Raga.

Bila ditanya soal kesulitan-kesu-litan yang dialami sampai sekarang, beliau hanya menjawab dengan san-gat polos mengenai masalah dana. Entah itu untuk keperluan dan/

atau pemeliharaan alat-alat dan juga pemenuhan hal material mereka.

Buah karya tangan Bapak Syam-syuddin ternyata menuai tanggapan positif dari masyarakat sekitar. Ban-yak anak-anak kecil dari warga seki-tar yang ikut ambil bagian dalam mempelajari tradisi Pa’Raga ini. Didukung pula oleh aktifnya kelom-pok yang dibina beliau dalam mengi-kuti setiap kegiatan dan undangan yang datang. Lain halnya pun den-gan dukungan dari pemerintah kota setempat khususnya bidang pari-wisata. Mereka juga support dengan adanya kelompok yang dikembang-kan oleh Pak Syamsyuddin.

Satu hal yang tak terlupakan ada-lah misi dan sekaligus harapan dari Syamsyuddin selaku pembina dan pelatih yaitu menjadikan Pa’Raga ini tercium sampai kancah nasional atau bahkan tingkat internasional.

Seiring berjalannya waktu kemu-dian salah satu usaha dalam merang-kai misi itu secara perlahan adalah dengan penerbitan sebuah buku mengenai Pa’Raga yang berisi men-genai sejarah, panduan, dan segala sesuatu tetang Pa’Raga ini. Penye-baran dan pengenalan Pa’Raga pun bisa berkembang tanpa harus terken-dala oleh dimensi ruang dan waktu.

(Tian)

Komunitas

“Dalam seni olahra-ga Pa’Raga, selain skill yang dilatih, terangkai juga tujuan lain yaitu proses penyebaran agama islam. Proses itu berlangsung disaat mereka saling duduk berbagi cerita”.

Imam Mubin

Page 25: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 25

Kunjungi http://www.kifokosmik.com

Galery Film dan Foto Karya Anak KOSMIK

Page 26: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201226

Anda tahu tokoh Wong Fei Hung ,Yo Ko , atau soal kungfu dan biksu sakti dari biara shaolin ? Anda tau komik : tapak sakti, tiger wong , atau kungfu boy ? Itulah bagian dari suatu hal yang disebut : WUXIA ….

Cina memiliki sejarah pan-jang , mulai dari berkua-

sanya dinasti-dinasti feodal hingga pada revolusi yang mengubah Cina menjadi negara “ tirai bambu”. Se-mua sejarah ini terekam dalam ben-tuk tradisi lisan dan tulisan . tradisi chuanqi (prosa-romansa) pada masa dinasti Tang (618-907). Berkembang lebih jauh di masa dinasti Ming dan Qing, kemudian dari tradisi inilah berkembang wuxia (novel-silat).Be-berapa dekade kemudian wuxia pun mengalami berbagai perkembangan, pada mulanya pola bertuturnya

seperti, Grandview, Tian Yi, Univer-sal, dan Nanyue didirikan namun tidak bertahan lama, kemudian stu-dio film legendaries Shaw Brothers dan Golden Harvest pada beberapa dekade berikutnya.

Maraknya studio film, sudah barang tentu berimplikasi pada meningkatnya distribusi produk budaya secara massal dalam hal ini produksi film hongkong, terutama genre wuxia, sejak didirikannya dua “raksasa”perfilman Hong-kong yaitu Shaw Brothers Studio dan Golden Harvest, karena distribusi yang luas wuxia tidak lagi menjadi milik orang cina saja, uxia perlahan men-jelma menjadi sebuah genre film transnasional, bahkan kemudian diakui secara internasional dan bah-kan berpengaruh besar dalam film-film produksi Hollywood beberapa dekade kemudian (lihat film : KILL BILL, THE MATRIX, DRAGON BALL dll)

Kata wuxia dalam bahasa Cina, terdiri dari dua karakter huruf. Yang pertama adalah Wu, digunakan un-tuk mendeskripsikan segala sesuatu yang berhubungan dengan martial arts, perang, atau militer. Karakter

BELAJAR DARI NEGERI CINA

Wuxia : Representasi Heroisme dalam Identitas Kultural Tionghoa

Oleh : Dodi Kurniawan

masih sangat tradisional dan sangat ideal, lalu menjadi lebih realistis dan lebih logis, (paling tidak wuxia pu-nya logika tersendiri yang mungkin bagi orang-orang yang tidak paham budaya Tionghoa akan mengang-gapnya sebagai hal yang tidak masuk akal ) wuxia modern baru benar-be-nar muncul sebagai sebuah literatur populer pada tahun 1920-an. Seperti kebudayaan barat mendefinisikan fiksi dengan makhluk aneh dan peri dalam cerita atau dongeng, maka fiksi wuxia dalam kebudayan tiong-hoa mendifinisikan fiksi dalam genre mereka melalui wujud konkret se-orang pendekar tanpa tanding den-gan kemampuan melayang di udara dan jurus-jurus saktinya .

Sejak perang dunia ke-II tradisi sinema sudah dibawa dari Cina ke Hong Kong Selama era 30-an ini se-lain film-film adaptasi opera bebera-pa genre baru bermunculan yakni, perang (propaganda anti Jepang) serta silat atau yang lazim disebut wuxia. Sejak industri film dipindah-kan ke hongkong , praktis Hong Kong selama beberapa waktu men-jadi surga bagi para pelaku industri asal Shanghai. Studio-studio besar

Artikel

Page 27: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 27

kedua adalah Xia, mengacu pada para tokoh yang ditemukan dalam fiksi wuxia dan juga sinonim un-tuk ksatria dan segala kode falsafah keksatriaan yang melingkupinya. Beberapa variasi terjemahan telah dilakukan atas karakter ini termasuk kata pahlawan, pendekar, pengelana, prajurit, atau ksatria

Cerita silat atau wuxiá (secara harfiah berarti pahlawan ilmu beladi-ri) adalah sub-genre dari semi-fantasi dan cerita silat dalam literatur, televi-si dan dunia perfilman. Di Indonesia tidak seperti di dunia pada umumn-ya, di mana wuxia didominasi oleh penokohan orang-orang dan budaya Tiongkok, (cerita silat di Indonesia banyak dibangun atas unsur-unsur lokal, menciptakan suatu genre (apa-

bila tidak dikatakan baru) tersendiri dari saudaranya wuxia)

Cerita silat secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah manifesto kultural dari kerinduan masyarakat akan sosok dan nilai-nilai kepahla-wanan yang mereka yakini membela kepentingan dan kelemahan mereka seperti kerinduan masyarakat di hutan Sherwood akan sosok Robin Hood atau orang betawi akan sosok si Pitung. Identitas kultural mereka sebagai etnis menjadi perekat dan penguat perasaan itu

Menjadi menarik kemudian bahwa identitas kultural semacam itu hampir dimiliki oleh semua bangsa di penjuru dunia dengan karakteristik beragam. Epos dan ce-rita kepahlawanan selalu saja men-

jadi bagian menarik dari sejarah sebuah bangsa. Mengapa ? karena tiap bangsa selalu punya “ pahlawan “ dan “ kepahlawanan”-nya sendiri . “ Pahlawan” ini menjadi represen-tasi dari nilai-nilai identitas cultural milik satu bangsa atau etnis di selu-ruh dunia ,”pahlawan” atau “ Sosok Heroik” merupakan representasi dari harapan-harapan masyarakat akan kondisi sosial yang lebih baik dari saat ini .

Ironi yang kemudian kerap ter-jadi adalah beberapa dari masyarakat kita cenderung melepaskan identi-tas kulturalnya, mereka cenderung tercerabut jauh dari nilai-nilai yang mengikatnya dalam satu identitas cultural yang utuh disebabkan oleh betapa kerasnya deru mesin –mesin

Dev

iana

rt.c

om

Artikel

Page 28: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201228

budaya/media massa mencampur-aduk dan kemudian mereproduksi segala rupa budaya dalam satu wa-dah dan mencekoki khalayak dengan hasil campur-aduk yang semrawut ini : Pop Culture. Baudrillard bah-kan mengungkapkan bahwa me-dia dengan mudahnya menyatukan masyarakat dalam satu tahapan …dan ditahapan berikutnya masyarakat atau khalayak ini dilepas dan dile-bur begitu saja dalam batas-batas geografis, kultural, religi, politik dan sosial yang kemudian terlihat bias .Masyarakat yang “ menghambur “ ini kemudian menjadi bias identitas kulturalnya : Manusia menjadi tidak “ Manusiawi lagi “.

Paling tidak , inilah sebagian kecil realitas yang meng-ironi dari sebuah

revolusi budaya, hasil dari kapital-isme dan demokrasi, ketika budaya menjadi industri, ketika sekat-sekat budaya semakin hilang batasnya, orang indonesia tidak lagi bangga mengenakan kain batik. Budaya seakan tinggal menjadi sebuah mesin yang dituntut menghasilkan produk-produk kebudayaan kapitalisme, maka hasilnya perlahan tapi pasti nilai –nilai kemanusiaan terkikis oleh naluri mengonsumsi dan ber-implikasi pada penumpulan akal budi . Mengapa ? karena kita tak lagi memiliki pedoman dalam menjalani hidup kita. Kita kehilangan identitas kemanusiaan kita .

Anda khawatir atau tak peduli?...Apapun jawaban anda, reali-

tasnya kemudian adalah kita seka-

rang sedang mengalaminya dan anda bukan satu-satunya orang yang khawatir atau tidak peduli akan re-alitas mengerikan itu. Paling tidak di berbagai penjuru dunia masih ban-yak orang khawatir dengan kondisi super-ngeri itu, akan jadi bagaimana kondisi sebuah bangsa atau etnis ke-tika masyarakat atau individu dalam etnis itu sendiri masih gamang den-gan kondisi serta identitas kultur-alnya sendiri : Orang Jawa tidak lagi bisa berbahasa jawa tapi lebih fasih berbahasa korea misalnya.

Kondisi macam ini bukan tidak dapat diselesaikan pasti ada solusi untuk setidaknya mengurangi efek negatif dari “ krisis budaya” ini. Cina telah menawarkan suatu solusi tepat dalam menyelesaikan persoalan ini,

freew

ebs.c

om

Artikel

Page 29: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 29

solusi cerdas dan cukup membantu menata kembali identitas kelokalan mereka yang sempat “ bias” .

