documentlp

29
Nama: Kartika Wihdatus S NIM : 105070200111029 PSIK UB LAPORAN PENDAHULUAN DEPARTEMEN MEDIKAL DI HEMODIALISA RSSA CKD, ALO, DAN HEMODIALISA CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) A. Definisi CKD Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap akhir. CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer dan Bare, 2001). Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999) Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001)

Upload: kartika-wihdatus-syafaah

Post on 19-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

.

TRANSCRIPT

Nama: Kartika Wihdatus SNIM : 105070200111029PSIK UB

LAPORAN PENDAHULUANDEPARTEMEN MEDIKAL DI HEMODIALISA RSSACKD, ALO, DAN HEMODIALISA

CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)A. Definisi CKDChronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap akhir. CKD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer dan Bare, 2001).Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999)Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001)Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992)

B. Etiologi CKDDibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price, dan Wilson (2006) diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari golongan penyakit tersebut adalah : 1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis2. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis3. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif4. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal5. Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis6. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal7. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. 8. Saluran kemih bagian bawah:hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.9. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

C. Klasifikasi CKDGagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :1. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.2. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.3. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG :1. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2 2. Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m23. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m24. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m25. Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal.

Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus : Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )/72 x creatini serumPada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

D. Patofisiologi CKDPada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai dari nefronnefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yangdemikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebihrendah itu. ( Barbara C Long, 1996)Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001).

E. Manifestasi Klinis CKDManifestasi klinik antara lain (Long, 1996):1. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi2. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.

Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).

Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:1. Gangguan kardiovaskulerHipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.2. Gannguan PulmonerNafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.3. Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.4. Gangguan muskuloskeletal Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot otot ekstremitas.5. Gangguan Integumen kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.6. Gangguan endokrimGangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.8. System hematologianemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni

F. Pemeriksaan Diagnostik CKD1. Pemeriksaan lab.darah Hematologi: Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit RFT ( renal fungsi test ) ureum dan kreatinin LFT (liver fungsi test ) Elektrolit: Klorida, kalium, kalsium koagulasi studi PTT, PTTK BGA2. Urine urine rutin urin khusus : benda keton, analisa kristal batu3. pemeriksaan kardiovaskuler ECG ECO4. Radidiagnostik USG abdominal CT scan abdominal BNO/IVP, FPA Renogram RPG ( retio pielografi )

G. Penatalaksanaan CKDPenatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :1. Konservatif Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin Observasi balance cairan Observasi adanya odema Batasi cairan yang masuk2. Dialysis peritoneal dialysis, biasanya dilakukan pada kasus kasus emergency. Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis ) Hemodialisis Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan : AV fistule : menggabungkan vena dan arteri Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke jantung )3. Operasi Pengambilan batu transplantasi ginjal

H. Asuhan Keperawatan1. Pengkajian Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :a. Demografi.Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak sehat.b. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.c. Pengkajian pola fungsional Gordon Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasienGejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari. Pola nutrisi dan metabolik. Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun. Pola eliminasi Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu. Aktifitas dan latian.Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu. Pola istirahat dan tidur.Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya adalah pasien terliat sering menguap. Pola persepsi dan koknitif. Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas. Pola hubungan dengan orang lain.Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi tidak jelas. Pola reproduksiGejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan kualitas hubungan. Pola persepsi diri. Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri. Pola mekanisme koping.Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat, mudah terpancing emosi. Pola kepercayaan.Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya. Pengkajian fisika.

2. Diagnosa

a. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia mual muntah.c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder.d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi cairan dan natriume. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis.f. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus sekunder terhadap adanya edema pulmoner.g. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskulerh. sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).i. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam kulit dan gangguan turgor kulit atau uremia.

ALO (ACUTE LUNG OEDEM)A. Definisi ALOAcute Lung Oedema(Alo) Adalah Akumulasi Cairan Di Paru Yang Terjadi Secara Mendadak. (Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam, 2006). Acute Lung Oedema(Alo) Adalah Terjadinya Penumpukan Cairan Secara Masif Di Rongga Alveoli Yang Menyebabkan Pasien Berada Dalam Kedaruratan Respirasi Dan Ancaman Gagal Napas.Acute Lung Oedema(Alo) Adalah Terkumpulnya Cairan Ekstravaskuler Yang Patologis Di Dalam Paru. (Soeparman

B. Etiologi ALOPenyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:1. Edema paru kardiogenikYaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem kardiovaskuler.a. Penyakit pada arteri koronariaArteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit lemak(plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa.b. KardiomiopatiPenyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru(flooding).c. Gangguan katup jantungPada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.d. HipertensiHipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.2. Edema paru non kardiogenikYaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu sendiri.Pada non-kardiogenik, alo dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:a. Infeksi pada parub. Lung injury, seperti emboli paru,smoke inhalationdan infark paru.c. Paparantoxicd. Reaksi alergie. Acute respiratory distress syndrome(ards)f. Neurogenik

C. Patofisiologi ALOALO kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke kapiler dengan tekanan melebihi 25 mmhg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah cairan yang menumpuk di alveoli ini sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit jantung yang potensial mengalami alo adalah semua keadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmhg.

