islam dan toleransi beragama: (studi pada upacara...

19
ISLAM DAN TOLERANSI BERAGAMA: (STUDI PADA UPACARA SELAMATAN DI GUNUNG KAWI, MALANG, JAWA TIMUR, INDONESIA) 1 ISLAM AND RELIGIOUS TOLERANCE: (STUDY ON SALVATION SELAMATAN” CEREMONY IN MOUNTAIN KAWI, MALANG, EAST JAVA INDONESIA) Nuryani Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia [email protected] Abstrak Toleransi beragama sesungguhnya dapat dimulai dari lingkungan sekitar kita melalui berbagai bentuk kegiatan. Islam telah memulainya melalui sebuah kegiatan yang didalamnya mencerminkan bentuk toleransi antarumat beragama. Dalam tulisan ini, akan dideskripsikan sebuah kegiatan yang di dalamnya terdapat pelajaran mengenai toleransi beragama. Selain itu, dalam tulisan ini juga akan dideskripsikan mengenai pengaruh Islam dalam kegiatan tersebut. Kegiatan yang di maksud adalah kegiatan selamatan yang dilaksanakan di Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur, Indonesia. Toleransi beragama sangat terlihat dalam kegiatan Selamatan di tempat ini. Hal tersebut tidak lepas dari adanya pengaruh Islam sebagai rahmatan lil alamin dan juga adanya kesamaan perasaan oleh pelaku kegiatan Selamatan. Pengaruh Islam sangat terlihat dalam kegiatan Selamatan di antaranya melalui penggunaan bahasa, tuturan doa-doa, sampai pada proses menuju pelaksanaan kegiatan Selamatan. Bentuk toleransi yang terlihat di antaranya adalah membaurnya semua pemeluk agama dalam satu kegiatan, setiap pemeluk agama melaksanakan setiap tahapan yang disyaratkan, sampai pada penerimaan doa-doa yang disampaikan oleh semua pemeluk agama. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi komunikasi, yakni peneliti ikut terjun dan melihat langsung setiap tahapan yang dilaksanakan. Melalui hasil penelitian ini diharapkan masyarakat luas dapat belajar bertoleransi dan dapat saling menerima perbedaan di masyarakat. Dengan demikian, kedamaian akan menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Kata kunci: toleransi beragama, Islam yang Rahmatan lil alamin, Selamatan, Gunung Kawi, Indonesia Abstract Religious tolerance real can be started from the our around environment through various forms of activities. Islam has been started through an activity in which reflects the shape of religious tolerance. In this paper, we will describe an activity in which there are lessons on religious tolerance. Moreover, in this paper will also describe the influence of Islam in these activities. The activities are salvation (selamatan) activities that conducted in Gunung Kawi, Malang, East Java, Indonesia. Religious tolerance is very visible in the activities of salvation at this place. It could not be separated from the influence of Islam as 1 Bagian dari Disertasi Penulis untuk mendapatkan gelar Doktor (Dr.) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

Upload: duongthuan

Post on 02-Mar-2019

247 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

ISLAM DAN TOLERANSI BERAGAMA:

(STUDI PADA UPACARA SELAMATAN DI GUNUNG KAWI, MALANG,

JAWA TIMUR, INDONESIA)1

ISLAM AND RELIGIOUS TOLERANCE:

(STUDY ON SALVATION “SELAMATAN” CEREMONY IN MOUNTAIN KAWI,

MALANG, EAST JAVA – INDONESIA)

Nuryani

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Toleransi beragama sesungguhnya dapat dimulai dari lingkungan sekitar kita melalui

berbagai bentuk kegiatan. Islam telah memulainya melalui sebuah kegiatan yang didalamnya

mencerminkan bentuk toleransi antarumat beragama. Dalam tulisan ini, akan dideskripsikan

sebuah kegiatan yang di dalamnya terdapat pelajaran mengenai toleransi beragama. Selain

itu, dalam tulisan ini juga akan dideskripsikan mengenai pengaruh Islam dalam kegiatan

tersebut. Kegiatan yang di maksud adalah kegiatan selamatan yang dilaksanakan di Gunung

Kawi, Malang, Jawa Timur, Indonesia. Toleransi beragama sangat terlihat dalam kegiatan

Selamatan di tempat ini. Hal tersebut tidak lepas dari adanya pengaruh Islam sebagai

rahmatan lil alamin dan juga adanya kesamaan perasaan oleh pelaku kegiatan Selamatan.

Pengaruh Islam sangat terlihat dalam kegiatan Selamatan di antaranya melalui penggunaan

bahasa, tuturan doa-doa, sampai pada proses menuju pelaksanaan kegiatan Selamatan.

Bentuk toleransi yang terlihat di antaranya adalah membaurnya semua pemeluk agama dalam

satu kegiatan, setiap pemeluk agama melaksanakan setiap tahapan yang disyaratkan, sampai

pada penerimaan doa-doa yang disampaikan oleh semua pemeluk agama. Penelitian ini

menggunakan pendekatan etnografi komunikasi, yakni peneliti ikut terjun dan melihat

langsung setiap tahapan yang dilaksanakan. Melalui hasil penelitian ini diharapkan

masyarakat luas dapat belajar bertoleransi dan dapat saling menerima perbedaan di

masyarakat. Dengan demikian, kedamaian akan menjadi bagian dalam kehidupan

bermasyarakat Indonesia yang sangat majemuk.

Kata kunci: toleransi beragama, Islam yang Rahmatan lil alamin, Selamatan, Gunung Kawi,

Indonesia

Abstract

Religious tolerance real can be started from the our around environment through

various forms of activities. Islam has been started through an activity in which reflects the

shape of religious tolerance. In this paper, we will describe an activity in which there are

lessons on religious tolerance. Moreover, in this paper will also describe the influence of

Islam in these activities. The activities are salvation (selamatan) activities that conducted in

Gunung Kawi, Malang, East Java, Indonesia. Religious tolerance is very visible in the

activities of salvation at this place. It could not be separated from the influence of Islam as

1 Bagian dari Disertasi Penulis untuk mendapatkan gelar Doktor (Dr.) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

rahmatan lil Alamin and also the similarities feeling by the perpetrator of salvation

(selamatan) activities. Islamic influence is very visible in the activities of the salvation of

them through the use of language, speech prayers, until the process towards the

implementation of salvation. The kind of tolerance that is visible of which is mixing all faiths

in one activity, every religious believer required to implement each stage, until the

acceptance of the prayers given by all faiths. This research uses ethnographic communication

approach. The researchers took the plunge and see firsthand every stage implemented.

Through the results of this research is expected that the public can learn tolerance and mutual

acceptance of diversity. Thus, peace will become a part of Indonesian public life who very

diverse.

Keyword: Religious tolerance, Islam as rahmatan lil Alamin, salvation (selamatan), Gunung

Kawi (Mountain of Kawi), Indonesia

Pendahuluan

Toleransi menjadi kata yang saat ini jamak diperbincangkan oleh hampir semua

kalangan. Berbagai pandangan, opini, dan perspektif mengenai toleransi dimunculkan.

Berbagai definisi juga muncul sesuai dengan kepentingan kalangan yang

memperbincangkannya. Hal tersebut tidak lepas dari adanya Indonesia sebagai negara yang

penuh dengan warna. Warna suku mendominasi di Indonesia. Demikian juga dengan warna

agama dan warna bahasa daerah. Hal tersebut tentu saja membawa konsekuensi adanya

pergesekan di antara segala sesuatu yang dianggap berbeda.

Simarta, dkk (2017: vii) menyebutkan bahwa nusantara adalah simbol sekaligus

pengalaman yang amat panjang dalam budi daya toleransi. Hal itu mengindikasikan bahwa

toleransi telah menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Toleransi telah

mulai disemai berbarengan dengan menyemai benih-benih berdirinya negara Indonesia.

Tidak akan ada Indonesia jika tanpa toleransi. Di Indonesia ada sekitar 656 suku. Jumlah

bahasa yang ada lebih dari 500 dan terdapat agama dan kepercayaan yang sangat beragam

(Simarta, dkk: 2017, 6). Adanya hal di atas bukan berarti toleransi telah dipahami sepenuhnya

oleh masyarakat penghuni negara Indonesia. Perbedaan suku, agama, faham, dan pandangan

terkadang mampu menjadikan toleransi menjadi sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan.