Hal ini, mau tidak mau, mesti di-akui sebagai keberhasilan Cina dalam membangun benteng kokoh dari ser-buan kapitalisme budaya, yang ke-mudian jadi luar biasa. Justru proses pembentengan diri ini menjadi se-buah trend dalam tradisi sinema dan sastra. Terdapat beberapa ratus film dan novel silat yang kemudian men-jadi populer diseluruh dunia bahkan salah satu novel Wuxia klasik ber-judul Return Of The Condor Heroes diterjemahkan dan dibuat komik dalam bahasa Jerman. Cina telah berhasil menghayati nilai-nila hero-isme dalam tradisi kultural mereka menjadi sebuah nilai-nilai universal yang dapat diterima diseluruh dunia. Hal ini tidak lepas dari bagaimana mereka menghormati dan menghar-gai tradisi dan sejarahnya.

Dan walhasil ….?Hingga saat ini “ orang Cina”

tetap menjadi orang Cina dimana-pun mereka berada. Wuxia telah sanggup membentuk benteng ko-koh bagi identitas kelokalan mereka sebagai sebuah etnis, sebagai sebuah bangsa , dan bahkan sebagai sebuah negara yang utuh. Meski modernisasi terus melanda Cina namun hal ini tidak membuat mereka kehilangan identitas ke-Cina-annya

Lalu bagaimana dengan negeri ini?

Sepertinya sudah cukup untuk bernostalgia dengan segala macam perasaan bangga tentang kebesaran dan kekayaan negeri ini yang su-dah disuntikkan ke benak kita sejak bangku sekolah dasar lewat pelajaran PPKN . Negeri ini sedang gamang, kehilangan identitas, kehilangan jati diri sebagai sebuah nations : kita

mungkin masih merasa sebagai se-orang Indonesia,tapi secara esensi ke-indonesiaan kita telah terkikis, dahulu ketika ada upacara bendera dimanapun itu kita akan singgah dan turut memberi hormat pada bendera negara tapi sekarang ? orang etnis tertentu pasti tetap merasa sebagai bagian dari etnis tersebut , tapi soal memahami nilai-nilai ke-etnis-annya ? belum tentu .

Mungkin sebab utamanya adalah kita telah dijajah oleh kapitalisme yang sesungguhnya kita bangun dan suburkan sendiri lewat indus-tri budaya massa. Kita jauh lebih membanggakan kesalahan-kesalahan konyol itu daripada sekedar beru-saha mencari solusi untuk menye-lesaikannya , kita jadi skeptis dan pesimis melihat masa depan karena kita tak punya nilai untuk dijadi-kan pedoman. Semua nilai itu sudah

teridealisasi oleh budaya posmod-ernisme di mana ruang-ruang sosial dipersempit sehingga kita seakan ma-las untuk sekedar menyapa tetangga sebelah dipagi hari saat ingin berang-kat ke kantor.

INI KONYOL BUNG .!!!Apakah kita ingin kehilangan identi-tas kita sebagai sebuah bangsa ? Apa kita ingin kita kehilangan identi-tas cultural kita ?Apa kita ingin pasrah menghadapai dominasi dari penjajahan budaya yang dilakukan oleh kapitalis busuk?Anda hanya perlu menjawabnya den-gan bersegera bertindak .!!! saat ini juga .

# Penulis adalah mahasiswa ju-rusan ilmu komunikasi UNHAS angkatan 2008 #

m.fl

ikie

.com

Artikel

Page 30: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201230

“Download” kata yang san-gat akrab bagi pengguna

internet. Download atau unduh adalah salah satu tools paling sering digunakan dalam proses penjelaja-han di dunia maya. Download juga menjadi kata kunci paling sering digunakan dalam pencarian pada mr. Google. Untuk apa? Yah! Untuk mencari server penyedia layanan pe-nyimpanan data (file sharing), dan tentu untuk mengunduh data-data yang tersedia di server penyimpanan tersebut.

Film, musik, gambar, dan banyak hal lain yang tersedia di dalamnya, ditambah lagi layanan “download ini banyak yang bersifat free atau gratis, namun adapulah yang berba-yar. Semua orang dapat mengakses atau mengunduhnya, bermodal-kan seperangkat komputer, laptop, atau bahkan HP (telpon genggam) . Sekalipun dapat melakukan proses pengunduhan, namun tentu den-gan satu syarat pasti; hardware atau gadget itu terkoneksi atau terhubung dengan layanan penyedia jasa inter-net (broadband, wi-fi, provider).

Begitu banyak tawaran meny-enangkan oleh jasa gratis ini, namun tenyata file sharing meninggalkan beberapa persoalan, khususnya pada

masalah legalitas dan pelanggaran hak cipta. Tentu saja pada kasus pengunduh data berbayar hal ini bu-kanlah masalah, karena kebanyakan data-data tersebut bersifat legal. Yang menjadi masalah, pengguna lebih banyak mencari unduhan free. Na-mun “free” disini merupakan data yang telah berlabel Copyrights se-bagai tanda perlindungan hak cipta yang diakui secara international oleh World Trade Organization(WTO).

Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, na-mun hak cipta berbeda secara men-colok dengan hak kekayaan intele-ktual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena ia bu-kan merupakan hak monopoli un-tuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.

Men-download konten yang me-miliki hak cipta telah menjadi per-soalan di setiap negara di dunia. Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, Pasal 1 butir 1 berbunyi; “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak

ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,”

Dari undang-undang di atas jelas bahwa mengunduh konten yang me-miliki “hak cipta” adalah ilegal dan mungkin menjurus pada pelanggar hak cipta. Mengunduh jelas meru-pakan proses penggandaan. Namun apakah pengguna secara otomatis dapat disalahkan, tentu saja “tidak”. Karena pada dasarnya semua data berbasis digital dapat digandakan, bagaikan sebuah virus penyakit yang berkembang dengan cepat menye-bar dan semakin banyak, data pun seperti itu. Dan itu tidak bisa disele-saikan dengan aturan hak cipta atau undang-undang yang ada, namun merupakan tanggung jawab pengem-bangan teknologi “anti” pembajakan yang tentu sangat sulit untuk diwu-judkan.

Masalah sebenarnya adalah apa-kah file sharing ini merugikan atau menguntungkan? Dilansir dari detik.com sebuah artikel yang berjudul “2 juta lagu bajakan di unduh tiap harinya” ! Luar biasa bukan “pem-bajakan” tersebut, dan lanjut lagi menghasilkan kerugian yang di tak-

File Sharing: Pelanggaran Hak Cipta dan Konsekuensi Data Digital

Teknologi

Page 31: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 31

sir mencapai Rp 4 Triliun bagi industri musik indonesia. Namun ternyata dari musik ilegal industri musik masih mendapat sekitar Rp 1 Triliun keuntungan. Maka bisa kita bayangkan keuntungan yang akan di dapatkan oleh segelintir orang di industri ini jika tidak ada “pembaja-kan” yang di anggap sebagai kejaha-tan pelangaran hak cipta tadi. Indus-tri pun sebenarnya tidak mengalami kerugian besar. Pemeritahan Swiss mengadakan penelitian tentang le-galitas men-download dan hasil dari penelitian tersebut menyebut-kan bahwa undang-undang tersebut tidak dibutuhkan karena pemegang hak cipta tidak benar-benar terkena dampak dari tindakan tersebut.

Dilansir pula pada megindo.net bahwa: “di Swiss diperkirakan 30% warganya men-download konten ba-

jakan. Namun anehnya mereka mengalokasikan dana hiburan se-cara berimbang bahkan lebih tinggi dari orang yang tidak mendownload konten bajakan. Menurut pendapat mereka aspek positif dari pembaja-kan adalah banyak pihak di industri media contohnya, musisi mendapat-kan kemudahan dalam mengiklan-kan karyanya.”

Maka muncul kritikan-kritikan terhadap hak cipta, secara umum da-pat dibedakan menjadi dua kelom-pok. Kelompok pertama berpenda-pat bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkan masyarakat serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan krea-tivitas, demi mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Kelompok ke dua berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang harus diperbaiki agar

sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu kehadiran model baru masyarakat informasi.

Jika melihat keberhasilan proyek perangkat lunak bebas seperti Linux, Mozilla Firefox, dan Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa ciptaan bermutu dapat dibuat tan-pa adanya monopoli sistem sewa berlandaskan hak cipta. Produk-produk tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat persyara-tan lisensinya, yang dirancang un-tuk memastikan kebebasan ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif yang bermotif uang; lisensi semacam itu disebut copyleft atau lisensi per-angkat lunak bebas. Teknologi yang ada seharusnya dipakai untuk hal-hal yang baik bukan untuk membuat fil-ter atau blokade. (Lili & Hajir)

Teknologi

Page 32: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201232

Zaman telah jauh berubah semuanya saling terhubung

dengan dunia digital, tempat dan waktu bukan lagi menjadi masalah untuk berhubungan dan berkomu-nikasi dengan orang lain. Dengan adanya internet semua informasi yang kita butuhkan tersedia untuk diakses. Melalui mesin pencari sep-erti google dan yahoo, kita tinggal mengklik kata kunci informasi yang kita butuhkan kemudian mesin pen-carian web tersebut bekerja dan me-munculkan sepuluh site pada setiap halaman yang mengandung infor-masi yang kita butuhkan. Bisa saja tulisan yang kita buat melalui blog kita yang tampil di halaman google tersebut.Menulis di blog memang berbeda dengan menulis di buku tulis. Tapi pada prinsipnya sama. Blog dan buku tulis digunakan un-tuk menulis. Hanya saja menulis di blog akan segera dibaca banyak orang karena sifatnya online.Tulisan pada blog yang awalnya diniati se-bagai ‘experience sharing’ kemudian

berkembang meluas menjadi ‘knowl-edge sharing’.

Situasi diatas tadi memberikan banyak kesempatan dan pengalaman interaksi yang begitu luas dan men-dalam. Interaksi disini adalah komu-nikasi baik melalui medium on-line communications baik via email, dan blog comments, blog-commenting pada sederet kategori group blog-gers, dan komunitas online seperti mailing list (Yahoogroups, Goog-legroups) dan terus sampai masuk pada jejaring media sosial.Interaksi tersebut itu mulai menjadi intensif seiring dengan mendalamnya tulisan (Blog posting) yang mengedepankan ‘readers benefit’ yaitu manfaat bagi pembaca, perihal apa yang penting untuk diketahui oleh bloggers dan pembaca blog.

Tanpa kita sadari ada banyak pe-nulis blog yang memanfaatkan situ-asi ini untuk dijadikan lahan bisnis yang begitu menggiurkan.Blogger-blogger saling bersaing agar tulisan-nya bisa masuk dihalaman terdepan

mesin pencarian google. Melalui tulisan ini, penulis mencoba berbagi bagamana cara agar tulisan kita da-pat juga masuk dalam search engine. Semakin banyak pengunjung blog kita maka semakin besar peluang kita dalam menghasilkan uang. berikui-ini beberapa tips atau hal-hal yang mempengaruhi kenapa blog kita bisa berada di urutan atas hasil pencarian search engine:

1. Coba ketikkan alamat URL blog kitadi google search kemu-dian tekan Enter. Jika blognya muncul berarti sudah ke indeks di google tapi mungkin masih kalah bersaing dengan yang lain. Dan jika blog kita tidak muncul berarti belum keindex di google.Coba daftarkan blogmua di http://google.com/addurl.

