laptut skenario 3
DESCRIPTION
laporan tutorial blok respirasiTRANSCRIPT
Blok XII : RESPIRASI
Laporan Tutorial Skenario 3
OLEH : KELOMPOK 4
1. Husnul Asmaroni (H1A012021)
2. I G.A.Pt.Wahyu W (H1A012022)
3. I Gede Suaranta (H1A012023)
4. I Gst. Lanang Krisna W (H1A012024)
5. Khalida Failasufi (H1A012027)
6. M. Fauzan Harlan (H1A012032)
7. Martina Rizki Priartini G (H1A012033)
8. Nurfarhati (H1A012043)
9. Rinitha Dinda Savitri (H1A012050)
10. Tannia Rizkyka Irawan (H1A012059)
Tutor : dr. Muthia Cenderadewi
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Nusa Tenggara Barat
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan
menyusun laporan hasil diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Muthia
Cenderadewi sebagai tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan
diskusi ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut
berpartisipasi dan membantu kami dalam proses tutorial ini.
Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-
kekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena
kurangnya pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat
menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Mataram, 21 Juni 2014
Penyusun
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………. 1
Daftar Isi ……………………………………………………………………….. 2
BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………….... 3
1.1. Skenario………………………………………………………………... 3
1.2. Learning Objective (LO)……………..…………………………. ……. 3
1.3. Mind Map……………………………………………………………… 4
BAB II : PEMBAHASAN ………….………………………………………….. 5
BAB III : PENUTUP…………………………………………………………… 41
Daftar Pustaka…………………………………………………………………... 42
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. SKENARIO 3
1.2. LEARNING OBJECTIVES
1. Perbedaan masing-masing diagnosis banding dari kasus pada scenario
2. Tatalaksana PPOK dan Asma
3. Prognosis dan Komplikasi PPOK dan Asma
3
1.3. MIND MAP
4
Laki-laki, 46 thn IGD
Sesak disertai batuk dengan sputum berwarna hijau kekuningan
Anamnesis Tambahan, Pemeriksaan fisik lanjutan dan pemeriksaan penunjang yang sesuai
Penatalaksanaan dan pencegahan
Kesulitan bernafas sejak 3 hari yang lalu dan semakin memberat pada malam hari
Riwayat penyakit dahulu : riwayat sesak berulang sejak 4 tahun yang lalu,
Diagnosis Kerja
Penegakan diagnosis
DD
Px Fisik : tampak gelisah,bibir sianosis, hipertrofi m.sternokleidomastoideus, auskultasi : wheezing pada kedua lapang paru, ronki pada basal hemithoraks dextra
Px spirometri : VEP1/KVP = 74%
VS : RR 28x/mnt, Nadi 96x/mnt, TD 140/90 mmHg, T 38,5oC
PPOK
Asma, Bronkiektasis, Tuberkulosis
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible.
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan behubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya. Istilah penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary Disease
(COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai
gejala berupa terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada
akhir 1950an dan permulaan tahun 1960an. Masalah yang menyebabkan
terhambatmya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran pernapasan maupun
pada parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimasksud adalah bronkitis kronik
(masalah dalam saluran pernapasan), emfisema (masalah dalam parenkim). Ada
beberapa ahli yang menambahkan ke dalam kelompok ini yaitu asma bronkial
kronik, fibrosis kistik dan bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronkial
seharusnya dapat digolongkan ke dalam golongan arus napas yang terhambat,
tetapi pada kenyataannya tidak dimasukkan ke dalam golongan PPOK.
1.1.1. Epidemiologi
Penderita pria : wanita = 9 : 1. Pekerjaan penderita sering berhubungan
erat dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan,
insiden PPOK 1½ kali lebih banyak daripada pedesaan. Bila seseorang pada
saat anak-anak sering batuk, berdahak, sering sesak, kelak pada masa tua
timbul emfisema. Prevalensi PPOK cenderung meningkat. Menurut the
Latin American Project for the investigation of Obstructive Lung Disease
(PLATINO) prevalensi PPOK stadium I dan yang lebih parah pada umur >
60 tahun antara 18,4%-32,1%. Di 12 negara Asia Pasifik prevalensi PPOK
stadium sedang-berat pada umur > 30 tahun sekitar 6,3%. Menurut Global
initiative for chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) memperkirakan
PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada tahun 1990 dan akan
5
meningkat menjadi penyebab terbesar ke-3 pada tahun 2020 di seluruh
dunia.