Bahkan, kesamaan agama dan suku bukan menjadi jaminan toleransi dapat berjalan dengan

baik.

Hal tersebut yang saat ini sedang marak terjadi di Indonesia. Adanya beberapa agama

yang diakui di Indonesia seharusnya bukan menjadi alasan untuk tidak saling bertoleransi.

Mengapa demikian? Indonesia berdiri sudah dengan keberagaman, sehingga akan terus

berjalan dengan keberagaman. Hal yang sama telah dicontohkan oleh Islam. Islam yang

disebut sebagai agama rahmatan lil alamin sebenarnya telah memulai proses toleransi

tersebut. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa tiap-tiap orang telah memiliki agamanya

masing-masing. Dengan demikian, di antara yang berbeda tersebut tidak diperkenankan untuk

saling mencampuri dan selayaknya memberikan ruang untuk saling menerima. Akan tetapi,

ruang tersebut berkenaan dengan kegiatan kehidupan sehari-hari yang tidak terkait dengan

proses atau ritual keagamaan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menerima berbagai agama untuk dianut

oleh penduduknya. Hal tersebut telah diakui secara sah di dalam undang-undang yang

berlaku, sehingga tidak suatu alasan untuk menolak agama yang telah diakui. Keberagaman

agama yang ada telah menimbulkan banyak interaksi dan akulturasi di dalam masyakat.

Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan banyak kegiatan di dalam masyarakat yang

merupakan percampuran atau hasil penerimaan dari unsur-unsur dari berbagai agama

tersebut.

Salah satu kegiatan yang di dalamnya terdapat cerminan toleransi adalah kegiatan

Selamatan. Kegiatan ini jamak ditemukan di masyarakat Jawa di Indonesia. Manusia

membutuhkan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hidup dalam lingkungan

yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan membuat manusia memiliki tanggung jawab

untuk menjaga keharmonisannya dengan lingkungan. Kehidupan harmonis yang tercipta

antara lingkungan alam dan manusia yang menempati akan memberikan dampak positif bagi

perkembangan manusia dan alam itu sendiri. Demikian halnya yang terjadi dalam kehidupan

masyarakat di Jawa yang memang cukup terkenal kedekatan antara manusia dengan alam

yang ditempatinya. Pemanfaatan antara kehidupan makrokosmos dengan mikrokosmos

berjalan sangat dinamis dan tercipta simbiosis mutualisme yang sangat bagus. Bagi

masyarakat Jawa kedekatan manusia dengan alam sekitarnya sudah berlangsung sejak lama

dan masih berjalan sampai saat ini.

Islam menganggap hal tersebut sudah sewajarnya dimiliki oleh manusia. Manusia

tidak dapat melepaskan diri dari keberadaan Tuhan atas kebutuhannya. Baik Islam yang

dianggap sebagai Islam ortodoks maupun Islam sinkretik tidak terdapat perbedaan akan

anggapan tersebut. Kalapun terdapat perbedaan hanya pada perbedaan penafsiran terhadap

beberapa hal. Perbedaan penafsiran tersebut lebih mengacu pada (1) keesaan Allah (tauhid),

(2) pembedaan sufi antara makna batin dan zahir, (3) pandangan Al-Quran dan Sufi bahwa

hubungan antara kemanusiaan dan ketuhanan harus dipahami sebagai hubungan kawula dan

gusti, dan (4) kesamaan mikrokosmos dan makrokosmos yang sama-sama dianut oleh tradisi-

tradisi Sufi dan Hindu (Woodward: 2008, 9).

Pokok-pokok kehidupan masyarakat telah ditentukan sebelumnya. Anggapan tersebut

muncul terkait erat dengan kepercayaan bahwa hidup mereka akan dituntun dan dibantu oleh

Tuhan melalui roh-roh nenek moyang. Hal itulah yang memunculkan kepercayaan terhadap

bermacam-macam roh yang mampu membantu mereka dalam menyelesaikan masalahnya.

Bantuan yang diberikan oleh Tuhan yang dilewatkan melalui nenek moyang berlaku juga

dalam pemenuhan kebutuhan secara materi. Tindakan yang dilakukan oleh manusia karena

adanya dorongan berbagai macam perasaan dikenal dengan kelakuan keagamaan. Kelakuan

keagamaan yang dilakukan menurut aturan tertentu yang dianggap penting dinamakan

upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1980;241).

Kepercayaan tersebut oleh masyarakat Jawa disebut sebagai agama kejawen.

Keagamaan orang Jawa Kejawen selanjutnya ditentukan oleh kepercayaan pada pelbagai

macam roh yang tidak kelihatan. Melihat hal tersebut, terdapat hubungan antara bentuk-

bentuk magis dengan agama. Hal ini menurut Malinowski (1982; 87) muncul karena adanya

tekanan situasi, seperti krisis dalam hidup, merasa kosong dalam mengejar sesuatu yang

penting, kematian dan permulaan kehidupan yang menjadi misteri, sampai pada

ketidakbahagiaan cinta dan ketidakpuasan hidup. Hal-hal yang demikian menjadikan manusia

terkadang memiliki berbagai macam cara untuk sekadar mencari kepuasan dari sesuatu yang

lain.

Salah satu kegiatan yang tumbuh di dalam masyarakat terkait dengan magis dan

agama adalah kegiatan ritual. Kegiatan ritual dipakai sebagai bentuk tumbuhnya kepercayaan

masyarakat terhadap adanya kekuatan di luar dirinya. Ritual yang mengaitkan dengan adanya

daya magis dianggap sebagai kegiatan kejawen yang bukan bagian dari Islam. Namum hal

tersebut dinyatakan oleh Woodward dalam buku Islam Jawa (2008; 4) bahwa kagiatan

kejawen merupakan bagian dari Islam.

“ Dengan agak kecil hati, saya mulai mempelajari doktrin dan ritual

Islam dengan seorang anggota pengurus masjid di lingkungan saya

tinggal dan memperhatikan secara seksaa khotbah-khotbah Jumat.

Kendati, orang yang menjadi informan kepercayaan saya ini merupakan

anggota terkemuka Muhammadiyah (organisasi pembaruan terbesar di

Indonesia), ia meyakinkan saya bahwa ritual-ritual keraton yang saya

amati dan sistem-sistem mistik kejawen yang saya gambarkan padanya

diderivasi dari Islam”.

Kepercayaan terhadap kekuatan gaib masih dapat dijumpai di beberapa tempat

meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda. Salah satunya dapat ditemukan di

wilayah Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur. Gunung Kawi merupakan salah satu gunung

yang terdapat di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Gunung ini terkenal

dengan berbagai macam ritual yang diselenggarakan di sana. Selain itu, Gunung Kawi juga

memiliki cerita tersendiri kaitannya dengan perjuangan Pangeran Diponegoro2. Dengan

begitu, tidak mengherankan jika tempat ini banyak dikunjungi tidak hanya dari kalangan

rakyat biasa, melainkan juga kalangan pejabat Indonesia, pengusaha pribumi maupun

pendatang, dan termasuk juga keluarga keraton.

Ritual selamatan memang sudah cukup dikenal oleh masyarakat, terutama masyarakat

Jawa yang cenderung “suka” melakukan kegiatan ritual. Manusia memilih berbagai alternatif

atau cara untuk menyesuaikan kegiatan tersebut. Namun demikian, terdapat hal-hal prinsip

yang tidak akan berubah dalam pelaksanan kegiatan selametan dari waktu ke waktu. Salah

satunya adalah dalam penggunaan perantara. Segala bentuk permohonan pada dasarnya

ditujukan kepada Tuhan, namun dengan perantara yang beragam sebagai bentuk kepercayaan

pelaku. Perantara dalam ritual biasanya berupa roh-roh tidak terlihat yang dianggap berkuasa.

Dituliskan dalam Primbon Jawa Betaljemur Jilid I, terdapat mantra atau di masyarakat Jawa

dikenal dengan istilah donga untuk menghadapi bencana (pageblug). Dalam donga ini

terdapat perantara yang berupa ‘sanghyang pengikut bumi’ yakni ‘Pangeran Purbaya’.

Penggunaan penyebutan ini dilakukan karena ‘Pangeran Purbaya’ dianggap sebagai penguasa

bumi yang dekat dengan Tuhan. Untuk itu, Pengaran Purbaya diharapkan dapat menjadi

perantara antara manusia dengan Tuhan. Berikut donga menghadapi bencana yang dikenal

dalam masyarakat Jawa.

