laporan akhirbalittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi...daftar tabel halaman nomor teks 1...
TRANSCRIPT
MAK: 1571 00459 B LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN UNTUK MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS HORTIKULTURA > 20% MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN HORTIKULTURA
Tahun Anggaran 2011
BALAI PENELITIAN TANAH BALAI BESAR LITBANG SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2011
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN UNTUK MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS HORTIKULTURA > 20% MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN HORTIKULTURA
Tahun Anggaran 2011
Oleh:
Dr. Ir. Umi Haryati Ir. Deddy Erfandi
Satker 648680
BALAI PENELITIAN TANAH BALAI BESAR LITBANG SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2011
LEMBAR PENGESAHAN
1 Judul RPTP : Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan
Lahan untuk Meningkatkan Produktivitas Hortikultura > 20% Mendukung Pengembang-an Kawasan Hortikultura
2 Penanggungjawab Kegiatan RPTP/RDHP
a. Nama : Dr. Ir. Umi Haryati
b. Pangkat/Golongan : Pembina /IVa
c. Jabatan Fungsional
c.1. Fungsional : Peneliti Madya
c.2. Struktural : -
3 Lokasi Kegiatan : Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi
4 Biaya Penelitian/Pengkajian : Rp. 242.250.000.- (Dua ratus empat puluh dua juta dua ratus lima puluh ribu rupiah)
5 Sumber Dana : DIPA/RKAKL, Satker Balai Penelitian Tanah, Tahun Anggaran 2011
Mengetahui Kepala Balai Penelitian Tanah Penanggung jawab RPTP Dr. Ir. Sri Rochayati MSc Dr. Ir. Umi Haryati NIP. 19570616 198603 2 001 NIP. 19601017 198903 2 001
KATA PENGANTAR
Laporan akhir penelitian ini menyampaikan hasil yang dicapai dalam
pelaksanaan Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Lahan dan Pemupukan
untuk Meningkatkan Produktivitas Hortikultura > 20% Mendukung
Pengembangan Kawasan Hortikultura. Penelitian ini merupakan penelitian tahun
kedua yang dimulai tahun 2010 dan dilaksanakan secara berkelanjutan selama 5 tahun.
Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Lahan dan Pemupukan untuk
meningkatkan produktivitas hortikultura > 20 % mendukung pengembangan kawasan
hortikultura pada tahun ini meliputi dua kegiatan penelitian, yaitu: (1) On Farm Reseach
Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan Sayuran (2) Alternatif Teknologi
Konservasi Tanah untuk Pengendalian Erosi dan Kehilangan Hara Pada Budidaya Sayuran
Dataran Tinggi (SIT-KTA) . Penelitian ini dilaksanakan di lahan petani di Desa Talun
Berasap (pengembangan Desa Pelompek), Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci,
Provinsi Jambi.
Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak
atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penelitian dan laporan ini dapat terlaksana
dengan baik, dan mohon maaf atas segala kekurangan, semoga laporan ini dapat
bermanfaat.
Bogor, Desember 2011
Kepala Balai,
Dr. Sri Rochayati
NIP. 19570616 198603 2 001
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Dasar Pertimbangan (justifikasi) 2
1.3. Tujuan 3
1.4. Luaran yang diharapkan 4
1.5 Prakiraan manfaat dan dampak kegiatan 4
II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Kerangkan Teoritis 5
2.2. Hasil-Hasil Penelitian yang sudah dicapai 9
III METODOLOGI 12
3.1. Pendekatan 12
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan 13
3.3. Bahan dan Metode Penelitian 13
3.4. Analisis Resiko 16
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17
4.1. HASIL 17
4.2. PEMBAHASAN 35
V KESIMPULAN DAN SARAN 42
VI PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN 44
VII DAFTAR PUSTAKA 45
DAFTAR TABEL
Halaman Nomor Teks
1 Sifat fisik tanah awal lokasi penelitian pada blok P-1 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
17
2 Sifat fisik tanah awal lokasi penelitian pada blok P-2 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
18
3 Sifat fisik tanah awal lokasi penelitian pada blok P-3 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
19
4 Sifat kimia tanah awal lokasi penelitian pada blok P-1 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
20
5 Sifat kimia tanah awal lokasi penelitian pada blok P-2 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
21
6 Sifat kimia tanah awal lokasi penelitian pada blok P-3 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
22
7 Jenis perlakuan, kemiringan dan luas masing-masing perlakuan pada kegiatan on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
23
8 Berat segar crop kubis pada saat panen untuk setiap model sistem usahatani konservasi pada kegiatan on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
26
9 Penggunaan bibit Kubis dan pupuk pada penelitian on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
26
10 Analisis finansial usahatani Kubis pada penelitian on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
27
11 Distribusi curah hujan selama pertanaman Kubis di Desa Talun Berasap, Kecamatan Gunung Tujuh, Jambi, 2011
33
12 Pengaruh teknik konservasi terhadap populasi tanaman saat panen dan berat segar crop kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
35
DAFTAR GAMBAR
Halaman Nomor Teks
1 Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan, sebelum diitanami pada Blok P-1 (cara petani, barisan tanaman sejajar lereng) di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
23
2 Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan, sebelum diitanami pada Blok P-2 (barisan tanaman sejajar lereng, dipotong gulud setiap panjang lereng 5 m), di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
24
3 Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan, sebelum diitanami pada Blok P-3 (barisan tanaman sejajar kontur), di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
24
4 Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap tinggi tanaman kubis pada On-Faram Research SUT-KTA di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
25
5 Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap diameter kanopi kubis pada On-Faram Research SUT-KTA di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
25
6 Kegiatan FGD pada penelitian On Farm Research (SUT_KTA) di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
30
7 Pemasangan soil-colector untuk 4 perlakuan, sebelum diitanami pada Blok P-2 di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
31
8 Pemasangan soil - colector untuk 4 perlakuan, sebelum diitanami pada Blok P-3 di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
31
9 Implentasi 4 perlakuan teknik konservasi tanah, sebelum diitanami pada Blok P-1 di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
32
10 Keragaan pesemaian kubis pada kegiatan penelitian SUT- KTA dan SIT - KTA di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
33
11 Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap tinggi tanaman kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
34
12 Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap diameter kanopi kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
34
ABSTRAK
Hortikultura merupakan komoditas pertanian yang penting bagi pertumbuhan ekonomi, dan sebagai salah satu sumber pendapatan petani untuk mendukung ketahanan pangan. Usahatani Kubis dan Kentang mempunyai keuntungan kompetitif karena efisien secara finansial terhadap penggunaan sumberdaya domestik. Tetapi pengolahan tanah di lahan berlereng di dataran tinggi di daerah aliran sungai bahgian hulu tanpa menerapkan teknik konservasi tanah yang tepat menyebabkan berbagai risiko yang membahayakan agroekosistem baik on-site maupun off-site. Sebagian besar petani sayuran dataran tinggi umumnya belum mempraktekkan pengelolaan lahan dan pemupukan yang tepat dan benar. Penelitian bertujuan (jangka panjang) untuk memperoleh rekomendasi pengelolaan tanah yang handal dalam sistem usahatani konservasi tanah berbasis tanaman sayuran di dataran tinggi. Penelitian ini dilaksanakan di lahan petani di Desa Talun Berasap (pengembangan Desa Pelompek), Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi dengan menggunakan tanaman indikator kubis dirotasi dengan kentang. Penelitian terdiri dari 2 kegiatan yaitu : (1) On Farm Reseach Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan Sayuran, yang terdiri dari 3 model usahatani konservasi (P-1= praktek petani, P-2 = tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m panjang lereng, P-3 = tanaman searah kontur); (2) Alternatif Teknologi Konservasi Tanah untuk Pengendalian Erosi dan Kehilangan Hara Pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi. Kegiatan ini terdiri dari 4 perlakuan teknik konservasi tanah, yaitu KTA-1 (tanaman searah lereng), KTA-2 (tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m panjang lereng, KTA-3 (tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m panjang lereng dan ditambah rorak, KTA-4 (tanaman searah kontur). Hasil penelitian menunjukkan hasil tanaman kubis secara umum tergolong rendah (3 – 7 t/ha berat segar) karena tanaman mengalami kekeringan pada masa pertumbuhannya. Perlakuan sistem usahatani konservasi P-2 memberikan hasil tanaman (7,7 t/ha) dan keuntungan (Rp 2.588.000,-) yang tertinggi dengan nilai B/C ratio (1,51). Sebaliknya perlakuan P-1 memberikan hasil tanaman terendah (3,0 t/ha) dan mengalami kerugian sebesar Rp 1.901.000,-. Teknik konservasi TKA-3 (pada kegiatan super imposed trial/SIT-KTA) memberikan hasil tanaman tertinggi (32 t/ha) diikuti oleh TKA-1 (31 t/ha), TKA-2 (29 t/ha) da TKA-4 memberikan hasil yang paling rendah (26 t/ha). Petani pada umumnya cukup antusias terhadap teknik konservasi tanah dan air. Petani cenderung menyukai teknik konservasi TKA-2 (tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 meter), karena lebih praktis, dengan alternatif TKA-4 (tanaman sejajar kontur).
Kata kunci : usahatani konservasi, teknik konservasi tanah, preferensi petani, pendapatan, kawasan hortikultura
ABSTRACT
Horticulture is an important agricultural commodity for economic growth, and as a
source of farmer’s income to support food security. Cabbage and potato farming have competitive advantages due to financially efficient to utilize domestic resource. But its cultivation in the sloping/highland areas in the upper watershed without applying a proper soil conservation techniques have caused a variety of risk that was endangering in on site and off-site agro ecosystems. Most of vegetable farmers in the highland did not practice land management fertilization correctly. The research was carried out in farmers' land in Talun Berasap village (splitting of Pelompek village), Gunung Tujuh District, Kerinci, Jambi Province using indicator plants of Cabbage and Potato. The aims of study (long term) are to find out a reliable soil management on vegetable farming in highland areas. The study has two activities, that are: Activity 1 is On Farm Research Conservation Farming System consisted three models of conservation farming system namely P-1 (farmers practice), P-2 (planting in bedding direction to the land slopes, but at every 5 m long slopes was cut by ridge directed to land contour), P-3 (planting in bedding parallel to land contour). Activity 2 is Alternative Technologies for Soil Conservation to Control Erosion and Nutrient Loss In High Land Vegetable Farming. This activity consists of 4 treatments of soil conservation techniques, namely KTA-1 (planting in bedding direction to the land slopes), KTA-2 (planting in bedding direction to the land slopes, but at every 5 m long slopes was cut by ridge directed to land contour), KTA-3(planting in bedding direction to the land slopes, but at every 5 m long slopes was cut by ridge directed to land contour and added with rorak, KTA-4 (planting in bedding parallel to land contour). The results showed that the cabbage yield in on farm research is generally low (3-7 t / ha fresh weight) due to drought during plant growth. The P-2 treatment gave the highest yields (7,7 t/ha) and profit (2.588 million IDR) with B/C was 1.51. In contrast, P-1 treatment gave the lowest yields and suffered a loss of 1.901 million IDR. Conservation techniques TKA-3 (on the activities of super imphosed trial) gave the highest crop yield (32 t / ha) followed by TKA-1 (31 t / ha ), TKA-2 (29 t / ha) and TKA-4 gave the lowest yield (26 t / ha). Farmers are generally quite enthusiastic to the soil and water conservation techniques. Farmers tend to favor conservation techniques TKA-2 (plants direction of slope, cut by ridge every 5 meters), because it is more practical, and TKA-4 (contouring plants) as an alternative soil conservation technique. Key words : conservation farming, soil and water conservation, farmer preferation,
income, hortuculture area
RINGKASAN
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN UNTUK MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS HORTIKULTURA >20% MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN HORTIKULTURA
Hortikultura merupakan komoditas pertanian yang penting bagi pertumbuhan
ekonomi dan ketahanan pangan nasional. Dalam lima tahun terakhir nilai ekspor
hortikultura buah-buahan meningkat dari US$ 54,2 juta (2003) menjadi US$ 73,6 (2005)
dan US$ 113,2 juta (2007) atau rata-rata peningkatannya mencapai 20,4% tahun-1.
Peningkatan nilai ekspor tersebut antara lain karena meningkatnya produksi hortikultura
buah-buahan dimana volume ekspor meningkat dengan laju 17,3% tahun-1 (BPS, 2008).
Produksi hortikultura sayuran, seperti kentang pada tahun 2006-2007 meningkat sekitar
2,3% tahun-1. Dalam konteks demikian, kelompok komoditas hortikultura sangat strategis
sehingga perlu mendapatkan prioritas pengembangan. Dari sisi permintaan, baik berupa
konsumsi segar maupun produk olahan meningkat dari waktu ke waktu. Sementara itu,
dari sisi produksi masih berpotensi untuk ditingkatkan, baik melalui perluasan areal
(ekstensifikasi), maupun peningkatan intensitas tanam dan peningkatan produktivitas
melalui intensifikasi usahatani.
Kawasan hortikultura di dataran tinggi umumnya terletak di bagian hulu daerah
aliran sungai (DAS). Sekitar 46% wilayahnya berbukit hingga bergunung dengan lereng
lebih dari 15 % yang sangat rentan terhadap bahaya erosi (Lampiran 1). Lahan dengan
lereng demikian umumnya tersebar di dataran tinggi dengan ketinggian ≥700 m di atas
permukaan laut (dpl). Lahan di kawasan ini sangat penting sebagai penghasil berbagai
komoditas pertanian terutama sayur-sayuran, buah-buahan, kopi, teh, kayu manis, kina,
dan lain-lain, selain berfungsi juga sebagai kawasan lindung.
Teknologi konservasi tanah, selain mampu mencegah tanah yang tererosi dan
hara yang hilang, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Dari penelitian
ini, selain efisien, budidaya sayuran dataran tinggi diharapkan dapat menguntungkan
petani, dan tidak mendatangkan bencana pada daerah-daerah di bagian hilirnya.
Rekomendasi pemupukan yang ada perlu diperbaiki dengan memperhatikan sifat
tanahnya, tanaman yang diusahakan dan kelestarian lingkungan, dengan
mengkombinasikan antara pupuk anorganik dan organik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi beberapa sistem usahatani konservasi
pada budidaya sayuran dataran tinggi, untuk mengevaluasi pengaruh teknologi
konservasi tanah dalam pengendalian erosi dan hara yang hilang dalam sedimen, dan
pencucian pada budidaya sayuran dataran tinggi dan untuk memperbaiki rekomendasi
pemupukan yang mengkombinasikan penggunaan pupuk anorganik dan bahan organik
dalam budidaya sayuran dataran tinggi. Keluaran yang diharapkan adalah sistem
usahatani konservasi yang sesuai pada budidaya sayuran dataran tinggi, teknologi
konservasi tanah yang efektif dalam pengendalian erosi dan hara yang hilang dalam
sedimen, dan pencucian pada budidaya sayuran dataran tinggi dan rekomendasi
pemupukan berimbang yang mampu mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik dan
organik dalam budidaya sayuran dataran tinggi.
