ledakan ulat bulu

Upload: siti-fatimah

Post on 16-Jul-2015

55 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Wabah ini muncul pertama kali di Probolinggo. Tanggal 30 Maret 2011, tujuh desa di situ diserbu ulat bulu. Diperkirakan jutaan ulat bulu itu bergelantungan di pepohonan. Menempel di dinding sekolah. Warga takut ulat bulu itu masuk rumah. Sejumlah warga sudah terserang penyakit gatal-gatal. Itu sebabnya warga dan pemerintah ramairamai melakukan pengasapan dan menyemprot dengan pestisida. Repotnya tidak semua ulat lumpuh dengan dua cara itu. Warga dan pemerintah lalu menambah cara lain. Ratusan dahan pohon yang sudah dihinggapi ribuan ulat bulu terpaksa dipangkas. Sesudah di Probolinggo itu, populasi ulat bulu di kabupaten lain juga meledak seperti di kabupaten lain di Jawa Timur. Beberapa hari berselang jumlah ulat di Bali dan Nusa Tenggara Barat kian banyak. Dari Medan juga dilaporkan bahwa ribuan ulat bulu ramai hinggap di dedaunan. Populasi ulat bulu di Ibukota Jakarta juga meledak dengan cepat. Terlihat semenjak akhir pekan lalu, ribuan kawanan ulat itu hinggap di pepohonan di Tanjung Duren, Grogol Jakarta Barat. Warga menghadang dengan metode pengasapan. Juga mengunakan cairan insektisida. Sayang, cara itu kurang manjur. Hingga Rabu 13 April 2011, ribuan ulat bulu masih bergelayut di dahan dan daun Cemara di wilayah itu. Jumlahnya memang berkurang jika dibanding dengan sebelum disemprot. Warga diminta tenang. Tidak panik. Sebab ulat itu tidak berbahaya. Pemerintah meminta warga agar memberi kabar jika ulat bulu itu masih menyerbu pepohonan. Kami akan menangganinya dengan baik, janji Kepala Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Barat, Bambang Wisanggeni. Agar kordinasi mudah. Bambang menyebarkan nomer telepon yang sesewaktu bisa dihubungi jika ulat bulu menyerbu pohon di halaman. Nomor 0821-11283676 dan 021-58356239. Di ibukota, sejauh ini ulat bulu itu memang baru menyerbu wilayah di Jakarta Barat, tapi pemerintah sejumlah wilayah lain sudah bersiaga. Siaga itu memang penting sebab meski tidak berbahaya, ulat bulu bisa bikin gatal. Terparah Sepanjang Sejarah Bukan pertama kali terjadi. Wabah terjadi saban tahun. Sudah musiman. Sejumlah desa di Probolinggo, misalnya, sudah jadi langganan ulat yang bikin gatal ini. Hanya saja, menurut catatan pemerintah Jawa Timur, populasi ulat bulu kali ini terbesar sepanjang sejarah. Di sejumlah daerah --yang kini ramai diberitakan soal wabah ulat ini-- saban tahun juga begitu. Diserang ulat bulu. Rata-rata serangan kali ini memang terhitung paling parah. Rusdiyanto, seorang warga di Tanjung Duren Jakarta Barat menuturkan bahwa kasus seperti ini terjadi setiap tahun. Cuma biasanya akan hilang dengan sendirinya.

Ulat bulu itu berbiak dengan cepat karena ada sebabnya. Menurut Bambang Wisanggeni, jumlah ulat kian banyak lantaran perubahan iklim. Iklim yang belakangan cenderung lembab menyebabkan menurunnya populasi burung cerukcuk dan semut cangkrang. Padahal, lanjut Alumni Universita Jenderal Soedirman Purwokerto itu, dua jenis hewan itu adalah pemakan ulat bulu. Karena jumlah predator ulat bulu ini berkurang drastis maka jumlah mereka berbiak dengan cepat. Berkurangnya jumlah burung dan semut cangkrang, menyebabkan rantai makanan tidak normal lagi, kata Bambang. Lantaran perubahan itu, perlu penelitian yang mendalam soal jenis ulat bulu ini, dan juga cara efektif dalam menaklukannya. Itu sebabnya sejumlah sampel ulat bulu itu dibawa ke Institut Pertanian Bogor untuk diteliti. Rektor Institut Teknologi Sepuluh November, Priyo Suprobo, mendesak pemerintah membentuk tim khusus guna mengatasi wabah ulat bulu ini. Tim ini bekerja mengambil sampel di lapangan, lalu menelitinya di laboratorium. Dalam kajian ITS, kata Priyo, wabah ulat bulu ini terjadi lantaran berkurangnya pepohonan dan sumber makanan utama bagi ulat. Dia menganjurkan agar warga menanam pohon di sekitar rumah. ITS sendiri sudah menanam ratusan pohon akar tunjang di lahan seluas 20 hektar. Kampus ini juga melepaskan ratusan burung kutilang dan peking. Kalau banyak burung, maka nanyak ulat yang akan dimakan, kata Priyo. (vivanews)

