lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah ...kc.umn.ac.id/10301/2/lampiran.pdf(sex, age,...
TRANSCRIPT
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
xv
LAMPIRAN
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xvi
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xvii
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xviii
Narasumber I – Bpk. Usman Kansong
Narasumber II – Silih Agung Wasesa
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xix
KERANGKA PERTANYAAN NARSUM 1
USMAN KANSONG
General
*Interviewer introduction
*Interviewee introduction
1. Informasi singkat mengenai TKN
2. Bapak Usman Kansong bertindak sebagai apa di TKN?
3. Apa strategi TKN dalam upaya untuk memenangkan paslon no.1?
4. Informasi singkat mengenai Jokowi App
5. Mengapa memilih menggunakan mobile apps (Jokowi App) sebagai salah
satu media kampanye?
Identify and Establish Brand Positioning & Value
6. Asosiasi apa yang dikaitkan dengan paslon no.1 terkait dibuatnya Jokowi
App? Mental maps
Bagaimana proses terbentuknya asosiasi tersebut?
Mengapa asosiasi tersebut yang dikaitkan dengan paslon no.1?
7. Sebelum dibuatnya Jokowi App, adakah riset terlebih dahulu yang
dilakukan oleh tim untuk mengetahui target market paslon no.1 ataukah ada
kajian-kajian sebelumnya sebelum meluncurkan Apps ini? frame of
reference
(sex, age, phsychographic, demographic, SES)
8. Apa perbedaan yang ditonjolkan oleh paslon no.1? points of difference &
parity
9. Apakah ada nilai-nilai khusus yang diasosiasikan dengan paslon no. 1 dan
dijadikan jargon pada saat berkampanye dan yang tercermin di Jokowi App?
Jika ada, mengapa merumuskan jargon tersebut? Brand values and mantra
Plan and Implement Brand Marketing Programs
10. Adakah elemen-elemen khusus yang dikaitkan dengan Jokowi-Ma’aruf?
misanya seperti logo, simbol, warna, atau spokesperson yang
direpresentasikan di Jokowi App mixing and matching brand elements.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xx
11. Dalam Jokowi App, saya melihat ada sistem gamifikasi atau sistem poin
yang akan diperoleh user jika membagikan artikel, apakah hal tersebut
menjadi salah satu upaya untuk membentuk pemahaman khalayak lebih luas
mengenai Jokowi-Ma’aruf atau untuk mendukung pembentukan stonger
voters? Atau adakah kegiatan lain yang terintegrasi untuk memasarkan
Jokowi App ini? Integrating brand marketing activities
12. Apakah ada tokoh tertentu atau asosiasi yang dikaitkan dengan Jokowi
App? Leveraging secondary associations
Measure and Interpret Brand Performance
13. Hingga saat ini, adakah riset khusus untuk mengetahui penilaian mengenai
Jokowi App menurut pandangan pemilih, media, dan khalayak? Brand
equity chain & audit
14. Semenjak Jokowi App di launching tanggal 17 November lalu hingga saat
ini, adakah pengukuran atau riset-riset sederhana untuk mengetahui jumlah
downloads, rating, dll? brand equity chain
15. Apabila terdapat riset, bagaimana hasil riset tersebut dipergunakan? Brand
tracking
16. Apakah ada sistem evaluasi pada tim terhadap Apps dan performa brand
paslon terkait Apps? Brand equity management system
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxi
Lokasi : Posko Cemara, Menteng – Jakarta Pusat
Waktu : Rabu, 13 Mei 2019
Durasi : 10.00-10.45 (45 menit)
Jenis wawancara : Wawancara lansgung / Tatap muka
A: Penanya
B: Narasumber I (Usman Kansong – Direktur Komunikasi Politik TKN)
A: Perkenalkan nama saya Cynthia Limaura, mahasiswa Universitas
Multimedia Nusantara major Corporate Communications. Saat ini saya di
semester delapan dan sedang menempuh skripsi.
B: Iya, saya Usman Kansong Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional
Jokowi-Kyai Ma’aruf Amin.
A: Pak boleh ceritakan sedikit mengenai TKN?
B: Iya, TKN itu ditetapkan oleh pasangan calon presiden Jokowi dan KH Ma’aruf
Amin berdasarkan surat keputusan mereka dan itu didaftarkan ke KPU orang-
orangnya siapa. Kemudian orang-orangnya itu terdiri dari berbagai latar
belakang, ada yang dari partai politik, profesional, ada yang dari relawan.
Relawan itu bisa berbentuk komunitas. Misalnya kalau partai politik itu dari
sembilan partai politik pendukung Pak Jokowi dan Kyai Ma’aruf yang
mengusung itu ada semua unsurnya di situ. Dari Nasdem, Golkar, kemudian
PPP, PDI, Hanura, PKPI, Perindo, PKB, dan PSI. Terus dari unsur profesional,
ada dari pengusaha misalnya ada dari media seperti saya ini kan. Saya dari Media
Indonesia, dari Metro TV kan.
Tapi saya mengambil cuti ya dari tempat saya bekerja jadi saya fokus kemari.
Kemudian jika dari komunitas itu ada dari petani, ada dari kalangan disabilitas,
ada dari Kyai Ulama, begitu ya, dari beberapa komunitaslah, itu masuk ke dalam
tim. Tim ini sudah dibentuk dalam beberapa direktorat, tentu saja ada ketuanya
Pak Erick Thohir kan profesional termasuknya, dia gak ada di partai politik. Ada
wakil ketua, ada para Sekjen, kemudian ada Direktorat-direktorat yang dipimpin
oleh seorang direktur. Nah, seperti saya ini Direktorat Komunikasi Politik. Saya
ini Direktur Komunikasi Politik.
Masing-masing direktorat punya jobdesc masing-masing. Ada Direktorat
Komunikasi Politik, ada Direktorat Konten, Direktorat Sosmed, ada Direktorat
Penggalangan, Direktorat Relawan, Direktorat Milenial juga ada. Jadi, berbagai
Direktorat yang kita anggap perlu ya. Nah, biasanya yang bergerak adalah
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxii
direktorat-direktorat ini, ya ke bawah, ke samping, ke atas kira-kira begitu ya.
Direktorat Saksi juga ada. Nah, ya kita bekerja berdasarkan jobdesc ya.
Kemudian kita punya dua pusat kegiatan di sini di Cemara sama di HIN di Kebon
Sirih, ya selain itu juga ada tempat-tempat relawan lainnya. Ada Rumah Aspirasi
di Proklamasi itu juga jadi tempat besar kegiatan kita begitu. Saya kira itu kira-
kira TKN. Struktur maupun secara singkat ya kira-kira begitu.
A: Kalau dari Bapak sendiri, tadi kan bapak ada sebutkan kalau Bapak
sebagai Direktorat Komunikasi Politik ya, jobdesc utamanya apa gitu pak?
B: Ya, kalau Direktorat Komunikasi Politik itu jobdesc utamanya itu ada sekurang-
kurangnya dua. Nomor satu itu, dia sebagai juru bicara. Juru bicara calon
presiden dan calon wakil presiden, Pak Jokowi dan Kyai Ma’aruf Amin. Di
bawah saya, bukan di bawah saya, tapi dalam struktur saya itu ada para juru
bicara. Para juru bicara itu diambil dari partai politik, juga diambil dari relawan,
diambil dari berbagai komponen lah. Selain juru bicara kita punya yang namanya
influencer.
Influencer itu kira-kira orang yang ya bisa mempengaruhi lah, itu juga di bawah
Direktorat Komunikasi Politik, jadi juru bicara dan influencer, ke satu itu.
Kedua, kita mengelola media center. Jadi, disinilah (Posko Cemara) media
center kita. Media center ini untuk apa? Untuk, jumpa pers misalnya, tempat
berkumpulnya temen-temen wartawan, itu di sini. Kemudian kita juga, ya media
center maka tugasnya adalah mengelola pers.
Media mainstream yang kita kelola, karena tadi ada Direktorat Medsos sendiri
ya Pak Arya Sinullingga. Kalau saya lebih ke TV, koran, majalah, media online
mainstream ya. Tapi medsos itu urusannya Arya. Itu jobdesc saya, membuat
press release, berkomunikasi dengan internal mapuun eksternal, ya seperti PR
lah begitu kalau di corporate ya kira-kira seperti itu. Itu adalah saya, ya kira-kira
begitu. Mem-branding Pak Jokowi dan Kyai Ma’aruf itukan, secara positifnya
seperti apa.