Penelitian melanjutkan kegiatan tahun 2010, dengan melakukan perbaikan
terhadap perlakuan-perlakuan yang telah diaplikasikan pada tahun tersebut, khususnya
yang berhubungan dengan penerapan teknologi konservasi tanah mekanik pada lahan
sayuran dataran tinggi di Propinsi Jambi. Selain teknologi bedengan, pada lahan budi
daya akan diaplikasikan teknologi konservasi tanah berupa rorak dan saluran peresapan
dengan maksud untuk menahan laju aliran permukaan dan meresapkan air yang mengalir
di atas permukaan tanah ke dalam tanah. Selain itu, dengan asumsi teknologi konservasi
tanah tersebut mampu mencegah kehilangan tanah dan hara, akan dirumuskan alternatif
teknologi pengelolaan lahan berupa penggunaan pupuk (anorganik maupun organik)
sesuai dengan kebutuhan tanaman dan status hara tanah.
Pada TA. 2011, penelitian on farm dilaksanakan pada agro-ekosistem dataran
tinggi pada skala mikro DAS yang menjadi kawasan sentra sayuran kentang di Kabupaten
Kerinci (Jambi). Pada kegiatan ini dicoba 3 model sistem usahatani konservasi (SUT–
KTA). Model sistem usahatani konservasi yang diteliti terdiri dari: 1) Praktek
petani/farmer practices (P1), 2) Praktek petani yang diperbaiki/partially improved farmer
practices (P2), 3) Teknologi pengelolaan lahan introduksii/fully improved technology (P3).
Praktek petani didefinisikan sebagai kebiasan petani setempat dalam berusaha
tani kentang. Praktek petani yang diperbaiki diartikan sebagai kebiasan petani yang
dikombinasikan dengan perbaikan teknik konservasi tanah, sedangkan teknologi
pengelolaan lahan yang diintroduksi/perbaikan teknologi didefinisikan sebagai cara
berusaha tani kentang dengan memperhatikan kaidah konservasi tanah dan pemupukan
berimbang.
Penelitian superimposed dilakukan untuk meneliti lebih lanjut mengenai teknik
konservasi tanah dan pengelolaan hara terpadu sehingga diperoleh informasi lebih detil
dan akurat untuk menyempurnakan teknologi pengelolaan lahan pada kegiatan on-farm
research. Penelitian dilaksanakan pada lahan petani kentang di Desa Talun Berasap,
Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Jambi dengan sub ordo tanah Hapludult.
Luasan lahan yang digunakan adalah 1 ha. Lokasi penelitian terletak di kaki Gunung
Kerinci pada posisi 01o41”58,3” LS dan 101o20’50,3” BT, berbahan induk volkan pada
fisiografi kaki gunung dengan kemiringan berombak sampai bergunung.
Hasil yang diperoleh pada kegiatan On-Farm, karakteristik sifat fisik tanah awal
pada lokasi P-1 memperlihatkan bahwa tanah mempunyai BD rendah, partikel density
(PD) 1,87 – 1,96 g/cm3, ruang pori total (RPT) tinggi , pori drainase cepat (PDC), dan pori
air tersedia (AT) yang tinggi baik pada lapisan 0-20 cm maupun pada 20-40 cm dari
permukaan tanah. Selain itu, mempunyai pori drainase lambat (PDL) rendah, air
tersedia (AT) yang tinggi, permeabilitas agak cepat, iindeks stabilitas sangat baik pada
lapisan atas (0-20 cm) maupun pada lapisan bawah (20-40 cm). Tanah mempunyai laju
perkolasi yang cepat pada lapisan atas dan sangat cepat pada lapisan bawah. Tanah
bertekstur lempung baik pada lapisan atas maupun pada lapisan bawah.
Blok perlakuan on-farm P-2, mempunyai BD 0,62 – 0,66 g/cm3, PD 2,10 – 2,22
g/cm3, RPT, PDC,dan AT yang tinggi baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah.
Tanah mempunyai PDL yang rendah , permeabilitas sedang dan perkolasi sangat cepat
dan tekstur lempung baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah.
Blok penelitian on-farm P-3 mempunyai BD rata-rata 0,67 g/cm3, PD 2,14 g/cm3,
RPT, PDL, dan AT yang tinggi baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah. Selain itu
tanah pada Blok P-3 mempunyai PDL rendah, permeabilitas sedang pada lapisan atas dan
agak cepat pada lapisan bawah, serta indeks agregat stabilitas agregat sangat baik pada
lapisan atas maupun bawah dan perkolasi sangat cepat baik pada lapisan atas maupun
bawah.
Selain dilakukan analisis sifat fisik tanah dilakukan juga analisis sifat kimia tanah.
Analisis dilakukan terhadap pH, C- organik, N-organik, C/N ratio, KTK, Basa-basa dapat
ditukar, KB, Aldd dan Hdd. Tanah pada blok P-1 mempunyai pH masam, kandungan
bahan organik yang sangat tinggi, C/N ratio rendah, kandungan P2O5 dan K2O (ekstrak
HCl) sangat rendah, P tersedia tinggi pada lapisan atas dan sedang pada lapisan bawah,
KTK dan KB tergolong sedang baik pada lapisan atas maupun pada lapisan bawah, serta
Al-dd yang sangat rendah. Sifat kimia tanah pada blok P-1, mempunyai karakteristik yang
tidak terlalu berbeda dengan blok P-2, kecuali KTK yang tinggi pada lapisan atas dan
rendah pada lapisan bawah serta KB yang rendah baik pada lapisan atas maupun lapisan
bawah. Demikian juga halnya dengan sifat kimia tanah pada blok P-3, mempunyai
karakteristik yang tidak berbeda dengan sifat kimia tanah pada blok P-1.
Ada 3 perlakuan yang diimplementasikan pada kegiatan on-farm research ini yaitu
perlakuan P-1, P-2 dan P-3. Jenis perlakuan, kemiringan dan luas masing-masing
perlakuan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis perlakuan, kemiringan dan luas masing-masing perlakuan pada kegiatan on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
Simbol Perlakuan Jenis Perlakuan Kemiringan (%) Luas (ha) P-1 Cara petani, barisan tanaman
sejajar lereng 15 0,30
P-2 Barisan tanaman sejajar lereng, dipotong gulud setiap panjang lereng 5 m
18 0,30
P-3 Barisan tanaman sejajar kontur 27 0,40
Keragaan pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman maupun diameter kanopi
tanaman kubis terlihat berbeda antar perlakuan. Perlakuan P-1 selalu mempunyai tinggi
tanaman yang lebih tinggi dari perlakuan P-2 dan P-3 (Gambar 1). Demikian juga halnya
dengan diameter kanopi, perlakuan P-1 selalu mempunyai diameter kanopi tanaman
kubis yang lebih tinggi dari perlakuan P-2 dan P-3 (Gambar 2).
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
2 4 6
mur tanaman (MST)
Ting
gi ta
nam
an (c
m)
P-1
P-2
P-3
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
8 10 12
Umur tanaman (MST)
Dia
met
er k
anop
i (cm
)
P-1
P-2
P-3
Gambar 1. Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap tinggi tanaman kubis pada On-Farm Research
Gambar 2. Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap diameter kanopi kubis pada On-Farm Research
Hasil tanaman kubis dalam hal berat segar tanaman /crop tanaman kubis pada
saat panen memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan sistem usahatani
konservasi yang berbeda pada kegiatan on-farm research. Perlakuan P-2 (tanaman
sejajar lereng, dipotong gulud setiap panjang lereng 5 m) memberikan hasil tanaman
yang tertinggi dan berbeda dengan perlakuan lainnya, diikuti oleh perlakuan P-3
(tanaman sejajar kontur) dan perlakuan P-1 memberikan hasil yang paling rendah (Tabel
2).
Tabel 2 Berat segar crop kubis pada saat panen untuk setiap model sistem usahatani konservasi pada kegiatan on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec.
Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Sistem usahatani konservasi
Ulangan
Rata-rata (t/ha)
I II III P1 = tanaman searah lereng 2.7 3.1 3.2 3.0 c
P2 = tanaman searah lereng,
Setiap 5 m dipotong gulud 9.0 7.6 6.5 7.7 a
P3 = tanaman searah kontur 6.2 5.1 7.7 6.3 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda untuk taraf 5 % DMRT
Harga pasar kubis pada bulan September 2011 adalah Rp 1000 kg-1 , hasil
perhitungan input dan output memberikan B/C rasio 0,7; 1,8 dan 1,2 masing-masing
pada P1, P2 dan P3 . Hal ini karena pada produksi dan input tenaga kerja yang berbeda.
Perlakuan P2 dan P3 memberikan produksi yang lebih tinggi dari P1, sehingga B/C
rationya lebih tinggi.
Hasil wawancara selama kegiatan focus group discussion (FGD) ada beberapa
usul/saran/pendapat petani sebagaimana uraian di bawah ini : Perlu ada perlakuan
penelitian yang dapat menyimpulkan pentingnya peranan bahan organik atau pupuk
kandang (saran petani tersebut sudah terjawab dari kegiatan riset TA 2010 tetapi
hasilnya belum dapat dijelaskan, dalam TA 2011 tidak ada perlakuan tanpa pupuk
kandang, mungkin pada TA 2012 perlu dipertimbangkan lagi mengenai perlakuan
tersebut). Perlu penjelasan (akademik) yang dapat dimengerti oleh petani tentang
pentingnya bahan organik dalam pengelolaan lahan untuk sayuran.
Keragaan pertumbuhan tanaman dalam hal tinggi tanaman terlihat tidak berbeda
antar perlakuan teknik konservasi (Gambar 3). Perlakuan teknik konservasi memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan diameter kanopi tanaman (Gambar 4).
Perlakuan KTA-4 (barisan/bedengan tanaman searah kontur) memberikan pengaruh yang
terbaik terhadap perkembangan diameter tanaman pada umur 10 dan 12 minggu setelah
tanam. Pengaruh ini tidak berbeda dengan perlakuan KTA-3 (barisan tanaman searah
llereng, setiap 5 m panjang lereng dibuat gulud + rotrak), tetapi berbeda dengan
perlakuan KTA-2 (barisan/bedengan tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m
panjang lereng) dan KTA-1 (cara petani, barisan tanaman searah lereng) (Gambar 4).
0.02.04.06.08.0
10.012.014.016.018.020.0
2 4 6
Umur tanaman (MST)
Ting
gi ta
nam
an (c
m)
TKA-1
TKA-2
TKA-3
TKA-4
13.5
14.0
14.5
15.0
15.5
16.0
16.5
17.0
8 10 12
Umur tanaman (MST)
Dia
met
er k
anop
i (cm
)
TKA-1
TKA-2
TKA-3
TKA-4
Gambar 3 Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap tinggi tanaman kubis.
Gambar 4. Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap diameter kanopi kubis.
Teknik konservasi tanah secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap
populasi tanaman saat panen, namun memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil
tanaman (berat segar crop). Perlakuan KTA-3 memberikan hasil yang tertinggi, diikuti
oleh KTA-1, kemudian KTA-2 , dan KTA-4 memberikan hasil tanaman yang paling rendah
(Tabel 3).
Tabel 3 Pengaruh teknik konservasi terhadap populasi tanaman saat panen dan berat
segar crop kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Perlakuan
Jumlah tanaman saat panen
Berat crop
Berat crop
(tan/plot) (tan/ha) (kg/plot) (t/ha) KTA-1 88 14611 a 186.2 31.028 b KTA-2 88 14722 a 174.8 29.139 c KTA-3 87 14556 a 196.8 32.806 a KTA-4 89 14778 a 156.3 26.056 d
Perlakuan sistem usahatani konservasi P-2 (pada kegiatan on-farm research)
memberikan hasil tanaman yang tertinggi dan berbeda dengan P-3 dan P-1. Perlakuan P-
1 memberikan hasil tanaman terrendah. Teknik konservasi TKA-3 (pada kegiatan super
imphosed trial/SIT-KTA) memberikan hasil tanaman tertinggi (32 t/ha) diikuti oleh TKA-1
(31 t/ha), TKA-2 (29 t/ha) da TKA-4 memberikan hasil yang paling rendah (26 t/ha).
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hortikultura merupakan komoditas pertanian yang penting bagi pertumbuhan
ekonomi dan ketahanan pangan nasional. Dalam lima tahun terakhir nilai ekspor
hortikultura buah-buahan meningkat dari US$ 54,2 juta (2003) menjadi US$ 73,6 (2005)
dan US$ 113,2 juta (2007) atau rata-rata peningkatannya mencapai 20,4% tahun-1.
Peningkatan nilai ekspor tersebut antara lain karena meningkatnya produksi hortikultura
buah-buahan dimana volume ekspor meningkat dengan laju 17,3% tahun-1 (BPS, 2008).
Produksi hortikultura sayuran, seperti kentang pada tahun 2006-2007 meningkat sekitar
2,3% tahun-1. Dalam konteks demikian, kelompok komoditas hortikultura sangat strategis
sehingga perlu mendapatkan prioritas pengembangan. Dari sisi permintaan, baik berupa
konsumsi segar maupun produk olahan meningkat dari waktu ke waktu. Sementara itu,
dari sisi produksi masih berpotensi untuk ditingkatkan, baik melalui perluasan areal
(ekstensifikasi), maupun peningkatan intensitas tanam dan peningkatan produktivitas
melalui intensifikasi usahatani.
Kawasan hortikultura di dataran tinggi umumnya terletak di bagian hulu daerah
aliran sungai (DAS). Sekitar 46% wilayahnya berbukit hingga bergunung dengan lereng
lebih dari 15 % yang sangat rentan terhadap bahaya erosi (Lampiran 1). Lahan dengan
lereng demikian umumnya tersebar di dataran tinggi dengan ketinggian ≥700 m di atas
permukaan laut (dpl). Lahan di kawasan ini sangat penting sebagai penghasil berbagai
komoditas pertanian terutama sayur-sayuran, buah-buahan, kopi, teh, kayu manis, kina,
dan lain-lain, selain berfungsi juga sebagai kawasan lindung.
Kawasan hortikultura di dataran tinggi umumnya didominasi oleh tanah Andisols
yang peka terhadap erosi. Meskipun demikian, sebagian besar petani sayuran belum
menerapkan teknologi konservasi tanah. Rendahnya adopsi teknologi konservasi tanah
pada usahatani sayuran dataran tinggi disebabkan oleh berbagai alasan, seperti
kekhawatiran akan terganggunya drainase tanah, karena tanah selalu lembab yang akan
mengganggu pertumbuhan tanaman (Sumarna dan Kusbandriani, 1992; Suganda et al.,
1999), pengerjaannya sangat berat dan memerlukan waktu lama (Undang Kurnia, 2000),
serta mengurangi populasi tanaman (Haryati et al., 2000). Salah satu bukti, bahwa petani
sayuran di dataran tinggi belum menerapkan teknik konservasi tanah dengan baik dan
menyebabkan kerusakan lahan adalah tingginya kandungan lumpur pada beberapa anak
2
sungai di DAS Serayu hulu (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, 1995).
