luta ndaku nau mereka pun tetap...

4
1 C e r i t a I n k l u s i pendamping Edisi 4/Juli 2016 www.samanta.id KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA J ARI-JARI tangan Luta Ndaku Nau (50) bapak lima orang anak ini dengan cekatan membersihkan bulu-bulu halus daun lontar dengan pisau yang akan di- gunakan untuk membungkus rokok. Rumah ilalang yang ditempati bersama istrinya, lebih disebut sebagai gubuk. Namun, inilah yang ia miliki saat ini. Tak ada keinginan yang muluk-muluk saat ini, dapat makan, meng- garap sawah dan kebun tiap hari merupakan suatu kebahagiaan tiada tara. Saat ini yang ada dipikirannya hanya memperbaiki rumah, mengganti ilalang dengan seng. Perjalanan hidup yang dialaminya, tak pernah sekalipun ia bayangkan sebelumnya. Sempat merasakan dinginnya lantai penjara selama 1 tahun 2 bu- lan karena kasus pencurian ternak kerbau, namun keluar dari penjara tahun 2007 bukanlah akhir dari perjalanan pahit hidup Luta. Saat berumur 3 tahun, Luta kecil diantarkan oleh Mamanya ke Mama Na-tuannya- diTanarara Kecamatan Matawailapau sekitar 52 km dari Meorumba menjadi anak angkat. Sejak kecil sudah terbiasa bekerja agar mendapatkan upah sebagai uang jajannya, bahkan un- tuk membeli celana. Mulai dari jualan jeruk nipis dengan upah 5 rupiah. Saat kelas 2 Sekolah Rakyat, Mama Na yang selama ini mengayominya dari bayi meninggal dunia. Disaat anak seumurannya bermain, ia sudah mencari naah un- tuk membantu keluarganya dan anak rumahan dengan bekerja menggergaji kayu di sekolah yang diupah 25 ribu rupiah dipotong lima ribu untuk uang makan. Akibatnya sekolahnya tidak selesai. Selain bekerja menggergaji kayu, Luta mulai “menga- sah” ketrampilannya untuk mencuri. Mulai mencuri he- wan kecil sampai hewan besar seperti ayam, sapi, kerbau, dan kuda. Hasil mencuri ia digunakan untuk senang-sen- ang dan minum-minuman. Hewan-hewan hasil curian dibawanya ke Desa Kawawo, Kecamatan Kahaung Eti sekitar 72 km untuk dijual kepada penadah hewan. Tahun demi tahun terus ia lakukan, ketika uang habis maka Luta pun akan mencuri lagi karena mudah dan cepat meng- hasilkan banyak uang. Sebenarnya ada orang di Lainabonga -17 km dari Kawawu- yang menawarinya pekerjaan sebagai tukang bangunan supaya Luta berhenti sebagai pencuri ternak. “Sekalipun saya ma, seribu orang yang mengubur saya, hamba tetap hamba. Tak mungkin saya naik menjadi raja.” Walau terusir dari kabihu (suku) Tanar- ara karena perilakunya yang dianggap mencemarkan kabihu, bahkan rumah yang dibangun dengan susah payah pun dibakar, tak membuat Luta Ndaku Nau dendam terhadap sukunya. Laporan Eko Susilo (SAMANTA) Kabihu Mengusirku, Mereka pun tetap Saudaraku Luta Ndaku Nau

Upload: dangbao

Post on 11-Jun-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Luta Ndaku Nau Mereka pun tetap Saudarakusamanta.id/wp-content/uploads/2016/08/edisi-4-potrait.pdfcekatan membersihkan bulu-bulu halus daun lontar dengan pisau yang akan di-gunakan

1

Cerita InklusipendampingEdisi 4/Juli 2016

www.samanta.id

The Asia Foundation

KEMENTERIAN KOORDINATORBIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

REPUBLIK INDONESIA

JARI-JARI tangan Luta Ndaku Nau (50) bapak lima orang anak ini dengan cekatan membersihkan bulu-bulu halus daun lontar dengan pisau yang akan di-

gunakan untuk membungkus rokok. Rumah ilalang yang ditempati bersama istrinya, lebih disebut sebagai gubuk. Namun, inilah yang ia miliki saat ini. Tak ada keinginan yang muluk-muluk saat ini, dapat makan, meng-garap sawah dan kebun tiap hari merupakan suatu kebahagiaan tiada tara. Saat ini yang ada di pikirannya hanya memperbaiki rumah, mengganti ilalang dengan seng.