Prayoga turu jam 1 wengi, sarta maca donga: Ashadu sadat mutahar, si

bapa kang murba wisesa, si buyung kempaling iman, si anak penjaring

jama. Pangeran panatagama, kang bisa ngrata jagad, nyirep sakehing

penyakit, Pangeran karya kekuna, kang tulen sajroning tulis, kang urip tan

kena lara pati, urip langgeng purbawasesa, ya ingsun kang bisa ngucapake

pasangat mutahar, ya ingsun Pangeran Purbaya, ingsun kawulane. Ashadu

sadat sanghyang, kawula bumi jung langit, apa isine, manungsa sajatining

karsa, herlis sajatining sidik amanat tableg, herna sajatining lawang rat

gumilang. Ashadu sadat rohiman jati, sabenere manungsa maya, Pangeran

puter siwalan jatining tunggal, Ashadu sadat Allah, tuhu yahuwa. Mukamat

warangkaning Allah, bismillah tanpa kawitan, sadat tanpa wakesan, kang

urip tanpa kena ing lara pati, urip langgeng salawase. Luwih becik saben

bengi sadurunge jan 12, ana latar karo maca donga (Soemododjojo,

2008).

‘Lebih baik tidur jam 1 malam, dan membaca doa: Ashadu sadat mutahar,

si bapa yang maha unggul, si buyung berkumpulnya iman, si anak

pengumpul manusia. Pangeran Panatagama, yang dapat meratakan dunia,

menghapus segala penyakit, Pangeran karya kekuna, yang asli dalam cerita,

2 Salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Cerita keterkaitan ini dapat dilihat pada prasasti yang terdapat di

pelataran Gunung Kawi

yang hidup dan tidak akan terkena sakit dan mati, hidup selamanya dalam

keunggulan, ya kami yang dapat menyampaikan pasangat mutahar, ya kami

Pangeran Purbaya, kami pengikutnya. Ashadu sadat sanghyang pegikut

bumi ujung langit, apa isinya, manusia yang sejati dalam kehendak, yang

sejatinya dapat dipercaya, amanah, tableg, sejatinya merupakan pintu yang

gemilang. Ashadu sadat rohiman jati, sebenarnya manusia itu tidak nyata,

Pangeran yang hanya satu. Ashadu sadat Allah, patuh. Muhamad utusan

Allah, bismilah tanpa permulaan, sadat tanpa akhir, yang hidup tanpa sakit

dan mati, hidup selama-lamanya’.

Bentuk bahasa dalam donga tersebut memperlihatkan pengaruh Islam yang cukup

kental, terlihat dalam penggunaan beberapa bahasa Arab. Bahasa Arab yang terdapat dalam

donga tersebut memiliki fungsi sebagai pernyataan kepercayaan dan permintaan yang

memang ditujukan kepada Tuhan. Pengaruh Islam juga terlihat dalam penggunaan nama

Mukamat (Muhammad) yang merupakan nabi dalam agama Islam. Penggunaan kata ashadu

sadat juga memperlihatkan pengaruh Islam sebagai bentuk kepercayaan mengakui adanya

Allah. Meskipun demikian, secara lafal menyesuaikan dengan ejaan dalam bahasa Jawa atau

lidah orang Jawa. Selain bahasa Arab, juga terlihat penggunaan bahasa Jawa yang tidak

umum dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Isi dari tuturan donga atau mantra di atas adalah permintaan kepada Tuhan. Akan

tetapi, permintaan tersebut tidak secara langsung dituturkan, melainkan diselipkan beberapa

hal di dalamnya. Beberapa hal yang diselipkan adalah pengakuan ketundukan manusia,

kelemahan kita sebagai manusia biasa, dan penegasan pengakuan atas kekuatan dan

kekuasaan Tuhan. Tuturan penegasan terlihat dari penggunaan kata Pangeran panatagama,

kang bisa ngrata jagad, nyirep sakehing penyakit (Pangeran piñata agama, yang dapat

meratakan dunia, menghilangkan semua penyakit). Tuturan yang berisi permintaan memang

tidak terlihat secara jelas dalam penggunaan kata tertentu, melainkan tersirat dalam hampir

semua tuturan. Sementara itu, tuturan yang berisi pujian terlihat jelas dan itu tersebar di

hampir seluruh tuturan.

Salah satu bentuk slametan yang sampai sekarang masih dilakukan oleh

masyarakat Jawa adalah kenduren. Di dalam kenduren juga dibacakan donga-donga yang

dalam penggunaan bahasanya sudah tercampur antara bahasa Jawa dan bahasa Arab. Hal

tersebut juga memperlihatkan adanya pengaruh Islam yang masuk. Struktur wacana dalam

kenduren biasanya diawali dengan bacaan-bacaan dalam bahasa Arab, kemudian bahasa Jawa

dan akan diakhiri dengan bacaan-bacaan dari bahasa Arab kembali (biasanya diambil dari

bacaan Al-Quran). Baik dalam penggunaan bahasa Arab maupun bahasa Jawa terlihat adanya

pujian, penegasan, dan ungkapan terima kasih atau rasa syukur, dan di dalamnya tersirat juga

adanya permintaan kepada Tuhan.

Selametan dapat dikatakan telah menjadi bagian atau kebudayaan masyarakat Jawa.

Akan tetapi, dalam berbagai bentuk kegiatan tersebut sebenarnya juga dikenal dalam

kehidupan masyarakat di berbagai daerah lain. Kessing (dalam Casson; 1981:46) menyatakan

bahwa kebudayaan adalah sistem adaptasi, sistem kognisi, sistem struktural, sistem simbolis,

dan sistem ideasional. Untuk itulah, kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan

sebuah kelompok masyarakat. Melalui kebudayaan yang dimiliki, masyarakat mencoba untuk

selalu beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada di sekitarnya.

Dalam tulisan ini, ritual selamatan memiliki perbedaan dengan istilah selamatan yang

dipakai oleh Geertz. Geertz menggambarkan bahwa slametan menjadi tradisi di kalangan

masyarakat di Jawa dengan mengundang tetangga-tetangga lelaki. Geertz menjelaskan bahwa

slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya. Di sana

handai taulan, tetangga, sanak saudara, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang

hampir terlupakan, semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja. Masih menurut Geertz,

slametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan sesuatu

kejadian yang ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan, seperti kelahiran, perkawinan,

kematian, maupun pindah rumah (Geertz, 1983;13). Sementara selametan yang dilakukan

oleh pelaku ritual di pesarean Gunung Kawi tidaklah demikian. Meskipun di atas dikatakan

berbeda antara selamatan yang biasa dilaksanakan oleh orang Jawa dengan yang

dilaksanakan di Gunung Kawi, di beberapa hal terdapat juga persamaan di antara keduanya.

Persamaan yang terlihat adalah penyebutan pemimpin ritual yang sama-sama disebut dengan

istilah Modin dan sama-sama menghidangkan sesajen.

Pengunjung yang ikut menjadi pelaku dalam ritual selamatan berasal dari berbagai

macam latar belakang. Dari sisi agama, pengunjung berasal dari beragam agam, yakni Islam,

Kristen, Katolik, dan Konghuchu. Sementara itu, dari sisi daerah, pelaku ritual berasal dari

beberapa daerah, yakni Jawa (meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Madura),

Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan berbagai daerah lain di Indonesia. Melihat keberagaman

tersebut, memunculkan beberapa pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini, yakni

a. Agama apa yang paling mendominasi dalam kegiatan tersebut?

b. Bagaimana salah satu agama yang mendominasi tersebut dapat diterima?

c. Dengan keberagaman tersebut, bagaimana suasana toleransi yang tercipta baik di

dalam kegiatan maupun di lingkungan masyarakat sekitar?

Metode

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi. Etnografi adalah

proses penelitian yang dalam kegiatan tersebut peneliti mengobservasi, merekam, dan ikut

berpartisipasi di dalam kegiatan yang dilaksanakan (Sibarani; 2004:54). Dengan kegiatan

yang semacam itu, metode yang digunakan adalah metode lapangan (fieldwork method), dan

kemudian menulis laporan tentang kebudayaan tersebut dengan memperhatikan uraian atau

perincian deskriptif (Marcus&Fisher dalam Sibarani; 2004: 54).

