liberalisme dalam politik islam · liberalisme islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran...

37
Liberalisme dalam Politik Islam (Menyimak Gagasan Bassam Tibi) Oleh: Muhammad Nur * Abstrak Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi, menentang teokrasi, jaminan hak-hak perempuan, hak-hak non muslim di negara Islam, pembelaan terhadap kebebasan berfikir dan kepercayaan terhadap potensi manusia. Karakteristik liberal ini sangat berseberangan dengan komunitas muslim lain yang menyebut dirinya sebagai fundamentalisme Islam. Bagi fundamentalis, Islam agama menyeluruh (holistik) baik terkait dengan hidup individu maupun komunal, baik ekonomi maupun politik; Islam untuk sepanjang zaman dan siapa saja; Quran dan Hadis sebagai pijakan utama; sistem kehidupan modern adalah jahiliyah; Pemerintah yang tidak menjalankan hukum syariah adalah jahiliyah; Sekulerisme dan nation state adalah jahiliyah; Islam adalah ideologi; Fitnah jika menerima ide-ide barat; Pentingnya jihad (revolusi menentang hal hal yang tidak islami); Hakimiyyah (hanya ada hukum tuhan dan tuhan berkuasa segalanya); Militan, fanatis, eksklusif, intoleran dan radikal merupakan jati diri kaum ini. Secara geneologis, tradisi liberalisme Islam sesungguhnya telah dimulai oleh tokoh tokoh seperti, Hassan Hanafi, Nashir Hamid Abu Zaid (Mesir), Ali Abd Raziq (Arab), Fazlur Rahman (Pakistan), Abid al Jabiri (Moroko), Mohd Arkoun (Aljazair), Abdullah Ahmed An Naim (Sudan) dan terakhir yang sangat mengguncang kenyamanan dunia Islam adalah pemikiran sekularisasi Bassam Tibi (Syiria). Key words: liberalisme, sekularisme, relasi Islam dan negara A. Liberalisme: Kecenderungan Baru Pemikiran Islam Islam secara sosiologis merupakan fenomena peradaban, kultural dan sosial. Dalam realitas sosial, Islam tidak lagi sekedar * Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Upload: others

Post on 06-Dec-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Liberalisme dalam Politik Islam (Menyimak Gagasan Bassam Tibi)

Oleh: Muhammad Nur*

Abstrak

Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi, menentang teokrasi, jaminan hak-hak perempuan, hak-hak non muslim di negara Islam, pembelaan terhadap kebebasan berfikir dan kepercayaan terhadap potensi manusia.

Karakteristik liberal ini sangat berseberangan dengan komunitas muslim lain yang menyebut dirinya sebagai fundamentalisme Islam. Bagi fundamentalis, Islam agama menyeluruh (holistik) baik terkait dengan hidup individu maupun komunal, baik ekonomi maupun politik; Islam untuk sepanjang zaman dan siapa saja; Quran dan Hadis sebagai pijakan utama; sistem kehidupan modern adalah jahiliyah; Pemerintah yang tidak menjalankan hukum syariah adalah jahiliyah; Sekulerisme dan nation state adalah jahiliyah; Islam adalah ideologi; Fitnah jika menerima ide-ide barat; Pentingnya jihad (revolusi menentang hal hal yang tidak islami); Hakimiyyah (hanya ada hukum tuhan dan tuhan berkuasa segalanya); Militan, fanatis, eksklusif, intoleran dan radikal merupakan jati diri kaum ini.

Secara geneologis, tradisi liberalisme Islam sesungguhnya telah dimulai oleh tokoh tokoh seperti, Hassan Hanafi, Nashir Hamid Abu Zaid (Mesir), Ali Abd Raziq (Arab), Fazlur Rahman (Pakistan), Abid al Jabiri (Moroko), Mohd Arkoun (Aljazair), Abdullah Ahmed An Naim (Sudan) dan terakhir yang sangat mengguncang kenyamanan dunia Islam adalah pemikiran sekularisasi Bassam Tibi (Syiria).

Key words: liberalisme, sekularisme, relasi Islam dan negara

A. Liberalisme: Kecenderungan Baru Pemikiran Islam

Islam secara sosiologis merupakan fenomena peradaban, kultural dan sosial. Dalam realitas sosial, Islam tidak lagi sekedar

* Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Page 2: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

276

doktrin yang bersifat universal, akan tetapi mengaplikasi diri dalam institusi sosial yang sangat niscaya dipengaruhi oleh situasi ruang dan waktu yang mengitarinya. Oleh karena dunia politik adalah sebagai bagian integral dari institusi sosial yang ada ditengah kehidupan manusia maka persentuhan Islam dengan dunia politik adalah sebuah konsekuensi logis semata.

Dalam kaitannya dengan dunia politik, Islam tidak sekedar menjadi semangat, tetapi lebih dari itu, Islam telah menjadi ideologi bagi umatnya. Hal ini sebagai akibat dari adanya keyakinan umat Islam tentang serba ketercakupan Islam dalam segala aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali aspek politik dan kenegaraan.1 Di samping itu, terdapat juga doktrin yang mengharuskan umat Islam untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan di muka bumi.2 Inilah yang memberi motivasi kuat bagi umat Islam untuk selalu mengambil peran dalam setiap pergumulan politik suatu negara.

Sejarah Islam membuktikan bahwa keberadaan Islam pada masa Nabi, terutama periode Madinah, hampir selalu bersinggungan dengan politik, baik politik dalam makna strategi defensif dari serangan penduduk Makkah, maupun manejerial internal masyarakat dalam membangun dan membina ketertiban dan keharmonisan di kalangan masyarakat Madinah yang plural.3 Kenyataan historis tersebut pada gilirannya memberikan kesan kebenaran (justifikasi) bagi sebagian umat tentang anggapan bahwa Madinah adalah suatu bentuk negara Islam, di mana Muhammad adalah sebagai Nabi sekaligus kepala negara.4 Kondisi tersebut sekaligus memberikan

1 Yusuf Al Qardhowi, Fiqih Negara, alih bahasa Syafri Halim, cet 1,

(Jakarta: Robbani Press, 1907), p. 18-19. 2 Al Maidah (5): 44-47. 3 Masyarakat Madinah saat itu merupakan masyarakat plural, yang

terdiri dari berbagai golongan seperti Anshor, Muhajirin, Yahudi dan suku Arab lain yang masih bertahan dengan penyembahan berhala dan belum mau menerima Islam. Untuk membina keharmonisan di antara mereka dihasilkan suatu kesepakatan yang disebut Piagam Madinah. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi ke-5, (Jakarta: UI Press, 1993), p. 10.

4 W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, alih bahasa Helmi Ali dan Muntaha Azhari, cet. 1 (Jakarta: P3M, 1988), p. 1-5.

Page 3: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

277

kesimpulan tentang terintegrasi dan tidak terpisahkannya Islam dan negara, baik secara formal maupun substansial. Kesimpulan demikian secara faktual berlangsung hingga masa Khulafaurrasyidun.

Hingga akhir dinasti Usmaniyah, seiring dengan ekspansi Barat (Eropa) ke berbagai negeri Muslim pada abad 18 --tentunya dengan menawarkan berbagai ideologi baru, apakah itu nasionalisme, negara bangsa (nation state), demokrasi, dan seterusnya-- tesa yang mengatakan bahwa relasi Islam dan negara yang tadinya integratif mulai diperdebatkan. Gugatan ini tidak hanya dilakukan oleh ekternal Islam (baca: orientalis) akan tetapi juga dilakukan sendiri oleh internal umat Islam. Mereka yang menggugat integritas relasi antara agama dan negara itu berasumsi bahwa Islam merupakan agama an sich, tidak kait-mengkait dengan urusan kenegaraan. Tegasnya agama terpisah dari negara. Tentu saja pandangan antitesa ini menibulkan respon keras dari berbagai tokoh dan gerakan Islam seantero dunia.

Perdebatan itu semakin menjadi-jadi, tatkala Kemal Ataturk (1881-1938), yang nota bene muslim, mendirikan Republik Turki yang bercorak sekuler, di mana bukan saja atribut tradisional keislaman yang dilepaskan, tetapi sekaligus penghapusan berlakunya norma-norma syariah sebagai hukum tertinggi di dalam negara. Pada saat yang hampir bersamaan terbit pula karya Ali Abdur Raziq (1888-1966), di Mesir, Al-Islam wa Ushul al-Hukm yang sekali lagi, dengan latar belakang muslim, memiliki pendapat yang moderat yang sekaligus berbeda dengan ide sekular Kemal Ataturk. Kedua tokoh tersebut memancing perdebatan yang semakin intensif, baik di Turki pada khususnya maupun dunia Islam pada umumnya.

Memasuki abad 20, tepatnya tahun 1970-an, seiring dengan era kebangkitan Islam (Islamic resurgence), yaitu era di mana muncul suatu kesadaran baru di kalangan umat Islam tentang identitas, nilai-nilai dan budayanya, diskusi tentang relasi agama dan negara kembali muncul ke permukaan, yang kali ini intensitasnya lebih dahsyat dan boleh dikata sangat moderat atau lebih tepatnya liberal. Liberalitas itu terlihat jelas manakala kaum yang diidentifikasi liberalis ini mengkritik habis-habisan pandangan kaum yang dipandang sebagai

Page 4: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

278

fundamentalisme Islam, seperti Hassan Al Banna, Sayid Quthub dan Maududi yang eksist lebih awal.

B. Sekuler: Entitas dan Geneologinya

Terma sekular berakar pada kata saeculum (bahasa Latin) yang berarti masa (waktu) atau generasi.5 Istilah lainnya yang mengandung arti mirip adalah mundus. Jika saeculum lebih berorientasi kepada dimensi waktu, misalnya yang pertama (al-awwal) maka mundus lebih berorientasi kepada ruang, misalnya yang terdekat (al-adna).6 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia7 diterangkan bahwa istilah sekular berarti sesuatu yang bersifat duniawi dan kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohaniaan). Berpijak pada pengertian tersebut maka sekularisasi mengandung arti hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Sementara itu sekularisme diartikan dengan suatu paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama.

