lp_anissa

74
LAPORAN PENDAHULUAN DEPARTEMEN JIWA DI DESA BANTUR Disusun untuk memenuhi tugas profesi Oleh: Kelompok 3 K3LN ANISSA KAROMATUL BAROROH NIM : 105070201131017 JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015

Upload: akanissa

Post on 16-Jan-2016

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

MENTAL

TRANSCRIPT

Page 1: LP_ANISSA

LAPORAN PENDAHULUAN

DEPARTEMEN JIWA DI DESA BANTUR

Disusun untuk memenuhi tugas profesi

Oleh:

Kelompok 3 K3LN

ANISSA KAROMATUL BAROROH

NIM : 105070201131017

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

Page 2: LP_ANISSA

7 DIAGNOSIS JIWA

1. ISOLASI SOSIAL

2. HALUSINASI

3. HDR (HARGA DIRI RENDAH)

4. RPK (RESIKO PERILAKU KEKERASAN)

5. DPD (DEFISIT PERAWATAN DIRI)

6. WAHAM

7. RBD (RESIKO BUNUH DIRI)

Page 3: LP_ANISSA

ISOLASI SOSIAL

I. Kasus

Isolasi sosial : Menarik diri

II. Proses Terjadinya Masalah

A. Definisi Isolasi Sosial

Isolasi sosial adalah kondisi ketika individu atau kelompok mengalami atau

merasakan kebutuhan, atau keinginan untuk lebih terlibat dalam aktivitas bersama

orang lain tetapi tidak mampu mewujudkannya (Carpenito, 2009).

Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau

bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya

(Yosep, 2010).

Isolasi sosial adalah kegagalan individu dalam melakukan interaksi dengan orang

lain yang disebabkan oleh pikiran negatif atau mengancam (Wiyati, dkk., 2010).

B. Rentang Respon Sosial

Rentang respon sosial

Respon adaptif

Adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma social dan kebudayaan

secara umum serta masih dalam batas normal dalam menyelesaikan masalah.

o Menyendiri

Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa

yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi

diri untuk menentukan langkah selanjutnya.

o Otonomi

Respon maladaptifRespon adaptif

- Menyendiri

- Otonomi

- Bekerjasama

- Saling

ketergantungan

- Manipulasi

- Impulsive

- Narcisisisme

- Merasa sendiri

- Menarik diri

- Tergantung

Page 4: LP_ANISSA

Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide, pikiran,

perasaan, dalam hubungaan sosial.

o Bekerjasama

Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut

mampu untuk saling memberi dan menerima.

o Saling Ketergantungan

Merupakan kondisi saling ketergantungan antara individu dengan orang lain

dalam membina hubungan interpersonal.

Transisi dari respon adaptif ke maladaptive

o Menarik diri

Keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina

hubungan secara terbuka dengan orang lain

o Ketergantungan

Terjadi bila seseorang gaagl dalam mengembangkan rasa percaya diri atau

kemampuannya untuk berfungsi secara sukses.

Respon maladaptive

Adalah respons yang diberikan individu yang menyimpang dari norma social.

o Manipulasi

Gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap

orang lain sebagai objek.individu tersebut terdapat membina hubungan

sosial secara mendalam.

o Impulsif

Tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari

pengalaman, penilaian yang buruk dan individu ini tidak dapat diandalkan.

o Narcisisme

Harga dirinya rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan

penghargaan dan pujian yang egosentris dan pencemburu

Page 5: LP_ANISSA

C. Psikopatologi

Berdasarkan model stress dan adaptasi

Faktor Predisposisi

`

Stressor Presipitasi

Penilaian Terhadap Stressor dx

Sumber Koping

Mekanisme Koping

Biologis Psikologis Sosial budaya

Akibat adanya gangguan pada otak, misalnya pada klien dengan skizofrenia

keterkaitannya dengan hubungan klien dengan teman, keluarga, dan masyarakat lain yang kurang baik

Kurangnya sumber pendukung social, menambah stress individu.

Klien merasa Tuhan se-dang melupa kannya di saat klien mendapat mslh yg berat

Fisiologis :Terjadi penurunan re-fleks dan tidak spontan pd systemneuromuskuler.Penurunan nafsu makan, kurangnya nutrisi, serta retensi feses pada sistem gastrointestinalTerjadi retensi urine pada saluran kemih.

Perilaku :Komunikasi verbal berkurang atauhilang sepenuhnya.Kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.Penurunan aktifitas.Perubahan postur tubuh.

Kognitif :Produktifits menurunBingungObyektifitas menghilang

Afektif : Rendah diriApatis

Sosial :Menarik diriMenghindar

Aset materi dapat dilihat dari ada tidaknya modal eko-nomi yang dimiliki klien

Kemampuan personal merupakan suatu keterampilan yang dimiliki klien

dukungan sosial, dukungan emosi-onal dan bantuan yang didapatkan untuk penyelesaian tugas.

Reaksi yang berorientasi pada tugas (Task Oriented Reaction).

Mekanisme pertahanan Ego (Ego Oriented Reaction)

muncul akibat adanya gangguan pemenuhan tugas perkembangan saat ini maupun sebelumnya

Keyakinan positif merupakan teknik pertahanan dan motivasi klien

Page 6: LP_ANISSA

Rentang Respon Koping Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Faktor Predisposisi (Stuart & Sundeen, 1998)

a. Faktor biologis

Faktor biologis merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan

dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya

gangguan hubungan sosial adalah otak. Misalnya pada klien skizofrenia

yang mengalami masalah dalam hubungan sosial, memiliki struktur yang

abnormal pada otak serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik

dan daerah kortikal (Fitria, 2009).

b. Psikologis

Aspek psikologis yang perlu dikaji adalah Riwayat tahap tumbuh kembang

klien. Pada setiap tahap tumbuh kembang individu terdapat tugas

perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam

hubungan sosial. Bila tugas perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan

menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat

menimbulkan masalah.

Tahap

PerkembanganTugas

Masa Bayi Menetapkan rasa percaya

Masa BermainMengembangkan otonomi dan awal perilaku

mandiri

Masa PrasekolahBelajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung

jawab dan hati nurani

Masa SekolahBelajar berkompetisi, bekerjasama dan

berkompromi

Masa PraremajaMenjalin hubungan intim dengan teman

sesama jenis kelamin

Masa RemajaMenjadi intim dengan teman lawan jenis atau

bergantung pada orang tua

Masa Dewasa Muda

Menjadi saling bergantung antara orangtua

dan teman, mencari pasangan, menikah dan

mempunyai anak.

Masa Tengah BayaBelajar menerima hasil kehidupan yang sudah

dilalui

Masa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan

Page 7: LP_ANISSA

mengembangkan perasaan keterikatan

dengan budaya

c. Faktor sosial budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan

suatu faktor pendukung untuk terjadinya gangguan dalam hubungan sosial.

Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang dianut oleh keluarga yang salah,

dimana setiap anggota keluarga yang produktif diasingkan dari lingkungan.

Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung untuk

terjadinya gangguan dalam hubungan sosial termasuk komunikasi yang tidak

jelas, ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga, pola asuh keluarga yang

tidak menganjurkan anggota keluarga untuk berhubungan di luar

lingkungannya

2. Faktor Presipitasi (Stuart, 2001)

a. Sifat stressor

a) Biologis

Isolasi sosial yang bersifat biologis misalnya isolasi sosial yang

diakibatkan adanya gangguan pada otak, misalnya pada klien dengan

skizofrenia

b) Psikologis

Isolasi sosial yang bersifat psikologis mungkin dapat muncul akibat

adanya gangguan pemenuhan tugas perkembangan saat ini maupun

sebelumnya

c) Sosial

Isolasi sosial yang bersifat sosial berarti ada keterkaitannya dengan

hubungan klien dengan teman, keluarga, dan masyarakat lain. Misalnya

pada pasien HIV yang merasa tidak akan diterima keluarga dan

masyarakat, sehingga ia memilih untuk mengasingkan diri dari

lingkungan

d) Spiritual

Bersifat spritual dapat muncul pada klien yang merasa Tuhan sedang

melupakannya disaat klien mendapat masalah yang berat (Fitria, 2009)

b. Asal stressor

a) Ekstrenal : Stressor sosiokultural

Stress dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga dan

berpisah dari orang yang berarti, misalnya karena dirawat di rumah sakit.