Dalam penelitian ini menggunakan tiga metode dalam mengumpulkan data, yakni

obseravsi partisipatoris, observasi periodik, dan wawancara mendalam (indepth interview)

(Sibarani; 2004:51). Metode observasi partisipatoris adalah peneliti ikut serta berpartisipasi

dalam kegiatan-kegiatan yang diobeservasi, disekripsi, dan dianalisis (Sibarani; 2004:55,

Danesi; 2004:7, Spradley; 1997:105). Dalam metode ini peneliti ikut terjun langsung bersama

dengan pengunjung-pengunjung lain termasuk pelaku ritual selamatan. Peneliti juga

bergabung dengan pelaku-pelaku ritual dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Peneliti

mengikuti seluruh rangkaian ritual yang dilaksanakan di tempat penelitian. Partisipasi

langsung ini dimaksudkan supaya peneliti dapat lebih memahami segala hal yang menjadi

aturan dalam pelaksanaan ziarah. Selain itu, juga dimaksudkan supaya peneliti mendapatkan

informasi langsung bentuk tuturan atau doa yang digunakan dan disampaikan oleh Modin

dalam ritual ziarah tersebut.

Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada saat observasi partisipatoris adalah

mengikuti segala kegiatan pelaksanaan selametan. Di sana peneliti merekam dan mengamati

pelaksanaan kegiatan ritual selamatan tersebut sehingga akan didapatkan gambaran yang jelas

mengenai konteks ritual. Konteks yang dilihat meliputi konteks fisik, sosial, budaya, dan

psikologis dari pelaku ritual dan modin. Selain itu, dicermati juga aturan-aturan yang harus

dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama kegiatan ritual berlangsung. Hal itu dilakukan

dengan pertimbangan ada kemungkinan hal-hal tersebut memengaruhi tuturan ritual maupun

pola pikir pelaku ritual.

Observasi lain yang dilakukan adalah observasi periodik ke lapangan. Metode ini

memiliki peran yang cukup penting dalam penelitian lapangan khususnya maupun budaya

secara umum. Metode ini juga terkait dengan metode sebelumnya atau lebih tepatnya

merupakan kelanjutan metode sebelumnya, yakni metode observasi partisipatoris. Metode ini

digunakan untuk melakukan kroscek data yang telah didapatkan dari observasi partisipatoris.

Dalam menggunakan metode ini peneliti sudah tidak lagi terjun dan ikut langsung dalam

perilaku ritual, melainkan secara berkala melihat ritual-ritual tersebut dilakukan. Ritual yang

dilihat boleh yang telah diikuti maupun yang belum diikuti dalam penelitian sebelumnya.

Kegiatan yang dilakukan juga dalam observasi periodik adalah melanjutkan wawancara

mendalam yang telah dilakukan.

Pengumpulan data selanjutnya dilakukan melalui kegiatan wawancara mendalam

(Indepth Interview). Wawancara mendalam dilakukan supaya informasi yang didapatkan

tidak simpang siur dan jelas dari sumbernya. Berdasarkan sifatnya wawancara yang

dilakukan dibagi dalam dua kategori, yakni wawancara terbuka dan tertutup. Wawancara

terbuka dilakukan dengan pengunjung dan pelaku ritual selamatan di pesarean, sedangkan

wawancara tertutup dilakukan dengan juru kunci yang menjaga pesarean Gunung Kawi dan

Modin selaku pemimpin ritual selamatan.

Wawancara dilakukan beberapa kali terhadap beberapa narasumber (informan). Di

Gunung Kawi, terdapat pengunjung yang sifatnya sangat heterogen, yakni dari suku Jawa,

Cina, bahkan sampai luar Jawa. Selain itu, pengunjung dan pelaku juga berasal dari latar

belakang agama yang berbeda pula, di antaranya berasal dari agama Islam, Kristen, Budha,

dan Konghucu. Melihat beragamnya latar belakang pengunjung dan pelaku ritual, dalam

penelitian ini dipilih informan-informan yang dapat mewakili beragam masing-masing suku

dan agama. Sementara itu, untuk juru kunci, di Pesarean Gunung Kawi terdapat banyak juru

kunci, baik yang sekadar menjaga pintu makam, menjaga makam, menjaga sumber air,

sampai yang memimpin ritual. Masing-masing juru kunci menjadi informan untuk

mendapatkan data yang beragam.

Data-data yang telah didapatkan kemudian dikumpulkan, dan dianalisis dengan

menggunakan beberapa tahapan. Tahap-tahap tersebut meliputi (1) melakukan transkripsi

diikuti dengan terjemahan bebas, (2) menganalisis berdasarkan konteks, dan (3) analisis

berdasarkan klasifikasi dan kemudian mengintrepretasikan penyebab adanya pola pikir

tersebut. Transkripsi merupakan kegiatan menyalin tuturan doa yang dituturkan secara lisan

ke dalam bentuk teks. Terjemahan bebas memiliki arti bahwa peneliti mengartikan atau

menerjemahkan bahasa yang digunakan dalam tuturan itu secara bebas. Penerjemahan perlu

dilakukan sebab data bahasa yang digunakan dalam tuturan tersebut sangat beragam. Oleh

sebab itu, perlu dilakukan penerjemahan guna memberikan pemahaman terhadap pembaca

lain yang tidak atau belum memahami bahasa yang digunakan.

Beberapa komponen yang didapatkan dari wawancara dan analisis wacana ritual

Modin menjadi dasar peneliti untuk memberikan penafsiran. Dalam penelitian budaya

khususnya, metode interpretative menjadi sifat yang cukup penting. Sesuai dengan yang

disarankan oleh Geertz (1992:4) bahwa dalam penelitian kebudayaan senantiasa terbuka

kemungkinan untuk menganalisis data dengan mempertimbangkan sifat penelitian itu sendiri.

Adapaun sifat penelitian itu adalah penafsiran (interpreatif).

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus menurut

Creswell (2003:15) adalah peneliti mengeksplor secara mendalam setiap peristiwa, kegiatan,

proses pada satu atau lebih individu. Kasus yang diambil dibatasi oleh waktu dan kegiatan,

dan peneliti mengumpulkan data dan informasi secara lengkap dan mendalam dengan

menggunakan prosedur pengumpulan data yang bervariasi. Dengan demikian, metode atau

prosedur pengambilan data yang digunakan oleh peneliti selalu berkembang sesuai dengan

kenyataan yang ditemukan di lapangan. Karena penelitian ini merupakan penelitian studi

kasus maka simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan dengan

penelitian lain meskipun sejenis.

Hasil Temuan

Deskripsi Gunung Kawi

Adanya fenomena kepercayaan di pesarean Gung Kawi dan berbagai mitos yang

berkembang di sana, tidak dapat dilepaskan dari dua sosok bersahaja yang dimakamkan di

tempat tersebut. Hal itu disebabkan, setiap pengunjung yang datang selalu memberikan

alasan hendak melakukan ziarah ke makam Eyang Djugo dan R.M. Imam Soedjono.

Pengunjung yang datang dari berbagai latar belakang suku, budaya, bahasa, maupun agama

yang berbeda tersebut selalu memiliki alasan yang sama. Oleh sebab itu, kedua tokoh tersebut

seperti menjadi sentral atau pusat dalam setiap pembicaraan mengenai keberadaan Gunung

Kawi. Untuk itu, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai sejarah keberadaan tokoh tersebut

sampai berada di Gunung Kawi. Selain akan terlihat dua sosok tersebut, dalam subbab ini

nantinya juga akan terlihat proses terjadinya akulturasi budaya yang tercipta dan terlihat

melalui bangunan-bangunan di sekitar pesarean. Dari situ akan terbayang gambaran

keharmonisan yang tercipta di antara pengunjung yang berbeda latar belakangnya.

Gambar 1.

Peta Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur, Indonesia

Sejarah mengenai keberadaan Gunung Kawi dimulai pada tahun 1830, setelah

Pangeran Diponegoro dapat dikalahkan oleh Belanda. Banyak pengikut Pangeran Diponegoro

yang melarikan diri ke pelosok-pelosok nusantara. Salah satu pengikut setia Pangeran

Diponegoro yang juga ikut melarikan diri adalah Kyai Zakaria II (versi lain menyebutkan

bahwa Kyai Zakaria II adalah penasihat spiritual Pangeran Diponegoro). Kyai Zakaria II

melarikan diri ke beberapa tempat, yakni Pati, Bagelan, Tuban, kemudian sampai di Blitar,

tepatnya di dusun Djoego, Desa Sanan, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Diperkirana

Beliau sampai di daerah tersebut sekitar tahun 1840.