Penerapan teknologi budidaya hortikultura sangat intensif dan bervariasi. Pupuk
dan pestisida diberikan dalam dosis tinggi, tanpa disertai penerapan teknologi konservasi
tanah yang memadai. Praktek pemupukan di tingkat petani sayuran sangat bervariasi,
mulai dari input rendah sampai input sangat tinggi. Untuk sistem dengan input tinggi,
pupuk N diberikan sampai lebih dari 500 kg urea.ha-1. Pupuk kandang adalah sumber lain
dari unsur N dan unsur lainnya yang diberikan dalam jumlah tinggi, bisa lebih dari 50 t
ha-1. Seringkali suatu jenis unsur hara diberikan secara berlebihan, namun unsur lainnya
diberikan kurang dari yang semestinya, sehingga efisiensi penggunaanya menjadi rendah.
Praktek budidaya seperti ini dapat menurunkan produktivitas tanah, karena banyak unsur
hara dan bahan organik tanah hilang melalui sedimen yang terangkut aliran permukaan,
pencemaran tanah, air, dan lingkungan, dan banjir akibat meningkatnya volume aliran
permukaan di dalam badan air/sungai di bagian hilir.
Pemberian satu atau dua unsur hara yang berlebihan, seringkali disebabkan oleh
pemberian pupuk yang hanya berdasarkan kebiasaan petani, atau rekomendasi produsen
pupuk. Pemberian pupuk dengan memperhatikan keseimbangan suatu unsur hara dengan
hara lainnya sesuai kebutuhan tanaman untuk mendukung tingkat produksi tertentu,
disebut pemupukan berimbang. Pendekatan yang akan dikembangkan dalam penelitian
ini adalah memadukan sistem usahatani konservasi dan pengelolaan hara yang efisien
dalam suatu sistem budidaya sayuran dataran tinggi. Dari penelitian ini diharapkan, hara
tanaman dapat diberikan secara seimbang, kehilangan hara dan pencucian dapat
diminimalkan, serta dicapai produktivitas lahan sayuran yang lestari.
Selanjutnya penelitian neraca hara sangat diperlukan untuk memperbaiki
rekomendasi pemupukan yang ada, sehingga usaha tani yang dijalankan dapat
meningkatkan kesuburan tanahnya, lebih menguntungkan dan akrab lingkungan.
1.2 . Dasar Pertimbangan
Pada saat ini budidaya sayuran dataran tinggi dihadapkan pada masalah besarnya
penggunaan pupuk dan pestisida, serta tingginya kehilangan hara yang terangkut dalam
aliran permukaan, dan melalui pencucian. Sebagian besar petani sayuran dataran tinggi
umumnya belum mempraktekkan pengelolaan lahan yang mengindahkan kaidah-kaidah
konservasi tanah dan pemupukan yang tepat dan benar. Pemupukan dilakukan secara
3
berlebihan dan tidak berimbang, sehingga menjadi tidak efisien dan dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan. Selain itu, kadar C-organik tanah pada sebagian besar kawasan
hortikultura tergolong rendah, sehingga dengan terjadinya erosi, kadar C-organik tanah
menjadi semakin rendah menyebabkan kualitas tanah dan efisiensi pemupukan menurun.
Hal ini disebabkan karena belum cukup tersedianya sistem pengelolaan lahan yang dapat
mengendalikan kehilangan tanah dan hara, serta belum tersedianya sistem penentuan
kebutuhan pupuk yang berimbang dan praktis. Dengan demikian, penelitian yang meng-
hasilkan teknologi terpadu untuk pengelolaan hara dan pengendalian erosi dalam sistem
usahatani konservasi berbasis sayuran di dataran tinggi sangat diperlukan. Teknologi
konservasi tanah, selain mampu mencegah tanah yang tererosi dan hara yang hilang,
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Dari penelitian ini, selain efisien,
budidaya sayuran dataran tinggi diharapkan dapat menguntungkan petani, dan tidak
mendatangkan bencana pada daerah-daerah di bagian hilirnya. Rekomendasi pemupukan
yang ada perlu diperbaiki dengan memperhatikan sifat tanahnya, tanaman yang
diusahakan dan kelestarian lingkungan, dengan mengkombinasikan antara pupuk
anorganik dan organik.
1.3. Tujuan
a. Jangka pendek:
1. Untuk mengevaluasi beberapa sistem usahatani konservasi pada budidaya sayuran
dataran tinggi.
2. Untuk mengevaluasi pengaruh teknologi konservasi tanah dalam pengendalian erosi
dan hara yang hilang dalam sedimen, dan pencucian pada budidaya sayuran dataran
tinggi.
3. Untuk memperbaiki rekomendasi pemupukan yang mengkombinasikan penggunaan
pupuk anorganik dan bahan organik dalam budidaya sayuran dataran tinggi.
b. Jangka panjang:
Untuk memperoleh rekomendasi pengelolaan tanah yang handal dalam sistem
usahatani konservasi tanah berbasis tanaman sayuran di dataran tinggi.
4
1.4. Luaran yang diharapkan
a. Jangka Pendek:
1. Sistem usahatani konservasi yang sesuai pada budidaya sayuran dataran tinggi
2. Teknologi konservasi tanah yang efektif dalam pengendalian erosi dan hara yang
hilang dalam sedimen, dan pencucian pada budidaya sayuran dataran tinggi
3. Rekomendasi pemupukan berimbang yang mampu mengefisienkan penggunaan
pupuk anorganik dan organik dalam budidaya sayuran dataran tinggi
b. Jangka Panjang:
Rekomendasi pengelolaan tanah yang handal dalam sistem usahatani konservasi tanah
berbasis tanaman sayuran di dataran tinggi.
1.5. Prakiraan manfaat dan dampak kegiatan
Pengelolaan lahan melalui penerapan teknologi konservasi tanah dan pengelolaan
hara secara terpadu yang dapat meningkatkan kualitas tanah dan produktivitas horti-
kultura, khususnya kentang pada agroekosistem dataran tinggi, diharapkan dapat
mengurangi kerusakan lahan dan pencemaran lingkungan, memelihara fungsi kawasan
tersebut sebagai penyangga wilayah bagian hilir, dan meningkatkan pendapatan petani.
Keberadaan kegiatan penelitian di lahan petani memungkinkan komunikasi yang intensif
dengan petani, dan petani dapat melihat serta memahami teknologi pengelolaan lahan
yang tepat, sehingga adopsi teknologi meningkat.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis
Tanah yang umum dijumpai di kawasan hortikultura dataran tinggi adalah ordo
Andisols, Entisols, dan Inceptisols. Andisols dan Entisols biasanya berada di ketinggian >
1.000 m dpl., sedangkan Inceptisols dijumpai di ketinggian 700-1.000 m dpl (Suganda et
al., 1997; Suganda et al., 1999). Luas Andisols diperkirakan 5.395.000 ha atau 3% dari
tanah-tanah di Indonesia (Subagyo et al., 2000). Meskipun tidak dominan, tanah ini
merupakan jenis tanah utama di lahan pertanian sayuran dataran tinggi atau
pegunungan. Ciri-ciri sifat fisik Andisols adalah berat isi rendah, yaitu sekitar 0,6 sampai
0,9 g cm-3, total porositas tanah tinggi (>60%), kapasitas infiltrasi tanah tinggi, horizon A
tebal (bervariasi dari 40 cm - > 100 cm). Sifat-sifat tanah cukup baik untuk pertumbuhan
tanaman, namun karena berada di wilayah dengan lereng curam dan curah hujan tinggi
(>2000 mm tahun-1) serta pengusahaan yang intensif, kepekaan tanahnya terhadap erosi
sangat tinggi (Undang Kurnia dan Suganda, 1999).
Tanah yang mempunyai kepekaan erosi (erodibilitas) tinggi, seperti Andisols
sangat mudah tererosi, akibatnya tanah akan mudah hanyut atau terangkut oleh aliran
permukaan pada saat hujan. Selain itu, curah hujan yang tinggi di dataran tinggi akan
semakin memperbesar peluang terjadinya erosi (Arsyad, 2000). Pada umumnya petani
sayuran di dataran tinggi belum menerapkan teknik konservasi, dan hanya sebagian kecil
saja yang sudah menerapkannya, meskipun belum sepenuhnya benar. Undang Kurnia
dan Suganda (1999) melaporkan bahwa pada umumnya petani sayuran melakukan
usahataninya pada bedengan atau guludan searah lereng, atau bedengan/guludan
tersebut dibuat pada bidang-bidang teras bangku yang telah lama ada dengan arah
searah lereng, pengolahan tanahnya pun dilakukan searah lereng. Penerapan teknologi
bedengan/guludan searah lereng mengakibatkan erosi yang terjadi masih cukup tinggi,
seperti pada Andisol Cipanas mencapai 61,3-65,1 t ha-1 (Suganda et al., 1999), dan pada
Inceptisol Campaka sebesar 32,9-43,4 t ha-1 (Erfandi et al., 2002).
Penelitian konservasi tanah pada usahatani sayuran di dataran tinggi masih sangat
terbatas. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, bahwa teknik konservasi tanah untuk
menanggulangi erosi cukup positif. Suganda et al. (1997) dan Suganda et al. (1999)
membuktikan bahwa jumlah erosi pada bedengan searah kontur paling rendah, yaitu
6
10,7-40,5 t.ha-1.tahun-1 pada Andisols, dan 91,1 t.ha-1.tahun-1 pada Inceptisols. Pada
Inceptisol Campaka, besarnya erosi pada bedengan searah kontur sebesar 2,3-2,4 t.ha-1,
jauh lebih kecil dibandingkan dengan erosi pada bedengan searah lereng sepanjang 5
meter dipotong teras gulud mencapai 10,6-15,0 t.ha-1 (Erfandi et al., 2002). Sutapraja
dan Asandhi (1998) mendapatkan bahwa jumlah tanah tererosi pada guludan searah
kontur adalah 32,06 t.ha-1.tahun-1, dua kali lebih kecil dibandingkan dengan guludan arah
diagonal terhadap kontur yaitu 68,63 t.ha-1.tahun-1. Teknik bedengan searah kontur yang
diperkuat dengan Vetiveria zizanoides, Paspalum notatum dan Flemingia congesta pada
Andisol Dieng dapat menekan laju erosi dibandingkan dengan bedengan searah lereng
atau bedengan 45o terhadap kontur (Haryati et al., 2000), Selain itu, bedengan searah
lereng yang panjangnya tidak lebih dari 4,5 m, dan dilengkapi dengan teras gulud pada
ujung bagian bawah bedengan mampu menghambat aliran permukaan dan erosi.
Penerapan teknologi konservasi tanah telah terbukti mampu mengurangi jumlah
erosi, sehingga mampu menekan jumlah hara yang hilang (Suwardjo, 1981; Sinukaban,
1990; Undang Kurnia, 1996). Hal yang sama terjadi pula pada usahatani sayuran dataran
tinggi, bahwa penerapan teknologi konservasi tanah mampu mengurangi sedimen yang
terangkut erosi, sehingga mampu menekan kehilangan hara. Kehilangan hara dari
usahatani sayuran pada Andisol Cipanas dengan teknologi bedengan searah kontur
mencapai 146 kg N ha-1 ( 322 kg Urea ha-1), 58 kg P2O5 ha-1 ( 161 kg SP 36 ha-1) dan 13
kg K2O ha-1 (22 kg KCl ha-1) lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan hara dari
bedengan searah lereng, yaitu 241 kg N ha-1 ( 535,6 kg Urea ha-1), 80 kg P2O5 ha-1 ( 222
kg SP 36 ha-1) dan 1,18 kg K2O ha-1 (1,97 kg KCl ha-1) (Suganda et al., 1994). Banuwa
(1994) mendapatkan jumlah hara C dan N yang hilang dari Andisol Pangalengan 3.120 kg
C ha-1tahun-1 (5304 kg bahan organik ha-1 tahun-1) dan 333 kg N ha-1 tahun-1 (740 kg
Urea ha-1 tahun-1). Semakin intensif budidaya sayuran tanpa disertai penerapan teknik
konservasi tanah, dikhawatirkan jumlah hara yang hilang akan semakin besar. Pada
akhinya pemiskinan tanah (nutrient mining) akan berlangsung secara perlahan, dan
konsekuensinya kebutuhan input produksi semakin meningkat.
Alasan umum yang dikemukan petani sayuran kenapa enggan menerapkan teknik
konservasi tanah adalah khawatir produksi tanaman sayuran akan menurun akibat
terjadinya peningkatan kelembaban tanah dan berkurangnya populasi tanaman.
Kekhawatiran tersebut tidak sepenuhnya benar, Sutapraja dan Asandhi (1998)
7
melaporkan bahwa penerapan bedengan diagonal terhadap kontur pada usahatani
tanaman kentang di Batur, Banjarnegara lebih baik daripada bedengan searah kontur
dengan perbandingan hasil kentang 15,55 ton dan 14,88 ton. Hasil sayuran khususnya
kentang dan cabai keriting pada bedengan searah kontur dan bedengan 4,5 m searah
lereng yang dipotong teras gulud, tidak berbeda nyata dengan hasil tanaman dari
bedengan searah lereng (Suganda et al., 1999). Hasil kubis dari bedengan searah kontur
dan bedengan 450 terhadap kontur yang diperkuat Vetivera zizanoides, Paspalum
notatum atau Flemingia congesta sebagai tanaman penguat teras tidak berbeda dengan
hasil kubis dari bedengan searah lereng (Haryati et al., 2000). Hasil kentang dengan
penerapan teras bangku dengan bedengan sejajar kontur atau 45o terhadap kontur (cara
perbaikan) tidak berbeda nyata dengan cara petani, yakni 16,13 ton berbanding 16,29
ton (Haryati dan Undang Kurnia, 2001). Demikian juga penerapan bedengan searah
kontur atau bedengan searah lereng yang dilengkapi dengan guludan setiap 5 m tidak
menurunkan hasil sayuran kacang tanah, buncis, dan kubis dibandingkan dengan praktek
petani berupa bedengan searah lereng tanpa guludan di Cempaka, Cianjur (Erfandi et al.,
2002). Bahkan, hasil penelitian Soleh dan Arifin (2003) di Sundoro, Lumajang
menunjukkan penerapan teknik konservasi tanah berupa guludan searah kontur dengan
strip cropping memberikan hasil kentang lebih tinggi dibanding cara petani (guludan
searah lereng tanpa strip rumput), yakni 12,64 ton berbanding 10,63 ton.
Penerapan teknik konservasi tanah pada lahan sayuran di dataran tingi seperti
bedengan atau guludan searah kontur dan bedengan 450 terhadap kontur tidak hanya
mampu mempertahankan dan meningkatkan hasil, melainkan juga penurunan kesuburan
tanah dapat dihindari. Hal ini disebabkan karena jumlah hara yang hilang dan tanah
yang tererosi dapat dikurangi, sehingga kelestarian lingkungan dalam jangka panjang
dapat dicapai tanpa merugikan petani sayuran. Dengan demikian analisis neraca hara
diperlukan untuk perbaikan rekomendasi agar efisiensi pemupukan dapat dicapai.