Page 8: LP_ANISSA

b) Internal : Stressor psikologis

Ansietas yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan

kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang

terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan

ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tingkat tinggi.

c. Waktu

Perlu dikaji lama dan frekuensi klien mengalami isolasi sosial

d. Jumlah

Kuantitas isolasi sosial yang dialami klien dalam satu periode

3. Penilaian terhadap stressor

a. Perilaku

- Komunikasi verbal berkurang auat hilang sepenuhnya

- Kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya

- Penurunan aktivitas

- Perubahan postur tubuh

b. Sosial

- Menarik diri

- Menghindar

c. Kognitif

- Produktivitas menurun

- Bingung

- Objektivitas menghilang

d. Afektif

- Rendah diri

- Apatis

e. Fisiologis

- Terjadi penurunan refleks dan tidak spontan terhadap sistem

neuromuskular

- Penurunan nafsu makan, kurangnya nutrisi, serta retensi feses pada

sistem GI

- Terjadi retensi urine pada saluran kemih

4. Sumber koping

a. Kemampuan personal

merupakan suatu keterampilan yang dimiliki klien

b. Aset materi

Page 9: LP_ANISSA

Aset materi dapat dilihat dari ada tidaknya modal ekonomi yang dimiliki klien

c. Keyakinan positif

merupakan teknik pertahanan dan motivasi klien

d. Dukungan sosial

dukungan sosial, dukungan emosional dan bantuan yang didapatkan untuk

penyelesaian tugas

5. Mekanisme koping

a. Reaksi yang berorientasi pada tugas (Task oriented reaction)

Merupakan pemecahan masalah secara sadar yang digunakan untuk

menanggulangi ancaman stressor yang ada secara realistis, yaitu: perilaku

menyerang, menarik diri dan kompromi

b. Mekanisme pertahanan ego (Ego oriented reaction)

Mekanisme ini digunakan untuk melindungi diri dan dilakukan secara sadar

atau tidak sadar untuk mempertahankan keseimbangan. Misalnya

rasionalisasi, kompensasi, disosiasi, isolasi dan lain-lain

III. Pohon Masalah

Risiko tinggi gangguan sensori persepsi halusinasi

Isolasi sosial

Harga diri rendah

(Keliat,2006)

IV. Data yang Perlu Dikaji / Ditambahkan

Data Subjektif

Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak orang lain

Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain

Respon verbal kurang dan amat singkat

Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain

Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu

Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan

Klien merasa tidak berguna

Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

Klien merasa ditolak

Data Objektif

Page 10: LP_ANISSA

Klien diam dan tidak mau bicara

Tidak mengikuti kegiatan

Banyak berdiam diri di kamar

Menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan yang terdekat

Klien tampak sedih, ekspresi wajah dangkal

Kontak mata kurang

Kurang spontan

Apatis

Ekspresi wajah kurang berseri

Mengisolasi diri

Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi tidur)

V. Diagnosa Keperawatan

Isolasi sosial : menarik diri

Page 11: LP_ANISSA

DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna dll. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. EGC: Jakarta.

Stuart dan Sundeen. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. EGC: Jakarta.

Afdol, M dkk. 2012. Gambaran Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Asuhan

Keperawatan Jiwa pada Pasien dengan Masalah Isolasi Sosial di Ruangan

Rawat Inap Jiwa

Doenges.E Marilynn, dkk. 2006. Rencana Usaha Keperawatan Psikiatri, edisi 3. EGC :

Jakarta.

Yosep, Ius. 2010. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung: PT. Refika Aditama

Carpenito, Lynda Juall. 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC

Stuart, Gail W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC

Wiyati, Ruti, Wahyuningsih, Dyah , Widayanti, Esti Dwi . 2010. Pengaruh Psikoedukasi

Keluarga terhadap Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Isolasi Sosial.

Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) Untuk 7 Diagnosis

Keperawatan Jiwa Berat Bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta. Salemba

Medika.

Page 12: LP_ANISSA

HALUSINASI

I. Kasus : Halusinasi

II. Proses Terjadinya Masalah

a. Pengertian

Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa

adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan di

mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh/baik. Individu yang

mengalami halusinasi seringkali beranggapan sumber atau penyebab halusinasi

itu berasal dari lingkungannya, padahal rangsangan primer dari halusinasi

adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian

traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut

ditinggalkan oleh orang yang diicintai, tidak dapat mengendalikan dorongan ego,

pikiran dan perasaannya sendiri. (Keliat, 1999).

Menuru Cook dan Fnaine (1987) dalam Fitria (2009), halusinasi adalah

salah satu gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori,

seperi merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,

perabaan, atau penghiduan. Klien merasakan simulasi yang sebetulnya tidak

ada.

Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada

rangsangan yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Halusinasi muncul

sebagai suatu proses panjang yang berkaitan dengan kepribadian seseorang.

Karena itu, halusinasi dipengaruhi oleh pengalaman psikologis seseorang

(Baihaqi, 2007). Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi

dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu

penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan

yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren:

persepsi palsu (Maramis, 2005).

Halusinasi yang paling sering ditemui, biasanya berbentuk

pendengaran tetapi dapat juga berupa halusinasi penglihatan, penciuman, dan

perabaan.Halusinasi pendengaran (paling sering suara, satu atau beberapa

orang) dapat pula berupa komentar tentang pasien atau peristiwa–peristiwa

sekitar pasien. Suara–suara yang paling sering diterima pasien sebagai

sesuatu yang berasal dari luar kepala pasien (Elvira, 2010).

b. Pohon Masalah

Page 13: LP_ANISSA

Perilaku kekerasan

Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran

Isolasi sosial

Harga diri rendah kronis

c. Diagram Terjadinya Masalah

Faktor predisposisi

biologis psikologissosiocultural

Abnormalitas perkembangan sistem saraf, lesi daerah frontal, dopamine neurotransmitter, pembesaran ventrikel, gangguan tumbang,, factor biokimia.

Penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien

kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress, tinggal di ibukota.

Faktor presipitasi

sifat

Bio:kelelahan,obat-obatan, delirium, intoksikasi alkoholPsiko: cemas yang berlebihanSosial:gangguan interaksi sosial Spiritual: hilangnya aktivitas ibadah, kehampaan hidup

Jumlah

Kuantitas halisinasi

muncul pada klien

asal waktu

Frekuensi halusinasi

muncul pada klien

Eksternal : tekanan dari lingkungan social serta budaya di masyarakat, juga kurang dukungan keluarga

Internal : stressor psikologis

Page 14: LP_ANISSA

d. Rentang Respon Halusinasi

Respon Adaptif Respon maladaptive

Respon Adaptif Distorsi Pikiran Gejala Pikiran

- Respon Logis - Distorsi pikiran - Delusi Halusinasi

- Respon akurat - Perilaku aneh / - Perilaku diorganisasi

- Perilaku sesuai tidak sesuai - Sulit berespon

- Emosi sosial - Menarik diri dengan pengalaman

- Waham

- Kesulitan memproses emosi

Gambar 1. Rentang Respon Halusinasi (Stuart & Laraia, 2005)

e. Teori yang Menjelaskan Halusinasi

Teori yang menjelaskan terjadinya halusinasi adalah sebagai berikut:

Teori Biokimia

Penilaian terhadap stressor

kognitif

penurunan fungsi ego

afektif

Ansietas dari ringan sampai berat

fisiologis perilaku

curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata..

sosial

Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merubuan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak

Sumber koping

Kemampuan personal

ketrampilan yang dimiliki klien

Dukungan sosial

dukungan emosional dan bantuan yang didapatkan untuk penyelesaian tugas, pengetahuan dan kemampuan keluarga memberikan asuhan

Aset material

modal ekonomi yang dimiliki klien dan keluarga

Keyakinan positif

teknik pertahanan dan motivasi

Page 15: LP_ANISSA

Terjadi sebagai respon terhadap stress yang mengakibatkan terlepasnya zat

halusinogenik neurotic (buffofenon dan dimethytransferase)

Teori Psikoanalisis

Merupakanan respon ketahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar

yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar

f. Jenis dan Karakter Halusinasi

Menurut Videbeck (2004) dalam Yosep (2009) dan Fitria (2009), tipe

halusinasi adalah :

Jenis halusinasi Data objektif Data subjektif

Halusinasi Dengar

(klien mendengar suara/

bunyi yang tidak ada

hubungannya dengan

stimulus yang nyata)

Mendengar suara atau

kebisingan, paling sering

suara kata yang jelas,

berbicara dengan klien

bahkan sampai percakapan

lengkap antara kedua

penderita halusinasi.

