laporan teknik tahun 2015 pusat penelitian … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk...

197
LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN BIOMATERIAL LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Editor: Kurnia Wiji Prasetiyo, M.Si Triyani Fajriutami, M.Eng Fathul Bari, M.TI Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong, 2015

Upload: haxuyen

Post on 03-Mar-2019

281 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015

PUSAT PENELITIAN BIOMATERIAL LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Editor: Kurnia Wiji Prasetiyo, M.Si Triyani Fajriutami, M.Eng

Fathul Bari, M.TI

Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Cibinong, 2015

Page 2: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi
Page 3: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

i

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

KATA PENGANTAR

Pada Tahun Anggaran 2015, kegiatan penelitian biomaterial di Pusat Penelitian

Biomaterial-LIPI yang salah satu ouputnya adalah Penguasaan dan Penerapan Teknologi Proses dan Produk Biomaterial terbagi dalam 2 sub-kegiatan besar, yaitu (1) Tematik dan (2) Produk Komersial. Sub-kegiatan tematik terdiri dari 4 komponen penelitian dengan judul, yaitu (1) Pemanfaatan sumber daya hayati untuk biopestisida dan biokontrol, (2) Pengembangan biokomposit sebagai bahan baku industri permukiman dan transportasi, (3) Penerapan konsep biorefinery pada produksi bioetanol dari biomassa lignoselulosa, dan (4) Karakterisasi rekayasa dan modifikasi sifat kayu cepat tumbuh dan non-kayu sebagai bahan baku bangunan dan produk biomaterial lainnya. Untuk sub-kegiatan produk komersial terdiri dari 10 komponen dengan judul, yaitu (1) Pengembangan vertical boards skala industri untuk mewujudkan lingkungan hijau, (2) Pemanfaatan total batang bambu untuk produk bambu komposit, (3) Produksi enzim hidrolisis fortifikasi pakan hewan monogastrik, digastrik pakan ikan, (4) Pembuatan kit diagnostik untuk deteksi dini kanker serviks dan condyloma berbasis molekuler, (5) Pengembangan suplemen protein (antioksidan) berbasis ganggang laut (arthrospira), (6) Pengembangan domestikasi oposum layang (Petaurus breviceps) guna pemanfaatan berkelanjutan, (7) Produksi biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi starter dalam bentuk powder untuk pupuk organik, (9) Produksi dan diseminasi bibit jati double platinum dan bibit jati double artenua, (10) Pengembangan turbin angin dengan blade berbahan baku kayu. Buku ini memuat laporan hasil kegiatan-kegiatan di atas dan disusun oleh masing-masing penanggung jawab bersama tim di kegiatan masing-masing. Laporan ini merupakan pertanggungjawaban dari kegiatan penelitian biomaterial di Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI yang harus dilaporkan pada akhir tahun kegiatan.

Kegiatan penelitian biomaterial di Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI ini bertujuan untuk menjadikan Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI menjadi pusat penelitian terdepan dalam penelitian dan pengembangan biomaterial dan mitra strategis sektor industri dalam menghadapi persaingan global serta meningkatkan nilai tambah sumber daya hayati, penggalian potensi baru, diversivikasi produk dan efisiensi proses pengolahan yang ramah lingkungan.

Kami mengucapkan terimakasih kepada para penanggung jawab kegiatan dan semua pihak yang telah terlibat baik dalam kegiatan penelitian biomaterial secara keseluruhan maupun dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua.

Cibinong, Desember 2015 Kepala Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Prof. Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr. NIP. 195812021985031001

Page 4: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

ii

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Page 5: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

iii

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I LAPORAN TEKNIK SUB-KEGIATAN TEMATIK............................................................... 1

LT 1. EFIKASI BAKTERI ENTOMOPATOGEN TERHADAP LARVA Spodoptera litura F. (LEPIDOPTERA, NOCTUIDAE) ........................................................................................... 2 LT 2. TOKSISITAS AKUT ORAL EKSTRAK KASAR EMPAT ISOLAT CENDAWAN ENTOMOPATOGEN TERHADAP TIKUS PUTIH SPRAGUE DAWLEY .................................. 9 LT 3. PENAPISAN ISOLAT BAKTERI BIOSEMENTASI GUA KARST GUNUNG KIDUL ......... 18 LT 4. COMPOSITES OF COCONUT COIR AND BETUNG BAMBOO FIBER: THE EFFECT OF MIXTURE COMPOSITION AND CITRIC ACID PERCENTATION ......................................... 22 LT 5. PENGARUH KOMBINASI PRETREATMENT MICROWAVE - ASAM OKSALAT PADA HIDROLISIS ENZIMATIS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) ................................ 28 LT 6. THE EFFECT OF TEMPERATURE AND TIME OF COMBINED MICROWAVE-OXALIC ACID PRETREATMENT ON COMPONENT HYDROLYSATE OF OIL PALM EMPTY FRUIT BUNCH (OPEFB) .............................................................................................................. 35 LT 7. EFFECT OF TEMPERATURE VARIATION OF MICROWAVE ASSISTED-OXALIC ACID PRETREATMENT ON THE STRUCTURAL PROPERTIES OF OIL PALM EMPTY FRUIT BUNCH (OPEFB) ........................................................................................................................... 44 LT 8. ANATOMICAL PROPERTIES AND FIBER CHARACTERISTICS OF 2 AND 5 YEARS PLATINUM TEAK WOOD ................................................................................................. 57 LT 9. KAJIAN KOMPONEN KIMIA JATI PLATINUM BERDASARKAN UMUR POHON (II) .. 61 LT 10. KARAKTERISTIK KAYU JABON TERPADATKAN DENGAN PRAPERLAKUAN PENGUKUSAN ................................................................................................................. 69

BAB II. LAPORAN TEKNIK SUB-KEGIATAN PRODUK KOMERSIAL ....................................... 78

LT 11. FEASIBILITY ANALYSIS OF COMPOSITES INDUSTRY BASED ON COCONUT COIR FOR VERTICAL GARDEN MEDIA ...................................................................................... 79 LT 12. ANALISIS FINANSIAL PENGEMBANGAN INDUSTRI KOMPOSIT SERAT SABUT KELAPA SEBAGAI MEDIA TANAM VERTIKAL .................................................................. 84 LT 13. SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DARI BAMBU SEMBILANG (Dendrocalamus giganteous ) DAN ANDONG ( Gigantochloa pseudoarundinacea) ..... 92 LT 14. PRODUKSI ENZIM HIDROLISIS UNTUK FORTIFIKASI PAKAN HEWAN MONOGASTRIK, DAN PAKAN IKAN ................................................................................ 99 LT 15. PEMBUATAN KIT DIAGNOSTIK UNTUK DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DAN CONDYLOMA BERBASIS MOLEKULER ........................................................................... 115 LT 16. PENGEMBANGAN SUPLEMEN PROTEIN (ANTIOKSIDAN) BERBASIS GANGGANG LAUT (ARTHROSPIRA) ................................................................................................... 122 LT 17. MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN, PANTAUAN REPRODUKSI DAN BONDING PADA OPOSUM LAYANG (Petaurus breviceps) DI PENANGKARAN.............................. 126

Page 6: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

iv

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 18. PEMERIKSAAN DAN KASUS MEDIK PADA OPOSUM LAYANG (Petaurus breviceps WATER HOUSE, 1839) DI PENANGKARAN ................................................................... 131 LT 19. EFEKTIVITAS FORMULASI EMUSIFIABLE CONCENTRATE (EC) MINYAK MIMBA TERHADAP RAYAP TANAH (Coptotermes sp) ............................................................... 138 LT 20. ACUTE ORAL TOXICITY TEST OF Azadirachta indica CRUDE EXTRACT FORMULATION ON SPRAGUE DAWLEY RAT (Rattus norvegicus L.) ............................ 143 LT 21. EFEKTIFITAS SOIL TREATMENT DENGAN CUKA KAYU TERHADAP RAYAP TANAH Coptotermes sp ............................................................................................................ 149 LT 22. TEKNOLOGI PEMBUATAN STARTER PUPUK ORGANIK HAYATI (POH) DALAM BENTUK POWDER ......................................................................................................... 154 LT 23. EVALUASI PERTUMBUHAN AWAL VEGETATIF JATI TETRAPLOID DAN DIPLOIDNYA DALAM KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN .............................................. 162 LT 24. PRODUKSI BIBIT, UJI AGRONOMI DAN ANALISIS ARTEMISININ Artemisia annua POLIPLOID HASIL INDUKSI KOLKISIN SECARA IN VITRO ............................................... 170 LT 25. PENGEMBANGAN TURBIN ANGIN DENGAN BLADE BERBAHAN BAKU KAYU . 184

Page 7: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

1

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Judul dan Penanggung Jawab Kegiatan (Kode Laporan Teknik): 1. Pemanfaatan sumber daya hayati untuk biopestisida dan biokontrol / Deni Zulfiana,

M.Si. (LT 1 – LT 2) 2. Pengembangan biokomposit sebagai bahan baku industri permukiman dan

transportasi / Ananto Nugroho, M.Eng. (LT 3 – LT 4) 3. Penerapan konsep biorefinery pada produksi bioetanol dari biomassa lignoselulosa

/ Fitria, MFoodSc. (LT 5 – LT 7) 4. Karakterisasi rekayasa dan modifikasi sifat kayu cepat tumbuh dan non-kayu

sebagai bahan baku bangunan dan produk biomaterial lainnya / Danang Sarwoko A, S.Hut. (LT 8 – LT 10)

BAB I LAPORAN TEKNIK

SUB-KEGIATAN TEMATIK

Page 8: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

2

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 1.

EFIKASI BAKTERI ENTOMOPATOGEN TERHADAP LARVA Spodoptera litura F.

(LEPIDOPTERA, NOCTUIDAE)

Ni Putu Ratna Ayu Krishanti*, Bramantyo Wikantyoso, Apriwi Zulfitri, Deni Zulfiana

Pusat Penelitian Biomaterial

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu hama penting yang menyerang hampir semua jenis tanaman berdaun (herbaceous plants) terutama komoditas sayuran. Pengendalian hayati menggunakan bakteri entomopatogen merupakan salah satu strategi alternatif yang efektif dan ramah lingkungan dibandingkan penggunaan insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tiga isolat bakteri entomopatogen terhadap larva S. litura pada berbagai stadium instar. Dua isolat bakteri entomopatogen (BLSP-3 dan BLSP-4) yang diisolasi dari pupa S. litura yang telah mati, dan satu isolat Bacillus thuringiensis (BLBt), menunjukkan aktivitas larvasida terhadap larva S. litura. Isolat BLBt menghasilkan tingkat mortalitas yang tinggi (>87%) terhadap larva instar 1, 2, dan 3, namun menunjukkan penurunan efektifitas hingga 53% pada larva instar 4. Isolat BLSP-3 dan BLSP-4 menghasilkan tingkat mortalitas tertinggi terhadap larva instar 1 dan 2 hingga 83% dan 86%, secara berurutan, sedangkan terhadap larva instar 3 hanya sebesar 40%. Pada larva instar 4, isolat BLSP-3 dan BLSP-4 tidak terlalu efektif ditandai dengan tingkat mortalitas yang rendah. Ketiga isolat ini berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan populasi S.litura.

Kata kunci: Agen biokontrol, bakteri entomopatogen, larvasidal, Spodoptera litura

PENDAHULUAN

Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu serangga hama yang potensial merusak tanaman pertanian terutama komoditas sayuran. Menurut Marwoto (2007), kehilangan panen akibat serangan ulat grayak dapat mencapai hingga 80%. Hama perusak tanaman pertanian ini menyerang pada semua stadia larva. Ulat S.litura instar 1, 2, 3 menyerang daun sehingga bagian yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulang daun, sedangkan instar 4 dan 5 merusak tulang-tulang daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan, pada larva instar 6, ulat telah memasuki masa pembentukan pupa dimana pergerakannya menjadi lamban dan daya makan ulat sudah berkurang (Arifin, 1991).

Bentuk pengendalian untuk melindungi tanaman dari kerusakan akibat serangan ulat grayak biasanya menggunakan insektisida. Namun, penumpukan residu akibat penggunaan insektisida di lingkungan dalam dekade terakhir ini meningkat cukup tinggi. Hal ini membahayakan bagi kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia. Beberapa dampak negatif akibat penggunaan insektisida secara berlebihan adalah: (a) kematian organisme bukan sasaran, (b) terjadinya resistensi dan resurgensi hama sasaran, dan (c) residu insektisida pada produk hasil pertanian, sehingga saat ini perlu diusahakan suatu pengendalian alternatif (Untung 2006).

Alih teknologi dengan memanfaaatkan agen biokontrol untuk mengendalikan serangga hama pertanian merupakan strategi alternatif yang menjanjikan dibandingkan penggunaan

Page 9: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

3

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

pestisida kimia. Pemanfaatan mikroorganisme khususnya bakteri entomopatogen untuk mengendalikan populasi ulat grayak sangat efektif karena tidak meninggalkan masalah resistensi dan resurgensi pada hama sasaran (Adam et al. 2014). Produksi senyawa metabolit sekunder ataupun produksi enzim ekstraselular oleh mikroorganisme telah terbukti efektif dalam kontrol populasi larva S.litura (Chandrasekaran et al. 2012).

Studi eksplorasi penggunaan mikroorganisme terutama bakteri sebagai agen biokontrol terhadap serangan ulat grayak masih sangat dibutuhkan untuk mencari bakteri-bakteri yang memiliki aktivitas insektisidal untuk dikembangkan sebagai pengendali hama S. litura. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan mengevaluasi pengaruh pemberian bakteri entomopatogen terhadap berbagai stadium instar larva S. litura.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Pengendalian

Serangga Hama dan Biodegradasi, Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI pada bulan Maret 2015 sampai Agustus 2015.

Isolat bakteri entomopatogen dan karakteristik morfologi

Tiga isolat bakteri yang digunakan yaitu isolat BLBt, BLSP-3, dan BLSP-4. Isolat bakteri BLBt merupakan Bacillus thuringiensis yang merupakan koleksi Laboratorium IPBCC, sedangkan isolat bakteri BLSP-3 dan BLSP-4 merupakan koleksi Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biomaterial, LIPI. Ketiga isolat bakteri diremajakan pada medium Nutrient agar. Karakterisasi morfologi dari ketiga isolat tersebut mencakup pewarnaan Gram, bentuk koloni, bentuk tepian koloni, warna koloni, dan elevasi.

Perbanyakan dan pemeliharaan larva S.litura

Telur larva Spodoptera litura diperoleh dari Laboratorium Entomologi di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan dipelihara serta diperbanyak di Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan Biodegradasi, Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI. Perbanyakan dan pemeliharaan larva S.litura mengikuti metode Javar et al. (2013) dengan modifikasi. Larva S. litura diberi pakan daun talas dan ditempatkan pada kotak plastik (34 cm x 25 cm x 7 cm). Pakan segar selalu diberikan setiap 2 hari. Larva pada tahap stadia akhir dipindahkan ke kotak plastik lain yang berisikan serutan kayu untuk pembentukan pupa. Serangga dewasa (imago) dipindahkan dan dipelihara pada kontainer plastik berbentuk tabung berukuran (diameter 18 cm x tinggi 26 cm) yang didalamnya dilapisi dengan kertas sebagai tempat peletakkan telur. Imago diberi pakan larutan madu 10%. Telur yang dihasilkan dikoleksi setiap hari dan ditempatkan pada kotak plastik bersih hingga menetas menjadi larva. Larva yang digunakan untuk bioassay merupakan larva pada instar 1, instar 2, instar 3, dan instar 4 pada generasi kedua.

Pengujian efektifitas bakteri entomopatogen terhadap larva S.litura

Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode pencelupan daun uji (leaf dipping) (Balfas & Wilis 2009). Kultur bakteri uji ditumbuhkan pada 250 ml media Nutrient broth hingga mencapai kerapatan 108 CFU/ml. Daun talas sebagai pakan larva dipotong hingga berukuran sekitar 4 cm2, dicelupkan ke dalam masing-masing kultur bakteri uji berumur 24 jam, dibiarkan terendam selama 10 menit, dan kemudian dikering anginkan. Daun yang telah diberi perlakuan dimasukkan ke dalam cup percobaan yang diberi alas kertas. Setiap cup percobaan diinfestasikan sebanyak 1ekor larva uji. Setiap perlakuan bakteri uji menggunakan 3 ulangan dan tiap ulangan berisikan 10 ekor larva uji. Daun yang hanya direndam dengan air steril dijadikan sebagai kontrol negatif. Pakan tanpa perlakuan diberikan satu hari setelah pemberian pakan perlakuan. Pakan diganti dengan daun talas segar setiap hari. Parameter yang diamati adalah persentase tingkat mortalitas larva uji

Page 10: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

4

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

selama 72 jam waktu pengamatan. Selain mortalitas, kelangsungan hidup larva juga diamati setiap harinya.

Hasil

Periode siklus hidup S. litura Larva S. litura yang diberi pakan dengan daun talas memiliki siklus hidup lengkap sekitar

35 hari, meliputi : fase telur, fase larva hingga mencapai instar stadia 6, fase pembentukan pupa, dan fase imago hingga menghasilkan telur kembali. Telur menetas dalam kurun waktu 2-3 hari, larva instar 1 hingga mencapai instar 6 membutuhkan waktu rata-rata 14 hari, proses pembentukan pupa membutuhkan waktu 2 hari sedangkan masa pupa hingga menjadi imago membutuhkan waktu 6-8 hari. Masa periode imago S. litura berkisar 3-5 hari.

Karakteristik morfologi isolat bakteri

Karakteristik morfologi pada isolat bakteri BLSP-3, BLSP-4, dan BLBt disajikan pada Tabel 1. Pengamatan morfologi isolat bakteri meliputi pengamatan koloni bakteri dan pengamatan mikroskopis.

Tabel 1. Karakteristik morfologi isolat bakteri entomopatogen

Kode Isolat

Karakteristik koloni bakteri Mikroskopis

Ukuran Bentuk Warna Tepian Elevasi Gram Bentuk

sel Spora

BL SP-3

2 mm bulat kuning licin cembung negatif kokus tidak

BL SP-4

3 mm bulat merah licin cembung negatif batang pendek

tidak

BLBt 7 mm bulat putih kerut timbul, kasar

positif batang ya

Ketiga isolat bakteri dapat tumbuh dengan baik pada medium Nutrient agar (Gambar 1.

A). Berdasarkan hasil pengamatan pewarnaan Gram dan pengamatan mikroskopis, diketahui bahwa isolat BLBt termasuk ke dalam kelompok bakteri gram positif, sedangkan isolat BLSP-3 dan BLSP-4 termasuk ke dalam kelompok bakteri negatif (Gambar 1. B).

A

B

0.1 mm 0.1 mm 0.1 mm

Page 11: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

5

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 1. Koloni isolat bakteri BLBt, BLSP-4, dan BLSP-3 pada media pertumbuhan Nutrient agar (A) dan pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran 100X (B).

Pengujian efektifitas bakteri entomopatogen terhadap S.litura

Pengujian efektifitas bakteri entomopatogen terhadap larva S. litura menunjukkan tingkat mortalitas larva yang beragam pada berbagai stadium instar yang diperlakukan dengan waktu pengamatan 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Persentase tingkat mortalitas larva S.litura pada stadium instar 1, 2, 3, dan 4 disajikan pada Gambar 2. Pada stadium larva instar 1 tingkat mortalitas larva pada 24 jam pertama setelah perlakuan diketahui bahwa isolat BLSP-4 menunjukkan persentase kematian larva paling tinggi yaitu 67% dibandingkan perlakuan lain. Sementara itu, ketiga isolat menunjukkan persentase mortalitas larva lebih dari 80% pada jam ke-48. Pada stadium larva instar 2 dan instar 3, isolat BLBt memperlihatkan tingkat mortalitas yang paling tinggi dan semakin lama semakin meningkat seiring dengan waktu pengamatan. Isolat BLSP-3 hanya mampu menghasilkan tingkat mortalitas tertinggi sampai 83% pada larva instar 2 dan 40% pada larva instar 3, sedangkan persentase mortalitas larva akibat perlakuan isolat BLSP-4 mencapai 87% pada larva instar 3 dan 40% pada larva instar 3. Kedua isolat ini tidak terlalu efektif pada perlakuan larva instar 4 karena menghasilkan nilai persentase mortalitas yang kurang dari 40%. Berbeda halnya dengan isolat BLBt yang masih mampu menghasilkan persentase mortalitas lebih dari 50 % pada larva instar 4.

A B

C Gambar 2. Persentase tingkat mortalitas larva S. litura pada pengamatan 24 jam setelah

perlakuan (A), 48 jam setelah perlakuan (B), dan 72 jam setelah perlakuan (C). Keterangan gambar :

Kematian yang teramati akibat pemberian perlakuan isolat bakteri menunjukkan

perbedaan (Gambar 3). Kematian akibat pemberian isolat BLSP-4 yang teramati pada larva

43

70 67

404030

1710

67

23 27 23

0

20

40

60

80

100

instar 1 instar 2 instar 3 instar 4

% t

ingk

at m

ort

alit

as la

rva

90 93

77

40

87 83

27 23

87

73

3327

0

20

40

60

80

100

instar 1 instar 2 instar 3 instar 4

% t

ingk

at m

ort

alit

as la

rva

90 93

80

53

87 83

4033

9387

40 40

0

20

40

60

80

100

instar 1 instar 2 instar 3 instar 4

% t

ingk

at m

ort

alit

as la

rva

Page 12: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

6

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

instar 4 menunjukkan tubuh larva yang mati melunak, cairan yang keluar dari tubuh larva berwarna kemerahan, dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Pemberian isolat BLSP-3 menunjukkan gejala kematian yang berbeda yaitu tubuh larva menjadi mengeras, kaku, dan larva memendek dari ukuran sebelum perlakuan. Sementara itu, tubuh larva yang telah mati akibat pemberian isolat BLBt pada awalnya tidak terlalu terlihat banyak perubahan dibandingkan larva yang masih hidup. Namun, seiring hari pengamatan tubuh larva tersebut menjadi lebih kecil, mengkerut, dan menghitam. Beberapa larva yang mati menghasilkan cairan yang berwarna keputihan dan berbau.

Gambar 3. Gejala kematian larva S.litura instar 4 pada masing-masing perlakuan dan larva

S.litura kontrol yang hidup. 1) Pemberian isolat BLSP-3, 2) Pemberian isolat BLSP-4, 3) Pemberian isolat BLBt, 4) Perlakuan kontrol dengan akuades steril.

PEMBAHASAN

Penelitian ini telah berhasil mengidentifikasi dampak pemberian tiga isolat bakteri BLBt, BLSP-3, dan BLSP-4 terhadap mortalitas larva S.litura pada beberapa stadium instar ketika diberikan sebagai racun umpan. Persentase mortalitas larva sangat tinggi dengan pemberian isolat BLBt, BLSP-3, dan BL-SP4 pada S.litura instar 1 dan 2, namun pada instar 3 dan 4 mulai menunjukkan penurunan. Perlakuan dengan isolat BLBt menghasilkan mortalitas larva tertinggi pada stadium instar 3 dan 4 yaitu 80 % dan 53 %, sedangkan mortalitas larva yang diperlakukan dengan isolat BLSP-4 dan BLSP-3 pada perlakuan instar 3 sama-sama mencapai 40 %, tetapi mortalitas larva yang diperlakukan dengan isolat BLSP-3 hanya mencapai 33 % pada perlakuan instar 4. Dalam penelitian ini daun yang diberi perlakuan diberi makan ke ulat hanya satu kali saja pada hari pertama, hal ini dapat menyebabkan tingkat mortalitas menurun karena periode ulat memakan daun yang diperlakukan sangat singkat. Mortalitas dapat meningkat apabila pemberian perlakuan dilakukan dalam periode yang lama, seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Bouda et al. (2001) yang memberi perlakuan minyak tanaman obat pada larva S.zeamais.

Efek fisiologi berdasarakan toksisitas isolat bakteri belum dapat dipastikan, namun melalui gejala kematian yang ditimbulkan pada larva S.litura instar 4 diketahui bahwa ada interaksi antara toksin bakteri dengan gejala yang ditimbulkan. Gejala kematian larva S.litura yang diberi perlakuan isolat BLBt menunjukkan gejala yang sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Bravo et al. (2007), dimana larva yang terinfeksi mengerut, warna tubuh semakin menghitam, dan mengecil, hal ini disebabkan oleh racun bakteri tersebut merusak sistem pencernaan dari larva sehingga menyebabkan kematian. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri penting dalam entomopatogen karena memiliki kristal parasporal di dalam tubuhnya. Kristal protein ini terbentuk oleh protein Cry yang dikodekan oleh gen Cry (Schnepf et al. 1998; Crickmore et al. 1998). Protein Cry yang membentuk kristal yang bersifat toksin terhadap serangga ini dapat larut dalam air dan termasuk ke dalam kelompok δ-endotoksin bakteri (Hansen & Salamitou 2000). Parasporal kristal Bt yang masuk ke dalam tubuh serangga uji akan melewati saluran pencernaan serangga. Kristal protein akan teraktivasi oleh lingkungan basa di dalam saluran pencernaan menjadi protein δ-endotoksin atau protoksin. Protoksin akan menjadi toksin apabila teraktivasi oleh enzim protease serangga dan terikat secara spesifik pada reseptor

1 2 3 4

Page 13: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

7

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

di saluran pencernaan (Schunemann et al. 2014). Toksin Cry yang menempel pada peritropik membran dapat melukai hingga menyebabkan kebocoran saluran pencernaan. Kerusakan ini menyebabkan serangga menjadi tidak makan, dehidrasi, dan mati (Bravo et al. 2007; Sousa et al. 2010).

Setelah pemberian pakan dengan perlakuan isolat bakteri BLSP-4, terjadi perubahan perilaku larva yang teramati setelah 24 jam. Larva menjadi tidak mau makan dan kotoran (feces) lebih cair dibandingkan dengan kotoran pada larva kontrol yang berupa butiran. Larva yang terinfeksi dan mati tubuhnya menjadi lunak dan bila kulit disentuh akan pecah dan cairan tubuh keluar berwarna merah kehitaman. Tubuh yang melunak ini dapat disebabkan oleh penipisan kutikula serangga akibat proses enzimatik oleh bakteri yang berada didalam tubuh serangga uji. Salah satu enzim yang sangat berperan dalam proses penghancuran dinding sel serangga adalah enzim kitinase. Kitinase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosidik pada struktur kitin (polisakarida amino-glukosa N-acetyl- β-D-glukosamine) (Matsumoto 2006). Kitinase akan menginduksi kerusakan pada membran peritropik di dalam saluran pencernaan serangga dan menyebabkan reduksi yang signifikan pada penyerapan nutrisi (Gilbert et al. 2005). Oleh karenanya, kitinase yang terdapat pada pakan serangga dapat menghambat pertumbuhan serangga. Hasil penelitian Chandrasekaran et al. (2012) menunjukkan bahwa purifikasi kitinase yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis efektif dalam mengendalikan S.litura melalui tingkat mortalitas yang tinggi dan berat larva yang tereduksi. Produksi kitinase yang berlebihan pada agen entomopatogen dapat meningkatkan kematian serangga (Fan et al. 2007). Pemberian isolat bakteri BLSP-3 menunjukkan gejala kematian dengan tubuh larva yang menjadi kaku dan mengecil. Belum banyak literatur yang menyebutkan efek kematian larva seperti ini, namun diduga bahwa toksin yang menyerang serangga uji ini juga menyerang membran peristropik dan dengan cepat membunuh serangga. Walaupun tingkat mortalitas perlakuan isolat BLSP-3 tidak terlalu efektif dalam menyebabkan kematian larva S.litura namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis toksin yang dihasilkannya.

Penggunaan biopestisida berbahan dasar hayati seperti mikroorganisme diharapkan sebagai salah satu insektisida alternatif yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap serangga S. litura. Ketiga isolat bakteri entomopatogen ini juga akan dikembangkan lebih lanjut untuk mengetahui potensinya sebagai racun kontak terhadap S. litura.

KESIMPULAN

Tiga isolat bakteri entomopatogen (BLBt, BLSP3, dan BLSP4) berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan populasi S.litura. Ketiga isolat ini menghasilkan tingkat mortalitas yang tinggi (>80%) terhadap larva instar 1, dan 2. Isolat BLBt menunjukkan persentase mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat BLSP-3 dan BLSP-4 pada larva instar 3 dan instar 4 hingga 80% dan 57% secara berurutan, dengan gejala kematian yang bervariasi. Studi awal ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan potensi bakteri entomopatogen ini sebagai kontrol biologi terhadap serangan ulat grayak S.litura.

Page 14: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

8

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

DAFTAR PUSTAKA

Adam, T, Juliana, R, Nurhayati, & Thalib, R, 2014, Bioesai bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis asal tanah Lebak terhadap larva Spodoptera litura, Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal, pp. 74: 1-7.

Balfas, R, & Wilis, M, 2009, Pengaruh ekstrak tanaman obat terhadap mortalitas dan kelangsungan hidup Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae), Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 2: 148-156.

Bouda, H, Tapondjou, LA, Fontem, DA, & Gumedzoe, YD, 2001, Effect of essential oils from leaves of Ageratum conyzoides, Lantara camara, and Chromolaena odorata on the mortality of Sitophylus zeamays (Coleoptera, Curculio-nodae), Journal of Stored Products Research, 37: 103-109.

Bravo, A, Gill, SS, & Soberon, M, 2007, Mode of action of Bacillus thuringiensis Cry and cry toxins and their potential for insect control, Toxicon, 49: 423-435.

Chandrasekaran, R, Revathi, K, Nisha, S, Kirubakaran, SA, Narayanam, SS, & Nathan SS, 2012, Physiological effect of chitinase purified from Bacillus subtilis against the tobacco cutworm Spodoptera litura Fab., Pesticide Biochemistry and Physiology, 104: 65-71.

Crickmore, N, Zeigler, DR, & Feitelson, J, 1998, Revision of the nomenclature for the Bacillus thuringiensis pesticidal crystal proteins, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 62: 807–813.

Fan, YH, Fang, WG, Guo, SJ, Pei, XQ, Zhang, YG, Xiao, YH, Bidochka, MJ, & Pei, Y, 2007, Increased insect virulence in Beauveria bassiana strains over expressing an engineered chitinase, Applied Environmental Microbiology, 73: 295–302.

Gilbert, GI, Iatrou, K, & Gill, SS, 2005, Biochemistry of digestion, in: Comprehensive Molecular Insect Science Biochemical and Molecular Biology, Elsevier Press, Oxford, UK, pp: 171-224.

Hansen, BM, & Salamitou, S, 2000, Virulence of Bacillus thuringiensis, in Entomopathogenic Bacteria: From Laboratory to Field Application, Kluwer Academic, Dodrecht, The Netherlands, pp: 41–44.

Javar, S, Sajap, AS, Mohamed, R, & Hong, LW, 2013, Suitability of Centella asiatica (pegaga) as a food source for rearing Spodoptera litura (F) (Lepidoptera: Noctuidae) under laboratory conditions, Journal of Plant Protection Research, 53: 184-189.

Marwoto, 2007, Dukungan pengendalian hama terpadu dalam program bangkit kedelai, Iptek Tanaman Pangan, 1: 79-92.

Matsumoto, KS, 2006, Fungal chitinases, Biotechnology Department, Lab. Biopolymers, Av. San Rafael Atlixco, Col. Vicentina, Mexico, pp: 186.

Schunemann, R, Knaak, N, & Fluza, LM, 2014, Mode of action and specifity of Bacillus thuringiensis toxins in the control of caterpillars and stink bugs in soybean culture, ISRN Microbiology, 2014: 1-12.

Schnepf, E, Crickmore, N, & J. van Rie, 1998, Bacillus thuringiensis and its pesticidal crystal proteins, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 62: 775–806.

Sousa, MEC, Santos, FAB, & Wanderley-Teixeira, V, 2010, Histopathology and ultrastructure of midgut of Alabama argillacea (H¨ubner) (Lepidoptera: Noctuidae) fed Bt-cotton, Journal of Insect Physiology, 56: 1913–1919.

Untung, K, 2006, Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Page 15: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

9

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 2.

TOKSISITAS AKUT ORAL EKSTRAK KASAR

EMPAT ISOLAT CENDAWAN ENTOMOPATOGEN

TERHADAP TIKUS PUTIH SPRAGUE DAWLEY

Bramantyo Wikantyoso*, Apriwi Zulfitri, Ni Putu Ratna Ayu Krishanti, Deni Zulfiana

Pusat Penelitian Biomaterial

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pengembangan cendawan entomopatogen sebagai agen biokontrol dan biopestisida dalam usaha pengendalian populasi serangga sudah banyak dilakukan. Setiap spesies cendawan entomopatogen memiliki karakter yang berbeda dalam mempengaruhi tingkat patogenitas dan resistensi di alam. Pada penelitian sebelumnya dihasilkan empat isolat cendawan entomopatogen yang memiliki kemampuan infeksi yang paling baik terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi berdasarkan nilai mortalitasnya. Keempat isolat tersebut yaitu Beauveria bassiana, Humicola sp., Nomuraea rileyi, dan Metarhizium anisopliae M622. Meskipun keempat isolat ini menunjukkan kemampuan patogenitas yang baik pada rayap, namun daya toksisitasnya pada organisme lain belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk melihat toksisitas empat isolat cendawan entomopatogen ini terhadap organisme lain yang direpresentasikan dengan tikus putih Sprague Dawley melalui uji toksisitas akut oral. Dosis tunggal oral yang digunakan pada tiap perlakuan adalah 5000 mg/kgBB. Parameter yang diamati adalah mortalitas dan gejala klinis yang ditimbulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat ekstrak cendawan entomopatogen (SD1M622, SD2Beau, SD3Hum, SD4Nom) tidak menimbulkan kematian tikus. Semua isolat tergolong aman untuk akut oral karena memiliki dosis toksisitas di atas 5000 mg/kgBB. Kata kunci: cendawan entomopatogen, mortalitas, toksisitas, akut oral

ABSTRACT

Development of entomopathogenic fungi as biocontrol agent and biopesticide natural source have been carried out in considerable amount, since controlling insect pest population is more recently needed. Each entomopathogenic fungi species has different traits which work on leveling patogenicity and resistence rate. Seven isolates of entomopathogenic fungus had been tested on subterranian termite Coptotermes gestroi and generated four isolates with the highest termite mortality rates. The fourth of the fungus are Beauveria bassiana, Humicola sp., Nomuraea rileyi, and Metarhizium anisopliae M622. Although they showed favorable abilities in suppressing termite population under laboratory condition, the exposure effects on non target organisms is still unknown. This study aiming on acute oral toxicity observation on mammal which is represented by Sprague Dawley rats. 5000 mg/kgBW entomopathogenic fungus crude extracts as oral single dose had been used. Mortality and clinical signs are monitored as well as body weight alteration. The research indicated that four crude extracts of entomopathogenic fungus (SD1M622, SD2Beau, SD3Hum, SD4Nom) had no clinical impact and yielded 0% mortality in treatment groups. The isolates are safe to acute oral administration and have higher single dose than 5000 mg/kgBW. Key words: entomoathogenic fungi, mortality, toxicity, acute oral

Page 16: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

10

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

PENDAHULUAN

Saat ini kegiatan pengendalian hama adalah salah satu hal yang perlu perhatian lebih karena banyak aspek yang akan terkena dampak dari pengendalian hama yang tidak sesuai. Tidak sedikit petani lokal di indonesia yang masih memiliki ekspektasi produksi yang rendah dan toleransi terhadap kerusakan panen karena hama. Selain itu perspektif kedaerahan yang menganggap hama merupakan makhluk sesama dan berbagi sumber makanan dengan hama merupakan hal yang wajar asal tidak menyebabkan kerusakan lebih dari 50% (Marten, 1986).

Gangguan organ endokrin seperti gondok, kekurangan hormon pertumbuhan, hipoglikemik dan lainnya sering terjadi pada daerah dengan tingkat penggunaan pestisidanya tinggi. Pesticide Action Network Asia and the Pacific (PANAP) pada pertemuannya dalam United Nations Environment Program: Global Major Groups and Stakeholders Forum (2011) menyatakan bahwa 66% pestisida kimia yang digunakan oleh petani di Asia termasuk di Indonesia merupakan pestisida yang berbahaya tinggi bagi kesehatan berdasarkan kriteria klasifikasi dari Pesticide Action Network (PAN). PANAP menyatakan bahwa penggunaan dosis rendah bahan kimia yang berbahaya dapat memicu gangguan sistem endokrin dalam tubuh, khususnya pada wanita, anak anak, usia lanjut dan pada masyarakat yang sakit atau kurang nutrisi (Whittle, 2010). Selain itu pestisida kimia memiliki kelemahan yaitu pemakaian yang tidak tepat akan menyebabkan resistensi. Sebagai contoh pada tahun 1986–1987, penggunaan pestisida kimia yang berlebihan dan tidak sesuai prosedur menyebabkan adanya resistensi hama dan membunuh predator alaminya. Petani kehilangan 1 juta ton beras dan setara dengan 180.000.000 US Dollar. Limbah dari polusi ini masuk ke dalam aliran sungai dan merusak lingkungan juga kesehatan warga setempat (Barbier, 1989).

Usaha Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan salah satu upaya yang memberikan jalan bagi petani dan pengguna pestisida untuk lebih bijak baik dari segi metode yang lebih ramah lingkungan dan sehat, serta segi ekonomi yang efektif. PHT merupakan sistem fleksibel yang baik digunakan karena menggunakan sumber bahan lokal dengan penelitian yang selalu berkembang, teknologi terbaharui, dan ramah untuk kesehatan manusia dan lingkungan. Beberapa pilihan dapat dilakukan dengan PHT adalah dengan mencegah akses hama secara fisik, peningkatan kualitas lingkungan melalui variasi penanaman, dan penurunan populasi hama salah satunya menggunakan musuh alami hama sebagai kontrol secara biologis (James et al. 2010).

Menurut James et al. (2010), beberapa organisme memiliki potensi untuk digunakan sebagai kontrol biologis hama, salah satunya organisme entomopatogen. Entomopatogen merupakan organisme yang mengontrol dan membunuh hama dalam hal ini serangga dengan menyebarkan penyakit dalam tubuh dan populasi hama tersebut. Entomopatogen dapat berasal dari cendawan, nematoda, bakteri, protozoa atau virus. Tiga mekanisme kerja cendawan entomopatogen adalah invasi, sekresi toksikan, dan destruksi. Ketiga mekanisme tersebut dapat terjadi secara bertahap atau kombinasi (Yendol & Paschke, 1965; Zulfiana et al. 2010).

Potensi yang dimiliki oleh cendawan entomopatogen tersebut memiliki kesempatan besar untuk bisa diformulasi dan diproduksi untuk aplikasi skala lapangan. Namun pengamatan dan observasi lebih jauh merupakan hal yang penting untuk mengetahui interaksi dengan lingkungan hidupnya, sebagai bentuk penilaian dampak ekologi dan keselamatan (Syaharaj & Namachivayam, 2011).

Latar belakang tersebut merupakan landasan untuk melakukan evaluasi toksisitas akut oral cendawan entomopatogen. Pada penelitian sebelumnya tujuh isolat cendawan entomopatogen telah dilakukan pengujian bioassay pada rayap tanah Coptotermes gestroi dan empat isolat menunjukkan angka mortalitas rayap tertinggi (Gambar 3). Empat isolat cendawan tersebut adalah Beauveria bassiana, Nomuraea rileyi, Humicola sp., dan Metarhizium anisopliae M622. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui toksisitas empat cendawan entomopatogen terhadap tikus putih Sprague Dawley sebagai representasi organisme mamalia.

Page 17: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

11

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 3. Grafik persentase mortalitas rayap tanah Coptotermes gestroi yang

diperlakukan dengan ekstrak kasar cendawan entomopatogen selama 48 jam.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggnakan metode uji toksisitas oral akut yang merujuk pada Hall et al. (1982) dengan modifikasi dosis, rentang waktu pengujian dan jumlah hewan coba yang digunakan.

Tempat Penelitian

Penelitian dimulai pada bulan Agustus hingga September 2015 di Laboratorium Pengendalian Hama Permukiman dan Pertanian, Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI, Cibinong.

Persiapan Bahan Uji Ekstrak Kasar Cendawan

Ekstrak cendawan yang digunakan untuk uji akut oral adalah empat cendawan yang menunjukkan persentase mortalitas rayap paling tinggi pada uji pendahuluan (Gambar 3), yaitu Beauveria bassiana, Nomuraea rileyi, Humicola sp., dan Metarhizium anisopliae M622. Ekstrak cendawan merupakan hasil fermentasi pada medium Czapex-dox Broth dengan penambahan 10% pepton sebagai sumber nitrogen berdasarkan Zulfiana et al. (2009). Bahan uji ekstrak kasar yang digunakan untuk administasi oral diperoleh melalui penyaringan menggunakan disposable filter (0.20 µl Minisart-Sartorius). Perhitungan berat jenis ekstrak dilakukan dengan menggunakan piknometer, untuk menentukan konversi dosis tunggal 5000 mg/kgBB.

Aklimatisasi dan Pengelompokan Hewan Uji

Sebagai hewan uji digunakan tikus putih dewasa Sprague Dawley, yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tikus dalam kondisi sehat, umur 8-12 minggu, bobot badan berkisar 176 gram dan jenis kelamin betina. Jumlah tikus yang digunakan 15 ekor dibagi kedalam empat kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol dengan tiga kali ulangan (ulangan I: Hijau [H], ulangan II: Biru [B], ulangan III: Putih [P]). Masing-masing perlakuan diberikan kode sesuai dengan perlakuan isolat cendawan yang digunakan (SD1M622: M. anisopliae; SD2Beau: B. bassiana; SD3Hum: Humicola sp.; SD4Nom: N. rileyi). Sebelum pengujian dilakukan, tikus diaklamatisasikan selama satu minggu dalam kotak plastik (39x30x12,5 cm). Makan dan minum diberikan secara ad-libitum. Pelet standar digunakan sebagai pakan tikus selama masa pengujian.

Perlakuan dan Administrasi Bahan Uji

Sehari sebelum perlakuan semua tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam. Administrasi per oral dilakukan dengan jarum oral tumpul dan syringe (1 ml One Med). Pada kelompok perlakuan diinjeksikan dengan 1 ml ekstrak kasar masing-masing isolat, sedangkan pada kelompok kontrol digunakan akuades steril. Pengamatan dilakukan pada jam ke-1, 2, 3, 4 dan per hari hingga hari ke 14 serta dilakukan penimbangan berat badan

0

20

40

60

J A M 1 J A M 2 J A M 3 J A M 4 J A M 5 J A M 6 J A M 2 4 J A M 4 8

Mo

rtal

itas

ray

ap (

%)

Waktu

M1543 Hum M1570 Nom

M622 MBPTP BeauBPTP Kontrol

Page 18: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

12

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

tikus setiap 3 hari sekali. Pengamatan terhadap kemungkinan adanya gejala klinis dilakukan setiap hari. Pada hari ke-15 tikus semua tikus yang masih hidup dimatikan dengan cara dieuthanasi dan dilakukan nekropsi untuk pengamatan patologi gross. Organ yang diamati adalah organ gastrointestinal liver dan ginjal. Pengamatan

Selama pengujian dilakukan pengamatan pada mortalitas tikus hingga hari ke 14. Ketika ada kematian tikus maka tikus diambil dari kandang dan dilakukan nekropsi untuk kemudian diamati secara makroanatomi untuk mendapatkan data patologi gross. Dilakukan pengukuran organ berdasarkan aksis anteroposterior (AP) dan laterolateral (LL). Penimbangan berat badan dilakukan setiap 3 hari sekali. Selain itu dilakukan pengamatan terhadap terhadap tanda-tanda klinis yang nampak seperti hipersalivasi, hiperlakrimasi, mengigil, rambut berdiri, kecemasan, kelemahan, diare dan kejang. Setelah nekropsi (hari ke-15) dilakukan pengamatan secara makro anatomi untuk melihat patologi gross. Analisis Data

Data dari patologi gross yang ditemukan di organ ditunjukkan sebagai persentase,

sedangkan data berat di analisis menggunakan ANOVA (= 0.05) (SPSS version 16). Koreksi data dilakukan dengan menggunakan uji Post Hoct - Bonferroni.

HASIL

Pada penelitian sebelumnya dilakukan uji toksisitas tujuh ekstrak kasar isolat cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi yaitu perlakuan dengan 7 isolat cendawan entomopatogen selama 48 jam menghasilkan mortalitas rayap signifikan terhadap kontrol yang ditunjukkan oleh isolat B. bassiana (54%), Humicola sp. (52%), N. rileyi (49,33%), dan M. anisopliae M622 (47,33%) (Lampiran 1). Hasil tersebut kemudian yang menjadi dasar untuk dilanjutkan uji toksisitas akut oral terhadap mamal untuk mengetahui adanya gejala klinis dari toksisitas keempat isolat tersebut. Gejala Klinis dan Mortalitas

Pada uji toksisitas akut oral menggunakan empat ekstrak cendawan entomopatogen, tidak ditemukan adanya tanda-tanda klinis seperti hiperlakrimasi, hipersalivasi, tremor, horipilasi, kejang serta tidak ada perubahan pada mata, bulu, respirasi, sistem syaraf dan perilaku (Tabel 1). Selain itu keempat ekstrak tidak menyebabkan kematian pada tikus, dimana semua tikus dapat bertahan hidup dan tidak ada tanda-tanda tikus sakit sampai akhir pengujian (Tabel 2). Selama waktu studi berat badan tikus pada masing-masing perlakuan juga menunjukkan peningkatan (Gambar 1).

Gambar 1. Perubahan berat badan dari H0 – H15 pada kelompok perlakuan oleh dosis

tunggal 5000 mg/kgBB empat ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol oleh akuades steril. Pada penghitungan berat badan hari ke-15 didapatkan data bahwa masing-masing

perlakuan tidak menunjukkan berat badan yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan

150

170

190

210

0 3 6 9 1 2 1 5

Ber

at b

adan

(g)

Hari ke-

Kontrol SD1M622 SD2Beau

SD3Hum SD4Nom

Page 19: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

13

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

kontrol (186,67 ± 20,82 g) yaitu sebesar 182,5 ± 14,43 g (SD1M622), 206,67 ± 18,93 g (SD2Beau), 172,5 ± 12,58 g (SD3Hum), dan 161,67 ± 17,56 g (SD4Nom) (α=0.05) (Tabel 1). Tabel 1. Gejala klinis pada kelompok perlakuan dengan dosis tunggal 5000mg/kgBB empat

ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol dengan akuades steril. (HS: Hipersalivasi; HL: Hiperlakrimasi; HP: Horipilasi; W: Weakness; T: Tremor; C: Cramp) Penilaian: - = tidak ada gejala klinis teramati; ± = gejala klinis ringan teramati; + = gejala klinis sedang teramati; ++ = gejala klinis cukup parah teramati; +++ = gejala klinis parah teramati; ++++ = gejala klinis sangat parah teramati diikuti kematian

Waktu Perlakuan Gejala Klinis

HS HL HP W T C

Jam 1

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Jam 2

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

3

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Jam 4

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 1

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 2

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 3

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 4

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 5

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Waktu Perlakuan Gejala Klinis

HS HL HP W T C

Hari 6 Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 7

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 8

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 9

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 10

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 11

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 12

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 13

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Hari 14

Kontrol - - - - - -

SD1M622 - - - - - -

SD2Beau - - - - - -

SD3Hum - - - - - -

SD4Nom - - - - - -

Page 20: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

14

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 2. Persentase mortalitas pada kelompok perlakuan oleh dosis tunggal 5000mg/kgBB empat ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol oleh akuades steril.

Perlakuan

Mortalitas tikus (%)

Jam Hari

1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

11

12

13

14

Kontrol 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

SD1M622 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

SD2Beau 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

SD3Hum 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

SD4Nom 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Patologi Gross

Berdasarkan pengamatan patologi secara makroskopis tidak ditemukan adanya tanda-tanda patologis akibat administrasi cendawan entomopatogen selama 14 hari pada organ hati dan ginjal (Gambar 2).

Gambar 2. Sampel organ hati dan ginjal dari tikus kontrol dan perlakuan pada hari 15

setelah nekropsi. Tidak ditemukan adanya tanda-tanda patologis melalui pengamatan gross.

(a: KontrolB, b:SD1M622H, c: SD2BeauH, d: SD3HumB, e: SD4NomH, f: KontrolB, g: SD1M622P, h: SD2BeauP, i: SD3HumB, j: SD4NomB, k: KontrolB, l: SD1M622H, m: SD2BeauP, n: SD3HumH, o: SD4NomB)

Pengukuran organ dilakukan menurut aksis anteroposterior (AP) dan laterolateral

(LL) untuk membandingkan ukuran dengan kelompok perlakuan kontrol. Ukuran organ hati, ginjal kiri dan kanan pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol setelah dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan uji Post Hoc – Bonferroni (α=0.05) (Tabel 3). Pada ginjal kiri teramati ukuran perbandingan aksis AP : LL terbesar yaitu 1,73 ± 0,10 : 0,93 ± 0,06 cm dan terkecil adalah 1,58 ± 0,03 : 0,79 ± 0,16 cm sedangkan ginjal kanan memiliki ukuran perbandingan aksis AP : LL terbesar adalah 1,69 ± 0,10 : 0,97 ± 0,06 cm dan terkecil adalah 1,47 ± 0,10 : 0,94 ± 0,13 cm. Pada organ hati teramati ukuran perbandingan aksis AP : LL terbesar yaitu 4,6 ± 0,2 : 4,95 ± 1,35 cm dan terkecil adalah 3,96 ± 0,63 : 3,71 ± 0,19 cm.

Page 21: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

15

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 3. Perbandingan ukuran panjang (anteroposterior) dan lebar (laterolateral) organ hati dan ginjal pada kelompok perlakuan dengan dosis tunggal 5000mg/kgBB empat ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol dengan akuades steril.

Perlakuan

Ginjal Hati

Kiri Kanan

AP LL AP LL AP LL

Kontrol 1,6 ± 0,09

0,95 ± 0,06

1,57 ± 0,06

0,90 ± 0,175

4,18 ± 0,63

4,23 ± 0,59

SD1M622 1,58 ± 0,03

0,79 ± 0,16

1,55 ± 0,05

0,85 ± 0,10

4,35 ± 0,21

4,69 ± 0,01

SD2Beau 1,73 ± 0,10

0,93 ± 0,06

1,69 ± 0,10

0,97 ± 0,06

4,6 ± 0,2 4,95 ± 1,35

SD3Hum 1,55 ± 0,15

0,84 ± 0,038

1,47 ± 0,08

0,95 ± 0,02

4,47 ± 0,40

3,85 ± 0,58

SD4Nom 1,53 ± 0,11

0,85 ± 0,05

1,47 ± 0,10

0,94 ± 0,13

3,95 ± 0,63

3,71 ± 0,19

PEMBAHASAN

Kerusakan organ pada mamalia seperti pneumonia, septisemia, penyakit sistemik

dan kulit dapat terjadi oleh cendawan (Rippon, 1988). Namun cendawan entomopatogen seperti M. anisopliae, B. bassiana, dan N. rileyi memiliki inang yang spesifik. Walaupun spesifik terhadap kelas serangga namun bila dibandingkan dengan yang lainnya, cendawan seperti B. bassiana dan M. anisopliae memiliki spektrum target yang luas. Ketika spektrum target luas berarti tingkat spesifitas akan semakin kecil karena kemampuan hidup pada inang yang bermacam-macam. Rendahnya spesifikasi inang cendawan tersebut memiliki konsekuensi lebih besar terhadap pengujian toksisitas terhadap organisme non target.

Pada pengujian kali ini dilakukan beberapa modifikasi dari ketentuan metode yang disebutkan oleh Hall et al. (1982). Modifikasi dosis dilakukan untuk melihat adanya efek pada administrasi melebihi dosis 5000 mg/kgBB yang ditentukan pada metode tersebut. Hasil konversi didapatkan dosis tunggal 5000 mg/kgBB setara dengan 852,66 µl bahan uji cendawan entomopatogen sedangkan administrasi yang dilakukan adalah 1000 µl cendawan entomopatogen untuk masing masing tikus perlakuan dan akuades steril digunakan untuk tikus kontrol. Modifikasi rentang waktu penelitian dilakukan yaitu 14 hari sedangkan pada Hall et al. (1982) pengamatan dilakukan selama 28 hari. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh dalam jangka waktu yang lebih pendek namun dengan dosis perlakuan yang lebih tinggi. Modifikasi jumlah hewan coba dilakukan untuk meminimalisir penggunaan hewan coba dan disesuaikan dengan tujuan percobaan dan penggunaan bahan uji. Tikus betina digunakan tanpa pejantan dikarenakan betina memiliki tingkat sensitivitas lebih tinggi terhadap perlakuan dan dalam penelitian ini tidak dilakukan perbandingan antar jenis kelamin (OECD no. 420, 2001).

Hasil pengamatan toksisitas akut oral menunjukkan bahwa keempat ekstrak cendawan entomopatogen tidak menyebabkan kematian pada tikus ditandai dengan persentase mortalitas 0%. Hasil selaras ditunjukkan pada hasil uji lainnya menggunakan cendawan entomopatogen B. bassiana HF23, M. anisopliae var. acridum, dan N. rileyi (EFSA, 2013; EPA, 2005; Torrielo et al. 2009; Iqtiat et al. 2009). Sedangkan uji toksisitas akut oral cendawan entomopatogen dari jenis Humicola sp. tidak ditemukan dalam literatur.

Humicola sp. dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa cendawan tergolong kelompok cendawan saprofitik. Saprofitik berarti mikroorganisme yang hidup secara parasit pada bangkai atau material organik yang sudah terdekomposisi. Sedangkan cendawan entomopatogen menggunakan inang pada saat hidup untuk menjalankan siklus hidupnya hingga regenerasi. Menurut Guswenrivo et al. (2007) paparan Humicola sp. terhadap rayap

Page 22: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

16

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

tanah C. gestroi memiliki daya mortalitas rayap yang tinggi (100% dalam 6 hari), sehingga cendawan tersebut dimungkinkan memiliki aktivitas entomopatogenik. Sedangkan menurut penelitian pendahuluan Humicola sp. menyebabkan mortalitas rayap sebesar 52% selama 48 jam. Begitu pula data dari USDA-ARS Collection of Entomopathogenic Fungal Cultures yang menunjukkan host cendawan tersebut adalah Lepidoptera (Moharram et al. 1987; de Almeida et al. 1995; Guswenrivo et al. 2007; Humber & Hansen, 2005).

Tidak ada tanda-tanda patologis yang teramati pada pengamatan patologi gross. Hasil dari pengukuran organ menunjukkan tidak berbeda nyata antara organ hati dan ginjal kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (α= 0,05). Hal ini menunjukkan perlakuan administrasi oral cendawan entomopatogen tidak menimbulkan kerusakan atau tanda-tanda patologis pada organ viseral. Salah satu studi menunjukkan adanya splenomegaly pada tikus kelompok perlakuan dengan konidia M. Anissopliae var acridum viabel namun hanya sebesar 5,6%. Hal selaras dengan hasil studi yang lain bahwa perlakuan dengan cendawan entomopatogen M. anissopliae strain – LMA06 tidak signifikan menimbulkan gejala patologis melalui administrasi oral (Toriello et al. 2009; Mancebo et al. 2005). Hasil tersebut juga diikuti dengan kenaikan berat badan hewan percobaan selama pengamatan. Cang et al. (2006) menyatakan bahwa N. rileyi tidak menghasilkan kerusakan patologis pada organ viseral melalui uji toksisitas akut oral. United States Environmental Protection Agency (2005) juga menegaskan bahwa B. bassiana tidak memiliki patogenitas melalui administrasi oral dengan dosis akut.

KESIMPULAN

Pemberian dosis tunggal 1 ml ekstrak kasar cendawan entomopatogen Metarhizium

anisopliae M622, Beauveria bassiana, Nomuraea rileyi, dan Humicola sp. tidak menimbulkan tanda-tanda klinis dan tidak menyebabkan kematian pada tikus diikuti dengan kenaikan berat badan. Tidak ditemukan adanya tanda kelainan pada organ hati dan ginjal pada tikus perlakuan melalui pengamatan patologi gross. Tidak ditemukan beda nyata pada ukuran organ hati dan ginjal antara kelompok perlakuan dan kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Barbier, Edward B 1989, Cash crops, food crops, and sustainability: the case of Indonesia,

World Development, 17(6); 879-895. Broughton, E 2005, The bophal disaster and its ftermath: a review, environmental health: A

Global Access Science Source, 4:6. Chang, JY, Hwang, JS & Tsai, SF 2006, Safety evaluation of acute toxicity/pathogenicity of

Nomuraea rileyi F055 in rats, Plant Protection Bulletin, 48(4): 331-340. de Almeida, EM, de Lourdes, M, Polizeli, TM, Terenzi, HF & Jorge, JA 1995, Purification

and biochemical characterization of P-xylosidase from Humicola grisea var. thermoidea, FEMS Microbiology Letters,130: 171-176.

European Food Safety Authority 2013, Conclusion on the peer review of the pesticide risk assessment of the active substances Beauveria bassiana strains ATCC-74040 and GHA, EFSA Journal,11(1): 3031.

Guswenrivo, I, Kartika, T, Yusuf, S & Tarmadi, D 2007, Utilization of Humicola sp. as biocontrol for subterranian termite Coptotermes sp. Proceeding of The Fourth Conference of the Pacific-Rim Termite Research Group Kaohsiung, Taiwan 26th-27th February, 21-26.

Hall, RA, Zimmermann, G & Vey, A 1982, Guidelines for the registration of entomogenous fungi as insecticides, Entomophaga, 27(2): 121-127.

Humber, RA & Hansen, KS 2005, ARSEF Index: host by fungus. USDA-ARS plant protection research unit – US plant, soil and nutrition laboratory, p 99.

Iqtiat, II, Al-Masri, MI & Barakat, RM 2009, The potential of native Palestinian Nomuraea rileyi isolates in the biocontrol of corn earworm Helicoverpa (Heliothis) armigera, Agricultural Sciences, 36(2): 122-132.

Page 23: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

17

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

James, B, Atcha-Ahowe, C, Godonou, I, Baimey, H, Goergen, G, Sikiriou, R & Toko, M 2010, Integrated pest management in vegetable production: a guide for extension worker in West Africa, International Institute of Tropical Agriculture, 13: 78-83.

Mancebo, A., Gonzales, F, Lugo, S, Gonzales, B, Bada, AM, Aldana, L, Gonzales, Y, Arteaga, ME & Fuentes, D 2005, Toxicity/pathogenicity evaluation of Metarhizium anisopliae LMA-06 by means of oral and intranasal dosing, Pakistan Journal of Biological Sciences, 8 (7): 969-973.

Marten, GG 1986, Traditional agriculture in Southeast Asia: a human ecology perspective, Westview Press, Colorado, p 242.

Moharram, AM, Bagy, MMK & Abdel-Mallek, AY 1987, Saprophytic fungi isolated from animal and bird pens in Egypt, J. Basic Microbiol, 27(7): 361-367.

Rippon, JW 1988, Medical mycology: the pathogenic fungi and the pathogenic actinomycetes, 3d ed. In: Molecular Evolution of the Fungi: Human Pathogens, Mol. Bid, 9(5):893-904

Sahayaraj, K & Namachivayam, SKR 2011, Field evaluation of three entomopathogenic Fungi on groundnut pests, Tropicultura, 29(3): 143-147.

Toriello, C, Perez-Torres, A, Vega-Garci, F, Navarro-Barranco, H, Perez-Meji, A, Lorenzana-Jimenez, M, Hernandez-Velazquez, V, Mier, T 2009, Lack of pathogenicity and toxicity of the mycoinsecticide Metarhizium anisopliae var. acridum following acute gastric exposure in mice, Ecotoxicology and Environmental Safety, 72: 2153–2157

United States Environmental Protection Agency 2005, Beauveria Bassiana HF23; exemption from the requirement of a tolerance, EPA–HQ–OPP–2005–0316, FRL–8108–4, 40 CFR Part 180.

Whittle, B 2010, Communities in Peril: Asian regional report on community monitoring of highly hazardous pesticide use, Pesticide Action Network (PAN) Asia and the Pacific, p 82-87.

Yendol, WG. & Paschke, JD 1965, Pathology of an entomophthora infection in the eastern subterranean termite Reticulitermes flavipes (Kollar), Journal of Invertebrate Pathology, 7: 414-422.

Zulfiana, D, Kartika, T & Tarmadi, D 2009, Pengaruh komposisi media fermentasi Metharizium sp. terhadap mortalitas larva Aedes aegypti, Prosiding Seminar Nasional Hari Nyamuk, Bogor 10 Agustus 2009, 75-84.

Zulfiana, D, Tarmadi, D, Ismayati, M & Yusuf, S, 2010, Pathogenicity of Metarhizium anisopliae to subterranian Termite Coptotermes sp. Proceeding of The Seventh Conference of the Pacific-Rim Termite Research Group, Singapore 1st & 2nd March, 7-11.

Page 24: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

18

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 3.

PENAPISAN ISOLAT BAKTERI BIOSEMENTASI GUA KARST GUNUNG KIDUL

Ananto Nugroho*, Luna Nurdianti Ngeljaratan, Agung Sumarno,

Triastuti, Eko Widodo

Pusat Penelitian Biomaterial

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia

*E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Ekosistem karst memiliki keunikan, baik secara fisik, maupun dalam aspek keanekaragaman hayati. Daerah ini terbentuk terutama oleh pelarutan batuan dan pengendapan mineral. Didalam gua yang aktif banyak terdapat ornament-oranmen stalaktit dan stalagmite yang terbentuk dari proses pengendapan mineral. Ornamen ini terbentuk melalui proses biomineralisasi oleh bakteri kalsit dengan mekanisme presipitasi karbonat dan pembentukan mineral CaCO3. Beberapa jenis bakteri di dalam gua mampu menghidrolisa urea dengan dikatalis oleh enzim urease. Jenis bakteri dengan kemampuan mengendapkan kalsit di dalam gua karst di Indonesia belum banyak terungkap. Salah satu potensi dari bakteri jenis ini adalah sebagai biosementasi pada material batuan dan beton. Dalam penelitian ini dilakukan penapisan bakteri aktivitas enzim urease yang diisolasi dari Kawasan Karst Pegunungan Sewu di wilayah Gunung Kidul terutama di Gua Jomblang dan Gua Cerme. Dari hasil penapisan diperoleh isolat bakteri dengan aktivitas urease sebanyak 48 isolat, masing-masing 34 isolat dari Gua Jomblang dan 14 isolat dari Gua Cerme.

Kata kunci: bakteri, enzim urease, kalsit, biosementasi.

ABSTRACT

Karst regions have the uniqueness of the landscape and diversity biosphere. The karst is formed by the dissolution of rocks and the precipitation of mineral. In the cave, there are many ornaments of stalactite and stalagmite which are formed by process of mineral precipitation. The ornaments of stalactite and stalagmite are formed by Biomineralization process using calcite bacteria with the precipitation of carbonate and it is formed by CaCO3. Some bacteria can hydrolysis of urea with catalyzed by Urease enzyme. The type of bacteria which could precipitate calcite in Indonesian’s cave has not been researched by Indonesian researcher. A potential of this type bacteria is as biocementation on rock and concrete. In this research, we are been screening the bacteria that produced urease enzyme. We obtained the isolated bacteria from Karst Region of “Pegunungan Sewu” in Gunung Kidul Yogyakarta (Jomblang cave and Cerme Cave). We found 48 isolated bacteria which have urease activity, respectively 34 isolated from Jomblang cave and 14 isolated from Cerme cave.

Keywords: bacteria, urease enzyme, calcite, biocementation.

PENDAHULUAN

Karst adalah sebuah lanskap yang terbentuk dari pelarutan batuan dan mineral seperti kapur, dolomit dan gipsum, kawasan ini umumnya ditandai dengan adanya depresi

Page 25: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

19

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

tertutup (closed depression), drainasi bawah tanah dengan lubang-lubang pembuangan dan gua-gua. Kawasan karst yang terbentuk oleh pelarutan batuan dan mineral terutama batuan karbonat misalnya dolomit, dalam evaporit seperti halnya gips dan halite, dalam silika seperti halnya batu pasir dan kuarsa, kondisinya cenderung terbentuk gua (favourable). Kawasan ini disebut karst asli. Selain itu kawasan karst juga dapat terbentuk oleh proses cuaca, kegiatan hidrolik, pergerakan tektonik, air dari pencairan salju dan pengosongan batu cair (lava). Karena prosesnya bukan pelarutan, maka disebut pseudokarst (karst palsu).

Didalam gua yang aktif banyak terdapat ornament-oranmen stalaktit dan stalagmite yang terbentuk dari proses pengendapan mineral. Ornamen ini terbentuk melalui proses biomineralisasi oleh bakteri kalsit dengan mekanisme presipitasi karbonat dan pembentukan mineral CaCO3. Pada mekanisme ini bakteri menghidrolisa urea dengan dikatalis oleh enzim urease dari bakteri itu sendiri, dan dengan adanya Ca2+ yang terlarut maka terbentuk kristal kalsium karbonat (CaCO3) yang saling berikatan [1].

Ekosistem karst memiliki keunikan, baik secara fisik, maupun dalam aspek keanekaragaman hayati. Jenis bakteri dengan kemampuan mengendapkan kalsit di dalam gua karst di Indonesia belum banyak terungkap. Salah satu potensi dari bakteri jenis ini adalah sebagai biosementasi pada material batuan dan beton [2,3]. Dalam penelitian ini dilakukan penapisan aktivitas enzim urease bakteri yang diisolasi dari Kawasan Karst Pegunungan Sewu di wilayah Gunung Kidul terutama di Gua Jomblang dan Gua Cerme. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk menemukan isolat bakteri yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai biosementasi pada pembuatan material beton.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan sampel dilakukan di Kawasan Karst Pegunungan Sewu di wilayah

Gunung Kidul, Yogyakarta. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di dua tempat dalam satu kawasan tetapi dengan karakter gua yang berbeda yaitu Gua Jomblang dan Gua Cerme. Sampling untuk isolasi bakteri diambil dari bagian lumpur dan stalakmite gua. Sebagian sampel yang keras dihancurkan untuk mempermudah proses isolasi bakteri. Setelah dihancurkan, sampel dimasukkan ke dalam tabung plastik dan disimpan di lemari pendingin

dengan suhu 4 C. Medium yang digunakan dalam pengisolasian bakteri ada dua jenis yaitu medium

selektif dan medium Nutrient agar (NA). Medium selektif yang terbuat dari campuran 3 g Nutrient broth, 20 g Urea, 2.12 g NaHCO3, 10 g NH4Cl, 4.41 g CaCl2.2H2O, 1 L air destilasi dan 15 g agar [4]. Selanjutnya koloni bakteri yang muncul dapat diisolasi dan dimurnikan. Penapisan aktivitas enzim urease dilakukan ke dalam medium urea broth lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Kemudian dilakukan pengamatan warna isolat untuk menentukan bakteri yang menghasilkan urease. Isolat bakteri yang memiliki aktivitas urease akan mengubah warna medium cair dari warna kuning menjadi warna merah muda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengendapan mineral kalsium karbonat oleh bakteri urease dapat terjadi secara

alami di daerah berpasir, bebatuan, sekitar danau dan gua bawah tanah. Presipitasi atau pengendapan kalsit sedikitnya ditentukan oleh 3 faktor yaitu konsentrasi kalsium, konsentrasi karbonat, dan pH lingkungan [4,5]. Penelitian tentang jenis bakteri yang mampu melakukan biosementasi belum banyak dilakukan di Indonesia. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan sampel di sekitar kawasan karst pegunungan sewu yang diperkirakan terdapat bakteri pengendap kalsit yang berlimpah. Pengambilan sampel dilakukan di 2 lokasi gua yang berbeda yaitu Gua Jomblang dan Gua Cerme. Jauhnya lokasi diantara kedua gua yaitu berjarak ±29 km. Dari sampling yang dilakukan pada bagian lumpur dan stalagmit gua diperoleh total sebanyak 149 isolat.