Kanjeng Panembahan Kyai Zakaria II merupakan anak keturunan dari Kyai Zakaria I.

Beliau adalah cucu dari Bendoro Pangeran Hario Diponegoro dan buyut dari Sampeyan

Dalem Engkang Sinuwun Kandjeng Susuhunan Pakubuwono I. Kandjeng Susuhunan

Pakubuwono adalah raja yang memerintah di Keraton Surakarta. Oleh karena beliau adalah

keturunan dari Kyai Zakaria I maka beliau dikenal dengan Kyai Zakaria II. Melihat silsilah

Kyai Zakaria yang tidak lain adalah keturunan keratin, maka dalam tuturan ritual beliau

disapa dengan istilah Kanjeng dan Penembahan. Keduanya menjadi ciri khas bahwa yang

bersangkutan adalah keturunan keraton.

Dalam pengembaraannya di dusun Djoego, beliau mendirikan padepokan yang

digunakan untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar. Keberadaannya di

dusun Djoego yang membuat Kyai Zakaria II kemudian dikenal dengan sebutan Eyang

Djugo. Sekitar sepuluh tahun setelah pendiriannya, padepokan tersebut mulai banyak murid

yang berdatangan. Salah satu yang menjadi murid setia beliau adalah yang juga pengikut

Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke wilayah Jawa Timur. Pengikut tersebut

akhirnya menemukan padepokan Eyang Djugo dan bergabung menjadi muri setia. Selain

menjadi salah satu murid setia Eyang Djugo, belaiu sekaligus diangkat sebagai anak oleh

Eyang Djugo. Beliaulah yang dikenal dengan nama R.M. Imam Soedjono. Oleh kalangan

orang-orang keturunan Tionghoa, Eyang Djoego dikenal dengan sebutan Tao Law Shi, yang

artinya guru besar pertama. Sementara itu, R.M. Imam Soedjono dikenal dengan sebutan Djie

Law Shi, yang artinya adalah guru besar kedua.

Sepeninggal Eyang Djoego, kepemimpinan diambil alih oleh R.M. Imam Soedjono,

yang kemudian dikenal dengan Eyang Soedjo. Kepemimpinan diambil alih sampai beliau

wafat pada tahun 1876. Eyang Soedjo wafat pada hari Rabu Kliwon, dan langsung

dimakamkan di tempat tersebut. Kedua panembahan Eyang Djoego dan Eyang Soedjo

dimakamkan dalam satu liang lahat (namun terdapat juga versi lain yang menyebut mereka

dimakamkan tidak dalam satu liang lahat, melainkan berjajar). Namun demikian, yang

terlihat dalam pasarean tersebut memang makam yang cukup luas dan dimungkinkan dua

jenasah yang dimakamkan saling berdempetan.

Dengan kematian dua tokoh tersebut tidak menjadikan Gunung Kawi sepi dari orang-

orang yang hendak belajar kebijaksanaan hidup. Pada sekitar tahun 1931 datang seorang

keturunan Tionghoa yang bernama Ta Kie Yam (dikenal dengan sebutan mpek Yam).

Kedatangannya ke Gunung Kawi pada awalnya untuk melakukan ziarah ke makam Eyang

Djoego dan Eyang Soedjo dan mencari pengobatan di tempat tersebut. Setelah minum air suci

yang diambil dari guci kuno dan diberikan beberapa doa, mpek Yam merasakan kesembuhan

dan merasa berterimakasih kepada Eyang Soedjo. Namun, setelah mendapatkan kesembuhan,

mpek Yam merasakan kehidupan yang tenang dan nyaman di tempat tersebut, sehingga

memutuskan untuk tinggal dan mengambdi pada Eyang sekalian.

Deskripsi Selamatan dan Analisis Data

Ritual Selamatan di Pesarean Gunung Kawi sudah muncul sejak adanya dua tokoh

bersahaja yang dimakamkan di tempat tersebut, yang tidak lain adalah Eyang Djoego (Kyai

Zakaria II) dan Eyang Soedjo (R.M. Imam Soedjono). Dengan alasan atau tujuan untuk

melakukan ziarah ke makam dua tokoh tersebut pengunjung berduyun-duyun mendatangi

tempat ini. Terlepas dari tujuan dan alasan awal tersebut, beberapa di antara atau bahkan

hampir setiap pengunjung memiliki alasan yang lain. Salah satu yang menjadi alasan utama

mendatangi tempat tersebut adalah untuk melakukan ritual selamatan.

Ritual selamatan ini menjadi menarik karena berbeda dengan ritual-ritual lain yang

ada di tempat tersebut. Jika dalam ritual lain, segalanya dilakukan oleh pelaku sendiri, tanpa

adanya bantuan atau doa-doa dari pihak lain, sehingga maksud dan harapan hanya dapat

diketahui oleh yang bersangkutan. Sementara itu, untuk ritual selamatan dilaksanakan secara

bersamaan dengan dipimpin oleh juri kunci makam dan dibacakan doa-doa oleh modin.

Selain hal itu, beberapa hal lain juga membedakan antara ritual selamatan ini dengan

ritual-ritual yang lain. Beberapa perlengkapan yang harus dibawa dan dipenuhi oleh pelaku

ritual cukup banyak, dan ini tidak akan ditemukan dalam ritual yang lain. Pelaku ritual juga

diharapkan dalam kondisi yang bersih, suci lahir dan batin. Beberapa pengunjung mengaku

sebelum mengikuti ritual tersebut terlebih dahulu melakukan puasa. Sementara itu, sebelum

melaksanakan ritual ini pengunjung diharapkan sudah mandi keramas. Hal ini menyiratkan

makna bahwa setiap pelaku ritual harus bersih dan suci lahir dan batin.

Sama halnya dengan uba rampe yang berupa nasi tumpeng, uba rampe yang terdiri

atas bunga dan sebagainya juga telah tersedia di tempat tersebut. Beberapa pedagang siap

melayani setiap kebutuhan mereka. Di sepanjang jalan menuju gapura puncak pesarean

berjajar kios-kios yang menawarkan bunga-bunga dan segala perlengkapan yang dibutuhkan.

Berkenaan dengan seberapa banyak bunga yang harus dibawa juga tidak ditentukan, sehingga

para pedagang bunga menyediakan dalam beberapa pilihan. Bunga-bunga yang telah

dibungkus dengan daun pisang dijual dengan harga Rp2.000 per bungkus. Pedagang juga

menyediakan bunga yang ditempatkan pada keranjang plastik dan dijual dengan harga

Rp5.000 per wadah. Untuk satu kemenyan dijual dengan harga Rp1.000 (belum termasuk

kantongnya). Untuk kantongnya sendiri per bungkus ditawarkan dengan harga bervariasi

antara Rp 4.000 sampai Rp 5.000. karena ada dua warna, dan itu bukan pilihan melainkan

untuk dua maksud yang berbeda, maka pelaku biasanya membeli dua kemenyan untuk

dimasukkan dalam dua kantong yang berbeda warna tersebut. Akan tetapi, bagi pelaku yang

hanya menghendaki satu kantong juga tidak dipermasalahkan. Semua pilihan tersebut

kembali kepada pelaku ritual. Setelah semuanya dibeli, pedagang akan menatakan dalam satu

tempat, bunga-bunga diberi taburan irisan daun pandan kemudian diberi wewangian dan siap

untuk dibawa ke makam. Sementara untuk kemenyan tetap dimasukkan dalam kantong, tidak

dijadikan satu dengan bunga dan irisan daun pandan tersebut.

Apabila semua sudah siap tetapi waktu pelaksanaan belum dimulai, pelaku bisa

menunggu di depan bangunan pesarean. Pelaku belum diperkenankan untuk masuk ke

pesarean karena pintu akan dibuka jika ritual sudah akan dimulai, baik pintu utama maupun

pintu di sisi kiri maupun kanan. Apabila sudah terlihat juru kunci makam datang maka dapat

dipastikan ritual akan segera dilaksanakan. Sementara juru kunci makam bersiap-siap,

beberapa abdi dalem mulai membuka semua pintu pesarean. Meskipun semua pintu dibuka,

pelaku ritual hanya diperkenankan masuk melalui pintu utama yang terdapat di depan

pesarean. Bagi pelaku yang kedatangannya juga hendak mencari kesembuhan ataupun ingin

sehat, dapat memesan air suci kepada abdi dalem yang menunggu air suci. Nantinya, sesaat

sebelum ritual selamatan dimulai abdi dalem akan mengantarkan jerigen-jerigen pesanan

pelaku ritual untuk ikut dibacakan doa oleh modin.

