limits to growth: mempersoalkan kembali kapitalismedigilib.uinsgd.ac.id/12782/1/limits to...

12
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam 1 Limits to Growth: Mempersoalkan Kembali Kapitalisme M. Taufiq Rahman Dosen Filsafat Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN SGD Bandung e-mail: [email protected] Abstrak Artikel ini mengungkap tentang kegagalan kapitalisme pada saat-saat belakangan ini dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan lebih adil. Ini karena ada batas pertumbuhan secara sosial. Artikel ini juga mengungkap kembali degradasi kemanusiaan dari ide kapitalisme yang digaungkan sejak tiga abad yang lalu oleh Adam Smith. Sebagai refleksi dari dua tesis di atas, artikel ini membawa kita mengevaluasi keberadaan kapitalisme di Indonesia yang lebih membawa pada kerugian daripada keuntungan. Terakhir, tulisan ini menyarankan kepada bangsa Indonesia untuk kembali kepada falsafah bangsa, yaitu Pancasila di mana terdapat panduan untuk hidup dalam keseimbangan, yaitu keadilan sosial dan keadaban. Kata kunci: Kapitalisme; Filsafat sosial; Keadilan sosial; Pancasila; Falsafah Indonesia Abstract This article reveals the failure of capitalism in recent times in developing the better and more just society. It is because of the existence of limit to growth socially. This article also reveals the reality of human degradation in the idea of capitalism brought by Adam Smith since three centuries ago. Reflected to the two theses being discussed, this article leads us to evaluate the existence of capitalism in Indonesia which brings about the loss more than the fortune. At last, this writing suggests Indonesians as a nation to return to the nation’s philosophy, i.e. Pancasila (Five Pillars), in which there is a guidance for balance in live: social justice and civility. Keywords: Capitalism, Social Philosopy, Social justice, Pancasila, Indonesia falsafah

Upload: hoangthien

Post on 28-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam1

Limits to Growth:Mempersoalkan Kembali Kapitalisme

M. Taufiq Rahman

Dosen Filsafat Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN SGD Bandung

e-mail: [email protected]

Abstrak

Artikel ini mengungkap tentang kegagalan kapitalisme pada saat-saat belakanganini dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan lebih adil. Ini karena adabatas pertumbuhan secara sosial. Artikel ini juga mengungkap kembali degradasikemanusiaan dari ide kapitalisme yang digaungkan sejak tiga abad yang lalu olehAdam Smith. Sebagai refleksi dari dua tesis di atas, artikel ini membawa kitamengevaluasi keberadaan kapitalisme di Indonesia yang lebih membawa padakerugian daripada keuntungan. Terakhir, tulisan ini menyarankan kepada bangsaIndonesia untuk kembali kepada falsafah bangsa, yaitu Pancasila di mana terdapatpanduan untuk hidup dalam keseimbangan, yaitu keadilan sosial dan keadaban.

Kata kunci:

Kapitalisme; Filsafat sosial; Keadilan sosial; Pancasila; Falsafah Indonesia

Abstract

This article reveals the failure of capitalism in recent times in developing the betterand more just society. It is because of the existence of limit to growth socially. Thisarticle also reveals the reality of human degradation in the idea of capitalismbrought by Adam Smith since three centuries ago. Reflected to the two theses beingdiscussed, this article leads us to evaluate the existence of capitalism in Indonesiawhich brings about the loss more than the fortune. At last, this writing suggestsIndonesians as a nation to return to the nation’s philosophy, i.e. Pancasila (FivePillars), in which there is a guidance for balance in live: social justice and civility.

Keywords:

Capitalism, Social Philosopy, Social justice, Pancasila, Indonesia falsafah

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam2

A. PENDAHULUANPada millenium yang lalu,

tepatnya tahun 1972, Club of Romemempublikasikan Laporan berjudul TheLimits to Growth. Buku itu segera sajamenjadi best-seller secara global.Walaupun mendapatkan banyakkritikan, ia telah menarik perhatian paraekonom, sehingga kemudian, konon,menjadi buku ekonomi yang palingberpengaruh di abad ke-20.

Pesan sentralnya adalah:pertumbuhan yang cepat—baikdalambidang kependudukan maupunindustrialisasi—telah melahirkanpeningkatan dramatis dalam produksidan konsumsi dunia, yang padagilirannya membawakan masalah-masalah kekurangan sumber-daya danpolusi lingkungan yang tidak dapatterorganisir dengan baik. Dikatakanbahwa teknologi dapat menjawabmasalah-masalah teknis, tetapiteknologi tidak dapat menyelamatkankita. Pesan antarnya adalah: kita sudahterlalu banyak, kita memproduksiterlalu banyak, kita juga mengkonsumsiterlalu banyak. Ujung-ujungnya, karenaketerbatasan planet kita ini, makaprospek pertumbuhan ekonomi yangtidak terbatas merupakan sebuahkhayalan. Laporan itu menyimpulkanbahwa jika kita terus-menerus mengejarpertumbuhan yang tak terbatas di duniayang terbatas ini—termasuk didalamnya keterbatasan memikul bebanlimbahnya—maka kita akanmenghadapi kehancuran lingkungan,

dan kehancuran itu nampaknya lebihcepat daripada yang dapat diduga.

Kemudian, hanya beberapa tahunsetelah Laporan Club of Rome padatahun 1970-an itu, Fred Hirschmenerbitkan buku Social Limits toGrowth.1 Dampaknya bagi iklimintelektual saat itu kurang begitusounding, tetapi sebetulnya tidakkurang penting. Hirsch tidak sedikitpunmenolak klaim sentral Club of Romeyang menyatakan bahwa terdapatketerbatasan fisik untuk pertumbuhanekonomi. Suatu batasan yang menuntutorang yang berperasaan untukmemperhatikan masa depan manusiaagar mengerem mimpi pertumbuhanekonomi yang tiada akhir. Di siniHirsch berargumen bahwa sebelumsampai pada batas fisik, kita jugadihadapkan pada tantangan sosialnya.

Pada tahun 1993, muncul bukulanjutan, yaitu Beyond the Limits2 danpada tahun 2004 para pengarang bukukedua itu menerbitkan buku ketiga:Limits to Growth: The 30-YearUpdate,3 melanjutkan argumen bahwatanpa perubahan sistemik yang dalam,dunia industrialisasi akan mengarahpada kehancuran ekonomi danlingkungan. Tidak mengherankan,Laporan itu, beserta dengan versi-versi

1Fred Hirsch, The Social Limits to Growth(London: Routledge & Kegan Paul, 1977).2William W. Behrens III Donella H. Meadows,Dennis L. Meadows, Jorgen Randers, Beyond theLimits, 1993.3William W. Behrens III Donella H. Meadows,Dennis L. Meadows, Jorgen Randers, Limits toGrowth: The 30-Year Update, 2004.

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam3

update nya, terus-menerus mendorongkontroversi di antara kaum ekonom,aktivis lingkungan, politisi, dan orang-orang yang tertarik terhadap tematersebut. Sebagian menganggapnyaserius dan sebagian lagi tidak.

Karena sering bermain di PartaiHijau Belanda (Groen-Links: KiriHijau) pada tahun 1990an akhir, sayatertarik terhadap wacana ini. Sebab,wacana inilah yang melahirkan ideologi“Eko-Sosialisme.” Sesuatu yang cukupmenarik dan trendy di kalangan anakmuda Barat pada waktu itu. Melaluiwacana ini, tidak hanya Kapitalismeyang “dibantai”, tetapi juga Sosialisme:selama keduanya membangun denganindustrialisasi, selama itu pula akanmerusak lingkungan. Bisa dibayangkanbahwa dengan wacana ini masyarakatindustri dari berbagai aliran ideologisakan berhadapan dengan pengadilanlingkungan, dengan tuduhan kejahatanserius terhadap masa depankemanusiaan.

Terkait dengan persoalanancaman kehancuran lingkungan dansosial akibat keterbatasan planet bumiuntuk memenuhi tuntutan pertumbuhan(ekonomi) tak-terbatas, tulisan ini akanlebih menyoroti Kapitalisme yangdipandang sebagai salah satu penyebablahirnya tuntutan tersebut. Bagaimanawatak dan paradoks-paradoksKapitaslisme, lalu pengalamanIndonesia dengan Kapitalisme dantuntutan-tuntutannya itu, sertakemungkinan langkah apa yang perludiambilnya dalam menghalau pengaruh

Kapitalisme yang tak terhindarkan itu?.

B. Hasil Dan Pembahasan1. Kapitalisme dan

Kekacauan Sosial

Sebagaimana diakui oleh AdamSmith dalam bukunya, The Wealth ofNations (1776),4 ekonomi pertumbuhanadalah karakteristik utama masyarakatpasar kapitalis. Smith melihat inisebagai hal yang sangat bagus karenaakumulasi kekayaan Kapitalismelahyang mendorong kemajuan materi,bahkan untuk “barisan bawah”masyarakat. Di sini Kapitalismemendorong orang untuk maju, siapapunorang itu. Demokrasi ekonomi punnampak juga di sini. Namun keyakinanitu hanya benar untuk orang yang hidupdi tanah air imperialis. Bagi yang hidupdi dunia kolonial, tidak begitukeadaannya. Seabad kemudian, ditengah kritik tajamnya untukkapitalisme, Karl Marx menuduh Smithsebagai pembawa jalan kepada‘Kapitalisme pendegradasi manusia’(human degrading Capitalism).

Dalam penjelasannya, Marxmengungkapkan bahwa kapitalismeadalah:

1. Individualistik. Kapitalismememberlakukan konsep keadilanyang individualis posesif yangdigunakan oleh kaum borjuis untuk

4Buku yang dirujuk adalah Adam Smith, TheWealth of Nations, Introduction by ProfessorEdwin R. A. Seligman, vol. 2 (London: J. M. Dent& Sons Ltd., 1910).

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam4

menjustifikasi hak-hak merekaakan pemilikan pribadi dankebebasan pasar. Denganindividualisme inilah kaum borjuismemeras tenaga buruh denganalasan gaji yang ‘fair’, sedangkanpada saat yang sama buruh telahmenyerahkan nasibnya pada kaumkapitalis yang pemikirannyahanyalah harta-milik pribadi.5

2. Pertukaran yang tidak sepadan(unequal exchange). Prinsipborjuis bahwa hal yang sama harusditukar dengan harga yang samadalam realitasnya tidak diamalkan.Menurut Marx, sistem gaji padaKapitalisme ‘hanya pura-pura’,‘semata-mata kemiripan’ atau asal‘berbentuk’.6 Ketika mengatakanbahwa Kapitalis melakukan taktiklicik dalam mencari keuntungan

5 “Harta-milik pribadi hasil sendiri, yangdidasarkan, katakanlah, pada gabungan individuyang bekerja sendiri secara independen dengankondisi-kondisi kerja-fisiknya, digantikan olehharta-milik pribadi kapitalistik, yang bergantungpada eksploitasi kerja orang lain yang nominallyfree [hampir gratis –peny.], yakini pada kerjaupahan.” (Self-earned private property, that isbased, so to say, on the fusing together of theisolated, independent labouring-individual withthe conditions of his labour, is supplanted bycapitalistic private property, which rests onexploitation of the nominally free labour ofothers, i.e., on wage-labour.) Karl Marx, CapitaI,3 vol., vol. I (Moscow: Foreign LanguagesPublishing House, 1887), 762.6 ‘Hanya ilusi’ (only illusory), ‘semata-matakemiripan’ (mere semblance), atau asal‘berbentuk’ (form) saja. Karl Marx, Grundrisse:Foundations of the Critique of Political Economy(Rough Draft), terj. Martin Nicolaus(Harmondsworth: Penguin Books, 1973), 458,509,551,674.

dengan cara tidak memberikan gajiyang sesuai dengan kerja buruh7

Marx menggunakan kata-kata‘kelebihan kerja yang tidakdibayar’ (unpaid surplus labour),8

pencurian (theft),9 dsb.3. Pemerasan (exploitation). Mode

produksi kapitalis bukan contohklaim kaum liberal atas‘kebebasan, dengan kebebasanyang sama untuk yang lain’, atauatas ‘kebebasan, tetapi tidakmengganggu orang lain’, karenakapitalis itu betul-betul bebas

7“Karenanya, dengan mendapatkan kemampuankerja yang ditukar sebagai padanannya, makamodal telah mendapatkan waktu kerja—dalamarti bahwa ia melampaui waktu kerja yangtermuat dalam kemampuan kerja—yangditukarnya secara tidak sepadan; ia (modal)telah menggunakan waktu kerja orang dengantanpa pertukaran [tetapi] melalui bentukpertukaran.” Hence, by virtue of having acquiredlabour capacity in exchange as an equivalent,capital has acquired labour time –to the extentthat it exceeds the labour time contained inlabour capacity—in exchange withoutequivalent; it has appropriated alien labour timewithout exchange by means of the form ofexchange.) Marx, Grundrisse: Foundations of theCritique of Political Economy (Rough Draft), 674.8 “Dengan demikian surplus kerja itu berartikerja tanpa imbalan.” ([H]ence surplus labour,labour without equivalent.) Grundrisse, 457.9 “Pencurian atas waktu kerja orang, yangkekayaan sekarang ini didasarkan padanya,tampak sebagai landasan yang menyedihkandihadapkan pada landasan baru ini, yangdiciptakan oleh industri berskala-besar itusendiri” (The theft of alien labour time, on whichthe present wealth is based, appears a miserablefoundation in face of this new one, created bylarge-scale industry itself.) Marx, Grundrisse:Foundations of the Critique of Political Economy(Rough Draft), 705..

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam5

untuk mengeksploitasi.10

4. Distribusi yang tidak sepatutnya(improper distribution). Dalamdistribusi, kapitalisme didasarkanpada pribahasa “setiap orangberdasarkan kontribusinya”. BagiMarx, hal ini tidak adil karenadalam hal kontribusi setiap orangitu berbeda kemampuannya,fisiknya, dll. Sementara itu dalamhal keperluan, setiap orang ituberbeda karena kondisinya yangberlainan, ada yang sudah kawinada yang belum; ada yang punyaanak banyak, ada yang tidak.11

5. Pemfakiran (pauperisation).Adanya suatu kelompokpenganggur yang kronis, yaitu‘angkatan cadangan’ dalamindustri, merupakan suatukeharusan bagi kapitalisme.Angkatan cadangan industri, yangbarisan-barisannya terutama terdiri

10 “Hukum harta-milik pribadi—kebebasan,kesetaraan, harta-milik, harta-milik berdasarkanusaha sendiri, dan bebas menggunakannya—berubah menjadi hilangnya-kelayakan pekerja(worker’s properlessness), dan pelucutan-kepemilikan [Entäusserung] atas usahanya,[yakni] fakta bahwa dia berhubungan denganusahanya sebagai harta-milik orang dansebaliknya. ([T]he laws of private property –liberty, equality, property—property in one’sown labour, and free disposition over it—turninto the worker’s properlessness, and thedisposession [Entäusserung] of his labour, [i.e.]the fact that he relates to it as alien propertyand vice versa.)Marx, Grundrisse: Foundations ofthe Critique of Political Economy (Rough Draft),674.11Karl Marx, “Critique of the Gotha Programme,”dalam Selected Works, II, 21-24. DiseleksidalamEssential Writings of Karl Marx, selectedby. David Caute (London: Panther, 1967), 249.

dari buruh-buruh yang jumlahnyaterus meningkat akibat mekanisasi,menyajikan suatu sumber potensialsebagai buruh murah, yangmerintangi tiap usaha kelas buruhuntuk memperbaiki nasibnya. Jadi,sementara kelas kapitalismenimbun terus jumlah kekayaan,upah kaum buruh tidak pernahdapat naik, jauh di atas tingkatkehidupan cukup.12

Sejak Kapitalisme diberilandasan filsafat sosialnya oleh Smith,prospek pertumbuhan ekonomimemang seperti tidak ada ujungnya.Income per kapita memang selalu naikdi setiap generasi. Di Inggris, generasisekarang, misalnya, naik dua kali lebihkaya daripada generasi bapak-bapakmereka, empat kali lebih kaya daripada

12 “Namun, jika kelebihan populasi pekerjamerupakan produk niscaya dari akumulasi atauperkembangan kekayaan berdasarkan basiskapitalis, maka kelebihan populasi ini sebaliknyamenjadi pengungkit akumulasi kapitalistik,bahkan kondisi eksistensi mode produksikapitalis. Ia menciptakan suatu persediaanpasukan cadangan industri siap-pakai, yangdimiliki modal secara cukup mutlak seolah modaltersebut telah membiakkannya atas ongkosnyasendiri. Tanpa bergantung pada limitpeningkatan aktual populasi terebut, iamenciptakan, karena kebutuhan ekspansi dirimodal yang berubah-ubah, suatu kumpulanbahan manusia (human material) yang selalusiap dieksploitasi.” “Kemelaratan (pauperism)merupakan rumah-sakit angkatan-kerja aktif danbobot mati kelebihan-populasi relatif,” “Olehkarenanya, akumulasi kekayaan di satu sisi padasaat yang sama merupakan akumulasikesengsaraan, penderitaan kerja keras,perbudakan, kebodohan, kebrutalan, degradasimental, di sisi lain, …”. Marx, CapitaI, 3 vol., vol.I, 632, 644, 645.

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam6

generasi kakek mereka.

Pertanyaannya kemudian adalah:apakah generasi sekarang ini dua kalilebih bahagia dari bapak-bapak mereka,empat kali lebih bahagia dari kakek-kakek mereka atau lebih bahagia daripendahulu mereka pada saat permulaanRevolusi Industri?

Prof. Richard Layard, tokohkontemporer dalam “StudiKebahagiaan” melihat data dariekonomi kapitalis paling kuat dansejahtera, menyatakan bahwa:

for most types of people in theWest, happiness has not increased since1950. In the United States people are nohappier, although living standards havemore than doubled. There has been noincrease in the number of “very happy”people, nor any substantial fall in thosewho are “not very happy.”13

Di Inggris, Jepang dan EropaDaratan fenomena yang sama jugaditeliti: “Walaupun terdapat kemajuanmassif dalam pendapatan riil di setiapsegi distribusi income” kebahagiaan itutidak melonjak naik. Apalagi jikadiperbandingkan antara negara-negaraBarat, “yang lebih kaya tidak lebihbahagia daripada yang miskin.”Demikian Layard.14

Bahagia kita rasakan ketika kitamendapatkan gaji yang lebih besar,

13Richard Layard., Happiness: Lessons From aNew Science (New York: Penguin Press, 2005).14Layard., Happiness: Lessons From a NewScience, 31.

ketika kita berjuang menghilangkankemiskinan fisik. Jelasnya, ketika kitamendapatkannya pertama kali. Tetapiketika gaji naik dan kita tidak lagimiskin, kebahagiaan itu nyaris tidakada. Fakta inilah yang oleh ekonomabad ke-19-an disebut sebagai prinsippenurunan utilitas marjinal (diminishingmarginal utility). Prinsip inimenyatakan bahwa semakin banyakdikonsumsi, pada akhirnya setiapkonsumsi unit tambahan memberikanutilitas tambahan yang menurun(penurunan utilitas marjinal). Setiapunit berikutnya dari suatu barangmemiliki nilai yang kurang daripadabarang sebelumnya. Prinsip inimembantu menjelaskan kemiringannegatif dari kurva permintaan danhukum permintaan. Dalam bahasakeseharian kita, ini dinamakan inflasi,atau penurunan harga barang.

Dengan demikian, ideologiKapitalisme yang menyuarakanindividualisme posesif (possessiveindividualism) sudah terbantahkan olehketiadaan kebahagian akhir di atas.

Diskusi tentang utilitas marjinal diatas membawa kita pada pembicaraantentang barang-barang posisional(positional goods). Fred Hirsch banyaksekali bercerita tentang bagaimanamengecewakannya hasil daripertumbuhan ekonomi, sekurang-kurangnya bagi masyarakat yang telahmembuat lompatan dari kelaparan kekemiskinan dan ke kemakmuran(affluence). Ia ingin menjelaskan“paradoks kemakmuran”: Kenapa kita

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam7

begitu fokus pada pertumbuhanekonomi, padahal, ketika didapatkan, iahanya memberikan sedikit kepuasan?.

2. Kondisi Limits to Growthdi Indonesia: KeterbatasanSDM dan TuntutanKapitalisme

Terkait dengan persoalan limitsto growth, apa yang dapat kita lihat darikondisi Indonesia adalah bahwa kitaberhenti untuk terus tumbuh, bukanlahkarena kita sudah puas di levelkemakmuran (affluence), tetapi justrukarena kemakmuran itu sangat susahkita gapai. Mimpi bahwa kita bisatinggal landas (take off) seperti dalamkerangka evolusi kemajuan ala W.W.Rostow15 yang disuarakan Rezim OrdeBaru kandas di tengah jalan.

Dengan demikian, keterbatasanuntuk tumbuh (limits to growth) diIndonesia adalah karena kita tidakmampu. Mungkin pihak pemerintahhendak terus mengejar agenda MDGs(Millenium Development Goals) dariPBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa),tetapi rakyat kita memang belum punyakapabilitas dan sumber daya untuk itu.Apa yang terjadi malahan adalahpenguatan kembali tradisionalisme.Untuk tetap survive, masyarakat kitaharus melakukan pertahanan diri dariserangan berbagai bentuk kapitalisme.Sebab kalau terus dituruti, kapitalisme

15W. W Rostow, The Stages of Economic Growth:A Non-Communist Manifesto (Cambridge:Cambridge University Press, 1960).

akan menjerat kita sampai kita tidakbisa bernafas untuk hidup.

Berbagai contoh dapat kitaperlihatkan bahwa kita lebih baik hidupseadanya daripada mengejar terusketertinggalan budaya. Runtuhnyabisnis MLM (multi level marketing)dengan berbagai produknya adalahbukti bahwa masyarakat kita masihrasional, sebab produk-produk yangdijual dengan cara MLM itu biasanyamahal-mahal, walaupun memangbagus-bagus. Begitu pula, kita lebihbaik memakai produk-produk economicversion daripada memaksakan dirimengambil jalan trendy yang biasanyajuga mahal-mahal. Maraknya hape-hape buatan Tiongkok di pasaranmembuktikan bahwa konsumennyamemang banyak dari kalangan kita.

Demikianlah, kita seolah-olahkembali ke budaya kemiskinan (cultureof poverty) yang disuarakan OscarLewis.16 Atau kita kembali lagi kezaman pembangunan berparadigmaganda seperti yang disinyalir olehBoeke17 bahwa tradisionalisme danmodernisme berjalin tanpa salingmenyapa. Atau juga kembali kemasyarakat Prismatik yang disuarakan

16Oscar Lewis, “Culture of Poverty,” dalamDaniel P. Moynihan, On Understanding Poverty:Perspectives from the Social Sciences (New York:Basic Books, 1969).17Boeke J.H, The Structure of Netherlands IndianEconomy (New York: Institute of PacificRelations, 1942); J.H Boeke, Economics andEconomic Policy of Dual Societies: As Exemplifiedby Indonesia. (Haarlem: H.D. Tjunk Willink &Zoon N.V., 1953).