Di samping itu, istilah sekularisasi dapat pula dipahami dalam dua sudut pandang lain. Pertama, dalam konteks hubungan agama dengan negara. Sekularisasi diartikan sebagai upaya pemisahan antara wilayah agama dan negara. Agama berada pada dataran individual, sedangkan negara lebih pada wilayah sosial kemasyarakatan. Dalam konteks ini agama hanya dibatasi dalam wilayah personal anggota masyarakat. Ajaran agama tidak dibenarkan untuk ikut campur dalam soal-soal kemasyarakatan dan kenegaraan.

Kedua, dalam konteks teologis. Di sini sekularisasi dimaknai dengan upaya pemisahan antara aspek transenden (Tuhan) dan yang profan (bukan Tuhan). Percampuran antara keduanya akan melahirkan ketidaksucian dalam upaya memahami Tuhan itu sendiri.

5 Harvey Cox, The Secular City, (New York: The Macmillan Company,

1966), p. 2. 6 Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Bandung:

Mizan,1992), p. 216-217. 7 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1995) p.

894.

Page 5: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

279

Nurcholish Madjid dalam Islam Doktrin dan Peradaban 8 menjelaskan bagaimana konsep sekularisasi dipahami dalam konteks teologi. Menurutnya, sekularisasi identik dengan upaya demitologisasi sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim pada abad dua sebelum Masehi. Upaya demitologi itupun pernah dilakukan oleh bangsa Semit terhadap konsep tujuh hari sebagai konsekuensi dari kesadaran monoteis mereka. Di sini sekuler mengacu kepada makna yang disebut pertama.

Dalam kancah politik Islam istilah sekular pertama sekali digaungkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog terkemuka dan teoritikus nasionalis Turki. Pasca Gokalp tercatat sejumlah nama yang boleh dikata sebagai penyambung lidah dari gagasan sekular Gokalp. Sekedar menyebut beberapa diantaranya adalah Kemal Ataturk (1881-1938), Ali Abdur Raziq (1888-1966), Thoha Husein (1889-1973) dan Muhammad Arkoun.

Kemal Ataturk yang merupakan murid ideologis Zia Gokalp, menandaskan pentingnya melepaskan budaya dari syariat. Bagi Kemal, pendidikan madrasah dan pendidikan agama harus dihapus dari sistem pendidikan. Perkumpulan tarekat dilarang. Pakaian tradisional Turki diganti dengan pakaian ala Eropa. Abjad Arab diganti dengan abjad Latin dan menggunakan angka internasional. Pandangan sekular Kemal demikian revolusioner yang kemudian hari terkenal dengan sebutan Kemalisme.9

Ali Abd. Raziq, dalam Al-Islam wa Ushul al-Hukm10 juga memberikan atensi terhadap ide sekular. Baginya eksistensi Nabi Muhammad adalah sebagai pembawa misi agama an sich yang tidak ada kait mengkait dengan urusan politik keduniaan. Bukankah Nabi itu seorang ‘ummi yang tidak tahu menahu tentang urusan negara. Khilafah terlepas sama sekali dari agama. Agama tidak mengenal

8 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina

1992), p. xxv. 9 Muhammad Azhar, “Islam dan Sekularisasi Politik”, dalam Jurnal

Mukaddimah, No 11 TH VII 2001. 10 Ali Abd. Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Kairo: Mathba’ah Mishr

Syirkah Mishriyyah, 1925) p. 64-80.

Page 6: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

280

semua itu. Semua dikembalikan kepada akal pengalaman manusia dan pendapat dari orang-orang yang tahu.

Syahrin Harahap dalam Al Quran dan Sekularisasi, Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thoha Husein, memaparkan bagaimana konsep sekular Thoha. Bagi Thoha, untuk mencapai kemajuan, umat Islam harus melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisi, termasuk tradisi keagamaan. Bahkan masyarakat Islam modern akan lahir manakala didisain berdasarkan peradaban Barat. Baginya peradaban Barat modern kini adalah kelanjutan logis dari perjalanan peradaban manusia yang panjang. Oleh karenanya tidak ada alasan untuk menolak peradaban Barat.11

Sementara itu Arkoun dalam Rethinking Islam mengatakan bahwa untuk bisa mengaktualisasi nilai-nilai Islam, perlu dilakukan upaya sekularisasi spiritual melalui kajian perbandingan setiap pengalaman spiritual pada setiap masyarakat manusia. Adalah hal yang lucu dan tidak masuk akal manakala aktualisasi nilai-nilai Islam itu dipulangkan kepada pengembalian tradisional atau agama itu sendiri. 12

Belakangan muncul seorang pemikir muslim mutakhir yang juga memberikan apresiasi serius terhadap diskursus sekuler di dunia Islam, yaitu Bassam Tibi. Di sini, fokus tulisan berupaya menelusuri bagaimana bangunan pemikiran sekuler Bassam Tibi, apa yang melatarbelakangi pemikirannya dan di mana posisi pemikiran sekuler Tibi di tengah dialektika tipologi pemikiran politik Islam tentang relasi Islam dan negara. Perlu ditegaskan di sini bahwa Tibi sendiri tidak menulis secara spesifik tentang sekuler dalam konteks politik. Tibi hanya berbicara tentang responnya terhadap peradaban Islam yang tertinggal jauh dari peradaban Barat. Jadi boleh dikata bahwa penelitian ini merupakan studi rintisan (eksploratif). Opini Tibi pun tidak menggumpal pada satu buku, akan tetapi terserak dalam berbagai jurnal, makalah dan artikel.

11 Syahrin Harahap, Al Quran dan Sekularisasi: Kajian Kritis terhadap

Pemikiran Thoha Husein, (Jogjakarta: Tiara Weacana, 1993) p. 174-175. 12 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam (terj), (Jogjakarta: Pustaka

Pelajar, 1996), p. 34-35.

Page 7: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

281

Minimnya elaborasi terhadap Tibi dapat dimaklumi oleh karena Tibi sebagai tokoh yang relatif baru dalam percaturan intelektual muslim yang hingga kini masih hidup. Di Indonesia penelitian yang menjadikan Tibi sebagai objek baru dilakukan oleh Bassir Solisa yang menulis tentang Kemajuan Barat dan Reaksi Dunia Islam menurut Pandangan Tibi.13 Dan Khamdi Rahmani yang meneliti tentang Kritik Tibi terhadap Fundamentalisme Islam.14 Jika Solissa menjelaskan bagaimana keberatan Tibi terhadap kegagalan peradaban Islam jika dibandingkan dengan Barat, maka Khamdani menjabarkan kegelisahan Tibi terhadap fenomena Islam politik yang justru mencoreng keagungan dan keluhuran nilai-nilai ajaran agama Islam yang tercermin dari berbagai gerakan fundamentalisme Islam.

C. Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara: Konservatif versus Modernis

Semula, pada masa klasik, hubungan antara Islam dan negara tidak terlalu dipersoalkan. Khalifah atau sultan dipandang sebagai orang yang menerima amanat atau mandat dari Tuhan. Konsekuensinya, ketaatan kepada raja berarti ketaatan kepada Tuhan. Cara pandang ini dianut cukup lama, hinga abad sembilan belas.

Baru akhir abad sembilan belas, mencuat pemikiran tentang relasi agama dan negara. Tiga hal yang menyebabkan maraknya perbincangan tentang hal itu adalah, pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan semakin banyaknya problem konflik internal. Kedua, kolonialisasi negara Eropa, baik secara ekonomi maupun poliitik terhadap dunia Islam. Dan ketiga, keunggulan dan kemajuan Eropa dalam berbagai bidang termasuk dalam pemikiran politik. 15

13 Bassir Solissa, “Kemajuan Barat dan Reaksi Dunia Islam dalam

Pandangan Bassam Tibi”, dalam Jurnal Refleksi Vol. II No 2 (Juli 2002) p. 158-179.

14 Khamdi Rahmani, Kritik Bassam Tibi terhadap Ideologi Fundamentalisme Islam, skripsi Fakultas Syariah tidak diterbitkan tahun 2003.

15 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), p. 115.

Page 8: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

282

Berdasarkan tiga faktor di atas, terjadi pengelompokan pemikiran politik di kalangan ilmuan Islam. Pertama, kelompok konservatif, yakni kubu yang mempertahankan integrasi Islam dan negara. Kelompok ini terbagi dalam dua friksi, yaitu tradisionalis dan fundamentalis. Jika friksi pertama ingin melanggengkan praktek pemikiran Islam klasik dan pertengahan maka friksi kedua, melakukan reformasi system social dengan kembali kepada ajaran Islam secara total dan menolak sistem yang dibuat manusia. Sedangkan kelompok kedua, modernistis, yaitu menekankan perlunya pengembangan ilmu pengetahuan dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai konteksnya. Kelompok ini terbagi pula dalam dua friksi, yaitu sekularistik dan simbiosistik. Jika sekularistik memisah agama dan negara secara tegas, maka simbiosistik lebih merupakan hubungan timbal balik yang saling melengkapi, dengan ketentuan, Islam memberikan kerangka nilai dan implementasi dipasrahkan sepenuhnya kepada kreasi manusia.16

1. Konservatif

Kelahiran konservatif pada awalnya sebagai sebuah respon negatif terhadap ideologi nasionalisme, nation state, demokrasi yang digaungkan Barat seiring dengan proses kolonialisasi dan imperialisasi mereka sekitar abad IXX. Bagi kaum konservatif tawaran Barat itu bentuk baru dari kejahiliyahan (new barbaritas). Dengan keyakinan bahwa Islam adalah sistem yang holistik dan komprehensif, di mana Islam diangap telah mengatur segala segmen kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan bernegara, maka kelompok ini menolak segala tawaran Barat dan mengajak umat Islam untuk meneladani praktek yang telah dirintis oleh Nabi dan para Khulafaurrasyidun.

Elaboran tipe konservatif ini diwakili oleh Islam politik, yaitu gerakan yang menjadikan Islam sebagai ideologi. Para eksponen Islam politik memiliki keyakinan dan aktifitas gerakan

16 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Jalan: Respon Intelektual

Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), p. 57.