Perjalanan hidup yang dialaminya, tak pernah sekalipun ia bayangkan sebelumnya. Sempat merasakan dinginnya lantai penjara selama 1 tahun 2 bu-lan karena kasus pencurian ternak kerbau, namun keluar dari penjara tahun 2007 bukanlah akhir dari perjalanan pahit hidup Luta.

Saat berumur 3 tahun, Luta kecil diantarkan oleh Mamanya ke Mama Na-tuannya- diTanarara Kecamatan Matawailapau sekitar 52 km dari Meorumba men jadi anak angkat. Sejak kecil sudah terbiasa bekerja agar mendapatkan upah sebagai uang jajannya, bahkan un-tuk membeli celana. Mulai dari jualan jeruk nipis dengan upah 5 rupiah.

Saat kelas 2 Sekolah Rakyat, Mama Na yang selama ini mengayominya dari bayi meninggal dunia. Disaat anak seumurannya bermain, ia sudah mencari nafkah un-tuk membantu keluarganya dan anak rumahan dengan

bekerja menggergaji kayu di sekolah yang diupah 25 ribu rupiah dipotong lima ribu untuk uang makan. Akibatnya sekolahnya tidak selesai.

Selain bekerja menggergaji kayu, Luta mulai “menga-sah” ketrampilannya untuk mencuri. Mulai mencuri he-wan kecil sampai hewan besar seperti ayam, sapi, kerbau, dan kuda. Hasil mencuri ia digunakan untuk senang-sen-ang dan minum-minuman. Hewan-hewan hasil curian dibawanya ke Desa Kawawo, Kecamatan Kahaung Eti sekitar 72 km untuk dijual kepada penadah hewan. Tahun demi tahun terus ia lakukan, ketika uang habis maka Luta pun akan mencuri lagi karena mudah dan cepat meng-hasilkan banyak uang.

Sebenarnya ada orang di Lainabonga -17 km dari Kawawu- yang menawarinya pekerjaan sebagai tukang bangunan supaya Luta berhenti sebagai pencuri ternak.

“Sekalipun saya mati, seribu orang yang me ngubur saya, hamba tetap hamba. Tak mungkin saya naik menjadi raja.”Walau terusir dari kabihu (suku) Tanar-ara karena peri lakunya yang dianggap mencemarkan kabihu, bahkan rumah yang dibangun dengan susah payah pun dibakar, tak membuat Luta Ndaku Nau dendam terhadap sukunya.

Laporan Eko Susilo (SAMANTA)

Kabihu Mengusirku, Mereka pun tetap Saudaraku

Luta Ndaku Nau

Page 2: Luta Ndaku Nau Mereka pun tetap Saudarakusamanta.id/wp-content/uploads/2016/08/edisi-4-potrait.pdfcekatan membersihkan bulu-bulu halus daun lontar dengan pisau yang akan di-gunakan

2

Bahkan sempat membuat dua ru-mah di Lainabonga dengan ukuran 7x5 meter yang hasilnya ia gunakan untuk membeli ternak. Begitu Luta memiliki keahlian sebagai tukang ba-ngunan, masyarakat di Tanarara pun menggunakan jasanya untuk mem-bangun rumah. Merasa telah memi-liki penghasilan yang cukup, Luta pun menikahi gadis dari Mahamba-la Desa Katikutana Kecamatan Ma-tawailapau.

Walau telah memiliki keahlian se-bagai tukang bangunan, namun Luta merasa belum mampu mencukupi kebutuhan keluarganya ditambah lagi anggota keluarganya bertambah banyak. Sedangkan ia tidak memi-liki warisan tanah dari Almarhum Mama Na karena dianggap tidak sah sebagai anak angkat. Untuk itu pada tahun 2004, Luta pindah ke Laibo-nga untuk mengerjakan pembuatan 2 rumah warga di sana dan upahnya digunakan untuk hidup sehari-hari.

