majalah agraria indonesia edisi i tahun 2014

28
RPJMN 2015-2019 Rancangan Teknokratik RPJMN Bidang Pertanahan Tanah: Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Ringkas Buku Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH. MCL. MPA. Topik Utama Konsep Dasar Reforma Agraria Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan INDONESIA TANAH UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT EDISI 1 2014

Upload: pustaka-virtual-tata-ruang-dan-pertanahan-pusvir-trp

Post on 26-Dec-2015

127 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Diterbitkan oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas secara berkala minimal 4 kali setahun

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

RPJMN 2015-2019

RancanganTeknokratikRPJMNBidangPertanahan

Tanah:DalamPerspektifHakEkonomi,Sosial,

danBudaya

Ringkas Buku

Prof.Dr.MariaS.W.Sumardjono,SH.MCL.MPA.

Topik Utama

KonsepDasarReformaAgraria

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

INDONESIA

TANAH UNTUKKESEJAHTERAAN MASYARAKAT“

EDISI 12014

Page 2: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

DAFTAR ISI

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Pelindung:Deputi�Bidang�Pengembangan�Regional

dan�Otonomi�Daerah

Penanggung�Jawab:Direktur�Tata�Ruang�dan�Pertanahan

Pemimpin�Redaksi�:Kasubdit�Pertanahan

Editor:Raffli�Noor

Redaksi:Idham�Khalik,�Gita�Nurrahmi,�Dea�Chintantya,

Marhensa�Aditya�Hadi,�Reza�Nur�Irhamsyah

Desain�dan�Publikasi�Edisi�Online:

Marhensa�Aditya�Hadi

Distribusi�dan�Administrasi:Agung�P.

Kementerian�PPN/Bappenas

Direktorat�Tata�Ruang�dan�PertanahanGedung�Madiun�Lt�3

Jl.�Taman�Suropati�No�2.�Menteng.�Jakarta�Pusat.�

Telp/Fax:�021-3926601

Email:�[email protected]

2

3

11

15

17

19

21

23

25

26

TIM REDAKSI

Pertanahan�untukKesejahteraan�Masyarakat

Reforma�Agraria�:Sejarah,�Konsep,�dan�Implementasinya

Sejarah�Pelaksanaan�Reforma�Agrariadi�Indonesia�dari�Masa�ke�Masa

Roadmap�PenyusunanKebijakan�Reforma�Agraria�di�Indonesia

Hari�AgrariaNasional

Program�Agraria�Daerahdi�Provinsi�Kalimantan�Timur

TANAH:�Dalam�PerspektifHak�Ekonomi,�Sosial,�dan�Budaya

Uji�Coba�Reforma�Agrariadi�Provinsi�Bangka�Belitung�dan�Jawa�Tengah

Fokus

Rancangan Kebijakan

Dari Redaksi

Pelaksanaan Kegiatan

Ringkas Buku

Kumpulan Artikel

Data dan Informasi

INDONESIA

Agenda

Page 3: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

PertanahanuntukKesejahteraanMasyarakat

DARI REDAKSI

Oleh: Uke Mohammad Hussein

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tanah, sebenarnya

memiliki dua sisi perspektif, yaitu (i) sebagai barang komoditas

ekonomi, dan (ii) sebagai obyek budaya yang memiliki nilai

ikatan spiritual (batin), baik itu dalam aspek kultur budaya

maupun politik. Tantangan yang dihadapi umat manusia sejak

dahulu kala adalah mencari titik harmonis pemanfaatan tanah

pada dua sisi perspektif tersebut. Tidak saja untuk kepentingan

orang per orang, namun juga sekelompok orang, suatu bangsa,

atau bahkan umat manusia seluruhnya.

Untuk Indonesia, dasar‐dasar pengaturan pengelolaan

pertanahan diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok‐Pokok Agraria (UUPA) dan Pasal 33

UUD 1945, khususnya “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan

untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat“, UUPA

mengamanatkan dua hal penting dalam pengelolaan

pertanahan, yaitu (i) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan

tanah‐air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai

bangsa Indonesia (ii) Tiap‐tiap warga negara Indonesia, baik

laki‐laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama

untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk

mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun

keluarganya. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa kebijakan

pokok pengelolaan pertanahan Indonesia adalah ditujukan bagi

sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat.

Upaya mewujudkan kebijakan pokok tersebut melalui Reforma

Agraria, yang mencoba mengoreksi ketimpangan pemilikan dan

penguasaan tanah. Penegasan kebijakan nasional untuk

melakukan reforma agraria tercantum dalam Tap MPR No. IX

Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam. Penegasan ini perlu dilakukan mengingat

dalam perjalanannya, sejak peristiwa politik di tahun 1965,

reforma agraria sempat terhenti pelaksanaannya atau bahkan

beberapa ahli berpendapat reforma agraria belum sempat

dilakukan di Indonesia.

Terlepas dari dua pendapat tersebut, yang kemudian disepakati

bersama adalah reforma agraria tidak cukup dengan hanya

melakukan redistribusi tanah, namun perlu dilengkapi dengan

seperangkat bantuan lain untuk membuka akses kesejahteraan

bagi masayarakat miskin penerima. Selain itu, berdasarkan

pengalaman dunia internasional, pelaksanaan reforma agraria

harus memiliki kerangka waktu pelaksanaan. Pelaksanaan

reforma agraria yang terus menerus tanpa kerangka waktu

hanya akan menimbulkan ketidakadilan baru dan merusak

mental masyarakat. Beberapa contoh pengalaman negara lain

adalah Thailand melaksanakan dalam 22 tahun (1975 ‐ 1997),

Philiphina 14 tahun (1972 ‐ 1986) dan 8 tahun (1986 ‐ 2004), dan

Brazil 8 tahun (2002 ‐ 2010) dan pelaksanaan tersebut

kemudian dievaluasi dalam kurun waktu 50 sampai 70 tahun

kemudian.

Penyediaan akses terhadap masyarakat miskin penerima

meliputi, (i) program pemberdayaan yang sesuai dengan mata

pencaharian penerima, seperti bantuan bibit dan pupuk untuk

petani, atau bantuan kredit kapal untuk nelayan; (ii)

Pengembangan teknologi pertanian dan pengolahan untuk

dapat meningkatkan nilai tambah (value added) dari produk

yang mereka hasilkan. Dengan demikian akan tercipta

keuntungan yang lebih besar (profit margin) di tingkat petani

untuk memberi kesempatan petani untuk memperkuat posisi

tawar di pasar bebas (augmenting); (iii) Pengembangan

lembaga keuangan mikro, setelah petani memiliki sedikit

kekuatan ekonomi lebih, kemudian perlu diajarkan dasar‐dasar

ekonomi mikro perusahaan bagi pembentukan usaha tani

formal yang kuat (dapat berupa koperasi atau usaha bersama).

Entitas ekonomi baru ini membutuhkan dukungan keuangan

yang hanya mungkin didapat dari lembaga keuangan mikro

yang dapat digambarkan secara sederhana sebagai bank desa.

Lembaga yang ada sekarang dan paling dekat dengan

gambaran tersebut adalah Koperas Simpan Pinjam. Koperasi

simpan pinjam saat ini telah bertransformasi menjadi

perusahaan biasa yang lebih mengejar keuntungan daripada

pembukaan akses permodalan sehingga perlu kembali

dikenalkan lembaga keuangan mikro (koperasi simpan pinjam)

yang ideal. (iv) terakhir adalah upaya pembentukan

interkoneksi antar entitas usaha tani bersama dengan dunia

industri yang telah mapan dan sesuai. Usaha ini perlu dilakukan

untuk menjamin kestabilan pasar atau permintaan (demand).

Seperangkat bantuan diatas untuk melengkapi redistribusi

tanah yang dilakukan, diharapkan masyarakat miskin penerima

(petani) dapat menjadi masyarakat yang sejahtera secara

mandiri yang memiliki harkat dan martabat yang baik. Bila hal

yang dicita‐citakan tersebut dapat terwujud, amanat

kemerdekaan bangsa Indonesia telah terlaksana dengan baik.

Semoga setiap unsur bangsa, terutama seluruh komponen

instansi Pemerintah dapat menyatukan langkah dalam

mewujudkan reforma agraria yang ideal bagi bangsa dan

negara Indonesia. [UK]

INDONESIA

Edisi 1 - 2014 2

Page 4: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

FOKUS

3INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Salah satu program prioritas dari pemerintahan baru adalah reforma agraria, yang

secara jelas tercantum dalam dokumen Visi Misi dan Program Aksi. JALAN

PERUBAHAN untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian (Nawacita).

Reforma agraria menjadi bagian kelima Nawacita, yaitu kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.

Tulisan berikut menjelaskan secara ringkas sejarah awal, konsep dasar dan pembelajaran implementasi di Indonesia.

A. Pemahaman Dasar

Pengertian Reforma Agraria Secara etimologis, kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang artinya sebidang tanah (bahasa Inggris acre). Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti yang ada hubungannya dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah umum, bersifat perdesaan. Kata reform merujuk pada perombakan, mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju perbaikan. Dengan demikian, reforma agraria dapat diartikan secara sederhana sebagai penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, buruh tani (Rolaswati, tanpa tahun). Sementara pengertian reforma agraria yang lebih lengkap (Tuma, 1965) adalah suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat 'baru' yang demokratis dan berkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan,dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya (Bachriadi, 2007)

Landreform atau Reforma AgrariaIstilah landreform pertama kali dicetuskan oeh Lenin dan

banyak digunakan di negara komunis atau blok timur pada saat itu dengan adagium “land to the tiller” untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah, untuk kepentingan politis (Sumaya, 2003).

Tentu saja pemahaman ini berbeda dengan yang dipergunakan di Indonesia. Pengertian landreform dalam UUPA dan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 merupakan pengertian dalam arti luas sesuai pengertian FAO (Food and Agriculture Organization) yaitu meliputi program tindakan yang saling berhubungan yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang di bidang ekonomi, sosial yang timbul dari kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan (Hermawan, 2003)

Sementara dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dijelaskan bahwa landreform bertujuan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian

tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.

Siregar (2008) menjelaskan landreform sebagai usaha sistematis untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanah yang dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan yang dilakukan melalui penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrariaan baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial, produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan dan diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri” (Utami, 2013).

Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuan memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah (Utami, 2013). Namun kemudian disadari bahwa dalam banyak kejadian, petani yang telah memperoleh tanah dari kegiatan landreform kemudian melepaskan kembali tanahnya karena petani tidak memiliki akses kepada kegiatan ekonomi, sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya keberadaan tanah tidak membantu petani meningkatkan kesejahteraannya.

Kondisi ini kemudian mendorong dilaksanakannya konsep reforma agraria, yaitu landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah (reforma aset) yang didukung oleh program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya (reforma akses). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa reforma agraria terdiri dari 2 (dua) pilar yaitu reforma aset dan reforma akses.

Tuma (1965) menyimpulkan bahwa “landreform” dalam pengertian luas akhirnya dapat disamakan dengan reforma agraria, yakni suatu upaya untuk mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas. Jadi reforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus (Bachriadi, 2007).

Pentingnya Reforma AgrariaAlasan mendasar reforma agraria dibutuhkan, terutama

ketika corak dan sistem masyarakat masih agraris (Carebesth dan Bahari, 2012), adalah keadilan dan penghapusan segala bentuk penghisapan. Pembangunan bagaimanapun juga harus dilandasi rasa keadilan dan pemerataan. Reforma agraria yang salah satu aspeknya adalah landreform merupakan upaya untuk

Oleh: Oswar Mungkasa

Reforma�Agraria�:Sejarah,�Konsep,�dan�Implementasinya

Page 5: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 4

menciptakan pemerataan sosial‐ekonomi di berbagai lapisan

masyarakat di pedesaan. Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah

yang semakin meningkat dan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya fokus pada peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan ekonomi.Sementara penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat masyarakat marjinal semakin terabaikan dan kehilangan akses terhadap tanah.

Kondisi ini yang menimbulkan konflik agraria baik berupa perselisihan tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang yang tidak konsisten dan tumpang tindih. Hal ini tidak hanya berdampak pada masyarakat secara langsung tetapi juga pada program pemerintah seperti ketahanan pangan, perumahan rakyat, dan lingkungan hidup (Shohibudin, 2012).

Menjadi suatu keniscayaan kemudian untuk melaksanakan reforma agraria sebagai upaya mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah sebagai sumber utama permasalahan, yang pada akhirnya bermuara pada pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seutuhnya.

Tipe Reforma AgrariaMenurut Fauzi (2008), terdapat 4 (empat) tipe landreform

berdasarkan aktor utama penggeraknya, yaitu: (i) Market‐Led Landreform

‐ Pertimbangan utamanya adalah pencapaian efisiensi/produktivitas secara ekonomis;

‐ Mengurangi peran negara;‐ Petani yang seharusnya menjadi ‘supir’ dalam Reforma

Agraria, sesungguhnya berada di bawah perintah pelaku pasar;

‐ Nyatanya, ‘terpusat pada pasar’ artinya ‘terpusat pada tuan tanah/pedagang/perusahaan asing’.

(ii) State‐Led Landreform‐ Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan

mengamankan/menjaga legitimasi politik, meskipun agenda pembangunan juga penting;

‐ ‘Komitmen politik yang sangat kuat’ sangat dibutuhkan untuk mewujudkan agenda landreform, plus perbaikan akses lainnya;

‐ Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang dibutuhkan secara administratif;

‐ Partisipasi pelaku pasar sangat rendah, kecuali mereka yang terpilih karena lebih memiliki pengaruh dalam kebijakan pemerintah dan elite pejabatnya.

(iii) Peasant‐Led Landreform‐ Asumsi utamanya adalah bahwa ‘negara terlalu

terbelenggu oleh kepentingan elit’, sementara kekuatan pasar juga sama dengan kepentingan elit.

‐ Dengan demikian, satu‐satunya cara untuk mencapai reforma agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil insiatif untuk menerapkan reforma agraria.

(iv) Pro‐Poor Landreform‐ Asumsi utama tidak meromantisasi ‘kemahakuasaan’

petani dan organisasi mereka; dan juga tidak meromantisasi sifat budiman negara.

‐ Mendasarkan pada keterkaitan masalah keadilan, produktivitas dan kerusakan lingkungan hidup; serta keberkaitan antara perspektif yang mampu menjelaskan masalah tersebut;

‐ Menganalisa negara, gerakan petani dan kekuatan pasar bukan sebagai kelompok yang terpisah, namun sebagai pelaku yang terhubung satu sama lain melalui cara bagaimana tanah dan kekayaan alam diperebutkan secara politis dan ekonomis;

‐ Memiliki tiga ciri kunci: ‘berpusat pada petani’, ‘didorong oleh negara’, dan ‘meningkatkan produktivitas secara ekonomis, keadilan sosial, dan pemulihan lingkungan’.