Page 9: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

283

berdasarkan pada interpretasi literal dari teks wahyu. Cita utama dari gerakan ini adalah tegaknya kedaulatan Tuhan di muka bumi yang menurut mereka hanya akan terwujud jika diwadahi dalam sebuah negara Islam yang berdasarkan Quran dan Hadis. Implikasinya adalah pada penolakan negara kebangsaan (nation state), nasionalisme dan demokrasi yang ditawarkan Barat dengan alasan tidak Islami. Kubu ini terpilah dalam varian, yaitu tradisionalis dan fundamentalis.

a. Tradisionalis

Golongan ini memegangi pemikiran ulama pertengahan tanpa melakukan usaha perubahan secara substantif. Bagi mereka pintu ijtihad telah tertutup. Ajaran Islam tinggal mengikuti apa yang ada dalam mazhab hukum Islam. Bagi golongan ini sistem kenegaraan klasik dan tengah, berupa kekhalifahan universal merupakan contoh ideal dan tetap dipertahankan. Di antara tokohnya adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935).

Kendatipun mulanya Ridha adalah murid Abduh, seorang rasionalis, saintis dan progresif, namun Ridha justru memilih tetap dalam bentuk tradisionalnya. Menurut Esposito, ini dilakukan Ridha karena kecewa atas perilaku pengikut Abduh yang cenderung terbaratkan.17 Ridha memandang kebelakang pada zaman keemasan pemerintah Islam dan mengacu pada pandangan yang telah mapan di dalam sejarah Islam.

Dalam konsepnya, Ridha menawarkan bentuk negara Islam dengan sistem reorganisasi kekhalifahan. Ia membedakan kekhalifahan kepada ideal, sebagaimana pada masa khulafaurrasyidun dan kekhalifahan aktual yang telah berkompromi dengan para tiran. Bagi Ridha, para ulama yang semestinya bertanggung jawab untuk menjaga syariat, telah menjadi korup lewat kompromi tersebut. Ridha menyadari sulit untuk mengembalikan kekhalifahan ideal sebagai satu satunya otoritas spiritual. Tapi pemindahan fungsi kekhalifahan ideal itu ke khalifahan aktual masih bisa dilakukan

17 Esposito, Ancaman Islam, Mitos atau Realitas, alih bahasa Alawiyah

Abdurrahman, (Bandung: Mizan, 1995), p. 77.

Page 10: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

284

bahkan harus. Hanya saja gagasan khalifah aktual ini tidak sempurna oleh Ridha.

b. Fundamentalis

Menurut Jalaluddin Rahmat, ciri utama fundamentalisme, yaitu gerakan tajdid, reaksi terhadap kaum modernis, reaksi terhadap westernisasi dan keyakinan bahwa Islam sebagai ideologi alternatif.18 Para fundamentalis ingin menegaskan superioritas Tuhan dengan melakukan usaha-usaha untuk mengimplementasikannya secara total. Untuk ini mereka tidak segan untuk menolak tatanan yang sudah dirancang bangun oleh manusia.

Golongan ini sangat giat menyerukan negara Islam dengan ikatan solidaritas keislaman tanpa memandang ras, kebangsaan dan letak geografis suatu wilayah. Dalam perjuangannya golongan ini sering menjadi oposan yang radikal dan bahkan tidak segan menggunakan kekerasan. Di antara tokohnya adalah Maududi (1903-1979) dan Sayyid Qutub (1906-1966).

Maududi dengan Jemaat Islamiyah-nya serta Qutub dengan Ikhwanul Muslimin-nya, merupakan tokoh pembentuk dan penggerak fundamentalisme Islam kontemporer. Kedua tokoh ini sama sama anti dan alergi terhadap Barat. Kolonialisme dan imperialisme Barat tidak hanya ancaman ekonomi dan politik tapi jauh dari itu menjadi ancaman budaya terhadap Islam. Westernisasi merupakan ancaman terhadap kemandirian, identitas dan style of life umat Islam. Oleh karenannya bagi Qutub dan Maududi Islam harus menjadi ideologi alternatif dalam menghadapi Barat. Terlebih lebih terhadap ideologi kapitalisme dan marxisme. Islam tidak sekedar agama tapi supra sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.19 Mereka mengajak umat Islam kembali kepada al-Quran dan Hadis yang asli. Untuk itu sarana yang tidak bisa ditawar adalah jihad. Dengan jihad itulah Quran dan Hadis akan bisa ditegakkan.

18 Jalaluddin Rahmat, “Fundamentalisme Islam, Mitos dan Relitas”,

dalam Prisma Ekstra (1984), p. 4 19 Sayyid Qutub, Social Justice in Islam, (New York: Islamic Publication

International, 2000), p. 5.

Page 11: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

285

Terkait dengan persoalan negara, Qutub dan Maududi sepakat bahwa hal itu telah diatur dalam Islam. Manusia tingal mengikuti saja. Tidak boleh membuat kebijakan politik, hukum dan lain-lain berdasarkan cita rasa manusia.20

Usulan negara Islam Qutub dan Maududi mirip dengan imperium atau Supra Nasional. Islam adalah negara universal yang tidak mengenal batas-batas geografis, perbedaan suku, kulit dan kebangsaan. Batas-batas yang boleh ada (deskriminasi) jika terkait dengan agama. Oleh karenanya mereka membagi warga negara menjadi dua bagian Islam dan non Islam (zimmi). Dan yang berhak menjadi kepala negara adalah orang Islam yang dipilih oleh warga negara yang muslim. Pemerintah Islam adalah pemerintah yang melaksanakan syariah Islam dan supremasi Tuhan betul-betul ditegakkan. Qutub menambahkan bahwa kepala negara dipilih melalui dewan syura dan kekuasaan kepala negara totaliter dengan catatan hanya dan masih tunduk kepada hukum Tuhan.21 Inilah yang dikenal dengan teo-demokrasi, yaitu demokrasi yang berdasarkan kedaulatan Tuhan, bukan demokrasi berdasarkan kedaulatan dan suara rakyat. Alasannya adalah karena mayoritas rakyat tidak selamanya menunjukkan keadilan dan kebenaran sebagaimana yang dikehendaki Tuhan.

Demikianlah pola hubungan yang dibangun oleh kubu konservatif. Baik tradisionalis maupun fundamentalis sama-sama bermuara pada jargon popular al-Islam, ad-Din wa ad-Daulah, yaitu Islam adalah agama dan negara yang tidak terpisah.

2. Modernistik

Pemikiran ini pada dasarnya lebih merujuk kepada pengertian modernisme, yaitu kecenderungan mengaitkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Istilah modernisme sesunguhnya bukan term agama. Terma ini muncul sekitar pada awal abad 20. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebut bahwa modernisme

20 Maududi, Islamic Law and Constitution (Lahore: Islamic Publication,

1997) p. 137. Qutub, Social. p. 113-126. 21 Ibid., p. 139-140.

Page 12: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

286

diartikan dengan gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikan dengan aliran modern dan filsafat, sejarah dan ilmu pengetahuan.22

Menurut Rahman, perkembangan modernisme di Islam bermula sejak abad 19 yang ditandai oleh adanya gerakan reformasi Islam di bidang hukum, masyarakat, politik intelektual, moral dan spiritual. Hal ini dilakukan dengan melakukan penyadaran terhadap prinsip dan nilai Islam dalam pemikiran modern atau sebaliknya.23 Dalam proses modernisme, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi. Pertama, apakah suatu kawasan budaya tertentu tetap mempertahankan kedudukan vis a vis ekspansi politik Eropa dan apakah didominasi atau diperintah oleh suatu negara kolonial baik secar de jure maupun de facto. Kedua, watak organisasi ulama atau kepemimpinan keagamaan dan sifat hubungan mereka dengan lembaga-lembaga pemerintah sebelum terjadinya penjajahan. Ketiga, keadaan perkembangan pendidikan Islam dan budaya yang menyertainya segera sebelum terjadinya penjajahan. Dan keempat, sifat kebijaksanaan kolonial secara keseluruhan dari negara penjajah.24 Kubu modernistik ini terbagi dalam dua varian yaitu, sekuleristik dan sembiosistik.

a. Sekuleristik

Kamus Besar Bahasa Indonesia25 menyebutkan bahwa istilah sekular berarti sesuatu yang bersifat duniawi dan kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohaniaan). Berpijak pada pengertian tersebut maka sekularisasi mengandung arti hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan pada ajaran agama. Sementara itu sekularisme diartikan dengan suatu paham atau

22 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dam Pengembangan

Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), p. 662. 23 Fazlur Rahman, “Islamic Modernis: Its Scope, Methode and

Alternatives” dalam International Journal Middle East, (1970) p. 317 24 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual,

alih bahasa Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1995), p. 50. 25 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1995)

p.894.

Page 13: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

287

pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama.

Dalam konteks relasi agama dan negara, pandangan sekuler mengandung arti upaya pemisahan antara wilayah agama dan negara. Agama lebih berada pada dataran individual sementara negara pada wilayah sosial kemasyarakatan. Dalam konteks ini agama hanya dibatasi dalam wilayah person anggota masyarakat. Ajaran agama tidak dibenarkan ikut campur dalam soal-soal kemasyarakatan dan kenegaraan.

Dalam konteks sejarah gereja terdapat prinsip dualisme hubungan antara gereja mewakili institusi agama yang individualistik dengan negara sebagai institusi yang sosial yang komunalistik. Di dunia Islam orang yang pertama sekali memperkenalkan term sekuler adalah Zia Gokalp (1875-1924), seorang sosiolog dan teroritikus Turki.

Secara umum dalam hal relasi agama dan negara golongan sekuleristik ini berpandangan bahwa Islam hanyalah sebuah agama yang mengatur hubungan manusia dengan tuhannya secara pribadi. Islam tidak sangkut menyangkut dengan urusan kemasyarakatan dan kenegaraan. Muhammad hanya diutus untuk mengajak manusia kepada kehidupan yang mulia. Muhammad diutus tidak dalam kapasitas mendirikan dan memerintah sebuah negara. Pandangan sekuleristik ini di dunia Islam ditumbuh kembangkan oleh penyambung lidah Gokalp seperti Kemal Ataturk dan Ali Abd. Raziq.

Pandangan sekuler Kemal bermula dari pergumulannya dengan karya Barat seperti Napoleon Bonaparte, John Stuart Mill, Rosseuau, Voltaire dan Montesqiu. Ia juga terlibat dalam gerakan anti pemerintah Sultan Hamid yang mengakibatkan pernah mendekam di penjara. Ia juga memimpin perang kemerdekaan Turki (1919-1922). Dengan julukan al-Ghazi (sang pahlawan perang).

