lbm 1 tht

51
LBM 1 MODUL TH T Hidungku selalu tersumbat 1. Bagaimana Anatomi & histologi hidung? ANATOMI Nasus Externus: Cavum nasi:

Upload: monica-wyona-lorensia

Post on 06-Nov-2015

195 views

Category:

Documents


24 download

DESCRIPTION

jdjdjd

TRANSCRIPT

LBM 1 MODUL THTHidungku selalu tersumbat

1. Bagaimana Anatomi & histologi hidung?ANATOMINasus Externus:

Cavum nasi:

Vaskularisasi cavum nasi:

Innervasi Cavum nasi:

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.Vokshoor A, McGregor J, Anatomy of Olfactory System, 2008, Available from http://www.emedicine.netscape.com

Anatomi sinus paranasal:

Histologi Cavum nasi:

2. Bagaimana fisiologi dari hidung?1. Alat PenciumanNervus olfaktorius atau saraf kranial melayani ujung organ pencium. Serabut-serabut saraf ini timbul pada bagian atas selaput lender hidung, yang dikenal sebagai bagian olfaktorik hidung. Nervus olfaktorius dilapisi sel-sel yang sangat khusus, yang mengeluarkan fibril-fibril halus untuk berjalin dengan serabut-serabut dari bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius pada hakekatnya merupakan bagian dari otak yang terpencil, adalah bagian yang berbentuk bulbus (membesar) dari saraf olfaktorius yang terletak di atas lempeng kribiformis tulang ethmoid. Dari bulbus olfaktorius, perasaan bergerak melalui traktus olfaktorius dengan perantaraan beberapa stasiun penghubung, hingga mencapai daerah penerimaan akhir dalam pusat olfaktori pada lobus temporalis otak, dimana perasaan itu ditafsirkan (Pearce, 2002).

2. Saluran PernapasanRongga hidung dilapisi selaput lender yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lender semua sinus yang mempunyai lubang masuk ke rongga hidung. Daerah pernapasan dilapisi dengan epithelium silinder dan sel epitel berambut yang mengandung sel cangkir atau sel lender. Sekresi dari sel itu membuat permukaan nares basah dan berlendir. Diatas septum nasalis dan konka selaput lender ini paling tebal, yang diuraikan di bawah. Adanya tiga tulang kerang (konkhae) yang diselaputi epithelium pernapasan dan menjorok dari dinding lateral hidung ke dalam rongga, sangat memperbesar permukaan selaput lendir tersebut. Sewaktu udara melalui hidung, udara disaring oleh bulu-bulu yang terdapat di dalam vestibulum, dan arena kontak dengan permukaan lender yang dilaluinya maka udara menjadi hangat, dan oleh penguapan air dari permukaan selaput lender menjadi lembab (Pearce, 2002).

3. ResonatorRuang atas rongga untuk resonansi suara yang dihasilkan laring, agar memenuhi keinginan menjadi suara hidung yang diperlukan. Bila ada gangguan resonansi, maka udara menjadi sengau yang disebut nasolalia (Bambang, 1991).

4 Regulator atau Pengatur (Bambang, 1991)Konka adalah bangunan di rongga hidung yang berfungsi untuk mengatur udara yang masuk, suhu udara dan kelembaban udara.

5. Protektor Atau PerlindunganHidung untuk perlindungan dan pencegahan (terutama partikel debu) ditangkap oleh rambut untuk pertikel yang lebih kecil, bakteri dan lain-lain melekat pada mukosa. Silia selanjutnya membawa kebelakang nasofaring, kemudian ditelan (Bambang, 1991).

