lutfi hardian_mangrove.doc

28
MAKALAH PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA Mata Kuliah : Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Sutrisno Anggoro, MS Disusun oleh : Lutfi Hardian Murtiono 30000213410047 PROGRAM MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCA SARJANA

Upload: lutfi-hardian

Post on 04-Oct-2015

52 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MAKALAH

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA

Mata Kuliah:Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan LautDosen Pengampu:Prof. Dr. Ir. Sutrisno Anggoro, MSDisusun oleh :

Lutfi Hardian Murtiono

30000213410047

PROGRAM MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2014PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIALutfi Hardian MurtionoMagister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas DiponegoroA B S T R A K

Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki beragam habitat alami dan ekosistem, salah satunya adalah ekosistem mangrove. Luasan hutan mangrove di Indonesia adalah yang terbesar di dunia dengan luas yang mencapai 2,5 hingga 4,5 juta ha. Ekosistem mangrove memiliki arti penting bagi keberlanjutan sistem kehidupan di muka bumi. Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang berada di pesisir dan keberadaannya semakin terancam oleh pesatnya pembangunan dan kebutuhan ekonomi manusia.Fungsi dan peranan mangrove memiliki fungsi fisik, biologi dan ekonomi, selain memiliki kelebihan lain yaitu sebagai penyimpan karbon tertinggi di kawasan tropis. Fungsi mangrove ditinjau dari level ekosistem antara lain mampu memberikan perlindungan terhadap lingkungan di sekitarnya. Adanya pertumbuhan penduduk yang pesat dan peningkatan kebutuhan ekonomi menyebabkan degradasi lingkungan pesisir berupa adanya konversi dan pemanfaatan hutan mangrove yang tidak terkendali. Secara keseluruhan tercatat 41,3% luasan lahan mangrove di Indonesia dalam kondisi rusak.

Upaya pengelolaan ekosistem mangrove perlu dilakukan secara terpadu dan perencanaan serta strategi yang matang. Secara umum konsep pengelolaan mangrove terdiri atas perlindungan dan rehabilitasi serta tidak ketinggalan diperlukan peran aktif dari masyarakat.

Kata kunci : ekosistem mangrove, pesisir, kerusakan, pengelolaan, perlindungan, rehabilitasi.

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang berada di daerah tropis dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah pulau,yang terdiri atas 28 pulau besar dan 17.475 pulau kecil, serta panjang garis pantai sekitar 95.181 km dengan kondisi fisik lingkungan dan iklim yang beragam (Kusmana, 2009). Beragam habitat alami dan banyaknya ekosistem, sumberdaya tumbuhan dan hewan, serta sejumlah besar jenis endemik pada masing-masing pulau menyebabkan Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia. Diantara beberapa sumberdaya hayati itu terdapat di wilayah pesisir seperti hutan mangrove, perikanan, terumbu karang dan lainnya, sedangkan sumberdaya non hayati antar lain mineral dan bahan tambang.Sebagai negara maritim yang wilayahnya dua pertiga bagian adalah lautan, wilayah pesisir menduduki peranan yang penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Perkembangan awal kota-kota di Indonesia diawali dari wilayah pesisir. Bahkan kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang dan Makassar berada di wilayah pesisir. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, akan berdampak terhadap tingginya tekanan pada ekologi ekosistem di wilayah pesisir. Degradasi atau penurunan terhadap sumberdaya alam meningkat dan kerusakan terhadap habitat alam juga meningkat. Kebutuhan dan manfaat ekonomi di wilayah pesisir serta tingginya potensi ekonomi untuk pertumbuhan cukup besar, maka terjadi permintaan untuk merubah dan mengkonversi lahan-lahan basah di pesisir termasuk hutan mangrove menjadi lebih ekonomis. Hal ini mengakibatkan tekanan terhadap keberadaannya terus meningkat dan semakin mengancam. Luas hutan mangrove telah mengalami penurunan sampai 30-50% dalam setengah abad terakhir yang disebabkan oleh adanya kegiatan pembangunan terutama di kawasan pesisir, perluasan tambak budidaya dan penebangan berlebihan (Donato et al., 2012).Luasan hutan mangrove Indonesia diperkirakan berkisar 2,5 hingga 4,5 juta hektar, melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha) (Spalding et al., 1997 dalam Noor et al., 1999). Hutan mangrove terdapat di sepanjang garis pantai di kawasan tropis, termasuk Indonesia dan menjadi pendukung berbagai jasa ekosistem termasuk produksi perikanan dan siklus unsur hara. Indonesia sebagai negara dengan ekosistem mangrove terluas di dunia (26%) (FAO, 1992), dengan manfaat dan fungsi yang tinggi bagi keberlanjutan sistem kehidupan di muka bumi, perlu lebih serius dalam memperhatikan keberadaan ekosistem pesisir secara umum, khususnya ekosistem hutan mangrove. Perlunya upaya pengelolaan yang terintegrasi secara nasional dan melibatkan semua pihak dari pemerintah, masyarakat dan stakeholder.