Awal dari gerakan sekulernya adalah, penghapusan lembaga kesultanan Turki dan menggantinya dengan negara merdeka Turki pada tahun 1932 dengan dirinya sebagai presiden pertama. Islam pada waktu itu adalah agama resmi negara. Pada tahun 1937 Turki dinyatakannya sebagai negara sekuler dengan pencantuman prinsip

Page 14: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

288

sekuler dalam konstitusi negara. Langkah-langkah lain yang dilakukan dalam rangka membangun sekulerisme Kemal adalah mengganti hukum syariat dengan hukum Swiss, menghapus sistem pendidikan madrasah dan pendidikan agama, menghilangkan asrama sufi dan perkumpulan tareqat, mengganti alphabet Arab dengan huruf latin, serta penerapan penggunaan angka internasional dan membuka tutup kepala dalam pakaian tradisional Turki meniru pakaian a-la Barat. Inilah promotor dan pendiri negara Islam sekuler yang pertama di dunia.

Meski bersifat sekuler, tapi Kemal tidak menyingkirkan urusan agama secara mutlak. Namun mengelolanya dalam sebuah Direktorat Urusan Agama yang menangani pengadaan sekolah pemerintah untuk imam dan khatib serta mengelola Fakultas Ilahiyah pada Universitas Istanbul. Kemal masih tetap yakin bahwa agama, bisa memainkan peranan sekundernya dalam mendukung negara Turki modern. Ia hanya tidak ingin kekuasaan agama itu berkait kelindang dengan pemerintahan.

Selain Kemal, Ali Abd. Raziq (1888-1966) juga menyatakan pandangan yang sama yang sekaligus menentang pandangan konservatif. Islam tidak memberikan tuntunan kepemimpinan maupun sistemik yang khusus dan monolitik. Islam memberikan kebebasan dan alternatif seluas-luasnya kepada umat Islam untuk membentuk pemerintahan apa saja sesuai dengan penalaran manusia yang otonom. Pemerintahan Muhammad hanyalah pemerintahan yang terbentuk secara alamiah.26 Misi Muhammad adalah misi agam an sich yang tidak ada kait mengkait dengan politik dunia. Muhammad tidak layak memiliki tendensi kekuasaan. Ia hanya mendakwahkan agama bukan mendakwahkan daulah. Ia juga tidak meletakkan dasar-dasar mamlukah, tidak memiliki kerajaan dan tidak pula pemerintahan. Kalaupun ada ada kehidupan kemasyarakatan yang dibebankan kepada Muhammad, itu bukanlah termasuk tugas risalah atau nubuwah tapi murni urusan duniawi.27

26 Ali Abd. Raziq, Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan, alih bahasa M.

Zaid Su’adi, (Yogyakarta: Jendela, 2002) p. 124. 27 Ibid., p. 117-120

Page 15: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

289

Menurut Raziq, Abu bakar yang disebut sebut sebagai khalifah rasul (pengganti rasul) merupakan sebuah strategi saja dalam rangka agar umat Islam menaatinya seperti taatnya uamt Islam kepada Muhammad. Sehingga yang tidak taat boleh dikata murtad dan memeranginya adalah hal yang sah-sah saja. Padahal belum tentu mereka yang ingkar dikategorikan murtad dalam pengertian konversi agama, menentang Allah dan Rasulnya. Bisa jadi mereka hanya tidak mau bergabung dengan Abu Bakar tapi masih tetap Islam. Ini dibuktikan dengan pengakuan seorang Malik bin Nuwairah, sahabat yang keislamannya disaksikan oleh Umar bin khattab, mati dibunuh tentara Abu Bakar, Khalid bin Walid, yang tetap dalam persaksian Islamnya, hanya enggan membayar zakat kepada Abu Bakar.

Raziq menegaskan bahwa agama Islam terlepas dari khilafah yang telah dikenal umat Islam pada masa pertengahan, bebas dari dari rasa bangga dan kejayaan yang diperoleh. Khilafah bukan bagian dari rencana keagamaan. Begitu pula dengan peradilan, tugas-tugas pemerintahan dan pusat-pusat daulah. Semua murni rencana politik manusia, tidak ada agama di sana. Agama tidak menolak maupun menerima, tidak melarang maupun membolehkan. Itu semua terpulang kepada standar logika, pengalaman dan kaidah politik yang disepakati bersama.28

Sama halnya dengan Kemal, sekulerisme Raziq sesungguhnya tidak mutlak. Islam tidak lalu disingkirkan dari negara. Seperti yang yang dikutip Natsir, menurut Raziq, agama itu membuka jalan selebar-lebarnya bagi penemuan bentuk-bentuk yang alamiah dari perjalanan keduniawiannya. Apa gunanya melestarikan cara lama yang justru memporak porandakan nasib dan martabat umat Islam. Agama mempersilahkan berlomba-lomba untuk mencarai yang terbaik.29

28 Ibid, p. 123. 29 M. Natsir, “Syeikh Yang Maha Hebat” dalam Agama dan Negara

dalam Perspektif Islam (Jakarta: Media Dakwah, 2001), p. 113.

Page 16: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

290

b. Simbiosistik

Pemikiran ini lebih merupakan simbiosis dari pemikiran konservatif dan sekularistik. Pandangan ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Pandangan ini juga menolak kalau Islam hanyalah agama semata, seperti yang dipahami Barat, yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhannya. Pandangan ini menegaskan bahwa memang Islam tidak mengatur persoalan ketatanegaraan tapi Islam memiliki seperangkat tata nilai dan tata etika yang bisa saja digiring dalam prilaku ketatanegaraan. Tokoh yang memiliki pandangan seperti ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905).

Seperti yang diungkap Fahmi Huwaidi, Abduh dalam pandangannya menyatakan bahwa dalam memahami Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama haruslah dipahami dalam artian, pertama, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau kelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat daari agama atau dari Tuhan. Kedua, Islam tidak membenarkan campur tangan seorang penguasa dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain. Dan ketiga, Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksanakan pengertian, pendapat dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.30

Islam, kata Abduh, seperti dikutip Munawir Sjadzali, mengatakan bahwa Islam tidak memiliki kekuasaan keagamaan. Islam hanya mimiliki kekuasaan untuk memberikan peringatan secara baik, mengajak kearah yang lebih baik dan menyelamatkan orang dari keburukan. Kewenangan itu diberikan kepada setiap pribadi muslim. Bahkan Islam memiliki prinsip ajaran mengikis habis kekuasaann keagamaan. Sehingga tidak ada selain Allah dan Nabi yang memiliki kekuasaan atas keimanan seseorang muslim. Kendatipun Muhammad seorang mubaligh tapi tidak bisa memaksa orang untuk menuruti ajakannya. Setinggi apapun kedudukan seseorang tidak berhak untuk memaksakan wewenangnya kepada

30 Fahmi Huwaidi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, alih bahasa

Muhammad Abdul Ghaffar, (Bandung: Mizan, 19960, p. 285.

Page 17: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

291

muslim lain yang tidak berkedudukan selain memberi nasehat dan ajakan.31

Dalam hal sumber kekuasaan, Abduh, seperti dikutip Suyuthi Pulungan, menegaskan bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan memiliki hak untuk memaksa pemerintah. Oleh karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum.32 Pandangan ini membawa kepada pendapat mengenai hakekat kekuasaan dalam Islam. Karena sumber kekuasaan dari rakyat, maka Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti yang ada di agama Kristen. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun. Kekuasaan hanya ada pada Allah. Seorang mufti atau syeikh tidak memiliki kekuasaan agama. Tugas mereka adalah sebagai tawjih dan irsyad. Kalaupun ada kekuasaan di dunia Islam, hal itu merupakan kekuasaan politik murni tidak berlandaskan agama. Pendapat Abduh ini merupakan desakralisasi dari pendapat yang menganut paham bahwa Islam adalah kekuasaan yang berlandaskan agama dan Islam adalah agama dan kedaulatan.

Meskipun Abduh menegasikan kekuasaan agama dan memahami kekuasaan politik sebagai urusan dunia, namun tidak berarti agama dan dunia berpisah secara mutlak. Secara ekplisit agama juga menegaskan hak-hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah. Agama juga menegaskan pentingnya seorang pemimpin berlaku adil terhadap rakyatnya. Rakyat sekaligus berkewajiban mengontrol kerja pemimpinnya. Jika pemerintah tidak mampu mengemban amanat, maka penggantian demi kemaslahatan dapat dilakukan lewat pemilihan rakyat.

Abduh menginginkan agar prinsip agama dapat dijalankan oleh yang memiliki wewenang memerintah. Namun perlu dicatat bahwa Islam tidak memberikan peluang untuk sistem teokrasi. Pembumian nilai atau ajaran agama itu perlu mempertimbangkan faktor real sosial di masyarakat. Harus ada hubungan yang erat

31 Munawir, Islam, p. 131. 32 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran,

(Jakarta: Rajawali Press, 1999), p. 287.

Page 18: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

292

antara undang-undang yang dibuat dengan kondisi masyarakat. Dari sini tampak bahwa Abduh tidak menjadikan agama sebagai asas pemerintah.

Demikian gambaran pola hubungan antara Islam dan negara yang telah terpolarisasi ke dalam dua kubu besar dengan empat variannya. Munculnya dua kubu besar tersebut bermula dari respon terhadap sistem politik Barat, seperti nasionalisme, demokrasi, liberalisme, nation state dan lain-lain. Dalam hal ini terdapat respon yang menolak secara ekstrim, menerima sepenuhnya dan menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Konservatif, dengan varian tradisisionalis dan fundamentalis, menolak dengan keras. Sementara sekularis menerima dengan sepenuhnya. Adapun sembiosistik, menerima dengan selektif atau penyesuaian di sana sini.