Rabu, 06 April 2011 14:20 WIB REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER - Pengamat hama penyakit tanaman Universitas Jember (Unej) Ir Hari Purnomo MSi Phd DIC mengatakan, virus dan bakteri merupakan pengendali hayati yang dapat menurunkan populasi ulat bulu di Probolinggo. "Di negara-negara lain pemanfaatan NPV (nuclear polyhadrosis virus) dan bakteri (Bacillus thuringiensis) berhasil menurunkan populasi ulat bulu karena keduanya merupakan patogen untuk mengendalikan ulat bulu," kata Hari saat ditemui di Fakultas Pertanian (Faperta) Unej, Rabu, menanggapi wabah ulat bulu di Probolinggo. Ia menjelaskan, pengendalian awal populasi ulat bulu adalah dengan melakukan penyemprotan pestisida untuk menurunkan populasi ulat bulu, namun kepompong tidak bisa dibasmi dengan pestisida. Pengendalian yang dilakukan dengan pestisida, lanjut dia, dapat berdampak buruk yakni resistensi dan membunuh musuh alami ulat bulu, sehingga jumlah populasi ulat bulu tidak menurun, justru semakin meningkat. "Yang harus dipikirkan adalah bagaimana menemukan musuh alami seperti predator, parasit dan patogen yang nantinya bisa diperbanyak di laboratorium, selanjutnya dilepas ke tempat populasi ulat bulu," katanya menjelaskan. Setelah dilakukan pengendalian pestisida, lanjut dia, perlu dilakukan pengendalian hayati melalui virus dan bakteri yang pernah dilakukan negara-negara lain. Serangan hama ulat bulu meluas hingga delapan kecamatan di Kabupaten Probolinggo dan dua kecamatan di Kota Probolinggo, bahkan serangan terakhir juga merambah ke Kabupaten Pasuruan, Jombang dan Banyuwangi. Menurut pengajar Entimologi Pengendalian Hayati Faperta Unej itu, ulat bulu yang menyerang sejumlah kecamatan di Probolinggo adalah keluarga dari ngengat (Lymantriidae), sejenis kupu-kupu yang umumnya aktif di malam hari. "Kami belum mengidentifikasi ulat bulu di Probolinggo hingga tingkat spesies, namun hanya famili saja yakni Lymantriidae yang melakukan aktivitasnya seperti terbang dan meletakkan telur di malam hari," tuturnya. Ulat bulu yang banyak menyebar ke sejumlah pemukiman penduduk, kata dia, hanya untuk berlindung dari terik sinar matahari, namun mereka tidak melakukan aktivitas apapun pada siang hari