B. Sejarah Awal Reforma Agraria

Reforma agraria di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan diterbitkannya undang‐undang agraria (Seisachtheia). Undang‐undang ini diterbitkan untuk membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya) dari kondisi pemerasan oleh pemegang gadai. Usaha ini dilanjutkan oleh Pisistratus melalui program redistribusi disertai fasilitas kredit.

Pada belahan dunia lain, di Roma pada jaman Romawi Kuno, telah dimulai reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah milik umum untuk mencegah pemberontakan rakyat kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil diterbitkan pada 134 SM yang intinya membatasi penguasaan tanah dan redistribusi tanah milik umum. Sementara di Inggris, reforma agraria dikenal sebagai enclosure movement, yaitu pengaplingan tanah pertanian dan padang pengembalaan yang tadinya disewakan untuk umum menjadi tanah individu.

Gerakan reforma agraria berskala besar pertama kali berlangsung pada saat Revolusi Perancis (1789) dengan

menghancurkan sistem penguasaan tanah feodal. Tanah dibagikan kepada petani.

Tujuan utamanya adalah (i) membebaskan petani dari perbudakan; (ii) melembagakan usaha tani keluarga yang kecil sebagai satuan pertanian yang ideal. Gerakan ini berpengaruh luas ke seluruh Eropa. Terbukti pada tahun 1870 John Stuart Mill membentuk Land Tenure Reform Association yang mendorong pembentukan sistem penyakapan (tenancy). Bulgaria relatif lebih maju, pada tahun 1880 telah melakukan reforma agraria yang utuh, mencakup kegiatan penunjang seperti koperasi kredit, tabungan, dan pembinaan usaha tani.

Gelombang reforma agraria juga menjangkau Rusia pada saat kaum komunis merebut kekuasaan di Rusia tahun 1917, yang dikenal dengan Stolypin Reforms dalam bentuk (i) hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan; (ii) penyakapan atau tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dan lainnya) dilarang; (iii) penguasaan tanah absentee dilarang; (iv) hak garap dan luas hak garapan ditentukan atas kriteria luas tanah yang benar‐benar digarap; (v) menggunakan buruh upahan dilarang.

Revolusi Perancis, penghancuran sistem feodal.blog.ubi.com

Sebagian besar materi sejarah reforma agraria disarikan dari Pengaruh Reforma Agraria Dunia terhadap Reforma Agraria di Indonesia oleh Devi Kantini Rolaswati, tanpa tahun.

1

1

Page 6: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

5INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Tidak terbendung kemudian reforma agraria menjangkau Cina melalui 3 (tiga) program besar pada tahun 1920‐1930. Salah satu programnya adalah menata kembali struktur penguasaan tanah. Program ini mengalami stagnasi ketika dijajah oleh Jepang (1935‐1945), namun dilanjutkan kembali setelah era penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya pada tahun 1959‐1961. Tanah milik tuan tanah dibagikan kepada petani penggarap secara kolektip yang dalam perkembangannya menjadi milik negara tetapi petani mempunyai akses sepenuhnya memanfaatkan tanah tersebut (BPN, 2007). Pelaksanaan landreform di Cina tidak hanya mematahkan dominasi tuan tanah tetapi juga meningkatkan konsumsi petani dan meningkatkan tabungan perdesaan. Reforma agraria terus bergulir, kemudian paska perang dunia II reforma agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan pada era 1950‐1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan masing‐masing negara memiliki cirinya masing‐masing. Salah satu negara yang dipandang berhasil dalam reforma agraria adalah Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi Meiji dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika, (BPN, 2007). Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai dengan diterbitkannya undang‐undang reforma agraria pada tahun 1960‐an. Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih, program ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez memasukkan reforma agrarian ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan juga prinsip kedaulatan pangan, dan mengutamakan penggunaan tanah dari pemilikan tanah (BPN, 2007). Negara Asia lain yang diandang cukup berhasil adalah Thailand, yang didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan pembangunannya (BPN, 2007). Namun demikian, tidak semua negara berhasil melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan menjadikan tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma agraria.

Puncak dari gerakan reforma agraria pada bulan Juli 1979 ketika dilaksanakan konperensi dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development) yang diselenggarakan FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di Roma.Konperensi ini menjadi tonggak penting karena berhasil

menelurkan deklarasi prinsip dan program kegiatan (the Peasants' charter/Piagam Petani) yang mengakui kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia, serta reforma agraria dan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui 3 (tiga) bidang yaitu (i) tingkat desa mengikutsertakan lembaga perdesaan, (ii) di tingkat nasional, reorientasi kebijakan pembangunan; (iii) di tingkat internasional, mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional baru.

C. Reforma Agraria di Indonesia

Sejarah Awal Pengaturan Reforma Agraria/LandreformPengaturan pertanahan di Indonesia sudah dimulai

dengan terbentuknya panitia Agraria Yogyakarta melalui Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948 yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Panitia ini mengusulkan tentang asas yang akan merupakan dasar hukum agraria, diantaranya adalah (i) pengakuan adanya hak ulayat, (ii) pembatasan minimum (dua hektar) dan maksimum (10 hektar) tanah pertanian per keluarga, dan (iii) perlunya pendaftaran tanah. Selanjutnya terbentuk Panitia Agraria Jakarta menggantikan Panitia Yogyakarta melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951 dengan Ketua Sarimin Reksodihardjo (kemudian digantikan oleh Singgih Praptodihardjo) yang menghasilkan keputusan penting yang relatif senada diantaranya adalah (i) batas minimum pemilikan tanah pertanian (2 hektar) per keluarga; (ii) mengadakan ketentuan maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa dan hak pakai; (iii) pengaturan hak ulayat dengan undang‐undang.

Berikutnya dikenal pula Panitia Soewahjo yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo. Panitia ini berhasil menyusun naskah rancangan UUPA pada tanggal 1 Januari 1957, diantaranya yang terpenting adalah (i) asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara; (ii) diakuinya hak ulayat; (iii) dualisme hukum agraria dihapuskan; (iv) penetapan batas masimum dan minimum luas tanah yang boleh dimiliki; (v) tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri; (vi) diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.

Naskah rancangan Panitia Soewahjo kemudian disempurnakan kemudian diberi nama Rancangan Soenarjo mengikuti nama Menteri Agraria pada saat itu dan diajukan ke DPR pada tahun 1958. Namun kemudian dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, sementara Rancangan Soenarjo berdasarkan UUDS 1950, kemudian disusun kembali naskah undang‐undang tersebut. Rancangan yang baru tersebut dinamai Rancangan Sadjarwo mengikuti nama Menteri Agraria pada saat itu, yang kemudian diajukan kembali ke DPRGR. Naskah ini yang akhirnya disetujui menjadi UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 (Harsono, 1999 dan Hakim, tanpa tahun).

Landasan Hukum dan RegulasiLandasan utama reforma agraria (landreform) tercantum

dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat”. Sehingga secara historis dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan pertanahan, termasuk landreform, di Indonesia

barillacfn.com

Page 7: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 6

telah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Hal ini kemudian ditindaklanjuti melalui UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐Pokok Agraria (UUPA).

UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu (i) tidak memberlakukan lagi hukum agraria kolonial, (ii) membangun hukum agraria nasional. UUPA juga merupakan undang‐undang yang memberlakukan reforma agraria yang ditandai adanya Panca Program Reforma Agraria Indonesia, khususnya program ketiga yaitu perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan hukum yang berhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang dikenal sebagai landreform (Hakim, tanpa tahun)

Keterkaitan UUPA dengan landreform tergambarkan jelas pada muatannya, mulai dari Menimbang hingga Penjelasan UUPA, pasal 1 sampai pasal 19 maupun ketentuan Konversi (Parlindungan, 1987). Secara umum, materi UUPA yang sangat erat terkait landreform adalah pasal 7 yang membatasi pemilikan dan penguasaan tanah, pasal 10 yang mengatur tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri secara aktif, dan pasal 17 menetapkan batas maksimum luas pemilikan tanah.

Sebagai tindak lanjut dari pasal 7 dan 17 UUPA tentang pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah serta batas maksimum‐minimum pemilikan tanah, dikeluarkan Undang‐Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang dikenal sebagai UU Landreform. UU ini mengatur 3 (tiga) masalah pokok yaitu (i) penetapan luas maksimum penguasaan tanah, (ii) gadai tanah; (iii) luas minimum tanah pertanian.

Selanjutnya dikenali adanya UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda‐benda yang Ada di Atasnya. UU ini merupakan peraturan pelaksana dari UUPA khususnya Pasal 18 yang menyatakan, bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak‐hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang‐undang. UU No. 20 Tahun 1961 ini memberi kewenangan kepada Presiden untuk mencabut hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian.

Sementara pemberian ganti rugi pada bekas pemilik tanah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224

Tahun 1961 yang diubah dengan PP Nomor 41 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. PP ini diantaranya mengatur obyek dan subyek landreform termasuk lembaga pendukung landreform. Hal ini membuktikan bahwa landreform di Indonesia pada dasarnya tidak sekedar redistribusi tanah tetapi juga mengatur tindak lanjut pembagian tanah tersebut, sehingga tujuannya tidak sekedar pemerataan tetapi juga peningkatan kesejahteraan petani (Sumaya, 2009).

Selain itu, yang mungkin kurang dikenal sebagai regulasi yang terkait landreform adalah UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH), yang melindungi golongan ekonomi lemah (petani penggarap) dari praktek bagi hasil yang merugikan. Terkait pendaftaran tanah, yang merupakan alat mengendalikan luas kepemilikan dan penguasaan tanah, diterbitkan PP Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Upaya pelaksanaan landreform juga didukung oleh beberapa regulasi seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek Landreform secara Swadaya, Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1995 tentang Inventarisasi atas Tanah Terlantar, Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absente Baru, serta Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah Obyek Redistribusi Landreform.

Kemudian memasuki era reformasi pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas (Shohibuddin, 2009). Tidak banyak yang menyadari bahwa TAP MPR ini yang mengawali komitmen kita menjalankan reforma agraria, yang ditindaklanjuti oleh

FOKUS

Kebijakan pertanahan periode ini difokuskan pada pembenahan penguasaan dan pemilikan dari sistem kolonialis menjadi sistem nasional. Dalam periode ini penguasaan dan kepemilikan asing dinasionalisasi. Dan penguasaan, pemilikan tanah luas, perdikan, swapraja, partikelir, dan lainnya yang tidak sesuai dengan jiwa kemerdekaan diatur kembali penggunaan dan penguasaanya oleh negara untuk kepentingan nasional.

Di masa ini, kebijakannya melanjutkan kenijakan yang telah dijalankan sebelumnya, dalam periode ini kebijakan diarahkan pada distribusi dan redistribusi tanah oleh negara yang diperuntukkan kepada petani gurem/petani penggarap dan buruh tani. Periode ini dikenal dengan periode Land Reform.

Sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, pada periode ini pembangunan pertanahan diarahkan untuk mendukung kebijakan penanaman modal atau investasi, tanpa meninggalkan kebijakan untuk sertipikasi tanah‐tanah golongan ekonomi lemah.

Di awal era reformasi, kebijakan pertanahan lebih diarahkan pada kebijakan‐kebijakan yang langsung menyentuh masyarakat, yang menekankan pada pendaftaran tanah yang dikuasai/dimiliki golongan‐golongan tidak mampu.

Pada periode ini, kebijakan pertanahan diarahkan pada "tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat". Periode ini ditandai dengan kebijakan penertiban tanah terlantar, penyelesaian sengketa, redistribusi tanah, peningkatan legalisasi aset‐tanah masyarakat yang diimplementasikan melalui Reforma Agraria.

1945

1960

1967

1997

2005

kini

Se

jara

h K

eb

ija

ka

n P

ert

an

ah

an

Page 8: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

Baru pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi Badan Pertanahan nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi

yang diemban BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria. Selain itu, BPN bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, Perpres ini merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma agraria. Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi kemudian

diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Terlepas dari peraturan perundang‐undangan dan regulasi yang ada, pada dasarnya sejak awal MPR telah menunjukkan keinginan yang teguh untuk mendorong agar pemerintah melaksanakan program landreform. Terbukti dari pencantuman frasa “penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah sehingga benar‐benar sesuai dengan asas adil dan merata”, termasuk menjadikan program transmigrasi sebagai bagian dari upaya landreform, pada setiap Garis Besar Haluan Negara (GBHN) . Bahkan dalam GBHN 1988 secara khusus terdapat frasa “perlu dicegah pemilikan tanah perseorangan secara berlebihan, serta pembagian tanah menjadi sangat kecil sehingga tidak menjadi sumber kehidupan yang layak” (Hendrawan, 2003)

Tujuan Reforma AgrariaPada masa awal terbitnya UUPA No. 5/1960, landreform

bertujuan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata (PP No. 224/1961).

Menteri Agraria Sadjarwo dalam pidato pengantar

penyerahan rancangan UUPA pada tanggal 12 September 1960 menyatakan bahwa tujuan pelaksanaan landreform di Indonesia adalah (i) mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah; (ii) melaksanakan prinsip tanah untuk petani, supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan; (iii) memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik; (iv) mengakhiri sistim tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar‐besaran dengan cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga (Gautama, 1986).

Namun menurut Zulkarnain (2004), tujuan landreform dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) tujuan yaitu (i) ekonomis, untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik rakyat serta memberi fungsi sosial pada hak milik, memperbaiki produksi nasional khususnya di sektor pertanian guna mempertinggi taraf hidup rakyat; (ii) politis, mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas, mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah; (iii) psikologis, meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak, memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan penggarap.

Berjalannya waktu, kemudian melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang dicanangkan sebagai landreform plus, yakni landreform untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (reforma aset), ditambah dengan reforma akses. Dengan demikian, tujuan PPAN mencakup (i) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih adil; (ii) mengurangi kemiskinan; (iii) menciptakan lapangan kerja; (iv) memperbaiki akses rakyat kepada sumber ekonomi, terutama tanah; (v) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (vi) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; (vii) meningkatkan ketahanan pangan (Shohibuddin, 2009).