Kehidupan manusia hampir tidak dapat --untuk tidak mengatakan tidak sama sekali-- dipisahkan dengan kehidupan politik. Aristoteles menyebutnya dengan istilah zoon politicon yang artinya bahwa manusia itu harus hidup berdampingan dengan orang lain, tidak bisa sendirian. Kontak lintas pribadi bermula dari lingkup terkecil dalam keluarga, kemudian meluas dalam masyarakat dan akhirnya membentuk sebuah komunitas yang lebih besar yang disebut dengan negara. Sejarah Islam pun menunjukkan betapa persoalan politik adalah persoalan yang paling awal mengemuka pasca kewafatan Nabi dan sama sekali bukan persoalan teologi.33

Masyarakat adalah fenomena dialektika. Artinya masyarakat merupakan produk manusia yang akan selalu memberikan pengaruh balik kepada manusia itu sendiri. Oleh karena masyarakat merupakan produk manusia, maka masyarakat hanya memiliki bentuk sebagaimana yang diberikan oleh aktivitas dan kesadaran manusia itu sendiri. Sebaliknya, oleh karena manusia sangat

33 Jenazah Nabi sempat “terlantar” beberapa saat (tidak segera

dikubur), karena kaum muslimin pada waktu itu sibuk membicarakan siapa yang layak menggantikan beliau (baca: suksesi). Inilah persoalan politik paling dini dalam dunia Islam mengatasi peersoalan teologi yang kemudian memicu lahirnya tiga sekte besar, syiah, sunni dan khawarij. Kecuali Khawarij, sekte besar itu tetap eksis hingga hari ini.

Page 19: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

293

bergantung kepada lingkungan realitas sosial, maka tentu saja manusia itu sendiri sekaligus produk dari masyarakat.34

Dengan fenomena dialektika tersebut di atas, maka suatu paradigma, ideologi, dan worldview yang berkembang dalam suatu masyarakat akan berpengaruh dan membentuk pikiran, ide dan cara pandang individu. Sebaliknya ide, teori dan gagasan yang dibangun oleh masing-masing orang sekaligus membentuk paradigma dan pandangan dunia masyarakat luas. Di sinilah antara individu dan masyarakat memiliki saling keterpengaruhan dan hubungan timbal-balik.

Kaitannya dengana wilayah politik35, gagasan manusia tentang politiknyapun telah melahirkan berbagai pandangan. Khusus tentang relasi agama dan negara telah melahirkan tiga grand teori yaitu, integral, sekuler dan sembiose mutual. Teori integral mengatakan bahwa antara agama dan negara tidak perlu pemisahan, karena sesungguhnya agama telah menyediakan tuntunan politik sekaligus. Bentuk konkrit dari teori ini adalah negara harus berbentuk dan berdasarkan Islam. Berbeda halnya dengan integral, teori sekuler mengatakan bahwa agama dan negara memiliki wilayah masing-masing dan harus dipisah secara tegas. Penyatuan agama dan negara akan jatuh pada dua bentuk ekstrimitas, yaitu pertama, politisasi agama, dalam pengertian agama akan dihidupkan dengan piranti politik yang bisa saja terkesan anarkis dan penuh dengan anomali dan kedua, agamanisasi politik, dalam pengertian bagaimana mengeksploitasi agama untuk kepentingan politik. Kedua ekstrim tersebut sama-sama tidak idealnya. Sementara itu sembiose mutual, melihat bahwa agama dan negara memiliki titik temu. Artinya agama

34 Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, alih bahasa

Hartono, (Jakarta: LP3ES 1991), p. 3. 35 Persoalan yang tercover dalam politik mencakup empat komponen,

yaitu negara pada satu sisi, warga negara, negara lain dan institusi lain yang ada dalam negara (baca: agama). Penjabaran keempat komponen itu sekitar negara dan bentuk pemerintahan (tata negara), relasi agama dengan negara, peerlinddungan orang-orang dalam sebuah negara, jaringan keerjasama antar negara, hak dan kewajiban warga negara kepada negara. Dalam ddiskursus Islam cakupan politik di atas dikenal dengan fiqh siyasah.

Page 20: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

294

dan negara saling memiliki ketergantungan. Teori yang disebut belakangan sesungguhnya menjanjikan harapan. Hanya saja dalam prakteknya sulit untuk dilakukan pemilahan antara agama dan negara serta bagaimana format pertemuannya. Pada gilirannya bermuara pada pengkaburan dan ketidakjelasan.

Fakta tentang fenomena dialektika, dalam Islam ditengarai dengan adanya konsep maslahah. Artinya apapun proses dialektika masyarakat yang terpenting adalah sejauh mana pilihan masyarakat itu mengacu kepada kemaslahatan hidup.36 Inilah yang menjadi tujuan utama diturunkannya syariah ke muka bumi. Oleh karena itu pencarian kemaslahatan bagi manusia adalah pekerjaan yang never ending. Ini pulalah yang dimaksud dengan isyarat Al Quran yang menyebut-nyebut afala tatafakkarun, afala ta’qilun afala tubshirun dan seterusnya yang sesungguhnya menyiratkan denyut ijtihad (upaya yang sunguh-sungguh) dalam Islam. Tanpa ijtihad, Islam sudah lama “dilikuidasi” oleh umatnya. Ijtihad adalah prinsip gerak dalam Islam, demikian Iqbal berkomentar.

D. Sketsa Tibi 1.Sketsa Biografi

Mengkaji seorang tokoh tanpa mempertimbangkan sisi sosio-politik, histories dan kondisi intelektualnya bisa jadi akan menghasilkan kesimpulan yang tidak utuh bahkan distortif. Karena betapapun seorang tokoh dia adalah tetap sebagai anak zaman, sejarah dan lingkungannya.

Tibi merupakan pemikir muslim yang berasal dari kalangan keluarga aristokrat Islam-Arab banu Tibi. Lahir di Damaskus, Syiria, 4 April 1944. Leluhur Tibi adalah pengikut paham ahlu sunnah wal jamaah yang sangat serius dan tekun mendalami hukum Islam.

Pendidikan menengah dilalui di kota kelahirannya. Pada tahun 1962, bertepatan dalam usia 18 tahun, ia menuju Frankfurt untuk melanjutkan studi. Di sana Tibi mendalami sosiologi, filsafat dan sejarah. Di sini pulalah Tibi mulai bertegur sapa dengan mazhab

36 Al Anbiya (21) : 107

Page 21: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

295

Frankfurt dengan tokoh-tokoh seperti Adorno, Habermas, Fetscher dan Horkheimer.

Setelah meraih gelar doktor di Jerman, Tibi tidak berminat kembali ke tanah airnya. Hal ini disebabkan oleh munculnya gerakan-gerakan yang bersifat fundamental di dunia Arab, termasuk di negeri kalahirannya, yang menurutnya justru akan menghambat umat Islam untuk menyongsong aufklarung. Bahkan Tibi menyatakan untuk pindah menjadi warga negara Jerman pada tahun 1976.37 Migrasi Tibi ke Jerman, tidak sekedar tendensi akademik, tapi sungguh-sungguh untuk menjadi bagian yang integral dari kultur Jerman, baik etnik, agama maupun politik. Pada musin dingin tahun 1973, Tibi telah menjadi guru besar jurusan Hubungan Internasional di Universitas Gottingen. Pada tahun 1988, Tibi menjadi ketua jurusan tersebut.

Aktifitas Tibi tercurah pada riset dan mengajar sebagai dosen tamu diberbagai penjuru dunia muslim. Tahun 1986-1988, menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Asia dan Afrika. Ia juga pernah mengajar di Universitas Khartoum (Sudan) dan Yaounde (Kamerun) serta bekerja di Al Ahram Center, Cairo. Tahun 1994, Tibi mengajar satu semester di Universitas California, Berkeley dan pada musim dingin 1995 ia menjadi professor tamu di Universitas Bilken, Ankara (Turki).

Sepanjang tahun 1988-1993 Tibi memiliki kegiatan penelitian dalam asosiasi riset Gottingen di Universitas Harvard. Pada tahun 1998-2000 ia menjadi guru besar di Harvard. Sampai saat ini Tibi masih sebagai guru besar Hubungan Internasional di Universitas Gottingen, Jerman. Di samping itu Tibi juga termasuk anggota “Cordoba Trialogis” yaitu forum dialog Kristen, Yahudi dan Islam yang sering mengadakan dialog tentang Islam dan Barat.

2. Sketsa Karya Ilmiah

Sepanjang karir akademisnya, Tibi telah menulis sejumlah buku dan artikel yang kesemuanya dalam paradigma keinginannya

37 Bassam Tibi, Krisis Peradaban Islam Modern, alih bahasa Yudian W.

Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) p. xvi

Page 22: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

296

untuk mengaufklarungkan umat Islam dan membebaskan dari anomali dan manipulasi politik dengan mengungkap apa yang terkandung di balik simbol-simbol keagamaan. Tibi banyak menurunkan artikel dalam jurnal Dirasah Arabiyah, Al Adab, Al Ulum, Al Mawaqif, dan Al Taaliyah. Pada tahun 1987, Tibi sering menulis di Frankfurter Allgemeinen Zeitung.

Sampai saat ini karya Tibi terhitung tidak kurang dari 25 buku. Buku pertamanya ditulis tahun 1969, dengan judul Die Arabische Linke (Kiri Arab) yang menjadi literature pokok tentang aliran kiri di tahun 1969-an. Karya Tibi diterbitkan dalam bahasa Jerman dan Inggris dan diterjemahkan ke dalam 13 bahasa. Di antaranya: 1. The Crisis of Islam Modern: A Pre-industrial Culture in the Scientific

Tecnological Age (Salt Lake City: Utah University Press, 1988). 2. Islam and the Cultural Accomodation of Social Change (Boulder, Colo:

Westview Press, 1991). 3. The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and The New World

Disorder (Berkeley & Los Angeles: University of California Press, 1998).

4. Fundamentalismus im Islam: Eine Gefahr fur Den Weltfrieden? (Darmstadt: Primus Verlag, 2000)

5. Einladung in Die Islamischee Geschichte (Darmstadt: Primus, 2001).

3. Sketsa Latar Belakang Pemikiran a. Kondisi Sosial Politik Syiria.

Pertengahan abad XX, sebagaimana di negara Arab lain, di Syiria tempat kelahiran Tibi, terjadi kontroversi ideologis dan konflik antara nasionalisme sekuler dan Islam. Kelompok Nasionalis sekuler di motori oleh partai Ba’th yang berdiri tahun 1940-an di bawah pimpinan Zaki al Aruzi, Michel Aflaq dan Salahuddin al Bitari. Sementara itu kelompok Islam diwakili oleh kelompok Ikhwanul Muslim Syiria dengan pimpinan Musthofa As Siba’i yang sepanjang tahun 40-an sampai 50-an sangat berpengaruh dan dominan di Syiria.