Setelah pintu dibuka, pelaku ritual yang merasa sudah memesan dan membawa uba

rampe ritual berduyun-duyun masuk ke pesarean. Mereka masuk dengan bertelanjang kaki

dan berpakaian bersih serta rapi. Terlihat pelaku berasal dari beragam suku dan agama.

Mereka kemudian duduk bersila di hamparan karpet hijau yang menutupi lantai pesarean.

Dengan tertib dan teratur mereka memberikan bunga dan kemenyan yang telah mereka bawa

kepada abdi dalem yang berada tepat di pinggir makam. Bunga-bunga tersebut kemudian

dibuka dan dimasukkan ke dalam baskom yang berisi bunga. Sementara itu, untuk kemenyan

diserahkan tidak beserta kantongnya, karena kemenyan semuanya akan dimasukkan ke dalam

satu baskom. Kantongnya dibawa oleh masing-masing pelaku ritual.

Setelah semua pelaku siap, duduk tertib dan diharapkan tidak mengobrol, muncul

beberapa abdi dalem yang menata pesanan nasi tumpeng pelaku. Nasi tumpeng tersebut

ditempatkan di wadah semacam besekan (wadah berbentuk kotak yang terbuat dari bambu).

Besekan tersebut oleh abdi dalem ditata di depan pelaku ritual sesuai dengan pesanan masing-

masing. Di luar besekan tersebut sudah tertera nama pemesannya, dan abdi dalem akan

mencocokkan sesuai dengan tempat duduk mereka. Selama prosesi ritual, pelaku duduk

bersila menghadap ke makam dengan membentuk beberapa baris. Setiap pelaksanaan ritual

diikuti tidak kurang dari 20 sampai 25 orang, atau untuk waktu-waktu tertentu bisa lebih dari

jumlah tersebut. Untuk itu, pelaku ritual membentuk barisan ke belakang sambil menghadap

ke makam sekaligus menghadapi modin yang membacakan doa-doa.

Setelah semua pelaku ritual siap, uba rampe yang berupa nasi tumpeng sudah ditata,

sementara perlengkapan lain sudah diserahkan kepada abdi dalem penjaga makam, dan oleh

abdi dalem sudah ditempatkan ke baskom masing-masing, maka ritual segera dilaksanakan.

Ritual akan dibuka dengan pertanyaan dari modin tentang kesiapan para pelaku ritual. Selain

itu, modin juga akan memberikan peringatan untuk tertib selama pelaksanaan ritual. Tertib di

sini diartikan pelaku ritual tidak boleh bercakap-cakap selama pelaksanaan ritual, bagi yang

membawa anak kecil dimohon untuk menjaganya supaya tidak mengganggu jalannya ritual.

Pelaku juga diharapkan untuk turut serta dalam beberapa bagian pembacaan doa, di antaranya

mengucapkan “amin” jika diperlukan. Akan tetapi, bacaan amin tersebut juga tidak boleh

terlalu keras, bisa dilakukan dalam hati atau hanya sekadar membuka mulut tanpa suara.

Modin membuka pembacaan doa-doa dengan terlebih dahulu mengajak kepada

seluruh pelaku ritual untuk dimintai doa restunya dan berharap semua dalam keadaan sehat.

Berikut beberapa cuplikan tuturan modin dalam ritual selamatan.

Mangga sedherek sedaya

‘Mari saudara semua’

Kula suwun pangestunipun rahayu wilujeng

‘Saya minta restu selamat sejahtera’

Muginipun rencang angge ne dedonga wonten wana dhumateng Rosulullah

‘Semoga teman dalam berdoa di hutan kepada Rosulullah’

Kula tansah nglantaraken hajatipun para jaler saha re ncang estri

‘Saya selalu nglantaraken hajatnya para saudara laki dan teman perempuan’

Sedaya wau sami caos wuri lan nedhi

‘Semua tadi sama memberi wuri dan makan’

Ingkang dipuntujukaken dhumateng eyang panembahan sekaliyan

‘Yang ditujukan kepada eyang panembahan berdua’

Pramilo dipuntenggo wangsulanipun pandonga rahayu wilujeng

‘Untuk itu ditunggu jawaban doa rahayu wilujeng’

Wilujenga anggenipun saget gesang ing bebriyo, wilujenga sak keluarganipun sedaya

‘Semoga selamat dalam hidup berumah tangga, semoga selamat bersama keluarganya

semua’.

……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………

‘Mari saudara semua’

‘Saya minta restunya selamat sejahtera’

‘Semoga saudara dalam melakukan doa di hutan kepada Rosulullah’

‘Saya selalu menghantarkan hajatnya para saudara laki-laki dan perempuan’

‘Semuanya tadi memberikan makan (nasi) dan perlengkapannya’

‘Yang ditujukan kepada Eyang Panembahan sekaliyan’

‘Untuk itu, ditunggu jawaban atas doa keselamatan ‘

‘Semoga selamat dalam menjalani hidup berumah tangga, dan selamat bersama

dengan semua keluarganya’

Doa pembuka yang menggunakan bahasa Jawa tersebut dapat dimaknai sebagai

bentuk kepasrahan pelaku ritual dalam memohon kepada sanga pencipta. Dalam hal ini,

permohonan disampaikan kepada Tuhan melalui Rosulullah dan mengambil lokasi di hutan.

Pernyataan dhumateng Rosulullah pada dasarnya memberikan tanda bahwa pelaku ritual

menganggap bahwa wujud tertinggi dari pengharapan tetap ditujukan kepada Tuhan.

Rosulullah adalah nabi Muhammad yang merupakan utusan terakhir Tuhan dalam

kepercayaan agama Islam. Hal tersebut juga diyakini oleh pelaku ritual yang beragama selain

Islam, dan hal itu menurut mereka tidak menjadi suatu permasalahan. Sementara yang di

maksud wana (hutan) adalah karena lokasinya yang berada di gunung, masih dipenuhi

dengan pepohonan, maka masih dikenal dengan sebutan hutan.

Doa dilanjutkan dengan tuturan berikut.

Sageta kinabulan sedaya penyuwunipun para wayah ingkang sowan wonten

pesare

‘Semoga bisa terkabul semua permintaan anak-anak yang datang ke makam

kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Mawi wilujengan motong kambing lan ayam sekul suci.

‘Dengan mengadakan selamatan pototng kambing dan ayam serta nasi

gurih’.

Ugi wilujengan mawi sekul tumpeng.

‘Juga selamatan dengan nasi tumpeng’.

Sedaya wau kagem caos dhahar Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan.

‘Semua itu untuk memberi makan kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Mugi Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan kerso’a nampi sampun

ngantos nagih tanpa nyambi.

‘Semoga kanjeng Eyang Penembahan berdua mau menerima jangan sampai

menagih tanpa’.

Sageto luar ing dinten menika, panyuwunapiun para wayah sedaya.

‘Semoga bisa bebas di hari ini permintaan anak-anak semua’.

……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………

‘Kecuali dari itu, anak-anak dulu berada dalam kerepotann dalam hati’.

‘Dalam kerepotan di hati itu, saya memohon kepada Tuhan yang Maha

Kuasa dengan perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

‘Juga punya rasa dalam hati, dan juga bisa diberi kebebasan semua

kerepotannya, semoga bisa terkabul semua permintaan anak-anak yang

datang ke makam kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

‘Dengan mengadakan selamatan pototng kambing dan ayam serta nasi gurih’.

‘Juga selamatan dengan nasi tumpeng’.

‘Semua itu untuk memberi makan kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

‘Semoga kanjeng Eyang Penembahan berdua mau menerima jangan sampai

menagih tanpa mencicipi’.

‘Semoga bisa bebas di hari ini permintaan anak-anak semua’.