Ya itu tujuan akhirnya ya pada ujungnya adalah mningkatkan elektabilitas
pasangan kita begitu. Jadi, lewat media mainstream kita berusaha membentuk
citra positif, membentuk branding tertentu biar pasangan kita dipilih pemilih
begitu, masyarakat, itu kira-kira jobdesc kita. Di bawah saya itu ada tiga Wakil
Direktur. Nomor satu itu kepala media center itu Meutya Hafidz dari Golkar,
anggota DPR Komisi I Golkar.
Terus kemudian ada monitoring media dan isu, itu Putra Nababan dia Caleg PDI
Perjuanga, mantan pemred Metro TV, dia me-monitor setiap hari isu-isu yang
berkembang, baik di medsos maupun media mainstream. Setiap minggu, setiap
hari dia akan memberikan laporan kepada saya, kepada juru bicara, dan kepada
influencer, isu-isu apa yang berkembang, yang harus ditanggapi, siapa yang
menanggapi misalnya. Itu tugas dia, setiap minggu dia buat laporan, berapa
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxiii
banyak exposure kita di media online. Kita tidak me-monitor TV ataupun koran
tapi online yang kita monitor. Berapa persen pemberitaan kita dibandingkan
paslon 02 misalnya begitu kan. Kaya minggu ini, kita itu, exposure kita itu
sekitar 61% ya sebelahnya ya sisanya lah.
A: Ini exposure positif atau?
B: Positif ya, exposure positif. Ya jadi itu setiap hari dia monitoring. Dari situ dia
juga akan membuat prediksi isu kedepannya akan seperti apa. Jadi itu tugas
monitoring media. Yang ketiga itu Wakil Direktur saya, itu Ipang Wahid,
sebenarnya Irfan Wahid Cuma dipanggilnya Ipang, keponakannya Gus Dur,
anaknya Gus Sholahudin Wahid. Itu lebih ke konten kreatif dan event. Ya jadi
dia membuat video-video kreatif. Ya kalau inget video keluarga Khong Guan itu
dia yang bikin.
A: Iya itu salah satu teman saya juga yang bantu.
B: Iya itu dia yang bikin, atau meme misalnya dia bikin gitu seperti konten kreatif
dan event-event. Kalau ada debat ya, dia akan mengatur bagaimana formatnya,
polanya gimana, tim hore-horenya supaya menarik, itu urusan ipang Wahid. Jadi
di tim saya itu ada empat orang lah termasuk saya begitu.
A: Tadi saya di jalan ada lihat spanduk gitu akan ada ridding, apa itu di bawah
Pak Ipang?
B: Enggak, kalau itu yang riding itu ini ya yang Milenial Safety Ridding? Kalau
itu, itu relawan yang bikin. Kemarin terakhir di Padang, Milenial Safety Ridding,
Safety Road gitu lah ya kira-kira. Itu relawan yang bikin, tapi biasanya kita selalu
koordinasi.
A: Tapi kalau di Jokowi App sendiri, saya juga kemarin sempat kontak Pak
Arya Sinullingga katanya kalau apps itu lebih ke bapak. Kenapa pilih
Jokowi App atau misalnya punya arah ke milenial begitu? Apakah Jokowi
App juga dipergunakan sebagai alat branding politik?
B: Ya, benar sebagai tools ya. Selain itu, saya kira yang pertama itu kan kita
mengikuti perkembangan teknologi, nomor satu itu. Saya kira saat ini semua
orang berinternet seperti itu dan memang kalau kita lihat pengguna internet atau
sosmed kebanyakan itukan milenial ya, anak-anak muda. Ya, walaupun orang-
orang, definisi muda itu kita bisa berdebat lah ya, bisa dari usia, bisa dari cara
berpikir, cara berperilaku begitu ya, jadi ya kita bikinkan app.
App itu sebenanya semacam sarana bagi teman-teman di bawah, relawan,
masyarakat biasa untuk berpartisipasi dalam pembuatan konten begitu. Jadi
konten itu tidak hanya top-down dari kita yang bikin, tapi kita juga bottom up.
Nah, temen-temen di daerah itu kita buatkan satu kanal Suaraku begitu ya. Itu
kira-kita bisa bikin testimoni. Lagi canvasing ya ke dareah-daerah, ke kampung-
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxiv
kampung mungkin bikin liputan sendiri pakai handphone jadi bisa ya langsung
upload artikel, bisa upload foto, bisa upload video, begitu kira-kira. Jadi, kita
ingin melibatkan partisipasi teman-teman juga di lapangan. Kalau selama inikan
kesannya selalu top down, semuanya kita yang isi, kalau ini mereka juga bisa isi.
Walaupun ada kanal-kanal juga yang kita isi, ada tim khusus begitu.
A: Tetep disaring gak pak?
B: Iya, ada kita istilahnya ada bagian yang kurasi, mengecek, tahu-tahu ini hoax
bukan, itu satu, kemudian, ada ujaran kebencian gak, itu ada tim yang
mengkurasi itu. Karena orang yang mau meng-upload pun harus daftar dulu ke
kita. Jadi nomor WA nya tu harus terdaftar kemudian sama Facebook ya harus
terdaftar. Sehingga kita bisa lacak, bahwa itu akun beneran. Ada tim yang untuk
mengkurasi.
A: Jadi memang pure mendukung Jokowi ya
B: Ya, pendukung Jokowi. Kita ingin yang positif kira-kira begitu.
A: Karenakan berbahaya ya pak hoax itu, karena kan harus dilawan
sebenarnya. Kalau dari bapak sendiri, bapak dan tim begitu, Apakah ada
asosiasi-asosiasi tertentu yang dikaitkan dengan Pak Jokowi-Ma’aruf ini?
Karenakan kalau dilihat kayaknya milenial sekali gitu, terus tidak
monoton, tidak membosankan acara-acara yang dihadirkan begitu. Kira-
kira asosiasi apa yang dikaitkan dengan paslon nomor satu?
B: Sebetulnya banyak ya, asosiasi kita tidak tunggal ya. Tetapi di tengah ramainya
diksi milenial maka kita juga mengarah, mengasosiasikan Pak Jokowi itu
representasi milenial. Dalam arti misalnya dia motor-an, pakai jaket bomber,
jaket denim, kemudian dia santai pakai jeans, spatu kets, ngopi bareng dengan
temen-temen. Asosiasi itu juga kita bikin. Jadi kalau ke daerah-daerah, misalnya
terakhir itu kita ke Kendari.
Kita menyempatkan berkunjung ke tempat-tempat anak milenial, itu ada warung
kopi namanya Warung Kopi Haji Anto, itu ada di situ tempat kumpulnya anak-
anak milenial ya. Itu Pak Jokowi kesana gitu kan misalnya. Kemudian waktu di
Makassar juga misalnya, disitu ada pasar namanya Pasar Segar. Itu tempat
berkumpulnya milenial, warung kopi, crepes, segala macem adalah di situ, itu
juga Pak Jokowi kesana, ya misalnya seperti itu.
Seperti Milenial Safety Road atau Safety Ridding itu tadi, itu juga Pak Jokowi
terlibat di situ. Di dalam spanduk-spanduk juga ada seperti “Ayo patuhi
peraturan lalu lintas anak-anak milenial ini” itu spesifik, buat milenial
sebetulnya ya. Asosiasi itu ada pasti ya, asosiasi dengan milenial pasti ada. Kalo
Kyai Ma’aruf, tentu saja dia sesekali diasosiasikan dengan milenial, tapi lebih
spesifik ke pesantren. Kyai Ma’aruf misalnya “Saya tidak milenial lagi, tapi saya
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxv
mempersiapkan pondasi untuk anak-anak milenial untuk nanti maju” misalnya
mengatakan itu. Asosiasi-asosiasi itu lalu dibuat sama dia tanpa harus
memaksakan Kyai tampil seperti milenial pake jeans, ya dia tetep sarungan kan
gitu.
Itu hati-hati kita buat juga seperti itu kalau ke milenial. Ya tapi asosiasi besarnya
itu, grand theory atau grand design itu ada lagi yang lain, misalnya tagline kita
itukan Indonesia Maju ya, itu tagline kita, itu tagline besarnya. Kemudian dari
situ kita jabarkan dan salah satunya adalah milenial itu begitu. Indonesia Maju
itu pasti dari ekonomi, dari pendidikan, dari infrastruktur dan seterusnya begitu
ya. Kemudian, bantuan-bantuan sosial seperti PKH (Program Keluarga
Harapan), kemarin baru mau diluncurkan yang Kartu Pra-Kerja, Kartu Indonesia
Pintar Kuliah misalnya.