Selanjutnya dilakukan penapisan aktivitas enzim urease ke dalam medium urea broth lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Isolat bakteri yang memiliki aktivitas

Page 26: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

20

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

urease positif akan mengubah warna medium dari warna kuning menjadi warna merah muda seperti terlihat pada Gambar 1. Dari hasil pengamatan diperoleh isolat dengan aktivitas urease sebanyak 34 isolat dari Gua Jomblang dan 14 isolat dari Gua Cerme. Hasil uji aktivitas urease bakteri disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

Gambar 1. Uji aktivitas enzim urease

Tabel 1. Hasil penapisan aktivitas enzim urease bakteri

Gua Sampel Medium Jumlah Isolat Isolat dengan Aktivitas Urease

Jomblang Lumpur Nutrient Agar 29 3

Lumpur Selektif 42 26

Stalakmit Nutrient Agar 25 2

Stalakmit Selektif 12 3

Cerme Stalakmit Nutrient Agar 41 14

Isolat bakteri yang memiliki aktivitas enzim urease akan menghidrolisis urea didalam medium untuk menghasilkan amonia. Amonia yang dihasilkan akan menaikkan pH medium menjadi basa sehingga mengubah warna medium menjadi merah muda. Tidak semua isolat bakteri yang diperoleh memiliki aktivitas enzim urease. Dengan demikian bakteri-bakteri yang diisolasi dari lumpur Gua Jomblang dengan medium selektif menghasilkan aktivitas urease terbanyak dari sampel lainnya.

KESIMPULAN

Dari hasil penapisan diperoleh isolat bakteri dengan aktivitas urease sebanyak 48 isolat, masing-masing 34 isolat dari Gua Jomblang dan 14 isolat dari Gua Cerme. Dengan demikian bakteri-bakteri yang diisolasi dari lumpur Gua Jomblang dengan medium selektif menghasilkan sejumlah isolat bakteri dengan aktivitas urease terbanyak. Selanjutnya isolat bakteri yang didapat ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen biosementasi pada material batuan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Lisdiyanti, P., Suyanto, E, Ratnakomala, S., Fahrurrozi, Sari, M.S., Gusmawat N.F., 2011. Bakteri pembentuk karbonat dalam aplikasi pada proses biogrouting. Prosiding Simposium Nasional Ekohidrologi : 219-232. Jakarta.

[2] Jonkers, H.M. & Schlangen, E., 2008. Development of bacteria-based self Wheeling concrete. London : Taylor & Francis Group, 425-430.

[3] Rodrigues-Navarro, C, M. Rodriguez-Gallego, KB Chekroun, MT Gonzales-Munoz. 2003. Conservation of ornamental stone by Myxococcus xanthus- induced carbonate biomineralization. Appl. Environ. Microbiol. 69: 2182-2193.

Page 27: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

21

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

[4] Hammes, F., N. Boon, J. De Villiers, S. D. Siciliano, and W. Verstraete. 2003. Strain-specific ureolytic microbial calcium carbonate precipitation. Applied and Environmental Microbiology 69: 4901-4909.

[5] Hammes, F., and W. Verstraete. 2002. Key roles of pH and calcium metabolism in microbial carbonate precipitation. Reviews in Environmental Science & Bio/Technology 1: 3-7.

Page 28: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

22

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 4.

COMPOSITES OF COCONUT COIR AND BETUNG BAMBOO FIBER: THE EFFECT

OF MIXTURE COMPOSITION AND CITRIC ACID PERCENTATION

Kurnia Wiji Prasetiyo1*, Anisah2 and Yudha Prasetya2

1 Research Centre for Biomaterial LIPI Jl.Raya Bogor Km. 46 Cibinong Bogor

2 Departement of Civil Engineering Faculty of Engineering State University of Jakarta E-mail address: [email protected]

ABSTRACT

The physical and mechanical properties from coconut coir and Betung bamboo fiber composites have been studied. The effects of mixture composition from coconut coir and Betung bamboo fiber and citric acid percentation were investigated. Results showed that the physical properties of composites to be a better value with increasing citric acid percentation and coconut fiber composition. At the optimum citric acid percentation of 35% with the mixture composition from 70% of coconut coir and 30% of Betung bamboo fiber could provide composites with thickness swelling and water absorbtion better than other composition. Generally, the modulus of rupture, modulus of elasticity and internal bonding also increased with increasing coconut fiber content at composites. Keywords: Betung bamboo fiber, Citric acid, Coconut coir, Composites, Physical and

mechanical properties

INTRODUCTION

Generally, particleboard is a type of composite panels made from wood resources.

Composite panels manufactured by compressing small wood particles materials while simultaneously bonding them with an adhesive. Particleboards are among the most popular materials used in interior and exterior applications in floor, wall, ceiling panels, office dividers, bulletin boards, cabinets, furniture, counter and desk tops. With depleting wood resources, the wood industry struggles to obtain sufficient amount of raw material for composites production. High demand for wooden materials and rises in agricultural areas and forest fires also increased the importance of composites instead of using solid woods. This condition encourage many studies on the possibility of using natural fibers or agricultural by-products as materials in place of wood materials for composites. Various studies investigated properties of composites made from natural fibers or agricultural by-products such as rice husk (Kumagai and Sasaki, 2009), rice straw (Zhang and Hu, 2014), kenaf core (Okuda and Sato, 2008), bagasse (Widyorini et al., 2005), oil palm trunk (Baskaran et al., 2013) and oil palm fronds (Suzuki et al., 1998).

As a natural fiber and agricultural by-product, bamboo fiber and coconut coir are considered as a potential raw material to produce value added composite panels such as particleboard. One of bamboo species which potential as raw material for composite panels is Betung bamboo. Therefore, various investigations were carried out to evaluate characteristics of composite panels made from bamboo fiber and coconut coir. Commonly, bamboo fiber or coconut coir composites were used formaldehyde-based adhesive. Composites of Betung bamboo or coconut coir fibers are usually made separately. Rarely mixed in the manufacture process.

The main goal of the current study is to confirm the feasibility of applying Betung bamboo fiber and coconut coir as alternative raw material for composites, which, to our

Page 29: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

23

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

knowledge, has not been thoroughly investigated before. The objectives of study are; (a) to investigate the characteristics of composites from Betung bamboo and coconut coir fibers and, (b) to study the effect of mixture composition and citric acid percentation on the physical and mechanical properties of particleboard samples.

MATERIALS AND METHODS The Betung bamboo culms were harvested in Cibinong Bogor. They were chipped using

a hacker chipper before the chips were reduced into smaller particles about 1.5 to 2.5 cm using a knife ring flaker. Particles were dried to 8 percent moisture content. For coconut coir fibers, the production of smaller size fibers about 1 to 1.5 cm similar with bamboo particles process. The composites was made with composition variation of coconut coir fibers and Betung bamboo particles are 30:70, 50:50 and 70:30 (%). Particles were blended with citric acid resin. Based on oven dry particle weight, 25%, 30% and 10% citric acid resin were applied for composites, respectively. Composites samples were made with length x width x thickness = 25 x 25 x 0.9 cm. Hand formed mats were pressed in a hydraulic hot press at a temperature of 200º C, a pressure of 2.5 MPa for 10 minutes with a target density of 0.7 g/cm3. Composites were conditioned for about two weeks at room temperature. Test samples were prepared and tested based on JIS A 5908:2003 standard for physical and mechanical properties.

RESULTS AND DISCUSSION Physical properties of composites

The samples from each composites were used to evaluate dimensional stability in term of thickness swelling (TS) and water absorption (WA). The samples were soaked in water for 24 h. Weight and thickness were measured before and after the samples were soaked. The effect of mixture composition and citric acid percentation on thickness swelling (TS) and water absorption (WA) after water-soaking tests for 24 h at ambient condition are shown in Figs. 1 and 2. It can clearly be seen that the values of TS and WA of the samples decrease with increasing citric acid percentation. The thickness swelling of the composites were relatively low, ranging from 3% to 10% for 24 h immersion. The TS value of the composites satisfied JIS A 5908:2003 requirements of Type 8 Particleboard, maximum of 12%.

Fig. 1. Thickness swelling values of the composite samples

Th

ickn

ess

swel

lin

g (

%)

Composition of coconut coir and Betung

bamboo fiber (%)

Citric acid 25% Citric acid 30%

Page 30: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

24

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Fig. 2. Water absorption values of the composite samples

Increasing of coconut coir composition improved the thickness swelling and water

absorption of the composites. This may be due to interference in the curing of citric acid adhesive, reduced wettability of the particle surface or limitation of diffusion and/or spreading of the adhesive within the particles and over the particle surface. This phenomenon is presumably due to the uniformity of coconut coir fiber that absorbs less water intake. Uniformity fibre increased the number of fibre–fibre contact and created cross links between resonated fibres (Halvarsson et al. 2008), which improve the physical properties. Fibre length has a strong effect on physical properties of composites, as the length of overlap is shortened, the quality of the bond between two fibres is reduced (Maloney, 1993). Previous study concluded that with increasing slenderness of fibres, swelling in thickness of the composites decreased, but different results were found in a past study carried out by Tajvidi et al. (2006) and Steckel et al. (2007) who stated that the larger particles or fibres size, the higher water absorption, thus, the effect of fibre length on water uptake is dependent on fibre content. This can be explained in two ways: larger fibres lead to greater hydrophilic exposed surfaces; and poor adhesion between wood particles and the matrix generates void spaces around the wood particles. These voids in the bulk matrix are readily filled with water. Mechanical properties of composites The mechanical properties of the composites are shown in Figs. 3-5. Mechanical properties of the composites also followed similar trend. Increasing of coconut coir composition improved the modulus of rupture (MOR), the modulus of elasticity (MOE) and the internal bonding (IB) of the composites.

Wate

r abso

rpti

on

(%

)

Composition of coconut coir and Betung

bamboo fiber (%)

Citric acid 25% Citric acid 30% Citric acid 35%

Page 31: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

25

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Fig. 3. Modulus of rupture values of the composite samples

Fig. 4. Modulus of elasticity values of the composite samples

Fig. 5. Internal bonding values of the composite samples

The highest MOR value of 8 MPa was determined for composites made from 70%

coconut coir fibers, 30% Betung bamboo particles and 35% citric acid as adhesive based

Modu

lus

of

ruptu

re (

MP

a)

Composition of coconut coir and Betung

bamboo fiber (%)

Citric acid 25% Citric acid 30% Citric acid 35%

Modu

lus

of

elon

gati

on

(G

Pa)

Composition of coconut coir and Betung

bamboo fiber (%)

Citric acid 25% Citric acid 30% Citric acid 35%

Inte

rnal

bon

din

g (

MP

a)

Composition of coconut coir and Betung

bamboo fiber (%)

Citric acid 25% Citric acid 30% Citric acid 35%

Page 32: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

26

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

on oven dry particle weight. Slenderness ratio (chip length to thickness, SL) was a factor that influenced the MOR properties. The increased SL ratio gave high MOR value (Biswass et al., 2011). Different MOR values in different studies were due to different SL ratios. MOE values also followed similar trends to the findings for MOR. Based on Japanese Industrial Standard (JIS, 2003), only composites with 70% coconut coir fibers and 30% Betung bamboo particles with addition 35% citric acid adhesive met minimum MOE requirement of Type 8 Particleboard, 2 GPa. Coconut coir fibers were long and thin, and were more elastic than Betung bamboo particles. In this study, composites with higher coconut coir fibers content than Betung bamboo particles showed a higher MOR and MOE.

The internal bonding of the composites were relatively high, ranging from 0.08 to 0.31 MPa. The IB value of the composites satisfied JIS A 5908:2003 requirements of Type 8 Particleboard, minimum of 0.15 MPa. The IB values increased with the increasing of Betung bamboo particles content as shown in Fig. 5. It is a well known fact that the slenderness ratio plays an important role on development of glue line between the particles (Moslemi, 1973). Higher bonding strength properties of the composites made from uniform particle can be related to better glue line development due to their geometry. Uniformity of particle enhanced MOR, MOE and IB values of the composites.

CONCLUSION

This study indicated the suitabilities of Betung bamboo particle and coconut coir fiber for making citric acid-bonded composites. Particle geometry from Betung bamboo particle and coconut coir has significant influence on the physical and mechanical properties of the composites. Composites with higher coconut coir fibers content than Betung bamboo particles are superior to those made from composites with lower coconut coir content. The thickness swelling and internal bond strength of all composites satisfied the minimum requirement of Type 8 Particleboard of Japanese Industrial Standard. The product could be used for interior applications, like furniture components, wall panels, etc., but not recommended for places under frequent humidity changes.

REFERENCES

Baskaran, M., Hashima, R., Sudesh, K., Sulaimana, O., Hiziroglu, S., Arai, T., and Kosugi, A. Influence of steam treatment on the properties of particleboard madefrom oil palm trunk with addition of polyhydroxyalkanoates. Industrial Crops and Products 51: 334– 341 (2013)

Biswas, D., Bose, SK., and Hossain, MM. Physical and mechanical properties of urea formaldehyde-bonded particleboard made from bamboo waste. International Journal of Adhesion & Adhesives 31: 84–87 (2011)

Halvarsson, S., Edlund, H., and Norgren, M. Properties of medium density fibreboard (MDF) based on wheat straw and melamine formaldehyde (UMF) resin. Ind Crops Prod 28(1):37–46 (2008)

Japanese Industrial Standard. JIS A 5908-2003 Particleboards. Japanese Standard Association, Tokyo, Japan (2003)

Kumagai, S. and Sasaki, J. Carbon/silica composite fabricated from rice husk by means of binderless hot-pressing. Bioresour. Technol. 100, 3308–3315 (2009)

Maloney, TM. Modern particleboard and dry process fibreboard manufacturing. San Francisco: Miller Freeman Publications (1993)

Moslemi, AA. Particleboard volume 1: materials. USA: Southern Illinois University (1973) Okuda, N. and Sato, M. Bond durability of kenaf core binderless boards. II: outdoor

exposure test. J. Wood Sci. 54, 36–44 (2008) Steckel, V., Clemons, CM. and Thoemen, H. Effects of material parameters on the diffusion

and sorption properties of wood–flour/polypropylene composites. J Appl Polym Sci 2007;103(2):752–63 (2007)

Page 33: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

27

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Suzuki, S., Shintani, H., Park, S.Y., Saito, K., Laemsak, N., Okuma, M. and Iiyama, K. Preparation of binderless boards from steam exploded pulps of oil palm (Elaeis guinensis Jaxq) fronds and structural characteristics of lignin and wall polysaccharides in steam exploded pulps to be discussed for self-bonding. Holz-forschung 52, 417–426 (1998)

Tajvidi, M., Najafi, SK. and Moteei, N. Long-term water uptake behavior of natural fibre/polypropylene composites. J Appl Polym Sci 99(5):2199–203 (2006)

Widyorini, R., Xu, J., Watanabe, T. and Kawai, S. Chemical changes in steam-pressed kenaf core binderless particleboard. J. Wood Sci. 51, 26–32 (2005)

Zhang, L. and Hu, Y. Novel lignocellulosic hybrid particleboard composites made from rice straws and coir fibers. Materials and Design, 55, 19–26 (2014)

Page 34: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

28

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 5.

PENGARUH KOMBINASI PRETREATMENT MICROWAVE - ASAM OKSALAT PADA

HIDROLISIS ENZIMATIS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)

Lucky Risanto, Sita Heris Anita, Nissa Nurfajrin Solihat, Fahriya Puspita Sari, Fitria*,

Euis Hermiati

Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia *E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pretreatment TKKS menggunakan kombinasi asam organik (asam oksalat 1% (v/v)) dan microwave telah dilakukan dengan menggunakan rancangan faktorial dengan dua faktor yaitu lama pemanasan (2,5 menit – 15 menit) dan suhu pretreatment (160°C - 200°C). Pretreatment ini dilanjutkan dengan hidrolisis enzimatis menggunakan enzim selulase (Meicellase) dengan lama hidrolisis 0 – 72 jam. Analisis dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan pada rendemen gula pereduksi serta hubungannya dengan tingkat severity factor yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen gula per biomassa

tertinggi sebesar 48,20 5,08 % diperoleh pada perlakuan dengan suhu 190°C selama 15 menit dan 72 jam hidrolisis dengan nilai severity factor 3,8. Rendemen gula dan konsentrasi gula tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan suhu 200°C selama 5 menit dan waktu

hidrolisis 72 jam yaitu masing-masing sebesar 68,88 0,72 % dan 207.03 2.39 g/L. Tidak terlihat hubungan yang jelas antara nilai severity factor dengan gula yang dihasilkan yang memperlihatkan bahwa lama hidrolisis lebih berpengaruh pada jumlah gula yang dihasilkan.

PENDAHULUAN

Konsumsi energi bersumber dari bahan bakar fosil di dunia yang terus meningkat tidak seiring dengan persediaannya yang semakin menipis. Oleh karena itu, pengembangan energi alternatif yang memanfaatkan sumber daya terbarukan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Biomassa lignoselulosa merupakan salah satu bahan baku potensial untuk dikembangkan sebagai bahan bakar, khususnya dalam bentuk bioetanol. Biomassa ini tersedia secara melimpah dengan harga yang murah. Selain itu, banyak negara telah atau mulai menerapkan kebijakan penambahan etanol ke dalam bahan bakar bensin untuk mendukung upaya pemanfaatan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil (Piarpuzan et al., 2011).

Perkebunan kelapa sawit menghasilkan limbah padat dalam jumlah besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan secara komersial. Indonesia dan Malaysia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia memproduksi sekitar 90 juta metric ton kelapa sawit setiap tahun yang menghasilkan sekitar 20,7 juta metric ton tandan kosong kelapa sawit (TKKS) (Isroi et al., 2012). TKKS mengandung selulosa dalam kisaran 23,7 – 65%, hemiselulosa 20,58 – 33,52%, dan lignin 14,1 – 30,45% (Chang, 2014). Komposisi kimia TKKS ini membuatnya sangat potensial sebagai bahan baku etanol dan produk turunan lignoselulosa lainnya seperti glukosa, xilosa, manosa dan pakan ternak (Ishola et al., 2014).

Pembuatan bioetanol dari biomassa lignoselulosa melalui serangkaian proses utama yaitu perlakuan pendahuluan (pretreatment), hidrolisis dan fermentasi. Bagian pretreatment menjadi salah satu kunci keefektifan proses yang hingga sekarang masih

Page 35: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

29

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

intensif dikaji karena banyaknya factor yang berpengaruh pada tahapan ini. Penggunaan asam organik dan microwave merupakan salah satu usaha menemukan teknologi proses optimum pretreatment. Dengan menekankan pada proses yang ramah lingkungan, penggunaan asam organik dengan konsentrasti rendah memungkinkan kehilangan selulosa yang minimal, menghasilkan produk inhibitor minimal serta lebih tidak berdampak besar pada lingkungan. Selain itu, hal ini juga memungkinkan dilakukannya proses produksi bioetanol dalam satu wadah sehingga akan lebih efisien dari segi biaya. Asam oksalat disarankan sebagai pengganti asam sulfat pada proses pretreatment karena asam oksalat memiliki efisiensi katalitik yang lebih tinggi jika diaplikasikan pada tingkat severity yang sama serta mencegah terbentuknya inibitor dan degradasi gula (Lee et al., 2011). Penggunaan microwave lebih efisien dalam hal konsumsi energi dibandingkan metode pemanasan konvensional karena memiliki beberapa kelebihan yaitu irradiasi microwave memungkinkan pemanasan keseluruhan volume sampel secara merata dan seketika serta proses pengendalian suhu dan tekanannya yang relatif lebih mudah dan stabil (Lanigan, 2010). Hidrolisis enzimatis menghasilkan rendemen gula yang lebih tinggi, lebih selektif, biaya lebih murah dan kondisi operasi yang lebih ringan dibandingkan proses kimia (Yang et al., 2011). Dengan melihat kondisi ini, penelitian pemanfaatan TKKS menjadi bioetanol menggunakan pretreatment asam organik yang dikombinasikan dengan microwave serta dilanjutkan dengan hidrolisis enzimatis merupakan alternatif teknologi proses pembuatan bioetanol yang layak dicoba.

BAHAN DAN METODE

TKKS berukuran 40 – 60 mesh ditimbang sebanyak 3 gram (berat kering oven) dan dimasukkan dalam bejana teflon serta ditambahkan asam oksalat 1 % (v/v) dengan rasio padatan:cairan 1:10. Selanjutnya campuran ini dimasukkan dalam microwave (Milestone) dengan lama pemanasan 2,5 menit – 15 menit dan suhu pemanasan 160, 170, 180, 190, 200°C menggunakan rancangan faktorial. Setelah pretreatment, fraksi cair dan padatan dipisahkan untuk analisis lebih lanjut. Fraksi padat yang telah dinetralkan selanjutnya disimpan dalam freezer hingga siap disakarifikasi. Sakarifikasi dilakukan menggunakan enzim selulase (Meicellase) dengan aktivitas enzim 14,65 U/ml dengan enzyme loading 293 U/g substrat. Sakarifikasi dilakukan pada suhu 50°C selama 72 jam dalam incubator shaker. Sampel diambil setiap 24 jam untuk dianalisis. Gula pereduksi ditentukan menggunakan metode DNS. Semua perlakuan dilakukan secara triplikasi. Analisis juga dilakukan untuk mengetahui hubungan severity factor dengan kandungan gula hasil sakarifikasi dengan perlakuan tertentu. Severity factor dalam Goh et al. (2012) dihitung dengan rumus berikut:

log R0 = log (t*exp (T-100/14,75) (1) dimana, t = waktu tunggu (menit) T = suhu reaksi (°C)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan antara gula yang diproduksi dengan waktu pretreatment dan hidrolisis pada tiap suhu perlakuan diberikan pada Gambar 1 – Gambar 5. Dapat dilihat bahwa konsentrasi gula tertinggi diperoleh pada suhu 170°C dengan jumlah 189 g/L dengan lama pretreatment 7,5 menit dan waktu hidrolisis 72 jam. Namun demikian, rendemen gula per biomassa awal tertinggi diperoleh pada suhu 190°C dengan lama pretreatment 15 menit dan waktu hidrolisis 72 jam sebesar 48,20% sementara rendemen gula per pulp tertinggi diperoleh pada suhu 200°C dengan lama pretreatment 5 menit dan waktu hidrolisis 5 menit yaitu sebesar 68,88%.

Page 36: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

30

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 1. Hubungan waktu pretreatment dan hidrolisis dengan konsentrasi gula

pereduksi dan rendemennya pada suhu 160°C

Gambar 2. Hubungan waktu pretreatment dan hidrolisis dengan konsentrasi gula

pereduksi dan rendemennya pada suhu 170°C

0

20

40

60

80

100

120

140

160

-10

0

10

20

30

40

50

60

0 24 48 72

2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15

Co

nce

ntr

atio

n o

f re

du

cin

g su

gar

(g/L

)

Hydrolysis time (hours)/ Pretreatment time (minutes)

Sugar yield per pulp (%) Sugar yield per biomass (%) Concentration of reducing sugar (g/L)

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 24 48 72

2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15

Co

nce

ntr

atio

n o

f re

du

cin

g su

gar

(g/L

)Hydrolysis time (hours)/Pretreatment time (minutes)

Sugar yield per pulp (%) Sugar yield per biomass (%) Concentration of reducing sugar (g/L)

Page 37: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

31

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 3. Hubungan waktu pretreatment dan hidrolisis dengan konsentrasi gula

pereduksi dan rendemennya pada suhu 180°C

Gambar 4. Hubungan waktu pretreatment dan hidrolisis dengan konsentrasi gula

pereduksi dan rendemennya pada suhu 190°C

0

20

40

60

80

100

120

140

160

0

10

20

30

40

50

60

0 24 48 72

2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15

Co

nce

ntr

atio

n o

f re

du

cin

g su

gar

(g/L

)

Hydrolysis time (hours)/Pretreatment time (minutes)

Sugar yield per pulp (%) Sugar yield per biomass (%) Concentration of reducing sugar (g/L)

0

50

100

150

200

250

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 24 48 72

2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15

Co

nce

ntr

atio

n o

f re

du

cin

g su

gar

(g/L

)

Hydrolysis time (hours)/Pretreatment time (minutes)

Sugar yield per pulp (%) Sugar yield perbiomass (%) Concentration of reducing sugar (g/L)

Page 38: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

32

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 5. Hubungan waktu pretreatment dan hidrolisis dengan konsentrasi gula

pereduksi dan rendemennya pada suhu 200°C Hubungan antara severity factor dengan rendemen gula yang dihasilkan diperlihatkan pada Gambar 6 – 8. Dapat dilihat bahwa tidak terlihat korelasi yang jelas antara severity factor dengan gula yang dihasilkan karena sebaran data yang cukup luas. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa konsentrasi gula yang tinggi > 100 g/L diperoleh pada severity factor dengan kisaran 2,5 – 4,1 dengan hasil tertinggi diperoleh dengan severity factor pada kisaran 3,6 – 3,8. Hal ini menunjukkan bahwa peranan lama hidrolisis memberikan pengaruh yang cukup besar pada rendemen gula yang dihasilkan dibandingkan nilai severity factor-nya.

Gambar 6. Hubungan severity factor dengan rendemen gula per biomassa

0

50

100

150

200

250

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 24 48 72

2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15 2.5 5 7.5 10 12.5 15

Co

nce

ntr

atio

n o

f re

du

cin

g su

gar

(g/L

)

Hydrolysis time (hours)/Pretreatment time (minutes)

Sugar yield per pulp (%) Sugar yield per biomass (%) Concentration of reducing sugar (g/L)

0

10

20

30

40

50

60

2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

Re

nd

em

en

glu

kosa

pe

r b

iom

assa

aw

al (

%)

Severity factor

Page 39: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

33

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 7. Hubungan severity factor dengan rendemen gula per pulp

Gambar 8. Hubungan severity factor dengan konsentrasi gula

KESIMPULAN

Rendemen gula per biomassa tertinggi sebesar 48,20 5,08 % diperoleh pada perlakuan dengan suhu 190°C selama 15 menit dan 72 jam hidrolisis dengan nilai severity factor 3,8. Rendemen gula dan konsentrasi gula tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan suhu 200°C selama 5 menit dan waktu hidrolisis 72 jam yaitu masing-masing sebesar 68,88

0,72 % dan 207.03 2.39 g/L dengan severity factor 3,6. Tidak terlihat hubungan yang jelas antara nilai severity factor dengan gula yang dihasilkan yang memperlihatkan bahwa lama hidrolisis lebih berpengaruh pada jumlah gula yang dihasilkan.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

Re

ne

de

mn

gu

la p

er

pu

lp (

%)

Severity factor

0

50

100

150

200

250

2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

Ko

nse

ntr

asi g

ula

(g/

L)

Severity factor

Page 40: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

34

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada JICA-SATREPS Biorefinery yang telah membantu dalam pengadaan fasilitas pendukung penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Chang, S. H. 2014. An overview of empty fruit bunch from oil palm as feedstock for bio-oil

production. Biomass and Bionergy 6 (2): 174 – 181. Goh, C. S., H. T. Tan, dan K. T. Lee. 2012. Pretreatment of oil palm frond using hot

compressed water: An evaluation of compositional changes and pulp digestibility using severity factors. Bioresource Technology 110: 662 – 669.

Ishola, M. M., Isroi & Taherzadeh, M. J. 2014. Effect of fungal and phosphoric acid pretreatment on ethanol production from oil palm empty fruit bunches (OPEFB). Bioresource Technology 165: 9-12.

Isroi, M. M. Ishola, R. Millati, S. Syamsiah, M. N. Cahyanto, C. Niklasson dan M. J. Taherzadeh. 2012. Structural Changes of Oil Palm Empty Fruit Bunch (OPEFB) after Fungal and Phosphoric Acid Pretreatment. Molecules 17: 14995-15012, doi:10.3390/molecules171214995.

Lanigan, B.A. 2010. Microwave processing of lignocellulosic biomass for production of Fuels. Theses. Department of Chemistry. University of York.

Lee, J-W., C.J. Houtman, H-Y. Kim, I-G. Choi, dan T.W. Jeffries. 2011. Scale-up study of oxalic acid pretreatment of agricultural lignocellulosic biomass for the production of bioethanol. Bioresource Technology 102: 7451–7456.

Piarpuzán, D., Quintero, J. A. dan Cardona, C. A. 2011. Empty fruit bunches from oil palm as a potential raw material for fuel ethanol production. Biomass and Bioenergy 35: 1130-1137.

Yang, B., Z. Dai, S-Y. Ding, dan C.E. Wyman. 2011. Enzymatic hydrolysis of cellulosic biomass. Biofuels 2(4): 421–450.

Page 41: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

35

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 6.

THE EFFECT OF TEMPERATURE AND TIME OF COMBINED MICROWAVE-OXALIC

ACID PRETREATMENT ON COMPONENT HYDROLYSATE OF OIL PALM EMPTY

FRUIT BUNCH (OPEFB)

Sita Heris Anita*, Nissa Nurfajrin Solihat, Fahriya Puspita Sari, Lucky Risanto, Fitria

Research Center for Biomaterials

Jalan Raya Bogor KM. 46 Cibinong Bogor 16911 E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Pretreatment is an important step in the process of bioethanol production from lignocellulosic biomass. Pretreatment of lignocellulosic biomass will be generated solid and liquid fraction. Solid fraction will be hydrolyzed on saccharification process to produce monomers sugar that are ready to be fermented into ethanol. Hydrolysate from pretreatment also contains monomeric sugars that can be fermented into ethanol and xylitol. This study aims to determine the effect of variations in temperature and time on the microwave-acid pretreatment process of oil palm empty fruit bunches (OPEFB) to the components hydrolysate. Temperature variations that are used for pretreatment, namely 160, 170,

180,190 and 200 C for 2.5; 5; 7.5; 10; 12.5; and 15 minutes. Hydrolysate components tested include the content of brown compounds, pH and reducing sugar. The effect of temperature, time and interaction of both to hydrolysate components were analyzed using ANOVA and differences among the samples were tested using analysis of significant difference (LSD) with a confidence level of 95% (P=0.05). Results showed that the higher the temperature used, the higher the content of brown compound. The highest brown

compound obtained in the pretreatment of 200 C for 10 minutes i.e. 0.49 0.09 and the

lowest occurred in the pretreatment of 170 C for 5 min i.e 0.18 0.02. The highest pH was

2.62 0.13 obtained in the pretreatment at 200 C for 10 minutes but did not differ

significantly (P>0.05) with pH at temperature of 200 C for 12.5 and 15 minutes. The higher the temperature and the longer time of pretreatment that were used, the more alkaline pH of hydrolysate. The maximum concentration of reducing sugar obtained from hydrolysate

after pretreatment at 170 C for 2.5 minutes was 37.99 4.38 mg/mL. Keywords: hydrolysate, microwave, oxalic acid, pretreatment, reducing sugar.

INTRODUCTION The energy demands mainly derived from petroleum is increasingly every day. The Government supports the efforts to reduce energy dependence on fossil fuels by issuing a Presidential Regulation No. 5 in 2006, which is about the national energy policy to develop alternative energy sources to substitute fossil fuels. Alternative energy sources which include as renewable energy are solar, wind, and geothermal energy, hydrogen (fuel cells) and biofuels such as biodiesel, bio-oil, and bioethanol (Kemenristek, 2006). Ethanol as an alternative fuel has advantages compared to fuel oil i.e. oxygen content of ethanol about 35% so that when burned the emission is very clean, environmentally friendly because produced carbonmonoxide emissions 19-25% lower than fuel oil and renewable. While the advantages of ethanol compared to other alternative fuels that ethanol can be blended with gasoline (gasohol) and can be used by gasoline engines without any modification (BNDES & CGEE, 2008; Chaundhary & Qazi, 2011). Ethanol can be produced biologically through fermentation by yeast that metabolize sugar in the absence of oxygen to produce ethanol (ethyl alcohol) and CO2 (Mariam et al., 2009, Chaundhary & Qazi, 2011).

Page 42: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

36

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Oil palm empty fruit bunch (OPEFB) is a potential lignosellulosic biomass that can be used as raw material for bioethanol production. This is not only due to the high content of polysaccharides, which is about 50-80% (Ishola et al., 2014; Kristiani et al., 2015) but also the availability of abundant in Indonesia. Indonesia and Malaysia as the two biggest world producers for oil palm produce 90 million meric tonnes per year, creating around 20.7 million metric tonnes oil palm empty fruit bunch (OPEFB) per year (Ishola et al., 2014).

The conversion of lignocellulosic biomass into ethanol requires three step of the process, namely pretreatment, hydrolysis (saccharification) cellulose and hemicellulose, and fermentation the glucose into ethanol (Yi Zheng et al., 2009; Joshi et al., 2011). Purification of ethanol is then performed through distillation and dehydration process to obtain fuel-grade ethanol (Hermiati et al., 2010, Idi & Mohamad, 2011). Pretreatment aims to eliminate lignin, reduce the crystallinity of cellulose (Patel et al., 2007, Dawson & Boopathy, 2008), and change the size and structure of the macroscopic and microscopic thereby increasing the efficiency of lignocellulosic biomass to hydrolysis process (Yi Zheng et al., 2009).

The pretreatment also can separate xylose and lignin from the crystalline cellulose. According to Naik et al., (2010), steam explosion is an efficient process for lignosellulosic biomass pretreatment. Steam explosion causes the hemicellulose and lignin decomposed into low molecular weight in liquid fraction. The xylose can be fermented to ethanol or for production of xylitol and the lignin can be further processed to produce other fuels, natural binder and adhesives (Naik et al., 2010; Mohamad et al., 2013; Li et al., 2015). The crystalline cellulose remains solid after the pretreatment and will be break down to glucose by enzymatic hydrolysis process (Naik et al., 2010). Based on that, intermediate product from the conversion process can be utilized for value added product. Many studies have focused on sugar production from hemicellulose not only for bioethanol fermentation but also for xylitol production (Saracoglu-Eken & Arslan, 2000; Chandel et al., 2007; Mohamad et al., 2013; Li et al., 2015).

Oxalic acid has been shown that is suitable for pretreatment to release fermentable hemicellulosic sugars without extensive formation of degradation products (Lee et al., 2010). Oxalic acid also has been suggested as an alternatives to sulfuric acid for pretreatment. It exhibits a higher catalytic efficiency for hydrolysis than sulfuric acid when applied under the same severity conditions, preventing from producing inhibitors and more sugar degradation (Lee et al., 2011).

Microwave irradiation could be an alternative to the conventional heating. Microwave process is more energy efficient than conventional heating methods with some advantages, i.e. microwave irradiation heats the whole volume of a sample, the heating effect is almost instantaneous, allow easy control of pressure and temperature to exact and steady values, short process time, high uniformity and selectivity and also less energy input than the conventional heating (Lanigan, 2010; Haghighi Mood et al., 2013). Hence, seeing the potential of OPEFB, the needs of alternative energy and technology available, research on the utilization of OPEFB for bioethanol production is necessary. In this study, we use combination of microwave-oxalic acid pretreatment to pretreat OPEFB. After pretreatment process, we will get liquid and solid fraction. Liquid fraction for futher will be used as substrate for ethanol fermentation or production of xylitol. While solid fraction will be hydrolyzed by using enzyme to get monomer sugar for ethanol fermentation. This study aims to determine the effect of variations in temperature and time on the microwave-acid pretreatment process of oil palm empty fruit bunches (OPEFB) to the components hydrolysate. Temperature variations that are used for pretreatment, namely 160, 170,

180,190 and 200 C for 2.5; 5; 7.5; 10; 12.5; and 15 minutes.

Page 43: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

37

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

MATERIALS AND METHODS Sample Preparation

Oil Palm Empty Fruit Bunch (OPEB) was obtained from Sukabumi, West Java – Indonesia. OPEFB were milled and screened into 40-60 mesh. OPEFB powder then was stored at room temperature in a sealed container. Water content and chemical composition of the materials were analyzed according to NREL (Sluiter et al., 2012). Pretreatment Process Three gram of biomass (oven dry weight), with solid to liquid ratio of 10, were immersed in 1% oxalic acid into a microwave flask (Milestone s.r.I) and degassed at -20 bar vacuum condition for 5 minute before pretreatment process. Process pretreatment maintained under 50% magnetic stirring condition and varying temperature of 160º C-200º C for 2.5-15 minutes, not including the approximately 12 minutes heating time and 10 minutes cooling time. The flask after irradiating cooled in ice bath for 30 minutes. Pulp was obtained by filtering the slurry through filter paper and washed with distillation water until pH neutral indicated by litmus paper blue. Pulp (solid fraction) was stored at freezer temperature in a sealed container before further characterization. While liquid fraction was used for pH, brown compound, and reducing sugar analysis. Brown Compound Analysis and DNS Assay Pretreatment hydrolysate was then analyzed for brown compound by using UV-Vis spectrofotometry (Hitachi) at 490 nm wavelength. For sugar analysis, 0.5 mL of hydrolysate and 1.0 mL of distilled water were added into test tube. After that, 3.0 mL of DNS reagent was added into the mixture and boiled for 5 minutes. Transfer the mixture to the ice-water bath and dilute all sample by added 0.2 mL sample and 2.5 mL distilled water. All sample then were vortexed and measured at 540 nm wavelength (Adney & Baker 2008). Statistical Analysis All experiments were conducted in triplicates and analyzed for stastical significance by analysis of variance (ANOVA). A 5% probability level (P = 0.05) was used to accept or reject the null hypothesis.

RESULT AND DISCUSSION

Chemical composition of oil palm empty fruit bunch (OPEFB) was shown in Table 1. Holocellulose content was about 67.06%. Based on calculation of holocellulose content multiply by 1.111 (conversion factor holocellulose to reducing sugar) (Fatriasari, 2014), it can get about 73.77% teoritical value of reducing sugar and can be converted into theoritical ethanol as much as 37.69% (conversion factor = 0.511) (Lu et al. 2012).

Table 1. Chemical analysis of untreated OPEFB

Chemical composition Percentage (%)

Water content 6.60 0.30

Ash content 4.25 0.09 Et-Ben Extractive 1.95 0.13

Lignin

ASL (Acid Soluble Lignin) 0.86 0.05

AIL (Acid Insoluble Lignin) 17.43 0.10 Holocellulose

cellulose 42.60 0.61

Hemicellulose 24.46 1.26

Page 44: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

38

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

For solid fraction, the pulp recovery after pretreatment process were about 57-78%.

Pulp recovery maximum was 78.61 7.96 % obtained after pretreatment at 160 C for 7.5 minutes, and significantly different than others (P<0.05). The higher temperature and the longer time of pretreatment that were used, the lower the precentage of pulp recovery (Figure 1).

Pretreatment by using oxalic acid at high temperature was important step for enzymatic hydrolysis of lignocellulosic biomass. While under mild condition, oxalic acid was selective enough to avoid extensive cellulose and glucose degradation. Therefore, oxalic acid is suitable as a pretreatment step in order to release fermentable hemicellulosic sugars without extensive formation of degradation products (Mtui, 2012).

In this study, pulp recovery obtained after pretreatment is still high. This indicates that pretreatment used does not lead an excessive degradation of biomass especially cellulose component. Lee et al. (2011) reported that glucose found in the liquid fraction (hydrolysate after pretreatment) less than 1%, indicated that cellulose is not easily degraded to

fermentable sugar in the pretreatment with oxalic acid at a temperature of 170 C for 18 minutes.

Figure 1. Pulp recovery after pretreatment process

Figure 2. Reducing sugar of hydrolysate after pretreatment process

For liquid fraction, the maximum concentration of reducing sugar obtained from hydrolysate

after pretreatment at 170 C for 2.5 minutes was 37.99 4.38 mg/mL. Generally, the concentration of reducing sugar decreased with the longer time used on pretreatment

process. Concentration of reducing sugar obtained at a temperature of 160 C still seems

low, in the range of 15-26 mg/mL. Then, as the temperature rises to 190 C, reducing sugars

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15

160 °C 170 °C 180 °C 190 °C 200 °C

Pu

lp r

eco

very

(%

)

Time (Minutes)/Temperature (°C) of Pretreatment

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15

160 170 180 190 200

Red

uci

ng

su

gar

(m

g/m

L)

Time (minutes)/ Temperature (C) of Pretreatment

Page 45: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

39

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

obtained increases in the range of 25-37 mg/mL. The concentration of reducing sugar

obtained was only 10-20 mg/mL as the temperature increases to 200 C (Figure 2). Concentration of reducing sugar decreases with the increasing temperature and the

longer time used in the pretreatment process. This can be due to the further degradation of the monomer sugar in the hydrolysate. Behera et al. (2014) explained that acid pretreatment at the high temperatures and pressures, monomeric sugar like glucose and xylose can be degraded into degradation products such as furfural and hydroxymethyl furfural, respectively.

In this study, Fig. 3 showed about brown compound formed after pretreatment process. Brown compound is a preliminary analysis that used to indicate the formation of an inhibitor compound. The higher the temperature and the longer time used for pretreatment, the higher the brown compound value. The highest value of brown compound obtained after

pretreatment at 200 C for 10 minutes but did not differ significantly (P>0.05) than

pretreatment at 200 C for 15 minutes. Profile pH of hydrolysate was also in line with the formation of brown compound (Figure

4). The higher the temperature and the longer time used for pretreatment, the more alkaline

pH of hydrolysate. The highest pH of hydrolysate obtained after pretreatment at 200 C for

10 minutes was 2.62 0.13, but but did not differ significantly (P> 0.05) with pH at 200° C for 12.5 and 15 minutes.

Figure 3. Brown compound of hydrolysate after pretreatment process

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15

160 °C 170 °C 180 °C 190 °C 200 °C

Bro

wn

co

mp

ou

nd

Time (minutes)/Temperature (°C) of Pretreatment

Page 46: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

40

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Figure 4. pH of hydrolysate after pretreatment process

Reducing sugars in the hydrolysate after pretreatment process may contain monomer

sugars from hemicellulose, such as xylose. Lee et al. (2011) explained that oxalic and maleic acid produced more monomer sugar than oligomer and left behind a residual fraction of cellulose which implies that dicarboxcylic acid is more selective for hemicellulose. The dilute acid pretreatment can effectively solubilized hemicellulose into monomeric sugar such as arabinose, galactose, glucose, mannose, and xylose (Chandel et al. 2011). This pentose sugars can be utilized for ethanol production by using microorganism that can ferment pentose sugar. Beside ethanol, pentose sugars especially xylose also can be utilized for xylitol production. Xylitol is a polyol that has a hydroxyl group attached to each carbon atom in its chain, and possesses a high sweetening power. Xylitol is widely used in food production processess such as candies, caramels, chocolates, ice cream, and beverages (Albuquerque et al., 2014). Table 2. showed the utilization of pentose sugar using different strain of microorganism into xylitol and ethanol production. Based on that, sugar that obtained in this study can be used for production ethanol or xylitol. However, it needs further research about the sugar component in the hydrolysate.

Table 2. Xylitol and ethanol production from pentose sugars solution

Concentration of sugar

Production Microorganism& Fermentation condition

References

18.03 g/L xylose (hydrolysate of corncob)

2.67 g/L xylitol

C. tropicalis, 35C, 170 rpm, 12 hours

Li et al. 2015

51 g/L xylose, 3 g/L glucose (hydrolysate of sugarcane bagasse)

28.7 g/L xylitol

C. guilliermondii,

30C, 300 rpm, pH 4

Martinez et al. 2003

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15 2.5 5

7.5 10

12.5 15

160 °C 170 °C 180 °C 190 °C 200 °C

PH

Time (minutes)/Temperature (°C) of Pretreatment

Page 47: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

41

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

22.9 g/L xylose, 2,5 g/L glucose (Hydrolysate of sago trunk)

18.95 g/L xylitol

C. tropicalis, 34C, 250 rpm, pH 4, 72 hours

Mohamad et al. 2013

30.29 g/L sugar (Hydrolysate of sugarcane bagasse)

0.48 g/g ethanol

C. shehatae

Chandel et al. 2007

45 g/L sugar (Hydrolysate of corncob)

0.44 g/g ethanol

P. stipitis

Saracoglu-Eken&Arslan 2000

CONCLUSIONS

The interaction between time and temperature give an effect to pulp recovery, pH,

brown compound, and reducing sugar of hydrolysate. The higher the temperature and the longer time of pretreatment that were used, the higher of brown compound value and the more alkaline pH of hydrolysate. The contrary happened to pulp recovery and concentration of reducing sugars. The maximum concentration of reducing sugar obtained from

hydrolysate after pretreatment at 170 C for 2.5 minutes was 37.99 4.38 mg/mL. In the conversion process of OPEFB into ethanol, sugar produced after pretreatment process has the potential to produce ethanol and xylitol but need further research.

Page 48: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

42

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

REFERENCES Alburquerque, T.L.d., I. J. d. Silva Jr., G. R. d. Macedo, & M. V. P. Rocha. 2014.

Biotechnological production of xylitol from lignocellulosic wates: A review. Process Biochemistry 49: 1779—1789.

Adney, B. & J. Baker. 2008. Measurement of Cellulase Activities: Laboratory Analytical Procedure (LAP). Issue Date: 08/12/1996. Technical Report NREL/TP-510-42628. January 2008. National Renewable Energy Laboratory. Colorado, USA.

Behera, S., R. Arora, N. Nandhagopai & S. Kumar. 2014. Importance of chemical pretreatment for bioconversion of lignocellulosic biomass. Renewable and Sustainable Energy Reviews 36: 91-106.

BNDES & CGEE. 2008. Sugar-cane based bioethanol energy for sustainable development. 1st ed. BNDES, Rio de Janeiro: 304 hlm.

Chandel, A.K., R.K. Kapoor, A.K. Singh, & R.C. Kuhad. 2007. Detoxification of sugarcane bagasse hydrolysate improves ethanol production by Candida shehatae NCIM 3501. Bioresources Technology 98: 1947—1950.

Chandel, A.K., G. Chandrasekhar, K. Radhika, R. Ravinder, & P. Ravindra. 2011. Bioconversion of pentose sugars into ethanol: a review and future direction. Biotechnology and Molecular Biology Review 6 (1): 8—20.

Chaudhary, N. & J.I. Qazi. 2011. Lignocellulose for ethanol production:a review of issue relating to bagasse as source material. African Journal of Biotechnology 10(8): 1270—1274.

Dawson, L. & R. Boopathy. 2008. Cellulosic ethanol production from sugarcane bagasse without enzymatic saccarification. Bioresources 3(2): 452—460.

Fatriasari, W. 2014. Produksi gula pereduksi melalui rekayasa proses pra-perlakuan bambu betung (Dendrocalamus asper (schult. f)). [Dissertation]. Graduate School of Bogor Agricultural University

Haghighi Mood, S.., A.H. Golfeshan, M. Tabatabei, G. S. Jouzani, G.H. Najafi, M. Gholami, & M. Ardjmand. 2013. Lignocellulosic biomass to bioethanol, a comprehensive review with a focus on pretreatment. Renewable and Sustainable Energy Reviews 27: 77-93.

Hermiati, E., D.Mangunwidjaja, T,C. Sunarti, O. Suparno & B. Prasetya. 2010. Pemanfaatan biomassa lignoselulosa ampas tebu untuk produksi bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121—130.

Idi, A. & S.E. Mohamad. 2011. Bioethanol from second generation feedstock (lignocellulose biomass). Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business 3(8): 919—935.

Ishola, M. M., Isroi & Taherzadeh, M. J. 2014. Effect of fungal and phosphoric acid pretreatment on ethanol production from oil palm empty fruit bunches (OPEFB). Bioresource Technology, 165, 9-12.

Joshi, B., M.R. Bhatt, D. Sharma, J. Joshi, R. Malla & L. Srerrama. 2011. Review lignocellulosic ethanol production: current practise and recent developments. Biotechnology and Molecular Biology Review 6(8): 172—182.

Kemenristek. 2006. Buku putih: penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang sumber energi baru dan terbarukan untuk mendukung keamanan ketersediaan energi tahun 2025. Kemenristek, Jakarta: iv + 100 hlm.

Kristiani, A., E. Nurdin, A. Yosi, A. Fauzan, & S. Yanni. 2015. Effect of Combining Chemical and Irradiation Pretreatment Process to Characteristic of Oil Palm’s Empty Fruit Bunches as Raw Material for Second Generation Bioethanol. Energy Procedia. 68: 195-204

Lanigan, B.A. 2010. Microwave processing of lignocellulosic biomass for production of Fuels. Theses. Department of Chemistry. University of York.

Lee, J-W., R.C.L.B. Rodrigues, H.J. Kim, I-G. Choi, & t.w. Jeffries. 2010. The role of xylan and lignin in oxalic acid pretreatment corncob during separate enzymatic hydrolysis and ethanol fermentation. Bioresources Technology 101: 4379—4385.

Page 49: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

43

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Lee, J-W., C.J. Houtman, H-Y. Kim, I-G. Choi, & T.W. Jeffries. 2011. Scale-up study of oxalic acid pretreatment of agricultural lignocellulosic biomass for the production of bioethanol. Bioresource Technology 102: 7451–7456.

Li, Zhe, X. Guo, X. Feng, & C. Li. 2015. An environment friendly and efficient process for xylitol bioconversion from enzymatic corncob hydrolysate by adapted Candida tropicalis. Chemical Engineering Journal 263: 249—256.

Lu, J., X.Z. Li, J. Zhao & Y. Qu. 2012. Enzymatic Saccharification and Ethanol Fermentation of Reed Pretreated with Liquid Hot Water. Journal of Biomedicine and Biotechnology 1-9.

Mariam, I., K. Manzoor, S. Ali & I. Ul-haq. 2009. Enhanced production of ethanol from free and immobilized Saccharomyces cerevisiae under stasionary culture. Pak. J. Bot. 41(2): 821—833.

Martinez, E.A. S.S. Silvia, J.B.A. e. Silva, A.I.N. Solenzal, & M. G.A. Felipe. 2003. The influence of Ph and dilution rate on continuous production of xylitol from sugarcane bagasse hemicellulosic hydrolysate by C. guilliermondii. Process Biochemistry 38: 1677—1689.

Mohamad, N.L., S.M.M. Kamal. N. Abdullah,& I. Ismail. 2013. Evaluation of fermentation conditions by Candida tropicalis for xylitol production from sago trunk cortex. Bioresources 8 (2):2499—2509.

Mtui, G. Y.S. 2012. Oxalic acid pretreatment, fungal enzymatic saccharification and fermentation of maize residues to ethanol. African Journal of Biotechnology 11 (4): 843-851.

Naik, S.N., V.V. Goud, P.K. Rout & A.K. Dalay. 2010. Production of first and second generation biofuels: A comprehensive review. Renewable and Sustainable Energy Reviews 14: 578-597.

Patel, S.J., DR.R. Onkarappa & K.S. Sobha. 2007. Fungal pretreatment studies on rice husk and bagasse for ethanol production. Electronic Journal of Environmental, Agricultural and Food Chemistry 6(4): 1921—1926.

Saracoglu-Eken, N. & Y. Arslan. 2000. Comparison of different pretreatment in ethanol fermentation using corn cob hemicellulosic hydrolysate with Pichia stipitis and Candida shehatae. Biotechnol. Lett. 22: 855—858.

Sluiter, A., B. Hames, R. Ruiz, C. Scarlata, J. Sluiter, D. Templeton & D. Crocker. 2008. Laboratory Analytical Prosedure: Determination of structural carbohydrates and lignin in biomass. National Renewable Energi Laboratory, Colorado: 13 hlm.

Yi Zheng, Zhongli Pan & Ruihong Zhang. 2009. Overview of biomass pretreatment for cellulosic ethanol production. International Journal Agricultur & Biology Engineering 2(3): 51—68.

Page 50: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

44

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 7.

EFFECT OF TEMPERATURE VARIATION OF MICROWAVE ASSISTED-OXALIC ACID

PRETREATMENT ON THE STRUCTURAL PROPERTIES OF OIL PALM EMPTY FRUIT

BUNCH (OPEFB)

Nissa Nurfajrin Solihat*, Widya Fatriasari, Lucky Risanto,

Sita Heris Anita, Fahriya Puspita Sari, Fitria

Research Center for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences, Cibinong Science Center, Cibinong-Bogor 16911, Indonesia

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The objective of this study is to investigate the impact of dilute oxalic acid pretreatment on structure lignocellulosic of Oil palm empty fruit bunch (OPEFB) using microwave heating and varying temperatures. Five reaction temperatures of 160ºC-200ºC for 2.5 minutes and solid to liquid ratio of 10 were employed to determine best condition to break down the lignosellulosic structure. The effectiveness of this method has been evaluated according to delignification selectivity, morphological, and functional group changes. It has been observed that increasing temperature caused increase of delignification selectivity, change of morphology, and partial removal of hemicellulose that confirmed by FTIR and SEM. Increasing temperature make OPEFB fiber surface more fragile and some silica bond were removed from fiber surface than untreated ones. Oxalic acid-microwave assisted was decreased significantly hemicellulose content conform by decrease of the band absorbance of functional group at 1736 cm-1 representing unconjugated carbonyl linkage between lignin and xylan, and increase band absorbance at 902 cm-1 indicating β-glycosidic linkage between sugar units. In contrast, the feature band absorbance of lignin was reinforced. However, comparison between varying temperatures revealed that effectiveness influence of temperature to structural changes of OPEFB.

Keywords: microwave assisted-oxalic acid pretreatment; morphological observation; OPEFB; varying temperatures

INTRODUCTION

Indonesia is one the largest producer palm oil in the world. The main product of palm oil industry is CPO (Crude Palm Oil). In addition to production CPO, the palm oil industry generates an abundant amount of waste such as Oil Palm Empty Fruit Bunch (OPEFB) (Zainudin et al. 2014). Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia (MAKSI) (2015) reported the production one ton of palm oil produced around 1.2-1.4 tons of OPEFB. United States Department of Agriculture (2014) estimated in 2014 Indonesia produced CPO 33 million tons so it will achieve around 39.8 million tons OPEFB as waste. One way to create value added products from this waste in order to avoiding environment damage is converting become second generation bioethanol. OPEFB is a lignocellulosic with main component cellulose (30.41%), hemicellulose (20.70%), and lignin (35.94%) (Kristiani et al. 2015). Hence, OPEFB has potential as an ideal low-cost feedstock in production of ethanol because contain high cellulose and hemicellulose which can potentially be recovered into reducing sugar. However the complex structure among lignin, hemicellulose, and crystalline structure in lignocellulosic are the major recalcitrance on the conversion process, thus pretreatment is required to break down the lignocellulosic structure. Efficient pretreatment method is needed so that structure of the lignocellulosic biomass breakdown and improve hydrolysis rates. Observing changes in the composition and structure of the lignocellulosic

Page 51: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

45

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

material after the pretreatment is important to design the optimal pretreatment process. Indicators parameter to select best condition of pretreatment are loss of weight, lignin, cellulose, hemicellulose, delignification selectivity, delignification selectivity, structural changes of lignocellulosic, and biodegradation pattern during pretreatment process.

Pretreatment of lignosellulosic biomass can be performed by physical, chemical, and biological or their combination (Shamsudin et al. 2012; Talebnia et al. 2010). Various pretreatment techniques have developed to change the physical and chemical structure of the lignocellulosic biomass effectively. The most researcher studied combination pretreatment by physical and chemical to disrupt the crystallinity structure of cellulose which increase accessible surface area and decrease lignin content (Horikawa et al. 2013, Monrroy et al. 2012; Isroi et al. 2012). Physical treatment is step to reduce size of lignocellulosic through milling, grinding, chipping, irradiating with microwave, or steam explosion to improve efficiency of processing (Piarpuzan et al. 2011). Microwave pretreatment is becoming promising method of biomass pretreatment that obtained high reducing sugar and effective in break down lignocellulosic structure cause the cellulose had more opened structure thus improving hydrolysis enzymatic with considered a green technology to characteristic of energy conservation, emission reduction, and environment protection because no obtained waste water, waste gas, and waste product (Fatriasari et al. 2014a; Gong et al. 2010). Microwave heating was efficient in reducing crystallinity of cellulose because heat target object directly by applying an electromagnetic field, so not only degrade lignin and hemicellulose but also increase enzymatic hydrolysis. However, where the only option available for treatment is physical treatment, this method will less effective because required high energy (Brodeur et al. 2011). The combined physical and chemical treatment will increase the effectiveness to break the rigid structure of lignocellulosic material. A common chemical pretreatment used dilute sulphuric acid at 110-180ºC because presents many advantages for an industrial use and it may be applied to different types of biomass (Kärcher, 2015; Zhou et al. 2015; Martin et al. 2015; Uppugundla et al. 2014; Singh et al. 2013; Segneanu et al. 2011; Chen et al. 2011). Nevertheless, during pretreatment hot dilute acid hemicellulose sugar may be degraded to furfural and 5-hydroxymethylfurfural (HMF), these compounds may inhibit yeast cell during fermentation process and leading ethanol production will decrease (Cavalheiro et al. 2008).

Oxalic acid has been suggested as alternatives for sulfuric acid in pretreatment because it has higher efficiency for hydrolysis lignocellulosic structure, it has been reported that oxalic acid has major selectivity to avoid sugar degradation become inhibitory formation namely acetic acid, furfural, HMF, and phenolic compounds (Scordia et al. 2013; Qin et al. 2012). Combination of microwave assisted-oxalic acid for OPEFB pretreatment with various temperatures was not detected in literature. Hence, in current study microwave assisted-oxalic acid pretreatment is employed for investigate structural changes of OPEFB in various temperature. Chemical component changes of OPEFB during pretreatment were investigated and structural properties changes of OPEFB were analyzed using FTIR and SEM-EDX.

MATERIALS AND METHODS Materials The OPEFB used in the experiment was obtained from Sukabumi, West Java – Indonesia. Prior to processing, raw material made into powder using hammer mill, then the resulting powder was filtered with a filter 40-60 mesh. Powder 40 mesh sieved and retained on the 60 mesh used as raw material for pretreatment. Raw material was stored at room temperature in a sealed container. The chemical reagents used for the compositional study were analytical grade without further purification. Oxalic acid, ethanol, benzene, sulphuric acid, sodium chlorite, acetic acid, acetone, and sodium hydroxide were purchased from Merck. Material characterization

Page 52: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

46

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

All determinations were carried out on triplicate samples. The chemical components of OPEFB before and after pretreatment were measured to compare chemical properties. Content of moisture, ash, extractive, acid insoluble lignin, holocelullose, and α-cellulose were measured according to TAPPI Test Method T 264 cm-97, TAPPI Test Method T 211 om-02, TAPPI Test Method T 204 cm-97, NREL LAP 003, Wise method, and Rowell method respectively with a slight modification. Hemicellulose obtained from subtraction of holocellulose and α-cellulose. Component loss was calculated to determine the delignification selectivity.

OPEFB samples were dried in oven at 60 ºC during 24 hour, and then threshed by mortar and sieved pass 200 mesh used for analysis structure and morphology. Microscopy analysis was examined using a Hitachi SU-3500 scanning electron microscope (SEM) to determine the morphological changes of the OPEFB fibers for different various temperature conditions. Samples were placed in specimen stub (10 mm in diameter) and the surfaces of samples were coated with a thin layer (approximately 400-500Å thick) of gold using coating unit Ion Coater iB2 to make them electrically conductive. Energy dispersive X-Ray spectroscopy (EDX) analysis was conducted to identify the presence of unsure before and after microwave assisted-oxalic acid pretreatment. SEM images were recorded at 500 and 2500 x magnification using an accelerating voltage of 20 kV and work of distance (WD) of 5 mm for SEM and WD of 10 mm for EDX.

A Fourier transform infrared (FTIR) spectrometer (Thermoscientific Nicolet iS-10) was used for determining changes in the structure of the OPEFB and differences crystallinity before and after the pretreatment. Sample concentration was adjusted at 5% (KBr dilution) and a total of 32 cumulative scans were taken per sample with resolution of 16 cm−1 in frequency range of 4,000–600cm−1. Area and high peak FTIR spectra were analyzed by OMNIC software.

OPEFB pretreatment

The microwave irradiator (Milestone s.r.I) equipped with stirrer and thermocouple was used for the pretreatment OPEFB. The irradiation power was controlled automatically by monitoring the inner temperature of the reactor. OPEFB 3.0 g with solid to liquid ratio of 10 were immersed in 1% oxalic acid into a microwave flask and degassed at -20 bar vacuum condition for 5 minute before pretreatment process. Process pretreatment maintained under 50% magnetic stirring condition and varying temperature of 160ºC-200ºC for 2.5 minutes, not including the approximately 12 minutes heating time and 10 minutes cooling time. The flask after irradiating cooled in ice bath for 30 minutes. The pulp obtained by filtering pulp through filter paper and washed with distillation water until pH neutral indicated by litmus paper blue. Pulp was stored at freezer temperature in a sealed container for further characterization.

RESULTS AND DISCUSSION

Effect of Pretreatment on OPEFB Chemical Component

The chemical composition of OPEFB before and after pretreatment was analyzed and presented in Figure 1. As expected, temperature of reaction exhibited alteration in OPEFB fiber composition. For example after pretreatment hemicellulose composition was significantly decreased at high temperature, may because the oxalic acid process cleaves most of ester linkages present in fiber wall, the justification should be confirmed by FTIR analysis spectra. However, on raising temperature component of extractive were increased, may reaction make structure of lignocellulose was changed and expose non-polar substance which not soluble in hydrolysate during pretreatment and was embedded on surface fiber, when pulp of fiber was extracted with ethanol-benzene as solvent, the substance dissolved and detected as extractive content derived from lignocellulose structure. The finding is similar with extractive analysis of corn stover after alkali pretreatment by Uppugundla et al. (2014), however not agreement with research by Tan et al. (2013), that was showed extractive content of OPEFB decreased after wet oxidation and

Page 53: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

47

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

sulfite pretreatment. It may be caused different chemical reagent had different effect against to EFB structure. Result of component loss (Table 1) showed that after pretreatment in general both total solid and all chemical component were lost compared with OPEFB before pretreatment. On raising the temperature from 160 to 200 ºC the yield of the solid residue significantly decreased, can be attributed to the high solubility of cellulose, hemicellulose, and lignin by acid although the dissolution of cellulose relatively slow (Jung et al. 2013).

Figure 1. Profile of composition of untreated and pretreated OPEFB under various temperatures

Table 1. Composition of component loss untreated and pretreated OPEFB under various temperatures. DS=Delignification selectivity

Sample DS

Component loss (%)

Weight Water Ash Insoluble

lignin α-cellulose Hemicellulose

Control 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

160 ºC 0.93 29.34±2.47 77.63±0.47 77.03±0.21 11.91±0.13 12.84±0.45 66.37±0.44

170 ºC 1.49 28.38±3.93 82.27±0.73 83.42±0.14 15.9±2.85 10.68±0.68 65.13±0.45

180 ºC 1.82 31.67±1.97 89.01±0.39 86.42±0.05 25.26±2.69 13.88±0.56 72.06±0.58

190 ºC 1.70 35.84±1.54 81.16±1.19 79.86±0.33 33.87±0.89 19.94±0.89 73.46±0.34

200 ºC 1.03 35.75±1.08 90.53±0 75.17±0.17 25.83±1.03 25.15±0.04 67.43±0.11

Delignification selectivity that counted as ratio lignin loss to cellulose loss is the main

parameter to observe the delignification effectiveness of pretreatment. The high DS value describes effective process of pretreatment and vice versa, because low value of DS means relatively high cellulose loss during pretreatment (Fatriasari et al. 2014b). As shown in Table 2, despite there was not significant effect in DS value with increasing temperature but higher selectivity results from reaction at 180 ºC and could be indicated as optimum condition to selective lignin degrading. DS value could indicate that at higher temperature especially at 200 ºC, a portion of cellulose was hydrolyzed by acid. Thus the pretreatment should be controlled in a suitable range. In this paper, 180 ºC was decided as suitable pretreatment temperature. The finding is an agreement with previous research that temperature has a significant effect on pretreatment (Wang et al. 2015; Jung et al. 2014; Chen et al. 2011;

Page 54: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

48

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Yunus et al. 2010). The chemical component analysis will be confirmed by SEM and FTIR spectra. Effect of Pretreatment on OPEFB Morphology

The effect on OPEFB after pretreatment with oxalic acid at various temperatures pretreatment can be seen from the photomicrograph fiber surface at 500x magnifications (Figure 2). Fiber surface untreated OPEFB had a smooth, rigid, and well-ordered (Figure 2a). The photomicrograph revealed that after pretreatment structure of fiber surface of OPEFB were changed and showed effect of temperature against surface fiber. After undergoing pretreatment at 160 ºC (Figure 2b) the surface fibers has been damaged that some cracks are seen on the fiber surface. The disruption more pronounced when the reaction temperature is 170 ºC (Figure 2c). It can be clearly seen that silica bodies embedded on the fiber surface and some of silica were removed and left empty hole (Figure 2d), whereas silica bodies were found in great number around the fiber surface (Isroi et al. 2012). Fiber surface in Figure 2e-f revealed that increasing temperature more effective to disrupt surface area of OPEFB because at temperature 190 ºC and 200 ºC surface area looked more fragile and broken than lower temperature. It is comply with previous research that after pretreatment process morphology structure of lignocellulosic would destroy in significant way and a lot of debris was obtained (Chen et al. 2011). This implies that increasing temperature caused destroyed surface area and morphology of OPEFB which would provide a more accessible surface area to enhance enzymatic hydrolysis.

Figure 2. Fiber surface of untreated and pretreated OPEFB under variation temperature. (a) Untreated OPEFB, (b) pretreated OPEFB at 160 ºC, (c) pretreated OPEFB at 170 ºC, (d) pretreated OPEFB at 180 ºC, (e) pretreated OPEFB at 190 ºC, (f) pretreated OPEFB at 200 ºC.

In general, pretreatment was affected silica bodies properties on morphological of

OPEFB significantly, the SEM morphology picture at magnification 2500x of OPEFB untreated and pretreated on temperature 160ºC-200ºC available in Figure 3. Some silica bodies were partially removed at higher temperatures, as evident from EDX data (Table 2) although there are many elements present, but Si removed in the significant amount. The round-shaped silica bodies are not clear detectable with EDX or seen under SEM at the interior both untreated (Figure 3a) and treated OPEFB temperature 160 ºC (Figure 3b). However, small cracks like conduit-openings are observable and it might probably be the siliceous pathways connecting the interior to the surface (Law et al. 2007).

a. b. c.

d. e. f.

Page 55: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

49

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

C

Figure 3. Morphology silica bodies properties of untreated and pretreated OPEFB under variation temperature. (a) Untreated OPEFB, (b) pretreated OPEFB at 160 ºC, (c) pretreated OPEFB at 170 ºC, (d) pretreated OPEFB at 180 ºC, (e) pretreated OPEFB at 190 ºC, (f) pretreated OPEFB at 200 ºC. SB=Silica Body, EH= Empty Hole. Table 2. EDX analysis data of OPEFB before and after pretreatment under variation temperature.

Element weight

(%)

Temperature

Control 160 ºC 170 ºC 180 ºC 190 ºC 200 ºC

C 75.85±1.1

3 75.41±5.0

3 60.43±14.5

6 60.04±15.4

5 70.61±2.8

2 65.03±2.4

8

O 20.88±1.1

7 24.01±4.9

0 26.85±4.85 17.68±6.39 29.1±2.94

32.04±2.60

Mg 0.14±0.03 - - - - -

Al 0.9±0.02 - - - - -

Si 0.15±0.01 0.33±0.21 11.86±11.6

3 20.52±0.00 - -

Cl 0.39±0.07 - - 0.95±0.6 - -

K 1.43±0.18 - - - - -

Ca 0.13±0.01 0.13±0.13 0.41±0.00 - - 0.85±0.00

Fe 0.13±0.05 0.12±0.07 - 0.81±0.59 0.29±0.04 2.08±0.98

Cu - - 0.34±0.14 - - -

Zn - - 0.11±0.05 - - -

Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

The SEM image of fiber pretreated at 170 ºC (Figure 3c) show that silica bodies

were still attached on the fiber, indicating higher temperature is required to remove silica bodies. Pretreated at 180 ºC OPEFB shows that some of silica were removed and left empty holes (Figure 3d), it is conform to EDX data (Table 2) that Si content highest than others, it might be caused at 180 ºC component on surface substance covering silica bodies were eroded, therefore silica bodies clearly seen under SEM image and detected high Si content by EDX. Morphology OPEFB pretreated at 190 ºC and 200 ºC (Figure 3e-f) showed that silica bodies are not seen and might be removed from strand, these in agreement with EDX

a. b.

d. e. f.

c.