Sifat-sifat kimia utama tanah Andisols yang menjadi pembatas produksi adalah
kuatnya pengikatan unsur P oleh mineral amorf, sehingga ketersediaan P tanah menjadi
rendah. Sifat-sifat kimia tanah lain seperti pH, ketersediaan kation basa dan nitrogen (N)
umumnya baik untuk pertumbuhan tanaman. Akan tetapi, bila tanah ini digunakan secara
intensif, maka diperlukan pemupukan secara reguler, sesuai dengan kebutuhan tanaman
dan cadangan hara di dalam tanah.
8
Secara teoritis neraca hara dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara unsur
yang masuk ke lahan dan yang terangkut keluar. Hara yang masuk ke dalam lahan dapat
berasal dari pupuk anorganik, pupuk organik, air irigasi dan air hujan (Lefroy and
Konboon, 1999; Miller and Smith, 1976; Smaling et al., 1993; Stoorvogel et al. 1993;
Sukristiyonubowo, 2007; Van den Bosch at al., 2001; Wijnhoud et al. 2003). Sementara
menurut Uexkull (1989) dan Sukristiyonubowo (2007a dan 2007b), unsur hara yang
terangkut keluar dari lahan mencakup hara yang diangkut oleh hasil panen, pencucian
atau leaching, penguapan (terutama untuk nitrogen dan sulfur) dan fiksasi (terutama
untuk fosfat). Selanjutnya, menurut Akonde et al. (1999), Bationo et al. (1998), Lefroy
and Konboon (1999), Santoso et al. (1995), Smaling et al. (1993), Sukristiyonubowo.
(2007a dan 2007 b) Van den Bosch et al. (2001, 1998a dan 1998b), neraca hara dapat
dikembangkan pada skala (1) plot, (2) usaha tani atau skala DAS, (3) skala kabupaten
atau propinsi dan (4) skala negara untuk berbagai tujuan.
Sistem pertanian sayuran dataran tinggi masih menjanjikan keuntungan bagi
petani. Berkenaan dengan hal itu, petani berusaha semaksimal mungkin mengintensifkan
sistem usahataninya. Salah satu hasil yang paling menonjol dalam pengelolaan tanaman
sayuran adalah aplikasi N yang sangat tinggi melebihi kebutuhan tanaman. Tindakan ini
diambil sebagai garansi oleh petani agar dapat memperoleh produksi yang tinggi. Akan
tetapi tindakan ini mengakibatkan inefisiensi pemupukan dan pencemaran lingkungan
pertanian. Hasil penelitian N-balance di Jawa Tengah menunjukkan bahwa: (1) N-balance
dari seluruh lokasi, baik perlakuan IP (improved practice) maupun FP (farmer practice)
bernilai positif, artinya masih terdapat suplai yang sangat tinggi dibanding kebutuhan
tanaman. Semakin tinggi nilai positif, semakin menurun N efisiensinya, (2) perlakuan IP
memberikan nilai efisiensi N 91% lebih tinggi dari pada perlakuan FP. Kisaran nilai
efisiensi untuk IP antara 8-67%, sedangkan FP antara 4-39%, (3) dari 18 musim tanam,
di lokasi Buntu Kejajar – Wonosobo 50% total N (NH4-N + NO3-N) meningkat, 17%
menurun dan 33% tetap. Sementara itu di Kopeng, 37.5% total N meningkat, 37.5%
menurun, dan 25% tetap.
Selain itu, terdapat beberapa capaian penelitian teknologi pengelolaan hara pada
sistem pertanian organik, antara lain: (a) informasi jenis bahan organik, yaitu Tithonia
diversifolia, kirinyuh, azolla, sesbania sesban, crotalaria, batang pisang, pupuk kandang
ayam, kambing, sapi, kuda, briket sampah kota yang dapat dijadikan sumber hara
9
tanaman dalam sistem pertanian organik, (b) formula pupuk organik, yaitu dengan bahan
baku dari pupuk kandang ayam/kambing yang diperkaya dengan Tithonia diversifolia,
fosfat alam 0,25% dan dolomit 0,25% cukup efektif memenuhi kebutuhan hara sayuran,
(c) informasi penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati dalam meningkatkan efisiensi
pupuk, mengurangi biaya produksi serta meningkatkan keanekaragaman organisme
tanah, (d) teknologi pengelolaan hara pada sayuran dalam sistem pertanian organik yaitu
dengan rotasi tanaman leguminosa dan pemberian pupuk organik dari kombinasi pupuk
kandang dan pupuk hijau yang diperkaya dengan fosfat alam, dolomit, arang sekam dan
pupuk hayati, (e) informasi teknologi pengelolaan hara dapat meningkatkan produktivitas
tanah melalui indikator kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah pada sayuran dan padi
dalam sistem pertanian organik, dan (f) informasi neraca hara pada beberapa
pertanaman tumpangsari sayuran pada sistem pertanian organik.
2.2. Hasil-hasil penelitian yang sudah dicapai (pada TA 2010)
Desa Talun Berasap, Kecamatan Gunung Tujuh terletak pada ketinggian 1.400-
1.500 m dpl., kondisi lahan berbukit sampai bergunung, curah hujan tinggi (> 2.500
mm/tahun) dan lereng curam (> 25%) sehingga sangat peka terhadap bahaya erosi.
Berdasarkan data hujan selama 11 tahun (1999-2009) menunjukkan bahwa rata-rata
curah hujan di Kabupaten Kerinci sebesar 157,22 mm bulan-1 dengan 13,16 hari hujan
dan rata-rata kelembaban udara sebesar 82,57. Hasil analisis data curah hujan selama
11 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa distribusi curah hujan di di dataran tinggi
Kabupaten Kerinci memiliki 2 puncak curah hujan (Bimodal), yaitu pada bulan April
(181,550 mm) dan bulan Desember (318,100 mm) dengan hari hujan antara 9-17
hari/bulan.
Tanaman kentang, kubis dan cabai merupakan komoditas sayuran utama
sedangkan jenis sayuran lainnya yang banyak ditanam petani adalah kubis, bawang daun,
bawang merah, buncis, tomat dan wortel yang ditanam petani secara sporadis. Pola
tanam sayuran yang ada (existing) adalah kentang-kubis-cabai untuk lahan datar-
bergelombang (< 15%) dan pola kentang-cabai/tomat-ubi jalar untuk lahan berbukit dan
bergunung (> 15%).
Petani belum menyadari bahwa penanaman kentang searah lereng pada lahan
dengan kemiringan > 15 % menyebabkan erosi tanah yang tinggi. Keadaan ini
10
menyebabkan dosis pemupukan yang digunakan oleh petani kentang tinggi karena
sebagian besar unsur hara yang diberikan hilang dari daerah perakaran tanaman.
Berdasarkan hasil PRA, diperlukan penelitian dan pengembangan perbaikan
teknologi pengelolaan lahan pada usahatani kentang di kawasan dataran tinggi, antara
lain :1).Penelitian pengendalian erosi tanah dan aliran air permukaan pada sistem
usahatani kentang yang dapat mengendalikan erosi tanah dan aliran air permukaan serta
memberikan hasil optimum, 2).Peningkatan efisiensi penggunaan pupuk yang
memberikan hasil optimum dan 3). Sosialisasi dan diseminasi teknologi pengelolaan lahan
yang dapat mengendalikan erosi tanah dan aliran air permukaan serta memberikan hasil
yang optimum.
Perlakuan teknologi pengelolaan lahan praktek petani yang diperbaiki dengan
pembuatan guludan memotong lereng setiap 5 m panjang lereng (P2) dan penanaman
menurut kontur disertai dengan perbaikan pemupukan (P3) meningkatkan pH, C-organik,
P-tersedia, ruang pori total (RPT), air tersedia dan permeabilitas tanah. Perlakuan P2 dan
P3 menghasilkan umbi kentang masing-masing sebesar 29,7 t/ha dan 36,5 t/ha terjadi
peningkatan masing-masing sebesar 125% dan 176% dibandingkan praktek petani serta
memberikan keuntungan bersih Rp. 7.800.000,- bulan-1 dan Rp. 12.500.000,- bulan-1.
Untuk melihat fluktuasi hasil kentang dan keperluan analisis finansial, diperlukan waktu
minimal 3 – 5 musim tanam, sehingga penelitian ini sangat perlu untuk dilanjutkan.
Berdasarkan hasil pengamatan selama kurang lebih 60 hari dengan curah hujan
834 mm, teknik konservasi bedengan searah lereng ditambah guludan searah kontur
pada setiap 5 m mampu menurunkan erosi tanah dan aliran permukaan hingga 56 % dan
33 %. Kehilangan hara tanah akibat aliran permukaan pada perlakuan bedengan searah
lereng lebih besar dibandingkan perlakuan bedengan searah kontur. Perlakuan bedengan
searah kontur mampu mengurangi hara kation NH4 yang hilang akibat aliran permukaan
sebanyak 77 %. Data tersebut belum sepenuhnya diperoleh, karena tanaman harus
segera dipanen dan curah hujan belum maksimal, rata-rata curah hujan dan hari hujan di
lokasi penelitian sebanyak 1920 mm tahun-1 dan 160 - 170 hari tahun-1, sehingga
penelitian ini masih harus dilanjutkan. Selain itu teknik konservasi yang dicoba belum
100 % establish, sehingga masih perlu waktu sampai teknik tersebut mantap secara fisik
dan berpengaruh terhadap erosi, aliran permukaan dan kehilangan hara secara nyata.
11
Penggunaan pupuk kandang sampai 60 t/ha belum menunjukkan perbedaan yang
nyata terhadap tinggi tanaman kentang sampai umur 8 MST dibandingkan dengan tanpa
pupuk kandang, walaupun terdapat kecenderungan peningkatan dosis pupuk kandang
meningkatkan tinggi tanaman kentang. Pemberian pupuk kandang 40 t/ha memberikan
hasil umbi yang tertinggi sebesar 121,3 kg/petak ( 20,22 t/ha), peningkatan takaran
pupuk kandang 60 t/ha justru menurunkan hasil umbi kentang. Takaran optimum dicapai
pada takaran 25,46 t/ha. Namun peningkatan takaran pupuk kandang 60 t/ha
memberikan perbaikan dalam kualitas umbi kentang.
Hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa berdasarkan uji kemampuan
menghasilkan hormon terhadap 8 isolat, produksi IAA dari kedelapan isolat berkisar 12,04
ppm sampai 187,83 ppm dan yang tertinggi dicapai isolat bakteri endofitik BSB-3 sebesar
187,83 ppm. Dari 2 isolat yang paling unggul dalam menghasilkan produksi IAA akan
diformulasi menjadi pupuk hayati. Penggunaan pupuk hayati formula A dan B
memberikan pengaruh yang nyata terhadap populasi Azotobacter sp, total bakteri tanah
dan aktivitas dehidrogenase. Pupuk hayati formula A yang dikombinasikan dengan pupuk
kandang 10 t/ha dan ¾ dosis rekomendasi NPK (200 kg N/ha, 250 kg P2O5/ha dan 200
kg K2O/ha) memberikan bobot umbi kentang yang tinggi sebesar 446 g/pot.
Keberlanjutan sistem usahatani konservasi selain ditentukan oleh faktor teknis dan
ekonomis, juga sangat ditentukan oleh faktor perilaku user, dalam hal ini petani, dalam
menyikapi teknologi yang diintroduksikan. Persepsi dan preferensi petani terhadap suatu
teknologi selain berpengaruh terhadap keberlanjutan, juga sangat dipengaruhi oleh
waktu. Persepsi dan preferensi petani tersebut tidak bisa dilihat dalam jangka waktu
yang singkat (misalnya hanya satu musim), sehingga masih diperlukan waktu untuk
melanjutkan penelitian ini.
12
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan
Penelitian TA 2011 merupakan kelanjutan kegiatan tahun 2010, dengan
melakukan perbaikan terhadap perlakuan-perlakuan yang telah diaplikasikan pada tahun
tersebut, khususnya yang berhubungan dengan penerapan teknologi konservasi tanah
mekanik pada lahan sayuran dataran tinggi di Propinsi Jambi. Selain teknologi bedengan,
pada lahan budi daya diaplikasikan teknologi konservasi tanah berupa rorak dan saluran
peresapan dengan maksud untuk menahan laju aliran permukaan dan meresapkan air
yang mengalir di atas permukaan tanah ke dalam tanah. Selain itu, dengan asumsi
teknologi konservasi tanah tersebut mampu mencegah kehilangan tanah dan hara,
dirumuskan alternatif teknologi pengelolaan lahan berupa penggunaan pupuk (anorganik
maupun organik) sesuai dengan kebutuhan tanaman dan status hara tanah.
Pada TA. 2011, penelitian on farm dilaksanakan pada agro-ekosistem dataran
tinggi pada skala mikro DAS yang menjadi kawasan sentra sayuran kentang di Kabupaten
Kerinci (Jambi). Pada kegiatan ini dicoba 3 model sistem usahatani konservasi (SUT–
KTA). Model sistem usahatani konservasi yang diteliti terdiri dari: 1) Praktek
petani/farmer practices (P1), 2) Praktek petani yang diperbaiki/partially improved farmer
practices (P2), 3) Teknologi pengelolaan lahan introduksii/fully improved technology (P3).
Praktek petani didefinisikan sebagai kebiasan petani setempat dalam berusaha
tani kentang. Praktek petani yang diperbaiki diartikan sebagai kebiasan petani yang
dikombinasikan dengan perbaikan teknik konservasi tanah, sedangkan teknologi
pengelolaan lahan yang diintroduksi/perbaikan teknologi didefinisikan sebagai cara
berusaha tani kentang dengan memperhatikan kaidah konservasi tanah dan pemupukan
berimbang.
Penelitian superimposed dilakukan untuk meneliti lebih lanjut mengenai teknik
konservasi tanah dan pengelolaan hara terpadu sehingga diperoleh informasi lebih detil
dan akurat untuk menyempurnakan teknologi pengelolaan lahan pada kegiatan on-farm
research.
13
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Pada awal kegiatan dilakukan evaluasi penelitian tahun sebelumnya (tahun 2010).
Selanjutnya dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap perlakuan penelitian yang telah
diaplikasikan pada tahun 2010. Penelitian terdiri dari 2 (dua) kegiatan, yaitu: (1) On-
farm Research (SUT – KTA), 2) Super-imphosed-trial (SIT - KTA) tentang : Alternatif
teknologi konservasi tanah untuk pengendalian erosi dan kehilangan hara pada budidaya
sayuran dataran tinggi.
3.3. Bahan dan Metode Penelitian
3.3.1. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan khemikali, dan
bahan penunjang penelitian seperti pupuk, benih, pestisida, rumput penguat, kayu, seng,
cat, paku, tali rafia, karung karuna, ember plastik, kantong plastik, dll. Selain itu, untuk
mendukung kegiatan penelitian diperlukan alat tulis dan kertas (ATK), dan peralatan
operasional lainnya.
3.3.2. Metode penelitian (1) On-Farm Research Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan
Sayuran
Penelitian dilaksanakan pada lahan petani kentang di Desa Talun Berasap,
Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Jambi dengan sub ordo tanah Hapludult.