Tahun 2006, ia kembali lagi ke Tanarara namun karena sulitnya penghidupan di Tanarara apalagi ti-dak memiliki lahan pertanian sebagai penghidupan sehari-hari, naluri “na-kalnya” muncul kembali. Tak tang-gung-tanggung, kerbau milik mer-tualah yang dicurinya. Rencananya kerbau itu akan dibawa ke Laibonga untuk di les – dipotong dan dijual dagingnya dengan 1 kg daging ditu-kar 4 kg kutu luk (sejenis lem sebagai bahan baku pernis).

Namun, nasib berkata lain, be-lum sempat kerbau itu diles, Luta di-tangkap Polisi dari Polsek Tanarara. Sempat diinapkan semalam sebelum dibawa ke Polres Waingapu. Untuk menanggung perbuatannya, Luta divonis pengadilan 1 tahun 2 bulan penjara.

“Hidup di penjara itu tidak menyenangkan. Tidak ada yang

namanya raja, swaggi (tukang santet) atau hamba semua sama rata. Satu gelas dipakai minum untuk semua-nya dan ketika kita menghadap petu-gas sekalipun latar belakangnya atta kita harus merunduk kepada petugas tersebut,” katanya

“Satu tahun 2 bulan saya mera-sakan seperti 4 tahun lamanya dipen-jara. Tidak bagus betul di penjara, ha-nya masuk 1 tahun saja, kita merasa 4 tahun rasanya,” lanjutnya.

Setelah menghabis masa tahan-annya, tahun 2007 Luta bebas dan kembali ke Meorumba. Berharap untuk memulai hidup baru dan tak akan mengulangi perbuatannya itu Luta pun membuat rumah. Namun, ada sebagian anggota kabihu yang mengangap Luta telah mencemarkan nama baik kabihu dengan dipenjara akibatnya rumah yang susah payah ia bangun dibakar.

“Tak ada satupun barang tersi-sa setelah orang bakar rumah saya, hidup saya tambah menderita dan terombang-ambing tanpa ada tu-juan,” akunya.

Untunglah, Bapak Yohanes Ka-humbu Manang - mantan Sekdes Meorumba- menampungnya untuk tinggal dan bekerja di rumahnya. Namun, beberapa tetangga masih mencurigainya karena latar belakan-gnya sebagai pencuri apalagi pernah dipenjara. Akibatnya terjadi perteng-karan-pertengkaran dengan tetang-ganya. “Saya pun kembali diusir dari rumah itu,” katanya.

Mendengar ada warganya yang mengalami pengusiran, Kepala Desa Meorumba, Umbu Balla Nggiku – biasa dipanggil Umbu Nai Lili- me-manggilnya dan berbaik hati mem-berikan tempat untuk tinggal dan bekerja di kebunnya untuk dikelola. Lahan sekitar 25 are tersebut oleh Luta ditanami wortel dan bawang

merah. “Kalau dia mencuri kemba-li, saya akan ikat di pohon sebagai hukumannya. Dan syukurlah, dia sudah tidak pernah sekalipun men-curi,” ujar Umbu Nai Lili bahkan, anak kelima Nuta, Arman Maramba Hiwa (10) tinggal bersamanya.

Keahlian Luta dalam mengelola pertanian diperoleh secara otodidak. Dengan berjalan 18 km ke Laimuda untuk belajar cara menanam wor-tel, belajar bagaimana jarak tanam dan perlakukan tanaman. Hasil dari penjualan wortel kadang 1 juta leb-ih, terkadang juga sampai dua juta. Baru tahun ini Luta mengalami gagal panen wortel. “Dan sekarang pun saya tidak bermimpi lagi untuk men-curi. Sekarang saya fokus untuk usa-ha pertanian karena mencuri tidak

Rumah sederhana Luta Ndaku Nau (kiri). Saat Luta memperlihatkan rancangan rumah kepada Bapak Desa Meorumba, Umbu Nai Lili.

Page 3: Luta Ndaku Nau Mereka pun tetap Saudarakusamanta.id/wp-content/uploads/2016/08/edisi-4-potrait.pdfcekatan membersihkan bulu-bulu halus daun lontar dengan pisau yang akan di-gunakan

3

ada gunanya hanya sekadar se nang-senang,” katanya.