Prinsip dan KebijakanPembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam

harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip‐prinsip (pasal 4 TAP MPR IX/2001), yaitu (i) memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (ii) menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; (iii) menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; (iv) mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia; (v) mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat; (vi) mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam; (vii) memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan; (viii) melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

7INDONESIA

Edisi 1 - 2014

FOKUS

2

Secara rinci dapat dilihat pada GBHN 1978 (TAP MPR RI No. IV/MPR/1978), GBHN 1983 (TAP MPR RI NO. II/MPR/1983), GBHN 1988 (TAP MPR RI No. II/MPR/1988), GBHN 1988 (TAP MPR RI No. II/MPR/1993), GBHN 1998 (TAP MPR RI No. II/MPR/1998) dan GBHN 1999 (TAP MPR RI No. IV/MPR/1999).

2

3

Istilah reforma agraria yang secara resmi dipergunakan pemerintah pasca reformasi.3

Pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang‐undangan dalam rangka Pelaksanaan Landreform.

Pada tahun 2001, MPR kembali menelurkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia.TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang secara jelas mencantumkan langkah‐langkah percepatan reforma agraria berupa penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan.

Page 9: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 8

(ix) meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam; (x) mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam; (xi) mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; (xii) melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

Kebijakan pembaruan agraria secara jelas tercantum dalam pasal 5 TAP MPR No. IX/MPR/2001, yaitu (i) melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang‐undangan yang berkaitan dengan agrarian dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang‐undangan yang didasarkan pada prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini; (ii) melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah (landreform) (P4T) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; (iii) menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi P4T secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; (iv) menyelesaikan konflik berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa datang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini; (v) memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria; (vi) mengupayakan dengan sungguh‐sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik sumberdaya agraria yang terjadi.

Konsep dan ImplementasiBerdasarkan amanat UUPA Nomor 5 Tahun 1960, terdapat

6 (enam) elemen pokok program Landreform, yaitu (i) pembatasan pemilikan maksimum, (ii) larangan pemilikan tanah absentee, (iii) redistribusi tanah yang melampaui batas maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya, (iv) pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan; (v) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, (vi) penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan melakukan perbuatan mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil (Supriadi, 2007).

Dalam perjalanannya, program landreform ini berkembang dan akhirnya menjelma menjadi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang seringkali disebut juga sebagai landreform plus karena mempunyai 2 (dua) pilar yaitu reforma aset (landreform) dan reforma akses. Reforma aset merupakan upaya redistribusi tanah sebagaimana yang selama ini dikenal sebagai landreform, dan reforma akses

sebagai kegiatan pelengkap/penunjang redistribusi aset untuk memastikan terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan modal, pendampingan, dan penyediaan teknologi pertanian. Ciri khas dari PPAN yang membedakannya dengan program terdahulu adalah formula penguatan aset (pemberian hak) dan pembukaan akses (modal dan pasar). Kegiatan ini juga melibatkan lintas sektor.

Strategi dasar PPAN yang ditetapkan oleh BPN (2007) adalah (i) penataan konsentrasi aset dan tanah terlantar melalui penataan politik dan hukum pertanahan berdasar Pancasila, UUD 1945 dan UUPA; (ii) mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh negara (obyek) untuk rakyat (subyek).

Untuk itu, pelaksanaan program ini mencakup 4 (empat) lingkup kegiatan, yaitu penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme distribusi aset, dan pengembangan reforma akses.

Penetapan obyek mencakup penyediaan tanah bagi pelaksanaan reforma agraria dari sejumlah sumber yaitu (i) tanah bekas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai; (ii) tanah yang terkena ketentuan konversi; (iii) tanah yang diserahkan sukarela oleh pemiliknya; (iv) tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan peraturan perundang‐undangan; (v) tanah obyek landreform ; (vi) tanah bekas obyek landreform; (vii) tanah timbul; (viii) tanah bekas kawsan pertambangan; (ix) tanah yang dihibahkan oleh pemerintah; (x) tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah; (xi) tanah yang dibeli oleh pemerintah; (xii) tanah pelepasan kawasan hutan produksi konversi; (xiii) tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan.

Penetapan subyek menggunakan 3 (tiga) variabel pokok dalam menentukan kriteria yaitu (i) umum (Warga Negara Indonesia, miskin, minimal 18 tahun atau sudah menikah); (ii) khusus (bertempat tinggal atau bersedia bertempat tinggal di kecamatan letak tanahnya, kemauan tinggi mendayagunakan tanah); (iii) prioritas (tidak memiliki tanah, jumlah tanggungan keluarga, lama bertempat tinggal dan mata pencaharian).

Secara umum, urutan kelompok prioritas dalam penentuan subyek penerima PPAN adalah (i) pertama, petani yang bekerja dan menetap di lokasi obyek PPAN; (ii) kedua, petani penggarap dan buruh tani yang tidak memiliki tanah pertanian; (iii) ketiga, petani yang memiliki luas tanah pertanian kurang dari 0,5 ha; (iv) keempat, petani pelaku pertanian dalam arti luas termasuk nelayan yang membutuhkan tanah guna melangsungkan kehidupannya; (kelima, penduduk miskin berdasar data BPS atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan (Shohibuddin, 2009).

tempokini.com

Pasal 4 berbunyi negara mengatur pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam untuk sebesar‐ besar kemakmuran rakyat

4

4

Berdasar PP Nomor 224 Tahun 1961 Jo. PP Nomor 41 Tahun 1961 menyebutkan tanah obyek landreform adalah (i) tanah kelebihan maksimum, (ii) tanah absente, (iii) tanah swapraja dan bekas swapraja, (iv) tanah lain yang dikuasai Negara.

5

5

Page 10: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

9INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Tahapan PelaksanaanPelaksanaan landreform di Indonesia dapat dibagi dalam

2 (dua) periode, yaitu periode pertama (1962‐1965) dan periode kedua (setelah 1977). Pada masa 1965‐1977, program landreform mengalami stagnasi. Secara yuridis, landreform telah dimulai sejak berlakunya PP Nomor 224 Tahun 1961, walaupun konkritnya baru pada tahun 1962.

Pembelajaran IndonesiaPembelajaran pelaksanaan landreform dan reforma agraria di Indonesia dapat dikategorikan dalam 2 tahapan pelaksanaan yaitu sebelum reformasi dan setelah reformasi.

A. Sebelum ReformasiPelaksanaan landreform terkendala oleh setidaknya 2 (hal)

mendasar, yaitu (i) penegak hukum belum memahami sepenuhnya isu agraria, (ii) pemahaman agraria di kalangan akademisi masih terbatas pada aspek hukumnya saja, sementara agraria mencakup sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, politik, bahkan pertahanan dan keamanan (Shohibuddin dan Salim, 2012).

Walf Ladejinsky, seorang arsitek landreform di Jepang, menyampaikan 2 (dua) kritik utama terkait pelaksanaan landreform di Indonesia, yaitu (i) ketidakkonsistenan antara gagasan dan pelaksanaan. Pelaksanaan gagasan yang dipandang revolusioner terhambat oleh birokrasi yang berbelit‐belit dan data yang tidak akurat (ii) model redistribusi tidak sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan. Misal, batasan kepemilikan minimum 2 (dua) ha tidak realistis disebabkan tidak jelas jumlah penerima dan tanah yang menjadi obyek landreform (Shohibuddin, 2012).

Hal ini juga didukung oleh hasil pengamatan Herawan (2003), yang menyatakan bahwa landreform hanya berhasil dilaksanakan terhadap tanah negara sementara dari sumber tanah kelebihan maksimum dan absentee masih belum dapat dilaksanakan.Kendala utamanya adalah (i) belum tersedia data yang akurat mengenai obyek serta subyek tanah; (ii) kebanyakan pemilik tanah yang melebihi ketentuan maksimum dan tanah absente adalah para penguasa dan pengusaha yang berpengaruh.

Berdasar pengalaman berhentinya program landreform antara tahun 1965‐1967, dapat disimpulkan bahwa kondisi politik juga dapat mempengaruhi pelaksanaan program sejenis landreform. Apalagi dengan adanya stigma landreform adalah produk negara komunis.

Pada saat pemerintah sedang gencar melaksanakan revolusi hijau sebagai upaya swasembada beras, ternyata membawa konsekuensi akumulasi penguasaan tanah pada golongan petani tertentu, bahkan bagi petani kecil

cenderung berkurang perannya dalam bidang pertanian (Herawan, 2003).Dengan demikian, kebijakan pemerintah khususnya dalam bidang pertanian perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap pelaksanaan landreform.Salah satu contoh sejenis adalah program perkebunan berorientasi ekspor yang membutuhkan lahan yang luas.Dalam upaya memenuhi kebutuhan tanah ini, terjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat terkait status kepemilikan tanah.Masyarakat menjadi korban karena tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah, walaupun pada kenyataannya tanah tersebut merupakan tanah adat.

B. Setelah Reformasi (Setelah tahun 1998)Memasuki era pemerintahan SBY, walaupun BPN telah

diberi fungsi melaksanakan reforma agraria dan telah dicanangkan melalui pidato presiden tahun 2007, dan reforma agraria dijalankan secara resmi melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), namun pelaksanaannya hanya terbatas pada pensertifikatan atas tanah pertanian dan tidak ada redistribusi tanah. Sepertinya kondisi ini mengulang kegagalan landreform sebelumnya ketika tidak tersedia tanah yang menjadi obyek landreform, walaupun presiden telah mendeklarasikan pengalokasian lahan seluas 9,25 juta ha. Akibatnya program PPAN tidak berbeda dengan program sebelumnya (PRONA dan LARASITA/Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah), kecuali bahwa proses sertifikasi melalui PPAN tidak dipungut bayaran.

Walaupun PPAN dianggap cukup berhasil, tetapi pengamat agraria menilai program ini berjalan lamban disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu (i) program ini disandarkan pada BPN, sebuah lembaga pemerintah non‐kementerian yang dinilai 'kurang kuat' untuk menjalankan agenda besar ini; (ii) ego sektor menimbulkan hambatan birokrasi; (iii) belum tersedia paying hukum pelaksanaan program lintas sector; (iv) lemahnya dukungan masyarakat sipil akibat proses yang dianggap tertutup (KPA, 2009).

Secara lebih lengkap, Rolaswati (tanpa tahun) menyimpulkan terdapat 5 (lima) hal yang menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, yaitu (i) pembaruan agraria pada dasarnya merupakan perubahan struktur sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Perubahan ini tentunya mendapat tantangan dari pihak tertentu yang merasa kepentingannya terganggu khususnya pihak yang memiliki sumber agraria berlimpah dan memperoleh keuntungan keuangan; (ii) kekuatan kapitalis global yang secara sistematis dan terencana terus menggulirkan dan mendesakkan gagasan globalisasi dan pasar bebas yang tentu saja bertentangan dengan prinsip reforma agraria; (iii) organisasi nonpemerintah masih belum mampu menjadi kekuatan pendorong perubahan; (iv) adanya sikap paranoid terhadap ide reforma agraria/landreform sebagai bagian dari ideologi komunis; (v) masih langkanya pakar agraria yang mengakibatkan proses penyadaran masyarakat menjadi terhambat. [OM, disarikan dari berbagai sumber]

Secara umum, terdapat 3 (tiga) mekanisme reforma agraria berdasarkan pada kondisi/kedudukan subyek (penerima tanah redistribusi) dan obyek (tanah yang akan didistribusikan), yaitu (i) subyek dan obyek pada lokasi yang sama atau berdekatan; (ii) ketika subyek dan obyek berjauhan digunakan skema (a) subyek mendekati obyek. Skemanya mirip transmigrasi yaitu memindahkan subyek ke lokasi tanah redistribusi; (b) obyek mendekati subyek. Dikenal sebagai skema swap atau pertukaran tanah yang didasarkan pada cara konsolidasi lahan atau bahkan bank tanah. Skema ini jauh lebih rumit.

Page 11: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 10

FOKUS

Dalam konteks peningkatan produktivitas dan peningkatan

kesejahteraan rakyat, dapat dikatakan hampir semua negara

industri maju telah melakukan reforma agraria sebelum

melaksanakan industrialisasinya. Pengalaman pelaksanaan

reforma agraria di sejumlah negara Asia (seperti: Taiwan,

Jepang, Korea Selatan, dan Cina), Afrika dan Amerika Latin,

seperti yang diungkapkan oleh Lin (1974) menunjukkan

setidaknya ada 10 (sepuluh) aspek utama yang perlu diurus

kelengkapannya oleh penyelenggara negara bila reforma

agraria mau berhasil, yakni: (i) Mandat Konstitusional, (ii)

Hukum Agraria dan Penegakannya, (iii) Organisasi Pelaksana,

(iv) Sistem Administrasi Agraria, (v) Pengadilan, (vi) Desain

Rencana dan Evaluasi, (vii) Pendidikan dan Latihan, (viii)

Pembiayaan, (ix) Pemerintahan Lokal, dan (x) Partisipasi

Organisasi Petani (Lin (ed.), 1974).

Salah satu negara yang dianggap maju dalam pelaksanaan

landreform adalah Taiwan. Programnya dimulai tahun 1949, dan

hasilnya menjadikan Taiwan merupakan negara yang hampir

semua penggarap memiliki tanah dan semua petani merupakan

produsen mandiri. Landreform di Taiwan dilaksanakan melalui

pengurangan bea sewa, penjualan tanah garapan negara dan

program tanah untuk penggarap (Sudiyat, 1982).

Pada awalnya di Taiwan berlaku sewa tanah pertanian yang

tinggi mencapai 50% dari hasil panen setahun, yang tentunya

merugikan bagi petani penggarap. Pemerintah kemudian

mengeluarkan Undang‐Undang Pengurangan Sewa Tanah yang

membatasi sewa tanah menjadi maksimal 37,3% saja. Bentuk

perjanjian sewa‐menyewa diharuskan tertulis, dan dalam jangka

waktu minimal 6 (enam) tahun dan harus dilanjutkan jika

penggarap tidak wanprestasi. Hal ini mendorong petani

penggarap lebih bersemangat lagi, dan mempunyai

kesempatan menabung untuk membeli rumah, dan tanah

sendiri. Ini langkah awal landreform di Taiwan.

Skema lainnya adalah penjualan tanah garapan negara yang

sering disebut sebagai fase kedua pelaksanaan landreform.

Pemerintah menyewakan tanah kepada petani dengan biaya

sewa 25% dari hasil panen setahun. Kemudian pemerintah mulai

menjual tanah tersebut kepada penyewa, dengan harga

pembelian 2,5 kali dari seluruh hasil panen setahun dengan

membayar secara angsuran selama 10 tahun.