Tahun 1955, dominasi Ikhwanul Muslim mulai diimbangi oleh partai Ba’th yang berkoalisi dengan partai kiri lain, terutama

Page 23: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

297

Partai Sosialis Arab, pimpinan Akram Al Hawrani dan parta komunis Syiria pimpinan Khalid Bakdash. Aliansi ini kemudian mengantarkan mereka kepada puncak kekuasaan pada tahun 1957.38

Setelah menguasai rezim, partai Ba’th mulai mengeliminasi sekutunya dan pada 1 Februari 1958 Syiria menjadi negara serikat (UAR-United Arab Republic) bersama Mesir dengan Nasser sebagai Presiden. Namun setelah 4 tahun, tepatnya 28 September 1961, negara serikat Syiria–Mesir itu pun pisah karena tidak ada keuntungan yang diperoleh dari persekutuan itu.

Pasca menjadi negara yang terpisah dari Mesir, Syiria menjadi chaos dan penuh dengan huru-hara internal yang berlangsung selama satu setengah tahun. Kondisi ini memberikan peluang hadirnya kembali partai Ba’ath di panggung politik Syiria. Kali ini kehadiran partai Ba’ath pasca UAR terpilah dalam dua kubu, yaitu kubu yang memprioritaskan adanya persatuan negara-negara Arab (nasionalisme Arab) yang dipimpin oleh Michel Aflaq, Al Bitari dan Al Hafiz dan yang kedua kubu yang mengembangkan ideologi sosialis dengan tokoh Salhun Jadid, Muhammad Umran dan Hafiz Al Asad. Kubu yang disebut kedua ini memiliki kekuatan tersendiri di dalam kesatuan militer Syiria yang pada 23 Februari 1966 melakukan kudeta dan membentuk rezim baru.

Pertengahan tahun 1967, dunia Arab mendapat cobaan berat berupa kekalahan total dalam perang enam hari 5-11 Juni 1967 melawan Israel. Di tengah shock dan himpitan psikologis akibat perang tersebut, lahir reaksi dari berbagai pihak baik dari kalangan konservatif yang mencerca pemerintah yang sekuler maupun dari kalangan modernis yang lebih banyak intropeksi diri untuk mencari solusi.39 Kondisi ini berdampak pada kondisi sosial politik di Syiria.

Seorang sarjana Syiria kenamaan yang merespon kekalahan atas Israel itu adalah Asadeq Jala Azm yang menulis buku berjudul

38 Umar F. Abd. Allah, The Islamic Struggle in Syiria, (Berkeley: Mizan

Press, 1983) p. 51-52. 39 Yvonne V. Haddad, “Perang Arab Israel, Nasserisme dan Penegasan

Identitas Islam” dalam John L. Esposito, Islam dan Perubahan Sosial Politik di Negara Sedang Berkembang, alih bahasa Wardah Al Hafiz, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), p. 237-238.

Page 24: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

298

An Naqd Az Zaati Ba’da Al Hazima (Kritik setelah Kalah) pada tahun 1968. Gagasan Azm merefleksikan adanya sebuah gerakan radikalisme baru yang menentang sisi-sisi suci dalam kehidupan Arab Islam. Cara yang ditempuh oleh Azm to the point dan sangat bersemangat untuk melupakan kekalahan yang menimpa dan segera menyongsong kemenangan.

Seiring dengan Azm, lahir pula gerakan militan (fundamentalisme) di bawah kepemimpinan Adnan Sa’duddin dan Said Hawa pada tahun 1970. Mereka justru menggaungkan jihad untuk menghadapi rezim Ba’ath. Pada saat saat itulah keanggotaan Ikhwanul Muslimin Syiria semakin besar dan memiliki kesadaran ideologi yang tingi dan melakukan jihad pertama pada 8 Februari 1970 terhadap rezim Ba’ath. Jihad ini mendapat respon yang baik di kalangan publik Syiria yang pada 2 November 1979 dapat menjatuhkan rezim Hafiz al Asad.40 Di tengah iklim sosial politik seperti inilah Tibi hidup.

Tibi sangat serius memberikan ulasan pasca kekalahan dari Israel. Baginya yang terpenting adalah upaya kritik internal dan mengaca diri. Tibi tidak terlalu berminat mencari kambing hitam, tapi lebih cenderung auto kritik yang menurutnya kegagalan Arab Islam atas Israel semakin parah lantaran hadirnya neo-fundamentalisme Islam.41 Bagi Tibi gerakan fundamentalisme yang muncul merupakan bentuk politisasi agama. Di sini terlihat perseberangan yang teramat jauh antara Tibi dan gerakan fundamentalisme Islam Syiria. Bahkan dengan tegas Tibi mengatakan, kendatipun fundamentalisme Islam Syiria merupakan kritik atas Ba’thisme, Naserisme, Nasionalisme, Sosialisme dan Liberalisme, tapi kehadirannya sekaligus sebagai isme baru (kritisisme) yang tidak konstruktif bahkan destruktif bagi masa depan. Fundamentalisme justru menyisakan residu persoalan baru bukan menyelesaikan persoalan.

40 Fouad Ajami, The Arab Prediacement: Arab Political Thought and Practice

Since 1967, (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), p. 37. 41 Bassam Tibi, Krisis, p. Xvi.

Page 25: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

299

b.Studi di Eropa

Tradisi kritis Tibi, tidak timbul sebagai akibat langsung dari situasi zaman dan kondisi negaranya, tapi lebih ditentukan oleh transformasi teori kritik yang ia peroleh dari mazhab Frankfurt di Jerman ketika ia mendalami ilmu di sana. Tulisan Tibi yang cenderung berbau kritik diri (self critic) sangat jelas sebagai warisan dari teori kritik. Ini bisa dilihat dari statement vulgar Tibi, seperti yang dikutip Ajami yang mengatakan “orang yang membangun doktrin politik nasionalisme Arab, pada dasarnya memberikan pemikiran yang superficial yang tidak akan memberikan kontribusi kepada Arab itu sendiri.”42

Tampaknya kritik ideologi yang di anut oleh Frankfurt telah menyatu dalam diri Tibi. Teori kritis ini selalu menjadi kerangka teori Tibi dalam menganalisis berbagai persoalan. Tidak hanya teori kritis yang diadopsi Tibi di Jerman, tapi juga ide-ide tentang demokrasi, HAM dan integrasi Eropa yang sangat perlu diaplikasikan di Timur Tengah, terutama Islam, jika ingin maju dan meninggalkan ketertinggalannya. Kultur Eropa tidak hanya berpengaruh pada wilayah pemikiran akan tetapi telah merasuki jiwa Tibi. Meskipun secara geneologis ia seorang Arab tapi jiwanya adalah sebagai seorang Jerman. Eropa merupakan tempat yang memberikan ketenangan dan memberikan tempat bagi berjalannya ide-ide secara seiring sejalan.

c. Sketsa Karakter Pemikiran

Menurut Imarah sebagaimana yang dikutip Yusuf Yahya, memetakan pemikiran keislaman kontemporer dalam tiga varian utama, pertama, tradisional konservatif, kedua, reformisme (al ishlah wa tajddid) dan ketiga, sekuler.43 Sementara Issa J. Boullata membagi kepada pertama, sekuler, kedua, kelompok yang menilai kebudayaan

42 Ajami, The Arab Predicament. p. 35. 43 M. Yusuf Wijaya, “Visi-visi Pemikiran Keislaman: Upaya Klasifikasi

Pemikiran Keislaman Timur Tengah” dalam M. Ainul Abied Shah (ed) Islam Garda Masa Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), p. 40.

Page 26: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

300

Arab tradisional masih sesuai dengan era modern apabila dipahami dan diintepretasikan sesuai dengan kebutuhan modern. Ketiga, kelompok yang mengatakan bahwa elemen Islam adalah yang paling prinsipil.44 Kendatiupun dijelaskan dengan redaksi yang berbeda, namun antara Imarah dan Issa memiliki pemetaan yang sama, yaitu sekuler, tradisional dan reformis.

Jika mencermati pemikiran Tibi, maka Tibi secara jelas menghendaki pemisahan secara tegas pemisahan masalah duniawi dari ikatan agama. Politik dan kenegaraan adalah masalah thinkable yang tidak didoktrin oleh agama. Jadi manusia berhak untuk mendisain teori atau sistem politik kenegaraan yang sesuai dengan cita rasa masyarakatnya.

We may not proceed to the conclusion that there is no specifically Islamic political system and that this is thus a new ideological construction based on a projection into the past –a product of the politicization of Islam which is acultural system. Even the great al Azhar schola Ali Abdel Raziq indicated in his new classic book Al Islam wa Ushul Al Hukm that caliphate state was an Arab system of gob\verment for the ideological legitimation of which Islam was invoked. In His view Islam knows no system of government as it is a religion.45

Kendatipun Tibi sangat radikal bahkan revolusioner, tapi ia sesungguhnya tidak bermaksud untuk menganut paham sekulerisme. Ia membedakan antara sekularisasi dan sekulerisme. Sekulerisme adalah konstruksi yang mencakup ideologi anti agama sedangkan sekularisasi adalah proses sosial yang didasarkan pada diferensiasi fungsional masyarakat. Tegasnya, sekulerisme adalah ideologi anti agama sementara sekularisasi masih menganggap eksistensi agama dalam sistem sosial. Sekularisasi hanya membedakan fungsional saja.

44 Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab, alih

bahasa Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2001) p. 4. 45 Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change (Colo:

Westview Press, 1990), p. 132.