Itukan dua kartu itu saja sudah menyasar milenial tuh, kecuali kartu sembako ya,
sembako murah itukan lebih ke ibu-ibu begitu. Nah, jadi itu kita asosiasikan, Pak
Jokowi dan Kyai Ma’aruf adalah dua orang yang akan mengantarkan pada
kemajuan Indonesia, dari segala aspek tentu saja. Kedua, kita juga
mengasosiasikan ya pilihlah yang sudah terbukti, sudah terbukti,
berpengalaman. Pak Jokowi dari Walikota ya dia, Gubernur, kemudian jadi
Presiden gitu ya.
Itu juga kita asosiasikan seperti itu. Kemudian asosiasi dengan wong cilik juga
kita asosiasikan, orang yang merakyat. Dia kemarin naik kereta aja tiba-tiba
begitu kan, dimana-mana pasti orang selalu minta selfie, dia layani dengan baik
gitu kan, jadi asosiasi itu juga dibentuk. Merakyat, peduli milenial misalnya
kelihatan di debat kan bagaimana menyebut Unicorn, terus juga menyebutkan
bahwa kita juga sedang menyediakan Tol Langit untuk menunjukan bahwa di
seluruh Indonesia ini tidak ada lagi blankspot untuk internet misalnya.
Pengguna internet kan kembali lagi ke anak-anak muda. Nah jadi asosiasi itu
kita buat ya, terbukti gitu kan. Terus kadang-kadang temen-temen bilang Gas
Pol. Gas Pol itu artinya menuju Indonesia Maju itu, sudah terbukti. Nah, kalau
Kyai, Kyai itu kita asosiasikan karena dia Ulama, dia Kyai, maka tidak jauh-jauh
dari situ misalnya Jelas Islamnya, kita sampaikan seperti itu. Nah, dengan begitu
kita juga ingin menepis yang mengaitkan Pak Jokowi sebagai orang yang anti
ulama, anti Islam, anti kriminalisasi ulama, jadi apa namanya.. banyak asosiasi
yang kita ciptakan.
Jadi kita tidak menyasar pada satu asosiasi ya, satu ceruk pasar karena pemilih
itu beragam, dari anak mulai usia 17 tahun samapi mau mati kira-kita begitu.
Katakanlah ya sejauh dia masih bisa memilih ya begitu. Bahkan diasosiasikan
juga, Pak Jokowi orang yang peduli terhadap penyandang disabilitas ya, kita
juga mencoba melakukan hal seperti itu, Asian Para Games itu kita terus
gaungkan sampai sekarang.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxvi
Pak Jokowi meninjau fasilitas olahraga, apakah cukup ramah kepada
penyandang disabilitas. Dia melakukan itu juga, jadi semua segmen kita
jangkau. Kemudian perguruan tinggi ya kan, perguruan tinggi selama ini orang
mengganggap Pak Jokowi wong cilik, artinya memang, pasar dia adalah rakyat
biasa. Betul, pemilih Pak Jokowi sebagian besar adalah rakyat biasa, tapi bukan
berarti kita abaikan kalangan terdidik.
Makanya kemarin banyak deklarasi perguruan-perguruan tinggi, alumni UNI,
besok saya ke Medan, alumni USU, kemarin alumni ITB, UNPAD, pokoknya
perguruan tinggi di Jawa Barat lah gitu. Kemarin juga di UNSRI, Sriwijaya, itu
di Palembang. Besok ini juga ada jumpa pers PTS (Perguruan Tinggi Swasta)
se-Jakarta Pendukung Jokowi, itu juga kita coba.
Image Pak Jokowi itu gak wong cilik doang, ya oke deh wong cilik, tapi dia juga
identik dengan kalangan terdidik, seperti perguruan tinggi, kira-kira seperti itu.
Jadi asosiasi ini luas, kita tidak memberikan prioritas tertentu. Kalaupun boleh
disampaikan, kalaupun prioritas itu adalah milenial, kalau kita mau bilang “ada
prioritas tertentu gak?” ya milenial itu begitu. Kenapa? Karena jumlahnya besar
ya, milenial itu jumlahnya besar. Kalau tidak salah 40an juta, coba dicek.
A: Iya, tadi saya cek 42 juta.
B: 42 juta, kemudian mereka ini anak-anak yang baru mulai memilih barang kali di
pemilu 2019 ini yang perlu diberikan pendidikan politik, untuk tidak golput,
untuk berpartisipasi, maka itu kalau mau disampaikan prioritasnya apa
asosiasinya, ya, milenial, walaupun yang lain tidak kita abaikan.
A: Lalu kalau dikaitkan dengan Jokowi App itu sendiri, saya melihat cover
nya itu warna-warna yang milenial sekali. Maksudnya bukan yang
monoton hanya merah, putih tapi ada hijau, kuning, biru. Itu bagaimana
itu dirancangkan seperti itu?
B: Iya, warna itu sebetulnya untuk melambangkan keberagaman Indonesia, satu itu.
Dia (warna) melambangkan alam Indonesia. Kalau kita lihat itu ada waktu kita
di presentasikan soal filosofi warnanya, ya itu kalau kita lihat, disitu ada langit,
ada sawah, ada sungai, ada laut, di situ macem-macem, jadi melambangkan
keberagaman masyarakat Indonesia baik suku, agama, budaya, etnis, dll.
Kemudian dari sisi kekayaan alam Indonesia seperti tadi saya sampaikan dan
yang juga termasuk milenial, karena milenial dinamis. Melambangkan dinamika
disitu, melambangkan kedinamisan. Ke-empat, melambangkan sembilan partai
pendukung, termasuk semua warnanya. Jadi semua itu, jadi ada yang biru, biru
itu ada Nasdem dan Perindo, hijau itu ada PKB dengan PPP, merah itu ada PDIP,
PSI, PKPI. Kuning ada dua, kuning Golkar dan Kuning Hanura.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxvii
Jadi empat hal itu filosofi warnanya itu nomor satu keberagaman Indonesia,
nomor dua kekayaan alam Indonesia, nomor tiga dinamis kedinamisan
Indonesia, dan yang keempat itu partai-partai politik pendukung begitu.
A: Lalu selanjutnya, saya yakin tanpa ditanyakan ini ya pasti tim bapak juga
melakukan hal ini, hanya untuk memastikan saja sebelum membentuk
strategi-strategi seperti ini sudah dilaksanakan research, terus
merumuskan target audience, target market nya itu pasti ada?
B: Ya, ya kita melakukan riset. Semua by design ya tidak by insting kita melakukan
riset. Misalkan hal sepele tadi yang kita lakukan, monitoring media itu adalah
bagian dari riset, kita mengeluarkan angka-angka, segini loh pemberitaan kita.
Apa yang harus kita lakukan untuk memperbanyak dan seterusnya, itu kita pasti
melalui riset.
A: Kalau terkait Jokowi App sendiri, kenapa di luncurkan begitu, dan apakah
memang menyasar milenial? Pasti ada riset yang mendasari.
B: Iya, iya betul. Kita bikin riset, ya kita minta temen-temen bikin riset. Sebetulnya
apa sih yang enak kira-kira begitu kan. Kita punya website, tapi kan website
kurang ini, kalau aplikasikan lebih personal. Anak-anak sekarang lebih suka
yang seperti itu. Nah kemudian kita riset, “Oh, orang Indonesia itu istilahnya itu
suka nyolot, nyolot itu pasti apapun dikomentari.”
Orang Indonesia itu harus dan ingin dilibatkan serta berpartisipasi dalam segala
hal, termasuk dalam pembuatan konten media tertentu begitu loh. Nah, itu juga
dari riset, maka kita putuskan untuk membuat apps yang ada kolom komentar,
orang bisa upload artikel, bisa upload video, gambar, begituloh. Itu melalui riset.
Misalnya kalau yang terakhir, Pak Jokowi meluncurkan tiga kartu itupun dari
riset. Jadi riset ke publik, “Orang pengennya apa sih?”, “Oh, pengen pendidikan
terjamin. Orang pengen kuliah, orang pengen kerja” gitu kan, “Tapi gimana
caranya mendapatkan pekerjaan?”
Kemudian orang pengen sembako murah. Bahkan kartunya nanti, warna
kartunya nanti itu berdasarkan riset. “Kenapa warna Kartu Indonesia Pintar
Kuliah harus ungu?” Misalnya, itu gitu tuh dari riset. Bahkan warnapun kita
risetkan begitu. Segala sesuatu kita tidak mau by insting tapi by design, salah
satu cara ya lewat riset. Dari fakta, dari apa yang orang pikirkan, dari data begitu.
A: Lalu selanjutnya, perbedaan yang ditonjolkan oleh paslon nomor 01
dibandingkan paslon nomor 02, saya sempat cek juga “Apakah paslon
nomor 02 punya apps?” Tapi sebenarnya ada apps, namun saya rasa bukan
resmi dari timnya begitu.