Selanjutnya, skema ketiga berupa program tanah untuk

penggarap yang dimulai pada tahun 1953 dengan ditetapkannya

Undang‐Undang Tanah untuk Penggarap. UU ini menetapkan

maksimum pemilikan/penguasaan tanah pertanian adalah 3

(tiga) hektar. Tanah garapan yang melebihi luasan tersebut

dibeli paksa oleh pemerintah dan dijual kembali kepada petani

dengan harga 2,5 kali hasil panen setahun, dibayar secara

angsuran selama 10 tahun dengan besarnya angsuran 37,3% dari

hasil setiap panen setahun. Sebagai ketentuan tambahan,

petani diberi hak milik atas tanah sejak angsuran pertama, dan

tidak dibenarkan menjual tanah sampai tanahnya lunas.

Hasilnya menunjukkan perubahan mendasar, yaitu sebanyak

195 ribu KK penyewa membeli 140 ribu ha tanah yang dibeli

pemerintah secara paksa dari tuan tanah. Pemilik tanah

pertanian meningkat dari 61% menjadi 86%, sedangkan penyewa

menurun drastis dari 39% menjadi hanya 14% (Sudiyat, 1982).

Hasil lainnya, produksi padi meningkat tajam dari 1,1 juta ton

(1949) menjadi 2,4 juta ton (1964).

Secara khusus, faktor yang mendukung keberhasilan

landreform di Taiwan adalah (i) adanya penelitian yang cermat

yang berujung pada ketersediaan data yang valid, (ii)

penyuluhan yang berkualitas dan teratur; (iii) pengukuran

pendaftaran tanah yang teliti, (iv) pengembangan sarana

perkreditan yang mudah diakses; (v) dukungan regulasi yang

jelas dan harmonis; dan (vi) partisipasi aktif masyarakat

termasuk lembaga non pemerintah. Namun yang terpenting

adalah ketetapan hati pemerintah dalam melaksanakan

program ini.

Pembelajaran lain dari Korea Selatan dalam hal menghindari

spekulasi tanah. Langkah yang dilakukan Korea Selatan berupa

penerapan Comprehensive land holding tax (CLHT), yaitu

penerapan pajak tinggi terhadap setiap kelebihan dari luasan

minimum tanah pertanian, dan land value increment tax (LVIT),

yaitu penerapan pajak tinggi terhadap tanah tidak

termanfaatkan, serta tanah pertanian yang dikerjakan oleh

bukan petani. Kebijakan ini diterapkan pada tahun 1989‐1990

(Herawan, 2003).

Pengalaman beberapa Negara latin menunjukkan bahwa

reforma agraria harus (Lindquist, 1979) (i) bermakna sebagai

suatu transfer kekuasaan; (ii) pengembalian tanah rakyat yang

dirampas; (iii) pembagian tanah secara merata; (iv) mengarah

pada pengelolaan tanah yang lebih baik; (v) meningkatkan

kesejahteraan petani; (vi) meningkatkan produksi pertanian;

(viii) menciptakan lapangan kerja; (ix) mempercepat

pembentukan modal, investasi, dan teknologi (inovasi bidang

pertanian); (x) menciptakan dukungan politik bagi partai politik

pro reforma agraria; (xi) menjungkirbalikkan masyarakat

kapitalis; (xii) memungkinkan dilakukan di masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa kunci keberhasilan reforma

agraria adalah (i) komitmen kuat dari pemerintah dan pimpinan

tertinggi Negara; (ii) tersedianya data dan informasi yang

lengkap; (iii) didukung parlemen; (iv) partisipasi semua

pemangku kepentingan; (v) dipersiapkan secara matang dan

dilaksanakan secara konsisten dan bertahap (Mulyani ed., 2011).

PembelajaranReforma�Agraria:Berkaca�dari�Mancanegara

Sebagian besar materi disarikan dari disertasi Herawan berjudul Kajian atas Landreform dalamrangka Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara,Medan, 2003

Page 12: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

11INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Era Pemerintahan Presiden SoekarnoPasca kemerdekaan di era Presiden Soekarno, Landreform di

Indonesia di atur dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok‐pokok Agraria (UUPA), dan merupakan salah satu

tonggak utama pelaksanaannya di Indonesia. Terdapat lima

program atau “panca program” yang harus dilaksanakan dalam

UU tersebut, yaitu:

1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum

yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan

kepastian hukum;

2. Penghapusan terhadap segala macam hak‐hak asing

dan konsesi‐konsesi kolonial atas tanah;

3. Mengakhiri penghisapan feodal secara

berangsur‐angsur;

4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan

tanah serta berbagai hubungan‐hubungan hukum yang

berkaitan dengan pengusahaan atas tanah dalam

mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;

5. Perencanaan persediaan, peruntukan bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta

penggunaannya secara terencana sesuai dengan daya

dukung dan kemampuannya.

Pada program pertama, pembaruan hukum agraria

dilatarbelakangi oleh praktik pelaksanaan hukum agraria yang

kala itu masih bersifat pluralisme, dengan berlaku lebih dari

satu hukum, yaitu tidak hanya hukum nasional (berdasarkan

pada UU Hukum Perdata) namun juga aturan hukum yang

berdasarkan pada adat istiadat. Dari kondisi tersebut,

ditemukan “karakteristik” hukum agraria yang khas Indonesia,

yang didasarkan pada hukum adat yang berlaku di masyarakat

Indonesia dan menjadi tujuan ideal agraria di indonesia,

sehingga dalam mencapai tujuan ideal tersebut didukung pula

UU No.2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, dan di tahun

1958 dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan

Tanah Partikelir.

Selain itu, UU No. 56/PRP/1960 tentang Landreform, juga

mengatur setidaknya 3 hal penting yang mendukung perubahan

mendasar dibidang keagrariaan, yaitu Penetapan luas minimal

dan maksimal tanah pertanian yang boleh dimiliki/dikuasai oleh

seorang WNI atau satu keluarga WNI; status tanah pertanian

yang berada dalam ikatan gadai pada waktu diundangkannya

UU No. 56/PRP/1960; dan peralihan hak milik atas tanah

pertanian. (Sumarningsih, 2006)

Selama keberjalanan Landreform di era pemerintahan Presiden

Soekarno yang dilaksanakan pada tahun 1961‐1965, ada

beberapa hal yang menghambat pelaksanaan Landreform,

(Wiradi, 2002. dan Sumarningsih, 2006) yaitu sistem

administrasi pertanahan yang belum siap dan belum sempurna

untuk diterapkan; banyaknya resistensi terhadap pelaksanaan

landreform; kapasitas SDM dari panitia pelaksana yang tidak

berkomitmen penuh untuk kesuksesan program; kelompok tani

atau organisasi tani di daerah yang berperan kurang optimal;

faktor psikologis dan ekonomi dari “tuan tanah” kepada buruh

tani; dan penerima manfaat redistribusi tanah tidak mampu

mengelola tanahnya sehingga menjadi tanah terlantar.

Menurut pengamatan Olle Tornquist (2011), terdapat beberapa

persoalan mendasar dari pelaksanaan Landreform di

Pemerintahan Soekarno, yaitu:

1. Panitia pelaksana reformasi tanah bersifat top‐down,

sehingga tidak dapat memahami realitas penguasaan

tanah di daerah pedalaman seperti di Jawa, Madura,

Bali dan Lombok;

2. Daftar pemilikan tanah (administrasi kepemilikan

tanah) yang tidak memadai paska kemerdekaan,

diantaranya dikarenakan banyak rakyat di era

kolonialisme berupaya untuk tidak mendaftarkan

tanahnya menghindari pajak tanah yang sangat besar;

sementara paska kemerdekaan, pemerintah belum

pernah melakukan pemetaan dan administrasi ulang

kepemilikan tanah‐tanah masyarakat, kecuali

tanah‐tanah milik negara yang disewakan kepada

perusahaan swasta atau tanah‐tanah partikulir milik

warga negara asing;

3. Terjadinya perbedaan estimasi data tanah‐tanah

kelebihan milik tuan tanah yang sedianya akan

dibagikan atau diredistribusikan kepada petani

penggarap tak bertanah, karena banyak terjadi

penyelundupan kepemilikan tanah kepada famili jauh

para tuan tanah, atau dengan dalih telah dihibahkan

kepada lembaga keagamaan dan lainnya.

Sejarah�PelaksanaanReforma�Agraria�di�Indonesiadari�Masa�ke�Masa

FOKUS

suara‐tani.blogspot.sg

Page 13: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 12

Era Pemerintahan Orde BaruKebijakan‐kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah

Soeharto pada masa Orde Baru, terkait pengelolaan sumber

daya alam, lebih bersifat sektoral dan monopolistik. Hal ini

terwujud dalam program transmigrasi dan Perkebunan Inti

Rakyat (PIR BUN). Program transmigrasi dibentuk karena

masalah kepadatan penduduk di pulau Jawa semakin

mengemuka, sehingga diperlukan suatu kebijakan untuk

mengurangi tekanan penduduk di pulau Jawa.

Dasar hukum program transmigrasi di Indonesia adalah UU No.

3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi, yang

didalamnya disebutkan bahwa setiap keluarga transmigran

memperoleh minimal 2 (dua) hektar tanah pertanian. Meski

dalam undang‐undang tidak terdapat pasal yang menjelaskan

kegiatan Landreform, namun program transmigrasi diarahkan

sebagai pengganti dari pelaksanaan Landreform. Hal ini secara

eksplisit terlihat dari bentuk kegiatan berupa pendistribusian 2

(dua) hektar tanah per Kepala Keluarga (KK), yang diikuti

dengan skema kredit‐kredit lainnya. Penjelasan tersebut sesuai

dengan kegiatan Landreform yang tersurat dalam UUPA No. 56

Tahun 1960.

Salah satu bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah

Perkebunan Inti‐Rakyat (PIR) yang merupakan program

pemberdayaan melalui kerjasama rakyat pemilik tanah dengan

perusahaan. Inti dari konsep program ini adalah pola

pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan

menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu

dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai

plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling

menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan.

Proyek PIR‐TRANS ini merupakan suatu paket pengembangan

wilayah yang utuh yang terdiri dari komponen utama dan

komponen penunjang. Komponen utama merupakan

komponen yang terdiri dari: pembangunan perkebunan inti,

pembangunan kebun plasma, pembangunan pemukiman yang

terdiri dari tanah pekarangan dan perumahan. Sedangkan

komponen penunjang merupakan komponen yang meliputi

pembangunan prasarana umum.

Program berikutnya berupa PRONA, merupakan program

nasional yang dilaksanakan pemerintah Soeharto pada tahun

1981‐1982. Hal ini menandai pula perubahan pola kegiatan yang

dilakukan instansi bidang pertanahan di Indonesia, yaitu BPN,

menjadi semata berfungsi untuk mengurus tertib administrasi

pertanahan. Meskipun demikian, keterbatasan institusional

juga tidak membuat PRONA menjadi sebuah langkah masif

proses sertifikasi karena hingga berakhirnya program (yang

tidak terlalu jelas) digantikan menjadi Proyek Adjudikasi

Pertanahan yang memiliki tujuan dan mekanisme yang sama.

Era ReformasiProgram keagrariaan yang dimulai pada tahun 1997 ini,

diwujudkan dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah No. 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri

Agraria, serta Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 sebagai teknis

pelaksanaan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP). Proyek

tersebut berupa sertifikasi dan penertiban administrasi

pertanahan yang dijalankan oleh Badan Pertanahan Nasional

(BPN). Proyek ini direncanakan selama 25 tahun, dengan target

pensertipikatan 77 juta bidang tanah (Soehendra, 2010).

Lalu dikembangkan pula program pengembangan kebijakan

dan manajemen pertanahan yang mencakup kegiatan

pengembangan kebijakan pertanahan, peningkatan kapasitas

kelembagaan, percepatan pendaftaran tanah, pengembangan

sistem informasi pertanahan dan peningkatan kapasitas

pemerintah daerah dalam pelaksanaan manajemen

pertanahan, yang dikenal sebagai Land Management and Policy

Development (LMPDP). Instansi pelaksana program ini adalah

Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Dalam Negeri

(dahulu Departemen Dalam Negeri) dan Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (Bappenas).

Selanjutnya pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono, dibentuk Program Pembaruan Agraria Nasional

(PPAN) yang merupakan bagian dari visi dan misi Presiden

dengan instansi pelaksana yang ditunjuk adalah Badan

Pertanahan Nasional (BPN). Program tersebut kemudian

dirumuskan menjadi Program Strategis Badan Pertanahan

Nasional, yaitu (i) Percepatan, Ketepatan, Kemudahan,

Transparansi, dan Akuntabilitas Legalisasi Aset Tanah

Masyarakat dan Pemerintah; (ii) Reforma Agraria; (iii)

Penertiban Tanah Terlantar; (iv) Penyelesaian Masalah

Pertanahan, dan (v) Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah

(LARASITA) untuk memberikan keadilan akses pertanahan

bagi masyarakat.

asiapacific.anu.edu.au

disnak.jabarprov.go.id

Page 14: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

13INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Dalam keberjalanannya, Kepala BPN RI periode 2004‐2009, Joyo Winoto, mengusung konsepsi pro‐poor agrarian reform sebagai

upaya bersama pemerintah dan kekuatan‐kekuatan sosial masyarakat untuk menata kembali distribusi penguasaan tanah yang

timpang, dengan bertumpu pada adanya organisasi‐organisasi rakyat miskin pedesaan yang otonom; digalangnya koalisi politik

yang luas dan pro‐reforma agraria; disalurkannya investasi publik, kredit pemerintah, dan asistensi teknis yang besar; dan

dijalankannya strategi pembangunan pro‐poor yang berorientasi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity).

Pada Tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengarahkan pelaksanaan Reforma Agraria dilakukan secara bertahap,

dengan tujuan reforma agraria yang dirumuskan adalah (i) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan

tanah kearah yang lebih adil; (ii) mengurangi kemiskinan; (iii) menciptakan lapangan kerja; (iv) memperbaiki akses rakyat kepada

sumber‐sumber ekonomi, terutama tanah; (v) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (vi) memperbaiki dan menjaga

kualitas lingkungan hidup; dan (vii) meningkatkan ketahanan pangan.

Dalam mekanisme penyelenggaraan reforma agraria, melingkupi empat kegiatan utama (Shohibuddin dkk 2007; Winoto 2008),

yakni penetapan objek, penetapan subjek, sistem mekanisme dan delivery system, dan pengembangan reforma akses.

Pada kegiatan penetapan objek Reforma Agraria, tanah objek yang dimaksud merupakan tanah negara dari berbagai sumber yang

menurut peraturan perundang‐undangan dapat didistribusikan ke masyarakat, dan dalam pengalokasiannya mempertimbangkan

karakteristik sebaran penduduk berdasarkan wilayah kepadatan penduduk. Lalu pada penetapan subjek Reforma Agraria

(penerima manfaat), secara prinsip dialokasikan untuk rakyat miskin, dengan kriteria yang disusun dan pertimbangan standar

kemiskinan.