Saat di Manggawai dan hendak pulang ke Meorumba Luta merasa berat hati. Keluarga disana berselisih gara-gara kelakuannya dan tidak bolehkan menampungnya, walau

ada kerabat yang memperbolehkan. Untuk pamitan mesti ada prosesi adat dan Luta memberikan 1 ekor kuda dan dibalas 1 lembar kain dan 1 lembar sarung.

Namun, persoalan belumlah se lesai. Saat Luta dan istrinya me-

mindahkan barang-barang untuk pulang ke Meorumba, terdapat ke-beratan dari pihak perempuan (ipar) karena ada prosesi adat yang be-lum tuntas yakni belis (mahar). Per-masalahan itu sampai pemerintah desa dan kecamatan turun tangan untuk menyelesaikannya, hasilnya harus di selesaikan secara adat/ke-keluargaan.

“Saya tidak sedikitpun ada rasa dendam terhadap mereka, sekali-pun besok atau lusa, mereka ada dalam keadaan susah, apa yang bisa saya bantu akan saya bantu mereka. Sama halnya juga dengan sauda-ra-saudara saya di Meorumba seka-lipun banyak yang tidak menyukai saya sampai rumah saya dibakar tidak ada rasa dendam sedikit pun dalam diri. Saya sudah memutuskan untuk tetap sabar dan hanya bisa menyerahkan semuanya kepada Sang Pencipta. (*)

Hilangnya Panggaiyang dan Parinna di Sawah Kami

Laporan Stepanus Landu Paranggi (Pendamping Program Peduli)

“Namanjaku, maringu”Nahuhu, manggaluwang

Nahamu ma na tanaNgia pandaula wihinda

Baruku mila etinaI ama mbulu, i ina mbulu

(Damai dan sejahteraBerlimpah susu dan maduBetapa baiknya alamTempat kita bersuka riaKarena kasihnyaOleh Tuhan, Sang pemelihara)

SETIAP musim panen padi ladang maupun padi sawah, nyanyian para tetua selalu menggema di-antara lembah atau lereng bukit. Puluhan bahkan ratusan pria dan wanita dewasa bernyanyi sahut-sa-

hutan sambil meliuk-liukan badan, tangan-tangan mereka begitu apik menuai setiap mayang padi meng ikuti irama lagu. Muda-mudi dan anak-anak berjalan mengitari setiap orang dengan membawa bakul untuk menadah mayang padi yang sudah penuh dalam gempalan tangan. Selan-jutnya padi-padi itu akan diangkut ke tempat yang sudah disediakan. Tradisi panggaiyang atau nyanyian saat menuai padi sungguh indah terdengar ibarat berbalas pantun diser-tai syair-syair indah dalam bahasa lokal.

Salah satu cuplikan syair lagu yang mereka nyanyikan penuh hikmah. Sebuah ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan dan alam semesta. Sebuah pengakuan

Page 4: Luta Ndaku Nau Mereka pun tetap Saudarakusamanta.id/wp-content/uploads/2016/08/edisi-4-potrait.pdfcekatan membersihkan bulu-bulu halus daun lontar dengan pisau yang akan di-gunakan

4

lainnya, panggaiyang dinyanyikan agak mendayu-dayu seperti seriosa tetapi lagu parinna lebih kurang se-perti dangdut atau atau pop dangdut. Menariknya lagi jika ada pasangan kekasih sesama pemuda-pemudi kampung, hubungan mereka akan ketahuan dari gaya mereka bernyanyi atau berdansa menginjak padi. Hal itu terlihat dari syair-syair yang di-ungkapkan sang gadis dalam ben-tuk pantun, sedangkan sang pemu-da akan lebih bersemangat jika sang kekasih yang melantunkan nyanyian.

Panggaiyang dan parinna kem-bali terdengar di Kampung La Kut-ta, Desa Meorumba Sumba Timur saat panen perdana varietas padi Situbagendit yang dihadiri Dinas Per-tanian Sumba Timur, bulan Mei lalu setelah sekian lama tak terdengar lagi.