SB Cracks

SB

EH

SB

EH EH

Page 56: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

50

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

data (Table 2) that silica bodies are not detected by EDX. After pretreated OPEFB morphology (Figure 3b-f) had more porous structure compared to untreated ones (Figure 3a) because delignification resulting in damage of the fiber caused silica bodies were contributed to the strength and rigidity of OPEFB fiber (Nascimeto et al. 2012). Cu and Zn content in EDX analysis data were only detected for sample reaction at temperature 170 ºC, it might be detected as noise. Effect of Pretreatment on OPEFB Structure To support the structural changes of OPEFB indicated by SEM images, the same samples were further analyzed by FTIR method. In addition changed in chemical composition of the pretreated solid residue, the chemical structures present also changed after oxalic acid-microwave assisted pretreatment. Generally, pretreatment was not obtained new functional group but changed intensity of band absorbance and band shift. Investigating the structural changes of OPEFB solid residues could be confirmed by FTIR spectra (Figure 4), while the corresponding assignments and shift bands are presented in Table 3. In the spectrum of OPEFB after pretreatment the broad band at 3300 cm-1 identical to O-H stretching and the band 2921 cm-1 indicate to symmetric vibration of CH2 group were slightly increased as compared to OPEFB untreated. O-H stretching region at a wavenumber 3000-3600 cm-1 identical to the O-H stretching region of cellulose I than cellulose II, whereas OH group of cellulose I is sum of intramolecular hydrogen bond of 2-OH…O-6, intramolecular hydrogen bond of 3-OH…O-5, and intramolecular hydrogen bond of 6-OH…O-3 (Oh et al. 2005). The band in the region 2854 cm-1 assign to asymmetric stretch vibration of CH2 from CH2-OH group in cellulose was only found in untreated OPEFB. This finding similar with structure of coconut empty fruit bunch after alkali pretreatment that the peak is completely diminished with resulting smooth curve line, there may be some rupture in methylene of cellulose of this peak (Ali et al. 2015). It might be correlated with chemical composition that cellulose loss increases after pretreatment resulting undetected intensity at these wavenumber. However, the band at 1317 cm-1 indicating O-H bending of alcohols group in cellulose stronger than untreated ones due to reaction damaged ester bond linkage between lignin and carbohydrate thus making cellulose more exposed, conforming with the result as reported by Medina et al. (2015).

Figure 4. FTIR spectra of OPEFB untreated and pretreated under variation temperature in the wavenumber range 4,000–600cm−1. Line assignment: control (untreated), 160 (pretreated at 160 ºC), 170 (pretreated at 170 ºC), 180 (pretreated at 180 ºC), 190 (pretreated at 190 ºC), and 200 (pretreated at 200 º C). Table 3. Assignment of IR band of EFB untreated and pretreated temperature.

Absorption bands wavenumber (cm-1) Assignments **) Source

Page 57: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

51

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Untreated

160 ºC

170 ºC 180 ºC 190 ºC 200 ºC

1 3422 3387 3394 3376 3408 3390 Stretching vibration intramolecular hydrogen bonds *1)

Cellulose

2 2921 2918 2918 2923 2917 2914 Symmetric stretching vibration CH *1)

Cellulose

2854 - - - - - Asymmetric stretching vibration CH2 *1)

Cellulose

3 1732 1713 1724 1712 1721 1709 C=O stretching unconjugated (xylan) *5)

Polysaccharide

4 1633 1641 1642 1651 1650 - C-O stretching in conjugated p-subituted aryl ketones *5)

Lignin

5 1600 1602 1607 1604 1606 1607 Aromatic skeletal vibration *2)

Lignin

6 1506 1507 1508 1507 1510 1508 C=C aromatic symmetrical stretching *2)

Lignin

7 1456 1457 1468 1459 1459 1457 ring vibration with C-O stretching *4)

Lignin

8 1423 1424 1424 1423 1426 1424 CH in plane deformation CH2 scissoring; OH bending of COH alcohol group *1)

Cellulose; Lignin

9 1376 1374 1377 1377 1371 1368 CH deformation in cellulose and hemicellulose *3)

Cellulose

10 1317 1322 1324 1326 1327 1322 OH bending of alcohol group *5)

Cellulose

11 1255 1235 1233 1237 1237 1238 Guaiacyl ring and C-O stretch in lignin and xylan *1)

Lignin

12 1158 1157 1165 1165 1159 1157 C-O-C asymmetric stretching *5)

Polysaccharide

13 1102 1112 1103 1127 1110 1105 stretching vibration C-O of secondary alcohol *1)

Lignin

14 1029 1059 1058 1048 1034 1050 stretching vibration C-O-H of secondary alcohol *5)

Lignin

15 902 899 899 900 897 903 β-glyosidic linkage *6)

Cellulose

16 831 830 850 850 844 856 CH outplane deformation *5)

Lignin

17 776 771 765 773 - 767 CH2 vibration in Cellulose Iα *5)

Cellulose

18 717 721 738 726 - 706 Rocking vibration CH2 in Cellulose Iβ *5)

Cellulose

19 654 683 657 646 664 679 C-O out of plane bending *1)

Cellulose

Page 58: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

52

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LOI 1.04 1.05 1.04 1.05 1.04 1.07

**Reference note: *1) Koutsianitis et al. 2015 *2) Lee et al. 2015 *3) Fatriasari et al. 2014b *4) Zhang et al. 2013 *5) Isroi et al. 2012 *6) Chen et al. 2011

The bands of 1158 cm-1 and 1376 cm-1 are not notable in OPEFB untreated due to the coverage of cellulose by hemicellulose and lignin. However after pretreatment the band of 1158 cm-1 and 1376 cm-1 characteristic of C-O-C stretching and CH deformation in cellulose and hemicellulose respectively were clearly exhibited, revealing disruption of linkage between hemicellulose and lignin by pretreatment process (Chen et al. 2011). Changes intensity were also found at wavenumber 1732 cm-1 that was associated with C=O ester linkage between lignin and xylan. Not only intensity was diminished, but also it was shifted with increasing temperature. The diminishing and shifting at this band might be attributed to decreased hemicellulose content and revealing hydrolysis of xylan by pretreatment process which is in agreement with the composition of component loss result in Table 1. Regarding to area and high peak spectra were calculated by OMNIC software (data not shown), that it is note when reaction temperature 200 ºC the band was disappeared. The variation of the signal intensity also can be explained organic acid microwave assisted effective to disrupt some of linkages between hemicellulose and cellulose or lignin and convert hemicellulose to soluble sugar. The suggestion reinforced with increasing absorbance of β-glycosidic linkage between sugar units at band 902 cm-1 that was shifted and has a sharp band. These result showed that relative amount of glucan increased because most of xylan was hydrolyzed. This result similar with structure of sugarcane bagasse after dilute sulfuric acid pretreatment with microwave-assisted heating, OPEFB after fungal followed by phosphoric acid pretreatment, and pretreatment of switchgrass using liquid hot water-hydrogen peroxide. (Chen et al. 2011; Isroi et al. 2012; Williams & Hodge, 2014). Regarding the infrared ratio proposed by Nelson and O’Connor (1964), lateral of index (LOI) ratio between absorbance number 1429 and 895 cm-1 could be proposed to characterize crystallinity index for cellulose I due to the sensitivity of the amount of crystalline versus amorphous structure in the cellulose. The study of Oh et al (2005) claim the band at 1430 cm-1 can be designated as crystalline and the band at ~900 cm--1 as an amorphous cellulose. Isroi et al (2012) examined that the LOI showed a linear correlation with the hemicellulose content due to the band at 895 cm-1 assigned to anomeric carbon group frequency in cellulose and hemicellulose, sharp broadening band at 895 cm-

1 showed decreasing hemicellulose after pretreatment. In this study the peak at 1423 cm-1 and 902 cm-1 more pronounced with increasing temperature reaction but there is no significant difference between LOI value of untreated OPEFB with OPEFB after pretreatment (Table 3).

Structural changes in lignin and loss aromatic units should be observed by intensity in signal related to lignin structure (1633, 1600, 1506, 1456 and 1255 cm-1) due to the microwave chemical bond disruption effect. From the spectrum of OPEFB raw material (Figure 4), the aforementioned peak can also be observed but they are not clearly appeared, after pretreatment the peaks absorbance were increased especially for the reaction temperature 180ºC-200 ºC. The major influence of the oxalic acid pretreatment is to hydrolyzed hemicellulose from OPEFB structure but not hydrolyzed lignin structure. Thus causing the feature of lignin distinguished and remained in solid residue, for this reason an increase in the reaction temperature makes the peaks more sharp. This observation also proved that the structure of lignin is hardly affected by organic acid. This finding was similar with lignin properties of sugarcane bagasse using dilute sulfuric acid pretreatment and using alkaline dioxane treatment process (Chen et al. 2011; Zhang et al. 2013). However, the result is not an agreement with previous report by Lee et al. (2013) that indicating the lignin

Page 59: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

53

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

peak intensity correspond to aromatic skeletal vibration, C-C stretching of aromatic ring, and asymmetric bending in CH3 as lignin characteristic were decreased significantly after oxalic acid pretreatment compared to carbohydrate and waste mushroom medium as biomass control. It may be caused different type of biomass requires a different pretreatment condition. It means that oxalic acid has preferentially decayed hemicellulose over lignin. This FTIR result supports the change of chemical composition in pretreated biomass shown in Table 1, although hemicellulose result by chemical analysis different with FTIR interpretation result. Hemicellulose loss estimated by FTIR was higher than obtained by traditional methods that result from subtraction of holocellulose and α-cellulose. Iroba (2014) estimated the laborious and time consuming traditional method that used chemical reagent like seems to create stringent condition that may lead to altering and further degrading the native cell wall such as complex carbohydrate structure, whereas FTIR is a rapid, direct and non-destructive chemical analytical technique where the rapid method cam detect molecular characteristic at high spatial resolution without altering the inherent biomass structure.

CONCLUSION

Composition of OPEFB was changed by oxalic acid-microwave assisted, temperature has significant effect on OPEFB chemical component, structural, and morphological that confirmed by SEM and FTIR. Pretreatment reaction at 180ºC showed the highest delignification selectivity than others temperature reaction used. SEM analysis showed that after pretreatment OPEFB structure had more destroyed and fragile caused by breakdown of the lignocellulosic structure, EDX data showed silica bond was significantly disappeared with increasing temperature. Important structural change observed by FTIR analysis are reduction of unconjugated carbonyl absorption and increasing β-glycosidic linkage between sugar units, whereas signal related to lignin structure did not decrease and suggested remained in solid residue. The result could be suggested that oxalic acid effective to hydrolyze hemicellulose structure but not for lignin. Need further investigation to observe effect of present lignin to hydrolysis of cellulose.

ACKNOWLEDGMENT

The authors would like to thank the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) for funding this research through DIPA of Research Center for Biomaterial 2015 and for Research Center for Physic LIPI for cooperation program instrumental analysis FTIR and SEM.

REFERENCES Ali, Noorhalieza, C. A. C. Aziz, O. Hassan. 2015. Alkali Pretreatment and Acid Hydrolysis

of Coconut Pulp and Empty Fruit Bunch to Produce Glucose. Jurnal Teknologi. 74: 7-11.

Brodeur, G., E. Yau, K. Badal, J. Collier, K. B. Ramachandran, & S. Ramakrishnan. 2011. Chemical and Physicochemical Pretreatment of Lignocellulosic Biomass: A Review. Enzyme Research. 2011: 1-17.

Carvalheiro, F., L. C. Duarte, & F. M. Gírio. 2008. Hemicellulose Biorefineries: A Review on Biomass Pretreatments. Journal of Scientific and Industrial Research. 67: 849-864.

Chen, W. H., Y. J. Tu, & H. K. Sheen. 2011. Disruption of Sugarcane Bagasse Lignocellulosic Structure by Means of Dilute Sulfuric Acid Pretreatment with Microwave-Assisted Heating. Applied Energy. 88: 2726-2734.

Ehrman, T. 1996. National Renewable Energy Laboratory. LAP 004. p. 2. Fatriasari, W., W. Syafii, N. Wistara, K. Syamsu, & B. Prasetya. 2014a. Performance of

Microwave Pretreatment on Enzymatic and Microwave Hydrolysis of Betung Bamboo (Dendrocalamus asper). Teknologi Indonesia. 37(3): 167-177.

Page 60: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

54

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Fatriasari, W., W. Syafii, N. J Wistara, K. Syamsu, & B. Prasetya. 2014b. The Characteristic Changes of Betung Bamboo (Dendrocalamus asper) Pretreated by Fungal Pretreatment. Int. Journal of Renewable Energy Development. 3 (2): 133-143.

Gong, G., D. Liu, & Y. Huang. 2010. Microwave-Assisted Organic Acid Pretreatment for Enzymatic Hydrolysis of Rice Straw. Biosystems Engineering. 107: 67-73.

Horikawa, Y., K. Naoya, I. Tomoya. K, Abe, K. Yoshinori, S. Junji. 2013. The Structural Changes in Crystalline Cellulose and Effects on Enzymatic Digestibility. Polymer Degradation and Stability. 98: 2351-2356.

Iroba, K. L. 2014. Effect of Pretreatment on the Breakdown of Lignocellulosic Matrix in Barley Straw as Feedstock for Biofuel Production. [Thesis]. Saskatchewan. University of Saskatchewan.

Isroi, M. M. Ishola, R. Millati, S. Syamsiah, M. N. Cahyanto, C. Niklasson, & M. J. Taherzadeh. 2012 Structural Changes of Oil Palm Empty Fruit Bunch (OPEFB) after Fungal and Phosphoric Acid Pretreatment. Molecules. 17: 14995-15012.

Jung, Y. H., I. J. Kim, H. K. Kim, & K. H. Kim. 2013. Dilute Acid Pretreatment of Lignocellulose for Whole Slurry Ethanol Fermentation. Bioresource Technology. 132: 109–114.

Jung, Y. H., I. J. Kim, H. K. Kim, & K. H. Kim. 2014. Whole Slurry Fermentation of Maleic Acid-Pretreated Oil Palm Empty Fruit Bunches for Ethanol Production not Necessitating a Detoxification Process. Bioprocess and Biosystems Engineering. 37: 659-665.

Kärcher, M. A, Y. Iqbal, I. Lewandowski, & T. Senn. 2015. Comparing the Performance of Miscanthus x giganteus and Wheat Straw Biomass in Sulfuric Acid Based Pretreatment. Bioresource Technology. 180: 360-364.

Koutsianitis, D., C. Mitani, K. Giagli, D. Tsalagkas, K. Halász, O. Kolonics, C. Gallis, & L. Csóka. 2015. Ultrasonics Sonochemistry Properties of Ultrasound Extracted Bicomponent Lignocellulose Thin Films. Ultrasonics Sonochemistry. 23: 148-155.

Kristiani, A., E. Nurdin, A. Yosi, A. Fauzan, & S. Yanni. 2015. Effect of Combining Chemical and Irradiation Pretreatment Process to Characteristic of Oil Palm’s Empty Fruit Bunches as Raw Material for Second Generation Bioethanol. Energy Procedia. 68: 195-204.

Lee, H. J., Y. J. Seo, & J. W. Lee. 2013. Characterization of Oxalic Acid Pretreatment on Lignocellulosic Biomass Using Oxalic Acid Recovered by Electrodialysis. Bioresource Technology. 133: 87-91.

Lee, J. W., J. Y. Kim, H. M. Jang, M. W. Lee, & J. M. Park. 2015. Sequential Dilute Acid and Alkali Pretreatment of Corn Stover: Sugar Recovery Efficiency and Structural Characterization. Bioresource Technology. 182: 296-301.

Martin, C., A. García, A. Schreiber, J. Puls, & B. Saake. 2015. Combination of Water Extraction with Dilute-Sulphuric Acid Pretreatment for Enhancing the Enzymatic Hydrolysis of Jatropha curcas Shells. Industrial Crops & Products. 64: 233-241.

Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia (MAKSI). 2015. Info Maksi: Potensi Tinggi Bioetanol Generasi Kedua. Available online: http://www.infosawit.com/index.php/news/detail/info-maksi---potensi-tinggi--bio-etanol-generasi-kedua (accessed on 29th June 2015).

Monrroy, M., J. S. Garcia, R. T. Mendonca, J. Baeza, & F. Freer. 2012. Kraft Pulping of Eucalyptus Globulus as a Pretreatment for Bioethanol Production by Simultaneous Saccharification and Fermentation. J. Chil. Chem. Soc. 57: 1113-1117.

Nelson, M.L & R.T. O’Connor. 1964. Relation of certain infrared bands to cellulose crystallinity and crystal lattice type. Part II. A new infrared ratio for estimation of crystallinity in celluloses I and II. J. Appl. Polym. Sci. 8: 1325–1341.

Piarpuzan, D., J. A. Quintero, & C. A. Cardona. 2011. Empty Fruit Bunches from Oil Palm as a Potential Raw Material for Fuel Ethanol Production. Biomass and Bioenergy. 35: 1130-1137.

Page 61: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

55

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Qin, L., Z. H. Liu, B. Z. Li, B. E. Dale, Y. J. Yuan. 2012. Mass Balance and Transformation of Corn Stover by Pretreatment with Dilute Organic Acid. Bioresource Technology. 112: 319-326.

Rowell, R.M. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood. CRC Press. Florida, USA. Scordia, D., S. L. Cosentino, & T. W. Jeffries. 2013. Effectiveness of Dilute Oxalic Acid

Pretreatment of Miscanthus × giganteus Biomass for Ethanol Production. Biomass and Bioenergy. 59: 540-548.

Segneanu, A. E., C. A. Macarie, R. O. Pop, & I. Balcu. 2011. Combined Microwave-Acid Pretreatment of the Biomass in Shaukat, S.S. 2011. Progress in Biomass and Bioenergy Production. InTech. Croatia. p. 223-237.

Shamsudin, S., U. K. M. Shah, H. Zainudin, S.A. Aziz, S. M. M. Kamal, Y. Shirai, & M. A. Hassan. 2012. Effect of Steam Pretreatment on Oil Palm Empty Fruit Bunch for the Production of Sugars. Biomass and Bioenergy. 36: 280-288.

Singh, R., S. Tiwari, M. Srivastava, & A. Shukla. 2013. Performance Study of Combined Microwave and Acid Pretreatment Method for Enhancing Enzymatic Digestibility of Rice Straw for Bioethanol Production. Plant Knowledge Journal. 2(4): 157-162.

Talebnia, F., D. Karakashev, & I. Angelidaki. 2010. Production of Bioethanol from Wheat Straw: An Overview on Pretreatment, Hydrolysis and Fermentation. Bioresource Technology. 101: 4744-4753.

Tan, L., Y. Yu, X. Li, J. Zhao, Y. Qu, Y. M. Choo, & S. K. Loh. 2013. Pretreatment of Empty Fruit Bunch From Oil Palm for Fuel Ethanol Production and Proposed Biorefinery Process. Bioresource Technology. 135: 275–282.

TAPPI. 1997. TAPPI Test Method T 204 cm-97 Solvent Extractives of Wood and Pulp. TAPPI. 1997. TAPPI Test Method T 264 cm-97 Preparation of Wood for Chemical Analysis. TAPPI. 2002. TAPPI Test Method T 211 om-02 Ash in Wood, Pulp, Paper, and Paperboard:

Combustion at 525ºC. Templeton, D and T. Ehrman. 1995. National Renewable Energy Laboratory. LAP 003. p.

2. United States Department of Agriculture (USDA). 2014. Indonesia Oilseed and Products

Annual. Available online: http://gain.fas.usda.gov/Recent%20GAIN%20Publications/Oilseeds%20and%20Products%20Annual_Jakarta_Indonesia_3-17-2014.pdf (accessed on 8th August 2015).

Uppugundla, N., L. da C. Sousa, S. P. S. Chundawat, X. Yu, B. Simmons, S. Singh, X. Gao, R. Kumar, C. E. Wyman, B. E. Dale, & V. Balan. 2014. A Comparative Study of Ethanol Production using Dilute Acid, Ionic Liquid and AFEX™ Pretreated Corn Stover. Biotechnology for Biofuels. 7: 72(1-14).

Wang, D.. P. Ai, L. Yu, Z. Tan, Y. Zhang. 2015. Comparing the Hydrolysis and Biogas Production Performance of Alkali and Acid Pretreatments of Rice Straw using Two-stage Anaerobic Fermentation. Biosystem Engineering. 132: 47-55.

Williams, D.L & D. B. Hodge. 2014. Impacts of Delignification and Hot Water Pretreatment on the Water Induced Cell Wall Swelling Behavior of Grasses and Its Relation to Cellulolytic Enzyme Hydrolysis and Binding. Cellulose. 21:221–235.

Wise, L.E., M. Murphy, & A.A D’Addieco. 1946. Chlorite Holocellulose, Its Fractionation and Bearing on Summative Wood Analysis and Studies on Hemicellulose. Paper Trade Journal. 122: 11-19.

Yunus, R., S. F. Salleh, N. Abdullah, D. R. A. Biak. 2010. Effect of ultrasonic pre-treatment on Low Temperature Acid Hydrolysis of Oil Palm Empty Fruit Bunch. Bioresource Technology. 101: 9792-9796.

Zainudin, M.H.M., M. A. Hassan, U. K. M. Shah, N. Abdullah, M. Tokura, H. Yasueda, Y. Shirai, K. Sakai, & A. S. Baharuddin. 2014. Bacterial Community Structure And Biochemical Changes Associated With Composting of Lignocellulosic Oil Palm Empty Fruit Bunch. BioResources. 9(1): 316-335.

Zhang, A. P., C. F. Liu, R. C. Sun, & J. Xie. 2013. Extraction, Purification, and Characterization of Lignin Fraction from Sugarcane Bagasse. BioResource. 8(2): 1604-1614.

Page 62: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

56

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Zhou, S., Q. Yang, & T. M. Runge. 2015. Ambient-Temperature Sulfuric Acid Pretreatment to Alter Structure and Improve Enzymatic Digestibility of Alfalfa Stems. Industrial Crops & Products. 70: 410-416.

Page 63: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

57

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 8.

ANATOMICAL PROPERTIES AND FIBER CHARACTERISTICS OF 2 AND 5 YEARS

PLATINUM TEAK WOOD

Danang Sudarwoko Adi*, Yusup Amin, Teguh Darmawan, Dwi Ajias P., Adik Bahanawan, Eka Lestari, Sudarmanto, Jayadi, Fazhar Akbar, Wahyu Dwianto

Research Center for Biomaterials-Indonesian Institute of Sciences, Cibinong Science

Center, Bogor, Indonesia *E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Teak wood(Tectona grandis L.f.) is one of the popular wood in Indonesia. Unfortunately, it has a long-rotation and trees harvested after 60 years of growth, hence this become a problem in satisfying the increasing demand from the market. Recently, LIPI has developed Platinum Teak - a fast-growing teak wood - by tissue culture method. It was expected to reduce the harvesting time. Due to limited information of the wood quality, the objective of this study is to investigate the basic properties, especially for anatomical and fiber properties. Platinum Teak wood, which were obtained from Cibinong Science Center with the age is 2 and 5 years, were used in this study. Fiber characteristic, macroscopic and microscopic properties were observed in this study. The results show that Platinum Teak has similar properties with conventional Teak wood. It has semi ring porous and growth ring boundaries. Heartwood and sapwood was clear, and tyloses also founded in the 5 years of Platinum Teak wood. Both of Platinum Teak woods were consists of juvenile wood and the trend of the fiber length was increased from the pith to the bark. Key words: Platinum Teak wood, anatomical properties, fiber characteristic

INTRODUCTION

Teak wood is one of the popular woods in Indonesia. It has not only high strength and durability but also a beautiful pattern [1; 2]. Unfortunately, this wood has a long live rotation which time to harvest is approximately 60 years. Therefore, stock of Teak wood is limited and its price is more expensive than others wood. Many efforts have been conducted to solve this problem, one is how to make shorter of cultivation time and shorten the rotation of this wood.

In addition, some researcher has been investigated to increased the utilization of plant genetic engineering with tissue culture for fulfill the demands of Teak wood. Recently, the utilization and development of this technique has been increasing which was produce the clones will growth rapidly and similar properties with their parent trees. LIPI has developed Platinum Teak through this method. Unfortunately, Platinum Teak wood has limited information about its basic properties. Other problem is similarities properties with their parent also unknown. Generally, knowing character of the wood can use by identification technique through its anatomical properties. It is very important for wood distinguishing features. It could be used also to know similarities between clone and its parent. Hence, the objective of this study is to investigate the basic properties of this wood, i.e. anatomical and fiber properties.

MATERIALS AND METHODS

This study was used Platinum Teak wood which obtained from Cibinong Science Center with the age is 2 and 5 years. Fiber characteristic, macroscopic and microscopic

Page 64: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

58

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Platinum Teak Wood 2 th

(25x)

Platinum teak Wood 5 th

(25x)

Teak (community

forest) (25x)

Conventional Teak (25x)

properties were observed in this study. Fiber dimension and derived values were determined using maceration by Franklin’s method [3; 4]. Parameters for macroscopic feature were color, grain, texture, etc [5]. The anatomical properties, which were observed and reported, referred to the International Association of Wood Anatomist (IAWA) standard [6]. As a comparator, 9 years Teak wood from community forest also were investigated in this study and also some conventional Teak wood from Bogor (preparative sample from FORDA, Ministry of Forestry, Indonesia).

RESULTS AND DISCUSSIONS

Figure 1-12 shows anatomical properties of Platinum Teak wood, Teak wood from

community forest, and conventional Teak wood.

Anatomical properties of Platinum Teak wood weren’t significant difference with the

conventional Teak [1] both in macroscopic and microscopic feature, as well as Teak from community forest. General feature like growth ring boundaries is distinct. Early and late wood cell was clear different, and there were also marginal parenchyma (terminal/initial). Heartwood and sapwood were clearly in the Platinum Teak (5 years), and the proportion of heartwood was higher than Teakwood from community forest. It has specific smell also in Platinum Teak (5 years) and there were tyloses in the vessel cell. Vessel cell: semi ring porous, solitary, simple perforation plates, inter vessel pit alternate. Vessel diameter about 136.16 µm (98.88-161.43 µm) and 12 per mm2 for 2 years Platinum Teak, 132.48 µm

1 2 3 4

5 6 7 8

9 1

0

1

1

1

2

Fig. 1-4 cross section of Teak wood; Fig. 5-8 radial section of Teak wood; Fig. 9-12 tangential

section of Teak wood

Page 65: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

59

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

600

800

1000

1200

1400

pith 1 2 3 4 5 6 7 8

Fib

er L

ength

m)

radial (cm)

Teak (com. for)

Platinum Teak (5 y)

600

700

800

900

1000

Pith 0.5 1 1.5

Basal

Center

Top

(102.71-198.58 µm) and 12 per mm2 for 5 years Platinum Teak, 165.85 µm (124.59-233.44 µm) and 11 per mm2 for Teak (com. forest), 153.95 µm (126.9-182.89 µm) and 6 per mm2 for Conventional Teak. Rays: 4-10 seriate for 5 Platinum Teak and Conventional Teak, and 1-3 seriate for 2 years Platinum Teak and Teak wood (community forest). Rays: width (w), height (h)

2 years Platinum Teak (w 24.32-46.26 µm, h 236.13-786.24 µm) 5 years Platinum Teak (w 51.42-67.62 µm, h 347.7256-971.207 µm) Teak Wood (com. for.) (w 35.14-57.88 µm, h 413.52-981.62 µm) Conventional Teak Wood (w 35.14-64.86 µm, h 252.28-785.12 µm)

Figure 13-14 shows macroscopic properties of Platinum Teak wood. The figures shows that there were tyloses in the vessel of Platinum teak wood. Figure 17 and 18 showed that fiber length increased from pith to the bark. It was indicates that both Platinum Teak wood consist of juvenile wood. Juvenile cell is cell that formed in the early of the growth [7; 8]. These cells are unstable, thin, and short. Since many properties of wood are affected by cell ages, Platinum Teak wood may has low of dimensional stability.

CONCLUSIONS

Anatomical properties were needed to identify the character of the wood. The result shows that there weren’t significant difference in the term of macroscopic and microscopic feature from Platinum Teak compare with other Teak wood, such as from community forest and conventional wood. Increasing fiber length from the pith to the bark indicates that the woods were consists of Juvenile wood.

13 14 15 16

Fig. 13-14 Macroscopic properties of 2 years Platinum Teak wood; Fig. 15-16 Macroscopic

properties of 5 years Platinum Teak wood

Fig. 17 Fiber length of 5 y Platinum and

community forest Teak

Fig. 18 Fiber length of 2 y Platinum Teak

wood

Page 66: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

60

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

REFERENCES

[1]Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, and K. Kadir. Atlas kayu Indonesia, Jilid I (Indonesian Wood Atlas, Volume I). Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. 1989 [2] Hidayati, F., F. Ishiguri, K. Iizuka, K. Makino, J. Tanabe, S.N. Marsoem, M. Na’iem, S. Yokota, N. Yoshizawa. 2013. Growth chracteristics, stress-wave, and pilodyn penetration of 15 clones of 12-years-old Tectona grandis trees planted at two different sites in Indonesia. J Wood Sci (2013) 59: 249-254 [3] Dodd, R. S. 1986. Fiber Length Measurements System: A Review and Modification of an Existing Method. Wood and Fiber Science 18(2), 1986: 276-287 [4] Silitonga, T.,R. Siagiaan, dan A. Nurahman, 1972. Cara Pengukuran Serat Kayu di Lembaga Penelitian Hasil Hutan . Publikasi Khusus LPHH, Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian, Bogor. [5] Mandang dan Pandit, 2002. Pedoman identifikasi jenis kayu di lapangan. Yayasan Prosea, Bogor dan Pusat Diklat Pegawai SDM Kehutanan, Bogor. [6] Wheeler, E.A., P. Baas and E. Gasson. 1989. IAWA [7] Panshin, A.J dan de Zeeuw, C. (1980). Textbook of Wood Technology. 4th Ed. Structure, identification, properties, and uses of the commercial woods of the United States and Canada, Mc Graw-Hill Book Company, New York. [8] Bowyer, J. L., Haygreen, J. G., Schmulsky, R. (2003). Forest Products and Wood Science: An Introduction. 4th Ed. Iowa State Press. USA.

Page 67: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

61

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 9.

KAJIAN KOMPONEN KIMIA JATI PLATINUM BERDASARKAN UMUR POHON (II)

Dwi Ajias Pramasari *, Eka Lestari, Adik Bahanawan, Danang Sudarwoko Adi,

Yusup Amin, Teguh Darmawan, Wahyu Dwianto

Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor 16911 *E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Jati Platinum merupakan salah satu jenis kayu jati cepat tumbuh hasil kultur jaringan

yang dikembangkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Walaupun cepat tumbuh, jati ini diharapkan akan memiliki sifat kekuatan dan keawetan alami yang mendekati jati konvensional. Namun, keterbatasan informasi mengenai sifat-sifat dasar Jati Platinum tersebut, termasuk komponen kimia kayunya masih menjadi kendala terhadap prospek pemanfaatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan komponen kimia kayu Jati Platinum berdasarkan umur pohon atau pertumbuhannya. Pada tahun sebelumnya telah dilakukan analisa kimia Jati Platinum yang berumur 2 dan 5 tahun. Analisa tahun ini dilanjutkan untuk umur 3 dan 8 tahun. Sampel kayu yang digunakan berasal dari 2 lokasi di kawasan Cibinong Science Center. Metode pengukuran komponen kimia kayu menggunakan standar Mokushitsu Kagaku Jikken Manual. Dari hasil pengujian didapatkan nilai kadar komponen kimia kayu jati platinum umur 2 sampai 8 tahun yaitu kadar zat ekstraktif terlarut alkohol benzena (0,66-3,16%), kadar lignin (29,01-31,25%), kadar holoselulosa (70,58-74,94%), dan kadar α-selulosa (41,67-49,19%). Kata kunci : cepat tumbuh, Jati Platinum, komponen kimia, umur pohon

PENDAHULUAN

Dalam industri kayu, komponen kimia kayu merupakan hal penting untuk diketahui

karena menjadi salah satu dasar dalam menentukan pemanfaatan dan cara pengolahan kayu. Menurut Pettersen (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi komponen kimia kayu meliputi bagian kayu (akar, batang, dan cabang), jenis kayu, tempat tumbuh, iklim, dan kondisi tanah. Selain itu, faktor genetik dan umur pohon juga berpengaruh terhadap komponen kimia kayu (Berrocal et al., 2004).

Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu yang paling banyak digunakan di kalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan kayu jati memiliki sifat yang kuat, awet, stabil, mudah dikerjakan, dan memiliki corak yang unik (Wahyudi et al., 2014). Menurut Dwiprabowo (2008), pasokan kayu jati Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah cenderung menurun sejak tahun 2001. Faktor utama penyebabnya yaitu daur hidup jati yang panjang yaitu antara 50 – 80 tahun, sehingga tidak dapat mencukupi permintaan kayu jati setiap tahunnya yang mengalami peningkatan.

Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan kayu jati tersebut yaitu dengan memanfaatkan metode kultur jaringan dan radiasi. Tanaman jati yang diperoleh dari metode ini diharapkan bisa tumbuh lebih cepat sehingga memiliki umur tebang yang lebih pendek yaitu 20 – 30 tahun (Lukmandaru dan Takahashi, 2008). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah mengembangkan varietas jati unggul dari indukan Jati Berlian melalui kultur jaringan dan radiasi yang dikenal dengan nama Jati Platinum (Kusumaputri, 2012). Paparan sinar radiasi yang diberikan pada tunas jati menyebabkan tanaman mengalami mutasi genetik, sehingga terjadi perbedaan sifat dari tanaman Jati

Page 68: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

62

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Platinum dengan indukannya. Selain itu, jati tersebut juga mengalami percepatan pertumbuhan serta masa panennya, hal ini diduga akan berpengaruh pada kualitas kayu. Di lain pihak, Jati Platinum ini diharapkan masih memiliki kekuatan dan keawetan alami yang mendekati jati konvensional.

Keterbatasan informasi sifat dasar kayu termasuk komponen kimia dari Jati Platinum menjadi kendala terhadap prospek pemanfaatannya. Faktor yang digunakan untuk melihat perubahan komponen kimia pada penelitian ini yaitu faktor dari umur pohon. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan analisa kimia Jati Platinum yang berumur 2 dan 5 tahun, hasilnya menunjukkan bahwa komponen kimia kayu yang dipengaruhi oleh umur pohon adalah zat ekstraktif terlarut dalam alkohol-benzena dan holoselulosa (Pramasari et al., 2014). Agar terlihat pola perubahan dari komponen kimia terhadap umur pohon, maka penelitian dilanjutkan pada tahun ini menggunakan umur pohon 3 dan 8 tahun.

BAHAN DAN METODE

Bahan baku kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu Jati Platinum berumur 3 dan 8 tahun serta Jati Rakyat berumur 10 tahun sebagai pembanding. Kayu Jati Platinum diperoleh dari tebangan tegakan Jati Platinum di kawasan Cibinong Science Center, Bogor, sedangkan Jati Rakyat diperoleh dari daerah Serpong. Bagian yang digunakan dari masing-masing kayu yaitu bagian pangkal kayu. Pangkal kayu umur 3 tahun diukur sepanjang satu meter dari tanah, sedangkan pangkal kayu yang digunakan untuk umur 8 tahun diukur 50 – 60 cm dari 20 cm bagian kayu yang tersisa pada tanah. Pengambilan sampel pangkal kayu dapat dilihat pada Gambar 1. Sampel yang digunakan untuk pengujian kimia diambil berupa lempengan selebar 5 cm pada sampel pangkal masing-masing umur. Kemudian masing-masing kayu dicacah, digiling, dan diayak sehingga didapatkan serbuk kayu berukuran 40 – 60 mesh. Sampel serbuk kayu dikering udarakan kemudian disimpan di plastik untuk selanjutnya digunakan untuk pengujian kimia. Pengujian komponen kimia kayu dilakukan dengan menggunakan standar Mokushitsu Kagaku Jiken Manual (2000). Parameter yang diamati adalah kadar ekstraktif terlarut dalam

alkohol-benzena, lignin, holoselulosa, dan -selulosa.

Gambar 1. Pengambilan sampel bahan baku Jati Platinum (a) 3 tahun, (b) 8 tahun

HASIL DAN PEMBAHASAN

Zat Ekstraktif Larut Alkohol Benzena

Hasil kadar zat ekstraktif larut dalam alkohol benzena pada Jati Platinum usia 3 dan 8 tahun mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan Lukmandaru (2009) yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif cenderung naik seiring dengan umur pohon. Apabila

(a) (b)

Page 69: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

63

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

digabungkan dengan hasil penelitian Jati Platinum 2 dan 5 tahun, kecenderungan perubahan kadar zat ekstraktif larut dalam alkohol benzena baik penurunan atau peningkatannya tidak terlihat dengan jelas (Gambar 2). Salah satu penyebabnya, kemungkinan dikarenakan klon umur 2 dan 5 tahun lebih baik dibandingkan dengan klon 3 dan 8 tahun. Namun, keterbatasan informasi mengenai klon dari indukan Jati Platinum hasil radiasi dan kultur jaringan menjadi penghambat untuk menyama-ratakan hasil yang didapatkan dengan hasil kelarutan alkohol benzena pada umumnya.

Keterangan: A : Jati KU 1 dari KPH Purwakarta (Bedmansyah, 2000) B : Jati Rakyat 10 tahun

Gambar 2. Grafik kadar zat ekstraktif terlarut alkohol benzena

Kelarutan zat ekstraktif dalam alkohol benzena berdasarkan klasifikasi komponen

kimia kayu daun lebar Indonesia (Departemen Pertanian, 1967) pada Jati Platinum umur 2 dan 3 tahun termasuk kelas komponen rendah karena kurang dari 2 %, sedangkan pada umur 5 dan 8 tahun termasuk kelas komponen sedang. Zat ekstraktif pada umur 2 dan 3 tahun masih rendah dikarenakan kandungan ekstraktifnya cenderung lebih sederhana dan masih tergolong kayu muda yang didominasi oleh kayu gubal serta belum terbentuk kayu teras (Lukmandaru dan Sayudha, 2012). Kasmani (2011) menyatakan bahwa dengan meningkatnya umur akan mengakibatkan peningkatan bagian kayu teras yang mempengaruhi kandungan ekstraktif dari kayu akibat meningkatnya persentase sel parenkim yang mati dimana sel-sel tersebut mengeluarkan senyawa organik.

Jika dibandingkan dengan jati konvesional, Jati Platinum umur 5 tahun memiliki kandungan ekstraktif menyamai Jati KU 1 dari KPH Purwakarta dan melebihi Jati Rakyat umur 10 tahun. Hal ini diduga pada Jati Platinum 5 tahun besaran kandungan senyawa-senyawa terlarut dalam alkohol benzena yang bersifat senyawa polar maupun non polar menyerupai senyawa yang terkandung pada Jati KU 1 dari KPH Purwakarta. Salah satu senyawa tersebut yaitu senyawa tektokuinon yang merupakan zat aktif terhadap rayap dan berpengaruh terhadap sifat keawetan atau ketahanan cuaca alaminya yang diduga banyak terkandung pada Jati Platinum 5 tahun. Hal ini tentunya berpengaruh pada rencana pemanfaatan masing-masing Jati Platinum. Lukmandaru (2009) menyarankan bahwa nilai kadar ekstraktif yang lebih rendah akan lebih menguntungkan pada produk-produk perekatan.

Lignin

Lignin merupakan suatu polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi, yang tersusun atas karbon, hidrogen, dan oksigen. Lignin berfungsi memberi ketegaran pada kayu sehingga kayu dapat tegak dan kaku, serta merupakan penentu sifat-sifat kayu (Haygreen dan Browyer, 1996). Hasil pengujian kadar lignin pada kayu Jati Platinum antara

Page 70: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

64

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

usia 3 dan 8 tahun mengalami sedikit penurunan namun tidak berbeda secara signifikan. Apabila digabungkan dengan hasil penelitian Jati Platinum 2 dan 5 tahun, kecenderungan perubahan kadar lignin cenderung seragam atau nilainya tidak berbeda signifikan. Walaupun, cenderung meningkat dari umur 2 ke 5 tahun, kemudian menurun kembali pada umur 8 tahun (Gambar 3). Pada umumnya seiring dengan penambahan umur pada kayu terutama kayu dewasa akan menyebabkan kadar lignin meningkat (Kasmani et al., 2011). Penurunan kadar lignin yang terjadi pada Jati Platinum 8 tahun diduga dikarenakan sifat dinding sel pada kayu tersebut mendekati sifat dinding sel kayu dewasa. Menurut Ona et al., (1997), kadar lignin pada dinding sel kayu muda akan lebih banyak dibandingkan kayu dewasa, yang secara alamiah dengan pertambahan umur dan pertambahan volume kayu dewasa akan menyebabkan persentase kadar lignin menurun.

Keterangan: A : Jati KU 1 dari KPH Purwakarta (Bedmansyah, 2000) B : Jati Rakyat 10 tahun

Gambar 3. Grafik kadar lignin

Menurut klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia (Departemen Pertanian, 1967) kadar lignin Kayu Jati Platinum dari beberapa umur yang diteliti termasuk kelas komponen sedang (18 – 33%). Nilai ini lebih tinggi daripada kandungan lignin pada Jati KU 1 dari KPH Purwakarta dan lebih rendah dari Jati Rakyat umur 10 tahun. Meskipun memiliki kelas komponen sedang, namun mendekati pada batas minimal tinggi yaitu 33%. Pemanfaatan akhir produk dari kayu Jati dilihat kandungan lignin disarankan tidak dipergunakan sebagai bahan baku pulp, dikarenakan lignin sangat berpengaruh pada proses pembuatan pulp, semakin tinggi kadar lignin maka akan memberikan kekakuan pada serat pulp sehingga memiliki kekuatan yang rendah dan kualitas permukaan yang jelek. Selain itu, dalam jangka lama kertas akan berubah warna menjadi kuning (Haygreen dan Browyer 1996). Namun, saran pemanfaatan dengan melihat prosentase kandungan lignin ini dapat dipergunakan sebagai bahan konstruksi seperti kayu lapis, papan buatan dan sebagainya, karena menghasilkan kekuatan mekanik kayu yang baik (Supartini, 2009).

Holoselulosa

Kadar holoselulosa pada Jati Platinum 3 dan 8 tahun yang didapatkan menunjukkan terjadi penurunan kadar holoselulosa sejalan dengan pertambahan umur kayu. Jika digabungkan dengan penelitian Jati Platinum sebelumnya (2 dan 5 tahun) terlihat bahwa terjadi kecenderungan penurunan kadar holoselulosa (Gambar 4). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bedmansyah (2000) dan Mauludi (2000) yang menunjukkan penurunan persentase holoselulosa seiring dengan pertambahan umur kayu jati.

Page 71: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

65

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Keterangan: A : Jati KU 1 dari KPH Purwakarta (Bedmansyah, 2000) B : Jati Rakyat 10 tahun

Gambar 4. Grafik kadar holoselulosa

Holoselulosa merupakan produk yang dihasilkan setelah lignin dihilangkan dari kayu, maka holoselulosa mewakili jumlah karbohidrat baik selulosa dan hemiselulosa (Fengel dan Wegener, 1995). Penurunan kandungan holoselulosa pada penelitian ini diduga karena terjadi penurunan kandungan hemiselulosa pada kayu jati. Menurut klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia (Departemen Pertanian, 1967) Kayu Jati Platinum dari beberapa umur yang diteliti tergolong kelompok kayu dengan kandungan holoselulosa tinggi yaitu di atas 60%. Kadar holoselulosa yang tinggi mengindikasikan bahwa rendemen pulp yang diperoleh dari proses pemasakan kayu akan tinggi juga (Pasaribu et al., 2007).

Dibandingkan dengan jati konvensional, kadar holoselulosa untuk kayu Jati Platinum cenderung di bawah Jati Rakyat 10 tahun. Namun berbeda hasilnya apabila dibandingkan dengan jati KU 1 dari KPH Purwakarta dimana kadar holoselulosa yang sedikit lebih rendah dibandingkan jati KU 1 dari KPH Purwakarta hanya Jati Platinum 8 tahun. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa kandungan holoselulosa pada Jati Platinum mendekati jati konvensional dan diduga akan semakin rendah nilai kadar holoselulosa pada umur Jati Platinum 10 tahun.

-Selulosa

Kadar -selulosa kayu Jati Platinum umur 3 dan 8 tahun menunjukkan terjadi penurunan, hasil yang sama ditunjukkan apabila digabungkan dengan Jati Platinum umur

2 dan 5 tahun terjadi penurunan kadar -selulosa (Gambar 5). Walaupun persentase penurunan antar umur tidak dengan besaran nilai yang sama. Hal ini berbeda dengan

penelitian yang dilakukan Bedmansyah (2000) dan Mauludi (2000) dimana kadar -selulosa mengalami peningkatan sejalan dengan bertambahnya umur pohon. Perbedaan ini terjadi diduga karena Jati Platinum merupakan jati hasil kultur jaringan dan radiasi sehingga tidak diketahui masing-masing klon dari indukan yang digunakan dalam pengembangan Jati Platinum ini. Oleh karena itu nilai yang dihasilkan agak berbeda

dengan pola pada umumnya untuk kadar -selulosa berdasarkan umur pohon.

Analisis -selulosa sering digunakan sebagai ukuran kadar selulosa murni dalam

kayu, namun sebenarnya -selulosa masih mengandung gula seperti mannan dan glukomanan yang tahan terhadap alkali (Achmadi, 1990), sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut terkait kadar selulosa murni untuk Jati Platinum, agar dipastikan pola selulosa

yang dihasilkan terhadap umur mirip dengan kadar -selulosa yang dihasilkan atau berbeda.

Page 72: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

66

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Keterangan: A : Jati KU 1 dari KPH Purwakarta (Bedmansyah, 2000) B : Jati Rakyat 10 tahun

Gambar 5. Grafik kadar -selulosa Menurut klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia (Departemen Pertanian,

1967) Kayu Jati Platinum umur 2 dan 3 tahun memiliki kadar -selulosa yang dikatergorikan tinggi dan umur 5 dan 8 tahun katergori sedang. Rendemen pulp dan kertas yang diperoleh dapat diperkirakan dari jumlah selulosa ini. Apabila kategori tinggi maka jumlah rendemen pulp dan kertas yang dihasilkan juga tinggi, berlaku juga untuk kategori sedang (Supartini, 2009). Menurut Kasmani et al., (2011), pertambahan umur pohon berpengaruh terhadap penebalan dinding sel dari serat kayu yang mengakibatkan peningkatan persentase selulosa. Kondisi ini akan memberikan pengaruh yang baik dalam produksi pulp.

Dibandingkan dengan jati konvensional, kadar -selulosa untuk kayu Jati Platinum

cenderung di bawah Jati Rakyat 10 tahun kecuali Jati Platinum umur 2 tahun. Namun, -selulosa Jati Platinum seluruh umur pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan jati KU 1 dari KPH Purwakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa Jati Platinum memiliki nilai yang mendekati jati konvensional dari kandungan selulosa, sehingga pemanfaatan akhir dari kayu jati platinum dapat dipertimbangkan sebagaimana jati konvensional.

KESIMPULAN

Terjadi perubahan komponen kimia Jati Platinum pada umur 2 sampai 8 tahun

khususnya komponen holoselulosa dan -selulosa, yaitu cenderung mengalami penurunan. Dibandingkan dengan jati konvensional dan jati cepat tumbuh lain, kadar

holoselulosa dan -selulosa Jati Platinum lebih tinggi dari Jati KU 1 KPH Purwakarta, tetapi lebih rendah dan mendekati Jati Rakyat umur 10 tahun. Berdasarkan hasil tersebut dapat direkomendasikan bahwa kayu Jati Platinum dapat dimanfaatkan sebagaimana pemanfaatan pada kayu jati konvensional.

Page 73: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

67

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai oleh DIPA 2015 Pusat Penelitian Biomaterial, LIPI. Ucapan terima kasih kami berikan kepada Sudarmanto, Jayadi, Ahmad Syahrir, Fazhar dan Asri Kurnia Sari atas bantuan teknis dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Suminar. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.

Bedmansyah. 2000. Komponen Kimia Kayu Jati (Tectona grandis L. f.) pada Berbagai Kelas Umur dari KPH Purwakarta. Skripsi, Fakultas Kehutanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Berrocal, A., J. Baeza, J. Rodriguez, M. Espinosa, J. Freer. 2004. Effect of Tree Age on Variation of Pinus Radiata D. Don Chemical Composition. J.Chil.Chem. Soc. 49 (3): 251-256. Doi. 10.4067/S0717-97072004000300012.

Departemen Pertanian. 1967. Vedemacum Kehutanan Indonesia. Jakarta: Balai Penjelidikan Kehutanan.

Dwiprabowo, H. 2008. Kajian Pasokan Kayu Perkakas di Propinsi Jawa Tengah dan DIY. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 5 (3) : 203 – 215.

Fengel, D. dan G. Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Terjemahan Harjono Sastrohamijoyo. Yogyakarta : Gajah mada University Press.

Haygreen, J. G. dan J. L. Browyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu (terj. Sutjipto, A. H.) Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kasmani, J.E., Nemati, M., Samariha, A., Chitsazi, H., Mohammade, N.S., Nosrati, H. 2011. Studying The Effect of The Age in Eucalyptus camaldulensis Species on Wood Chemical Compounds Used in Pulping Process. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. 11(6): 854-856.

Kusumaputri, S. 2012. Bangsawan Bongsor. Majalah Trubus. 510: 60 – 61. Lukmandaru, G. 2009. Sifat Kimia dan Warna Kayu Teras Jati pada Tiga Umur Berbeda.

J.Tropical Wood Science and Technology 7(1): 1-7. Lukmandaru, G. and K. Takahashi. 2008. Variation In The Natural Termite Resistance Of

Teak (Tectona Grandis Linn. Fil) Wood As A Function of Tree Age. Ann. For. Sci 65: 708p1-708p8.

Lukmandaru, G. dan Sayudha, I.G.N.D. 2012. Komposisi Ekstraktif pada Kayu Jati juvenil. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XIV, Yogyakarta.

Mauludi, A.S. 2000. Komponen Kimia Kayu Jati(Tectona grandis L.f.) pada Berbagai Kelas Umur dari KPH Saradan. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Mokushitsu Kagaku Jiken Manual. 2000. Japan Wood Research Society Publisher. Ona, T., T. Sonada, K. Itoh & M. Shibata. 1997. Relationship of lignin content lignin

monomeric composition and hemicelluloses composition in the same trunk sought by their within tree variations in eucalyptus camaldulnsis and E. globulus. J. Holzforshung. 51 :394-404.

Pasaribu, G., B. Sipayung, G. Pari. 2007. Analisis Komponen Kimia Empat Jenis Kayu Asal Sumatera Utara . J. Penelitian Hasil Hutan 25(4): 327-333.

Pettersen, Roger. 1984. Chemical Composition of Wood. The Chemistry of Solid Wood. American Chemical Society. Washington D.C.

Pramasari, D.A., I. Wahyuni, D.S. Adi, Y. Amin, T. Darmawan, & W. Dwianto. 2014. Effect of Age on Chemical Component of Platinum Teak Wood – A Fast Growing Teak Wood from LIPI. Proceedings of The 6th International Symposium of IWoRS. p. 211 – 216.

Supartini. 2009. Komponen Kimia Kayu Meranti Kuning (Shorea macrobalanos). J. Penelitian Dipterokarpa 3(2): 43-50.

Page 74: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

68

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Wahyudi, I., T. Priadi, & I.S. Rahayu. 2014. Karakteristik dan Sifat-Sifat Dasar Kayu Jati Unggul Umur 4 dan 5 Tahun Asal Jawa Barat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). 19 (1): 50 – 56.

Page 75: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

69

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 10.

KARAKTERISTIK KAYU JABON TERPADATKAN DENGAN PRAPERLAKUAN

PENGUKUSAN

Yusup Amin*1, Teguh Darmawan1, Imam Wahyudi2

1 Pusat Penelitian Biomaterial – LIPI, Cibinong 2 Dept. Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor

ABSTRAK

Prinsip dasar proses pembuatan kayu kompresi/terpadatkan dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: (1) pelunakan (softening); (2) deformasi (deformation); dan (3) fiksasi (fixation). Kayu harus mengalami pelunakan terlebih dahulu, dan selanjutnya akan mengalami tahap deformasi pada saat pengempaan/pengepresan. Pra-perlakuan dengan cara pengukusan (steaming) sebelum kayu dikempa panas diharapkan dapat membantu proses pelunakan dan deformasi kayu, serta memperbaiki karakteristik kayu kompresi yang dihasilkan. Kayu jabon (Anthocephalus cadamba) berukuran 10cm (L) x 5cm (T) x 2cm (R) dikempa (T:

170C) pada arah radial (R) dengan target pemadatan 50% dari ketebalan awal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan kayu yang dipadatkan meningkat 59,5% - 86,5% dari kerapatan awal. Produk kayu kompresi yang dihasilkan masih belum mencapai fiksasi permanen karena nilai Recovery of Set (RS)-nya masih cukup tinggi: 57,44% (60 menit); 66,16% (120 menit); dan 74,56% (kontrol). Kata kunci: kayu kompresi, jabon, pra-perlakuan, pengukusan, recovery of set

PENDAHULUAN

Beragamnya jenis kayu akan memberikan perbedaan pada kualitas yang diperoleh dari kayu tersebut. Namun demikian, pada dasarnya sifat dan kualitas kayu tidak hanya tergantung pada jenisnya saja, melainkan juga pada perlakuan yang diberikan (Pramana, 2000; Amin, 2003). Berbagai usaha dalam rangka meningkatkan kualitas kayu dan efisiensi pemanfaatannya telah banyak dilakukan, antara lain dengan cara peningkatan sifat fisik-mekanik kayu. Menurut Sulistyono (2002), salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sifat kayu adalah melalui teknik pengepresan (wood densifying by compression). Teknik densifikasi kayu merupakan teknik pengempaan/pengepresan kayu utuh (solid) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu (kerapatan, kekerasan dan kekuatan). Pemadatan kayu dengan cara pengempaan (compression) dapat memodifikasi sifat-sifat kayu dibawah kondisi tanpa merusak struktur sel kayu (Stamm, 1964).Teknik ini dapat diterapkan pada jenis-jenis kayu cepat tumbuh yang pada umumnya berkualitas rendah (BJ rendah) melalui peningkatan kerapatannya.

Produk kayu yang dipadatkan dikenal dengan istilah kayu terpadatkan ‘densified wood ’ (Sulystiono et al., 2001; 2002) atau kayu kompresi ‘compressed wood ’ (Amin et al., 2007). Produk pemadatan kayu solid pertama kali diperkenalkan di Jerman pada awal tahun 1930-an (Murhofiq, 2000). Produk tersebut dikenal dengan nama Lignostone, sedangkan di Amerika Serikat produk yang serupa dikenal dengan istilah Staypak, yaitu berupa kayu hasil pemadatan dengan perlakuan panas. Penggunaan produk kayu kompresi antara untuk pemintal tenun, kumparan, kayu pemukul, baling-baling, produk furnitur dan lantai kayu (Murhofik, 2000).

Pada prinsipnya proses pembuatan kayu kompresi dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: (1) pelunakan (softening); (2) deformasi (deformation); dan (3) fiksasi (fixation).

Page 76: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

70

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Pemadatan kayu dipengaruhi oleh plastisitas kayu, sehingga proses plastisisasi dan pemadatan yang sesuai akan menghasilkan produk kayu kompresi yang berkualitas baik. Plastisisasi merupakan perubahan karakteristik kayu sehingga menjadi lebih lunak dan lebih mudah untuk dibentuk (dipadatkan atau dilengkungkan) dengan energi yang lebih rendah serta tingkat kerusakan yang relatif kecil (Bodig dan Jayne, 1982; dalam Sulistyono, 2001). Proses plastisisasi kayu dapat dilakukan dengan teknik pelunakan sebelum kayu dikempa melalui perlakuan pendahuluan (pre-treatment), ataupun pada saat proses pengempaan. Kayu harus mengalami pelunakan terlebih dahulu, dan selanjutnya akan mengalami tahap deformasi pada saat pengepresan. Proses pelunakan dapat dilakukan secara fisik maupun kimia. Pelunakan secara fisik dapat terjadi bila tiga komponen (air dalam kayu, suhu tinggi dan tekanan) tersedia secara bersamaan. Secara fisik, pelunakan kayu dapat dilakukan dengan cara perendaman dalam air dingin atau panas, perebusan, pengukusan, ataupun melalui pemanasan dalam oven / radiasi gelombang mikro (microwave). Sedangkan secara kimia, proses pelunakan dapat dilakukan dengan cara treatment menggunakan bahan kimia tetentu (misal: NaOH).

Pengukusan merupakan proses pemberian uap panas pada susu tertentu. Standard American Wood Preserver Associaton dalam Barnes (1981) menyarankan agar pemberian suhu pada proses pengukusan tidak lebih dari 6 jam. Lamanya waktu pengukusan yang cocok untuk berbagai ukuran dan jenis kayu sampai saat ini belum pernah ditetapkan, tetapi proses pengukusan yang berlebihan harus dihindari karena hal ini dapat marusak struktur kayu. Proses plastisisasi dengan cara pemberian panas pada kayu agathis dapat dicapai pada suhu diatas 120ºC (Sulistyono, 2001). Pada kayu jabon, karena merupakan kayu

berkerapatan rendah maka pra-perlakuan pengukusan diatas air mendidih (suhu 90-100 ºC) diduga cukup untuk menyebabkan kayu menjadi lunak (plastis), sehingga mempermudah proses pengempaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pra-perlakuan pengukusan pada proses pemadatan kayu jabon terhadap karakteristik produk kayu kompresi yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokomposit Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Anatomi Kayu Puslitbang Hasil Hutan Gunung Batu – Bogor, dan Laboratorium Modifikasi dan Rekayasa Biomaterial UPT Balitbang Biomaterial LIPI-Cibinong. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu jabon (Anthocephalus cadamba ) yang berasal dari hutan rakyat di kawasan Cianjur, Jawa Barat.

Persiapan contoh uji dilakukan dengan membuat potongan kayu (papan tangensial) berukuran 10cm (L) x 5cm (T) x 2cm (R). Sampel kecil ukuran 2cm x 2cm x 2cm dipersiapkan masing-masing untuk pengujian stress-strain, pengukuran kadar air dan kerapatan kayu sebelum dipadatkan. Pengukuran kadar air (KA) dan kerapatan kayu dilakukan dengan metode gravimetri.

Sebelum dilakukan pengepresan, contoh uji dikeringkan di dalam oven selama 24

jam pada suhu 1032C dan diukur dimensi tebal-nya (To). Kemudian contoh uji tersebut dibagi menjadi kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol tanpa pengkusan (C); pengukusan 60 menit (S60); dan kelompok pengukusan 120 menit (S120). Pengukusan

)3

(cm VKO

(gr) BKOKerapatan

%100xBKO

BKO -BA AirKadar dimana,

BA : Berat Awal

BKO : Berat Kering Oven

Page 77: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

71

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

dilakukan menggunakan panci berisi air mendidih (T: 90100C) selama 60 menit dan 120 menit. Masing-masing kelompok perlakuan dilakukan sebanyak 3 ulangan.

Pengeprersan dilakukan pada arah radial (R) menggunakan alat hot press (T: 170 ºC; t: 3 menit) dengan target pemadatan 50% dari ketebalan awal.

Sebelum dipres Setelah dipres

Gambar 1. Skema Proses Pengempaan Kayu Kayu yang telah dipres/dikempa selanjutnya dikeringkan dalam oven selama 24 jam

pada suhu 1032C dan diukur dimensi tebal-nya (Tc). Kemudian dilakukan pengujian pemulihan tebal dengan cara merendam di dalam air pada suhu ruang selama 24 jam, dan dilanjutkan dengan perebusan dalam mendidih selama 30 menit. Kayu yang telah direbus

dikeringkan lagi dalam oven (1032C; 24 jam) kemudian diukur kembali tebal setelah recovery (Tr). Besarnya pemulihan tebal ’recovery of set’ (RS) diukur dengan persamaan:

RS = [(Tr – Tc) / (To – Tc)] x 100%

Untuk mengetahui perubahan struktur anatomi kayu jabon setelah mengalami proses pemadatan, maka dilakukan pula pengamatan terhadap hasil foto mikroskop dengan perbesaran 10 kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kerapatan dan Recovery of Set (RS) Kayu Jabon Terpadatkan

Salah satu tujuan pemadatan kayu adalah untuk meningkatkan kerapatan kayu tersebut. Karakteristik dan sifat awal kayu sebelum dipadatkan sangat berpengaruh terhadap pertimbangan pemilihan perlakuan yang akan diterapkan dalam proses pemadatan kayu, misalnya pertimbangan mengenai target pemadatan dan perlakuan

pendahuluan. Kayu dengan BJ/kerapatan rendah ( 0,4) umunya lebih mudah dipadatkan daripada kayu dengan BJ lebih tinggi.

Selain berdasarkan pertimbangan Bj kayu awal, target pemadatan yang akan diterapkan pada suatu jenis kayu didasarkan pula pada karakteristik kurva strees-strain dari kayu tersebut. Kurva stress-strain merupakan diagram atau kurva yang menunjukkan seberapa besar deformasi/regangan (strain/stroke) yang terjadi pada suatu material (benda) akibat beban gaya (stress) yang bekerja pada benda tersebut. Berdasarkan hasil pengujian stress-strain terhadap sampel kayu jabon pada kondisi kering udara (Gambar 2), maka dapat diketahui bahwa daerah plastis kayu jabon berkisar pada strain/stroke 0,8-11 mm, yang artinya pembebanan sampai terjadi deformasi/stroke 11 mm dari ketebaln 20 mm (tebal awal kayu) belum menyebabkan kayu tersebut mengalami kerusakan (masih dalam daerah plastis), sehingga target pemadatan 50% dari ketebalan awal (2 cm menjadi 1 cm) masih memungkinkan untuk diterapkan pada kayu jabon. Dengan target pamadatan 50% ini diharapkan dapat meningkatkan kerapatan kayu jabon minimalnya 50% dari kerapatan awal.

5 cm

2 cm 10 cm

P

1

cm

5 cm

10 cm

P

Page 78: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

72

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 2. Kurva stress-strain kayu jabon Tabel 1. Kerapatan dan RS kayu jabon setelah dipadatkan

No. sampel

Perlakuan

Do (gr/cm3)

Dc (gr/cm3)

To (mm)

Tc (mm)

Tr (mm)

RS (%)

1

kontrol 0.37 0.59

19.68 9.73 17.50 78.08

2 19.55 9.88 16.96 73.24

3 19.23 9.93 16.66 72.35

rata-rata 19.49 9.85 17.04 74.56

19

60 menit 0.37 0.69

19.80 9.78 15.53 57.41

20 19.79 9.23 16.15 65.51

21 19.70 10.30 14.94 49.39

rata-rata 19.76 9.77 15.54 57.44

25

120 menit 0.37 0.62

19.77 10.05 16.91 70.56

26 19.57 11.79 16.53 60.89

27 19.81 11.41 17.04 67.02

rata-rata 19.72 11.08 16.82 66.16

Keterangan: Do : Kerapatan kering oven sebelum dipadatkan To : Tebal kayu sebelum dipadatkan Dc : Kerapatan kering oven setelah dipadatkan Tc : Tebal kayu setelah dipadatkan Tr : Tebal kayu uji recovery

Jabon merupakan salah satu jenis kayu berkerapatan rendah (BJ rendah) yang saat ini mulai banyak dikenal oleh sebagian masyarakat karena pertumbuhanya yang cepat (fast growing species). Menurut Massijaya et al. (2010), kayu jabon (Anthocephalus cadamba) memiliki BJ 0,33 (segar) dan 0,41 (kering udara). Hadjib et al. (2010) menambahkan bahwa kayu jabon dalam kondisi kering udara memilki sifat mekanis: MOE (15000 kg/cm2); MOR (185 kg/cm2); kekerasan 105 kg/cm2 (ujung) dan 128 kg/cm2 (sisi); dan termasuk kelas

Strain-stroke

(mm)

Daerah Plastis

Page 79: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

73

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

kuat IV-V. Kayu dengan kerapatan/BJ rendah relatif lebih mudah untuk dipadatkan karena berdinding tipis sehingga kurang mampu menahan beban (Blomberg et al, 2006; dalam Darwis, 2008). Hasil pengujian kerapatan kayu jabon sebelum dan sesudah dipadatkan, serta besarnya nilai pemulihan tebal (RS) ditunjukkan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat ketahui bahwa kerapatan kayu jabon yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kerapatan 0,37 gr/cm3 (kering oven). Setelah dilakukan pemadatan 50% dari ketebalan 2cm menjadi 1cm, maka kerapatan kayu jabon tersebut mengalami peningkatan kerapatan rata-

rata sebesar 70,3 % (59,5 % 86,5%). Peningkatan kerapatan berbanding lurus dengan besarnya target pemadatan yang diterapkan (Amin et al., 2004), sehingga dapat dikatakan bahwa target atau tingkat pemadatan merupakan fungsi dari kerapatan/BJ kayu (Darwis, 2008). Kerapatan tertinggi dicapai pada pra-perlakuan pengukusan selama 60 menit. Kerapatan kayu jabon cenderung meningkat lebih tinggi pada kayu yang diberi pra-perlakuan pengukusan dibanding kayu uang tidak dikukus (control). Hal ini terjadi karena dengan pra-perlakuan pengukusan maka kayu cenderung lebih lunak sehingga lebih mudah terdeformasi (dipadatkan), dan mencapai target ketebalan yang diharapkan.

Penambahan waktu pengukusan tidak berpengaruh pada peningkatan kerapatan kayu jabon terpadatkan, bahkan sebaliknya cenderung menurunkan kerapatannya. Penurunan kerapatan pada pengkusan 120 menit diduga karena terdapat beberapa komponen kimia kayu (terutama zat ekstraktif) yang terdegradasi dan keluar dari dalam kayu akibat faktor panas selama proses pengukusan, sehingga mengurangi berat kayu. Selain itu, pada pengukusan 120 menit telah menyebabkan kondisi kayu jadi lebih porous, sehingga uap air yang diserap makin banyak dan kadar air kayu jadi makin tinggi. Pada konidisi kadar air yang cukup tinggi, maka akan berpengaruh terhadap proses pemadatan

dengan kempa panas. Perlakuan suhu kempa 170C selama 3 menit tidak berhasil mengeluarkan seluruh kandungan uap air dalam kayu yang dikukus 120 menit. Sehingga pada saat kayu dikeluarkan dari hot press, maka masih terdapat sejumlah uap air yang terjebak didalam kayu tersebut. Hal ini menyebabkan terdapat bagian kayu yang menggelembung (bentuk cembung) terutama pada bagian tengah, dan tidak dapat

mencapai target ketebalan (tebal 1cm). Dengan ketebalan lebih besar dari target yang diharapkan, maka volume kayu akan meningkat juga, sementara berat kayunya berkurang akibat terdegradasinya beberapa kompoen kimia kayu sehingga secara teoritis kerapatan kayu-nya pun berkurang. Lamanya pemanasan yang diberikan akan mempengaruhi besarnya pengurangan berat sampel. Semakin lama kayu dipanaskan, semakin tinggi pula penurunan beratnya (Dwianto et al., 1998).