Gambar 1. Ekosistem mangrove di Indonesia (sumber : beritalingkungan.com)2. PENGERTIAN MANGROVE, FUNGSI DAN MANFAATNYA PENGERTIAN MANGROVE

Asal kata mangrove dari kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968 dalam Kusmana, 2009). Hutan mangrove terdiri dari dua suku kata yaitu Hutan dan Mangrove. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat (2) dinyatakan Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Sedangkan pengertian mangrove adalah pohon atau perdu yang tumbuh di pantai diantara batas-batas permukaan air pasang tertinggi dan sedikit di atas rata-rata permukaan air laut (Hardjosentono, 1978). Sedangkan menurut Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian (1982) mendefinisikan mangrove sebagai tumbuhan yang berkembang di daerah tropika dan subtropika diantara batas-batas permukaan air pasang dan sedikit di atas rata-rata dari permukaan air laut. Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi pada garam (Kusmana, 2009). Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove. Hutan mangrove dikenal juga dengan tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau atau bakau dalam bahasa Indonesia. Mangrove dikenal sebagai ekosistem yang mampu merekayasa sendiri habitatnya (http://www.ut.ac.id/). Beberapa jenis seperti bakau betul (Rhizopora), api-api (Avicennia) dan perepat (Sonneratia) mempunyai sistem perakaran yang dangkal namun efektif dalam mencengkeram lumpur. Selain itu dengan adanya jaringan akar tunjang akan bermanfaat ganda, yaitu dapat menopang berdirinya pohon dan alat pernapasan (pneumatofor) untuk memperoleh oksigen dari udara. Dengan sistem perakaran ini akan dapat meredam gempuran ombak dan menangkap sedimen serta sampah-sampah laut. Sifat dasar dari ekosistem mangrove adalah adanya tingkat pelumpuran yang tinggi, salinitas yang tinggi, kandungan oksigen terlarut rendah dan pengaruh daur pasang surut air laut (http://www.ut.ac.id/). Konsentrasi hutan mangrove di Indonesia berada pada kawasan estuari pulau-pulau besar, seperti di pantai timur Pulau Sumatera, Kalimantan, beberapa pantai Pulau Sulawesi dan Jawa, serta sepanjang pantai Papua. Di Papua, Kalimantan dan Sumatera memliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta yang beragam, sebagai akibat arus sungai yang membawa material ke muara sungai yang membawa material ke muara maupun air pasang dari laut. Kondisi ini memberikan dukungan terhadap mangrove untuk tumbuh dan berkembang dengan subur di pantai berlumpur lunak, delta, sungai besar dan teluk yang terlindung. Sedangkan pada pulau-pulau kecil atau gugusan pulau karang, mangrove nampak seperti gerumbulan tipis dan strukturnya sederhana, bahkan sering hanya berupa tegakkan tunggal seperti yang dijumpai di beberapa daerah di Pulau Ambon, Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru, Maluku Tenggara (Pramudji, 2000).BIOTA DALAM EKOSISTEM MANGROVE

Menurut Noor et al (1999) bahwa dalam ekosistem hutan mangrove di Indonesia yang memiliki keragaman jenis tinggi, terdapat 202 spesies tumbuhan, 89 diantaranya berupa pohon dan sebanyak 43 jenis mangrove sejati ditemui di Indonesia. Beberapa jenis bakau Rhizopora spp, seperti R. apiculata dan R. mucrunata tumbuhan di bagian terluar yang berhadapan langsung dengan laut dan ombak serta tumbuh di atas tanah berlumpur. Sedangkan R. stylosa dan perepat, Sonneratia alba tumbuh di atas pasir berlumpur. Sedangkan pada bagian laut yang lebih tenang di zona terluar umumnya tumbuh pohon api-api putih (Avicennia alba) (http://www.ut.ac.id).Sedangkan untuk jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan R. mucronata umumnya ditemukan di bagian yang lebih ke dalam namun masih tergenang pasang tinggi. Pada tepian sungai dimana airnya lebih tawar, biasa dijumpai nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp) (http://www.ut.ac.id). Untuk di daratan yang lebih kering, khususnya di pedalaman hutan banyak ditemui jenis-jenis nirih (Xylocarpus spp), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).

Sumber : id.wikipedia.orgSumber : hernandhyhidayat.wordpress.com

Gambar 2. Beberapa jenis tanaman mangrove Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Avicennia marina, Sonneratia alba, Avicennia alba.Menurut Bengen (2000), hutan mangrove di Indonesia yang meliputi pohon dan semak tergolong dalam 8 famili dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga yaitu : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus.

