local economic devlp't

Upload: fauzi-hasan

Post on 29-Oct-2015

17 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Pengembangan Ekonomi Lokal

TRANSCRIPT

  • 1

    Info URDI Vol. 15

    LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT (LED) TEORI DAN PENERAPANNYA

    Pengembangan Ekonomi Daerah atau Local Economic Development (LED) telah menjadi tumpuan bagi pemulihan ekonomi nasional. Pada tataran konsep dan pemikiran, ada "ketidakjumbuhan" (ketidaksesuaian) atau "gap" antara teori-teori LED yang lebih bermakna sistem Dekonsentrasi dengan basis wilayah "luas" (provinsi-provinsi) versus sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan basis kota dan kabupaten. Oleh karena tuntutan LED terus mengemuka, sementara belum disepakati konsep yang definitif, maka muncul paradigma-paradigma baru, unik, dan parsial yang sedang diujicobakan di beberapa daerah (kota dan kabupaten).

    Perekonomian Indonesia telah mengalami pasang surut. Pertumbuhan yang tinggi antara 6-7% pernah dialami pada dua dekade yang lalu, yaitu antara tahun 1970-1990; dan kemudian mulai menurun antara 5-6%. Antiklimaknya ketika terjadi Krisis Moneter pada tahun 1997-1998 dengan tingkat pertumbuhan -13% (minus). Sekarang perekonomian Indonesia sedang merangkak menuju proses pemulihan dengan tingkat pertumbuhan 3-4%.

    Akibat krisis dan tingkat pertumbuhan yang sangat lambat tersebut, terjadi ledakan pengangguran hingga 40 juta (sekitar 25% total penduduk) dan menurunnya tingkat kesejahteraan. Hal itu tentunya mengakibatkan jumlah penduduk miskin terus meningkat di tahun 2000 yang mencapai sekitar 47 juta penduduk (ADB).

    Adanya perubahan sistem pemerintahan, dari Dekonsentrasi dengan kontrol dominan dari Pusat menjadi Desentralisasi ke daerah dan kabupaten (UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah), maka pemulihan ekonomi (economic recovery), khususnya dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran dan memerangi kemiskinan, sudah barang tentu lebih mengandalkan peran daerah. Dan menjadi relevan untuk memikirkan bagaimana pengembangan ekonomi di daerah (LED) di tingkat Kota dan Kabupaten.

    10 Teori LED

    Memikirkan LED tentu tak bisa dilepaskan dari banyak teori yang mend asarinya. Malizia dan Feser (1999) dalam bukunya Understanding Local Economic Development mengompilasi ada 10 teori LED dan membandingkan bagaimana dasar-dasar teorinya, sasaran pengembangannya, prosesnya, kelebihan dan kelemahan, serta penerapannya seperti yang dapat disimak pada Tabel-1.

    Menurut kedua penulis tersebut, ke-10 teori dapat dipahami melalui dua cara: 1) teori dapat dipahami sebagai suatu realitas dari suatu proses pembangunan ekonomi; 2) teori dipahami sebagai banyaknya faktor dan aktor yang terlibat di dalamnya. Tidaklah mengherankan bahwasanya satu teori tidaklah cukup dan teori-teori yang ada lebih menggambarkan paradigma atau semacam "Schools of Thought" pada masanya.

  • 2

    Penerapannya di Indonesia

    Ke-10 teori tentang LED tersebut sebetulnya sudah cukup popular di kalangan para Regional Economist dan para Regional Planner di Indonesia dengan pemahaman bahwa:

    (1) Proses pengembangan dan perkembangan ekonomi di daerah-daerah lebih pada tataran ekonomi-makro; dan

    (2) Basis wilayah (Regionalisasi) yang digunakan pada teritorial tertentu yang cukup "luas" sehingga teridentifikasi fungsi "Homogeneity" dan atau "Functionality / Nodality" (baca kembali: Perroux-1955; Myrdal-1957; Hirschman-1958, dan Hilhorst-1977).