Selama proses pengempaan, dinding sel kayu mengalami perubahan bentuk (deformasi) sampai mencapai target ketebalan yang ditentukan akibat adanya tekanan dari alat kempa. Stamm (1964) menjelaskan bahwa produk Staypak cenderung tidak mengembang lagi ketika pengempaan berlangsung pada suatu kondisi yang menyebabkan pelunakan lignin (flow) dan pelepasan tegangan dalam (internal stress). Dikatakan pula bahwa stabilitas dimensi yang optimum dapat dicapai dengan mengkombinasikan kadar air kayu, suhu, waktu pemanasan, serta besarnya tekanan kempa. Tetapi kombinasi perlakuan tersebut tidak dapat mencapai fikasi permanen dalam waktu yang singkat.

Pada hasil penelitian ini (Tabel 1), kayu yang dipadatkan dengan pra-perlakuan pengkusan maupun kontrol, semuanya belum berhasil mencapai tingkat fiksasi yang

permanen, yang ditunjukkan dengan masih tingginya nilai Recovery of Set (RS 50%). Hal ini diduga terjadi karena kombinasi suhu dan waktu pengempaan yang masih belum optimal. RS adalah nilai yang menyatakan besarnya pemulihan tebal kayu kompresi terhadap ketebalan awal yang dinyatakan dalam persen. Dwianto et al. (1997), fiksasi yang permanen pada pemadatan kayu dengan metode heat treatment (hot press), dapat dicapai dengan kombinasi perlakuan suhu 180ºC dan waktu pengempaan sekitar 20 jam. Pengempaan kayu pada suhu di atas 180ºC dapat menyebabkan terdegradasi-nya komponen hemiselulosa dan lignin di dalam dinding sel, sebagai akibatnya maka tegangan yang tersimpan dalam mikrofibril akan mengalami relaksasi (Dwianto et al., 1998). Pada

Page 80: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

74

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

kondisi seperti ini deformasi yang terjadi tidak kembali ke bentuk semula atau mengalami fiksasi yang permanen.

Pada penelitian ini, pra-perlakuan pengukusan terbukti mampu memperbaiki terjadinya pemulihan tebal (mengurangi RS), walaupun belum mencapai fiksasi yang permanen. Nilai RS terbaik dicapai pada pengukusan 60 menit (RS= 57,44%). Penelitian sebelumnya (Dwianto et al,. 2005) menyatakan bahwa perlakuan awal berupa perebusan dalam larutan NaOH 25% selama 1-3 jam dalam proses pembuatan kayu kompresi dapat mencapai fiksasi yang permanen (RS=0%), namun hal tersebut diikuti oleh terdegradasinya

komponen kimia kayu yang cukup tinggi (kehilangan berat 20%). Menguapnya sebagian dari komponen penyusun kayu ini menyebabkan kehilangan berat pada kayu kompresi. Amin dan Dwianto (2006) menambahkan bahwa pemadatan kayu randu dengan metode CSC, dalam kondisi kayu jenuh air dan dikempa dengan suhu 180oC selama 30 menit dapat dicapai nilai RS 9,6% . Dengan perlakuan panas (heat treatment) pelunakan hemiselulosa dan lignin pada kayu terjadi pada perlakuan suhu di atas 120ºC (Dwianto at al,. 1998). Hsu et al., (1988) menambahkan bahwa perlakuan uap panas (steam treatment) pada kayu dapat mengurangi tegangan dalam yang tersimpan di dinding sel. Selama proses pengepresan dengan perlakuan panas, lignin yang merupakan polimer berikatan silang (cross-link) akan melunak/mengalir dan mengisi ruang matriks di dalam kayu. Perlakuan panas ataupun uap panas pada kayu dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada ikatan hidrogen (-H) antar molekul-molekul di dalam matriks hemiselulosa-lignin. Sedangkan terdegradasinya hemiselulosa sebagai komponen utama yang berperan dalam pengikatan molekul air dapat mengurangi sifat higroskopis dinding sel pada kayu kompresi, sehingga memungkinkan terjadinya fiksasi yang permanen.

Perubahan Struktur Anatomi Kayu Jabon Akibat Pemadatan A B

D C

Gambar 3. Penampang melintang kayu jabon (10x): (A) sebelum dipadatkan; (B) pemadatan tanpa pengkusan; (C) pengukusan 60 menit;

(D) pengukusan 120 menit

Berdasarkan pengamatan mikroskopis, kayu jabon memilki cirri pori tata baur yang sebagian besar tersusun ganda radial, terdiri dari 2-3 pori. Menurut Martawijaya et al.

(1989), ukuran diameter pori kayu jabon berkisar antara 130-220 , dengan frekuensi 2-5

pori per mm2. Jari jari uniseriet, tinggi (580 ) dan lebar (44 ), dengan frekuensi 2-3 per

Page 81: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

75

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

mm. Fenomena peningkatan kerapatan kayu akibat proses pemadatan dengan cara pengempaan secara langsung berhubungan dengan perubahan bentuk sel-sel penyusun kayu tersebut. Sel-sel kayu terpadatkan cenderung memipih sehingga mengurangi volume rongga, yang sekaligus mengurangi volume kayunya, sementara berat kayu tersebut cenderung tetap. Hal ini berdampak pada meningkatnya kerapatan kayu. Semakin tinggi tingkat pemadatan yang diterapkan, maka volume sel yang terpadatkan akan semakin besar sehingga volume kayu semakin berkurang. Kayu jabon yang dipadatkan mengalami perubahan karekteristik anatominya, baik secara makroskpis maupun mikroskopis.

Secara makroskopis, kayu jabon yang dipadatkan dengan pengempaan suhu

170C mengalami perubagah warna menjadi lebih gelap, teksturnya jadi lebih halus dengan permukaan yang mengkilap dan licin. Sedangkan secara mikroskopis, terjadi perubahan struktur anatomi terutama pada sel pembuluh (pori) dan jari-jari. Dengan dilakukannya pengempaan maka bentuk pori kayu jabon jadi memipih serta terjadi penekukan pada bagian jari-jari kayu-nya (Gambar 3). Sel pembuluh cenderung lebih mudah memipih daripada sel serabut di sekitarnya (Darwis, 2008). Hal ini dikarenakan sel pembuluh memiliki ukuran rongga sel yang lebih besar dan dinding sel yang lebih tipis dibanding sel serabut. Memipihnya sel pembuluh kayu jabon yang dipadatkan mengakibatkan jari-jari kayu mengalami penekukan mengikuti arah deformasi yang terjadi (Gambar 3 B,C dan D)

A B C Gambar 4. Gradasi tingkat pemipihan dan warna kayu jabon terpadatkan (10x):

(A) pemadatan tanpa pengkusan; (B) pengukusan 60 menit; (C) pengukusan 120 menit

Pemadatan dengan cara pengempaan pada suhu 170C selama 3 menit menunjukkan adanya gradasi tingkat pemipihan antara bagian kedua permukaan kayu dengan bagian tengahnya (Gambar 4). Pada bagian permukaan kayu yang dipadatkan intensitas pemipihan sel pembuluh lebih tinggi daripada bagian tengah, sehingga secara mikroskpois bagian permukaan kayu tampak lebih padat daripada bagian tengahnya. Pada bagian permukaan kayu yang dipadatkan tidak tampak adanya sel pembuluh (pori) yang terbuka, sementara makin ke tengah maka makin tampak adanya pori yang masih terbuka, walaupun bentuknya tidak bundar lagi (mengalami pemipihan). Intensitas pemipihan yang paling tinggi terjadi pada kayu yang dipadatkan dengan pre-perlakuan pengukusan 60 menit (Gambar 4B), hampir kalihatan rapat tanpa adanya rongga sel pembuluh. Sementara pada sampel tanpa pengkusan dan pengukusan 120 menit (Gambar 4A dan 4C) tampak masih banyak rongga sel yang berbentuk pipih. Hal ini berhubungan dengan tingkat kerapatan yang terjadi pada kayu tersebut. Selain menunjukkan adanya degradasi tingkat pemipihan, tampak pula adanya gradasi warna antar bagian permukaan dengan bagian tengah. Bagian permukaan kayu yang padatkan dengan pengempaan tampak lebih gelap (cokla tua) daripada bagian tengahnya. Hal ini diduga terjadi karena pengaruh faktor kadar air dalam kayu dan faktor panas suhu kempa. Deformasi (pemipihan) bentuk rongga sel

Tengah

Permukaan Permukaan Permukaan

Tengah Tengah

Page 82: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

76

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

pada kayu terpadatkan belum mencapai fiksasi yang permanen, sehingga memungkinkan untuk kembali ke bentuk semula bila terkena pengaruh kelembaban atau air (direndam).

KESIMPULAN

Pra-perlakuan pengukusan pada pemdatan kayu jabon berhasil meningkatkan kerapatan kayu tersebut. Peningkatan kerapatan tertinggi sebesar 86,5% terjadi pada pra-

perlakuan pengukusan 60 menit (0,37 gr/cm3 0,69 gr/cm3). Pra-perlakuan pengukusan juga berpengaruh positif terhadap nilai pemulihan tebal kayu jabon yan dipadatkan (menurunkan RS). RS terbaik dicapai pada pra-perlakuan pengkusan 60 menit. Namun demikian, pra-perlakuan pengukusan yang diterapkan pada kayu jabon belum menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap tercapainya fiksasi yang permanen (RS > 50%). Pemadatan terhadap kayu jabon menyebabkan terjadinya deformasi struktur anatomi (gradasi pemipihan rongga sel pembuluh/pori) dan gradasi perubahan warna kayu.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Y. 2003. Pengaruh pengukusan (steaming) dan pemadatan terhadap sifat fisis mekanis kayu sawit (Elaeis guineensis Jacq). [Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti. Jatinangor.

Amin, Y., Dwianto W., Prianto A.H. Sifat mekanik kayu kompresi. Prosiding Seminar Nasional VII MAPEKI, Makasar 5-6 Agustus 2004

Amin Y. dan Dwianto W. 2006. Pengaruh suhu dan tekanan uap air terhadap fiksasi kayu kompresi dengan menggunakan close system compression. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol. 4 No. 2 (55 – 60). Bogor.

Amin Y; Darmawan T., Wahyuni I., Dwianto W. 2007. Pengaruh Perendaman dalam NaOH terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan Menggunakan Close System Copmression. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia X, Pontianak.

Barnes H.M. 1981. Effect of steaming temperature and CCA retention on mechanical properties of sothern pine. Foerst Product Journal. Vol. 35

Darwis A. 2008. Fiksasi kayu agathis dan gmelina terpadatkan pada arah radial serta observasi struktur anatominya. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor

Dwianto W., Inoue M., Norimoto, M. 1997. Fixation of Compressive Deformation of Wood by Heat Treatment. Mokuzai Gakkaishi 43 (4), 303-309.

Dwianto W., Morooka, T., Norimoto, M. 1998. The Compressive Stress Relaxation of Wood during Heat Treatment. Mokuzai Gakkaishi 44 (6), 403-409.

Dwianto, W., Wahyuni, I., Amin, Y., Darmawan, T. 2005. Influence of NaOH Pretreatment on Fixation of Compressed Wood. Preceedings of the 6th International Wood Science Symposium, LIPI-JSPS Core University Program in the Field of Science. Bali – Indonesia.

Hadjib N., Massijaya M.Y., Hadi Y.S. 2010. Address technical gaps in producing bio-composite product: Identify suitable wood species and evaluate mechanical properties. Paper presented on Project Workshop CFC/ITTO: Utilization of small diameter logs from sustainable source for bio-composite products. Bogor, Indonesia ;December 9-10, 2010.

Hsu W.E., Schwald W., Schwald J., Shield J.A.1988. Wood Sci. Tech. 22, 281-289 Martawijaya A., Kartasujana I., Mandang I.Y., Prawira S.A., Kadir K. 1989. Atlas Kayu

Indpnsesia Jilid II. Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. Bogor. Massijaya M.Y., Hadi Y.S., Tambunan B.,Hadjib N., Hermawan D. 2010. Utilization of small

diameter logs from sustainable source for bio-composite products. Paper presented

Page 83: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

77

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

on Project Workshop CFC/ITTO: Utilization of small diameter logs from sustainable source for bio-composite products. Bogor, Indonesia ;December 9-10, 2010.

Murhofiq S. 2000. Pengaruh pemadatan arah radial disertai suhu tinggi terhadap sifat fisis dan mekanis kayu agatis (Agathis lorantifolia Salisb.) dan sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen). [Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Pramana J. 2000. Kualitas kayu – Realita pemakaian dan kemungkinan peningkatannya. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Bogor.

Sulistyono. 2001. Studi rekayasa teknis, sifat fisis, sifat mekanis dan keterandalan konstruksi kayu kayu agatis (Agathis lorantifolia Salisb.) terpadatkan. [Tesis]. Program Pasacasarjana IPB, Bogor.

Sulistyono et al,.2002. Sifat fisik dan mekanik kayu agatis (Agathis lorantifolia Salisb.) terpadatkan dalam konstruksi bangunan kayu. Puslitbang Hasil Hutan Bogor.

Stamm, A.J. 1964. Wood and Cellulose Science. The Ronald Kempas Company. 343-358.

Page 84: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

78

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Judul dan Penanggung Jawab Kegiatan (Kode Laporan Teknik):

1. Pengembangan vertical boards skala industri untuk mewujudkan lingkungan hijau / Mohamad Gopar, ST. (LT 11 – LT 12)

2. Pemanfaatan total batang bambu untuk produk bambu komposit / Prof. Dr. Subyakto (LT_13)

3. Produksi enzim hidrolisis fortifikasi pakan hewan monogastrik, digastrik pakan ikan / Dr. I Made Sudiana, M.Sc. (LT 14)

4. Pembuatan kit diagnostik untuk deteksi dini kanker serviks dan condyloma berbasis molekuler / Dr. Sukma Nuswantara (LT 15)

5. Pengembangan suplemen protein (antioksidan) berbasis ganggang laut (arthrospira) / Dr. Dwi Susilaningsih (LT 16)

6. Pengembangan domestikasi oposum layang (Petaurus breviceps) guna pemanfaatan berkelanjutan / Dr. Wartika Rosa Farida (LT 17 – LT 18)

7. Produksi biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen / Arief Heru P, M.Si (LT 19 – LT 21)

8. Produksi starter dalam bentuk powder untuk pupuk organik / Nur Laili, M.Si (LT 22) 9. Produksi dan diseminasi bibit jati double platinum dan bibit jati double artenua /

Erwin Al Hafiizh, ST, M.Si (LT 23 – LT 24) 10. Pengembangan turbin angin dengan blade berbahan baku kayu / Dr. Wahyu

Dwianto (LT 25)

BAB II. LAPORAN TEKNIK

SUB-KEGIATAN PRODUK KOMERSIAL

Page 85: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

79

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 11.

FEASIBILITY ANALYSIS OF COMPOSITES INDUSTRY BASED ON COCONUT COIR

FOR VERTICAL GARDEN MEDIA

Muhamad Gopar1*, Kurnia Wiji Prasetiyo1 and Muhammad Adhe Putra2

1 Research Centre for Biomaterial LIPI Jl.Raya Bogor Km. 46 Cibinong Bogor

2 Departement of Resource and Economics Analysis Faculty of Ecomomics and Management IPB

*E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Indonesia is one of the largest coconut crop country in the world. Coconut coir has a weight of 35% from the total weight of the coconut tree. This fact can not be denied that the amount of coconut production has created a number of coconut coir that not widely used. To utilize the coconut coir, one of promising ways is to process the coconut coir into the planting medium. Based on the previous research, it is known that planting media from coconut coir produced has met the mechanical requirements such as strength and stiffness. Results of this research could be one of the drivers for the development of fiber composites industry. Therefore, it is needed to analyze whether the use of coconut coir into the planting media could provide benefit for the environment and society. If the results of the analysis is feasible, it is expected from stakeholders to realize that this industry is reasonable to be run and developed. Keywords: Coconut coir, Composites industry, Feasibility analysis, Vertical garden media

INTRODUCTION

Vertical planting media based on natural fibers are suitable as a solution to get around

the limited green space and open land in the urban land. The sides of the blank in some corners of the city such as the walls of buildings, narrow area, pedestrian path, interior mall, office building, the roof of high-rise buildings, residential areas, housing even billboards advertising can be filled with planting media vertical well planted with ornamental and horticultural crops or vegetables. Vertical gardens (also referred to as green walls, green façade sand living walls) are an important factor in improving urban environments (Ling, 2012). Loh (2008) defines vertical gardens as: (i). Trellis systems: where plants are rooted in containers and grown up trellises. (ii). Felt systems: where plants are rooted in pockets in a felt substrate, which is in turn attached to a waterproof backing and held up by a supporting structure. (iii). Panel systems: where panels with plants and substrate are pre grown, after which they are brought to site and fitted onto a supporting structure. Beauty, comfort and financial were gains derived from the use of vertical planting media in the urban areas. A concept that is very precise in answering the limited green space and open land in the urban area. The effect of global warming and climate change are now increasingly emboldened urban green infrastructure growing in a green city concept. This becomes a great opportunity and good prospects for vertical growing media products. Supported also that it is more environmentally friendly products that could appeal to consumers to wear compared to other growing media products are generally not environmentally friendly.

Page 86: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

80

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Business in the field of vertical garden does not require large capital. This business opportunity is still wide open with the growth of urban areas is rapidly, increasing the availability of land in the midst of the narrow green. The business market of vertical garden is very large. Ranging from office buildings, both private and governmental to private homes. Vertical garden business is the most profitable business and is easy to start and serve as the main business. Business property in the manufacture of vertical garden has an average value of making amounted 2.1 million to 2.4 million per square meter.

As a natural fiber and agricultural by-product, coconut coir is considered as a potential raw material to produce composite panels for vertical planting media. The module manufacturing technology of vertical planting media from coconut coir fiber is a technology package of low density biocomposites with a specific design. Product that produced from this technology can be used as vertical growing media.

Therefore, it is needed to feasibility analyze whether the use of coconut coir into the planting media could provide benefit for the environment and society. The objective of the analysis is to confirm the feasibility of applying coconut coir fiber as raw material for vertical garden media in composites industry. If the results of the analysis is feasible, it is expected from stakeholders to realize that this industry is reasonable to be run and developed.

MATERIALS AND METHODS

The method used in this feasibility analysis is descriptive method by using quantitative data. Descriptive research includes collecting data to test hypotheses or answer questions about the current status of the study subjects (Kuncoro, M., 2009). The feasibility study of the financial aspects can be researched on the assessment of cash flow from an investment that includes investment cost, production cost, financial structure, sales estimate, estimate of production cost and cash flow. Fulfillment of financial feasibility criteria is done with a simple calculation which consists of the analysis Break Even Point (BEP), Net Present Value (NPV), Incremental Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Ratio B/C) and Pay Back Period (PBP) (Suliyanto, 2010). Data of variable cost and fixed cost are used to determine the total cost production or total cost.

The purpose of this feasibility study is to determine whether the composite industry based on coconut coir for vertical garden media is feasible or not to run as well as how big the benefits to be obtained over a certain period of the investment period. Expected results of the financial analysis of the composites industry for vertical planting media could encourage farmers and entrepreneurs willing to run the business.

RESULTS AND DISCUSSION

Feasibility analysis of the development of the coconut fiber-based composites industry for vertical planting media consisted of capital investment estimate, estimate cost of production, revenue estimate, preparation of cash flow and the determination of investment criteria.

From the calculation, the investment needed in the industrial development of coconut fiber-based composites for vertical planting media i.e. Rp.380.000.000 consists of investment production equipment and supporting equipment.

Operating cost is the cost which determined by the amount of product was produced. Operational cost consists of fixed cost, variable and semi-variable cost. Component of fixed cost and semi-variable cost for composite production consists of expenses for electricity, gas, water and labor cost as well as travel expenses in marketing, taking raw materials and promotional cost in marketing these products through exhibitions, workshops and others are listed in Table 1 and Table 2. Variable cost consist of raw material cost, supporting materials, the cost of stationery and overhead cost are listed in Table 2. In Table 3 is shown the design for semi-variable cost.

Page 87: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

81

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Table 1. The design of fixed costs

No Cost type Cost per month (Rp) Cost per year (Rp) Discription

1 Electricity 415.800 4.989.600 Using for mixing and blower machine

2 Water 200.000 2.400.000 For use as much as 10 m3 per month

3 Gas 1.000.000 12.000.000 For use of 10 kg per day

4 Transportation 2.000.000 24.000.000 To transport 2 trips per month

5 Promotion 2.000.000 24.000.000

Introduce the product to public through advertising,exhibition etc.

Table 2. The design of semi-variable costs

No Job discription Quantity Salary/month (Rp) Salary/month (Rp)

1 Technician for vertical planting media production

5 8.000.000 96.000.000

2 Security 2 2.000.000 24.000.000

3 Cleaning service 2 1.600.000 19.200.000

Quantity 139.200.000

Table 3. The design of variable costs

No. Material type Quantity Unit Cost/month (Rp) Cost/year (Rp)

1 Coconut fiber 1000 kg 28.000.000 336.000.000 2 PF adhesive 1500 kg 75.000.000 900.000.000 3 4

Office tools Overhead cost

unit 200.000 2.000.000

2.400.000 24.000.000

Quantity 1.262.400.000

The funds needed to run the activities of the industrial development of coconut fiber-

based composites for vertical planting media other than the machinery investment of production equipment is start-up capital in the form of operational cost for 1 year i.e. Rp.1.468.989.600. The total cost of the investment and working capital needed i.e. Rp. 1.848.989.600.

Based on the assumptions and technical parameters have been determined previously, the production capacity of the vertical planting media per month as big as 500 sheets, with the selling price i.e. Rp.300.000 per sheet. Determining the selling price calculated on the production cost of Rp.244.900.00 plus the advantages of the cost production as listed in Table 4. From the results of the calculation of the vertical planting media sales will be obtained revenue Rp.150.000.000 per month.

Table 4. The selling price of vertical planting media per sheet

No. Specification Quantity (Rp)

1 Price of main production/sheet after tax 244.900 2 Margin (22%) 55.100

Total 300.000

Selling price 300.000

Discount factor or also known as Marginal Average Revenue Return (MARR) used by 15%. Value of discount factor can also use the bank loan interest rate of 15% (Wibowo, 2006).

Page 88: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

82

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

From the results of the study note that the potential market for vertical planting media is still wide open, so it is assumed vertical planting media from coconut fiber per month were sold in the market as many as 500 sheets. Table 5. The projection of production and sales from vertical planting media

Detail Production

output/month Price per sheet Income/month

Vertical planting media

500 Rp 300.000 Rp 150.000.000

Total Gross Income/Year Rp 1.800.000.000

The projected of profit or loss carried out to determine the level of profitability of the

planned investment activities. Calculation of profit or loss derived from the difference between revenues and expenditures. Calculation of profit or loss from the investment plan of composites industry based on coconut coir for media vertical planting media is able to generate a net profit of Rp. 27.550.000 per month. When 25% of the profits entered as a reserve fund such as license and maintenance of assets, so the existing advantages are: 75% x Rp. 27.550.000 = Rp. 20.662.500 per month

The break even point (BEP) is a point of total production or sales must be done so that the costs can be covered again or where the profit received value is zero. From the calculation, BEP from vertical planting media industry will be obtained at:

Rp. 380.000.000/(Rp. 17.907.500/month) 18.4 month

The development of composites industry based on coconut fiber for vertical planting media require a picture related to the cash flow consists of cash inflows and cash out. Components of cash inflows consist of revenue from the sale of products, while cash out consists of investing costs, operating costs, repayment of bank credit loans, and income tax. To determine the feasibility of the investment plan, be required calculation of NPV, IRR, PBP and the ratio of B/C. NPV analysis is done to see how the value of investments by considering changes in currency values. NPV is the difference between the present value of benefit and cost. IRR is basically a method to calculate the interest rate that equates the present value of all cash inflows with the cash flow out of an investment project. IRR used to calculate the actual rate of return.

Tabel 6. The investment criteria of vertical planting media industry for 5 years

Year Cash flow advantage (Rp)

1 -48.989.600 2 331.010.400 3 331.010.400 4 331.010.400 5 331.010.400 NPV after discount factor 15% 779.163.417 IRR (%) 92 BEP/PP 18.4

month Decision Feasible

From the calculations, the NPV is positive > 0, i.e. Rp.779.163.417. This value indicates

that the investment made until the next 5 years will be obtained benefit net rated current of Rp.779.163.417. IRR of 92%, which means that these businesses can recoup up to 92% interest rate per year. The payback period of the vertical planting media industry enterprises is less than the life of a project that is over 18.4 months. From the investment criteria above, the investment plan of composites industry based on coconut fiber for vertical planting media is feasible.

Page 89: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

83

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

CONCLUSION

The results of Net Present Value (NPV) is positive i.e. Rp.779.163.417. The value of Internal Rate of Return (IRR) is 92% which indicated that the rate of return greater than the interest rate of specified bank. Payback Period for 18.4 months if the planned assumptions are met, so that in terms of financial investment plan for the composites industry based on coconut coir for vertical planting media is feasible. Sensitivity analysis showed that the 5% decline in revenue and 5% increase in operating cost does not affect the feasibility of the project. The results of investment criteria above conclude that the operations of coconut fiber composite industry for vertical planting media feasible during the project in accordance with the assumptions and technical parameters specified.

REFERENCES

Kuncoro, M. Ekonomika Indonesia: Dinamika Lingkungan Bisnis di Tengah Krisis Global, UPP STIM YKPN, Yogyakarta (2009)

Ling, C.Z. and Ghaffarian, H.A. Greenscaping buildings: amplification of vertical greening towards approaching sustainable urban structures. J Creative Sustain Archit Built Environ; 2:13-22 (2012)

Loh S. Living wall sea way to green the built environment. BEDP Environ Des Guide; 1(TEC 26):1-7 (2008)

Suliyanto. Teknik Proyeksi Bisnis. Yogyakarta: ANDI (2008) Wibowo, A. Mengukur risiko dan atraktivitas investasi infrastruktur di Indonesia. Jurnal

Teknik Sipil 13: 123-132 (2006)

Page 90: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

84

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 12.

ANALISIS FINANSIAL PENGEMBANGAN INDUSTRI KOMPOSIT SERAT SABUT

KELAPA SEBAGAI MEDIA TANAM VERTIKAL

Kurnia Wiji Prasetiyo1*, Meti Ekayani2 dan Muhammad Adhe Putra2

1Pusat Penelitian Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong Bogor

2Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen IPB *E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Coconut coir is by-product of the coconut-based industries are not much used. Basically, coconut coir has a huge potential for further processing into a multipurpose product which could have more economic value. Utilization of coconut coir is still not optimalized. One potential use of coconut coir is made as composite for vertical planting media. This is caused by dominated polymer synthetic as basic material for planting media which unenvironmentally friendly and relatively expensive. Therefore, the use of coconut coir as basic material for vertical planting media could an alternative solution in diversifying utilization of coconut coir into economical value of products. Coconut coir processing into vertical planting media could be developed into an industrial composites. In the development of the composites industry for the vertical planting media, it is necessary to study the financial feasibility. Financial analysis is needed to determine whether the composite industry is feasible or not to run as well as how big the benefits to be obtained over a certain period of the investment period. Expected results of the financial analysis of the composites industry for vertical planting media could encourage farmers and entrepreneurs willing to run the business. Keywords: coconut coir, composites industry, financial analysis, vertical planting media

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang subur dan kaya akan hasil perkebunan kelapa.

Melimpahnya sumberdaya kelapa di Indonesia juga berdampak pada banyaknya produk samping kelapa seperti sabut kelapa. Diperkirakan saat ini perkebunan kelapa di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar dan produksi kelapa mencapai 15 miliar butir/tahun. Sampai saat ini, pemanfaatan serat kelapa masih relatif terbatas, yaitu digunakan untuk bahan pengisi matras, jok, kasur, atau dibakar di dalam incinerator. Kurangnya diversifikasi pemanfaatan sabut kelapa mengakibatkan pencemaran serta menjadikan sabut kelapa menjadi barang yang belum memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Akan tetapi jika pemanfaatan sabut kelapa menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi tentu menjadi solusi. Salah satu pemanfaatan sabut kelapa ialah dengan mengelolanya menjadi vertical garden, yakni media tanam vertikal yang tidak memerlukan lahan luas dalam aplikasinya. Komponen utama dalam sistem tanam vertikal adalah jenis tanaman, media tanam dan sistem modul.

Selain itu, area lingkungan hijau di daerah perkotaan semakin berkurang sebagai akibat dari perkembangan pemukiman yang sangat pesat. Keberadaan ruang terbuka hijau di tengah perkotaan menjadi sesuatu yang langka. Sebagai contoh Kota Jakarta, ruang terbuka hijau pada tahun 1983 berkisar 32.185,9 hektar (50,2%) dan pada tahun 2002 menjadi berkisar 9.430,6 hektar (14.7%). Dalam kurun waktu 19 tahun turun berkisar 22.755,3 hektar (-159%) dari luas yang ada. Sebagian besar digunakan sebagai areal

Page 91: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

85

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

urban, dimana urban mengalami kenaikan berkisar 24.411 hektar (727%) (Suwargana, 2005). Dengan semakin minimnnya lahan terbuka hijau khususnya di daerah perkotaan, menjadikan media tanam vertikal solusi dalam memberikan lingkungan asri untuk masyarakat dengan menjadikannya sebagai media tanam tumbuhan hijau.

Salah satu daerah di Bogor yang mulai mengembangkan media tanam vertikal ini adalah Cibinong. Direncanakan akan didirikan industri media tanam vertikal dalam skala besar. Sehingga diharapkan mampu menyediakan permintaan media tanam vertikal, khususnya permintaan dalam negeri.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat studi kelayakan finansial pengembangan industri komposit media tanam vertikal berbahan dasar sabut kelapa. Studi kelayakan finansial sangat diperlukan bagi para investor yang selaku pemrakarsa dan pemerintah yang memberikan fasilitas tata peraturan hukum dan perundang-undangan, yang tentunya kepentingan semuanya itu berbeda satu sama lainya. Investor berkepentingan dalam rangka untuk mengetahui tingkat keuntungan dari investasi sedangkan pemerintah lebih menitik-beratkan manfaat dari investasi tersebut secara makro baik bagi perekonomian, pemerataan kesempatan kerja dan lain-lain.

METODOLOGI Penelitian dan pembuatan analisis kelayakan finansial dilakukan di Pusat Penelitian

Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong Bogor serta Kampus Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Bahan yang digunakan dalam kajian kelayakan finansial industri media tanam vertikal adalah bahan bahan produksi antara lain sabut kelapa dan perekat phenol formaldehida (PF). Sedangkan mesin peralatan produksi yang digunakan antara lain: mesin kempa panas, blower, mesin pencampur/drum mixer, molding/cetakan, gas dan sebagainya. Bahan dan peralatan tersebut dibutuhkan untuk percobaan proses produksi agar dapat diperoleh data dan asumsi yang nantinya digunakan dalam perhitungan kelayakan finansial.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah percobaan proses produksi media tanam vertikal berbahan sabut kelapa untuk mengetahui kebutuhan bahan baku, mesin peralatan, kebutuhan listrik, air dan faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam proses produksi. Percobaan proses produksi dilakukan dengan pembuatan modul media tanam dari hasil pengujian terbaik dengan menggunakan cetakan berprofil untuk menempatkan pupuk kompos. Pengempaan panas pada komposit berperekat PF dilakukan pada suhu 140oC dengan tekanan kempa efektif sebesar 0,8 N/mm2 dengan target kerapatan 0,3-0,4 g/cm3. Dengan ketebalan sampel adalah 3,7 cm, target ketebalan dikendalikan dengan meletakkan stop bar, 3,7 cm. Ukuran modul 116 cm x 47 cm x 3,7 cm. Setelah pengempaan panas, modul dikondisikan pada suhu ruang selama 14 hari sehingga diperoleh kesetimbangan kadar air dengan lingkungan. Dari percobaan proses produksi dapat diketahui informasi dan data-data produksi yang dibutuhkan dalam perhitungan kelayakan finansial. Informasi yang dibutuhkan antara lain biaya modal/investasi, biaya produksi, biaya tetap, biaya variabel, biaya semi variabel, serta data data lain yang terkait dengan kajian kelayakan finansial pengembangan usaha produksi komposit media tanam vertikal.

Adapun tahapan dalam melakukan analisa kelayakan finansial usaha pengembangan produksi komposit media tanam vertikal dari sabut kelapa mie adalah sebagai berikut:

1. biaya investasi 2. biaya produksi 3. struktur finansial 4. estimasi Penjualan 5. estimasi Biaya Produksi 6. cash Flow

Page 92: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

86

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

7. pemenuhan kriteria kelayakan finansial : Analisa Break Even Point (BEP), Net Present Value NPV), IncrementalRate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Rasio B/C) dan Pay Back Period (PBP) Data yang diperoleh diolah dalam bentuk tabulasi, kemudian dianalisis secara

matematis dengan merujuk pada aspek-aspek perhitungan analisis kelayakan finansial, yaitu Net Present Value (NPV), Payback Period, Incremental Rate of Return (IRR) (Kusuma et al., 2012). Data biaya variabel dan biaya tetap digunakan untuk mengetahui total biaya produksi atau total cost, dengan perhitungan :

TC = VC + FC (1) Dimana : TC = Total Cost VC = Variabel Cost FC = FixedCost

Penetapan asumsi dilakukan untuk membantu pengolahan data, penetapan Harga Pokok Produksi (HPP) dan pembuatan cashflow. Asumsi yang ditetapkan meliputi jumlah hari kerja karyawan, harga jual produk, peningkatan kapasitas produksi yang diharapkan, peningkatan harga bahan baku, umur proyek (Idham, 2010). Perhitungan biaya yang dilakukan meliputi biaya investasi, biaya variabel-semi variabel, biaya tetap, dan biaya lainnya. Biaya investasi adalah sejumlah modal atau biaya yang digunakan untuk memulai usaha atau mengembangkan usaha (Pujawan, 2004). Biaya variabel merupakan biaya yang rutin dikeluarkan setiap dilakukan usaha produksi dimana besarnya tergantung pada jumlah produk yang ingin diproduksi (Ardana, 2008). Biaya tetap adalah jenis biaya yang lain yang rutin dikeluarkan oleh perusahaan selama perusahaan melakukan kegiatan produksi, akan tetapi besarnya biaya tetap tidak tergantung pada kapasitas produksi.

Perhitungan HPP kapasitas terpasang atau aktual, dilakukan melalui penetapan harga jual dikalangan produsen dan perhitungan penerimaan (revenue) melalui persamaan berikut ini (Idham, 2010):

Harga Pokok Produksi = TC/Kapasitas Aktual (2) Revenue = Harga Jual x Total produksi (3)

Kriteria investasi yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial antara lain (Idham,

2010; De Gamo, 1984; Blank, 2002; Pujawan, 2004) : i. Analisis Net Present Value dilakukan untuk melihat bagaimana nilai investasi dengan

mempertimbangkan perubahan nilai mata uang. NPV merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari keuntungan dan biaya (Sudong, 2002).

NPV= ∑ (𝑩𝒕−𝑪𝒕

(𝟏+𝒓)𝒃)𝒏

𝒕=𝟏

Dimana : NPV = nilai bersih sekarang R = tingkat diskonto N = banyaknya tahun yang terlibat dalam jangka waktu ekonomi T = tahun yang bertalian dengan kegiatan, yang ditulis dalam bentuk 0,1,2,…,n Bt = manfaat dalam tahun Ct =biaya dalam tahun

Proyek akan layak untuk dilaksanakan jika nilai NPV≥0 artinya, nilai manfaat yang diterima lebih besar dari biaya. Semakin besar NPV-nya, maka proyek semakin baik. ii. IRR tingkat investasi adalah tingkat suku bunga yang berlaku (discountrate) yang menunjukkan nilai sekarang (NPV) sama dengan jumlah keseluruhan investasi proyek. Persamaan IRR ditunjukkan dengan :

Page 93: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

87

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

𝑰𝑹𝑹 = ∑ (𝑩𝒕 + 𝑪𝒕

(𝟏 + 𝒓)𝒕)

𝒏

𝒕=𝟏

= 𝟎

Dimana : IRR = nilai bersih sekarang r = tingkat diskonto n = banyaknya tahun yang terlibat dlam cakrawala waktu ekonomi t = tahun yang bertalian dengan kegiatan, yang ditulis dalam bentuk 0,1,2,…,n Bt = manfaat dalam tahun Ct =biaya dalam tahun iii. Estimasi jangka waktu pengembalian investasi suatu industri dapat ditunjukkan dengan

perhitungan Payback Period (Fazwa et al., 2001). Payback periode adalah waktu minimum untuk mengembalikan investasi awal dalam bentuk aliran kas yang didasarkan atas total penerimaan dikurangi semua biaya (Erlina, 2006).

Rumus perhitungannya adalah :

𝑷𝑷 = 𝑰

𝑨𝒃

Dimana : PP = Payback Period I = Biaya Investasi Ab = manfaat bersih yang diperoleh setiap tahunnya.

Suatu usaha dikatakan layak jika nilai payback period lebih kecil atau sama

dibandingkan umur investasi usaha.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis kelayakan finansial pengembangan industri komposit serat sabut kelapa untuk media media tanam vertikal terdiri dari perkiraan modal investasi, perkiraan biaya produksi, perkiraan pendapatan, penyusunan aliran kas, penentuan kriteria investasi (Net Present Value, Internal Rate of Return, Pay Back Period). Biaya Investasi

Biaya investasi adalah biaya tetap yang besarnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produk yang dihasilkan. Dari hasil perhitungan, untuk investasi yang dibutuhkan dalam merealisasikan pengembangan industri komposit serat sabut kelapa sebaga media tanam media tanam vertikal adalah sebesar Rp 380.000.000 yang terdiri dari investasi peralatan produksi dan peralatan pendukung. Biaya Operasional

Biaya operasional merupakan biaya yang besarnya ditentukan oleh jumlah produk yang diproduksi. Biaya operasional terdiri dari biaya tetap, biaya variabel dan semi variabel. Komponen biaya tetap produksi komposit media tanam media tanam vertikal dari sabut kelapa terdiri dari biaya pengeluaran untuk listrik, gas, air dan biaya upah tenaga kerja. Biaya variabel terdiri dari biaya bahan baku, bahan pendukung, biaya untuk alat tulis kantor, biaya overhead, sedangkan biaya semi variabel terdiri dari biaya perjalanan dalam pemasaran dan pengambilan bahan baku.

Page 94: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

88

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 1. Biaya bahan baku, biaya tetap dan tenaga kerja

No. Jenis Bahan Jumlah Satuan Biaya/Bulan (Rp) Biaya/ Tahun (Rp)

1 Serat Kelapa 70.560 Kg 197.568.000 2.370.816.000 2 Perekat PF 10.584 Kg 497.448.000 5.969.376.000 3 ATK Unit 200.000 2.400.000

Jumlah 8.342.592.000

Tabel 2. Perincian tenaga kerja

No Perincian pekerjaan Jumlah Gaji/Bulan (Rp) Gaji/Tahun (Rp)

1 Pembuat komposit media tanam vertikal

5 8.000.000 96.000.000

2 Keamanan 2 2.000.000 24.000.000 3 Kebersihan 2 1.600.000 19.200.000

Jumlah 139.200.000

Tabel 3. Perincian biaya listrik, air, gas dan transportasi

No Jenis Biaya Biaya per Bulan (Rp) Biaya per Tahun (Rp) Keterangan

1 Listrik 415.800 4.989.600 Untuk pemakaian mesin pencampur dan blower

2 Air 25.000 300.000 Untuk pemakaian sebanyak 10 m3 per bulan

3 Gas 1.000.000 12.000.000 Untuk pemakaian 10 kg per hari

4 Transportasi 2.000.000 24.000.000 Untuk transportasi 2 kali perjalanan per bulan

Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja

Dana yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan pengembangan industri komposit serat sabut kelapa untuk media tanam media tanam vertikal selain investasi mesin peralatan produksi adalah modal kerja awal berupa biaya operasional selama 1 tahun yaitu Rp 8.503.881.600. Total biaya investasi dan modal kerja yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 8.883.881.600. Sumber dana diperoleh dari investor/pengusaha dari industri komposit media tanam media tanam vertikal.

Produksi dan Pendapatan

Berdasarkan asumsi dan parameter teknis yang telah ditentukan sebelumnya, kapasitas produksi komposit media tanam vertikal/bulan sebesar 9.576 lembar, dengan harga jual/lembar Rp 89.100,00. Penentuan harga jual tersebut dihitung dari harga pokok produksi Rp 80.960,00 ditambah dengan keuntungan dari harga pokok produksinya. Dari hasil perhitungan penjualan komposit media tanam media tanam vertikal akan diperoleh pendapatan/bulan Rp 853.221.600,00. Tabel 4. Harga jual komposit media tanam media tanam vertikal/lembar

No. Perincian Jumlah (Rp)

1 Harga Pokok Produksi / lembar sesudah pajak 80.960 2 Marjin (10%) 8.100

Total 89.060

Harga Jual 89.100

Page 95: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

89

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Discount Factor atau yang dikenal juga dengan Marginal Avarage Revenue Return (MARR) yang digunakan adalah sebesar 10%. Nilai Discount Factor juga bisa menggunakan tingkat suku bunga pinjaman dari BANK sebesar 10% (Wibowo, 2006). Proyeksi Penjualan

Dari hasil kajian diketahui bahwa potensi pasar untuk komposit media tanam media tanam vertikal masih terbuka lebar, sehingga diasumsikan produk komposit media tanam vertikal dari sabut kelapa setiap bulan laku terjual di pasaran sebanyak 9.576 lembar.

Tabel 5. Proyeksi produksi dan penjualan komposit media tanam media tanam vertikal

Uraian Output Produksi / Bulan

Harga per lembar

Pendapatan/ Bulan

Media tanam vertikal

9.576 Rp 89.100 Rp 853.221.600

Total Pendapatan Kotor / Tahun Rp 10.238.659.200

Proyeksi Laba Rugi dan Titik Impas/BreakEventPoint

Proyeksi laba/rugi dilakukan untuk mengetahui tingkat profitabilitas dari rencana kegiatan investasi. Perhitungan laba/rugi didapat dari selisih penerimaan dan pengeluaran. Dari perhitungan laba/rugi rencana investasi pengembangan industri komposit serat sabut kelapa untuk media media tanam vertikal ini mampu menghasilkan laba bersih sebesar Rp Rp. 77.948.640,00/bulan. Bila 35% dari keuntungan dimasukkan sebagai dana cadangan (izin, dan pemeliharaan asset) maka keuntungan yang ada adalah: 65% x Rp 77.948.640,00 = Rp. 50.666.616,00/bulan

Titik impas adalah suatu titik jumlah produksi atau penjualan yang harus dilakukan agar biaya yang dikeluarkan dapat tertutupi kembali atau nilai dimana profit yang diterima adalah nol. Dari perhitungan nilai impas/BEP diperoleh hasil : usaha media tanam vertikal akan BEP pada:

Rp. 380.000.000,00/(Rp. 50.666.616,00/bulan) 7.5 bulan

Dengan demikian diperhitungkan BEP dalam waktu 7.5 bulan produksi. Aliran Kas (Cashflow) dan Kriteria Investasi Tabel 6. Kriteria investasi usaha komposit media tanammedia tanam vertikal

Tahun Ke Aliran Kas (Rp)

1 1.354.777.600 2 1.734.777.600 3 1.734.777.600 4 1.734.777.600 5 1.734.777.600 6 1.354.777.600 7 1.734.777.600 8 1.734.777.600 9 1.734.777.600 10 1.734.777.600 NPV setelah discount factor 10% 6.230.717.428 IRR (%) 180 BEP/PP 7,5 Bulan Keputusan Layak Dijalankan

Aliran kas terdiri dari aliran kas masuk dan kas keluar. Komponen aliran kas masuk terdiri dari pendapatan hasil penjualan produk, sedangkan kas keluar terdiri dari biaya invetasi, biaya operasional, pembayaran angsuran pinjaman kredit bank, dan pajak penghasilan. Untuk mengetahui kelayakan rencana investasi dilakukan perhitungan NPV, IRR, PBP dan

Page 96: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

90

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

rasio B/C. Analisis NPV dilakukan untuk melihat bagaimana nilai investasi dengan mempertimbangkan perubahan nilai mata uang. NPV merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari keuntungan dan biaya. IRR pada dasarnya merupakan metode untuk menghitung tingkat bunga yang dapat menyamakan antara present value dari semua aliran kas masuk dengan aliran kas keluar dari suatu investasi proyek. IRR digunakan untuk menghitung besarnya rate of return yang sebenarnya. Dari hasil perhitungan diperoleh NPV bernilai positif > 0 yaitu sebesar Rp 6.230.717.428. Nilai tersebut menunjukkan bahwa investasi yang ditanam sampai 10 tahun mendatang akan diperoleh manfaat bersih dinilai saat ini sebesar Rp 6.230.717.428. IRR sebesar 180% yang artinya usaha ini dapat mengembalikan modal hingga tingkat bunga pinjaman 180% per tahun. Periode pengembalian usaha industri media tanam vertikal lebih kecil dari umur proyek yaitu selama 7,5 bulan. Dari kriteria investasi di atas maka rencana investasi industri komposit serat sabut kelapa untuk media tanam media tanam vertikal layak dijalankan.

KESIMPULAN

Dari analisa finansial diperoleh hasil Net Present Value bernilai positif sebesar Rp 6.230.717.428. Untuk Internal Rate of Return sebesar 180% menunjukkan bahwa tingkat pengembalian lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang ditentukan. Payback Period selama 7,5 bulan apabila asumsi yang direncanakan terpenuhi, sehingga dari segi finansial rencana investasi industri komposit sabut kelapa untuk media tanam media tanam vertikal layak dijalankan. Analisa sensitivitas menunjukkan bahwa penurunan pendapatan 5% dan kenaikan biaya operasional 5% tidak berpengaruh terhadap kelayakan proyek. Dari pertimbangan kriteria investasi di atas menunjukkan bahwa kegiatan usaha industri komposit sabut kelapa untuk media tanam media tanam vertikal layak untuk dijalankan selama proyek berjalan sesuai dengan asumsi dan parameter teknis yang ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA Ardana, K.B., Pramudya, M.H. dan Tambunan, A.H. Pengembangan tanaman jarak pagar

(Jatropha curcas L.) mendukung kawasan mandiri energi di Nusa Penida, Bali. Jurnal Littri 14(4) : 155-161 (2008).

Blank, L. and Anthony, T. Engineering Economy,5thed. Mc.Graw Hill, New York (2002). De Garmo,E.E., Paul, W.G., Sullivan and Canada, J.R. Engineering Economic, 7thed. Mac

Millan Pub.Co, New York (1984). Erlina. Analisis perancangan agroindustri berbasis karet. Jurnal Bisnis dan Manajemen 3(1)

: 73-92 (2006). Fazwa, M.A.F., Fauzi, P.A., Ab, A.G., Rasip and Noor, M.M. A preliminary analysis on

financial assessment of Citrushystrix (limau purut) grown on plantation basis, Forest Research Institute Malaysia (FRIM), 52109 Kepong, Selangor Darul Ehsan, Project No. 01-04-01-0094-EA001 (2001).

Idham, A., Lestari, T. dan Adriani, D. Analisis finansial sistem usaha tani terpadu (integrated farming system) berbasis ternak sapi di Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Pembangunan Manusia 6 (2010).

Kusuma, P.T.W.W., Hidayat, D.D. dan Indrianti, N. Analisis kelayakan finansial pengembangan usaha kecil menengah (UKM) nata de coco di Sumedang, Jawa Barat. Jurnal Teknotan 6: 670-676 (2012).

Pujawan, I.N. Ekonomi Teknik. Penerbit Guna Widya, Surabaya (2004). Sudong, Y. and Tiong, R.L.K. NPV-at risk method in infrastructure project investment

evaluation. Journal of Construction Engineering and Management 126 (3): 227-233 (2002).

Page 97: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

91

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Suwargana, N. dan Susanto. Deteksi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Di DKI Jakarta). Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Surabaya, 14 – 15 September 2005 (2005).

Wibowo, A. Mengukur risiko dan atraktivitas investasi infrastruktur di Indonesia. Jurnal Teknik Sipil 13: 123-132 (2006).

Page 98: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

92

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 13.

SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DARI BAMBU SEMBILANG

(Dendrocalamus giganteous ) DAN ANDONG ( Gigantochloa pseudoarundinacea)

Subyakto, Ismadi, Mohamad Gopar

Pusat Penelitian Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pada penelitian ini telah dilakukan pembuatan bambu lapis dari bambu sembilang (Dendrocalamus giganteous) and andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) dengan perekat fenol formaldehida. Proses pembuatan bambu lapis dimulai dengan memipihkan batang bambu segar dengan alat bamboo crusher sehingga diperoleh palupuh (zephyr). Palupuh dikeringkan sampai kadar air di bawah 5% kemudian diberi perekat fenol formaldehida. Kadar perekat yang digunakan untuk bambu sembilang adalah 10, 12, dan 14% dari berat kering papan, sedangkan untuk bambu andong adalah 8, 10, and 12%. Papan dibuat dengan pres panas pada suhu 140 °C, tekanan 25 kg/cm2 selama 20 menit. Ukuran papan yang dibuat adalah 170 cm x 60 cm x 2 cm, dengan target kerapatan 0,7 g/cm3. Sifat fisis dan mekanis yang diuji adalah kerapatan, kadar air, pengembangan tebal, penyerapan air, bending strength (modulus of rupture, modulus of elasticity), internal bond, dan kuat cabut sekrup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar perekat maka semakin baik sifat fisis dan mekanis bambu lapis. Bambu lapis yang dibuat dari bambu sembilang mempunyai sifat-sifat fisis dan mekanis yang lebih baik dibandingkan dengan dari bambu andong. Kata kunci: bambu lapis, sembilang, andong, fenol formaldehida, sifat fisis-mekanis

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki kekayaan tanaman bambu yang sangat melimpah, lebih dari 160 jenis bambu tumbuh di sini, meskipun beberapa jenis saja yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan banyak ditanam orang (Dransfield dan Widjaja 1995, Subyakto et al. 1997). Bambu mempunyai beberapa keunggulan antara lain: dapat dipanen dalam waktu cukup singkat yaitu sekitar 3 tahun, mempunyai batang yang lurus, sifat kekuatan yang sangat tinggi, mudah dalam pengerjaannya, serta relatif murah (Dransfield dan Widjaja 1995, Scurlok et al. 2000, Khalil et al. 2012). Bambu terutama bagian batangnya telah lama digunakan sebagai bahan bangunan yang tahan lama dan kuat (Morisco 2006).

Pemanfaatan batang bambu untuk produk bambu lapis (plybamboo) bisa digunakan sebagai pengganti kayu lapis (Subiyanto dan Subyakto 1995, Sudijono et al. 2001). Kayu yang berasal dari hutan alam sebagai bahan baku kayu lapis sudah semakin mahal dan jarang, sehingga perlu dikembangkan bahan baku lain. Pengembangan produk bambu lapis telah dilakukan di China maupun India. Pada proses pembuatannya produk bambu lapis dari kedua negara ini masih menghasilkan limbah yang cukup besar karena bagian kulit bambu dihilangkan terlebih dahulu. Pada pembuatan bambu lapis yang dikembangkan oleh LIPI dengan nomor Paten ID P0028883 (Subiyanto et al. 2011) batang bambu dimanfaatkan semuanya termasuk bagian kulitnya. Seluruh bambu dipipihkan dengan mesin bamboo crusher tanpa dibuang dulu kulitnya, sehingga limbah yang dihasilkan lebih sedikit. Perekat fenol formaldehida (Phenol formaldehyde/PF) yang digunakan adalah tipe perekat yang memerlukan panas untuk proses pematangannya, dan perekat ini menghasilkan produk yang tahan terhadap air (eksterior). Penelitian pembuatan bambu

Page 99: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

93

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

lapis menggunakan perekat PF dengan jenis bambu tali dan gombong telah dilakukan (Subyakto et al. 1995, Subiyanto dan Subyakto 1995, Sudijono et al. 2000, Sudijono et. al. 2001, Gopar et al. 2001, Gopar dan Subyakto 2002, Sudijono dan Subyakto 2002, Gopar dan Subyakto 2003). Sedangkan pada penelitian ini digunakan 2 jenis bambu yang belum pernah diteliti yaitu sembilang dan andong.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kadar perekat terhadap sifat-sifat fisis dan mekanis papan bambu lapis dari bambu sembilang dan andong.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bahan-bahan penelitian adalah dua jenis bambu yaitu bambu sembilang (Dendrocalamus giganteous) and andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) umur sekitar 3 tahun berasal dari daerah Bogor. Perekat fenol formaldehida buatan PT Palmolite Adhesive Industries tipe PA-302.

Proses pembuatan bambu lapis dimulai dengan memipihkan batang bambu segar dengan alat bamboo crusher sehingga diperoleh palupuh (zephyr). Palupuh dikeringkan sampai kadar air di bawah 5% kemudian diberi perekat fenol formaldehida dengan alat glue spreader. Kadar perekat yang digunakan untuk bambu sembilang adalah 10, 12, dan 14% dari berat kering papan, sedangkan untuk bambu andong adalah 8, 10, and 12%. Palupuh yang sudah diberi perekat disusun menjadi 3 lapis secara bersilangan, kemudian dimasukkan ke alat pres panas (hot press). Papan dibuat dengan pres panas pada suhu 140 °C, tekanan 25 kg/cm2 selama 20 menit. Ukuran papan yang dibuat adalah 170 cm x 60 cm x 2 cm, dengan target kerapatan 0,7 g/cm3. Setelah proses kondisioning sekitar 2 minggu, papan diuji. Sifat fisis dan mekanis yang diuji adalah kerapatan, kadar air, pengembangan tebal, penyerapan air, bending strength (modulus of rupture, modulus of elasticity), internal bond, dan kuat cabut sekrup.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat fisis papan bambu lapis

Hasil pengujian sifat fisis bambu lapis yaitu kerapatan, kadar air, pngembangan tebal, dan penyerapan air disajikan pada Gambar 1, 2, 3, dan 4. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa kerapatan target yaitu 0,7 g/cm3 hanya dicapai pada bambu lapis sembilang dengan kadar PF 14%, sedangkan perlakuan lainnya di bawah target kerapatan tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi alat pres yang tidak bisa mencapai tekanan yang diinginkan.

Gambar 1. Kerapatan papan bambu lapis.

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

10 12 14 8 10 12

Kera

pata

n (g

/cm

3)

Kadar perekat (%)

Sembilang Andong

Page 100: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

94

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Hasil pengujian kadar air (Gambar 2) menunjukkan bahwa bambu komposit dari sembilang lebih rendah kadar airnya dibandingkan dengan bambu andong. Secara keseluruhan kadar air semua bambu komposit di bawah 14% (memenuhi standar SNI). Hasil pengujian pengembangan tebal (Gambar 3) menunjukkan bahwa semua nilai pengembangan tebal memenuhi standar SNI (di bawah 12%). Dapat dilihat juga bahwa nilai pengembangan tebal bambu lapis sembilang lebih kecil dibandingkan dengan bambu andong. Pengaruh kadar perekat dapat dilihat bahwa semakin besar kadar perekat maka nilai pengembangan tebalnya semakin munurun.

Gambar 2. Kadar air papan bambu lapis.

Gambar 3. Pengembangan tebal papan bambu lapis.

Hasil pengujian penyerapan air (Gambar 4) menunjukkan bahwa untuk semua bambu lapis nilainya di bawah 40%. Bambu lapis sembilang mempunyai nilai penyerapan air yang lebih kecil dibandingkan dengan bambu andong. Pada bambu lapis sembilang nilai penyerapan air tidak dipengaruhi oleh kadar perekat, sedangkan pada bambu andong semakin besar kadar perekat nilai penyerapan airnya semakin kecil.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

10 12 14 8 10 12

Kada

r ai

r (%

)

Kadar perekat (%)

Sembilang

0

2

4

6

8

10 12 14 8 10 12

Peng

emba

ngan

teb

al (%

)

Kadar perekat (%)

Sembilang Andong

Andong

Page 101: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

95

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 4. Penyerapan air papan bambu lapis. Sifat mekanis papan bambu lapis

Hasil pengujian sifat mekanis papan bambu lapis yaitu kuat rekat internal (internal bond), kuat cabut sekrup, MOR sejajar serat, MOR tegak lurus serat, MOE sejajar serat, MOE tegak lurus serat dapat dilihat pada Gambar 5, 6,7, 8, 9, 10, berturut-turut.

Nilai kuat rekat internal (Gambar 5) dari bambu lapis sembilang lebih besar dibandingkan dengan bambu lapis andong. Semakin besar kadar perekat maka semakin besar nilai kuat rekat internalnya.

Gambar 5. Kuat rekat internal papan bambu lapis.

Tidak seperti sifat-sifat lainnya, nilai kuat cabut sekrup (Gambar 6) bambu lapis andong lebih besar dibandingkan dengan bambu lapis sembilang. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan susunan serat pada dua jenis bambu tersebut, oleh karena itu diperlukan analisis struktur anatominya. Sedangkan pengaruh kadar perekat semakin besar maka nilai kuat cabut sekrup semakin tinggi.

Sifat mekanis yaitu MOR dan MOE sejajar serat nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan tegak lurus serat (Gambar 7, 8, 9, 10), hal ini dikarenakan beban pada contoh uji sejajar serat diterima oleh permukaan yang lebih luas. Nilai MOR dan MOE bambu lapis

0

10

20

30

40

50

10 12 14 8 10 12

Peny

erap

an a

ir (

%)

Kadar perekat (%)

Sembilang Andong

0

1

2

3

4

5

10 12 14 8 10 12

Kuat

rek

at in

tern

al (k

gf/c

m2)

Kadar perekat (%)

Sembilang Andong

Page 102: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

96

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

sembilang lebih tinggi dibandingkan dengan bambu lapis andong. Sedangkan pengaruh kadar perekat, semakin besar kadar perekat maka semakin tinggi nilai MOR dan MOE nya.

Gambar 6. Kuat cabut sekrup papan bambu lapis.

Gambar 7. MOR sejajar serat papan bambu lapis

0

10

20

30

40

50

60

10 12 14 8 10 12

Kuat

cab

ut s

ekru

p (k

gf)

Kadar perekat (%)

Sembilang Andong

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

10 12 14 8 10 12

MO

R se

jaja

r se

rat

(kgf

/cm

2)

Kadar perekat (%)

Sembilang

Andong

Page 103: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

97

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 8. MOR tegak lurus serat papan bambu lapis

Gambar 9. MOE sejajar serat papan bambu lapis

Gambar 10. MOE tegak lurus serat papan bambu lapis

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

10 12 14 8 10 12

MO

R te

gak

luru

s se

rat

(kgf

/cm

2)

Kadar perekat (%)

Sembilang Andong

0

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

140.000

160.000

10 12 14 8 10 12

MO

E se

jaja

r se

rat

(kgf

/cm

2 )

Kadar perekat (%)

Sembilang Andong

0

25.000

50.000

75.000

100.000

125.000

150.000

10 12 14 8 10 12

MO

E te

gak

luru

s se

rat

(kgf

/cm

2 )

Kadar perekat (%)

Sembilang

Andong

Page 104: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

98

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sifat fisis dan mekanis bambu lapis dari bambu sembilang lebih baik dibandingkan dengan bambu andong. Secara umum semakin tinggi kadar perekat maka semakin baik sifat fisis dan mekanis bambu lapis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sudarmanto, Saipul dan Fazhar Akbar atas bantuannya pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Dransfield, S., Widjaja, E.A. 1995. Plant Resources of South-East Asia No. 7. Bamboos.

Backhuys Publisher, Leiden. 189 pp. Gopar, M., Subyakto, Subiyanto, B., Firmanti, A. 2001. Sifat Fisis dan Mekanis Panel Zephyr

Bambu Skala Pilot. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, Samarinda, 6-9 Agustus 2001. pp.IV.128-IV.134.

Gopar, M., Subyakto. 2003. Pengaruh Ketebalan Panel terhadap Sifat Ketahanan Api Panel Bambu Zephyr dengan Perekat Urea Formaldehida dan Penol Formaldehida. Prosiding Seminar Nasional VI Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia Fahutan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Padang. pp. 287-297.

Gopar, M., Subyakto. 2002. Physical and Mechanical Properties of Zephyr Board Made from Gombong Bamboo. Proceedings of The Fourth International Wood Science Symposium, Serpong, Indonesia, 2-3 September 2002. pp. 257-261.

Khalil, H.P.S.A, Bhat, I.U.H., Jawaid, M., Zaidon, A., Hermawan, D., Hadi, Y.S. 2012. Bamboo fibre reinforced biocomposites: A Review. Materials and Design 42:353-368.

Morisco. 2006. Teknologi Bambu. Bahan Kuliah Magister Teknologi Bahan Bangunan, Program Studi Teknik Sipil UGM. 116 pp.

Scurlok, J.M.O., Dayton, D.C., Hames, B. 2000. Bamboo: An overlooked bioresources? Biomass and Bioenergy 19:229-244.

Subiyanto, B., Subyakto. 1995. Development of Processing Technology of Semi Fiber Bamboo Board I. Shortening the Press Cycle. Proceedings of The IVth International Bamboo Congress, Vol. 3, Bali, June, 1995. pp. 155-164.

Subiyanto, B., Prasetya B., Subyakto, Sudijono, Gopar, M. 2011. Proses pembuatan papan bambu komposit dan produk yang dihasilkannya. Paten ID P0028883.

Subyakto, Subiyanto, B., Azis, S. 1997. Cultivation and Utilization of Bamboo in Indonesia. Journal of Bamboo Research 16(2): 1-7.

Subyakto, Subiyanto, B., Sudijono. 1995. Pengaruh Pengeringan Hamparan Palupuh dan Waktu Kempa terhadap Sifat-sifat Papan Bambu Komposit. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil-hasil Penelitian Puslitbang Fisisa Terapan – LIPI, 1994/1995, Bandung 2-3 Oktober, 1995. pp. 81-90

Sudijono, Subyakto, Subiyanto, B. 2000. Manufacture of Bamboo-Zephyr Board as Plywood Substitution for Concrete-Block Pallet Application. Proceedings of The Third International Wood Science Symposium, Kyoto, Japan, November 1-2, 2000. pp. 90-94.

Sudijono, Subyakto, Subiyanto, B. 2001. Pengaruh Jumlah Perekat Phenol Formaldehid terhadap Keteguhan Rekat Papan Lapis Bambu Zephyr dari Bahan Baku Bambu Tali (Gigantochloa apus Kurs). Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, Samarinda, 6-9 Agustus 2001. pp. IV.220-IV.224.

Sudijono, Subyakto. 2002. Bending and Shear Properties of Low Density Particleboard Laminated with Zephyr of Tali Bamboo. Proceedings of The Fourth International Wood Science Symposium, Serpong, Indonesia, 2-3 September 2002. pp. 219-222.

Page 105: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

99

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 14.

PRODUKSI ENZIM HIDROLISIS UNTUK FORTIFIKASI PAKAN HEWAN

MONOGASTRIK, DAN PAKAN IKAN

I Made Sudiana*, Atit Kanti, Maman Rahmansyah, Arwan Sugiharto, Senlie

Oktaviana, Endang Sukara

Pusat Penelitian Biologi LIPI Jl. Raya Bogor KM 46, Cibinong

ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah menggunakan Sargassum sp.dan gabah padi (Oryza sativa) untuk produksi enzim hidrolisis terutama enzim fitase, amilase dan selulase. Sargassum dipilih sebagai media karena produksi melipmpah dan harganya yang murah. Penambahan dedak dimaksudkan untuk meningkatkan produksi enzim fitase. Pada penelitian ini dilakukan optimasi komposisi campuran antara sargasum, dan dedak. Optimasi juga dilakukan terhadap partikel, kadar air permulaan dan suhu fermentasi. Tiga isolat kapang A. niger, R. oryzae, dan N. crassa dipilih berdasrakan hasil pengujian kemampuan pembentukan enzim fitase, dan ketiga isola umum digunakan dalam teknologi fermentasi. Produksi enzim dilakukan melalui fermentasi fase padat. Substrat yang telah diinokulasi, kemudian difermentasi selama 5 hari dan diukur aktivitas enzimnya. Kondisi optimum produksi selulase, amilase, dan fitase ialah pada ukuran partikel 25 mesh, komposisi substrat Sargassum sp. dan gabah padi 40:60 % (b/b), komposisi air pada substrat 60 % (v/b), suhu fermentasi 30oC, dan penambahan NaNO3 sebagai sumber nitrogen sebanyak 0.5 % (b/b). Aktivitas selulase, amilase, dan fitase tertinggi yang dihasilkan berturut-turut 9.28, 36.26, dan 13.66 U/g. Hasil pengujian hidrolisis menunjukkan enzim fitase efektif meningkatkan posfat organik. Kata kunci:amilase, fitase, gabah padi, Sargassum sp., selulase

ABSTRACT The objective of this study was to ulize sargassum and rice seed as media for hydrolytic enzyme production especially fitase, cellulase and amylase. Sargassum was selected as substrate since this material is inexpensive and abundantly available. Rice seed was added to obtain highest fitase production. Media composition (sargassum and rice seed) was optimized to get most optimum media formula for hydrolytic enzyme production. Other parameter that affect solid state fermentation was optimized which include particle size, initial water content, and temperature. The three isolates were selected : A. niger, R. oryzae, dan N. crassa due to their ability to produce phytase and coomonly used in traditional fermented food. Solid state fermentation was conducted for 5 days. Best particle size was 25 mesh for phytase, amylase and cellulase production. Media composed of Sargassum sp. and rice seed at ration of 40:60 % (w/w), with initial water content of 60 % (w/v), at 30oC, with addition of 0.5 % (w/w) NaNO3 as nitrogen sources resulted in highest cellulase, amylase and phytase production ( 9.28, 36.26, and 13.66 U/g) respectively. Hydrolytic test confirm that phytase production was effective to hydrolyze organic-P. Key words: phytase, cellulase, amylase, sargasum and rice seed.

Page 106: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

100

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

PENDAHULUAN

Enzim yang sering digunakan dalam industri, antara lain seluase, amilase, dan fitase. Selulase merupakan enzim ketiga yang paling banyak digunakan di industri dan berfungsi mengkatalisis pemutusan selulosa menjadi glukosa (Chandel et al. 2012). Beberapa tahun terakhir studi mengenai selulase memfokuskan pada kemampuan mendegradasi biomassa guna memproduksi bahan bakar (Morana et al. 2011). Amilase merupakan enzim yang menguasai 30 % pasar enzim diseluruh dunia dengan penjualan mencapai $ 2 Milyar pada tahun 2004 (Aiyer 2005). Amilase merupakan enzim yang memutus ikatan α-1,4 glikosidik (Gupta et al. 2003). Kebutuhan terhadap amilase sangat tinggi terutama pada industri makanan, kertas, serta penanganan limbah cair (Singh dan Gupta 2014). Selain selulase dan amilase, enzim yang penggunaannya juga terus meningkat ialah fitase. Pada tahun 2006 saja penjualannya mencapai $ 150 juta (Greiner dan Konietzny 2006). Hal ini terkait dengan kemampuan fitase memecah asam fitat, yakni simpanan fosfor pada tanaman yang mampu mengkelat protein dan mineral tertentu. Contoh aplikasi fitase ialah untuk meningkatkan nutrisi pada pakan ternak hewan monogastrik yang tidak dapat menghasilkan fitase (Bala et al.2014)

Sargassum sp. merupakan salah satu jenis ganggang coklat yang banyak tumbuh di perairan Indonesia. Pada musim tertentu populasinya sangat padat dan menjadi sampah laut (Yulianto 2010). Pemanfaat Sargassum sp. di Indonesia belum maksimal, dan hanya dijual sebagai bahan baku alginat ke luar negeri dengan harga Rp 2000/kg. Padahal, Sargassum sp. berpotensi sebagai substrat pembentukkan enzim karena mengandung karbohidrat, protein, serta mineral yang cukup tinggi (Yunizal 2004). Adapun gabah padi (Oryza sativa) merupakan bagian padi yang terdiri atas bulir beras dan sekam. Selain karbohidrat, gabah padi juga mengandung protein, lemak, serat, dan vitamin. Hasil penggilingan gabah padi, berupa beras biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Adapun gabah padi secara utuh dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Koswara 2009). Pemanfaatan Sargassum sp. belum optimal sehingga nilai ekonomisnya rendah, walaupun Sargassum sp. mengandung nutrisi yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan mikrob untuk menghasilkan enzim. Kombinasi Sargassum sp. dan gabah padi ini diharapkan dapat memaksimalkan pertumbuhan kapang Aspergillus niger, Rhizopus oryzae, dan Neurospora crassa yang telah sering dimanfaatkan pada produksi enzim seperti selulase, amilase, dan fitase.