Selain tanaman, banyak ditemui biota lain di ekosistem mangrove yang umumnya organisme darat yang hidup di area mangrove tidak bersifat khas karena tujuan mereka berada di hutan mangrove hanyalah dapat mencari makanan ke laut atau ke paparan lumpur ketika air menyurut. Beberapa jenis hewan daratan antara lain jenis mamalia, seperti monyet kera (Macaca fascicularis), monyet bekantan (Nasalis larvatus), lutung jawa (Semnopithecus auratus), kalong (Pteropus vampyrus) dan beberapa jenis kelelelawar. Beberapa jenis burung diketahui hidup di kawasan mangrove baik sebagai penetap maupun pengunjung, antara lain dari suku bangau (Ciconiidae), ibis (Threskiornithidae) dan kuntul (Ardeidae), selain berbagai jenis burung kicau kecil yang umum didapati di hutan-hutan pesisir. Burung yang termasuk jenis pengunjung antara lain dari suku trulek (Charadriidae), trinil (Scolopacidae) dan wili-wili (Burhinidae).Golongan reptile penghuni pohon seperti beberapa jenis bunglon Calotesspp.), cecak terbang (Draco), ular cincin mas (Boiga) dan ular bangkai laut (Trimeresurus). Di samping pula beberapa reptil penghuni perairan atau rawa seperti ular bakau (Fordonia), ular karung (Acrochordus), ular tambak(Cerberus), biawak (Varanus) dan buaya muara (Crocodylus porosus).Beberapa jenis organisme laut di kawasan mangrove didominasi oleh moluska, jenis-jenis ketam dan udang tertentu dan beberapa spesies ikan khas. Organisme ini dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu yang menempati lumpur dan yang hidup pada substrat yang keras seperti pada perakaran pohon-pohon bakau yang berada di atas lapisan lumpur.

Cacing dan aneka jenis kepiting membuat lubang di lapisan lumpur di antara perakaran bakau. Cacing lautNereis, ketam binatu (Uca), kepiting hantu (Ocypode), udang lumpur (Thalassina) dan beberapa jenis yang lain adalah contohnya. Termasuk pula beberapa yang memiliki nilai ekonomi seperti halnya kepiting bakau (Scylla serrata).

Di permukaan lumpur hidup beberapa jenis siput (Cerithidea, Telescopium, Terebraliadll.), tiram dan juga ikan gelodok atau belodok (Periopthalmus) beserta kerabatnya. Ikan ini berperilaku unik, karena tidak seperti lazimnya ikan, ikan gelodok senang melompat-lompat atau berjalan dengan kedua siripnya di atas lumpur yang mengering, bahkan juga memanjat-manjat ke atas akar bakau. Sesekali, setiap beberapa saat, ikan ini meluncur ke genangan air terdekat untuk membasahi insangnya. Ikan gelodok bersarang di lubang-lubang lumpur.

Beberapa jenis siput (Nerita, Littorina, Brachyodontes), tiram (Crassostrea) dan teritip (Balanus, Chthamalus) hidup melekat pada akar-akar pohon bakau, hingga ketinggian lebih dari semeter di atas permukaan lumpur.

Di samping itu, perairan mangrove juga dikunjungi oleh aneka jenis ikan ketika air pasang. Misalnya ikan belanak (Mugil), belosoh (Cassostrea), beberapa jenis udang (Penaeus) dan kepiting (Callinectes). Hutan bakau juga merupakan tempat mengasuh (nursery ground) untuk banyak jenis tempayak udang (benur) dan ikan (nener), sebagaimana halnya ikan bandeng (Chanos).MANFAAT DAN FUNGSI HUTAN MANGROVE

Sebagai salah satu sumberdaya alam di daerah tropis, keberadaan mangrove mempunyai manfaat yang besar dan berpengaruh luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Menurut Naamin (1991) bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan fungsi bermacam-macam, yaitu ; fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi atau produksi. Mangrove menghasilkan berbagai macam barang/material yang berupa kayu maupun hasil hutan bukan kayu dan termasuk jasa lingkungan yaitu oksigen penyerap polutan, pengendali abrasi dan intrusi air laut. Selain itu, mangrove memiliki kelebihan lain yaitu bahwa mangrove merupakan salah satu hutan yang memiliki simpanan karbon tertinggi di kawasan tropis, dimana rerata karbon di mangrove muara sebesar 1.074 Mg C ha-1, sementara di laut sebesar 990 96 Mg C ha-1 (Donato et al., 2012).Secara garis besar fungsi mangrove dapat dirinci pada level ekosistem dan level sumber daya (Kusmana, 2009), sebagai berikut :

A. Fungsi mangrove pada level ekosistema. Lindungan lingkungan ekosistem pantai secara global, yakni :

1) Proteksi garis pantai dari hempasan gelombang;Hutan mangrove yang sehat, utuh dan alami memberikan perlindungan yang baik bagi wilayah pesisir. Kerapatan pohon dan sistem perakaran mangrove yang berkembang di atas permukaan tanah (stilt root, knee root, plunk root, pneumatophore) khususnya akan membentuk cable root system memproteksi garis pantai sehingga tidak terjadi abrasi dan terhindar dari terjangan gelombang arus laut karena adanya penyerapan energi gelombang dan pengurangan kecepatan arus oleh perakaran mangrove tersebut (Mazda et al., 1997; Saenger, 1982).2) Proteksi dari tiupan angin kencang;

Fractional drag di atas kanopi mangrove adalah jauh lebih tinggi dibandingkan di atas permukaan air, sehingga semakin ke arah mangrove pedalaman kecepatan angin semakin berkurang. 3) Mengatur sedimentasi;

Sistem perakaran mangrove dapat mengurangi kecepatan arus air yang mengalir di dasar hutan sehingga memberi kesempatan kepada partikel-partikel koloid tanah untuk mengendap di lantai hutan. Proses pengaturan sedimentasi melalui pengurangan daya erosif arus air, pengayaan deposit liat dan pengurangan daya resuspensi dari deposit liat sehingga mangrove dapat meningkatkan kualitas perairan dan produktivitas primer oleh melimpahnya fitoplankton.