Perubahan iklim terutama temperatur lingkungan ikut mempengaruhi populasi ulat bulu, karena temperatur yang meningkat dapat mempercepat siklus hidup ulat itu, kata pakar hama dan penyakit tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Suputa. "Meningkatnya populasi ulat bulu juga disebabkan semakin berkurangnya musuh alami, seperti burung, parasitoid, dan predator lain," katanya dalam diskusi Fenomena Wabah Hama Ulat Bulu di Jawa Timur, di Yogyakarta, Kamis. Menurut dia, akibat tingginya populasi, serangan ulat bulu di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, semakin memprihatinkan. Ulat bulu tidak hanya menyerang daun mangga di Kecamatan Bantaran, Leces, Sumberasih, dan Tegalsiwalan, tetapi juga memasuki rumah penduduk. "Daun mangga varietas Manalagi di daerah itu habis dimakan ulat bulu. Pohon mangga tinggal ranting dan batangnya," katanya. Ia mengatakan, ulat bulu tersebut lebih memilih menyerang daun mangga Manalagi dibanding varietas pohon mangga lain. Pemilihan inang itu dilakukan ulat bulu dewasa saat meletakkan telur. "Ulat bulu bukan termasuk kupu-kupu, tetapi sebangsa ngengat. Diduga ngengat ulat bulu itu yang meletakkan telur pada celah kulit pohon mangga atau di bawah daun," katanya. Menurut dia, serangan ulat bulu tersebut bukan fenomena baru, karena sebelumnya pernah terjadi serangan serupa. Bahkan, pernah terjadi tanaman lombok se-Jawa yang layu menguning akibat serangan hama tanaman. "Terdapat dua spesies ulat bulu yang menyerang daun mangga di Probolinggo, yakni arctornis sp dan Lymantria atemeles Collenette. Ulat bulu itu bersifat nokturnal, yakni ulat yang aktif pada malam," katanya. Ia mengatakan tidak mengherankan jika pada malam sering terdengar seperti suara hujan, padahal saat itu sesungguhnya ulat bulu sedang memakan daun-daun mangga. "Jika serangan ulat ini dibiarkan, maka akan banyak pihak mengalami kerugian. Selain ketakutan juga kerugian secara ekonomi," katanya. Oleh karena itu, pengendalian terhadap populasi ulat menjadi langkah yang harus segera dilakukan. Terlebih kemampuan produksi telur ulat betina mencapai 70-300 butir per ulat. "Pengendalian hama terpadu dengan pendayagunaan musuh alami, burung, parasitoid, perangkap lampu UV, dan penggunaan perangkap feromon seks perlu dilakukan," katanya.

Antisipasi Ledakan Populasi Hama Tak Optimal25 April 2011 30 views No Comment Ledakan populasi hama seperti fenomena ulat bulu di beberapa daerah menunjukkan lemahnya antisipasi, salah satunya dampak perubahan iklim. Pemerintah dinilai kurang perhatian terhadap pemantauan pertumbuhan tanaman, hama, dan penyakit. Yang terjadi sekarang, peristiwa ledakan hama terjadi lebih dahulu, lalu mulai dikembangkan berbagai riset. Semestinya ledakan hama tersebut dapat diketahui sebelumnya melalui riset di laboratorium rumah kaca, kata Rizaldi Boer, pemerhati perubahan iklim dari Jurusan Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Jumat (22/4) di Bogor. Menurut dia, ledakan hama ulat bulu famili Lymantriidae baru-baru ini menjadi contoh ketidaksiapan pemerintah mengembangkan riset dampak perubahan iklim terhadap pengendalian hama dan penyakit tanaman. Saat ini ledakan hama ulat bulu memang belum mengancam jenis tanaman pangan. Namun, fenomena itu memunculkan kekhawatiran bahwa perkembangan berikutnya akan menyerang tanaman pangan. Kegagalan panen terjadi akibat perubahan iklim, serangan hama, dan penyakit. Saat ini sudah terjadi perubahan iklim yang tidak menentu. Hal itu akan menjadi ancaman serius jika ditambah ledakan hama dan penyakit, kata Rizaldi. Saat ini, lanjut dia, keberadaan berbagai lembaga riset pengendalian hama dan penyakit sebenarnya sudah banyak dimiliki pemerintah. Namun, keberadaannya belum memadai untuk mengantisipasi berbagai dampak terkait perubahan iklim. Suhu kardinal Menurut Rizaldi, salah satu yang perlu diketahui untuk mengantisipasi ledakan populasi hama dan penyakit, di antaranya pemantauan suhu kardinal (suhu minimum, optimum, dan maksimum), misalnya berbagai jenis serangga hama. Laboratorium rumah kaca untuk mengetahui suhu kardinal itu sederhana, kata dia. Hanya saja, Indonesia saat ini belum memiliki data jenis-jenis hama dan penyakit yang muncul pada suhu-suhu tertentu di daerah tertentu. Akibatnya, tidak ada antisipasi yang cepat dan tepat. Secara terpisah, peneliti pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hari Sutrisno, mengatakan, hama mudah berkembang pada populasi tanaman inang yang homogen. Pengendalian hama yang didahului deteksi suhu kardinal untuk mengetahui berbagai kemungkinan terjadinya ledakan hama tertentu sangat dibutuhkan. Yang juga tidak boleh ditinggalkan pemerintah adalah menjaga keseimbangan ekosistem, kata Hari. (NAW) Sumber: Kompas, 25 April 2011