Proses produksi enzim terus berkembang untuk untuk menghasilkan enzim dengan lebih efisien. Metode yang saat ini dianggap lebih menguntungkan ialah fermentasi fase padat. Fermentasi fase padat ialah fermentasi tanpa adanya air bebas sehingga sumber air untuk pertumbuhan mikrob hanya air yang terikat dalam matrik substrat padat (Krishna 2005). Keuntungan memproduksi enzim dengan fermentasi fase padat dibandingkan fermentasi terendam ialah lebih mudah, murah, media tumbuh yang lebih sederhana, menghasilkan enzim yang lebih banyak, membutuhkan lebih sedikit air dan energi serta risiko kontaminasi bakteri yang lebih rendah (Krishna 2005). Produksi selulase, amilase, dan fitase dari substrat Sargassum sp. dan gabah padi menggunakan kapang A. niger, R. oryzae, dan N. crassa melalui fermentasi fase padat belum pernah dilakukan sehingga perlu diketahui kondisi optimum produksi guna meningkatkan efisiensi. Adapun tujuan penelitian ini adalah menentukan kondisi optimum produksi selulase, amilase, dan fitase dari substrat Sargassum sp. dan gabah padi. Kondisi optimum tersebut meliputi ukuran partikel substrat, komposisi substrat, komposisi air pada substrat, suhu fermentasi, dan penambahan sumber nitrogen. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis Sargassum sp. dan gabah padi dengan mengkonversinya menjadi enzim yang bernilai jual tinggi.

Page 107: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

101

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan ialah Sargassum sp. yang berasal dari Kepulauan Seribu, gabah padi Ciherang, akuades, kapas, plastik, alumunium foil, karboksi metil selulosa (CMC), pati, kalsium fitat, potato dextrose agar (PDA), bufer Na-asetat pH 5.2, pepton, ekstrak khamir, urea, dan NaNO3,. Mikrob yang digunakan, yaitu isolat kapang A. niger, R. oryzae, dan N. crassa yang merupakan koleksi dari Indonesia Culture Colection (Ina-CC) LIPI. Adapun pereaksi yang digunakan ialah asam dinitrosalisilat (DNS), natrium hidroksida, asam sulfat, kalium antimonil, ammonium molibdat, dan asam askorbat.

Alat-alat yang digunakan pada tahap preparasi dan fermentasi ialah ember, blender, autoklaf, saringan 10, 25, dan 40 mesh, neraca, laminar air flow biosafety cabinet, inkubator suhu 25, 30, dan 35 oC, cawan petri, tusuk sate, tusuk gigi. Adapun alat yang digunakan pada pengukuran aktivitas enzim ialah sentrifus, spektrofotometer UV-Vis, magnet pengaduk, penangas air, spatula,vortex, tabung reaksi, tabung Eppendorf, pipetmikro 1000 µL dan 200 µL, tip 1000 µL dan 200 µL. Preparasi Sampel. Sebanyak dua kilogram Sargassum sp. dan dua kilogram gabah padi direndam 24 jam kemudian dijemur selama tiga hari dibawah panas matahari hingga kering. Kemudian dihaluskan dengan mesin penggiling secara terpisah hingga halus. Sampel dipisahkan berdasarkan ukuran partikel dengan saringan berukuran 10, 25, dan 40 mesh. Setelah itu sampel disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. Fermentasi Fase Padat (modifikasi Singh dan Gupta 2014) Sebanyak 10 g campuran Sargassum sp. dan gabah padi disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit pada plastik tahan panas, kemudian ke dalam substrat ditambahkan akuades steril dan diinokulasikan dengan isolat A. niger, R. Oryzae, dan N. Crassa. Campuran tersebut kemudian dihomogenkan. Plastik dilubangi dengan tusuk gigi, kemudian sampel diinkubasi dalam inkubator 35 oC selama 5 hari. Penentuan Kondisi Optimum Produksi Enzim dengan Fermentasi Fase Padat (modifikasi Saleem dan Ebrahim 2013) Penentuan kondisi optimum dilakukan dengan beberapa parameter, yaitu ukuran partikel (10, 25, dan 40 mesh), komposisi Sargassum sp. : gabah padi dalam substrat (80:20, 70:30, 60:40, 50:50, 40:60, 30:70, 20:80, dan 10:90 % b/b), komposisi air dalam substrat (60, 70, 80, 90, 100 % v/b), suhu fermentasi (25, 30, dan 35 oC), dan sumber nitrogen (NaNO3, urea, ekstrak khamir, dan pepton) sebanyak 0.5 (% b/b) dari total substrat. Ekstraksi Enzim Kasar Sebanyak 1 gram substrat fermentasi fase padat yang diambil dari setiap hasil pengoptimuman produksi selulase, amilase, dan fitase dicampurkan dengan akuades steril hinggal volume totalnya 5 mL. Setelah itu dikocok selama 15 menit, sebanyak 2 mL dari campuran tersebut disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm, 4 oC, selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh merupakan sampel ekstrak kasar selulase, amilase, dan fitase. Penentuan Aktivitas Selulase (modifikasi Mun et al. 2008). Penentuan aktivitas selulase dihitung dari kemampuannya dalam menghidrolisis substrat carboxymethyl cellulose (CMC). Sebanyak 0.25 mL selulase kasar dicampurkan dengan 0.25 mL substrat CMC 1 % dalam buffer asetat pH 5.2, kemudian diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 30 oC selama 30 menit. Setelah inkubasi, dilakukan penambahan dinitrosalicylic acid (DNS) sebanyak 0.5 mL dan dipanaskan dalam penangas air dengan suhu 100 oC selama 10 menit. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 540 nm. Pada blanko, enzim yang digunakan terlebih dahulu dipanaskan dalam penangas air dengan suhu 100 oC selama 10 menit. Aktivitas selulase sebanding dengan jumlah glukosa yang dipecah dari substrat CMC. Penentuan jumlah glukosa dilakukan dengan membandingkan

Page 108: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

102

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

nilai absorbansi yang sampel dengan kurva standar glukosa. Adapun kurva standar glukosa dibuat dengan mencampurkan 0.5 mL larutan glukosa dengan konsentrasi 100, 200, 400, 500, dan 1000 mg/L dan 0.5 mL pereaksi DNS. Satu unit selulase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk melepaskan 1 µmol glukosa dalam satu menit dalam kondisi pengujian (pH 5.2 dan suhu 30 oC). Aktivitas selulase dinyatakan dalam unit per gram substrat (U/g).

Aktivitas selulase (U/g)= [glukosa] mg

L x

1

BM x

1

waktu (menit) x

VT

VE x

5 mL enzim

1 g substrat x FP

Keterangan BM = bobot molekul glukosa (µg/µmol) VE = volume enzim yang ditambahkan VT = volume total FP = faktor pengenceran Penentuan Aktivitas Amilase (modifikasi Singh dan Gupta 2014). Penentuan aktivitas amilase dihitung berdasarkan jumlah glukosa yang dihasilkan dari aktivitas amilase memecah substrat pati. Sebanyak 0.25 mL amilase kasar dicampurkan dengan 0.25 mL substrat pati 1 % dalam buffer asetat pH 5.2, kemudian diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 30 oC selama 30 menit. Setelah inkubasi, dilakukan penambahan DNS sebanyak 0.5 mL dan dipanaskan dalam penangas air dengan suhu 100 oC selama 10 menit. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 540 nm. Pada blanko, enzim yang digunakan terlebih dahulu dipanaskan dalam penangas air dengan suhu 100 oC selama 10 menit. Aktivitas amilase sebanding dengan jumlah glukosa yang dipecah dari substrat pati. Penentuan jumlah glukosa dilakukan dengan membandingkan nilai absorbansi yang sampel dengan kurva standar glukosa. Adapun kurva standar glukosa dibuat dengan mencampurkan 0.5 mL larutan glukosa dengan konsentrasi 100, 200, 400, 500, dan 1000 mg/L dan 0.5 mL pereaksi DNS. Satu unit amilase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk melepaskan 1 µmol glukosa dalam satu menit dalam kondisi pengujian (pH 5.2 dan suhu 30 oC). Aktivitas amilase dinyatakan dalam unit per gram substrat (U/g).

Aktivitas amilase (U/g) = [glukosa] mg

L x

1

BM x

1

waktu (menit) x

VT

VE x

5 mL enzim

1 g substrat x FP

Keterangan BM = bobot molekul glukosa (µg/µmol) VE = volume enzim yang ditambahkan VT = volume total FP = faktor pengenceran Penentuan Aktivitas Fitase (modifikasi APHA 1976). Sebanyak 50 µL supernatan dicampurkan dengan 50 µL kalsium fitat 0.5 % (b/v) dalam buffer asetat pH 5.2. Kemudian diinkubasi selama 30 menit dan ditambahkan 160 µL pereaksi campuran yang terdiri atas asam askorbat, kalium antimonil, asam sulfat, dan amonium molibdat. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 880 nm. Pada blanko enzim terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 100 oC selama 10 menit. Nilai absorbansi dibandingkan dengan kurva standar dari larutan fosfat 100, 200, 300, 400, 500, dan 1000 mg/L. Satu unit fitase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk melepaskan 1 µmol fosfat dalam satu menit dalam kondisi pengujian (pH 5.2 dan suhu 30 oC). Aktivitas fitase dinyatakan dalam unit per gram substrat (U/g).

Aktivitas amilase (U/g) = [glukosa] mg

L x

1

BM x

1

waktu (menit) x

VT

VE x

5 mL enzim

1 g substrat x FP

Keterangan BM = bobot molekul glukosa (µg/µmol) VE = volume enzim yang ditambahkan VT = volume total

Page 109: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

103

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

FP = faktor pengenceran

HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran Partikel Substrat untuk Produksi Selulase, Amilase, dan Fitase

Perbedaan ukuran partikel substrat berpengaruh pada aktivitas selulase, amilase, dan fitase yang dihasilkan oleh mikrob. Kapang A. niger, R. oryzae, dan N. crassa menunjukkan aktivitas selulase, amilase, dan fitase optimum pada ukuran partikel yang sama. Aktivitas selulase tertinggi diperoleh pada ukuran partikel substrat 25 mesh oleh A. niger, R. oryzae, dan N. crassa berturut-turut sebesar 5.80, 7.19, dan 5.65 U/g (Gambar 1). Hal yang sama juga terjadi pada amilase dan fitase yang aktivitasnya optimum pada ukuran partikel 25 mesh dengan aktivitas amilase 4.61, 5.50, dan 6.57 U/g (Gambar 2) serta aktivitas fitase 5.08, 4.59, dan 4.47 U/g (Gambar 3).

Gambar 1 Aktivitas selulase dengan berbagai ukuran partikel substrat

Gambar 2 Aktivitas amilase dengan berbagai ukuran partikel substrat

Gambar 3 Aktivitas fitase dengan berbagai ukuran partikel substrat Komposisi Substrat untuk Produksi Selulase, Amilase, dan Fitase

5,195,80

2,37

4,00

7,19

1,98

4,26

5,65

2,94

0

2

4

6

8

10 25 40Ak

tivit

as

selu

lase

(U

/g)

Ukuran partikel substrat (mesh)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

2,50

4,61

3,063,33

5,50

4,28

2,09

6,57

4,17

0

2

4

6

8

10 25 40

Ak

tivit

as

am

ilase

(U

/g)

Ukuran partikel substrat (mesh)

A.niger

R. oryzae

N. crassa

4,03

5,08

3,963,43

4,59

2,943,36

4,47

2,96

0

2

4

6

10 25 40

Ak

tiv

ita

s fi

tase

(U

/g)

Ukuran partikel substrat (mesh)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

Page 110: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

104

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Hasil ukuran partikel optimum, 25 mesh, digunakan untuk pengoptimuman komposisi Sargassum sp. dan gabah padi dalam produksi selulase, amilase, dan fitase. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa peningkatan jumlah gabah padi dalam substrat tidak selalu meningkatkan aktivitas enzim yang diproduksi. Aktivitas selulase dan amilase yang dihasilkan oleh A. niger, R. oryzae, dan N. crassa cenderung meningkat seiring penambahan gabah padi dan optimum pada komposisi Sargassum sp. dan gabah padi 40:60 (% b/b), setelah itu penambahan gabah padi lebih banyak lagi akan menurunkan aktivitas selulase dan amilase. Pada komposisi substrat optimum aktivitas selulase sebesar 8.74, 6.20, dan 6.63 U/g (Gambar 4) dan aktivitas amilase sebesar 5.50, 5.65, dan 5.91 U/g (Gambar 5). Adapun aktivitas fitase cenderung meningkat seiring dengan peningkatan jumlah gabah padi dalam substrat dengan aktivitas tertinggi pada komposisi Sargassum sp. dan gabah padi 10:90 (% b/b), yakni sebesar 8.98, 11.34, dan 8.31 U/g (Gambar 6).

Gambar 4 Aktivitas selulase dengan berbagai komposisi substrat

Gambar 5 Aktivitas amilase dengan berbagai komposisi substrat

3,11

4,91

6,61 6,72

8,74

5,94 5,61

3,31

5,48

3,22

5,31 5,26

6,20

4,965,30

4,154,37 4,414,87

4,30

6,63

4,59

5,80

3,17

0

2

4

6

8

10

80:20 70:30 60:40 50:50 40:60 30:70 20:80 10:90

Ak

tiv

ita

s se

lula

se (

U/g

)

Komposisi substrat Sargassum sp. : gabah padi (% b/b)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

2,18

4,11

2,15

3,61

5,504,87

2,98

4,96

3,87 3,65

3,09

4,89

5,65

4,52

3,002,223,83

4,56

2,91

3,46

5,91

3,373,57

3,72

0

2

4

6

8

80:20 70:30 60:40 50:50 40:60 30:70 20:80 10:90

Ak

tiv

ita

s a

mil

ase

(U

/g)

Komposisi substrat Sargassum sp. : gabah padi (% b/b)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

Page 111: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

105

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 6 Aktivitas fitase dengan berbagai komposisi substrat Komposisi air pada substrat untuk Produksi Selulase, Amilase, dan Fitase

Berdasarkan data yang diperoleh, tingkat komposisi air pada substrat berpengaruh pada produksi selulase, amilase dan fitase, namun tidak berbanding lurus. Aktivitas selulase dan fitase yang dihasilkan oleh A. niger, R. oryzae, dan N. crassa optimum pada komposisi air 60 % dengan aktivitas selulase sebesar 5.94, 6.17, dan 6.09 U/g (Gambar 7) dan aktivitas fitase 5.71, 5.57, dan 5.78U/g (Gambar 9). Adapun aktivitas amilase optimum pada komposisi air 60 % untuk A. niger dan R. oryzae, yakni sebesar 5.98 dan 5.44 U/g sedangkan N. crassa menunjukkan aktivitas optimum pada komposisi air 100 % yang mencapai 5.22 U/g (Gambar 8). Data memiliki kecenderungan fluktuatif, meski hampir seluruhnya menunjukkan nilai maksimum pada komposisi air 60 %.

Gambar 7 Aktivitas selulase dengan berbagai komposisi air pada substrat(% v/b)

4,083,52

2,91

4,91 5,12

6,73 6,98

8,98

4,013,85

4,134,64

5,756,31

7,41

11,34

3,17

4,69 4,574,98

5,71 5,78

7,80

8,31

0

2

4

6

8

10

12

80:20 70:30 60:40 50:50 40:60 30:70 20:80 10:90

Ak

tiv

ita

s fi

tase

(U

/g)

Komposisi substrat Sargassum sp. : gabah padi (% b/b)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

5,94

3,54

4,614,93

5,33

6,17

4,85

5,65

4,635,07

6,09

4,57

3,48

5,02 5,04

0

2

4

6

8

60 70 80 90 100

Ak

tiv

ita

s se

lula

s (

U/g

)

Komposisi air pada substrat (% v/b)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

Page 112: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

106

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 8 Aktivitas amilase dengan berbagai komposisi air pada substrat (% v/b)

Gambar 9 Aktivitas fitase dengan berbagai komposisi air pada substrat (% v/b) Suhu Fermentasi untuk Produksi Selulase, Amilase, dan Fitase Penentuan suhu fermentasi optimum dilakukan pada ukuran partikel substrat 25 mesh, komposisi gabah dan Sargassum sp. 60:40 (%), dan komposisi air pada substrat 60 %. Pada pengoptimuman suhu ini, aktivitas enzim diamati dengan tiga berbagai suhu inkubasi, yaitu 25, 30, dan 35 oC. Dari ketiga berbagai suhu fermentasi yang digunakan, produksi enzim optimum pada suhu fermentasi 30 oC. Aktivitas selulase, amilase, dan fitase menunjukkan nilai optimum pada suhu fermentasi 30 oC pada semua mikrob yang digunakan. Aktivitas enzim pada suhu fermentasi optimum sebesar 5.68, 5,70, dan 5.76 U/g untuk selulase (Gambar 10) dan 6.09, 6.87, dan 5.65 U/g untuk amilase (Gambar 11) serta 6.31, 7.29, dan 5.47 U/g untuk fitase (Gambar 12).

5,98

3,62

4,72

2,85

5,705,41

3,54 3,723,35

3,965,13

2,61

3,44

4,78

5,22

0

2

4

6

8

60 70 80 90 100

Ak

tiv

ita

s a

mil

ase

(U

/g)

Komposisi air pada substrat (% v/b)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

5,71

4,43 4,61

3,15

4,78

5,57

3,62

4,96 4,825,19

5,78

4,82

4,10

5,27

4,43

0

2

4

6

8

60 70 80 90 100

Ak

tiv

ita

s fi

tase

(U

/g)

Komposisi air pada substrat % (v/b)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

Page 113: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

107

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 10 Aktivitas selulase dengan berbagai suhu fermentasi (oC)

Gambar 11 Aktivitas amilase dengan berbagai suhu fermentasi (oC)

Gambar 12 Aktivitas fitase dengan berbagai suhu fermentasi (oC) Sumber Nitrogen untuk Produksi Selulase, Amilase, dan Fitase

Penambahan sumber nitrogen tidak selalu meningkatkan produksi enzim yang dihasilkan oleh A. niger, R. oryzae, dan N. crassa. Produksi selulase optimum dengan penambahan NaNO3, sedangkan pada sumber nitrogen lain tidak tampak perbedaan yang nyata dengan kontrol (tanpa penambahan sumber nitrogen). Aktivitas selulase dengan

3,83

5,68 5,52

4,00

5,70

4,724,52

5,76

5,02

0

2

4

6

8

25 30 35

Ak

tiv

ita

s se

lula

se (

U/g

)

Suhu fermentasi (°C)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

5,33

6,09

4,434,83

6,87

4,854,39

5,65 5,69

0

2

4

6

8

25 30 35

Ak

tiv

ita

s a

mil

ase

(U

/g)

Suhu fermentasi (°C)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

4,64

6,31

4,694,52

7,29

4,454,03

5,47

3,00

0

2

4

6

8

25 30 35

Ak

tiv

ita

s fi

tase

(U

/g)

Suhu fermentasi (oC)

A. niger

R. oryzae

N. crassa

Page 114: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

108

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

penambahan NaNO3 mencapai 9.28, 8.22, 7.35 U/g (Gambar 13). Sumber nitrogen NaNO3, urea, dan pepton meningkatkan aktivitas amilase yang diproduksi dengan aktivitas tertinggi pada penambahan NaNO3 yang mencapai 32.02, 36.26, dan 13.28 U/g, sedangkan penambahan ekstrak khamir berpengaruh negatif pada produksi amilase (Gambar 14). Seperti amilase, aktivitas fitase yang dihasilkan juga meningkat dengan penambahan sumber nitrogen, kecuali ekstrak khamir. Adapun aktivitas fitase optimum dengan penambahanNaNO3, yakni sebesar 13.66, 13.48, dan 13.59 U/g (Gambar 15).

Gambar 13 Aktivitas selulase dengan penambahan sumber nitrogen 0.5 % (b/b)

Gambar 14 Aktivitas amilase dengan penambahan sumber nitrogen 0.5 % (b/b)

9,28

4,98

7,007,78

4,83

8,22

5,43 5,37

4,44

7,267,35

4,13

5,575,15 4,94

0

2

4

6

8

10

NaNO3 ekstrak

khamir

urea pepton kontrol

Ak

tiv

ita

s se

lula

se (

U/g

)

Sumber nitrogen

A. niger

R. oryzae

N. crassa

32,02

5,09

25,00

28,87

6,53

36,26

4,78

9,93

11,43

5,50

13,28

6,65

10,76 10,98

5,23

0

5

10

15

20

25

30

35

40

NaNO3 ekstrak

khamir

urea pepton kontrol

Ak

tiv

ita

s a

mil

ase

(U

/g)

Sumber nitrogen

A. niger

R. oryzae

N. crassa

Page 115: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

109

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 15 Aktivitas fitase dengan penambahan sumber nitrogen 0.5 % (b/b)

Aktivitas selulase tertinggi pada ukuran partikel substrat 25 mesh atau sekitar 0.707 mm. Hasil tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Patil et al. (2014) yang melaporkan bahwa ukuran partikel optimum produksi selulase dengan substrat limbah alga menggunakan mikrob Cellulomonas uda adalah 0.32 mm dengan aktivitas selulase mencapai 2.63 IU/g, sedangkan hasil penelitian de Castro dan Sato (2013) menunjukkan bahwa ukuran partikel optimum substrat pada produksi selulase menggunakan mikrob A. oryzae ialah 1.68 mm. Ukuran partikel subtrat mempengaruhi eksposur selulosa dan hemiselulosa yang terkandung dalam substrat sebagai sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikrob sehingga memicu pengembangan jaringan intrapartikel hifa pada kapang yang merangsang produksi selulase (Ang et al. 2013) Aktivitas amilase optimum dari tiga mikrob yang digunakan ialah pada ukuran partikel 25 mesh (0.707 mm). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sharanappa et al. yang menunjukkan bahwa aktivitas amilase optimum pada ukuran partikel 0.85 mm dengan aktivitas amilase sebesar 41.22 U/g pada substrat limbah pepaya dengan mikrob A. niger. Menurut Sindhu (2011), ukuran partikel yang terlalu kecil memungkinkan terjadinya penumpukan substrat yang menghalangi respirasi mikrob sehingga menyebabkan rendahnya pertumbuhan sel mikrob dan mengurangi sekresi amilase. Adapun ukuran partikel yang terlalu besar mengurangi luas permukaan yang mengalami kontak dengan mikrob sehingga adsorpsi nutrisi lebih lambat (Krishna 2005). Gambar 3 menunjukkan bahwa pada ukuran 25 mesh (0.707 mm) produksi fitase optimum untuk ketiga mikrob yang digunakan. Hasil tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Hassouni et al. (2006) yang melaporkan bahwa aktivitas fitase mencapai 150 U/g pada ukuran partikel 0.7–2.0 mm dengan proses fermentasi fase padat pada substrat ampas tebu yang diinokulasi dengan A. niger. Pada ukuran partikel optimum, yakni 25 mesh, aliran nutrisi dan panas pada substrat menjadi lebih baik sehingga meningkatkan produksi enzim, termasuk fitase (Patil et al. 2014). Komposisi Substrat untuk Produksi Selulase, Amilase, dan Fitase Sumber karbon saat esensial bagi pertumbuhan mikrob dalam proses produksi selulase (Yoon et al. 2014). Hasil optimasi perbandingan Sargassum sp. dan gabah padi dalam substrat terhadap aktivitas selulase ditunjukkan oleh Gambar 4. Aktivitas selulase cenderung meningkat dan optimum pada komposisi Sargassum sp. dan gabah padi 40:60 (% b/b) kemudian menurun seiring penambahan gabah yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi substrat dengan jumlah sumber karbon yang paling tepat pada produksi selulase ialah dengan perbanding Sargassum sp. dan gabah padi 40:60 (% b/b). Pada komposisi tersebut jumlah sumber karbon optimum bagi pertumbuhan mikrob terutama kandungan selulosa pada substrat yang dapat menginduksi ekspresi gen FIII-

13,66

6,29

12,59

7,62

5,80

13,48

5,82

8,807,73

5,36

13,59

6,34

10,36 9,75

5,64

0

2

4

6

8

10

12

14

16

NaNO3 ekstrak

khamir

urea pepton kontrol

Ak

tiv

ita

s fi

tase

(U

/g)

Sumber nitrogen

A. niger

R. oryzae

N. crassa

Page 116: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

110

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

avicelase (cbhl) dan FII-carboxymethylcellulase (cmc2) pada kapang yang memicu produksi selulase (Amore et al. 2013) . Seperti halnya selulase, dalam produksi amilase jumlah sumber karbon yang tersedia dalam substrat sangat krusial. Aktivitas amilase optimum pada komposisi Sargassum sp. dan gabah padi 40:60 %. Namun nilai tersebut masih lebih rendah dari aktivitas amilase yang diteliti sebelumnya dengan substrat sal deoiled cake menggunakan A. flavus yang mencapai 14.32 IU/mL tanpa suplementasi sumber karbon lain (Gupta dan Singh 2014). Selain sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan substrat, perbandingan antara Sargassum sp. dan gabah padi juga berperan dalam menentukan jumlah pati yang terkandung pada substrat fermentasi sebagai induser produksi amilase serta glukosa yang dapat menyebabkan feedback inhibition terhadap produksi amilase (Rajoka dan Yasmeen 2005). Aktivitas fitase meningkat seiring tingginya kadar gabah dalam substrat. Aktivitas fitase optimum pada komposisi Sargassum sp. dan gabah padi 10:90 % pada mikrob A. niger, R. oryzae, dan N. crassa. Aktivitas fitase yang diperoleh cukup besar dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Bala et al. (2014) yang melaporkan aktivitas fitase dari padi sebesar 5 U/g. Pada produksi fitase perbandingan komposisi Sargassum sp. dan gabah padi berperan dalam menyediakan sumber karbon optimum bagi pertumbuhan mikrob sehingga meningkatkan produksi fitase. Sumber karbon pada substrat tidak secara langsung mempengaruhi produksi fitase, melainkan menentukkan kadar cyclic adenosine monophosphat(cAMP) yang membentuk komplek dengan protein reseptor menjadi CRP (cAMP receptor protein), yang secara langsung terlibat pada pembentukkan fitase (Greiner 2007). Adapun kandungan asam fitat pada gabah padi mampu menginduksi produksi fitase yang ditunjukkan dengan peningkatan aktivitas fitase seiring penambahan gabah padi (Krishna 2005). Komposisi Air pada Substrat untuk Produksi Selulase, Amilase, dan Fitase Berdasarkan data yang diperoleh, aktivitas selulase tertinggi diperoleh pada komposisi air 60 (% v/b) pada semua mikrob yang digunakan. Hasil berbeda didapatkan oleh Ilyas et al. (2011) yang mengemukakan bahwa komposisi air optimum pada substrat pada produksi selulase dengan proses fermentasi fase padat menggunakan A. niger ialah 70 %. Menurut Yoon et al. (2014), komposisi air pada substrat yang biasa digunakan pada produksi selulase menggunakan kapang dengan fermentasi fase padat ialah sekitar 60–85 % karena pada komposisi air tersebut difusi air dan udara pada matriks substrat optimum, walaupun nilai tersebut bergantung pada kemampuan tiap substrat untuk megikat air (Yoon et al. 2014).

Aktivitas amilase mencapai nilai optimum pada komposisi air 60 (% v/b) untuk mikrob A. niger dan R. oryzae, sedangkan untuk N. crassa aktivitas amilase optimum pada komposisi air substrat sebesar 100 (% v/b). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Kiran et al. (2014) yang menyatakan bahwa komposisi air pada substrat optimum untuk produksi amilase dari limbah domestik ialah 70 %, sedangkan Sivaramakrishnan (2006) menunjukkan bahwa komposisi air pada substrat yang optimum ialah 65 % dengan mikrob Steptomyces rimosus pada substrat limbah ubi dan kacang dengan aktivitas amilase maksimum 31.68 U/g. Komposisi air pada subsrat yang terlampau tinggi menyebabkan penurunan jumlah amilase yang dihasilkan karena menyebabkan halangan sterik pada pertumbuhan mikrob penghasil amilase dengan adanya penumpukan substrat dan penurunan difusi oksigen pada substrat serta memicu kerentanan terhadap kontaminasi bakteri. Sebaliknya kadar air yang terlampau rendah menyebabkan rendahnya kelarutan nutrisi pada substrat sehingga pertumbuhan mikrob terhambat dan amilase yang dihasilkan tidak maksimal (Rajoka dan Yasmeen 2005) Berdasarkan data yang ditampilkan pada Gambar 9, kadar air optimum produksi fitase ialah 60 (% v/b). Nilai aktivitas optimum fitase ini lebih kecil dari aktivitas fitase setelah optimasi kadar air yang dilakukan oleh Bala et al. (2014) pada kadar air 40 % dengan substrat gandum yang mencapai 42.97 (U/g). Rendahnya kadar air substrat dapat menurunkan jumlah air yang diikat oleh substrat sehingga nutrisi bagi pertumbuhan mikrob

Page 117: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

111

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

tidak terdistribusi dengan baik (Gautam et al. 2002). Adapun peningkatan kadar air substrat menurunkan ketersediaan udara yang menyebabkan pertumbuhan dan proliferasi miselia kapang berkurang (Bala et al. 2014). Suhu Fermentasi untuk Produksi Selulase, Amilase, dan Fitase

Aktivitas selulase pada Gambar 10 memperlihatkan bahwa suhu optimum produksi selulase ialah 30 oC pada semua mikrob yang digunakan. Hasil tersebut sama dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Hanif et al. (2004) yang menyatakan bahwa produksi selulase oleh A. niger terus meningkat hingga suhu 30 oC dan menurun pada suhu fermentasi lebih tinggi. Selain itu Verma et al. (2012) juga menemukan bahwa produksi selulase dengan mikrob N. crassa pada substrat cangkang telur yang disuplementasi dengan gandum optimum pada suhu fermentasi 30 oC. Aktivitas selulase yang diproduksi optimum pada suhu optimum pertumbuhan kapang, yakni 30 oC. Pada suhu tersebut aktivitas enzim intraseluler yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikrob maksimum, sehingga mikrob dapat tumbuh dengan baik dan memproduksi selulase ekstraseluler dengan optimal (Krishna 2005).

Aktivitas amilase optimum pada suhu 30 oC seperti yang ditampilkan pada gambar 11. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa aktivitas selulase optimum pada fermentasi dengan A. niger pada substrat kacang Afrika dan Vigna mungo sebesar 0.87 mg/mL/menit dan 0.408 IU/mL/menit pada suhu 30 oC (Oyekele et al. 2011; Ilyas et al. 2011). Ramachandran et al. (2004) melaporkan bahwa pada suhu fermentasi diatas 30 oC, terjadi perubahan komposisi membran sel dan menstimulasi katabolisme protein yang menyebabkan kematian sel sehingga aktivitas amilase yang diproduksi menurun pada suhu 35 oC. Selain itu pada suhu diatas 30 oC translasi dan transkripsi amilase terhambat (Dowhanick et al. 1990). Aktivitas fitase paling tinggi ialah dengan suhu fermentasi 30 oC. Hasil tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mandviwala dan Khire (2000), yakni produksi fitase dengan mikrob A. niger melalui proses fermentasi fase padat optimum pada suhu inkubasi 30 oC. Adapun Bala et al. (2014) menyatakan bahwa suhu suhu fermentasi subtrat optimum dalam produksi fitase ialah 45 oC dengan menggunakan mikrob Humicola nigrescens, aktivitas amilase mencapai 44.96 U/g. Sel mikrob memiliki berbagai mekanisme untuk mengontrol sekresi enzim. Perubahan keadaan lingkungan dapat mempengaruhi produksi enzim ekstraseluler. Suhu merupakan salah satu faktor yang menginduksi perubahan membran dan dinding sel kapang. Perubahan tersebut mempengaruhi nutrisi, terutama sumber karbon yang dapat menginduksi produksi fitase, walaupun pada suhu terlalu tinggi aktivitas enzim yang dihasilkan menurun (Greiner 2007). Sumber Nitrogen untuk Produksi Selulase, Amilase, dan Fitase Sumber nitrogen terbaik untuk produksi selulase adalah NaNO3. Hal tersebut menunjukkan bahwa NaNO3 merupakan sumber nitrogen yang sesuai pada produksi selulase dengan substrat Sargassum sp. dan gabah padi. Hasil berbeda ditunjukkan oleh hasil penelitian Ilyas et al. (2011) dengan aktivitas selulase tertinggi pada penambahan pepton sebagai sumber nitrogen, yakni 0.228 IU/ml/menit dan kontrol 0.204 IU/ml/menit. Peningkatan aktivitas selulase dengan penambahan sumber nitrogen disebabkan interaksi antara lignoselulosa dengan partikel nitrogen. Efek penambahan sumber nitrogen pada produksi selulase berbeda-beda, bergantung pada kandungan lignoselulosa pada substrat (Yoon et al. 2014).

Sumber nitrogen NaNO3 menunjukkan aktivitas amilase yang paling tinggi dibandingkan sumber nitrogen lainnya. Hasil berbeda dilaporkan oleh Saleem dan Ebrahim (2013) yang menyatakan bahwa sumber nitrogen dengan aktivitas amilase paling tinggi diperoleh pada penambahan (NH4)2SO4 oleh A. niger pada substrat biji legum. Menurut Hussain (2013), penambahan sumber nitrogen organik seperti pepton dan ekstak khamir menstimulasi produksi amilase. Terdapat regulasi mekanisme terhadap sintesis amilase yang terinduksi oleh sumber nitrogen tertentu. Regulasi mekanisme ini lebih rendah dari biosintesis amilase saat kapang tumbuh dengan mudah pada substrat dengan sumber

Page 118: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

112

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

nitrogen berbeda (Rajoka dan Yasmeen 2005). Aktivitas amilase yang tinggi dengan suplementasi NaNO3 dikarenakan kesesuaiannya dengan substrat fermentasi sehingga penyerapan nitrogen optimum dan berimbas pada meningkatnya produksi amilase. Sumber nitrogen optimum untuk produksi fitase ialah NaNO3. Studi sebelumnya terhadap produksi fitase menunjukkan hasil berbeda, yakni ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen optimum yang mampu meningkatkan produksi fitase pada mikrob H. Nigrescens dengan aktivitas fitase 48.28 U/g (Bala et al. 2014). Pengaruh penambahan sumber nitrogen terhadap produksi fitase pada penelitian ini belum dapat diungkapkan secara jelas. Secara umum sumber nitrogen anorganik lebih mudah diserap oleh fungi dibanding sumber nitrogen organik (Singh dan Satyarayana 2006). Hal ini yang menyebabkan pada penambahan sumber nitrogen anorganik, seperti NaNO3,aktivitas fitase optimum. Dari hasil pengujian hidrolisis enzim fitase efektip untuk meningkatkan pelarutan posfat organik (Gambar 16). Hal tersebut mengindikasikan enzim fitase dapat melarutkan organik posfat yang terdapat pada ternak berbasis seralia.

Gambar 16. Aktivitas fitase dalam pelarutan posfat

KESIMPULAN Kombinasi substrat Sargassum sp. dan gabah padi mampu dijadikan substrat fermentasi pada produksi selulase, amilase, dan fitase. Kondisi optimum produksi selulase, amilase, dan fitase dari substrat Sargassum sp. dan gabah padi dengan fermentasi fase padat menggunakan mikrob A. niger, R. oryzae, dan N. crassa telah diperoleh pada berbagai parameter yang diujikan efektip menghasilkan enzim fitase, amilase, dan selulase pada media berbasis sargasum dan gabah padi.

DAFTAR PUSTAKA

Aiyer, P.V. 2005. Amylases and Their Applications. African Journal of Biotechnology. 4:125–1529.

Amore A, Giacobbe A, Faraco V. 2013. Regulation of cellulase and hemicellulase gene expression in fungi. Current Genomics. 14: 230-249.

APHA (American Public Health Association). 1976. Determination of inorganic Non Metailic Constituents, in: Standart Methods for the Examination of Water and Wastewater. Washington (US): APHA.

A. niger R. oryzae N. crassaTanpa

penmabahan

Ortopospat 2251 1905 1976 525

0

500

1000

1500

2000

2500

Ort

op

osp

at (

mg/

L)

Page 119: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

113

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Ang SK, Shaza EM Adibah Y, Suraini AA, Madihah MS. 2013. Production of cellulases and xylanase by Aspergillus fumigatus SK1 using untreated oil palm trunk trough solid state fermentation. Process Biochemistry. 48 (9): 1293-1302.

Bala A, Sapna, Jain J, Kumari A, Singh B. 2014. Production of an entracellular phytase from a thermophilic mould Humicola nigrescens in solid state fermentation and its application in dephytinization. Biocatalysis and Agricultural Biotechnology. 3 (3): 259-264

Chandel AK, Silvio S, Walter C, Om VS. 2012. Sugarcane bagasse and leaves: forseeablebiomass of biofuel and bioproduct. J chem Technol Biotechnol. 87: 11-20

De Castro RJS, Sato HH. 2013. Synergistic effects of agroindustrial wastes on simultaneous production of protease and alfa amylase under solid state fermentation using a simplex centroid mixture design. Industrial Crops and Products. 49: 813-821

Dowhanick TM, Russel I, Scherer SW, Stewart GG, Seligy VL. 1990. Expression and regulation of glucoamylase from the yeast Saccharomyces castellii. Journal of Bacteriology. 172 (5): 2360-2366.

Gautam P, Sabu A, Pandey A, szakacs G, soccol Cr. 2002. Microbila productionof extracellular phytase using plystirene as inert solid support. Bioresource. Technol. 83: 229-233

Gupta R, Gigras P, Mohapatra H, Goswani VK, Chauhan B. 2003. Microbial amylases: a biotechnological perspective. Process Biochemistry. 38 (11): 1599-1616.

Greiner R. 2007. Phytate-degrading enzymes: regulation of sinthesis in microorganism and plant. CAB International

Greiner R, Konietzny U. 2006. Phytase for food application. Food Technol. Biotechnol. 44 (2): 125–140.

Hanif A, Yasmeen A, Rajoka M. 2004. Introduction, production, repression, and de-reperession of exoglucanase synthesis in Aspergillus niger. African journal of Biotechnology. 2: 602-619.

Hassouni H, Ismail M, alaoui I, Gaime PI, Augur C, Rousses S. 2006. Effect of culture media and fermentations parameters on phytase production by thermophilic fungus Mycelophothora thermophila in solid state fermentation. Mycologi aplicada Int. 18: 29-36

Ilyas U, Majeed A, Hussain K, Nawaz K, Ahmed S, Nadeem M. 2011. Solid state fermentation of Vigna mungo for cellulase production by Aspergillus niger. World Applied Sciences Journal. 12 (8): 1172-1178.

Kiran EU, Trzcinski AP, LiuY. 2014. Glucoamylase production from food waste by solid state fermentation and its evaluation in the hydrolysis of domestic waste. Biofuel Research Journal. 3: 98-105.

Koswara S. 2009. Teknologi pengolahan beras: teori dan praktek. eBookPangan.com [Internet]

Krishna C. 2005. Solid state fermentation systems- an overview. Critical Reviews in Biotechnology. 25: 1-30.

Mandviwala TN, Khire JM. 2000. Production oh high activity thermo stable phytase from thermotolerant Aspergillus niger in solid state fermentation. J. Ind. Microbiol. Biotechnol. 24: 237-243.

Mun WK, Rahman NA, Aziz S, Sabartnam V, Hasan MA. 2008. Enzimatic hydrolysis of palm oil mill effluent solid using mixed cellulases from locally isolated fungi. Research Journal of Microbiology. 3 (6): 474-481.

Oyekele SB, Oyewole OA, Egwim EC. 2011. Production of protease and amylase from Bacillus subtilis and Aspergillus niger Using Parkia biglobossa (Africa locust beans) as substrate in solid state fermentation. Advances in Life Science. 1 (2): 49-53

Patil PB, Patil PA, Deshmukh RR, Sharanappa A, Patil ID. 2014. Bioprocessing of algal waste for cellulase production by Cellulomonas uda (NCIM 2353). International Journal of Advanced Biotechnology and Research. 5 (3): 547-551.

Page 120: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

114

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Ramachandran S, Patel AK, Nampoothiri KM, Francis F, Nagy V, Szakacs G, Pandey A. 2004. Coconut oli cake- a potential raw material for the production of amylase. Bioresource Technology. 93: 169-174.

Rajoka MI, Yasmeen A. 2005. Induction, and production studies of a novel glucoamylase of Aspergillus niger. World journal of Microbiology & Biotechnology. 21: 179-187.

Saleem A, Ebrahim MKH. 2014. Production of amylase by olated from legume seeds collected in Almadinah Almunawwarah, Saudi Arabia. Journal of Taibah University for Science. 8: 90-97.

Sindhu R, Suprabha NG, Shashidhar S. 2011. Media engineering for the production of cellulase from Penicllium species (SBSS 30) under solid state fermentation. Boitechnol. Bioinf. Bioeng. 1 (3): 343-349

Singh B, Satyanarayana T. 2008. Improved phytase production by thermophilic mould Sporotrichum thermophile in submerged fermentation due statistical optimization. Bioresource Technology. 99: 824-830

Singh S, Gupta A. Comparative fermentation studies on amylase production by Aspergillus flavus TF-8 using Sal (Shorea robusta) deoiled cake as natural substrate: Characterization for potential application in detergency. Industrial Crops and Products. 57: 158-165

Sivaramakrishnan S, Gangadharan D, Nampoothiri KD, Sossol CR, dan Pandey A. 2006. α-Amylase from microbial sources: an overview on recent developments. Food. Technol. Biotechnol. 44: 173-184

Yoon LW, Ang TN, Ngoh GC, Chua ASM. 2014. Review: fungal solid state fermentation and various methods of enhancement in cellulase production. Biomass and Bioenergy. 67: 319-338

Yulianto K. 2010. Sitem produksi alginat: percobaan produksi alginat berbagai grade pada skala semi pilot dengan teknologi meshsize filtration dan potensi bahan baku Sargassum duplicatum C. Agardh serta usaha bududayanya. [Laporan akhir LIPI]

Yunizal. 2004. Teknik Pengolahan Alginat. Jakarta : Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.

Page 121: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

115

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 15.

PEMBUATAN KIT DIAGNOSTIK UNTUK DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DAN

CONDYLOMA BERBASIS MOLEKULER

Sukma Nuswantara*, Dwi Wulandari, Desriani, Asep Ridwanulloh, Henni Widyowati,

Erik Ferdian

Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor, Indonesia

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Human Papillomavirus (HPV) merupakan kelompok yang terdiri dari >100 tipe, namun hanya sekitar 15 tipe yang diketahui menyebabkan kanker serviks(tipe high risk) dan jumlah yang sama (tipe low risk) yang dapat menyebabkan Condyloma acuminata (genital , kutil kelamin). Mengingat kanker serviks merupakan jenis kanker tanpa gejala khas dan ditularkan melalui kontak mukosa, maka deteksi dini merupakan kebutuhan utama yang diperlukan saat ini. Walaupun metoda Pap smear telah dilakukan secara luas, namun metoda ini bersifat kualitatif murni, tidak spesifik mendeteksi tipe HPV serta subjektivitas petugas yang menangani sangat tinggi. Dalam banyak kasus deteksi kanker serviks berlangsung sudah terlambat karena sudah memasuki stadium pra kanker atau kanker. Pada penelitian ini, telah dibuat kit deteksi kanker serviks berbasis molekuler menggunakan teknik PCR multipleks sederhana sehingga deteksi kanker serviks dan condyloma dapat dilakukan lebih dini, cepat dan spesifik dengan objektifitas yang tinggi. Empat buah prototype kit telah dibuat yaitu (1) Kit 1 :Deteksi HPV General (untuk Pria dan Wanita) (2) Kit 2: Deteksi Kanker Serviks (Multiplex PCR, 2 tipe High Risk) (Untuk Wanita) (3) Kit 3: Deteksi Condyloma (Multiplex, 2 tipe Low-risk) (Untuk Pria dan Wanita) (4). Kit 4: Pra Vaksinasi Kanker Serviks (Multiplex PCR, 4 tipe ( untuk Pria dan Wanita). Target konsumen yang ingin dituju adalah: rumah sakit/poliklinik, laboratorium klinik dan jasa, dokter (Obgyn/kandungan dan kebidanan, Kulit dan Kelamin; Penyakit Dalam, Oncolog), pribadi (pengembangan self-sampling device untuk wanita), R&D Laboratorium riset (fakultas kedokteran, virologi, onkologi, dll.). Sedangkan target produsen adalah dalam bidang farmasi, kesehatan dan diagnostik. Kata Kunci: Kit diagnostik kanker serviks, condyloma uminata, human papillomavisus, high risk, low

PENDAHULUAN

Human Papillomavirus(HPV) adalah virus DNA yang menginfeksi sel-sel squamosa daerah leher rahim. Bila infeksi tersebut bersifat persisten maka perkembangannya akan berlanjut menjadi penyakit kanker serviks (kanker leher rahim). Diketahui bahwa HPV yang yang ditemukan pada lebih dari 90% kanker serviks pada wanita adalah tipe High Risk. Infeksi HPV tipe high risk, juga sering disertai dengan infeksi HPV tipe Low Risk yang dapat menyebabkan penyakit Condyloma (genital wart) pada pria dan wanita. Human Papillomavirus (HPV) ditularkan melalui aktifitas seksual atau cara-cara lainnya terutama yang diakibatkan oleh mucosal contact, epithelial-to-epithelial contact atau skin-to-skin contact. HPV dapat pula tertular akibat penyebaran secara vertikal dari ibu ke anak pada saat kelahiran.

Diagnosa kanker serviks dan condyloma selama beberapa dekade sangat mengandalkan pada teknik-teknik berbasis pada sitologi dan pengamatan visual mikroskopik. Pada tahun 1940-an, Dr. Papanicolau mengembangkan teknik deteksi dini

Page 122: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

116

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

kanker serviks yang dikenal dengan nama Pap smear. Pada teknik ini, jaringan epitel mukosa pada mulut rahim diambil dengan cara apusan (swab), kemudian diamati di bawah mikroskop. Seorang dokter patologi anatomi dapat membedakan sel sel normal dari sel kanker serta memberikan saran dan rekomendasi untuk penanganan selanjutnya. Trep, dll. Tehnik Pap smear kemudian mengalami perkembangan sehingga dikenal dengan Liquid pap smear, ThinPrep, dll. Teknik berbasis sitologi memerlukan seorang ahli yang berpengalaman untuk menafsirkan pengamatan sel secara mikroskopik, sehingga bersifat subjektif dan infeksi awal HPV tanpa tanda-tanda perubahan sitologi sulit diamati.

Perkembangan diagnostik molekuler kemudian membuka berbagai kemungkinan baru dalam deteksi kanker serviks dan condyloma, karena bersifat objektif dan lebih spesifik.

Pada penelitian ini, dikembangkan kit deteksi dini kanker serviks dan condyloma berbasis PCR, sehingga objektivitas dan spesifisitas diagnosa menjadi lebih baik dibandingkan dengan metoda sebelumnya. Kelebihan lain adalah bahwa deteksi HPV dapat dilakukan pada pria dan wanita, serta dapat melihat adanya infeksi secara dini sehingga bila pemeriksaan dilakukan secara rutin maka akan terhindar dari kanker seriks dan condyloma.

BAHAN DAN METODE

BAHAN 1. Sample (apusan serviks) pada kertas filter (Whatman FTA Card) 2. DNA elution kit (Whatman) 3. PCR mix 4. PCR primers 5. DNA HPV kontrol 6. Electrophoresis (Agarose gel, TAE buffer) 7. Pelarut: ddH2O dan Tris EDTA buffer 8. PCR gel elution kit 9. Analisis I : Hybrid Capture II 10. Analisis II: PCR genotyping 11. Analisis III: DNA sequencing

METODE

1. HPV-DNA sampling: - inventarisasi sampel pada Whatman FTA card - pengambilan sampel dengan Harris micropunch - pengukuran kualitas dan kuantitas DNA menggunakan Nanodrop

Spectrophotometer. 2. Analisis HPV DNA

a. Penentuan High risk/low risk DNA menggunakan Hybrid Capture II System b. Penentuan tipe HPV DNA dengan PCR genotyping c. Konfirmasi HPV DNA dengan DNA sequencing

3. Primer Design - Penelusuran genom HPV 16, 18, 6 dan 11 pada database (Genebank) - Pemilihan gene targets: L1, L2, E6 dan E7 dari HPV tipe 16, 18, 6 dan 11 - Penetapan primer menggunakan perangkat lunak DNA star

4. Synthetic Gene Design

- Penelusuran genom HPV 16, 18, 6 dan 11 pada database (Genebank) - Pemilihan gene targets: L1, L2, E6 dan E7 dari HPV tipe 16, 18, 6 dan 11 - Penetapan DNA sequence untuk Synthetic Gene

5. Uji coba kit

- PCR singleplex

Page 123: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

117

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

- PCR multiplex - Elektroforesis agarose

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam pembuatan kit diagnostik untuk kanker serviks dan condyloma yang berbasis

molekuler, PCR primer merupakan bahan terpenting karena menentukan spesifisitas HPV DNA yang akan diuji, dan pada akhirnya primer ini akan digunakan sebagai komponen utama dalam produk akhir kit dianostik ini. Pekerjaan secara in silico telah dilakukan, yaitu Primer design untuk marker HPV type high-risk dan low risk (type 16, 18, 6 dan 11). Selain itu telah dilakukan perancangan untuk gen sintetik terhadap L1, L2, E6 dan E7 baik untuk HPV tipe 16 maupun tipe 18 (High risk). Primer yang berhasil disintesis dan diuji-coba adalah sebagai berikut: a. General HPV primer b. Internal control primer (housekeeping gene) c. HPV type 16 primers (F & R) d. HPV type 18 primers (F & R) e. HPV type 52 primers (F & R) f. HPV type 6 primers (F & R) g. HPV type 11 primers (F & R)

Konfirmasi DNA HPV yang digunakan sebagai PCR templat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan metoda Hybrid Capture II dan PCR. Hasil analisis Hybrid Capture berhasil memilah sampel HPV DNA ke dalam 2 golongan besar, yaitu high risk HPV dan low risk HPV.

Isolasi dan purifikasi DNA Human Papillomavirus yang disimpan pada Kertas filter (Whatman FTA card) telah sehingga didapatkan HPV DNA untuk keperluan PCR template. Whatman FTA Card adalah kertas filter yang telah diformulasi mengandung buffer penstabil/pengawet, lysis buffer/denaturant. Sampel mengandung partikel HPV yang diteteskan pada kertas tersebut akan terdenaturasi dan DNA akan terimobilisasi secara semi permanen pada permukaan filter.

Gambar 1 Whatman FTA Card yang telah ditetesi partikel HPV (kiri) dan kertas yang masih baru (kanan). Alat pembuat lubang pada kertas (warna biru) digunakan untuk

sampling, sehingga DNA HPV dapat diisolasi dari potongan kertas (paper disc) berbentuk bulat.

Sampel-sampel HPV DNA yang dikoleksi pada kertas filter dan digunakan sebagai bahan templat tercantum pada Table 1.

Page 124: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

118

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 1 Isolasi dan Purifikasi DNA HPV yang terimobilisasi pada Whatman FTA Card dari berbagai waktu penyimpanan

NO TAHUN KOLEKSI KODE SAMPEL KONSENTRASI DNA

(ng/µL)

1 2002 CC-66 34.0

2 2002 CC-38 57.0

3 2002 CC-34 26.0

4 2002 CC-36 43.0

5 2002 CC-108 52.0

6 2003 CC-114 51.0

7 2003 CC-136 42.5

8 2004 CC-39 33.5

9 2005 CC-146 29.0

10 2002 CC-42 63.5

11 -- CC-08 48.5

12 2002 CC-06 103.0

13 -- CC-11 107.0

14 -- CC-05 57.5

15 -- -- 34.0

16 -- CC-148 37.5

17 -- CC-164 24.5

18 2009 -- 38.0

19 2009 -- 42.5

20 2009 CC-505 69.0

21 2009 -- 43.5

22 2009 -- 40.5

23 2009 CC-487 68.0

24 2009 CC-481 22.0

25 2009 CC-505 42.5

26 2009 CC-497 43.0

27 2010 CC-521 28.5

28 2010 CC-523 27.5

29 2007/2008 MC-01 59.5

30 2007/2008 MC-02 73.0

31 2007/2008 MC-03 56.5

32 2007/2008 MC-04 43.5

33 2007/2008 MC-05 45.5

34 2007/2008 MC-06 46.5

35 2007/2008 MC-07 47.0

36 2007/2008 MC-09 34.5

37 2007/2008 MC-10 41.0

38 2007/2008 MC-11 22.5

39 2007/2008 MC-12 28.5

40 2007/2008 MC-13 24.5

41 2007/2008 MC-14 30.0

42 2007/2008 MC-15 24.0

43 2007/2008 MC-22 37.0

44 2007/2008 MC-16 26.5

45 2008 MC-17 28.0

46 2008 MC-24 18.5

47 2008 MC-25 18.0

48 2008 MC-08 24.0

Pada uji coba ini kit HPV, dilakukan PCR dengan templat dari sembarang tipe HPV.

Hasil menunjukkan bahwa Kit 1 mampu mendeteksi Human Papilloavirus dari sembarang

Page 125: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

119

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

tipe yang diuji . Hal ini sesuai dengan harapan bahwa Kit I akan dipakai dalam General Screening Test, yakni test awal praduga adanya infeksi.

Selanjutnya dilakukan diuji coba menggunakan DNA templat yang berasal dari penderita kanker serviks dan Condyloma acuminata (HPV tipe 16 dan 18 serta HPV tipe 6 dan Tipe 11), juga dengan menyertakan primer untuk general screening. Hasil uji coba berjalan dengan baik dan PCR dapat meresolusi adanya HPV tipe 6 dan 11(Gambar 2).

Gambar 2 Uji coba Kit 1 dan Kit 2 beserta kondisi PCR yang telah dioptimasi.

Gambar 3 Uji Coba Kit 2 beserta kondisi PCR yang digunakan

Setelah uji PCR singleplex dilanjutkan dengan PCR multiplex untuk mendapatkan

formula akhir kit diagnostik yang akan dikemas dalam bentuk paket (Gambar 4). Adapun paket-paket yang telah dikemas adalah sebagai berikut Kit 1: General HPV screening test Kit 2: Kit untuk mendeteksi kanker serviks Kit 3: Kit untuk mendeteksi condyloma acuminata Kit 4: Kit untuk skrining pra vaksinasi

Page 126: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

120

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 4 Kemasan prototipe Kit Kanker Serviks dan Condyloma, terdiri dari Kit 1 (General HPV screening), Kit 2 (Deteksi Kanker Serviks), Kit 3 (Deteksi

Condyloma) dan Kit 4 (Test Pra Vaksinasi dan genotyping)

Dibandingkan dengan metoda deteksi kanker serviks Pap smear yang hanya digunakan untuk kaum wanita (sudah menikah), kit ini dibuat untuk dapat mendeteksi HPV pada pria dan wanita semua umur. Sampel yang digunakan dapat diambil dari berbagai tipe sampling klinis yang ada, antara lain darah (dan cairan biologis lain seperti urine, sputum, dll), jaringan padat, blok parafin maupun sampel apusan serviks. Jenis sampel yang terakhir memungkinkan dilakukan uji paralel antara Pap smear dengan test pada kit ini.

KESIMPULAN

Prototipe kit diagnostic untuk mendeteksi Kanker Serviks dan Condyloma telah berhasil dibuat. Keseluruhan system diagnostic ini dikemas dalam 4 buah kit yang dapat digunakan sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan secara berurutan. Kelebihan dari kit diagnostic ini adalah sebagai berikut:

1. Dibuat dari sumber daya genetika HPV varian Indonesia, walaupun demikian dapat pula digunakan untuk varian HPV secara umum

2. Dapat digunakan untuk pria dan wanita tanpa batasan usia maupun status menikah atau belum menikah

3. Kompatibel untuk berbagai jenis sampel klinis 4. Dirancang untuk tipe HPV dengan prevalensi tinggi sehingga tidak perlu melakukan

genotyping yang rumit 5. Kit ini berbasis PCR multleks sehingga diagnose kanker serviks dan condyloma

dapat dilakukan secara dini, cepat dan akurat

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kami tujukan untuk Kedeputian IPH LIPI yang telah memberi

dana untuk penelitian ini selama 1 tahun, kepada Puslit Biomaterial LIPI selaku koordinator Riset Komersil yang telah melakukan pengelolaan cluster ini dengan baik. Kepada Puslit Bioteknologi LIPI atas segala perijinan dan fasilitas penelitian, juga kepada Pusat Inovasi LIPI atas bimbingan penulisan paten serta kepada para pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Clifford G, Franceschi S, Diaz M, Muñoz N, Villa LL. Chapter 3: HPV type-distribution in women with and without cervical neoplastic diseases. Vaccine 2006; 24(Suppl 3):S26-34.

Page 127: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

121

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

[2] Coste J, Cochand-Priollet B, de Cremoux P, et al. (2003). "Cross sectional study of conventional cervical smear, monolayer cytology, and human papillomavirus DNA testing for cervical cancer screening". BMJ326 (7392): 733.

[3]I. Kraus, T. Molden, R. Holm, A.K. Lie, F. Karlsen, G.B. Kristensen, and H. Skomedal, Presence of E6 and E7 mRNA from Human Papillomavirus Types 16,18, 31, 33, and 45 in the Majority of Cervical Carcinomas. Journal of Clinical Microbiology 44 (2006) 1310–1317.

[4]F.X. Bosch, M.M. Manos, N. Munoz, M. Sherman, A.M. Jansen, J. Peto, M.H. Schiffman, V. Moreno, R. Kurman, and K.V. Shah, Prevalence of human papillomavirus in cervical cancer: a worldwide perspective. J. Natl. Cancer Inst. 87 (1995) 796–802.

[5]L.W. Huang, S.L. Chao, P.H. Chen, and H.P. Chou, Multiple HPV genotypes in cervical carcinomas: improved DNA detection and typing in archival tissues. . J. Clinical Virology 29 (2004) 271–276.

[6]Cogliano, R.B. V., K. Straif, Y. Grosse, B. Secretan, and F.E. Ghissassi., Carcinogenicity of human papillomaviruses. Lancet Oncology 6 (2005) 204.

[7]N. Speich, C. Schmitt, R. Bollmann, and M. Bollmann, Human papillomavirus (HPV) study of 2916 cytological samples by PCR and DNA sequencing: genotype spectrum of patients from the West German area. Journal of Medical Microbiology 53 (2004) 125-128.

[8]D. Solomon, Bethesda System: Terminology for reporting results of cervical cytology. JAMA 287 (2002) 2114-2119.

[9]A.G. Waxman, Pap test every year? Not for every woman. OBG Management 16 (2004) 36-56.

[10]G. Ronco, N. Segnan, and P. Giorgi-Rossi, Human papillomavirus testing and liquid-based cytology: results at recruitment from the new technologies for cervical cancer randomised controlled trial. J. National Cancer Institute 98 (2006) 765-774.

[11]A. Lorincz, and R. Richart, Human papillomavirus DNA testing as an adjunct to cytology in cervical screening programs. Arch. Pathol. Lab. Med 127 (2003) 959-968.

[12]S. Ko¨ sel, S. Burggraf, J. Mommsen, W. Engelhardt, and B. Olgemo¨ ller, Type-specific detection of human papillomaviruses in a routine laboratory setting –improved sensitivity and specificity of PCR and sequence analysis compared to direct hybridisation. . Clin Chem Lab Med 41 (2003) 787–791.

[13]K.J. Watts, C.H. Thompson, Y.E. Cossart, and B.R. Rose, Sequence variation and physical state of human papillomavirus type 16 cervical cancer isolates from Australia and New Caledonia. Int. J. Cancer 97 (2002) 868–874.

[14] Bernard, E. et al. 2013. Comparing human papillomavirus prevalences in women with normal cytology or invasive cervical cancer to rank genotypes according to their oncogenic potentials: a meta-analysis of observational studies. BMC Infectious Diseases 2013 13:373.

[15] Chan, P.K.S., et al. 2012. Laboratory and clinical aspects of human papillomavirus testing. Crit. Rev. Clinical Laboratory Sciences 49(4):117-136.

[16] Jaisamrarn, U. et al. 2013. Natural history of progression of HPV infection to cervical cancer lesion or clearance: Analysis of the control arm of the large randomized Patricia Study. Plos One 8(11)11, e79260.

et al. 2010. Prospective study of HPV types, HPV persistence and risk of squamous cell carcinoma of the cervix. Cancer Epidemiol. Biomarkers Prev. 19(10):2469-2478.

Page 128: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

122

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 16.

PENGEMBANGAN SUPLEMEN PROTEIN (ANTIOKSIDAN) BERBASIS GANGGANG

LAUT (ARTHROSPIRA)

Dwi Susilaningsih*, Hani Susanti, Hilda Farida, Puspita Sari Harahap, Rifana Sobari, Peza Batamarlia Reko, Cici Rahmawati

Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor, Indonesia e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Arthrospira merupakan jenis ganggang renik laut yang berwarna biru-hijau, berprotein

tinggi dan mengandung vitamin A dan E yang memacu sel beregenerasi dengan baik sehingga menjaga kebugaran dan protein untuk melindungi sel-sel yang rusak. Mikroalga Arthrospira telah dikenal sebagai mikroalga komersil yang telah banyak dimanfaatkan dalam industri kesehatan, suplemen pangan, makanan ternak, dan industri farmasi. Kandungan protein yang tinggi membuat Arthrospira layak dijadikan suplemen pangan yang bermanfaat untuk masyarakat. Peluang yang dimiliki mikroalga ini, memerlukan sistem pembudidayaan mikroalga yang dapat memberi kontribusi solusi untuk masalah sumber energi terbarukan. Oleh karena itu dikembangkan suatu rancangan bioreaktor sederhana berbasis resirkulasi tertutup serta kemampuan produksi mikroalga dengan rancangan tersebut. Bioreaktor menggunakan prinsip resirkulasi tertutup dengan menggunakan bahan transparan sebagai media sirkulasinya dan menguji rancangan bioreaktor tersebut dengan menggunakan mikroalga Arthrospira untuk mengetahui besar peningkatan pertumbuhannya sehingga dapat dimanfaatkan dalam pengembangan produk komersial Arthrospira sebagai suplemen pangan dan dikembangkannya formulasi dan kemasan produk Arthrospira sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat luas untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh.

Kata kunci : mikroalga, Arthrospira, protein tinggi, suplemen pangan

PENDAHULUAN

Mikroalga berpotensi dibudidayakan secara massal di daerah maritim yang beriklim

tropis seperti Indonesia. Kemampuan utama mikroalga dalam membuat cadangan makanan sendiri melalui proses fotosintesa membuka peluang mikroba jenis ini untuk dijadikan berbagai sumber bahan yang berguna bagi manusia (Li, 2011). Budidaya mikroalga memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan tanaman dan mikroba konvensional. Kelebihan tersebut antara lain: kecepatan tumbuh yang tinggi yang menjamin pasokan biomassa berkelanjutan, membutuhkan sedikit air, sangat toleran terhadap kadar CO2 yang tinggi, kebutuhan nitrogen yang sedikit, dan dapat diproduksi secara massal. Meskipun demikian, budidaya mikroalga memiliki beberapa kekurangan, yaitu konsentrasi biomasa yang kurang stabil karena problema penetrasi cahaya ke dalam air, proses panen yang sangat mahal karena selnya yang kecil, proses pengeringan yang membutuhkan waktu, dan biaya serta kepercayaan masyarakat industri yang rendah untuk mengkomersialkanya (Harun et al, 2008; Wilkie et al., 2011). Rekayasa mikroalga, selain sebagai tantangan, juga merupakan peluang untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas senyawa produk yang diinginkan (lipid, karbohidrat, protein). Keragaman mikroalga memberikan tantangan dan peluang tersendiri dalam penapisan mikroalga potensial.

Mikroalga mempunyai habitat yang sangat luas mulai dari perairan, padang pasir,

Page 129: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

123

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

sampai pada daerah kutub. Kelompok mikroalga terdiri dari 10 kelas yang tersebar dari kelompok prokariot dan eukariot yang dicirikan melalui pembentukan makanan cadanganya, warna pigment dan evolusi selnya, yaitu Chlorarachniophyta, Euglenophyta, Chlorophyta, Glaucophyta, Rhodophyta, Cryptophyta, Chromophyta, Haptophyta, Dinophyta, dan Cyanobakteria (Hoek, et.al., 1995). Keragaman tersebut juga mengakibatkan heterogenitas senyawa yang diproduksi, kualitas, dan kuantitasnya. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk menemukan mikroalga potensial sebelum melakukan rekayasa genetik melalui karakterisasi dan identifikasi mikroalga murni. Mikroalga sebagai supplemen pangan telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu dimana masyarakat Meksiko telah mengkonsumsi sejenis Spirulina dari danau Chat, dan sampai sekarang produk berbasis mikroalga berkembang di berbagai produk seperti zat gizi tambahan pada susu, antioksidan, antiaging dan lain-lainya. Arthrospira merupakan jenis ganggang renik laut yang berwarna biru-hijau, berprotein tinggi dan mengandung vitamin A, Vitamin E dan Energi yang tinggi dengan kandungan lipida yang rendah. Jenis Arthrospira ini termasuk didalamnya adalah Spirulina dijuluki “magical plant” karena komposisi selnya yang menyuguhkan beragam kandungan esensial seperti antioksidan sebagai penangkal radikal bebas, vitamin A dan E yang memacu sel beregenerasi dengan baik sehingga menjaga kebugaran dan protein untuk melindungi sel-sel yang rusak. Menurut jurnal majalah farmasi internasional (Ali dan Said, Int. J. Of Pharmacy and Pharmaceuticals, Vol 4, issue 3, 2012) menyebutkan jenis jasad renik yang dipercaya merupakan setengah tanaman dan setengah bersifat bakteri ini mempunyai kasiat sebagai berikut; “Supports cardiovascular, eye and brain health, boosts immunity and energy. It is the most complete food source in the world with over 100 nutrients, 60% protein content, the highest levels of carotenoids and high in antioxidants known to promote health and longevity”. Studi suplemen pangan penambah daya Imun atau kekebalan tubuh ini, dipelajari oleh Milasius dkk (Biology of Sport, Vol. 26 No 2, 2009).

Kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan “super food Arthrospira” menjadi produk komersial suplemen pangan untuk menambah daya tahan tubuh dan menanggulangi kekurangan nutrisi. Ganggang Arthrospira terpilih merupakan bibit lokal berasal dari laut Semarang ditumbuhkan pada media berbasis air laut bernutrisi dan bergaram tinggi sehingga relatif tidak ada kontaminasi.

BAHAN DAN METODE

Penggandaan skala mikroalga

Hal pertama yang harus dilakukan dalam penggandaan skala mikroalga adalah menyiapkan bibit untuk 2000 liter kultur sebesar 200 liter per minggu dan persiapan medium berupa Zarouk Medium sebanyak 20 liter per minggu. Tahapan selanjutnya adalah melakukan pengkulturan (kultivasi) selama 5-7 hari. Proses pembersihan bioreaktor dilakukan selama 1-2 hari.

Pemanenan

Pemanenan mikroalga Arthrospira dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu dengan cara penyaringan (filtrasi) menggunakan kain screen dan dilakukan selama 1 hari, selanjutnya dilakukan penimbangan bobot biomassa basah hasil panenan.