4) Retensi nutrient;Fungsi mangrove sebagai tempat penampung dissolved nutrient, serta pengolah limbah organik. Kesuburan tanah, kandungan hara serasah dan pertumbuhan tegakan mangrove jauh lebih baik di hutan-hutan mangrove yang banyak menerima input anorganik, terutama nitrogen dan fosfor daripada mangrove yang tidak mendapat input energi dari luar.

Dengan rapatnya batang-batang dan susunan perakaran mangrove, maka banyak partikel liat terdeposisi di zona mangrove, bersamaan dengan ini banyak nutrient yang berasal kolom badan air terserap dalam sedimen liat tersebut.

5) Memperbaiki kualitas air;Perakaran mangrove berperan mengurangi materi tersuspensi dalam badan kolom air, bahkan mendeposisikannya sehingga konsentrasi oksigen terlarut meningkat. Selain itu mangrove mempunyai kemampuan menyerap dan mengurangi bahan pencemar (polutan) dari badan air untuk kemudian diserap oleh jaringan anatomi tumbuhan mangrove maupun ke dalam lumpur.Jenis Rhizopora mucronata dapat menyerap lebih dari 300 ppm Mn, 20 ppm Zn dan 15 ppm Cu. Sedangkan daun Avicennia marina ditemui akumulasi Pb sebesar 15 ppm, Cd 0,5 ppm dan Ni 2,4 ppm (Kusmana, 2009; Saepulloh, 1995).6) Mengendalikan intrusi air laut;

Fungsi ini terjadi melalui mekanisme sebagai berikut :

Pencegahan pengendapan CaCO3 oleh bahan hasil eksudat akar;

Pengurangan kadar garam oleh bahan organik hasil dekomposisi serasah;

Peranan fisik susunan akar mangrove yang dapat mengurangi daya jangkauan air pasang ke daratan;

Perbaikan sifat fisik dan kimia tanah melalui dekomposisi serasah.

7) Pengaturan air bawah tanah (groundwater);

Karena letaknya yang berada di peralihan antara lautan dan daratan, maka di batas pedalaman mangrove dengan daratan aliran air tawar dari daratan sering terakumulasi. Groundwater ini secara ekologis menstabilkan salinitas pada saat musim kemarau dan mensuplai nutrient ke ekosistem mangrove melalui kanal-kanal yang ada di mangrove.8) Stabilitas iklim mikro;

Komunitas mangrove yang tersusun rapat dapat menyebabkan pengendalian suhu yang relatif rendah pada siang hari dan hangat di malam hari.

b. Pembangun lahan dan pengendapan lumpur

Perakaran mangrove dapat berfungsi sebagai penahan lumpur, dimana kekontinyuan penimbunan bahan organik menguntungkan bagi pertumbuhan semai dan kelangsungan hidup tumbuhan mangrove.

c. Habitat fauna

Adanya saluran-saluran air (shallow bay, inlet dan channel) yang merupakan bagian integral dari ekosistem mangrove tersebut sangat menunjang kehidupan biota laut. Vegetasi mangrove lebih berperan sebagai penyedia nutrisi melalui serasahnya bagi produktivitas primer saluran-saluran air tersebut. Serasah ini terdekomposisi oleh cendawan dan bakteri menjadi detritus, yang mana detritus menjadi makanan utama bagi konsumer primer untuk selanjutnya menunjang kehidupan biota tingkat di atasnya.d. Lahan pertanian dan kolam garam

Di Asia Tenggara, kawasan hutan mangrove dikonversi sebagai penghasil garam khususnya pada daerah yang curah hujannya kurang dari 1.000 mm/tahun. Di Indonesia,India dan Afrika Barat, padi juga dapat ditanam di daerah pasang surut. Di bidang perikanan budidaya penerapan sistem budidaya secara agrosilvofishery pada mintakat mangrove akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan energy dan lahan mangrove serta berpengaruh baik terhadap keadaan sosial ekonomi penduduk setempat. Melalui agrosilvofishery akan berpengaruh positif terhadap tanaman pertanian dan perikanan/tambak, yakni : Sebagai nursery ground dan feeding ground bagi ikan yang dipeliharan di dalam tambak serta jenis biota akuatik lainnya (kepiting, udang, kerang);

Mengurangi penyusupan/intrusi air laut ke lahan pertanian dan berfungsi sebagai pelindung lahan pertanian dari hempasan angin dan gempuran ombak;

Pengendali pH tanah habitat tersebut dan pengendali logam berat;

Mencegah terjadinya kehanyutan tanah subur ke laut serta menstabilkan tanah pada habitat tersebut.e. Keindahan bentang darat

Keindahan bentang darat dari mangrove di pesisir memungkinkan pemanfaatannya sebagai tempat rekreasi, khususnya ekoturisme. Bentuk pengelolaan ini akan memberikan keuntungan ganda, yaitu manfaat secara ekonomis tanpa langsung mengeksploitasi mangrove itu sendiri.

f. Pendidikan dan penelitian

Sebagai sebuah ekosistem yang unik, mangrove banyak dihuni berbagai biota darat dan laut. Keadaan khas ini menjadi daya tarik untuk sarana pendidikan dan penelitian baik menyangkut faktor biofisik maupun faktor sosial ekonomis dalam rangka menunjang pengelolaan sumberdaya hayati.