2. "Title Blog", jika membuat blog tentunya kita disuruh untuk membuat title blog. Title blog ini sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap hasil pen-

Mengenal Lebih Dekat Search Engine

sxc.

hu

Teknologi

Page 33: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 33

carian di search engine3. "Title Postingan". Title post-

ingan ini juga hampir sama pentingnya dengan title blog. Dalam membuat title postingan atau judul postingan hendaknya dipikirkan betul, bayangkan kira2 judul apa yang paling co-cok untuk postinganmu. Juga bayangkan kira2 jika km men-cari artikel tentang postingan tersebut, keyword apa yang akan diketikkan di dalam search en-gine. Bayangkan seperti itu.

4. “Tema Blog”, buatlah sebuah blog dengan tema yang spesifik misalnya kita menyukai olahra-ga, maka isilah blog kita dengan informasi-informasi olahraga jangan mencampurkan dengan topic lain

5. "Update Blog", sering-seringlah mengupdate blog setidaknya dalam satu minggu itu sekali ato dua kali. Menulis blog secara rutin dan berkala akan disukai google menurut pengalaman dari blogger-blogger.

6. Blog dilengkapi dengan ber-bagai aksesoris seperti banner animasi dan flash, pemasangan kalender, jam, ip addres check-er, aplikasi pemutar musik dan video, iklan bertebaran dimana-mana, kebanyakan photo serta aksesoris lain yang tidak ber-hubungan dengan tema blog. Itu akanmembuat blog menjadi berat, dan juga blog kita akan kelihatan seperti pasar tradision-al. Usahakan membuat desain blog yang membuat pembaca nyaman dan cepat mengakses blog kita. Cara mengecek ke-cepatan akses blog kita dengan cara membuka layanan google pada: https://developers.google.com/pagespeed/

7. Menebalkan, memiringkan atau memberikan underline pada judul postingan juga memban-tu kita bersaing pada halaman pertama google.

8. "Promosikan blog", promosikan blog ke banyak web/blog, fo-rum, situs-situs promosi gratis,

media jejaring social. Karena semakin banyak link blog kita tersebar maka akan semakin sering pula spider searh engine mengunjungi blog.

9. ”Blogwalking” , melakukan kunjungan ke blog-blog lain dengan memberikan jejak blog kita seperti comment pada tu-lisan mereka sehingga terjadi ak-tivitas saling berkunjung antar sesama blogger.

10. Menulislah dengan gaya sendiri, tidak perlu meniru gaya menulis orang lain. Cobalah untuk men-emukan gaya tulisan sendiri, dengan begitu kita mempun-yai karakteristik, dan keunikan tersendiri di mata pembaca.

Beberapa tips sederhana diatas sudah sangat membantu kita dalam bersaing untuk bisa masuk pada halaman pertama google. Sebenarn-ya masih banyak cara yang yang lebih spesifik itu bisa kita pelajari dengan bantuan google juga tentunya. Sela-mat mencoba.(rizved)

netre

gistr

y.com

Teknologi

Page 34: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201234

Menuliskan kisah pemuda akan menghadirkan hara-

pan revolusioner. Harapan yang aktif menggeliat, seperti filosofi “becom-ing” dari Erich Fromm (pemikir kritis-humanis), yang menghadirkan dinamisasi rasa dan aksi manusia un-tuk mencintai dan dicintai, meng-hargai dan dihargai, serta menyay-angi dan disayangi di semesta raya.

Tulisan ini ingin memaparkan kisah haru-biru para pemuda di Jepang yang baru saja melewati hari libur nasional di Jepang yaitu Seijin no Hi pada Senin, 09/01/2012. Di Jepang, lazimnya setiap Senin kedua di bulan Januari para pemuda yang menginjak usia 20 tahun (hatachi) akan berkumpul untuk merayakan hari libur Seijin no Hi sebagai mo-mentum menuju kedewasaan dan kematangan hidup.

Tak ayal di sekeliling kota di Jepang termasuk Tokyo, Yokohama, dan Nagoya terlihat para pemuda dengan bangga beramai-ramai berja-lan kaki mengenakan pakaian tradis-ional Jepang.

Perempuan tampil cantik me-nawan menggunakan sejenis Kimo-no yang disebut Furisode dipadukan dengan sandal Jepang yang dinamai Zori, sedang pria memakai sejenis kimono gelap yang dikenal sebagai Hakama. Namun sebagai buah dari

kemoderenan Jepang, banyak juga para pemuda pria yang memakai jas modern dipadukan dengan dasi.

Perayaan Seijin no Hi ini dikenal sebagai Seijin-shiki ketika para pe-muda yang telah mengenakan paka-ian tradisional Jepang berkumpul di pagi hari untuk mendengar pidato formal dan sosialisasi tentang “cara menjalani masa muda” di gedung pemerintah setempat.

Momentum ini juga menjadi tan-da yang mengindikasikan bagi setiap pemuda Jepang bahwa mereka telah boleh mengikuti Pemilu, meneguk minum-minuman keras, dan meng-isap rokok di tempat yang diperbo-lehkan.

Para pemuda Jepang sangat menikmati perayaan ini dan terlihat riang-gembira. Mereka menjadikan perayaan ini sebagai saat tepat mem-bangun resolusi di masa muda. Mis-alnya Miura, salah seorang di antara kerumunan gadis yang merayakan Seijin-shiki, ketika ditanya tentang keinginannya di usia seperti ini, dia menjawab ingin bekerja (Shigoto).

Seijin-shiki dapat dilihat sebagai fenomena kebudayaan di Jepang ke-tika para pemuda diberikan ruang untuk berkontemplasi dalam suasana yang menyenangkan untuk men-jadi pribadi yang rasional, disiplin, pekerja keras, dan mencintai tradisi

Jepang.Walaupun, mereka cenderung

terlihat hedonistis dengan berdan-dan mewah dan bersenang-senang, namun sesungguhnya keceriaan mereka dalam perayaan Seijin-shiki merepresentasikan performance ekonomi Jepang yang berkilau, yang memberikan mereka keleluasaan dan kesenangan untuk melukis mimpi dan imajinasi masa depan dalam meraih kehidupan yang lebih baik. Sebab mereka adalah generasi muda Jepang yang memiliki akses ekonomi yang luas dan akan menjadi generasi produktif, pekerja keras, andal, dan profesional untuk membangun neg-eri Sakura.

Imajinasi masa depan kaum muda di Jepang dapat dilihat dari fakta bahwa negara maju dengan usia produktif (15-64 tahun) yang cend-erung menurun 1,02% (844.000 orang ) pada 2009 adalah salah satu negara termakmur dengan perekono-mian terbesar di peringkat ke-2 du-nia setelah Amerika Serikat, dengan pencapaian PDB Nominal sekitar US$ 4,5 triliun dan perekonomian terbesar ke-3 dunia setelah AS dan RRC dalam keseimbangan kemam-puan berbelanja di 2008.

Jepang juga memiliki standar hidup yang tinggi di peringkat ke-8 dalam Indeks Pembangunan Manu-

Imajinasi Kaum Muda Jepang dalam Seijin no Hi

Budaya

Oleh : M.Thaufan Arifuddin

Catatan dari Negeri Sakura

Page 35: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 35

sia dan upah kerja per jam tertinggi di dunia.

Bagaimana dengan pemuda di In-donesia? Di Indonesia, para pemuda cenderung didefinisikan secara ide-ologis dan tunduk pada kekuasaan politis. Secara ideologis, pemuda In-donesia diterjemahkan hanya secara historis sebagai peletak dan peng-gerak revolusi kemerdekaan, ketika mereka berkumpul dari berbagai pu-lau di nusantara dan bersumpah setia pada 28 Oktober 1928 untuk ber-tanah air, berbangsa dan berbahasa Indonesia.

Walaupun imajinasi pemuda In-donesia diperbaharui setiap tanggal 28 Oktober sebagai hari Sumpah Pe-muda, tetapi peran mereka di masa sekarang hilang dan hanya sebagai komoditas politik.

Disorientasi para pemuda Indo-nesia yang cenderung hedonistis dan

akhirnya apatis dengan arah bangsa disebabkan oleh pelemahan karak-ter pemuda oleh kenaifan struktur kekuasaan dan kebijakan politis. Alih-alih memperjelas dan memban-gun karakter pemuda dengan penal-aran yang jernih serta akses yang baik dan merata, status konstitusional saja menjadi problematik.

Dalam Undang-Undang Nomor 40/2009 tentang kepemudaan jelas mengartikan pemuda mulai usia 16 hingga 30 tahun, namun dalam UU Nomor 23/3003 tentang Perlindun-gan anak menyatakan usia di bawah 18 tahun masih dikategorikan anak-anak.

Celakanya, UU Pemilu malah menyeruduk dengan mengikutkan usia 17 tahun dalam Pemilu tanpa ada kejelasan apakah di usia itu masih anak-anak atau telah menjadi pemuda. Hal ini bukan hanya harus

diperjelas demi keadilan tetapi juga karena masa muda harus disadari dengan penuh tanggung jawab dan bukan komoditas politik sehingga menjadi karakter pemuda Indonesia.

Lebih jauh, sudah seharusnya pe-muda didefinisikan berdasarkan ke-hendak zaman mereka, keberlanju-tan sejarah, dan peran mereka dalam orientasi hidup yang jelas. Negara pun selayaknya telah menyediakan akses ekonomi yang luas agar men-jadi imajinasi ruang kreativitas dan profesionalitas mereka kelak.

Mungkin dengan cara ini, hari Sumpah Pemuda akan dirayakan pemuda Indonesia lebih bermakna seperti imajinasi Kaum Muda Jepang dalam Seijin no Hi sebagai titik kem-bali menjadi rasional, disiplin, peker-ja keras, dan mencintai tradisi.

devi

anar

t.com

Budaya

Page 36: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201236

Sebagai putra-putri daerah, kita patut bangga dengan segala

budaya yang dimiliki Kota Daeng. Banyak sosok luar biasa dari negeri Angin Mammiri yang diakui oleh dunia termasuk yang tidak asing ada-lah Sultan Hasanuddin yang dijuluki ayam jantan dari Timur. Namun mungkin tidak banyak dari kita yang mengetahui bahwa ada lagi sosok he-bat yang lahir di tanah ini dengan ke-mampuan menguasai tuju bahasa dan mendapat pengakuan Pemerintah

Yang Nyaris Terlupakan :Museum Karaeng Pattingaloang

Hindia-Belanda karena kecerdasan dan kepandaiannya. Sosok tersebut adalah Karaeng Pattingaloang,yang tidak lain adalah guru dari Sultan Hasanuddin, namanya diabadaikan pada sebuah museum yang tidak sepopuler tempat-tempat lain, Mu-seum Karaeng Pattingaloang, wujud penghargaan dan penampung war-isan sejarah yang nyaris terlupakan.