3. Mengapa pasien hidungnya selalu tersumbat , makin lama makin berat? Macam-macam allergen: Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Alergen inhalanRx. Hipersensitivitas tipe I & IV Keluarnya mediator inflamasi, ex: histamine, bradikinin, leukotrien dllMerangsang reseptor pd ujung saraf vidianus (nervus pd mucosa hidung)Hipersekresi kelenjar mucosa & sel goblet permeabilitas pembuluh darahRasa gatal & bersin-bersinTerbentuk rinore (ingus)Vasodilatasi sinusoidEdemaHidung tersumbatBerlanjutPenambahan jenis dan jml sel inflamasi, ex: eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil, dan sitokin.Ingus kental & berwarna kuning

Patofisiologi:

Tahap sensitisasi Makrofag / monosit berperan sebagai APC (Antigen Presenting Cell) menangkap allergen di mukosa hidung Antigen membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA II membentuk kompleks peptide MHC kelas II, kemudian dipresentasikan pd sel T helper(Th 0) Aktivasi sitokin seperti IL 1 oleh APC, untuk aktivasi Th0 menjadi Th 1 dan Th 2 Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL13 IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga limfosit B aktif dan memproduksi IgE Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) proses sensitisasi Bila mukosa tersensitasi, terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat allergen spesifikdegranulasi mastosit basofilprediators mediator terlepas, terutama histamine dan lainnya (PGD2, Lt D4, PAF, bradikinin)reaksi alergi fase cepat Histamin merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga gatal dan bersin2 Histamin menyebabkan sel goblet dan mukosa hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkatrinorrhea Vasodilatasi sinusoidhidung tersumbat Histamine merangsang mukosa hidung ICAM 1 Pada IPAR, sel mastoid akan melepas molekul kemotaktikakumulasi eosinofil dan neutrofil di jaringan target (berlanjut 6-8 jam pasca paparan). Pd fase ini, factor non spesifik dpt memperberat gejala seperti asap rokok, bau yg merangsang, perubahan cuaca, kelembaban yang tinggi Tahap provokasi/ reaksi alergiImmediate Phase Allergic Reactionsejak kontak allergen sampai 1 jamLate phase allergic reaction, berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dapat berlangsung sampai 24-48 jam

4. Mengapa sejak kecil sering keluar ingus encer , bersin2, hidung gatal bila sedang bersih2?

Bersin adalah sebuah refleks penolakan terhadap benda asing yg masuk ke dalam rongga hidung. udara yg dihirup nenuju ke Paru harus udara bersih, partikel-partikel asing yang masuk ke rongga hidung akan tersaring di rongga hidung oleh silia. saat ada partikel lain masuk dan mengiritasi saluran hidung ( mengggelitik) ,ujung saraf (aferen) akan terangsang dan terjadilah aliran impuls listrik saraf yg sangat cepat yang mengalir melalui nervus V (saraf trigeminus) yang menuju ke pusat refleksbersin / medula oblongata . setelah pusat refleksbersin mendapat sinyal "bahaya" ini maka dikirim sinyal yg sangat cepat kepada otot-otot yg dipengaruhinya utk melakukan gerakan bersin dan terjadilah refleksbersin untuk mengeluarkan/menolak benda asing yang tak diinginkan tadi. selain itu kelenjar lendir akan mengeluarkan cairan yang lebih banyak guna "menangkap" benda asing dan dikeluarkan bersama lendir tsb dari hidung.Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

Macam2 mediator inflamasi? yang paling dominan ?

5. Apa hubungan pasien bekerja di perusahaan mebel dengan keluhan?Setelah penderita bekerja di mebel dimungkinkan menghirup allergen spesifik yang menyebabkan suatu reaksi alergi tipe cepat maupun lambat hasil dari reaksi hipersensitivitas ini mengakibatkan keluarnya mediator inflamasi seperti histamine yang akan merangsang reseptor pada ujung saraf vidianus(nervus pada mukosa hidung) sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terbentuk rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

6. Apa hubungan diagnosis polip dengan keluhan penderita sekarang?

Edema di kompleks ostimeatalMucosa yg berhadapan bertemuSilia tdk dpt bergerakLendir tdk dialirkanGangguan drenase dan ventilasi di sinusLendir kental (retensi lender dan hipoksia)Bakteri pathogen berkembangbiak (anaerob)Hipertrofi jaringanPolipoid (polip & kista)Silia kurang aktifPenyerapan Na oleh permukaan epitel

Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

7. Apa hubungan riwayat darah tinggi dan mimisan dengan keluhan sekarang?

EpistkasisAnteriorPosteriorPlexus KiesselbachAnastomosis: a. Ethmoidalis anterior, a. sfeno-palatina, a. palatine ascendens, a. labialis superiorSfeno-palatina & a. Ethmoidalis posterior

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:1. Epistaksis anterior Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri.2 Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan . 2. Epistaksis posterior Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.ETIOLOGIEpistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas. Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor sepertihemangioma, karsinoma dan angiofibroma. Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak biasa. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-Osler-Weber disease. Disamping itu epistaksis dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan atmosfer.Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott Browns Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 119.Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 31.