Lahan yang digunakan seluas 1 ha. Model sistem usahatani konservasi yang diteliti terdiri
dari:
1. Teknologi pengelolaan lahan praktek petani/Farmer practices (P1)
2. Teknologi pengelolaan lahan praktek petani yang diperbaiki/ Partially improved farmer
practices (P2= Praktek petani + teknik konservasi/KTA)
3. Teknologi pengelolaan lahan yang diintroduksi/Fully improved technology (P3= Teknik
konservasi + pupuk organik dan anorganik).
Teknologi konservasi tanah dan pemupukan (untuk tanaman kentang) yang
diterapkan pada perlakuan P1 adalah bedengan searah lereng, pada P2 adalah bedengan
searah lereng + setiap 5 m dibuat guludan searah kontur, sedangkan pada perlakuan P3
14
adalah bedengan searah kontur. Pada ketiga perlakuan diberikan pupuk sesuai dosis
pemupukan berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan hara tanaman kubis, yaitu 180
kg N ha-1, 105 kg P2O5 ha-1 dan 60 kg K2O ha-1 dan kentang 200 kg N ha-1, 250 kg P2O5
ha-1 dan 200 kg K2O ha-1 disertai dengan 10 t ha-1 pupuk kandang untuk kedua tanaman
tersebut.
(2) Super-Imphosed Trial : Alternatif teknologi konservasi tanah untuk pengendalian erosi dan kehilangan hara pada budidaya sayuran dataran tinggi
Penelitian mengunakan rancangan acak kelompok (RAK), 3 ulangan dengan
perlakuan sebagai berikut: (1) kontrol, yaitu praktek budidaya yang umum dilakukan
petani yaitu bedengan atau barisan tanaman searah lereng (KTA-1), (2) bedengan searah
lereng, setiap 5 meter dipotong teras gulud (KTA-2), (3) bedengan searah lereng, setiap
5 meter dipotong teras gulud + rorak yang dibuat pada saluran pembuang air (SPA) di
samping teras gulud, (KTA-3) dan (4) bedengan searah kontur (KTA-4). Petak perlakuan
akan dilengkapi dengan bak penampung aliran permukaan dan erosi. Penelitian akan
dilengkapi dengan sebuah alat penakar curah hujan yang dipasang di bagian bawah areal
percobaan.
Plot percobaan berukuran lebar 3 m dan panjang 20 m dengan tanaman
indikator kubis – kentang. Dari setiap perlakuan teknik konservasi yang dicoba akan
dihitung neraca haranya.
Neraca hara secara matematis dihitung berdasarkan formula yang dikemukakan
Sukristiyonubowo (2007) sebagai berikut:
Neraca Hara (NH) = Hara yang masuk – hara yang terangkut keluar ……….. (1)
Hara yang masuk mencakup hara yang berasal dari pupuk mineral (IN-1), hara dari
pupuk organik/kompos (IN-2), hara yang terbawa dari air irigasi (IN-3) dan yang berasal
dari air hujan (IN-4). Sementara, hara yang hilang mencakup hara yang terangkut oleh
hasil panen (OUT-1), sisa tanaman (OUT-2), dan erosi (OUT 3). Kehilangan hara melalui
penguapan terutama untuk nitrogen (Ammonia Volatilization) untuk sementara belum
diperhitungkan karena tidak dilakukan pengukuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kehilangan nitrogen melalui penguapan (ammonia volatilization) tergolong besar, antara
13 – 44.6 kg N ha-1 (Chao et al., 2006; Chodary et al., 2006; Fan et al., 2006; Ghost and
15
Bhat. 1998; Hayashi et al., 2006; Monolov et al., 2003; Xing and Zhu. 2000). Dengan
demikian neraca hara dapat dihitung berdasarkan formula, sebagai berikut:
NH= (IN-1+ IN-2+IN-3+IN-4) – (OUT-1 + OUT-2 + OUT-3) …………………….. (2)
3.4. Parameter yang diamati dan Analisis data
(1) On-Farm Research Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan Sayuran
Variabel yang diamati pada kegiatan ini adalah :
1. Sifat fisika tanah sebelum tanam dan sesudah panen.
2. Sifat kimia tanah sebelum tanam dan sesudah panen.
3. Pertumbuhan dan hasil tanaman.
4. Hama dan penyakit tanaman
5. Input dan out-put usahatani.
6. Respon, persepsi dan preferensi petani.
Data sifat-sifat tanah, dan respons petani yang telah dikumpulkan dianalisis secara
statistik-deskriptif, sedangkan data pertumbuhan dan hasil tanaman dianalisis secara
statistik menggunakan program SAS. Analisis finansial menggunakan B/C rasio dan
Marginal Rate of Return (MRR) sesuai dengan perlakuan yang diuji sehingga setiap
perlakuan dapat dibandingkan. Hasil analisis statistik dan analisis finansial (peningkatan
produksi > 20%) akan digunakan untuk menentukan rekomendasi inovasi teknologi
pengelolaan lahan pada pertanaman kentang di dataran tinggi.
(2) Super-Imphosed Trial : Alternatif teknik konservasi tanah untuk pengendalian erosi dan kehilangan hara pada budidaya sayuran dataran tinggi.
Parameter utama yang diamati adalah sifat fisik tanah sebelum tanam dan
sesudah panen; jumlah tanah yang tererosi; volume aliran permukaan; kandungan hara
dalam : air hujan, tanah, sedimen, dan tanaman; konsentrasi sedimen dalam aliran
permukaan; serta pertumbuhan dan hasil tanaman. Pengamatan dilakukan secara
kumulatif untuk setiap musim tanam. Selain itu dihitung pengkayaan hara (enrichment
ratio), yaitu perbandingan unsur hara dalam sedimen terangkut aliran permukaan dan
kandungan hara dalam tanah untuk setiap musim tanam.
16
Data hasil pengamatan dianalisis ANOVA sesuai dengan rancangan percobaan
yang digunakan untuk masing-masing kegiatan dengan taraf kepercayaan 95 % dan 99
% atau taraf nyata 1 % dan 5 %. Selain itu dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple
Range Test ( DMRT) pada taraf 1 % dan 5 %.
Analisis Resiko
Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas teknik
konservasi dalam menanggulangi erosi, aliran permukaan dan kehilangan hara pada
pertanaman kentang. Oleh karena itu, pertanaman kentang harus dilaksanakan pada
musim hujan. Puncak hujan terjadi pada bulan Desember, sehingga untuk
mengantisipasi kegagalan panen akibat kemungkinan serangan penyakit, karena
tingginya curah hujan, maka faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah :
- faktor biofisik (tanah, curah hujan dan kemiringan tanah) harus dikondisikan
sedemikian rupa sehingga tercipta drainase tanah yang kondusif bagi
pertumbuhan tanaman.
- bibit tanaman, terutama varietas yang unggul dan dilakukan seed treatment
agar tanaman kebal terhadap serangan penyakit.
- pengaturan pola tanam. Agar pertanaman kentang terjadi pada musim hujan,
maka harus ada tanaman pada musim sebelumnya, sehingga tidak terjadi
kekosongan (bera) dan petani tidak dirugikan.
- keterlambatan tanam yang diakibatkan oleh terlambat turunnya dana, maka
harus diusahakan adanya dana talangan dengan cara meminjam sementara
agar dapat tanam tepat pada waktunya.
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. On-Farm Research Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan Sayuran
Karakteristik sifat fisik tanah awal
Lokasi penelitian terletak di kaki Gunung Kerinci pada posisi 01o41”58,3” LS dan
101o20’50,3” BT, berbahan induk volkan pada fisiografi kaki gunung dengan kemiringan
berombak sampai bergunung.
Hasil analisis sifat fisik tanah awal pada masing-masing blok on farm yaitu blok P-
1, perlakuan usahatani sayuran yang biasa dilakukan petani (menanam tanaman searah
lereng), blok P-2, usahatani dengan perbaikan teknik konservasi (searah lereng, setiap 5
m dipotong gulud), dan P-3, usahatani sayuran dengan teknik konservasi
penanaman/barisan tanaman searah kontur disajikan pada Tabel 1 s/d Tabel 3.
Tabel 1. Sifat fisik tanah awal lokasi penelitian pada blok P-1 di Desa Talun Berasap,
Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
Sifat Fisik Tanah
P-1
(0-20)cm Kategori (20-40)cm Kategori Kadar Air (% vol) 54,30 56,20 BD (g/cm3) 0,55 0,53 PD (g/cm3) 1,87 1,96 Ruang Pori Total (RPT) (% vol) 70,57 tinggi 73,00 tinggi Pori drainase (% volume) Cepat (PDC) 20,27 tinggi 20,87 tinggi Lambat (PCL) 5,73 rendah 5,97 rendah Air Tersedia (% vol) 24,97 tinggi 28,73 tinggi Permeabilitas (cm/jam) 6,57 agak cepat 6,90 agak cepat Tekstur Pasir (%) 46,33
Lempung
48,67 Lempung
Debu (%) 44,33 43,67 Liat %) 9,33 7,67 Kestabilan Agregat % Agregat 43,33 49,10 Indeks (IKA) 98,17 sangat baik 83,03 sangat baik Perkolasi (cm/jam) 64,44 sangat cepat 88,86 sangat cepat
Hasil analisis sifat fisik pada blok P-1 memperlihatkan bahwa tanah mempunyai
BD rendah, partikel density (PD) 1,87 – 1,96 g/cm3, ruang pori total (RPT) tinggi , pori
18
drainase cepat (PDC), dan pori air tersedia (AT) yang tinggi baik pada lapisan 0-20 cm
maupun pada 20-40 cm dari permukaan tanah (Tabel 1). Selain itu, mempunyai pori
drainase lambat (PDL) rendah, air tersedia (AT) yang tinggi, permeabilitas agak cepat,
iindeks stabilitas sangat baik pada lapisan atas (0-20 cm) maupun pada lapisan bawah
(20-40 cm). Tanah mempunyai laju perkolasi yang cepat pada lapisan atas dan sangat
cepat pada lapisan bawah. Tanah bertekstur lempung baik pada lapisan atas maupun
pada lapisan bawah (Tabel 1)
Blok perlakuan on-farm P-2, mempunyai BD 0,62 – 0,66 g/cm3, PD 2,10 – 2,22
g/cm3, RPT, PDC,dan AT yang tinggi baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah.
Tanah mempunyai PDL yang rendah , permeabilitas sedang dan perkolasi sangat cepat
dan tekstur lempung baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah (Tabel 2).
Tabel 2. Sifat fisik tanah awal lokasi penelitian pada blok P-2 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
Sifat Fisik Tanah
P-2
(0-20)cm Kategori (20-40)cm Kategori Kadar Air (% vol) 47,23 51,83 BD (g/cm3) 0,69 0,62 PD (g/cm3) 2,10 2,22 Ruang Pori Total (% vol) 66,43 tinggi 71,73 tinggi Pori drainase (% vol) cepat 19,90 tinggi 21,90 tinggi lambat 5,93 rendah 5,13 rendah Air tersedia (% vol) 23,57 tinggi 24,63 tinggi Permeabilitas (cm/jam) 3,62 sedang 5,18 sedang Tekstur Pasir (%) 51,33 54,33 Debu (%) 40,00 Lempung 39,00 Lempung Liat (%) 8,67 6,67 Kestabilan Agregat % Agregat 52,83 50,43 Indeks (IKA) 77,13 baik 82,03 sangat baik Perkolasi (cm/jam) 60,06 sangat cepat 68,08 sangat cepat
Blok penelitian on-farm P-3 mempunyai BD rata-rata 0,67 g/cm3, PD 2,14 g/cm3,
RPT, PDL, dan AT yang tinggi baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah. Selain itu
tanah pada Blok P-3 mempunyai PDL rendah, permeabilitas sedang pada lapisan atas dan
agak cepat pada lapisan bawah, serta indeks agregat stabilitas agregat sangat baik pada
19
lapisan atas maupun bawah dan perkolasi sangat cepat baik pada lapisan atas maupun
bawah (Tabel 3).
Tabel 3. Sifat fisik tanah awal lokasi penelitian pada blok P-3 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
Sifat Fisik Tanah P-3
(0-20)cm Kategori (20-40)cm Kategori Kadar Air (% vol) 46,67 49,50 BD (g/cm3) 0,68 0,66 PD (g/cm3) 2,15 2,13 Ruang Pori Total (% vol) 68,10 tinggi 68,70 tinggi Pori drainase (% vol) cepat 19,47 tinggi 19,97 tinggi lambat 5,63 rendah 5,77 rendah Air tersedia (% vol) 23,90 tinggi 20,90 tinggi Permeabilitas (cm/jam) 5,47 sedang 7,23 agak cepat Tekstur Pasir (%) 43,67 45,00 Debu (%) 48,67 Lempung 48,00 Lempung Liat (%) 7,67 7,00 Kestabilan Agregat % Agregat 43,27 43,63 Indeks (IKA) 114,50 sangat baik 90,20 sangat baik Perkolasi (cm/jam) 66,91 sangat cepat 68,78 sangat cepat
Karakteristik sifat kimia tanah awal
Selain dilakukan analisis sifat fisik tanah dilakukan juga analisis sifat kimia tanah.
Analisis dilakukan terhadap pH, C- organik, N-organik, C/N ratio, KTK, Basa-basa dapat
ditukar, KB, Aldd dan Hdd. Hasil analisis kimia tanah untuk masing-masing blok on-farm
research P-1, P-2 dan P-3 disajikan masing-masing pada Tabel 4, 5 dan 6.
Tanah pada blok P-1 mempunyai pH masam, kandungan bahan organik yang
sangat tinggi, C/N ratio rendah, kandungan P2O5 dan K2O (ekstrak 25 % HCl) sangat
rendah, P tersedia tinggi pada lapisan atas dan sedang pada lapisan bawah, KTK dan KB
tergolong sedang baik pada lapisan atas maupun pada lapisan bawah, serta Al-dd yang
sangat rendah (Tabel 4).
20
Tabel 4 Sifat kimia tanah awal lokasi penelitian pada blok P-1 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
Sifat Kimia (0-20) cm Kriteria (20-40) cm Kriteria pH
H2O 5.42 masam 5.61 agak masamKCl 4.91 5.04
Bahan Organik C (%) 5.42 sangat tinggi 4.89 tinggiN (%) 0.79 sangat tinggi 0.70 tinggiC/N 7.06 rendah 7.29 rendah
Ekst. HCl 25 % P2O5 (mg/kg) 1413.36 sangat rendah 920.27 sangat rendahK2O (mg/kg) 128.01 sangat rendah 112.13 sangat rendah
Bray 1 P2O5 (mg/kg) 10.96 tinggi 8.17 sedang
Basa2-dd Ca-dd (cmol+/kg) 0.24 sangat rendah 0.20 sangat rendahMg-dd cmol+/kg) 9.34 sangat tinggi 9.18 sangat tinggiK-dd (cmol+/kg) 0.81 tinggi 0.82 tinggiNa-dd (cmol+/kg) 0.10 rendah 0.08 sangat rendahJumlah 10.49 10.28
KTK (cmol+/kg) 22.86 sedang 20.31 sedangKB (%) 45.54 sedang 50.67 sedangEkst. HCl 1 M
Ad-dd (cmol+/kg) 0.11 sangat rendah 0.04 sangat rendahH-dd(cmol+/kg) 0.12 0.14
Sifat kimia tanah pada blok P-1, mempunyai karakteristik yang tidak terlalu
berbeda dengan blok P-1, kecuali KTK yang tinggi pada lapisan atas dan rendah pada
lapisan bawah serta KB yang rendah baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah (Tabel
5).