Page 27: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

301

Dengan kata lain sekulerisme adalah closed system dan sekularisasi adalah opened system.46

Tampaknya apa yang dikatakan Tibi seiring dengan Ahmad Wahib yang mengatakan bahwa sekularisasi merupakan pemahaman yang menyatakan tidak ada suatu nilai yang sifatnya tetap karena yang tetap itu hanyalah Tuhan. Dengan cara pandang inilah bisa dipahami apa yang disebut paham God without religion. Dengan sekularisasi agama menjadi masalah pribadi (religion is the private problem). Dengan pemahaman seperti ini, akan membekali setiap pribadi dengan nilai agama yang abadi dan universal yang memang seyogyanya harus ditegakkan dalam kehidupan masyarakat seiring dengan tugas ritual yang harus diemban seseorang dalam hidupnya.47

Sekali lagi ditegaskan Tibi bahwa sekularisasi sebagai sebuah metode bukan ideologi. Dalam sekularisasilah umat Islam dapat melakukan kolaborasi dan kombinasi teori dalam merespon persoalan menuju pencerahan. Satu hal lagi yang penting dalam mengoperasionalkan sekularisasi Tibi adalah, tidak boleh terjadi determinan dan indeterminan antara satu teori, pandangan, kerangka teori dengan yang lain. Karena satu sama lain memiliki fungsi dan tugas masing-masing.

Apa yang ditengarai Tibi ada kemiripannya dengan apa yang dikatakan Thoha Husein. Menurut Thoha, seperti yang dikutip oleh Syahrin, daya pikir (aqillat) bekerja secara bebas dari sentimen apapun, termasuk sentimen agama, sehingga ia bergerak bebas dan hanya mengacu kepada metode ilmiah dan kriteria ilmiah yang akan menghasilkan temuan atau gagasan baru. Pada hal yang bersamaan kepekaan dan kedekatan dengan Tuhan melakukan kerja yang sama.48

46 Tibi, The Chalange. p. 106. 47 Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad

Wahib, (Jakarta: LP3ES, 1981) p. 80. 48 Syahrin Harahap, Al Quran dan Sekulerisasi: Kajian Kritis terhadap

Pemikiran Thoha Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), p. 41.

Page 28: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

302

d.Sketsa Metode Kritik Tibi

Berbekal teori kritik mazhab Frankfurt, Tibi selalu mencurigai dan mengevaluasi tradisi, terutama tradisi masyarakat Islam. Penggunaan teori kritik ini sebagai hal yang niscaya untuk mengakji sebuah ideologi. Kritik ideologi merupakan keharusan untuk membedah sebuah ideologi. Dengan cara inilah akan terungkap dan dapat dipahami sebuah realitas dan apa yang digunakan untuk melegitimasi struktur realitas tersebut. Dengan teori inipula manusia akan terbebas dari manipulasi teknokrat, yang membingkai kepentingan tertentu dengan kedok-kedok tertentu pula.

Operasionalisasi metode kritik Tibi dapat dilihat dari kegeramannya mengkritik ideologi fundamentalisme Islam. Tibi mengatakan bahwa gerakan fundamentalisme yang terkesan objektif dan bermaksud untuk menegakkan agma Tuhan sesungguhnya murni fenomena politik bukan fenomena spiritual keagamaan. Penggunaan simbol agama sesungguhnya bentuk lain politisasi agama demi kepentingan politik dan kekuasaaan.49

Sehubungan dengan teori kritik ini, Budi Hardiman menulis:

Teori kritis merupakan dialektika antar pengetahuan yang bersifat transenden dengan yang bersifat empiris. Karena sifat dialektis itu teori kritis dimungkinkan untuk melakukan dua macam kritik. Di satu sisi melakukan kritik transendental yakni dengan cara menemukan dari dalam diri subjek sendiri dan pada sisi lain melakukan kritik imanen dengan cara menemukan kondisi sosio historis yang ada dalam konteks tertentu yang telah mempengaruhi manusia. Tegasnya teori kritik adalah kritik ideologi (ideologi kritik), yaitu suatu refleksi diri untuk membebaskan manusia dari

49 Tibi, Fundamentalismus im Islam: Eine Gefahr fur Den Weltfrieden?

(Darmstadt: Primus Verlag, 2000), p. 20.

Page 29: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

303

kebekuan salah satu sisi (apakah sisi transcendent atau sisi imanen).50

Berdasarkan kuotasi Hardiman di atas, maka dapat dikatakan bahwa kritik Tibi terhadap fundmentalisme Islam lebih merupakan kritik terhadap sisi imanen atau sisi empiris gerakan itu. Karena kondisi sosio historis masyarakat mempengaruhi pemahaman keagamaannya. Jadi lahirnya fundamentalisme Islam murni respon terhadap situasi yang gamang di kalangan umat Islam Syiria di tahun 70-an. Jadi tidak lagi pemahaman yang lurus tentang agama.

Sisi lain dari teori kritis adalah pentingnya paradigma komunikasi. Komuniasi dalam teori kritis adalah sesuatu yang praksis. Jadi kritik diperoleh bukan hasil kontemplasi tetapi hasil komunikasi dan kondisi nyata. Inilah yang akan mengantarkan kepada perubahan. Menurut tokohnya, Habermas, kekuatan komunikasi tidak terletak pada prilaku revolusi yang cenderung anarkis, tapi pada kekuatan argumentasi. Dengan teori ini pulalah apa yang dikhawatrikan Huntington tentang clash of civilization dapat dieliminasi. Inilah yang bisa mengantarkan sebuah cita-cita masyarkat dunia yang aman damai sejahtera dan berperadaban.

E. Elan Vital Gagasan Tibi bagi Kondisi Sosial Politik Kontemporer

Setuju atau tidak, sebagian orang telah mengatakan bahwa terhitung sejak awal abad XXI, episode sejarah dunia sudah memasuki episode keempat, setelah klasik, abad tengah dan modern. Sebagian orang menyebutnya dengan era posmodernisme.

Terdapat dua paradigma besar yang diprediksikan di era postmodernisme ini. Pertama, kembali ke semangat religius. Artinya, agama harus diikut sertakan kembali dalam memandu aktifitas manusia di muka bumi. Ini dilakukan sebagai sebuah respon terhadap keliaran atau kegagalan modernisme yang telah

50 Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,

(Yogyakarta: Kanisius, 1990), p. 30.

Page 30: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

304

meminggirkan kontribusi agama dan telah menyisakan problem yang tidak kecil. Terutama yang terkait dengan moral atau etika umat manusia. Kemajuan memang telah dicapai di berbagai bidang, tapi kerusakan pun berjalan secara akseleratif bahkan lebih maju dari pada kemajuan itu sendiri. Ketidakefektifan teori yang dibangun oleh para pengamatan dalam menyikapi residu persoalan modernitas, memaksa manusia postmo untuk melirik alternatif lain yang sesungghnya dalam perjalanan sejarah abad tengah cukup efektif menata moral umat, yaitu memerankan agama dalam kehidupa manusia.

Kedua, pluralisme. Artinya manusia posmo sudah tidak saatnya lagi untuk hidup dengan sebuah kekuatan yang mayoritas dan dominan. Perbedaan geografis, iklim, etnis dan lain-lain menjadi bingkai bagi hasil cipta karasa dan rasa manusia. Tidak mungkin manusia di situasi kondisi dan domisili yang berbeda memiliki karya yang sama. Untuk itu perbedaan menjadi sebuah “takdir” atau sunnatullah. Di sinilah signifikansi perlunya mengakui adanya orang lain di samping diri sendiri. Tidak ada yang dominan, determinan, dependen, truth claim dan sejenismya. Yang ada adalah indeterminan, independen dan egaliter. Jadi semua memiliki kesempatan yang sama untuk eksis.51

Dengan memperhatikan paradigma posmo di atas, maka dapat dikatakan bahwa gagasan Tibi tentang sekulerisasi, bukan sesuatu yang irrelevant. Dunia posmodern dewasa ini diwarnai oleh ketegangan-ketegangan akibat munculnya paham-paham atau ideologi yang mendasarkan pada pandangan universalisme. Paham-paham tersebut merasa yakin bahwa merekalah yang paling benar dan paling valid serta paling unggul yang harus diikuti oleh setiap orang di dunia ini. Dua universalisme yang rawan konflik tersebut adalah peradaban Islam dan Barat.

Sementara itu di dunia Islam sendiri, pandangan universalisme muncul dalam bentuk fundamentalisme Islam. Yang memprihatinkan dari fundamentalisme Islam ini adalah di samping membenarkan tentang pandangan dunia gerakannya sendiri ia

51 Al Qasash (28): 77.

Page 31: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

305

sekaligus menyalahkan dan menganggap sesat yang tidak sepandangan dengannya. Bahkan adalah sebagai sebuah kewajiban agama untuk menghancurkan dan memerangi mereka-mereka yang tidak sepaham.

Fenomena di atas, sangat rentan konflik jika tidak direspon dengan komunikasi peradaban. Sehubungan dengan komunikasi peradaban ini, menarik disimak kuotasi Amin Abdullah berikut,

Changing paradigm dalam wilayah budaya dan peradaban, perlu lewat dialog peradaban, bukannya perbenturan peradaban. Lewat proses dialog yang bersifat inklusif serta dengan proses take and give, antara berbagai peradaban, proses changing paradigm itu bisa berjalan dengan wajar, alami dan menguntungkan kedua belah pihak serta tidak menimbulkan gejolak sosial yang tidak peerlu.52

Dialog dan kemunikasi tampaknya last choice untuk menghindari perbenturan peradaban. Untuk itu para penganut agama, baik intern umat beragama atau antar umat beragama harus segera merubah paradgima absolut, menjadi paradigma pluralis. Tawaran Amin dengan think globally and act locally merupakan formula yang tepat untuk hal ini.53

Dengan demikian, tawartan sekuler Tibi sangat relevan sebagai sebuah alternatif bagi fundamentalisme Islam. Tibi sangat mencita-citakan sebuah komunitas internasional yang bermoral dan berdialog. Hanya saja persoalannya adalah apakah paham universalimse itu bisa dan mau berdialog? Ini merupakan pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Ego, romantisme historis, kerancuan berpikir merupakan beberapa faktor penghambat bagi tujuan dimaksud.

52 M. Amin Abdullah, “Dialog Peradaban Menghadapi Era

Postmodernisme: Sebuah Tinjauan Filosofis-Religius” dalam Al Jamiah No 53, tahun 1993, p. 118.