Pikiran yang terdengar

jelas dimana klien

mendengar perkataan

bahwa pasien disuruh

untuk melakukan sesuatu

kadang – kadang dapat

membahayakan.

Bicara/tertawa sendiri

Marah-marah tanpa

sebab

Mendekatkaan telinga

kearah tertentu.

Menutup telinga

Mulut komat-kamit

Ada gerakan tangan

Mendengar suara atau

kegaduhan

Mendengar suara atau

mengajak bercakap-

cakap

Mendengar suara yang

mengajak melakukan

yang berbahaya

Mendengar seseorang

yang sudah meninggal

Halusinasi Pengelihatan

(klien melihat gambaran

yang jelas/samar terhadap

adanya stimulus yang nyata

daari lingkungan dan orang

lain tidak melihatnya)

Stimulus penglihatan dalam

kilatan cahaya, gambar

Menunjuk-nunjuk

kearah tertentu

Ketakutan pada

sesuatau yang tidak

jelas

Tatapan mata pada

tempat tertentu

Melihat bayangan,

sinar, bentuk geometris,

kartun, melihat hantu

atau monster

Page 16: LP_ANISSA

geometris, gambar karton

atau panorama yang luas

dan kompleks. Penglihatan

dapat berupa sesuatu yang

menyenangkan / sesuatu

yang menakutkan seperti

monster.

Halusinasi Penciuman

(klien mencium suatu bau

yang muncul dari sumber

tertentu tanpastimulus yang

nyata)

Membau bau-bau seperti

darah, urine, feses

umumnya bau- bau yang

tidak menyenangkan.

Halusinasi penciuman

biasanya akibat stroke,

tumor, kejang dan

demensia.

Mengendus-endus

seperti membaui bau-

bauan tertentu

Menutup hidung

Membaui bau-bauan

seperti darah, urine,

feses, dan kadang-

kadang bau-bauan

tersebut

menyenangkan bagi

klien

Halusinasi Pengecapan

(klien merasakan sesuatu

yang tidak nyata, biasanya

merasakan rasa makanan

yang tidak enak)

Sering meludah

Muntah

Merasakan rasa seperti

darah, urine atau feses

Klien seperti sedang

merasakan makanan

tertentu, rasa tertentu,

atau mengunyah

sesuatu

Halusinasi Kinestetik

(klien merasakan badanya

bergerak disuatu ruangan

atau anggota badanya

bergerak)

Memegang kakinya

atau anggoata badan

yang lain yang

dianggapnya bergerak

sendiri

Mengatakan badannya

bergerak diudara

Klien melaporkan

bahwa fungsi tubuhnya

tidak dapat terdeteksi,

misalnya tidak ada

denyutan, atau sensasi

pembentukan urine

Page 17: LP_ANISSA

dalam tubuhnya

Halusinasi Perabaan

(klien merasakan sesuatu

pada kulitnya tanpa ada

stimulus yang nyata)

Menggaruk-garuk

permukaan kulit

Mengatakan ada

serangga dipermukaan

kulitnya.

Mengatakan seperti

tersengan listrik

Halusinasi Visceral

(perasaan tertentu yang

timbul dalam tubuhnya)

Memegang badannya

yang dianggapnya

berubah bentuk dan

tidak normal seperti

biasanya

Mengatakan perutnya

mengecil setelah

minum softdrink

g. Fase Halusinasi

Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia

(2001) dan Fitria (2009) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda,

yaitu:

a. Fase I ( Comforting / ansietas sebagai halusinasi menyenangkan, non

psikotik )

Pada tahap ini halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien,

tingkat orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan

hal yang menyenangkan bagi klien (Fitria, 2009)

Karakteristik :

Pada fase ini klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,

kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran

yang menyenangkan untuk meredakan ansietas serta pikiran dan

pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadaran

Perilaku klien :

Di sini dapat dilihat perilaku klien tersenyum, tertawa yang tidak sesuai,

menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan

asyik sendiri, pergerakan mata yang cepat, respon verbal lambat, diam dan

berkonsentrasi

b. Fase II ( Condemning / ansietas berat halusinasi memberatkan )

Pada tahap ini, biasanya klien menyalahkan dan mengalami kecemasan

berat. Halusinasi yang ada dapat menyebabkan antipati

Karakteristik :

Page 18: LP_ANISSA

Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali

dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang

dipersepsikan.

Perilaku klien :

Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas

seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan

tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan

kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.

c. Fase III (Psikotik)

Klien biasanya tidak dapa mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan

berat, halusinasi tidak dapat ditolak lagi

Karakteristik :

Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah

pada halusinasi tersebut.

Perilaku klien :

Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak

mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang

sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.

d. Fase IV ( Conquering / Panik umumnya menjadi lezat dalam halusinasinya )

Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasinya

Karakteristik :

Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah

halusinasi.

Perilaku klien :

Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon

terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1

orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

III. Data yang Perlu Dikaji

Page 19: LP_ANISSA

Waktu, frekuensi dan situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi

Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi

yang dialami oleh pasien. Kapan halusinasi terjadi? Apakah pagi, siang, sore

atau malam? Jika mungkin jam berapa? Frekuensi terjadinya abuah terus-

menerus atau hanya sekali-kali? Situasi terjadinya abuah kalau sendiri, atau

setelah terjadi kejadian tertentu. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi

khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan

munculnya halusinasi. Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya.

Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi

tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi.

Respons halusinasi

Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul.

Perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat

halusinasi timbul. Perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau orang

terdekat dengan pasien. Selain itu dapat juga dengan mengobservasi perilaku

pasien saat halusinasi timbul.

IV. Diagnosa Keperawatan

Gangguan Persepsi sensori: halusinasi.pendengaran.

Data Obyektif Data Subyektif

Klien berbicara dan tertawa

sendiri

Klien bersikap seperti

mendengar/melihat sesuatu

Klien berhenti bicara ditenga

kalimat untuk mendengarkan

sesuatu

Disorientasi

Klien mengatakan mendengar

bunyi yang tidak berhubungan

dengan stimulus nyata

Klien mengatakan melihat

gambaran tanpa ada stimulus

yang nyata

Klien mengatakan mencium bau

tanpa stimulus

Klien merasa makan sesuatu

Klien merasa ada sesuatu pada

kulitnya

Klien takut pada

suara/bunyi/gambar yang dilihat

dan didengar

Klien ingin memukul/melempar

barang-barang

Page 20: LP_ANISSA

I.

II.

III.

IV.

V.

Faktor Predisposisi

SosioculturalPsikologisBiologis

Kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress

Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, harga diri rendah, gambaran diri negatif

Atrofi otak, pembesaran ventrikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbic

Faktor Presipitasi

Waktu JumlahAsalSifat

kuantitas halusinasi yang dialami klien dalam satu periode

kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul

Bio: kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.Psiko: cemas yang berlebihanSosial:gangguan interaksi sosial Spiritual: hilangnya aktivitas ibadah, kehampaan hidup

Internal: pikiran, perasaan, sensasi somatik dengan impuls

Eksternal: stimulus eksternal

Penilaian terhadap stressor

SosialPerilakuFisiologisAfektifKognitif

Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan

curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tdk mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak membedakan yg nyata dengan yang tidak nyata

Ansietas dari ringan sampai berat

adanya penurunan fungsi ego

Sumber Koping

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak

Page 21: LP_ANISSA

VI.