Gambar Alur Seleksi Calon Penerima Manfaat

Obyek

Subyek

Model III(O S)

Dukungan Lainnya

Distribusi dan Pemasaran

Permodalan

Pembinaan danBimbingan Teknis

Infrastruktur danSarana Produksi

Access Reform

Model dan Mekanisne PPAN

Model II(S O)

Model I(O S)

PenetapanSubyek PPAN

PenetapanObyek PPAN

Sumber: BPN 2007; Shohibuddin et al 2007; Winoto 2008

Gambar Alur Penetapan Obyek, Penetapan Subyek, Mekanisme dan Delivery System Aset Tanah, dan Penyediaan Akses

Bertempat tinggal atau bersediatinggal di kecamatan letak

tanahnya

a. Tidak memiliki tanah (landless).b. Jumlah tanggungan keluarga.c. Lamanya bertempat tinggald. Mata pencahariane. Pendidikan

URUTANPRIORITAS

Pembobotan

Sumber: BPN 2007; Shohibuddin et al 2007; Winoto 2008

Berusiaminimal

18 tahunatau

sudahmenikah

WargaNegaraIndonesia

Miskin

Kemaauan yangtinggi untuk

mendayagunakantanah

Memiliki asetyang bernilai

< 15 jutarupiah

Page 15: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 14

Penyusunan penerima manfaat akan didasarkan pada

pendekatan hak‐hak dasar rakyat (basic rights approach) yang

merupakan hak yang universal dan dijamin oleh konstitusi. Dari

sini diperoleh tiga variabel pokok dalam menentukan kriteria,

yaitu kependudukan, sosial‐ekonomi, dan penguasaan tanah

(Winoto 2007). Dari ketiga variabel ini ditetapkan kriteria

umum, kriteria khusus dan urutan prioritas.

Tahap selanjutnya adalah bagaimanakah mekanisme dan

delivery system Reforma Agraria dilakukan, sehingga dapat

tersampaikan secara tepat. Persoalan ini penting terutama jika

dihadapkan pada kondisi di mana subyek agraria ternyata tidak

berada dalam satu lokasi dengan tanah yang tersedia (obyek

reforma agraria). Pada tahap kegiatan ini, BPN

mengembangkan model‐model alternatif berdasarkan posisi

obyek dan subyek reforma agraria.

FOKUS

PendudukSetempat

BuruhTani

Petani Gurem

Petani

Penduduk Miskin

Subjek Lain

12

3

4

5

6

Kelompok Prioritas 1: Kelompok Prioritas 2 yang menetap danbekerja di lokasi obyek PPAN

Kelompok Prioritas 2: Kelompok Prioritas 4 yang berstatus petanipenggarap dan buruh tani yang tidak memiliki tanah pertanian

Kelompok Prioritas 3: Kelompok Prioritas 4 yang memiliki luastanah pertanian pangan kurang dari 0,5 ha

Kelompok Prioritas 4: Kelompok Prioritas 5 yang juga pelakupertanian dalam arti luas termasuk nelayan yang membutuhkantanah guna melangsungkan kehidupannya

Kelompok Prioritas 5: dapat mengacu data penduduk miskinBPS atau informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan

Kelompok Prioritas 6: Subyek lain yang kegiatannya diperlukandan berkaitan langsung untuk menunjang keberhasilan PPAN

Gambar Urutan Kelompok Prioritas dalamPenentuan Subyek Penerima

Sumber: BPN 2007; Shohibuddin et al 2007; Winoto 2008

ews.kemendag.go.id

Secara garis besar mekanisme dan delivery system reforma

agraria ini dikelompokkan menjadi tiga model dasar, yaitu:

‐ Model I: mendekatkan obyek ke tempat subyek. Dalam

model ini, tanah dari daerah surplus tanah atau tidak

padat penduduk didekatkan ke daerah minus tanah, padat

penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat.

‐ Model II: mendekatkan subyek ke tempat letak obyek.

Dalam model ini calon penerima manfaat (subyek)

berpindah secara sukarela (voluntary) ke lokasi tanah yang

tersedia.

‐ Model III: subyek dan obyek di satu lokasi yang sama.

Model ini berlaku untuk keadaan di mana subyek dan

obyek berada di lokasi yang sama.

Setelah subjek reforma agraria memperoleh tanah, maka perlu

kepastian keberlanjutan manfaat yang diterima berupa

pengembangan reforma akses. Reforma akses ini dilakukan

guna mengoptimalkan tanah agar oleh penerima manfaat

(subyek reforma agraria) dapat mengolah dan memanfaatkan

tanah pengusahaan obyek reforma agraria. Reforma akses ini

merupakan rangkaian aktivitas yang saling terkait dan

berkesinambungan. Bentuk kegiatan reforma akses bisa

meliputi (i) penyediaan infrastruktur dan sarana produksi; (ii)

pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat;

(iii) dukungan permodalan; (iv) dukungan distribusi pemasaran

serta dukungan lainnya.

Dalam rangka pengembangan reforma akses, penerima

manfaat dapat memilih alternatif untuk mengelola tanah

secara perorangan atau membentuk usaha bersama ataupun

kelompok tani. Selanjutnya kelompok tani tersebut, bersama

dengan Pemerintah Daerah/BUMD dan badan usaha

lain/penanam modal, dapat membentuk badan usaha patungan

misalnya di bidang perkebunan, yang tentunya dukungan dari

Bank atau lembaga keuangan lain. Selain model di atas, petani

penerima manfaat juga dapat memilih opsi lain yaitu

membentuk sebuah badan usaha milik petani (BUMP) yang

pembentukannya difasilitasi oleh Pemerintah/ Pemerintah

Daerah guna mengoptimalkan pengusahaan tanahnya. [RZ]

Page 16: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

RANCANGAN KEBIJAKAN

15INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Redistribusi tanah (land reform) merupakan salah satu

bagian dari agrarian reform, atau yang sering disebut dengan

reforma agraria. Berdasarkan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,

Reforma Agraria dinyatakan sebagai pembaruan agraria yang

mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan

penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan sumber daya agraria, yang dilaksanakan dalam

rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta

keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Reforma Agraria melalui Program Pembaruan Agraria

Nasional (PPAN) telah menjadi komitmen Pemerintah dalam

upaya memperbaiki permasalahan utama pada ketimpangan

Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

(P4T). Salah satu tantangan pelaksanaan redistribusi tanah

sebagai bagian Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)

adalah belum tersedianya kerangka waktu pelaksanaan.

Pengalaman beberapa negara dalam melaksanakan reforma

agraria, misalnya di Filipina yang membutuhkan waktu 14 tahun

dalam upaya redistribusi tanpa pengembangan teknologi dan

tanpa penyelesaian konflik skala besar dan 8 tahun selanjutnya

berupa penerapan teknologi usaha tani untuk pertanian lahan

sawah. Sedangkan di Brasil, membutuhkan waktu 8 tahun untuk

melakukan redistribusi tanah yang dampaknya menyelesaikan

konflik agrobisnis dengan keluarga petani, kompensasi sosial

serta distribusi kekayaan.

Sebagai gambaran pengalaman negara‐negara lain, Filipina

berhasil melakukan redistribusi seluas 5,96 juta Ha, Thailand telah

melakukan redistribusi tanah seluas 6,22 juta Ha, dan Brasil telah

menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan skala besar dan

redistribusi tanah seluas 85,8 juta Ha. Mengingat kebutuhan

Indonesia untuk menyelesaikan konflik skala besar dan

mengakomodasi pengembangan teknologi pertanian dan

pangan, maka diusulkan redistribusi tanah dilaksanakan dalam

kurun waktu sepuluh tahun secara bertahap.

Reforma Agraria secara ideal terdiri dari redistribusi tanah

(Asset Reform) dan Reforma Akses (Access Reform). Penyediaan

input sumber daya pendamping bagi penerima program

redistribusi tanah atau populer yang disebut Reforma Akses,

merupakan upaya mengeluarkan penduduk miskin dari “jebakan

kemiskinan” (poverty trap), karena dalam pelaksanaan kebijakan

redistribusi tanah banyak terjadi penyimpangan berupa

pengalihan hak atas tanah yang telah diserahkan. Pemerintah

perlu melengkapi pemberian bidang tanah dengan sumber daya

lain yang dibutuhkan oleh penduduk miskin penerima untuk

dapat mengolah dan memanfaatkan tanah redistribusi. Dengan

demikian, sumber daya pelengkap yang diperlukan ini dianggap

akses menuju tingkat kesejahteraan yang lebih baik atau disebut

sebagai kebijakan Reforma Akses (Access Reform). Berikut

penjelasan rincian tahapan pelaksanaan penyusunan kebijakan

reforma agraria di Indonesia.

Persiapan Uji Coba Redistribusi Tanah (Asset Reform) dan

Reforma Akses (Acces Reform)

Pelaksanaan uji coba dilaksanakan untuk menjadi masukan

penyusunan pedoman Reforma Agraria. Penyusunan pedoman,

terdiri dari tiga tahapan pelaksanaan dalam kegiatan Uji Coba,

yaitu identifikasi potensi rinci, luas dan lokasi tanah yang menjadi

sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), mengidentifikasi

penerima redistribusi tanah (subyek), mengidentifikasi program

dan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh K/L

dan pemda yang dapat dijadikan reforma akses (access reform).

Dari gambaran jumlah dan luasan tanah obyek TORA, dapat

diidentifikasi kerangka waktu rencana pelaksanaan reforma

agraria di Indonesia. Pengembangan teknologi pertanian dan

pangan juga harus sudah dimulai yang dalam pelaksanaannya

dapat bekerja sama dengan instansi Pemerintah terkait, juga

dengan dunia usaha.

Koordinasi antara lokasi aset (bidang tanah) dengan penerima

program redistribusi tanah (Reforma Akses)

Tahap koordinasi aset dengan penerima program (Reforma

Akses), dilakukan dengan menggunakan dua skema, yaitu skema

pertama yaitu akses mengikuti aset dan skema kedua adalah aset

mengikuti akses. Pada skema pertama, Kantor Wilayah BPN

bersama Bappeda Provinsi, mengoordinasikan kriteria kesesuaian

kegiatan pemberdayaan K/L‐Pemda pada lokasi legalisasi yang

telah dilakukan BPN. Sedangkan skema kedua, Kantor

Pertanahan BPN melakukan sertifikasi pada lahan penerima

Pemberdayaan K/L‐Pemda.

Secara keseluruhan, pada tahap ini merupakan upaya untuk

mengeluarkan penduduk miskin dari “jebakan kemiskinan”

dengan penyediaan input sumber daya pendamping bagi

penerima program redistribusi tanah (Reforma Akses), sehingga

dalam pelaksanaan redistribusi tanah tidak akan ditemui kembali

upaya penyimpangan berupa pengalihan hak atas tanah yang

telah diberikan.

Pengembangan Teknologi Pertanian dan Jasa Keuangan Mikro

Pengembangan teknologi pertanian dan pangan,

dilaksanakan setelah pelaksanaan koordinasi lokasi, karena saat

lahan pertanian telah mendapat jaminan status tanah (telah

disertipikasi) dan saat kegiatan pertanian mulai dilakukan pada

bidang tanah yang telah disertipikasi, diharapkan masyarakat

penerima manfaat telah dapat memergunakan teknologi

pertanian pangan tersebut untuk meningkatkan produksi

pertanian baik secara kualitas maupun kuantitas. Bantuan pada

tahap pengembangan teknologi pangan, bisa dalam bentuk (i)

RoadmapPenyusunan�KebijakanReforma�Agraria�di�Indonesia

frewaremini.com

Page 17: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 16

penyediaan bibit unggul (termasuk bibit ternak) dan atau

pupuk; (ii) penyediaan teknologi dan atau alat produksi; dan (iii)

pelatihan‐pelatihan.

Selain itu, untuk meningkatkan permodalan bagi para petani

penerima redistribusi tanah, perlu diberdayakan melalui kegiatan

dana bergulir dan atau koperasi simpan pinjam. Institusi

keuangan mikro merupakan penyedia layanan keuangan yang

cocok untuk membantu akses penerima redistribusi tanah

kepada jasa perbankan.

Pembangunan interkoneksi antara Usaha Kecil Menengah

(UKM) dengan Industri

Secara akademis sebenarnya pembangunan interkoneksi

usaha merupakan bagian dari bantuan pemasaran dan

pengembangan pasar baru, namun dalam pelaksanaannya

seringkali tidak mendapat cukup perhatian dan dilakukan dengan

seadanya. Untuk itu, diusulkan pembangunan interkoneksi

menjadi sub‐kebijakan tersendiri. Upaya pembangunan

interkoneksi membutuhkan koordinasi yang kuat, yang dapat

diterima oleh seluruh pemangku kepentingan terkait, meliputi

berbagai instansi pemerintah terkait, badan usaha swasta, dan

petani miskin atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Sumber

daya pelengkap dalam tahap pembangunan interkoneksi usaha,

meliputi (i) pinjaman uang sebagai modal usaha kecil/menengah;

(ii) bantuan pemasaran, termasuk pengembangan pasar baru;

Tujuan utama dari pembangunan interkoneksi ini adalah

membangun apa yang dikenal sebagai sistem inovasi (innovation

system), atau di beberapa negara juga dikenal sebagai kebijakan

teknologi (technology policy), dalam skala kecil yang dikhususkan

bagi petani miskin penerima redistribusi tanah. Dalam sistem

inovasi, selain hubungan timbal balik antara pasar‐produksi‐

lembaga penelitian dan pengembangan, masukan dari pasar atas

permintaan spesifikasi tertentu atas barang produk dan atau

inovasi produk juga amat penting dan strategis.

Finalisasi Pedoman Reforma Agraria

Uji Coba Reforma Agraria, yang terdiri dari tahapan

koordinasi lokasi redistribusi tanah dengan reforma akses,

pengembangan teknologi pangan dengan microfinance,

pembangunan interkoneksi UKM dengan Industri, seluruh

tahapan tersebut telah dijalankan. Selanjutnya masuk pada

penyusunana finalisasi pedoman reforma agraria yang dilakukan

dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam setiap

tahapan pelaksanaan reforma agraria. Selanjutnya pedoman

reforma agraria akan disosialisasikan kepada seluruh provinsi

agar pelaksanaan reforma agraria dapat dilakukan secara

nasional. Pelaksanaan reforma agraria secara ideal diharapkan

dapat serentak dilaksanakan pada tahun berikutnya dalam kurun

waktu 5 Tahun, sesuai dengan kerangka waktu pelaksanaan

reforma agraria yang telah disepakati sebelumnya.