B. Fungsi mangrove pada level sumberdaya (primary biotic component)

a. Fauna

1) Fauna daratan

Fauna darat umumnya hanya menggunakan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan atau perlindungan. Fauna daratan yang banyak ditemui di ekosistem mangrove yaitu burung, amphibi dan reptilia, mamalia dan serangga.

2) Fauna laut

Merupakan elemen utama dari fauna di ekosistem mangrove. Fauna yang banyak ditemui di ekosistem mangrove yaitu kelompok Crustaceae, Bivalvia, Molusca, termasuk ikan. Dilihat dari pola penyebarannya, yaitu fauna yang menyebar vertical dan horizontal.

b. FloraMenurut Umali et al (1987) dalam Kusmana (2009), dilaporkan bahwa sampai saat ini terdapat sekitar 130 jenis tumbuhan di 11 negara Asia-Pasifik, diantaranya Indonesia terdapat 101 jenis.3. PERMASALAHAN DAN KONDISI EXISTING HUTAN MANGROVE

Pertumbuhan penduduk yang pesat di Indonesia diiringi dengan kebutuhan ekonomi menyebabkan perubahan lingkungan di wilayah pesisir. Degradasi lingkungan terjadi akibat adanya konversi dan pemanfaatan hutan mangrove untuk diubah serta dialihkan fungsinya ke penggunaan lain. Hal ini membawa dampak yang luas, dimana pengambilan hasil hutan dan konversi mangrove dapat memberikan hasil kepada pendapatan masyarakat dan kesempatan meningkatkan kerja. Namun pada sisi lain terjadi penyusutan hutan mangrove yang pada gilirannya dapat mengganggu ekosistem perairan kawasan sekitarnya.

Di Provinsi Sulawesi Selatan, sekitar 90 persen hutan mangrove mengalami kerusakan cukup parah akibat eksploitasi dan konservasi lahan, yaitu dari 26.000 hektar luas semula kawasan hutan mangrove dan sekarang tersisa hanya 214 hektar (Mayudin, 2012). Sedangkan menurut Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (1997) disebutkan bahwa kawasan mangrove di Jawa Barat dan Banten umumnya tergolong rusak berat dan rusak sedang yaitu masing-masing secara berurutan adalah 52,12% dan 47,82%, sedangkan yang masih baik hanya sekitar 77,03 Ha atau 0,06%. Secara keseluruhan di Indonesia kondisi kawasan mangrove pada tahun 2006 tercatat dari luas total kawasan mangrove 6,8 juta Ha, 2 juta Ha (30,4%) dalam kondisi baik, 1,87 juta Ha (27,18%) dalam kondisi rusak sedang, dan 2,8 juta Ha (41,3%) dalam kondisi rusak (Kusmana, 2009).Penyebab-penyebab kerusakan kawasan ekosistem mangrove umumnya bukan disebabkan oleh pencemaran air dan tanah, namun sebagian besar oleh pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian, permukiman dan reklamasi pantai untuk kawasan wisata (Mayudin, 2012; Onrizal, 2002). Beberapa dampak kegiatan manusia terhadap keberadaan ekosistem mangrove terlihat pada Tabel 1 berikut.Tabel 1. Beberapa dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove.

KegiatanDampak Potensial

Tebang habisBerubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan

digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan

hutan mangrove yang ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah

mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery

ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda

yang penting secara ekonomi.

Pengalihan

aliran air tawar,

misalnya pada

pembangunan

irigasiPeningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi

dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih

asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak

dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih sensitif

terhadap perubahan lingkungan.

Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat

hara melalui aliran air tawar berkurang.

Konversi

menjadi lahan

pertanian,

perikananMengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas

pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery

ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang.

Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan

mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.

Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang

sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.

Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan

keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang

bermuara di laut.

Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.

Pembuangan

sampah cair

(Sewage)Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat

terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang

terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang

antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3)

yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air.

Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi

berlangsungnya dekomposisi anaerobik.

Pembuangan

sampah padatKemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang

akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove.

Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang

kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah.

Pencemaran

minyak akibat

terjadinya

tumpahan

minyak dalam jumlah besar.Kematian pohon-pohon mangrove akibat terlapisnya pneumatofora

oleh lapisan minyak.

Penambangan

dan ekstraksi

mineral.Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang

dapat mengakibatkan :

musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan

bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting

di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan

udang tersebut.Pengendapan sedimen yang berlebihan dapat mengakibatkan :

Terlapisnya pneumatofora oleh sedimen yang pada akhirnya dapat mematikan pohon mangrove.

Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, 1996.

Sumber : female.kompas.com; kaskus.co.id; blog.voa.news.comGambar 3. Berbagai kerusakan mangrove di Indonesia.

4. PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE SECARA TERPADU

Keberadaan ekosistem mangrove yang semakin terancam akibat perkembangan di wilayah pesisir menimbulkan sebuah perencanaan dan strategi yang matang dalam pengelolaannya. Isu pokok yang berhubungan dengan pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia (Kelompok Kerja Mangrove Tingkat Nasional, 2013), antara lain :

1. Isu Ekologi, yaitu :

a. Lebih dari 50% dari total luas mangrove di Indonesia berada dalam kondisi rusak, sehingga menurunnya biodiversitas dan jasa lingkungan ekosistem mangrove akibat perubahan fungsi lahan sehingga meningkatkan resiko bencana.

b. Telah banyak upaya untuk mengkonversi dan merehabilitasi ekosistem mangrove, namun hasil dari kegiatan tersebut belum optimal sesuai harapan, sehingga belum mampu mengimbangi laju kerusakan yang terjadi.

c. Wilayah pesisir Indonesia rawan terhadap bencana dan dampak perubahan iklim.

2. Isu Sosial Ekonomi

a. Perbedaan pemahaman tentang nilai dan fungsi ekosistem mangrove dan pentingnya upaya rehabilitasi.

b. Partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan imlementasi pengelolaan ekosistem mangrove belum optimal.

c. Sebagian besar kondisi masyarakat di sekitar ekosistem mangrove tergolong miskin.

d. Kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove ramah lingkungan belum berkembang.e. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi memicu alih fungsi lahan dan kerusakan ekosistem mangrove.

3. Isu Kelembagaan

a. Koordinasi diantara lembaga terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove belum efektif.

b. Kebijakan antar sektor dalam pengelolaan ekosistem mangrove masih belum sinergis.

c. Kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang telah ada belum berkembang dan berfungsi secara optimal.

d. Kurangnya kapasitas pemerintah pusat dan daerah serta stakeholder terkait dalam menginterpretasikan dan mengimplementasikan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove.

e. Belum terintegrasinya data ekosistem mangrove secara nasional.

4. Isu Peraturan Perundangan-undangan

a. Peraturan perundang-undangan pengelolaan ekosistem mangrove belum diimplementasikan dan diintegrasikan secara optimal.

b. Penegakan hukum dalam pengelolaan ekosistem mangrove belum efektif.Kerusakan mangrove di Indonesia sangat berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah penduduk, khususnya yang menempati areal di sekitar hutan mangrove yang mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya mangrove secara berlebihan tanpa memperhatikan upaya pelestarian. Semestinya keseimbangan kepentingan perlu dijaga untuk mencapai peningkatan pengembangan ekonomi dan usaha perlindungan ekosistem hutan mangrove, serta konsekuensi kerusakan hutan mangrove merupakan sesuatu kegiatan yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya mangrove secara terpadu untuk konservasi dan pelestarian.

Hal-hal yang menjadi latar belakang perlunya ekosistem mangrove dikelola secara terpadu yaitu : (1) Umumnya mangrove berada di wilayah pesisir yang merupakan wilayah yang unik (peralihan antara ekosistem daratan dan ekosistem lautan);

(2) Penggunaan lahan dan proses-proses yang terjadi, baik proses alamiah maupun proses antropogenik di daratan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) begitu juga yang terjadi di lautan berpengaruh signifikan terhadap karakteristik ekosistem pesisir dimana mangrove berada;

(3) Adanya interaksi ekologis antara jenis ekosistem pesisir yang satu dengan yang lainnya;

Interaksi ekologis antara ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang yang merupakan ekosistem pesisir paling produktif, terdiri atas : a) transfer nutrient dari padang lamun ke terumbu karang oleh berbagai jenis ikan herbivore diurnal dan ikan karnivora/omnivora nokturnal; b) interaksi biologi yang disebabkan oleh aktifitas berbagai jenis ikan yang hidup di terumbu karang terhadap padang lamun; c) interaksi fisik antar ketiga ekosistem tersebut menstabilisasi lingkungan fisik ekosistem pesisir.

(4) Beragamnya manfaat ekonomi dan manfaat ekologis dari mangrove yang berguna untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat serta memelihara keberlanjutan fungsi ekosistem pesisir.

Selain itu, jika mengacu pada kondisi ekologi, sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan maka terdapat beberapa hal penting yang menjadi acuan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia, yaitu :

(1) Pemanfaatan ekosistem mangrove harus diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi dan konservasi ekosistem mangrove harus dikendalikan sehingga tercapai prinsip no net loss;

(2) Peran ekosistem mangrove dalam perlindungan keanekaragaman hayati, garis pantai dan sumberdaya pesisir sangat penting;

(3) Pengelolaan ekosistem mangrove dilaksanakan sebagai bagian integral dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan DAS secara keseluruhan;

(4) Pengelolaan ekosistem mangrove membutuhkan komitmen politik dan dukungan kuat pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pihak terkait;

(5) Koordinasi dan kerjasama antar instansi baik vertical maupun horizontal sangat penting untuk menjamin terlaksananya kebijakan strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove;

(6) Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dilaksanakan untuk melestarikan nilai penting ekologi, ekonomi dan sosial budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan berkelanjutan;