    Sedikit banyak teori-teori tersebut pernah diterapkan di Indonesia dalam kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi masa lalu (Repelita) dengan basis wilayah (regionalisasi) berupa provinsi atau gabungan provinsi (ingat Konsep Wilayah Pembangunan Utama/WPU). Penggunaan basis wilayah provinsi atau gabungan provinsi memang dimungkinkan dalam mekanisme Dekonsentrasi ketika itu. Hanya saja penerapannya di Indonesia tidak secara utuh memilih satu teori atau kombinasi dari berbagai teori, tetapi lebih pada "mencomot" secara "prasmanan" (buffet) dasar-dasar teorinya sesuai dengan kebutuhan pembangunan di daerah.

    Di samping ke-10 teori LED, Indonesia pernah menerapkan teori pembangunan ekonomi daerah berbasis "Ilmu Wilayah" yang dikenalkan Ir. Soetami (Alm) dan dikembangkan oleh Dr. Poernomosidhi H. (Alm) menjadi Teori Pengembangan Wilayah (TPW) dengan basis wilayah gabungan kota dan kabupaten yang berciri "Nodalitas" disebut dengan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Pada intinya, TPW versi Poernomosidhi ini adalah teori LED yang berbasis pada pembangunan prasarana, khususnya prasarana kemargaan (highways). Kendati teori ini kurang popular di kalangan ekonom, tetapi dipraktekkan secara sektoral oleh Departemen Pekerjaan Umum (waktu itu) dalam rangka Pengembangan Wilayah khususnya dalam Pengembangan Transmigrasi (Repelita III).

    Bagaimana dengan Otonomi Daerah?

    Dengan sistem pemerintahan Desentralisasi, atau lebih sering disebut dengan Otonomi Daerah yang berbasis wilayah kota dan kabupaten, bagaimana LED berbasis kota dan kabupaten (bukan provinsi seperti penerapan teori sebelumnya) mampu menjadi bagian dari pemulihan ekonomi nasional ? Masihkah relevan menggunakan ke-10 teori LED atau teori lainnya?

    Di sinilah muncul "gap" antara teori atau pemikiran LED yang diterapkan pada masa lalu (sebelum Otonomi Daerah) dan pemikiran LED pada era Otonomi Daerah sekarang ini. "Gap" ini menyangkut dua hal yaitu:

    (1) Basis wilayah "luas" dan fungsional seperti provinsi atau gabungan provinsi versus wilayah kota dan kabupaten yang relatif tidak luas;

    (2) Sistem Dekonsentrasi dengan kontrol dari Pusat versus Desentralisasi di kota dan kabupaten yang masing-masing daerah saling independen.

    Berdasarkan kedua "gap" tersebut, boleh dikatakan teori-teori LED yang ada menjadi tidak relevan lagi sehingga dituntut teori atau pemikiran baru sesuai karakteristik dan peluang-peluang pada era Otonomi Daerah sebagaimana UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999.

  • 3

    Sebetulnya tidaklah demikian. Pada era Otonomi Daerah ini, masih ada ruang atau peluang untuk men-"deli-neate" wilayah yang "luas" dan peran Pemerintah Pusat sehingga "Matching" dengan teori-teori LED (atau pemikiran lainnya), yaitu:

    (1) Membina Kerja Sama Antar-Daerah (pasal 87, UU No. 22/1999) sesuai dengan "Clustering" kota dan kabupaten dalam fungsi homogenitas ataupun nodalitas;

    (2) Mengefektifkan mekanisme Dekonsentrasi yang masih ada pada era Otonomi Daerah (kendati lebih terbatas, pasal 17, UU No. 25/1999) dengan pemerintah provinsi atau gabungan provinsi sebagai basis wilayahnya, khususnya dalam bentuk pembangunan prasarana wilayah;

    (3) Menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) sebagai landasan kebijakan pengembangan wilayah bagi pedoman LED melalui pelaksanaan Kerja Sama Antardaerah ataupun mekanisme Dekonsentrasi sesuai butir (1) dan (2) di atas.