Sebagai catatan, perlu dipahami bahwa program Reforma

Agraria akan diskenariokan berlangsung hanya 5 tahun. Hal ini

perlu diinformasikan ke publik. Reforma Agraria, khususnya

reforma aset jika tidak dihentikan justru akan menjadi tidak adil

bagi masyarakat golongan menengah ke atas karena aktivitas

ekonominya tidak dapat berjalan dengan optimal.

Penyusunan dan Pengesahan Peraturan Presiden tentang

Reforma Agraria

Finalisasi pedoman Reforma Agraria telah disepakati

bersama, maka langkah selanjutnya adalah proses penyusunan

dan pengesahan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria,

yang didalamnya memuat waktu simulasinya pelaksanaan

Reforma Agraria, dengan tahapan‐tahapan yang telah

dirumuskan dari hasil uji coba termasuk memuat peran serta

lembaga yang terlibat dalam Reforma Agraria.

Penyusunan Peraturan Presiden ini sesuai dengan program

Quick Wins pemerintah untuk dilaksanakan di tahun 2015, dengan

arahan mengeluarkan Peraturan Presiden tentang dimulainya

program Reforma Agraria dan kerangka waktu pelaksanaan serta

tahapan program landreform.

Pengajuan Pedoman Reforma Agraria menjadi Peraturan

Menteri

Pada tahun 2016, pedoman Reforma Agraria akan disusun

untuk menjadi Peraturan Menteri tentang Pedoman Pelaksanaan

Reforma Agraria. Selama proses penyusunan menjadi Peraturan

Menteri, pelaksanaan Reforma Agraria secara nasional bisa tetap

dilaksanakan sebagai ajang pembelajaran dan evaluasi terhadap

pelaksanaan reforma agraria, dan ditetapkan didalamnya bahwa

dilaksanakan sesuai skenario yang direncanakan hingga tahun

2019. [RZ]

2013

2014

2015

2016

2018

PelaksanaanReforma Agraria

Pembentukan Peraturan Menteritentang Pedoman Pelaksanaan Reforma Agraria *)

(i)Pelaksanaan Pilot Project dalam rangka penyusunan pedoman Reforma Agraria *) - Pengembangan Teknologi Pertanian - Interkoneksi UKM dengan Industri - Jasa Keuangan Mikro Finalisasi Pedoman Pelaksanaan Reforma Agraria, dan pembentukan(ii)Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria

Pelaksanaan Pilot Project dalam rangkapenyusunan pedoman Reforma Agraria:Koordinasi Lokasi

Pelaksanaan Pilot Project untuk mendukungPenyusunan Draft Pedoman Reforma Agraria

2017

2019

Page 18: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

Hari�Agraria�Nasional

AGENDA

Hari Agraria atau dikenal juga Hari Tani Nasional,

ditetapkan pada tanggal 24 September, penetapan tersebut

didasarkan pada hari kelahiran Undang‐undang No 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok‐pokok Agraria atau UUPA.

Penetapan Hari Tani Nasional ditetapkan berdasarkan keputusan

Presiden No. 169 Tahun 1963, yang disahkan oleh Presiden

Soekarno pada 26 Agustus tahun 1963. Keterkaitan antara UUPA

dengan hari agraria terutama adanya ketetapan hukum bagi

pelaksanaan redistribusi tanah pertanian (reforma agraria)

dalam UUPA.Pembentukan hari Tani merupakan bentuk komitmen dari

Presiden Soekarno, yang merupakan satu bagian mutlak dari

revolusi Indonesia dalam menciptakan pemerataan struktur

penguasaan tanah yang mengangkat kesejahteraan kaum tani

Indonesia dari struktur agraria warisan feodalisme dan

kolonialisme yang menyengsarakan kaum tani Indonesia. Namun

perjalanan hari agraria dalam beberapa tahun terakhir, selalu

diwarnai gelombang protes dari kalangan masyarakat petani,

mereka mengharapkan kebijakan pemerintah selama ini dalam

menjalankan amanat dalam UUPA belum ada implementasi yang

jelas, salah satunya adalah pada tatanan struktur agraria yang

dirasakan masih timpang dan belum berkeadilan bagi rakyat

indonesia terutama kelompok petani.Dilain pihak, Badan Pertanahan Nasional yang menjadi

representasi pemerintah dalam mengurusi bidang pertanahan

ini, pada beberapa tahun kebelakang dalam merayakan hari

Agraria atau hari Tani selalu membawa tema yang mengharapkan

penyelesaian pertanahan dan penataan struktur agraria

diselesaikan berdasarkan amanat UUPA, serta peningkatan

pelayanan terhadap masyarakat.Pada tahun 2014 ini, peringatan

hari Agraria mengangkat tema “Satu

yang tidak Terpisah‐pisahkan”.

B e r d a s a r k a n t e m a t e r s e b u t ,

ditegaskan bahwa BPN baik yang

berada di pusat maupun di daerah‐

daerah merupakan suatu kesatuan

yang tidak dibatasi oleh ruang, tugas, dan fungsi masing‐masing,

serta bergerak bersama dalam memberikan pelayanan secara

Cepat, Murah, Sederhana, Pasti dan anti KKN. Hal tersebut

terimplementasi dalam inovasi baru dalam pelayanan, yaitu

Pelayanan Satu Hari (One Day Service), Pelayanan Malam Hari

(Evening Service), Layanan 7 Menit (LANTUM), Layanan Anggota

Masyarakat (LAYANGMAS) serta INTAN (Informasi Interaktif

Pertanahan). Oleh karena itu, BPN ingin melaksanakan good

governance, meningkatan pelayanan bidang pertanahan, dan

arahan kebijakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran

masyarakat Indonesia.Hari Tani atau Hari Agraria bagi masyarakat, akan selalu

menjadi pengingat dalam memperhatikan dan menilai

perkembangan kinerja pemerintah setiap tahunnya di bidang

pertanahan, lalu bagi pemerintah sendiri akan menjadi bahan

evaluasi dalam upaya meningkatkan kondisi pertanahan menjadi

lebih baik lagi, sesuai dengan cita‐cita dan amanat dalam UUD

1945 dan UUPA. [RZ]

1

Peringatan Hari Agraria Nasional tahun 2012, Badan

Pertanahan Nasional merayakan dengan mengangkat tema

“Dengan Sapta Tertib Pertanahan Kita Tingkatkan

Pelayanan Masyarakat”. Selama kurun waktu 52 tahun,

pemanfaatan tanah berdasarkan UUD 1945 diarahkan

untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Namun,

sejauh ini belum bisa tercapai, bahkan masalah pertanahan

menjadi lebih kompleks di Indonesia. Sehingga BPN

mencanangkan 7 tertib (Sapta Tertib) yaitu Tertib

Administrasi, Tertib Anggaran, Tertib Perlengkapan, Tertib

Perkantoran, Tertib Kepegawaian, Tertib Disiplin Kerja, dan

Tertib Moral. Hal ini didasarkan pada hasil pemikiran

bersama dan kepercayaan dari setiap individu, sehingga

perlu didukung pondasi yang kuat untuk mencapai tujuan

yang diharapkan bahwa layanan pertanahan untuk

kesejahteraan masyarakat.

Peringatan Hari Agraria Nasional tahun 2013, dirayakan

dengan tema : “Dengan Semangat dan Jiwa UUPA serta

Berpedoman kepada Sapta Tertib Pertanahan Kita

Sukseskan Pelaksanaan Program Strategis Pertanahan

Untuk Kemakmuran dan Kesejahteraan Rakyat”. Dengan

tema ini diharapkan masyarakat mempunyai semangat

yang sama, untuk memaknai keberjalanan 53 Tahun UUPA

di Indonesia. Pemerintah tidak pernah berhenti untuk

melakukan pembenahan dan perbaikan sistem pertanahan

di negeri ini menuju sistem pertanahan yang taat azas pada

Pancasila, UUD 1945 dan UUPA. Dalam memaknai UUPA,

ditekankan pada pentingnya perubahan cara pandang

pengelolaan pertanahan di tanah air. Sebagaimana dalam

UUD 1945 pasal 33 dan putusan MK terhadap beberapa

undang‐undang terkait sumber daya alam, menyatakan

“Hak Menguasai Negara” dalam konstitusi bahwa

kedaulatan negara mencakup tugas dan kewenangan

dalam merumuskan kebijakan (beleid), melakukan

pengaturan (regelandaad), melakukan pengurusan

(bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheerdaad, dan

melakukan pengawasan yang sebesar‐besar kemakmuran

rakyat Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945.

Satuyang tidakterpisah-pisahkan

17INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Page 19: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 18

Page 20: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

19INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Uji�Coba�Reforma�Agrariadi�Provinsi�Bangka�Belitungdan�Jawa�Tengah

Reforma Agraria adalah kebijakan Pemerintah yang

bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan,

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). Hal ini

menjadi penting mempertimbangkan luas wilayah darat

nasional di luar kawasan hutan seluas 65 juta Ha, hanya sekitar

39,6 juta Ha yang dikuasai oleh petani. Sensus pertanian 2013

menunjukkan 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai

lahan rata‐rata 0,89 hektar (Ha) dan 14,25 juta rumah tangga

tani hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 Ha per keluarga.

Sehingga pada kondisi ini, perlu upaya mengurangi

ketimpangan, melalui kegiatan pemberian tanah yang dikenal

dengan redistribusi tanah atau landreform. Kegiatan ini

sebenarnya telah dilaksanakan sejak tahun 1961, namun

kegiatan Reforma Agraria ini sempat terhenti pada tahun 1965

setelah terjadi tragedi G 30 S PKI, dan pada zaman Orde Baru,

program reforma agraria dicoba untuk kembali dilaksanakan.

Dengan kondisi dan kendala tersebut, Tim Koordinasi

Strategis Reforma Agraria Nasional bergerak menginisiasi

kembali pelaksanaan Reforma Agraria yang sempat terhenti

dengan Uji Coba (Pilot Project). Reforma Agraria yang

dikonsepkan oleh Tim Koordinasi ini, tidak hanya redistribusi

tanah, namun juga didampingi oleh Reforma Akses. Reforma

Akses yang dimaksud adalah sumber daya lain yang

dibutuhkan penduduk miskin penerima untuk dapat

mengolah dan memanfaatkan tanah redistribusi.

Model pelaksanaan Uji Coba (Pilot Project) Reforma Agraria

oleh Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional,

dilakukan dalam 2 skema, yaitu (i) Skema Aset mengikuti Akses,

dengan mengarahkan pelaksanaan program K/L‐Pemda yang

memberikan pemberdayaan pada lokasi‐lokasi program

redistribusi tanah yang telah dilakukan BPN, dan (ii) Skema

Aset mengikuti Akses, pendekatannya BPN menyesuaikan/

mengarahkan rencana lokasi program legalisasi aset tanah,

pada lokasi program K/L‐Pemda yang telah memberikan

bantuan/pemberdayaan. Dalam meningkatkan sumber reforma

aset, dengan melihat kondisi keterbatasan pada bidang

redistribusi, maka bidang legalisasi aset dimasukkan dalam

target aset pada model skema uji coba Reforma Agraria, dan

meninjau bidang legalisasi aset dinilai cocok untuk dilakukan

dalam skema yang dibentuk.

Pada penentuan lokasi pelaksanaan uji coba Reforma

Agraria, lokasi yang dipilih adalah Provinsi Jawa Tengah dengan

pertimbangan karena provinsi ini berpengalaman dalam

pelaksanaan reforma akses yang pernah dilaksanakan

sebelumnya, dan provinsi kedua adalah Kepulauan Bangka

Belitung, dengan pertimbangan karena memiliki Program

Satam Emas dari Pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan

selanjutnya di Lapangan, Tim Koordinasi Strategis Reforma

Agraria Nasional mengarahkan kepada setiap Bappeda Provinsi

untuk menjadi koordinator data lokasi akses atau

pemberdayaan masyarakat dari setiap dinas daerah, sedangkan

Kantor Wilayah BPN untuk menjadi koordinator data lokasi aset

atau bidang legalisasi tanah.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Pada pelaksanaan uji coba di Provinsi Kepulauan Bangka

Belitung, pihak Bappenas menyampaikan bahwa uji coba

Reforma Agraria

merupakan bagian

dari Roadmap

kebijakan

Redistribusi dan

reforma akses, yang

pada tahap

selanjutnya

diharapkan bisa

dilakukan

pengembangan teknologi pangan. Dari pihak BPN‐RI yang hadir

dalam rapat, mengharapkan fasilitasi kerjasama dengan

pemerintah dan instansi terkait, agar sertifikasi lahan bisa

bankable, yang selanjutnya bisa menjadi modal bagi para

pemilik lahan untuk meningkatkan produktifitas lahan.

Tanggapan dari Bappeda Provinsi Bangka Belitung yang

mengutarakan untuk memperhatikan RTRW Provinsi, RTRW

Kota, dan struktur ruang, serta mengharapkan Reforma Agraria

ini didukung oleh kegiatan LP2B, sehingga pihak BPN juga bisa

bersinergi dengan Dinas Daerah terkait.

Dok. Dit TRP Bappenas

Dok. Dit TRP Bappenas

Kunjungan Lapangan ke desa Serdang dandesa Pergam, daerah yang memperolehRedistribusi Tanah Tahun 2013.

Kondisi lahan yang akan menjadi target bidang redistribusi tahun depan, berada disekitar area lahan redistribusi tahun 2013

PELAKSANAAN KEGIATAN

Page 21: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 20

Saat kunjungan lapangan bersama Bappenas, BPN‐RI

(Direktorat Landreform dan Direktorat Pemberdayaan

Masyarakat), Kantor Wilayah BPN Provinsi Bangka Belitung,

dan Kantor Pertanahan BPN Kabupaten Bangka Selatan, ke

lokasi bidang redistribusi tanah di desa Pergam dan desa

Serdang, kabupaten Bangka Selatan. Ditemukan 201 bidang

tanah yang telah diredistribusi di desa Pergam, dan 1299 bidang

tanah di desa Serdang. Kondisi lahan redistribusi tersebut

berada pada hamparan lahan yang berdekatan sehingga tidak

banyak perbedaan kondisi lahan di kedua desa tersebut.

Berdasarkan diskusi langsung dengan para petani penerima

redistribusi tanah, para petani mengeluhkan ketersediaan air

untuk kebutuhan pertanian yang semakin berkurang. Selain itu

mereka juga mengeluhkan kecilnya agunan yang diterima ketika

sertifikat tanah yang diajukan ke Bank sebagai jaminan, padahal

penggunaan tersebut untuk meningkatkan hasil pertanian.

Untuk rencana bidang redistribusi dan legalisasi aset pada

tahun depan di kabupaten Bangka Selatan, lokasi yang akan

ditunjuk masih berada sekitar lokasi desa Serdang dan desa

Pergam. Daerah tersebut dipilih karena sarana prasarana pada

daerah tersebut menunjang untuk kegiatan pertanian, baik dari

segi pengairan maupun kondisi tanah.