VII.

VIII.

IX.

Rentang Respon Halusinasi (Stuart & Laraia, 2005)

Respon Adaptif Respon maladaptive

Respon Adaptif Distorsi Pikiran Gejala Pikiran

- Respon Logis - Distorsi pikiran - Delusi Halusinasi

- Respon akurat - Perilaku aneh / - Perilaku diorganisasi

- Perilaku sesuai tidak sesuai - Sulit berespon

- Emosi sosial - Menarik diri dengan pengalaman

- Emosi berlebihan

Kemampuan Personal

Aset Material Keyakinan Positif

Dukungan Sosial

teknik pertahanan dan motivasi

modal ekonomi yang dimiliki klien dan keluarga

Dukungan emosional dan bantuan yang didapatkan untuk penyelesaian tugas, pengetahuan dan kemampuan keluarga memberikan asuhan

Ketrampilan yang dimiliki klien

Mekanisme Koping

RegresiProyeksi

Menarik diri

Page 22: LP_ANISSA

HARGA DIRI RENDAH

1. Masalah Utama

Gangguan konsep diri : harga diri rendah

2. Proses terjadinya masalah

A. Definisi

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti, dan rendah diri

yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatf terhadap diri sendiri dan

kemampuan diri. Adanya perasaan hilang percaya diri , merasa gagal karena karena

tidak mampu mencapai keinginansesuai ideal diri (keliat. 1998). Menurut Schult &

videbeck (1998) gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang

terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak

langsung.

B. Tanda dan Gejala

Menurut Sudden & Stuart (1998) tanda harga diri rendah antara lain:

- Mengkritik diri/orang lain

- Produktivitas menurun

- Gangguan berhubungan

- Merasa diri paling penting

- Destruktif pada orang lain

- Merasa tidak mampu dan bersalah

- Mudah tersinggung/marah

- Perasaan negative terhadap tubuh

- Ketegangan peran

- Pesimis menghadapi hidup

- Keluhan fisik

- Penolakan kemampuan diri

- Pandangan hidup bertentangan

- Destruktif terhadap diri

- Khawatir

C. Penyebab

- Penolakan

- Kurang penghargaan

- Pola asuh over proyektif, otoriter, terlalu dituruti atau terlalu dituntut

Page 23: LP_ANISSA

- Persaingan

- Kesalahan dan kegagalan berulang

- Tidak mampu mencapai standar

- Mekanisme koping inefektif

D. Efek harga diri rendah

Harga diri rendah dapat membuat klien menjdai tidak mau maupun tidak mampu

bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Isolasi sosial

menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku

yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DEPKES

RI, 1998)

Tanda dan gejala :

Data Subyektif :

a. Mengungkapkan untuk memulai hubungan/ pembicaraan

b. Mengungkapkan perasaan malu untuk berhubungan dengan orang lain

c. Mengungkapkan kekhawatiran terhadap penolakan oleh orang lain

Data Obyektif :

a. Kurang spontan ketika diajak bicara

b. Apatis

c. Ekspresi wajah kosong

d. Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal

e. Bicara dengan suara pelan dan tidak ada kontak mata saat berbicara

3. Pohon masalah

Isolasi sosial : menarik diri (efek)

(CP)

(causa)

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah

Mekanisme koping inefektif

Page 24: LP_ANISSA

4. Data yang perlu dikaji

HDR

Faktor Predisposisi (Stuart & Gail, 2007) Berbagai faktor menunjang terjadinya

perubahan dalam konsep diri seseorang.

Faktor ini dapat dibagi sebagai berikut:

1) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan

orang tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang, kurang mempunyai

tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang

tidak realistis.

2) Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotip peran gender,

tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.

3) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan orang

tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial.

Faktor presipitasi

Stresor pencetus dapat berasal dari sumber internal atau eksternal.

1) Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan

peristiwa yang megancam kehidupan.

2) Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan

dan individu mengalaminya sebagai frustrasi. Ada 3 jenis transisi peran :

- Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang berkaitan

dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan

dalam kehidupan individu atau keluarga dan normanorma budaya, nilai-

nilai, serta tekanan untuk menyesuaikan diri.

- Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya

anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.

- Transisi peran sehat-sakit, terjadi akibat pergeseran dari keadaan sehat

ke keadaan sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh : kehilangan bagian

tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh,

perubahan fisik yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal,

prosedur medis dan keperawatan.

-

5. Diagnosa keperawatan

a. Isolasi sosial : menarik diri

b. Harga diri rendah

Page 25: LP_ANISSA

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik Ma’rifatul. 2011. Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik dan Klinik. Yogyakarta:

Graha Ilmu

Keliat, Budi Anna, dan Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:

EGC

Stuart, Gail W. 2006. Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Yosep,Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama

Page 26: LP_ANISSA

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

1. Masalah Utama

Resiko perilaku kekerasan

2. Proses Terjadinya Masalah

A. Definisi

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

orang lain, mau pun lingkungan (Stuart & Sundeen, 1995)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

tindakan yang dapat membahyakan secara fisik, baik kepada diri sendiri mau

pun orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk dimana

seseorang berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang

tidak terkontrol (Yosep, 2007).

B. Tanda dan Gejala

Fisik

Mata melotot, pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,

wajah memerah dan tegang, postur tubuh kaku.

Verbal

Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada

keras, kasar dan ketus.

Perilaku

Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak

lingkungan, amuk/agresif.

Emosi

Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,

jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,

menyalahkan dan menuntut

Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang

mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme

Spiritual

Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral

dan kreatifitas terhambat

Social

Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran

Perhatian

Page 27: LP_ANISSA

Bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual

C. Factor predisposisi

Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan

tentang factor predisposisi perilakuk kekerasan, antara lain:

Teori biologic

Menurut teori ini, terdapat beberapa hal yang mempengaruhi seserorang

melakukan PK yaitu sebagai berikut:

a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis

mempunyai implikasi dalam memfasilitasi da menghambat impuls

agresif. Sistem limbic sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya

perilaku bermusuhan dan respon agresif.

b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dan Townsend (1996)

menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,

dopamine, asetilkolin dan serotonin) sangat berperan dalam

memfasilitasi dan menghambat impalas agresif. Peningkatan hormone

androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6

dan & 7) pada cairan serebrospinal merupakan factor predisposisi

penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada

seseorang.

c. Pengaruh genetic, menurut penelitian, perilaku agresif sangat erat

kaintannya dengan genetk tipe kariotipe XYY yang umumnya dimiliki

oleh pelaku tindak criminal.

d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai

gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus

temporal), trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsy (epilepsy lobus

temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak

kekerasan.

Teori psikologik

a. Teori psikoanalitik menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan

dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan

membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat

memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri

derta memberikan arti dalam kehidupannya. Teroi lainnya merupakan

pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya

dan rendahnya harga diri perilaku tindak kekerasan.

b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang

dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perilaku

Page 28: LP_ANISSA

kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran

eksternal dibandingkan anak-anak tanpa factor predisposisi biologic.

Teori sosikultural

Control masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku

kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat

merupakan factor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.

D. Factor presipitasi

Factor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan eksternal

Internal : semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunnya

rasa percaya diri, rasa takut sakit, hilang control, dan lain-lain.

Eksternal : penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis, dan

lain-lain

E. Rentang respon

Respon adaptif Respon

maladaptif

Asertif frustasi pasif agresif kekerasan

Keterangan :

a. Asertif ; individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain

dan memberikan ketenangan

b. Frustasi ; individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat

menemukan alternative

c. Pasif ; individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya

d. Agresif ; perilaku yang menyertai marah

e. Kekerasan ; perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya

kontrol.