53 Ibid, p. 124

Page 32: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

306

F. Gagasan Sekuler Tibi di Mata Islam

Seperti yang dipaparkan di atas, bahwa gagasan sekuler Tibi merupakan suatu bentuk proses diferensiasi fungsional masyarakat dan bukan sekuler sebagai sebuah ideologi anti agama. Sekulerisasi Tibi diterjemahkan sebagai usaha desakralisasi atau melepaskan kesakralan objek-objek yang sesunguhnya idak sakral yang kesakralannya sesungguhnya hanya dimunculkan sendiri oleh umat Islam. Tegasnya sekularisasi menduniawikan nilai-nilai yang sesungguhnya memang bersifat duniawi dan melepaskannya dari pengukhrawiannya. Sekulerisasi juga bermakna pembebasan umat dari ikatan-ikatan yang sesungguhnya bukan agama yang jika ditelusuri merupakan hasil temua orang terdahulu.

Pada dataran sosial politik, gagasan Tibi mengarah pada kebebasan menentukan sistem sosial politik dan pemerintahan. Dalam hal ini agama tidak mengikat persoalan penentuan sistem-sistem tersebut. Manusia dipersilahkan berijtihad dan menentukan sistemnya sendiri yang dipandang paling baik bagi kehidupannya.

Ide tentang sekularisasi yang menganjurkan kebebasan untuk menentukan sistem politik dan pemerintahan yang terbaik, pada dasaarnya bentuk lain dari ijtihad. Ide tersebut muncul sebagai sebuah usaha kerja keras umat Islam dalam memahami dan membumikan nilai-nilai yang ada dalam Islam. Perbedaan bahkan perseberangan ide sekuler dengan ide-ide fundamentail dan tradisional, tidak bermakna sesuatu yang menyimpang dan tidak Islami. Bukankah hak berfikir dan berijtihad itu merata dimiliki oleh setiap muslim yang sudah bisa melakukannya? Bukankah ide fundamentalis dan tradisionalis juga sebagai sebuah produk dari ijtihad? Oleh karenanya, apapun bentuk hasil pemikiran yang dimunculkan, termasuk model sekuler tetap memiliki validitas sendiri dan dihargai dalam Islam. Tentu saja apa yang dimunculkan oleh Tibi secara teoritis, memiliki peluang untuk benar atau salah, sama halnya dengan peluang benar salah yang dimiliki oleh para pencetus ide fundamental dan tradisional.

Di dalam Islam ruang lingkup ajaran terpilah dalam dua kelompok, yaitu pilahan yang bersifat absolut, universal, kekal tidak

Page 33: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

307

berubah dan tidak bisa diubah. Pilahan kedua, yang bersifat tidak absolut, tidak universal, tidak kekal dan dapat diubah. Pilahan kedua inilah yang menjadi areal ijtihad. Dengan ijtihad inilah, hal-hal yang tidak ditail, relatif dan zanniyyat diolah.

Penjelasan di atas mempertegas bahwa persoalan tatanegara adalah persoalan furu’iyyah yang sangat niscaya untuk dilakukan ijtihad terhadapnya. Dengan demikian apa yang dipikirkan Tibi dengan ide sekulernya tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Karena dalam kaidah hukum Islam disebutkan bahwa ijtihad adalah cara untuk menghidupkan denyut jantung Islam. Hidup matinya Islam terletak pada hidup matinya prinsip gerak atau ijtihad itu sendiri.

Sejarah membuktikan bahwa sejak awal Islam, persoalan politik dan pemerintahan telah menimbulkan diskusi panjang dan menyisakan pro dan kontra. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa memang benarlah bahwa persoalan politik dan pemerintahan itu bukan sesuatu yang sudah dituntaskan pembahasannya dalam kitab suci akan tetapi dibiarkan diambangkan. Sehingga tak seorang pun berhak melarang untuk melakukan kajian kritis atau berijtihad.

Variasi pendapat adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar dalam ijtihad. Titik berangkat persoalan bisa sama, yakni dalam merespon persoalan tata negara, dalil bisa sama tetapi pemahaman setiap orang terhadap dalil itu sangat niscaya bergantung kepada kedalaman bacaan, wawasan, khazanah dan intensitas pemikiran. Hasil ijtihad yang berbeda justru menjadi tsarwah yang patut disyukuri, sehingga orang yang datang belakangan memiliki banyak pilihan untuk diikuti.54 Bukankah sifat dasar manusia diantaranya adalah perpedaan pendapat? 55

Pemikiran Tibi sesungguhnya bersumber kepada sumber utama Islam. Hanya saja pendekatan Tibi lebih mengarah kepada pemahaman yang substansial atau ide universal Islam (al ‘ibratu bi’umuumil lafzi laa bi khushusi sabab). Sementara muslim yang lain,

54 Hud (11) 118. 55 Zainal Abidin, “ Problemtik Ijtihad” dalam Haidar Bagir & Syafiq

Basri, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988) ,p. 95.

Page 34: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

308

misalnya fundamentalis mengarah pada pemahaman yang historis dan aksidental (al ‘ibratu bikhushusi sabab laa bi’umuumil lafzi). Tampaknya Tibi lebih focus kepada persoalan persoalan universal dalam Islam seperti illat, maslahah dan sabab nuzul nash.

Metode pemahaman Tibi, bukan sesuatu yang baru dan a historis dalam Islam. Karena cara yang sama pernah dilakukan oleh para ahlu ra’yi. Bukankah cara seperti itu bisa mengantarkan orang kepada pencapaian maslahah yang menjadi tujuan dasar syariat? Kemaslahatan sifatnya universal, artinya harus dicapai oleh setiap orang, hanya media untuk mencapainya antara suatu daerah, suatu waktu, suatu keadaan tidak sama.

Dukungan Tibi terhadap sistem negara bangsa dan sistem politik modern merupakan pemikiran yang rasioanal dan terdapat legitimasi dalam ajaran Islam. Bahkan sistem politik modern, lebih bisa diterima di penjuru dunia dari pada sistem universalisme Islam yang ditawarkan para fundamentalis. Sejarah telah membuktikan bahwa solidaritas kelompok yang didasarkan pada persamaan wilayah, bahasa bangsa dan etnik memiliki ikatan yang lebih kuat dari pada ikatan persamaan agama.56 Hal ini sesuai dengan firman Allah yang mengatakan bahwa keanekaragaman itu meniscayakan orang untuk saling mengenal satu sama lain. 57

56 Munawir Sjadzali, Islam, p. 178. 57 Al Hujurat (49): 13

Page 35: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

309

Daftar Pustaka

Al Quran Al Karim

Abd. Allah, Umar F., The Islamic Struggle in Syiria, Berkeley: Mizan Press, 1983.

Abd. Raziq, Ali, Al Islam wa Ushul al Hukm, Kairo: Mathba’ah Mishr Syirkah Mishriyyah, 1925.

_______, Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan, alih bahasa M. Zaid Su’adi, Yogyakarta: Jendela, 2002.

Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Jalan, Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Abdullah, M. Amin, “Dialog Peradaban Menghadapi Era Postmodernisme: Sebuah Tinjauan Filosofis-Religius” dalam Al Jamiah No 53, tahun 1993.

Ajami, Fouad, The Arab Prediacement: Arab Political Thought and Practice Since 1967, Cambridge: Cambridge University Press, 1981.

Arkoun, Mohammed, Rethinking Islam (terj), Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Azhar, Muhammad, “Islam dan Sekularisasi Politik”, dalam Jurnal Mukaddimah, No 11 TH VII 2001.

Berger, Peter L., Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, alih bahasa Hartono, Jakarta: LP3ES 1991.

Boullata, Issa J., Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab, alih bahasa Imam Khoiri, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Cox, Harvey, The Secular City, New York: The Macmillan Company, 1966.

Esposito, Ancaman Islam, Mitos atau Realitas, alih bahasa Alawiyah Abdurrahman, Bandung: Mizan, 1995.

Page 36: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

310

Haddad, Yvonne V., “Perang Arab Israel, Nasserisme dan Penegasan Identitas Islam” dalam John L. Esposito, Islam dan Perubahan Sosial Politik di Negara Sedang Berkembang, alih bahasa Wardah Al Hafiz, Yogyakarta: PLP2M, 1985.

Harahap, Syahrin, Al Quran dan Sekularisasi, Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thoha Husein, Jogjakarta: Tiara Weacana, 1993.

________, Al Quran dan Sekulerisasi: Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thoha Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Hardiman, Budi, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Huwaidi, Fahmi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, alih bahasa Muhammad Abdul Ghaffar, Bandung: Mizan, 1996.

Maududi, Islamic Law and Constitution Lahore: Islamic Publication, 1997 .

Natsir, M., “Syeikh Yang Maha Hebat” dalam Agama dan Negara dalam Perspektif Islam Jakarta: Media Dakwah, 2001.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina 1992.

_______, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,1992.

Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Rajawali Press, 1999.

Qutub, Sayyid, Social Justice in Islam, New York: Islamic Publication International, 2000.

Rahman, Fazlur, “Islamic Modernis: Its Scope, Methode and Alternatives” dalam International Journal Middle East, (1970).

_______, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual, alih bahasa Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1995.

Rahmani, Khamdi, Kritik Bassam Tibi terhadap Ideologi Fundamentalisme Islam, Skripsi Fakultas Syariah tidak diterbitkan tahun 2003.

Page 37: Liberalisme dalam Politik Islam · Liberalisme Islam sesungguhnya sebuah arah baru dalam pemikiran Islam yang ditandai dengan beberapa karakteristik, di antaranya mendukung demokrasi,

Muhammad Nur: Liberalisme dalam Politik Islam …

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 2, Februari 2004

311

Rahmat, Jalaluddin, “Fundamentalisme Islam, Mitos dan Relitas”, dalam Prisma Ekstra (1984).

Russel, History of Western Philosophy, Unwin University Books: 1945.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993

Solissa, Bassir, “Kemajuan Barat dan Reaksi Dunia Islam dalam Pandangan Bassam Tibi”, dalam Jurnal Refleksi Vol. II No 2 (Juli 2002).

Tibi, Bassam, Krisis Peradaban Islam Modern, alih bahasa Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

_______, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change Colo: Westview Press, 1990.

_______, Fundamentalismus im Islam: Eine Gefahr fur Den Weltfrieden? Darmstadt: Primus Verlag, 2000.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dam Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 1981

Wijaya, M. Yusuf, “ Visi-visi Pemikiran Keislaman: Upaya Klasifikasi Pemikiran Keislaman Timur Tengah” dalam M. Ainul Abied Shah (ed) Islam Garda Masa Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001.

Zainal Abidin, “ Problemtik Ijtihad” dalam Haidar Bagir & Syafiq Basri, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1988.