1.1.2. Etiologi
Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari
eksaserbasi PPOK. Namun, polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal,
infeksi nonpulmonal, dan pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa setidaknya 80% dari PPOK
eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50% disebabkan
oleh bakteri, 30% oleh virus, dan 5-10% karena bakteri atipikal. Infeksi
bersamaan oleh lebih dari satu patogen menular tampaknya terjadi dalam
10 sampai 20% pasien. Meskipun ada data epidemiologis menunjukkan
bahwa peningkatan polusi yang berkaitan dengan peningkatan ringan pada
eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah sakit, mekanisme yang terlibat
sebagian besar tidak diketahui. Emboli pulmonal juga dapat menyebabkan
eksaserbasi PPOK akut, dan, dalam satu penelitian terbaru, emboli
pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien rawat inap dengan eksaserbasi
PPOK.
Faktor risiko penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah hal-hal
yang berhubungan dan atau yang mempengaruhi atau menyebabkan
terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko
tersebut meliputi :
a. Kebiasaan merokok, merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari factor penyebab yang lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
1. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun :
6
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : > 600
b. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
c. Hiperreaktivitas bronkus
d. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Faktor resiko lainnya, yaitu meliputi :
Gen
Paparan asap rokok, occupational dust, polusi udara
Asap tembakau
Lung growth and development
Stres oksidatif
Gender
Usia
Infeksi respirasi
Pernah menderita sakit Tuberkulosis
Status sosial ekonomi
Nutrisi
Komorbid
1.1.3. Patogenesis
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK.
Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan
sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak
makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan
protease yang merusak elemen struktur pada paru- paru. Protease
sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun
tidak berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang
pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK.
Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide,
radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai
faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini dapat
7
meningkatkan penghancuran antiprotease. Inflamasi kronis mengakibatkan
metaplasia pada dinding epitel bronkial, hipersekresi mukosa, peningkatan
massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada epitel,
menyebabkan terganggunya klirens produksi mukus yang berlebihan.
Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronkitis kronis,
ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru, penghancuran
elemen struktural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema.
Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil
pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan
pada saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini
mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya gejala
patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK. Obstruksi saluran
udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau kurang terventilasi;
perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia (PaO2
rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak
sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi
meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang
tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi
keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan
untuk mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada
akhirnya proses ini gagal, dan terjadilah retensi CO2 (hiperkapnia) pada
beberapa pasien dengan PPOK berat.
1.1.4. Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar
dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2
kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis
dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan
pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal
bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang
nyata.
8
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan
kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas
terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang
dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia
mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan
direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja
proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan
inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi
tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi
penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet,
infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot
polos.
Gambar 1. Mekanisme terjadinya hambatan aliran udara pada PPOK
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar
dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar
(sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar
(perilobular) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan
emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran
nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara
pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru
menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.
1.1.5. Manifestasi Klinis
9
Manifestasi klinis dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem
pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan
produksi dahak pada pagi hari. Napas pendek sedang berkembang menjadi
napas pendek akut. Batuk yang produktif dahak memburuk menjadi batuk
persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Pasien sering mengalami infeksi pernapasan dan kehilangan berat badan
menurun atau cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak
akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga.
Pasien mudah lelah, mudah mengalami penurunan berat badan sebagai
akibat dari nafsu makan yang menurun. Penurunan daya kekuatan tubuh,
kehilangan selera makan, penurunan kemampuan pencernaan sekunder
karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem gastrointestinal
Perbandingan tipe-tipe klinis PPOK
Gambaran Pink Puffer (emfisematosa) Blue Bloater (bronkitis)
Awitan Usia 30-40 tahun Usia 20an dan 30an (batuk
akibat merokok)
Usia saat diagnosis ± 60 tahun ± 50 tahun
Etiologi Faktor-faktor yang tidak
diketahui
Predisposisi genetik
Merokok
Polusi udara
Faktor-faktor yang tidak
diketahui
Merokok
Polusi udara
Cuaca
Sputum Sedikit Banyak sekali
Dispnea Relatif dini Reltif lambat
Rasio V/Q Ketidakseimbangan V/Q
minimal
Ketidakseimbangan V/Q
nyata
Bentuk tubuh Kurus dan ramping Gizi cukup
Diameter AP dada Sering berbentuk tong Tidak bertambah
Patologi anatomi paru Empfisema panlobular Emfisema sentrilobular
banyak ditemukan
Pola pernapasan Hiperventilasi dan dispnea Hilangnya dorongan 10
yang jelas, dapat timbul
sewaktu istirahat
pernapasan
Sering terjadi hipoventilasi,
berakibat hipoksia dan
hiperkapnea
Volume paru FEV1 rendah
TLC dan RV meningkat
FEV1 rendah
TLC normal, RV meningkat
sedang
PaCO2 Normal atau rendah (35-40
mmHg)
Meningkat (50-60 mmHg)
PaO2 65-75 mmHg 45-60 mmHg
SaO2 Normal Desaturasi tinggi karena
ketidakseimbangan V/Q
Hematokrit 35 - 45% 50 - 55 %
Polisitemia Hb dan Htc normal sampai
tahap akhir
Sering terjadi peningkatan
Hb dan Htc
Sianosis Jarang Sering
Kor pulmonale Jarang, kecuali tahap akhir Sering, disertai banyak
serangan
Tabel 1. Perbandingan tipe-tipe klinis PPOK
1.1.6. Gejala
Tiga gejala klinis yang paling sering timbul pada pasien PPOK yang
dalam hal ini adalah bronchitis kronis adalah batuk, produksi sputum,dan
sesak napas/ dyspnea.