Desa Mauramba maupun Meo-rumba, kisah senandung yang hilang bermula ketika kegiatan manusia mu-lai beralih ke teknologi mesin. Budaya gotong-royong, tradisi panggaiyang, parina dan sebagainya perlahan mu-lai hilang bahkan tidak pernah keden-garan. Bahkan mulai terjadi pergeser-an nilai antara masyarakat lokal dari gotong royong dan saling memban-

tu beralih ke upah harian atau bisnis sewa-menyewa alat pertanian. Akibat-nya, yang mampu membeli mesin traktor atau mesin rontok semakin ber-kantong tebal. Se-dangkan orang yang pas-pasan bahkan kekurangan semakin berkeku-rangan. Misalnya,

seorang petani yang tidak mampu menyewa alat, mau tidak mau ia ha-rus menjual sebahagian kecil hasil panennya untuk menutupi sewa alat. Biaya ini baru biaya untuk buka la-han, belum termasuk perawatan dan biaya produksi atau panen.

“Untuk menyewa traktor, kami harus mengeluarkan Rp15.000 per are, belum termasuk minyak dan makan operator. Kurang lebih Rp1.250.000 untuk menggarap lahan 50 are”, kata Yohanis Katuahi Rihi.

Seorang buruh misalnya, bia-sanya mengais rezeki pada musin panen dengan menjadi buruh arit padi, namun karena ada mesin po-tong padi ia kehilangan salah satu pencahariannya. Selain buruh arit-padi, ada yang disebut kanamba muru uhu. Orang-orang seperti ini biasanya mencari sisa–sisa padi yang masih tersisa diantara jerami, namun de-ngan adanya mesin rontok padi, me-reka kehilangan salah satu sumber penghasilanya.

“Sudah sangat jarang atau sangat sedikit yang masih menjadi kanam-ba muru uhu dianggap kuno, akibat-nya mampu atau tidak mampu mas-yarakat berupaya sebisa mungkin untuk menggunakan teknonogi cang-gih atau traktor”.

Tradisi senandung panggaiyang dan parinna adalah seni budaya turun temurun yang telah hilang, dan ini adalah aset lokal yang harus dipertahankan entah bagaimana cara dan siapa yang memulai. Kalau mau jujur, andainya saja panen di Lakutta tidak melibatkan Dinas Pertanian Ka-bupaten Sumba Timur, mungkin juga tidak akan terdengar lagi senandung tersebut.(*)

para leluhur tentang adanya sang pencipta manusia dan alam. Sebuah pesan moral kepada generasi penerus bahwa Tuhan telah menciptakan ma-nusia dan alam untuk saling membu-tuhkan.

Ada dua jenis nyanyian atau panggayaiyang dalam tradisi menuai padi bagi masyarakat Sumba Timur. Pertama nyanyian ucapan syukur ke-pada Tuhan Yang Maha Esa dan juga kepada alam atas hasil panen yang sangat memuaskan. Jenis kedua, ada-lah nyanyian kegembiraan atau keba-hagian atas hubungan kekeluargaan atau kerukunan setiap marga atau klan jika bertemu dalam momen sep-erti ini. Nyanyian-nya nyian seperti ini biasanya hanya orang-orang dewa-salah yang menguasai syair-syair-nya dan tidak semua orang mampu melakukan itu karena bait - baitnya harus tersusun rapi.

Selain panggaiyang, masih ada satu nyanyian lagi yaitu nyanyian menginjak padi atau parinna. Ketika padi sudah selesai dituai dari ladang dan ditumpuk ditempat yang sudah disediakan, biasanya para pemuda pilihan yang masih sehat dan kuat akan bersiapa-siap untuk mengin-jak padi untuk memisahkan antara jerami dan bulir. Kegiatan seperti ini dilakukan semalam suntuk mulai maghrib sampai subuh. Gadis-gadis desa terpilih yang bersuara merdu akan memilih lagu-lagu rancak sesuai irama menginjak padi sebagai pem-beri semangat kepada para pemuda yang tanpa hentinya berjoget diatas tumpukan padi . Maklum ketika itu belum ada mesin rontok padi, kalau-pun ada masih dihitung dengan jari siapa yang mampu membeli.

Bedanya, lagu menginjak padi lebih kepada syair-syair berupa nasi-hat atau sindiran antara muda-mudi tentang percintaan atau kehidupan sosial bermasyarakatan. Perbedaan