B: Iya, iya..
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxviii
A: Tapi sepertinya memang ada orang yang secara sukarela membuatkan
begitu, kalau inikan memang secara khusus begitu dan didaftarkan.
B: Kalau ini kita launching secara resmi, kita daftarkan. Ya memang kita
melakukan itu.
A: Itu termasuk menjadi salah satu faktor pembeda? Jadi hal ini (apps)
memang ditunjukan untuk itu (pembeda)?
B: Iya, iya. Kita memang… ehmm.. mereka ngikutin. Kita duluan. Lagian dari
fungsi aplikasi yang mereka buat juga sudah berbeda kan. Ya kemudian
misalnya kita punya program lain selain app itu, kami punya program menangkal
hoax. Kita luncurkan di sini (Posko Cemara), setiap minggu kita akan
sampaikan, ini loh hoax gituloh.
Kemudian mereka bikin juga, tapi gak secanggih kita punya. Kalau kita ada
diskusi, ada data-data. Ya kita memang beda, kita usahakan beda, kita tampil
beda begitu ya. Sebenarnya kan gini, kalau dari sisi marketing gitu kan, ketika
kita berkompetisi, itu dua saja yang harus kita lakukan, bisa dua-duanya bisa
salah satu. Pertama, beda. “Bedamu apa sama produk yang ini?” yakan? Gitu
loh.
Yang kedua, kalau gak bisa cari beda, samain aja. Kamu tahu Indomaret dan
Alfamart? Ya disamain itu, dimana ada Indomaret, disitu ada Alfamart, bahkan
disebelahnya ada. Itulah teknik yang dipakai. Gak perlu beda, ngapain kita
capek-capek. Gitu loh.
A: Tapi membahayakan gak sih pak?
B: Gak, gak juga. Beberapa terbukti berhasil. Minimal tidak memimpin tapi bisa
mengimbangi. Kamu tahu TV One dengan Metro TV? TV One itu ngikutin
Metro TV plek plek. Bedanya Cuma warna, tapi itu gak signifikan, sama-sama
TV berita. Jadi, beda sama sekali, ada value added disitu ya atau ya ikutin aja
gituloh, kira-kira seperti itu.
Gak apa-apa, itu sah kok secara marketing. Kira-kira apa namanya, kalau dalam
konteks marketing politik begitu. Itu bisa dilakukan, gak masalah. Marketing
politik kan dasarnya juga marketing ekonomi ya, marketing bisnis kan. Itu kan
sebetulnya itu aja. Misalnya ketika kami membuat Indonesia Maju, mereka
ikutin dengan tagline yang gak jauh beda misalnya Indonesia Menang, yang mau
direvisi lagi. Visi-misinya direvisikan, kan gak diterima KPU, karena sudah
lewat waktunya.
Tapi mereka mau ngikutin kita gitu, mau ngikutin tapi mau coba beda gitu loh.
Dulu kan tagline mereka kan Adil Makmur apaa ya gitu.. itu udah diganti,
walaupun ditolak KPU. Tapi ya itulah salah satu cara mereka untuk
mengimbangi kita kan gitu.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxix
A: Bapak kan ada sebut berkali-kali mengenai tagline Indonesia Maju berarti
itu adalah brand mantra yang ditonjolkan?
B: Iya, betul. Betul, hashtag kita itu ada dua ya Indonesia maju dan Jokowi Lagi.
Ya tapi memang yang nomor satu ya Indonesia Maju.
A: Di setiap materi pemasaran ya pak ada Indonesia Maju?
B: Iya, iya. Kalau di sosmed ya Indonesia Maju. Wajib ya itu.
A: Tadi kalau alasan Bapak dan tim merumuskan itu sudah bapak sebutkan
sebelumya berarti saya ambil dari yang sebelumnya saja ya. Selanjutnya,
kalau di Jokowi App, apakah hal tersebut tercermin di Jokowi App?
B: Ya, tercermin. Misalnya, disitu kita sampaikan capaian-capaian yang sudah
dihasilkan oleh kepemimpinan Jokowi 4-5 tahun ini. Apakah itu infrastruktur,
apakah itu bantuan sosial misalnya, ya itu satu. Kedua juga visi-misi kita dalam
konteks mencapai Indonesia Maju. Misalnya saat ini kan kita menekankan pada
SDM (Sumber Daya Manusia).
Ya Kartu Indonesia Pintar, KIP Kuliah ya itukan salah satu konteks dalam
pengembangan sumber daya manusia. Jadi kita lima tahun kedepan akan
menekankan pada SDM. Itu ada semua tercermin disitu, SDM adalah kunci
utama untuk mencapai kemajuan. Kita tidak bisa lagi mengandalkan misalnya
pada kekayaan alam kita. Kita harus mengandalkan pada SDM.
A: Iya ya pak karena kekayaan alam kalau orangnya gak terdidik juga tidak
bisa mengelola ya pak.
B: Iya akan habis, akhirnya cuma ekspor aja bahan mentah. Kita gak bisa kelola,
gak ada value added kan, gak ada nilai tambah gitu.
A: Lalu, saya lihat ada sistem gamifikasi, poin-poin yang di Jokowi App itu,
apakah itu merupakan sebuah trik untuk seperti yang tadi bapak bilang,
untuk partisipasi, agar khalayak lebih tahu begitu? Apakah hal tersebut
juga dilakukan supaya membentuk stronger voters?
B: Iya betul, betul itu. Itu memang untuk menarik temen-temen. Orang akan lebih
tertarik apabila ada insentif kira-kira di situ. Selan itu, itukan kalau saya minta
download saat kunjungan ke daerah itukan yang datang itukan adalah orang-
orang yang relatively pasti memilih kita kan begitu. Itu bahkan bukan cuma
mengajak, saya minta mereka untuk download disitu begitu.
A: Ada rating nya lagi?
B: Berpartisipasi aja orang udah seneng, gak harus di top three. Tapi kita merasa
itu penting. Nomor satu untuk merangsang partisipasi, yaitu nomor dua untuk
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxx
menghargai ya mengapresiasi orang yang sudah berpartisipasi kira-kira itu
tujuannya.
A: Saya ada lihat yang merchandise itu tapi masih coming soon. Itu nanti poin
itu akan bisa ditukarkan dengan merchandise?
B: Iya, nanti akan bisa ditukarkan dengan merchandise. Itu udah ada sebenarnya.
Ya mungkin belum di upload aja sama temen-temen. Tapi merchandise itu udah
ada kayak baju, kalau kita ke Citos udah ada merchandise kita banyak, di
Epicentrum juga ada, itu nanti yang dibagi-bagikan seperti model begitu,
berdasarkan gamifikasinya itu. Nanti yang poinnya sekian, dapat apa begitu ya
itu gamifikasi kita.
A: Lalu, tadi kan ada disebutkan untuk mengundang partisipasi, adakah hal
lain dibalik itu begitu?
B: Kita ya cuma pengen bikin menyenangkan aja, biar gak boring aja begitu kan.
Kan ada teori apa itu, game theory, manusia pada dasarnya adalah orang yang
suka bermain begitu kira-kira.
A: Iya, karena jika dibandingkan dengan aplikasi berita lainnya itu yang lain
hanya bisa berkomentar.
B: Iya hanya bisa itu dan harus mengerenyitkan dahi. Kira-kira kita mau
membentuk image di kepala temen-temen itu bahwa ini tuh asik-asik aja,
menyenangkan begitu. Gak usah terlalu pusing, dahinya berkerut gitu kan.
A: Lalu, apakah ada tokoh tertentu yang dikaitkan. Tadi kan bapak sebutkan
ada influencer, apakah memang influencer tersebut mencerminkan paslon
01 atau bagaimana?
B: Enggak juga, kalau influencer itukan misalnya kita lihat influencer itu membantu
menggaungkan, dia juga bisa menjadi narasumber di televisi, atau di diskusi-
diskusi, kemudian menjadi narasumber ya di media. Terus juga beberapa kita
lihat influencer itu followers nya banyak, ada Riris atau siapa gitu ya yang
youtuber itu. Bagi saya itu juga influencer kita gitu.
A: Yang perempuan pak?
B: Iya, perempuan yang kemarin wawancara Pak Jokowi dengan ibu di Bogor tu,
nah itu misalnya.
A: Ria Ricis pak maksudnya?
B: Iyaaa Ricis.. itu misalnya. Walaupun tidak masuk secara resmi. Atau ya Tompi
misalnya yang dia foto-foto itu.