Gejala Keterangan
Batuk mulai dengan batuk – batuk pagi hari, dan makin lama
batuk makin berat, timbul siang hari maupun malam hari,
sehingga penderita terganggu tidurnya.
Produksi sputum sputum putih/mukoid. Bila ada infeksi, sputum menjadi
11
purulen atau mukopuruen dan kental.
Sesak nafas bila timbul infeksi, sesak napas akan bertambah, kadang –
kadang disertai tanda – tanda payah jantung kanan, lama
kelamaan timbul kor pulmonal yang menetap.
Tabel 2. Gejala pada PPOK
1.1.7. Perbedaan Masing-Masing Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dapat menyerupai gejala di skenario antara
lain :
Tabel 3. Diagnosis banding pada kasus skenario
Antara diagnosis banding tersebut, PPOK dan asma memiliki gejala
yang mirip dan sulit dibedakan, namun terdapat beberapa perbedaan
mendasar antara PPOK dan asma, yaitu :
12
Tabel 4. Perbedaan Asma dan PPOK
Patogenesis antara PPOK dan asma pun berbeda,
Gambar 2. Patogenesis Asma dan PPOK
1.1.8. Diagnosis PPOK
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan
kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK di tegakkan
berdasarkan :
13
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisik
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan.
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara.
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
o Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis interna leher dan edema tungkai
14
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
o Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
o Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
o Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis
sentral dan perifer.
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
pada gagal napas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
o Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
15
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) <
80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
o Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop
appearance)
16
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF),
Kapasitas Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabilitas harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian
kecil PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg per
hari selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP1 pasca
bronkodilator >20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid.
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
17
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat
emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto torak polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter
(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang
ditemukan di Indonesia.
1.3.1. Tatalaksana
A. Tujuan:
Mengurangi gejala
Mencegah eksaserbasi berulang
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualitas hidup
B. Tatalaksana PPOK Stabil
Terapi terdiri dari: Edukasi, Obat-obatan, Oksigen, Ventilasi
Mekanik, Rehabilitasi medik, dan Operasi.
Intensitas terapi ditingkatkan berdasarkan berat penyakit
18
Penatalaksanaan PPOK berdasarkan kategori, menurut Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), yaitu sebagai
berikut :
Tabel 5. Tatalaksana farmakologis PPOK stabil
Secara umum tatalaksana PPOK adalah sebagai berikut :
a. Pemberian Obat-obatan
1) Bronkodilator
Di anjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada
eksaserbasi digunakan oral atau sistemik.
Macam-macam bronkodilator :
19
a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
perhari).
b) Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat
digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
d) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan
kadar aminofilin darah.
2) Anti Inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk
penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid
positif. Pada eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau
sistemik.
3) Antibiotik
20
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan
eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan
pola kuman setempat.
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : Amoksisilin, makrolid
- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat
Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih:
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
4) Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simptomatik bila terdapat dahak yang lengket dan kental. Hanya
diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis
kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
5) Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.
b. Pengobatan Penunjang
1) Rehabilitasi
a) Edukasi
21
b) Berhenti merokok
c) Latihan fisik dan respirasi
d) Nutrisi
2) Terapi oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka
panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati-hati
dapat menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan.
Penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil derajat berat dapat
memeperbaiki kualitas hidup.
Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktivitas
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi
- PaO2 < 60 mmHg atau SpO2 < 90%
- PaO2 diantara 55-59 mmHg atau SpO2>89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda
gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
22
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada
keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktivitas, lama
pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal
kanul 1-2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan
mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak
napas dan meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter
digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian
oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
3) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik invasive digunakan di ICU pada eksaserbasi
berat. Ventilasi mekanik noninvasive digunakan di ruang rawat atau
di rumah sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK
berat.