    Berkenaan dengan RTRWN pada butir (3) tersebut, Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil telah mengadakan revisi terhadap RTRWN (PP No. 47/1997). Sesuai dengan konsideran "Menimbang" bahwa RTRWN ini dibuat dalam rangka "tantangan globalisasi beserta implikasinya, otonomi dan aspirasi daerah, dan krisis ekonomi ." maka RTRWN memang seyogyanya juga menjadi pedoman bagi LED. Sayangnya maksud ini agaknya sulit terpenuhi karena :

    (1) RTRWN ternyata lebih memfokuskan pada soal fisik (ketataruangan) daripada soal LED; (2) Status hukum RTRWN adalah acuan teknis berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan bukan berupa

    undang-undang (UU) yang mengikat antar sektor dan daerah. (3) Dengan status hukum berupa PP, tidak jelas siapa yang berkompetensi mengaturnya. Bappenas

    sebagai lembaga yang cukup kompeten, malahan akan direposisi bila UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara efektif diberlakukan dan fungsi Departemen Keuangan menjadi Superbody di bidang fiskal. Padahal Departemen Keuangan sendiri tidak familiar dengan RTRWN itu sendiri.

    Tidak ada Strategi

    Sudah menjadi rahasia umum bahwa pola perkembangan ekonomi nasional tidak terfokus sehingga hal ini juga mengimbas pada pengembangan ekonomi daerah yang tidak terfokus pula. Ini bisa dimengerti karena persoalan yang menjadi beban Pemerintah sangat besar dan beragam yang masing -masing menuntut penyelesaian segera. Padahal kapasitas fiskal negara sangat terbatas untuk mengakomodasikan semua kepentingan (persoalan) yang ada.

    Tidak terfokusnya pengembangan ekonomi nasional maupun LED juga dipengaruhi oleh perubahan-perubahan institusi, baik pergeseran dari Dekonsentrasi menjadi Desentralisasi, maupun pergeseran fungsi-fungsi di tataran pemerintahan Pusat, antara lain fungsi Bappenas seperti yang telah disinggung di depan.

    Seperti yang kita rasakan belakangan ini, ketidakfokusan pengemb angan ekonomi juga diwarnai oleh munculnya paradigma-paradigma baru yang dianggap sebagai solusi, sebut saja : Pendekatan Partisipatif, "Pro Bottom Up Planning", "Rural-Urban Linkages", Program Pengentasan Kemiskinan, "Good Governance", Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), serta termasuk Pendekatan Investasi dan Kereksadanaan (Obligasi, "Borrowing System", Sekuritisasi Aset) dan masih banyak lagi. Berbagai paradigma tersebut, atau mungkin bisa disebut sebagai "Schools of Thought" saat ini, diikuti oleh berbagai sponsor seperti dari UNDP (Partnership for Local Economic Development), World Bank (City Development Strategy), ADB (Sustainable Capacity Building for Decentralization), USAID (Performance Oriented Regional Management Project), dan Bantuan Bilateral (GTZ, JICA, CIDA) lainnya. Uniknya, berbagai paradigma tersebut tidak saling terkait dan bahkan cenderung acak satu

  • 4

    sama lain. Semua ini menengara tidak adanya visi yang sama terhadap pengembangan ekonomi nasional, khususnya LED, dan dengan sendirinya tidak adanya strategi untuk dipakai sebagai "payung" dari semua upaya yang ada.

    Bertolak dari semua fenomena di atas, alangkah baiknya bila berbagai pihak tersebut termasuk departemen maupun kementerian mengadakan konsolidasi di bawah arahan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk selanjutnya menetapkan strategi yang jitu bagi LED lebih lanjut.

    Tabel - 1 Ringkasan 10 Teori LED

    No. Teori Dasar Teori Sasaran

    Pengembangan Proses

    Pengembangan Kelebihandan atau

    Kelemahan Penerapan

    1 Economic Base Theory

    Ekspor barang (komoditas)

    Peningkatan laju pertumbuhan, penciptaan lap. kerja, dan peningkatan pendapatan

    Merespon permintaan luar negeri dan multiplier effect

    Sangat populer dan mudah dimengerti. Oleh karena sederhana, teori ini hanya mampu memprediksi jangka pendek dan tidak mampu merespon perubahan jangka panjang.

    Pengembangan industri berorientasi ekspor dan subtitusi impor. Untuk itu ada integrasi antara jenis industri, prasarana, dan perluasan industri

    2 Staple Theory

    Industri berorientasi ekspor

    Kunci pertumbuhan ekonomi adalah kegiatan ekspor

    Penanaman modal asing untuk melayani kebutuhan pasar internasional

    Secara empiris terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi apakah benar pertumbuhan hanya disebabkan oleh ekspor?