Sejuk dan rindang. Dua kata ini serasa sangat menggambarkan sua-sana ketika saya memasuki kawasan

Kompleks Somba Opu di bilangan Jalan Daeng Tata, Makassar. Men-elusuri jalanan di dalam kompleks ini seakan bertamasya ke berbagai tempat di Provinsi Sulawesi Sela-tan. Rumah-rumah penduduk di kawasan ini semakin menambah ke-san hangatnya masyarakat Makassar. Senyum ramah dan sapaan bermak-na mengiringi langkahku menuju ke tempat yang lebih dalam lagi di sudut kompleks ini.

Dari jauh terlihat bangunan asri

Budaya

Maydelin

Page 37: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 37

nan hijau yang berdiri dengan ko-koh. Museum Karaeng Pattingal-loang. Begitu tulisan yang kubaca di papan hijau di depan bangunan ini. Walaupun dari luar dapat terlihat bahwa usia bangunan ini sudah tidak muda lagi, namun kesan kuat tetap nampak.

Di depan bangunan itu terpamer sebuah meriam hasil rekonstruksi oleh H. Muchtar Ibrahim Daeng Naba, seorang siswa STM (kini dike-nal dengan istilah SMK) Pemban-gunan pada tahun 1991. Meriam dengan panjang sekitar 2 meter ini sungguh elok, apalagi setelah dire-konstruksi oleh Daeng Naba yang berupa penambahan roda dan dudu-

kan dari besi.Saya pun melangkahkan kaki

menuju tangga bangunan ini dan langsung disambut senyum ramah para petugas UPTD Benteng Somba Opu Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka mempersilahkanku duduk dan mempertemukanku dengan Kepala UPTD, H.A.Hasnul. Beliau menyambutku ramah dan kami pun mulai berbincang-bincang.

“Museum ini sudah berdiri sejak awal tahun 1990, jadi usianya kini sudah lebih dari 20 tahun. Pada hari libur, biasanya ramai dikunjungi anak sekolah maupun mahasiswa, juga orang-orang yang ingin meneliti ten-tang museum ini,” ujar Hasnul ketika aku menemui beliau di ruangannya, Kamis, 15 Desember 2011 yang lalu. Beliau bercerita lebih lanjut tentang keadaan museum ini yang memang masih perlu perbaikan, khususnya di bidang keamanan. “Keamanannya masih kurang, mungkin perlu ditam-bahkan kamera CCTV,” katanya.

Setelah berbincang-bincang sejenak, aku pun undur diri untuk masuk melihat-kihat isi museum. Beliau lalu memanggil seorang pegawainya untuk menemaniku.

Ketika memasuki ruangan lantai 1 museum, saya langsung takjub. Sudah lama sekali tak berkunjung ke museum, sehingga kunjungan kali ini benar-benar mengobati rasa rindu terhadap karya seni dan budaya masyarakat Makassar. Di dalam mu-seum, terdapat berbagai etalase kaca yang berisikan bermacam-macam benda yang ditemukan di kawasan Kompleks Somba Opu. Mulai dari batu bata yang berisikan jejak-jejak, peluru serta artefak-artefak kuno lainnya, dan juga tampilan berbagai pakaian adat dari suku-suku yang ada di Sulawei Selatan.

Ada satu hal yang menarik per-hatianku. Sebuah lukisan tampak di langit-langit lantai 1. Dengan ukuran kurang lebih 2x3 meter , ter-gambar lukisan Benteng Somba Opu pada zaman dahulu yang dikenal se-

“Museum ini sudah berdiri sejak awal tahun 1990, jadi usianya kini sudah lebih dari 20 ta-hun

Budaya

Maydelin

Page 38: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201238

bagai salah satu bandar niaga teramai di Asia ketika itu. Lukisan ini juga menggambarkan betapa jayanya kota Makassar yang merupakan salah satu kota bertaraf internasional yang dis-egani. Jika ingin melihatnya dengan jelas, selain dengan menengadahkan kepala ke atas, dapat juga melihatnya menggunakan cermin berukuran be-sar yang berada di tangah ruangan, yang memantulkan gambar lukisan detail.

“Lewat lukisan ini dapat terlihat jelas bagaimana jayanya Kera-jaan Gowa. Tetapi setelah Perang Gowa_belanda pada tahun 1699, akh-irnya lahirlah perjanjian Bongaya dan penghan-curan Benteng Somba Opu ini,”ungkap Abdul Rahim, Kasubag.UPTD Pengelola Somba Opu. Beliau juga menjelaskan tentang penamaan mu-seum ini. Dinamakan Museum Karaeng Pattin-galloang karena ini meru-pakan bentuk apresiasi terhadap sosok Karaeng Pattingaloang yang me-mang dikenal cerdas dan pandai, bukan saja di Kerajaan Gowa, tapi juga sampai ke Belanda. Bah-kan kabarnya pemerin-

tah Hindia Belanda pernah memberikan penghargaan berupa Globe untuk tokoh cerdas tersebut.

Hal ini dapat dilihat dengan je-las di dalam museum. Pada dind-ing museum terdapatbingkai yang berisi tulisan yang menjelaskan ten-tang Karaeng Pattingaloang. Tulisan tersebut dibuat oleh Prof. Mr. Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid yang ada-lah mantan Rektor Universitas 45. Tulisan ini pernah dibacakan pada acara baca Puisi Pahlawan pada 10 November 1993.

Menelisik lebih jauh, di dalam museum terdapat berbagai batuu bata dengan bermacam motif. Ada yang berlubang-lubang dengan corak tersendiri yang jika diperhati-kan mungkin berhubungan dengan penghitungan hari baik-buruk yang menjadi kepercayaan masyarakat

pada masa itu. Lalu ada juga ang bermotif menyerupai binatang, sep-erti kaki ayam ataupun ekor ular. Ini juga sungguh menarik perhatianku. Bagaimana bisa sehingga binatang tersebut sampai tercetak di batu bata ?

Penelusuran pun kulanjutkan ke lantai 2 museum ini. Ternyata masih banyak benda di sini. Benda yang dipamerkan kebanyakan adalah tembikar dan keramik atau porselin yang ditemukan ketika Dr. Muchtar Paeni sedang melakukan ekskavasi di sekitar situs benteng Somba Opu mulai tahun 1989. Berbagai jenis dan ukuran serta bentuk gerabah dan keramik yang dipamerkan merupa-kan hasil karya masyarakat Kerajaan Gowa maupun hasil pertukaran den-gan pedagang yang datang ke Bandar Makassar. Benda-benda tersebut ada yang dipakai dalam upacara adat yang digelar di lingkup Kerajaan Gowa.

Setelah melihat seluruh koleksi di museum Karaeng Pattingalloang, saya merasa sangat puas. Senyum ramah kembali kudapat ketika men-uruni anak tangga dan hendak ber-pamitan pulang. Ketika berjalan ke depan halaman museum ini, terlihat sebuah papan bertuliskan nama-na-ma bulan yang digunakan di Sulawe-si selatan sebelum tahun 1520. Tam-pak nama 12 bulan bertuliskan huruf lontara.

Saya lalu meneruskan perjalanan. Ketika sampai di depan kompleks museum, saya membalikkan badan, memandangi museum itu sekali lagi. Sungguh peninggalan budaya yang menarik. Anda pun harus mengun-jungi tempat ini. (Idel)

Budaya

“...setelah Perang Gowa_belanda pada tahun 1699, akhirnya lahirlah perjanjian Bon-gaya dan penghancuran Benteng Somba Opu...”

Page 39: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 39

Sekelompok mahasiswa ber-jalan menyusuri koridor dari

arah FIS VIII menuju ruang kuliah di FIS IV. Beberapa bangunan den-gan rapi berjejer di sepanjang lorong. Sejauh mata memandang terlihat kesibukan mahasiswa. Tak ada aba-aba secara tegas yang diberikan ke-pada setiap mahasiswa yang berlalu lalang di sepanjang koridor, dengan refleks dan sigap, mereka menutup hidung. Aroma tak sedap menusuk penciuman.

Udara dingin menembus tu-lang seantero warga Tamalanrea, tak terkecuali untuk seluruh warga FISIP. Rinai hujan membasahi kam-pus UNHAS. Koridor FISIP bert-aburan mahasiswa dengan kesibu-

kannya masing-masing.Koridor FISIP sedang ramai. Ra-

mai dengan mulai lagi bergeraknya Mahasiswa menyambut hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang tepat diperingati pada hari Sabtu, 10 De-sember. Rekaman gambar dengan berbagai keadaan yang berhasil di-abadikan sedang−betul-betul−mera-maikan koridor. Berbagai potret tentang semakin buramnya arti dari sesuatu yang sepakat disebut Hak Asasi Manusia.

Keramaian koridor tidak hanya terhenti pada deretan gambar yang berbaris rapi di dinding. Di atas se-buah kursi, di perempatan koridor yang membelah fakultas disalah satu sudutnya bertengger sebuah kardus.

Kardus bekas tersebut disulap men-jadi “celengan”. Salah satu sisinya bertuliskan “KOIN UNTUK WC SOSPOL”.

Sejak hari kamis, 1 Desember 2011. Sudah tidak terhitung lagi ada berapa pasang mata yang membiar-kan sejenak waktunya untuk melirik ke arah kotak yang bertengger den-gan rapi dan memecah jalan di kori-dor FISIP tersebut. Kotak “KOIN UNTUK WC SOSPOL” digerak-kan oleh sekelompok Mahasiswa SOSPOL angkatan 2008 yang men-gaku berasal dari Forum Mahasiswa Ingin Buang Air.

Forum ini terbentuk atas dasar ketidaknyamanan yang timbul dan berlarut-larut dari keberadaan WC

KOIN UNTUK WC SOSPOL

Kampus

Muhammad Idham Ama

Page 40: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201240

yang jauh dari harapan seperti tidak layak pakai dan berbau. Sungguh, Aroma mencengkram itu pun se-makin menakutkan dari hari ke hari. Kegusaran indera penciuman pun se-makin menjadi-jadi.