Sedangkan alo non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarnapink froty. Adanya sekret ini akan mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan fungsinya

D. Manifestasi Klinis ALOAlo dapat dibagi menurut stadiumnya (3 stadium),1. Stadium 1Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan mengganggu pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi co. Keluhan pada stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan aktivitas.2. Stadium 2Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran napas kecil, terutama di daerah basal karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan sesak napas ataupun napas menjadi berat dan tersengal.3. Stadium 3Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan secara berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami sesak napas yang berat disertai batuk berbuih kemerahan(pink froty). Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.

E. Pemeriksaan Diagnostik ALO1. Pemeriksaan fisika. Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.b. ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.c. Takikardia dengan s3 gallop.d. Murmur bila ada kelainan katup.2. Elektrokardiografi.Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan.3. Laboratoriuma. Analisa gas darah po2 rendah, pco2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.b. enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.c. darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, d. foto thoraks, ekg, enzim jantung (ck-mb, troponin t), angiografi koroner. foto thoraks pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan x-ray dada. Radiograph (x-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.4. Pengukuran plasma b-type natriuretic peptide (bnp)Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma b-type natriuretic peptide (bnp) atau n-terminal pro-bnp. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan dari bnp nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya.5. Pulmonary artery catheter (swan-ganz)Pulmonary artery catheter (swan-ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan melalui ruang ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18 mmhg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmhg biasanya menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter swan-ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (icu).

F. Penatalaksanaan ALO1. Posisi duduk.2. Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.3. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, pao2 tidak bisa dipertahankan 60 mmhg dengan o2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi co2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.4. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor ekg, oksimetri bila ada.5. Menurunkan preload dan mengeluarkan volume cairan intra paru. Nitrogliserin (ntg) dan furosemide merupakan obat pilihan utama.6. Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).7. bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : dopamin 2 5 ug/kgbb/menit atau dobutamin 2 10 ug/kgbb/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard9. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.10. Penggunaan aminophyline, berguna apabila oedema paru disertai bronkokonstriksi atau pada penderita yang belum jelas oedema parunya oleh karena faktor kardiogenik atau non-kardiogenik, karena selain bersifat bronkodilator juga mempunyai efek inotropok positif, venodilatasi ringan dan diuretik ringan.11. Penggunaan inotropik. Pada penderita yang belum pernah mendapatkan pengobatan, dapat diberikan digitalis seperti deslano-side (cedilanide-d). Obat lain yang dapat dipakai adalah golongan simpatomi-metik (dopamine, dobutamine) dan golongan inhibitor phos-phodiesterase (amrinone, milrinone, enoxumone, piroximone)

G. Asuhan Keperawatan1. Pengkajiana. Identitas :b. Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa mudac. Riwayat MasukKlien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai kliend. Riwayat Penyakit DahuluPredileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada kliene. Pemeriksaan fisik Sistem Integumenkulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan Sistem PulmonalSubyektif : sesak nafas, dada tertekanObyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru, Sistem CardiovaskulerSubyektif : sakit dadaObyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan Sistem NeurosensoriSubyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejangObyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi Sistem MusculoskeletalSubyektif : lemah, cepat lelahObyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan Sistem genitourinariaproduksi urine menurun/normal, Sistem digestifSubyektif : mual, kadang muntahObyektif : konsistensi feses normal/diaref. Studi Laboratorik :1. Hb : menurun/normal2. Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon darah meningkat/normal3. Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

2. Diagnosa Keperawatana. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu nafasb. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonarc. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder terhadap pemasangan selang endotrakeald. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantunge. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya pengetahuan terhadapprosedur medisf. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap pemasangan alat bantu nafasg. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder terhadap pemasangan alat bantu nafash. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal

HEMODIALISAA. Definisi Hemodialisa

Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006)

B. Indikasi HemodialisaPrice dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.Kemudian Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 810 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi

C. Kontra Indikasi HemodialisaMenurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003)

D. Tujuan HemodialisaMenurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lainE. Proses HemodialisaSuatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997).Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006).Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler (Price & Wilson, 1995).Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.Kemudian menurut Price dan Wilson (1995) komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat.Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson, 1995).Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 45 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 1015 jam/minggu dengan QB 200300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 35 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 23 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.Price dan Wilson (1995) menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal. Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat. Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa yang digunakan dan keadaan pasien.Gambar 2.1Skema proses hemodialisa

(National Kidney Foundation, 2001)

F. Komplikasi HemodialisaMenurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :1. Kram ototKram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.2. HipotensiTerjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.3. AritmiaHipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.4. Sindrom ketidakseimbangan dialisaSindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.5. HipoksemiaHipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.6. PerdarahanUremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.7. Ganguan pencernaanGangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.8. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.9. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat