bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah i.pdf · sidang ptun yang berlangsung terhadap kasus...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Seiring laju perkembangan pertumbuhan perekonomian yang semakin
pesat khususnya pada daerah-daerah yang sedang berkembang, kebutuhan akan
tanah semakin meningkat. Baik itu untuk lahan industri, agraris, permukiman atau
bahkan perkantoran instansi pemerintahan termasuk pemerintah daerah semuanya
memerlukan tanah. Terdapat beberapa kota-kota besar yang laju tingkat
perekonomiannya begitu pesat, namun tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan
di daerahnya.
Penyerobotan tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau lazim disebut
Tanah Negara yaitu tanah yang belum dihaki dengan dengan hak-hak perorangan
beserta tanah-tanah hak yaitu tanah yang sudah punya hak-hak atas tanah primer
seperti misalnya hak milik, hak pakai, hak guna usaha, hak guna bangunan dan
lain-lain begitu marak terjadi.1 Termasuk tanah-tanah yang dalam penguasaan
daerah seperti misalnya tanah-tanah yang benar-benar telah menjadi aset daerah
atau pun tanah-tanah yang belum menjadi aset daerah akan tetapi diklaim sebagai
tanah aset daerah.
Kondisi seperti ini tentu akan menimbulkan permasalahan baru bagi
pemerintah daerah. Pada saat ini banyak dari tanah-tanah yang diduduki oleh
sekelompok masyarakat merupakan tanah negara serta tanah yang masuk sebagai
1
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal.271.
1
tanah aset milik pemerintah daerah. Jika kondisi ini tidak segera diselesaikan
maka tidak menutup kemungkinan akan berpotensi menimbulkan konflik sengketa
agraria kedepannya.
Istilah aset pada awalnya merupakan istilah ekonomi, sehingga tidak
dijumpai dalam istilah hukum dan karenanya belum menjadi konsep hukum.
Dalam kamus ekonomi, kata aset atau aset berarti Aktiva, yaitu segala sesuatu
yang bernilai komersial yang dimiliki oleh sebuah perusahaan atau individu. Bisa
dibagi ke dalam aktiva lancar, investasi, aktiva tetap, aktiva tidak berwujud
(seperti hak cipta).2
Istilah aset baru menjadi konsep hukum ketika diberikan pengertian dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan. Pada Lampiran II dari peraturan tersebut memberikan definisi aset,
bahwa “Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk
sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi
masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara karena alasan
sejarah dan budaya.”3
Istilah tanah aset daerah harus dibedakan dengan tanah negara. Hal ini
penting, karena masih ada persepsi yang merancukan keduanya. Dalam
perkembangannya, penggunaan istilah tanah pemerintah dan/atau tanah aset
2 Sumadji P, dkk, 2006, Kamus Ekonomi, Wipress, Tanpa Kota, hal.63.
3 Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
daerah dirancukan dengan istilah tanah negara. Oleh Maria S.W. Sumardjono,4 hal
ini dicontohkan, tentang kasus tanah Pertamina Plumpang yang digugat oleh para
penggarapnya. Dinyatakan bahwa dalam kasus pendudukan tanah-tanah oleh
penggarap tersebut, para penggugat atau penggarap mendalilkan bahwa tanah
tersebut merupakan tanah negara. Pengadilan Negeri Jakarta Utara berpendapat
bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara, sedangkan Pengadilan Tata Usaha
Negara berpendapat tanah tersebut tanah pemerintah. Demikian pula mengenai
sidang PTUN yang berlangsung terhadap kasus tanah Jatimulyo dan Way Huy di
Lampung Selatan yang mempersoalkan apakah status tanah pertanian seluas 3 Ha
tersebut benar-benar tanah negara sebagaimana disebutkan dalam Surat
Keputusan Mendagri. Dari kedua contoh kasus tersebut nampak terlihat masih
begitu beragam pemahaman hakim pengadilan umum dan pengadilan tata usaha
negara dalam mengadili perkara yang menyangkut mengenai penguasaan tanah
Negara ataupun tanah pemerintah daerah.5
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), penguasaan
tanah-tanah Negara diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953
tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1953 antara lain memuat tentang Ketentuan-ketentuan Khusus pada Pasal 12,
yaitu bahwa kepada Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas Tanah
Negara oleh Menteri Dalam Negeri, dengan tujuan untuk kemudian diberikan
kepada pihak lain dengan sesuatu hak menurut ketentuan Menteri Dalam Negeri
4
Maria S.W, Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,
Kompas, Jakarta, hal.59. 5 Ibid.
yang sekarang Badan Pertanahan Nasional. Daerah Swatantra dalam Pasal 1 huruf
c Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, ialah daerah yang diberi hak untuk
mengatur rumah tangganya sendiri sebagai yang dimaksud dalam Pasal 131
Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Lebih lanjut tentang daerah
swatantra yang juga disebut daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang menyebut Daerah
Otonom itu sebagai Daerah Swatantra yang terdiri dari tiga tingkat Daerah
Swatantra dengan otonomi seluas-luasnya, yaitu Tingkat I termasuk Kotapraja
Jakarta Raya; Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Sampai dicabutnya
Undang-undang tersebut Daerah Swatantra Tingkat III belum sempat terbentuk.6
Setelah mengalami beberapa pergantian Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah, maka terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa daerah dibagi atas Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang masing-masing memiliki pemerintahan
daerah tersendiri.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, untuk menyelenggarakan penertiban di
dalam rangka melaksanakan konversi menurut ketentuan Undang-Undang Pokok
Agraria, terhadap tanah-tanah Negara yang dikuasai dengan hak penguasaan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 telah
ditegaskan statusnya sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan Menteri Agraria
Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah
6 Andi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI,
Gaya Media Pratama, Jakarta, hal.87-88.
Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Pelaksanaan Selanjutnya. Dalam
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tersebut antara lain menyatakan,
bahwa Penguasaan Atas Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, yang telah diberikan kepada Departemen-
departemen, Direktorat-direktorat, dan Daerah-daerah Swatantra, sepanjang tanah-
tanah Negara tersebut dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri
dikonversi menjadi Hak Pakai. Namun apabila penguasaan Tanah Negara tersebut
selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan
juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak
penguasaan atas Tanah Negara tersebut di atas dikonversi menjadi Hak
Pengelolaan.7
Pengaturan lebih lanjut dari Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun
1965 tersebut adalah Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang
Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria
Nomor 1 Tahun 1966 menyatakan, bahwa Hak Pakai yang diperoleh Departemen-
departemen, Direktorat-direktorat dan Daerah-daerah Swatantra, dan Hak
Pengelolaan sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun
1965 harus didaftar.8
Tanah dalam penguasaan daerah atau lebih sering disebut tanah aset
daerah lahir dari tanah negara. Tanah aset daerah maupun tanah negara lahir dari
konsep Hak Menguasai Negara sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang
7 Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah Menemukan Keadilan,
Kemanfaatan, dan Kepastian atas Eksistensi Tanah Aset Daerah, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 9. 8 Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai
dan Hak Pengelolaan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.9 Pasal ini menjelaskan
bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah
pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini berarti pula bahwa
setiap hak atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya dituntut kepastian
mengenai subjek, objek, serta pelaksanaan kewenangan haknya.10
Kata-kata
dikuasai oleh negara inilah yang melahirkan konsep Hak Menguasai Negara atas
sumber daya agraria di Indonesia. Konsep hak menguasai tanah oleh negara
kemudian secara otentik dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya
disebut UUPA yang memberikan wewenang kepada negara untuk :
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Selanjutnya Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa dalam Hak Menguasai
9 Supriyadi, Op.Cit, hal 5.
10 Rusmadi Murad, 2007, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju
Bandung, hal.75.
dari Negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
Apabila mengacu pada konsep UUPA, maka pengertian “dikuasai” oleh
negara dalam hal ini bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi
wewenang kepada negara untuk mengatur. Kewenangan negara dalam bidang
pertanahan merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin
penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya.11
Isi wewenang
negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara
tersebut semata-mata bersifat publik atau wewenang untuk mengatur/wewenang
regulasi dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan
menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang
bersifat pribadi.12
Menurut Soedargo Gautama menjelaskan mengenai pengertian
menguasai ialah mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur yang dapat dipunyai
atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa
istilah dikuasai dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA bukanlah berarti dimiliki, dengan
jalan pikiran demikian jelaslah tidak ada tempat lagi untuk teori-domein, seperti
11
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media,
Yogyakarta, hal.83. 12
Muhammad Bakri, 2007, Hak menguasai tanah oleh Negara, Citra Media, Yogyakarta.
hal.5.
dikenal dalam susunan hukum agraria sediakala karena asas domein verklaring
telah dilepaskan dan menyesatkan.13
Pada tanggal 14 Januari 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam Undang-Undang tersebut
mengatur mengenai istilah barang milik negara/daerah. Pada bagian ketentuan
umum Undang-Undang ini menjelaskan bahwa barang milik negara/daerah adalah
semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/APBD atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah. Barang yang dimaksud dapat berupa barang
bergerak maupun barang tidak bergerak. Tanah dalam Undang-Undang tersebut
termasuk dalam klasifikasi barang tidak bergerak. Hal ini dapat dilihat berawal
dari ketentuan pasal yang mengatur mengenai pemindahtanganan barang milik
negara/daerah seperti dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) dan Pasal 46 ayat (1) yang
menyatakan bahwa:
(1) Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan
tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan.
(2) Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara
dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal
Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa:
(1) Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
dilakukan untuk:
a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini
tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang:
1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti
sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran;
3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
13
Soedargo Gautama, 1993, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung,
hal.92-93.
4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap dan/ atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya
dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
c. pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau
bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
Sehubungan dengan munculnya istilah Barang Milik Negara dan Barang
Milik Daerah pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, terlebih
lagi Pasal 46 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara menyatakan tanah termasuk sebagai barang milik
Negara/Daerah dan pemindahtanganannya dilakukan dengan jual beli, tukar
menukar, hibah serta penyertaan modal pemerintah sesuai Pasal 45 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka
telah timbul masalah hukum berkaitan dengan Konsep Hak Menguasai Negara
atas Tanah dan penolakan atas Konsep Memiliki Negara atas Tanah berdasarkan
Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia juncto Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria. Berdasarkan uraian diatas maka telah terjadi disharmonisasi
norma antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria jo. Pasal 33 ayat (3)
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari persoalan ini akan muncul ketika ada
seorang individu atau sekelompok masyarakat yang menduduki tanah negara
dalam jangka waktu yang lama. Seiring berjalan waktu, tentu orang tersebut
menginginkan kepastian hak atas tanah yang didiaminya selama sekian tahun
dengan cara memohon hak atas tanah negara. Jika tanah yang dimohonkan
merupakan tanah negara maka orang tersebut dapat memohonkan hak milik atas
tanah melalui mekanisme permohonan hak atas tanah dan pemberian hak atas
tanah oleh Badan Pertanahan Nasional. Akan tetapi jika tanah yang dimohonkan
merupakan tanah yang diklaim sebagai tanah aset daerah atau memang merupakan
tanah aset daerah yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan otentik dari
pemerintah daerah setempat maka mekanisme permohonannya adalah melalui
pemindahtanganan yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar, hibah
dan penyertaan modal pemerintah antara pemerintah selaku pemilik barang milik
daerah berupa tanah dengan pihak pemohon.
Kemudian permasalahan hukum kedua dalam tesis ini adalah berkaitan
dengan apakah pengaturan tentang pemindahtanganan barang milik daerah berupa
tanah dapat menjamin masyarakat yang menguasai secara fisik atas barang milik
daerah berupa tanah dalam waktu yang lama, mampu memperoleh hak milik atas
tanah?
Dalam penelitian ini dipilih istilah hukum pemindahtanganan karena objek
dari penelitian ini merupakan tanah yang termasuk dalam kategori barang milik
daerah berupa tanah yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Jadi apabila barang milik daerah berupa tanah
hendak dialihkan kepemilikannya, maka berdasarkan Pasal 45 dan Pasal 46
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
pengalihan tersebut dilakukan dengan cara pemindahtanganan.
Dalam penelitian ini, saya telah membandingkan dengan beberapa
penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang tanah aset pemerintah daerah.
Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain:
1. Jurnal penelitian dari Supriyadi dan Subadi, Staf Pengajar Ilmu Hukum
Universitas Merdeka Madiun, Tahun 2001, dengan judul: “Tanah Aset
Daerah Dalam Perspektif Konstitusi”. Rumusan masalah yang terdapat
dalam jurnal penelitian ini adalah :
a). Bagaimanakah kajian hukum mengenai Tanah Aset Pemerintah
Daerah dari perspektif konstitusi ?
b). Bagaimanakah sistem pengelolaan dari Tanah Aset Pemerintah
daerah ?
Simpulan dari permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian jurnal
tersebut adalah :
a). Penguasaan dan pengelolaan Tanah Aset Daerah berasaskan
publiekrechtelike yang meliputi kewenangan mengadakan kebijakan
(beleid) dan tindakan untuk pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad).
b). Telah terjadi pergeseran internal dalam UUPA yaitu; a) Bergesernya
asas hubungan hukum publik (publiekrechtelijke) antara Negara
dan/atau Daerah dengan tanah, menjadi adanya hubungan yang
bersifat hubungan hukum privat (privaatrechtelijke) antara Negara
dan/atau Daerah dengan tanah.
c). Pergeseran eksternal terjadi akibat adanya pergeseran internal dalam
UUPA yaitu; a) antara UUPA dengan peraturan perundang-
undangan di luar UUPA; b) dan semakin jauh pergeseran terjadi
atas subyek-subyek pelaksana Hak Menguasai negara atas tanah,
Hak Pakai, Hak Pengelolaan yang beraspek hukum publik, bergeser
ke aspek hukum Privat dalam peraturan perundang undangan di luar
UUPA.
d). Kebijakan daerah tentang pengelolaan Tanah Aset Daerah pada
umumnya telah sinkron dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya yaitu; a) dengan Perda tentang ijin menempati tempat-
tempat tertentu yang dikuasai Pemerintah Daerah; b) Tanah-tanah
dengan Hak Pendahuluan yang semula berasal dari; tanah Negara
bekas hak Eigendom atas nama Stadsgemeente, tanah Negara bebas
dalam penguasaan Daerah berdasarkan pengakuan dari masyarakat
serta pengakuan dari BPN yang berupa sikap diam-nya terhadap
penguasaan tanah tanah Negara oleh Daerah, tanah bekas Hak
Eigendom harus telah jelas batas, luas, dan status tanahnya,
sedangkan pendaftaran menjadi Hak pakai, Hak Pengelolaan tidak
menghalangi hak penguasaan oleh Daerah menjadi tanah Aset
Daerah.
2. Skripsi dari Muh. Afif Mahfud, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, dengan judul: “Status Hukum Tanah Aset Daerah Dari
Konversi Tanah Belanda Yang Tidak Disertifikatkan Di Kota
Makassar”. Rumusan masalah yang terdapat dalam jurnal penelitian ini
adalah :
a). Bagaimanakah Status hukum tanah aset daerah dari konversi tanah
Belanda yang tidak disertifikatkan?
b). Bagaimanakah Pengamanan yuridis tanah aset daerah secara yuridis
formal ?
Simpulan dari permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian jurnal
tersebut adalah :
a) Status hukum tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda yang
tidak disertifikatkan adalah tanah negara. Tanah ini secara fisik
dikuasai oleh Pemerintah Daerah Kota Makassar dan penguasaaan
yuridis atas tanah negara tersebut pada Menteri Keuangan sebagai
pengelola tanah negara (barang milik negara). Pemerintah Kota
Makassar belum memiliki alas hak berupa surat keputusan
pemberian hak pakai atas tanah negara dan hak pengelolaan. Oleh
karena itu, Pemerintah Kota Makassar belum menjadi subjek hak
atas tanah-tanah tersebut.
b) Pengamanan yuridis tanah aset daerah secara yuridis formal
didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2006
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah ada pada
Pemerintah Kota Makassar. Pengelolaan tanah aset daerah tersebut
terwujud dalam tujuh kegiatan termasuk pengamanan yuridis.
Pengamanan yuridis dilakukan melalui penyertifikatan tanah.
Penyertifikatan tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda
sangat lambat. Bahkan, saat ini hanya terdapat satu tanah aset
daerah bekas tanah Belanda yang telah disertifikatkan. Lambatnya
pengamanan yuridis atau penyertifikatan tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu minimnya anggaran yang disediakan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dokumen yang
tidak tersimpan oleh pejabat terdahulu dan kantor yang selalu
berpindah-pindah.
Dari uraian beberapa penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan, karena fokus
dari pada kajian penelitian ini adalah lebih kepada bagaimana pengaturan
pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dengan menganalisa
beberapa peraturan Perundang-undangan yang mengatur hal yang sama terkait
pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah, sehingga tingkat originalitas
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian tentang pengaturan
pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah merupakan penelitian
dengan isu hukum yang menarik, untuk itu berdasarkan hal inilah yang
melatarbelakangi saya tertarik mengangkat penelitian ini dengan judul:
“PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK DAERAH
BERUPA TANAH UNTUK MASYARAKAT”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan, maka
perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.2.1. Bagaimanakah pengaturan tentang pemindahtanganan Barang Milik
Daerah Berupa Tanah ?
1.2.2. Apakah pengaturan tentang pemindahtanganan Barang Milik Daerah
Berupa Tanah dapat menjamin masyarakat untuk memperoleh hak milik
atas tanah ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian ini menyangkut tujuan yang bersifat umum dan
bersifat khusus, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan kajian
hukum yang berkaitan dengan pengelolaan dan penguasaan barang milik daerah
berupa tanah.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah.
b. Untuk mengetahui dan memahami apakah pengaturan tentang
pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dapat menjadi dasar
bagi masyarakat yang menguasai secara fisik atas barang milik daerah
berupa tanah dalam waktu yang lama, mampu memperoleh hak milik atas
tanah.
1.4 Manfaat Penulisan
Diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya
sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. Adapun manfaat
penelitian ini adalah:
1.4.1. Manfaat Teoritis
1. Sarana untuk menambah pengetahuan serta dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi masyarakat khusus di bidang peraturan pemindahtanganan
barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat.
2. Menambah literatur khususnya mengenai pengaturan dalam bidang
pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk diterapkan sebagai
berikut:
a. Bagi pemerintah eksekutif penelitian ini dapat dijadikan sebagai
referensi dalam hal pemindahtanganan barang milik daerah berupa
tanah yang diberikan kepada masyarakat sebagai hak milik atas tanah.
b. Bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau legislator, penelitian ini
dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka revisi atau merancang
suatu peraturan daerah yang baru khusus mengatur mengenai
pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah kepada
masyarakat sebagai hak milik atas tanah.
c. Bagi Badan Pertanahan Nasional, penelitian ini sangat bermanfaat yang
bertujuan untuk Badan Pertanahan Nasional yang notabene sebagai
institusi yang mengurus di bidang pertanahan nasional agar lebih aktif
dan intensif mengecek status tanah-tanah yang ada di lapangan.
Sehingga dapat meminimalisir adanya mal administrasi dalam proses
pengurusan tanah oleh masyarakat.
d. Bagi Satuan Polisi Pamong Praja, penelitian ini dapat menjadi salah
satu pedoman dalam menegakkan Peraturan Daerah yang mengatur
mengenai barang milik daerah berupa tanah. Selain itu, juga bermanfaat
dalam hal langkah preventif maupun represif terhadap permasalahan
illegal occupation terhadap barang milik daerah berupa tanah di
daerahnya.
e. Bagi masyarakat penelitian ini dapat bermanfaat ketika menghadapi
permasalahan dalam proses pemindahtanganan barang milik daerah
berupa tanah yang ia mohonkan kepada pemerintah.
f. Bagi saya sendiri, penelitian ini selain sebagai syarat dalam
menyelesaikan studi akhir di Magister Kenotariatan Universitas
Udayana juga bermanfaat untuk menambah wawasan khususnya di
bidang pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah.
1.5 Landasan Teoritis
Dalam tesis ini akan menggunakan beberapa teori-teori dan konsep yang
mendukung dan relevan dengan topik penulisan yang dibuat. Dalam
menerangkan dan menjelaskan secara spesifik suatu permasalahan yang terjadi
maka diperlukan suatu teori, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta–fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Sebagai alur
penalaran atau logika (flow of reasonic/logic), teori juga terdiri dari seperangkat
konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.14
Adapun teori yang digunakan adalah Teori Negara Hukum, Teori Perundang-
undangan dan Teori Harmonisasi Hukum. Dalam tesis ini juga menggunakan satu
konsep yang menunjang analisa terhadap permasalahan yang dikaji. Konsep yang
digunakan adalah konsep penguasaan pemerintah terhadap barang milik daerah
berupa tanah
1.5.1 Teori
a. Teori Negara Hukum
Berdasarkan amanat konstitusi pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Secara garis besar dapat pula di simpulkan
bahwa segala kekuasaan yang dimiliki dan dijalankan oleh negara adalah
berlandaskan kedaulatan hukum.15
Istilah Negara hukum berkaitan dengan paham
14
J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, h.
194
15 E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHPM Univ.
Negeri Padjajaran, Cet.ke-4, Bandung, hal.21-22.
rechtsstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan paham nomocracy yang
berasal dari perkataan nomos dan kratos, nomos berarti norma, sedangkan kratos
adalah kekuasaan, ialah kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum.16
Istilah
“rechtstaat” mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang
itu sudah lama adanya. Istilah “the rule of law” mulai populer dengan terbitnya
sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul “Introduction to the
study of the law of the constitution”.
Adapun unsur-unsur rechtstaat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius
Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Barat Kontinental sebagai berikut:17
a) Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
b) Adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika Montequieu;
c) Tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang;
d) Adanya peradilan administrasi negara.
Sedangkan di sisi yang lain, AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo
Saxon memberikan unsur-unsur dari pada the rule of law sebagai berikut:18
a) Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) tidak ada
kekuasaan yang sewenang-wenang di tangan eksekutif, semuanya
berdasarkan pada hukum;
b) Tidak seorangpun yang kedudukannya di atas hukum, atau kedudukan
yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law);
16
Jimly Assidiqie, 2005, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, hal. 151.
17 A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayumedia Publishing,
Malang, Jawa Timur, hal. 42. 18
A.V. Dicey, 1959, An Introduction to Study of Law of the Constitution, Mac Millan &
Co. London, hal.117, diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi,
Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, hal. 251-261.
c) Perlindungan/penjaminan hak akan kebebasan individu yang
didasarkan pada Konstitusi (the constitution based on individual
rights).
Sistem hukum Indonesia seasas dengan sistem hukum di negara-negara
Eropa Barat Kontinental. Secara garis besar dapat pula di simpulkan bahwa segala
kekuasaan yang dimiliki dan dijalankan oleh negara adalah berlandaskan
kedaulatan hukum. Di Indonesia sendiri berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat).19
konsep negara hukum disamakan
begitu saja dengan konsep rechtsstaats dan the rule of law, ini merupakan sesuatu
yang wajar karena jika ditarik secara garis historis, Indonesia pertama kali
mengenal konsep rechtstaat ataupun istilah negara hukum dari bangsa Belanda
yang kala itu menduduki wilayah Indonesia dan memberlakukan konsep
rechtsstaat, yang pada perkembangan selanjutnya utamanya sejak perjuangan
menumbangkan periodisasi orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan
the rule of law.20
Berdasarkan kedua teori Negara hukum klasik yang dikemukakan oleh F.J.
Stahl dan AV.Dicey maka Indonesia masuk dalam kategori negara hukum. Hal ini
dikarenakan unsur-unsur negara hukum tersebut sudah terkandung dalam
beberapa Pasal pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 diantaranya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warga negara
19 Sjahran Basah,1997, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrsi di
Indonesia,Cetakan Ketiga, Alumni Bandung, hal. 2. 20
Philipus M.Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Bina Ilmu, Surabaya, hal.66-67.
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28 D
ayat (1) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang sama dihadapan hukum. Begitupun juga
terkait dengan asas legalitas yang juga merupakan salah satu unsur dari negara
hukum juga diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Berkenaan
dengan unsur dibentuknya peradilan administrasi, Pasal 24 ayat (2) UUD NRI
1945 menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan yang
berwenang mengadili segala tindakan pemerintah yang berhubungan dengan
keputusan tata usaha negara yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara. Unsur
adanya peradilan administrasi/peradilan tata usaha negara merupakan salah satu
unsur dari negara hukum klasik yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl.
Indonesia tidak seyogyanya begitu saja mengalihkan konsep the rule of
law atau konsep rechtstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia,
karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri
yaitu konsep “Negara Hukum Pancasila”. Philipus M. Hadjon berpendapat
bahwa, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata
Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas demokrasi serta dasar
negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila maka
secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah “Negara Hukum
Pancasila”.21
Lebih rinci disebutkan bahwa unsur-unsur Negara Hukum Pancasila
adalah sebagai berikut:
a. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan nasional;
b. hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara;
c. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir;
d. keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Semakin banyaknya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat,
bagi negara hukum modern seperti Indonesia tindakan pemerintah tersebut jelas
harus dilandasi aspek-aspek hukum agar tindakan pemerintah tersebut tidak
menimbulkan konflik dikemudian hari. John Austin menyatakan bahwa : “The
most essential characteristic of positive law, consists in it’s imperative character.
Law is conceived as a command of the sovereign”.22
Bahwa hukum adalah
perintah dari penguasa negara dimana hakikat dari hukum itu sendiri terletak pada
unsur perintah.
Dalam negara hukum, apa yang menjadi dasar pembentukan suatu
pemerintahan didasarkan atas hukum yang berlaku. Sampai saat ini ada dua cara
yang dapat dipergunakan untuk menelusuri suatu negara dikatakan sebagai negara
21
I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal.162 22 H.Mc.Coubrey and N.D.White, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press
Limited, London, Page.14.
hukum, yaitu yang pertama melalui konstitusi dari negara yang bersangkutan. Hal
ini seperti yang diungkapkan oleh K.C. Wheare yang menyatakan “what should a
constitution contains? The very minimum, and minimum to be rules of law” (isi
minimum suatu konstitusi adalah tentang negara hukum).23
Kedua berdasarkan
pandangan ilmiah dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan
unsur-unsur/ciri-ciri dari suatu negara hukum.24
Teori negara hukum ini sangat relevan untuk menjadi landasan pada
setiap penelitian yang berkaitan dengan regulasi maupun kebijakan hukum yang
bersifat publik. Seperti misalnya dalam penelitian tesis ini yang mengkaji
permasalahan tentang pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa
tanah untuk warga masyarakat, dalam pengaturan ini para pengambil kebijakan
dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi unsur-
unsur dari pada negara hukum seperti misalnya unsur setiap tindakan pemerintah
harus berdasarkan Undang-Undang dan kemudian unsur adanya jaminan
perlindungan hak asasi manusia, agar peraturan yang dibuat dapat diterima dan
dilaksanakan sebagaimana mestinya di masyarakat.
b. Teori Perjenjangan Norma
Hukum yang ada pada suatu negara khususnya Indonesia harus tersusun
secara sistematis dan berjenjang. Dalam setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan dikenal teori hierarki norma atau penjenjangan norma atau biasa disebut
teori Stufentheorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teorinya Hans
23 K. C. Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York, Page.
33-34 24 Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta,
hal.36.
Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki atau tata sususan dalam arti suatu norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar atau Grundnorm. Norma
dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma dan norma tersebut
tidak dibentuk dari norma lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan
bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu
dikatakan pre-supposed.25
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu
bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah norma
hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah
daripadanya dan dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang
tertinggi yaitu norma dasar itu menjadi tempat bergantunganya norma-norma
dibawahnya, sehingga apabila norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah
sistem norma yang ada dibawahnya.
Salah satu murid Hans Kelsen yaitu Hans Nawiasky mengembangkan teori
gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara, menurut
Nawiasky suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang. Norma yang berada dibawah berlaku, bersumber, dan berdasar
pasa suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Hans Nawiasky juga
berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis, norma itu juga berkelompok-
25 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan Jenis , Fungsi dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 41.
kelompok, dan pengelompokan norma menurut Hans Nawiasky terdiri dari empat
yaitu: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), Staatsgrundgesetz
(Aturan Dasar atau Aturan Pokok Negara), Formell Gesetz (Undang-Undang
Formal), Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana / Aturan Otonom)”.
Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari
suatu Negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum
suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau
undang-undang dasar. Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi
yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu Negara
sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan
Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Grundnorm mempunyai
kecenderungan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu
Negara norma fundamental Negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena
adanya pemberontakan, kudeta dan sebagainya.
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, Abdul Hamid Saleh Attamimi
membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur
dan tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S.
Attamimi menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen dan Hans Nawiasky
tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan
struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans
Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah :26
26
Ibid, hal.48
1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD NRI 1945);
2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD NRI 1945, TAP MPR, dan
Konvensi Ketatanegaraan;
3. Formell Gesetz : Undang-Undang;
4. Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari
Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya hierarki
peraturan perundang-undangan. Hierarki peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
Selanjutnya mengenai peraturan perundang-undangan lainnya yang
ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) yaitu :
“Jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau
pemerintah atas pemerintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Teori perjenjangan norma ini sangat penting digunakan dalam penelitian
ini karena selain untuk mengidentifikasi peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai tata cara pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah
juga dapat sebagai dasar dalam penyelesaian masalah konflik norma, norma
kosong, norma kabur dan disharmonisasi norma. Misalnya dalam penelitian ini
terdapat disharmonisasi norma akibat dari adanya inkonsistensi norma secara
vertikal antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
c. Teori Harmonisasi Hukum
Dalam uraian diatas terdapat kesimpulan awal bahwa terdapat
permasalahan hukum yaitu adanya disharmonisasi norma akibat dari adanya
inkonsistensi secara vertikal antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 33 ayat (3) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Maka dari
itu dalam rangka untuk menunjang penyelesaian permasalahan tersebut,
diperlukan teori harmonisasi norma agar norma yang bermasalah dapat selaras.
Penggunaan istilah “harmonisasi” lazim dipakai dalam bidang seni musik
untuk memperlihatkan permainan instrumen nada, perpaduan, kerjasama yang
selaras sehingga menghasilkan nada indah dan harmoni. Istilah harmonisasi yang
dimaknai sebagai suatu penyelarasan telah merambah ke dalam bidang hukum.
Hukum dalam konsep pembaharuan masyarakat merupakan alat untuk
memelihara keseimbangan, keselarasan, keserasian dan ketertiban dalam
masyarakat. Pengharmonisasian Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,
sebenarnya bukanlah merupakan suatu konsep baru, melainkan sudah berjalan
atau dilaksanakan cukup lama oleh pembuat kebijakan (penyusun
peraturan perundang-undangan), yaitu telah ada sebelum dilakukannya
perubahan/amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Berbagai peraturan perundang-undangan memerlukan harmonisasi guna
menghindarkan saling tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan,
baik antar instansi pemerintah Pusat maupun antara Pusat dan Daerah. Upaya
harmonisasi diperlukan mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku
harus disesuaikan dengan berbagai perubahan yang telah terjadi dalam sistem
hukum Indonesia, terutama setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 yang
sangat menentukan arah kebijakan hukum nasional, karena merupakan peraturan
perundang-undangan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan
Indonesia.
Namun demikian Disharmonisasi hukum dapat saja terjadi jika terdapat
ketidakselarasan antara satu norma hukum dengan norma hukum yang lain.
Menurut pengamatan L.M. Lapian Gandhi terhadap praktik hukum di Indonesia,
ada sejumlah penyebab timbulnya disharmonisasi itu. Ia menyinggung 8 (delapan)
faktor, yakni:27
1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundang-
undangan. Selain itu jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan
kesulitan untuk mengetahui atau mengenal semua peraturan tersebut.
Dengan demikian pula ketentuan yang mengatakan bahwa semua orang
dianggap mengetahui semua undang-undang yang berlaku niscaya tidak
efektif.
2. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan
3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijkan instansi
pemerintah. Kita kenal dengan juklak yang malahan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang akan dilaksanakan.
4. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi
dan surat edaran mahkamah agung.
5. Kebijakan-kebijakan instansi pemerintah pusat yang saling bertentangan.
6. Perbedaan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan rumusan pengertian tertentu.
8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian
wewenang yang tidak sistematis dan jelas.
27 L.M. Gandhi, “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif” Pidato
pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 14 Oktober 1995, hlm. 10-11.
Namun demikian, menurut Sidharta pada saat melakukan harmonisasi,
dapat terjadi beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya disharmonisasi
dalam sistem hukum yaitu:28
a. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi format peraturan yakni peraturan
yang hierarkinya lebih rendah bertentangan dengan hierarki peraturan yang
lebih tinggi, misalnya antara peraturan pemerintah dengan undang-undang.
b. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa peraturan
yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu berlaku daripada yang
lain.
c. Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi peraturan, yakni
beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi peraturan
yang satu lebih umum dibandingkan substansi peraturan lainnya.
d. Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi dalam satu peraturan
yang sama, misalnya ketentuan pasal 1 bertentangan dengan ketentuan pasal
15 dari satu undang-undang yang sama.
e. Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda, misalnya
antara undang-undang dan putusan hakim atau antara undang-undang dan
kebiasaan.
Disharmoni biasanya terjadi dalam tataran normatif, norma atau kaidah
adalah peraturan yang memiliki rumusan yang jelas untuk dijadikan pedoman
28
Shidarta, 2005, “Kerangka Berpikir Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Dalam Pengelolaan Pesisir”, dalam buku Jason M. Patlis dkk. (ed.), Menuju Harmonisasi Sistem
Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, diterbitkan oleh Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dep. Kelautan dan perikanan, Dep. Hukum dan
HAM, bekerjasama dengan Mitra Pesisir (Coastal Resources Management Project), Jakarta,
hlm.62.
perilaku. Terdapat peraturan yang lebih abstrak dari norma yaitu asas, dan diatas
asas terdapat aturan yang paling abstrak yaitu nilai. Jika disusun hierarkis , maka
asas sebenarnya lebih tinggi kedudukannya dari norma. Atas dasar hal itu maka
jika terjadi disharmoni antara norma-norma hukum, solusi penyelesaiannya adalah
dengan menerapkan asas-asas hukum.
Disharmoni peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat
dipisahkan dari problematika dasar konstitusi Indonesia. Artinya, pemahaman
terhadap persoalan dasar itu harus terlebih dulu diletakkan pada landasannya,
sebelum analisis ke arah harmonisasi peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU, baik yang
berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari DPR. Selain itu diatur pula
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi semua rancangan
peraturan perundang-undangan, dari RUU, RPP, Perpres, sampai dengan
Raperda, baik Raperda Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Adapun pengaturan
secara terperinci pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi
peraturan perundang-undangan, khususnya Rancangan Undang-Undang
berdasarkan UU No. 12 Tahun 2001, dalam pembahasan ini pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU (RUU yang berasal dari DPR)
Sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011
bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
Dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR
RI (TATIB DPR), Pasal 60 menegaskan bahwa salah satu tugas Badan
Legislasi DPR RI adalah melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pematapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota,
komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut
disampaikan DPR.
Dalam melakukan kajian pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi aspek yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
a) Aspek Dasar Hukum (Yuridis-Konstitusional dan Yuridis-Normatif),
yaitu: Dasar konstitusionalitas pembentukan RUU yang akan
diharmonisasi; Tap MPR yang mendelegasikan atau berkaitan langsung
dengan RUU dimaksud (apabila ada); Undang-Undang yang berlaku
yang mengatribusikan/memerintahkan atau yang memiliki korelasi
positif dengan RUU yang diharmonisasi.
b) Aspek Yuridis-Formil
Secara formil RUU yang diharmonisasi harus sesuai dengan ketentuan
Pasal 20 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (2) dan
Pasal 109 ayat (1) Tata Tertib DPR RI terkait dengan hak inisiatif Dewan
dalam pengajuan suatu RUU. Selain itu, RUU yang akan
diharmomisasi sudah masuk dalam list atau daftar Prolegnas Prioritas
Tahun berjalan, dan ketika diajukan untuk diharmonisasi sudah dilengkapi
dengan draft RUU dan Naskah Akademik, hal ini sesuai dengan UU No.
12 Tahun 2011 Jo UU No. 27 Tahun 2009 dan Pasal 99 ayat (6) TATIB
DPR.
c). Aspek Yuridis-Materiil
Secara materil, kajian pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi RUU secara garis besar dibagi ke dalam 2 (dua)
bagian, yaitu:
i. hal-hal yang bersifat teknis (aspek teknis legal drafting berdasarkan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dan asas-asas teknik
pembentukan peraturan perundang-undangan, redaksional dan
sistematika/struktur); dan
ii. hal-hal yang bersifat substantif (hal ini berkaitan dengan
harmonisasi substansi RUU dengan UUD 1945, Peraturan
Perundang-Undangan yang terkait, dan harmoinisasi antar pasal atau
bagian atau materi muatan dalam RUU, serta untuk dilakukan
pembulatan dan pemantapan konsepsi).
1.5.2 Konsep
Dalam setiap penelitian hukum normatif lazimnya selalu dilakukan
pendekatan undang-undang terlebih dahulu. Langkah selanjutnya untuk dapat
menjelaskan norma harus diawali dengan pendekatan konseptual karena norma
sebagai suatu bentuk proposisi tersusun atas rangkaian konsep. Dengan demikian
kesalahan konsep mengakibatkan alur nalar sesat dan kesimpulan yang
menyesatkan.29
Dalam tesis ini menggunakan konsep penguasaan pemerintah
terhadap barang milik daerah berupa tanah.
Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan, Satjipto Rahardjo
menyatakan: “Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan
barang yang ada dalam kekuasaannya. Pada saat itu ia tidak memerlukan
legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya. Pertanyaan yang
menunjuk kepada adanya legalitas hukum disini tidak diperlukan. Di samping
kenyataan, bahwa suatu barang itu berada dalam kekuasaan seseorang masih juga
perlu dipertanyakan sikap bathin orang yang bersangkutan terhadap barang yang
dikuasainya itu, yaitu padanya apakah memang ada maksud untuk menguasai dan
menggunakannya. Kedua untur tersebut masing-masing disebut corpus
possessionis dan animus posidendi.30
Menurut Satjipto Rahardjo, penguasaan fisik
atau penguasaan yang bersifat factual selanjutnya ditentukan oleh ada atau tidak
adanya pengakuan hukum untuk memperoleh perlindungan. Hukumlah yang
menyatakan sah atau tidak sah atas penguasaan yang dilakukan terhadap fisik
suatu barang oleh seseorang.31
Dalam kaitan dengan tesis ini, pengertian penguasaan berhubungan dengan
soal penguasaan Barang Milik Daerah berupa Tanah, dengan, mengacu pada teori
J.B.V.Proudhon tentang pembagiannya mengenai Milik Privat Negara dan Milik
Publik Negara. Pengertian „Milik‟ dalam „Milik Privat‟ dan „Milik Publik‟ tidak
sama dengan pengertian “Eigendom” dalam pengertiannya sebagai milik mutlak
29
Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, hal.39. 30
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.62. 31
Ibid
atau Property. Pengertian „Milik‟ tersebut menunjuk pada arti „Penguasaan‟ atau
Possesion. J.B.V.Proudhon adalah seorang Guru Besar bangsa Perancis, yang
pada awal abad ke-19 telah melahirkan Teori Pemisahan antara Milik Privat
(Domein Privat) dan Milik Publik (Domein Public).32
Menurut E. Utrecht, bahwa Proudhon membagi antara Milik Privat yaitu
benda-benda Milik Negara, yang digunakan secara langsung oleh aparat
pemerintah untuk menjalankan tugas-tugasnya, seperti tanah dan rumah dinas bagi
pegawai, gedung perusahaan negara, dan Milik Publik, yaitu benda-benda yang
disediakan oleh pemerintah untuk dipergunakan secara langsung oleh masyarakat,
seperti jalan umum, jembatan, pelabuhan dan sebagainya. Proudhon membuat
dikotomi Milik Publik dan Milik Privat tersebut berdasarkan penggunaan
bendanya, yaitu apabila digunakan sendiri oleh pemerintah, maka menjadi milik
privat pemerintah, namun apabila benda itu digunakan oleh masyarakat, maka
menjadi milik publik pemerintah.
Selanjutnya dinyatakan oleh E. Utrecht, bahwa menurut Proudhon, oleh
karena peraturan-peraturan mengenai Milik Privat biasa tidak berlaku bagi benda-
benda Milik Publik, maka pemerintah bukan pemilik (eigenaar) atas benda-benda
Milik Publik. Negara hanya menguasai (beheren) dan melakukan pengawasan
(toezichthouden, droit de garde et de surintendance) atas benda-benda Milik
Publik.33
Teori Proudhon inilah yang mendekati dengan rumusan Pasal 33 ayat (3)
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, walaupun tidak
secara utuh pendapat Proudhon itu sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 33 ayat
32
E. Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Pustaka Tanta
Masa, Surabaya, hal.238. 33
Ibid, hal.239.
(3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketika sudah
terkait pada persoalan penguasaan atas tanah. Hak Menguasai Negara atas Tanah
menurut Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 itu sesungguhnya tidak hanya mengenai benda-benda Milik Publik,
tetapi juga termasuk benda-benda Milik Privat.
Dasar pembagian oleh Proudhon adalah mengenai dasar hukum
penguasaan benda-benda itu oleh pemerintah atau negara. Menurut pendapat
Proudhon, bahwa hak menguasai tidak tunduk pada hukum perdata atau privat,
tetapi tunduk pada hukum publik. Hal ini bermakna dalam kaitan dengan Pasal 33
ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terhadap
benda-benda dalam penguasaan negara, baik itu milik privat maupun milik publik
sesuai konsep Proudhon, sepanjang mengenai penguasaan tanah oleh negara,
maka bersifat publik semata.
Adapun pembedaan secara tegas antara pengertian penguasaan
(possession) dan hak milik (ownership), bahwa hak menguasai atau hak
penguasaan didasarkan atas adanya hubungan antara seseorang dengan suatu
obyek. Jadi, ciri pokoknya adalah masalah kenyataan atau fakta. Dalam kaitannya
dengan penguasaan atas tanah di Indonesia, semua persoalan mengenai
penguasaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya hanya
berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu bumi dan air da kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Dalam kaitannya dengan teori Proudhon yang
membedakan antara Milik Privat sebagai benda-benda Milik Negara yang
digunakan secara langsung oleh aparat pemerintah untuk menjalankan tugas-
tugasnya, seperti tanah dan rumah dinas pegawai, gedung perusahaan negara.
Milik privat ini dalam kaitannya dengan Negara atau Daerah sebagai subjek hak
dapat diidentikkan dengan Hak Pakai sebagaimana diatur dalam UUPA.
Sedangkan Milik Publik adalah benda-benda yang disediakan oleh pemerintah
untuk dipergunakan secara langsung oleh masyarakat, seperti jalan umum,
jembatan, pelabuhan dan sebagainya. Adapun milik publik dalam hal ini identik
dengan Hak Pengelolaan dalam hukum tanah nasional saat ini.
1.6 Metode Penelitian
Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula
metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan
atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.34
Metode atau cara
pengkajian suatu masalah yang dilakukan secara deskriptif analitik yaitu
menguraikan kaidah-kaidah dalam aturan hukum yang berhubungan dengan aspek
tata cara pemindahtanganan tanah aset pemerintah daerah kepada warga
masyarakat.
1.6.1. Jenis Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan
dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan
kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada.35
34 Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Publishing, Malang, hal. 26. 35
Bambang Waluyo, 2008, Penelitian hukum dalam praktek, Sinar grafika, Jakarta, hal.
6.
Dalam penyusunan tesis ini dilakukan suatu penelitian hukum. Penelitian hukum
merupakan suatu proses menemukan hukum yang mengatur aktifitas manusia, hal
ini melibatkan penempatan yang baik itu aturan yang diselenggarakan oleh negara
dan komentar yang menjelaskan atau menganalisa aturan-aturan tersebut.36
Berdasarkan buku Legal Research oleh Morris L. Cohen & Kent C. Olson,
mereka berpendapat bahwa penelitian hukum yaitu “Legal research is an essential
component of legal practice. It is the prosess of finding the law that governs an
activity and materials that explain or analyze that law”, penelitian hukum
dikatakan sebuah komponen penting dari praktik hukum, ini merupakan proses
untuk menemukan hukum yang mengatur suatu aktifitas yang menjelaskan atau
menganalisa hukum material tersebut.37
Adapun jenis penelitian hukum yang digunakan adalah mempergunakan
jenis metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, menurut
Sunaryati Hartono, merupakan penelitian yang monodisipliner yaitu penelitian
yang digunakan untuk mengetahui dan mengenal hukum, menyusun dokumen-
dokumen hukum, menulis makalah, menjelaskan atau menerangkan
bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu, untuk
mencari asas-asas hukum, teori-teori hukum, dan sistem hukum terutama dalam
hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum yang
baru dan sistem hukum nasional (yang baru).38
Jenis penelitian ini digunakan
karena penelitian ini berangkat dari adanya disharmonisasi norma akibat dari
36 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 19.
37 Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 2000, Legal Research, In A Nutshell, West
Group,ST. Paul, Minn, Printed in the United States of America, hal.1
38
C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-
20, Edisi Pertama, Cet.I, Alumni, Bandung, hal.140-141.
terjadinya inkonsistensi norma secara vertikal antara Pasal 45 dan Pasal 46
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan
Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria yang pada dasarnya mengatur mengenai tata cara
pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat.
1.6.2. Jenis Pendekatan
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, menurut Johnny Ibrahim
dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :39
1. Pendekatan Perundang-undangan ( statute approach )
2. Pendekatan Konsep ( conceptual approach )
3. Pendekatan Analitis ( analytical approach )
4. Pendekatan Perbandingan ( comparative approach )
5. Pendekatan Historis ( historical approach )
6. Pendekatan Filsafat ( philosophical approach )
7. Pendekatan Kasus ( case approach )
Jenis pendekatan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekatan
peraturan perundang-undangan (Statute approach) dan pendekatan konseptual
(Conceptual Approach).
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), menurut Peter
Mahmud Marzuki, pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan
yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan
39 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal.300.
regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani.40
Pendekatan perundang-undangan dalam tesis ini dilakukian dengan
menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tata cara
pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat,
khususnya Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach), adalah merupakan
pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang di dalam ilmu hukum.41
Pendekatan ini digunakan untuk
mengkaji konsep dari hak menguasai Negara, konsep barang milik daerah
dan konsep tanah penguasaan daerah.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah
bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, contohnya
berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan traktat. Bahan
hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas bahan hukum primer,
40 Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenda Media Group,
Jakarta, hal.94.
41
Ibid, hal.95.
contohnya makalah, buku-buku, laporan hukum dalam bentuk akademik, tesis,
laporan dan karya tulis lain, majalah yang berhubungan dengan penelitian ini.
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang bersifat menunjang bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus, buku pegangan.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah bahan hukum
yang memiliki kekuatan mengikat, yaitu:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)
- Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043).
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 4355).
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 5234).
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
- Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan
Tanah Tanah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1953 Nomor 14; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1953 Nomor 362)
- Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3643)
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
59; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 3696)
- Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 140; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 4578);
- Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 123; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 5165);
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara atau Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 92; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5533);
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
- Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun
2011 Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah (Lembaran
Daerah Provinsi Bali Tahun 2013 Nomor 4; Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Bali Tahun 2013 Nomor 4)
- Peraturan Gubernur Bali Nomor 37 Tahun 2011 tentang Rincian
Tugas Pokok Sekretariat Daerah Provinsi Bali
- Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 500-468
tanggal 12 Februari 1996 tentang masalah Ruilslag Tanah-tanah
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang mencakup, buku-buku,
jurnal hukum, text book, majalah-majalah, surat kabar, kamus hukum,
media internet dan hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan
sebagainya.42
3. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum ini diperoleh dari ensiklopedia, kamus hukum, serta
dokumen-dokumen penunjang lainnya yang dapat mendukung maupun
memperjelas bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui kegiatan studi dokumentasi.
Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara
mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti, yang selanjutnya diklasifikasikan menurut
kelompoknya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan serta data
sekunder berupa studi dokumen pada instansi yang terkait dengan penelitian yang
dilakukan.43
1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian di analisis dengan
menggunakan teknik pengolahan bahan hukum “deskripsi, interpretasi, evaluasi,
dan sistematisasi”. Teknik deskripsi dengan menguraikan (mengabstrasikan) apa
adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum dan non
hukum yang dijumpai (fakta-fakta hukum). Dari teknik deskripsi ini
42 Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.185.
43
Irawan Soehartono, 2008, Metode Penelitian Sosiologi Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial Dan Ilmu Sosial Lainnya, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.67-68.
memperlihatkan sifat penelitian ini lebih kepada penelitian teori dan asas-asas
hukum yang relevan atau biasa disebut theoretical research. Dalam salah satu
literaturnya Terry Hutchinson menjelaskan bahwa theoretical research adalah
“Research which fosters a more complete understanding of the conceptual bases
of legal principles and of the combined effect of a range of rules and procedures
that touch on particular area of activity.”44
Teknik interpretasi menurut Sudikno
Mertokusumo merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan
penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah
dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu.45
atau penafsiran menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum secara
normatif terhadap proposisi-proposisi yang dijumpai untuk selanjutnya
disistematisasi sesuai pembahasan atas pokok permasalahan tesis ini. Selanjutnya
Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak
setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, proposisi,
pernyataan rumusan norma, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun
dalam bahan hukum sekunder. Kemudian terakhir Teknik sistematisasi adalah
upaya untuk mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum
antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak
sederajat. Hasil dari ketiga teknik analisis tersebut kemudian dilakukan analisis
menurut isinya (content analysis), serta diberikan argumentasi untuk mendapat
44 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., Sydney,
Australia, hal. 9. 45 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 61.
kesimpulan atas pokok permasalahan dalam tesis ini.46
Sehingga analisa yang
dilakukan dalam tulisan ini tidak menggunakan angka-angka untuk memberikan
jawaban berkenaan dengan pokok permasalahan melainkan berupa fakta-fakta.
Proses analisis dilakukan secara terus menerus hingga mendapatkan hasil
penelitian yang valid sesuai dengan substansi permasalahan yang diteliti.
46 Sumandi Suryabrata, 1992, Metodologi Penelitian, , CV. Rajawali, Jakarta, hal. 85.