Andi Mardaya (22) salah seorang mahasiswa dari Jurusan Sosiologi yang juga merupakan perwakilan dari Forum Mahasiswa Ingin Buang Air secara tidak langsung mengakui bahwa keberadaan kardus yang bertuliskan “KOIN UNTUK WC SOSPOL” tersebut merupakan se-buah gerakan yang menjadi bukti tidak puasnya mahasiswa terhadap ketersediaan sarana dan pra sarana yang terdapat di fakultas. Ada ban-yak ide yang ditawarkan dari bebera-pa warga FISIP untuk menyadarkan banyak pihak kalau keadaan WC tersebut betul-betul sudah sangat mengganggu seperti usulan menga-men untuk mengumpulkan dana. Akan tetapi, ide pemasangan kardus inilah yang dipilih. “Kita main di wilayah SOSPOL saja daripada main di luar”,ungkapnya.

Kardus “KOIN UNTUK WC SOSPOL” diharapkan mampu men-dapat respond positif dari seluruh warga FISIP, terlebih untuk pihak bi-rokrat fakultas. Saat ditanya menge-nai respond dari warga FISIP secara keseluruhan, semenjak bertenggern-ya kardus terebut, Daya begitulah pria berkulit coklat, dengan postur tubuh sedang biasanya akrab disapa mengatakan bahwa ternyata apa yang dilakukan oleh Forum Mahasiswa Ingin Buang Air tersebut mendapat respond positif. Jumlah rupiah yang menghiasi kardus itu pun kian hari kian bertambah. Daya menegaskan bahwa tidak ada kesan pemaksaan di dalamnya. “Tidak ada target yang dipatok”, katanya. Berapapun hasil

yang didapatkan, rencanan-ya pada Senin, 12 Desem-ber hasil yang didapatkan tersebut akan diperlihatkan kepada pihak Rektorat.

Ditambahkannya, Fo-rum Mahasiswa Ingin Buang Air langsung mel-akukan pertemuan den-gan pihak Rektorat karena menurutnya pihak Fakultas dalam hal ini Wakil Dekan II dinilai lamban dalam menyelesaikan masalah WC SOSPOL yang sudah tidak layak pakai, “Namun jika tidak ada tindak lanjut dari pihak birokrat kam-pus, kami sendiri yang akan mengerjakan WC SOSPOL dengan dana yang telah ter-kumpul”.

Fadly, mahasiswa Ilmu Komunikasi ini mengatakan bahwa dirinya merasa begitu tergang-gu dengan keadaan WC SOSPOL saat ini. “Yah..terganggu lah. Mulai dari bau yang kurang mengenakkan, ditambah susah nyari tempat buang air. Imbasnya yaaa bisa mengganggu proses perkuliahan lah” ujarnya.

Hal senada pun diungkapkan oleh Vian. Mahasiswa Jurusan Ad-ministrasi yang baru saja menginjak-kan kaki di dunia “permahasiswaan” ini mengatakan bahwa WC SOSPOL kurang terawat. Saat ditanya sebab musababnya, dengan tegas lelaki berkulit cokelat ini berkata “hal ini disebabkan karena kurangnya per-hatian dari pihak fakultas menge-nai sarana kampus. Tapi, kesalahan tidak sepenuhnya dilimpahkan ke-pada pihak fakultas. Dari mahasiswa sendiri, seharusnya bisa menyadari akan pentingnya merawat kebersi-han dan kenyamanan sarana umum,

seperti WC”, tutupnya.Sementara itu, pada kesempatan

yang berbeda Prof. DR. Supriadi Hamdat, MA selaku Wakil Dekan II FISIP UNHAS yang bertanggung jawab pada sarana dan prasarana mengatakan bahwa salah satu ham-batannya adalah keterbatasan dana, dimana sesungguhnya masalah WC sudah diprogramkan untuk direha-bilitasi, hanya saja dilakukan secara bertahap. “Tahap pertama dilaku-kan pada ruang perkuliahan yang saat ini sudah berjalan sedangkan yang berkaitan dengan toilet sesung-guhnya rehabilitasi total baru akan

“...jika tidak ada tindak lanjut dari pihak birokrat kampus, kami sendiri yang akan mengerjakan WC SOSPOL.”

Kampus

Page 41: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 41

dilaksanakan pada 2012 di FIS IV dan VIII” ungkapnya. Hal tersebut disampaikan beliau setelah melaku-kan peninjauan langsung dimana memang tidak dimungkinkan lagi untuk dilakukannya “tambal sulam” pada WC SOSPOL melainkan harus dilakukan perbaikan total. Diduga saluran WC tersebut sudah mampet dan bak airnya lebih tinggi sehingga sering tergenang dan menyebabkan bau tidak sedap menyeruak di sekitar koridor.

Pertemuan pun dilakukan den-gan Wakil Rektor II khusus untuk membicarakan hal ini yang telah menjadi berita disalah satu media cetak di Makassar. Dari hasil perte-muan tersebut, pihak rektorat ber-janji membiayai sekaligus membena-hi toilet di FIS.

Terkait dengan anggapan yang mengatakan bahwa pihak fakultas yang dinilai lamban dalam menye-

lasaikan masalah WC SOSOPOL, Wakil De-kan II ini mengatakan bahwa sebenarnya ada hal yang tidak dimengerti oleh mahasiswa tentang mekanisme keuangan, dimana dalam hal mere-habilitasi sesuatu itu me-miliki tahapan-tahapan dan tidak serta merta seperti itu oleh karena itulah pimpinan fakultas dengan sangat antusias telah melakukan upaya-upaya strategis dengan tetap mengingatkan dan terus meminta pihak rektorat untuk menin-daklanjuti masalah ini. “Jadi bukan fakultas ini lamban atau apa tapi sudah berusaha hanya

persoalannya untuk me-kanisme seperti itu ada tahapannya tidak semudah membalikkan telapak tangan”, tangkasnya.

Anggaran untuk rehabilitasi total WC FIS IV dan VII sebenarnya su-dah ada di tahun 2012 dimana ang-garannya tidak mungkin dilakukan untuk sekarang, hanya saja untuk tahun 2011 pihak fakultas terlebih dahulu memprioritaskan perbaikan pada WC akademik. Rencananya untuk tahun 2012 selain WC FIS IV dan VIII, wc yang dimanfaatkan sebagai gudang juga diperintahkan untuk difungsikan kembali. “Kalau bisa mudah-mudahan itu yang pal-ing terbaik di FISIP sekaligus di UNHAS”, harapnya.

Menurut beliau, persoalan sesungguhnya adalah kesabaran dalam menunggu waktu, bukan be-rarti fakultas pasif karena pada bulan lalu pihak fakultas telah meninjau

namun karena revisi anggaran yang besar tidak memungkinkan untuk dilakukannya perbaikan untuk ta-hun ini. Selanjutnya terkait dengan Cleaning Service sesungguhnya mer-upakan wewenang pihak rektorat dalam menempatkan di fakultas masing-masing tapi pihak fakultas tetap bisa mendapatkan rincian tu-gas masing-masing cleaning service. “Kedepannya akan ditempatkan petugas khusus untuk membersih-kan toilet agar tidak bau”.

Sekali lagi, Wakil Dekan II me-nekankan bahwa pernyataan yang menyatakan bahwa Fakultas lam-ban tidaklah benar karena ini hanya masalah kesabaran, dimana penin-jauan 5 bulan lalu telah dilakukan hanya saja anggaran untuk rehab total tidak ada dengan pertimbangan pemborosan jika dilakukan “tambal sulam” pada toilet SOSPOL. Salah satu kesimpulan yang telah dibuat pada saat itu “kedepannya akan dibuatkan bak penampungan baru sekaligus merehab wc atas bawah su-paya lebih fungsional, lebih indah, lebih nyaman, dan juga lebih harum” tambahnya.

Dana yang terkumpul senilai Rp. 205000 dari aksi Forum Mahasiswa Ingin Buang Air ini akhirnya dis-erahkan kepada pihak pengelolah Fakultas. Meskipun hasilnya tidak seberapa namun dengan gabungan dana dari pihak rektorat perbaikan toilet pun dilaksanakan. Entah ka-rena anggaran yang memang baru dicairkan nyaris bersamaan dengan aksi atau karena pihak yang terkait merasa tersindir dengan aksi Forum Mahasiswa Ingin Buang Air ini. Apa-pun alasannya adalah tugas seluruh warga untuk menjaga toilet agar tetap nyaman untuk digunakan. (ayu-indah)

Kampus

Page 42: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201242

Siap, satu... dua.. tiga...Begitulah aba-aba manajer

Klub kine dan Fotografi (KIFO) pe-riode 2008-2009, Hariandi Hafid, ketika memotret peserta hunting yang telah selesai berkemas dan ber-siap menuju lokasi hunting. Kali ini, beberapa tempat di kabupaten Sinjai menjadi subjek yang dipilih dengan mengambil tema “hunting wisata kabupaten Sinjai”. Berdasarkan jad-wal, pemotretan dilaksanakan selama tiga hari (11-13 november 2011). Kegiatan semacam ini telah menjadi

agenda tahunan yang dilakukan se-tiap periode kepengurusan. Kabupaten Sinjai yang menjadi tem-pat tujuan terletak pada posisi 50 19’ 30” sampai 50 36’ 47” Lintang Se-latan dan 1190 48’ 30” sampai 1200 0’ 0” Bujur Timur di bagian timur Sulawesi Selatan. Perjalanan menuju kabupaten ini dapat ditempuh mela-lui dua jalur yang berbeda dari kota Makassar. Jalur maros-bone-sinjai dapat ditempuh dengan rentang waktu tujuh jam perjalanan. Sedan-gkan, jalur gowa-sinjai dapat ditem-

puh selama enam jam perjalanan. Kami memilih jalur pertama sebagai jalur keberangkatan dan jalur kedua sebagai jalur pulang. Namun, jalur apapun yang akan kita tempuh me-nawarkan kesenangan yang sama, pemandangan indah dan perbukitan hijau yang tersaji hampir disepan-jang perjalanan. Setelah berpamitan dan doa bersa-ma, rombongan meninggalkan kota Makassar pada pukul empat sore. Se-bagian menggunakan kendaraan ber-motor beroda dua dan sebagian lain-

MEMOTRET SINJAI: dari Taman Purba Hingga Gunung Perak

Jelajah Negeri

Imam Mubin

Page 43: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 43

nya dengan menggunakan mobil.Pukul sepuluh malam lewat kami

tiba di kabupaten Sinjai. Papan-papan PKK yang terpasang hampir di setiap rumah yang bertuliskan sinjai bersatu menyambut kedata-ngan kami. Berisikan perkenalan kepada yang membacanya bahwa masyarakat Sinjai adalah masyarakat yang ”bersatu”. Selain papan tadi, kita juga akan mendapati sejumlah tugu yang tersebar di beberapa ruas jalan sebagai lambang pembangunan kabupaten Sinjai .