Demikian juga halnya dengan sifat kimia tanah pada blok P-3, mempunyai
karakteristik yang tidak berbeda dengan sifat kimia tanah pada blok P-1 (Tabel 6)
21
Tabel 5 Sifat kimia tanah awal lokasi penelitian pada blok P-2 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
Sifat Kimia (0-20) cm Kriteria (20-40) cm Kriteria pH
H2O 4.90 masam 5.44 masamKCl 4.60 5.11
Bahan Organik C (%) 5.44 sangat tinggi 2.87 sedangN (%) 0.77 sangat tinggi 0.37 sedangC/N 7.06 rendah 7.83 rendah
Ekst. HCl 25 % P2O5 (mg/kg) 1869.72 sangat rendah 258.13 sangat rendahK2O (mg/kg) 113.73 sangat rendah 62.82 sangat rendah
Bray 1 P2O5 (mg/kg) 14.04 tinggi 0.98 sangat rendah
Basa2-dd Ca-dd (cmol+/kg) 0.18 sangat rendah 0.08 sangat rendahMg-dd (cmol+/kg) 5.65 tinggi 3.25 tinggiK-dd (cmol+/kg) 0.42 sedang 0.23 rendahNa-dd (cmol+/kg) 0.01 sangat rendah 0.32 rendahJumlah 6.26 3.89
KTK (cmol+/kg) 24.76 tinggi 15.31 rendahKB (%) 25.30 rendah 25.18 rendahEkst. HCl 1 M
Ad-dd (cmol+/kg) 0.36 sangat rendah 0.05 sangat rendahH-dd(cmol+/kg) 0.07 0.05
22
Tabel 6 Sifat kimia tanah awal lokasi penelitian pada blok P-3 di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
Sifat Kimia (0-20) cm Kriteria (20-40) cm Kriteria pH
H2O 5.12 masam 5.44 masamKCl 4.98 5.27
Bahan Organik C (%) 4.52 tinggi 2.76 sedangN (%) 0.53 tinggi 0.34 sedangC/N 8.52 rendah 8.13 rendah
Ekst. HCl 25 % P2O5 (mg/kg) 1222.25 sangat rendah 306.58 sangat rendahK2O (mg/kg) 73.23 sangat rendah 80.72 sangat rendah
Bray 1 P2O5 (mg/kg) 3.49 sangat rendah 0.42 sangat rendah
Basa2-dd Ca-dd (cmol+/kg) 0.08 sangat rendah 0.11 sangat rendahMg-dd (cmol+/kg) 4.73 tinggi 2.76 tinggiK-dd (cmol+/kg) 0.38 rendah 0.27 rendahNa-dd (cmol+/kg) 0.06 sangat rendah 0.01 sangat rendahJumlah 5.25 3.15
KTK (cmol+/kg) 18.08 sedang 22.31 sedangKB (%) 28.63 rendah 13.80 sangat rendahEkst. HCl 1 M
Ad-dd (cmol+/kg) 0.03 sangat rendah 0.00 sangat rendahH-dd(cmol+/kg) 0.16 0.10
Implementasi perlakuan
Ada 3 perlakuan yang diimplementasikan pada kegiatan on-farm research ini yaitu
perlakuan P-1, P-2 dan P-3. Jenis perlakuan, kemiringan dan luas masing-masing
perlakuan disajikan pada Tabel 7.
23
Tabel 7. Jenis perlakuan, kemiringan dan luas masing-masing perlakuan pada kegiatan on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec.Gunung Tujuh, Kab. Kerinci, Provinsi Jambi , 2011
Simbol Perlakuan Jenis Perlakuan Kemiringan (%) Luas (ha) P-1 Cara petani, barisan tanaman
sejajar lereng 15 0,30
P-2 Barisan tanaman sejajar lereng, dipotong gulud setiap panjang lereng 5 m
18 0,30
P-3 Barisan tanaman sejajar kontur 27 0,40
Keragaan on-farm research sesudah implementasi perlakuan sebelum ditanami
pada Blok P-1, P-2 dan P-3 masing-masing dapat dilihat pada Gambar 1, 2 dan 3.
Gambar 1. Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan, sebelum diitanami pada Blok P-1 (cara petani, barisan tanaman sejajar lereng) di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
24
Gambar 2. Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan, sebelum
diitanami pada Blok P-2 (barisan tanaman sejajar lereng, dipotong gulud setiap panjang lereng 5 m), di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Gambar 3. Keragaan on-farm research setelah implementasi perlakuan, sebelum
diitanami pada Blok P-3 (barisan tanaman sejajar kontur), di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
25
Pertumbuhan tanaman Keragaan pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman maupun diameter kanopi
tanaman kubis terlihat berbeda antar perlakuan. Perlakuan P-1 selalu mempunyai tinggi
tanaman yang lebih tinggi dari perlakuan P-2 dan P-3 (Gambar 4). Demikian juga halnya
dengan diameter kanopi, perlakuan P-1 selalu mempunyai diameter kanopi tanaman
kubis yang lebih tinggi dari perlakuan P-2 dan P-3 (Gambar 5).
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
2 4 6
Umur tanaman (MST)
Ting
gi ta
nam
an (c
m)
P-1
P-2
P-3
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
8 10 12
Umur tanaman (MST)
Dia
met
er k
anop
i (cm
)
P-1
P-2
P-3
Keterangan : MST = minggu setelah tanam Gambar 4. Pengaruh teknik konservasi tanah
terhadap tinggi tanaman kubis pada On-Faram Research SUT-KTA di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Keterangan : MST = minggu setelah tanam Gambar 5. Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap diameter kanopi kubis pada On-Faram Research SUT-KTA di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Hasil tanaman
Hasil tanaman kubis dalam hal berat segar tanaman /crop tanaman kubis pada
saat panen memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan sistem usahatani
konservasi yang berbeda pada kegiatan on-farm research. Perlakuan P-2 (tanaman
sejajar lereng, dipotong gulud setiap panjang lereng 5 m) memberikan hasil tanaman
yang tertinggi dan berbeda dengan perlakuan lainnya, diikuti oleh perlakuan P-3
(tanaman sejajar kontur) dan perlakuan P-1 memberikan hasil yang paling rendah (Tabel
8).
26
Tabel 8 Berat segar crop kubis pada saat panen untuk setiap model sistem usahatani konservasi pada kegiatan on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Sistem usahatani konservasi
Ulangan
Rata-rata (t/ha)
I II III P1 = tanaman searah lereng 2.7 3.1 3.2 3.0
P2 = tanaman searah lereng,
Setiap 5 m dipotong gulud 9.0 7.6 6.5 7.7
P3 = tanaman searah kontur 6.2 5.1 7.7 6.3
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda untuk taraf 5 % DMRT
Analisis Input-Output Usahatani Konservasi pada Pertanaman Kubis
Tabel 8 merupakan dasar dalam analisis finansial usahatani dengan harga pasar
kubis pada bulan September 2011 adalah Rp 1000 kg-1. Penggunaan bibit Kubis dan
pupuk (organik dan anorganik) pada setiap perlakuan on-farm disajikan pada Tabel 9.
dengan harga pasar sarana produksi tersebut adalah bibit kubis Rp 11.000/bungkus,
pupuk urea Rp 1.600 kg-1, pupuk SP36 Rp 2.600 kg-1, pupuk KCl Rp 10.000 kg-1, dan
pupuk kandang Rp 300 kg-1.
Tabel 9. Penggunaan bibit Kubis dan pupuk pada penelitian on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Hasil analisis finansial usahatani kubis pada penelitian on-farm disajikan pada
Tabel 10.
Bibit dan pupuk Perlakuan
P1 P2 P3
Kubis (bungkus) 12 12 12
Urea (kg ha-1) 200 200 200
SP36 (kg ha-1) 150 150 150
KCl (kg ha-1) 100 100 100
Pupuk Kandang (kg ha-1) 10.000 10.000 10.000
27
Tabel 10. Analisis finansial usahatani Kubis pada penelitian on-farm research di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Deskripsi
Perlakuan
P1 P2 P3 A Biaya Upah -Persemaian
1 Persemaian 110.000 110.000 110.0002 Pemeliharaan 170.000 170.000 170.000
-Tanam s/d panen 1 Pengolahan tanah 450.000 600.000 540.0002 Tanam 250.000 280.000 260.0003 Pemupukan 210.000 240.000 220.0004 Pemeliharaan 750.000 750.000 750.0005 Panen 200.000 200.000 200.000
Sub-total (A) 2.140.000 2.350.000 2.250.000B Biaya Bahan
1 Bibit 132.000 132.000 132.0002 Urea 440.000 440.000 440.0003 SP36 570.000 570.000 570.0004 KCl 620.000 620.000 620.0005 Pupuk Kandang 1.000.000 1.000.000 1.000.000
Sub-total (B) 2.762.000 2.762.000 2.762.000 Total (A+B) (Input) 4.902.000 5.112.000 5.012.000C Nilai Produksi (Out-put) 3.000.000 7.700.000 6.300.000D Keuntungan (Rp) -1.902.000 2.588.000 1.288.000F B/C rasio 0,61 1,51 1,26
Persepsi dan Preferensi Petani
Selama kegiatan focus group discussion (FGD) dilakukan diskusi atau tanya
jawab. Usul/saran/pendapat petani pada kegiatan FGD tersebut diantaranya adalah :
1. Perlu ada perlakuan penelitian yang dapat menyimpulkan pentingnya peranan
bahan organik atau pupuk kandang (saran petani tersebut sudah terjawab dari
kegiatan riset TA 2010, sehingga pada TA 2011 tidak ada perlakuan tanpa pupuk
kandang), dan pada TA 2012 perlu dipertimbangkan lagi mengenai perlakuan
tersebut.
28
2. Perlu penjelasan (akademik) yang dapat dimengerti oleh petani tentang
pentingnya bahan organik dalam pengelolaan lahan untuk sayuran (mungkin perlu
melibatkan penyuluh pertanian untuk menjelaskan hal tersebut karena bahasa
peneliti agak sulit dimengerti oleh petani)
3. Perlu ada muatan aspek pengendalian OPT karena tanaman kentang (pada saat
FGD, tanaman di lapang adalah kentang) sangat rentan terhadap hama dan
penyakit terutama jika ditanam menjelang musim hujan (hasil analisis mikrobiologi
tanah oleh Pak Edi Santosa perlu disampaikan kepada petani, juga perlu
mengundang pakar penyakit kentang untuk menjelaskan cara pengendalian OPT
pada kentang)
4. Perlu ada pembanding teknologi tingkat petani, misalnya dalam hal benih kentang
yang digunakan (benih generasi lama vs generasi baru yang diperlakukan dengan
aspek KTA dan pemupukan sesuai dosis rekomendasi). Penelitian TA 2011 tidak
bisa menjawab langsung hal tersebut karena design perlakuan sudah ditetapkan,
tetapi jalan keluarnya adalah dengan melakukan observasi dan pengamatan
terhadap tanaman kentang petani di sekitar lokasi penelitian. Observasi ini terkait
juga dengan aspek OPT seperti dinyatakan pada Butir 3.
5. Analisis perlu dilakukan sampai pada suatu kesimpulan bahwa perlakuan tertentu
itu baik secara teknis dan menguntungkan secara ekonomi
Pada saat observasi lapangan ada beberapa hal terkait dengan persepsi petani
mengenai perlakuan penelitian diantaranya :
1. Petani mengira bahwa dalam praktek budidaya kentang mesti menggunakan
plastik pembatas lahan, dan membuat alat penampung erosi tanah dan air aliran
permukaan. Dengan demikian pelaksanaan FGD dan observasi lapangan saat
tanaman belum tumbuh sangat tepat untuk meluruskan persepsi petani yang tidak
tepat tersebut. Apa yang mereka lihat itu adalah perlakuan penelitian yang tidak
harus seluruhnya ditiru atau diterapkan pada bidang lahan usahatani mereka.
2. Menurut petani kebutuhan tenaga kerja dari cara perlakuan konservasi tanah
yang diteliti adalah sebagai berikut:
29
Kode Perlakuan Kebutuhan TK pembuatan bedengan (skala)
KTA1 (cara petani) 10
KTA2 (searah lereng dipotong guludan) 12
KTA3 (searah lereng dipotong guludan dan rorak) 13
KTA4 (searah kontur) 11
Perlakuan KTA4 (bedengan searah kontur) akan memerlukan tenaga kerja yang
lebih banyak pada saat membuat bumbunan, sekitar 150% dari cara petani (KTA1).
3. Para petani sepakat bahwa perlakuan KTA3 efektif dalam mengurangi erosi tanah
tetapi memelukan tenaga kerja tambahan untuk mengangkat tanah yang
tertimbun di dalam rorak (parit-parit). Informasi efektivitas teknik KTA dalam
mencegah erosi dan kehilangan unsur hara sangat penting bagi petani untuk
merubah persepsinya selama ini terkait dengan cara pembuatan bedengan
tanaman sayuran.
4. Setelah panen kentang (ada data hasil tanaman kentang), petani akan lebih bisa
membandingkan perbedaan antar perlakuan terhadap hasil tanaman.
5. Sebagian petani menyatakan sesekali akan melihat lokasi penelitian tersebut
untuk memperhatikan perkembangan tanaman kentangnya
6. Perlu ada FGD saat panen sekaligus membahas aspek keuntungan masing-masing
perlakuan tersebut.
30
Gambar 6. Kegiatan FGD pada penelitian On Farm Research (SUT_KTA) di Desa Talun
Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi 4.1.2. Super-Imphosed Trial : Alternatif Teknik konservasi tanah (SIT-KTA)
untuk pengendalian erosi dan kehilangan hara pada budidaya sayuran dataran tinggi
Karakteristik sifat fisik dan kimia tanah awal
Kegiatan ini dilaksanakan di setiap perlakuan on-farm yaitu pada Blok P-1, P-2 dan
P-3. Dengan demikian sifat fisik dan kimia tanah awal kegiatan penelitian ini sama
dengan pada kegiatan penelitian on-farm yang telah disajikan sebelumnya.