3. Pohon masalah

Page 29: LP_ANISSA

4. Data yang Perlu Dikaji

a. Data subyektif

Klien mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, mengatakan dendam

atau jengkel, mengatakan ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut, klien

meremehkan

b. Data obyektif

Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup. Wjah

memerah dan tegang, postur tubuh kaku, suara keras

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Risiko Perilaku Kekerasan

Respon Maladaptif: Marah

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

Frustasi Takut Stress Cemas Manipulasi atau intimidasi Rasa bersalah

Page 30: LP_ANISSA

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik Ma’rifatul. 2011. Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik dan Klinik.

Yogyakarta: Graha Ilmu

Keliat, Budi Anna, dan Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.

Jakarta: EGC

Stuart, Gail W. 2006. Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Yosep,Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama

Page 31: LP_ANISSA

DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. Masalah Utama

Defisit Perawatan Diri (kebersihan diri, berdandan, makan, BAB/BAK)

2. Proses Terjadinya Masalah

a. Pengertian

Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam

memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan

kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu

keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (Depkes, 2000).

Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas

perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2001).

Menurut Poter Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk

memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan

psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu

melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah, 2000).

b. Jenis-jenis perawatan diri

1. Kurang perawatan diri: mandi /kebersihan

Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk

melakukan aktivitas mandi/ kebersihan diri

2. Kurang perawatan diri: mengenakan pakaian/ berhias

Kurang perawatan diri (berhias) adalah gangguan kemampuan untuk

memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri

3. Kurang perawatan diri: makan

Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk

menunjukkan aktivitas makan

4. Kurang perawatan diri: toileting

Kurang perawatan diri toileting adalah gangguan kemampuan untuk

meakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah, 2001)

c. Penyebab

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000) penyebab kurang perawatan diri

adalah sebagai berikut:

Page 32: LP_ANISSA

1. Kelelahan fisik

2. Penurunan kesadaran

Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri dalah

1. Faktor predisposisi

a. Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga

perkembangan inisiatif terganggu

b. Biologis

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan

perawatan diri

c. Kemampuan realitas turun

Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang

kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinyadan lingkungan termasuk

perawatan diri

d.Sosial

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri

lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan

dalam perawatan diri

2. Faktor presipitasi

Yang merupakan faktor presipitasi deficit perawatan diri adalah

penurunan motivasi, kerusakan kognisi, cemas, lemah yang dialami

individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan

perawatan diri.

Menurut Depkes (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi personal

hygiene adalah

a. Body image

Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi

kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga

individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.

b. Praktik social

Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka

kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene

Page 33: LP_ANISSA

c. Status social ekonomi

Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun,

pasta gigi, sikat gigi, shampoo, alat mandi yang semuanya memerlukan

uang untuk menyediakannya

d. Pengetahuan

Pengetahuan personal hyigiene sangat penting karena

pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan .

e. Budaya

Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh

dimandikan

f. Kebiasaan seseorang

Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam

perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.

g. Kondisi fisik atau psikis

Pada keadaan tertentu/kemampuan untuk merawat diri berkurang

dan perlu bantuan untuk melakukannya

d. Tanda dan gejala

Menurut Depkes (2000) Tanda dan gejala klien dengan defisit

perawatan diri adalah:

a) Fisik

Badan bau, pakaian kotor.

Rambut dan kulit kotor.

Kuku panjang dan kotor

Gigi kotor disertai mulut bau

Penampilan tidak rapi

b) Psikologis

Malas, tidak ada inisiatif.

Menarik diri, isolasi diri.

Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.

c) Sosial

Interaksi kurang

Kegiatan kurang

Tidak mampu berperilaku sesuai norma.

Cara makan tidak teratur

Page 34: LP_ANISSA

BAK dan BAB di sembarang tempat

Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009)

adalah sebagai berikut:

a. Mandi/hygiene

Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,

memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air

mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk

dan keluar kamar mandi.

b. Berpakaian/berhias

Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil

potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar

pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian

dalam, memilih pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing

tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan

penampilan pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakaian dan

mengenakan sepatu.

c. Makan

Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,

mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,

menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka container,

memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu

memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut

cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta

mencerna cukup makanan dengan aman.

d. BAB/BAK (toileting)

Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan

jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi

pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat,

dan menyiram toilet atau kamar kecil.

Page 35: LP_ANISSA

Biologis Psikologis Sosiocultural

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak

mampu melakukan

Keluarga terlalu melindungi dan

memanjakan klien

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya

Sifat

Aspek psikologis: kemungkinan diakibatkan karena seseorang yang menderita penyakit kronis ataupun gangguan kejiwaan lain sehingga secara psikologis mereka mengalami penurunan motivasi dan kecemasan. Aspek social: berasal dari keluarga atau lingkungan sekitar. Aspek biologis: berupa kerusakan kognisi atau perceptual dan kelemahan.

Asal

Sumber penyebab deficit perawatan diri bisa berasal dari faktor internal seperti keluarga yang memanjakan atau justru malah membiarkan dalam hal perawatan diri

Waktu

Yang perlu dikaji adalah lamanya klien tidak mampu melakukan perawatan diri.

Jumlah

Faktor Presipitasi

Penilaian terhadap stressor

Kognitif

Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya

Afektif

Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya

Fisiologis Perilaku

Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.

Sosial

Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan

Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya

Pengkajian mengenai kuantitas atau seberapa besar defisit perawatan diri yang dialami dalam satu periode

.

Faktor Predisposisi

Page 36: LP_ANISSA

Kemampuan Personal Dukungan Sosial Aset Material Keyakinan Positif

Sumber Koping

Kurangnya kemampuan untuk menjaga kebersihan diri disebabkan karena menderita suatu penyakit sehingga mengalami kelemahan untuk menjaga kebersihan diri

Dukungan emosional anggota keluarga Keluarga berperan penting dalam membantu klien dalam menjaga kebersihan diri anggota keluarga yang mengalami kelemahan karena sakit

modal ekonomi yang dimiliki klien Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.

teknik pertahanan dan motivasi. Adanya keyakinan bahwa dengan menjaga kebersihan diri akan membantu proses penyembuhan suatu penyakit/gangguan.

Mekanisme Koping

1. Regresi yaitu kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri khas dari

suatu taraf perkembangan yang lebih dini

2. Penyangkalan yaitu menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengingkari

realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalah paling sederhana dan primitif.

3. Isolasi diri , menarik diri

4. Intelektualisasi yaitu pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk menghindari

pengalaman yang mengganggu perasaannya.

Page 37: LP_ANISSA

3. Pohon Masalah

Deficit Perawatan diri

Isolasi Pocial Halusinasi

Harga Diri Rendah

4. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji

a) Defisit Perawatan Diri

Data subyektif

a. Pasien merasa lemah

b. Malas untuk beraktivitas

c. Merasa tidak berdaya.

Data obyektif

a. Rambut kotor, acak – acakan

b. Badan dan pakaian kotor dan bau

c. Mulut dan gigi bau.

d. Kulit kusam dan kotor

e. Kuku panjang dan tidak terawat

5. Diagnose Keperawatan

- Defisit Perawatan Diri (MANDI)

Page 38: LP_ANISSA

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, LJ. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta:EGC.

Damaiyanti, Mukhripah. 2008. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan.

Bandung:Refika Aditama.

Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP & SP ) untuk 7 Diagnosis

Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta : Salemba

Medika.

Keliat, Budi Anna dkk. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2. Jakarta:

EGC.

Tarwoto & Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan,

Edisi 3., Jakarta: Salemba Medika.

Page 39: LP_ANISSA

WAHAM

1. Definisi Waham

Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang

salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar

belakang budaya klien. Manifestasi klinik waham yaitu berupa : klien

mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran,

kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai

kenyataan, klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan,

merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak

tepat menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah tegang, mudah tersinggung.

2. Predisposisi Waham

1)    Biologi

Skizofrenia paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada

diensefalon/ oleh perubahan- perubahan post mortem/ merupakan artefak pada

waktu membuat sediaan. Gangguan endokrin juga berpengaruh, pada teori ini

dihubungkan dengan timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan

atau puerperium dan waktu klimaterium. Begitu juga dengan gangguan

metabolisme, hal ini dikarenakan pada orang yang mengalami skizofrenia tampak

pucat dan tidak sehat, ujung ekstremitas sianosis, nafsu makan berkurang dan berat

badan menurun. Teori ini didukung oleh Adolf Meyer yang menyatakan bahwa suatu

konstitusi yang inferior/ penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya

skizofrenia paranoid (Maramis, 1998).