Pada hari pertama, para peserta mengunjungi rumah adat Karam-puang yang terletak di sebelah utara kabupaten Sinjai. Perjalanan menuju tempat ini ditempuh selama 1 jam dari Gojeng dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Di sini kami didampingi oleh seorang pemandu dari Dinas Pari-wisata kabupaten sinjai. Ia menem-ani kami menuju rumah kepala adat masyarakat Karampuang. Sayangnya beliau sedang berada di kebun hing-ga kami tak sempat bertemu. Di ru-mah kami disambut oleh istri dan anaknya.

Ketika pertama kali memasuki rumah, kita langsung mendapati dapur dengan peralatan masak tradi-sional khas masyarakat Karampuang. Diruangan tempat menjamu tamu, terdapat sebatang tiang yang ter-bungkus kain putih berukir. Tiang ini merupakan pusar rumah (posi’ bola) sebagai simbol tiang utama dari rumah. Rumah adat ini juga diban-gun tanpa menggunakan paku.

Seusai berbincang dengan pen-duduk Karampuang dan mengab-adikan momen-momen di sana, para peserta kembali ke kota Sinjai dan selanjutnya menuju ke tempat lain di kabupaten ini.

Taman purba Gojeng, merupa-kan lokasi pemotretan ke dua. Ter-letak tak jauh dari kota Sinjai dan dapat ditempuh selama 15 menit. Ketika memasuki pintu gerbang ta-man, tak akan terlihat kesan purba dari tempat ini. Hal tersebut dika-renakan pintu ini terbuat dari be-

ton. Demikian halnya jalan setapak masuk, juga menggunakan beton. Di dalam taman banyak terdapat ayu-nan dan lenggak-lenggok yang terse-bar di setiap sudutnya.

Sisi purba dari taman akan kita saksikan ketika menapaki anak-anak tangga jalan setapak yang menuju ke

Jelajah Negeri

Azwar Marzuki

Page 44: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201244

puncak tempat ini. Saat berada di puncak, kita dapat melihat sejumlah batu yang tersusun berjejer menyeru-pai kuburan. Kita juga dapat men-yaksikan landscape kota Sinjai dan pulau-pulau yang terletak di sebelah luar kabupaten Sinjai.

Tak terasa malam hampir tiba, tapi semangat para peserta tak su-rut untuk melanjutkan pemotretan. Begitu meninggalkan Gojeng, per-jalanan berlanjut menuju tempat bernama Lappa, lokasi pelelangan ikan yang sangat ramai di kota Sin-jai. Seperti tempat pelelangan ikan di tempat lain, di sini kita juga akan bertemu hamparan ikan yang me-limpah ruah, hiruk pikuk penjual dan pembeli ikan, buruh nelayan, dan juragan-juragan kapal.

Kita juga dapat melihat kerlap-kerlip lampu kapal yang bersandar di sekitar lokasi pelelangan. Ikan-ikan di tempat ini merupakan hasil tang-kapan dari laut Flores, Raha, hingga Maluku.

Saking larutnya mengabadikan momen di lokasi pelelangan, rom-bongan hunting terlambat kembali ke kota Sinjai. Karena semangat

hunting yang menggebu-gebui, per-jalanan dilanjutkan menuju keba-gian barat kota sinjai.

Gunung Perak merupakan nama desa yang terletak dipegunungan. sekaligus menjadi lokasi terakhir pemotretan. Letaknya yang cukup tinggi membuat suhu di desa ini begitu dingin, terasa di kulit hingga tulang.

Perjalanan dilakukan di malam hari. Rombongan menuju desa ini terbagi dua. Rombongan pertama yang terlebih dahulu menginap di rumah pak desa, Yunus. Rombongan ke dua menginap di rumah panre’ (penempa) besi bernama Amir. Ia adalah pimpinan dari kelompok pandai besi di gunung perak.

Mayoritas penduduk Gunung Perak berprofesi sebagai petani, sayur merupakan tanaman utama mereka. Di sini rombongan menemui banyak hal yang menarik. Hal menarik per-tama, pemandangan hamparan padi yang tersusun dari puncak hingga lereng gunung, tak kalah indah den-gan terasering di Bali. Selain itu, ak-tivitas masyarakat, khususnya kaum perempuan, sangat sayang untuk

tidak diabadikan. Di tempat ini, kita akan menyaksikan para perempuan penempa besi. Peralatan seperti pa-rang, spatula, dan peralatan rumah tangga lainnya adalah hasil kerja mereka, kerja yang biasanya dikerja-kan oleh kaum adam ini.

Melakukan aktifitas sebagai wan-ita pandai besi bukan berarti mereka melupakan tugas utama mereka seba-gai ibu rumah tangga seperti mema-sak dan menghidangkan makanan di meja makan. Selain membuat per-alatan tadi, di tempat menempa besi yang panas itu mereka manfaatkan sebagai tempat untuk menanak nasi, memasak sayur, serta kegiatan dapur lainnya. Sungguh suatu pengabdian yang sangat hebat.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul tiga sore. Puas rasanya ber-cengkrama dengan masyarakat Gu-nung Perak yang sangat ramah. Tak terasa perjalanan tiga hari di kabu-paten Sinjai segera berakhir. Hunting pun ditutup dengan foto bersama to-koh masyarakat dari Gunung Perak. (ERBON)

Jelajah Negeri

Azwar Marzuki

Page 45: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 45

Udara malam cukup menu-suk malam itu, tanggal 23

Desember 2011. Sisa hujan beberapa jam sebelumnya masih terasa. Daun-daun yang masih bertengger erat di dahan pohon, bahkan yang sudah meranggas pun masih basah. Seakan memberi tanda bahwa hujan sempat menyapa.

Koridor KOSMIK (Korps Maha-siswa Ilmu Komunikasi), Universitas Hasanuddin cukup padat dengan kerumunan anak manusia dengan segala remeh temehnya. Bukan un-tuk mengikuti proses perkuliahan tentunya sudah terlalu malam dan proses perkuliahan pun tengah be-

rada di ujung semester. Mereka,kami berkumpul untuk memulai perjala-nan ke Tana Toraja, sebagai rangka-ian Diskusi Nasional dengan tema “Penguatan Internal Lembaga dalam Era Demokrasi” yang terlaksana oleh kerja sama antara IMIKI (Ika-tan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia), KOSMIK UNHAS, dan HIMAKOM UNIFA.

Beberapa mahasiswa Ilmu Ko-munikasi yang berasal dari berbagai almamater yang berbeda berkumpul malam itu, mencoba menciptakan kehangatan dengan berbagai perbin-cangan yang alot, paling tidak untuk diri mereka masing-masing.

Pemberitahuan dan doa yang ter-panjat menjadi ceremony yang di-lakukan sebelum akhirnya kami naik ke Bus. Ya, tiga bus berbaris dengan gagah malam itu. Perjalanan dimu-lai setelah jarum jam betul-betul melenggang pasti melewati pukul 22.00 WITA. Bagi sebagian orang,

ini sudah menjadi waktu yang paling empuk untuk menghabiskan waktu bersama bantal tentunya. Tapi, tidak untuk malam ini.

Berbagai aktifitas dilakukan un-tuk menikmati perjalanan. Meski-pun, mayoritas memilih untuk menikmati perjalan di alam mimpi. Ya, untuk sebagian orang menikmati hawa malam yang dingin di luar sana yang mencoba merasuk ganas melalui AC dalam bus serta merasa-kan gerakan bus yang sudah mulai mengikuti lekukan jalan yang mulai tidak berperasaan dengan mata yang terpejam, jauh lebih menyenangkan. Namun untuk sebagian lagi, tidak demikian halnya.

Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Enrekang. Hingga keesokan harinya, saat langit mulai terang, dan bagian paling ujung Kabupaten En-rekang bersiap melepas kami, seakan memberi isyarat untuk mengucap salam saat badan bus mulus mele-

Perjalanan ke Toraja bukan tentang bagaimana waktu terbunuh, bukan tentang bagaimana lelah terkuras, tapi lebih kepada sebuah proses untuk menemukan Negeri di atas Awan

TANA TORAJA: NEGERI DI ATAS AWAN

Jelajah Negeri

Sartriani Tahir

Page 46: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201246

wati sebuah gerbang yang bertulis-kan ”Tana Toraja”. Selamat datang di Bumi Lakipadada.

“Kenapa kalian senang sekali lihat kabut, padahal itu tandanya dingin”, kalimat itu yang diucapkan oleh Pipi, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi UNHAS. Perkataanya merupakan ketidak setujuan atas pe-mandangan kabut yang sedari tadi, saya dan teman saya puji. Maklum saja, dia adalah seseorang yang sulit bersahabat dengan udara dingin.

Ya, matahari yang belum nampak sempurna di langit Tana Toraja pagi itu, membuat kabut nampak jelas. Menyelinap masuk di sela-sela rant-ing pohon yang berbaris rapi di sisi kiri maupun kanan. Seakan mem-beri isyarat bahwa jalan yang kami lalui ini adalah milik mereka, kami berada di tengah-tengah, mungkin saja, mereka siap menelan kami. Ka-but, pohon dengan perpaduan warna alam tercipta begitu mempesona pagi itu. Sesuatu yang sangat sulit ditemukan di kota-kota besar saat ini. Bagaimana tidak, pohon-pohon digantikan posisinya oleh gedung-gedung yang dengan gagah menan-tang langit.

Roda bus terus berputar, hingga memasuki daerah Makale. Di tempat inilah, para rombongan mahasiswa Ilmu Komunikasi akan menginap hingga tanggal 27 Desember.

Pada sore hari, setelah melepas lelah dengan melanjutkan tidur yang sempat terpotong, kami pun bersiap melanjutkan kegiatan yang telah di-jadwalkan. Sore disambut dengan hujan yang mengguyur dengan san-tainya.

Agenda selanjutnya adalah dis-kusi nasional. Langkah kami men-coba bersahabat dengan rintik-rintik hujan yang membuat genangan air

di atas aspal disepanjang jalan dari wisma menuju aula tempat diskusi. Sambil sedikit berlari kecil, me-nantang dingin.

Diskusi berlangsung hingga waktu melewati pukul 20.00 WITA. Sua-sana ramai, mewarnai Makale. Langit malam yang gelap, tiba-tiba beru-bah menjadi lautan warna-warna cerah dengan suara ledakan kembang api di mana-mana. Sangat indah. Danau buatan di tengah kota menjadi pusat kerama-ian. Ya, pesta kembang api menjadi rangkaian seremo-nial menyambut perayaan Hari Natal, yang jatuh pada keesokan harinya, 25 Desember. Toraja memang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Kristen. Tapi jangan salah, meskipun mayoritas Kristen, tingkat peghargaan terha-dap orang-orang di luar keyakinan mereka juga tetap tinggi.