Pengeringan

Pengeringan biomassa basah dilakukan dengan cara melakukan pemaparan biomassa di bawah sinar matahari langsung selama 2-3 hari. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering (oven) selama 2-3 hari.

Formulasi

Biomassa yang telah kering dihaluskan dengan cara menggiling dengan mesin penggiling. Serbuk Arthrsopira disimpan di dalam wadah bersih dan terlindung dari cahaya matahari. Sediaan biomassa kering tersebut digunakan untuk produk kapsul, kaplet, dan

Page 130: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

124

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

formulasi cair. Kontrol kualitas biomasa dilakukan dengan melakukan analisa proksimat yang meliputi analisa kandungan protein, karbohidrat, dan lemak. Uji kebusukan (decay) juga dilakukan untuk mengetahui daya simpan biomassa kering Arthrospira.

Pengemasan

Pengemasan produk mikroalga Arthrospira dalam bentuk kapsul, kaplet, dan formula cair.

Pemasaran

Pemasaran produk dilakukan melalui workshop atau pameran, Pusat Inovasi LIPI, dan melakukan promosi-promosi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembibitan yang berkesinambungan telah dilakukan pada skala 200 liter. Pembibitan

dilakukan pada akuarium skala penanaman 100 liter sebanyak 3 buah. Bibit yang digunakan untuk penanaman kultur adalah 10% dari volume total kultur. Untuk penanaman kultur mikroalga dan bakteri biasanya bibit yang digunakan antara 10% - 25%. Jika bibit yang digunakan kurang dari 10% maka mikroalga tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Pada fase awal (phase lag) pertumbuhan terjadi penambahan jumlah sel yang sedikit. Pada fase ini biasanya terjadi stressing fisiologi karena terjadi perubahan kondisi lingkungan media hidup dari satu media awal ke media yang baru. Kelarutan mineral dan nutrien lebih banyak dari sebelumnya, sehingga akan mempengaruhi sintesis metabolik dari konsentrasi rendah ke konsentrasi yang tinggi. Perubahan-perubahan inilah yang membuat sel mikroalga mengalami proses penyesuaian.

Penanaman kultur Arthrospira dilakukan secara bertahap. Penanaman kultur volume 500 ml menggunakan bibit sebanyak 50 ml, ditumbuhkan selama 1-2 minggu dan selanjutnya kultur 500 ml tersebut digunakan sebagai bibit untuk penanaman volume 5 liter. Penanaman volume 5 liter biasanya ditumbuhkan di dalam galon dan ditumbuhkan selama 1-2 minggu untuk selanjutnya digunakan sebagai bibit untuk skala akuarium. Penanaman skala akuarium sebanyak 100 liter dan menggunakan bibit dari galon sebanyak 10 liter. Kultivasi mikroalga pada skala bioreaktor menggunakan bibit yang berasal dari kultur di akuarium. Kultivasi pada bioreaktor dilakukan selama 5-7 hari dan mengunakan 20 tabung bioreaktor berkapasitas 100 liter per tabung. Stok bibit harus selalu tersedia untuk menunjang ketersedian kultur. Pemanenan dilakukan dengan cara disaring (filtrasi) menggunakan saringan screen. Biomassa hasil panenan di timbang bobot basahnya, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari. Biomassa yang telah kering dihaluskan dengan cara menggiling dengan mesin penggiling. Serbuk Arthrsopira disimpan di dalam wadah bersih dan terlindung dari cahaya matahari.

Sediaan biomassa kering yang telah digiling digunakan untuk produk kapsul, kaplet, dan formulasi cair. Untuk target yang tercapai tahun ini baru sampai tahapan pengembangan produk dalam bentuk kapsul suplemen protein. Kapsulisasi sudah dilakukan secara mandiri menggunakan mesin filling kapsul. Target produksi produk adalah 100 botol per bulan. Di dalam satu buah botol kapsul berisi 50 kapsul yang masing-masing berisi 250 mg bubuk Arthrospira, sehingga untuk target produksi sebanyak 100 botol/bulan dibutuhkan bubuk Arthrospira sebesar 1.250 gram. Pengemasan dan pelabelan produk masih dilakukan secara manual oleh anggota kelompok kegiatan kami.

Hasil lain yang dicapai adalah patent yang telah terdaftar sebanyak dua buah. Pendaftaran patent pertama dengan judul ”Reaktor Tertutup Untuk Budidaya Mikroalga” dengan nomor pendaftaran patent S00201501895. Pendaftaran patent yang kedua berjudul ”Proses Bioproduksi Mikroalga Tropika” dengan nomor pendaftaran patent P00201504004.

Page 131: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

125

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

KESIMPULAN

Penggandaan skala mikroalga atau kultivasi telah dilakukan pada bioreaktor transparan sistem tertutup sebanyak 2000 liter dan dilakukan secara kontinyu. Produk yang telah tercapai yaitu dalam bentuk kapsul suplemen protein dengan target produksi 100 botol per bulan. patent telah berhasil didaftarkan sebanyak dua buah judul patent.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami tujukan kepada LIPI atas didanainya penelitian ini melalui

DIPA 2015.

DAFTAR PUSTAKA Ali dan Said. 2012. Int. J. of Pharmacy and Pharmaceuticals 4(3). Biology of Sport. 2009. Vol. 26 No 2, 2009. Ciferri, O. 1983. Spirulina, The edible microorganism. Mic Rev. American Society for

Microbiology. 47(4): 551–578. Hoek CVD, Mann DG, Jahns HM. An introduction to phycology. Algae; Cambridge

University Press 2012. ISBN. 0 521 30419 9. Li, Xin, Hu Hong-ying, Zhang Yu-Ping. 2011. Growth and lipid accumulation properties of

freshwater microalga Scenedesmus sp. Under different cultivation temperature. Bioresource Tech 102: 3098-3102.

Harun R, Singh M, Forde GM, Danquah MK. Bioprocess engineering of microalgae to produce a variety of consumer products. Renewable and Suistainable Energy 2009;14; 1037-1047.

Suantika G, Hendrawandi D. 2009. Efektivitas Teknik Kultur menggunakan Sistem Kultur Statis, Semi-kontinyu, dan Kontinyu terhadap Produktivitas dan Kualitas Kultur Spirulina sp. Jurnal Matematika dan Sains, 14(2):41-50.

Wilkie AC, Edmundson SJ, Duncan JG. Indigenous algae for local bioresource production: Phycoprospecting. Energy for sustainable development 2011;15: 365-371.

Page 132: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

126

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 17.

MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN, PANTAUAN REPRODUKSI DAN BONDING

PADA OPOSUM LAYANG (Petaurus breviceps) DI PENANGKARAN

Wartika Rosa Farida*, Andri Permata Sari, Herjuno Ari Nugroho,

Tri Hadi Handayani, dan Umar Sofyani

Pusat Penelitian Biologi – LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor KM 46, Cibinong 16911, Bogor, Indonesia

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Guna memenuhi kebutuhan nutrisi pada oposum layang di penangkaran, maka telah diberikan pakan berupa bubur Leadbeater dan jus buah-buahan. Selain itu diberikan juga pakan serangga (ulat jerman dan jangkrik) sebagai pakan alaminya. Dari hasil pengukuran, rataan konsumsi pakan Leadbeater sebesar 11,4 gram per ekor, sedangkan jus buah-buahan sebesar 16,1 gram per ekor. Pemberian pakan modifikasi Leadbeater, buah-buahan, dan ulat ini memiliki kandungan nutrisi yaitu 19% protein; 8,8% lemak; 3,5% Ca; dan 0,5% P. Terjadi peningkatan kelahiran anak oposum layang sejak Maret hingga Oktober 2015, dengan rataan kelahiran anakan 4,75 ekor per bulan. Proses bonding dilakukan sejak anak opossum berumur 2 bulan, guna mendapatkan anakan oposum yang jinak sebagai produk pet animals. Kata Kunci: Pakan, reproduksi, bonding, oposum layang, Petaurus breviceps

PENDAHULUAN

Oposum layang atau lebih dikenal dengan sugar glider merupakan mamalia kecil yang tengah menjadi tren bagi komunitas pecinta hewan. Persebarannya meliputi Papua, Halmahera, Tasmania, dan Australia. Satwa ini mendiami sarang berupa lubang-lubang pohon di hutan primer dan sekunder dalam kelompok berjumlah 5-12 ekor (Flanery, 1995). Oposum layang ditetapkan IUCN dalam status konservasi Least Concearn dan tidak ditetapkan dalam status perdagangan CITES karena populasinya yang masih tinggi di alam (Salas et al., 2008).

Hewan yang tergolong ke dalam famili Petauridae merupakan hewan berkantung (marsupialia), bersifat nokturnal dan omnivorus (Dierenfeld, 2009). Di alam, hewan ini memakan berbagai getah pohon yang kaya karbohidrat, nektar, polen, berbagai macam serangga dan arahnida (Johnson, 2013). Di habitatnya, oposum layang hidup berkelompok di dalam sarangnya, eksklusif, dan menandai daerah teritorinya dengan urinnya.

Smith (1982), Henry & Suckling (1984), dan Nagy & Suckling (1985) mengklasifikasi 6 kelompok pakan oposum layang, yaitu artropoda, getah eukaliptus, getah akasia, manna, honeydew, serta nectar dan pollen. Dilaporkan oleh Johnson (2013), pakan oposum layang sekitar 50% terdiri dari gula tanaman seperti nektar, sirup maple, madu, maupun produk artifisial nektar lainnya. Sedangkan sisa 50% pakan lainnya didapatkan dari serangga atau protein hewani lainnya. Menurut Dierenfeld (2009), buah-buahan mengandung kalsium (Ca) yang rendah dibandingkan phosphor (P) harus diberikan seminimal mungkin. Ratio Ca:P sedapat mungkin 1:1 atau 2:1. Defisiensi Ca dapat menyebabkan tetanus pada oposum layang (Ness dan Booth, 2004). Sebagai pengganti nektar, bisa diberikan pakan alternatif berupa bubur olahan yang disebut “Leadbeater”. Dierenfeld et al (2006) telah melakukan penelitian menggunakan modifikasi pakan Leadbeater. Pakan tersebut telah terbukti berhasil diterapkan di beberapa kebun binatang dan penangkaran oposum layang.

Page 133: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

127

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Masa bunting oposum layang cukup singkat yaitu 15-17 hari dengan jumlah kelahiran anak 1-2 ekor per kelahiran. Di dalam kantung induk oposum terdapat 2 puting susu dan anaknya akan berada dalam kantung induknya selama 2 bulan. Menurut Johnson-Delaney (2002), oposum yang dipelihara di penangkaran akan bereproduksi sepanjang tahun. Guna meningkatkan jumlah populasi oposum di penangkaran, maka pantauan reproduksi beserta pengelolaannya harus mendapat perhatian, guna menghindari kematian anak maupun induk di penangkaran.

Dalam menangkarkan oposum layang untuk tujuan komersil, maka proses bonding atau penjinakan dilakukan sejak oposum masih berumur muda. Karena semakin dewasa oposum akan semakin sulit dijinakkan. Oposum yang jinak akan lebih menarik dan disukai konsumen, karena dapat menjadi hewan kesayangan yang bisa diajak bermain-main, bahkan dengan anak-anak.

Kegiatan ini bertujuan mengoptimalkan kebutuhan nutrisi bagi oposum layang yang diharapkan menunjang peningkatan reproduksinya di penangkaran.

BAHAN DAN METODE

Pakan yang diberikan kepada oposum layang adalah pakan bubur modifikasi Leadbeater, jagung manis dan berbagai serangga (Tabel 1), sedangkan komposisi bubur Leadbeater dapat dilihat pada Tabel 2. Selain itu, oposum juga diberi sari buah dalam bentuk jus yang diolah dari berbagai jenis buah-buahan. Pakan Leadbeater dan jus buah disiapkan dan disajikan pada pukul 15.00. Serangga diberikan seminggu dua kali, yaitu ulat Jerman (mealworm) pada hari Senin, dan jangkrik pada hari Kamis. Tabel 1. Komposisi Pakan untuk Oposum Layang

Jenis Pakan Jumlah yang disajikan (g)

Pakan bubur Leadbeater 50

Jagung manis 10

Ulat Jerman/Jangkrik (2 kali seminggu) 4 ekor

Komposisi bubur Leadbeater : 36 % Madu, 36 % air hangat, 14 % telur rebus, 4 % bubur sereal bayi, 9 % pisang siam, dan 1% calcium Tabel 2. Komposisi pakan Leadbeater untuk Oposum Layang

Bahan pakan Jumlah (g)

Madu 150

Air hangat 150

Telur rebus 3 butir

Bubur cereal bayi 100

Pisang 180

Melon 80

Semangka 70

Jagung manis pipil 50

Jambu biji 60

Pepaya 40

Sebelum disajikan semua bahan pakan pada Tabel 2 dihaluskan menggunakan

blender. Pakan Leadbeater diberikan sebanyak 50 gram untuk masing-masing kandang (2 ekor oposum layang).

Selama proses pengamatan, suhu dan kelembaban dicatat sebanyak 3 kali tiap harinya, yaitu pagi hari pukul 6.00, siang hari pukul 12.00, dan sore 18.00 WIB. Suhu berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pada oposum layang.

Pantauan reproduksi dimulai dengan pencatatan sejak terjadi perkawinan pasangan oposum layang, bunting, dan kelahiran anak. Pertumbuhan anak juga diawasi hingga anak

Page 134: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

128

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

lepas sapih dari induknya pada umur sekitar 4 bulan. Pengumpulan data dilakukan sejak bulan Maret hingga akhir Oktober 2015.

Proses bonding (penjinakan) dilakukan sejak anak oposum berumur sekitar 2 bulan. Dimulai dengan memberikan makanan langsung dengan tangan dan anak opossum akan mengambil makanan tersebut; diikuti dengan mengusap tubuh anak oposum, meletakkannnya di tangan, pundak, kepala, hingga anak oposum diajak jalan-jalan disekitar penangkaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Oposum layang saat ini memang menjadi popular karena tingginya minat untuk menjadikan satwa ini sebagai hewan peliharaan. Namun, masih perlu dikaji mengenai kebutuhan nutrisi yang diperlukan satwa ini guna menunjang pertumbuhan dan reproduksinya di penangkaran.

Rata-rata suhu dan kelembaban disekitar penangkaran pada pagi, siang, dan malam hari adalah 24,6°C dan 88%; 31,9°C dan 61%; 26,7°C dan 80%. Suhu dan kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pakan oleh hewan. Semakin tinggi suhu semakin menurun tingkat konsumsi hewan terhadap pakan. Rataan konsumsi pakan oleh oposum adalah 27,5 gram per ekor yang terdiri dari 11,4 gram pakan modifikasi Leadbeater dan 16,1 gram jus buah-buahan. Hal ini sejalan dengan penelitian Dierenfeld et al. (2006) yang melaporkan rata-rata oposum layang menghabiskan 26 g sampai 37 g pakan basah per harinya (sekitar 30%-40% dari berat badan) dengan 70% kandungannya adalah air. Jumlah pakan yang tepat yang dikonsumsi oleh oposum perlu ditetapkan untuk mencegah oposum layang menderita malnutrisi, obesitas, bahkan penyakit lain yang mempengaruhi kesehatannya. Modifikasi pakan Leadbeater menjadi pakan yang sering diberikan kepada oposum layang, karena pakan ini telah banyak digunakan di kebun binatang dan penangkar komersial. Dilaporkan oleh Dierenfeld et al., (2006), pemberian pakan modifikasi Leadbeater, buah-buahan, dan ulat ini memiliki kandungan nutrisi yaitu 19% protein; 8,8% lemak, 3,5% Ca; dan 0,5% P. Dengan komposisi tersebut, protein yang tersedia yaitu sebesar 1330 mg. Smith dan Green (1987) mengemukakan bahwa kebutuhan protein oposum layang yaitu sebesar 248 mg protein kasar per 100 gram bobot badannya. Dalam hal ini, protein yang dikonsumsi oposum layang melebihi kebutuhan protein dasar yang diperlukannya. Protein tinggi sangat dibutuhkan dalam masa reproduksi hewan. Selain itu, induk hewan yang sedang menyusui, anak hewan dalam masa pertumbuhan, dan masa reproduksi membutuhkan protein 4 kali lebih tinggi (Hume, 1999).

Gambar 1. Perkembangan kelahiran anak oposum layang Maret hingga Oktober 2015 di penangkaran

Imbangan kandungan Ca:P dalam pakan oposum layang harus diperhatikan.

Dierenfeld et al. (2006) mengatakan perbandingan optimal kadar Ca:P pakan yaitu berkisar 1:1 – 2:1. Dilaporkan oleh Ness (2004), defisiensi kalsium dapat menyebabkan tetanus

0

1234

567

8

Page 135: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

129

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

pada oposum. Banyaknya tingkat konsumsi buah berkaitan dengan rendahnya kalsium yang ada di pakan. Oleh karena itu, pemberian pakan buah harus dibatasi untuk mencegah kekurangan kalsium pada oposum layang. Hal ini dapat pula diatasi dengan suplementasi kalsium tambahan pada pakan.

Dari hasil pantauan reproduksi oposum layang di penangkaran selama 9 bulan (Februari s.d. Oktober 2015), total jumlah anakan yang lahir 38 ekor dari 20 pasang induk oposum. Rata-rata kelahiran anak per bulannya adalah 4,75 ekor. Secara rataan setiap induk pasangan oposum baranak 1-2 ekor anak. Dari Triwulan III ke Triwulan IV terjadi peningkatan reproduksi (kelahiran anak oposum) sebesar 95,83%. Jumlah kelahiran anak oposum akan lebih banyak, bila jumlah pasangan indukan lebih ditingkatkan lagi. Grafik kelahiran anak oposum layang di penangkaran tertera pada Gambar 1 dan terlihat peningkatan jumlah kelahiran anak sejak Maret hingga Oktober 2015.

Proses bonding (penjinakan) dilakukan pada anakan oposum yang berumur 8 minggu (2 bulan), tujuannya agar mudah dalam penanganan dan pemeliharaan di penangkaran dan selain itu sebagai produk dari kegiatan yang ditargetkan untuk produk komersil sebagai pet animals. Proses bonding setiap hari dilakukan melalui kontak langsung antara peneliti, teknisi dengan anakan oposum layang, dengan cara memberi pakan langsung dari tangan peneliti/teknisi, mengusap, mengangkat dan meletakkan di tangan, pundak, atau kepala, di masukkan ke dalam saku baju dan dibawa keluar kandang untuk berjalan-jalan beberapa saat di sekitar penangkara (Gambar 1).

Gambar 2. Proses bonding (penjinakan) anakan oposum layang

KESIMPULAN

Pakan leadbeater disukai oleh oposum layang dan berpengaruh baik terhadap penampilan dan kesehatan oposum di penangkaran. Pakan alami oposum tetap diberikan di penangkaran berupa ulat jerman dan jangkrik guna memenuhi kebutuhan protein hewani. Terjadi peningkatan laju reproduksi (kelahiran anakan) oposum layang sejak Maret hingga Oktober 2015. Peningkatan kelahiran anakan opossum dari Triwulan III ke Triwulan IV sebesar 95,83%. Proses bonding (penjinakan) pada anakan oposum layang dilakukan guna mendapatkan anakan yang jinak, mudah dalam penanganan/pemeliharaan, dan siap sebagai produk komersil ‘pet animals’.

DAFTAR PUSTAKA

Dierenfeld, E.S. 2009. Feeding Behavior and Nutrition of The Sugar Glider (Petaurus

breviceps). Vet. Clin. Exot. Anim. 12:209-215. Dierenfeld, E.S., D. Thomas & R. Ives. 2006. Comparison of Commonly Used Diets on

Intake, Digestion, Growth, and Health in Captive Sugar Gliders (Petaurus breviceps). J. Exot. Pet Med. 15(3):218-224.

Flannery, T.F. 1995. Mammals of New Guinea. Chatswood: Reed Book. Pp. 204-209.

Page 136: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

130

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Henry SR, Suckling GC (1984) A review of the ecology of the sugar glider. In: Smith AP, Hume ID (eds) Possums and gliders. Australian Mammal Society, Sydney, pp 355–358

Hume, I.D. 1999. Marsupial Nutrition. Cambrige UK: Cambridge University Press. Johnson, D.H. 2013. Sugar Glider Medicine and Disease. Western Veterinary Conference. Johnson-Delaney, C. 2002. Other Small Mammals. In Meredith, A., and Redrobe, S. (eds.).

BSAVA Manual of Exotic Pets. Fourth edition. BSAVA, Quedgeley, Gloucester, UK. Pp. 102-106.

Nagy KA, Suckling GC (1985) Field energetics and water balance of sugar gliders, Petaurus breviceps (Marsupialia: Petauridae). Aust J Zool 33:683–691

Ness, R.D. & R. Booth. 2004. Sugar Gliders. In: Quesenberry KE, Carpenter JW, editors.Ferrets, Rabbits, and Rodents Clinical Medicine and Surgery. 2nd edition. Saint Louis (MO): Elsevier Inc; pp 330–338.

Salas, L., Dickman, C., Helgen, K., Winter, J., Ellis, M., Denny, M., Woinarski, J., Lunney, D., Oakwood, M., Menkhorst, P. & Strahan, R. 2008. Petaurus breviceps. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3. [www.iucnredlist.org]. Diakses 27 March 2015.

Smith, A.P. 1982. Diet and Feeding Strategies of The Marsupial Sugar Glider in Temperate Australia. J. Anim. Ecol. 51:149-166.

Smith, A.P. dan Green S.W. 1987. Nitrogen Requirements of The Sugar Glider (Petaurus breviceps), an Omnivorous Marsupial, on A Honey-Pollen Diet. Physiol Zoo 60:82-92.

Page 137: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

131

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 18.

PEMERIKSAAN DAN KASUS MEDIK PADA OPOSUM LAYANG (Petaurus breviceps

WATER HOUSE, 1839) DI PENANGKARAN

Herjuno Ari Nugroho*, Wartika Rosa Farida, Andri Permata Sari

Pusat Penelitian Biologi - LIPI

Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong 16911, Bogor, Indonesia *email: [email protected]

ABSTRAK

Tindakan medik perlu dilakukan pada satwaliar di Fasilitas Penangkaran Satwa untuk mencegah penularan penyakit, mendiagnosa kejadian penyakit, mengobati hewan sakit dan rehabilitasi paska sembuh. Tindakan medis yang dilakukan untuk oposum layang (Petaurus breviceps) meliputi pengobatan untuk oposum layang yang mengalami infeksi sekunder dari luka traumatik dan pemeriksaan fisik pada 18 ekor oposum yang akan digunakan pada Expo Produk Komersil LIPI. Pengobatan pada oposum yang terluka tidak memberikan hasil yang bagus dan berakhir pada kematian hewan karena kondisi hewan sudah sangat lemah. Sementara berdasarkan pemeriksaan fisik pada 18 ekor oposum , ditemukan bahwa sebanyak 15 ekor oposum layang perlu meningkatkan berat badan mencapai kisaran berat badan ideal dewasa, 1 ekor mengalami pra-obesitas, 1 ekor perlu pengawasan karena sedikit mengalami kenaikan suhu badan dan dua ekor megalami patah gigi. Kasus-kasus yang ditemukan merupakan kasus ringan akan tetapi memerlukan pengawasan akan kemungkinan timbulnya penyakit yang lebih parah, perbaikan gizi dan perbaikan manajemen monitoring kandang. Kata kunci: Oposum layang, tindakan medis, kesehatan

PENDAHULUAN

Oposum layang atau Sugar glider (Petaurus breviceps) merupakan salah satu jenis mamalia berkantung (marsupialia). Bentuk morfologi satwa ini menyerupai bajing terbang akan tetapi keduanya merupakan hewan yang tidak berkerabat dekat karena bajing tergolong rodensia (pengerat) sementara oposum layang termasuk hewan berkantung. Bagian dorsal oposum layang memiliki rambut berwarna kelabu pucat hingga gelap disertai garis hitam yang memanjang dari moncong, melewati bagian atas kepala dan punggung dan berakhir di pangkal ekor. Bagian ventral tubuh berwarna kelabu pucat dan berbercak kekuningan. Ekor relatif lebih panjang dari tubuh dan berambut lebat. Oposum layang memiliki patagium yakni struktur membran yang meluas dari ujung jari kelima kaki depan hingga kaki belakang yang digunakan untuk melayang seperti pada bajing terbang. Hewan ini memiliki gigi seri bawah yang lebih panjang daripada gigi atasnya, yang berfungsi untuk menyayat pohon untuk mendapatkan getah manisnya. Di habitatnya, hewan ini juga memakan juga nektar bunga dan serangga. (Smith, 1973; McKay, 1989).

Oposum layang bersifat arboreal dan mendiami sarang berupa lubang-lubang pohon di hutan primer dan sekunder dalam koloni berjumlah antara 5-12 ekor dengan satu ekor jantan dominan. Hewan ini beraktivitas secara nokturnal (aktif di malam hari). Persebaran hewan ini meliputi Papua dan pulau-pulau disekitarnya, pesisir utara hingga tenggara Australia dan introduksi di Tasmania (Smith, 1973; Flanery, 1995).

Oposum layang dimanfaatkan manusia sebagai salah satu hewan peliharaan eksotis karena bentuknya yang menggemaskan. Oposum yang diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan dari penangkaran maupun tangkapan liar. Meskipun begitu, penangkapan liar oposum layang belum mendapatkan perhatian dari ranah hukum karena

Page 138: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

132

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

hewan ini bukan termasuk hewan yang dilindungi. Oposum layang ditetapkan IUCN dalam status konservasi Least Concearn dan tidak ditetapkan dalam status perdagangan CITES (Salas et al., 2008).

Menurut Catro (2013), oposum layang yang didapat dari alam cenderung lebih susah dijinakkan, sementara itu oposum layang hasil penangkaran lebih jinak dan mudah dijinakkan. Kelebihan relatif mudah dijinakkan serta kondisi terjamin dari oposum layang hasil penangkaran, meningkatkan permintaan pasar akan oposum layang hasil penangkaran.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, penangkaran merupakan upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran satwa liar secara murni dalam lingkungan terkontrol. Usaha penangkaran terhadap oposum layang tidak lepas dari berbagai kendala, salah satunya adalah serangan penyakit yang dapat menurunkan performa kesehatan dan bahkan kematian satwa.

Tindakan medis meliputi tindakan pencegahan, penanganan dan rehabilitasi. Tindakan pencegahan meliputi pemeriksaan fisik pada satwa baru masuk fasilitas dan nekropsi pada satwa mati untuk mengungkap penyebab kematian guna penarikan kebijakan pencegahan lanjut pada satwa yang masih hidup. Tindakan penanganan penyakit dilakukan pada satwa sakit sementara rehabilitasi dilakukan pada satwa paska sakit. Pada kegiatan ini, dilakukan tindakan medik pada oposum layang di Fasilitas Penangkaran Mamalia Kecil, Pusat Penelitian Biologi - LIPI berupa pemeriksaan medis sebelum kegiatan Expo Produk Komersil LIPI. Kegiatan mengecek apakah terdapat gangguan kesehatan pada oposum layang yang dapat mengganggu program pembiakan serta tindakan pengobatan pada kasus infeksi akibat luka traumatik.

BAHAN DAN METODE

Tindakan medis yang dilakukan pada 18 ekor Oposum layang F1 meliputi

pemeriksaan fisik dan parasitologi dalam rangka persiapan Expo Produk Komersial LIPI dan pengobatan pada kasus vulnus yang disertai infeksi sekunder. Oposum layang yang akan diperiksa diberi kode 1-9 untuk kelompok jantan dan 10-18 untuk kelompok betina. Oposum layang kode 1-8 dan 10-17 berusia sekitar 10-11 bulan sementara oposum layang jantan kode 9 berusia sekitar 14 bulan dan oposum layang betina kode 18 berusia sekitar 16 bulan.

Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai Hess (2014b). Pemeriksaan meliputi pemeriksaan kondisi tubuh per sistema, pemeriksaan fisiologis (suhu tubuh, pulsus, frekuensi nafas) dan pemeriksaan parasit (ekto dan gastrointestinal). Setiap anomali dan gejala penyakit yang ditemukan dicatat kemudian dilakukan tindakan terapi yang sesuai.

Instrumen yang digunakan untuk pemeriksaan antara lain stetoskop, termometer tubuh, neraca digital dengan presisi 0,01 gram, lap kain untuk restrain dan handling hewan. Obat dan bahan yang digunakan adalah Penicilin-Streptomisin, Vetadryl® (Dyphenhydramine HCl 20 mg), Vitamin B-komplek, Combantrin® (Pyrantel pamoat 250 mg), alkohol 70%, povidone iodin 10%, kapas dan satu buah spuit 3 cc untuk memberikan obat oral.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan Medis

Pemeriksaan medis dilakukan untuk mengecek kondisi kesehatan terhadap 9 ekor betina dan 9 ekor jantan. Hewan yang dinilai cukup sehat baik secara fisik dan tidak dalam kondisi stress akan digunakan sebagai hewan display untuk kegiatan Expo Produk Komersil LIPI, sementara hewan yang sakit akan dilakukan rehabilitasi. Hasil pemeriksaan medis tersaji pada Tabel 1, sementara hasil penimbangan berat badan tersaji pada Tabel 2.

Page 139: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

133

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 1. Hasil pemeriksaan medis pada 18 ekor Oposum layang

No Kriteria Penilaian Sehat Normal Anomali

1 Keadaan Umum Ekspresi muka: biasa-ceria Kondisi tubuh: sedang

3 14 (sedang-kurus) 1 (gemuk)

2 Frekuensi nafas 16-40/menit* 2 16 (frekuensi nafas >100/menit)

3 Pulsus 200-300/menit* 18 - 4 Suhu Tubuh 36,2°C ± 0,4 °C ** - 1 (> 36,3°C)

17 (< 26,3 °C) 5 Selaput lendir Merah mudah, capillary fill rate

< 2detik 18 -

6 Kelenjar limfe Tidak ada pembengkakan limfoglandula servikal, axilari, inguinal

18

7 Berat badan jantan 100-160 gram* - 9 (<100 gram) 8 Berat badan betina 80-135 gram* 4 95(<80 gram) 10 Kulit dan rambut Turgor kulit bagus, rambut

tidak kusam dan rontok, tidak ada lesi

18 -

11 Pernafasan Pernafasan lancar, tidak ada kotoran di nasal

18 -

12 Peredaran darah Sistole-diastole dapat dibedakan, detak jantung ritmis

18 -

13 Pencernaan Gigi utuh dan bersih, tidak ada luka di cavum oris, peristaltik tidak meningkat, tidak ada reaksi sakit saat palpasi area perut, kloaka bersih, tidak ada gangguan defekasi, konsistensi feses lunak

16 2 (dens incisivus 1 mandibula patah)

14 Kelamin dan perkencingan

Kloaka bersih, urinasi lancar, tidak ada radang pada kantung betina, tidak ada radang pada testis jantan

18 -

15 Anggota gerak Dapat bertumpu pada keempat alat gerak, mampu meluncur/meloncat, patagium utuh

18 -

16 Saraf dan indera Reflek pedal, palpebral bagus, organ indera utuh dan dapat bekerja dengan baik

18 -

17 Pemeriksaan feses Natif: negatif Sampel 4 ekor: -

-

18 Pemeriksaan ektoparasit

Pemeriksaan kutu, tungau, caplak, pinjal negatif

18 -

*(Hess, 2014b), **(Burst & Pye, 2013) Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan parasit, diperoleh informasi bahwa ke-18

oposum layang yang akan digunakan dalam kegiatan Expo berada dalam kondisi sehat meskipun tetap dilakukan pengawasan. Secara keseluruhan, kondisi umum 18 oposum layang sehat dicirikan dengan ekspresi muka tidak ada yang lemah, berat badan tidak ada yang terlalu kurus dan terlalu gemuk meskipun sebanyak 14 ekor berada dalam kondisi sedang-kurus dan 1 ekor berada dalam kondisi gemuk. Frekuensi nafas sebanyak 16 ekor oposum layang meningkat, kemungkinan dikarenakan stress saat proses handling untuk

Page 140: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

134

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

pemeriksaan karena dua ekor yang telah jinak memiliki frekuensi nafas yang stabil. Pulsus berada pada kisaran normal. Suhu tubuh berkisar antara 33-37°C, satu ekor tercatat memiliki suhu tubuh 37°C. Satu ekor yang memiliki suhu tubuh lebih tinggi kemungkinan pada fase awal demam, akan tetapi masih beraktivitas dengan baik dan tidak menunjukkan gejala sakit sehingga perlu dilakukan monitoring. Pada hewan lain berada pada suhu rendah, kemungkinan karena masalah teknis termometer yang digunakan terlalu besar sehingga tidak dapat dimasukkan dalam kloaka oposum layang secara tepat sehingga mengukur suhu di bawah suhu tubuh. Pemeriksaan persistema tidak ditemukan lesi dan gejala penyakit yang berarti. Pada dua ekor oposum layang betina ditemukan adanya patah pada gigi insisivus 1 mandibularis, akan tetapi tidak ditemukan peradangan dan gangguan pada mulut sehingga hanya dilakukan monitoring lanjut untuk melihat kemungkinan terjadinya infeksi mulut.

Tabel 2. Berat badan Oposum layang

Keterangan: *berat badan terendah; **berat badan tertinggi Berdasarkan penimbangan berat badan, diperoleh jangkauan berat badan oposum

layang dari berat terendah 66 gram dan tertinggi 93,2 gram pada kelompok jantan dan terendah 65,9 gram dan tertinggi 132,5 gram pada betina. Menurut Hess (2014a) dan Burst & Pye (2013), kisaran berat badan oposum layang pada usia dewasa kelamin yakni berkisar antara 100-160 gram pada jantan sedangkan betina berkisar antara 80-135 gram.

Usia dewasa kelamin jantan adalah 12-15 bulan sedangkan pada betina 8-12 bulan. Oposum layang jantan kode 1-8 dan betina kode 11-17 berusia sekitar 10 bulan. Oposum layang jantan kode 1-8 belum mencapai usia dewasa kelamin sehingga berat badannya belum dapat dibandingkan dengan standar, akan tetapi dari hasil pemeriksaan diperoleh informasi bahwa oposum layang berada dalam kondisi kurus-sedang karena pada usia 10 bulan berat badan belum mendekati berat badan ideal usia dewasa kelamin.

Semetara pada oposum layang betina kode 10-17 telah mencapai usia dewasa kelamin. Sebanyak tiga ekor oposum layang sudah memiliki berat ideal usia dewasa yakni oposum layang dengan kode 10 (96,3 gram), kode 16 (83,5 gram) dan kode 17 (85,4 gram). Oposum layang Lima ekor oposum layang yang lain (kode 11-15) memiliki berat badan dibawah standar pada usia dewasa (< 80 gram) yang menandakan bahwa kondisi tubuhnya kurus.

Oposum layang jantan kode 9 berusia sekitar 14 bulan dan telah menginjak usia dewasa kelamin, akan tetapi memiliki berat badan 88,5 gram. Oposum layang betina kode 18 berusia sekitar 16 bulan dan memiliki berat badan 132,5 gram. Oposum layang jantan kode 9 memiliki berat badan di bawah standar usia dewasa sementara oposum layang betina kode 18 masih berada pada jangkauan standar batas atas.

Sebanyak 14 ekor oposum layang (9 ekor jantan dan 5 ekor betina) berada dalam kondisi kurus, sehingga memerlukan tambahan asupan nutrisi untuk menggemukkan

Jantan Betina

Kode SG

Berat badan (g)

Kode SG Berat Badan (g)

1 85,5 10 96,3

2 86,2 11 65,9*

3 66* 12 71,8

4 86,6 13 70,89

5 64,8 14 71,6

6 86,4 15 70,2

7 93,2** 16 83,5

8 76,8 17 85,4

9 88,5 18 132,5**

Rerata 81,56 Rerata 83,12

Page 141: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

135

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

badan. Sebanyak 8 ekor oposum layang jantan (kode 1-8) harus melakukan program penggemukan supaya mencapai berat badan ideal pada saat mencapai usia dewasa kelamin, oposum layang jantan kode 9 dan ke-5 oposum layang betina (kode 11-15) telah mencapai usia dewasa kelamin dan memerlukan program penggemukan supaya mencapai berat badan ideal usia dewasa. Sementara oposum layang betina kode 10, 16 dan 17 telah berada dalam kondisi berat badan ideal dan hanya memerlukan program monitoring kesehatan standar saja. Oposum layang betina kode 18 telah mendekati batas atas berat badan ideal dan sebaiknya tidak dilakukan penambahan pakan untuk mencegah obesitas.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, tidak perlu dilakukan tindakan medik lebih lanjut karena secara fisik hewan berada dalam kondisi yang sehat meskipun beberapa ekor perlu dilakukan monitoring. Tindakan medik yang diambil berdasarkan informasi hasil pemeriksaan adalah tindakan preventif untuk infeksi cacing dengan melakukan deworming rutin. Preparat obat yang digunakan untuk deworming adalah Combantrin® (Pyrantel pamoat 250 mg). Jumlah yang diberikan sebesar 0,8 mg/ekor berdasarkan dosis dari Burst & Pye (2013). Pyrantel digunakan untuk menangani infestasi Toxocara cati, T.leonina, Physaloptera dan nematoda lain. Pyrantel lebih susah diserap saluran pencernaan, sehingga obat ini mampu mencapai saluran pencernaan bawah. Obat ini cepat dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses (Plumb, 1999). Temuan Kasus Medis a. Karang dan Patah Gigi

Oposum layang memiliki susunan gigi yang unik. Gigi seri (dens insisivus) I1 berukuran lebih besar dari I2 dan I3, dengan I1 mandibula berukuran lebih panjang daripada I1 maksila yang dapat digunakan untuk mengoyak kayu dan serangga (Smith, 1973). Sayangnya gigi seri mandibula yang khas dan berguna ini dapat pula menimbulkan masalah pada oposum layang. Kasus yang ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah karang dan patah gigi seri yang ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. A) gigi normal pada oposum layang berwarna putih bersih, tanda panah merah

menunjukkan gigi seri bawah yang normal, berukuran kecil panjang, meruncing dan brwarna putih. B) gigi yang mengalami perubahan warna akibat karang gigi, gigi juga mengalami patah pada ujungnya (tanda panah merah).

Pembentukan karang gigi pada oposum layang dapat disebabkan karena konsumsi

pakan lunak dan mengandung gula tinggi dalam jumlah banyak. Patah gigi dapat disebabkan oleh berbagai sebab, penurunan densitas gigi akibat kurangnya asupan kalsium maupun patah akibat trauma (Hess, 2014a).

Hewan yang ditemukan mengalami kasus patah gigi sebanyak dua ekor yakni betina kode 13 dan 17. Hasil pemeriksaan fisik tidak terdapat tanda-tanda infeksi maupun

Page 142: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

136

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

peradangan pada wilayah sekitar gigi. Aktifitas makan juga masih biasa, tidak nampak adanya penurunan nafsu makan. Kemungkinan gigi yang patah tidak mencapai pulpa gigi. Suhu tubuh tidak menunjukkan angka demam, sekitar 35°C. meskipun tidak ditemukan tanda-tanda sakit, tetap dilakukan monitoring dan pengurangan pakan yang mengandung gula tinggi untuk meminimalisir resiko kerusakan gigi lebih lanjut. b. Infeksi akibat Trauma

Riwayat kasus: pada tanggal 3 November 2015 pukul 08.30 WIB dilaporkan seekor oposum layang jantan berusia sekitar dua tahun mengalami luka di regio facial sinister. Luka diduga sudah dialami selama seminggu lebih. Populasi kandang dua ekor, satu jantan dan satu betina. Sebelumnya jantan tidak pernah terlihat diluar kantung tidur selama seminggu. Saat dilakukan pemeriksaan, kondisi umum tubuh lemas dan kurus. Kulit dan rambut kasar dan kotor, selaput lendir anemis, dypsnoe, kloaka kotor dan tidak mampu bertumpu pada keempat alat gerak. Berat badan 70 gram, nafsu makan menghilang. Ditemukan vulnus yang sudah nekrosis purulen pada area facial sinister yang terpusat di mata sinister. Mata kiri sudah membusuk hanya tersisa nanah. Gigi seri tanggal disertai pembengkakan gusi. Saat akan dilakukan pengukuran suhu tubuh melalui kloaka, terjadi prolaps dan penis keluar sehingga tidak dilanjutkan. Prognosa infausta. Kondisi hewan tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2. Foto kondisi oposum layang saat ditemukan, luka diawali dari mata kemudian

meluas hingga telinga dan moncong. Jaringan sudah mengalami nekrosis dan disertai pernanahan.

Tindakan sementara yang diambil adalah pembersihan luka dengan larutan povidon

iodine 10%, kemudian injeksi antibiotik Penisilin-Streptomisin 0,01 cc, injeksi Vetadryl® (Dyphenhydramine HCl 20 mg) 0,01 cc dan suplementasi dengan injeksi Vitamin B-komplek 0,01 cc. Dosis yang digunakan sesuai dengan Burst & Pye (2013). Antibiotik digunakan adalah kombinasi Penicilin-Streptomisin yang bersifat spektrum luas. Penicillin bekerja dengan enzim transpeptidase pada pembentukan dinding sel bakteri sehingga hanya efektif terhadap bakteri gram positif, sedangkan streptomisin bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein bakteri berlangsung pada ribosom sub unit 30S dan mengganggu penerjemahan kode genetik, sehingga efektif terhadap bakteri gram negative. Dyphenhydramine HCl merupakan derivat dari Ethanolamine, bekerja sebagai antiradang dengan melakukan pemblokiran reseptor H1 (Plumb, 1999).

Page 143: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

137

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Pengobatan tidak memberikan efek yang bagus. Prognosa infausta dan kondisi oposumsemakin memburuk, pada pukul 13.00 WIB dilaporkan oposum telah mati.

Luka tarumatik pada oposum layang dapat diakibatkan oleh perkelahian dan kecelakaan. Luka yang tidak segera ditangani dapat menimbulkan infeksi sekunder oleh bakteri oportunis. Infeksi dapat meluas dari infeksi regional menjadi sistemik yang dapat memperburuk kondisi hewan.

Untuk mencegah terulangnya hal yang sama, dilakukan pengetatan monitoring perkandang. Pelaporan kejadian luka dan penyakit harus segera dilakukan agar tindakan medik dapat segera diambil. Setiap hari harus diawasi setiap kandang, setiap hewan harus dikeluarkan dari kantung tidur supaya segera terlihat apabila ada kejadian luka traumatik akibat perkelahian atau kecelakaan.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fisik pada 18 ekor oposum layang, ditemukan sebanyak

15 ekor oposum layang dalam kondisi tubuh kurus-sedang, satu ekor pada batas atas berat ideal dan dua ekor mengalami patah gigi. Monitoring dan rehabilitasi perlu dilakukan pada kasus-kasus tersebut untuk mencegah timbulnya penyakit yang lebih serius.

Kasus yang ditemukan selama hingga November 2015 adalah 1 ekor opossum infeksi sekunder akibat luka traumatik. Prognosa infausta dan kondisi oposum yang semakin memburuk sehingga pengobatan tidak memberikan efek yang bagus dan berakhir dengan kematian. Kedepannya, harus lebih diintensifkan kegiatan monitoring untuk setiap oposum, sehingga kasus dapat segera ditemukan dan tindakan medis dapat segera diambil.

DAFTAR PUSTAKA

Brust, D.M. dan Pye, G.W. 2013. Sugar Gliders. dalam Carpenter, J.W. dan Marion, C.J.

Exotic Animal Formulary. Missouri: Elsevier-Saunders. Pp: 349, 355-358. Catro, S. 2013 Sugar Glider, si hewan saku yang unik. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Pp:152-166. Flannery, T.F. 1995 Mammals of New Guinea. Chatswood: Reed Book. Pp. 204-209. Hess, L. 2014a. Diseases and Syndromes of Sugar Gliders.

http://www.merckvetmanual.com/mvm/exotic_and_laboratory_animals/sugar_gliders/diseases_and_syndromes_of_sugar_gliders.html. diakses 22 November 2015.

Hess, L. 2014b. Overview of Sugar Gliders. http://www.merckvetmanual.com/mvm/exotic_and_laboratory_animals/sugar_gliders/overview_of_sugar_gliders.html. diakses 22 November 2015.

McKay, G.M. 1989. Family Petauridae. dalam Walton, D.W., & Richardson, B.J. Fauna of Australia.Vol 1B: Mammalia. Canberra. AGPS.

Plumb, D.C. 1999. Veterinary Drug Hand Book. 3rd Edition. Iowa: Iowa State Univ Press. Pp. 308-309, 699-700, 786-787.

Salas, L., Dickman, C., Helgen, K., Winter, J., Ellis, M., Denny, M., Woinarski, J., Lunney, D., Oakwood, M., Menkhorst, P. & Strahan, R. (2008) Petaurus breviceps. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3. [www.iucnredlist.org]. Diakses 27 March 2015.

Smith, M.J. 1973. Mammalian Species: Petaurus Breviceps. American Society of Mammalogists. 30: 1-5.

Page 144: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

138

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 19.

EFEKTIVITAS FORMULASI EMUSIFIABLE CONCENTRATE (EC) MINYAK MIMBA

TERHADAP RAYAP TANAH (Coptotermes sp)

Arief Heru Prianto*, Bramantyo W, Apriwi Z, Deni Z, Ni Putu R dan Sulaeman Yusuf

Pusat Penelitian Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor, Indonesia *E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Rayap tanah Coptotermes sp memiliki koloni yang besar sehingga menjadi

serangga perusak bangunan yang sangat penting. Pengendalian serangan rayap dengan bahan kimia sangat efektif, sehingga banyak dilakukan di Indonesia, akan tetapi hal ini dapat menimbulkan masalah lingkungan yang berbahaya. Studi pengendalian rayap dengan bahan aktif dari bahan alam menjadi alternatif untuk pengendalian rayap yang ramah lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas formulasi minyak mimba terhadap rayap tanah Coptotermes sp. Pada kegiatan penelitian ini, Biji mimba dikeringkan kemudian diambil minyaknya dengan cara dipres, kemudian minyak yang keluar disaring. Formulasi dibuat dalam bentuk emulsi dengan menambahkan minyak mimba dengan pelarut dan kombinasi surfaktan dengan beberapa variasi tiap bagiannya. Konsentrasi yang dibuat adalah 2 g/l, 5 g/l, 10 g/l dan 80 g/l. Uji anti rayap dilakukan dengan menggunakan paper dish yang telah diberi formulasi minyak. Konsentrasi 10 g/l dan 20 g/l memberikan pengaruh terhadap mortalitas rayap mendekati 100%. Kata kunci: Coptotermes sp, rayap tanah, emulsifiable concentrate

PENDAHULUAN Rayap tanah merupakan serangga perusak komponen kayu dalam suatu bangunan. Rayap dapat menyerang kusen pintu, furniture sampai konstruksi bangunan dari kayu. Rayap tanah Coptotermes sp memiliki koloni yang sangat besar sehingga serangan rayap ini sangat merugikan dan dapat menghancurkan bangunan dalam waktu yang singkat. Kondisi serangan akan semakin besar apabila bangunan menggunakan kayu yang kurang awet dan tidak diawetkan. Keawetan alami kayu yang ada dipasaran saat ini berkisar antara III - IV, akibat daya dukung hutan sebagai penghasil kayu yang menurun. Kayu - kayu dipasaran diperoleh dari hutan tanaman yang merupakan jenis kayu cepat tumbuh yang umumnya mempunyai keawetan alami yang rendah. Pemanfaatan ekstraktif untuk tujuan pengawetan kayu dan soil treatment mulai banyak digunakan. Oleh karenanya telah banyak dilakukan penelitian pemanfaatan ekstraktif, khususnya efek ekstraktif ini terhadap serangan rayap. Sumberdaya alam Indonesia yang melimpah merupakan potensi yang besar sebagai sumber ekstraktif. Oleh karena itu penelitian pemanfaatan ekstraktif dari tumbuhan-tumbuhan di Indonesia masih terus dilakukan untuk berbagai tujuan. Ekstraktif memiliki keunggulan dibanding pengawetan konvensional, salah satunya karena ramah lingkungan. Pemanfaatan ekstraktif sebagai bahan pengawet kayu ini akan lebih bermanfaat karena sifatnya yang renewable (Syafii ,2001). Mimba merupakan tanaman yang memiliki bahan aktif yang bersifat toxic, reppelent maupun antifeedant. Azadirachtin dilaporkan memiliki sifat toksik maupun antifeedant terhadap serangga perusak. Untuk memudahkan pemakaian dilapangan maka diperlukan

Page 145: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

139

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

formulasi dari bahan aktif tersebut. Formulasi akan menmembuat bahan aktif lebih stabil dan dapat meningkatkan efikasinya dilapangan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengguji toksisitas dari kandungan formulasi berbahan aktif ekstrak minyak mimba (Azadirachta indica) terhadap rayap tanah Coptotermes sp.

BAHAN DAN METODE

Formulasi emulsifiable concentrate

Minyak mimba dengan konsentrasi tertentu dilarutkan dengan pelarut rodhiasolv sambil diaduk dengan magnetic stirer sampai larut, kemudian ditambahkan surfaktan Geronol BC/5 dan Rhodacal 70 B/C. Seluruh bahan tersebut kemudian dicampur dan diaduk dengan magnetic stirer sampai didapatkan larutan emulsi (EC).

Formulasi EC dibuat dengan menambahkan emulsifier pada campuran mimnya mimba dan pelarut rodhiasolv agar dapat bercampur dengan air membentuk emulsi. Kelebihan utama dari EC adalah sangat murah dan mudah digunakan, karena hanya perlu diencerkan dengan air dalam aplikasinya di lapangan. Formulasi EC digunakan untuk penyemprotan permukaan (surface spray) media yang dilindungi dari serangan hama serangga.

Uji bioassay formulasi Formulasi minyak mimba diteteskan pada paper disk sebanyak 20 uL dan

dikeringkan untuk menghilangkan pelarutnya. Petri disk dilapisi plester paris dengan tebal

0.5cm dan dioven selama 24 jam pada suhu 103 C untuk mensterilkan petridisk dari jamur.

Petridisk dilembabkan dengan menambahkan 5 tetes air bersih. Paper disk yang telah

diberi perlakuan ekstrak dimasukkan petri disk denga terlebih dahulu di beri alas alumunium

foil untuk mencegah kontak langsung paper disk dan plester paris. Rayap pekerja sebanyak

50 ekor dimasukkan kedalam petri disk dan ditambahkan rayap prajurit 5 ekor. Ulangan

dibuat sebanyak 3 buah dan kontrol dibuat dengan menambahkan aquades pada paper

disk. Petris disk tersebut ditempatkan dalam kontainer pengujian yang tertutup rapat dan

dijaga kelembabannya. Kontainer ditempatkan dalam ruang gelap.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen Minyak mimba sebagai bahan aktif dalam diperoleh dari biji nima melalui proses pengepresan dalam mesin oil press. Rendemen minyak mimba yang dihasilkan dari 1 kg biji mimba yang sudah dikupas adalah 150 ml. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah minyak yang dihasilkan dari proses pengepresa antara lain: kadar air, ada tidaknya kulit, dan jenis mesin pengepresan. Menurut Isman M.B, (1990) kandungan azadirachtin dalam minyak mimba berkisar antara 180 - 4026 ppm. Mortalitas Rayap Tingkat mortalitas rayap memberikan gambaran seberapa beracun zat ekstrak terhadap rayap tanah Coptotermes sp. Mortalitas rayap dihitung dari pengamatan terhadap contoh uji selama 10 hari.

Page 146: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

140

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 1. Persentase mortalitas rayap Coptotermes sp

Pada gambar 1, terlihat bahwa pemberian perlakuan pada paper disk menyebabkan

mortalitas 100 % pada semua tingkat konsentrasi, yaitu konsentrasi 10, 40, 80, dan 200 g/L. Rata-rata mortalitas seluruh kontrol pada akhir pengamatan adalah 9.09%. Tingkat mortalitas yang 100% pada konsentrasi terendah yaitu 10 g/L menunjukkan bahwa konsentrasi tersebut masih jauh diatas LC50 formulasi tersebut, sehingga perlu dilakukan pengujian pada konsentrasi dibawahnya. Ekstrak mimba memberikan pengaruh terhadap mortalitas rayap dan kehilangan berat, perlakuan ekstrak mimba meningkatkan resistensi terhadap serangan rayap (PriantoA.H. 2005). Pengujian angka mortalitas rayap pada kontrol dilakukan dengan memberi aquades pada paper disk. Mortalitas rayap pada kontrol memiliki nilai yang relatif lebih kecil bila dibanding dengan perlakuan. Hal ini menunjukkan kondisi rayap dan lingkungan penyimpanan cukup baik. Pemberian formulasi minyak mimba pada contoh uji dapat meningkatkan angka mortalitas rayap. Senyawa aktif azadirachtin dalam minyak mimba diduga berperan dalam terjadinya mortalitas rayap. Azadirachtin berperan dapat menghambat kerja hormon yang berfungsi dalam proses metamorfosa serangga, akibatnya proses pergantian kulit serangga akan terganggu yang dapat mengakibatkan kematian serangga itu sendiri. Minyak mimba memiliki banyak senyawa yang bersifat sinergis sehingga lebih ekfektif bila senyawa-senyawa tersebut ada secara bersamaan dibanding diisolasi terpisah (Isman, Mb., et al.,1990). Hal ini lebih menguntungkan dibanding bila harus mengiisolasi satu senyawa yang membutuhkan biaya yang lebih mahal. Sifat sinergis tersebut menunjukkan kematian rayap tidak hanya terjadi akibat gangguan pergantian kulit saja tetapi juga ada kemungkinan adanya senyawa-senyawa bioaktif dalam formulasi tersebut yang dapat merusak sistem saraf rayap yang menyebabkan sistem saraf tidak berfungsi dan pada akhirnya dapat mematikan rayap (Sari et al,. 2004). Kehilangan Berat Kehilangan berat adalah parameter yang digunakan sebagai indikator keefektifan senyawa dalam melindungi sampel akibat aktivitas makan serangga target. Persen kehilangan berat maka semakin kecil menunjukkan senyawa tersebut lebih efektif dalam mencegah aktivitas makan dari serangga uji. Persen kehilangan berat contoh uji dihitung pada akhir pengamatan.

0

20

40

60

80

100

0 10 40 80 200

Tin

gkat

mo

rtal

itas

(%

)

Konsentrasi (g/L)

Page 147: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

141

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 2. Persentase kehilangan berat formulasi minyak mimba Gambar 2 menunjukkan nilai kehilangan berat yang tinggi pada kontrol. Angka kehilangan berat pada kontrol adalah 1,23% sedangkan perlakuan tidak menunjukkan pengurangan berat paper disk yang signifikan terlihat pada akhir pengamatan. Perlakuan formulasi minyak mimba memberikan pengaruh persen kehilangan berat dibandingkan kontrol. Hasil pengujian menunjukkan formulasi minyak mimba memberikan sifat toksik atau antifeedant yang semakin kuat pada minyak mimba.

Gambar.3 Hasil analisa formulasi minyak mimba dengan GCMS

Kromatogram dari formulasi minyak mimba menunjukkan ada 3 puncak dengan intensitas besar pada waktu retensi 8.226, 8.525 dan 19.388 menit. Senyawa tersebut berturut turut adalah Ethanone, cis-1-Butyl-2-methylcyclopropane, dan 9,12-Octadecadienoic acid. Sedangkan puncak yang lain memiliki intensitas yang kecil yaitu

0

0,5

1

1,5

0 10 40 80 200

Ke

hila

nga

n B

era

t (%

)

Konsentrasi (g/L)

1 0 . 0 0 1 5 . 0 0 2 0 . 0 0 2 5 . 0 0 3 0 . 0 0 3 5 . 0 0

2 0 0 0 0 0 0

3 0 0 0 0 0 0

4 0 0 0 0 0 0

5 0 0 0 0 0 0

6 0 0 0 0 0 0

7 0 0 0 0 0 0

8 0 0 0 0 0 0

9 0 0 0 0 0 0

1 e + 0 7

1 . 1 e + 0 7

1 . 2 e + 0 7

1 . 3 e + 0 7

1 . 4 e + 0 7

1 . 5 e + 0 7

1 . 6 e + 0 7

1 . 7 e + 0 7

1 . 8 e + 0 7

1 . 9 e + 0 7

2 e + 0 7

2 . 1 e + 0 7

2 . 2 e + 0 7

2 . 3 e + 0 7

2 . 4 e + 0 7

T im e - - >

A b u n d a n c e

T I C : F O R M U L A S I U L 1 . D \ d a t a . m s 8 . 5 2 5

9 . 2 6 5

1 2 . 6 0 51 2 . 7 0 71 2 . 8 9 21 3 . 1 9 11 3 . 3 5 11 3 . 4 5 9

1 4 . 6 1 5

1 5 . 9 3 01 6 . 0 7 2

1 7 . 5 4 71 8 . 8 4 81 9 . 0 4 1

1 9 . 3 8 6

1 9 . 5 8 7

Page 148: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

142

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

dibawah 1%. Senyawa aktif azadirachtin tidak bisa terdeteksi kemungkinan karena senyawa azidarachtin tidak bersifat volatile. Kemungkinan lain azadirachtin tidak stabil sehingga pada saat diinjeksikan ke dalam GC senyawa tersebut sudah terdekomposisi sebelum dapat sampai ke MS, jadi senyawa sudah rusak terlebih dahulu. Identifikasi selanjutnya disarankan menggunakan analisis dengan LCMS.

KESIMPULAN

Formulasi minyak mimba 10, 40, dan 80g/L memiliki kestabilan emulsi yang baik

Mortalitas rayap sangat tinggi (100%) pada semua konsentrasi

Perlu uji lanjutan pada konsentrasi dibawah 10 g/L untuk mendapatkan nilai LC 50.

DAFTAR PUSTAKA Anisah, LN. 2001. Zat Ekstraktif Kayu Tanjung (Mimusops elingi Linn.) dan Kayu Sawo

Kecik (Manilkara kauki Dubard) serta Pengaruhnya Terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Jamur Pelapuk Schizophyllum commune Fries. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Fengel, D. dan G. Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Judul Asli: Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. 1984. Penterjemah: H. Sastrohamidjojo. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.Sari, L. dan A. Hadikusumo. 2004. Daya Racun Ekstraktif Kulit Kayu Pucung terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Vol 2 No. I. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia: Cibinong.

Isman,M.B,Oppender K, Anna L, and Jerzy K. 1990. Insectisidal dan Antifeedant Bioactivities of Neem Oil and Relationship to Azadirachtin Content. Journal Agric Food Chemical vol.38 no.6

Prianto. A.H, et al. Study on Utilization of Active Component in Leaves and Bark of Neem (Azadirachta indica A. Juss) As Anti-Termites. Proceeding of International Wood Science Symposium.XI. Bali, 29-31 August 2005.

Sari, RK. dkk. 2004. Sifat Antirayap Resin Damar Mata Kucing dari Shorea javanica K. et V. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Vol 2 No. I. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia: Cibinong.

Syafii, W. 2001. Eksplorasi dan Identifikasi Komponen Bio-aktif Beberapa Jenis Kayu Tropis dan Kemungkinan Pemanfaatannya Sebagai Pengawet Alami. Laporan Penelitian. Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Page 149: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

143

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 20.

ACUTE ORAL TOXICITY TEST OF

Azadirachta indica CRUDE EXTRACT FORMULATION ON SPRAGUE DAWLEY RAT

(Rattus norvegicus L.)

Bramantyo Wikantyoso* and Arief Heru Prianto

1Research Center for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences, Cibinong Science Center, Cibinong-Bogor 16911, Indonesia

*Corresponding author: [email protected]

ABSTRACT

The residues of chemical pesticide have chances to threatened applicator health and even their neighborhood. One of many substitution ways is development of pesticide which is yielded from natural resources as plant. Azadirachtin, one of substances with pesticidal potential, comes from neem plant (Azadirachta indica) extraction that has been widely studied and developed. Hence, we carried out preliminary study on acute oral toxicity of A.indica extract formulation which was yielded by research beforehand. OECD Test Guideline 420: Fixed Dose Procedure was adopted. The test materials were converted to 5000 mg/kg BW dose prior to application on Sprague Dawley rats. Single doses were orally inserted and its amount was adjusted to each body weight. Control group was treated as well as treatment groups with sterile destilated water. Mortality observations were conducted per hour in the 1st to 8th hours after exposure and continued per 24 hours in 14 days. Results showed 5000 mg/kgBW as single dose of formulation do not cause mortality. However, on the first three hours rat experienced some clinical signs as weakness, vibrating tail, and little cramp. The signs were happened for five hours before returning to normal. Key word: Toxicity, Oral, Azadirachtin, Pesticide, Neem

INTRODUCTION

Biopesticide is a term that is related to an effort of regulating pest invasion and become one of many kinds methode in Integrated Pest Management (IPM). Biopesticide can be made from many kind of natural local source such as microorganisms (fungi or bactery) or Plant-derived Material. Even more, current technologies takes biopesticide source further as secondary metabolites from microorganisms, Insect pheromones for mating or growing disruption, and the transgenetic method to transform crops to express resistenceto insect attack (James et al.,2010; Copping and Menn, 2000). Biopesticide become the center of attention as the increasing need of synthetic chemical pesticide substitution. Although currently it is still far to be replaced by natural pesticide, some countries has legally accept biopesticide utilization as one or other option farmer or aplicator can choose (Anon, 1992).

Azadirachtin is triterpenoid substance from neem plant, Azadirachta indica A. Juss (Meliaceae) which has great potential and promising future to control insect population. Neem extract has been known to have antifeedant or growth reducing activity to more than 80 species of insects (Warthen, 1979; Arnason et al., 1985). Whilst neem chemicals was observed and can affect more than 200 insects species as well as mite, nematode, fungi, bacteria and even viruses. Azadirachtin is able to control insect such as Dipteran Anopheles stephensi Liston, Corn borer Ostrinia nubilalis, to some Cockroach and Weevil species, and Egyptian Cotton Leafworm Spodoptera littoralis under stress condition (Nathan et al., 2005; Arnason et al., 1985; Achio et al., 2012; Shaurub et al., 2014). The specific target of Neem plant extract as biopesticide underline its environmentally safe to non target organism, especially human. A research by Raizada et al, showed neem’s azadirachtin is safe in

Page 150: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

144

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

subacute highest dose (1500 mg/kgBW) and did not establish any patological and toxicological symptoms (Raizadaet al., 2000). Another test from Environmental Protection Agency in 1993 showed that neem concentrate, TGAI which contains 4,5% azadirachtin has LD50 more than 5000 mg/kgBW. Nieamann and Hilbig also mentioned that a biopesticide derived from neem plant has a very low acute toxicity by all routes test as higher than 5000 mg/kgBW in rat. Since neem plant - derived biopesticide have the chance to be legally use and as a result of all this work, neem is seen as a leading candidat for the next generation of broad spectrum insect population control agent. In 2001 America, UK, China and some of other countries have alredy registered some fungicide, fertilizer and also insecticide derive from neem plant [Anon, 1992; Tinghui et al., 2001).

Yusuf (2012) mentioned that formulation of neem-derived biopesticide Azadirachtin 100 EC had a great result on controling Sitophilus oryzae. They formulated oil of neem seed kernel with azadirachtin as active substance Geronol BC/5 and Rhodacal 70 B/C as surfactants, P-Xylene as diluent and etanol as solvent (Yusuf et al., 2012). This satisfactory result of formulation lead to a possibilty for mass production and commercially used. In regards to this, toxicity test must be conducted as assessment to evaluate the exposure of the neem extract formulation to mammals. We carried out research as preliminary test of neem crude extract formulation with similar formulated test material as mentioned earlier.

MATERIAL AND METHODS

The study is taken place on Research Center for Biomaterials, Cibinong Science Center, Indonesian Institute of Sciences, Bogor. Sighting Study of OECD Acute Oral Toxicity Test Method 420 is adopted. Test animal preparation and grouping

In this research 8-12 weeks of sound Sprague Dawley female rats (Rattus norvegicus) wereused. Test animalwere obtained from Veterinary Faculty of Bogor Agricultural University. Rats weredivided into two groups as control group and treatment group. Shaved wood material was used for bedding and changed every two or three days in order to control the cage sanitation and moisture. Cage is derived from plastic container box (39 x 30 x 12,4 cm) with wire lid. Standard pellet and tap water were provided as food and drink source arbitrarily (ad libitum). The acclimation occured for 5 up to 7 days and rats were fasted from food overnight prior to treatment. Neem crude extract formulation preparation 10 ml of test material was prepared by formulating neem oil with Geronol BC/5 and Rhodacal 70 B/C as surfactants, P-Xylene as diluent and etanol as solvent. The formulation was adopted from Yusuf et al. (2012). The neem oil is derived from neem seed kernel extraction. Test material density measurement Density measurement is conducted to determine the convertion of test material to 5000 mg/kgBW dose (highest dose level). 25 ml pycnometers (PYREX) were used for measuring the density.The pycnometer empty weight was pondered using analytical balance (Wisd WBA-3200) as well as the others which contain neem oil. The pycnometer weight which contains neem oil is dinimished by empty pycnometer weight and divided by 25 ml (pycnometer volume). Subsequently neem oil density was determined Test material administration Rats were pondered prior to test material oral injection. The single dose of 5000 mg/kgBW volume was based on each rats body weight. Sterile destilated water is used for control group. Approximately 7 cm blunt needles were used for injecting neem crude extract formulation orallyand 5 ml syringe is used (One Med). Rats have to be restrained well in order to have good injection result. When the rat looks like wanted to break loose, injection

Page 151: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

145

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

can not be forced in order to avoid perforation of needle and has to be repeated smoothly. After injecting test material, rats still need to be fasted 4 hours before they are fed back. Observation Mortality and clinical signs were observed on the 1st, 2nd, 3rd, 4th hour and each day untill day 14. In case where the animal tested at 5000 mg/kgBW dose level dies, the procedure is to end the study and the dose need to be downgraded to the lower dose level.If the animal tested survives then it will be confirmed to no category or no toxicity in regard to the highest dose level (OECD 420 Annex 2, 2001). Weight is pondered every three days and before the rats were sacrificed. Clinical signs are represented as key score.

RESULT AND DISCUSSION

The results showed that treatment group of rat experienced some clinical signs on the third hour up to five hours to eight (Table 1). Weakness, tremor, and anxiety are some sort of symptoms which are observed following single dose administration of 5000 mg/kgBW. The neem crude extract seems to exposed no threat to the treatment rat but the two substance which are used as diluent and solvent affect signs emergence. Tremor is the first focal alert came from the rat. Furthermore we observed anxiety and weakness simultaneously. Although it was not recorded, the rat showed big appetite since it tried hard to consume pellet ,we gave on fourth hours after administration, in feeble shape. Ethanol is substance capable on increasing insulin and lead to lessen blood glucose concentration. This condition might cause shakiness and run into anxiety, sweating, fatigue, drowsiness, inability to concentrate, dizziness, hunger, asthenia and headache (Kalraet al., 2015; Field et al., 1962). The anxiety and tremor slowly started to dissapear in sixth and eighth hours respectively. The impact of ethanol are clearly seen, although it was not presented in singly substance.

Xylene impact seems to be seen on fourth hour and is more obvious on the sixth hour coincide with disappearing tremor and anxiety. Dizziness is clearly seen by imbalance movement that is performed by treatment rat. It is looked quieter as it approach eighth hour, bowed on the corner of the cage with less movement and tried to lifting its head hardly. Xylene exposure has adverse effect on gastrointestinal system as well as nervous system. Xylene cause dizziness and nausea, further effect are slow reaction time and loss of balance. In this study, xylene probably needed more time to be metabolized than etanol did so the effect of xylene seems more durable longer. Inhalling xylene also effect central nervous system but they are reversible (Kandyala et al., 2010; Vucinic et al., 2007).