(7) Pemerintah daerah mempunyai kewenangan dan kewajiban mengelola ekosistem mangrove sesuai dengan kondisi dan aspirasi lokal, dan strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove;(8) Pengembangan riset, iptek dan sistem informasi diperlukan untuk memperkuat pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan;

(9) Pengelolaan ekosistem mangrove dilaksanakan melalui pola kemitraan dengan dukungan para pihak dan masyarakat.Konsep pengelolaan dan pelestarian mangrove terdiri atas perlindungan dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Hal ini untuk memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar tetap lestari. Penunjukan suatu kawasan hutan mangrove menjadi suatu area atau kawasan konservasi dan menjadikannya sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.Dengan memperhatikan pentingnya fungsi mangrove, sudah menjadi kewajiban kita untuk mempertahankan keberadaannya. Beberapa tipe ekosistem mangrove yang perlu diperhatikan dan dikonservasi menurut Kusmana (2009), yaitu : a) mangrove yang tumbuh di pulau-pulau kecil; b) ekosistem mangrove yang unik/khas; c) ekosistem mangrove yang merupakan habitat satwa liar / biota endemik dan dilindungi; d) mangrove yang tumbuh di estuaria dan muara sungai yang berperan mempertahankan keseimbangan ekologi di ekosistem tersebut; e) mangrove yang berfungsi sebagai habitat perikanan atau dekat kawasan penangkapan; f) mangrove yang berada pada kawasan yang rawan oleh kejadian bencana di pesisir; g) mangrove yang masih asli yang dialokasikan sebagai gene biodiversity bank; h) mangrove yang berfungsi sebagai perlindungan abrasi pantai, permukiman, industri, bandara, pengendali pencemaran dan intrusi air laut, serta lindungan lingkungan pantai lainnya yang spesifik lokal; dan i) mangrove yang ditentukan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, pariwisata, dan tujuan khusus lainnya.

Pengelola ekosistem mangrove harus mengetahui limit toleransi dari ekosistem mangrove terhadap perubahan-perubahan faktor eksternal seperti pasokan yang seimbang dari jumlah air tawar dan air laut; suplai nutrient yang cukup; dan kondisi substrat yang stabil. Sebagai sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang menyediakan berbagai jenis produk dan pelayanan lingkungan, fungsinya harus selalu dijaga dan tetap berlanjut jika keberadaan mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian. Pengelolaan mangrove harus dianggap sebagai bagian integral dari suatu ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dan merupakan bagian dari ekosistem estuarine yang kompleks di pesisir yang berinteraksi satu sama lain yang keberadaannya dipelihara oleh pola drainase alamiah dan aliran air tawar dari catchment area di satu pihak serta dinamika pasang surut dan salinitas di pihak lain. Semua kegiatan dan penggunaan lahan di catchment area atau daerah tangkapan air harus dipertimbangkan dalam pengelolaan ekosistem pesisir. Oleh karena itu, idealnya unit manajemen pengelolaan mangrove adalah Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga untuk mengembangkan pengelolaan mangrove yang efektif adalah suatu keharusan mempertimbangkan berbagai proses dinamika yang terjadi pada unit DAS tersebut.Selain itu juga diperlukan upaya rehabilitasi terhadap kawasan mangrove yang telah mengalami kerusakan. Seperti yang disampaikan oleh Onrizal (2002), bahwa areal yang direhabilitasi terbagi atas (1) rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove dan (2) rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove.

a. Rehabilitasi pada hutan lindung

Pada area di luar jalur hijau mangrove berfungsi sebagai hutan lindung maka bentuk kegiatan rehabilitasinya adalah kegiatan reboisasi pada kawasan yang kritis dengan jenis pohon mangrove yang sesuai dan dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi lokasi. Pada kawasan lindung tidak diperbolehkan adanya aktivitas yang tidak berhubungan dengan kegiatan reboisasi, kecuali jika itu merupakan kawasan hutan wisata yang dalam pengelolaannya pun hanya terbatas pada kegiatan pembuatan koridor yang berfungsi sebagai lalu lintas baik untuk perahu, speedboat, atau pejalan kaki.b. Rehabilitasi pada hutan produksi/budidaya

Status kawasan di luar jalur hijau mangrove yang berfungsi sebagai hutan produksi atau budidaya dapat berupa kawasan hutan dan non hutan/tanah milik. Rehabilitasinya harus memperhatikan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan status kawasan agar tidak terjadi tumpang tindih pihak yang berwenang melakukan pengelolaan terhadap suatu kawasan. Namun faktor terpenting yang harus diperhatikan untuk kawasan ini adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan. Salah satu pola pengelolaan adalah dengan sistem silvofishery, baik dengan model empang parit, model komplangan maupun model jalur tanaman dalam tambak.

.Gambar 4. Model pengelolaan dengan sistem silvofishery : (a) model empang parit, (b) model komplangan, (c) model jalur.