Menurut Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa

skizofrenia merupakan kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel

piramidal dalam otak, dimana sel-sel otak tersusun rapi pada orang normal.

Gangguan neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis sering

berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan neurologis

yang tidak disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung memiliki waham yang

kompleks. Sedangkan waham yang disertai dengan gangguan kecerdasan sering

kali berupa waham sederhana (kaplan dan Sadock, 1997).

Page 40: LP_ANISSA

2)    Psikologis

Menurut Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan

dasarnya dengan mencurigai. Pada klien dengan waham kebesaran terdapat

perasaan yang tidak adekuat serta tidak berharga. Pertama kali mengingkari

perasaannya sendiri, kemudian memproyeksikan perasaannya kepada lingkungan

dan akhirnya harus menjelaskan kepada orang lain. Apa yang seseorang pikirkan

tentang suatu kejadian mempengaruhi perasaan dan perilakunya. Beberapa

perubahan dalam berpikir, perasaan atau perilaku akan mengakibatkan perubahan

yang lain. Dampak dari perubahan itu salah satunya adalah halusinasi,dapat muncul

dalam pikiran seseorang karena secara nyata mendengar, melihat, merasa, atau

mengecap fenomena itu, sesuai dengan waktu, kepercayaan yang irrasional

menghasilkan ketidakpuasan yang ironis, menjadi karakter yang “Wajib” dan “Harus.

3)    Genetik

Faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini dibuktikan dengan

penelitian pada keluarga-keluarga yang menderita skizofrenia dan terutama anak

kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri sebesar 0,9 – 1,8%, saudara

kandung 7 – 15%, anak dengan salah satu orang tua yang mengalami skizofrenia 7

– 16%, bila kedua orang tua mengalami skizofrenia 40 – 68%, kembar dua telur

(heterozygot) 2-15%, kembar satu telur (monozygot) 61-86% (Maramis, 1998).

Faktor Presipitasi

Faktor ini dapat bersumber dari internal maupun eksternal.

- Stresor sosiokultural : stres yang menumpuk dapat menunjang terhadap

awitan skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya (Stuart, 1998)

- Stresor psikologis : intensitas kecemasan yang tinggi, perasaan bersalah

dan berdosa, penghukuman diri, rasa tidak mampu, fantasi yang tak

terkendali, serta dambaan-dambaan atau harapan yang tidak kunjung

sampai, merupakan sumber dari waham. Waham dapat berkembang jika

terjadi nafsu kemurkaan yang hebat, hinaan dan sakit hati yang mendalam

(Kartono, 1981)

Akibat :

Akibat dari waham klien dapat mengalami kerusakan komunikasi verbal yang

ditandai dengan pikiran tidak realistic, flight of ideas, kehilangan asosiasi,

pengulangan kata-kata yang didengar dan kontak mata yang kurang. Akibat yang

Page 41: LP_ANISSA

lain yang ditimbulkannya adalah beresiko mencederai diri, orang lain dan

lingkungan.

3. Tanda dan Gejala Waham

     Jenis skizofrenia paranoid mempunyai gejala yang khas yaitu waham primer,

disertai dengan waham-waham sekunder dan halusinasi (Maramis, 1998). Menurut

Kaplan dan Sadock (1997), kondisi klien yang mengalami waham :

Status mental :

1. Pada pemeriksaan status mental, menunjukan hasil yang sangat normal,

kecuali bila ada sistem waham abnormal yang jelas.

2. Mood klien konsisten dengan isi wahamnya.

3. Pada waham curiga, didapatkan perilaku pencuriga.

4. Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan

identitas diri, mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.

5. Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya

kualitas depresi ringan.

6. Klien dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang menonjol/ menetap,

kecuali pada klien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa klien

kemungkinan ditemukan halusinasi dengar.

Sensori dan kognisi :

1. Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang

memiliki waham spesifik tentang waktu, tempat dan situasi.

2. Daya ingat dan proses kognitif klien adalah intak (utuh).

3. Klien waham hampir selalu memiliki insight (daya titik diri) yang jelek.

4. Klien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya.

Keputusan terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi klien adalah

dengan menilai perilaku masa lalu, masa sekarang dan yang direncanakan.

4. Tipe-tipe waham

Menurut kaplan dan sadock (1997), tipe-tipe waham antara lain:

1. Tipe Eritomatik: klien dicintai mati-matian oleh orang lain, biasanya orang

yang sangat terkenal, seperti artis, pejabat, atau atasanya. Klien biasanya

hidup terisolasi, menarik diri, hidup sendirian dan bekerja dalam pekerjaan

yang sederhana.

2. Tipe kebesaran (magalomania):yaitu keyakinan bahwa seseorang memiliki

bakat, kemampuan, wawasan yang luar biasa, tetapi tidak dapat diketahui.

Page 42: LP_ANISSA

3. Waham cemburu, yaitu misalnya cemburu terhadap pasanganya. Tipe ini

jarang ditemukan (0,2%) dari pasien psikiatrik. Onset sering mendadak,

dan hilang setelah perpisahan/ kematian pasangan. Tipe ini menyebapkan

penyiksaan hebat dan fisik yang bermakna terhadap pasangan, dan

kemungkinan dapat membunuh pasangan, oleh karena delusinya.

4. Waham kejar : keyakinan merasa dirinya dikejar-kejar, diikuti oleh orang

lain. Tipe ini paling sering ditemukan pada gangguan jiwa. Dapat berbentuk

sederhana, ataupun terperinci, dan biasanya berupa tema yang

berhubungan difitnah secara kejam, diusik, dihalang-halangi, diracuni, atau

dihalangi dalam mengejar tujuan jangka panjang.

5. Waham tipe somatik atau psikosis hipokondrial monosimptomatik.

Perbedaan dengan hipokondrial adalah pada derajat keyakinan yang

dimiliki klien. Menetapnya waham somatik yang tidak kacau tanpa adanya

gejala psikotik lainya menyatakan gangguan delosional/ waham tipe

somatik.

5. Pohon masalah

Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Kerusakan komunikasiKerusakan komunikasi verbalverbal

Resiko tinggi mencederaiResiko tinggi mencederai diri, orang lain dandiri, orang lain dan

lingkunganlingkungan

Perubahan isi pikir :Perubahan isi pikir : wahamwaham

Gangguan konsep diri :Gangguan konsep diri : harga diri rendahharga diri rendah

Page 43: LP_ANISSA

1. Masalah keperawatan :

a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan

b. Kerusakan komunikasi : verbal

c. Perubahan isi pikir : waham

d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.

2. Data yang perlu dikaji :

a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan

1). Data subjektif

Klien memberi kata-kata ancaman, mengatakan benci dan kesal pada

seseorang, klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika

sedang kesal, atau marah, melukai / merusak barang-barang dan tidak mampu

mengendalikan diri

2). Data objektif

Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dank eras, bicara

menguasai, ekspresi marah, pandangan tajam, merusak dan melempar barang-

barang.

e. Kerusakan komunikasi : verbal

1). Data subjektif

klien mengungkapkan sesuatu yang tidak realistik

2). Data objektif

Flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar dan

kontak mata kurang

c. Perubahan isi piker : waham ( paranoid)

1). Data subjektif :

Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,

kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai

kenyataan.

2). Data objektif :

Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri, orang

lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai

lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung

d. Gangguan harga diri rendah

1). Data subjektif

Page 44: LP_ANISSA

Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,

mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri

2). Data objektif

klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternative tindakan,

ingin mencedaerai diri/ ingin mengakhiri hidup

4. Diagnosa Keperawatan

a. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham

b. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan

waham

c. Perubahan isi pikir : waham(paranoid)berhubungan dengan harga diri rendah.