The administration of neem plant crude extract formulation indeed cause some clinical signs which is obviously observed. But beyond those deleterious impacts, treatment group signify increasing of body weight as well as control group (Figure 1). Evenmore, treatment group survived until the end of this study (no mortality observed) (Table 2). Gross pathology observation resulted in no focal damages on visceral organs. The evaluation on hepatic enzyme activies would be a valuable additive information in regard to the xylene-ethanol combined exposure as well as elovaara researched which resulted more severe liver damage and enhance renal ethoxycoumarin deethylase activity (elovaara, 1980). This preliminary study is necessary to proceed to the main test with a number of replicates more and enzyme activities evaluation.

Table 1. Clinical signs of treatment group by oral administration of 5000mg/kgBW single dose of neem plant crude extract formulation and control group by oral administration of sterile destilated water. Key to scores: - = no clinical signs observed; ± = mild clinical signs observed; + = moderate clinical signs observed; ++ = moderately severe clinical signs observed; +++ = severe clinical signs observed; ++++ = very severe clinical signs observed

Page 152: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

146

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Time HS HL HP W T C Group

1st hour

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

2nd hour

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

3rd hour

- - + +++ ++ A1

- - - - - - Kontrol

4th hour

- - - ++ ++ + A1

- - - - - - Kontrol

5th hour

- - - ++ + - A1

- - - - - - Kontrol

6th hour

- - - ++ + - A1

- - - - - - Kontrol

7th hour

- - - ++ + - A1

- - - - - - Kontrol

8th hour

- - - +++ - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 1

- - - + - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 2

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 3

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Time HS HL HP W T C Group

Day 4

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 5

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 6

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 7

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 8

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 9

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 10

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 11

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 12

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 13

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Day 14

- - - - - - A1

- - - - - - Kontrol

Page 153: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

147

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Table 2. Mortality of treatment group by oral administration of 5000mg/kgBW single dose of neem plant crude extract formulation and control group by oral administration of sterile destilated water. Key to scores: 0: No mortality observed 1:Mortality Observed

Group Time (Day)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

treatment 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

control 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Figure 1. Changes on rats body weight of treatment group by oral administration of 5000mg/kgBW single dose of neem plant crude extract formulation and control group by oral administration of sterile destilated water.

CONCLUSION

Administration of 5000 mg/kgBW neem plant crude extract formulation as single dose exposure yielded in no martilty to Rattus norvegicus Sprague Dawley. Clinical signs were observed as weakness, tremor, and anxiety but are reversible and only happened on the fourth to eighth hour.

REFERENCES

Achio, S., Ameko E., Kutsanedzie F., Alhassan S. 2012. Insecticidal effects of various neem preparations against some insects of agricultural and public health concern. International Journal of Research in BioSciences Vol. 1 Issue 2, pp. (11-19).

Anon. 1992. Neem: A Tree For Solving Global Problems. National Academy Press. Washington DC. p 1 – 12.

Arnason, J. T., B. J. R. Philogene, N. Donskov, M. Hudon I, C. McDougall, G. Fortier, P. Morand, D. Gardner, J. Lambert, C. Morris & C. Nozzolillo. 1985. Antifeedant and insecticidal properties of azadirachtin to the European Corn Borer, Ostrinia nubilalis. Entomol. exp. appl. 38, 29 34

Copping, Leonardo G., and Julius J Menn. 2000. Review Biopesticides: a review of their action applications and efficacy. Pest Manag Sci 56:651±676.

Elovaara, E., Collan, Y., Pffafli, P., Vainio, H. 1980. The combined toxicity of technical grade xylene and ethanol in the rat. Xenobiotica. 1980 Jun; 10(06):435-45.

Environmental Protection Agency. 1993. SAB Review of Acute Mammalian Toxicology Studies to Support The Registration of Neem Concentrate, a Biochemical Containing

100

120

140

160

180

200

220

240

260

280

300

0 3 6 9 1 2 1 5

Gra

m b

od

y w

eigh

t

Days

treatment control

Page 154: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

148

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Aadirachtin as the Technical Grade Active Ingredient. Office of Prevention, Pesticide and Toxic Substances, I.D. Number: 011688-T, pp 1-32.

Field, James B., Hibbard E. Williams, And Glenn E. Mortimore. 1962. Studies On The Mechanism Of Ethanol-Induced Hypoglycemia. Journal of Clinical Investigation Vol. 42, No. 4.

James, B., C. Atcha-Ahowe, I. Godonou, H. Baimey, G. Goergen, R. Sikiriou, M. Toko. 2010. Integrated Pest Management in Vegetable Production: A Guide for Extension Worker in West Africa. International Institute of Tropical Agriculture, 13, 78 - 83.

Kalra, Sanjay, Jagat Jyoti Mukherjee, Subramanium Venkataraman, Ganapathi Bantwal, Shehla Shaikh, Banshi Saboo, Ashok Kumar Das, Ambady Ramachandran. 2015. Hypoglycemia: The neglected. Complication. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism, Vol 17, Issue 5.

Kandyala R., Sumanth Phani C Raghavendra, Saraswathi T Rajasekharan. 2010. Xylene: An overview of its health hazards and preventive measures. Journal of Oral and Maxillofacial Pathology Vol. 14 Issue 1 Jan - Jun 2010.

Nathan, Sengottayan S., Kandaswami K., Kadarkarai M. 2005. Effects of neem limonoids on the malaria vectore Anopheles stephensi Liston (Diptera: Culicidae). Acta Tropica 96, 47 – 55.

Niemann L and Hilbig V. 2000. Neem seeds extract as an example for health evaluation of naturally occuring substances to be applied in plant protection. In: Transmission blocking activity of Azadirachta indica and Guiera senegalensis extracts on the sporogenic development of Plasmodium falciparum field isolates in Anopheles coluzzii mosquitoes. Parasites & Vectors 2014, 7:185.

Raizada, R.B., M.K. Srivastava, R.A. Kaushal, R.P. Singh. 2000. Azadirachtin, a neem biopesticide: subchronic toxicity assessment in rats. Food and Chemical Toxicology 39, 477-483.

Shaurub, El-Sayed H., Afaf Abd El-Meguid, Nahla M. Abd El-Aziz. 2014. Effect of Some Environmental Factors on the Toxicity of Azadirachtin to the Egyptian Cotton Leafworm Spodoptera littoralis (Boisduval) (Lepidoptera: Noctuidae). Ecologia Balkanica Vol. 6, Issue 2, pp. 113-117.

Tinghui, X., Malcolm Wegener, Michael O’Shea, Ma Deling. 2001. World Distribution and Trade in Neem Products with Reference to their Potential in China. Contributed paper to AARES 2001 conference of Australian Agricultural and Resource Economics Society, Adelaide, 22-25 January 2001. pp 9-10, 12.

Vucinic, S., D. Jovanovic, Z. Vucinic Dragan Joksovic, Z. Segrt, M.Z.M. Jovanovic. 2007. A near-fatal case of acute poisoning by amitraz/xylene showing atrial fi brillation. Forensic Toxicol, 25:41–44

Warthen, J. D. Jr., 1979. Azadirachta indica: A source of insect feeding inhibitors and growth regulators. In: Arnason, J. T., B. J. R. Philogene, N. Donskov, M. Hudon I, C. McDougall, G. Fortier, P. Morand, D. Gardner, J. Lambert, C. Morris & C. Nozzolillo. Entomol. exp. appl. 38, 29 34.

Yusuf, S., S. Khoirul Himmi, Didi Tarmadi, Deni Zulfiana, Maya Ismayati, Atik Setyowati. 2012. Development of Stored Product Pest Control Technology Using Biopesticide Based on Neem (Azadirachta indica. A. Juss). Pangan, Vol. 21 No. 3 September 2012: 211-219.

Page 155: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

149

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 21.

EFEKTIFITAS SOIL TREATMENT DENGAN CUKA KAYU TERHADAP RAYAP

TANAH Coptotermes sp

Arief Heru Prianto* dan Sulaeman Yusuf

Pusat Penelitian Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 *E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Soil treatment is a prevention technique termite attack on the building. The use of chemicals in soil treatment method will cause soil and water pollution. The use of environmentally friendly materials will help reduce environmental pollution. To examine the effectiveness of liquid smoke to the subterranean termites Coptotermes gestroi on soil treatment, then the liquid smoke applied to the sand with a concentration of 0%, 25%, 50%, 75%, 100%. Treated sand put on the bottle H. Subterranean termites inserted at one end of the bottle H. Observations activity of subterranean termites Coptotermes gestroi done for 21 days. The results showed the concentration of liquid smoke 50% and 75% belongs to the moderate reliability criteria and relatively high at the concentration of 100%. Kata kunci: soil treatment, wood vinegar, Coptotermes gestroi

PENDAHULUAN

Pemanfaatan kayu untuk kehidupan manusia belum bisa digantikan oleh material lain. Penggunaan kayu sangat luas mulai dari alat rumah tangga, alat pertanian, furniture, dan juga pada bangunan. Pada bangunan kayu dapat digunakan untuk kusen, plafon sampai kontruksi atap bangunan. Kelebihan yang dimiliki kayu menjadikannya susah untuk diganti dengan produk lain. Akan tetapi kayu memiliki kekurangan yaitu dapat terserang hama. Hama yang biasa menyerang antara lain kumbang, jamur pelapuk dan rayap. Rayap merupakan serangga yang sangat berbahaya bagi produk kayu karena rayap memiliki koloni sangat besar sehingga serangannya lebih cepat untuk merusak kayu. Oleh karena itu penggunaan teknik pengendalian rayap sangat penting untuk memperpanjang usia pemakaian kayu terutama pada bangunan.

Proteksi bangunan dengan memberikan perlakuan pada tanah menjadi penting dilakukan untuk melindungi kayu dari serangan rayap. Menurut Prasetiyo dan Yusuf, (2004) Indonesia kurang lebih memiliki 200 jenis rayap karena memiliki iklim tropis yang cocok sebagai habitat perkembangbiakan rayap. Ditaksir kerugian ekonomis akibat serangan rayap mencapai 200 milyar/pertahun

Proteksi bangunan terhadap serangan rayap dapat dilakukan dengan soil treatment dan pengawetan langsung terhadap material kayu yang akan digunakan. Soil treatment sangat digemari karena aplikasinya yang mudah dan murah. Teknik ini yaitu memberi perlakuan tanah dengan bahan kimia cair. Bahan termitisida tersebut akan menimbulkan efek chemical barrier sehingga rayap tidak bisa masuk ke dalam pondasi bangunan. Soil treatment merupakan perlakuan standar untuk perlindungan bangunan, akan tetapi penggunaan bahan kimia pada perlakuan ini akan menimbulkan pencemaran tanah dan air yang berbahaya bagi kehidupan manusia.

Bahan substitusi untuk perlakuan tanah yang lebih aman terhadap lingkungan dan memiliki efektifitas barrier yang baik merupakan solusi yang dapat menjawab tantangan pencemaran lingkungan ini. Pada peneilitian ini digunakan cuka kayu dari cangkang kelapa sawit sebagai pengganti termitisida untuk aplikasi soil treatment. Cuka kayu diharapkan

Page 156: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

150

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

memiliki aktivitas barrier yang baik sehingga dapat menggantikan termitisida yang selama ini banyak digunakan dipasaran. Prianto (2012) melaporkan bahwa cuka kayu memiliki efektifitas yang tinggi terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi. Cuka kayu mengandung fenol, asam semut, karbondioksida yang bersifat toksik terhadap serangga.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas Cuka kayu pada perlakukan/peracunan tanah.

BAHAN DAN METODE

Pengujian soil treatment skala laboratorium mengacu pada standard JWPA (Japan Wood Preserving Association) no. 13 tahun 1992. Pasir diayak pada saringan berukuran 20 mesh. Cuka kayu dengan konsentrasi 25%, 50%, 75%, dan 100% dicampur merata dengan pasir. Pasir kemudian dioven pada suhu 100 C selama 3 jam untuk menghilangkan pelarutnya. Pasir yang diberi perlakuan kemudian dimasukkan ke dalam silinder gelas berskala dengan diameter 1.5 cm dan panjang 6 cm. Silinder gelas tersebut dihubungkan dengan botol gelas berdiameter 5 cm dikedua ujungnya. Botol gelas diisi dengan pasir setinggi 2.5 cm. Salah satu sisi gelas diisi dengan rayap pekerja Coptotermes gestroi sebanyak 200 ekor sedangkan di sisi lainnya diletakkan kayu karet sebagai umpan, agar rayap menuju kayu dimana rayap harus melalui pasir yang telah diberi perlakuan cuka kayu.

Unit-unit gelas tersebut disimpan ke dalam tempat yang gelap bersuhu 28 2C dengan kelembaban di atas 85 %.

Setelah rayap dimasukkan ke dalam botol kemudian dilakukan pengamatan pergerakan rayap dalam botol sehingga dapat diketahui panjang penetrasi rayap setiap hari selama 9 hari.

Tabel 1. Kriteria efikasi panjang penetrasi rayap ke dalam pasir yang telah diberi perlakuan (Sumber : JWPA standard No. 13-1992)

Panjang Penetrasi (cm)

Skor Kriteria Keandalan

0,0 0 Sangat Tinggi

0,1 - 1,0 1 Tinggi

1,1 - 2,0 2 Sedang

2,1 - 3,0 3 Rendah

> 3,0 4 Tidak andal

Gambar 1. Gelas uji penetrasi horisontal (sumber JWPA)

Pasir bercuka kayu

Umpan

5

Pasir

Rayap

12

Page 157: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

151

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetrasi rayap pada sumbu horisontal botol gelas H dapat menjadi ukuran keterandalan yang akurat terhadap suatu bahan untuk perlakuan tanah. Keandalan cuka kayu pada perlakuan tanah dipengaruhi performa cuka kayu yang diaplikasikan pada pasir dalam botol gelas H. Semakin rendah penetrasi rayap dalam sumbu horisontal maka semakin andal bahan tersebut. Tingkat konsentrasi yang dibuat yaitu 0%, 25%, 50%, 75% dan 100% memberikan variasi penetrasi rayap yang berbeda. Persentase penetrasi rayap tanah diukur dengan membagi panjang penetrasi rayap dengan panjang pasir contoh uji. Kriteria keandalan yang baik akan membuat bangunan terproteksi dari serangan rayap tanah. Konsentrasi yang diujikan dapat menunjukkan keterandalan cuka kayu terhadap penetrasi rayap tanah. Pada tabel 2 terlihat bahwa panjang penetrasi dipengaruhi oleh konsentrasi cuka kayu yang diujikan. Pada konsentrasi terendah yaitu 0%, rayap dapat menembus dalam waktu satu hari, sedangkan konsentrasi 25% merupakan penetrasi rayap terbesar pada pasir yang diberi perlakuan cuka kayu. Rayap mencapai penetrasi maksimal pada hari ke 8 yaitu 54,7%, akan tetapi tidak dapat menembus pasir. Rayap mencoba masuk dari sisi pinggir umbu horisontal, karena bagian tengah rayap akan lebih berinteraksi dengan cuka kayu daripada bagian sisi. Pada konsentrasi 50%, 75% dan 100% rayap tidak dapat menembus pasir yang diberi perlakuan cuka kayu. Pada konsetrasi 50% penetrasi rayap maksimal pada hari ke-8 yaitu 36,2% dan rayap tidak dapat meningkatkan penetrasinya pada pasir, sedangkan penetrasi maksimal pada konsentrasi 75% dan 100% yaitu 22,2% dan 9,3%. Pada konsentrasi 75% penetrasi tersebut dicapai pada hari kelima sedangkan konsentrasi 100% pada hari ke-4. Tabel 2. Panjang penetrasi rayap pada pasir yang telah diberi perlakuan cuka kayu

Hasil pengamatan menunjukkan cuka kayu memiliki aktivitas menghambat pergerakan rayap tanah Coptotermes gestroi untuk menembus pasir. Rayap menghentikan penetrasinya karena tidak mampu menembus barrier dari cuka kayu tersebut. Cuka kayu bersifat reppelent dan toksik, ini dibuktikan dengan tidak adanya penetrasi pada hari pertama sedangkan pada kontrol (0%) telah mencapai penetrasi 83,3% dan terjadinya kematian rayap selama rayap melakukan penetrasi. Persentase kematian rayap dapat dilihat pada Gambar 2. Kematian rayap yang terjadi lebih cepat pada konsentrasi yang lebih besar dan ketika jumlah rayap semakin sedikit maka rayap sudah tidak mampu menambah penetrasi ke dalam pasir. Perlakuan pasir dengan konsentrasi 25%,50%,75%, dan 100% telah menyebabkan kematian rayap 100% sedangkan kontrol tingkat kematiannya sangat kecil (3%).

Konsentrasi (%)

Persentase penetrasi pada pengamatan hari ke-

H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9

0 83,3 100 100 100 100 100 100 100 100

25 0 20,7 27,4 38,8 50 52,7 52,6 54,7 54,7

50 0 8,5 11,1 16,7 22.2 25 27,7 36,2 36,2

75 0 5,0 8,3 16,6 22,2 22,2 22,2 22,2 22,2

100 0 4,00 8,67 9,33 9,33 9,33 9,33 9,33 9,33

Page 158: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

152

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 2. Persentase mortalitas rayap pada akhir pengujian Kandungan komponen kimia dalam cuka kayu memiliki aktivitas yang mencegah rayap menembus pasir sehingga semakin tinggi konsentrasi maka penetrasi semakin pendek. Aktivitas cuka kayu cenderung bersifat repellent dan toksik bagi rayap. Sifat ini sangat cocok untuk bahan pada proteksi bangunan dengan soil treatment. Pada perlakuan soil treatment dibutuhkan komponen yang bersifat racun dan memiliki persistensi yang lama di dalam tanah.Komponen aktif yang terdapat dalam cuka kayu antara lain dari golongan fenol dan asam asetat, aseton, metanol dan o-cresol (Gunarso, et al, 2009; Marasabessy,2007). Tabel 3. Kriteria keandalan pada masing-masing konsentrasi yang diujikan

Konsentrasi (%)

Panjang Penetrasi (Cm)

Persentase Penetrasi

Skor Kriteria

Keandalan

0 5 100 4 Tidak andal

25 4,3 54,7 3 Rendah 50 75

2,1 1,3

36,2 22,2

2 2

Sedang sedang

100 1,0 9,3 1 Tinggi

Tabel 3 menunjukkan kriteria keandalan dari masing-masing konsentrasi cuka kayu.

Konsentrasi menentukan panjang penetrasi yang pada akhirnya menentukan kriteria keandalannya. Peningkatan konsentrasi cuka kayu menyebabkan meningkatnya kriteria keandalan, akan tetapi dengan sifat toksiknya yang menyebabkan kematian rayap 100%, maka konsentrasi 50% dipandang sudah cukup ideal dalam proteksi bangunan. Pada konsentrasi 50% penetrasi hanya 43% dantingkat kematian rayap mencapai 100%.

KESIMPULAN

Cuka kayu memiliki aktivitas yang baik dalam perlakuan tanah. Konsentrasi 100% merupakan kriteria keandalan paling tinggi,akan tetapi pada konsentrasi 50% sudah memiliki barrier yang bagus terhadap serangan rayapp tanah Coptotermes gestroi. .

0

20

40

60

80

100

0 25 50 75 100

Pro

sen

tase

mo

rtal

itas

ray

ap (

%)

Konsentrasi Cuka kayu (%)

Page 159: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

153

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

DAFTAR PUSTAKA Anonim . 1992. Japan Wood Preserving Asociation, Japan. Darmadji, P. 1995. Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. Yogyakarta: Fakultas

Teknologi Pangan Univ. Gadjah Mada Prasetiyo, K.W. dan S. Yusuf. 2004. Mencegah dan Membasmi Rayap secara Ramah

Lingkungan dan Kimia. Agro Media Pustaka. Jakarta. Prianto, AH., D. Tarmadi, S. Yusuf., A.S. Lestari. 2012. Pengaruh Asap Cair Terhadap

Protozoa dalam Usus Rayap Coptotermes sp. Prosiding Seminar Nasional XIV Masyarakat Penelliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Yogyakarta.

Gunarso, P., Setyawati, T., Sunderland, T.C.H. dan Shackleton, C. 2009. Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Era Desentralisasi: Pelajaran yang Diperoleh dari Hutan Penelitian Malinau, Kalimantan Timur, Indonesia. Indonesia: CIFOR Bogor

Marasabessy, Ismael. 2007. Produksi Asap Cair dari Limbah Pertanian dan Penggunaannya dalam Pembuatan Ikan Tongkol (Euthymnus affinis) Asap (Tesis Magister Sains). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Page 160: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

154

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 22.

TEKNOLOGI PEMBUATAN STARTER PUPUK ORGANIK HAYATI (POH) DALAM

BENTUK POWDER

Nur Laili*, Sarjiya Antonius, Dwi Agustiyani, Yayuk Kartika

Pusat Penelitian Biologi LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor, Indonesia *E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Application of organic biofertilizer is rising due to enhancement in nutrient uptake efficiency and society demands for more green technologies for sustainable agriculture development. The aims of this research were to production of organic biofertilizer powder starter and develop it’s technology that can adopted by industries. We improve a technology to produce biofertilizer powder starter, including bacterial fermentation in pilot-scale fermentor, cells harvesting with continuous centrifuge, freeze-drying, ,mixing carrier and packaging. We fermented three bacteria which is have the best potency for plant growth promoting, including Bacillus sp. 140B as amino acid producer, Brevundimonas sp. AA2 with the highest growth hormone production, and Brevundimonas sp. Piko as phosphate solubilizer. To maintenance and enhance the viability and stability of the cells during freeze-drying process, we added combination of skim milk and trehalose as cryoprotectant agents. The cryoprotectants have a good protection for the viability of bacteria, were shown by stability of bacterial population. Carrier materials were used to make powder starter, including combination of skim milk, maltodextrin and maize starch with different composition. Keywords: carrier materials, cryoprotectant agent, organic biofertilizer, powder starter.

PENDAHULUAN

Penggunaan bahan agrokimia pada lahan pertanian intensif dalam jangka waktu yang lama dan dengan konsentrasi yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap penurunan sifat biologi dan kimia tanah. Hal tersebut menjadi suatu permasalahan besar dalam pertanian karena menyebabkan rendahnya kualitas biokimia tanah, terkait dengan ketersedian bahan organik dan biodiversitas organisme tanah, tingginya serangan hama dan penyakit serta dampak negatif penggunaan bahan agrokimia. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa biodiversitas, keberadaan populasi mikroba tanah dan aktivitasnya menurun 30-70% pada lahan pertanian yang telah mendapat perlakuan bahan agrokimia dengan konsentrasi tinggi dan dalam jangka waktu yang lama (Antonius et al., 2009). Oleh karena itu perlu diupayakan cara-cara pendekatan perbaikan kondisi tersebut dengan peningkatan kandungan organik C dan pemulihan biodiversitas tanah dengan aplikasi pupuk organik hayati.

Isu lingkungan dalam praktek pertanian dan agroforestri telah mendorong petani untuk mengembangkan sistem pertanian yang berdampak baik terhadap lingkungan. Pengurangan penggunaan pupuk dan bahan agrokimia pada aktivitas pertanian dan digantikan dengan aplikasi pupuk organik. Pupuk organik hayati merupakan suatu substansi yang mengandung sel bakteri hidup yang potensial, dan ketika diaplikasikan pada bibit tanaman, tanaman atau tanah, dapat berkolonisasi dengan area rizosfer maupun jaringan tanaman dan meningkatkan nutrisi dalam tanah, memacu pertumbuhan dan berpotensi dalam meningkatkan produktivitas tanaman (Malusa et al., 2012; Kumar, 2014).

Page 161: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

155

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Saat ini, pupuk organik telah banyak digunakan dalam praktek pertanian dan mengurangi penggunaan pupuk kimia. Manfaat penggunaan pupuk organik hayati dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas produk tanaman serta memperbaiki lingkungan secara bertahap semakin disadari dan dirasakan oleh masyarakat. Peningkatan minat penggunaan pupuk organik berdampak pada peningkatan efisiensi pengambilan nutrisi di tanah dan meningkatkan produktivitas hasil panen tanaman. Hal tersebut mendorong peningkatan kebutuhan masyarakat akan teknologi yang ramah lingkungan untuk mendukung sistem pertanian yang berkelanjutan (Malusa et al., 2007; Adesemoye et al., 2008).

Untuk mendapatkan pupuk organik hayati yang berkualitas diperlukan starter (biang mikroba) yang tepat, terseleksi dan terkarakterisasi. Starter mikroba (StarTmik-LIPI) yang terdiri dari campuran mikroba perakaran (Plant growth-promoting rhizobacteria/PGPR) (Antonius et al., 2011, Antonius et al., 2012). PGPR merupakan kolonisasi bakteri dengan akar tanaman yang sangat efektif dalam meningkatkan siklus nutrisi, menekan patogen, menghasilkan senyawa biologi aktif dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Khalid et al. 2004). Kolonisasi PGPR dengan perakaran tanaman memberikan dampak menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman melalui beberapa mekanisme antara lain dengan menghasilkan fitohormon, seperti IAA, giberelin, sitokinin dan etilen; kemampuan fiksasi N2 bebas; melawan patogen dengan mensintesis antibiotik, produksi enzim-enzim, senyawa antifungal dan siderofor yang berperan mengatasi keterbatasan unsur Fe di lingkungan; kemampuan melarutkan mineral fosfat dan nutrisi lainnya; dan memacu tanaman dalam pengambilan nutrisi di lingkungan (Cattelan et al. 1999; Mrkovacki & Milic 2001; Ahmad et al. 2006; Salantur et al. 2006; Shaharoona et al. 2006; Siddiqui 2006; Egamberdiyeva 2007; Ashrafuzzaman et al. 2009). Kemampuan PGPR dalam melarutkan fosfat memiliki peranan yang penting karena dapat meningkatkan ketersediaan unsur fosfat dan besi untuk pertumbuhan tanaman (Verma et al. 2001; Ashrafuzzaman et al. 2009; Joshi & Bath 2011). Pupuk organik hayati yang kami hasilkan mengandung mikroorganisme potensial sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, yang terdiri dari Bacillus sp., Pseudomonas sp., Brevundimonas sp., Bulkholderia sp., and Brucellaceae sp. Bakteri tersebut memiliki multi aktivitas dan berperan sebagai agen PGPR, seperti penghasil hormon tumbuh, pelarut fosfat, penambat nitrogen, serta aktivitas enzim protease yang menghasilkan asam amino.

Kebutuhan pupuk organik hayati untuk memenuhi permintaan masyarakat juga semakin meningkat, sehingga membutuhkan ketersediaan starter dalam jumlah banyak dan memiliki waktu simpan yang lama dalam kondisi baik. Oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan pembuatan starter pupuk organik hayati dalam bentuk powder yang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan starter cair, antara lain efisiensi dalam pengemasan, distribusi, penyimpanan serta viabilitas dan aktivitas yang lebih stabil. Untuk menyediakan starter mikroba pupuk organik hayati dalam bentuk powder tersebut diperlukan material agen pembawa yang dapat memelihara viabilitas dan aktifitas bakteri starter pupuk organik dengan baik dalam waktu yang lama. Material agen pembawa yang digunakan harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain: 1). tidak bersifat toksik bagi mikroba starter, 2). mempunyai kapasitas penyerapan air yang baik untuk menjaga kelembaban, 3). mudah dalam proses penggunaannya dan tidak membentuk gumpalan, 4). mudah dalam proses sterilisasi, 5). mudah diperoleh dan cukup ketersediaannya serta murah, 6). mempunyai kemampuan mengikat benih yang baik, 7). mempunyai kemampuan untuk menjaga kestabilan pH, 8). tidak bersifat toksik bagi tumbuhan. Penggunaan bahan carrier yang bervariasi diharapkan mampu meningkatkan viabilitas sel bakteri karena adanya perlindungan terhadap tekanan lingkungan biotik dan abiotik (El Fattah et al., 2013).

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk starter POH dalam bentuk powder dan mengembangkan teknologi pada proses pembuatannya sehingga dapat diadopsi oleh industri. Starter powder memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan starter cair, meliputi efektivitas dan efisiensi dalam penanganan, pengemasan dan pengiriman ke pengguna, viabilitas sel dan stabilitas aktivitas bakteri yang lebih baik, serta daya simpan dan masa kadaluarsa yang lebih lama. Untuk mengetahui viabilitas dan aktivitas bakteri serta menjaga kualitas pupuk organik hayati yang diproduksi menggunakan

Page 162: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

156

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

starter powder, dilakukan pengecekan (Quality Control) secara berkala pada produk starter powder. Dengan tersedianya starter pupuk organik dalam bentuk powder diharapkan dapat memenuhi permintaan masyarakat yang semakin meningkat dan mengoptimalkan produksi pupuk organik hayati secara mandiri oleh masyarakat.

BAHAN DAN METODE

Kultivasi isolat mikroba agen pupuk hayati di media cair.

Isolat bakteri starter POH diinokulasi pada erlenmeyer 2 L yang mengandung 1 L media Nutrient Broth (NB), yang terdiri dari 3 g beef extract dan 5 g pepton dalam 1 L aquades, kemudian diinkubasi selama 24 jam. Setelah inkubasi selama 24 jam, kultur bakteri yang tumbuh digunakan sebagai pre-kultur untuk produksi sel dalam skala besar dengan fermentor 20 selama 24-48 jam. Produksi kultur bakteri agen pupuk hayati tunggal dalam skala besar menggunakan fermentor.

Produksi kultur bakteri skala besar menggunakan fermentor volume 20 L Pertumbuhan isolat bakteri pada fermentor 20 L menggunakan media NB yang terdiri dari 60 g beef extract dan 100 g pepton dalam 19 L aquades, kemudian disterilisasi. Setelah proses sterilisasi selesai, ditambahkan 1 L dan difermentasikan selama 24-48 jam. Kondisi

fermentor telah diatur pada temperatur 30 C, pH 6,5-7,5 serta agitasi/pengadukan 100-150 rpm. Untuk mengetahui pertumbuhan bakteri dalam fermentor dilakukan pengukuran optical density (OD) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 436 nm. Setelah pertumbuhannya mencapai fase eksponesial akhir atau awal stasioner, kultur bakteri dalam fermentor dipanen menggunakan continous centrifuge. Isolat bakteri ditumbuhkan dalam fermentor sebagai isolat tunggal, terdiri dari Bacillus sp. 140-B, Brevundimonas sp. Piko dan Brevundimonas sp. AA2. Pemanenan sel bakteri agen pupuk hayati hasil fermentasi menggunakan continuous centrifuge.

Isolat bakteri untuk starter POH yang ditumbuhkan di fermentor diinkubasi selama 24-48 jam sesuai dengan kurva pertumbuhan dari masing-masing bakteri. Setelah pertumbuhan mencapai fase eksponensial akhir atau awal stasioner, dilakukan pemanenan sel bakteri menggunakan continuous centrifuge. Bakteri Bacillus sp. 140-B dipanen setelah fermentasi selama 42 jam, bakteri Brevundimonas sp. AA2 setelah 36 jam dan Brevundimonas sp. Piko dipanen setelah fermentasi selama 30 jam. Proses vacuum freeze drying pelet hasil sentrifus untuk mengurangi kadar air.

Pelet yang diperoleh dari proses sentrifugasi, ditambahkan dengan agen cryoprotectant yang terdiri dari susu skim dan trehalose dengan perbandingan antara 3-10 susu skim berbanding 0,5-2,0 trehalose. Pemberian agen cryoprotectant pada pelet sel bakteri dilakukan dengan perbandingan 5:1. Agen cryoprotectant dilarutkan dalam phosphat buffer saline, kemudian disterilisasi. Pelet sel bakteri yang telah diberi agen

cryoprotectant selanjutnya disimpan dalam deep freezer -80 C selama 24 jam. Selanjutnya

dikering-bekukan dengan menggunakan vacuum freeze drying pada suhu -50 C, tekanan 0,5-1,0 atm selama 24-48 jam sampai diperoleh sel bakteri dalam bentuk kering beku. Hasil sel bakteri kering beku dihaluskan dan selanjutnya dicampur dengan bahan carrier. Optimasi formulasi dan komposisi agen pembawa (carrier)

Hasil freeze drying yang berupa sel bakteri kering beku selanjutnya dilakukan pencampuran dengan agen pembawa (carrier). Bahan carrier yang digunakan dalam bentuk campuran dengan 3 formulasi yang berbeda, sebagai berikut:

1. F1= Susu skim : maltodextrin : maize starch (1:1:2) 2. F2= Susu skim : maltodextrin : maize satrch : kaolin (1:1:2:1)

Page 163: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

157

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

3. F3= Susu skim : maltodextrin : maize starch (3:2:5) Bahan untuk carrier disterilisasi terlebih dahulu sebelum dicampur dengan sel

bakteri. Proses pencampuran sel bakteri dengan carrier dilakukan dengan beberapa konsentrasi bakteri yang berbeda. Pada F1 dan F2, bakteri dicampur dengan carrier sebagai isolat tunggal dengan konsentrasi 0,1 g dan 0,2 g dalam 10 g carrier. Sedangkan pada carrier F3, bakteri dicampur sebagai isolat campuran dengan konsentrasi 0,6 g dan 0,9 g dalam 50 g carrier. Hasil pencampuran sel bakteri dengan carrier selanjutnya

disimpan pada suhu yang berbeda yaitu suhu 4 C di dalam refrigerator dan suhu 25 C di dalam ruangan. Penghitungan populasi dan uji viabilitas sel bakteri

Penghitungan populasi dan uji viabilitas sel bakteri dilakukan dengan metode Total Plate Count (TPC). TPC dilakukan mulai dari pemanenan sel bakteri, pemberian agen

cryoprotectant sebelum masuk ke deep freezer -80 C, sebelum proses freeze drying, setelah proses freeze drying dan pada saat penyimpanan sel kering beku setiap 1 bulan sekali. Penghitungan populasi bakteri juga dilakukan setelah diperoleh produk starter powder, yaitu setelah proses pencampuran sel bakteri dengan agen carrier selama penyimpanan 1 minggu dan dilanjutkan setiap 1 bulan sekali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi starter pupuk organik hayati (POH) dalam bentuk powder diawali dengan

fermentasi isolat bakteri starter POH dalam fermentor 20 L untuk isolat bakteri Bacillus sp. 140-B, Brevundimonas sp. AA2 dan Brevundimonas sp. Piko secara terpisah sebagai isolat tunggal. Isolat bakteri Bacillus 140-B memiliki aktivitas enzim protease tertinggi untuk menghasilkan asam-asam organik pada produk POH serta perombakan protein dari bahan-bahan pembuatan POH. Isolat Brevundimonas sp. AA2 yang memiliki aktivitas penghasil zat pengatur tumbuh, terutama hormon Indole Acetic Acid (IAA) tertinggi. Sedangkan isolat Brevundimonas sp. Piko memiliki kemampuan dalam melarutkan senyawa fosfat menjadi unsur P yang dapat diserap tanaman dan berperan dalam memacu pertumbuhan tanaman.

Pemanenan sel dilakukan pada saat fase akhir eksponensial atau awal stasioner menggunakan continous centrifuge sehingga diperoleh pelet sel bakteri dalam bentuk pasta. Waktu pemanenan sel berbeda dari masing-masing bakteri berdasarkan hasil pengukuran kurva pertumbuhannya. Pelet sel bakteri yang diperoleh dari hasil sentrifus selanjutnya ditempatkan dalam cawan petri steril. Pelet hasil sentrifus dari tiap-tiap bakteri memiliki bobot yang berbeda, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Perbedaan bobot pelet sel bakteri ini dapat disebabkan oleh koloni dan pertumbuhan yang berbeda dari masing-masing isolat bakteri yang difermentasi.

Pelet hasil sentrifus selanjutnya diberi tambahan agen cryoprotectant sebelum proses freeze drying. Agen cryoprotectant berfungsi untuk melindungi sel bakteri dari kondisi temperatur yang ekstrim di deep freezer dan mesin freeze drying. Agen cryoprotectant yang digunakan terdiri dari susu skim dan trehalose. Hasil freeze drying dari pelet sel bakteri ditunjukkan pada Tabel 1.

Hasil dari proses freeze-drying berupa sel kering beku akibat proses pendinginan dan vakum untuk menghilangkan kadar air dalam pelet sel bakteri. Proses freeze-drying ini merupakan suatu proses kritis yang rentan mengakibatkan kerusakan sel bakteri. Pada

tahap pertama adalah proses pendinginan dengan suhu yang sangat rendah (-50 C), dan dilanjutkan dengan proses yang kedua, yaitu sublimasi dalam kondisi vakum untuk menghasilkan sel kering beku. Oleh karena itu, pemberian agen cryoprotectant sebelum proses freeze-drying sangat diperlukan untuk menjaga viabilitas sel bakteri dan mengoptimalkan hasil freeze-drying.

Page 164: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

158

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 1. Pemanenan sel bakteri dari fermentor dan hasil freeze drying

Sel bakteri kering beku hasil freeze drying selanjutnya dihaluskan dengan cara

digerus dalam mortar steril disimpan pada suhu 4 C. Untuk mengetahui viabilitas dari sel bakteri tersebut, dilakukan penghitungan populasi dengan metode Total Plate Count (TPC). Penghitungan populasi juga dilakukan pada saat panen sel bakteri, pencampuran dengan

agen cryoprotectant sebelum disimpan pada -80 C, sebelum proses freeze drying, serta setelah masa penyimpanan setiap 1 bulan sekali. Hasil penghitungan populasi sel bakteri dengan metode TPC ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil penghitungan populasi sel bakteri dengan metode TPC

Isolat Bakteri Sel (CFU/mg)

Sebelum FD (CFU/mg)

Setelah FD (CFU/mg)

Masa Penyimpanan

(CFU/mg)

Bacillus sp. 140-B 50x 1012

74x 1010

236 x 1011

92 x1011

Brevundimonas sp. AA2 34 x 10

11 69 x 10

13

86 x 1011

268 x 1011

Brevundimonas sp. Piko

~ ~ 143 x 10

11 83 x 10

12

Berdasarkan hasil perhitungan populasi bakteri seperti data pada Tabel 2, agen

cryoprotectant yang terdiri dari susu skim dan trehalose memberikan perlindungan yang

baik pada sel bakteri selama proses penyimpanan di -80 C, proses freeze drying dan penyimpanan, ditunjukkan dengan populasi bakteri yang relatif stabil. Hal ini menunjukkan kesamaan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zayed et al. (2004), yang melaporkan bahwa kombinasi antara susu skim dan trehalose sebagai agen cryoprotectant mampu meningkatkan viabilitas bakteri Lactobacillus salivarius selama proses freeze drying dan pada masa penyimpanan. Proses freeze drying dapat merusak struktur membran sel dan berdampak pada perubahan viabilitas sel, tetapi adanya susu skim dan trehalose sebagai agen cryoprotectant dapat meningkatkan keutuhan dan perubahan cairan dalam membrane sel (Li et al., 2011).

Pencampuran sel kering beku hasil freeze drying dengan agen carrier. Agen carrier yang digunakan terdiri dari 3 formula dan merupakan campuran antara susu skim, maize starch dan maltodextrin, serta campuran antara susu skim, maize starch, maltodextrin dan kaolin dengan perbandingan yang berbeda. Pencampuran ini dihomogenisasi pada orbital shaker dan divortex. Hasil pencampuran sel bakteri kering beku dengan carrier merupakan prototipe dari produk starter powder POH. Produk ini kemudian disimpan pada suhu ruang

(25 C) dan di refrigerator suhu 4 C. Setelah 1 minggu dari masa penyimpanan dilakukan uji viabilitas dengan penghitungan populasi sel bakteri menggunakan metode TPC. Uji viabilitas ini selanjutnya dilakukan setiap 1 bulan sekali. Hasil uji viabilitas sel bakteri dalam carrier ditunjukkan pada Tabel 3.

Isolat bakteri Volume panen sel (Liter)

Bobot pelet sel bakteri (Gram)

Bobot sel kering beku (Gram)

Bacillus sp. 140-B 20 24.478 4.86

Brevundimonas sp. AA2

20 69.972 20.82

Brevundimonas sp. Piko

20 44.571 11.55

Page 165: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

159

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 3. Hasil penghitungan populasi bakteri uji viabilitas dalam carrier F1 dan F2.

Berdasarkan hasil uji viabilitas pada carrier F1 dan F2, diketahui bahwa bakteri

Brevundimonas sp. AA2 memiliki viabilitas yang paling baik dibandingkan dengan bakteri Bacillus sp. 140-B dan Brevundimonas sp. PIKO. Hasil tersebut kemudian dijadikan sebagai acuan untuk membuat formulasi agen carrier yaitu F3, dan dalam proses pencampurannya dengan sel bakteri menggunakan ketiga jenis bakteri, bukan isolat bakteri tunggal. Hasil penghitungan populasi bakteri pada formulasi ini ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil penghitungan populasi bakteri uji viabilitas dalam carrier F3.

Hasil penghitungan populasi bakteri pada formulasi F3 menunjukkan hasil yang

lebih baik, di mana dengan 2 konsentrasi yang berbeda dan di tempat penyimpanan suhu ruang maupun di refrigerator diperoleh populasi bakteri yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bakteri sebagai konsorsium dalam suatu carrier dapat mempertahankan viabilitasnya lebih baik dibandingkan dengan keberadaannya sebagai isolat tunggal.

KESIMPULAN

Dalam kegiatan penelitian ini, kami mengembangkan teknologi untuk menghasilkan starter pupuk organik hayati (POH) dalam bentuk powder, di mana proses pembuatannya terdiri dari fermentasi isolat bakteri dalam fermentor skala besar (20L) dengan kondisi temperatur, pH dan pengadukan yang terkontrol, pemanenan sel dengan continuous centrifuge, proses freeze drying, pencampuran dengan bahan carrier and pengemasan produk. Agen cryoprotectant yang ditambahkan dalam proses freeze drying terdiri dari kombinasi susu skim dan trehalose memberikan perlindungan yang baik terhadap sel bakteri dan meningkatkan viabilitasnya selama proses freeze drying. Pengukuran viabilitas sel bakteri menggunakan metode total plate count (TPC) dilakukan pada beberapa tahap

meliputi pemanenan sel, setelah pembekuan -80 C, sebelum dan setelah proses freeze drying, penyimpanan sel kering beku hasil freeze drying, serta masa penyimpanan setelah pencampuran dengan carrier. Kombinasi susu skim dan trehalose sebagai agen cryoprotectant memberikan perlindungan yang baik pada sel bakteri, ditunjukkan dengan

stabilitas populasi bakteri selama proses pembekuan di -80 C, freeze drying dan penyimpanan. Penggunaan kombinasi susu skim, maltodextrin, dan maize starch sebagai bahan carrier dengan perbandingan 3:2:5 serta proses pencampuran isolat bakteri sebagai

Isolat bakteri Konsentrasi (G/10G)

Populasi bakteri (CFU/mg) F1

Populasi bakteri (CFU/mg) F2

140-B 0.1 Not detected (106) Not detected (106)

0.2 Not detected (106) Not detected (106)

AA2 0.1 97x 108 85 x 107

0.2 172 x 108 220x 107

PIKO 0.1 Not detected (106) Not detected (106)

0.2 Not detected (106) Not detected (106)

Isolat bakteri Konsentrasi (G/50G)

Penyimpanan 4 C Penyimpanan 25 C

Mix culture 0.6 32 x 107 186 x 107

0.9 34 x 108 140 x 108

Page 166: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

160

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

konsorsium memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan isolat bakteri tunggal dalam carrier.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami tujukan kepada LIPI atas didanainya penelitian ini melalui

Program Unggulan IPH Produk Komersial 2015. Kami juga berterima kasih atas bantuan dan kerjasama dari saudara Entis Sutisna dan Nani Mulyani yang telah bekerja keras demi kelancaran kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Adesemoye, A.O.,H.A. Torbert & J.W. Kloepper. 2008. Enhanced plant nutrient use

efficiency with PGPR and AMF in an integrated nutrient management system. Canadian Journal of Microbiology, 54(10): 876-886.

Ahmad, F., I. Ahmad & M.S. Khan. 2006. Screening of free-living rhizospheric bacteria for their multiple plant growth promoting activities. Microbiology Research, 36: 1-9.

Antonius,S., Laili, N., Yanti, Nurkanto, A., & Agustyani, D. 2009. Exploration and screening of microbial biofertilizer agents from Malinau-East Borneo. Proceeding Environmental life science, XX the National seminar and XIV Conference of Indonesian Biological association-UIN Maliki Malang 24-25 July 2009.

Antonius, S., Nur Laili and Dwi Agustyani. 2011. Great Potential of Microbial Isolates from Forest Ecosystem in Malianu -East Kalimantan as Bio-fertilizer and Bio-control Agents In P Phartama, A F Mas’ud, N Mindawati, G Pari, H Krisnawati, Krisdianto, A Subiakto, R Maryani, T Setyawati, B Leksono, M Turjaman, Y Yovy, L Sundawati, R Nurruchmat (Eds). Proceeding Inafor 2011, International conference of Indonesia Forest researchers 5-7 December 2011 “Strengthening Forest Science and technology for Better Forestry Development”, Ministry of Forestry, Forestry Research and Development Agency. Page- 169-175, ISBN- 978-979-8452-45-1.

Antonius, S., Nur Laili, Hartati Imamuddin and Dwi Agustiyani. 2012. Development of Sustainable Agriculture- The Role of Beyonic-StarTmik LIPI Biofertilizer on Yield Improvement of Various Crops and Conservation of Soil Biochemical Properties of various Ecosystem in Indonesia. In Abdulhadi, R., Tjahjono, B.S.E., Waluyo, E.B., Delinom, R.M., Prijono, S.N., Fizzanty, T., Lesmana, T. (eds). Proceedings “Mobilizing Science Toward Green Economy”, The 12 th Sciences Council os Asia (SCA) Conference and International Symposisum 10-12 July, 2012-Bogor, Indonsia.p.119-126.

Ashrafuzzaman, M., F.A. Hossen, M.R. Ismail, M.A. Hoque, M.Z. Islam, S.M. Shahidullah & S. Meon. 2009. Efficiency of plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR) for the enhancement of rice growth. African Journal of Biotechnology, 8(7): 1247--1252.

Cattelan, A.J., P.G. Hartel & J.J. Fuhrmann. 1999. Screening for plant growth-promoting rhizobacteria to promote early soybean growth. Soil Science Society for America, 63: 1670--1680.

Dave, R., R. Patel, J. Patel & H. Chauhan. 2010. Effect of cryoprotectant on lyophilisation of doxorubin-HCl loaded chitosan nanoparticles. International Journal of Pharmacy and Life Science, 3(6): 1769-1772.

El Fattah, D.A.A., W.E. Eweda, M.S. Zayed & M.K. Hassanein. 2013. Effect of carrier materials. Sterilization method, and storage temperature on survival and biological activities of Azotobacter chroococcum inoculant. Annals of Agricultural Science, 58(2): 111-118.

Egamberdiyeva, D. 2007. The effect of plant growth-promoting bacteria on growth and nutrient uptake of maize in two different soils. Applied Soil Ecology, 36: 184--189.

Glick, B.R., D.M. Penrose & W. Ma. 2001. Bacterial promotion of plant growth. Biotechnology Advanced, 19: 135--138.

Page 167: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

161

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Jalali, M., D. Abedi, J. Varshosaz, M. Najjarzadeh, M. Mirlohi & N. Tavakoli. 2012. Stability evaluation of freeze-dried Lactobacillus paracasei subsp. Tolerance and Lactobacillus delbrueckii subsp. Bulgaricus in oral capsules. Research in Pharmaceutical Sciences, 7(1): 31-36.

Joshi, P. & A.B. Bath. 2011. Diversity and function of plant growth-promoting rhizobacteria associated with wheat rhizosphere in North Himalaya Region. International Journal of Environmental Sciences, 1(6): 1135--1143.

Khalid, A., M. Arshad & Z.A. Zahir. 2004. Screening plant growth-promoting rhizobacteria for improving growth and yield of wheat. Journal of Applied Microbilogy, 96: 473--480.

Krishnaveni, M.S. (2010). Studies on phosphate solubilizing bacteria (PSB) in rhizosphere and non-rhizosphere soils in different varieties of foxtail millet (Setariatalica). International Journal Agricultural and Food Science Technology, 1(1): 23-39.

Kumar, V. 2014. Characterization, bioformulation development and shelf-life studies of locally isolated biofertilizer strains. Octa Journal of Environmental Research, 2(1): 32-37.

Li, B., F. Tian, X. Liu, J. Zhao, H. Zhang & W. Chen. 2011. Effect of cryoprotectant on viability of Lcatobacillus reuteri CICC6226. Applied Microbiology & Biotechnology, 92: 609-616.

Malusa, E., L. Sus-Paszt & E. Zurawicz. 2007. The effect of a mycorrhiza-bacteria substrate and foliar fertilization on growth response and rhizosphere pH of three strawberry cultivars. International Journal of Fruit Science, 6(4): 25-41.

Malusa, E., L. Sus-Paszt & J. Ciesielska. 2012. Technologies for beneficial microorganisms inocula as biofertilizers. The Scientific World Journal, 1-12.

Mrkovacki, N. & V. Milic. 2001. Use of Azotobacter chroococcum as potentially useful in agriculture application. Annual Microbiology, 51: 145--158.

Salantur, A., A. Ozturk & S. Akten. 2006. Growth and yield response of spring wheat (Triticum aestivum L.) to inoculation with rhizobacteria. Plant Soil Environment, 52(3): 111--118.

Savini, M., C. Cecchini, M.C. Verdenelli, S. Silvi, C. Orpianesi & A. Cresci. 2010. Pilot-scale production and viability analysis of freeze-dried probiotic bacteria using different protective agents. Nutrients, 2; 330-339.

Shaharoona, B., M. Arshad, Z.A. Zahir & A. Khalid. 2006. Performance of Pseudomanas spp. containing ACC-diaminase for improving growth and yield of maize (Zea mays L.) in the presence of nitrogenous fertilizer. Soil Biology and Biochemistry, 38: 2971--2975.

Siddiqui, Z.A. 2006. PGPR: Prospective biocontrol agents of plant pathogens. In: Siddiqui, Z.A (ed.). 2006.Biocontrol and Biofertilization. Springer, Amsterdam, 111-142.

Verma, S.C., J.K. Ladha & A.K. Tripathi. 2001. Evaluation of plant growth promoting and colonization ability of endophytic diazotrophs from deep water rice. Journal of Biotechnology, 91: 127--141.

Zayed, G. & Y.H. Roos. 2004. Influence of trehalose and moisture content on survival of Lactobacillus salivarius subjected to freeze-drying and storage. Process Biochemistry, 39: 1081-1086.

Page 168: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

162

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 23.

EVALUASI PERTUMBUHAN AWAL VEGETATIF JATI TETRAPLOID DAN

DIPLOIDNYA DALAM KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN

Ridwan*, Tri Handayani, Indira Riastiwi, Witjaksono

Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI.

Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong, Indonesia *E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tanaman jati dikenal sebagai salah satu tanaman penghasil kayu unggul yang banyak ditanam di Indonesia dengan kualitas sangat baik untuk digunakan sebagai bahan furniture. Pengembangan jenis kayu jati dengan umur yang lebih cepat dan kualitas kayu yang baik banyak dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kayu masyarakat yang semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sifat ketahanan klon jati tetraploid hasil pemuliaan poliploid dengan klon diploidnya terhadap cekaman kekeringan berdasarkan data pertumbuhan vegetatif. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca yang dirancang dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Faktor yang diuji yakni klon jati yang terdiri atas klon jati diploid (2x) dan klon jati tetraploid (4x). Faktor kedua yang diuji yakni interval penyiraman yang terdiri atas 3 hari (I), 7 hari (II), 14 hari (III), 21 hari (IV), serta disiram hanya di awal perlakuan (V). Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, luas daun, anatomi daun dan stomata serta potensial air daun. Interval penyiraman yang berbeda menunjukkan tingkat cekaman kekeringan yang semakin tinggi dengan semakin lamanya jangka waktu penyiraman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan awal kedua klon jati menurun jika dalam kondisi cekaman kekeringan. Namun, pertumbuhan klon tetraploid masih lebih baik dibandingkan dengan klon diploidnya pada kondisi tercekam kekeringan. Kata kunci: Jati, diploid, tetraploid, cekaman kekeringan, penyiraman.

PENDAHULUAN

Jati (Tectona grandis Linn F.) merupakan pohon kayu yang memiliki tempat istimewa di bidang furniture di Indonesia bahkan di dunia. Kelas keawetan dan kekuatan kayu jati termasuk ke dalam kelas II (Ditjen Kehutanan 1976). Sifat kayunya yang tahan rayap, jamur, perubahan cuaca, tidak retak, tidak belah, dan tidak berubah bentuk (Kadambi, 1972) menjadikan kayu jati sangat diminati dan bernilai ekonomis tinggi. Kebutuhan industri nasional terhadap kayu jati sebesar ± 2,5 juta m3 pertahun, namun yang dapat dipenuhi hanya sekitar 0.8 m3 pertahun (Mahfudz et. al. 2007). Hal ini salah satunya disebabkan oleh umur panen dari pohon jati yang lama, yaitu ± 60 tahun untuk kayu pertukangan (Yunianti, 2012). Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menemukan bibit unggul tanaman jati yang bisa tumbuh dengan cepat sehingga dapat berproduksi dalam waktu yang lebih singkat. Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tumbuhan Pusat Penelitian Biologi LIPI sudah menemukan jati platinum yang bisa tumbuh dengan cepat sehingga dapat dipanen dalam waktu yang lebih singkat, yaitu 7-8 tahun.

Pada saat ini, jati platinum tersebut masih terus dikembangkan untuk meningkatkan kecepatan tumbuh sehingga produksi kayu dapat dipanen pada umur 7-10 tahun. Salah satu upaya yang sedang dilakukan di Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tumbuhan Pusat Penelitian Biologi LIPI adalah induksi poliploidisasi. Jati platinum (diploid, 2n=2x=36) digandakan kromosomnya menjadi tetraploid (2n=4x=72) dengan menggunakan senyawa orizalin. Induksi penggandaan kromosom dilakukan dengan harapan pertumbuhan

Page 169: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

163

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

tanaman jati tersebut dikendalikan oleh kromosom yang dua kali lipat dari jati platinum diploid sehingga pertumbuhannya diharapkan bisa dua kali lipat pula. Tanaman poliploid biasanya memiliki ukuran sel yang lebih besar dan pertumbuhan yang lebih cepat dari tanaman yang diploid. Oleh karena itu, biasanya tanaman poliploid membutuhkan nutrisi yang lebih banyak pula jika dibandingkan dengan tanaman diploidnya termasuk kebutuhannya terhadap air.

Air memiliki peranan yang sangat vital bagi tanaman, baik secara struktural maupun fungsional. Air merupakan penyusun utama protoplasma serta berperan penting dalam pemanjangan sel. Air juga berperan sebagai sumber elektron untuk membentuk ATP dan NADPH pada reaksi terang fotosintesis. Meskipun begitu, terdapat beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa tanaman tetraploid memiliki ketahanan terhadap kodisi kekurangan air lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman diploidnya (Chandra dan Dubey, 2010; Van Laere et al., 2011). Hal ini penting mengingat Indonesia yang memiliki lahan kering yang cukup luas untuk pengembangan tanaman jati. Tanaman jati memang diketahui memiliki ketahanan yang tinggi terhadap cekaman kekeringan, namun tetap rentan terutama pada fase awal pertumbuhannya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon pertumbuhan pada dua klon jati yakni jati tetraploid dan klon diploidnya terhadap kondisi kekeringan pada awal pertumbuhan, dimana cekaman kekeringan dikondisikan dengan perlakuan penyiraman dengan interval yang berbeda – beda.

BAHAN DAN METODE

Bahan tanaman yang digunakan adalah bibit jati platinum LIPI diploid (2x) dan

double platinum tetraploid (4x) koleksi Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tumbuhan Pusat Penelitian Biologi LIPI yang berumur 8 bulan dengan tinggi rata-rata 30 cm dan jumlah daun rata-rata 4 helai. Jati diploid dan jati tetraploid sebelumnya diperbanyak dengan menggunakan teknologi kultur jaringan.

Percobaan ini dilakukan di rumah kaca Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI yang dirancang dengan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama adalah klon tanaman yaitu klon tanaman jati diploid (2x) dan klon tanaman jati tetraploid (4x), sedangkan faktor kedua adalah tingkat cekaman kekeringan yang diberikan, meliputi: 1) interval penyiraman 3 hari (I/ kontrol); 2) interval penyiraman 7 hari (II); 3) interval penyiraman 14 hari (III); 4) interval penyiraman 21 hari (IV); dan 5) disiram sekali hanya di awal perlakuan. Jumlah air yang diberikan pada setiap pengairan adalah 9 Liter (dosis air untuk mencapai kadar lengas kapasitas lapang pertama kali). Seluruh kombinasi perlakuan diulang sebanyak 9 kali.

Bibit tanaman jati ditanam pada saat media dalam kondisi kadar lengas kapasitas lapang. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah, pupuk kandang, dan arang sekam dengan perbandingan (10: 1: 1) dengan bobot 35 kg dalam wadah polibag. Untuk mendapatkan media tanam dengan kondisi kapasitas lapang, media diairi sampai jenuh kemudian dibiarkan sampai air tidak menetes lagi dari media. Kadar air media pada kondisi kapasitas lapang ditentukan dengan metode gravimetri.

Parameter-parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, luas daun, anatomi daun (tebal daun, tebal palisade, tebal lapisan bunga karang) kerapatan dan ukuran stomata, serta potensial air daun. Pengamatan agronomis dilakukan dengan interval 1 minggu, kecuali perakaran yang akan diamati pada akhir percobaan. Pengamatan stomata dan anatomi daun dilakukan pada saat tanaman sedang mengalami cekaman kekeringan. Pengamatan stomata dan anatomi daun dilakukan sesuai dengan standar preparasi paradermal kemudian diamati menggunakan mikroskop lalu dihitung dan jumlah stomata diukur secara manual.

Page 170: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

164

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman, Diameter Batang, Jumlah daun, dan Luas Daun Data agronomis tanaman yang meliputi tinggi tanaman, diameter batang, jumlah

daun, dan luas daun secara umum menunjukkan penurunan yang nyata jika mendapatkan cekaman kekeringan. Perlakuan I (Interval penyiraman 3 hari) memperlihatkan pertumbuhan yang paling baik, kemudian menurun seiring meningkatnya cekaman kekeringan sampai dengan perlakuan V (hanya disiram pada awal perlakuan). Meskipun begitu, perlakuan III (Interval penyiraman 14 hari) dan IV (Interval penyiraman 21 hari) memperlihatkan pertumbuhan yang relatif sama (tidak beda nyata) pada seluruh parameter (Tabel 1). Pertumbuhan klon jati diploid (2x) dan tetraploid (4x) juga memperlihatkan perbedaan yang nyata. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa keempat parameter agronomis menunjukkan bahwa klon jati tetraploid selalu lebih tinggi dibandingkan dengan klon jati diploidnya (2x). Tabel 1. Tinggi Tanaman, Diameter Batang, Jumlah daun, dan Luas Daun Tanaman Jati

Tetraploid (4x) dan Diploid (2x) yang Diberi Perlakuan Cekaman Kekeringan

Perlakuan Cekaman

Tinggi Tanaman (cm)

Diameter Batang (cm)

Jumlah Daun Luas Daun(cm2)

I 105.94 ± 3.269

a 1.77 ± 0.065 a 8.67 ± 0.501 a

751.80 ± 25.242 a

II 77.44 ± 3.269 b 1.38 ± 0.065 b 6.89 ± 0.501 b 573.82 ± 25.242

b

III 63.89 ± 3.269 c 1.26 ± 0.065 bc 5.89 ± 0.501 bc 567.40 ± 25.242

b

IV 55.67 ± 3.269 c 1.12 ± 0.065 c 5.06 ± 0.501 cd 495.58 ± 25.242

b

V 41.78 ± 3.269 d 0.93 ± 0.065 d 4.28 ± 0.501 d 321.50 ± 25.242 c

Ket : Data merupakan nilai rata-rata ± Stdev dari 9 ulangan. Data yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P ≤ 0,05) berdasarkan uji lanjut Duncan. I (Interval penyiraman 3 hari), II (Interval penyiraman 7 hari), III (Interval penyiraman 14 hari), IV (Interval penyiraman 21 hari), V (Disiram sekali hanya pada awal perlakuan).

Tabel 2. Tinggi Tanaman, Diameter Batang, Jumlah daun, dan Luas Daun Tanaman Jati

Tetraploid (4x) dan Diploid (2x)

Klon Jati Tinggi

Tanaman (cm) Diameter

Batang (cm) Jumlah Daun Luas Daun (cm2)

Diploid (2x) 64.09 ± 2.295 b 1.22 ± 0.041 b 5.62 ± 0.317 b 491.18 ± 25.242

b

Tetraploid (4x) 73.80 ± 2.295 a 1.36 ± 0.041 a 6.69 ± 0.317 a 592.86 ± 25.242

a

Ket : Data merupakan nilai rata-rata ± Stdev dari 9 ulangan. Data yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P ≤ 0,05) berdasarkan uji lanjut Duncan. Data-data pada Tabel 1 dan 2 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan data

agronomis, klon jati tetraploid (4x) memiliki pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan klon jati diploidnya (2x) pada kondisi cekaman kekeringan. Hal ini mengindikasikan bahwa klon jati tetraploid (4x) lebih tahan terhadap kondisi kekurangan air pada fase awal juvenilnya dibandingkan klon jati diploidnya (2x).

Page 171: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

165

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Data Anatomi Daun (Tebal Daun, Tebal Epidermis dan Mesofil)

Tebal daun kedua klon jati (2x dan 4x) memiliki pola yang berbeda jika diberikan perlakuan cekaman kekeringan yang bertingkat. Daun klon jati diploid (2x) memiliki kecenderungan semakin tipis dengan semakin tingginya tingkat cekaman kekeringan, sedangkan daun klon jati tetraploid (4x) memiliki kecenderungan menipis hanya sampai perlakuan cekaman kekeringan III, setelah itu menebal kembali pada perlakuan cekaman kekeringan yang lebih berat, yaitu perlakuan IV dan V (Gambar 1). Selain itu, daun klon jati tetraploid (4x) selalu lebih tebal pada semua tingkat perlakuan cekaman kekeringan dibandingkan dengan klon jati diploidnya (2x) (Gambar 1).

Gambar 1. Tebal daun klon jati diploid (2x) dan tetraploid (4x) yang diberi perlakuan

cekaman kekeringan dengan interval penyiraman 3 hari (I), 7 hari (II), 14 hari (III), 21 hari (IV), dan disiram sekali hanya pada awal perlakuan (V).

Epidermis atas daun klon jati tetraploid (4x) selalu lebih tebal jika dibandingkan

dengan diploidnya (2x) pada semua tingkat perlakuan cekaman kekeringan. Ketebalan epidermis atas klon jati tetraploid (4x) cenderung meningkat dengan meningkatnya cekaman kekeringan, sebaliknya ketebalan epidermis atas klon jati diploid (2x) cenderung menurun (Gambar 2A). Pola yang sama terlihat juga pada epidermis bawah. Epidermis bawah klon jati tetraploid (4x) cenderung semakin tebal dengan meningkatnya cekaman kekeringan, sebaliknya epidermis bawah klon jati diploid (2x) cenderung semakin tipis. Epidermis bawah daun klon jati tetraploid (4x) lebih tipis dibandingkan diploidnya (2x) hanya pada perlakuan I, namun pada perlakuan II sampai V, epidermis bawah daun klon jati tetraploid (4x) selalu lebih tebal. (Gambar 2B).

Sel-sel mesofil terdiri atas palisade dan bunga karang (spongy). Pola ketebalan jaringan palisade terlihat cenderung tidak beraturan jika diberi perlakuan cekaman kekeringan. Pada perlakuan II klon jati diploid (2x), ketebalan jaringan palisade meningkat dari perlakuan I, namun menurun lagi pada perlakuan III, meningkat lagi pada perlakuan IV dan menurun lagi pada perlakuan V. Hal yang sama terjadi pada klon jati tetraploid (4x), ketebalan jaringan palisade pada perlakuan II meningkat dari perlakuan I, namun menurun lagi pada perlakuan III, lalu meningkat lagi pada perlakuan IV dan V (Gambar 2C). Jaringan bunga karang daun klon jati diploid (2x) dan tetraploid (4x) terlihat memiliki pola yang relatif sama dengan ketebalan daun. Jaringan bunga karang daun klon jati diploid (2x) cenderung menipis dengan meningkatnya cekaman kekeringan, sedangkan jaringan bunga karang daun klon jati tetraploid (4x) menipis hanya sampai perlakuan III, lalu menebal kembali pada perlakuan IV dan V (Gambar 2D).

0

200

400

600

800

I II III IV VTingkat cekaman kekeringan

2x 4x

Teb

al D

aun

( µ

m)

Page 172: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

166

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 2.Tebal epidermis atas (A), epidermis bawah (B), palisade (C), dan bunga karang (D) daun klon jati diploid (2x) dan tetraploid (4x) yang diberi perlakuan cekaman kekeringan dengan interval penyiraman 3 hari (I), 7 hari (II), 14 hari (III), 21 hari (IV), dan disiram sekali hanya pada awal perlakuan (V).

0

20

40

60

80

100

120

I II III IV V

Tingkat cekaman kekeringan

2x 4x

Teb

al

Ep

ider

mis

Ata

s (µ

m)

0

10

20

30

40

50

60

70

I II III IV V

Tingkat Cekaman Kekeringan

2x 4x

Teb

al

Ep

ider

mis

Baw

ah

m)

0

50

100

150

200

250

I II III IV VTingkat cekaman kekeringan

2x 4x

Teb

al

Pa

lisa

de (

µm

)

0

50

100

150

200

250

I II III IV VTingkat Cekaman kekeringan

2x 4x

Teb

al

Bu

ng

a K

ara

ng

m)

Page 173: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

167

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Ukuran dan Kerapatan Stomata

Ukuran stomata klon jati diploid (2x) dan tetraploid (4x) memiliki pola yang berbeda baik ukuran panjang stomata maupun lebar stomata. Stomata klon jati diploid semakin pendek dan sempit dengan meningkatnya cekaman kekeringan, sedangkan panjang dan lebar stomata klon jati tetraploid terlihat lebih stabil pada semua tingkat perlakuan cekaman kekeringan (Gambar 3.A dan 3.B). Adapun kerapatan stomata untuk kedua klon jati tersebut terlihat stabil pada semua tingkat perlakuan cekaman kekeringan. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan stomata tidak terpengaruh oleh meningkatnya cekaman kekeringan (Gambar 3.C).

Gambar 3. Grafik panjang stomata, lebar stomata, dan kerapatan stomata klon jati diploid (2x) dan tetraploid (4x) yang diberi perlakuan cekaman kekeringan dengan interval penyiraman 3 hari (I), 7 hari (II), 14 hari (III), 21 hari (IV), dan disiram sekali hanya pada awal perlakuan (V).

Gambar 3 menunjukkan bahwa stomata klon jati tetraploid (4x) selalu lebih panjang

dan lebih lebar dibandingkan dengan klon jati diploid (2x) pada semua tingkat cekaman kekeringan. Begitu juga dengan kerapatan stomatanya, meskipun kedua klon jati tersebut

0

2

4

6

8

10

12

14

16

I II III IV V

2x 4x

Linear (2x) Linear (4x)Pan

jan

g S

tom

ata

(µm

)

Tingkat Cekaman Kekeringan

0

2

4

6

8

10

12

I II III IV V

2x 4x

Linear (2x) Linear (4x)

Tingkat Cekaman Kekeringan

Leb

ar S

tom

ata

(µm

)

0

100

200

300

400

500

I II III IV V

2x 4x

Linear (2x) Linear (4x)

Tingkat Cekaman Kekeringan

Ker

ap

ata

n S

tom

ata

(m

m2)

Page 174: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

168

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

tidak terpengaruh oleh cekaman kekeringan, namun kerapatan stomata klon jati tetraploid (4x) selalu lebih tinggi. Hal ini bermakna bahwa klon jati tetraploid (4x) memiliki stomata yang lebih besar dan banyak jika dibandingkan dengan klon jati diploid (2x) baik pada kondisi cukup air maupun pada kondisi kekurangan air (cekaman kekeringan).

