lepra bonita: penyakit kusta yang membuat wajah...

3
LEPRA BONITA: PENYAKIT KUSTA YANG MEMBUAT WAJAH TAMPAK MULUS Sri Linuwih SW Menaldi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM Pendahuluan Lepra memiliki beberapa sinonim seperti leprosy, kusta, morbus Hansen (Hansen disease, Hanseniasis). Kusta berasal dari bahasa India “kushtha”, sedangkan penamaan morbus (penyakit) Hansen dikaitkan dengan penemu penyebab penyakit ini, yaitu seorang peneliti dari Norwegia yang bernama Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1885. Di Indonesia umumnya digunakan istilah kusta atau lepra. Etiologi dan cara penularan Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium leprae. Bakteri ini terutama menyerang saraf tepi, kemudian kulit, dan dapat menyerang organ tubuh lain seperti mata, tulang, sumsum tulang, hati, ginjal, testis dan sebagainya, kecuali saraf pusat (otak). Penularan lepra terjadi melalui kontak langsung dengan bakteri dari penderita yang belum diobati, atau terhirup bakteri yang berada di udara. Masa inkubasi penyakit ini cukup lama, berkisar 40 hari hingga 40 tahun, rata-rata 3 hingga 5 tahun. Walaupun seseorang telah terinfeksi bakteri, tetapi hanya berkisar 5% yang menjadi sakit. Hal ini dikaitkan dengan kondisi daya tahan tubuh atau imunitas seseorang. Namun, beberapa penelitian yang telah dilakukan di bebeapa negara, didapatkan adanya peran genetik terhadap kecenderungan terinfeksi kusta. Epidemiologi Penyakit ini terutama didapatkan di daerah tropis maupun subtropis, walaupun pada beberapa negara bersuhu dingin didapatkan kasus kusta yang penderitanya berasal dari negara tropis. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia pada tahun 2014, terdapat sebanyak 17.025 kasus kusta, terutama pada beberapa provinsi di daerah Indonesia timur. Hal ini yang menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang kasus kusta terbanyak ketiga di dunia, setelah India dan Brazil. Adanya kasus baru yang tetap bermunculan dapat disebabkan beberapa faktor. Pertama, kelainan yang tampak pada kulit seringkali menyerupai penyakit kulit lainnya, seperti infeksi jamur, eksim atau alergi, sehingga diagnosis sering keliru. Kedua, berkaitan dengan kerusakan saraf tepi yang menyebabkan mati rasa (baal), maka kelainan kulit akibat kusta tidak menimbulkan rasa sakit atau gatal. Sehingga orang yang terkena kusta tidak segera berobat, yang berarti terlambat didiagnosis dan terlambat pula untuk diobati. Ketiga, stigma kusta yang sulit dihilangkan, baik stigma diri (stigma yang terdapat pada penderita sendiri) maupun stigma sosial (stigma yang berasal dari masyarakat). Stigma ini menyebabkan penderitanya enggan berobat lebih lanjut setelah mengetahui atau terdiagnosis mengidap kusta. Dengan demikian penularan tetap terjadi, terutama pada individu yang berisiko tertular seperti anak dan orang yang sudah berusia lanjut.

Upload: hoangtu

Post on 06-Jun-2019

254 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LEPRA BONITA: PENYAKIT KUSTA YANG MEMBUAT WAJAH …staff.ui.ac.id/system/files/users/sri.linuwih/material/artikel_lepra_bonita_-_dr._sri...Lepra memiliki beberapa sinonim seperti leprosy,