Pemasangan soil-colector
Pemasangan soil – colector pada kegiatan penelitian ini telah dilaksanakan pada
bulan April dan Mei 2011. Keragaan plot percobaan setelah pemasangan soil colector
dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
31
Gambar 7. Pemasangan soil-colector untuk 4 perlakuan, sebelum diitanami pada Blok P-2 di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Gambar 8. Pemasangan soil - colector untuk 4 perlakuan, sebelum diitanami pada Blok P-3 di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
32
Implementasi perlakuan
Setelah kegiatan pemasangan soil – colector selesai dilakukan pada ke-3 Blok on-
farm (4 x 3 = 12 plot), maka ke-4 perlakuan teknik konservasi dilaksanakan. Adapun le-4
perlakuan tersebut adalah : (1) kontrol, yaitu praktek budidaya yang umum dilakukan
petani yaitu bedengan atau barisan tanaman searah lereng (KTA-1), (2) bedengan searah
lereng, setiap 5 meter dipotong teras gulud (KTA-2), (3) bedengan searah lereng, setiap
5 meter dipotong teras gulud + rorak yang dibuat pada saluran pembuang air (SPA) di
samping teras gulud, (KTA-3) dan (4) bedengan searah kontur (KTA-4). Keragaan ke-4
perlakuan pada Blok P-1 dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Implentasi 4 perlakuan teknik konservasi tanah, sebelum diitanami pada Blok P-1 di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Pesemaian, penanaman dan keragaan tanaman pada kegiatan penelitian SUT – KTA dan SIT - KTA Pesemaian tanaman kubis dilaksanakan pada bulan Mei 2011. Setelah 3 sampai 4
minggu, ternyata pertumbuhan tanaman kubis di pesemaian tidak terlalu bagus, sehingga
diputuskan untuk menggantinya dengan bibit kubis yang siap tanam yang bersumber dari
33
petani penangkar bibit yang berada di sekitar lokasi percobaan. Keragaan pesemaian
kubis di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.
Pada tanggal 28 Juni 2011 dilaksanakan penanaman kubis dengan memakai bibit
tersebut diatas. Namun setelah 2 – 3 minggu ternyata hampir 50 % tanaman kubis di
lapang mengalami kematian karena kekurangan air/kekeringan. Curah hujan selama
bulan Juni s/d September (4 bulan) hanya mencapai 388,5 mm dengan jumlah hari hujan
23 hari (Tabel 11)
Gambar 10. Keragaan pesemaian kubis pada kegiatan penelitian SUT- KTA dan SIT - KTA di Desa Talun Berasap, Kec. Gumung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Tabel 11. Distribusi curah hujan selama pertanaman Kubis di Desa Talun Berasap,
Kecamatan Gunung Tujuh, Jambi, 2011
Bulan Hari hujan (hari) Curah hujan (mm) Juni 4 31,0Juli 8 170,5Agustus 3 41,5September 8 145,5Jumlah 23 388,5
34
Pertumbuhan Tanaman
Keragaan pertumbuhan tanaman dalam hal tinggi tanaman terlihat tidak berbeda
antar perlakuan teknik konservasi (Gambar 11). Perlakuan teknik konservasi memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan diameter kanopi tanaman (Gambar 12).
Perlakuan KTA-4 (barisan/bedengan tanaman searah kontur) memberikan pengaruh yang
terbaik terhadap perkembangan diameter tanaman pada umur 10 dan 12 minggu setelah
tanam. Pengaruh ini tidak berbeda dengan perlakuan KTA-3 (barisan tanaman searah
llereng, setiap 5 m panjang lereng dibuat gulud + rotrak), tetapi berbeda dengan
perlakuan KTA-2 (barisan/bedengan tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m
panjang lereng) dan KTA-1 (cara petani, barisan tanaman searah lereng) (Gambar 12).
0.02.04.06.08.0
10.012.014.016.018.020.0
2 4 6
Umur tanaman (MST)
Ting
gi ta
nam
an (c
m)
TKA-1
TKA-2
TKA-3
TKA-4
13.5
14.0
14.5
15.0
15.5
16.0
16.5
17.0
8 10 12
Umur tanaman (MST)
Dia
met
er k
anop
i (cm
)TKA-1
TKA-2
TKA-3
TKA-4
Keterangan : MST = minggu setetelah tanam Gambar 11 Pengaruh teknik konservasi tanah
terhadap tinggi tanaman kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Keterangan : MST = minggu setetelah tanam Gambar 12. Pengaruh teknik konservasi
tanah terhadap diameter kanopi kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Hasil tanaman
Teknik konservasi tanah secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap
populasi tanaman saat panen, namun memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil
tanaman (berat segar crop). Perlakuan KTA-3 memberikan hasil yang tertinggi, diikuti
oleh KTA-1, kemudian KTA-2 , dan KTA-4 memberikan hasil tanaman yang paling rendah
(Tabel 12).
35
Tabel 12 Pengaruh teknik konservasi terhadap populasi tanaman saat panen dan berat segar crop kubis di Desa Talun Berasap, Kec. Gunung Tujuh, Kab Kerinci, Jambi
Perlakuan
Jumlah tanaman saat panen
Berat crop
Berat crop
(tan/plot) (tan/ha) (kg/plot) (t/ha) KTA-1 88 14611 a 186.2 31.028 b KTA-2 88 14722 a 174.8 29.139 c KTA-3 87 14556 a 196.8 32.806 a KTA-4 89 14778 a 156.3 26.056 d
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda untuk
taraf 5 % DMRT, KTA-1 = teknik konservasi petani, penanaman searah lereng, KTA-2 = teknik petani, dipotong guludan setiap 5 m, KTA-3 = teknik petani, setiap 5 m dipotong gulud dan rorak, KTA-4 = penanaman searah kontur
4.2. Pembahasan
4.2.1. On-Farm Research Sistem Usahatani Konservasi (SUT-KTA) di Lahan Sayuran
Karakteristik sifat fisik tanah awal Secara umum, tanah di lokasi penelitian mempunyai sifat fisik tanah yang cukup
bagus dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Apabila membandingkan sifat fisik
tanah awal pada ketiga Blok perlakuan on-farm (P-1. P-2 dan P-3), tidak terdapat
perbedaan yang menyolok diantara ketiganya. Semua mempunyai sifat fisik yang hampir
sama yaitu mempunyai BD < 0,80 g/cm3 yang berkisar dari 0,50 s/d 0,70 g/cm3. Ini
mengindikasikan bahwa tanah di lokasi penelitian mempunyai sifat andik, sehingga tanah
kemungkinan besar termasuk Ordo Andisol. Hal ini juga dibuktikan dengan nilai partikel
density yang < 2,6 g/cm3, nilai yang biasa dipunyai oleh tanah mineral. Ini
mengindikasikan bahwa tanah ini juga mempunyai kerapatan jenis jarah/partikel yang
lebih rendah dibandingkan dengan tanah mineral pada umumnya.
BD yang rendah mengakibatkan RPT yang tinggi (67 s/d 73 % volume) dengan
PDC yang tinggi ( 17 – 25 % volume) dan PDL yang rendah (4 – 8 % volume). Selain
mempunyai RPT yang tinggi, tanah ini juga mempunyai pori air tersedia yang tinggi yang
berkisar dari 18 – 34 % volume. Dengan demikian pori air tersedia (AT) menempati
kurang lebih 25 – 50 % dari RPT. Hal ini bagus untuk mendukung pertumbuhan tanaman
36
sehingga tanaman tidak kerurangan air dan atau oksigen, karena distribusi ruang pori
lebih banyak didominasi oleh ukuran pori yang menguntungkan bagi tanaman (pori air
tersedia).
Stabilitas agregat tanah berkontribusi terhadap distribusi ruang pori yang
seimbang dalam tanah. Tingginya RPT, PDC dan AT mengindikasikan adanya agregasi
yang baik dalam tanah. Dan hal ini dibuktikan dengan adanya agregasi yang sangat baik
yang dicerminkan oleh adanya persentase agregat dabn nilai indeks stabititas agregat
yang tergolong sangat stabil.
Tanah di lokasi penelitian mempunyai tekstur tanah lempung. Ini berarti terdapat
susunan yang relatif seimbang diantara partikel-partikel tanah primer. Ini juga
menguntungkan tanaman, sehingga akar tanaman dapat lebih petretrasi ke lapisan tanah
yang lebih dalam yang selanjutnya akar tanaman lebih mudah mengekstrak air dan atau
unsur hara dari dalam tanah untuk mendukung pertumbunhannya.
Yang harus diwaspadai dari sifat fisik tanah ini adalah adanya sifat perkolasi atau
kemampuan melalukan air yang cepat dan tinggi, sehingga akan terjadi pencucian hara
apabila air di dalam tanah melebihi kapasitas lapang.
Implementasi perlakuan
Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam implementasi usahatani
konservasi adalah kemiringan tanah yang dicerminkan oleh nilai persen lereng. Semakin
tinggi kemiringan, semakin terbatas pilihan atau alternatif teknik konservasi yang bisa
diaplikasikan pada usahataninya dalam hal ini usahatani sayuran di dataran tinggi.
Selain hal tersebut diatas, faktor lain yang mempengaruhi adalah jenis komoditas
yang diusahakan. Komoditas sayuran adalah komoditas yang peka terhadap kondisi
drainase tanah, sehingga teknik konservasi yang diimplementasikan haruslah teknik
konservasi yang cepat mengatuskan air.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah kebiasaan petani, sehingga dalam
mengintroduksikan teknologi tidak terlalu jauh dengan apa yang biasa dilakukan petani.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlakuan teknik konservasi yang
diimplementasikan pada kegiatan on-farm research adalah seperti yang tercantum pada
Tabel 7.
37
Pertumbuhan tanaman
Perlakuan P-1 berpengaruh paling baik terhadap tinggi tanaman kubis, diikuti oleh
P-3 dan kemudian P-2 memeberikan nilai tinggi tanaman paling rendah (Gambar 4)..
Demikian juga halnya terhadap perkembangan diameter kanopi tanaman kubis, perlakuan
P-1 berpengaruh lebih baik, diikuti oleh perlakuan P-3 dan akhirnya perlakuan P-2
Gambar 5). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya kondisi tanah yang lebih kondusif
bagi pertumbuhan tanaman kubis pada perlakuan P-1, dimana tanaman ditanam sejajar
lereng, sehingga tercipta drainase yang lebih baik dan kondusif dibandingkan P-2 dan P-
3. Pada perlakuan P-2, sistem drainase agak terhambat dengan adanya guludan.
Sedangkan pada perlakuan P-3, dimana tanaman atau barisan tanaman mengikuti kontur,
sehingga drainase lebih terhambat dibandingkan P-2 yang mengakibatkan tanaman
tumbuh kurang baik (Gambar 4 dan Gambar 5).
Hasil tanaman
Berbeda dengan respon pertumbuhan tanaman terhadap perlakuan P-1, P-2 dan
P-3, hasil tanaman kubis memberikan respon yang paling baik terhadap perlakuan P-2,
diikuti oleh perlakuan P-3 dan P-1 memberikan hasil tanaman kubis yang paling rendah.
Hal ini disebabkan oleh adanya tanah dan input (pupuk, obat-obatan) yang lebih
terkonservasi, apabila turun hujan, pada perlakuan P-2 dan P- 3 dalam jangka panjang,
sehingga hasil tanaman lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan P-1 (Tabel 8).
Secara umum, hasil tanaman kubis pada kegiatan on-farm research kurang baik.
Hasil tanaman kubis hanya berkisar dari 3 sampai dengan 8 ton/ha berat segar. Hal ini
karena dalam masa pertumbuhan dan pembentukan crop, tanaman kubis mengalami
cekaman air, sehingga tanaman tumbuh tidak normal (crop kecil) dan hampir 60 persen
tananan kubis mati kekeringan, kemudian disulam, sehingga masa panen tidak serempak.
Input-Output Usahatani Konservasi pada Pertanaman Kubis Hasil analisis finansial (input – output) usahatani konservasi pada pertanaman
kubis memperlihatkan bahwa nilai hasil (out-put) dari perlakuan P-2 dan P-3 jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan P-1. Hal ini karena P-2 dan P-3 memberikan
produksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan P-1. Oleh karena itu perlakuan P-2 dan P-3
38
memberikan nilai B/C ratio > 1 yang lebih tinggi dibandingkan P-1, sedangkan perlakuan
P-1 memberikan nilai B/C ratio < 1. Ini berarti bahwa pada perlakuan P-1 usahatani
kubis merugi, sedangkan pada P-2 dan P-3, usahatani konservasi kubis menguntungkan
(Tabel 10). Lebih lanjut tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa perlakuan P-2 lebih
menguntungkan dibandingkan P-3 dan mempunyai keuntungan yang hampir dua kali lipat
P-3. Hal ini karena perlakuan P-3 disamping memberikan produksi yang lebih rendah,
juga memerlukan biaya, dalam hal ini upah tenaga kerja, yang lebih tinggi. Upah tenaga
kerja tersebut dipakai untuk pembuatan bedengan dan atau pembuatan serta penanaman
tanaman yang searah kontur.
Persepsi dan Preferensi Petani
Hasil wawancara dan kunjungan lapang selama kegiatan FGD mengindikasikan
bahwa petani cukup antusias dengan teknologi konservasi yang diintroduksikan. Petani
sepakat bahwa teknologi konservasi yang diintroduksikan akan sangat mengurangi erosi,
akan tetapi lebih banyak memerlukan waktu dan tenaga kerja. Namun demikian para
petani ingin lebih membuktikan teknik konservasi yang mana yang dapat mengurangi
erosi tetapi masih menguntungkan secara ekonomi.
Sampai dengan saat ini petani cenderung menyukai teknik konservasi KTA-2
(tanaman searah lereng, dipotong gulud setiap 5 m), karena lebih praktis dibandingkan
dengan yang lain, tetapi dapat mengurangi erosi.
Lebih lanjut FGD tersebut juga memberikan input bahwa diperlukan sosialisasi
yang lebih intensif dengan lebih banyak melibatkan penyuluh untuk transfer teknologi ke
dalam bahasa yang lebih dapat dimengerti oleh petani, terutama dalam hal pentingnya
penggunaan pupuk organik/kandang dalam usahatani konservasi. Untuk itu petani juga
bermaksud untuk mengadakan kegiatan yang sama pada saat panen tanaman kentang
nanti. Selain itu mereka juga bermaksud untuk lebih sering berkunjung dan berdiskusi
dengan petugas lapang yang ada di lokasi penelitian bekerja sama dengan penyuluh.
39
4.2.2. Super-Imphosed Trial : Alternatif Teknik konservasi tanah (SIT-KTA) untuk pengendalian erosi dan kehilangan hara pada budidaya sayuran dataran tinggi
Karakteristik sifat fisik tanah awal
Lokasi kegiatan penelitian super-imposed trial ini terletak pada Blok on-farm P-1,
P-2 dan P-3 masing-masing untuk ulangan 1, 2, dan 3, sehingga karakteristik sifat fisik
tanah awalnya sama dengan sifat fisik tanah awal pada Blok P-1, P-2 dan P-3 seperti
yang tercantum pada Tabel 1 s/d Tabel 3.
Implementasi perlakuan
Pada kegiatan ini, selain meneliti teknik konservasi yang diimplementasikan pada
kegiatan on-farm, juga mengintroduksikan teknik konservasi air rorak yang dipadukan
dengan guludan untuk mengoptimalkan resapan air agar air aliran permukaan tidak lari
ke tempat lain dan konservasi kelembaban tanah. Dengan demikian aliran permukaan
dapat lebih ditekan dan erosipun dikurangi.
Kelemahan sistem ini salah satunya adalah mengurangi luas lahan yang bisa
ditanami. Namun hal ini diharapkan dengan adanya teknik konservasi air, kehilangan
hasil akibat berkurangnya luas lahan yang dapat ditanami dapat dikompensasi dengan
bertambahnya hasil tanaman akibat terkonservasinya unsur hara yang hilang terbawa
erosi dan aliran permukaan.