Potensial Air Daun

Potensial air daun klon jati diploid (2x) dan tetraploid (4x) menunjukkan penurunan dengan diberikannya perlakuan cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan yang meningkat berpengaruh terhadap menurunnya potensial air daun. Meskipun begitu, penurunan potensial air daun pada perlakuan I sampai IV terlihat tidak terlalu tajam. Penurunan potensial air daun yang tajam hanya terlihat pada perlakuan V (Gambar 4).

Gambar 4. Potensial air daun klon jati diploid (2x) dan tetraploid (4x) yang diberi perlakuan

cekaman kekeringan dengan interval penyiraman 3 hari (I), 7 hari (II), 14 hari (III), 21 hari (IV), dan disiram sekali hanya pada awal perlakuan (V).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh parameter pertumbuhan yang

diamati menunjukkan penurunan jika tanaman jati dalam kondisi cekaman kekeringan. Semakin parah cekaman kekeringan yang diberikan, semakin drastis pula penurunan pertumbuhannya. Namun, jika antara klon jati 2x dan 4x dibandingkan maka klon jati 4x dapat tumbuh dengan lebih baik dalam kondisi cekaman kekeringan. Hal ini dapat diartikan bahwa klon tanaman jati 4x lebih tahan terhadap cekaman kekeringan. Hal ini diperkuat lagi dengan data anatomisnya, klon tanaman jati tetraploid (4x) memiliki daun yang lebih tebal pada semua tingkat cekaman yang diberikan dibandingkan klon jati diploid (2x). Pada perlakuan IV dan V, daun klon jati tetraploid (4x) menebal kembali setelah menipis pada perlakuan III. Hal ini mengindikasikan bahwa klon jati tetraploid memiliki mekanisme untuk bertahan terhadap cekaman kekeringan yang parah dengan mempertebal daunnya. Hasil penelitian Hao et al. (2013) menyatakan bahwa pada pada tanaman Atriplex canescens (Chenopodiaceae) diketahui bahwa tanaman yang mempunyai tingkat ploidi yang lebih tinggi mempunyai konduktivitas hidrolik yang lebih rendah sehingga lebih tahan terhadap cekaman kekeringan.

Kondisi kekurangan air atau cekaman kekeringan merupakan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan karena ketersediaan air yang rendah. Ketersediaan air yang rendah dapat terjadi karena beberapa hal, di antaranya adalah curah hujan rendah, evapotranspirasi lebih tinggi dari absorbsi air oleh akar tanaman, dan lapisan tanah yang dangkal. Secara fisiologis, tumbuhan yang mengalami cekaman kekeringan biasanya akan mengalami beberapa hal seperti penurunan tekanan turgor yang akan berpengaruh terhadap proses tumbuh tanaman, rusaknya membran dan protein yang dapat menyebabkan terganggunya proses-proses metabolisme tumbuhan, cekaman oksidatif (oxidative stress) yang dapat menyebabkan kematian, merangsang aktivitas hormon tertentu seperti asam absisat (ABA) yang berperan sebagai sinyal untuk penutupan stomata, dan mengakumulasi senyawa-senyawa organik seperti prolin dan asam askorbat untuk menjaga kemampuan tumbuhan tetap bisa menyerap air (osmotic adjusment). Selain itu menurut Liu et al. (2011) yang melakukan penelitian pada tanaman Dendranthema

-15

-10

-5

0

I II III IV V

2X

4X

Perlakuan Cekaman

Po

ten

sia

l A

ir d

au

n (

MP

a)

Page 175: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

169

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

nankingense (Nakai) Tzvel bahwa tanaman tetraploid mempunyai aktivitas peroksidase (POD) dan kandungan relatif air (relative water content (RWC)) yang lebih tinggi dibandingkan tanaman diploidnya, sehingga lebih tahan terhadap kondisi cekaman kekeringan. Dalam kondisi cekaman kekeringan, tanaman biasanya dapat beradaptasi dengan tiga cara, yaitu dengan memperpendek siklus hidupnya (drought escape), dengan memperpanjang akar untuk mendapatkan air yang berada di tempat yang lebih dalam (drought avoidance), dan dengan adanya perubahan secara genetik sehingga dapat tahan terhadap kondisi kekurangan air (drought tolerance).

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami tujukan kepada LIPI dan Pusat Penelitian Biomaterial atas

didanainya penelitian ini melalui Program Unggulan Produk Komersial 2015 sehingga kegiatan penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Chandra A dan Dubey A. 2010. Effect of ploidy levels on the activities of D1-pyrroline-5-carboxylate synthetase, superoxide dismutase and peroxidase in Cenchrus species grown under water stress. Plant Physiology and Biochemistry 48: 27–34

Ditjen Kehutanan 1976. Vademeccum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian : Jakarta

Hao Guang-You, Mary E. Lucero , Stewart C. Sanderson , Elizabeth H. Zacharias & N. Michele Holbrook. 2013. Polyploidy enhances the occupation of heterogeneous environments through hydraulic related trade-offs in Atriplex canescens (Chenopodiaceae). New Phytologist 197: 970–978. http://www.fs.fed.us/rm/pubs_other/rmrs_2013_hao_g001.pdf

Liu S, Chen S, Chen Y, Guan Z, Yin D, Chen F. 2011. In vitro induced tetraploid of Dendranthema nankingense (Nakai) Tzvel. shows an improved level of abiotic stress tolerance. Scientia Horticulturae 127: 411–419

Mahfudz, M.F., Anis, Yuliah, T. Herawan, Prastyono dan S. Henry. 2007. Sekilas tentang Jati (Tectona grandis). Penyunting: Parwito D dan S. Donie. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Dalam: Yunianti. 2012. Porositas kayu jati klon cepu dan madiun umur 7 tahun. Jurnal Perennial. 8 (2): 80-83

Van Laere K, SC Franca, H Vansteenkiste, JV Huylenbroeck, K Steppe, MC Van Labeke. 2010. Influence of ploidy level on morphology, growth and drought susceptibility in Spathiphyllum wallisii. Acta Physiologiae Plantarum 33(4): 1149-1156. [Abstract]

Yunianti AD. 2012. Porositas kayu jati klon cepu dan madiun umur 7 tahun. Jurnal Perennial. 8 (2): 80-83

Page 176: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

170

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 24.

PRODUKSI BIBIT, UJI AGRONOMI DAN ANALISIS ARTEMISININ Artemisia annua

POLIPLOID HASIL INDUKSI KOLKISIN SECARA IN VITRO

Erwin Al Hafiizh1*, Wiguna Rahman2, Tri Muji Ermayanti1, Arthur A Lelono3 dan

Deritha Ellfy Rantau1

1Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI 2UPT Kebun Raya Cibodas-LIPI,

3Pusat Penelitian Kimia-LIPI *Email : [email protected]

ABSTRAK

Artemisia annua L. adalah tanaman obat antimalaria yang sudah dikenal sejak lama. Tanaman ini menghasilkan artemisinin yang saat ini dipergunakan untuk mengatasi resistensi Plasmodium falciparum terhadap beberapa obat anti-malaria. Penelitian utuk meningkatkan kadar artemisinin telah banyak dilakukan antara lain dengan modifikasi teknik budidaya, menentukan waktu panen yang tepat dan penyediaan bibit unggul. Tanaman poliploid telah terbukti dapat menghasilkan kadar artemisinin tinggi. Tujuan dari kegiatan ini adalah produksi atau perbanyakan secara in vitro dan untuk mengetahui tingkat keberhasilan aklimatisasi, uji agronomi dilapangan, stabilisasi ploidi, ukuran dan kerapatan stomata serta kandungan artemisinin A. Annua poliploid. Perbanyakan dilakukan pada media ditambahkan 20 g/l gula dan dipadatkan dengan 8 g/l agar. Aklimatisasi dilakukan pada media campuran tanah dan kompos (1 : 1). Uji agronomi dilakukan pada bibit F1 tanaman poliploid A.annua. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberhasilan aklimatisasi pada bibit perlakuan poliploidisasi dengan kolkisin berkisar antara 13 sampai 33,1%. Jumlah tanaman poliploid yang dapat ditanam di lapangan mencapai 302 individu dengan keberhasilan 65%. Tanaman hasil perlakuan kolkisin mempunyai ukuran stomata yang besar dengan tanaman kontrol dengan kerapatan stomata jang bervariasi. Hasil analisis artemisinin menunjukkan bahwa tanaman poliploid lebih besar 3 kali dibandingkan tanaman kontrol. Kata kunci : Artemisia annua L., kolkisin, orizalin, poliploidi, aklimatisasi.

PENDAHULUAN

Produk bibit poliploid tanaman obat antimalaria Artemisia annua. Tanaman A. annua memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia (Gusmaini & Nurhayati, 2007). Kendala yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas dan ketersediaan bibit yang mengandung kadar artemisinin tinggi. Untuk mendukung usaha budidaya tersebut diperlukan kultivar dengan kadar artemisinin tinggi dan praktek budidaya yang efisien. Dalam usaha perakitan kultivar baru diperlukan genotip-genotip unggul yang berpotensi untuk dikembangkan. Salah satu teknik untuk meningkatkan keragaman genotip dari sumber genetik yang terbatas yaitu melalui mutasi dengan induksi poliploid. Semakin tinggi keragaman genetik yang diperoleh maka semakin tinggi peluang untuk memperoleh genotip unggul. Hasil penelitian Gonzales & Wheathers (2003) menunjukkan bahwa tanaman tetraploid mampu menghasilkan artemisinin 6 kali lebih tinggi dibandingkan tanaman diploid. Kadar artemisinin dalam A. annua tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik saja tetapi juga oleh faktor-faktor lingkungan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang teknik budidayanya, seperti optimasi pemberian pupuk anorganik dan organik dengan

Page 177: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

171

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

pemanfaatan FMA, penggunaan zat pengatur tumbuh, pengaturan intensitas panen, dan uji agronomi lainnya.

Pada tahun 2012-2014 melalui program kompetitif LIPI dilakukan pengembangan bibit unggul A. annua melalui kultur jaringan dengan metode radiasi sinar gamma dan induksi tanaman poliploid dengan menggunakan kolkisin dan orizalin. Kegiatan ini dilakukan oleh Puslit Bioteknologi. Pengembangan teknik budidaya untuk mendapatkan biomasa tinggi dilakukan oleh Kebun Raya Cibodas menggunakan bibit yang diperoleh dari B2P2TOOT Tawangmangu dan PT Kimia Farma Bandung baik melalui biji maupun stek. Deteksi kadar artemisinin dilakukan oleh Puslit Kimia. Uji agronomi klon-klon poliploid hasil kultur jaringan dilakukan di Cibodas, UPT Kebun Raya Cibodas. untuk dilakukan seleksi biomasa dan kandungan artemisinin tinggi dan stabil.

BAHAN DAN METODE Artemisia annua Double Artenua Perbanyakan tunas Double Artenua poliploid secara in vitro

Kultur tunas Double Artenua poliploid hasil perlakuan kolkisin telah diperoleh pada tahun 2013. Perbanyakan mulai dilakukan pada tahun 2014 menggunakan media MS (Murashige and Skoog, 1962) tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Pada media ditambahkan 20 g/l gula dan dipadatkan dengan 8 g/l agar. Sterilisasi media dilakukan dengan menggunakan otoklaf dengan suhu 120oC, tekanan 1 atm selama 15 menit. Eksplan yang dipergunakan untuk perbanyakan adalah tunas pucuk dengan panjang sekitar 1 cm dan buku tunggal. Kultur disimpan pada ruang kultur dengan suhu 26-27oC dengan penyinaran kontinyu. Sekitar 4-5 minggu dilakukan perbanyakan dengan metode yang sama pada medium dengan komposisi nutrisi yang sama.

Pembentukan planlet diinisiasi dengan menggunakan eksplan tunas pucuk dengan ukuran panjang sekitar 2 cm dan buku tunggal. Setelah eksplan ditanam pada medium MS tanpa zat pengatur tumbuh selama 2-3 minggu terbentuk akar. Cara ini dilakukan secara rutin untuk mendapatkan planlet. Sebagian planlet diperbanyak untuk stok dan sebagian lagi dipeliharan hingga 6 minggu. Setelah akar-akar mempunyai panjang lebih dari 2 cm dapat dilakukan aklimatisasi.

Aklimatisasi planlet

Planlet yang telah berumur 5-6 minggu yang mempunyai akar dengan panjang lebih dari 2 cm siap diaklimatisasi. Secara perlahan-lahan planlet dikeluarkan dari botol, akar dicuci dengan air secara hati-hati untuk menghilangkan media agar. Setelah itu planlet ditanam pada polibag atau tray yang telah diisi dengan campuran tanah dan kompos (1 : 1), kemudian disungkup dengan plastik transparan dan ditempatkan di tempat yang teduh. Setelah muncul beberapa helai daun baru, tanaman dipindahkan di rumah kaca. Aklimatisasi akan dilakukan di Cibodas. Setelah 3-4 minggu tanaman siap ditanam di lapangan.

Konfirmasi stabilitas ploidi kultur A. annua poliploid dan yang diaklimatisasi di lapang dengan flowsitometer.

Konfirmasi stabilitas ploidi dilakukan dengan menggunakan prosedur menurut Hafiizh et al (2013). Sampel dibaca pada panjang gelombang 440 nm dan kecepatan 1000 nuclei per detik. Tanaman diploid dipergunakan sebagai standard dan kandungan DNA-nya dikalibrasi sehingga mendapatkan puncak apektrum pada channel 200. Tanaman triploid menunjukkan puncak pada channel 300 dan tetraploid menunjukkan puncak pada channel 400, dan tanaman miksoploid menunjukkan lebih dari 1 puncak pada channel yang berbeda. Rata-rata kandungan DNA dari tiap-tiap sampel pada setiap puncak dibandingkan dengan tanaman kontrol diploid. Tingkat ploidinya ditentukan sesuai dengan kelipatan rata-rata kandungan DNA.

Page 178: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

172

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Budidaya dan Uji agronomi artenua di lapangan. Tanaman poliploidi (Double Artenua) hasil perbanyakan kultur in vitro yang telah diaklimatisasi selama 3-4 minggu dijadikan sebagai bahan tanam. Jarak tanam yang digunakan yaitu 50x50 cm. Jarak antar bedeng yaitu 50 cm. Pemupukan menggunakan NPK 40:40:40 kg/ha. Pemupukan pertama yaitu pupuk P 40kg/ha, dan pupuk N dan K masing-masing 20kg/ha diberikan satu minggu setelah tanam. Pemupukan susulan dilakukan satu bulan setelah tanam menggunakan pupuk N dan K masing-masing 20 kg/ha. Parameter yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang, laju pertumbuhan tinggi tanaman (cm/minggu), dan laju pertambahan jumlah cabang (jumlah/minggu). Disamping tanaman hasil kultur in vitro, dilakukan juga uji agronomi terhadap bibit F1 tanaman poliploid A.annua. Bibit ini merupakan turunan pertama dari induk tanaman poliploid yang ditanam tahun 2014. Tanaman induk terdiri atas tanaman tetraploid (C.1.i, C.2.C, K.3.2.1, dan OR.2.C), miksoploid (C1C, C1H, C3C, C3D, C3E, dan K.3.2.6), tanaman diploid (C.2.F dan C.1.G), dan tanaman hasil radiasi gamma (R2F). Cara penanaman dan pengamatan sama dengan tanaman yang berasal dari hasil perbanyakan kultur in vitro. Selain itu dilakukan juga percobaan pengaruh pembuangan tunas pucuk terhadap alokasi biomassa pada A. annua. Sebanyak 60 bibit A. annua dari biji ditanam di lahan dengan jarak tanam 50x50 cm. pemupukan dilakukan seperti pada penjelasan sebelumnya. Perlakuan terdiri atas pemangkasan tunas pucuk satu kali (P1), dua kali (P2), dan kontrol. Pemangkasan dilakukan dengan teknik perompesan/pinching pada tunas pucuk (gerombol tunas bagian meristematik dan 3 helai daun dibawahnya) seperti yang dijelaskan oleh Towler dan Weathers (2015). Waktu pemangkasan yaitu 6 minggu setelah tanam, untuk P1 dan P2, dan 8 minggu setelah tanam untuk P2. Parameter yang diamati yaitu bobot kering daun, batang, akar, dan proporsinya terhadap bobot total tanaman setelah tanaman dipanen. Tanaman dipanen saat berumur 14 minggu setelah tanam. Saat panen, tajuk tanaman dibagi tiga bagian berdasarkan tingkat ontogeni daun menjadi bagian atas, tengah dan bawah seperti yang dijelaskan oleh Nair et al. (2013). Pengamatan Stomata A. annua hasil kultur in vitro yang ditanam di lapang.

Daun dari tanaman yang berumur sekitar 1-2 bulan diamati stomatanya. Pengambilan daun dilakukan secara acak dari bagian tengah batang tanaman dengan memilih daun segar yang sudah cukup tua. Setelah dipertik, daun dibungkus dengan tisu basah lalu dimasukkan ke dalam plastik dan disimpan dalam kotak pendingin. Daun yang belum diamati stomatanya disimpan di dalam refrigerator bersuhu 4-6oC

Pembuatan preparat stomata diawali dengan membersihkan permukaan daun dengan tisu hingga bersih. Helai daun berukuran sekitar 2 x 5 cm2 diolesi kutek (pewarna kuku) bening pada permukaan atas dan bawahnya secara merata, dibiarkan 3-5menit hingga kering. Selanjutnya, permukaan daun atas atau bawah yang telah diberi kutek ditempel dengan selotif, ditekan-tekan hingga menempel kuat. Selanjutnya selotip berikut lapisan epidermis daun dilepaskan kemudian ditempelkan pada kaca preparat. Selanjutnya dilakukan pengamatan stomata menggunakan mikroskop LEICA DFC310 FX, perbesaran 400x. Penghitungan panjang, lebar dan jumlah stomata per bidang pandang difokuskan pada bidang pandang yang bening, bersih dan tidak rusak. Penghitungan dilakukan pada 10 bidang pandang berbeda. stomata diukur. Kerapatan stomata dicatat dengan menghitung jumlah stomata per mm2. Data dirata-ratakan untuk setiap individu tanaman yang diamati. Analisis artemisinin.

Ekstraksi artemisinin dari Artemisia annua dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol teknis yang telah didestilasi. Simplisia diekstrak dengan teknik maserasi selama 24 jam per sampel dengan menggunakan pelarut segar. Ekstrak metanol kemudian disaring melalui kertas saring dan dikeringkan dengan rotari evaporator dalam kondisi vakum dan ditimbang bobotnya. Ekstrak metanol kemudian dipartisi menggunakan teknik

Page 179: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

173

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

partisi cair cai rdengan perbandingan 1:1 dengan pelarut n-heksan, etil acetat dan metanol. Masing masing ekstrak dikeringvakumkan dengan rotari evaporator untuk kemudian ditimbang dan dianalisa dengan menggunakan HPLC. Untuk menghilangkan pelarut pelarut polar dan air, masing masing ekstrak ditambahkan natrium sulfat anhidrat sebelum dikeringkan dengan evaporator. Analisis artemisinin dilakukan dengan metode Thin layer Chromatography (TLC) dan High Pressure Liquid Chromatography (HPLC). Penentuan kadar artemisinin dilakukan dengan menggunakan kurva kalibrasi dari standard artemisinin. Kandungan artemisinin masing masing sampel dari ekstrak heksanaArtemisia annua dianalisis dengan menggunakan HPLC. Analisis kuantifikasi artemisinin dilakukan dengan menggunakan Shimadzu HPLC yang dilengkapi dengan UV detektor. Kolom yang digunakan adalah reverse kolom C-18 dengan ukuran partikel 2.1μm, dan I.D 4.6 mm, dan panjang kolom 150mm dan dilengkapi Guard Coloum. Eluen yang digunakan dalam analisa kandungan artemisinin adalah acetonitril 60% dan laju alir 1 ml/min. Deteksi artemisinin dilakukan dengan menggunakan UV detektor dan panjang gelombang 214nm. Penentuan kadar artemisinin dilakukan dengan menggunakan kurva kalibrasi standar artemisinin. Kadar artemisinin yang digunakan dalam pembuatan kurva kalibrasi adalah 125ppm, 250 ppm, 500 ppm dan 1000 ppm. Luas area peak artemisinin yang memiliki waktu retensi yang sama dengan standar artemisinin dimasukkan ke dalam plot luas area peak masing masing konsentrasi larutan standard artemisinin. Pembuatan kurva kalibrasi dilakukan secara segar sebelum sampel dianalis dan diperbaharui setiap penggantian eluen dan waktu analisa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbanyakan tunas Double Artenua poliploid secara in vitro

Perbanyakan tunas dilakukan dengan rutin setiap 5-7 minggu. Sampai dengan bulan November jumlah aksesi hasil induksi poliploid sebanyak 22 aksesi dengan jumlah botol sebanyak 456 botol dan tiap botol mengandung 4 tunas. Jumlah tunas A. annua poliploid sebanyak 1824 tunas. Tanaman kontrol yang pelihara sebanyak 158 botol dan tiap botol mengandung 4-5 tunas. Gambar 1 menunjukkan tunas A. annua poliploid yang ditanam pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Perbanyakan dilakukan dengan cara stek mikro menggunakan tunas pucuk maupun buku tunggal pada media MS0 (Murashige and Skoog) tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Pada media ini tidak terbentuk tunas adventif. Eksplan hanya membentuk tunas tunggal dengan beberapa buku dan kadang-kadang membentuk tunas lateral yang tumbuh dari internodus (buku). Perbanyakan seperti ini sengaja dilakukan untuk tetap dapat mempertahankan sifat induk. Secara bertahap semua aksesi diaklimatisasi kemudian ditanam di Cibodas. Secara rutin semua aksesi diperbanyak.

Gambar 1. Kultur A. annua poliploid hasil induksi kolkisin

Aklimatisasi planlet Artenua poliploid secara in vitro.

Aklimatisasi planlet dilakukan di Cibinong dan Cibodas. Persiapan aklimatisasi dilakukan untuk mendapatkan protokol aklimatisasi yang baik. Persiapan aklimatisasi yang dilakukan di Cibinong sebanyak 785 planlet dan di Cibodas sebanyak 992 planlet. Daya

Page 180: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

174

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

hidup planlet yang diaklimatisasi di Cibinong dapat mencapai 13%, sedangkan daya hidup planlet yang diaklimatisasi di Cibodas mencapai 33,1%. Tabel 1 menunjukkan keberhasilan tingkat keberhasilan aklimatisasi tunas A. annua yang diaklimatisasi di Cibinong dan Cibodas dengan media tanah, kompos dan sekam. Keberhasilan aklimatisasi pada planlet ditentukan oleh media tanam, virgoritas planlet dan lingkungan seperti suhu dan kelebaban. Namun demikian, planlet yang berhasil tumbuh setelah melalui tahap aklimatisasi di Cibinong dapat dipindahkan ke lapang di Cibodas (Gambar 2). Setelah bibit dipindahkan ke lapang, di Cibodas diadaptasikan terlebih dahulu di bawah naungan paranet selama 1 minggu, kemudian ditanam di lapang.

Tabel 1. Hasil aklimatisasi di Cibinong dan Cibodas

No. Tempat aklimatisasi Jumlah Planlet Hidup Mati

1. Cibinong 785 100 (13%) 685 (87%)

2. Cibodas 992 328 (33,1%) 664 (66,9%)

Gambar 2. Tunas A.annua poliploid setelah 3 minggu diaklimatisasi

Konfirmasi stabilitas kultur A. annua poliploid

Konfirmasi stabilitas klon-klon A. annua poliploid dengan menggunakan flowsitometer menunjukkan bahwa 18 klon A. annua hasil perlakuan kolkisin masih stabil setelah 12 sampai 18 kali subkultur (Tabel 2).

Konfirmasi juga dilakukan pada tanaman A. Annua hasil aklimatisasi di Cibodas. Dari 7 tanaman A. Annua poliploid yang di tanam di Cibodas menunjukkan tinggkat ploidi yang stabil berjumlah 6 tanaman, sedangkan 1 tanaman tidak stabil (Tabel 3). Tanaman yang tidak stabil bisa terjadi karena terjadinya variasi somaklonal akibat seringnya subkultur pada kultur in vitro.

Page 181: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

175

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 2. Hasil konfirmasi klon-klon A. Annua poliploid dengan flowsitometer

No Klon Tingkat Ploidi Subkultur

1 K1.1.8 Tetraploid 16 kali

2 K1.2.1 Tetraploid 18 kali

3 K1.2.2 Tetraploid 14 kali

4 K1.2.4 Tetraploid 16 kali

5 K1.2.8 Tetraploid 16 kali

6 K2.1.2 Tetraploid 14 kali

7 K2.2.1 Triploid 17 kali

8 K2.2.2 Tetraploid 15 kali

9 K2.2.4 Tetraploid 18 kali

10 K2.2.9 Tetraploid 14 kali

11 K2.3.7 Tetraploid 13 kali

12 K2.3.12 Tetraploid 15 kali

13 K3.1.6 Triploid 12 kali

14 K3.2.1 Tetraploid 13 kali

15 K1.3.12 Triploid 16 kali

16 K1.2.9 Tetraploid 15 kali

17 K2.3.6 Triploid 15 kali

18 K3.1.6 Tetraploid 14 kali

Tabel 3. Hasil konfirmasi klon-klon A. Annua di lapang dengan flowsitometer

No Klon Tingkat Ploidi in vitro

Tingkat Ploidi di lapang

1 Kontrol Diploid Diploid

2 K1.3.12 Triploid Triploid

3 K1.2.9 Tetraploid Tetraploid

4 K2.3.6 Triploid Triploid

5 K3.1.6 Triploid Triploid

6 K2.2.6 Tetraploid Miksoploid

7 K2.3.7 Tetraploid Tetraploid

8 K2.2.1 Tetraploid Tetraploid

Budidaya dan Uji agronomi artenua di lapangan Jumlah tanaman poliploid yang dapat ditanam dilapangan mencapai 215 individu. Dari jumlah tersebut lebih dari 71,6% diantaranya dapat tumbuh hingga dewasa dilapangan (Tabel 4). Jumlah bibit yang paling banyak ditanam yaitu tanaman diploid dari tanaman induk dan kolkisin. Sedangkan yang terendah yaitu tanaman triploid hasil perlakuan kolkisin.

Tabel 4. Tingkat Keberhasilan Hidup Tanaman Hasil Kultur In vitro di Lapangan

Tingkat Ploidy Jumlah Yang

ditanam Jumlah tanaman hidup di

lapangan

Diploid 107 66

Miksoploid 25 21

Tetraploid 75 62

Triploid 8 5

Total 215 154

Page 182: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

176

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Pertumbuhan tinggi tanaman poliploid hasil perlakuan kolkisin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada tinggi tanaman antara tanaman diploid, miksoploid, dan tetraploid (Gambar 3). Namun, terdapat perbedaan jika dibandingkan dengan tanaman triploid. Tinggi Tanaman diploid hasil perlakuan kolkisin pada umur 12 minggu setelah tanam (MST) rata-rata mencapai 119,9 cm. Tinggi tanaman diploid kolkisin tertinggi mencapai tinggi 220 cm pada aksesi KF 1.2. Sedangkan tinggi tanaman diploid kolkisin terendah yaitu mencapai 10 cm pada aksesi K2J1.2. Tanaman miksoploid hasil perlakuan kolkisin pada umur 12 MST rata-rata mencapai tinggi 116,33 cm. Tinggi tanaman miksoploid tertinggi mencapai 195 cm pada KO8 2.2. Sedangkan tinggi tanaman miksoploid terendah terdapat pada aksesi K3J2.3 yang mencapai 25 cm. Tidak Berbeda jauh dengan tanaman diploid dan miksoploid, tinggi tanaman tetraploid dari perlakuan kolkisin rata-rata mencapai 121,95 cm saat berumur 12 MST. Tinggi tanaman tetraploid berkisar antara 70 cm (pada aksesi K08.11.2) hingga 207 cm (pada aksesi K1F 12.2). Berbeda dengan tanaman triploid, tinggi tanaman rata-ratanya mencapai 77,25 cm saat berumur 12 MST. Rentang tinggi tanaman triploid yaitu 55 (pada aksesi K2J. 10) hingga 88 cm (pada aksesi K2J. 11). Jika dilihat, tinggi tanaman terendah terdapat pada kelompok tanaman diploid tetapi karena jumlah tanaman diploid yang hidup lebih banyak maka nilai rataanya lebih tinggi dibandingkan tanaman triploid.

Gambar 3. Pertumbuhan Tinggi Tanaman Poliploid Hasil Perlakuan Kolkisin

Gambar 4 menunjukkan jumlah cabang tanaman triploid pada perlakuan kolkisin

lebih rendah jika dibandingkan tanaman diploid, miksoploid dan tetraploid. Jumlah cabang tanaman diploid hasil perlakuan kolkisin pada umur 12 MST rata-rata mencapai 42 cabang per tanaman. Jumlah cabang tanaman diploid kolkisin terbanyak mencapai 65 cabang pada aksesi K3F 1.3. Sedangkan jumlah cabang tanaman diploid kolkisin terendah yaitu mencapai 5 cabang pada aksesi K.3.6. Tanaman miksoploid hasil perlakuan kolkisin pada umur 12 MST rata-rata memiliki 39 cabang per tanaman. Jumlah cabang tanaman miksoploid terbanyak mencapai 59 cabang pada KO8 2.2. Sedangkan Jumlah cabang tanaman miksoploid terendah terdapat pada aksesi K3J2.3 yang mencapai 15 cabang. Jumlah cabang rata-rata tanaman tetraploid dari perlakuan kolkisin mencapai 39 cabang saat berumur 12 MST. Jumlah cabang tanaman tetraploid berkisar antara 17 cabang (pada aksesi K.4.1) hingga 58 cabang (pada aksesi K1F 11.4). Tanaman triploid memiliki rata-rata jumlah cabang mencapai 27 cabang saat berumur 12 MST. Rentang jumlah cabang tanaman triploid yaitu 18 cabang (pada aksesi K2J. 10.2) hingga 33 cabang (pada aksesi K2J. 9.3).

0

20

40

60

80

100

120

140

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

cm

Minggu Setelah Tanam (MST)

Diploid

Miksoploid

Tetraploid

Triploid

Page 183: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

177

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 4. Pertambahan Jumlah Cabang Tanaman Poliploid Hasil Perlakuan Kolkisin

Tabel 5. Perbedaan Rata-rata Tinggi Tanaman (cm), Jumlah Cabang, Laju Pertumbuhan

Tinggi tanaman (cm/minggu), dan Laju Pertambahan Jumlah Cabang (cabang/minggu) Tanaman Poliploid hasil perlakuan Kolkisin pada Umur 12 MST. Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf α=0,05

Perlakuan Ploidi

Tinggi Tanaman

(cm) Jumlah Cabang

Laju Tinggi (cm/minggu)

Laju cabang (Cabang/minggu)

Kolkisin

Diploid 119,90b 42,13 8,91b 3,31

Miksoploid 116,33b 39,33 9,19b 3,28

Tetraploid 121,95b 38,76 9,02b 3,12

Triploid 77,25a 27,25 5,91a 2,11

F(6,145) 3,31 1,80 3,52 1,89

p <0,01 0,12 <0,01 0,10

Uji agronomi tanaman F1 bibit polyploid dari biji dilakukan pada 11 aksesi yaitu C1C,

C1G, C1H, C1I, C2C, C2F, C3C, C3D, C3E, K.3.2.1, dan K.3.2.6. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah cabang, laju pertumbuhan tinggi tanaman, dan laju pertambahan jumlah cabang dari tanaman F1 poliploid berbeda nyata antar aksesi (Tabel 6). Aksesi tanaman yang paling tinggi pada umur 3 bulan yaitu C2F (173.2 cm), sedangkan yang paling rendah yaitu C3E (110 cm). Aksesi yang memiliki rata-rata jumlah cabang per tanaman tertinggi pada umur 3 bulan yaitu C1H (56,5 cabang), sedangkan yang terendah yaitu C3E (39 cabang).

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Jum

lah

Cab

ang/

Tan

aman

Minggu Setelah Tanam (MST)

Diploid

Miksoploid

Tetraploid

Triploid

Page 184: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

178

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 6. Rata-rata Tinggi Tanaman (cm), Rata-rata Jumlah Cabang, Laju Pertumbuhan Tinggi (cm/minggu), Laju Pertambahan Jumlah Cabang (cabang/minggu), dan Jumlah individu Tiap Aksesi Tanaman Turunan Pertama Bibit Polyploid (F1) pada Umur 3 Bulan Setelah Tanam. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf α=0.05.

No. Aksesi Tinggi (cm)

Jumlah Cabang

Laju Pertumbuhan Tinggi (cm/minggu)

Laju Pertambahan Cabang (cm/minggu)

1 C1C 145.62 bc

46.5 abc 12.48 bc 4.18 abcd

2 C1G 165 cd 50.8 cd 14.28 cde 5.03 d

3 C1H 164.25 cd

56.5 d 12.91 cd 4.55 abcd

4 C1I 119.2 a 40.4 ab 10.49 a 3.67 abc

5 C2C 119.25 a 46 abc 13.14 a 4.11 abcd

6 C2F 173.2 d 52.6 cd 15.07 de 4.45 cd

7 C3C 166.89 cd

45.44 abc

13.95 de 4.01 abcd

8 C3D 127.56 ab

44.67 abc

11.19 ab 4.06 abcd

9 C3E 110 a 39.17 a 8.92 a 3.29 ab

10 K3.2.1 158.33 cd

48.33 bcd

13.03 bc 3.53 a

11 K3.2.6 152.67 cd

50.33 cd 12.88 bc 4.58 d

F 13.02 3.42 13.03 1.9

p <0.001 <0.001 <0.001 <0.05

Tanaman turunan pertama (F1) dari tanaman induk polyploid menunjukkan

keragaman karakter agronomi (tinggi tanaman. jumlah cabang. dan biomassa panen) yang luas. Oleh sebab itu perlu dilakukan kegiatan seleksi lanjutan. Metode yang digunakan yaitu seleksi massa terhadap sembilan aksesi. Aksesi yang digunakan dalam seleksi massa tersebut diantaranya yaitu C1C. C1G. C1H. C1I. C2C. C2F. C3C. C3D. C3E. K.3.2.6. dan Kontrol (Tabel 7). Jumlah total tanaman sebanyak 200 nomor. Proses seleksi bersifat positif. Seleksi awal dilakukan berdasarkan karakter pertumbuhan (Tinggi Tanaman. Jumlah Cabang. dan Kecepatan Berbunga).

Berdasarkan karakter pertumbuhan tinggi tanaman. jumlaah cabang. dan kecepatan berbunga diperoleh 35 individu tumbuhan yang akan diseleksi lanjut. Sebagian besar individu yang lolos seleksi tahap I merupakan tanaman miksoploid. Biji-biji dari individu tanaman tersebut kemudian akan dipanen untuk ditanaman pada seleksi berikutnya.

Page 185: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

179

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 7. Pertumbuhan Tanaman A. annua yang sedang di seleksi massa.

No. Aksesi

F1 Tingkat

Ploidi Induk Jumlah

Tanaman

Jumlah Tanaman

Mati

Rata-rata Tinggi

Tanaman

Rata-rata Jumlah Cabang

Jumlah Tanaman

Cepat Berbunga

Jumlah Tanaman terseleksi

1 Kontrol Diploid 9 0 101.44±12.63 26.11±3.79 0 0

2 C.1.C Miksoploid 1 0 175 45 0 0

3 C.1.H Miksoploid 1 0 181 49 0 1

4 C.1.I Tetraploid 3 0 142±27.78 35.33±3.06 0 0

5 C.2.F Diploid 17 3 128.64±28.29 33±4.9 0 0

6 C.3.E Miksoploid 12 0 153.58±25.66 37.33±6.05 1 1

7 C.2.C Tetraploid 8 1 153.71±17.62 37±4.69 0 0

8 K.3.2.6 Miksoploid 15 0 187.6±17.49 45.93±4.92 2 7

9 C.1.G Diploid 55 1 172.85±24.31 39.65±4.74 3 3

10 C.3.C Miksoploid 36 0 190.44±23.12 46.81±5.28 8 12

11 C.3.D Miksoploid 43 2 192.78±16.67 42.76±4.18 5 11

Total 200 7 19 35

Uji Pengaruh Pembuangan Tunas Pucuk Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan pembuangan tunas pucuk terhadap bobot kering daun, batang, dan akar tanaman A. annua (Tabel 8). Pembuangan tunas pucuk terlihat cenderung menurunkan biomassa total tanaman jika dibandingkan dengan tanaman kontrol meskipun tidak berbeda nyata. Tabel 8. Pengaruh Pembuangan Tunas Pucuk terhadap Bobot Kering A. annua

Perlakuan Akar

(gram)

Batang (gram) Daun (gram) Total (gram)

Atas Tengah Bawah SubTotal Atas Tengah Bawah SubTotal

Kontrol 117.00 47.64 111.78 232.74 392.16 55.52 40.60 34.72 130.84 640.00 Pinching 1 Kali 123.35 51.23 89.15 168.54 308.92 49.98 28.07 26.24 104.28 536.55 Pinching 2 kali 108.97 74.12 96.37 158.38 328.87 43.55 26.38 18.62 88.54 526.38

F(2.30) 0.22 0.62 0.75 1.39 0.68 0.40 0.72 2.18 1.05 0.60

p 0.80 0.54 0.48 0.27 0.51 0.67 0.50 0.13 0.36 0.56

Tujuan pembuangan tunas pucuk yaitu untuk merangsang pembentukan tunas

lateral sehingga terbentuk daun-daun baru dengan tingkat ontogeni yang lebih baru. Menurut Nair et al. (2013), daun-daun dengan tingkat ontogeni yang lebih baru memiliki kadar artemisinin lebih tinggi dibandingkan daun-daun tua. Namun dari hasil pengujian menujukkan bahwa pembuangan tunas pucuk tidak merubah alokasi biomassa tanaman seperti terlihat pada Tabel 9.

Page 186: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

180

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 9. Pengaruh Pembuangan Tunas Pucuk terhadap Alokasi Bobot Kering A. annua

Perlakuan

Proporsi terhadap BK total Batang

Proporsi terhadap BK total Daun

Proporsi terhadap BK total Tanaman

Akar Batan

g Daun

Atas Tenga

h Bawa

h Atas Tenga

h Bawa

h

Kontrol 0.13 0.30 0.57 0.44 0.26 0.30 0.20 0.61 0.19 Pinching 1 Kali 0.17 0.29 0.54 0.50 0.25 0.25 0.23 0.57 0.20 Pinching 2 kali 0.20 0.32 0.48 0.49 0.28 0.23 0.22 0.61 0.17

F(2.30) 1.34 0.41 2.03 1.22 0.10 0.71 0.74 1.15 0.74

p 0.28 0.67 0.15 0.31 0.90 0.50 0.49 0.33 0.49

A B Gambar 5. Bobot Kering Batang (A) dan Daun (B) Tanaman A. annua pada bagian Tajuk

Atas (Biru), Tengah (Hijau), dan Bawah (Abu-abu).

Alokasi biomassa lebih dipengaruhi oleh posisi organ tanaman di tajuk. Biomassa batang lebih terkonsentrasi di bagian bawah tajuk dibandingkan bagian tengah dan atas (Gambar 5A). Sedangkan daun lebih banyak terdapat dibagian atas tajuk (Gambar 5B). Dibagian tengah dan bawah tajuk tanaman biomassa daun tidak berbedanyata. Hasil ini dapat digunakan sebagai dasar untuk kegiatan pemanenan dilapangan. Pemanenan tidak perlu mengambil seluruh bagian tanaman tetapi hanya sepertiga bagian atas tanaman. Selain biomassa daun lebih terkonsentrasi di bagian tersebut, juga karena kadar artemisininnya lebih tinggi dibandingkan daun-daun yang terletak dibagian lebih bawah. Pengamatan stomata A. annua Konfirmasi stabilitas tingkat ploidi pada tanaman A. annua hasil kultur jaringan juga dilakukan dengan cara pengamatan stomata. Pengamatan dilakukan pada jaringan epidermis daun bagian atas dan bawah dengan parameter yang diamati panjang dan lebar stomata (Tabel 10). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa panjang stomata tanaman kontrol berkisar antara 27,2 sampai 31,4 µm, sedangkan tanaman poliploid berkisar 27,1 sampai 44,5 µm. Pada lebar stomata tanaman kontrol berkisar 14,2 sampai 18,6 µm, sedangkan tanaman poliploid berkisar 15,6 sampai 27,3 µm. Ukuran stomata tanaman kontrol lebih kecil dibandingkan tanaman poliploid (Gambar 8).

Bawah

Tengah

Atas

ATB

Bawah

Tengah

Atas

ATB

Page 187: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

181

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 10. Data panjang dan lebar stomata (µm) Artemisia annua yang ditanam di lapang.

No. Kode

Perlakuan Paramater 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Rata-Rata

1

Kontrol - a Panjang (µm)

27.2

31.4

28.1

27.2 30.8

29.2

30.6

28.3

30.7

27.6

29.1

Lebar (µm) 15.2

15.1

14.2

15.3

15.5

17.4

18.6

17.7

18.4

14.8

16.2

Kontrol - b Panjang (µm)

26.5

27.2

27.2

27.1 28.9

27.2

27.7

30.3

27.1

26.3

27.5

Lebar (µm)

17.0

15.0

15.5

17.7 15.4

16.8

14.3

14.3

13.2

13.2

15.2

2

K1.1.4 Diplo - a

Panjang (µm)

31.5

29.1

28.7

30.4 30.3

29.3

29.0

30.6

28.3

31.3

29.9

Lebar (µm)

18.9

17.1

19.1

21.1 20.3

19.6

19.4

18.5

19.8

20.7

19.5

K1.1.4 Diplo - b

Panjang (µm)

26.2

28.5

27.6

26.6 29.2

25.3

27.2

30.7

27.1

31.0

27.9

Lebar (µm)

15.9

17.2

19.1

16.7 16.3

15.7

15.9

20.2

16.8 19.9

17.4

3

K1.1.8 Tetra - a

Panjang (µm)

27.1

27.1

28.6

28.7 29.5

27.9

30.6

29.4

28.2

28.1

28.5

Lebar (µm)

15.9

15.6

17.8

16.2 18.8

17.0

17.6

17.5

17.3

17.1

17.1

K1.1.8 Tetra - b

Panjang (µm)

45.4

27.8

26.4

24.7 30.4

31.3

49.4

45.6

38.5

41.7

36.1

Lebar (µm)

19.0

17.5

17.2

15.3 18.9

17.9

20.7

21.9

18.1

19.8

18.6

4

K1.2.8 Tetra - a

Panjang (µm)

37.3

36.6

38.4

36.8 32.6

33.6

32.3

33.6

30.2

30.8

34.2

Lebar (µm)

16.2

15.2

17.2

17.0 16.9

17.3

13.2

17.0

18.1

15.4

16.3

K1.2.8 Tetra - b

Panjang (µm)

34.0

33.7

37.0

36.5 38.6

32.7

33.7

30.0

30.2

33.9

34.0

Lebar (µm)

16.0

15.6

16.7

16.5 16.3

16.9

16.4

15.2

17.2

18.3

16.5

5

K1.2.8 Tetra - a

Panjang (µm)

42.3

39.7

41.8

42.3 43.2

40.8

40.6

43.7

44.5

41.6

42.0

Lebar (µm)

25.8

21.4

19.9

24.1 23.8

20.1

22.3

24.8

27.3

22.5

23.2

K1.2.8 Tetra - b

Panjang (µm)

44.2

44.8

34.5

43.8 39.0

41.1

45.3

40.6

39.9

40.3

41.4

Lebar (µm)

21.8

23.3

19.2

21.8 18.7

22.8

19.5

21.7

21.5

22.0

21.2

6

K.2.2.1 Tetra - a

Panjang (µm)

32.9

31.4

33.3

35.0 32.6

34.1

32.7

30.0

30.0

32.4

32.4

Lebar (µm)

17.0

19.6

18.5

19.3 17.9

18.5

18.9

17.7

18.2

16.9

18.2

K.2.2.1 Tetra - b

Panjang (µm)

28.7

31.9

32.1

32.4 31.8

33.7

34.2

31.9

29.6

34.1

32.1

Lebar (µm)

17.8

20.3

19.2

18.2 18.5

18.9

20.4

20.4

19.9

20.7

19.4

7

K3.2.1 tetra - a

Panjang (µm)

38.0

34.5

37.8

36.8 37.1

37.2

35.6

35.1

33.1

35.2

36.0

Lebar (µm)

17.2

15.9

16.8

19.4 18.4

19.7

19.0

16.2

19.3

16.9

17.9

K3.2.1 tetra - b

Panjang (µm)

38.8

36.8

36.8

36.5 34.9

31.7

33.6

38.9

30.7

32.2

35.1

Lebar (µm)

17.3

18.7

16.7

18.9 22.1

17.9

18.2

21.2

16.2

17.3

18.4

Page 188: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

182

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 6. Stomata A. annua, A) kontrol dan B) poliploid Analisis kandungan artemisinin.

Sampai dengan bulan November 2014, sebanyak 8 sampel tanaman telah dianalisis kadar artemisinnya terdiri dari sampe tanaman induk dan tanaman hasil perlakuan kolkisin. Analisis dengan menggunakan HPLC terhadap tanaman hasil kultur jaringan kontrol menunjukkan kadar artemisinin yang bervariasi (Tabel 11, sampel nomer 1-2), tergantung asal tanaman. Kadar artemisinin dari 6 tanaman hasil perlakuan kolkisin mempunyai nilai tertinggi pada tanaman K1.2.2 yaitu sebesar 0,364%. Tabel 11. Kadar artemisinin dari sampel kultur jaringan yang diaklimatisasi di Cibodas.

No. Sampel (Kode)

Tingkat ploidi

Bobot Ekstrak (g)

Luas Area Kadar (% DW)

1 Bintang Diploid 7,037 4.082.192 0,113 2 Banjaran Diploid 6,426 5.820.151 0,165 3 K1.3.3 Diploid 2,177 5.490.600 0,155 4 K2.1.3 Diploid 1,371 5.403.534 0,153 5 K.2.1.5 Diploid 1,735 3.554.964 0,097 6 K2.3.15 Diploid 1,361 6.137.229 0,175 7 K.3.2.6 Poliploid 7,651 8.968.830 0,259 8 K1.2.2 Poliploid 1,6 15,571 0,364

KESIMPULAN

Perbanyakan klon-klon poliploid sebanyak 22 klon secara rutin sampai bulan November mencapai 1824 planlet. Konfirmasi stabilitas ploidi A. annua poliploid hasil in vitro masih menunjukkan stabilitasnya dengan jumlah klon yang dianalisis berjumlah 18 klon, sedangkan klon-klon poliploid yang diaklimatisasi dan ditanam di lapang yang menunjukkan stabilitas ploidinya berjumlah 4 klon. Daya hidup planlet A. annua yang diaklimatisasi di Cibinong hanya mencapai 13% sedangakan di Cibodas dapat mencapai 33,1%. Uji agronomi A. annua dengan 13 klon dihasilkan nilai rata-rata tinggi tanaman, jumlah cabang, laju pertumbuhan tinggi tanaman, dan laju pertambahan jumlah cabang dari tanaman F1 poliploid berbeda nyata antar aksesi. Ukuran stomata tanaman kontrol lebih kecil dibandingkan tanaman poliploid. Pada pengamatan stomata, panjang stomata tanaman poliploid lebih panjang daripada tanaman kontrol, sedangkan lebar stomata tidak berbeda nyata. Kadar artemisinin tanaman poliploid 3 kali lebih tinggi dari tanaman control.

UCAPAN TERIMA KASIH

A B

Page 189: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

183

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Ucapan terima kasih kami tujukan kepada LIPI dan Pusat Penelitian Biomaterial

atas didanainya penelitian ini melalui Program Unggulan Produk Komersial 2015 dengan judul Produksi Dan Diseminasi Bibit Jati “Double Platinum” dan Bibit Artemisia Annua “Double Artenua.

DAFTAR PUSTAKA

Ermayanti TM, Hafiizh EA, Martin AF, Rantau DE. 2013. Pengaruh kolkisin terhadap pertumbuhan tunas Artemisia annua secara in vitro dan analisis tingkat ploidinya. Prosiding Seminar Nasional XVI Kimia dalam Pembangunan. 513-522.

Gusmaini & H. Nurhayati. 2007. Potensi Pengembangan Budidaya Artemisia annua L. di Indonesia. Perspektif 6(2): 57-67.

Jesus-Gonzalea LD, Weathers PJ (2003) Tetraploid Artemisia annua hairy roots produce more artemisinin than diploids. Plant Cell Rep 21: 809–813

Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue cultures. Physiologia Plantarum, 15 : 473-497.

Nair,P., A. Misra, A. Singh, AK. Shukla, M.M. Gupta, A.K.Gupta, V. Gupta, S.P.S. Khanuja, A.K. Shasany. 2013. Differentially Expressed Genes during Contrasting Growth Stages of Artemisia annua for Artemisinin Content. PLoSONE 8(4): e60375.doi:10.1371/journal.pone.0060375

Towler, M.J. & P.J.Weathers. 2015. Variations In Key Artemisinic and Other Metabolites Through Out Plant Development In Artemisia Annua L. For Potential Therapeutic Use. Industrial Crops and Products 67: 185–191.

Page 190: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

184

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 25.

PENGEMBANGAN TURBIN ANGIN DENGAN BLADE

BERBAHAN BAKU KAYU

Wahyu Dwianto*, Teguh Darmawan, Lisman Suryanegara

Pusat Penelitian Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor, Indonesia

ABSTRAK

Potensi energi angin di Indonesia diperkirakan mencapai 9,29 GW namun hanya 18,9% yang termanfaatkan. Hal ini disebabkan oleh mahal dan langkanya bahan baku untuk memproduksi turbin angin. Penelitian ini bertujuan untuk merekayasa bahan baku kayu untuk blade turbin sehingga akan didapatkan bahan yang murah, namun dengan efisiensi yang tetap tinggi dan tetap dapat bersaing dengan material standarnya, serta meningkatkan feasibilitas pengadaan turbin angin di Indonesia.

Pada penelitian ini digunakan kayu Sengon dan Jabon yang banyak terdapat di Indonesia. Pengujian sifat dasar kayunya meliputi sifat fisis dan mekanis. Selain itu juga telah dibuat blade turbin angin dari kedua jenis kayu tersebut sesuai dengan desain originalnya, walaupun belum dapat dilakukan pengujian terhadap prototype turbin anginnya. Hasil pengujian sifat fisis dan mekanis menunjukkan bahwa kerapatan kedua jenis kayu tersebut hampir sama, namun kayu Jabon lebih dapat menyesuaikan dengan kondisi kadar air udara jika dibandingkan dengan kayu Sengon dan memiliki kestabilan dimensi yang lebih baik, ditunjukkan dengan rasio T/R yang lebih rendah. Dengan kerapatan yang sedikit lebih tinggi, maka kayu Jabon memiliki sifat mekanik yang lebih baik jika dibandingkan dengan kayu Sengon, kecuali keteguhan gesernya. Nilai kekakuan kayu Sengon lebih baik jika dibandingkan dengan kayu Jabon. Dua faktor, yaitu kerapatan yang rendah (ringan) dan nilai kekakuan yang dipersyaratkan untuk bahan baku blade turbin angin dari kayu Sengon lebih baik daripada kayu Jabon, namun uji kekuatan lelah perlu dilakukan lebih lanjut.

Kata Kunci: turbin angin, blade, kayu Sengon, kayu Jabon, sifat fisik dan mekanis.

PENDAHULUAN

Di era globalisasi ini kehidupan manusia semakin berkembang dengan kebutuhan yang tak terbatas. Untuk mengatasi hal ini, manusia berupaya mengembangkan teknologi untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan memudahkan berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Teknologi-teknologi tersebut umumnya membutuhkan listrik atau bahan bakar sebagai sumber energinya. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk, maka kebutuhan energi pun akan meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan sumber energi yang lebih banyak.

Sumber energi dapat berasal dari sumber energi tak terbarukan dan sumber energi terbarukan. Penggunaan sumber energi tak terbarukan, seperti bahan bakar fossil, batubara, dan minyak bumi untuk menghasilkan energi listrik maupun energi panas akan menghabiskan persediaan bahan tersebut dan menghasilkan emisi gas berbahaya. Oleh karena itu, saat ini sangat dibutuhkan pengembangan sumber energi terbarukan yang dapat mencukupi kebutuhan manusia. Selain itu juga diperlukan sumber energi yang tidak mencemari lingkungan. Sumber energi konvensional, seperti bahan bakar fosil menghasilkan sekitar 21,3 miliar ton (21,3 gigaton) karbon dioksida (CO2) per tahun dan diperkirakan bahwa proses alam hanya dapat menyerap sekitar setengah CO2 dari jumlah tersebut, sehingga terjadi peningkatan CO2 sebesar 10,65 miliar ton ke atmosfer per tahun;

Page 191: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

185

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

satu ton karbon atmosfer setara dengan 44/12 atau 3,7 ton karbon dioksida. Padahal terdapat potensi energi ramah lingkungan dan terbarukan yang besar di Indonesia, termasuk potensi energi angin yang mencapai 9,29 Gigawatt dan baru termanfaatkan sebesar 18,9% (ESDM, 2010). Adanya permasalahan energi tersebut menyebabkan masyarakat mengharapkan adanya kebijakan dari pemerintah untuk mengatasi hal ini. Salah satu solusinya adalah dengan turbin angin yang mengkonversi energi angin menjadi energi listrik tanpa menghasilkan gas berbahaya.

Turbin angin adalah sebuah baling-baling atau kincir yang menggunakan energi angin untuk membangkitkan tenaga listrik. Pada awalnya, turbin angin digunakan untuk memenuhi kebutuhan para petani dalam mengolah sawah, seperti pada proses irigasi dan penggilingan padi. Namun sekarang turbin angin mulai digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Turbin angin ini menggunakan prinsip konversi energi dengan bantuan angin sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui. Angin merupakan energi yang telah tersedia di alam. Dengan menggunakan turbin angin, energi angin dapat diubah menjadi energi listrik yang kemudian dapat dijadikan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA). Energi angin akan memutar turbin angin, kemudian memutar rotor pada generator di belakang bagian turbin angin tersebut, sehingga menghasilkan energi listrik (Adityo, 2011).

Namun biaya pembuatan turbin angin masih sangat mahal karena blade-nya terbuat dari material anorganik. Blade ini akan menimbulkan sampah anorganik di kemudian hari, karena lifetime dari turbin itu sendiri. Oleh karena itu, perlu didesain material organik yang mempunyai sifat mekanis tinggi dan didapatkan energi yang lebih banyak dengan harga murah, sehingga feasible untuk diterapkan dalam skala besar.

Salah satu alternatif penggunaan blade untuk turbin angin yang dapat memenuhi harapan tersebut adalah blade yang terbuat dari kayu, antara lain kayu Sengon dan Jabon. Sengon dan Jabon merupakan jenis kayu yang mudah ditemui di Indonesia, namun penggunaannya hanya sebagai kayu gergajian dan mebel yang murah. Kayu ini tumbuh subur di daerah tropis terutama di Indonesia dan tergolong tumbuhan berkayu dengan tingkat pertumbuhan cepat. Kayu ini tergolong ringan, sehingga sangat berpotensi sebagai bahan baku blade turbin angin karena merupakan salah satu sifat yang dibutuhkan blade turbin guna mengatasi momen inersia. Namun sifat mekanis kayu ini perlu diuji lebih lanjut agar memenuhi persyaratan/kriteria yang dibutuhkan sebagai blade turbin angin.

Penelitian ini bertujuan untuk mendukung pemerintah dalam pengembangan generator listrik menggunakan turbin angin sebagai sumber energi alternatif baru dan terbarukan, agar dapat direalisasikan di seluruh kawasan Indonesia.

BAHAN DAN METODE

Jenis kayu yang digunakan adalah Sengon dan Jabon. Sebelum dibuat prototype, dilakukan terlebih dahulu pengujian sifat-sifat dasar bahan baku kayu sebagai perbandingan dan optimasi komponen blade turbin angin. Pada kegitan penelitian ini desain bentuk blade turbin angin masih mengikuti desain originalnya, jadi belum dilakukan optimasi desain dan uji prototype untuk mengevaluasi daya listrik yang dihasilkan. Desain tersebut selanjutnya akan dibuat berdasarkan hasil analisis sifat-sifat dasar bahan baku kayu, sehingga akan didapatkan komponen blade turbin angin yang optimum.

Pengujian sifat-sifat dasar bahan baku kayu meliputi pengujian sifat fisika dan mekanika kayu, yaitu kadar air, kerapatan, penyusutan, lentur statis (modulus elastisitas dan modulus patah), keteguhan tarik sejajar serat, tekan sejajar dan tegak lurus serat, serta keteguhan geser. Pengujian ini dilakukan di Pusat Penelitian Biomaterial LIPI Cibinong. Sifat Fisis Kayu

a. Kadar air Standar: British Standard (BS 373-1957) Prosedur pengujian kadar air adalah sebagai berikut: 1. Sampel uji dibuat berukuran (2 x 2 x 2) cm.

Page 192: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

186

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

2. Sampel uji ditimbang untuk mendapatkan berat kering udara (BKU). 3. Sampel uji dioven pada suhu 103±2°C selama 24 jam sampai beratnya

konstan sehingga diperoleh berat kering oven (BKO). b. Kerapatan

Standar: British Standard (BS 373-1957) Prosedur pengujian kerapatan adalah sebagai berikut: 1. Sampel uji dibuat berukuran (2 x 2 x 2) cm. 2. Sampel uji diukur panjang, lebar dan tebal dengan menggunakan kaliper untuk

mendapatkan volume awal (Vo). 3. Sampel uji dioven pada suhu 103±2°C selama 24 jam sampai beratnya konstan

sehingga diperoleh berat kering oven (BKO).

Gambar 1. Contoh uji pengujian sifat fisika dan mekanika kayu. Sifat Mekanis Kayu

a. Modulus of elasticity (MOE) dan Modulus of rupture (MOR) Standar: British Standard (BS 373-1957) Prosedur pengujian MOE dan MOR adalah sebagai berikut: 1. Sampel uji MOE dan MOR dibuat berukuran (2 x 2 x 30) cm dalam kondisi kering

udara. 2. Sampel uji dipasang sesuai tempat pengujian. 3. Beban tekan diberikan di tengah-tengah bentang sampel uji. 4. Mencatat nilai defleksinya. 5. Dalam penentuan nilai MOR dicatat beban maksimum sampai kayu patah.

b. Keteguhan tarik sejajat serat

Standar: British Standard (BS 373-1957) Prosedur pengujian keteguhan tarik sejajar serat adalah sebagai berikut: 1. Sampel uji sifat tarik sejajar serat berukuran (30 x 0,3 x 0,6) cm dalam kondisi

kering udara dengan pemotongan sejajar serat. 2. Sampel uji tersebut ditempatkan sesuai tempat pengujian. 3. Sampel uji diberikan beban tarik sampai kayu tersebut putus.

c. Keteguhan tekan sejajar dan tegak lurus serat

Standar: British Standard (BS 373-1957) Prosedur pengujian keteguhan tekan sejajar serat adalah sebagai berikut: 1. Sampel uji keteguhan tekan sejajar dan tegak lurus serat berukuran (2 x 2 x 6)

cm dalam kondisi kering udara. 2. Sampel uji dipasang sesuai tempat pengujian. 3. Sampel uji diberikan beban tekan sampai kayu tersebut rusak.

d. Keteguhan geser

Page 193: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

187

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Standar: British Standard (BS 373-1957) Prosedur pengujian keteguhan geser sejajar serat adalah sebagai berikut: 1. Sampel uji keteguhan kuat geser sejajar serat berukuran (2 x 2 x 2) cm dalam

kondisi kering udara. 2. Sampel uji dipasang sesuai tempat pengujian. 3. Sampel uji diberikan beban tekan sampai kayu tersebut rusak.

Gambar 2. Pengujian sifat mekanik kayu.

Pembuatan Blade Turbin Angin Desain bentuk turbin angin ini menggunakan tipe tiga blade dengan sudut masing-

masing 120° (Gambar 3). Dinamo, As, dan Gear (Gambar 4) disediakan oleh Mitra dari Jepang, yaitu PT. A-Wing dengan blade turbin angin berupa kayu Balsa berukuran standar, yaitu (100 x 11 x 3) cm (Gambar 5).

Pembuatan blade turbin angin dilakukan di Puslit Biomaterial – LIPI menggunakan Alat CNC Milling Machine dengan prosedur sebagai berikut:

1. Pengukuran Model Blade : Gambar detail 2. Pembuatan Desain 3D dengan software CAD 3. Pembuatan dan Input : Program Numerik pada Alat CNC 4. Setting Raw Material pada Alat CNC 5. Running Program 6. Menghasilkan Blade

Gambar 3. Turbin angin standar dari PT. A-Wing.

Page 194: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

188

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 4. Dinamo turbin angin produksi PT. A-Wing.

Gambar 5. Blade turbin angin ukuran standar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Pada Tabel 1 dapat dilihat hasil pengujian sifat fisis dan mekanis kayu Sengon dan Jabon. Kerapatan kedua jenis kayu tersebut hampir sama, namun kayu Jabon lebih dapat menyesuaikan dengan kondisi kadar air udara jika dibandingkan dengan kayu Sengon dan memiliki kestabilan dimensi yang lebih baik, ditunjukkan dengan rasio T/R yang lebih rendah. Dengan kerapatan yang sedikit lebih tinggi, maka kayu Jabon memiliki sifat mekanik yang lebih baik jika dibandingkan dengan kayu Sengon, kecuali keteguhan gesernya. Tabel 1. Hasil pengujian sifat fisis dan mekanis kayu Sengon dan Jabon untuk pembuatan

blade turbin angin.

No Nama Pengujian Satuan Jenis Kayu

Sengon Jabon

Sifat Fisis

1 Kadar Air % 8,5 (8,3-8,7) 12,4 (11,9-12,6)

2 Kerapatan 0,32 0,35

3 Penyusutan

L % 0,21 0,29

T % 4,50 4,84

R % 1,83 2,70

rasio T/R 2,46 1,86

Page 195: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

189

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Sifat Mekanis

1 Lentur Statis

MOR kgf/cm2 438,10 622,27

MOE kgf/cm2 58204,70 67055,20

Defleksi mm 9,46 10,52

Strain % 1,50 1,68

Kekuatan (σ) specific 1369,05 1777,91

2 Keteguhan tarik kgf/cm2 316,09 377,08

Strain % 5,98 8,22

3 Tekan Sejajar Serat kgf/cm2 161,73 266,07

4 Tekan Tegak Lurus Serat kgf/cm2 24,08 31,03

5 Keteguhan Geser kgf/cm2 60,01 42,35

Persamaan untuk menghitung keluaran energi adalah: P=αρAv3 (Brøndsted, 2005), dimana α adalah konstanta efisiensi aerodinamis, ρ adalah densitas udara yang juga konstan dalam kondisi yang sama, A adalah luas daerah baling-baling turbin, dan v adalah kecepatan angin. Dalam keadaan lain, luas daerah baling-baling turbin adalah: A = πr2, dimana π adalah rasio tetap keliling lingkaran, r adalah panjang blade turbin. Total energi yang dihasilkan selama lifetime blade turbin angin adalah: E = Pt, dimana t adalah lifetime blade turbin angin. Sebaliknya, A = πr2 dan P = αρAv3, akan menghasilkan persamaan baru untuk menghitung energi yang dihasilkan selama lifetime blade turbin angin, yaitu: E=αρπr2v3t

Hal ini dapat dilihat dari persamaan keluaran energi yang didasarkan pada densitas udara (ρ), panjang blade (r) yang tergantung pada massa dan kekuatan material, kecepatan angin (v) dan lifetime (t) yang tergantung pada tingkat kelelahan material.

Beban eksternal untuk baling-baling sangat tergantung pada angin dan gravitasi, sehingga untuk membuat blade turbin angin bukanlah hal yang sederhana, karena memerlukan pencapaian kriteria tertentu. Sebenarnya bahan baku yang digunakan untuk membuat blade turbin perlu mencapai persyaratan yang ketat, seperti kekakuan yang tinggi, massa/kerapatan yang rendah dan kekuatan lelah yang panjang, karena:

1. Kekakuan material yang tinggi diperlukan untuk mempertahankan performa aerodinamis yang optimal.

2. Kerapatan yang rendah diperlukan untuk mengurangi gaya gravitasi.

3. Kekuatan lelah yang panjang diperlukan untuk mengurangi degradasi material. (Brøndsted, 2005). Hal-hal tersebut perlu dipertimbangkan dalam pembuatan desain blade turbin angin,

selain pertimbangan berat dan panjang blade. Sebagaimana telah disebutkan bahwa kekakuan yang tinggi, massa yang rendah

dan kekuatan lelah yang panjang adalah kriteria yang paling untuk memilih bahan baku blade turbin angin, sehingga rumus di bawah ini bisa memberikan petunjuk umum untuk kriteria tersebut, yaitu Mb = E1/2/ρ (Brøndsted, 2005), dimana E = kekakuan material, ρ = densitas bahan, Mb = konstanta yang memiliki garis atas dan garis bawah sehingga dapat membentuk sebuah kisaran untuk memilih bahan baku blade.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa kerapatan kayu Sengon 0,32 dan kayu Jabon 0,35. Dengan kerapatan tersebut, maka ratio MOE/MOR kayu Sengon adalah 132,86; ratio MOE/MOR kayu Jabon adalah 107,76. Hal ini menunjukkan bahwa kayu Sengon memiliki nilai kekakuan yang lebih baik jika dibandingkan dengan kayu Jabon, selain kerapatan yang lebih rendah (ringan). Dua faktor yang dipersyaratkan untuk bahan baku blade turbin angin

Page 196: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

190

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

dari kayu Sengon lebih baik daripada kayu Jabon, namun uji kekuatan lelah perlu dilakukan lebih lanjut. Pembuatan Blade Turbin Angin Saat ini telah dibuat masing-masing 1 set (3 blade) dari kayu Sengon dan Jabon untuk 2 prototype turbin angin. Dari sifat pengerjaan dan performance, blade dari kayu Jabon tampak lebih baik jika dibandingkan dengan kayu Sengon. Berikut ini dokumentasi foto proses pembuatannya (Gambar 6).

Gambar 6. Proses pembuatan blade turbin turbin angin.

Page 197: LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015 PUSAT PENELITIAN … · biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi ... terjadinya resistensi dan resurgensi

191

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

KESIMPULAN

Kerapatan kedua jenis kayu tersebut hampir sama, namun kayu Jabon lebih dapat menyesuaikan dengan kondisi kadar air udara jika dibandingkan dengan kayu Sengon dan memiliki kestabilan dimensi yang lebih baik, ditunjukkan dengan rasio T/R yang lebih rendah. Dengan kerapatan yang sedikit lebih tinggi, maka kayu Jabon memiliki sifat mekanik yang lebih baik jika dibandingkan dengan kayu Sengon, kecuali keteguhan gesernya. Nilai kekakuan kayu Sengon lebih baik jika dibandingkan dengan kayu Jabon. Dua faktor, yaitu kerapatan yang rendah (ringan) dan nilai kekakuan yang dipersyaratkan untuk bahan baku blade turbin angin dari kayu Sengon lebih baik daripada kayu Jabon, namun uji kekuatan lelah perlu dilakukan lebih lanjut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Kegiatan Unggulan Produk Komersial IPH

– LIPI atas didanainya penelitian ini melalui DIPA 2015. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Sudarmanto dan Fajar atas bantuannya dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adityo, Andika dan A. Zatmik. 2011. Rancang Bangun Turbin Angin Vertikal Untuk

Penerangan Rumah Tangga. Semarang: Program Pascasarjana. Brøndsted, P. 2005. Composite materials for wind power turbine blades, page: 508-

510, DOI: 10.1146/annurev.matsci.35.100303.110641. ESDM. 2010. Indonesia Energy Outlook 2010. ESDM