LEPRA BONITA: PENYAKIT KUSTA YANG MEMBUAT WAJAH TAMPAK MULUS

Sri Linuwih SW Menaldi

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM

Pendahuluan Lepra memiliki beberapa sinonim seperti leprosy, kusta, morbus Hansen (Hansen disease, Hanseniasis). Kusta berasal dari bahasa India “kushtha”, sedangkan penamaan morbus (penyakit) Hansen dikaitkan dengan penemu penyebab penyakit ini, yaitu seorang peneliti dari Norwegia yang bernama Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1885. Di Indonesia umumnya digunakan istilah kusta atau lepra. Etiologi dan cara penularan Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium leprae. Bakteri ini terutama menyerang saraf tepi, kemudian kulit, dan dapat menyerang organ tubuh lain seperti mata, tulang, sumsum tulang, hati, ginjal, testis dan sebagainya, kecuali saraf pusat (otak). Penularan lepra terjadi melalui kontak langsung dengan bakteri dari penderita yang belum diobati, atau terhirup bakteri yang berada di udara. Masa inkubasi penyakit ini cukup lama, berkisar 40 hari hingga 40 tahun, rata-rata 3 hingga 5 tahun. Walaupun seseorang telah terinfeksi bakteri, tetapi hanya berkisar 5% yang menjadi sakit. Hal ini dikaitkan dengan kondisi daya tahan tubuh atau imunitas seseorang. Namun, beberapa penelitian yang telah dilakukan di bebeapa negara, didapatkan adanya peran genetik terhadap kecenderungan terinfeksi kusta. Epidemiologi Penyakit ini terutama didapatkan di daerah tropis maupun subtropis, walaupun pada beberapa negara bersuhu dingin didapatkan kasus kusta yang penderitanya berasal dari negara tropis. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia pada tahun 2014, terdapat sebanyak 17.025 kasus kusta, terutama pada beberapa provinsi di daerah Indonesia timur. Hal ini yang menjadikan Indonesia sebagai negara penyumbang kasus kusta terbanyak ketiga di dunia, setelah India dan Brazil. Adanya kasus baru yang tetap bermunculan dapat disebabkan beberapa faktor. Pertama, kelainan yang tampak pada kulit seringkali menyerupai penyakit kulit lainnya, seperti infeksi jamur, eksim atau alergi, sehingga diagnosis sering keliru. Kedua, berkaitan dengan kerusakan saraf tepi yang menyebabkan mati rasa (baal), maka kelainan kulit akibat kusta tidak menimbulkan rasa sakit atau gatal. Sehingga orang yang terkena kusta tidak segera berobat, yang berarti terlambat didiagnosis dan terlambat pula untuk diobati. Ketiga, stigma kusta yang sulit dihilangkan, baik stigma diri (stigma yang terdapat pada penderita sendiri) maupun stigma sosial (stigma yang berasal dari masyarakat). Stigma ini menyebabkan penderitanya enggan berobat lebih lanjut setelah mengetahui atau terdiagnosis mengidap kusta. Dengan demikian penularan tetap terjadi, terutama pada individu yang berisiko tertular seperti anak dan orang yang sudah berusia lanjut.

Page 2: LEPRA BONITA: PENYAKIT KUSTA YANG MEMBUAT WAJAH …staff.ui.ac.id/system/files/users/sri.linuwih/material/artikel_lepra_bonita_-_dr._sri...Lepra memiliki beberapa sinonim seperti leprosy,