A: Oh, yang kemarin bareng Glenn Fredly itu ya pak?
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxxi
B: Iya, iyaa itu misalnya. Itukan dia dari expert ya gitu karena Tompi itukan dokter
bedah plastiklah gitu ya. Ya jadi kita, temen-temen yang dimaksud dengan
influencer ini adalah yang mem-back up juru bicara kita ya begitu. Namanya
juru bicara kita ya, dia kemana-mana.
Bahkan ada lagi jubir itu kita membentuk jubir milenial, kita baru luncurkan tiga
minggu lalu ya jadi anak milenial. Jadi, dia kita tampilkan di TV misalnya, terus
mereka ini nanti turun ke lapangan canvasing, anak-anak muda, ganteng-
ganteng, cakep-cakep. Masuk ke kampung-kampung, ke pasar-pasar, mereka
sudah melakukan itu gitu. Ke masjid-masjid misalnya.
A: Itu dipilih gitu pak?
B: Iya dipilih oleh, kita percayakan pada satu orang namanya Arif Wasid untuk cari
deh anak-anak muda bekas ketua BEM UI, bekas ketua BEM YHMI, nah ya itu
kita cari. Lagi S2 mereka, atau sudah tamat, ya sekolahnya bagus-bagus lah ya
di luar negeri.
A: Iya, selain milenial juga terdidik gitu ya pak
B: Iya pasti terdidik, karena lulusan perguruan tinggi ya mahasiswa yang sedang S2
atau sedang sekolah. Nah itu juga jadi influencer kita sebenernya, mempengaruhi
anak-anak milenial begitu untuk memilih Pak Jokowi. Jadi kalau asosiasi
ketokohan itu kita tidak mau, justru kita tidak menggunakan itu. Karena tokoh
kita adalah Pak Jokowi dan Kyai Ma’aruf itu sudah merupakan sebuah tokoh,
jadi kita tidak mau bikin bingung orang, “nih sebetulnya siapa sih yang nyalon?”
kok malah terbalik, Pak Jokowi mengasosiasikan dengan orang lain.
Kan biasa ada orang yang mengasosiasikan dirinya dengan Soekarno misalnya,
orang-orang tokoh besar kan begitu mungkin itu boleh. Tapi kalo kita engga, Pak
Jokowi ya Pak Jokowi jadi dirinya sendiri. Kyai Ma’aruf ya Kyai Ma’aruf. Gak
usah kita asosiasikan ke tokoh-tokoh lain jadi begitu loh. Jadi gak ada seperti itu
kita lakukan.
Termasuk influencer-influencer kitapun, kita tidak, ya kita ada melihat
ketokohan misalnya ya dalam arti dia itu Dedy Mizwar dia artis, misalnya Ibu
Oky Asokawati itu misalnya memang dilihat dari profil dia ya, tetapi saya kira
itu tidak menjadi hal yang utama, tapi yang kita lihat adalah isi kepalanya artinya
“cukup berpengetahuan gak?” Kan gitu kan. Ada Wanda Hamidah ya itu dulu
bekas presenter Metro, terus ada beberapa artis ya, ada Kirana, ada Samara
misalnya itu ada Adian Napitupulu, jadi kita tidak terlalu melihat ketokohannya.
A: Jadi asosiasi itu yang utama yang memang dikaitkan dengan milenial,
selebihnya tidak ada asosiasi ketokohan ya pak?
B: Iya betul, kita enggak buat. Jadi asosiasinya lebih ke apa ya, bukan ke profil
orang tapi lebih ke komunitas misalnya. Misalnya tadi komunitas milenial.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxxii
A: Berarti ceruk yang lebih besar ya pak kategori nya?
B: Oh iya, jadi saya kira tokoh kami ya Pak Jokowi begitu.
A: Lalu kan tadi ada disebutkan juga ada media monitoring untuk media
mainstream gitu. Bagaimana apabila terkait dengan Jokowi App begitu,
bagaimana pandangan khalayak, bagaimana pandangan media mengenai
Jokowi App itu sendiri? Adakah riset?
B: Belom.. kita belom melakukan itu. Ya kalau itu belum kita lakukan ya karena
itukan apa ya namanya, itukan media internal kita. Tools kita, ya kita punya
sendiri, yang bikin ya kita yang bikin, yang ngisi juga kita gitu kan. Tapi kalau
tadi media mainstream kan bukan punya kita, punya orang lain, jadi kita merasa
perlu, kita harus tahu.
Tapi kalo yang punya kita, kira-kira kita udah tau kok, kita yang bikin gitu kira-
kira gitu kan. Jadi gak perlu terlalu apa lah ya kita harus memonitoring itu. Ada
tim yang monitoring, tapi dalam konteks tadi, jangan masuk negative campaign,
jangan masuk yang black campaign atau hoax gitu kan semua kita upayakan
yang positif misalnya.
A: Kalau riset mengenai berapa jumlah download, rating, itu ada?
B: Oh iya, kalau itu, itu ada ya. Misalkan saya selalu minta update “Udah berapa
sih yang download?” misalnya “Oh, yang udah download misalnya jumlahnya
seratus ribu.” Gitu kan “Udah dua ratus ribu” gitu.
A: Misalnya kalau kayak komentar positif-positif?
B: Iya itu iya, umumnya kalo komentarnya positif. Tinggal yang kita ingin tahu
berapa banyak nih gitu..
A: Kalau komentar dikurasi juga pak?
B: Iya komentar dikurasi juga, jangan sampai diksi pilihan katanya gak bagus gitu
kan. Nah itu kita tetap kurasi semua yah gitu.
A: Bagaimana juga hasil riset tersebut dipergunakan yang mengenai rating?
Apakah biar lebih digaungkan begitu?
B: Iya jadi misalnya gini, kita kan kepingin terus meningkat jumlah penggunanya
ya. Karena itu misalnya kalau saya ke daerah-daerah ikut Pak Jokowi saya selalu
bilang “Ayo handphone nya ginikan (diangkat), ayo kita download, yang pakai
Apple atau yang pakai Android.” Nah itu saya selalu tuh, biar lebih banyak.
Karena ya kita seratus ribu relatif, dua ratus ribu relatif.
Tapi yang kita inginkan adalah semakin banyak yang meningkat terus.
Kemudian juga kita kadang-kadang share itu isi konten kita ke Facebook, baik
Facebook personal maupun Facebook institusi begitu misalnya atau ke website
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxxiii
kita. Misalnya kalau bagus ya kita share itu ke media-media mainstream itu
malah pernah juga kita share ke media mainstream gitu.
A: Apakah ada riset khusus mengenai elektabilitas yang berkaitan dengan
Jokowi App begitu?
B: Gak ada kalau riset khusus tentang itu ya, karena kan Jokowi App itu sebuah
instrumen yang sifatnya itu tidak permanen ya. Jadi kalau kita jadikan sebagai
bahan riset itu hasilnya tidak akuratlah, khawatirnya seperti itu gituloh. Nah,
tetapi yang penting dari Jokowi App adalah engagement sebetulnya, misalnya
bagaimana masyarakat itu melibatkan diri melalui proses produksi dari konten-
konten yang terkait dengan Pak Jokowi, ke satu itu.
Kedua, mengenal lebih dekat Pak Jokowi dan Kyai Ma’aruf. Jadi mereka ya jadi
tahu lah, jadi paham bahwa misalnya Pak Jokowi tidak seperti yang diisukan
selama ini bahwa dia itu PKI, dia itu anti ulama dan seterusnya. Kira-kira seperti
itu. Kalau monitoring ataupun riset yang kita lakukan kan itu terhadap media
online mainstream ataupun media sosial yang selama ini banyak dipakai begitu,
karena apa?
Kalau itu kan memang sudah permanen ya media online atau apa. Tapi kalau
Jokowi App inikan kita lihat engagement untuk download begitu. Kalaupun
paling kita bisa memprediksi itukan sekedar tambahan elektabilitas tambahan
suara, misalnya “Sudah berapa banyak sih yang download?” Misalnya “Oh
sudah seratus ribu”, “Oh sudah sejuta” dan seterusnya begitu kan. Dan umumnya
itu yang men-download adalah memang pemilih kita begitu. Kita hanya menjaga
biar tidak swing, tidak berpindah begitu.
Kira-kira itu ya, walaupun ujung-ujungnya kita berharap apa yang mereka
download itu misalkan itu bisa viral di media-media lain begitu. Biasanya ada
riset elektabilitas itu setelah debat, itupun dilakukan oleh pihak ketiga bukan
oleh kita gitu. Misalkan, LSI, itu melakukan itu, ternyata debat itu yang nonton
33%, lalu kemudian yang undecided voters memutuskan untuk memilih Jokowi,
jadi kenaikan Pak Jokowi dari undecided itu misalkan 0,6 dari 02 itu 0,4. Nah
itu ada, tetapi yang terkait dengan apps, itu kita belum pernah, belum pernah
minta, belum pernah melakukan, belum ada juga yang meriset.