‘Semoga bisa hilang bahayanya, jauhkan nafsunya, siap rejekinya, dengan

perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Tuturan yang masih menggunakan bahasa Jawa ini menjadi penghantar sebelum

masuk kepada tuturan inti dalam pelaksanaan selamatan. Doa yang dipanjatkan masih umum

dengan menyebutkan para wayah yang berarti menganggap pelaku ritual ini datang kepada

orang tuanya, yang dalam hal ini adalah Eyang Djoego dan Eyang Soedjo. Dengan

menganggap mereka sebagai orang tua atau orang yang dianggap lebih tua, kemudian

membawakan segala macam yang dibutuhkan, seperti nasi dan lain sebagainya, diharapkan

permintaan dapat dikabulkan. Setelah tuturan ini, akan dilanjutkan dengan tuturan berikutnya

yang menggunakan bahasa Indonesia.

Berikut tuturan selanjutnya.

Kajawi saking punika, kula ngaturaken hajatipun

‘Kecuali dari itu, saya menghantarkan hajatnya’.

Dari Bapak FM, usahanya PT FBAP, di Jl. TM raya, no. 27 J, sekeluarga mohon

sehat, selamet, usahanya lancar, banyak rejekinya.

Dari Bapak WG, usahanya PT PIM, di Jl. KT, no.7 J, usahanya mohon lancar, banyak

rejeki, dan selamet sekeluarga.

Dari Saudara B, usahanya LJ di D, W, mohon usahanya lancar, banyak rejeki, mohon

usaha lancar, banyak rejeki, dan slamet sekeluarga.

Dari Bapak WS di Jl. SI, no. 19 S, sekeluarga mohon sehata selamet, usaha mohon

lancar, banyak rejekinya, usaha pintu besi harmonika dan bengkel.

……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………

Tuturan di atas merupakan penggalan dari tuturan yang dituturkan pada bagian inti

wacana. Karena merupakan bagian inti, masih terdapat bagian penutup yang kembali

menggunakan bahasa Jawa dan dilanjutkan dengan bacaan yang menggunakan bahasa Arab.

Berikut doa penutup yang masih menggunakan bahasa Jawa.

Sedaya usahanipun sageto lancar maju berhasil lan sukses.

‘Semua usahanya semoga bisa lancar, maju, berhasil, dan sukses’.

Para wayah dalu menika kang sowan wonten pesareanipun Kanjeng Eyang

Panembahan sekaliyan.

‘Anak-anak malam ini yang datang ke makam kanjeng Eyang Penembahan

berdua’.

Mawi wilujengan, motong kambing lan ayam sekol tumpeng kagem caos dhahar

Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan.

‘Dengan mengadakan selamatan, potong kambing dan ayam nasi tumpeng untuk

member makan kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

Mugi Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan kerso’a nampi sampun ngantos

nagih tanpa nyambi sageta luar ing dinten menika, panyuwunanipun para

wayah sedaya sageta lancar sedaya usahanipun.

‘Semoga kanjeng Eyang Penembahan berdua mau menerima jangan sampai

menagih tanpa, semoga bisa bebas di hari ini, permintaan anak-anak semua

semoga lancar semua usahanya ’.

Sageta ical sengkalane, tebiya birahine, cepaka rejekine, lelantaran Kanjeng

Eyang Panembahan sekaliyan.

‘Semoga bisa hilang bahayanya, jauhkan nafsunya, siap rejekinya, dengan

perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’.

……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………

Tuturan di atas merupakan pengulangan pada tuturan pembuka yang kedua, hanya

terdapat penambahan sedikit pada bagian awal tuturan. Setelah doa tersebut, doa kemudian

ditutup dengan bacaan berbahasa Arab.

Berikut tuturan tersebut.

Audzubillahiminasyaithanirrajim.

Bismillahirrahmanirrahim.

Allahummashali’alasayidina Muhammad, wa’ala ali sayidina Muhammad.

Minal awalina wal akhirina ………

……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………

Tuturan dengan menggunakan bahasa Arab ini yang kemudian oleh pelaku ritual

disambut dengan bunyi “amin”. Kata “amin” diucapkan dengan bunyi rendah atau bahkan

tanpa bersuara. Setelah pembacaan doa ditutup dengan bacaan berbahasa Arab tersebut,

modin kemudian mengumumkan bahwa pelaksanaan selamatan telah selesai. Sepertinya

setiap pelaku ritual sudah tahu atau hafal harus melakukan apa ketika ritual selamatan selesai.

Besekan diambil kembali oleh abdi dalem berpakaian Jawa untuk dibagikan kepada warga

sekitar. Akan tetapi tidak semua diambil, jika pelaku ritual menghendaki, besekan tersebut

dapat dibawa pulang.

Setelah segala prosesi ritual selamatan selesai, abdi dalem kembali akan menutup

semua pintu pesarean. Pintu akan dibuka kembali pada waktu pelaksanaan ritual selamatan

berikutnya. Karena begitu banyaknya yang mengikuti ritual selamatan, pada saat keluar

pelaku dapat menggunakan pintu, baik sebelah kiri, kanan, maupun pintu utama. Namun

untuk pengambilan air suci dari guci kuno masih dapat dilakukan selama persediaan air

masih ada.

Gambar 2.

Bunga yang menjadi salah satu uba rampe diletakkan di depan makam

Gambar oleh Nuryani (10 Maret 2010)

Gambar 3.

Kemenyan dan kantong yang berwarna kuning dan merah yang digunakan sebagai salah satu

uba rampe juga disediakan oleh pedangang di sekitar makam

Gambar oleh Nuryani (10 Maret 2010)

Pada pelaksanaan ritual selamatan modin membakar kemenyan pada saat kegiatan

dilaksanakan. Kemenyan yang dibakar bukan kemenyan yang berasal dari pelaku ritual.

Sebelum pelaksanaan ritual selamatan dimulai, peserta ritual terlebih dahulu memasukkan

kemenyan yang mereka bawa ke dalam wadah yang telah disediakan di samping makam.

Kemenyan yang dibawa oleh pelaku ritual tidak akan dibakar, karena kemenyan tersebut

akan dikembalikan kepada pemilikinya setelah ritual selesai. Sementara itu, yang dibakar

adalah kemenyan yang telah disediakan oleh pihak penyelenggaran ritual selamatan.

Penggunaan ubo rampe juga dapat dimaknai sebagai pengaruh keberadaan Islam yang

diakui sebagai agama yang disebarkan oleh Eyang Djoego dan Imam Soedjono.

a. Nasi gurih (nasi suci)

Nasi yang dibawa sebagai uba rampe merupakan nasi gurih atau yang dikenal oleh

pelaku ritual dengan istilah nasi suci. Istilah nasi suci juga disebutkan oleh modin dalam

tuturan ritualnya. Seperti yang dapat dilihat dalam penggalan tuturan di bawah ini!

Mawi wilujengan motong kambing lan ayam, sekul suci, ugi wilujengan mawi sekul

tumpeng, sedaya wau kagem caos dhahar Eyang Panembahan sekaliyan.

‘Dengan selamatan potong kambing dan ayam, nasi suci, juga selamatan dengan nasi

tumpeng, semua tadi untuk memberi makan eyang panembahan sekaliyan’.

Adapun makna yang terkandung di dalamnya adalah peserta ritual memberikan sesaji

secara ikhlas, dan berharap dapat diterima oleh eyang sekalian. Sementara itu, nasi gurih

dianggap sebagai nasi yang enak dan pantas untuk disajikan kepada orang yang dihormati.

Setelah membawa nasi suci, diharapkan eyang sekalian tidak menolak permintaan ataupun

permohonan yang disampaikan oleh peserta ritual selamatan. Hal ini dapat dilihat dalam

penggalan tuturan ritual di bawah ini!

Mugi Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan kersa nampi, sampun ngantos nagih

tanpa nyambi, sageta luar ing dinten punika, panyuwunanipun para wayah sedaya.

‘Semoga Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan bersedia menerima, jangan sampai

menagih tanpa nyambi, bisa keluar di hari ini, permintaan para anak semua’.