25 Desember 2011, perjalanan ke beberapa tempat di Tana Toraja dimulai. Londa menjadi pilihan per-tama, tempat yang digunakan seba-gian masyarakt Tana Toraja sebagai kuburan.

Memasuki Londa kita akan menyaksikan bebatuan curam yang membentuk jalan menghubungkan pintu gerbang dan gua tempat me-nyimpan peti mati berisi mayat. Di tempat ini, pemandangan peti mati dan tulang belulang manusia yang mengisi celah-celah di dinding gua adalahl hal biasa. Suatu tradisi dan kepercayaan masyarakat Toraja yang

telah diwariskan dari leluhur mereka. Sebelum memasuki bibir gua,

peti mayat yang dimasukkan ke dinding gua dengan ketinggian ber-beda-beda juga nampak dengan je-las. Ketinggian tempat penyimpanan peti mayat merupakan isyarat ten-tang status sosial dari mahluk Tuhan yang berpulang lebih dulu itu.

Perjalanan kedua, dilanjutkan ke Ke’te Kesu. Di Ke’te Kesu, orang-orang yang datang berkunjung dis-uguhi dengan pemandangan Ru-mah Tongkonan yang berbaris rapi di sisi kiri maupun kanan. Rumah Tongkonan, merupakan rumah adat khas Tana Toraja. Di depan rumah Tongkonan, terdapat lumbung padi. Bentuknya hampir mirip dengan rumah Tongkonan, namun ukuran-

Jelajah Negeri

Page 47: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 47

nya sedikit lebih kecil. Saat langkah diperpanjang, sekitar beberapa me-ter dari barisan Rumah Tongkonan, dengan anak tangga yang menyam-but ramah akan mengantarkan kita ke kumpulan tulang belulang manu-sia. Seakan memberi isyarat, bahwa waktu akan menemani perjalanan kita dan membuat kita sampai di penghujung jalan dengan melepas-kan segala identitas yang kita bang-ga-banggakan selama ini.

Perjalanan ketiga, dilanjutkan ke pasar Rantepao. Seperti biasa, dalam setiap rangkaian perjalanan, cinder-amata khas seakan menjadi barang utama yang harus dibawa pulang. Di sinilah tempatnya. Pasar Rantepao, menjual berbagai pernak-pernik dan makanan khas Toraja. Jangan heran

kalau banyak wisata-wan yang datang dan menjadikan pasar ini sebagai tempat yang juga wajib dikunjungi saat ke Tana Toraja.

Perjalanan tera-khir, dilakukan keeso-kan harinya, 26 De-sember. Selepas waktu dhuhur, perjalanan dimulai ke Batutu-monga oleh beberapa rombongan. Lokasi Batutumonga ternya-ta tidaklah dekat den-gan tempat di mana perjalanan dimulai. Hampir sekitar dua jam, akhirnya sampai juga di lereng gunung Sesean.

Dari semua rang-kaian perjalanan, perjalanan ke Batu-tumonga inilah yang

memacu adrenalin. Jalan yang tidak terlalu lebar dan sedikit berlubang menjadi warna tersendiri. Di tengah perjalanan, nampak kerumunan orang berjalan memasuki jalan setapak menuju tan-ah lapang. Langkah terhenti di tem-pat ini. Ternyata, ada ritual serangka-ian dengan upacara kematian Rambu Solok, yaitu Ma’passilaga Tedong. Di tempat ini, masyarakat berkumpul untuk menyaksikan kerbau yang be-radu. Kerbau merupakan binatang yang yang dianggap suci oleh suku Toraja.

Perjalanan dilanjutkan, dengan pakaian yang mulai basah karena hujan dan rentetan peristiwa diluar dugaan yang terjadi. Jalan menuju Batutumonga, betul-betul menan-tang. Terasering nampak jelas dari

atas. Ya, semakin roda angkutan umum yang kami gunakan berpu-tar maka akan semakin tinggi pula jalan yang kami lewati. Jurang yang curam di sisi kiri dan kanan men-egaskan itu. Cuaca dingin semakin menusuk. Selanjutnya, pemandan-gan yang akan sangat sulit dan bisa saja tidak mungkin ditemukan di daerah lain adalah adanya bebera-pa batu alam dengan ukuran yang cukup besar yang dijadikan sebagai kuburan. Jadi, masyarakat setempat menggunakan batu alam ini sebagai tempat untuk memasukkan mayat di dalamnya. Untuk satu batu alam yang besar itu bisa digunakan seba-gai kuburan untuk beberapa mayat, yang berasal dari satu keluarga.

Perjalanan yang cukup lama, dengan kondisi jalan yang tidak biasa, cukup membuat rentetan per-tanyaan hinggap dengan sendirinya. “Apami mau dilihat nanti sampai di atas ini?”, “dimanami ini ujungnya kasian?” beberapa teman, mulai an-gkat bicara dengan logat Makassar yang khas. Tak berselang lama ke-mudian, roda kendaraan berhenti berputar. Akhirnya sampai juga. Dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut, dingin begitu menusuk di tempat ini. Dari Batutumonga, pemandangan indah nampak dengan jelas. Meski sedikit berselimut kabut, tapi pemandangan akan hamparan sawah, barisan rapi pepohonan, dan yang paling penting adalah hamparan kota Rantepao itu masih nampak jelas. Keringat dingin yang sempat bercucuran akibat jalan yang tidak berprasaan, terbayar su-dah. Di tempat ini, langit nampak dekat, awan seakan berada sejajar dengan tanah, tepat diatas jurang yang curam. Layaknya, sebuah neg-eri di atas awan. (Ayu Adriyani)

Jelajah Negeri

Page 48: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201248

Jejak

Page 49: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 49

Jejak

Page 50: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201250

Pemberdayaan perempuan me-miliki potensi strategis untuk

menjadi ujung tombak penjagaan ke-lestarian lingkungan pesisir. Langkah strategis yang bisa diterapkan berupa metode pelibatan perempuan seba-gai subjek dan bukan objek, dengan adanya peran-peran seperti fasilita-tor, motivator, rubbish watcher, dan creativity group.

Solusi tersebut ditawarkan oleh tiga orang mahasiswa Hubungan In-ternasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Hal ini ditawarkannya melalui karya tulis mereka pada Pim-nas XXIV yang diselenggarakan pada 18-22 Juli lalu. Ketiga mahasiswa ini adalah A. Husnul Hatimah, Sitti Marwah, dan Nely Fadrianis. Mere-ka berhasil merampas posisi kedua kategori Penunjang bidang Ling-kungan. Juara pertama dimenangkan oleh mahasiswa IPB, sementara po-sisi ketiga diraih oleh mahasiswa UI.

Sebuah kebanggaan bagi Un-has meskipun belum semaksimal yang diharapkan. Setidaknya ketiga juara yang berhasil diraih bisa men-jadi pendorong untuk lebih lagi di Pimnas selanjutnya. Terkhusus lagi bagi mahasiswa Fakultas Ilmu sosial

Pada juli 2011 Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Tari Un-

has menorehkan prestasi luar biasa hingga ke kanca Internasional. Dalam kompetisi tersebut UKM Seni Tari Unhas yang merupakan satu-satunya wakil dari Indonesia berhasil meraih honorable Price

The 25th International Golden Karagoz Folk Dance Competition, dilaksanakan di Kota Metropolitan Bursa Turki dari tanggal 7 – 12 juli 2011, dan dirangkaikan dengan peringatan 50th International Bur-sa Festival. Acara ini disponsori eleh kementerian Kebudayaan Turki dan UNESCO selaku anggota dari International Organization of Folk Art (IOV) dengan tujuan memper-temukan berbagai bangsa-bangsa dengan budaya yang berbeda untuk saling memahami satu sama lain, dan menciptakan perdamaian, per-sahabatan antar bangsa melalui seni dan budaya.

Event ini adalah yang ke 25 ka-linya dilaksanakan di Bursa, dan menjadi ajang kompetisi paling ber-

gensi di dunia karena dihadiri oleh penari-penari professional tingkat dunia dari berbagai Negara. Jumlah Negara yang hadir kali ini adalah se-banyak 33 negara diantaranya: Azer-baijan, Bosnia Herzegovina, Bul-garia, Chencen Republic, Djibouti, China, Chuvash Republic, Indonesia (UNHAS), France, Georgia, Croa-tia,. India, Ireland, Scotland, Italy, Montenegro, Khazakhstan, Kosovo, Costa Rica, Turky, Latvia, Lithuania, Hungary, Macedona, Mexico, Egypt, Nigeria, Poland, Romania, Russian Federtion, Senegal, Slovakia, Slove-nia, Sudan, Thailand, Venezuela, dan Greece Yunani.

UKM Seni Tari Unhas, berhasil sebagai Juara IV, atau Honorable Price dengan hadiah uang sebesar 1000 Euro. Dalam kompetisi terse-but hanya 6 gelar juara yang diberi-kan dengan kata lain 29 negara lain-nya tidak mendapat gelar apapun . oleh karena itu mendapat Honorable Price adalah prestasi luar biasa dalam kompetisi ini.

Seni Tari UNHAS berjaya di Turki

UNHAS saingi IPB dan UI

Prestasi

Page 51: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 51

dan Ilmu Politik, setidaknya keme-nangan yang diraih akan menum-buhkan semangat baru bagi Pimnas selanjutnya. Ketiga Mahasiswa HI ini memang patut untuk kita acungi jempol. Karya mereka yang berjudul “Pemberdayaan Perempuan dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Pesi-sir di Sulawesi Selatan” ini seharusn-ya mampu menempati juara satu. “hanya saja ada kesalahan teknis saat kami presentasi, smart Art di power point kami tidak bisa terbuka, un-tung saja teman kami yang sementa-ra presentasi mampu menutupinya” ujar Marwah.

Ini memang pertama kalinya mereka turut serta dalam kegiatan PIMNAS namun karena semangat yang besar akhirnya di kesempatan pertama ini mereka sudah mampu memberikan yang terbaik. “semoga apa yang kami raih bisa memotivasi teman-teman yang lain untuk lebih baik lagi, setidaknya mampu lolos sampai tahapan PIMNAS itu sudah merupakan sebuah kebanggaan besar karena telah melewati tahapan-ta-hapan penyeleksian yang diikuti oleh sedikit orang, “ ungkap Neli.

Kerusakan lingkungan di Sulsel telah mencapai kondisi kritis. Data dalam tinjauan pustaka menun-jukkan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan laut sampai sebesar sekitar 30 ton dari tahun 2007 ke tahun 2008. Penurunan daya dukung lingkungan laut ini, banyak dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat pesisir. UNEP (1990) mengungkapkan dalam Dahuri R..et al (2001) sebagian besar (80%) ba-han pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land basic activities).