Kunjungan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bangka

Selatan, yang menjadi salah satu target lokasi proyek

percontohan Reforma Agraria

Provinsi Jawa Tengah

Pada Kunjungan lapangan bersama Bappenas, BPN‐RI

(Direktorat Landreform dan Direktorat Pemberdayaan

Masyarakat), Kanwil BPN Jawa Tengah serta Kantor Pertanahan

Kabupaten Semarang difokuskan pada lokasi pelaksanaan

redistribusi pada tahun 2014, yaitu di Desa Banding, Kecamatan

Beringin, Kabupaten Semarang.

Bappeda Provinsi Jawa Tengah telah melakukan koordinasi

internal dengan beberapa dinas dan BPN, dan diusulkan pihak

BPN dapat memberikan data lokasi yang telah ditentukan

sehingga dapat ditindaklanjuti identifikasi program

pemberdayaan di lokasi tersebut oleh daerah. BPN‐RI

mengusulkan untuk segera dilakukan rapat koordinasi antara

Kantor Wilayah dan Bappeda, dimulai dengan inventarisasi

subjek dan objek oleh BPN kemudian Bappeda

mengkoordinasikan dengan dinas teknis lebih lanjut, serta pada

kunjungan lapangan, diketahui bahwa redistibusi tanah di desa

Banding mencapai kurang lebih 200 KK, yang sebagian besar

merupakan petani dan pengusaha besek. Namun, proses

pelaksanaan redistribusi di desa Banding belum selesai hingga

pemberian sertipikat tanah, pemberian sertipikat tanah, yang

baru akan dilaksanakan pada tanggal 17 September 2014.

Berdasarkan diskusi langsung dengan para penerima

program redistribusi tanah, diketahui bahwa tanah yang

dijadikan objek redistribusi merupakan bekas penguasaan

asing, kemudian ditinggalkan dan dijadikan sebagai tanah milik

negara yang selanjutnya dikuasai oleh warga secara turun

temurun (melalui perambahan), namun saat ini dapat disahkan

status penguasaan dan pemilikannya melalui program

redistribusi. Temuan diperoleh selanjutnya adalah kondisi tanah

yang menjadi bidang redistribusi, bukan merupakan tanah

produktif untuk lahan pertanian basah karena berada di

dataran tinggi dan tidak dilengkapi dengan sarana irigasi,

sehingga tidak dapat termanfaatkan lahan secara maksimal.

Sebagai tindak lanjut akan dilakukan koordinasi melalui

Kantor Pertanahan Kabupaten Ungaran dan Kantor Wilayah

BPN Jawa Tengah bersama dengan Bappeda dan dinas terkait

untuk menentukan jenis program pemberdayaan yang cocok

untuk kondisi lahan redistribusi seperti di desa Banding.

Adapun lokasi uji coba yang akan kemudian ditindaklanjuti dan

di koordinasikan hingga saat ini belum ditentukan mengingat

belum dilaksanakannya koordinasi oleh Pemerintah Daerah,

Bappeda serta BPN setempat.

Kesimpulan serta tindak lanjut dari pelaksanaan uji coba di

provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jawa Tengah adalah

Kanwil BPN Provinsi dan Bappeda Provinsi dapat berkoordinasi

dengan baik dan mengambil peran bersama sebagai

koordinator utama pelaksanaan Reforma Agraria di dua

Provinsi tersebut. Selain itu, kegiatan yang segera dilaksanakan

oleh Kantor Wilayah/Kantor Pertanahan BPN dan Dinas terkait

adalah melakukan inventarisasi lokasi secara detail baik lokasi

legalisasi aset maupun program pemberdayaan masyarakat.

Tindak lanjutnya, Bappenas pada bulan November 2014 akan

melakukan pemantauan dan evaluasi dari hasil pelaksanaa uji

coba tahun 2014. [RZ]

Dok. Dit TRP Bappenas

Dok. Dit TRP Bappenas

Kondisi Lokasi redistribusi tanah di desa Banding kecamatanBeringin, Kabupaten Semarang.

Wawancara bersama dengan penerima manfaat programredistribusi tanah.

Page 22: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

21INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Secara nasional, data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukan bahwa jumlah total bidang tanah yang telah bersertipikat di Indonesia hingga tahun 2013 mencapai 44.982.125 bidang tanah atau 51,80 persen dari jumlah keseluruhan 86.845.839 bidang tanah yang ada di Indonesia. Salah satu program pemerintah di bidang pertanahan adalah penerbitan sertipikat tanah (legalisasi aset) bagi masyarakat melalui kegiatan Program Nasional Agraria (PRONA) yang dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun dengan adanya keterbatasan alokasi anggaran APBN menyebabkan jumlah target sertipikasi melalui PRONA masih sangat terbatas sehingga masih banyak bidang‐bidang tanah masyarakat yang belum bersertipikat. Untuk membantu percepatan pelaksanaan kegiatan sertipikasi tanah secara massal maka beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki program seperti PRONA yang dikenal dengan Program Agraria Daerah (PRODA). PRODA merupakan program bantuan pemerintah daerah untuk warga di wilayahnya yang memiliki tanah (lahan) tetapi belum memiliki sertipikat. Secara umum, prinsip‐prinsip dan ketentuan pelaksanaan PRODA hampir sama dengan PRONA, namun berbeda pada sumber pembiayaan yakni berasal dari pemerintah daerah (APBD). Bantuan ini menggunakan alokasi anggaran dari APBD yang

diperuntukan bagi mereka yang kurang mampu atau berpenghasilan rendah.

Salah satu daerah yang memiliki program PRODA adalah Provinsi Kalimantan Timur. Secara umum, program tersebut berupa kegiatan sertifikasi lahan usaha pertanian sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam rangka untuk mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah/lahan pertanian, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, mengurangi sengketa dan konflik pertanahan/lahan dan diharapkan dapat mengoptimalisasi pemanfaatan tanah/lahan yang tadinya belum memiliki hak atas tanah yang ada di kabupaten.

Informasi mengenai pelaksanaan kegiatan PRODA tersebut terungkap pada saat pelaksanaan Pra Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Pramusrenbangnas) Tahun 2013 lalu bahwa kegiatan ini telah dilaksanakan sejak tahun 2010 di 10 kabupaten yang tersebar di Provinsi Kalimantan Timur yaitu Kabupaten Nunukan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara. Namun, pelaksanaan program ini hanya berlangsung sampai dengan tahun 2012 karena adanya permasalahan pelaksanaannya.

Pelaksanaan�ProgramAgraria�Daerah�diProvinsi�Kalimantan�Timur

PELAKSANAAN KEGIATAN

Dok. Dit TRP Bappenas

Dok. Dit TRP Bappenas

Dok. Dit TRP Bappenas

Page 23: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 22

Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Program Agraria Daerah (PRODA) yang dilaksanakan tahun 2013 dan 2014, teridentifikasi beberapa permasalahan umum yang terjadi dalam pelaksanaan PRODA, antara lain yaitu (i) keterbatasan jumlah juru ukur baik di kantor wilayah BPN maupun di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur; (ii) alokasi dana yang disediakan pemerintah kabupaten/kota tidak mencukupi untuk biaya pelaksanaan sertipikasi tanah sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang ada di BPN; dan (iii) kriteria subyek dan objek sertifikasi tanah tidak jelas (tidak 'clean and clear'); (iv) belum adanya sosialisasi kepada kabupaten mengenai sertipikasi lahan pertanian; (v) kesalahan penempatan kegiatan bantuan dari Pemerintah Provinsi Kaltim pada SKPD di kab/kota; (vi) mekanisme pembayaran biaya sertipikasi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur; (vii) kenaikan harga biaya pengukuran; dan (viii) terdapat lahan pertanian (objek) yang tumpang tindih dengan kawasan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan dengan kawasan lainnya.

Sebagai upaya tindaklanjut untuk mengatasi permasalahan di atas, telah dirumuskan beberapa kesepakatan sebagai berikut (i) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyepakati untuk menyediakan bantuan keuangan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk biaya sertifikasi dan juga akan menyusun kesepakatan/MoU dengan Kanwil BPN setempat; (ii) Pemerintah Kabupaten/Kota menyanggupi dan berkomitmen melanjutkan program sertipikasi tanah pertanian; (iii) Gubernur Kaltim sudah menyampaikan surat kepada bupati/walikota untuk mempersiapkan

kegiatan PRODA; (iv) pada tahun 2014 akan dilakukan kegiatan pra‐sertipikasi tanah pertanian dan proses sertipikasi tanah akan dilanjutkan pada tahun 2015; (v) Kegiatan pra‐sertifikasi tanah pertanian dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan mempersiapkan data subjek dan objek tanah yang 'clean and clear' dan juga data yudiris yang valid untuk disertipikatkan di tahun anggaran berikutnya meliputi identifikasi tabel by‐name‐by‐address target penerima PRODA, baik nama, alamat, luas, dan mata pencahariannya; dan (vi) Pemerintah Kabupaten/Kota perlu berkoordinasi dengan pihak yanga terkait dengan pajak untuk menyepakati solusi bagi permasalahan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) serta biaya BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan); (vii) perlu koordinasi antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait di kab/kota dan kantor pertanahan sampai dengan tingkat kecamatan; (viii) pembayaran pelaksanaan PRODA kepada Kantah dilakukan pertahap pelaksanaan sertipikasi.

Identifikasi awal terhadap target bidang yang akan disertipikasi melalui PRODA terdiri atas (i) Kabupaten Kutai Barat sejumlah 149 bidang; (ii) Kabupaten Kutai Timur sejumlah 56 bidang; (iii) Kabupaten Berau sejumlah 200 bidang; (iv) Kabupaten Kutai Kartanegara sejumlah 184 bidang; (v) Kabupaten Paser sejumlah 29 bidang dari target awal 80 bidang; dan (vi) Kabupaten Penajam Paser Utara sejumlah 200 bidang. [IK]

Dok. Dit TRP Bappenas

Page 24: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

RINGKAS BUKU

23INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Bab I Pendahuluan.

Pada bagian ini, Guru Besar Hukum Pertanahan Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta tersebut mengungkapkan mengenai

hak atas tanah yang merupakan hak ekonomi, sosial dan

budaya yang diatur dalam UU No. 11/2005 Tentang Pengesahan

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

(Kovenan Internasional tentang Hak‐hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya). Beliau juga menyatakan bahwa dalam perjalanan

waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang

semula berciri populis (pada era 1960‐an dengan ditetapkannya

UUPA) ke arah kebijakan yang cenderung prokapital yang

terjadi karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi.

Bab II Perkembangan Hukum Pertanahan dan Kebijakan

Pertanahan.

Prof. Maria menyampaikan pokok‐pokok pikiran seputar

Undang‐Undang No. 5/1960 (UUPA) terkait dengan aspek

yuridis penguasaan dan pemilikan tanah perkotaan.

Pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya nilai ekonomis tanah

mengakibatkan semakin tajamnya kesenjangan sosial antara

mereka yang mempunyai akses yang memungkinkan

penguasaan tanah bangunan yang melampui batas kewajaran

dihadapkan dengan mereka yang paling membutuhkan tanah,

namun berada dalam posisi yang tersudutkan. Hal ini

memunculkan kembali ide alternatif pemecahan masalah

melalui pengendalian pemilikan dan penguasaan tanah

bangunan. Untuk itu, perlu dilakukan adanya kewajiban untuk

mendaftarkan tanah, pengaturan tentang penelantaran tanah,

dan pengaturan tentang pemberian dan penggunaan kuasa di

bidang pertanahan.

Pada bagian ini dijelaskan juga mengenai pentingnya upaya

harmonisasi perwujudan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan

kepentingan investasi yang difokuskan pada kesiapan hukum

tanah menjelang pelaksanaan secara penuh sistem

perdagangan bebas dengan menitikberatkan pada kualitas

peraturan perundang‐undangan yang diperlukan. Intensitas

pembangunan yang menuntut penyediaan tanah yang relatif

luas untuk berbagai keperluan (permukiman, industri, berbagai

prasarana) memaksa alih fungsi tanah pertanian, terutama di

daerah pinggiran, menjadi tanah non pertanian dengan segala

konsekwensinya. Untuk itu, diperlukan intervensi terhadap

kebijakan pemberian izin lokasi dan perlunya penyempurnaan

rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Untuk mengatasi permasalahan penyediaan tanah perkotaan

dapat ditempuh melalui kebijakan seperti (a) konsolidasi tanah

perkotaan, (b) pembentukan badan hukum yang bertugas

menyediakan tanah, mematangkan, dan kemudian

menyalurkan untuk berbagai keperluan, termasuk untuk

permukiman (lembaga bank tanah), (c) perolehan tanah

dengan cara penukaran dengan sebidang tanah yang setara

nilainya atau berupa keikutsertaan dalam saham perusahaan

yang mengambil alih bidang‐bidang tanah (landswapping).

Prof. Maria juga menyampaikan adanya pergeseran kebijakan

pertanahan dari waktu ke waktu sejak tahun 1960 (mulai

berlakunya UUPA) hingga saat ini. Selanjutnya diusulkan

adanya penyempurnaan peraturan mengenai izin lokasi untuk

menghindari perbedaan persepsi serta perlunya koordinasi dan

pengawasan dalam kebijakan izin lokasi. Selain itu, ditegaskan

juga perlu adanya pengaturan mengenai pengakuan

keberadaan hak ulayat. Pengaturan tersebut antara lain

mengenai konsep dasar hak ulayat, hak dan kewajiban

masyarakat hukum adat. Pada bagian lain disampaikan juga

mengenai penyempurnaan UUPA agar dapat menjadi salah satu

instrumen reforma agraria yang mengatur hubungan antara

orang dengan tanah baik di dalam maupun di luar kawasan

hutan.

Pada bagian kedua Bab ini, dijelaskan mengenai berbagai

dimensi pembaruan agraria. Pembaruan agraria (agrarian

reform) pada intinya dapat meliputi hal‐hal sebagai berikut yaitu

(a) suatu proses berkesinambungan artinya dilaksanakan dalam

satu kerangka waktu (time frame), tetapi selama tujuan

pembaruan agraria belum tercapai, pembaruan agraria perlu

terus diupayakan, (b) berkenaan dengan restrukturisasi

pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam

(sumber agraria), khususnya masyarakat perdesaan, (c)

dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan

perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan

TANAH:�Dalam�PerspektifHak�Ekonomi,�Sosial,�dan�BudayaBuku "TANAH: Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya" karya Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH. MCL. MPA., berisi kumpulan artikel terpilih beliau yang pernah disampaikan pada berbagai temu ilmiah terkait dengan pertanahan sebagai hak dasar setiap orang yang keberadaannya dijamin dalam Undang‐Undang Dasar 1945. Buku ini terdiri atas 4 Bab yang mengemukakan berbagai hal mengenai perkembangan hukum pertanahan dan kebijakan pertanahan (termasuk mengenai pembaruan agraria); hak atas tanah, hak ulayat, dan hak pengelolaan; serta beberapa isu dalam perolehan tanah oleh pemerintah.