A: Lalu, sistem evaluasi oleh tim terhadap apps nya, kan tadi ada yang
download, rating, terus dievaluasi secara keseluruhan?
B: iya, iya. Mereka ada evaluasi seminggu sekali ya baik secara kuantitatif maupun
secara kualitatif. Secara kuantitatif seberapa banyak sih yang download,
seberapa banyak berita yang kita masukkan.
A: Saat baru diluncurkan sempat trending pak di Playstore.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxxiv
B: Iya, sempet trending betul. Waktu diluncurkan kan jadi trending topic kan saya
yang meluncurkan di Epiwalk waktu itu sama Pak Erick ya. Itu trending topic
memang. Itu jadi pantauan kita memang, kita evaluasi semua begitu ya. Di
kuantitatif itu tadi jumlah. Kualitatif misalkan bagus-bagus gak sih yang upload,
kontennya bagus gak? Gitu. Nanti kalau enggak, coba kita arahkan bagaimana
seperti itu.
Apakah kita sampaikan ke temen-temen di daerah “Eh, upload-nya tuh yang
bagus” misalnya. Misalnya kebanyakan sih kepanjangan begitu kan. Bikin
video, kita padahal udah bilang “bikin video tuh satu menit.” Kalau saya
kedaerah-daerah saya sampaikan “Bikin jangan panjang-panjang, satu menit,
kalau masih panjang bikin lagi file yang baru” gitu kan, dengan konten yang
baru, dengan judul yang baru gitu kan. Ya kadang-kadang dia terus aja, akhirnya
gak efektif.
Menurut riset kita itu, orang maksimal satu menit kok ngeliat itu, lebih dari satu
menit orang udah males, kecuali menarik sekali gitu kan. Dan kemudian kami
juga sampaikan ke temen-temen, terutama yang mengkurasi, “Setiap omongan
orang,” ini secara kualitatif ya, “Setiap omongan orang itu dibikin subtitle nya.”
Jadi gak boleh gak ada subtitle sebetulnya, kadang-kadang kan ya tetap aja ada
kan gitu. Karena apa? Kadang saya ga punya earphone kemudian saya dengerin
itu di kereta, saya kan ga mungkin gede-gedein itu (volume) bisa marah sebelah
saya di KRL gitu. Jadi dengan adanya subtitle saya bisa lihat “Oh dia sedang
ngomong ini.”
Gitu tanpa mendengar suara satu itu. Misalnya atau saya seringkali misalnya kita
gak punya kemewahan waktu, akhirnya di toilet kita misalnya mendengarkan
video itu. Jadi, harus ada subtitle-nya, kalau enggak ya kita gak tahu gitu loh.
Sementara kita gak mungkin gedein (volume), karena nanti sebelah kita bisa
terganggu kan gitu. Lagian kan gak enak juga gitu, kita di toilet misalnya. Nah
itu, itu misalnya kita gariskan untuk temen-temen.
Kita evaluasi gitu. Ya memang temen-temen dari lapangan kalo yang pinter
mungkin bikin (subtitle). Lagipula kan sekarang udah gampang kan gitu. Tapi
yang males “Yah ya udah dah kirim aja entar kalian yang bikin.” Kan gitu. Atau
kadang ada yang lupa bikin gitu ya.
A: Oh jadi setiap dimasukkan itu melalui approval dulu ya pak ya?
B: Iya, ada approval dulu. Kita cek dulu, kan masuk ke satu kantong dulu ya satu
basket terus kemudian baru di kurasi, jangan sampai salah atau kualitasnya jelek.
A: Ini sih sebenarnya tentatif saya tanyakan, tapi apakah Jokowi App ini akan
dilanjutkan apabila memenangkan pemilu?
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxxv
B: Hmm.. kita belom memikirkan itu, nanti coba kita lihat dulu ya. Maka jika
dilanjutkan domain-nya adalah Istana yang pegang kan gitu kan.
A: Iya, karena inikan Tim Kampanye Nasional.
B: Iya betul, inikan tim kampanye. Kalau Kampanye sudah selesai ya kita bubar.
Sampai debat terakhir itu, kita tetap ada. Tapi kan kita gak bekerja lagi kan.
Setelah itu quick count nanti, hasil quick count seperti apa, yaudah nanti ya kita
lihat seperti apa. Kalau mau dilanjutkan ya, dengan tim Istana kan bukan
tanggung jawab kita lagi gitu. Belum ada pembicaraan kearah sana.
A: Ini sih sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan, tapi karena terkait hal
tersebut belum dibicarakan jadi pertanyaannya akan saya berhentikan
sampai di sini ya pak ya. Terima kasih
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxxvi
KERANGKA PERTANYAAN NARSUM 2
SILIH AGUNG WASESA
General
*Interviewer introduction
*Interviewee introduction
---
1. Bagaimana fenomena political branding yang sedang berkembang saat ini?
2. Menurut padangan Bapak, apakah political branding melalui aplikasi
merupakan pilihan yang tepat?
3. TKN mengasosiasikan paslon 01 dengan kaum milenial, kalangan terdidik,
kaum disabilitas, dan lainnya. Namun TKN menyatakan bila boleh
diprioritaskan, memang asosiasinya adalah ke milenial. Menurut pandangan
Bapak, apakah hal tersebut tercermin dalam Jokowi App? Dan mengapa hal
tersebut dilakukan?
4. Dalam pembentukan Jokowi App, TKN menyatakan telah melakukan riset
pendahulu untuk mengetahui target audience paslon 01, hasilnya target
audience dan target market utama dari Jokowi App adalah adalah kaum
milenial, bagaimana tanggapan bapak?
5. Menurut TKN, Jokowi App merupakan poin pembeda dengan paslon 02,
karena menurut TKN paslon 02 hanya ikut-ikutan membuat aplikasi, selain
itu fungsi dari aplikasi Jokowi App dengan Rekat Indonesia juga berbeda,
bagaimana tanggapan bapak?
6. TKN menyatakan merumuskan Indonesia Maju sebagai tagline dari paslon
01 yang tercermin dalam Jokowi App bahkan terdapat kanal tersendiri,
apakah menurut bapak hal tersebut tercermin? Dan mengapa tagline tersebut
digunakan?
7. TKN menggunakan elemen warna yang dinamis dalam Jokowi App, TKN
menyatakan warna dari Jokowi App adalah representasi dari kesembilan
partai pengusung, kedinamisan Indonesia, keberagaman Indonesia, dan
Kekayaan alam Indonesia, bagaimana tanggapan bapak?
8. Menurut TKN, timnya melakukan integrating brand marketing activities
dalam Jokowi App yang tercermin dari sistem gamifikasi dan kanal suaraku
dalam pembentukan stronger voters, apakah hal tersebut sudah tepat untuk
dilakukan? Bagaimana menurut pandangan bapak sebagai praktisi?
9. TKN mengatakan tidak ada asosiasi ketokohan yang dikaitkan dengan
paslon 01, bagaimana menurut pandangan bapak?
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxxvii
10. TKN menyatakan tidak melakukan analisis untuk mengetahui apa yang
pemilih pikirkan dan mengenai Jokowi App, apakah sebenarnya hal tersebut
penting untuk dilakukan? bagaimana menurut pandangan Bapak?
11. Menurut TKN, tim nya tidak melakukan riset secara kualitatif untuk
memetakan pengetahuan pemilih terhadap brand paslon 01, bagaimana
menurut pandangan Bapak?
12. Menurut TKN, timnya juga tidak melakukan evaluasi terhadap brand
performance setelah diluncurkannya Jokowi App, bagaimana menurut
pandangan bapak?
13. Kekurangan dari political branding yang dilakukan TKN melalui Jokowi
App?
14. Kriteria yang tepat melakukan online political branding?
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxxviii
Lokasi : Konner Advisory, Menteng – Jakarta Pusat
Waktu : Kamis, 13 Juni 2019
Durasi : 16.10-16.30 (20 menit)
Jenis wawancara : Wawancara lansgung / Tatap muka
A: Penanya
B: Narasumber II (Silih Agung Wasesa – Konsultan Komunikasi)
A: Perkenalkan, nama saya Cynthia Limaura, mahasiswa Universitas
Multimedia Nusantara major Corporate Communications.
B: Oke, saya Silih Agung Wasesa, konsultan komunikasi.
A: Baik, saya mulai ya pak. Menurut bapak, bagaimana fenomena political
branding yang berkembang saat ini?
B: Hemm.. sebetulnya sih kalo kita ngeliat fenomena plitical branding sih
berkembang secara umum sih relatif sehat gitu ya. Artinya kita menemukan
banyak proses-proses political branding itu yang menghasilkan pemimpin-
pemimpin berkualitas. Kita kenal di Surabaya ada Bu Risma, kemudian di NTB
ada TGB, ada Ridwan Kamil, ada Ganjar, ada Anies Baswedan gitu. Semuanya
sih secara umum sehatlah pola itu.
Tapi kemudian, memang ada dua kejadian kampanye political branding itu
membuat polarisasi para pemilihnya tuh. Terpisah secara identitas bahkan, baik
Pilkada DKI kemarin dan yang barusan Pilpres. Political branding kita diwarnai
dengan politik identitas dari dua belah pihaklah. Sehingga yang terjadi bukan
kompetisi menang atau kalah, tapi ya jadi musuhan. Musuhannya bukan
pertandingan lagi nih, tapi musuhan yang lebih abadi. Itu sih secara umum.
A: Selanjutnya menurut Bapak, pilihan TKN menggunakan Jokowi App
sebagai salah satu media kampanye untuk menyasar milenial, itu
merupakan pilihan yang tepat atau tidak?
B: Ya, sebetulnya menarik jika membicarakan apps itu untuk menarik milenial gitu.
Cuman satu hal yang harus dipahami, kayaknya sih yang bikin itu TKN itu orang
tua nih ya, dia nganggep anak-anak muda itu suka apps. Padahal iya suka apps,
tapi dalam konteks tertentu, jadi gak semuanya suka apps. Jadi gini, satu, para
milenial itu kan para fakir data, jadi dia gak secara mudah mau ngedownload
aplikasi.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xxxix
Nah yang kedua, dia hanya mau download aplikasi yang bener-bener sesuai
dengan kebutuhan. Nah pertanyaannya adalah, apakah aplikasi Jokowi ini buat
mereka menguntungkan atau engga? Itu. Ini secara umum konsep besar yang
harus dipertanyakan ya. Baru nanti dari sana kita melihat tuh, performance app
nya, ratingnya berapa, yang download berapa, dan sebagainya. Itu sih.
A: Oh begitu, selanjutnya, TKN menyatakan mengaitkan milenial dengan
kaum disabilitas, milenial, kaum terdidik, dan sebagainya, tapi yang
memang jadi prioritas utama adalah milenial, menurut Bapak, apakah hal
tersebut tercermin dalam Jokowi App?
B: Iya, kalau secara konten sih iya, untuk milenial gitu ya.
A: Dari segi apanya pak?
B: Dari segi gaya bahasa, kontennya. Cuman yang saya kurang begitu sreg adalah
bagaimana kemudian dia mempromosikan Jokowi dengan hasil
pembangunannya gitu. Nah itu yang tidak sesuai dengan milenial nih. Apa ya,
KPI nya milenial, kunci suksesnya milenial dengan kunci sukses orang tua tuh
beda tuh. Belum tentu jalan tol yang panjang itu berguna untuk milenial. Belum
tentu mengurangi pengangguran itu berguna untuk milenial. Nah itu yang tidak
diperhatikan sama TKN.
A: Kalau menurut Bapak seharusnya seperti apa?
B: Harusnya sih justru kontennya, konten yang ‘receh’ gitu.
A: Contohnya perbanyak komiknya?
B: Iyaa contohnya itu, atau misalnya ngobrol sama cucunya. Hal-hal yang ‘receh’
kaya gitu justru yang disukai milenial.
A: Iya bener pak heeheh.. dalam pembentukan Jokowi App ini, TKN
menyatakan sudah melakukan riset sebelumnya untuk mengetahui siapa
target audiencenya. Hasilnya adalah milenial dan orang-orang yang
menyukai sesuatu yang personal. Jadi dibuatlah aplikasi. Menurut
tanggapan bapak itu seperti apa?
B: Setuju, bahwa milenial suka aplikasi iya. Tapi apakah setiap aplikasi disukai
milenial gitu, itu adalah persoalan yang lain. Fakta bahw milenial suka aplikasi
itu betul, tapi aplikasi yang seperti apa yang disukai milenial? Pertanyaannya
adalah, apakah aplikasi yang dibangun oleh TKN, itu udah ada test user
experience nya? Kayaknya sih dengan waktu yang sedemikian cepat, user
experience nya sih gak jalan.
A: lalu selanjutnya, sebenarnya paslon 02 juga memiliki aplikasi tapi
fungsinya berbeda. Kalau apps paslon 02 fungsinya untuk melaporkan
kecurangan dalam pemilu, kalau Jokowi App kan untuk memberi
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xl
informasi, memberi pengetahuan lebih ke pengguna begitu. Bagaimana
menurut tanggapan bapak? Memang merupakan pembeda atau
bagaimana?
B: Hemm sebetulnya gini, kalau aplikasi itukan memang tools ya, jadi ya aplikasi
Jokowi maupun palson 02 itu ya turunan dari narasi aja, kalau paslon 01 kan ada
tagline Indonesia maju. Kalau positioning paslon 02 itukan memang narasinya
itu “gue menang nih, kalo sampe gue kalah, berarti lu curang.” Kan narasi itukan.
Nah itu yang diturunkan dalam bentuk macam-macam, salah satunya ya
aplikasinya itu. Sehingga di aplikasipun arahnya ke sana, yang diomongin
kecurangan-kecurangan. Tapi ketika kita bicara kecurangannya berapa, dia gak
ada buktinya. Jadi cuman turunan narasi aja.
A: Nah, bapak tadi sudah sebutkan, paslon 01 kan punya tagline, Indonesia
Maju. Apakah hal tersebut tercermin dalam Jokowi App?
B: hemm.. Tercermin sih tapi dalam konteks TKN, tapi tidak secara milenial. Kalau
di kita itukan ada yang namanya narasi, jadi ada narasi kreatif. Nah, narasi kreatif
ini disesuaikan dengan milenial. Terutama, value nya gitu. Nah yang TKN itu
narasinya sih udah bener Indonesia Maju, tapi bukan bahasa milenial.
A: Ohh.. penyampaiannya?
B: Iyaa, penyampaiannya masih penyampaian orang tua lah, bkin infratruktur, ada
jalan tol, yang bukan milenial banget.
A: Padahal maju untuk milenial belum tentu maju dalam infratrstruktur ya
pak.
B: Iya bener, bisa jadi cuman gara-gara dia punya paket data buat dia itu udah
kemajuan.
A: Kalau di Jokowi App sendiri sebenarnya ada kanal Indonesia Maju, isinya
keberhasilan Jokowi, bagaimana tanggapan bapak?
B: Nah itu tadi, sebetulnya kanal di Jokowi App itu kebanyakan kanal yang satu
arah gitu ya, hanya menginformasikan, kesatu itu. Dua, yang menginformasikan
adalah TKN itu sendiri bukan peer group, padahal milenial mendengarkan peer
group.
A: Kalau dari brand element dalam Jokowi App, bagaimana menurut bapak?
B: Kalau dari warna sih mereka masih menurunkan warna dari kampanye ya, yang
ceria gitukan, merah, kuning. Kalau kita liat dari sisi milenial, saya lihat sih
milenial suka-suka saja ya, apalagi dari kartunnya gitu. Pada sisi itu sih saya
melihat dari brand element nya terutama warna ya udah cocok tuh sama milenial.
Gitu.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xli
A: Kalau logo?
B: Logo, Okelah.
A: Kan logonya itu Jokowi sama K.H Ma’aruf Amin tuh pak.
B: Jadi gini, kalau kita bicara mengenai milenial, milenial itukan lebih suka logo
itu seperti simbol, warna sama bentuk atau huruf atau tulisan gitu. Tapi inikan
menggunakan simbol orang gitu, nah itu biasanya dilakukan oleh challengers
bukan incumbent.
A: Ohh.. misalnya berarti Pak Prabowo yang menggunakan logo tersebut gitu
pak?
B: iya, misalnya Pak Prabowo munculin wajah, itu oke gitu. Tapi kalau dia sebagai
incumbent, dia harusnya munculin programnya. Tapi yang dalam bentuk kata-
kata gitu, “teruskan”, “lanjutkan”, nah yang kaya gitu-gitu tuh. Harusnya kaya
gitu, cumankan ini seolah-olah dia yang jadi penantang. Sebenarnya di konsep
lainnya juga gitu, sebenarnya Jokowi sekarang tuh terkesan dia seperti barusan
mau jadi Presiden. Padahal udah jadi Presiden kan gitu.