Nasi yang berwarna putih menandakan kesucian dan keihlasan peserta ritual

selamatan. Sementara gurih yang ada dalam rasa nasi diartikan sebagai pertanda bahwa

selama menjalani proses ritual selamatan semua peserta tidak boleh memiliki perasaan

ataupun harapan yang kotor. Segala yang berada di tempat tersebut diharapkan bersih baik

secara lahir maupun batin. Rasa gurih merupakan rasa yang tidak tercampur dengan asam,

manis, ataupun rasa yang lain. Dengan demikian, diharapkan semua peserta ritual mampu

menjaga segala perasaannya dari hal-hal, prasangka, dan harapan-harapan yang buruk.

b. Lauk Pauk (Tempe goreng, Mie, Sayur)

Perlengkapan lain sebagai pelengkap dalam besekan yang dibawa oleh pelaku adalah

adanya lauk pauk. Lauk pauk yang disajikan biasanya adalah tempe goreng, mie goreng, dan

sayur. Sayur yang disajikan biasanya adalah campuran antara kentang, tahum tempe, krecek,

dan kuah santan. Ketika ditanyakan mengenai makna dari lauk pauk yang disajikan ini,

modin mengatakan tidak ada makna tertentu. Modin hanya mengatakan bahwa lauk pauk ini

yang dari zaman dahulu ada dan menjadi makanan kesukaan rakyat. Meskipun demikian,

lauk pauk ini tidak pernah digantikan dengan jenis lauk pauk yang lain. Menurut modin, pada

dasarnya boleh saja diganti, akan tetapi dengan tujuan supaya tidak merepotkan pelaku ritual

dan panitia penyedia, maka lauk pauk tersebut tetap sama dari waktu ke waktu.

Bahan Diskusi

Berdasarkan hasil temuan yang telah diuraikan di atas, terlihat adanya banyak unsur

Islam yang mendominasi kegiatan selamatan. Pada beberapa aspek, tidak terlihat seperti

ritual keagaam dalam Islam. Namun demikian, pada unsur-unsur kebatinan dan doa-doa

sangat terlihat adanya pengaruh Islam yang mendominasi. Seperti pada hal kepercayaam,

dalam Islam sangat meyakini adanya Tuhan penguasa alam yang hanya kepadaNya semua

keyakinan dan pengharapan dipasrahkan. Tidak ada kekuatan dan daya manusia selain dari

bantuan Tuhan (Allah). Untuk itulah, dalam kegiatan selamatan semua permohonan

disampaikan kepada Allah melalui Muhammad (yang dalam kepercayaan Islam adalah nabi

terkahir).

Islam sebagai agama yang mendominasi dalam kegiatan selamatan mampu diterima

dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya keikutsertaan pengunjung yang

berasal dari agama selain Islam. Penerimaan ini didasarkan atas kesamaan kepentingan dan

tujuan mengadakan kegiatan ritual. Pengunjung merasa tidak ada suatu alasan untuk lebih

mengedeoankan agama dan sukunya sendiri di atas Islam. Setiap tahap ritual selamatan yang

mengandung unsur Ilsma diikuti secara baik oleh setiap pengunjung dari beragam latar

belakang. Ketika modin menyampaikan doa yang menggunakan bahasa Arab dan menyebut

Allah serta Muhammad, maka setiap pengunjung dari beragam latar belakang agama juga

meng”amin”i. Hal tersebut menunjukkan penerimaan yang baik dari setiap kalangan dan

pengunjung.

Adanya penerimaan yang baik pada kegiatan selamatan di atas menunjukkan adanya

toleransi yang baik pada kegiatan tersebut. Penyelenggara (yang dalam hal ini adalah pihak

pesarean maupun modin selaku pemimpin ritul), tidak membedakan peserta ritual yang satu

dengan yang lain. Setiap pengunjung dengan beragam latar belakang agama melakukan ritual

selamatan dalam waktu yang sama dan harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.

Pengunjung dengan agama Islam tidak memiliki keistimewaan dibangikan dengan

pengunjung dari agama lain. Demikian juga sebaliknya, pengunjung dari agama Kristen,

Konghuchu, maupun agama yang lain juga harus mengikuti setiap langkah dan tahapan yang

telah ditetapkan.

Di tempat tersebut terdapat beberapa tempat ibadah dari beberapa agama. Di sana

terdapat klenteng sebagai tempat ibadah warga Konghuchu, masjid sebagai tempat ibadah

umat Islam, dan gereja sebagai tempat ibadah umat Kristen dan Katolik. Semua tempat

ibadah tersebut berdiri berdampingan di wilayah pesarean Gunung Kawi. Hal tersebut

dimaksudkan supaya pengunjung dapat beribadah dengan baik setelah selesai melaksanakn

ritual selamatan. Adanya beberapa tempat ibdaha tersebut menjadi penanda bahwa toleransi

beragam cukup terjalin dengan baik di tempat tersebut. Hal itu tidak terlepas dari peran tokoh

yang dimakamkan di tempat tersebut yang dianggap sebagai ulama Islam, yakni Eyang

Djoego dan Imam Soedjono. Beliau berdua mampu menjadi contoh dalam menghidupkan

toleransi beragam bahkan jauh sebelum hingar bingar mengenai toleransi digaungkan.

Simpulan

a. Agama yang paling mendominasi dalam kegiatan selamatan di pesarean Gunung

Kawi adalah agama Islam. Hal tersebut terlihat dari tuturan dalam doa-doa yang

disampaikan, yakni terdapat bahasa Arab, meskipun terdapat juga bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa. Dalam tuturan yang disampaikan terdapat adanya kepasrahan

terhadap Allah (yang merupakan Tuhan dalam agama Islam) dan Muhammad (yang

merupakan nabi dalam agama Islam).

b. Islam sebagai agama yang mendominasi mampu diterima dengan baik oleh semua

kalangan dan pengunjung dalam kegiatan selamatan. Hal tersebut tidak lepas dari

keberadaan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Islam mampu merangkul

semua kalangan dengan beragam latar belakang. Dalam Islam tidak mengenal adanya

perpecahan selama tidak saling mengusik dalam hal ibadah. Selama keberagaman

tersebut dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat, maka Islam akan menjaganya

dengan baik.

c. Kegiatan selamat di pesarean Gunung Kawi diikuti oleh peserta ritual dari latar

belakang agama, suku, dan bahasa yang berbeda. Di tempat tersebut juga terdapat

beragam tempat ibadah untuk agama yang berbeda. Selain itu, masyarakat setempat

juga terdiri atas masyarakat yang majemuk. Hal-hal tersebut tidak menjadikan adanya

perpecahan maupun adanya keinginan untuk saling mendominasi. Setiap pengunjung

telah dengan rela dan suka hati mengikuti ritual dengan beragam aspek yang terdapat

di dalamnya. Suasana toleransi dan saling menghargai sangat terasa dalam kegiatan

tersebut. islam mampu menjadi agam yang menyatukan setiap pengunjung untuk

dapat mengikuti ritual dengan baik. Pengunjung dari agama-agama lain seperti

Kristen, Katolik, Konghuchu, maupun agama yang lain mampu menerima dan

mengikuti proses ritual dengan baik. Mereka tidak saling memusuhi maupun memiliki

keinginan untuk mendominasi maupun “menggantikan” Islam dengan agama yang

lain.

Daftar Pustaka

Casson, R.W. 1981. Language, Culture, and Cogintion. London: Mas. Milan

Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods

Approches. London: Sage Publications Ltd

Danesi, Marcel. 2004. A Basic Course in Anthropological Linguistics. Toronto: Canadian

Scholars Press Inc

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (Terj. Aswab

Mahasin) Jakarta: Pustaka Jaya

_____________.1983. Local Knowledge. London: Fontana Press

_____________.1992. Tafsir Kebudayaan. (Terj. Fransisco Budi Hardiman) Yogyakarta:

Kanisius

Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Malinowski, Bronislaw. 1982. Magic, Science, & Religion and Other Essays. London:

Souvenir Press (Educational&Academic) Ltd

Raden Soemododjojo. 2008 (cetakan ke-57). Kitab Primbon Betaljemur Adammakna.

Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Penerbit Poda.

Simarmata, Henry Thomas, dkk. 2017. Indonesi: Zamrud Toleransi. Jakarta: PSIK-Indonesia.

Simarmata, Henry Thomas, dkk. 2017. Menghargai Perbedaan: Pendidikan Tolernasi untuk

Anak. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung dan PSIK-Indonesia.

Soeryowidagdo, R.M. 1989. Pesarean Gunung Kawi. Malang: Yayasan Ngesti Gondo

(Pengelola Pesarean Gunung Kawi)

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. (terj. Misbah Zulfa Aliza) Yogyakarta: Tiara

Wacana.

Woodward, Mark R. 2008. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta:

LKiS.