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam8

Riggs,18 yaitu kita berada di masyarakattransisi antara tradisionalisme danmodernisme.

Tetapi kita juga memang melihatadanya perlombaan borjuistis di kota-kota, yang membuat teori Hirsch tadirelevan.

Oleh karena itu, dari berbagaisegi, baik segi defensif tradisionalismemaupun kemacetan konsumerisme,kebaikan kapitalisme bagi manusiamemang harus selalu kembali kitapertanyakan. Lagi pula, kapitalismeyang ajaran dan prakteknya kita perolehmemang tidak utuh. Kita mengetahuiKapitalisme dari Belanda, yang saatmenjajah dulu, memang tidakmelakukan industrialisasi. Saat itu,konon, Belanda hanya mengeruk hasilalam kita dan menjualnya di pasaranglobal secara mentah. Ini betul-betultindakan “pencurian” dan tidak adasama sekali sifat edukasinya. Maka,ketika kita rebut kemerdekaan, kitatidak dalam kondisi Kapitalis. Malahan,untuk menjual produk pun kita tidakdipercaya oleh dunia.

Tetapi, lagi-lagi, kapitalisme itumemang vampir. Bukan dari segi iamenyedot darah kaum buruh, misalnya.Tetapi karena ia tidak mati-mati.Demikian kata Zizek, yang dikutipGoenawan Mohamad.19 Misalnya,

18Fred W. Riggs, Administration in DevelopingCountries: The Theory of Prismatic Society(Boston: Houghton Mifflin Company, 1964).19Goenawan Mohamad, “Demokrasi danDisilusi." Orasi Ilmiah dalam Acara NurcholisMadjid Memorial Lecture (NMML), Universitas

ketika Kapitalisme itu hampir collapse,muncul ide negara kesejahteraan(welfare state) yang mengoreksiKapitalisme pasar bebas dengan adanyaredistribusi melalui subsidi silang danpajak negara. Pendapat Keynes itulahyang kemudian menyelamatkan kondisipasca Perang. Konon, kemujarabannyaitu bukan hanya untuk Amerika Serikat,tetapi untuk dunia, dengan suatuprogram rehabilitasi yang disebutdengan Marshall Plan.

Ide rehabilitasi ini pulalah yangmemunculkan lembaga-lembagakeuangan dunia seperti IMF dan WorldBank, yang pada saatnya, bukannyamenolong, tetapi meruntuhkan,ekonomi negara-negara yangbergantung kepadanya. Kita masihmengalaminya sejak kita mengambilutang kepada IMF di akhir rezimSoeharto.

Lembaga-lembaga keuangan inikemudian, bukan hanya memberikanpinjaman, tetapi juga mensyaratkanagenda-agenda liberalisasi. Salah satudiantaranya adalah liberalismependidikan tinggi. Lembaga-lembagaseperti WTO dan World Bankmengkampanyekan ‘globalisasipendidikan tinggi’ dan ‘reformasiPendidikan Tinggi’. Di UU PendidikanTinggi (yang disahkan tahun 2012),kooptasi wacana pembangunan dari dualembaga ini terlihat dalam beberapapasal: Pasal 48 (Kerjasama penelitiandengan industri dan dunia usaha), pasal

Paramadina23 Oktobert.t., 2008.

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam9

65 (wewenang PTN Badan Hukumuntuk mendirikan badan usaha danmengembangkan dana abadi), pasal 85(pembiayaan pendidikan tinggi olehmahasiswa), pasal 86 (insentif kepadadunia usaha untuk membiayaipendidikan tinggi), pasal 87 (hakmengelola kekayaan negara), pasal 88(standar satuan biaya operasionalpendidikan), pasal 89 (pendanaan PTNBadan Hukum), dan yang palingmencolok, pasal 90 (penyelenggaraanpendidikan tinggi oleh PT negaralain).20

Di masa kejayaan Soeharto,kapitalisme memang ikut berjaya diIndonesia. Saat itu, sambutan atasPenanaman modal asing (PMA) sangatmeriah. Dipercayai bahwa kehadiraninvestasi asing pasti mendatangkanmanfaat bagi pembangunan ekonominasional (peningkatan daya saing, alihteknologi, dst) dan turunannya adalahterjadi peningkatan kesejahteraanmasyarakat. Padahal, studi jangkapanjang yang dilakukan oleh TanushreeMazumdar mengenai dampak investasiasing di India, menunjukkan bahwatidak ada korelasi antara investasi asingdan pertumbuhan ekonomi. Terlebih,sebuah studi dari sosiolog danpemerhati ekonomi politik AmerikaLatin terkemuka James Petras, terhadapmanfaat investasi asing di negara-negara Amerika Latin, menunjukkanbahwa justru PMA itulah yangmerugikan, bukan menguntungkan.

20UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang PendidikanTinggi.

Dalam studinya berjudul Six MythsAbout the Benefits of Foreign

InvestmentThe Pretensions of

Neoliberalism (2006), Petrasmerangkum temuannya itu sebagaiberikut:

1) Investasi asing lebih tertarik untukmembeli perusahaan-perusahaanBUMN kategori untung/sehat dankemudian memprivatisasinya ataumembeli perusahaan-perusahaanswasta dalam kategori yang sama,dan menguasai pasar perusahaantersebut. Sementara dalam soalteknologi, mereka hanya menjualatau menyewakan desain teknologiyang telah dibuat di ‘negara asal,’yang jumlahnya mencapai lebihdari 80 persen. Jadi, apa yangdisebut alih teknologi itu adalahbagaimana cara-cara baru dalammenjual teknologi, bukan alihkemampuan riset dan desainteknologi.

2) Investor asing lebih tertarikmembeli atau menginvestasikanuangnya ke sektor-sektorpertambangan yang sangatmenguntungkan dan kemudianmengekspornya dengan sedikitatau tanpa nilai tambah samasekali.

3) Investor asing terlibat dalampenipuan pajak, penipuan dalampembelian perusahaan-perusahaanpublik, dan praktek pencucianuang dalam skala besar.

4) Penambahan hutang baru di bawahkondisi ekonomi yang tidak sehat

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam10

dan pembayaran kembali secarailegal utang-utang yang dibuat olehpemerintahan diktator, hanya akanmembahayakan keberadaan danintegritas sistem keuangandomestik yang kemudiam memicukebangkrutan keuangan,sebagaimana yang menjadipengalaman Argentina antaraperiode 1976-2001.

5) Mayoritas investasi asing ituadalah investor asing yangmeminjam tabungan nasionaluntuk membeli perusahaan-perusahaan lokal dan membiayaiinvestasinya.

6) Investor asing, lebih dari investorlokal, sangat mudah merelokasikaninvestasinya ke tempat-tempatyang lebih menguntungkan danmenciptakan situasi ekonomi yangsangat fluktuatif (boom and busteconomy).

Hari ini Kapitalisme masihberpengaruh besar, terutama dengandimunculkannya kawasan-kawasanpasar bebas seperti AFTA, NAFTA,dsb. Secara ideologis, aliran ini disebutsebagai aliran neoliberal. Bagi negara-negara yang SDM-nya sudah kuat, halini tidak menjadi sesuatu yangmengkhawatirkan. Tetapi bagi kitayang kualitas SDM nya masih rendah,tentu ini akan menjadi ancaman serius.

3. Menghalau PengaruhKapitalisme: MenegaskanKembali Konsensus Kita

Indonesia adalah negara pluralis,

yang mengakui berbagai unsur baik ituagama, suku, golongan, dan budaya,termasuk ideologi. Ini merupakan suatukekayaan yang sudah given. Untukmengatasi mengguritanya Kapitalismedalam kehidupan kita, kita mestimenjalin kembali persatuan di antaraberbagai unsur tersebut untukmemikirkan dan merasakan kembalikohesi sosial kita sebagai sebuahbangsa yang mandiri, utuh, danberdaulat. Inilah konsensus kita tentang“Persatuan Indonesia.” Di sini negaradan rakyat, negeri maupun swasta,dapat bahu-membahu membangunbangsa secara bersama-sama.

Kita bisa saja mengajukankembali Negara Kesejahteraan alaKeynesian. Sedemikian rupa, sehinggaalat-alat produksi harus diorganisasikanmenurut kebutuhan masyarakat yangsecara struktural akan mendorongupaya untuk peningkatan teknologi atasalat produksi itu sendiri. Yang padasaatnya, dapat memberikankesejahteraan secara merata untukseluruh rakyat Indonesia. Inilahkonsensus kita tentang “Keadilan sosialbagi seluruh rakyat Indonesia.”