Sebenarnya kalau incumbent itu harusnya membangun suara orang-orang ketiga
yang sudah merasakan manfaatnya selama dia menjabat jadi Presiden.
Sementara challenger pasti mengkritik pembangunan yang dilakukan oleh
incumbent. Nah yang kemarin terjadi itukan yang incumbent cuma ngomongin
prestasinya, tapi testimoninya gak banyak. Sementara yang kubu kedua, udah
bener sih nyerang tapi gak punya solusi. Jadi ya gitu, pilihannya jadi gak asik
lah.
A: Nah selanjutnya nih pak, TKN melakukan integrating brand marketing
activities melalui sistem gamifikasi atau pengumpulan poin dalam Jokowi
App dan adanya kanal suaraku yang dimana pengguna dapat mengupload
konten dalam bentuk video, artikel, maupun foto. Menurut Bapak, apakah
langkah tersebut sudah tepat sebagai salah satu program untuk create
stronger voter?
B: Sebetulnya sangat tidak tepat ya, jadi gini, persoalan mengenai voters itu adalah
persoalan akar rumput. Persoalan dia mau milih apa engga. Persoalan untuk
menggiring dia ke TPS untuk nyoblos, kan persoalannya gitu. Bukan persoalan
bangun awareness. Hal seperti tadi, baru membangun awareness.
Ya lu udah gak perlu lah, lu udah empat tahun, udah punya sesuatu, ya lu tinggal
sodorin itu. Ya itu tadi yang saya sebut, seolah-olah masih baru nih Jokowi,
masih nantangin nih, iniloh, gw punya iniloh. Sesuatu yang, ‘lu gak perlu lagi
kaya gitu, lu mah udah terkenal, semua orang udah tau. Sehingga menurut saya
ya gak efektif gitu.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xlii
A: Jadi program apa yang tepat untuk di Jokowi App?
B: Program yang tepat adalah untuk ngeggiring para pemilih untuk sampai ke TPS.
Misalnya nih, ajakan untuk tidak Golput. Misalnya ada program untuk ajak
temen-temen untuk gak Golput. Gak harus memilih paslon 01, tapi ajak temen
lu, siapa aja, yang bawa tiga orang dapat hadiah ini, nah itu yang kaya gitu tuh.
Itu lebih ke akar rumput gitu. Kesalahannya adalah Jokowi masih
menginformasikan seolah-olah dia baru mau berantem jadi presiden nih. Gitu
A: Iya.. selanjutnya, sebenarnya kan dari awal memang dikatakan asosiasi
paslon 01 tidak tunggal, asosiasinya banyak, ke ibu-ibu, ke kaum
disabilitas, milenial, dsb. Tapi menurut bapak ada atau tidak di Jokowi App
ini asosiasi ketokohan? Kan kalau menurut TKN, mereka tidak melakukan
asosiasi ketokohan, karena Pak Jokowi dan KH Ma’aruf sudah merupakan
tokoh yang dikenal di masyarakat. Apakah hal itu sudah tepat dilakukan
TKN?
B: Iya, jadi gini, sebenernya asosiasi ketokohan itu hampir selalu dilakukan di
semua pilpres dimanapun. India itu selalu dengan Keluarga Gandhi, terus
kemudian Indonesia dengan Soekarno, terus kemudian Amerika dengan JFK,
selalu ada ketokohan, selalu ada dinasti. Dan milenial itu juga punya tokoh
sebenernya. Bedanya, apakah tokoh milenial itu tokoh jaman dahulu atau tokoh
jaman sekarang. Asosiasi ketokohan sebenarnya perlu.
Saya belum melihat case, dimana ada pilpres tidak menggunakan tokoh,
ketokohan gak dipake. Jawaban saya pasti TKN belum pernah jadi tim pilpres,
dia gak punya pengalaman itu, atau gak punya referensi tentang itu. Harusnya
yang namanya pilpres itu, diseluruh dunia pasti diasosiasikan dengan tokoh
tertentu.
Bahkan apa dia sebagai satria, atau apalah, itu harus ada. Kalau engga, pemilih
jadi gak punya jembatan, untuk memikirkan ‘masa lalu dia tuh siapa ya?’ Saat
2014 itu Prabowo sempat bagus, pada saat dia naik kuda, kuda itukan
diasosiasikan sebagai kuat, sebagai panglima.
A: Selanjutnya, menurut TKN, timnya tidak melakukan analisis untuk
mengetahui pandangan pengguna terhadap Jokowi App, apakah menurut
Bapak itu langkah yang tepat?
B: Sebetulnya sih kalau kita menggunakan apps itukan ada banyak model
pengukuran, yang pertama, pengguna dari apps itu sendiri bagaimana, banyak
atau engga. Itu yang namanya output, appsnya jadi, dan apakah memang user
experience nya sesuai dengan milenial, sehingga banyak yang download, banyak
yang interaksi di situ.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xliii
Yang kedua, itu namanya outtakes, outtakes itu impresif, jadi betul gak sih
bahwa apps ini membuat para penggunanya yang milenial ini menjadi suka,
menjadi obrolan, menjadi rekomendasi, gitu. Yang ketiga outcome, apakah apps
ini bisa untuk menarik milenial, untuk memilih Jokowi. Tiga itu sih sebenernya
kalau dianalisis seperti itu. Tapi sih mungkin kayanya mereka gak melakukan
analisis itu ya, ya mungkin budgetnya banyaklah..
A: ada sih pak, hanya analisis mingguan mengenai rating, jumlah download,
user, dll
B: Ohh berarti hanya output yang dianalisis ya
A: Selanjutnya, TKN juga tidak melakukan riset terhadap brand paslon 01
setelah diluncurkannya Jokowi App.
B: Yaa, berarti karena budget nya banyak aja. Nah ketika kita kampanye itukan ada
yang namanya efisiensi ya. Jadi budget berapa yang kita keluarkan, harus kita
lihat bagaimana hasilnya. Apalagi kalau biayanya terbatas. Jadi ketika kita
ngebangun apps dengan budget yang pasti tidak murah gitu ya.. tidak ada riset
untuk kualitatif yaa menjadi mubazir gitu. Kemungkinan lainnya ya mungkin
duitnya banyak.
A: Jadi menurut bapak memang seharusnya diadakan riset?
B: Iya dong, harus di riset, efisiensi appsnya seperti apa gitu, kan dia harus
bertanggung jawab atas apa yang dibikin. Gitu.
A: Selanjutnya, apa kekurangan dari political branding yang dilakukan TKN?
B: hemm iya, satu hal sih sebetulnya kekruangan yang mendasar yang dilakukan
TKN lewat Jokowi App itu dia tidak menggunakan sudut pandang milenial,
dalam konteks hasil prestasinya Jokowi. Itu yang paling mendasar tuh. Sehingga,
saya ngeliat buat milenial itu sebenarnya apps itu ya biasa aja gitu.
Contohnya aja misalnya mengenai pembangunan, gak ada tuh omongan
misalnya ‘wih, Jokowi tuh keren ya, dia udah bisa apa, bisa apa, bisa apa’ gitu.
Karena buat milenial, jauh banget tuh prestasi Jokowi sama harapan dia. Kayak
tadi, mau ngebangun tol, mau bikin tol laut, mau bikin apa gitu. Buat milenial,
‘terus ngapa kalo dia kaya gitu?’ tapi kalo dia bikin tiket murah, bisa pindah-
pindah pekerjaan, dapet pekerjaan yang oke gitu, itu baru prestasi buat dia gitu.
Nah ini yang sama TKN narasinya tidak diciptakan kaya gitu. Jadi narasi orang
tua, dipaksain masuk ke anak muda cuman kemasannya aja dibuat milenial lah
gitu. Tapi dalamnya gak diolah dulu nih. Kalo dia masakan tuh, rasanya masih
rasa orang tua gitu, cuman bentuknya bentuk milenial gitu.
A: Lalu menurut bapak, apa sih kriteria yang tepat untuk membentuk online
personal branding?
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xliv
B: Sebetulnya gini, online political branding itukan gak bisa berdiri sendiri, apakah
sosial media, apakah aplikasi gitu yah, tapikan dia harus menyatu dengan offline
seperti media konvensional ada akar rumput, ada komunitas, nah itu harus jadi
satu kesatuan, jadi gak bisa cuman ada apps terus dilihat download nya berapa.
Gitu.
A: oh begitu, iya pak. Terima kasih pak atas waktunya.
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019
xlv
Political branding jokowi-ma’aruf..., Cynthia Limaura, FIKOM UMN, 2019