    Peningkatan daya saing melalui spesialisasi (ekspor). Peran Pemerintah sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan daya saing

    3 Sector Theory

    Pengembangan semua sektor baik primer, sekunder, maupun tertier

    Pengembangan aneka ragam sektor dan peningkatan produktivitas sektor

    Pengembangan ektor akan meningkatkan kebutuhan dan pendapatan persektor

    Secara empiris mungkin benar, tetapi secara umum belum terbukti kuat bahwa pengembangan sektor dan produktivitas akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi

    Pengembangan sektor-sektor sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Pengembangan sektor ini akan mampu menarik investasi di sektor-sektor unggulan yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan

    4 Growth Pole Theory Industri

    Industri yang bahan bakunya berasal dari daerah lain sehingga pertumbuhan industri macam ini selain mendorong ekonomi lokasi industri, juga mampu meneteskan pertumbuhan ekonomi daerah lain

    Lokasi industri (Propulsive Industry) merupakan Kutub Pertumbuhan (Groth Pole)

    Pertumbuhan ekonomi sangat bertumpu pada adanya Propulsive Industry dan ada kecenderungan terjadi aglomerasi industri sehingga kota-kota sebagai Growth Pole tumbuh terlalu cepat

    Kutub Pertumbuhan dikembangkan sebagai Pusat Pertumbuhan Strategis

  • 5

    No. Teori Dasar Teori Sasaran

    Pengembangan Proses

    Pengembangan Kelebihandan atau

    Kelemahan Penerapan

    5

    Regional Concentration and Diffusion Theory

    Perdagangan antar daerah dan antar industri

    Peningkatan pendapatan perkapita

    Spread and back-wash effect (Myrdal) atau terjadinya penetesan perkembangan dan efek polarisasi (Hirchman)

    Hanya ditujukan pada daerah-daerah (kota) tertentu yang mempunyai pertumbuhan tinggi

    Pemerintah mengurangi efek polarisasi dan mengurangi kesenjangan (Myrdal) melalui pembangunan prasarana (Hirchman)

    6 Neoclassical Growth Theory

    Agregasi ekonomi wilayah

    Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi perkapita

    Peningkatan tabungan akan mendukung investasi dan pembentukan modal

    Suplly-side Model

    Pemerintah akan mempromosikan perdagangan bebas dan integrasi ekonomi dengan mengabaikan kesenjangan dan dualisme

    7 Inter-regional Trade Theory

    Faktor harga dan kuantitas komoditas

    Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan konsumsi

    Penyesuaian harga akan memberikan keseimbangan pada harga, kualitas, dan efek-efek lainnya

    Menekankan pada konsumsi dan efek harga, tetapi mengabaikan dinamika pembangunan

    Pemerintah mengadakan intervensi dalam perdagangan bebas, pembangunan prasarana, dan efisiensi pemerintah daerah

    8 Product Cycle Theory

    Produk baru akan maturing dan kemudian usang

    Kreasi baru akan terus muncul

    Produk baru dan inovasi

    Suatu tantangan yang hanya bisa direspon oleh para peneliti dan inovator

    Pengembangan produk-produk inovatif dan penyebarannya

    9 Entrepreneur-ship Theory

    Fungsi dan peran pengusaha

    Ketahanan dan diversifikasi Proses inovasi

    Teori Mediasi (pemasaran)

    Mendukung kegiatan industri dan pelestarian lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan

    10 Flexible Specialization Theory

    Struktur industri

    Pembangunan berkelanjutan melalui produk-produk baru, inovatif, dan spesialisasi

    Mengikuti pola permintaan (demand) dan fleksibel

    Struktur industri yang kokoh

    Disesuaikan dengan perkembangan teknologi, jejaring dengan pengusaha kecil, dan mengadakan strategi aliansi dengan industri lain

    Sumber: Maliza and Feser, "Understanding Local Economic Development", Center for Urban Policy Research, New Jersey, 1999

    Bambang Tata Samiadji