8. Mengapa pasien kurang bisa membau parfum?FISIOLOGI PENCIUMAN

Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat - zat kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama.James BS, Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 2002, BC Decker : HamiltonAdams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisi ke 6, 1997,Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.Probst R, Grevers G, Iro H, Basic Otorhinolaryngology, 2006, Thieme : NewYork

Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari.James BS, Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 2002, BC Decker : HamiltonBailey BJ, Healy GB, Johnson JT, Head and Neck Surgery Otolaryngology, 3rdEdition, 2001, Lippincott Williams & Wilkins Publisher

Pada inspirasi dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus mudah menguap supaya mudah masuk ke dalam kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut dalam air supaya mudah melalui mukus dan zat-zat harus mudah larut dalam lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri dari zat lemak.Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisi ke 6, 1997,Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.Probst R, Grevers G, Iro H, Basic Otorhinolaryngology, 2006, Thieme : NewYork

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada pada permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus akan terikat oleh protein spesifik (G-PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi enzim Adenyl Siklase. Aktivasi enzim Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP kepada cAMP. Aksi cAMP akan membuka saluran ion Ca++, sehingga ion Ca++masuk ke dalam silia menyebabkan membran semakin positif, terjadi depolarisasi hingga menghasilkan aksi potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel reseptor menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar sinyal ke korteks piriformis (area untuk mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks enthoris (berhubungan dengan memori).James BS, Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 2002, BC Decker : Hamilton

ETIOLOGI HIPOSMIADefek konduktif1.Proses inflamasi/peradangandapat mengakibatkan hiposmia. Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang progresif dan seringkali diikuti dengan hiposmia meski telah dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.2.Adanya massa/tumordapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan keganasan.3.Abnormalitas developmental(misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi.4.Pasienpasca laringektomi atau trakheotomidapat menderita hiposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.

Defek sentral/sensorineural1.Proses infeksi/inflamasimenyebabkan defek sentral dan gangguan padatransmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.2.Gangguan endokrin(hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi pembauan.3.Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.4.Hiposmia juga dapat disebabkan olehtoksisitas dari obat-obatan sistemik atau inhalasi(aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.5.Defisiensi gizi(vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.6.Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun. Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.7.Proses degeneratifpada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.

9. Apa kaitan RPD pasien mengeluh keluar ingus kental dan berwarna kuning dan merasa ada cairan yang mengalir di tenggorok dan disertai demam?Berubahnya warna secret pada hidung diakibatkan respon dari reaksi hipersensitivitas yaitu adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad ) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus sehingga mengakibatkan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil , basofil di mukosa hidung serta peningkatan sitokin pada mukosa hidung.Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

10. Mengapa istri penderita mengeluh bersin2 terutama pagi hari?Suhu dingin concha membesar hidung buntu berair Benda asing pada rongga hidung (suhu dingin pada pagi) kuman lebih aktif saat lembab bersin dech. Mucus lebih banyak diproduksi pada pagi hari. Hidungnya hiperkatif (kelembaban tinggi, cuaca, allergen)Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

11. Apakah penyakit pasien menular atau tidak?

12. Apa hubungan obat pilek yang dikonsumsi dengan keluhan sekarang?Kandungan Ultra Flu:Paracetamol 600 mg,Klorfeniramina maleat 2 mg,Fenilpropanolamin HCl 15 mg,

Parasetamolmempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah (Mahar Mardjono, 1971). Klorfeniramin maleat adalah turunan alkilamin yang merupakan antihistamin dengan indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan efek samping dan toksisitas yang relatif rendah (Siswandono, 1995).Klorfeniramin maleat merupakan obat golongan antihistamin penghambat reseptor H1(AH1) (Siswandono, 1995).Mekanisme kerja klorfeniramin maleat adalah sebagai antagonis reseptor H1, klorfeniramin maleat akan menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos; selain itu klorfeniramin maleat dapat merangsang maupun menghambat susunan saraf pusat (Tjay, 2002; Siswandono, 1995). Fenilpropanolamin hidroklorida Merupakan senyawa adrenergik yaitu adrenomimetik yang berefek campuran yang dapat menimbulkan efek melalui pengaktifan adrenoseptor dan melepaskan katekolamin dari tempat penyimpanan atau menghambat pemasukan katekolamin. Tempat kerja beberapa senyawa adrenomimetik adalah pada ujung saraf simpatetik (Siswandono, 1995).

13. DD?RHINITIS ALERGI

Definsi: Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Klasifikasi:1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala klinik:Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).

SINUSITIS KRONIS Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna. Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drenase sekret akan terganggu. Drenase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia rusak dan seterusnya.Gejala subyektifGejala subyektif sangat bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari: gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip). gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok. gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba Eustachius. adanya nyeri/sakit kepala. gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus naso-lakrimalis. gejala saluran napas berupa batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi di paru, berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial, sehingga terjadi penyakit sinobronkitis. gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.

Gejala obyektifPada sinusitis kronis, temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

Pemeriksaan mikrobiologikBiasanya merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S.aureus, S.viridans, H.influenzae dan kuman anaerob Peptostreptokokus dan Fusobakterium.Diagnosis sinusitis kronisDibuat berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior serta pemeriksaan penunjang berupa transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, pemeriksaan radiologik, pungsi sinus maksila, sinoskopi sinus maksila, pemeriksaan histopatologik dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-endoskopi dan pemeriksaan CT Scan.TerapiPada sinusitis kronis perlu diberikan terapi antibiotika untuk mengatasi infeksinya dan obat-obatan simtomatis lainnya. Antibiotika diberikan selama sekurang-kurangnya 2 minggu.

RHINOSINUSITIS

POLIP Polip nasi ialah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan.Bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi adalah manifestasi klink dari berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, asma dll.Etiologi3 faktor penting:a. Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus b. Adanya gangguan keseimbangan vasomotorc. Adanya peningkatan cairan intersitial dan edema mukosa hidungFenomema bernoulli menjelaskan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa danpembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di komplek ostiomeatal (KOM) di meatus medius. PatogenesisEdema mukosa di daerah meatus medius stroma akan terisi oleh cairan interseluler mukosa yang sembab menjadi polipoid Mukosa yang sembab makin membesar turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai polipMikroskopisTampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang lembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag, mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah sangat sedikit dan tidak mempunyai serabut saraf. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.DiagnosisPada anamnesis kasus polip keluhan utama biasanya ialah hidung tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang-timbul dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain ialah gangguan penciuman (anosmia atau hiposmia). Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ di dekatnya berupa: adanya post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.Dengan pemeriksaan rinoskopi anterior biasanya polip sudah dapat dilihat. Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar. Kalau ada fasilitas endoskopi untuk pemeriksaan hidung, polip yang masih sangat kecil dan belum keluar KOM dapat terlihat. Pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen polos atau CT scan dibuat untuk mendeteksi adanya sinusitis. Pemeriksaan biopsi dapat diindikasikan jika ada massa unilateral pada pasien usia lanjut, jika penampakan makroskopis menyerupai keganasan atau bila pada foto, Rontgen ada gambaran erosi tulang.TerapiPengobatannya berupa terapi medikamentosa dan operasi. Terapi medikamentosa ditujukan untuk polip yang masih kecil (belum memenuhi rongga hidung) yaitu pemberian kortikosteroid sistemik yang diberikan dengan dosis tinggi dalam jangka waktu singkat. Dapat juga berupa kortikosteroid intranasal atau kombinasi keduanya. Pada pengobatan kortikosteroid sistemik harus perhatikan kontraindikasi dan efek samping. Bila ada tanda infeksi perlu diberikan antibiotika.Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum memadati rongga hidung. Operasi pengangkatan polip dan operasi sinus pada polip hidung biasanya diindikasikan pada polip yang sudah sangat besar atau kasus polip berulang atau bila jelas ada kelainan di KOM. Jenis operasinya ialah etmoidektomi atau Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF). Dapat juga dilakukan terapi kombinasi, yaitu pemberian medikamentosa sebelum dan setelah tindakan operasi. Antibiotika diberikan bila ada tanda infeksi dan sebagai profilaksis pasca operasi. Perlu juga diperhatikan pengobatan alergi bila merupakan faktor penyebab timbulnya polip.

EPISTAKSISEpistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari, dan hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan.Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu. Ia dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Perdarahan hidung tampak lebih sering terjadi pada masa awal kanak-kanak sampai pubertas. Walaupun pada kelompok usia tersebut biasanya tidak serius. Epistaksis berat atau yang mengancam jiwa tampaknya meningkat dengan bertambahnya usia.Epistaksis adalah masalah klinis yang berbahaya, terutama bila berasal dari posterior. Sembilan puluh persen epistaksis berasal spontan dari pleksus pembuluh darah superfisialis didalam septum anterior inferior, dan lebih mudah ditangani dibandingkan epistaksis posterior, yang 10% pasien dari pembuluh darah di dalam dinding hidung lateral dekat nasofaring dan disertai dengan mortalitas 4% sampai 5%.DefinisiEpistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).EtiologiEpistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.1. penyebab local:- Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja.- Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.- Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia, udara panas pada mukosa hidung.- Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.- Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.- Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis.- Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun nasofaring.- Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka lama. 2. penyebab sistemik:- Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic, sifilis dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat anti koagulan (aspirin, walfarin, dll).- Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.- Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.- Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-Weber-Rendu.PatofisiologiTerdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri ethmoidakis anterior, arteri sfeno-palatina, arteri palatine ascendens dan arteri labialis superior.Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah harus cepat dilakukan.Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita, sehingga pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi.Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal.Jika diperlukan pemeriksaan radiologik hidung, sinus paranasal dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat diatasi.PenatalaksanaanPertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis singkat sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah perdarahan berhenti untuk membantu menentukan sebab perdarahan.Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :1. riwayat perdarahan sebelumnya 2. lokasi perdarahan 3. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak 4. lama perdarahan dan frekuensinya 5. kecenderungan perdarahan 6. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga 7. hipertensi 8. diabetes mellitus 9. penyakit hati 10. gangguan anti koagulan 11. trauma hidung yang belum lama 12. obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin). Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan usaha mencari sumber perdarahan dan menghentikannya. Walaupun sudah dihentikan, kemungkinan fatal untuk beberapa jam kemudian untuk seorang pasien tua yang mengalami perdarahan banyak akibat efek kehilangan darahnya adalah lebih besar jika dibanding dengan akibat perdarahan (yang terus berlangsung) itu sendiri. Penilaian klinis termasuk pengukuran nadi dan tekanan darah akan menunjukkan apakah pasien berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-tanda syok segera infuse plasma expander.Menghentikan perdarahanMenghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya.Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan perdarahan hidung harus dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena turun. Sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya, kecuali sudah dalam keadaan syok.Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2 % dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan larutan Asam Trikloroasetat 10%, atau dapat juga dengan elektrokauter.Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan melalui nares anterior dan harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 1-2 hari.Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior).Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan melalui kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Kedua ujung kateter kemudian dikaitkan masing-masing pada 2 buah benang pada tampon Bellocq, kemudian kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk, tampon ini didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari anres anterior itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat hemostatik diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Arteri tersebut antara lain arteri karotis interna, arteri maksilaris interna, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan anterior.Mencegah komplikasiKomplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau sebagai akibat usaha penanggulangan epistaksis.Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infusi atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, meskipun akan dipasang tampon baru, bila masih ada perdarahan.Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilakatkan di pipi.Mencegah epistaksis minor berulangSaat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut.Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa.Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

14. Px. Fisik dan Px. Penunjang untuk penegakan diagnosis?1. Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

2. Pemeriksaan Fisik Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).

3. Pemeriksaan Penunjang a. In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).

15. Bagaimana Penatalaksanaan kasus di skenario?1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.2. Simptomatisa. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

Komplikasi:a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).