Pesemaian, penanaman dan keragaan tanaman pada kegiatan penelitian SUT – KTA dan SIT - KTA
Kegiatan pesemaian pada penelitian ini, hampir 50 % gagal atau hampir 50 %
tanaman tidak dapat ditransplanting ke lapangan karena pertumbuhan tanaman kubis
yang kerdil dan tidak normal, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai bibit yang bagus.
Hal ini karena tanaman kubis di pesemaian sebagian besar kekeringan karena tidak ada
hujan serta sumber air yang tidak mencukupi untuk menyiram. Selain itu kelangkaan
tenaga kerja pada saat dibutuhkan merupakan salah satu sebab gagalnya pesemaian ini,
selain faktor iklim.
Selanjutnya kegiatan penanaman dilakukan dengan memakai bibit yang berasal
dari petani penangkar yang berada di sekitar lokasi penelitian. Namun setelah berumur
40
2-3 minggu, tanaman mengalami kematian yang hampir 50 %. Hal ini juga disebabkan
oleh karena kekeringan ysng diskibatkan oleh tidak adanya hujan dalam waktu yang lama
dan air yang diberikan sebagai irigasi tidak mencukupi dan tidak terdistribusi secara
merata. Dengan demikian perlu diadakan penanaman ulang atau penyulaman untuk
tanaman yang mati. Degan demikian diperkirakan, lokasi penelitian ini akan terlambat
panen.
Pertumbuhan tanaman
Teknik konservasi (TKA-1 s/d TKA-4) memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap pertumbuhan kubis dalam hal tinggi tanaman dan diameter kanopi. TKA-1 s/d
TKA-4 memberikan pengaruh yang tidak berbeda secara statistik terhadap tinggi tanaman
(Gambar 10), Perlakuan teknik konservasi memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
pertumbuhan diameter kanopi tanaman (Gambar 11). TKA-4 memberikan pengaruh
yang terbaik terhadap diameter kanopi tanaman, namun tidak berbeda dengan TKA-3,
dan berbeda terhadap TKA-2 dan TKA-1. Hal ini karena pada TKA-4, dimana kubis
ditanam searah kontur, tanah, dan kelembaban tanah, serta input pertanian berupa
pupuk lebih terkonservasi dan lebih dapat dimanfaatkan oleh tanaman dibandingkan pada
perlakuan P-1, dimana kubis ditanam searah lereng, sehingga tanah dan pupuk akan
mudah terbawa erosi dan aliran permukaan apabila terjadi hujan. Hal ini menyebabkan
tanaman kurang mendapat kesempatan untuk mengambil air dan nutrisi yang
diperlukannya. Ini mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang paling rendah
dibandingkan perlakuan yang lain (Gambar 11).
Hasil tanaman
Teknik konservasi secara statistik tidak memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap populasi tanaman saat panen. Teknik konservasi memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap hasil tanaman kubis (Tabel 9). KTA-3 memberikan hasil
tanaman yang paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, diikuti oleh perlakuan TKA-1,
kemudian TKA-2 dan akhirnya TKA-4 memberikan hasil tanaman yang paling rendah. Hal
ini terutama disebabkan oleh adanya penurunan populasi akibat perlakuan TKA-4 apabila
diperhitungkan ke dalam satu ha. Secara normal, populasi tanaman kubis pada
perlakuan TKA-1 s/d TKA-4 berturut-turut adalah 33333, 25000, 24000 dan 24000
41
tanaman/ha. Populasi tanaman pada perlakuan KTA-3 dalam keadaan normal lebih
rendah dari KTA-1, namun KTA-3 memberikan hasil tanaman yang paling tinggi. Ini
berarti kualitas hasil tanaman pada perlakuan KTA-3 paling bagus diantara perlakuan
lainnya.
Pertanaman kentang
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 musim tanam (2 MT) yaitu kubis dilanjutkan
dengan pertanaman kentang. Kentang baru ditanam pada pertengahan bulan November
2011 sehingga belum ada data yang bisa dilaporkan untuk periode tanaman kentang.
Dengan demikian data erosi dan aliran permukaanpun belum dapat disajikan.
42
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Tanah di lokasi penelitian mempunyai tekstur lempung dengan pori air tersedia
yang tinggi (18 – 34 % volume) dan agregasi yang sangat baik. Yang harus
diwaspadai dari sifat fisik tanah ini adalah adanya sifat perkolasi atau kemampuan
melalukan air yang cepat dan tinggi, sehingga akan terjadi pencucian hara apabila
air di dalam tanah melebihi kapasitas lapang.
2. Perlakuan sistem usahatani konservasi P-2 (pada kegiatan on-farm research)
memberikan hasil tanaman yang tertinggi dan berbeda dengan P-3 dan P-1.
Perlakuan P-1 memberikan hasil tanaman terrendah.
3. Perlakuan P-2 (bedengan tanaman searah lereng dipotong gulud setiap 5 m)
memberikan keuntungan (Rp 2.588.000,-) dan nilai B/C ratio (1,51) yang paling
tinggi dibandingkan P-1 dan P-3. Perlakuan P-1 mengalami kerugian sebesar Rp
1.901.000,-
4. Teknik konservasi TKA-3 (pada kegiatan super imphosed trial/SIT-KTA)
memberikan hasil tanaman kubis tertinggi (32 t/ha) diikuti oleh TKA-1 (31 t/ha),
TKA-2 (29 t/ha) dan TKA-4 memberikan hasil yang paling rendah (26 t/ha).
5. Petani pada umumnya cukup antusias terhadap teknik konservasi tanah dan air.
Petani cenderung menyukai teknik konservasi TKA-2 (tanaman searah lereng,
dipotong gulud setiap 5 meter), karena lebih praktis, dengan alternatif TKA-4.
43
5.2. Saran
o Diperlukan penyuluhan dan sosialisasi yang lebih intensif kepada petani pengguna
lahan kering di kawasan budidaya sayuran dataran tinggi, baik sebagai pemilik
maupun sebagai penggarap, agar terjadi percepatan adopsi teknologi sistem
usahatani konservasi di lahan sayuran dataran tinggi.
o Diperlukan koordinasi dan komunikasi yang lebih intensif dengan instansi terkait
agar terjadi pemindahan tongkat estafet kepada instansi terkait di wilayah
setempat.
o Untuk mengantisipasi masalah kekurangan modal bagi petani kecil, menggalang
modal bersama atau koperasi dapat dijadikan salah satu alternatif pemecahan
masalah.
44
VI. PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN
1. Terjadinya peningkatan produktivitas tanah dan hasil tanaman, serta
diterapkannya sistem pengelolaan lahan yang lebih efisien pada lahan sayuran
dataran tinggi.
2. Terjadinya peningkatan keuntungan dan pendapatan petani, serta diterapkannya
sistem budi daya sayuran yang berkelanjutan di dataran tinggi.
45
VII. DAFTAR PUSTAKA
Akonde, T.P., Leihner A.E., and Kuhne, R. 1999. Nutrient balance in agroforestry systems.
Plant Research and Development. Institute for Scientific Co-operation, Tubingen, Federal Republic of Germany. 50: 7-17
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
Banuwa, I. S. 1994. Dinamika Aliran Permukaan dan Erosi Akibat Tindakan Konservasi Tanah pada Andisol Pangalengan, Jawa Barat. Tesis Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Bationo, A., Lompo, F., and Koala, S. 1998. Research on nutrient flows and balances in West Africa: State-of-the-art. Agricultural Water Management. 71: 19-35
BPS. 2008. Statistik Indonesia 2007. Badan Pusat Statistik.
Chowdary, V.M., Rao, N.H., and Sarma, P.B.S. 2004. A coupled soil water and nitrogen balance model for flooded rice fields in India. Agriculture Ecosystems and Environment. 103: 425-441
Cho, J.Y., Han K.W., and Choi, J.K. 2000. Balance of nitrogen and phosphorus in a paddy field of central Korea. Soil Science and Plant Nutrition. 46: 343-354
Erfandi, D., Undang Kurnia, dan O. Sopandi. 2002. Pengendalian erosi dan perubahan sifat fisik tanah pada lahan sayuran berlereng. Hal. 277-286 dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor, 2002.
Fan, X.H., Song, Y.S., Lin, D.X., Yang, L.Z., and Lou, J.F. 2006. Ammonia volatilisation losses and N-15 balance from urea applied to rice on a paddy soil. Journal of Environmental Science China. 18 (2): 299-303
Ghosh, B.C. and Bhat, R. 1998. Environmental hazards of nitrogen loading in wetland rice fields. Environmental pollution. 102: 123-126
Hayashi, K., Nishimura, S., and Yagi, K. 2006. Ammonia volatilisation from the surface of a Japanese paddy field during rice cultivation. Soil Science and Plant Nutrition. 52: 545-555
Manolov, I.G., Ikeda M., and Yamakawa, T. 2003. Effect of methods of nitrogen application on nitrogen recovery from N-15-labeled urea applied to paddy rice (Oryza sativa L.). Journal of the Faculty of Agriculture Kyushu University. 48: 1-11
Miller, R.J., and Smith, R.B. 1976. Nitrogen balance in the Southern San Joaquin Valley. Journal of Environmental Quality. 5 (3): 274-278
Haryati, U., N. L. Nurida, H. Suganda, dan Undang Kurnia. 2000. Pengaruh arah bedengan dan tanaman penguat teras terhadap erosi dan hasil kubis (Brassica oleracea) di dataran tinggi. Hal. 411-424 dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
46
Haryati, U dan Undang Kurnia. 2001. Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap erosi dan hasil kentang (solanum tuberosum) pada lahan budidaya sayuran di dataran tinggi Dieng. Hlm. 439-460 dalam Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim dan pupuk. Cipayung- Bogor, 31 Oktober – 2 November 2000. Pusat penelitian dan Pengembangan tanah dan Agroklimat, Bogor. Buku II.
Hidayat, A dan A. Mulyani. 2005. Lahan Kering untuk Pertanian dalam Adimihardja dan Mappaona (Eds). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Edisi Kedua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Lefroy, R.D.B., and Konboon, J. 1999. Studying nutrient flows to assess sustainability and identify areas of nutrient depletion and imbalance: an example for rainfed rice systems in Northeast Thailand. In: Ladha (Eds.), Rainfed Lowland Rice: Advances in Nutrient Management Research. IRRI, pp. 77-93
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan. 1995. Data Tahunan Debit Sungai Wilayah Tengah (Jawa, Bali, Kalimantan). Buku II/Hi-1/1995. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Santoso, D., Wigena, I.G.P., Eusof, Z., and Chen, X.H. 1995. The ASIALAND management of sloping lands network: Nutrient balance study on sloping lands. In: International Workshop on Conservation Farming for Sloping Uplands in Southeast Asia: Challenges, Opportunities, and Prospects. IBSRAM-Thailand Proceedings. 14: 93-108
Smaaling, E.M.A., Stoorvogel, J.J., and Wiindmeijer, P.N. 1993. Calculating soil nutrient balances in Africa at different scales II. District scale. Fertiliser Research. 35 (3): 237-250
Sinukaban, N. 1990. Pengaruh pengolahan tanah konservasi dan pemberian mulsa jerami terhadap produksi tanaman pangan dan erosi hara. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, (9): 32-38.
Stoorvogel, J.J., Smaaling, E.M.A., and Janssen, B.H. 1993. Calculating soil nutrient balances in Africa at different scales. I. Supra-national scale. Fertiliser Research. 35 (3): 227-236
Soleh dan Arifin. 2003. Optimalisasi Multifungsi Pertanian pada Usahatani Tanaman Kentang di Sundoro, Lumajang. Balittanah.litbang.deptan.id. 3 Januari 2011.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A. B. Siswanto. 2000. Lahan Pertanian Indonesia. Hal 21-66 dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Suganda, H., S. Abujamin, A. Dariah, dan S. Sukmana. 1994. Pengkajian teknik konservasi tanah dalam usahatani tanaman sayuran di Batulawang, Pacet. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, 12:47-57.
Suganda, H., M. S. Djunaedi, D. Santoso, dan S. Sukmana. 1997. Pengaruh cara pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi dan produksi sayuran pada Andisols. Jurnal Tanah dan Iklim. (15):38-50.
47
Suganda, H., H. Kusnadi dan Undang Kurnia. 1999. Pengaruh arah barisan tanaman dan bedengan dalam pengendalian erosi pada budidaya sayuran dataran tinggi. Jurnal Tanah dan Iklim, (17):55-64.
Sutapraja, H., dan Asandhi. 1996. Pengaruh arah guludan, mulsa, dan tumpangsari terhadap pertumbuhan dan hasil kentang serta erosi di dataran tinggi Batur, Jurnal Hortikultura, 8 (1):1.006-1.013
Sukristiyonubowo. 2007a. Nutrient balances in terraced paddy fields under traditional irrigation in Indonesia.PhD tesis. Faculty of Bioscience Engineering , Ghent University, Ghent-Belgium. 184 p
Sukristiyonubowo. 2007b. Nutrient balances for wetland rice farming. Indonesian Journal of Land Resources 1 (4): 1-14
Sumarna, A., dan Y. Kusandriani. 1992. Pengaruh jumlah pengairan air tehadap pertumbuhan dan hasil cabe paprika (Capsicum annum L. var groosum) kultivar orion dan Yolo Wonder A. Buletin Penelitian Hortikultura XXIV (1):51-58.
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Uexkull, H.R. von. 1989. Nutrient cycling. In Soil Management and Smallholder Development in the Pacific Islands. IBSRAM-Thailand Proceedings. 8: 121-132
Undang Kurnia. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan untuk Meningkatkan dan Melestarikan Produktivitas Tanah. Disertasi Doktor Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Undang Kurnia, dan H. Suganda. 1999. Konservasi tanah dan air pada budidaya sayuran dataran tinggi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 18 (2): 68-74.
Undang Kurnia. 2000. Penerapan teknik konservasi tanah pada lahan usahatani dataran tinggi. Hal 47-57 dalam A. Abdurachman et al. (eds.). Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor, 2-3 September 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Van den Bosch, H., Joger, A. de, and Vlaming, J. 1998a. Monitoring nutrient flows and economic performance in African farming systems (NUTMON) II. Tool Development. Agriculture, Ecosystems and Environment. 71: 49-62
Van den Bosch, H., Gitari, J.N., Ogoro, V.N., Maobe, S., and Vlaming, J. 1998b. Monitoring nutrient flows and economic performance in African farming systems (NUTMON) III. Monitoring nutrient flows and balances in three districts in Kenya. Agriculture, Ecosystems and Environment. 71: 63-80
Wijnhoud, J.D., Konboon, Y., and Lefroy, R.D.B. 2003. Nutrient budgets: Sustainability assessment of rainfed lowland rice-based systems in northeast Thailand. Agriculture, Ecosystems and Environment. 100: 119-127
Xing, G.X. and Zhu, Z.L. 2000. An assessment of N loss from agricultural fields to the environment in China. Nutrient Cycling in Agroecosystems. 57: 67-73
48