Diagnosis Kusta memiliki banyak kemiripan dengan penyakit kulit lain, sehingga disebut sebagai the greatest imitator. Untuk memudahkan penegakkan diagnosis dilapangan, World Health Organization (WHO) membuat kriteria diagnosis yang disebut tanda kardinal kusta. Tanda kardinal tersebut ialah: 1) Ditemukan bercak bercak putih atau kemerahan, disertai mati rasa. 2) Terdapat pembesaran saraf tepi, antara lain pada daerah siku, belakang lutut, dan sekitar mata kaki, disertai mati rasa pada daerah tersebut. 3) Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan melakukan kerokan jaringan kulit pada kelainan di kulit untuk menemukan bakteri M.leprae. Diagnosis kusta sudah dapat ditegakkan bila ditemukan satu dari ketiga tanda kardinal tersebut. Kusta dikelompokkan menjadi dua tipe berdasarkan banyaknya kelainan di kulit dan saraf tepi, serta ada tidaknya bakteri yang ditemukan dalam pemeriksaan laboratorium kerokan jaringan kulit. Tipe tuberculoid merupakan bentuk kusta yang ringan dengan jumlah bakteri yang sedikit atau hampir tidak ditemukan, dan disebut sebagai pausi basilar (PB). Di sisi yang lain disebut tipe lepromatosa, dengan jumlah kelainan kulit yang banyak, keterlibatan saraf lebih dari satu dan ditemukan bakteri pada pemeriksaan laboratorium. Tipe ini disebut sebagai tipe multibasilar (MB), dan berpotensi sebagai sumber penularan karena mengandung banyak bakteri. Manifestasi klinis Penyakit ini umumnya terdeteksi lebih dini bila kelainan pada kulit sudah muncul, seperti adanya bercak putih atau kemerahan, atau bercak putih yang dikelilingi bercak kemerahan, dan mati rasa. Pada keadaan lanjut, akan terlihat kulit kering dan bersisik. Namun pada tipe lepromatosa seringkali gangguan mati rasa tidak terlalu jelas. Rambut alis maupun bulu mata rontok yang disebabkan kerusakan akar rambut, dan disebut sebagai madarosis. Seringkali dijumpai penebalan atau bahkan benjolan kemerahan pada cuping telinga yang tidak sakit atau mati rasa. Benjolan juga dapat muncul di wajah dalam jumlah banyak, sehingga menyebabkan bentuk wajah berubah yang disebut sebagai muka singa (facies leonine) yang terlihat menyeramkan. Kerusakan saraf tepi cabang motorik dapat menyebabkan otot mengecil (atrofik), terutama di tangan dan kaki. Bila berlanjut, dapat terjadi jari kiting atau bengkok terutama pada jari kelingking tangan. Dapat juga ditemukan kelumpuhan pada pergelangan tangan atau kaki yang disebut sebagai tangan atau kaki lunglai (lumpuh layuh). Lepra Bonita Pada tahun 1844, Ladislao de la Pascua dari Brazil, melaporkan variasi bentuk kusta lepromatosa dengan lesi yang tidak berbatas jelas (difus), disertai kerusakan jaringan kulit akibat nekrosis multipel pada kulit kedua tungkai. Bentuk ini disebut sebagai the spotted or lazarine leprosy. Lucio dan Alvredo melaporkan kasus yang serupa pada tahun 1852. Peneliti-peneliti selanjutnya mengemukakan, bahwa gambaran klinis utama pada tipe ini adalah infiltrasi peradangan pada kulit yang difus dan mengenai hampir seluruh tubuh. Kulit wajah cenderung licin mengkilap, tidak ada bercak atau benjolan kemerahan, bahkan tidak terlihat garis lipatan kulit, sehingga disebut sebagai diffuse lepromatous leprosy. Bentuk wajah dengan tekstur kulit semacam ini disebut sebagai pretty leprosy atau Lepra Bonita dalam bahasa spanyol (bonita=cantik). Keadaan sebaliknya terjadi pada kusta yang berbentuk facies leonine.

Page 3: LEPRA BONITA: PENYAKIT KUSTA YANG MEMBUAT WAJAH …staff.ui.ac.id/system/files/users/sri.linuwih/material/artikel_lepra_bonita_-_dr._sri...Lepra memiliki beberapa sinonim seperti leprosy,

Perlu kewaspadaan dalam menegakkan diagnosis lepra Bonita, karena secara klinis tidak terlihat kelainan pada kulit. Umumnya penderita datang berobat karena kelainan dikulit berupa luka nekrotik multipel pada kedua tungkai. Penilaian terhadap adanya area mati rasa sulit dilakukan, karena tertutup oleh luka terutama bila disertai infeksi sekunder oleh bakteri lain. Pengobatan Lepra Bonita tidak berbeda dengan tipe kusta lainnya. Pengawasan dalam pengobatan yang teratur sangatlah penting, mengingat kusta tipe lepromatosa memiliki bakteri yang sangat banyak, sehingga berpotensi menularkan. Kadang diperlukan tata laksana terintegrasi bersama dokter spesialis lain yang terkait, misalnya dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis bedah vascular, dokter bedah tulang, dokter mata dan lain-lain. Penutup Mengenal penyakit kusta secara utuh sangat diperlukan, termasuk pengobatan dan tata laksana komplikasi. Tujuan pengobatan kusta secara umum adalah memutuskan penularan, mencegah disabilitas, dan menghilangkan stigma dan prasangka. Tujuan lain yang tidak kalah pentingnya ialah meningkatkan kualitas hidup pasien kusta, atau lebih tepatnya pada orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK).

Gambar 1 dan 2. Kulit Wajah Lepra Bonita

Daftar Pustaka

1. Poricha D, Natrajan M. Pathological aspects of leprosy. Dalam:Kumar B, Kar HK. Penyunting. IAL Textbook of Leprosy. Edisi ke-2. New Delphi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd; 2016. h.132-145.

2. Wisnu IM, Daili ESS, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi E. Penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. h.87-102.

3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2017.h.166-9.

4. Anand PP, Oommen N, Sunil S, Deepa MS, Potturu M. Prett leprosy: Another face of Hansen’s disease! A review. Egyptian Journal of Chest Disases and Tuberculosis. 2014;63:1087-90.

5. Bravo TC. New observations on the polar spectrum of human leprosy. Rev Latinoam Patol Clin Med Lab 2013;60:205-23.

1 2