Kekuatan negara dan rakyat taditidak bisa kita lakukan secara ad hoc.Harus ada usaha-usaha ‘persambunganlidah’ dari dua kekuatan tersebut,sehingga dapat diramu menjadi suatukeseimbangan sosial-politik-ekonominasional yang ajeg. Di sinilahdiperlukannya institusi-institusi yangmelaksanakan, mengawasi, danmengawal pembangunan. Ini dapat

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam11

berupa kementerian-kementerian,DPR/DPRD, Komisi-komisi sepertiKPK dan Komnas HAM, LSM-LSM,media, dll. Dalam teori politik ekonomi,konon ini disebut sebagai aliraninstitusionalisme. Namun ini dapat kitasandarkan pada konsensus kita yangberbunyi, “Kerakyataan yang dipimpinoleh hikmahkebijaksanaan/perwakilan.”

Semua ide, kegiatan, danpengawasan pembangunan itu haruskita landasi dengan kemanusiaansebagai pusat perhatian kita; bukanpada akumulasi modal, dan lain-lain.Sebab dengan manusialah kita salingmembantu dan saling bergaul. Tentu halitu harus kita lakukan dalam kerangkakeadaban (civility). Di sini kita punpunya sandarannya, yaitu konsensustentang “Kemanusiaan yang adil danberadab.”

Dan akhirnya, kita semuadinaungi oleh kepercayaan kepadaYang Maha Luhur, yang adi-material,yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dia-lahtujuan kita hidup dan cara kita hidup.Karena Dia jualah asal kita hidup.Dengan demikian, segala hal yangbersifat material dan kapital bukanlahtujuan kita. Tujuan kita, sekali lagi,adalah seperti tersebut dalam konsensuspertama kita, “Ketuhanan Yang MahaEsa.”

Demikianlah, Pancasila bisakembali menjadi sakti apabila kitaterjemahkan dalam kehidupan kita

secara murni dan konsekuen, termasukdalam mengatasi Kapitalisme.

C. KesimpulanAda beberapa hal yang dapatdisimpulkan dari pemaparan di atas:

1. Secara ekologis, Kapitalismemengancam kelestarian lingkunganoleh sifatnya yang bersifat mencariuntung dengan berbagai cara.

2. Secara individual, Kapitalismetidak membuat adanyakebahagiaan.

3. Secara sosial, Kapitalisme telahmembuat adanya kekacauan sosial.

4. Secara ekonomis, Kapitalismebukannya menguntungkan, tetapijustru merugikan rakyat.

5. Secara historis, di IndonesiaKapitalisme telah menyengsarakanrakyat, karena adanyaimperialisme Belanda, utang luarnegeri, dan modal asing.

6. Secara futurologis, Indonesiatengah diancam oleh pasar bebaskawasan dan global.

7. Secara proyektif, kita haruskembali menegaskan kedirian kitasebagai bangsa yang mandiri, yangkohesif, dan menjunjung tingginilai-nilai luhur sepertikebersamaan, senasibsepenanggungan, tepa selira,gotong royong, dll., jauh darisikap-sikap Kapitalistik.

8. Pancasila tetap relevan untukmenanggulangi Kapitalisme.

Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam12

DAFTAR PUSTAKABoeke, J.H. Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified by

Indonesia. Haarlem: H.D. Tjunk Willink & Zoon N.V., 1953.Donella H. Meadows, Dennis L. Meadows, Jorgen Randers, and William W.

Behrens III. Beyond the Limits, 1993.———. Limits to Growth: The 30-Year Update, 2004.Hirsch, Fred. The Social Limits to Growth. London: Routledge & Kegan Paul, 1977.J.H, Boeke. The Structure of Netherlands Indian Economy. New York: Institute of

Pacific Relations, 1942.Layard., Richard. Happiness: Lessons From a New Science. New York: Penguin

Press, 2005.Lewis, Oscar. “Culture of Poverty.” Dalam Daniel P. Moynihan, On Understanding

Poverty: Perspectives from the Social Sciences. New York: Basic Books,1969.

Marx, Karl. CapitaI, 3 vol., vol. I. Moscow: Foreign Languages Publishing House,1887.

———. “Critique of the Gotha Programme.” Selected Works, II,. Dalam EssentialWritings of Karl Marx, diseleksi oleh David Caute. London: Panther, 1967

———. Grundrisse: Foundations of the Critique of Political Economy (RoughDraft). Diterjemahkan oleh Martin Nicolaus. Harmondsworth: PenguinBooks, 1973.

Mohamad, Goenawan. “Demokrasi dan Disilusi." Orasi Ilmiah dalam AcaraNurcholis Madjid Memorial Lecture (NMML), Universitas Paramadina, 23Oktober 2008.

Riggs, Fred W. Administration in Developing Countries: The Theory of PrismaticSociety. Boston: Houghton Mifflin Company, 1964.

Rostow, W. W. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto.Cambridge: Cambridge University Press, 1960.

Smith, Adam. The Wealth of Nations. Diterjemahkan dan Introduction by ProfessorEdwin R. A. Seligman. London: J. M. Dent & Sons Ltd., 1910.

UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.