Page 25: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 24

sumber daya alam, serta terwujudnya keadilan sosial bagi

seluruh rakyat.

Prof. Maria juga mengusulkan agar pembaruan agraria harus

dilakukan sebagai landasan pembangunan nasional. Dengan

demikian pelaksanaan reforma agraria perlu didukung oleh

sinergi dan koordinasi antarlembaga yang bertanggungjawab

terhadap program reforma agraria. Selain itu, dipandang perlu

adanya lembaga penyelesaian konflik sebagai bagian dari

pembaruan agraria (belajar dari pengalaman Republik Afika

Selatan).

Bab III Hak atas Tanah, Hak Ulayat, dan Hak Pengelolaan.

Bagian pertama dari bab ini menjelaskan mengenai hak atas

tanah, konsep dan perkembangannya. Hak atas tanah sebagai

suatu hubungan hukum didefinisikan sebagaimana Pasal 4

UUPA disamping memberikan wewenang juga membebankan

kepada pemegang hak. Dinyatakan perlunya memperluas

cakupan pengertian hak atas tanah yang meliputi ruang di

bawah tanah dan ruang udara. Selain itu, terdapat wacana

usulan untuk menyederhanakan jenis hak atas tanah yang

terdiri atas hak milik (HM) dan hak pakai (HP). Hak milik

merupakan hak terkuat dan hanya dipunyai oleh orang‐

perorangan WNI yang tidak dibatasi jangka waktunya,

sedangkan HP dalam arti luas dapat menampung berbagai

macam keperluan yang dibatasi jangka waktunya.

Selanjutnya pada bagian kedua menyajikan mengenai perlunya

pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak ulayat.

Dalam dimensi global, perhormatan dan perlindungan hak‐hak

adat telah terwujud dengan komitmen masyarakat

internasional melalui berbagai konvensi internasional yang

diawali dengan The United Nations Charter pada tahun 1945.

Sedangkan dalam dimensi nasional, UUPA

juga sudah mengatur ketentuan mengenai hak ulayat

sebagaimana tercantum dalam Pasal 3. Dengan demikian,

terlihat dalam konsep hukum pertanahan nasional, tanah ulayat

dipandang sebagai entitas tersendiri yang berdampingan

dengan tanah negara dan tanah hak. Berkenaan dengan hak

ulayat, pemerintah daerah dapat menjadi fasilitator,

koordinator dan pembuat kebijakan, namun demikian

diperlukan pemahaman konseptual yang benar dan

memperhatikan kesesuaian dengan peraturan perundang‐

undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya penyelesaian sengketa

tanah adat/ulayat di Papua melalui jalur hukum atau mediasi,

agar mengikat atau ditaati para pihak, perlu dilandasi dengan

pendekatan multi dimensi (pendekatan antropologi, sosiologi

dan sebagainya, di samping pendekatan yuridis). Selain itu,

diperlukan dukungan berbagai upaya untuk menjamin

terpenuhinya hak ekonomi masyarakat Papua.

Bagian ketiga menjelaskan mengenai reposisi hak pengelolaan

(HPL). Sebagaimana diketahui bahwa HPL bukanlah hak atas

tanah sebagaimana Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU),

Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Pakai (HP) yang diatur

dalam UUPA. HPL merupakan hak menguasai dari negara yang

kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada

pemegangnya (dalam hal ini pemegang HPL). Selain itu, Prof.

Maria mengusulkan agar HPL dikembalikan ke fungsi semula

yaitu fungsi publik dan juga perlu ditegaskan kedudukan HPL

sebagai 'bagian' dari HMN, antara lain kemungkinan

pembatasan wewenang pemegang HPL untuk memberikan

persetujuan pemberian hak satu kali saja, untuk selanjutnya

perubahan dan perpanjangan serta hal‐hal lain yang terkait HPL

dilakukan instansi pertanahan.

Bab IV Beberapa Isu dalam Perolehan Tanah oleh

Pemerintah.

Prof. Maria menyatakan beberapa cara/teknik yang dapat

dilakukan pemerintah dalam upaya mengendalikan harga

tanah, misalnya (a) pengadaan tanah oleh pemerintah untuk

kegiatan yang menunjang kepentingan umum; (b)

regulasi/pengaturan penatagunaan tanah; (c) penyediaan,

pematangan, dan penyaluran tanah melalui lembaga bank

tanah (land banking); (d) kebijakan perpajakan. Selain itu,

diusulkan juga kebijakan pembatasan pemilikan tanah

perkotaan, yakni pembatasan maksimum luas dan bidang tanah

yang diperkenankan untuk dipunyai oleh perorangan atau

badan hukum dan ditempuh melalui disinsentif perpajakan.

Terkait dengan lembaga bank tanah (land banking) secara

khusus dibahas oleh penulis mengenai prinsip‐prinsip dasar

lembaga bank tanah dan pengalaman beberapa negara yang

telah menerapkan bank tanah. Selanjutnya dijelaskan mengenai

prinsip dasar, tujuan serta pembatasan kepentingan umum

kaitannya dengan pengadaan tanah. Dijelaskan juga mengenai

prinsip‐prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah dalam

pelaksanaan pengadaan tanah. [IK]

disnak.jabarprov.go.id

disbudpar.bantenprov.go.id

Page 26: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

KUMPULAN ARTIKEL

25INDONESIA

Edisi 1 - 2014

Diskusi Panel: Reformasi Pertanahan melaluiKementerian Agrariahttp://www.trp.or.id/detailberita/309/Reformasi‐Pertanahan‐melalui‐

Kementerian‐Agraria.html

Database pertanahan mengenai letak dan kepemilikannya

belum lengkap. Hal tersebut dikemukakan oleh Ir. Rahendra

Vidyasantika, Land Management Division Head PT. Jababeka,

Tbk, sebagai salah satu kendala pertanahan dalam

pengembangan kota mandiri dalam diskusi panel “Reformasi

Pertanahan melalui Kementerian Agraria,” di Menara Batavia

Jakarta, Selasa, (16/10) yang diselenggarakan oleh Tim Kajian

Nusantara Rumah Kreasi Indonesia Hebat (RKIH) bekerja sama

dengan The President Post.

Selain itu, tidak terintegrasinya rencana peruntukan lahan,

tingkat kesulitan tinggi dalam pengadaan Land Bank, Kebijakan

Umur Pemberian Hak dan Pihak yang berhak atas Tanah yang

kurang kompetitif dengan negara lain, tidak terkoordinirnya

dan lebih dari satu Instasi yang mengurusi pertanahan, serta

personil pertanahan yang tidak merata/tidak

mempertimbangkan luasan wilayah yang menjadi objek kerja

merupakan kendala lain yang dihadapi.

Diskusi yang bertujuan untuk menggali ide‐ide terkait

bidang pertanahan yang akan menjadi masukan bagi

pemerintah periode 2014‐2019 ini, turut menghadirkan empat

orang narasumber yaitu: Ir. Doddy Imron Cholid, Msi, Deputi

Bidang Pengaturan dan Penataan, BPN; Bambang Sapto

Pratomosunu, Widyaiswara LAN; Ir. Rahendra Vidyasantika,

Land Management Division Head PT. Jababeka, Tbk; Ir. Nanang

Samodra KA, M.Sc, Anggota Komisi II DPR RI Periode 2009‐

2014. Turut hadir pula Chairul Basri Achmad, yang pernah

menjabat sebagai salah satu Deputi di BPN sebagai moderator.

Dalam diskusi tersebut, disampaikan bahwa sinergi

kelembagaan dan mitra kerja yang mampu membantu

percepatan penyediaan data dan informasi geospasial sangat

dibutuhkan. Saat ini, teknologi pengadaan data, pengolahan

data dan diseminasi informasi geospasial belum dimanfaatkan

secara meluas di seluruh wilayah administrasi dan dirasa tidak

maksimal. Untuk mendukung hal tersebut, peran serta dunia

usaha dan masyarakat dalam pengadaan data dan informasi

geospasial harus dioptimalkan.

Di samping itu, penguatan pendidikan keahlian

(expertise), pengelolaan (management) dan ketrampilan

(skills) tenaga kerja pada lembaga pemerintah merupakan

upaya penting yang harus terus menerus dilakukan. Budaya

penggunaan informasi geospasial perlu ditumbuh kembangkan

secara intensif agar bermanfaat melalui berbagai usaha

(business), seperti industri kawasan ekonomi terpadu dan

industri pariwisata. Kedua industri tersebut dapat pula

dikembangkan untuk kepentingan lain seperti ketahanan

nasional, penanganan bencana alam (tsunami, gempa bumi

tektonik, banjir, longsor, bencana vulkanik, kebakaran hutan,

dll), dan kegiatan riset kebumian.

Lebih lanjut, penyempurnaan database pertanahan,

seperti topografi, land use, serta kepastian letak dan pemilik,

tidak hanya untuk private tetapi juga untuk tanah‐tanah negara.

Selain itu, perlu disusun kebijakan Pemanfaatan Ruang/Tanah

yang Terintegrasi dan Implementatif dan dibentuknya

kelembagaan yang fokus pada permasalahan pertanahan (One

Stop Solution), Dalam hal ini, BPN memiliki kewenangan untuk

mengkoordinir pemangku kepentingan lainnya yang terkait

dengan pertanahan.

Reforma Agrariadalam rangka Ketahanan Panganhttp://www.trp.or.id/detailberita/324/Reforma‐Agraria‐dalam‐rangka‐

Ketahanan‐Pangan.html

Jakarta, (29/10). Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

menghadiri rapat kajian mengenai antisipasi dan solusi

penyediaan lahan pertanian guna mendukung Reforma Agraria

dalam rangka Ketahanan Pangan, di Hotel Redtop, Jakarta.

Rapat yang dipimpin oleh Ketua Tim Kajian, Sekjen Wantanas,

bertujuan untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak

terkait dengan rencana pelaksanaan reforma agraria yang akan

menjadi masukan kepada Presiden untuk mencapai Nawa Cita.

Dalam rapat ini, turut hadir pula Dewan Ketahanan

Nasional, BPN, dan KPA. Pada rapat tersebut terungkap

mengenai beberapa permasalahan pokok yang dihadapi dalam

pelaksanaan reforma agraria, antara lain: belum ada kepastian

dan penetapan terhadap obyek reforma agraria; belum

memadainya landasan dan pedoman hukum pelaksanaan

reforma agraria; belum ada pusat data yang menjadi data base

reforma agraria; dan belum ada peta utuh yang meliputi seluruh

Indonesia.

Pada kesempatan tersebut, Uke Muhammad Husein,

Kasubdit Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

Kementerian PPN/Bappenas, menyampaikan bahwa tujuan

utama dari pelaksanaan reforma agraria adalah untuk

mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan atas tanah.

Sumber tanah yang dapat menjadi obyek reforma agraria

adalah tanah terlantar dan kawasan hutan yang dapat

dikonversi. Namun dalam penetapan tanah terlantar, BPN

sering kalah di Pengadilan karena adanya gugatan oleh

pemegang hak atas tanah.

Adapun terkait dengan pelaksanaan reforma agraria untuk

mencapai target Nawa Cita, Uke mengusulkan beberapa hal

sebagai berikut: (i) melakukan revisi atas PP 11/2010 tentang

Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang perlu

memasukkan rencana usaha (bussiness plan) pada saat

pengajuan HGU sehingga dalam penetapan tanah terlantar

memiliki landasan hukum yang kuat; (ii) melakukan koordinasi

dengan Kemenhut untuk mengidentifikasi dan merencakan

pelepasan kawasan hutan yang akan menjadi sumber TORA;

dan (iii) menyediakan akses reform berupa permodalan

(misalnya bekerjasama dengan perbankan), teknologi pertanian

(misalnya bekerjasama dengan LIPI), jaringan pemasaran

(misalnya bekerjasama dengan jaringan hotel).

Page 27: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

1INDONESIA

Edisi 1 - 2014 26

DATA DAN INFORMASI

Tanah Peta

ni

Tanah Nela

yan

Tanah Usa

ha Kecil

dan Menengah (U

KM)

Tanah Transm

igra

si

Tanah Masy

arakat

Berpenghasil

an Rendah

Tanah Masy

arakat

Pasca B

encana

87.80336.580

153.089

279.587

18.39755.185

630.641 bidang

Sertipikasi�TanahLintas�Sektor

Sertipikasi Tanah Lintas Sektor adalah kerjasama BPN dengan beberapa Kementerian, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan sertipikasi hak atas tanah, pendampingan dan bimbingan dari kementerian terkait bagi penerima sertipikat untuk mendapatkan akses‐akses lainnya.

Capaian Kinerja Beberapa Kegiatan Prioritas Bidang Pertanahan (2004‐2013)

kegiatan baru dimulaipada tahun 2009

kegiatan baru dimulaipada tahun 2009

kegiatan baru dimulaipada tahun 2011

kegiatan baru dimulaipada tahun 2012

usb i�i Tr at nsi ad heR

CAPAIANREDISTRIBUSI TANAH

DAN LEGALISASI ASET2004 - 20135.122.937 BIDANG

12,3%

2 B84 i. d7 a3 n0 g.1

Sumber: BPN RI, 2013.

(bidang)(bidang)(bidang)

(bidang) (bidang)

(bidang) (bidang) (bidang)

Sertipikasi Tanah Petani Sertipikasi Tanah Nelayan Sertipikasi Tanah Pelaku UKM

Sertipikasi Tanah MasyarakatPasca Bencana

Sertipikasi TanahMasyarakat Berpenghasilan Rendah

Sertipikasi Tanah Transmigran

Sertipikasi Tanah melalui PRONARedistribusi Tanah

Page 28: Majalah Agraria Indonesia Edisi I Tahun 2014

INDONESIA

agrariaindonesia.org

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

Kementerian�PPN/BappenasDirektorat�Tata�Ruang�dan�Pertanahan

Gedung�Madiun�Lt�3Jl.�Taman�Suropati�No�2.�Menteng.�Jakarta�Pusat.�

Telp/Fax:�021-3926601Email:�[email protected]

““

Satu yang tidakterpisah-pisahkan

HARI AGRARIA NASIONAL

MEMPERINGATI�LAHIRNYAUNDANG-UNDANG�POKOK�AGRARIA�KE-54

24�SEPTEMBER