Page 45: LP_ANISSA

RISIKO BUNUH DIRI

I. DEFINISI

Kondisi ketika individu berisiko membunuh dirinya sendiri (Carpenito, 2009).

Suatu keadaan dimana individu mengalami risiko menyakiti diri sendiri atau

melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa (Fitria, 2009).

Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya

adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan

(Stuart dan Sundeen, 1995).

II. ETIOLOGI

A. Faktor Predisposisi

Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor

predisposisi, artinya mungkin terjadi/ mungkin tidak terjadi. Berikut faktor-faktor tersebut:

1) Psikologis

Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul

agresif dan amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan

ditolak, dihina, dianiaya atau saksi penganiayaan.

2) Perilaku

Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasa, sering

menobservasi kekerasa di rumah dan di luar rumah, semua aspek ini

menstimulasi individu megadopsi perilaku kekerasan.

3) Sosial budaya

Budaya tertutup dan membalas dendam dan kontrol sosial yang tidak pasti

terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan

diterima.

4) Bioneurologis

Kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan

neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.

B. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan

orang lain. Kondisi klien seperti kelamahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan,

percaya diri kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan

lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan

orang yang dicintai/ pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab lainnya.

Interkasi sosial yang provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.

Page 46: LP_ANISSA

III. MANIFESTASI KLINIS

Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien masuk rumah sakit adalah

perilaku kekerasan di rumah. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara:

1. Observasi

Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara yang meninggi,

berdebat. Sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas makanan,

memukul jika tidak senang.

2. Wawancara

Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang

dirasakan klien, seperti mempunyai ide untuk bunuh diri; mengungkapkan keinginan

untuk mati; mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan; impulsif;

menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh); memiliki

riwayat percobaan bunuh diri; verbal terselubung (berbicara tentang kematian,

menanyakan tentang dosis obat yang mematikan); status emosional (harapan,

penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan mengasingkan diri); kesehatan

mental (secara klinis klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis dan

menyalahgunakan alkohol); kesehatan fisik (biasanya klien dengan penyakit kronis

atau terminal); pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami

kegagalan dalam karier); status perkawinan (mengalami kegagalan dalam

perkawinan); konflik interpersonal; latar belakang keluarga; dan menjadi korban

perilaku kekerasan saat kecil.

IV. RENTANG RESPON PROTEKSI DIRI

Menurut Keliat manusia memiliki respon untuk melindungi diri dari berbagai masalah.

Adapun rentang respon proteksi diri tersebut sebagai berikut:

Peningkatan diri

Seseorang meningkatkan pertahanan diri secara wajar terhadap situasional yang

membutuhkan pertahanan diri.

Rentang respon proteksi diri

Respon adaptif Respon maladaptif

↑ diri Beresiko Destruktif Destruktif diri tidak langsung Pencederaan diri Bunuh diri

Gambar 4.1 Rentang respon proteksi diri

Page 47: LP_ANISSA

Berisiko destruktif

Seseorang memiliki kecenderungan atau berisiko mengalami perilaku destruktif atau

menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat mempertahankan

diri.

Destruktif diri tidak langsung

Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepatterhadap situasi yang

membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri.

Pencederaan diri

Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan diri akibat hilangnya

harapan terhadap situasi yang ada.

Bunuh diri

Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya hilang.

V. MEKANISME KOPING

Mekanisme koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,

rasionalisasi, dan berfikir magic. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya tidak

ditentang tanpa memberikan koping alternatif.

Pada umumnya tindakan bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya sebagai

berikut urutannya:

1) Ide bunuh diri (suicidal ideation).

Tahap ini merupakan proses kontemplasi dari bunuh diri, atau sebuah

metode yang digunakan tanpa melakukan aksi/ tindakan, bahkan klien pada tahap ini

tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian,

perawat perlu menyadari bahwa klien pada tahap ini memiliki pikiran tentang

keinginan untuk mati.

2) Tujuan bunuh diri (suicidal intent).

Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang konkrit

untuk melakukan bunuh diri,

3) Ancaman bunuh diri (suicidal threat).

Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang dalam,

bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.

4) Perilaku bunuh diri (suicidal gesture).

Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri sendiri

yang bertujuan tidak hanya mengacam kehidupannya tetapi sudah pada percobaan

untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini pada umumnya

tidak mematikan, misalnya meminum beberapa pil atau menyayat pembuluh darah

Page 48: LP_ANISSA

pada lengannya. Hal ini terjadi karena individu memahami ambivalen antara mati dan

hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu ini masih memiliki kemauan untuk

hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap

ini sering dinamakan “ crying for help “ sebab individu ini sedang berjuang dengan

stress yang tidak mampu di selesaikan.

5) Usaha bunuh diri (suicidal attempt).

Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu ingin mati

dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan. Walaupun

demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan kehidupannya.

6) Bunuh diri (suicide).

Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri

Hal ini telah didahului oleh beberapa perobaan bunuh diri sebelumnya. 30% orang

berhasil melakukan bunuh diri adalah orang yang pernah melakukan percobaan

bunuh diri sebelumnya. Suicide ini yakni merupakan hasil dari individu yang tidak

punya pilihan untuk mengatasi kesedihan yang mendalam.

VI. PENATALAKSANAAN

Menurut Power dan McGoman (2011) terdapat beberapa tindakan dalam

mengendalikan bunuh diri seseorang. Adapun tindakan tersebut sebagai berikut:

1. Training dalam mencegah bunuh diri.

Staf melatih dalam mencegah bunuh diri secara signifikan mengurangi angka bunuh

diri dan dasar :tujuan pertama” pelatihan untuk staf, keluarga, dan pengguna

pelayanan, mencapai keuntungan yang diperoleh (Rascon et al., 2004 dalam Power

& McGoman, 2011).

2. Intervensi psikososial.

Digunakan untuk mendukung pertumbuhan dan menanamkan harapan dan

optimisme yang penting bagi penyembuhan (Dodgson & McGoman, 2010 dalam

Power & McGoman, 2011). Rehabilitasi, vokasi/ edukasi da intervensi sosial yang

ditujukan pada kehilangan dan larangan dan menyimpan kembali kepercayaan,

integrasi sosial dan rasa untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi tingkat

morbiditas sekunder dan keinginan bunuh diri.

3. Kejadian yang dapat dicegah.

Kejadian yang dapat dicegah seperti penyimpanan obat, latihan yang tidak dicek,

sistem tidak adekuat dalam menejemen klien dengan risiko tinggi, catatan

pemeliharaan, supervisi staf, obstruksi jalan nafas untuk perawatan dan kurang

adekatnya insiden yang dilaporkan/ audit juga dapat diperbaiki.

Page 49: LP_ANISSA

VII. KRITERIA PENGKAJIAN FOKUS

Tabel 1 Mengkaji Derajat Risiko Bunuh Diri (Carpenito, 2009)

Perilaku atau

gejala

Intensitas Risiko

Rendah Sedang Berat

Ansietas Ringan Sedang Tinggi

Depresi Ringan Sedang Berat

Isolasi/menarik

diri

Perasaan

terisolasi, tidak

menarik diri.

Perasaan putus asa,

dan menarik diri.

Putus asa, menarik

diri, mencela diri

sendiri, isolasi.

Fungsi sehari-hari Efektif.

Peringkat di

sekolah bagus.

Tidak ada usaha

bunuh diri

sebelumnya.

Pekerjaan yang

stabil.

Mood tidak stabil.

Nilai bervariasi.

Adanya pemikiran

bunuh diri sebelumnya.

Depresi.

Nilai yang jelek di

sekolah.

Sedikit mempunyai

teman atau tidak

sama sekali.

Usaha bunuh diri

sebelumnya.

Riwayat pekerjaan

yang tidak

konsisten atau

buruk.

Gaya hidup Stabil. Cukup stabil. Tidak stabil.

Penggunaan

alkohol

Jarang hingga

berlebihan.

Sering hingga

berlebihan.

Penyalahgunaan

yang terus

berlanjut.