Sejauh ini pemerintah telah mel-akukan berbagai upaya termasuk

melalui penetapan regulasi dan program-program lingkungan yang dicanangkan bukan hanya di ting-kat provinsi tetapi hingga ke tingkat daerah kabupaten/kota. Upaya terse-but faktanya tidak maksimal sebab data menunjukkan kerusakan yang terjadi di beberapa daerah malah semakin parah. Ketidakefektifan upaya ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya tidak ketatnya pengawasan terhadap regulasi yang ditetapkan, pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya menjaga ling-kungan belum merata, dan pelibatan masyarakat masih sangat kurang, khususnya perempuan. Potensi dan keterkaitan yang erat antara per-empuan dan lingkungan pesisir, se-harusnya menjadikan mereka salah satu suara yang patut didengar dalam upaya menjaga kelestarian pesisir.

Universitas Hasanuddin kembali menorehkan se-

buah prestasi. Kali ini, prestasi dat-ing dari UKM Korps mahasiswa Pecinta Alam (KORPALA). Pada tanggal 11 oktober sampai tanggal 21 november 2011 kemarin, seban-yak kurang lebih 8 orang anggota KORPALA berhasil melakukan ekspedisi hingga ke kota Darwin, Australia. Delapan orang anggota tersebut terbagi menjadi 2 tim,

yakni tim darat dan tim laut.Menurut pimpinan ekspedisi,

Abdul Jalal, ekspedisi Darwin ini telah dipersiapkan selama kurang lebih dua tahun, yakni sejak tahun 2009 kemarin. Tujuan dari ekspe-disi ini sendiri yakni untuk mendata wilayah- wilayah mana saja yang pernah disinggahi langsung oleh ne-layan- nelayan Sulawesi Selatan seh-ingga dapat dicatat dalam sejarah ne-layan Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan.

Abdul jalal yang ditemui di Sekretariat UKM KORPALA juga menjelaskan, Darwin dipilih dalam ekspedisi ini, selain untuk mempro-mosikan budaya Sulawesi selatan, juga karena dahulu, nenek moyang Sulawesi berlayar hingga ke Darwin untuk mencari nafkah. Ekspedisi Darwin ini melalui rute yang cukup panjang, dimulai dari pulau galesong, Jeneponto, bulukumba (tepatnya di tanaberu), kotabenteng, bahulu-ang, pulasi, tanajempea (tepatnya di pulaubembe), lanjut melalui pulau takabonerate, momera, larahtuka, kupang, dan terakhir mendarat di kota Darwin Australia.

“Pihak Universitas mensponsori penuh kegiatan ekspedisi ini, baik materil maupun yang non materil”, ujar mahasiswa jurusan teknik sipil ini. Melalui ekspedisi ini diharap-kan dapat memperkenalkan budaya Sulawesi Selatan di dunia interna-sional, serta dapat membangun se-mangat pemuda Sulawesi untuk leb-ih menghargai kerja keras para nenek moyang kita terdahulu yang mencari nafkah hingga ke negeri seberang. Pria angkatan 2008 ini juga menam-bahkan bahwa ekspedisi semacam ini akan diadakan kembali namun masih diperlukan perencanaan yang matang pula. (Ciko,Sari, Anni & Ayu)

KORPALA GOES TO DARWIN

Prestasi

Page 52: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201252

Bagaimana jika anda dilahirkan dan dibesarkan di negara lain,

bukan di negara orang tua anda? Apakah identitas asal orang tua anda masih anda miliki atau mengabur? Pertanyaan-pertanyaan ini divisu-alkan Yasemin Samdereli melalui kehidupan keluarga Turki yang ber-migrasi ke Jerman. Sejak awal ben-turan identitas ditunjukkan melalui

pertanyaan sang cucu, “apakah aku orang Jerman atau Turki?”. Melalui cerita sang cucu perempuan, dikisah-kan tentang awal mula migrasi yang dilakukan sang kakek dengan hara-pan mendapat kehidupan yang lebih baik. Beberapa tahun kemudain sang kakek mengajak serta istri dan ketiga anak mereka. Ketika keluarganya menginjakkan kaki untuk pertama kali, terutama sang istri, mereka merasa demikian terasing. Mulai dari bahasa hingga budaya.

Tahun berlalu, ia dan keluarganya akhirnya resmi berganti warga negara dari Turki menjadi Jerman. Istrinya juga telah betah hidup di negara yang dulunya asing. Demikian pula anak-anak dan cucunya. Sang kakek sendi-ri, meski telah berganti kewarganega-raan ia masih tetap hendak pulang ke kampung halamannya yang akhirnya sekeluarga mereka berlibur di kam-pung halaman mereka senditri.

Benturan identitas dalam film ini disajikan dengan lelucon yang meng-hibur di sepanjang film. Almanya mengajak kita melihat realitas peker-ja imigran yang perlahan menjadi ba-gian atau masyarakat yang dulunya dilihat berbeda dengan mereka. Hal ini juga menyisakan konflik pada diri tokoh-tokohnya. Utamanya men-yangkut identitas etnik asal mereka. Sang kakek diposisikan sebagai to-koh yang terus mengingatkan jati diri keluarganya. Pada akhirnya identitas bukan soal di mana tempat kita lahir dan dibesarkan, melainkan juga berkaitan dengan nostalgia dan sejarah. Perjalanan pulang ke Turki kemudian menguatkan identitas yang semula terkikis dan mengabur.

Film Lila Lila berkisah tentang se-orang pria bernama David Kenn

yang mencintai seorang perempuan. Namun ia tak memiliki kemampuan

Almanya

Kategori : KomediTahun produksi : 2011Sutradara : Yasemin SamdereliCast : Demet Gul, Vedat Erincin, Lilay Huser, Denis Moschhitto

LILA LILA

Kategori : KomediTahun produksi : 2009Sutradara : Alain GsponerCast : Henry Hubchen, Hanna Herzsprung, Daniel Bruhl

Resensi

Page 53: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 53

Ada tidak di dunia ini, kehidu-pan yang berjalan mulus tanpa

lika-liku? Mungkin tidak untuk film ini yang lika-likunya sama dengan jalan yang di lalui Vincent dengan kedua temannya Marie dan Alexan-der. Keluarga dengan konflik yang terjadi antara seorang ayah dengan anak semata wayangnya yang mengi-dap penyakit (Sindrom taurett) serta

kedua temannya yang juga mengidap penyakit.

Pertentangan dalam film ini dimulai antara ketidakcocokan Vin-cent dengan ayahnya. Hingga suatu ketika, ia bersama Marie yang telah mengambil kunci mobil dari seorang dokter, berencana untuk mening-galkan Jerman. Tak disangka dalam pelariannya mereka terpaksa mem-bawa serta Alexader yang berniat me-laporkan aksi mereka atas mobil sang dokter. Maka dimulailah pelarian yang kemudian diketahui oleh sang ayah dan dokter.

Sejak awal Vincent merindukan ibunya yang bercerai dengan sang ayah sejak ia kecil. Tujuan pelariann-ya adalah menemukan sang ibu. Ber-tiga mereka melintasi Austria hingga akhirnya tiba di Italia, negara tempat ibunya berada. Di sini pelarian bera-khir dan Marie dengan bulemia yang dideritanya harus menjalani perawa-tan. Sementara ia sendiri harus kem-bali ke Jerman setelah berhasil terke-jar oleh sang ayah. Pada akhirnya, Vincent berdamai dengan sang ayah dan memutuskan untuk tetap men-cari ibunya.

Hampir keseluruhan film ini di-warnai oleh aksi kejar-kejaran anta-ra mereka dengan sang ayah yang berpasangan dengan sang dokter. Sebagaimana Almanya, perjalanan dalam film ini menjadi sesuatu yang mencairkan perbedaan di antara to-koh-tokohnya. Film ini mempunyai makna beragam dari berbagai konflik yang juga penuh dengan bumbu ko-medi dan drama. Kekuatan gambar yang ditampilkan membuat film ini seolah berlari mengikuti alur konflik ke sebuah solusi yang jawabannya ada di benak penonton. (Paris)

dalam bidang sastra, bidang yang sangat diminati oleh Marie, per-empuan pujaannya. Alhasil ia sama sekali tak dianggap oleh sang gadis.

Suatu hari ia menemukan naskah novel di dalam laci meja yang dibe-linya di pasar loak. Penemuan ini menjadi titik awal bagaimana ke-hidupannya berubah 360 derajat. Ia mendapat perhatian perempuan pujaannya. Naskah yang diterbitkan atas namanya laris manis dipasaran. Meski demikian, ia berhadapan den-gan pertentangan moral dalam dirin-ya. Pertentangan ini memuncak saat ia bertemu dengan seorang pria yang mengaku sebagai penulis asli naskah yang ditemukannya. Keberuntungan yang telah didapatkan terancam oleh kehadiran pria ini, termasuk kedeka-tannya dengan Marie.

Film yang dibalut dengan kome-di romantis ini mengangkat konflik keaslian sebuah karya, moral hingga seluk beluk dunia penerbitan yang juga tak lepas dari kompetisi. Be-ragam cara dan tindakan dilakukan oleh para penerbit untuk mendapat-kan pengarang yang karyanya laku dipasaran. Sastra pada akhirnya juga terkait soal duit. Tidak hanya soal isi atau cerita didalamnya. Demikianlah jatuh bangunnya suatu genre juga tergantung dari selera pasar. Jika hari ini, pembeli menyukai kisah roman-tis maka pengarang dalam genre ini yang akan dihidupkan.

Sastra kemudian tidak hanya menjadi kuasa pengarang tapi juga penerbit dan para pembeli. Penga-rang harus menyerahkan diri mereka ke tangan pembeli karya-karya mere-ka. Jadi dimana posisi pengarang ke-mudian? Entahlah, bisa jadi memang ada di tangan pasar dan pembeli.

Vincent Will Meer

Kategori : Road MovieTahun produksi : 2010Sutradara : Ralf HuettnerCast : Katharina Mueller, Heino Ferch, Johanne Allmayer

Resensi

Page 54: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati

Edisi 20 / Februari 201254

_Deep Blue Sea

F : 4S : 1/1000ISO : 400

Imam Pratama

Page 55: Majalah Baruga

BarugaSatu Mata Hati Satu Kata Hati Edisi 20 / Februari 2012 55

Marwan Paris

F : 5,6S : 1/20ISO : 1600

_Smoking Time

F : 2S : 1/2500ISO : 100

_Cahaya Kecil

Ice Cubo

Fotografi

Page 56: Majalah Baruga

kosmik.web.id