Beberapa pengelolaan kawasan mangrove di Indonesia antara membuat kawasan lindung mangrove menjadi kawasan ekowisata yang menarik untuk dikunjungi. Ekowisata merupakan salah satu pendekatan untuk mewujudkan pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Ekowisata adalah suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keaslian lingkungan alam, dimana terjadi interaksi antara lingkungan alam dan aktivitas rekreasi, konservasi dan pengembangan serta antara penduduk dan wisatawan (Kusudianto, 1996 dalam Mukaryanti dan Saraswati, 2005). Lokasi ekowisata mangrove di Indonesia antara lain di Wonorejo Surabaya, Probolinggo Jawa Timur, Bali, Angke Kapuk Jakarta dan Balikpapan Kalimantan Timur. Dengan dibuatnya kawasan mangrove menjadi sebuah lokasi ekowisata secara tidak langsung akan menyadarkan masyarakat akan peran penting mangrove bagi kehidupan.

Sumber : http://mangrovemagz.com/Gambar 5. Ekowisata mangrove di Wonorejo dan BaliNamun dari semua upaya pengelolaan tersebut di atas, peran aktif masyarakat pesisir khususnya merupakan sebuah bentuk pola pengelolaan dan pengawasan yang ideal. Hal ini didasarkan atas bahwa umumnya masyarakat pesisir relatif miskin sehingga harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, melalui kemampuan maupun ekonominya. Melalui cara ini diharapkan masyarakat pesisir lebih sadar akan pentingnya ekosistem mangrove bagi keberlanjutan hidup manusia5. PENUTUPMangrove merupakan ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir dan memiliki fungsi dan peranan sangat besar bagi kemaslahatan umat manusia. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar memiliki luasan hutan mangrove terbesar di dunia dengan beraneka jenis biota di dalamnya. Pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi memaksa manusia untuk membuka lahan baru dan memanfaatkan kawasan ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tanpa disadari, akibat alih fungsi dari kawasan hutan mangrove menjadi bentuk lain semisal tambak atau permukiman mengakibatkan dampak negatif dan ketidakseimbangan dalam lingkungan pesisir. Kerusakan ekosistem mangrove sudah sedemikian parah di seluruh wilayah Indonesia. Jika tidak ada upaya serius dari seluruh elemen bangsa ini, bukan tidak mungkin kita akan kehilangan seluruh ekosistem mangrove ini mengingat akan begitu pesat dan parahnya tingkat perusakan pada ekosistem ini. Upaya pengelolaan secara terintegrasi dan terpadu merupakan sebuah langkah bijak dalam mengendalikan dan meminimalisir kerusakan ekosistem mangrove. Konsep pengelolaan dan pelestarian mangrove yang ideal terdiri atas perlindungan dan rehabilitasi hutan mangrove.

6. DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor.

Bengen, D.G. 2001 Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor.Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian, 1982. Status Hutan Mangrove di Indonesia dan Pemanfaatannya Bagi Kesejahteraan Manusia. Prosiding Pertemuan Teknis Evaluasi Hasil Survei Hutan Mangrove. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1997. Pedoman Penentuan Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Donato, D. C., J. B. Kauffman., D. Murdiyarso., S. Kurnianto., M. Stidham dan M. Kanninen. 2012. Mangrove Adalah Salah Satu Hutan Terkaya Karbon di Kawasan Tropis. Brief. Vol 12. CIFOR.FAO, 1992. Management and Utilization of Mangrove In Asia and the Pacific. FAO Environmental Paper III. Rome.

Hardosentono, P. 1978. Hutan Mangrove di Indonesia dan Peranannya Dalam Pelestarian Sumberdaya Alam. Prosiding Seminar I Ekosistem Hutan Mangrove. MAB LIPI. Jakarta.

Kelompok Kerja Mangrove Tingkat Nasional. 2013. Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove Indonesia, Buku 1 Strategi dan Program.

Kusmana, C. 2009. Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. Disampaikan dalam Workshop Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jawa Barat, Hotel Khatulistiwa Jatinangor, 18 Agustus 2009. Bogor.

Mayudin, A. 2012. Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan Mangrove Menjadi Lahan Tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal EKSOS, Vol 8. pp. 90-104.Mazda, Y., M. Magi., M. Kogo and P. Ng. Hong. 1997. Mangrove as A Coastal Protection from Waves in The Tong King Delta, Vietnam. Mangroves and Salt Marshes 1:127-135.

Mukaryanti, M. dan A. Saraswati. 2005. Pengembangan Ekowisata Sebagai Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol 6 (2): 391-396. Naamin,N. 1991. Penggunaan Lahan Mangrove Untuk Budidaya Tambak, Keuntungan dan Kerugiannya. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Pangan MAB Indonesia. LIPI.

Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.Onrizal, O. 2002. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Pramudji, P. 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan Permasalahan dan Pengelolaannya. Oseana, Vol XXV (1). Pp. 13-20.Saenger, P. 1982. Morphological, Anatomical, and Reproductive Adaptations of Australian Mangroves. In : Clough, B.F. (Ed.), Mangrove Ecosystem in Australia. Australia National University Press, Canberra, pp. 153-191.

Saepulloh, C. 1995. Akumulasi Logam Berat (Pb, Cd, Ni) pada Jenis Avicennia marina di Hutan Lindung Mangrove Angke-Kapuk DKI Jakarta. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/deskripsi_mangrove.htm. Ekosistem Mangrove. diakses pada 20 November 2014.