Usaha bunuh diri

sebelumnya

Tidak ada atau

letalitas rendah

(beberapa pil).

Satu atau lebih (pil,

menyayat pergelangan

tangan).

Satu atau lebih

(sebotol pil,

senjata, gantung

diri).

Kejadian terkait Tidak ada atau

argumen.

Nilai tidak jatuh.

Masalah pekerjaan.

Penyakit di keluarga.

Putus hubungan.

Kematian orang

yang dicintai.

Kehilangan

pekerjaan.

Kehamilan.

Tujuan tindakan Tidak ada atau Mengurangi rasa Ingin mati.

Page 50: LP_ANISSA

tidak jelas. bersalah atau malu.

Untuk menghukum

orang lain.

Untuk mendapatkan

perharian.

Membebaskan diri

untuk menyusul

orang yang sudah

mati.

Penyakit yang

melemahkan.

Reaksi dan

struktur keluarga

Mendukung .

Keluarga utuh.

Koping dan

kesehatan mental

yang bagus.

Tidak ada riwayat

bunuh diri.

Reaksi yang campur

aduk.

Perceraian/perpisahan.

Biasanya bisa

mengatasi dan

memahami masalah

yang ada.

Marah dan tidak

mendukung.

Tidak teratur.

Kaku/kasar.

Riwayat bunuh diri

sebelumnya dalam

keluarga.

Rencana bunuh

diri (metode,

lokasi, waktu)

Tidak ada rencana. Sering kali terpikir,

terkadang muncul ide

untuk merencanakan

bunuh diri.

Rencana yang

spesifik.

Sumber : diadaptasi dari Hatton, C.L., & McBride, S. (1984). Suicide: Assesment and

intervention, Norwalk, CT: Appleton=Century-Crofts; and Jackson, D.B., & Saunders,

R. B. (1993). Child Health Nursing. Philadelphia: J.B. Lippincott.

VIII. PENGKAJIAN

Data yang perlu dikaji meliputi:

A. Data subjektif

Mengungkapkan keinginan bunuh diri

Mengungkapkan keinginan untuk mati

Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan

Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga

Berbicara tentang kematian,menanyakan tentang dosis obat yang mematikan

Mengungkapkan adanya konflik interpersonal

Mengungkapkan telah menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil

B. Data objektif

Impulsif

Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)

Ada riwayat penyakit mental

Ada riwayat penyakit fisik seperti penyakit kronis atau terminal

Page 51: LP_ANISSA

Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau kegagalan dalam

karier)

Status pernikahan yang tidak harmonis

Tabel 2. Check List Intervensi Awal Faktor Risiko Bunuh Diri menurut Power &

McGomen (2011)

Nama: Tanggal:

Faktor Risiko Saat Ini Y/ T

Pikiran bunuh diri/ kematian sebelumnya.

Tujuan/ rencana bunuh diri.

Perilaku bunuh diri: misal mencari subjek, menyimpan obat-obatan.

Isi halusinasi.

Gejala/ pengalaman distres.

Kesalahan jelas, kurang harapan dan mencela diri sendiri.

Depresi akut atau mood labil.

Agitas atau kegelisahan motorik.

Perilaku impulsif/ tidak dapat diprediksi atau beresiko membuat keputusan

yang aneh.

Baru masuk atau keluar dari rumah sakit.

Psikosis kambuh atau pertama kali kambuh.

Penyembuhan tidak lengkap atau lambat/ respon pengobatan buruk/

ketakutan terhadap disintegrasi mental.

Tidak patuh atau kepatuhan buruk terhadap pengobatan yang diresepkan.

Terikat problematik dan menolak bantuan.

Stres atau kehilangan seseorang yang berharga misalnya, kekerasan,

hubungan, pekerjaan, keraguan.

Lingkungan keluarga yang penuh celaan/ emosi tinggi.

Isolasi sosial: single/ perpisahan/ hidup sendiri.

Tidak aktif/ pengangguran.

Bermasalah dengan polisi/ sistem keadilan kejahatan.

Masalah kesehatan fisik yang serius, penyakit terminal, efek samping yang

tidak dapat ditoleransi.

Penyalahgunaan zat yang berbahaya.

Mencari cara yang mematikan/ membahayakan.

Riwayat Faktor Risiko

Ide bnuh diri sebelumnya.

Perilaku bunuh diri sebelumnya atau mencederai diri yang serius.

Page 52: LP_ANISSA

Psikosis tidak diobati dalam jangka lama.

Riwayat kekerasan atau gertakan.

Riwayat kurangnya dorongan dan/ atau perilaku resiko tinggi lainnya.

Riwayat penyalahgunaan substansi berbahaya.

Riwayat bunuh diri dalam keluarga.

Teman atau kenalan yang melakukan bunuh diri.

Faktor Risiko Potensial/ Kedepannya

Pelayanan terpisah dan menolak bantuan.

Peralihan peyalanan atau pemindahan staf.

Penyembuhan lama.

Depresi.

Penolakan sosial/ kehilangan hubungan.

Psikosis kambuh.

Status Risiko:

Tinggi : Tindakan tegas untuk mengurangi risiko bunuh diri langsung dan tinjau

kembali rencana keperawatan.

Sedang : Rencana perawatan pada faktor risiko saat ini dan waspadai sisanya untuk

faktor risiko kedepannya.

Rendah : Waspada untuk faktor risiko kedepannya.

IX. POHON MASALAH

X. MASALAH KEPERAWATAN

1. Risiko bunuh diri

2. Bunuh diri

3. Isolasi sosial

4. Harga diri rendah kronis

Bunuh diri

Effect

Risiko bunuh diri

Care problem

Isolasi sosial

Causa

Harga diri rendah kronis

Page 53: LP_ANISSA

XI. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Risiko bunuh diri

XII. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Resiko bunuh diri

Tujuan umum : Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri

Tujuan khusus :

Klien dapat membina hubungan saling percaya

Tindakan:

Perkenalkan diri dengan klien

Tanggapi pembicaraan klien dengan sabar dan tidak menyangkal.

Bicara dengan tegas, jelas, dan jujur.

Bersifat hangat dan bersahabat.

Temani klien saat keinginan mencederai diri meningkat.

Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri

Tindakan :

Jauhkan klien dari benda benda yang dapat membahayakan (pisau,

silet, gunting, tali, kaca, dan lain lain).

Tempatkan klien di ruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh

perawat.

Awasi klien secara ketat setiap saat.

Klien dapat mengekspresikan perasaannya

Tindakan:

Dengarkan keluhan yang dirasakan.

Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan

dan keputusasaan.

Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana

harapannya.

Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaan,

kematian, dan lain lain.

Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien yang menunjukkan

keinginan untuk hidup.

Klien dapat meningkatkan harga diri

Tindakan:

Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.

Kaji dan kerahkan sumber sumber internal individu.

Page 54: LP_ANISSA

Bantu mengidentifikasi sumber sumber harapan (misal: hubungan

antar sesama, keyakinan, hal hal untuk diselesaikan).

Klien dapat menggunakan koping yang adaptif

Tindakan:

Ajarkan untuk mengidentifikasi pengalaman pengalaman yang

menyenangkan setiap hari (misal : berjalan-jalan, membaca buku

favorit, menulis surat dll.)

Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan yang ia sayang, dan

pentingnya terhadap kehidupan orang lain, mengesampingkan tentang

kegagalan dalam kesehatan.

Beri dorongan untuk berbagi keprihatinan pada orang lain yang

mempunyai suatu masalah dan atau penyakit yang sama dan telah

mempunyai pengalaman positif dalam mengatasi masalah tersebut

dengan koping yang efektif

Page 55: LP_ANISSA

DAFTAR PUSTAKA

Captain, C, 2008, Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume 6, Alih

Bahasa Budi Santosa, Philadelphia.

Corr, Charless A, Clyde Nabe, Clyde M. Nabe, Donna M. Corr. 2003. Death and Dying, Life

and Living. Brooks: Cole

Carpenito, LJ. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta:EGC.

Stuart dan Sundeen. 2005. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Stuart dan Sundeen. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.