4) Operasi paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau
transplantasi paru (masih dalam proses penelitian di Negara maju)
5) Vaksinasi influenza
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil.
Vaksinasi influenza diberikan pada :
a) Usia diatas 60 tahun
b) PPOK sedang dan berat
1.3.2. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
a) Gagal napas kronik
23
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60
mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan:
Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
Bronkodilator adekuat
Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau
waktu tidur
Antioksi
Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
b) Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
Sputum bertambah dan purulen
Demam
Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonale
Infeksi berulang Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi
berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai
dengan menurunnya kadar limposit darah. Kor pulmonal ditandai oleh P
pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan
1.3.3. Prognosis
Bila sudah terdapat hipoksemia, prognosis biasanya kurang
memuaskan dan mortalitas pada 2½ tahun kurang lebih 50%. Namun di
samping survival perlu diketahui pula morbiditas pasien PPOK. Sebagai
ilustrasi bahwa Inggris kehilangan 2,6 juta hari kerja orang/tahun oleh
karena PPOK, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 3½ juta hari
kerja orang/tahun.
24
2.2 ASMA BRONKIAL
2.2.1 Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang
dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang
reversibel dan gejala pernapasan. Asma bronkial adalah salah satu
penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit paru alergi dan
imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap
reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam
rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang
disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas.
Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah,
baik secara spontan maupun karena pemberian obat.
2.2.2 Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala
usia, terutama pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan
pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi
asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan
mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan dengan
perempuan.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat
ini jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang
dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita
pada tahun 2025.
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia
prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%.
Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk
Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Anggia D pada tahun 2005 di
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru didapatkan kelompok umur terbanyak
25
yang menderita asma adalah 25 – 34 tahun sebanyak 17 orang (24,29%)
dari 70 orang, dan perempuan lebih banyak dari pada laki – laki (52,86%).
2.2.3 Faktor Resiko
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya,
meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya.
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial
jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai
rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia
dini adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1.
Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
d. Ras
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI)
merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti
leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan
penderita obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2.2.4 Faktor Pencetus
Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma
sudah sedemikian jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan 26
penyebab yang pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran
pernapasan penderita asma mempunyai sifat sangat peka terhadap
rangsangan dari luar yang erat kaitannya dengan proses inflamasi. Proses
inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh alergen tertentu.
Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh
reaksi inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor
pencetus yang sering menjadi pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat – obat tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
d. Ekspresi emosi berlebih
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
2.2.4 Klasifikasi
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain
gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam
hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat
yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan
frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang
dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya
pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi
menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam
penatalaksanaannya.
27
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat
serangan (akut):
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau di luar serangan, terdiri
dari: 1) Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4)
Persisten berat
Tabel 6. Klasifikasi asma saat tanpa serangan.
2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat
yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-
ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat
pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis,
uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan
28
menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi
asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma
(aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat
dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada
pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat,
bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan
kematian.
Tabel 7. Klasifikasi asma menurut derajat serangan
2.2.5 Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan
oleh hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi
29
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel yang menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin dan
leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas sehingga terjadi
bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi
mukus. Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan
kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak
napas, batuk terutama pada malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas
adalah respon bronkus berlebihan yaitu penyempitan bronkus akibat
berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.
Gambar 3. Patogenesis Asma
Tabel 7. Mediator Sel Mast dan Pengaruhnya terhadap Asma
Mediator Pengaruh terhadap
30
Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas
Hiperreaktivitas
pemicu
Banyak Sel :Sel MastEosinofilNetrofilLimfosit
Melepas MEDIATOR :HistaminProstaglandin (PG)Leukotrien (L)Platelet Activating Factor (PAF), dll
Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema saluran napas
Obstruksi difus saluran napas
BATUK, MENGI, SESAK
asma
Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin dan Thromboksan
A2 Bradikinin Platelet-activating factor (PAF)
Kontruksi otot polos
Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin dan Thromboksan
E2 Bradikinin Platelet-activating factor (PAF)
Chymase Radikal oksigen
Udema mukosa
Histamin LTC4, D4,E4 Prostaglandin Hidroxyeicosatetraenoic acid
Sekresi mukus
Radikal oksigen Enzim proteolitik Faktor inflamasi dan sitokin
Deskuamasi epitel
bronkial
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti
yang berkaitan dengan cuaca. Faktor – faktor yang mempengaruhi
asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat,
31
frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, ekspirasi
memanjang diserta ronki kering, mengi.
Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral
Cursshman, kristal Charcot Leyden).
Pemeriksaan Penunjang
o Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk
mengukur faal ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan
saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai
dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20%
atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
o Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan
diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala sma dan faal
paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk
membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran napas
pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri
dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja
(exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik
seperti metakolin dan histamin.
o Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala
serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma
yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan
Tabel 9. Diagnosis Asma32
2.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
33
Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit,
disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil
minimal dalam waktu satu bulan. Penatalaksanaan asma bronkial terdiri
dari pengobatan non-medikamentosa dan pengobatan medikamentosa :
Pengobatan non-medikamentosa
Penyuluhan
Menghindari faktor pencetus
Pengendali emosi
Pemakaian oksigen
Pengobatan medikamentosa
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.13
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi Agonis beta-2 kerja lama, oral Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1) Lain-lain
34
Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol
asma. Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid
inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai
berat).
Tabel 10. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan
potensi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia, 2003)
Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Obat
Beklometason dipropionat
Budesonid
Flunisolid
Flutikason
Triamsinolon asetonid
200-500 ug
200-400 ug
500-1000 ug
100-250 ug
400-1000 ug
500-1000 ug
400-800 ug
1000-2000 ug
250-500 ug
1000-2000 ug
>1000 ug
>800 ug
>2000 ug
>500 ug
>2000 ug
Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat
indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih
baik daripada steroid oral jangka panjang.
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
35
Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk
menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak.
Metilxantine
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat
dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan
pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal
paru.
Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah
salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam).
Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos,
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan
basofil.
Tabel 11. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2
Onset Durasi (Lama kerja)
Singkat Lama
Cepat Fenoterol
Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Formoterol
Lambat Salmeterol
Leukotriene modifiers
36
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya
melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal
dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan
exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek
antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet
(oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah
zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan
napas. Termasuk pelega adalah 13:
Agonis beta2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat
pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal
tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan
dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Aminofillin
Adrenalin
Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol,
dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai
kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2
yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi
penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada
37
serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-
induced asthma
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih
lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal
intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang
disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium
bromide dan tiotropium bromide.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia
lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat
diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside
monitoring).
Cara pemberian pengobatan
Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi,
oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan
pemberian pengobatan langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :
lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan
napas
efek sistemik minimal atau dihindarkan
beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin).
38
Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan
inhalasi daripada oral.
Tabel 12. Pengobatan sesuai berat asma (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, 2003)
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma
Medikasi pengontrol harian
Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain
Asma Intermiten
Tidak perlu -------- -------
Asma Persisten Ringan
Glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug
BD/hari atau ekivalennya)
Teofilin lepas lambat
Kromolin
Leukotriene modifiers
------
Asma Persisten Sedang
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid
(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja lama
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau
Ditambah teofilin lepas lambat
Asma Persisten Berat
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ³ 1 di bawah ini:
teofilin lepas lambat leukotriene
Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg
ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat
39
modifiers
glukokortikosteroid oral
Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
2.2.7 Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling
akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi
beresiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid,
secara umum angka kematian penderita asma wanita dua kali lipat
penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa angka kematian pada serangan
asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan
dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-
kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29%
akan mengalami serangan ulang.
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan
serangan terus menerus angka kematiannya 9%.
40
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari hasi diskusi dan analisis, dapat disimpulkan bahwa pasien diskenario lebih
mengarah pada diagnosis PPOK dengan keluhan-keluhan seperti di skenario
dengan diagnosis banding asma, bronkiektasis, dan tuberkulosis paru. Namun,
untuk menegakkan diagnosis secara pasti harus dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti spirometri untuk menilai penyebab sesak nafas yang terjadi pada pasien
apakah karena kelaianan obstruksi atau retriksi. Pemeriksaan penunjang lain yang
dapat membantu menegakkan diagnosis PPOK adalah pemeriksaan mikrobiologi,
analisis gas darah, pemeriksaan darah lengkap, rontgen thoraks, dan sebagainya.
41
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood, Abdul M. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press
Fauci et.al. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine Seventeenth
Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc
Global Initiative for Chronic Obstructive of Lung Disease. 2014. Global Strategy
for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Available from : www.goldcopd.com [accessed : 15 Juni
2014]
Global Initiative for Asthma. 2014. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Available from : www.ginasthma.org.pdf [accessed : 15 Juni
2014]
Jusuf, Winariani, Hariadi. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR.
Surabaya: UNAIR
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Penyakit Paru Obstruksi
Kronis(PPOK) Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana. Available from :
www.klikpdpi.com [accessed : 15 Juni 2014]
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2010. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana
Asma di Indonesia. Available from : www.klikpdpi.com [accessed : 15 Juni
2014]
42